Anda di halaman 1dari 8

Sistem Matrilineal dan Merantau dalam Adat Minang

Oleh: Virzanira
Pendidikan Sejarah UNJ 2012

Etnis Minang merupakan salah satu etnis terbesar yang ada di Indonesia. Kemanapun
kita pergi pasti ada orang Minang disana. Misalnya, kita ambil contoh di Jakarta. Kita bisa
menemukan banyak orang Minang di tiap sudut ibukota dari pedagang, supir angkutan
umum, penjaga warung nasi, hingga guru dan masih banyak lagi. Bahkan terdapat guyonan
yang mengatakan ketika Neil Armstrong sampai di bulan-pun, ada warung nasi padang
disana!
Mengapa begitu? Sebenarnya hal ini sangat berkaitan dengan dua kebudayaan yang
sangat lekat pada suku Minangkabau yakni sistem matrilineal dan merantau. Asal-usul sistem
matrilineal dan merantau sampai saat ini masih tidak terlalu jelas dan hanya dapat dijawab
oleh cerita-cerita mitos. Sistem matrilineal dan merantau telah mengakar dalam kebudayaan
Minangkabau sejak lama dan kedua hal ini termasuk faktor dominan yang membentuk
masyarakat Sumatera Barat hingga sekarang.
Mengambil kutipan dalam suatu artikel di koran Kompas, Dalam tradisi
Minangkabau, merantau merupakan kewajiban bagi bujang (pemuda). Seorang laki-laki
dewasa dianggap belum berguna jika ia belum merantau dan belajar hidup di tanah orang.
Kalimat ini menunjukkan bahwa merantau merupakan suatu konsepsi umum, bahkan wajib,
yang berada di alam pikiran masyarakat Minangkabau.
Meski begitu, sistem matrilineal dan merantau mengalami perubahan dari waktu ke
waktu. Perubahan ini tentunya berhubungan dengan sejarah perkembangan masyarakat
Minangkabau di Sumatera Barat.
Sistem Matrilineal
Matrilineal.. Masyarakat Indonesia telah diberikan pengetahuan mengenai sistem
garis keturunan matrilineal dan patrilineal sejak duduk di Sekolah Dasar. Secara singkat,
sistem matrilineal diartikan sebagai susunan kekerabatan garis keturunan ditentukan
berdasarkan garis ibu (Ensiklopedia Indonesia, 1984: 2173). Namun apa sebenarnya sistem
matrilineal ini? Garis keturunan ibu yang seperti apa yang dimaksud?

Sistem matrilineal tidak hanya dikenal di Indonesia, tetapi juga di beberapa negara
lainnya seperti Cina atau Jepang. Meski begitu, satu-satunya masyarakat yang menganut
sistem ini di Indonesia adalah masyarakat Minangkabau. Diperkirakan sistem matrilineal di
berbagai tempat memiliki ciri khasnya sendiri, tergantung kepada sejarahnya. Masyarakat
Minangkabau sendiri terdiri dari berbagai suku yang berdomisili di daerah Sumatera Barat.
Bagaimanakah sistem matrilineal sendiri dalam adat Minangkabau? Seperti yang telah
disebutkan sebelumnya, sistem matrilineal ini masih tidak diketahui secara pasti kapan mulai
diterapkan di Sumatera Barat, namun pada saat masa pemerintahan Kerajaan Pagarruyung,
sistem ini sudah lama diterapkan di dataran-dataran tinggi, daerah pedalaman di Sumatera
Barat.
Hal-hal yang termasuk dalam sistem matrilineal dalam adat Minangkabau adalah
warisan harta pusaka dan marga atau suku yang dianut sang anak. Harta pusaka yang
dimaksud yakni rumah yang dikenal dengan sebutan Rumah Gadang perhiasan, baju adat,
dan sawah.
Merantau
Terkadang ada yang menyalahartikan merantau dengan migrasi. Merantau dianggap
sama saja dengan migrasi. Secara pragmatis, merantau dan migrasi memang hampir sama.
Namun sebenarnya terdapat perbedaan antara keduanya. Apakah perbedaan itu? Migrasi dari
segi sosial-ekonomi berarti perpindahan orang atau golongan bangsa secara besar-besaran
menuju daerah-daerah baru. Penyebabnya bermacam-macam, yakni karena kepadatan
penduduk, bencana alam dan perubahan ilmiah, tekanan ekonomi, politik, atau keagamaan
(Ensiklopedia Indonesia, 1984; 2241).
Dilihat dari definisi tersebut, hampir dapat dipastikan bahwa terdapat unsur paksaan
secara eksternal untuk mendorong terjadinya migrasi. Sedangkan ciri-ciri merantau (Naim,
1979; 3) adalah sebagai berikut:
1) Meninggalkan kampung halaman
2) Dengan kemauan sendiri
3) Untuk jangka waktu lama atau tidak
4) Dengan tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu, atau mencari pengalaman
5) Biasanya dengan maksud kembali pulang

6) Merantau ialah lembaga sosial yang membudaya


Maka dapat dilihat perbedaan-perbedaan mendasar antara merantau dan migrasi.
Lagipula, merantau tidak dilakukan secara bergerombol atau perkelompok. Meski begitu
pada akhirnya, setelah mengalami beberapa perubahan, merantau akan cenderung mengarah
kepada migrasi.
Rantau, secara bahasa berarti daerah pesisir. Kato mendefinisikan kata kerja rantau
yakni meninggalkan kampung halaman (Kato,2005: 4). Maka merantau berarti pergi ke
daerah rantau atau ke daerah pesisir, meninggalkan kampung halaman. Dalam bukunya,
Mochtar Naim juga menjelaskan perubahan makna merantau. Ia menjelaskan:
Di masa dahulu ketika tanah air orang Minangkabau masih terbatas kepada Luhak yang
Tiga, pergi ke pantai Timur atau pantai Barat sudah dipandang merantau[...] Tapi dewasa ini,
karena Sumatera Barat dari sudut politik dan budaya telah menjadi satu wilayah[...] mereka
jadi terbiasa menggunakan kata merantau hanya untuk bepergian ke luar Sumatera Barat.
(Naim, 1979; 3)

Mengapa terjadi perubahan? Sejarah perkembangan masyarakat pastinya sangat


berkaitan dengan hal ini, khususnya dalam aspek ekonomi. Daerah di Sumatera Barat terbagi
menjadi dua yakni daerah darek (darat) dan daerah rantau.
Daerah daratan merupakan daerah dataran tinggi di pedalaman. Sedangkan daerah
rantau merupakan daerah pesisir. Pembagian daerah secara geografis ini membantu kita
melihat perbedaan mata pencaharian antara kedua nya.
Daerah darat memfokuskan mata pencahariannya pada pertanian dan kerajinan. Ini
disebabkan oleh keadaan alam di dataran tinggi yang memiliki hamparan sawah yang luas.
Sebaliknya di daerah pantai yang masyarakatnya memiliki akses langsung ke lautan mata
pencaharian di dominasi dengan perdagangan. Perbedaan ini kemungkinan terlihat semakin
mencolok sejak masa Islam. Karena seperti yang kita tahu, perniagaan di Asia Tenggara
meningkat pesat pada masa perkembangan Islam.
Merantau memang merupakan kegiatan yang sudah dilakukan sejak zaman dahulu,
namun berdasarkan pernyataan sebelumnya, sangat mungkin bahwa kegiatan merantau baru
mulai benar-benar membudaya sejak masa Islam. Dalam hal ini, merantau yang dimaksud
adalah pergi ke daerah pesisir (masih di kawasan Sumatera Barat).

Tak dapat dipungkiri, pada awalnya, alasan dilakukannya merantau tidak dapat
terlepas dari alasan ekonomi. Namun bukan berarti aspek ekonomi hanya merupakan satusatunya alasan merntau.
Matrilineal dan Merantau; Suatu Korelasi
Salah satu adat yang berpangkal dari sistem matrilineal yakni Rumah Gadang hanya
boleh dihuni oleh anak perempuan. Ketika menginjak usia dewasa, anak laki-laki tidak lagi
tidur di Rumah Gadang melainkan di surau-surau. Apabila si anak lelaki sudah menikah,
maka ia akan tinggal di rumah istrinya.
Anak laki-laki yang tertua (Mamak) memang memiliki kewajiban untuk menjaga
harta pusaka, namun secara ekonomi, masyarakat Minangkabau tidak terlalu mengandalkan
laki-laki sebagai tulang punggung. Artinya, laki-laki tidak memiliki peran yang terlalu
penting dalam perekonomian keluarga. Seperti perkataan Kato, Selama tanah pusaka dapat
diperluas sesuai dengan perkembangan anggota-anggota paruik, si suami tetap tidak penting
bagi istri dan anak-anaknya, paling tidak dalam arti ekonomis. (Kato, 2005)
Disinilah korelasi antara sistem matrilineal dan merantau terlihat. Lekkerkerker
berpendapat bahwa penyakit merantau berhubungan erat dengan kedudukan laki-laki dalam
masyarakat Minangkabau (Kato, 2005; 113). Agar menjadi berguna, maka laki-laki wajib
pergi merantau dan belajar hidup di tanah orang. Terlebih lagi masyarakat Minangkabau,
sejak terjadinya Perang Paderi, menjunjung tinggi agama Islam. Secara agama, laki-laki
seharusnya memiliki peran penting.
Namun, perlu lah ditekan kan, bahwa merantau dan sistem matrilineal pada masa
legenda hingga awal abad ke-19 masih lebih berkembang di daerah dataran tinggi. Daerah
rantau atau pesisir, sebaliknya cenderung mengarah kepada sistem patrilineal. Daerah yang
disebut sebagai daerah Minangkabau asli adalah daerah darek. Hal ini berhubungan dengan
mitos yang menceritakan asal mula nenek moyang suku Minangkabau
Di kawasan pantai, wujud kebudayaan adat Minangkabau yang asli menjadi kabur,
karena pengaruh-pengaruh dari luar, atau sudah mengalami sedikit pemudaran karena jauh
terisolir dari daerah asalnya di pedalaman (Graves, 2007: 9). Dapat kita lihat bahwa
penerapan sistem matrilineal dan merantau juga bergantung kepada perbedaan kondisi
geografis tersebut.

Merantau dari Masa ke Masa


Dari segi waktu, aktivitas Merantau dibagi menjadi tiga macam (Kato, 2005; 13)
yakni:
1. Merantau untuk pemekaran nagari (sejak masa legenda hingga awal abad ke-19)
2. Merantau Keliling (sejak akhir abad ke-19 sampai 1930-an)
3. Merantau Cino (sejak 1950-an hingga sekarang)
Dilihat dari konteks waktunya, kita dapat membagi nya juga menjadi masa PraKolonial, masa Kolonial, dan Pasca-Kolonial.
Pada masa Pra-Kolonial, yakni dari masa legenda hingga awal abad ke-19, aktivitas
merantau masih terpusat pada daerah darek dan wilayah yang dituju masihlah daerah-daerah
pesisir, seperti Padang dan Pariaman. Aktivitas ekonomi di darek saat itu terbatas pada
pertanian, sedangkan di daerah pesisir yang mendominasi adalah perdagangan, khususnya di
masa Islam. Sesuai dengan sebutan Kato, tujuan merantau saat itu adalah untuk pemekaran
nagari. Dengan kata lain, kepentingan ekonomi.
Pemuda pergi merantau demi kehidupan ekonomi yang lebih baik. Ia pergi ke daerah
rantau untuk berdagang kemudian kembali ke nagari-nya untuk membangun nagari-nya
menjadi lebih baik dengan hasil kerja nya di daerah rantau.
Meski begitu, sejak kedatangan bangsa Eropa di Sumatera Barat, hal ini berubah
sedikit demi sedikit. Aspek-aspek kehidupan yang ingin diperbaiki oleh masyarakat
Minangkabau semakin meluas. Hal ini mengacu kepada ucapan Kato, Kecendrungan lakilaki Minangkabau untuk pergi merantau, dalam arti meninggalkan kampung halaman untuk
mencari kekayaan, ilmu pengetahuan, dan kemashuran, mulai diperhatikan pada permulaan
abad ke-20. (Kato, 2005; 113)
Graves menjelaskan bahwa pada awal masa kedatangan kolonial, pendidikan tidak
terlalu penting bagi masyarakat Minangkabau. Sejak dahulu mereka memang bersifat
cenderung pragmatis. Namun, pemerintahan Belanda mempekerjakan masyarakat Pribumi
dengan syarat pendidikan. Menjadi petani atau pedagang saja sudah tidak cukup lagi bagi
masyarakat. Maka pendidikan-pun menjadi penting bagi masyarakat Minangkabau.
Khususnya bagi penduduk di daerah darek, mereka harus pergi keluar dari kampung
nya untuk mencari pendidikan dan juga pekerjaan yang disediakan pemerintah Belanda. Merantau

tidak hanya memiliki arti ekonomis lagi, namun juga arti pendidikan dan prestise. Kedudukan
sosial seseorang tidak lagi hanya ditentukan dari garis keturunannya. Seseorang yang berhasil
mendapatkan pendidikan, kemudian bekerja dalam birokrasi Belanda pun memiliki
kesempatan untuk memperbaiki status sosialnya.
Keadaan ini berlangsung terus sampai kedatangan bangsa Jepang. Sejak kedatangan
Jepang, perekonomian semakin carut-marut. Hal ini mendorong semakin banyaknya kegiatan
merantau. Mulai saat inilah merantau agak cenderung mengarah kepada migrasi. Dilihat dari
cara perpindahannya, kedua hal ini tidak akan pernah sama, namun nilai-nilai merantau juga
semakin melebar. Terjadi perubahan-perubahan pasca-kolonialisme.
Orang yang merantau belum tentu berniat untuk kembali lagi ke kampungnya. Lakilaki pergi merantau untuk bekerja dengan membawa istri dan anak-anaknya. Orang-orang
yang mencari ilmu dan berkuliah telah terpikat dengan daerah rantaunya. Kampung halaman
hanya dikunjungi di saat-saat tertentu. Kampung halaman tidak menjanjikan apapun,
setidaknya secara ekonomi dan pendidikan. Hal ini lah yang terjadi pada rantau Cino.
Efek Merantau
Seperti semua hal dalam kehidupan, merantau juga membawa dampak, yang baik
maupun yang buruk. Dan dampak ini merembet hingga ke masa kini.
Alangkah baiknya agar kita membahas dampak baiknya terlebih dahulu. Dalam
membicarakan dampak dari merantau, maka kami akan memfokuskan kepada salah satu
nagari yang terkena dampak merantau dan terlihat srcara signifikan perubahannya, yakni
nagari Koto Gadang.
Koto Gadang terletak di seberang Ngarai Sianok dari Bukittinggi, ibukota Asisten
Residen Agam dan sekaligus ibukota Keresidenan Padangsche Bovenlandan Padang Darat
(Graves, 2007: 252). Dengan kata lain, Koto Gadang termasuk dalam daerah darek.
Sejak abad ke-18, banyak perantau-perantau dari nagari ini yang merupakan pengrajin
emas dan memperdagangkannya di daerah rantau. Namun bukan ini yang membuat nagari
Koto Gadang spesial. Yang membuat nagari ini istimewa adalah julukannya sebagai pencetak
generasi intelektual. Dua orang tokoh nasional yakni Haji Agus Salim dan Sutan Sjahrir.
Seorang jurnalis wanita pertama dari Indonesia, Rohana Kudus juga berasal dari nagari
tersebut.

Sejak tahun 1860, ketika pertama kali sekolah di dirikan di Bukittinggi, masyarakat
Koto Gadang termasuk nagari yang mengirimkan anak-anaknya bersekolah, padahal jarak
dari Koto Gadang ke Bukittinggi tidaklah dekat. Mereka harus berjalan beberapa mil dan
melewati ngarai terlebih dahulu untuk bersekolah. Jika terlalu jauh, maka murid-murid ini
harus tinggal dirumah sanaknya. Dampaknya mulai terlihat pada tahun 1900-an karena
banyak masyarakat Koto Gadang merantau ke kota dan bekerja dalam birokrasi Belanda.
Kegiatan merantau memiliki arti yang sangat penting di saat itu. Tanpa merantau,
penduduk-penduduk di daerah darek tidak akan bisa bersekolah. Mereka tidak akan
mendapatkan pengetahuan. Tanpa pengetahuan tidak akan ada kaum-kaum intelektual yang
seperti kita ketahui merupakan salah satu faktor pendorong lepasnya Indonesia dari
kolonialisme. Memang, tidak secara langsung semua masyarakat Minang berpengaruh dalam
kemerdekaan. Namun harus diakui bahwa hal ini penting.
Meskipun begitu, seperti yang telah disebutkan, kegiatan merantau juga memberikan
dampak buruk. Lagi-lagi kita ambil contoh nagari Koto Gadang. Koto Gadang pada masa
kini merupakan desa yang mati. Kejayaannya sudah tertinggal di masa lalu. Masyarakatnya
sudah berdomisili tetap di daerah-daerah rantau seperti Padang, Medan, Jakarta, dan
Bandung.
Hal ini sangat disayangkan, mengingat tujuan awal merantau untuk pemekaran nagari.
Pada masa kini merantau bisa dikatakan dilakukan untuk kepentingan pribadi saja.
Pemekaran nagari hanya di perhatikan orang-orang tertentu saja. Nagari Koto Gadang hanya
dikunjungi pada saat-saat tententu seperti hari raya Idul Fitri atau upacara-upacara adat.
Selebihnya desa menjadi tempat tinggal para pensiunan yang ingin menghabiskan masa tua
nya di kampung halaman.
Ini merupakan kemunduran. Tanpa disadari akan ada saatnya dimana nagari-nagari di
pedalaman yang memiliki sejarah maupun sumber daya ditinggalkan begitu saja. Padahal
mungkin nagari-nagari itu memiliki potensi. Mengutip perkataan Graves, Koto Gadang telah
mati sebagai korban dari kesuksesannya sendiri, sebuah perangkap ironis terhadap semangat
pencarian nenek moyang mereka yang mewarisi tradisi perantau yang berprofesi sebagai
tukan dan intelektual.. Masyarakat Minangkabau asli telah terlalu lama tenggelam dalam
euphoria merantau.

Daftar Pustaka
---. 1984. Ensiklopedia Indonesia. Jakarta: Gramedia
---. 2013. Rumah Gadang; Simbol Budaya Merantau. Kompas
Graves, Elizabeth. 2007. Asal-usul Elite Minangkabau Modern; Respons terhadap Kolonial
Belanda Abad XIX/XX. Jakarta: Obor
Kato, Tsuyoshi. 2005. Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah. Jakarta:
Balai Pustaka
Naim, Mochtar. 1979. Merantau; Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press

Anda mungkin juga menyukai