Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sebagian besar wilayah Asia Tenggara mendapat pengaruh yang kuat dari India. Namun,
tidak begitu dengan suku yang menempati wilayah Sulawesi Selatan ini. Suku yang dikenal sangat
piawai mengarungi lautan ini awalnya sangat menentang asimilasi budaya luar. Pengaruh India
hanya terdapat dalam tulisan lontara berdasarkan skrip Brahmi. Tulisan lontara ini dibawa ke
wilayah Sulawesi melalui jalur dagang oleh para pedagang dari India.
Dalam budaya suku bugis terdapat konsep ade atau adat dan konsep spritualitas. Konsep
adat menjadi tema utama dalam catatan-catatan mengenai hukum. Bahkan, terdapat dalam sejarah
orang Bugis.
Masyarakat tradisional suku Bugis mengacu kepada konsep pangadereng atau adat istiadat berupa
norma yang saling terkait satu sama lain.
Kehidupan sehari-hari masyarakat Bugis sangat memperhatikan adat istiadat, misalnya
memperhatikan hubungan harmonis antarsesama manusia. Hal-hal tersebut dapat dipraktikkan
dalam kehidupan sehari-hari, seperti mengucapkantabe yang artinya permisi.
Ucapan ini dilakukan dengan posisi badan membungkuk setengah badan.
Ucapan tabe' dilakukan saat lewat di depan sekelompok orang-orang yang lebih tua. Kemudian,
mengucapkan iye atau jawaban iya yang halus dan ramah. Selain itu, diajarkan pula untuk
menghargai orang yang lebih tua dan menyayangi orang yang lebih muda.
Masyarakat Bugis merupakan masyarakat yang sarat dengan prinsip dan nilai-nilai adat dan
ajaran agama di dalam menjalankan kehidupan mereka. Mereka yang mampu memegang teguh
prinsip-prinsip tersebut adalah cerminan dari seorang manusia Bugis yang dapat memberikan
keteladanan dan membawa norma dan aturan social.
Namun melihat perkembangan zaman yang semakin lama semakin maju,generasi muda
khususnya suku Bugis seakan akan melupakan adat istiadat dan kebudayaan yang telah
membesarkan nama mereka.
Melihat hal itu, maka penulis sebagai generasi asli suku Bugis merasa terpanggil untuk kembali
menghidupkan kebudayaan yang telah lama terabaikan dari pandangan masyarakat luas.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimanakah adat pernikahan di Wajo?
Ritual apa sajakah yang ada dalam pernikahan di Wajo?
1.3 Tujuan Penulisan
Page
1

Untuk mengetahui bagaimana adat pernikahan di Wajo


Untuk mengetahui ritual ritual yang ada pada prosesi pernikahan di Wajo

1.4 Manfaat Penulisan


Khusus
Dari pembuatan Karya Ilmiah Remaja ini, penulis dapat memperoleh pengetahuan yang
lebih luas dan mendalam tentang adat pernikahan yang ada di Wajo yang menjadi tanah kelahiran
penulis.
U mum
Dari pembuatan Karya Ilmiah Remaja ini, penulis berharap masyarakat yang tinggal di
daerah Wajo lebih menghargai kebudayaan mereka dengan mengetahui apa yang sebenarnya
menjadi adat istiadat di daerah yang telah membesarkan nama mereka.

BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Gambaran Umum Tanah Wajo
Kabupaten Wajo merupakan salah satu kabupaten di propinsi Sulawesi Selatan. Ibukotanya
Sengkang, sekitar 242 km dari kota Makassar (Ibukota Propinsi Sulawesi Selatan), dapat ditempuh
sekitar 4 jam dengan menggunakan mobil. Dari kota Parepare, pusat kawasan pengembangan
ekonomi terpadu di propinsi Sulawesi Selatan, sekitar 87 km.
Wajo yang luas wilayahnya 250.619 hektar, terbagi atas 14 kecamatan, 48 kelurahan dan 128 desa,
memiliki potensi sumber daya alam yang besar.
Karakteristik potensi alam Wajo, seperti diungkapkan oleh Arung Matoa Wajo, La
Tadampare Puang Ri Maggalatung (1491-1521) : mangkalungu ri bulu'E, massulappe
ripottanangngE ma matodang ritasi'E, ri tapparengngE. Artinya : daerah ini merupakan negeri yang
Page
2

subur dan nyaman. Ibarat seseorang yang tidur, maka ia berbantalkan gunung dan hutan, memeluk
lembah, dan kakinya menyentuh danau atau air laut.
Ungkapan cendikiawan Wajo di abad ke-15 itu memang bukan syair khayalan, namun
merupakan suatu kenyataan yang hingga kini menjadi potensi andalan Kabupaten Wajo. Hamparan
lahan persawahan yang ada di daerah ini sekitar 86.000 hektar. Baru sekitar 20 persen yang
terjangkau irigasi teknis. Jika areal persawahan ini rata-rata menghasilkan empat ton padi setiap
tahunnya, berarti Kabupaten Wajo menghasilkan 334.00 ton padi setiap tahun. Suatu jumlah yang
cukup fantastik.
Pada tanah berbukit yang berjejer mulai dari kecamatan Tempe ke Utara Kecamatan
Maniangpajo, Kecamatan Keera dan Pitumpanua, kini merupakan wilayah hutan tanaman industri,
perkebunan coklat, cengkeh, jambu mete serta pengembangan ternak. Secara keseluruhan potensi
perkebunan di Kabupaten Wajo seluas lebih 38.000 hektar, diantaranya telah dikelola sekitar 28.000
hektar. Setiap tahun telah menghasilkan produksi ratusan hingga ribuan ton berbagai jenis
komoditas ekspor seperti : cengkeh, kakao, dan kelapa hybrida.
Padang rumput/alang-alang seluas 34.000 hektar merupakan lahan pengembalaan ternak besar dan
kecil yang populasinya kini telah mencapai puluhan ribu ekor. Belum lagi ternak unggas berupa
ayam ras, itik, dan ayam buras yang populasinya sudah melebihi jutaan ekor.
Di pesisir pantai Timur terhampar lahan pertambakan sekitar 15.000 hektar. Masih sebagian kecil
yang dikelola secara teknis, tapi telah memproduksi puluhan ribu ton udang dan ikan bandeng
setiap tahunnya. Garis pantai Teluk Bone yang membentang sekitar 110 km, memiliki potensi ikan
laut yang tidak kecil. Termasuk budidaya rumput laut. Danau Tempe yang luasnya 13.000 hektar,
merupakan penghasil ikan air tawar terbesar di dunia.
Struktur perekonomian Kabupaten Wajo memang didominasi oleh sektor pertanian dengan
kontribusi lebih dari 45 persen. Menyusul sektor perdagangan, hotel dan restoran 19 persen, dan
sektor pertambangan penggalian 9 persen.
Pada tahun 1997 saat kondisi perekonomian nasional mulai mengalami krisis, pertumbuhan
ekonomi Kabupaten Wajo juga terkena dampak sehingga terpuruk menjadi minus 6,66 persen.
Namun setahun kemudian, terutama setelah penambangan gas bumi Gilireng mulai berproduksi,
pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Wajo kembali membaik dalam posisi pertumbuhan 6,06
persen. Kondisi itu bertahan hingga tahun 1999.
Pendapatan perkapita masyarakat Wajo pun telah berada pada posisi Rp. 3,5 juta pertahun. Bahkan
dalam musim haji tahun 2000 terjadi peningkatan jumlah calon haji asal Kabupaten Wajo lebih dari
100 persen. Tahun 1999 cuma 1.400 orang, pada musim haji tahun berikutnya 2.700 orang. Mereka
sebagian besar petani.
2.2 Jati Diri Anak Wajo
Page
3

Hampir tak ada negeri yang tidak didatangi orang Wajo. Sampai ke ujung duniapun asalkan
ada peluang bisnis dan iklim yang menjamin kebebasan berusaha. Orang Wajo akan datang.
Perumpamaan itu tak lain untuk menunjukkan betapa sifat kewiraswastaan (interpreneurship) telah
mendarah daging pada setiap pribadi orang Wajo.Sifat ini dituntun pesan leluhur : aja mumaelo
natunai sekke, naburuki labo (jangan terhina oleh sifat kikir dan hancur oleh sifat boros).
Berpegang pada Tellu Ampikalena To WajoE (tiga prinsip hidup), tau'E ri DewataE, siri'E ri
padatta rupatau, siri'E ri watakkale (ketaqwaan kepada Allah SWT, rasa malu pad orang lain dan
pada diri sendiri), orang Wajo memiliki etos kerja, resopa natinulu natemmangingngi, namalomo
naletei pammase Dewata Seuwae (hanya dengan kerja keras, rajin, dan ulet, mendapat keridhaan
Allah SWT)
Orang Wajo senantiasa mendambakan terciptanya iklim kebebasan berdasarkan prinsip,
Maradeka To WajoE, najajiang alaena maradeka, napoada adanna, napobbicara bicaranna, napogau
gaunna, ade assemmaturesennami napopuang (Orang Wajo dilahirkan merdeka, bebas berekspresi,
bebas bicara, dan menyatakan pendapat, bebas berbuat, hanya hukum berlandaskan
permusyawaratan yang dipertuan).

Berpenduduk 400.000 jiwa, Wajo memiliki potensi SDM yang handal. Apabila potensi ini
berhasil dipadukan dan diberdayakan, bisa dipastikan, masyarakat Wajo meraih kehidupan lebih
baik di hari esok. Penggalangan potensi akbar ini (termasuk orang Wajo yang berdiam di luar
daerah) bukan mustahil diwujudkan mengingat orang Wajo memiliki semangat riassiwajori yang
terkandung dalam prinsip kebersamaan, mali siparappe, rebba sipatokkong, malilu sipakainge
(hanyut saling menolong, jatuh saling membantu untuk tegak kembali, khilaf saling mengingatkan).
-nilai yang tak ternilai harganya itu patut dilestarikan dan dikembangkan. Atas prakarsa H.
Dachlan Maulana, SE, MS, Bupati Kepala Daerah Wajo periode 1993-1998 dicanangkan 'Gerakan
Sejuta Wajo', salah satu wujud pengamalan nilai-nilai ini. Pada masa bakti Drs. H. Naharuddin
Tinulu (Bupati Wajo 1999-2004), organisasi Kesatuan Masyarakat Wajo (KEMAWA) yang diketuai
Prof.Dr. H.A Husni Tanra, PhD, mendidirikan Yayasan Wajo Madani yang berkiprah pada
pengembangan SDM dengan mengamalkan semangat Riassiwajori.
Pelestarian dan nilai-nilai positif itu membutuhkan wahana yang menjadi sumber motivasi.
Momentumnya dipilih bertepatan peringatan Hari Jadi Wajo. Waktu yang tepat tersebut dikaitkan
dengan Hari Jadi Wajo, yang hari 'H'-nya belum pernah disepakati. Di sinilah letak pentingnya
upaya penelusuran sejarah keberadaan Wajo yang digagaskan oleh Dachlan Maulana. Penelusuran
sejarah Wajo didukung tokoh masyarakat dan budayawan.
Page
4

Pemerintah Kabupaten Wajo membentuk Panitia Seminar Penelurusan Hari Jadi Wajo per SK
Bupati Kepala Daerah Tingkat II Wajo No. Sos/562/XII/W/1994 tanggal 22 Desember 1994. Panitia
kemudian menyelenggarakan Seminar Penelusuran Hari Jadi Wajo, 23 Januari 1995 di Ruang
Kantor BKDH Tingkat II Wajo.
Dalam seminar terungkap kemajuan Wajo, terutama di bawah kepemimpinan Arung Matoa
(Presiden), yaitu
1. La Tadampare Puangrimaggalatung
2. Petta Latiringeng To Taba Arung Simettengpola
3. La Mungkace Toaddamang
4. La Sangkuru Patau
5. La Salewangeng To Tenriruwa
6. La Maddukelleng
7. La Pariusi To Maddualeng
Seminar menyimpulkan sejarah kelahiran Wajo dalam 6 (enam) versi, yaitu :
1. Puang Rilampulungeng
2. Puang Ritimpengeng
3. Cinnongtabi
4. Boli versi Kerajaan Cina
5. Masa ke-Batara-an
6. Masa ke-Arung Matoa-an
seminar sepakat untuk menetapkan momentum Hari Jadi Wajo pada masa pelantikan Batara
Wajo I La Tenri Bali, tahun 1399, dibawah sebuah pohon besar (Bajo). Tempat pelantikan Batara
Wajo I ini sampai sekarang masih ada, bernama Wajo Wajo di daerah Tosora Kecamatan
Majauleng.
Tanggal 29 Maret dipilih sebagai hari 'H' yakni peristiwa kemenangan pasukan Wajo
dibawah kepemimpinan La Maddukelleng di Lagosi terhadap pasukan Kompeni yang membantu
Bone. Perang tersebut merupakan simbol anti penjajahan. Keputusan seminar dikukuhkan melalui
Surat Keputusan DPRD Wajo No. 12/1995 tangal 7 Juli 1995.
Seminar hanyalah sebuaha kegiatan awal dari sebuah usaha besar Orang Wajo menemukan
jati dirinya. Pengembangan nilai-nilai itu diharapkan kelak bisa berhasil menjadi sumber motivasi
bagi orang Wajo untuk menemukan jati dirinya.

Page
5

BABIII
PEMBAHASAN
3.1 Adat Pernikahan di Wajo
Suku bugis yang mendiami daerah Wajo mayoritas beragama islam sehingga pernikahan
yang berlaku diatur oleh adat dan hukum islam. Oleh karena itu, pernikahan yang dianggap sah oleh
masyarakat Wajo adalah pernikahan yang sesuai dengan hukum pernikahan agama islam,
sedangkan tata cara pelaksanaannya harus berlandaskan pada adat yang berlaku, tapi tidak
menyalahi agama.
Pada zaman dahulu, terdapat bermacam-macam upacara adat dan peralatan yang digunakan
sehingga dilihat begitu banyak adat yang harus dilaksanakan. Namun dewasa ini, sudah banyak
upacara adat yang ditinggalkan dengan alasan menggunakan banyak biaya , tenaga, alat, serta
perlengkapan yang digunakan. Akhirnya banyak masyarakat yang meninggalkan adat tersebut
dengan alasan keefektivitasan dan keefisienan serta kemajuan teknologi dalam segala bidang.
Upacara pernikahan secara adat adalah segala kebiasaan segala kegiatan-kegiatan yang telah
disajikan dalam melaksanakan upacara pernikahan sesuai dengan kesepakatan bersama yang
dianggap lebih baik dalam suku Bugis. Upacara tersebut meliputi segala upacara yang terdapat pada
upacara sebelum dan sesudah akad nikah. Dan setiap upacara memiliki nilai, waktu, serta peralatan
yang khas dan memiliki arti tersendiri.
Masyarakat di Wajo, memiliki kebudayaan sebagai dasar dalam mengatur tata cara
kehidupan. Perbedaan yang prinsipil terdapat pada pelaksanaan setiap upacara pernikahan dari satu
daerah ke daerah lain. Misalnya upacara ipadduppai pada daerah Sidrap dan sekitarnya merupakan
salah satu upacara ajad nikah. Acara ini dijalankan oleh orang yang berpengalaman dalam
pelaksanaan pernikahan. Upacara ini tidak akan ditemukan di daerah Wajo dan sekitarnya karena
upacara ini adalah upacara khas masyarakat Sidrap.
Dan di daerah Wajo juga memiliki upacara / ritual khas, seperti acara Jai Kamma yaitu salah satu
upacara dimana sepasang mempelai dipakaikan satu sarung yang kemudian dijahit ujungnya.
Page
6

Ritual pernikahan bagi masyarakat Wajo dipandang sangat sakral, religius dan sangat
dihargai. Oleh lembaga adat yang telah lama ada mengaturnya dengan cermat.

3.2 Ritual Dalam Pernikahan di Wajo


Acara pernikahan di Wajo, dapat dikatakan berbeda dari acara pernikahan di daerah-daerah
lain. Bagaimana tidak, tata cara pernikahan di Wajo kaya akan tradisi dan adat istiadat yang sangat
kental dengan hal-hal yang masih sangat tradisional. Dalam pernikahan di Wajo, ritual yang
dilaksanakan terdiri dari beberapa rangkaian acara yang meliputi ritual sebelum akad nikah dan
ritual setelah akad nikah.
A. Ritual Sebelum Akad Nikah
Ritual Manre Lebbe
Manre Lebbe atau yang dalam bahasa Indonesia disebut Khatam Al-Quran adalah salah satu
ritual yang dilakukan pada saat malam Tudang Penni . Dalam ritual ini, di depan calon pengantin
diletakkan Sokko (panganan dari beras ketan) dan telur.
Kemudian calon pengantin melakukan prosesi Manre Lebbe. Dalam prosesi ini, calon pengantin
mengikuti lantunan ayat-ayat suci Al-Quran yang dilantunkan oleh guru mengaji calon pengantin
semasa kecil. Hal yang sedikit berbeda pada ritual ini yaitu pada saat mengaji, calon pengantin
menggunakan batang Kayu Manis untuk menunjuk lafads Al-Quran yang dibaca oleh sang guru.
Ritual Manre Lebbe ini, tidak terlalu umum bagi calon pengantin. Berbeda dengan
ritual Mappacci. Ritual Manre Lebbe ini hanya dilakukan bagi calon pengantin yang belum
melaksanakan ritual ini sebelumnya. Karena ritual Manre Lebbe ini bisa saja dilakukan di luar acara
pernikahan. Bahkan di Wajo, ritual Manre Lebbe dapat dirayakan secara menkhusus.
Dan pada saat ritual Manre Lebbe telah selesai dilaksanakan, maka acaratudang
penni dilanjutkan dengan ritual Mappacci .
Ritual Mappacci
Mappacci merupakan salah satu ritual adat Bugis yang dilakukan sebelum acara akad nikah
dilaksanakan keesokan harinya. Kalau diartikan ke bahasa Indonesia Mappacci itu artinya
membersihkan diri. Baik itu membersihkan diri secara jasmani maupun secara rohani. Sejarah
Mappacci dulunya dilaksanakan pertama kali oleh raja-raja Bone yang akan melangsungkan pesta
pernikahan untuk membersihkan diri dan melepas masa lajang mereka dan kini sudah menjadi adat
istiadat bagi masyarakat di Wajo. Bila kita mencari dasar hukum dari Mappacci di dalam Al-Quran
maupun Hadist tidak ada terdapat didalamnya sehingga Mappacci ini sifatnya bukan wajib juga
bukan sunnah. Jika bukan sesuatu yang wajib dan sunnah jadi mubah yah kayaknya tapi tidak
sampai bersifat haram. Adapun perlengkapan-perlengkapan yang disiapkan untuk
ritual Mappacci memiliki makna tersendiri

yang paling utama itu ketersediaan daun pacci


Page
7

yang akan digunakan nanti baik yang telah dihaluskan maupun yang masih dalam bentuk rantingranting kecil sebagai penghias. Perlengkapan lainnya seperti :
Tai bani, lilin yang disimbolkan sebagai penerang,
Beras yang telah di sangrai yang memiliki makna berkembang dengan baik,
Bantal yang memiliki simbol kehormatan,
Diatas bantal diletakkan sarung sutera yang dilipat segitiga dan berjumlah 7, kadang juga
sampai 11 lembar. Menurut kepercayaan bugis Bone angka sebelas merupakan angka
keberuntungan.
Di atas sarung diletakkan pucuk daun pisang sebagai simbol kehidupan. Tumbuhan pisang
merupakan tumbuhan yang selalu tumbuh dan berkembiang biak secara terus menerus.
Di atas pucuk daun pisang diletakkan pula daun nangka sebanyak 7 atau 9 lembar sebagai

simbol harapan.
Kelapa yang memliki makna serba guna. Kelapa merupakan tumbuhan yang setiap anggota

tumbuhan dapat dimanfaatkan.


Gula merah yang memiliki symbol harapan agar kelak pengantin dapat hidup harmonis
Dalam upacara Mappacci, tamu undangan yang biasanya melakukan pembersihan adalah
anggota keluarga terdekat calon pengantin dan tokoh masyarakat yang terkenal di daerah tempat
tinggal calon pengantin. Dan upacara Mappacci ini biasanya dilaksanakan pada malam hari, atau
yang lebih di kenal dengan istilah Malam Tudang Penni.
B. Prosesi Akad Nikah
Orang yang melakukan akad nikah adalah bapak atau wali calon mempelai wanita atau iman
kampung atau seseorang yang ditunjuk oleh Departemen Agama, seorang saksi dari pihak wanita
dan pria.
Pada saat acara akad nikah, calon mempelai laki-laki duduk dengan ibu jari. Sedangkan untuk
kalangan bangsawan, calon mempelai laki-laki duduk bersila di atas pangkuan Ambo Botting.
C. Ritual Setelah Akad Nikah
Ritual Mappasikarawa
Ritual Mappasikarawa dilakukan pada saat akad nikah telah selesai dilaksanakan.
Ritual Mappasikarawa sebagai sentuhan yang pertama bagi sang laki-laki kepada istrinya. Sentuhan
ini diharuskan menyentuh bagian tubuh istrinya, bagian yang harus disentuh yaitu :
*
Ubun-ubun, agar laki-laki tidak diperintah istrinya.
*
Bagian atas dada, agar kehidupan rumah tangga mereka kelak dapat diberkahi dengan rezky
yang banyak.
*
Jabat tangan atau ibu jari, artinya suami isri senangtiasa mengisi kekosongan satu sama lain.
Setelah upacara ini, pengantin laki-laki duduk di samping istrinya untuk mengikuti
acara Maloange Lipa. Keluarga dari pihak perempuan melilitkan kain Widang kepada pengantin
sehingga kedua pengantin berada dalam satu sarung, kemudian pinggiran sarung saling
dipertemukan lalu dijahit tiga kali dengan benang emas atau dalam bahasa Bugis dikenal dengan
Page
8

istilahGenggang atau benang biasa yang bagian ujungnya tidak disimpul layaknya benang yang
dipakai menjahit. Kemudian pengantin bersamaan berdiri dan melepas jahitan sarung tersebut.
Ritual ini bermakna agar kedua mempelai dapat hidup seia-sekata, bersatu padu melawan
segala rintangan yang akan menjumpai mereka di masa depan nantinya.
Upacara berikutnya adalah acara memohon maaf kepada kedua orang tua pengantin dan keluarga
dekat. Selesaii memohon maaf, pengantin kemudian diantar ke pelaminan untuk bersanding.

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pemaparan dari makalah di atas, maka penulis dapat
menyimpulkan :
Adat pernikahan di Wajo kaya akan tradisi dan adat istiadat yang sangat kental. Namun dari semua
tradisi yang ada, itu semua tidak lepas dari hukum dan ketentuan dalam ajaran agama islam.
Ritual pernikahan di Wajo terbagi atas beberapa tahap, yaitu ritual sebelum akad nikah dan
ritual setelah akad nikah.
Setiap daerah yang memiliki adat dan tradisi yang khas yang mencerminkan jati diri masingmasing daerah tersebut meskipun daerah tersebut berada dalam lingkup yang sama.
4.2 Saran
Berdasarkan hasil pemaparan yang ada di atas, penulis menyarankan :
Pemerintah setempat hendaknya lebih memperhatikan dan menjaga adat istiadat yang ada di daerah
Wajo.
Para generasi Wajo hendaknya lebih menggali dan menjunjung tinggi adat istiadat di Wajo
dengan cara melestarikan dan tidak meninggalkan upacara-upacara kedaerahan yang menjadi adat
di Wajo.
Page
9

Untuk perbaikan makalah selanjutnya, hendaknya penulis yang baru lebih memperluas
bidang pengkajiannya agar budaya asli kita tidak terkubur oleh perkembangan zaman yang semakin
lama semakin membuat generasi muda melupakan adat dan tradisi daerah yang telah membesarkan
mereka.

Page
10

Anda mungkin juga menyukai