Anda di halaman 1dari 11

JURNAL KEDOKTERAN YARSI 28 (2): 021-031 (2020)

Laporan Kasus TB paru koinfeksi HIV/AIDS

Case Report of Pulmonary TB with HIV/AIDS


Coinfection

Ibnu Arief Dafitri, Irvan Medison, Dessy


Mizarti
Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi, Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas/RSUP DR. M. Djamil
Padang, Indonesia

KATA KUNCI Tuberkulosis, HIV/AIDS, koinfeksi


KEYWORDS Tuberculosis, HIV/AIDS, coinfection

ABSTRAK TB paru merupakan penyakit infeksi yang sering dijumpai di


Indonesia. TB paru masih menjadi permasalahan kesehatan di
dunia, dengan harapan di tahun 2030 kasus TB paru dapat
dieradikasi secara tuntas. Bersamaan dengan kasus TB paru
yang belum tuntas, infeksi HIV/AIDS masih cukup tinggi di
negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Infeksi
HIV/AIDS dapat memperberat kondisi klinis pasien TB paru
itu sendiri. Mendiagnosis kasus TB paru pada pasien dengan
HIV/AIDS pada prinsipnya tidak berbeda dengan kasus TB
paru tanpa konfeksi HIV/AIDS. Pemeriksaan standar pada
kasus TB paru berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi berupa
pemeriksaan sputum BTA dan tes cepat molekular untuk
mengetahui adanya kuman yang telah resisten terhadap obat
rifampisin. Pemeriksaan radiologi tetap diperlukan untuk
membantu diagnosis TB paru, terutama pada pasien–pasien
yang sukar mengeluarkan sputumnya. Pemeriksaan radiologi
juga bermanfaat untuk melihat luasnya lesi paru yang
diakibatkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis dan
penyakit oportunistik lain yang menyerang paru penderita
dengan konfeksi HIV/AIDS. Pemberian obat Anti Retro Viral
(ARV) pada kasus ini sebaiknya dimulai dalam waktu 2
minggu setelah pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT).

ABSTRACT Pulmonary TB is an infectious disease that occurring frequently


in Indonesia. It is still being a health problem in the world, with
expectation in 2030 it will be eradicated completely. Along with
unresolved pulmonary TB cases, HIV/AIDS infection is still
quite high in developing countries including in Indonesia.
HIV/AIDS infection able to deteriorate clinical condition of
pulmonary TB patients themselves. There is no difference in

21
LAPORAN KASUS TB PARU KOINFEKSI HIV/AIDS

diagnosis pulmonary TB patients with/without HIV/AIDS


coinfection. Standard examination of pulmonary TB based on
microbiological examination such as sputum smear for acid fast
bacilli and rapid molecular tests to detect the presence of germs
that have been resistant to rifampicin drugs. Radiological
examination is still being required to assist pulmonary TB
diagnosis, especially in patients who have difficulty in expelling
sputum. Radiological examination is also useful to witness lung
lesion extension caused by the bacteria Mycobacterium
tuberculosis and other opportunistic lung diseases that attack
the lungs of patients with HIV/AIDS coinfection. Anti
Retroviral (ARV) therapy in this case should be initiated within
2 weeks after the onset of Anti Tuberculosis treatment.

PENDAHULUAN telah diterapkan oleh banyak negara


sejak tahun 1995 (WHO, 2015).
Tuberkulosis (TB) merupakan Meskipun strategi tersebut terbukti
permasalahan kesehatan yang masih cukup efektif dalam pengendalian TB,
menjadi perhatian dunia saat ini. Salah namun beban penyakit TB di
satu target yang ingin dicapai dalam masyarakat masih cukup besar (Budi
pelaksanaan Sustainable Development dkk, 2018). HIV (Human
Goals (SDGs) 2030 adalah mengakhiri Immunodeficiency Virus)/AIDS (Acquired
epidemi TB secara global (WHO, 2016) Immuno-deficiency Syndrome) merupakan
Sejak tahun 1993 World Health permasalahan kesehatan lainnya yang
Organization (WHO) telah juga mengancam Indonesia dan seluruh
mencanangkan TB sebagai kedaruratan negara di dunia. Seiring dengan
dunia (global emergency) (Kemkes RI, perkembangan epidemi HIV/AIDS
2014). Jumlah kasus baru TB di diperkirakan jumlah penderita
Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada HIV/AIDS juga meningkat. Di
tahun 2017. Berdasarkan jenis kelamin, Indonesia, estimasi jumlah orang
jumlah kasus baru TB tahun 2017 pada dengan HIV/AIDS (ODHA) pada tahun
laki-laki 1,4 kali lebih besar 2015 sebanyak 735.256 orang. Infeksi
dibandingkan pada perempuan. Hal ini HIV/AIDS ini dapat ditularkan melalui
terjadi kemungkinan karena laki-laki hubungan seksual yang tidak aman,
lebih terpapar faktor risiko TB misalnya penggunaan Napza suntik (penasun),
merokok dan ketidakpatuhan dalam produk darah, maupun penularan dari
minum obat. Hasil survei menemukan ibu ke anak (perinatal) (Kemkes RI,
bahwa dari seluruh partisipan laki-laki 2014). Koinfeksi TB dan HIV merupakan
yang merokok sebanyak 68,5% dan kombinasi penyakit yang mematikan.
hanya 3,7% partisipan perempuan yang
merokok (Kemkes RI, 2018). Berbagai
upaya pengendalian telah dilakukan Correspondence:
Ibnu Arief Dafitri, Departemen Pulmonologi dan
untuk menurunkan insiden dan Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas
kematian akibat TB. Strategi DOTS Andalas
(Directly Observed Treatment Short-course) Email: ibnu.arief@gmail.com

22
IBNU ARIEF DAFITRI, IRVAN MEDISON, DESSY MIZARTI

Seseorang yang terinfeksi HIV Defisiensi Akuista,dengan faktor risiko


akan menderita infeksi oportunistik (IO) seks yang tidak sehat. Pasien sudah
selama perjalanan alamiah penyakit. TB pernah mendapatkan OAT kategori I
adalah salah satu infeksi oportunistik selama seminggu namun dihentikan
yang sering ditemukan pada kasus sendiri oleh pasien dikarenakan ingin
infeksi HIV dan mungkin mendahului berobat alternatif. Pada kunjungan
terjadinya perkembangan AIDS, tapi berikutnya ke spesialis paru, pasien
seringnya keduanya terdiagnosis secara mendapatkan OAT kategori I
bersamaan. Di seluruh dunia terdapat berdfasarkan hasil pemeriksaan BTA
350.000 kematian akibat HIV dengan TB sputum. Pasien dirawat di RS Ibnu Sina
pada tahun 2000. Hal ini dapat Padang selama 5 hari, kemudian dikirim
disebabkan oleh keterlambatan ke RSUP M.Djamil untuk penelusuran
diagnosis dan pengobatan TB (Kemkes dan tatalaksana SIDAnya. Pemeriksaan
RI, 2005). WHO memperkirakan jumlah rapid test untuk mendiagnosis SIDA di
pasien TB dengan status HIV positif di RSUP dr. M. Djamil Padang
Indonesia pada tahun 2013 sebesar 7,5%, menunjukkan kepositifan. Pemeriksaan
terjadi peningkatan jika dibandingkan TCM sputum pada pasien ini
tahun 2012 yang hanya 3,3%. Survei menunjukkan kuman MTB terdeteksi
prevalensi HIV diantara pasien TB baru medium namun tidak terdeteksi kuman
di beberapa provinsi menunjukkan hasil yang resisten terhadap rifampisin.
dari 2% di Yogyakarta (2006), 0,8% di Pemberian OAT kategori I tetap
Jawa Timur, 3,8% di Bali dan 14% di dilanjutkan pada pasien ini dengan
Papua. Epidemi HIV menunjukkan mempertimbangkan gejala klinis pasien,
pengaruh terhadap peningkatan pemeriksaan fisik, pemeriksaan
epidemi TB di seluruh dunia yang bakteriologis berupa TCM, dan
berakibat meningkatnya jumlah kasus radiologis. OAT kategori I fase intensif
TB di masyarakat. Pandemi HIV tersebut melanjutkan regimen obat yang
merupakan tantangan terbesar dalam telah diberikan oleh Dokter Spesialis
pengendalian TB. Di Indonesia Paru RS Ibnu Sina Padang sebelumnya.
diperkirakan sekitar 3% pasien TB Selain menderita TB paru yang
dengan status HIV positif. Sebaliknya dibuktikan oleh pemeriksaan klinis,
TB merupakan tantangan bagi pemeriksaan rontgen toraks, dan
pengendalian HIV/AIDS karena mikrobiologi, pasien juga terdiagnosis
merupakan infeksi oportunistik sebagai penderita AIDS yang
terbanyak (49%) pada ODHA (Kemkes dibuktikan dengan hasil rapid test yang
RI, 2012). positif. Selama rawatan di bangsal paru,
pasien menunjukkan perbaikan gejala
KASUS
klinis. Keluhan klinis yang timbul
Telah dirawat pasien laki–laki selama minum OAT kategori I fase
usia 43 tahun dengan diagnosis TB paru intensif berupa gejala mual dan rasa
terkonfirmasi bakteriologi dalam perih di bagian ulu hati. Keluhan ini
pengobatan OAT kategori I fase intensif dapat ditatalaksana dengan baik dengan
dan SIDA. Diagnosis ditegakkan dari pemberian edukasi cara minum obat
hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan OAT dan pemberian obat untuk
pemeriksaan penunjang. Pasien ini juga mengurangi dyspepsia seperti
terdiagnosis sebagai Sindrom Imuno- lansoprazole dan sukralfat sirup.

23
LAPORAN KASUS TB PARU KOINFEKSI HIV/AIDS

Gambar 1. Foto toraks di RSU Ibnu Sina Padang

Gambar 2. Foto toraks di RSUP dr. M. Djamil Padang

PEMBAHASAN rontgen torak pada pasien TB tanpa


AIDS seringkali menunjukkan infiltrat
Pemeriksaan rontgen torak pada apeks paru. Namun pada pasien
dilakukan pada pasien TB paru yang ODHA, terutama pada stadium lanjut,
tidak dapat dilakukan pemeriksaan seringkali menunjukkan infiltrate TB
dahak walaupun sudah dilakukan Paru adalah penyakit infeksi yang
induksi sputum. Namun tidak disebabkan oleh Mycobacterium
dibenarkan menegakkan diagnostik tuberculosis dengan gejala seperti batuk
hanya berdasarkan pemeriksaan lebih dari 2 minggu, batuk berdarah,
rontgen semata. Pada pemeriksaan sesak nafas, nyeri dada, dan demam

24
IBNU ARIEF DAFITRI, IRVAN MEDISON, DESSY MIZARTI

yang bersifat hilang timbul. Gejala kesehatan yang serius dan dapat
tersebut bervariasi diantara pasien, dari menyebabfkan kematian. Oleh karena
mulai tidak ada gejala yang khas sampai itu penatalaksanaan yang cepat dan
menimbulkan gejala yang cukup berat tepat sangat diperlukan (Kemkes RI,
tergantung luas lesi paru (FK UNS, 2015).
2017). Penegakkan diagnosis TB paru
Koinfeksi TB sering terjadi pada pada ODHA pada prinsipnya sama
pasien ODHA. Orang dengan HIV dengan orang HIV negatif. Diagnosis
mempunyai kemungkinan sekitar 30 harus ditegakkan terlebih dahulu
kali berisiko untuk sakit TB dengan konfirmasi bakteriologis, yaitu
dibandingkan dengan orang yang tidak pemeriksaan mikrobiologis langsung,
terinfeksi HIV. Lebih dari 25% kematian tes cepat, atau biakan. Apabila hasil
pada pasien ODHA disebabkan oleh TB. pemeriksaan secara bakteriologis
Sekitar 320.000 orang meninggal karena hasilnya negatif, maka penegakkan
HIV terkait dengan TB. Tuberkulosis diagnostik TB dapat dilakukan
merupakan infeksi oportunistik yang dilakukan secara klinis menggunakan
sering dijumpai pada ODHA selain hasil pemeriksaan penunjang, seperti
kandidiasis, PCP, toksoplasmosis, hasil pemeriksaan rontgen torak yang
kriptospiroidosis. Seseorang dengan sesuai (FK UNS, 2017).
koinfeksi TB/HIV memiliki masalah

Gambar 3. Alur diagnosis TB pada ODHA (FK UNS, 2017)

25
LAPORAN KASUS TB PARU KOINFEKSI HIV/AIDS

Ada beberapa hal yang harus merupakan suatu keharusan agar


diperhatikan pada alur pemeriksaan mampu menanggulangi kedua penyakit
alur diagnosis TB paru pada ODHA, tersebut secara efektif dan efisien.
antara lain: Pemeriksaan mikroskopis penelitian lain juga menunjukkan
langsung: pemeriksaan ini dapat dimulainya pengobatan ARV dalam 2
dilakuan dengan uji dahak Sewaktu bulan atau setelah 2 bulan pengobatan
Pagi Sewaktu (SPS). Jika salah satu dari Organisasi pelaksana Kolaborasi TB-
pemeriksaan ini menunjukkan hasil HIV melibatkan semua komponen
posttif, maka dapat dinyatakan sebagai terkait TB dan HIV dimana ditandai
pasien TB paru; Pemeriksaan tes cepat dengan pembentukan Kelompok Kerja
molekuler: oleh karena pemeriksaan TB-HIV. Pengorganisasian pelaksana
BTA sputum pada pasien ODHA sering kegiatan kolaborasi TB-HIV
menunjukkan hasil negatif, maka dilaksanakan dengan cara
pemeriksaan cepat molekuler seperti pembentukan Kelompok Kerja (POKJA)
TCM dapat membantu menegakkan TB-HIV di bawah Kementerian
diagnosis TB paru dan mengetahui Kesehatan dan di bawah Dinas
adanya Mycobacterium tuberculosa Kesehatan untuk tingkat provinsi dan
yang sensitive atau resisten; kabupaten/kota (Kemkes RI 2016).
Pemeriksaan biakan dahak: Tuberkulosis merupakan
pemeriksaan dilakukan pada pasien penyebab infeksi oportunistik yang
yang menunjukkan Mycobacterium paling sering ditemukan pada penderita
tuberculosis yang resisten terhadap HIV/AIDS. Hal ini disebabkan
rifampisin. Pemeriksaan ini bertujuan komplikasi TB yang sering terjadi pada
untuk mengetahui resistensi OAT penderita HIV/AIDS. Pengobatan
lainnya; Pemberian antibiotik sebagai kedua penyakit ini tentunya memiliki
alat bantu diagnosis pada ODHA tidak tantangan tersendiri. Sebagaimana
direkomendasikan. Pemberian diketahui pengobatan ARV dan TB paru
antibiotik pada alur diagnostik TB paru memiliki interaksi tersendiri, khususnya
pada pasien ODHA sudah tidak obat rifampisin dengan beberapa obat
direkomendasikan lagi. Hal tersebut ARV tertentu. Namun beberapa
akan membutuhkan waktu diagnostik penelitian juga menunjukkan inisiasi
lagi. Pemberian antibiotik pada pasien ARV minimal 2 minggu setelah
TB paru dengan ODHA dilakukan jika pemberian OAT. Selain risiko interaksi
ada infeksi bakteri sekunder pada obat OAT dan ARV, hal lain yang perlu
waktu bersamaan; Pemeriksaan foto diperhatikan adalah risiko terjadinya
toraks: pemeriksaan rontgen toraks Immune Recostitution Inflammatory
dilakukan untuk membantu diagnostik Syndrome (IRIS) yang paling sering
bakteriologis. Selain pada daerah basal terjadi pada pemberian ARV secara dini
paru dan juga gambaran milier. dalam waktu 2 minggu pemberian OAT.
Pengendalian TB tidak akan Namun dari tingkat mortalitas,
berhasil dengan baik tanpa keberhasilan pemberian ARV pada penderita TB
pengendalian HIV, sebaliknya TB tidak terdapat perbedaan antara
merupakan salah satu IO yang banyak kelompok yang diberikan ARV secara
terjadi dan penyebab utama kematian dini ataupun kelompok yang diberi
pada ODHA. Kolaborasi kegiatan bagi ARV setelah 2 bulan pemberian OAT
kedua program di semua tingkat (Naidoo et al., 2013).

26
IBNU ARIEF DAFITRI, IRVAN MEDISON, DESSY MIZARTI

Gambar 4. Inisiasi pemberian ARV (Naidoo et al., 2013)

Selain TB paru, penyakit infeksi alveolar infiltrate. Gambaran radiologis


lainnya yang sering dijumpai pada selain pola infiltrat adalah gambaran
penderita HIV/AIDS adalah seperti milier, sehingga diagnosis PCP
Pneumocystic carinii pneumonia (PCP). dapat berupa diagnosis banding dari TB
Infeksi ini pada beberapa studi memiliki milier. Diagnosis PCP sangat sulit
tingkat mortalitas mendekati 50%. Pada dilakukan karena gejala, pemeriksaan
pasien dengan HIV atau pasien dengan darah, serta radiografi toraks tidaklah
kandidiasis orofaring yang dicurigai patognomonik untuk PCP. Selain itu,
HIV, jika terdapat keluhan demam, Pneumocystis jirovecii tidak dapat
sesak dan/atau batuk yang tidak dikultur sehingga diperlukan
produktif perlu dicurigai adanya PCP. pemeriksaan histopatologi atau sitologi
Namun gambaran klinis dapat cairan dari broncho-alveolar lavage (BAL)
bervariasi. Gejala PCP biasanya ringan atau sampel dari induksi sputum untuk
dan memberat dalam hitungan hari mendiagnosis PCP secara definitif.
hingga minggu. Namun, sekitar 7% Walaupun terdapat hambatan tersebut,
pasien dengan PCP tidak bergejala. deteksi kasus PCP sedini mungkin
Pada pasien dengan HIV/AIDS keluhan harus tetap dilakukan agar dapat segera
dapat berupa sesak progresif, batuk ditangani dan mencegah mortalitas
kering, dan demam yang tidak tinggi. (Peruzzi et al, 1992; Ismail et al., 2011).
Selain gejala, pemeriksaan fisik untuk Pemeriksaan CT scan lebih sensitif
PCP juga tidak spesifik. Pasien dapat dibandingkan rontgen toraks dalam
menunjukan gejala distres pernapasan mendeteksi PCP. Pada pemeriksaan CT
seperti takipneu, takikardia, dan sianosis. scan toraks akan ditemukan gambaran
Pada auskultasi paru terdapat krepitasi ground-glass appearance (crazy paving)
saat inspirasi hingga tidak ditemukan dengan distribusi yang tidak merata.
kelainan berarti pada kasus ringan. Ground-glass appearance tersebut lebih
Sedangkan, pada kasus berat dapat dominan di daerah perihiler. Pada
terjadi hipoksia (Peruzzi et al, 1992; keadaan yang lebih lanjut, akan
Ismail et al., 2011). ditemukan septal lines dengan atau
Gambaran radiologi yang khas tanpa intralobular lines superimposed pada
berupa pola infiltrat interstisial atau ground-glass appearance serta konsolidasi

27
LAPORAN KASUS TB PARU KOINFEKSI HIV/AIDS

(Dockrell et al., 2011). Trimetroprim- kali per hari, intravena untuk 21 hari.
sulfametoksazole (TMX-SMX) oral atau Sedangkan untuk PCP ringan-sedang
intravena selama 21 hari merupakan dapat diberikan TMX 20mg/kg/hari
obat pilihan untuk menatalaksana PCP dalam dosis terbagi tiga atau empat, oral
dengan atau tanpa HIV. Pada PCP dan dapsone 100mg satu kali per hari,
derajat sedang-berat (PaO2<70mmhg) oral selama 21 hari atau atorvaquone
direkomendasikan trimetroprim- cairan suspensi 750mg dua kali per hari,
sulfametoksazole intra-vena. oral selama 21 hari. Beratnya infeksi dan
Sedangkan, trimetroprim- tingginya angka mortalitas pada PCP
sulfametoksazole oral diberikan untuk menjadikan pencegahan sangat penting
PCP derajat ringan-sedang dilakukan pada kelompok yang
(PaO2≥70mmHg). Rekomendasi dosis berisiko.
untuk terapi PCP adalah 15-20mg/kg Trimetroprim-sulfametoksazole
trimetroprim per hari dan 75-100mg/kg juga merupakan pilihan utama
sulfametoksazole per hari yang terbagi profilaksis primer dan sekunder selain
menjadi tiga atau empat dosis. Pada dapsone, atovaquone dan pentamidine.
pasien PCP dengan HIV, respon terapi Pasien HIV harus menerima
biasanya muncul lebih lama namun kemoprofilaksis PCP jika CD4 kurang
harus terjadi dalam delapan hari dari 200 sel/l atau terdapat riwayat
pertama. Apabila hal tersebut tidak candidiasis orofaringeal. Kemoprofilaksis
terjadi, maka perlu dicari diagnosis direkomendasikan diberikan seumur
alternatif atau regimen alternatif. Pada hidup namun pemberiannya dapat
PCP derajat berat direkomendasikan dihentikan pada pasien yang telah
untuk memberikan kortikosteroid mendapat ARV dan CD4nya meningkat
sistemik dalam 72 jam pertama memulai dari <200 sel/l menjadi >200 sel/l
terapi PCP. selama 3 bulan dan dilanjutkan kembali
Kortikosteroid sistemik perlu bila CD4 kembali <200 sel/l. Terdapat
diberikan jika PaO2<70mmhg atau dua pendapat mengenai dosis
gradien oksigen alveolar-arteri lebih profilaksis TMXSMX untuk PCP yaitu
dari 35mmHg. Dosis kortikosteroid 1x960mg per oral dan 1x480mg per oral.
yang diberikan adalah prednisolone Menurut penelitian, kedua dosis
40mg dua kali sehari per oral pada hari tersebut memiliki efektivitas yang sama
ke 1-5 kemudian 40mg satu kali sehari namun semakin besar dosis yang
pada hari ke 6-10. Dilanjutkan dengan digunakan efek samping akan semakin
prednisolone 20 mg satu kali sehari kuat. Selain itu, terdapat data bahwa
pada hari ke 11 hingga 21 (Dockrell et al., profilaksis dengan regimenTMX-SMX
2011; Huang et al., 2011). Pada pasien 960mg tiga kali per minggu sama
yang sebelumnya telah mendapatkan efektifnya jika dibandingkan dengan
profilaksis TMX-SMX atau gagal terapi pentamidine nebulizer atau dapsone
atau alergi dengan TMX-SMX, terdapat dan pirimetamin profilaksis namun
beberapa pilihan tatalaksana alternatif. kurang efektif jika dibandingkan
Untuk PCP berat, alternatifnya adalah dengan TMX-SMX 1x960mg (Dockrell et
dapat diberikan clindamisin 600mg al., 2011; Huang et al., 2011; Kanne et al.,
empat kali per hari, intravena atau oral 2012; Venkatesan, 2017).
dan primakuin 15mg satu kali per hari,
oral atau pentamidine 3-4mg/kg satu

28
IBNU ARIEF DAFITRI, IRVAN MEDISON, DESSY MIZARTI

Tabel 1. Protokol desensitisasi trimetroprim-sulfametoksazole (Dockrell et al., 2011)

Drug-induced hepatitis adalah Regimen anti TB berbasis


kerusakan hati yang berkaitan dengan rifampisin dan regimen antiretroviral
gangguan fungsi hati yang disebabkan berbasis efavirenz merupakan terapi lini
oleh terpajan obat. The Food and Drug pertama untuk pasien koinfeksi
Administration (FDA) dan The Center for TB/HIV. Penggunaan bersama kedua
Biologics Evaluation and Research (CBER) regimen ini menyebabkan high pill
mendefinisikan drug-induced hepatitis burden, peningkatan risiko interaksi
sebagai kerusakan hati yang ditandai obat, dan efek samping yang tumpang
dengan peningkatan level alanin tindih. Penelitian sebelumnya
aminotransferase (ALT/SGPT) lebih dari membandingkan kejadian efek samping
tiga kali batas atas nilai normal dan obat antara pasien TB dengan/tanpa
peningkatan level alkali fosfatase (ALP) koinfeksi HIV. Diperoleh kejadian efek
lebih dari dua kali dari batas atas nilai samping obat yang serius lebih umum
normal atau peningkatan level bilirubin ditemukan pada pasien koinfeksi
total lebih dari dua kali dari batas atas TB/HIV dengan efek samping utama
nilai normal jika berkaitan dengan yang ditemukan ialah neuropati perifer
peningkatan alanin aminotransferase dan muntah persisten
atau alkali fosfatase (Jong et al., 2013). (Padmapriyadarsini et al., 2011; Regazzi et
Pemberian terapi OAT pada al., 2014; Breen et al., 2006).
pasien TB dengan HIV perlu mendapat
perhatian khusus karena selain OAT KESIMPULAN
sendiri dapat menimbulkan drug-
induced hepatitis, pemberian OAT Prosedur penegakan diagnosis
dengan ARV harus dilakukan secara pada pasien TB koinfeksi HIV/AIDS
benar dan hati–hati agar tidak timbul pada dasarnya tidak berbeda dengan
efek samping obat yang berbahaya pada pasien tanpa infeksi HIV/AIDS. Perlu
pasien. Pada pola pengobatan yang adanya perhatian pada faktor risiko
holistik tersebut diharapkan pasien penularan HIV/AIDS untuk
dapat menyelesaikan pengobatan mengetahui penyebab dan mengetahui
dengan tuntas (Menezes, 2016). adanya kemungkinan infeksi lainnya.

29
LAPORAN KASUS TB PARU KOINFEKSI HIV/AIDS

Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler Ismail T, Lee C 2011. HIV associated


(TCM) sangat diperlukan pada kasus opportunistic penumonias. Med J
pasien ini karena seperti yang diketahui Malaysia 66(1):76-81.
bahwa HIV/AIDS merupakan salah Jong E, Conradie F, Berhanu R, Black A,
John MA, Meintjes G, Menezes C, et al.,
satu kriteria risiko untuk terjadinya TB
2013. Consensus statement:
MDR. Sedangkan tatalaksana TB
Management of drug-induced liver
koinfeksi HIV/AIDS pada prinsipnya injury in HIV-positive patients treated
tidak berbeda dengan pasien tanpa for TB. S Afr J HIV Med, 14(3):113-119.
HIV/AIDS. Pemberian ARV diberikan Kanne JP, Yandow DR, Meyer CA 2012.
minimal 2 minggu setelah OAT Pneumocystis jirovecii pneumonia:
diberikan, walaupun beberapa literatur high-resolution CT findings in patients
lain menyatakan waktu pemberian ARV with and without HIV infection. AJR
yang lebih cepat lagi. Am J Roentgenol 198(6):555-561.
Kementerian Kesehatan RI 2014. Pedoman
KEPUSTAKAAN Nasional Pengendalian Tuberkulosis.
Jakarta: Direktorat Jenderal
Breen RAM, Miller RF, Gorsuch T, Smith CJ, Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Schwenk A, Holmes W, et al., 2006. Lingkungan, Kementerian Kesehatan
Adverse Events and Treatment Republik Indonesia.
Interuption in Tuberculosis Patients Kementerian Kesehatan RI 2018. Profil
With and Without HIV Coinfection. Kesehatan Indonesia Tahun 2017.
Thorax, 61:791-794World Health Jakarta: Pusat Data dan Informasi
Organization 2016. Global Tuberculosis Kementerian Kesehatan RI.
Report 2016. Geneva: WHO Press. Kementerian Kesehatan RI 2012. Petunjuk
Budi IS, Ardillah Y, Sari IP, Septiawati D Teknis Tata Laksana Klinis Koinfeksi
2018. Analisis Faktor Risiko Kejadian TB-HIV. Jakarta: Direktorat Jenderal
Penyakit Tuberkulosis Bagi Masyarakat Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Daerah Kumuh Kota Palembang. Jurnal Lingkungan.
Kesehatan Lingkungan Indonesia, Kementerian Kesehatan RI 2015. Panduan
17(2):87–94. Pelaksanaan Program Kolaborasi TB-
Departemen Kesehatan RI 2005. HIV. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Tuberkulosis. Jakarta: Direktorat Bina Lingkungan.
Farmasi Komunitas dan Klinik Kementerian Kesehatan RI 2016. Petunjuk
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian Teknis Program Pengendalian HIV
dan Alat Kesehatan Departemen AIDS dan PIMS.
Kesehatan RI. Menezes C. An approach to the
Dockrell DH, Breen R, Lipman M, Miller RF management of drug induced liver
2011. Pulmonary opportunistic injury in HIV-infected patients treated
infections. HIV Med 12(Suppl 2):25-42. for TB. Department of Internal
Fakultas Kedokteran UNS 2017. Medicine Chris Hani Baragwanath
Tatalaksana Infeksi Tuberkulosis Laten. Academic Hospital, University of The
Departemen Pulmonologi dan Witwatersrand. [cited April 10, 2016]
Kedokteran Respirasi FK UNS Naidoo K, Baxter C, Abdool Karim SS 2013.
Surakarta. When to start antiretroviral therapy
Huang L, Cattamanchi A, Davis JL, Boon S, during tuberculosis treatment? Curr
Kovacs J, Meshnick S, et al., 2011. HIV- Opin Infect Dis. 26(1):35–42.
associated pneumocystis pneumonia. Padmapriyadarsini C, Narendran G,
Proc Am Thorac Soc 8:294-300. Swaminathan S 2011. Diagnosis &
Treatment of Tuberculosis in HIV Co-

30
IBNU ARIEF DAFITRI, IRVAN MEDISON, DESSY MIZARTI

infected Patients. Indian J Med Res, with HIV and Mycobacterium


134(6):850-865. tuberculosis Infections: Focus on Drug–
Peruzzi WT, Shapiro BA, Noskin GA, Currie Drug Interactions with Rifamycins.
DL, Skoutelis A, Murphy RL, et al., 1992. Clin Pharmacokinet, 53(6):489-507.
Concurrent bacterial lung infection in Venkatesan P 2017. Guideline for the
patients with AIDS, PCP, and treatment of Pneumocystis jirovecii
respiratory failure. Chest 101(5):1399– pneumonia (PCP) in adults. Inggris:
1403. Nottingham University Hospital.
Regazzi M, Carvalho AC, Villani P, World Health Organization 2015. Global
Matteelli A 2014. Treatment Tuberculosis Report 2015. Geneva:
Optimization in Patients CoInfected WHO Press.

31

Anda mungkin juga menyukai