Abstrak: Prevalensi dari sleep apnea obstruktif (OSA) meningkat, dan sejumlah
besar pasien dengan OSA yang menjalani operasi ambulator tidak terdiagnosis.
Telah diketahui bahwa pasien dengan OSA akan mengalami peningkatan
komplikasi pasca operasi. Kesesuaian operasi ambulatori pada pasien dengan
OSA masih kontroversial, dan bukti mengenai keamanan pasien OSA untuk
operasi ambulatori tidak memadai. Ahli anestesi memainkan peran penting dalam
mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengoptimalkan pasien OSA. Skrining
preoperatif dan pemilihan pasien secara teliti untuk operasi ambulator adalah
langkah kunci selama manajemen perioperatif pasien OSA. Dengan skrining yang
tepat dan manajemen berbasis algoritma klinis, pasien dengan OSA dapat
diperlakukan dengan aman sebagai pasien bedah ambulator.
Kata kunci: sleep apnea obstruktif, operasi ambulatori, manajemen perioperatif,
komplikasi pasca operasi
Pendahuluan
Sindrom sleep apnea obstruktif (OSA) adalah tipe gangguan tidur yang
paling umum, dan ditandai dengan apnea berulang dan hypopnea yang
berlangsung selama 10 detik selama tidur. Pada pasien dengan OSA, dijumpai
peningkatan depresi tonus otot faring saat tidur dan anestesi, menghasilkan pola
berulang obstruksi saluran udara sebagian atau lengkap dengan gangguan
1
respirasi. Prevalensi OSA ringan adalah satu dari empat laki-laki dan satu dari
2,3
sepuluh perempuan, OSA moderat pada satu dari sembilan laki-laki dan satu
dari 20 perempuan.4,5 Sejumlah besar pasien OSA tidak terdiagnosis ketika pasien
datang untuk menjalani operasi elektif. Sekitar 10% -20% dari pasien bedah, di
antaranya 80% belum pernah didiagnosis sebelumnya dengan OSA, telah
ditemukan berada pada risiko tinggi OSA berdasarkan screening pra operasi. 7,8
Peningkatan prevalensi OSA serta peningkatan operasi dilakukan dengan
prosedur ambulator menimbulkan tantangan praktis untuk ahli anestesi. OSA
dikaitkan dengan beberapa komorbiditas, dan kesesuaian operasi ambulator pada
pasien OSA masih kontroversial, karena kekhawatiran komplikasi perioperatif
yang meningkat, termasuk kematian pasca operasi. Saat ini, bukti yang berkaitan
dengan keselamatan pasien OSA untuk operasi ambulatory masih terbatas. The
9,10
American Society of Anesthesiologists (ASA), dan Society for Ambulatory
11
Anesthesia (SAMBA) telah menerbitkan panduan untuk menekankan
pentingnya pemilihan pasien yang tepat dan manajemen pasien OSA untuk
operasi ambulatory.
siang hari, mendengkur keras, atau obstruksi yang diamati selama tidur.19
Derajat keparahan OSA dianggap ringan untuk AHI > 5–15, sedang untuk AHI
15–30, dan berat untuk AHI > 30.
Manfaat CPAP pada pasien bedah telah ditunjukkan dalam suatu penelitian
meta-analisis baru-baru ini.31 Diagnosis OSA dan penggunaan terapi CPAP terkait
dengan penurunan komplikasi pasca operasi, terutama henti jantung dan syok. 44
Penelitian terbaru lain dari 2.000 OSA pasien di 50 rumah sakit AS menemukan
bahwa pasien OSA dengan pengobatan CPAP memiliki komplikasi kardiorespirasi
yang lebih sedikit dibandingkan pasien OSA tanpa terapi CPAP. Semua temuan ini
mengkonfirmasi pandangan bahwa pasien dengan OSA dapat dengan aman
menjalani operasi ambulator jika mereka diseleksi dengan hati-hati dan menjalani
perawatan perioperatif yang terfokus.
Manajemen perioperatif pasien OSA untuk operasi ambulator
Anestesi umum pada pasien dengan OSA merupakan tantangan, karena
pemberian anestesi, sedatif, dan analgesik dapat semakin memperburuk obstruksi
faring pada disfungsi saluran udara yang telah ada sebelumnya. Secara
perioperatif, berbagai pendekatan dapat digunakan untuk mengurangi risiko dan
hasil yang merugikan pada pasien OSA (Tabel 2). Oleh karena obesitas adalah
faktor risiko utama untuk OSA, manajemen anestesi perlu mengatasi masalah
yang berkaitan dengan obesitas serta OSA. Insiden intubasi sulit dan ventilasi
masker sulit didapatkan tinggi pada obesitas dibandingkan dengan populasi
46
nonobesitas . Kehadiran OSA berhubungan dengan ventilasi mask yang sulit,
serta delapan kali lebih banyak kemungkinan kesulitan intubasi. 47 Lingkar leher
lebih dari 43 cm telah terbukti memiliki peningkatan risiko intubasi yang sulit.48
Namun, terdapat bukti yang kontradiktif mengenai prediktor intubasi sulit, seperti
derajat severitas OSA, lingkar leher, ketebalan jaringan lunak pretracheal, dan
BMI.49 Skor Mallampati 3 atau 4 dan jenis kelamin laki-laki mungkin
berhubungan dengan intubasi yang sulit.50 Lingkar leher untuk rasio jarak
thyromental dapat memprediksi kesulitan intubasi pada pasien obesitas.51 Sebuah
penelitian terbaru menunjukkan bahwa skor STOP-Bang > 3 memprediksi
intubasi yang sulit.52 Obesitas diidentifikasi sebagai prediktor independen dari
kegagalan penggunaan masker saluran udara laring yang memerlukan intubasi
endotrakeal.53
No Ya Ya No
Pertimbangkan Pertimbangkan
pemulangan ke rumah perawatan paska
jika pembedahan minor operasi pada
bangsal bedah
oksimetri
Gambar 2 Manajemen pasca operasi dari pasien yang didiagnosis atau dicurigai OSA setelah
anestesi umum.
Catatan: Waktu dan lokasi pemulangan PACU pasca operasi untuk pasien yang didiagnosis atau
dicurigai OSA setelah anestesi umum. Pasien tersebut harus dipantau selama > 60 menit setelah
kriteria PACU biasa terpenuhi. * Terapi positive airway pressure (PAP), termasuk PAP
berkelanjutan, PAP bilevel, atau PAP yang menyesuaikan secara otomatis; Komorbiditas yang
nyata (misalnya, gagal jantung, aritmia, hipertensi yang tidak terkontrol, penyakit serebrovaskular,
sindrom metabolik, BMI > 35 kg / m 2); O kejadian pernapasan postanesthesia rekuren (PACU:
kemunculan berulang dari saturasi oksigen < 90 persen, atau bradypnea < 8 napas / menit, atau
apnea > 10 detik, atau ketidakcocokan sedasi-rasa sakit (skor nyeri dan sedasi yang tinggi secara
bersamaan); 75 S equianalgesic dosis opioid oral: kodein 120 mg setiap 4 jam, oxycodone 10 mg
setiap 4 jam, hydromorphone 4 mg setiap 4 jam; Y bed monitoring: lingkungan dengan oximetry
berkelanjutan dan kemungkinan intervensi medis dini (misalnya, unit perawatan intensif, unit
Anestesi regional
step-down, atau oksimeter denyut jarak jauh dengan telemetri di bangsal bedah). Singkatan:
Anestesipostanesthesia;
PACU, unit perawatan regional padaOSA,
pasiensleep
OSAapnea
memberikan keuntungan
obstruktif; yang
AHI, indeks pasti,
apnea-hypopnea;
PAP, tekanan
yang udara positif.
memungkinkan manipulasi minimal pada jalan napas, menghindari obat
anestesi dengan depresi kardiopulmoner, mengurangi kebutuhan opioid
perioperatif, dan mengurangi mual dan muntah pasca operasi. Tingkat kegagalan
blok berbanding lurus dengan BMI yang lebih tinggi. Namun, penggunaan
anestesi regional yang dipandu ultrasonik pada populasi obesitas telah
menunjukkan tingkat keberhasilan yang meningkat.73 Anastesi neuraksial yang
dipandu USG adalah pilihan yang layak untuk meningkatkan tingkat keberhasilan
anestesi spinal dan epidural pada pasien obesitas. Untuk operasi bahu, blok
interscalene pada pasien dengan OSA membutuhkan evaluasi yang cermat.
Blokade saraf frenikus dapat dikurangi dengan menggunakan ultrasonik, volume
kecil anestesi lokal, dan teknik kateter untuk titrasi dosis. Teknik terbaru dari blok
trunkus superior, versi improvisasi dari blok interscalene yang membantu untuk
menghindari blokade saraf frenikus, adalah pilihan yang layak untuk pasien OSA
yang memerlukan operasi bahu.74 Pasien dengan OSA yang menjalani prosedur
ambulator yang menyakitkan, seperti perbaikan bahu, kaki arthrodesis, perbaikan
ligamentum krusiatum anterior, dan bedah plastik rekonstruktif, mungkin berisiko
lebih tinggi dari terjadinya efek samping, oleh karena kebutuhan analgesik opioid
pasca operasi yang lebih tinggi.
Disposisi pasca operasi dan rawat inap yang tidak direncanakan setelah
menjalani operasi ambulator
Pasien yang terdiagnosisatau dicurigai OSA yang menerima anestesi
umum harus dilakokan monitoring diperpanjang selama tambahan 60 menit
setelah pasien tersebut memenuhi kriteria Aldrete yang dimodifikasi untuk
pengeluaran dari ruang operasi.32 Insiden kejadian pernapasan berulang di unit
perawatan postanesthesia (PACU) merupakan indikasi untuk dilakukannya
pemantauan pasca operasi berkelanjutan.75 Peristiwa pernapasan ini adalah
episode apnea > 10 detik, (Gambar 2) bradypnea <8 napas / menit,
ketidakseimbangan antara nyeri-sedasi, atau desaturasi O2 < 90%. Kejadian
berulang dari semua kejadian ini dianggap sebagai peristiwa pernafasan PACU
berulang. Pasien OSA dengan kejadian pernapasan berulang memiliki
peningkatan risiko komplikasi pernapasan pasca operasi.75,76 Pasien-pasien ini
mungkin memerlukan terapi PAP pasca operasi dengan pemantauan.67 Pusat bedah
ambulator yang menangani pasien OSA harus memiliki backup untuk mengelola
komplikasi pasca operasi yang terkait dengan OSA dan perjanjian dengan fasilitas
rawat inap yang sesuai. Ahli anestesi dan ahli bedah harus menyetujui pemberian
obat analgesik pasca operasi, dan pasien harus disarankan untuk menggunakan
scetaminophen, obat anti-inflamasi nonsteroid, dan inhibitor COX-2 daripada
opioid. Pasien harus diedukasi untuk tidur dalam posisi semi-upright (tegak) dan
untuk menjalankan perangkat PAP mereka ketika tidur, bahkan selama siang hari.
Kesimpulan
Pasien OSA adalah populasi khusus, dan manajemen anestesi mereka
merupakan hal yang menantang, oleh karena jalan napas yang sulit, kepekaan
terhadap anestesi umum, dan manajemen nyeri pasca operasi. Dalam beberapa
tahun terakhir, terdapat pemahaman yang lebih baik tentang efek anestesi pada
arsitektur tidur pasca operasi pada pasien OSA. Pemahaman ini membantu
pemilihan pasien yang lebih teliti untuk dilakukan operasi ambulator dengan
protokol khusus, dan mitigasi risiko sangat penting untuk menghindari
pembatalan dan komplikasi. Mengedukasi pasien dan tim pemberi pelayanan
kesehatan akan meningkatkan hasil perioperatif. Dengan skrining yang tepat dan
manajemen berbasis algoritma, sebagian besar prosedur bedah ambulator dapat
dilakukan dengan aman pada pasien dengan OSA.