Merawat Ingatan Filosofi Marantau Di Dalam Pantun Minangkabau
Merawat Ingatan Filosofi Marantau Di Dalam Pantun Minangkabau
e-mail: sasdayajournal.fib@ugm.ac.id
Gadjah Mada Journal of Humanities
ABSTRACT
Wandering for Minangkabaunese people is to go away from their
hometown to gain experience. After having successful, they have to
return to their hometown in order to develop it and lift the dignity of
their family and people. However, due to the current development, the
goals of wandering has changed. The goals are not to: 1) because of the
matrilineal system where men do not get inheritance property rights,
only the right of managing. 2) Continuing the success of previous
nomads and natural conditions. 3) Adding Life Experience (educational
factors) 4) Improving the economic and social status of families and
people, 5) marantau cino. All of these forms and reasons for wandering,
each of which has its own philosophy for the people of Minangkabau
which is conveyed through poems.
PENGANTAR
Karatau madang di hulu
Babuah babungo balun
Karantau bujang daulu
Dirumah paguno alun
Selaian itu, orang Minang pergi merantau adalah karena mencintai kampung
halaman. Dalam hal ini falsalah adat menyatakan,” Sayang dianak dilacuti, sayang
dikampuang ditinggakan”. Falsafah ini menganalogikan kalau sayang dengan anak,
maka ketika salah, mereka harus diingatkan agar kelak dia lebih baik, sementara
sayang dengan kampung ditinggalkan supaya suatu hari bisa memberikan yang
terbaik setelah kembali dari rantau, sebab jika tidak merantau, tentu sulit
membangun kampung halaman tempat mereka tumbuh menjadi dewasa. Aspek lain
dari merantau yang terekam dalam tradisi lisan (pantun) yang bertema “merantau”
adalah upaya masyarakat Minangkabau merawat dan mewariskan ingatan kultural-
nya sepanjang hayat. Dalam konteks itulah tulisan ini hadir dengan mengemukakan
sisi lain dari “misi” masyarakat mewariskan kebudayaannya melalui pantun. Dalam
ilmu antropologi, praktik seperti itu dinamakan dengan antropology terapan atau
dalam sastra disebut dengan sosio-linguistik.
menuntut ilmu atau mencari pengalaman, (5) biasanya dengan maksud kembali
pulang, dan (6) merantau ialah lembaga sosial yang membudaya. Apapaun alasan
tersebut akan dipaparkan pada uraian berikut.
artinya, ketika seorang pemuda pergi merantau, maka mereka terlebih dahulu harus
mencari seorang majikan yang dapat menjamin kehidupannya di rantau. Setelah itu
ia juga harus memiliki keluarga atau saudara yang dapat dijadikan tempat berbagi.
Dengan adanya saudara, induk semang, maka mereka dapat hidup lebih mudah di
perantauan, sama halnya ketika merek hidup di kampung. Seperti pada pantun
berikut.
Kok dagang lai batapatan
Kok biduak lai balabuhan
Kok karakok lai bajunjungan
Kok ayam lai bainduak
Melalui pantun tersebut dapat diketahui jika seorang ibu melepas anaknya
pergimerantau dengan tujuan “mambangkik batang tarandam” atau menaikkan harkat
dan martabat keluarga dan kaum,baik secara ekonomi maupun dengan sosial. Ketika
seorang ibu melepas dengan iklas, maka usaha si anak juga akan lancar dan mudah.
Begitu juga dengan si anak yang merantau, sesampainya di perantauan mereka juga
harus bekerja keras tetapi tetap mejaga norma-norma yang ada atau tidak
melampaui batas kesopanan atau kepatutan. Dengan bekerja keras, para perantau
akan sukses di perantauan (Navis, 1984). Kalau mareka malas, maka kehidupan
mereka berkemungkinan akan lebih susah ketimbang hidup di kampung. Seperti
pepatah berikut.
kurai taji pakan sinanyan
urang tuo bajaga lado
capek kaki ringan tangan
namun salero lapeh juo
capek kaki indak panaruang
ringan tangan indak pamacah
Selain kerja keras, mereka juga diharapkan lebih berhati-hati dalam bersikap.
Apapun yang akan dikerjakan, maka harus dipikirkan terlebih dahulu sebelum
bertindak. Kalau bajalan paliaro kaki, kalau mangecek paliaro lidah (kalau berjalan
pelihara kaki, kalau berbicara pelihara lidah). Setiap tindakan yang merekalakukan
haruslah difikirkan terlibih dahulu. Naum, pada masa sekarang, Salman (1971)
menyatakan bahwa pada masa sekarang telah terjadi perubahan dalam pola
merantau terutama di kalangan generasi muda yang pergi merantau tidak menjaga
dan memelihara diri ketika berada di tempat orang lain. Sehingga ada juga
ditemukan beberapa konflik yang melibatkan perantau Minang di daerah rantau.
Seharusnya Mereka tidak boleh gegabah dalam mengambil setiap keputusan. Jika
mereka melakukan kesalahan, berkemungkinan mereka akan diusir atau tidak
diterima oleh masyarakat tempat mereka tinggal. Seperti pantun berikut.
elok-elok manyubarang
jan sampai titian patah
elok-elok di rantau urang
jan sampai babuek salah
hati-hati menyebrang
jan sampai titian patang
pandai-pandai di rantau orang
jangan sampai berbuat salah
Sebagai orang Minang yang kaya dengan filosofi hidup merantau dan sudah
terbiasa hidup dengan segala adata istiadat yang berbeda maka mereka seharusnya
dapat hidup berdampingan dengan siapapun. Sebagai salah satu suku bangsa maka
orang Minang diharapkan turut serta dalam pelestarian tatanan kehidupan yang
harmonis antar suku bangsa dimanapun ia berada. Dalam hal ini yang paling
penting sekali dijaga adalah lisan, karena lisan inilah pangkal persoalan sehingga
muncul konflik. Seperti tersirat dalam pantun.
kok pandai bakato-kato,
bak santan jotangguli.
kok ndak pandai bakato-kato,
bak cando alu pacukia duri.
Selain itu, Falsafah adat mengajarkan “jalan nan ampek” yaitu tata cara untuk
menjaga keharmonisan pergaulan dalam masyarakat, baik dari yang muda kepada
yang tua atau dari yang tua kepada yang muda, ataupun sama besar, semuanya
telah diatur dalam adat Minangkabau seperti pepatah berikut
Nan tuo dimuliakan
Nan gadang dihormati
Samo gadang kawan baiyo
Nan ketek disayangi
kampung. Sebab tidak ada lagi yang mau dicari. Tidak ada lagi yang menanti
kepulangan mereka di jenjang rumah. Tidak ada lagi yang akan memasakkan
rendang untuk mereka yang pulang dari rantau. Hal ini umumnya terjadi pada laki-
laki atau perempuan Minang yang kawin dengan orang luar Minang seperti dengan
orang jawa, batak, bugis atau melayu. Mereka yang marantau cino pada hakikatnya
ingin kembali, bagi mereka masih ada kerinduan untuk pulang, namun apa dikata
yang akan dikunjungi sudah tidak ada. Seperti terlihat melalui pantun berikut.
Rang lubuak Aluang ka pasa Usang Orang Lubuk Alung ke Pasar Usang
Mambao ragi tapai jo lamang Membawa ragi, tapai, dan lemang
Manangih badan di rantau urang Menangis badan di rantau orang
Taragak badan nak pulang Rindu badan pengen pulang
Melalui pantun tersebut terlihat adanya pesan bahwa mereka yang merantau
ingin pulang ke kampung halaman. Masih ada kerinduan di hati mereka
untukberkumpul dengan keluarga yang mereka tinggalkan di kampung halaman.
Namun apa hendak dikata,kondisi mereka belum memungkinkan untukpulang.
Setelah ilmu di dapat dan harta diperoleh, dan usiapun telah semakin tua,
biasanya perantau Minang, batinnya berkehendak pulang ke kampung halaman dan
menghabiskan masa tuanya di lingkungan anak cucu dan kaum. keluarganya. Setiap
pribadi bahagia jika ia tua dan menutup mata dan pusaranya berada di kampung
halaman.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Idrus Hakimy. 2004. Pegangan Penghulu, Bundo Kanduang, dan Pidato Alua Pasambahan Adat di
Minangkabau. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Koto, Tsuyoshi. 2015. Adat Mianangkabau dan Marantau dalam Perspektif Sejarah. Bandung: Balai
Pustaka.
Moestamir, Makmoer. 2004. “Tanah Ulayat dan Peranannya dalam Membangun Ekonomi
Kerakyatan” Makalah.
Naim, Mochtar. 1984. Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta. Gadjah Mada
University press.
Navis, A.A. 1984. Alam Terkembang Jadi Guru. Jakarta: Grafiti Press.
Saydam, Gouzali. 2004. Kamus Lengkap Bahasa Minang. Padang: Pusat Pengkajian Islam dan
Minangkabau.
Salman, Ismah. 2004. Tinjauan Kritis Terhadap Matrilinieal di dalam Adat dan Budaya
Minangkabau. Bandung: Lubuk Agung.
Thamrin. 2007. Pandangan filosofis Terhadap Alam Takambang Jadi Guru. Bandung: Lubuk
Agung.