Anda di halaman 1dari 14

Anestesi Ambulator untuk Pasien dengan Sleep Apnea

Raviraj Raveendran1 ¸Frances Chung2

Abstrak: Prevalensi dari sleep apnea obstruktif (OSA) meningkat, dan sejumlah
besar pasien dengan OSA yang menjalani operasi ambulator tidak terdiagnosis.
Telah diketahui bahwa pasien dengan OSA akan mengalami peningkatan
komplikasi pasca operasi. Kesesuaian operasi ambulatori pada pasien dengan
OSA masih kontroversial, dan bukti mengenai keamanan pasien OSA untuk
operasi ambulatori tidak memadai. Ahli anestesi memainkan peran penting dalam
mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengoptimalkan pasien OSA. Skrining
preoperatif dan pemilihan pasien secara teliti untuk operasi ambulator adalah
langkah kunci selama manajemen perioperatif pasien OSA. Dengan skrining yang
tepat dan manajemen berbasis algoritma klinis, pasien dengan OSA dapat
diperlakukan dengan aman sebagai pasien bedah ambulator.
Kata kunci: sleep apnea obstruktif, operasi ambulatori, manajemen perioperatif,
komplikasi pasca operasi

Pendahuluan
Sindrom sleep apnea obstruktif (OSA) adalah tipe gangguan tidur yang
paling umum, dan ditandai dengan apnea berulang dan hypopnea yang
berlangsung selama 10 detik selama tidur. Pada pasien dengan OSA, dijumpai
peningkatan depresi tonus otot faring saat tidur dan anestesi, menghasilkan pola
berulang obstruksi saluran udara sebagian atau lengkap dengan gangguan
1
respirasi. Prevalensi OSA ringan adalah satu dari empat laki-laki dan satu dari
2,3
sepuluh perempuan, OSA moderat pada satu dari sembilan laki-laki dan satu
dari 20 perempuan.4,5 Sejumlah besar pasien OSA tidak terdiagnosis ketika pasien
datang untuk menjalani operasi elektif. Sekitar 10% -20% dari pasien bedah, di
antaranya 80% belum pernah didiagnosis sebelumnya dengan OSA, telah
ditemukan berada pada risiko tinggi OSA berdasarkan screening pra operasi. 7,8
Peningkatan prevalensi OSA serta peningkatan operasi dilakukan dengan
prosedur ambulator menimbulkan tantangan praktis untuk ahli anestesi. OSA
dikaitkan dengan beberapa komorbiditas, dan kesesuaian operasi ambulator pada
pasien OSA masih kontroversial, karena kekhawatiran komplikasi perioperatif
yang meningkat, termasuk kematian pasca operasi. Saat ini, bukti yang berkaitan
dengan keselamatan pasien OSA untuk operasi ambulatory masih terbatas. The
9,10
American Society of Anesthesiologists (ASA), dan Society for Ambulatory
11
Anesthesia (SAMBA) telah menerbitkan panduan untuk menekankan
pentingnya pemilihan pasien yang tepat dan manajemen pasien OSA untuk
operasi ambulatory.

Faktor Risiko dan Patofisiologi


OSA dipengaruhi oleh berbagai faktor patofisiologis, demografi, dan gaya
hidup. Antara lain termasuk kelainan anatomi yang dapat menyebabkan perubahan
mekanik di lumen saluran napas (misalnya, deformitas kraniofacial, retrognathia,
mKcroglossia), penyakit jaringan ikat (misalnya, sindrom Marfan), penyakit
endokrin (misalnya, hipotiroidisme, penyakit Cushing), jenis kelamin laki-laki,
lingkar leher > 40 cm, usia di atas 50 tahun, dan faktor gaya hidup, termasuk
konsumsi alkohol dan merokok.12 Prevalensi OSA mungkin lebih tinggi - hingga
13
78% - pada pasien obesitas yang dijadwalkan untuk operasi bariatrik. Obesitas
menyebabkan pembesaran jaringan lunak, struktur di sekitar saluran napas,
menyebabkan penyempitan jalan faring. Volume paru sangat berkurang dengan
peningkatan massa lemak perut. Pengurangan volume paru dapat menurunkan
kekuatan traksi longitudinal trakea dan ketegangan dinding faring, yang
menyebabkan penyempitan jalan napas. Obesitas viseral sering ditemukan pada
subjek OSA.14 OSA dikaitkan dengan berbagai komorbid, seperti miokard
iskemia, gagal jantung, hipertensi, sindrom metabolik arrhythmia, penyakit
serebrovaskular, resistensi insulin, refluks gastroesofagus, dan obesitas. Aktivasi
simpatis meningkat disebabkan oleh episode apnea, yang mencegah penurunan
tekanan darah pada malam hari yang umumnya normal. Sleep apnea yang
berhubungan dengan obesitas menyebabkan peningkatan tonus simpatik,
hipertensi, hipertrofi ventrikel kiri, hipoksemia kronis, dan perubahan berlebihan
pada tekanan intratoraks selama episode obstruktif. OSA juga menyebabkan
peningkatan ukuran rongga ventrikel kanan dan ketebalan dinding. OSA adalah
salah satu alasan umum untuk terjadinya resistensi hipertensi. 15 Meskipun OSA
bukan merupakan komponen sindrom metabolik (obesitas sentral, hipertensi,
hiperlipidemia, dan resistensi insulin), terdapat bukti eksperimental dan klinis
yang menunjukkan hubungan antara OSA dan sindrom kardiometabolik. Agen
anestesi, termasuk hipnotik penenang, opioid, dan relaksan otot, memicu
ketidakstabilan jalan napas terkait OSA dan memperburuk apnea. Respon stres
bedah selama periode pasca operasi secara signifikan mengubah arsitektur atau
pola tidur.17 Kondisi ini memerlukan pemahaman yang cermat tentang
patofisiologi OSA dan efek anestesi pada sindrom OSA.

Sindrom hipoventilasi obesitas (OHS) adalah suatu kondisi dengan trias


obesitas, hipoventilasi siang hari, dan gangguan pernapasan saat tidur tanpa
alternatif penyebab neuromuskular, mekanik, atau metabolik hipoventilasi. Ini
adalah penyakit yang berbeda dari obesitas sederhana dan OSA. OHS sering tidak
terdiagnosis, dengan prevalensi 10% -20% pada pasien obesitas dengan OSA dan
0,15% -0,3% di antara populasi dewasa umum. Dibandingkan dengan pasien
obesitas eucapnik, pasien OHS datang dengan gangguan pernafasan sentral yang
tumpul, obstruksi saluran napas atas yang berat, fisiologi dada yang terbatas,
hipertensi pulmonal, dan peningkatan mortalitas. Tekanan udara positif non-
invasif (PAP) merupakan terapi utama.18

Kriteria diagnostik OSA


Standar emas untuk diagnosis OSA adalah polisomnografi atau studi tidur.
The Apnea-Hypopnea Index (AHI), didefinisikan sebagai episode rata-rata dari
peristiwa pernapasan abnormal per jam tidur, digunakan untuk mendiagnosis dan
menilai tingkat keparahan OSA. Kejadian apnea adalah berhentinya aliran udara
selama 10 detik, dan hipopnea adalah berkurangnya aliran udara dengan
desaturasi > 4%. Kriteria diagnostik untuk OSA oleh American Academy of Sleep
Medicine memerlukan AHI > 15 atau AHI > 5 dengan gejala, seperti kantuk di
Evaluasi Peri Operatif

Pasien dengan OSA yang Pasien dengan dugaan


diketahui diagnosis OSA

Kondisi komorbid Pasien dengan Kondisi komorbid


teroptimal dan dapat kondisi teroptimalkan dan nyeri
menggunakan CPAP komorbid yang paska operasi dapat
setelah pemulangan tidak diterapi dominan dengan
teroptimalkan menggunakan teknik
analgesik opioid

Dilanjutkan dengan Tidak sesuai untuk Dilanjutkan dengan


pembedahan ambulator dilakukan operasi pembedahan ambulator
ambulatory, dapat
bermanfaat berdasarkan
diagnosis dan
tatalaksana
Gambar 1. Pengambilan keputusan dalam seleksi pre operatif dari seorang pasien
dengan sleep apnea obstruktif (OSA) untuk pembedahan ambulator

siang hari, mendengkur keras, atau obstruksi yang diamati selama tidur.19
Derajat keparahan OSA dianggap ringan untuk AHI > 5–15, sedang untuk AHI
15–30, dan berat untuk AHI > 30.

Metode untuk skrining pra operasi untuk OSA


Oleh karena skrining dengan polisomnografi mahal dan intensifitas dari
sumber daya, banyak alat skrining lain yang telah dikembangkan. 20 Pedoman
SAMBA merekomendasikan penggunaan kuesioner STOP-Bang sebagai langkah
pertama, karena mudah untuk dikelola. Kuesioner STOP Bang awalnya
dikembangkan pada pasien bedah, tetapi telah divalidasi di berbagai populasi
pasien (Tabel 1) .21-23 Pasien dengan skor STOP-Bang 0-2 dianggap berisiko
rendah, 3–4 risiko menengah, dan 5-8 risiko tinggi OSA. Kuesioner STOP-Bang
memiliki validitas dan akurasi metodologis tertinggi dalam memprediksi
20,24
diagnosis skor OSA, dan STOPBang 5–8 mengidentifikasi pasien dengan
kemungkinan OSA sedang hingga berat yang tinggi. 22 Penambahan serum tingkat
bikarbonat > 28 mmol / L dengan skor STOP-Bang > 3 meningkatkan spesifisitas
25
untuk diagnosis preoperatif OSA. Untuk pasien obesitas atau obesitas secara
morbid, skor STOP-Bang 4 atau lebih besar dapat digunakan sebagai cutoff. 26
Pasien dengan skor STOP-Bang yang lebih tinggi lebih mungkin mengalami
peningkatan komplikasi pasca operasi.27

Selain itu, Indeks Desaturasi Oksigen (ODI) dari oksimeter beresolusi


tinggi sensitif dan spesifik untuk mengidentifikasi gangguan pernapasan tidur
yang tidak terdiagnosis pada pasien bedah. ODI merupakan prediktor baik untuk
AHI. ODI > 10 menunjukkan sensitivitas tinggi (93%) dan spesifisitas yang wajar
(75%) untuk mendeteksi OSA sedang dan berat. Pasien dengan SpO 2 rata-rata
preoperative satu malam sebelumnya < 93%, atau ODI > 29 kejadian / jam baru-
29
baru ini terbukti berisiko lebih tinggi untuk komplikasi pasca operasi. Tes
skrining ini tidak cukup untuk membedakan OSA dari gangguan tidur lainnya,
seperti OHS dan sleep apnea sentral. Jika ini dicurigai, suatu pemeriksaan gas
darah arteri dan polisomnografi semalam, masing-masing diindikasikan
dilakukan untuk mendiagnosis hiperkarbia dan effortless apnea.

Suatu penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan OSA yang telah


diobati dengan CPAP sebelum operasi memiliki komplikasi perioperatif lebih
sedikit daripada yang tidak diobati. Dalam meta analisis baru-baru ini dari enam
penelitian, penggunaan CPAP pada pasien bedah dengan OSA menunjukkan AHI
pasca operasi yang lebih rendah dan kecenderungan masa rawat inap yang lebih
pendek.31 Mengikuti algoritma fungsional dapat membantu untuk memandu
skrining dan manajemen pasien obesitas dengan OSA.32

Pemilihan pasien untuk operasi ambulator


Pada tahun 2006 dan 2014, ASA menerbitkan pedoman tentang
9,10
manajemen perioperatif dari pasien OSA, berdasarkan tingkat severitas dari
sleep apnea, invasif operasi, jenis anestesi, dan kebutuhan opioid pasca operasi.
Berdasarkan tinjauan sistematis dari bukti terbaru, SAMBA telah
merekomendasikan sebuah pernyataan konsensus tentang pemilihan pasien pra
operasi dengan OSA untuk operasi ambulator.11 Konsensus ini merekomendasikan
kuesioner STOP-Bang sebagai alat skrining. Menurut pedoman SAMBA, pasien
dengan diagnosis OSA dan sesuai dengan PAP kontinyu (CPAP), dengan kondisi
komorbid yang dioptimalkan dan persyaratan opioid minimal pasca operasi, dapat
dipertimbangkan untuk operasi ambulator (Gambar 1). Namun, pasien yang tidak
patuh dengan CPAP mungkin tidak sesuai untuk dilakukan operasi ambulator.
Pada saat yang sama, pasien dengan diagnosis OSA berdasarkan alat skrining dan
kondisi komorbid yang dioptimalkan dapat dipertimbangkan untuk operasi
ambulator, jika pereda nyeri pasca operasi dapat dikelola terutama dengan teknik
analgesik nonopioid. Berbeda dengan pedoman ASA OSA, operasi laparoskopi
atas abdomen seperti lambung dapat dilakukan dengan aman pada saat hari
operasi jika tindakan pencegahan perioperatif telah diikuti. Oleh karena bukti
yang terbatas, tidak ada panduan yang tersedia untuk pasien OSA yang menjalani
operasi saluran napas atas. Sebuah tinjauan sistematis baru-baru ini pada seleksi
pasien obesitas untuk operasi ambulator menunjukkan bahwa literatur tidak
memiliki cukup informasi untuk membuat rekomendasi mengenai pemilihan
pasien obesitas untuk operasi ambulator. Pasien superobesitas dengan indeks
massa tubuh (BMI) > 50 kg / m 2 berada pada peningkatan risiko untuk komplikasi
perioperatif, sementara pasien dengan BMI yang lebih rendah tidak menunjukkan
peningkatan risiko selama komorbiditas dioptimalkan sebelum operasi.

Hasil dari pasien OSA yang menjalani operasi ambulatori


Hasil penelitian terbaru mengenai operasi ambulator telah jelas
34-36
menunjukkan komplikasi jantung dan paru yang serius pada pasien OSA,
tetapi bukti yang ada masih terbatas mengenai hasil pasca operasi pada pasien
OSA yang menjalani operasi ambulatory. Sebuah tinjauan sistematis oleh SAMBA
mengevaluasi lima penelitian prospektif dan dua retrospektif dengan berbagai
8 37
prosedur bedah ambulator, termasuk bedah umum, bedah ortopedi, operasi
laparoskopi bariatric, 38,39 dan operasi saluran nafas atas.40,41 Dalam ulasan ini, hasil
pasca operasi pada 1.491 pasien OSA dan 2.036 pasien OSA berisiko rendah
dibandingkan dengan 2,095 pasien non-OSA.11 Tidak satu pun dari penelitian
termasuk penelitian ini melaporkan adanya efek samping yang signifikan secara
klinis, seperti kebutuhan untuk pembedahan jalan napas, cedera otak hipoksia,
waktu pemulangan rawat inap yang lebih lama, kebutuhan rawat inap rumah sakit
yang tidak diantisipasi, atau kematian. Selain itu, tinjauan sistematis menunjukkan
bahwa pasien OSA memiliki insiden hipoksemia pasca operasi yang lebih tinggi,
tetapi tidak ada variasi dalam kebutuhan untuk bantuan ventilasi atau reintubasi.
Dalam sebuah penelitian kohort prospektif, pasien dengan kemungkinan OSA
yang lebih besar memiliki lebih banyak upaya untuk dilakukan laringoskopi,
tingkat laringoskopi yang sulit, dan intubasi serat optik. 8 Selain itu, tingkat
penggunaan efedrin intraoperatif, metoprolol, dan labetalol lebih besar pada
pasien OSA, tetapi tidak ada perbedaan dalam hal kebutuhan rawat inap rumah
sakit yang tidak terduga.8 Sebuah penelitian terbaru pada 404 prosedur ambulator
dan leher pada pasien OSA tidak menunjukkan komplikasi atau rawat inap
kembali.42 Sebuah penelitian kohort historis pada 77.809 prosedur bedah
ambulator tidak menemukan adanya peningkatan tingkat rawat inap yang tidak
direncanakan secara klinis yang terkait dengan diagnosis sebelumnya dari 674
pasien OSA.43 Kurangnya peningkatan komplikasi pasca operasi dalam penelitian
ini mungkin karena telah dilakukannya seleksi secara hati-hati pasien OSA untuk
operasi ambulator, penggunaan CPAP, dan opioid minimal.

Manfaat CPAP pada pasien bedah telah ditunjukkan dalam suatu penelitian
meta-analisis baru-baru ini.31 Diagnosis OSA dan penggunaan terapi CPAP terkait
dengan penurunan komplikasi pasca operasi, terutama henti jantung dan syok. 44
Penelitian terbaru lain dari 2.000 OSA pasien di 50 rumah sakit AS menemukan
bahwa pasien OSA dengan pengobatan CPAP memiliki komplikasi kardiorespirasi
yang lebih sedikit dibandingkan pasien OSA tanpa terapi CPAP. Semua temuan ini
mengkonfirmasi pandangan bahwa pasien dengan OSA dapat dengan aman
menjalani operasi ambulator jika mereka diseleksi dengan hati-hati dan menjalani
perawatan perioperatif yang terfokus.
Manajemen perioperatif pasien OSA untuk operasi ambulator
Anestesi umum pada pasien dengan OSA merupakan tantangan, karena
pemberian anestesi, sedatif, dan analgesik dapat semakin memperburuk obstruksi
faring pada disfungsi saluran udara yang telah ada sebelumnya. Secara
perioperatif, berbagai pendekatan dapat digunakan untuk mengurangi risiko dan
hasil yang merugikan pada pasien OSA (Tabel 2). Oleh karena obesitas adalah
faktor risiko utama untuk OSA, manajemen anestesi perlu mengatasi masalah
yang berkaitan dengan obesitas serta OSA. Insiden intubasi sulit dan ventilasi
masker sulit didapatkan tinggi pada obesitas dibandingkan dengan populasi
46
nonobesitas . Kehadiran OSA berhubungan dengan ventilasi mask yang sulit,
serta delapan kali lebih banyak kemungkinan kesulitan intubasi. 47 Lingkar leher
lebih dari 43 cm telah terbukti memiliki peningkatan risiko intubasi yang sulit.48
Namun, terdapat bukti yang kontradiktif mengenai prediktor intubasi sulit, seperti
derajat severitas OSA, lingkar leher, ketebalan jaringan lunak pretracheal, dan
BMI.49 Skor Mallampati 3 atau 4 dan jenis kelamin laki-laki mungkin
berhubungan dengan intubasi yang sulit.50 Lingkar leher untuk rasio jarak
thyromental dapat memprediksi kesulitan intubasi pada pasien obesitas.51 Sebuah
penelitian terbaru menunjukkan bahwa skor STOP-Bang > 3 memprediksi
intubasi yang sulit.52 Obesitas diidentifikasi sebagai prediktor independen dari
kegagalan penggunaan masker saluran udara laring yang memerlukan intubasi
endotrakeal.53

Bantuan peralatan dan kehalian yang adekuat dan terampil, termasuk


pemilihan alat bantu jalan napas, harus tersedia sebelum induksi anestesi. Anggota
tim anestesi harus terbiasa dengan algoritme jalan nafas yang sulit spesifik, seperti
the ASA Difficult Airway Guideline.54 Posisi laringoskopi pada kepala yang
ditinggikan menggunakan bantal posisi spesifik dapat mempermudah laringoskopi
direk. Preoksigenasi dengan aplikasi terus menerus dari 10 cm H 2O PAP selama
3-5 menit dengan kemiringan head-up 25 ° telah ditunjukkan meningkatkan
konsentrasi oksigen pada akhir tidal.55 Pada pasien dengan obesitas yang sulit
dengan jalan nafas yang sulit, intubasi laringoskopik video dengan GlideScope,
Storz V-Mac, atau McGrath memiliki tingkat keberhasilan yang lebih baik. 56
Penggunaan intubasi trakea dibantu laringoskopi berkamera telah membuktikan
sebagai metode alternatif untuk intubasi bronkoskopik yang fleksibel.

Penyakit gastroesophageal reflux oleh karena hipotonia dari sfingter


esofagus bawah umum dijjumpai pada pasien dengan OSA. 58 Langkah-langkah
harus diambil untuk mengurangi risiko aspirasi asam lambung dengan
menggunakan inhibitor pompa proton-pra operasi, antasida, dan induksi sekuensi
cepat dengan tekanan krikoid. Pasien dengan OSA memiliki peningkatan
kepekaan terhadap efek depresan pernafasan dari agen anestesi umum, oleh
karena peningkatan kerentanan mereka untuk terjadinya kolaps jalan napas,
deprivasi tidur kronis, dan respon tumpul terhadap hipoksia dan hiperkarbia.
Hipoksemia nokturnal pada pasien OSA dikaitkan dengan peningkatan sensitivitas
terhadap analgesia opioid.59 Pada saat yang sama, desaturasi nokturnal dapat
dikaitkan dengan peningkatan nyeri pada pasien dengan gangguan pernafasan saat
tidur.60 Hipertensi pulmonal adalah komplikasi yang diketahui dari OSA yang
lama. Pemicu intraoperatif untuk peningkatan tekanan arteri pulmonal, yaitu
hipoksemia, hiperkarbia, hipotermia, dan asidosis, harus dihindari.

Induksi anestesi meningkatkan atelektasis dari 1% hingga 11% dari total


volume paru pada pasien dengan obesitas morbid. 61 Manuver rekruitmen seperti
tekanan akhir ekspirasi positif (PEEP) dan Valsalva dapat mengurangi efek ini.
Preoksigenasi dengan ventilasi pendukung tekanan noninvasif dan PEEP dengan
manuver intraoperatif (40 cm H2O selama 40 detik) meningkatkan oksigenasi
arteri dan volume paru ekspirasi akhir. 62 Sebuah meta analisis terbaru
menunjukkan bahwa manuver yang dilakukan bersama PEEP dibandingkan
dengan menggunakan PEEP saja akan meningkatkan oksigenasi intraoperatif dan
komplians paru.63

Agen anestesi kerja singkat seperti propofol, desflurane, dan remifentanil


lebih disukai daripada agen kerja panjang. Anestesi umum dengan obat
penghambat neuromuskular kerja-sedang dikaitkan dengan risiko efek samping
pernapasan yang lebih sering.64 Bahkan tingkat minimal blokade neuromuskular
residual dapat menyebabkan peningkatan morbiditas pasca operasi, oleh karena
65
aspirasi, obstruksi jalan napas, hipoksia, hipoventilasi, dan reintubasi. pasien
OSA harus diekstubasi hanya ketika terjaga, mematuhi perintah, dan setelah
memastikan patensi jalan napas yang memadai. The Difficult Airway Society telah
menerbitkan pedoman untuk pengelolaan ekstubasi trakea menggunakan
pendekatan sistematis.66 Pasien dengan obesitas dan OSA diklasifikasikan ke
dalam kategori ekstubasi "berisiko" terjadinya komplikasi mayor.

Penggunaan obat opioid-sparing intraoperatif seperti parasetamol, obat


antiinflamasi nonsteroid, penghambat COX-2, tramadol, pregabalin, dan
gabapentin dapat menurunkan kebutuhan opioid pasca operasi. Sedasi untuk
prosedur bedah dengan anestesi perawatan harus dipantau dengan kapnografi
untuk memastikan kecukupan ventilasi. Pasien yang menggunakan terapi PAP
untuk OSA di rumah dapat menggunakan perangkat PAP mereka selama operasi
dengan sedasi ringan sampai dengan sedang .67 Untuk prosedur yang
membutuhkan sedasi yang dalam, jalan nafas aman lebih disukai daripada yang
OSA diketahui Suspek OSA
tidak terlindungi.10 Berkenaan dengan OSA masa kanak-kanak dan indikasi untuk
polisomnografi sebelum
OSA berat (AHI >30), atau tonsilektomi, pedoman praktek klinis telah
Opioid parenteral paska
Tidak patuh dengan
dipublikasikan. 68-71 terapi PAP*, atau
Baru-baru ini, suatu kit alat keamanan
operasi, ataupasien yang dirancang
Komorbiditas signifikana, atau
khusus
Opioid untuk pasien
parenteral paskaOSA menjalani operasiKejadian
yangatau
operasi, ambulator pernapasan PACU
telah dipublikasikan.
berulango , atau
Kejadian pernapasan berulang PACUo
STOP-Bang > 5 elemen kunci dari
Ini adalah suatu pedoman satu halaman yang menggabungkan
seleksi pasien, manajemen intraoperatif, dan masalah pasca operasi.

No Ya Ya No

OSA sedang ( AHI > 16 s.d 30), Pertimbangkan Pertimbangkan


atau Pemulangan dari PACU untukPasien dengan
perawatan pada Sleep Apnea
pemulangan ke rumah
Membutuhkan opioid oral paska Obstruktif
suatu bed jika bedah minor dan
operasi (kodein > 120 mg tiap 4 tidak membutuhkan
monitoringY
jam atau ekuivalens) opioid oral dosis tinggi
dengan oksimetri
kontinyu dan/atau
terapi PAP paska
operasi*
No Ya

Pertimbangkan Pertimbangkan
pemulangan ke rumah perawatan paska
jika pembedahan minor operasi pada
bangsal bedah
oksimetri

Gambar 2 Manajemen pasca operasi dari pasien yang didiagnosis atau dicurigai OSA setelah
anestesi umum.

Catatan: Waktu dan lokasi pemulangan PACU pasca operasi untuk pasien yang didiagnosis atau
dicurigai OSA setelah anestesi umum. Pasien tersebut harus dipantau selama > 60 menit setelah
kriteria PACU biasa terpenuhi. * Terapi positive airway pressure (PAP), termasuk PAP
berkelanjutan, PAP bilevel, atau PAP yang menyesuaikan secara otomatis; Komorbiditas yang
nyata (misalnya, gagal jantung, aritmia, hipertensi yang tidak terkontrol, penyakit serebrovaskular,
sindrom metabolik, BMI > 35 kg / m 2); O kejadian pernapasan postanesthesia rekuren (PACU:
kemunculan berulang dari saturasi oksigen < 90 persen, atau bradypnea < 8 napas / menit, atau
apnea > 10 detik, atau ketidakcocokan sedasi-rasa sakit (skor nyeri dan sedasi yang tinggi secara
bersamaan); 75 S equianalgesic dosis opioid oral: kodein 120 mg setiap 4 jam, oxycodone 10 mg
setiap 4 jam, hydromorphone 4 mg setiap 4 jam; Y bed monitoring: lingkungan dengan oximetry
berkelanjutan dan kemungkinan intervensi medis dini (misalnya, unit perawatan intensif, unit
Anestesi regional
step-down, atau oksimeter denyut jarak jauh dengan telemetri di bangsal bedah). Singkatan:
Anestesipostanesthesia;
PACU, unit perawatan regional padaOSA,
pasiensleep
OSAapnea
memberikan keuntungan
obstruktif; yang
AHI, indeks pasti,
apnea-hypopnea;
PAP, tekanan
yang udara positif.
memungkinkan manipulasi minimal pada jalan napas, menghindari obat
anestesi dengan depresi kardiopulmoner, mengurangi kebutuhan opioid
perioperatif, dan mengurangi mual dan muntah pasca operasi. Tingkat kegagalan
blok berbanding lurus dengan BMI yang lebih tinggi. Namun, penggunaan
anestesi regional yang dipandu ultrasonik pada populasi obesitas telah
menunjukkan tingkat keberhasilan yang meningkat.73 Anastesi neuraksial yang
dipandu USG adalah pilihan yang layak untuk meningkatkan tingkat keberhasilan
anestesi spinal dan epidural pada pasien obesitas. Untuk operasi bahu, blok
interscalene pada pasien dengan OSA membutuhkan evaluasi yang cermat.
Blokade saraf frenikus dapat dikurangi dengan menggunakan ultrasonik, volume
kecil anestesi lokal, dan teknik kateter untuk titrasi dosis. Teknik terbaru dari blok
trunkus superior, versi improvisasi dari blok interscalene yang membantu untuk
menghindari blokade saraf frenikus, adalah pilihan yang layak untuk pasien OSA
yang memerlukan operasi bahu.74 Pasien dengan OSA yang menjalani prosedur
ambulator yang menyakitkan, seperti perbaikan bahu, kaki arthrodesis, perbaikan
ligamentum krusiatum anterior, dan bedah plastik rekonstruktif, mungkin berisiko
lebih tinggi dari terjadinya efek samping, oleh karena kebutuhan analgesik opioid
pasca operasi yang lebih tinggi.

Disposisi pasca operasi dan rawat inap yang tidak direncanakan setelah
menjalani operasi ambulator
Pasien yang terdiagnosisatau dicurigai OSA yang menerima anestesi
umum harus dilakokan monitoring diperpanjang selama tambahan 60 menit
setelah pasien tersebut memenuhi kriteria Aldrete yang dimodifikasi untuk
pengeluaran dari ruang operasi.32 Insiden kejadian pernapasan berulang di unit
perawatan postanesthesia (PACU) merupakan indikasi untuk dilakukannya
pemantauan pasca operasi berkelanjutan.75 Peristiwa pernapasan ini adalah
episode apnea > 10 detik, (Gambar 2) bradypnea <8 napas / menit,
ketidakseimbangan antara nyeri-sedasi, atau desaturasi O2 < 90%. Kejadian
berulang dari semua kejadian ini dianggap sebagai peristiwa pernafasan PACU
berulang. Pasien OSA dengan kejadian pernapasan berulang memiliki
peningkatan risiko komplikasi pernapasan pasca operasi.75,76 Pasien-pasien ini
mungkin memerlukan terapi PAP pasca operasi dengan pemantauan.67 Pusat bedah
ambulator yang menangani pasien OSA harus memiliki backup untuk mengelola
komplikasi pasca operasi yang terkait dengan OSA dan perjanjian dengan fasilitas
rawat inap yang sesuai. Ahli anestesi dan ahli bedah harus menyetujui pemberian
obat analgesik pasca operasi, dan pasien harus disarankan untuk menggunakan
scetaminophen, obat anti-inflamasi nonsteroid, dan inhibitor COX-2 daripada
opioid. Pasien harus diedukasi untuk tidur dalam posisi semi-upright (tegak) dan
untuk menjalankan perangkat PAP mereka ketika tidur, bahkan selama siang hari.

Pendekatan berbasis panduan PACU dijelaskan oleh Swart dkk untuk


membantu pengambilan keputusan paska operasi untuk pasien OSA. Panduan
tersebut membantu ahli anestesi untuk mempertimbangkan faktor-faktor yang
berhubungan dengan risiko komplikasi yang lebih tinggi pada pasien OSA, tindak
lanjut diagnostik, dan kemungkinan konsultasi obat-tidur.77 Sebuah penelitian baru
menunjukkan bahwa jika pasien OSA dikelola dengan protokol manajemen risiko
OSA, tidak ada peningkatan yang signifikan dalam komplikasi pasca operasi. 78
Pada periode pasca operasi, gangguan dalam arsitektur tidur yang terbesar pada
1,
malam pasca operasi , dan gangguan pernapasan selama tidur dialami tertinggi
pada malam pasca operasi 3.17 Peningkatan AHI pasca operasi secara positif terkait
dengan AHI preoperasi, jenis kelamin laki-laki, dan dosis opioid 72 jam. 79 Penting
untuk megedukasi ahli bedah, pasien, dan keluarga mereka mengenai perlunya
peningkatan kewaspadaan setelah pasien pulang ke rumah.

Kesimpulan
Pasien OSA adalah populasi khusus, dan manajemen anestesi mereka
merupakan hal yang menantang, oleh karena jalan napas yang sulit, kepekaan
terhadap anestesi umum, dan manajemen nyeri pasca operasi. Dalam beberapa
tahun terakhir, terdapat pemahaman yang lebih baik tentang efek anestesi pada
arsitektur tidur pasca operasi pada pasien OSA. Pemahaman ini membantu
pemilihan pasien yang lebih teliti untuk dilakukan operasi ambulator dengan
protokol khusus, dan mitigasi risiko sangat penting untuk menghindari
pembatalan dan komplikasi. Mengedukasi pasien dan tim pemberi pelayanan
kesehatan akan meningkatkan hasil perioperatif. Dengan skrining yang tepat dan
manajemen berbasis algoritma, sebagian besar prosedur bedah ambulator dapat
dilakukan dengan aman pada pasien dengan OSA.

Anda mungkin juga menyukai