Disusun oleh:
MULKI GEMPI MALINDO
NIM. 1304108010002
1
3.2 Data dan Alat ............................................................................................27
3.2.1 Data .......................................................................................................27
3.2.2 Alat ........................................................................................................27
3.3 Prosedur Penelitian ...................................................................................28
4.2 Curah Hujan ..............................................................................................33
2
3
BAB I
PENDAHULUAN
Kepulauan maritim Indonesia yang berada pada daerah tropis memiliki curah
hujan tahunan yang tinggi. Curah hujan yang tinggi di daerah tropis pada
umumnya dihasilkan dari proses konveksi dan pembentukan awan hujan panas.
Berdasarkan data dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika tahun 2017,
Sarolangun memiliki rata-rata Curah hujan tahunan yang tinggi yaitu mencapai
2500 mm per tahun dengan suhu rata-rata 26,2 0C per tahun. Kondisi curah hujan
yang tinggi ini sangat berdampak pada beberapa industry yang berada di
Sarolangun, terutama pada industri pertambangan. Industri pertambangan dengan
sistem tambang terbuka sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca karena aktivitas
penambangan berhubungan langsung dengan udara luar.
Curah hujan yang tinggi pada daerah tambang dapat menganggu aktifitas
penambangan yang kemudian akan berdampak pada tidak tercapainya target
produksi. Oleh karena itu diperlukan suatu penanganan atau pengendalian
terhadap air yang akan masuk pada area tambang. Pengendalian ini merupakan
aspek penting pada tambang terbuka terkait kondisi kerja, keselamatan pekerja
dan alat, produktifitas, dan lingkungan. Penyaliran tambang bertujuan untuk
mencegah masuknya air serta mengeluarkan air yang telah berada pada area
tambang. Penyaliran tambang dapat dikelompokkan menjadi dua system yaitu
mine dewatering dan mine drainage. System penyaliran tambang diterapkan
hampir pada semua perusahaan tambang yang menggunakan metode tambang
terbuka seperti pada PT. Caritas Energi Sarolangun menerapkan sistem mine
dewatering dan mine drainage. Penerapan sistem ini berupa pembuatan sump dan
paritan.
4
Sump sebagai tempat penampungan air sementara harus direncanakan dengan
sebaik mungkin, karena perencanaan yang kurang baik menyebabkan tidak
tertampungnya air secara keseluruhan di dalam sump. Perhitungan debit air total
akan mempengaruhi dimensi sump yang akan dirancang. Perencanaan dimensi
sump dilakukan dengan perhitungan, pengolahan data dan analisis data.
Rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
5
1.4 Manfaat Penelitian
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Gautama (1999) sistem penyaliran tambang adalah suatu usaha yang
diterapkan pada daerah penambangan untuk mencegah, mengeringkan, atau
mengeluarkan air yang masuk ke daerah penambangan. Upaya ini dilakukan agar
aktivitas penambangan dapat berjalan dengan lancar sehingga target produksi
dapat tercapai. Pada industri pertambangan, air menjadi suatu permasalahan
tersendiri. Keterdapatan air sering mengganggu proses penambangan.
Pengendalian air yang kurang baik mengakibatkan beberapa aktivitas
penambangan terhenti. Penyaliran tambang juga berfungsi untuk menjadikan area
penambangan menjadi lebih aman dan peralatan yang digunakan mempunyai
umur yang lama. Terdapat 2 metode dalam penyaliran tambang yaitu mine
dewatering dan mine drainage. Mine dewatering adalah suatu upaya untuk
mengeluarkan air dari dalam tambang dengan menggunakan pompa dan sumuran,
sedangkan mine drainage adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah
masuknya air ke dalam tambang (Gautama, 1999).
1. Sistem Paritan
7
Gambar 2.1 Sketsa Paritan
Sumber: Purwaningsih, D.A., Suhariyanto (2015)
3. Sistem Adit
Penyaliran dengan sistem adit cocok pada tambang open pit yang cukup
dalam, tetapi terdapat suatu lembah yang memungkinkan dibuatnya suatu
shaft.
8
Gambar 2.3 Sketsa Adit
Sumber: Pratama, H (2016)
2.2 Iklim
Air merupakan salah satu sumber daya alam yang banyak manfaatnya bagi
kebutuhan manusia. Air yang terdapat di alam ini dalam bentuk cair, tetapi dapat
berubah dalam bentuk padat/es, salju dan uap yang terkumpul di atmosfer. Air
juga tidak statis tetapi selalu mengalami perpindahan. Air menguap dari laut,
9
danau, sungai, tanah dan tumbuh-tumbuhan akibat panas matahari. Akibat proses
alam air yang dalam bentuk uap berubah menjadi hujan, kemudian sebagian
menyusup ke dalam tanah (infiltrasi), sebagian menguap (evaporasi) dan sebagian
lagi mengalir di atas permukaan tanah (run off). Air permukaan ini mengalir ke
dalam sungai, danau, kemudian mengalir ke laut, selanjutnya dari tempat itu
menguap lagi dan seterusnya berputar yang disebut siklus hidrologi (Soemarto,
1986).
10
2.4 Faktor yang Mempengaruhi Perencanaan Sump
Berdasarkan Masha, D.L. dan Mafaza, C.H. (2016) terdapat beberapa faktor
utama yang memengaruhi perencanaan sump yaitu:
Curah hujan (mm) adalah ketinggian air hujan yang jatuh pada tempat yang
datar dengan asumsi tidak menguap, tidak meresap dan tidak mengalir (Dedi M,
2014). Curah hujan 1 mm adalah air hujan 1 mm yang jatuh (tertampung) pada
tempat yang datar seluas 1 m2 dengan asumsi tidak ada yang menguap, mengalir,
dan meresap.
Pada dasarnya curah hujan dihasilkan dari gerakan massa udara lembab ke
atas. Agar terjadi gerakan ke atas, atmosfer harus dalam kondisi tidak stabil.
Kondisi tidak stabil terjadi jika udara yang naik lembab dan lapse rate udara
lingkungannya berada antara lapse rate adiabatik kering dan lapse rate adiabatik
jenuh.
Menurut Soemarto (1986) intensitas curah hujan adalah curah hujan jangka
pendek yang dinyatakan dalam intensitas per jam. Dalam perencanaan bangunan
air, hal pertama yang harus ditentukan adalah berapa debit yang harus
diperhitungkan. Jika tidak ada waktu untuk mengamati besarnya intensitas hujan
atau disebabkan karena ketiadaan alat, dapat ditempuh dengan cara empiris
dengan menggunakan berbagai rumus. Pada penelitian ini penulis menggunakan
Rumus Monobe yaitu:
2
R 24 3
I = 24
24 t ……...…………………………………………………………(2.1)
Keterangan:
I = Intensitas Curah Hujan (mm/jam)
R24 = Curah Hujan Maksimum Harian (mm/hari)
t = Lamanya Hujan (jam)
11
2.4.3 Periode Ulang Hujan
Sumuran Utama 10 – 25
Curah hujan rencana adalah curah hujan harian maksimum yang mungkin
terjadi dalam periode waktu tertentu misal 5 tahunan, 10 tahunan, dan seterusnya
(Adhyani NL, Basuki, dan Winarsih L, 2009). Metode analisis periode ulang
hujan maksimum dapat dilakukan dengan berbagai metode. Pada penelitian ini
penulis menggunakan Metode Gumbel. Tahapan perhitungan curah hujan rencana
yaitu:
X=
CH ……………………………………………………….(2.3)
n
12
Keterangan:
Keterangan:
Yn = Reduced mean
n = Banyak data
m = Urutan sample (1, 2,3 …)
4. Tentukan standard deviation
Xi - X
2
Sx =
n 1 ………………………………………………..(2.5)
Keterangan:
Sx = Standard deviation
Xi = Curah hujan periode ulang T tahun (mm)
X = Curah hujan rata-rata
n = Banyak data
5. Tentukan reduced standard deviation
Yn Yn
2
Sn = ………………………………………………(2.6)
n 1
Keterangan:
Sn = Reduced standard deviation
13
Keterangan:
Yt = Reduced variate
T = Periode ulang hujan
Pengolahan data selanjutnya adalah dengan menggunakan metode Gumbel
untuk mendapatkan curah hujan rencana yang didasarkan pada distribusi harga
ekstrim. Berikut merupakan persamaan Gumbel yaitu:
Xt = X +
Sx
Sn
Yt Yn …………………………………………...(2.8)
Keterangan:
Xt = Perkiraan nilai curah hujan rencana (mm/hari)
X = Curah hujan rata-rata (mm)
Sx = Simpangan baku (standard deviation)
Sn = Standard deviation dari reduced variate, nilainya
gguyguyguyguuyguyguytergantung dari jumlah data
Yt = Nilai reduced variate dari variabel yang diharapkan
sdsdvsdvsdvdsvdsvdsvvterjadi pada periode ulang tertentu
14
2.6 Perhitungan Debit
Salah satu data yang diperlukan dalam perencanaan sump adalah jumlah debit
air yang akan masuk ke dalam sump. Debit air adalah banyaknya air yang
mengalir per satuan waktu dan biasanya memakai satuan m3/s (Mulyono, D.,
2014). Besarnya debit air sama dengan luas penampang basah dikalikan dengan
kecepatan arus atau dapat juga dihitung volume per waktu (Soemarto, 1986).
Q = 0,278 x C x I x A ………………………………………………...(2.9)
Keterangan:
Q = Debit air limpasan maksimum (m3/detik)
C = Koefisien limpasan (Tabel 2.2)
I = Intensitas Curah Hujan (mm/jam)
A= Luas daerah tangkapan hujan (km2)
Menurut Hendratmoko (2006) dalam Masha, D.L. dan Mafaza, C.H. (2016),
dalam penentuan koefisien limpasan faktor-faktor yang harus diperhatikan adalah:
1. Kerapatan Vegetasi
Daerah dengan vegetasi rapat, akan memberikan nilai C yang kecil,
karena air hujan yang masuk tidak dapat langsung mengenai tanah,
melainkan akan tertahan oleh tumbuh-tumbuhan, sedangkan tanah yang
gundul akan memberikan nilai C yang besar.
15
2. Tata Guna Lahan
Lahan persawahan atau rawa-rawa akan memberikan nilai C yang
kecil dari pada daerah hutan atau perkebunan, karena pada daerah
persawahan misalnya padi, air hujan yang jatuh akan tertahan pada petak-
petak sawah sebelum akhirnya menjadi limpasan permukaan.
3. Kemiringan Tanah
Daerah dengan kemiringan yang kecil (< 3%) akan memberikan nilai
C yang kecil dari pada derah dengan kemiringan tanah yang sedang
sampai curam untuk keadaan yang sama.
Koefisien limpasan menurut Sosrodarsono (1985) dapat dilihat pada tabel di
bawah:
Perumahan 0,4
Perumahan 0,5
3% - 5% (Sedang)
Semak-semak agak jarang 0,6
Hutan 0,6
Perumahan 0,7
> 15% (Curam)
Semak-semak agak jarang 0,8
Air tanah adalah air yang menempati rongga-rongga dalam lapisan geologi
(Soemarto, C.D., 1986). Lapisan tanah yang terletak di bawah permukaan air
tanah dinamakan daerah jenuh (saturated zone), sedangkan daerah tidak jenuh
16
biasanya terletak di atas daerah jenuh sampai ke permukaan tanah, dimana
rongga-rongganya berisi air dan udara. Salah satu teori mengenai rembesan debit
air tanah adalah Hukum Darcy. Hukum Darcy merumuskan hubungan yang sangat
mendasar untuk mendefinisikan aliran fluida yang melewati aliran berpori. Pada
Hukum ini diasumsikan bahwa medium berpori telah tersaturasi dan fluida yang
digunakan adalah air.
Volume = ¼ π d2 x t………………………………………………….(2.10)
Keterangan:
π = 3,14 atau 22/7
D = Diameter alas tabung (m)
T = Tinggi tabung (m)
17
Volume = P x L x T …………………………………………………(2.11)
Keterangan:
P = Panjang (m)
L = Lebar (m)
T = Tinggi (m)
Air akan menguap dari tanah, baik tanah gundul atau yang tertutupi tanaman
atau pepohonan. Laju evaporasi atau penguapan akan berubah-ubah menurut
warna dan sifat pemantulan permukaan (albedo) dan hal ini juga akan berbeda
untuk permukaan yang akan tersinari oleh matahari dan yang terlindung dari sinar
matahari.
Di daerah beriklim sedang dan lembab, kehilangan air lewat evaporasi air
bebas dapat mencapai 60 cm per tahun dan kira-kira 45 cm per tahun lewat
evaporasi permukaan tanah. Di daerah beriklim kering seperti Irak dan Saudi
Arabia angka tersebut dapat menjadi 200 cm dan 100 cm. Perbedaan itu
disebabkan oleh karena tidak adanya curah hujan dalam waktu lama (Tyas M.W.,
Wirosoedarmo A.T.S.H.R. 2014).
1. Faktor-faktor Meteorologi
a. Radiasi Matahari
Pada setiap perubahan bentuk zat dari es menjadi air (pencairan),
dari zat cair menjadi gas (penguapan) dan dari es langsung menjadi
18
uap air (penyubliman) diperlukan panas laten. Panas laten untuk
penguapan berasal dari radiasi matahari dan tanah. Radiasi matahari
merupakan sumber utama panas dan mempengaruhi jumlah evaporasi
di atas permukaan bumi, yang tergantung letak pada garis lintang dan
musim.
b. Temperatur Udara dan Permukaan
Suhu udara pada permukaan evaporasi sangat berpengaruh
terhadap evaporasi. Semakin tinggi suhu semakin besar kemampuan
udara untuk menyerap uap air.
c. Kelembaban
Pada saat terjadi penguapan, tekanan udara pada lapisan udara
tepat di atas permukaan air lebih rendah dibandingkan tekanan pada
permukaan air. Perbedaan tekanan tersebut menyebabkan terjadinya
penguapan. Pada waktu penguapan terjadi, uap air bergabung dengan
udara di atas permukaan air, sehingga udara mengandung uap air.
d. Angin
Proses penguapan dapat berjalan terus jika lapisan udara yang
telah jenuh harus diganti dengan udara kering. Penggantian tersebut
dapat terjadi apabila ada angin.
e. Tekanan Barometer
Tekanan udara akan berbanding terbalik dengan ketinggian suatu
tempat sehingga semakin tinggi tempat dari permukaan laut semakin
rendah tekanan udarannya. Kondisi ini disebabkan semakin tinggi
tempat akan semakin berkurang udara yang menekannya.
2. Faktor-faktor Geografi
a. Kualitas air (warna, salinitas, dan lain-lain)
b. Jeluk (ruang/bentuk) tubuh air
c. Ukuran dan bentuk permukaan air
3. Faktor-faktor Lainnya
a. Kandungan lengas tanah
b. Karakteristik kapiler tanah
19
c. Jeluk (ruang/bentuk) muka air tanah
d. Warna tanah
e. Tipe, kerapatan, dan tingginya vegetasi
f. Ketersediaan air (hujan, irigasi, dan lain-lain)
Evaporasi dapat diukur menggunakan theodolit jika objek air dalam bentuk
besar dan dapat juga diukur menggunakan evaporimeter panic terbuka dan
evaporator vakum yang menggunakan air lebih sedikit.
20
1
V Sump = PL h h ……………………………………….(2.12)
3
Keterangan:
P = Panjang (m)
L = Lebar (m)
h = Kedalaman/tinggi (m)
Menurut Hendratmoko (2006) dalam Masha, D.L. dan Mafaza, C.H. (2016),
dimensi sump dengan bentuk trapesium berdasarkan basis trigonometri dengan
sudut sebesar 60˚. Persamaan dalam penentuan sisi sump adalah:
h b
60˚
Keterangan:
θ = tan 60˚ = 3 …………………………………………………….(2.13)
Dengan perhitungan:
1 1
θ= o
= = 0,578
= tan 60 3
e = θ h ………………………………………………………………(2.14)
h
sin 60˚=
b …………………………………………………………...(2.15)
21
1. Pemodelan Volume Area
Variasi dari kumulatif volume dari perkembangan penggalian front
penambangan dan perkiraan volume dari geometri pit.
2. Perkiraan Aliran Air
Aliran air yang masuk menyesuaikan dengan perkembangan pit dan
penurunan air tanah akibat penurunan ketebalan dari material bijih.
3. Perkiraan SWR (Spesific Water Removal)
Memperkirakan air yang masuk ke front penambangan untuk dapat
dihilangkan dengan memilih prilaku yang tepat untuk diterapkan sesuai
dengan medan tambang.
22
1. Rektifikasi
Rektifikasi merupakan transformasi data yang bertujuan memberikan
koordinat pada data sehingga data yang akan digunakan memiliki
koordinat geografis.
2. Digitasi
Digitasi secara umum dapat didefinisikan sebagai proses konversi data
analog ke dalam format digital seperti jalan, rumah, sawah dan lain-lain
yang sebelumnya dalam format raster pada sebuah citra satelit resolusi
tertinggi dapat diubah ke dalam format digital salah satunya melalui
digitasi onscreen atau digitasi di layar monitor.
3. Atribute Data
Mengidentifikasi data yang ada pada layer menggunakan tombol
identify attribute sehingga hasil yang diinginkan dari pencarian
menggunakan ArcGis dapat terdeteksi.
4. Memilih Features
Tertera hubungan antara attribute data dan grafik pada data frame,
hubungan dengan memilih data dari attribute data dan kemudian feature
geografis pada peta. Pada feature ini dapat dipilih informasi yang
dibutuhkan seperti luas, jarak, ketinggian, dan batas daerah.
2.10 pH Air
Air merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki fungsi sangat
penting bagi kehidupan dan perikehidupan manusia, serta untuk memajukan
kesejahteraan umum, sehingga merupakan modal dasar dan faktor utama
pembangunan (Kementrian Negara Lingkungan Hidup, 2010). Air merupakan
salah satu senyawa kimia yang terdapat di alam secara berlimpah akan tetapi
kesediaan air yang memenuhi syarat bagi keperluan manusia relatif sedikit karena
dibatasi oleh berbagai faktor (Effendi, 2003). Air dimanfaatkan oleh semua
mahkluk hidup yang ada di bumi, kuantitas air relatif tetap namun kualitas air
semakin hari semakin menurun. Penurunan kualitas air ini dapat disebabkan oleh
23
faktor industri dan domestik. Perlu dilakukannya suatu pengamatan terhadap
kualitas air pada suatu sistem air berdasarkan pemanfaatannya.
Tabel 2.3 Parameter Kimia dalam Standar Baku mutu Kesehatan Lingkungan
untuk Media Air Pemandian Umum
Standar Baku Mutu
No. Parameter Unit Kadar Minimum atau Keterangan
Kisaran
1 pH 5–9
Pada penelitian ini hanya melakukan pengamatan kualitas air secara umum
menggunakan parameter derajat keasaman (pH) karena tujuan utama penelitian ini
adalah merancang dimensi sump. Selain itu derajat keasaman menggambarkan
sifat fisik dan biologi air. Jika nilai derajat keasaman (pH) berubah maka akan
mempengaruhi sifat fisik air tersebut berupa perubahan warna, rasa, dan bau.
Perubahan pH juga dipengaruhi oleh parameter biologi berupa dekomposisi
mikroorganisme atau bahan organik di perairan. Nilai pH juga dapat
menggambarkan senyawa yang terkandung di dalam badan air dan dapat mewakili
nilai oksigen terlarut (DO) karena derajat keasaman memiliki hubungan dengan
oksigen terlarut (DO) dalam air. Apabila nilai pH rendah (cenderung asam) maka
kadar oksigen terlarut dalam air juga rendah sehingga nilai pH yang baik
24
menggambarkan nilai oksigen terlarut (DO) yang baik juga. Salah satu penyebab
rendahnya nilai oksigen terlarut (DO) dan pH pada air adalah karena peningkatan
gas CO2. Berdasarkan uraian di atas penulis memilih parameter derajat keasaman
(pH) untuk menguji kualitas air yang dialirkan dari sump Quarry limestone
menuju ke laut karena dapat menggambarkan atau mewakili nilai parameter fisik,
biologi, dan oksigen terlarut.
Derajat keasaman adalah gambaran jumlah atau aktivitas ion hidrogen dalam
perairan. Nilai pH menggambarkan seberapa besar tingkat keasaman atau
kebasaan suatu perairan. Perairan dengan nilai pH = 7 adalah netral, pH < 7
dikatakan kondisi perairan bersifat asam, sedangkan pH > 7 dikatakan kondisi
perairan bersifat basa ( Effendi, 2003). pH digunakan pada penentuan alkalinitas,
CO2, serta dalam kesetimbangan asam basa. Perubahan pH air dapat
mempengaruhi berubahnya bau, warna, dan rasa (Ikhsan M., 2013). Mahida
(1986) menyatakan bahwa limbah buangan indsutri dan rumah tangga dapat
mempengaruhi nilai pH perairan karena adanya karbonat, bikarbonat, dan
hidroksida akan menaikkan kebasaan air, sementara adanya asam-asam mineral
bebas dan asam karbonat menaikkan keasaman suatu perairan.
25
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Kegiatan penelitian tugas akhir ini dilakukan dalam jangka waktu April
sampai dengan Juni 2018. Setelah penelitian selesai dilakukan dilanjutkan dengan
26
penyusunan laporan tugas akhir. Berikut tabel jadwal kegiatan penelitian tugas
akhir:
1. Studi Literatur
2. Observasi Lapangan
3. Pengambilan Data
4. Pengolahan Data
5. Analisis Data
6. Penyusunan Laporan
3.2.1 Data
3.2.2 Alat
27
3.3 Prosedur Penelitian
1. Data Primer
Data primer merupakan data yang diukur langsung di lapangan. Data
tersebut adalah data lokasi desain sump, pengukuran elevasi dan kenaikan
air tanah, serta uji pH air. Data primer membantu dalam penentuan luas
catchment area, pengaruh air tanah terhadap sump, debit air tanah yang
akan masuk ke dalam sump dan kualitas air.
2. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari arsip PT. Caritas
Energi Sarolangun, PT. Karya Bumi Baratama dan Stasiun Klimatologi
Muaro Jambi. Data yang diperoleh dari PT. Caritas Energi Sarolangun
adalah peta topografi. Data yang diperoleh dari PT. Karya Bumi Baratama
adalah data curah hujan dan data hari hujan. Data yang diperoleh dari
Stasiun Klimatologi Muaro Jambi adalah data laju evaporasi. Data
sekunder ini berpengaruh dalam perhitungan debit air total yang akan
tertampung di dalam sump yang kemudian akan berpengaruh terhadap
dimensi sump yang akan dirancang.
Data primer dan data sekunder yang telah didapat selanjutnya diolah
berdasarkan studi pustaka sehingga menghasilkan debit air yang ada di lokasi
penambangan. Data sekunder diolah untuk mendapatkan nilai curah hujan rencana
dan intensitas curah hujan. Pengolahan data ini dilakukan menggunakan perangkat
lunak Microsoft Excel dengan menerapkan ilmu statistik. Hasil perhitungan akan
28
mendapatkan nilai catchment area dan kemudian didapat volume air yang akan
tertampung di dalam sump. Volume air yang tertampung ini menjadi landasan
terhadap dimensi sump yang akan dirancang. Perancangan dimensi sump
dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Maptek Vulcan. Penentuan
lokasi rencana pembuatan sump dilakukan dengan mengamati titik paling rendah
pada pit b sehingga air dapat mengalir ke dalam sump tanpa perlu pemompaan.
Tidak adanya pemompaan untuk memasukkan air ke dalam sump tentu akan lebih
ekonomis karena perusahaan tidak perlu mengeluarkan uang untuk instalasi
pompa. Sump yang akan dibuat direncanakan berbentuk trapesium karena bentuk
trapesium memiliki kapasitas yang besar, proses pembuatannya cepat, tidak
mudah mengalami erosi, serta perawatannya mudah.
29
Mulai
Pengambilan Data
Selesai
30
BAB IV
Kondisi iklim di daerah penyelidikan memiliki iklim tropis yang terdiri dari
dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan biasanya terjadi
0
pada bulan Juli sampai Desember dengan temperatur rata-rata 26,90 C.
Sedangkan musim kemarau biasanya terjadi pada bulan Januari sampai Juni
dengan temperatur rata-rata 29,80 0C.
Sedangakan jumlah hari hujan rata-rata 140-270 hari/tahun. Bulan-bulan yang
paling sedikit hari hujan adalah bulan Juni, Juli dan Agustus, sedangkan yang
paling banyak curah hujannya yaitu pada bulan Oktober, November, Desember
dan Januari dengan distribusi curah hujan cukup merata. Namun akibat
pemanasan global yang terjadi saat ini, pembagian musim tersebut tidak tepat dan
cenderung bergeser.
Secara khusus daerah di sekitaran Sarolangun dikategorikan dalam iklim
oldmen yang termasuk iklim tipe D dengan jumlah bulan basah berturut-turut 3-4
Bulan.
Secara topografi Sarolangun terletak pada ketinggian 20 sampai dengan
1.950 m dari permukaan laut (dpl). Jumlah dataran rendah Kabupaten Sarolangun
seluas 5.248 km2 (85%) dan dataran tinggi : 962 km2 (15%) didominasi oleh
bentuk wilayah berombak (23,49%), datar (23,32%) kemudian diikuti oleh bentuk
wilayah bergelombang yang mencapai 18,29% dari luas keseluruhan. Bentuk
wilayah berbukit mencapai 11,90% berbukit kecil sekitar 6,62% dan cekung
sekitar 5% sisanya 11,38% merupakan daerah dengan bentuk wilayah bergunung.
Secara geologi bahan induk tanah Sarolangun berdasarkan umur
dikelompokkan menjadi 3 (tiga) area, yaitu: Batuan Pra-Tersier, Tersier dan
Kuarter (BAPPEDA Sarolangun, 2017).
31
4.1.2 Pengamatan Sump
Sump yang terdapat pada pit B berbentuk Selinder dengan kedalaman 0.5
meter. Sump ini difungsikan agar dapat menampung air yang masuk ke area
tambang agar aktivitas penambangan berjalan lancar. Berdasarkan data curah
hujan tahun 2012-2017, curah hujan disekitar sarolangun cukup tinggi sehingga
dibutuhkan sump yang mampu menangani air yang masuk ke area tambang
44 meter
2 meter
32
Berdasarkan dimensi sump yang telah disebutkan di atas, maka volume air
yang dapat tertampung di dalam sump adalah sebesar 3039.52 m3. Berdasarkan
foto kondisi aktual di atas terlihat bahwa sump telah tertutupi air sepenuhnya dan
bahkan air telah mengenangi daerah sekitar sump karena air yang masuk melebihi
kapasitas sump tersebut. Namun foto kondisi aktual tersebut tidak dapat dijadikan
referensi akurat mengenai kemampuan sump dalam menampung air yang masuk
ke dalam tambang. Pada penelitian ini akan dilakukan perhitungan mengenai
jumlah atau debit air total yang akan masuk ke dalam tambang sehingga akan
lebih jelas apakah sump yang telah ada di pit b dapat menampung air yang masuk
ke dalam tambang atau tidak.
Data curah hujan pada penelitian ini didapat dari PT. Karya Bumi Baratama
pada periode 2012 - 2017. Data curah hujan bersifat data kuantitatif pada
pengukuran yang dilakukan di kawasan PT. Caritas Energi Sarolangun. Data
curah hujan yang dibutuhkan pada perencanaan sump ini adalah data curah hujan
(mm) dan data hari hujan (hari).
Keterangan:
CH : Curah Hujan
HH : Hari Hujan
33
Grafik Curah Hujan
1400
1200
1000
2013
800 2014
2015
600
2016
400 2017
200
0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nov Des
18
16
14
2013
12
2014
10
2015
8 2016
6 2017
4
0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nov Des
34
Gambar 4.4 Grafik Hari Hujan Periode 2013 – 2017
Data curah hujan dan hari hujan merupakan data utama yang dibutuhkan
dalam perencanaan sump. Data ini kemudian diolah menggunakan ilmu statistik
dan menggunakan rumus Monobe.
Langkah pertama adalah mengubah data curah hujan bulanan menjadi curah
hujan harian menggunakan rumus rata-rata sebagai berikut:
Data curah hujan per bulan diubah menjadi data curah hujan per hari karena
pada rumus berikutnya menggunakan nilai curah hujan per hari. Setelah informasi
curah hujan per hari diperoleh akan ditentukan nilai maksimum curah hujan tiap
tahun. Berikut hasil perhitungan data curah hujan per hari dan nilai maksimum
tiap tahunnya:
35
Data curah hujan per hari yang didapat dari perhitungan rata-rata di atas akan
diurutkan nilai maksimum tiap tahunnya dari yang paling besar hingga yang
paling kecil.
Menentukan nilai reduced mean berdasarkan banyaknya data dan urutan data
tersebut. Berikut hasil perhitungan reduced mean:
36
Tabel 4.6 Hasil Perhitungan Reduced Mean
x
n Tahun m Yn
(mm/hari)
1 2013
2 2014
3 2015
4 2016
5 2017
37
Data curah hujan yang didapat digunakan dalam penentuan curah hujan
rencana (Xt) selama 10 tahun yang akan datang dengan kelipatan 2 tahun yaitu 2
tahun, 4 tahun, 6 tahun, 8 tahun, dan 10 tahun. Dalam penentuan curah hujan
rencana terdapat beberapa parameter statistik yang telah ditampilkan diatas.
Parameter statistiknya adalah reduced mean (Yn), standard deviation (Sx),
reduced standard deviation (Sn), dan reduced variate (Yt). Berikut hasil
perhitungan curah hujan rencana (Xt):
Penentuan intensitas curah hujan ini dipengaruhi oleh nilai curah hujan
rencana dengan periode ulang hujan sampai 10 tahun dengan kelipatan 2 tahun.
Durasi hujan 1 – 5 jam dengan periode ulang hujan 10 tahun hingga didapat hasil
maksimum untuk perencanaan sump. Berikut hasil perhitungan intensitas curah
hujan:
38
Tabel 4.12 Hasil Perhitungan Intensitas Curah Hujan
Intensitas Curah Hujan (mm/jam)
Durasi Jam
(Jam) 2 4 6 8
10 Tahun
Tahun Tahun Tahun Tahun
1
2
3
4
5
39
PERHITUNGAN
Data curah hujan yang didapat adalah data curah hujan per bulan dan hari
hujan sehingga perlu menghitung rata-rata curah hujan yang terjadi per harinya
karena pada curah hujan rencana satuannya adalah mm per satuan waktu hari.
X=
CH
n
40
B.4 Perhitungan Dimensi Sump
Dokumentasi
41
Paritan (Settling pound) PT. Caritas Energi Indonesia
42