Anda di halaman 1dari 17

HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI TERHADAP INTERAKSI

SOSIAL REMAJA GAME ONLINE FREE FIRE DI KECAMATAN

RANTAU ALAI

PROPOSAL

Disusun untuk memenuhi salah satu Persyaratan Program Strata Satu (S1)

pada Fakultas Psikologi Program Studi Psikologi

Oleh :

Agung Sudewa

171810020

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS BINA DARMA PALEMBANG

2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masa-masa remaja merupakan masa dimana remaja dituntut siap dan mampu

dalam menghadapi berbagai macam kehidupan dan juga pergaulan. Pada usiaini

merupakan usia yang paling kritis dalam kehidupan individu, dimana pada usia

tersebut merupakan usia peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa remaja

dan menjadi penentu kematangan di usia dewasa. Remaja dituntut untuk bisa

mengekspresikan, mengendalikan, serta mengelola emosinya dengan cara yang

tepat, sehingga mampu menyesuaikan diri secara efektif dengan suasana orang

lain serta mencari keharmonisan dalam menjalin hubungan dengan orang lain

(Nashukah & Darmawati, 2013).

Pada masa ini, remaja dalam masa peralihan antara masa kanak-kanak dan

masa dewasa (James, 2014). Seorang remaja sudah bukan anak-anak lagi, namun

juga tidak dapat dikatakan sebagai orang dewasa. Masa peralihan remaja sebagai

akibat dari pengaruh yang sebagiannya didapatkan oleh lingkungan keluarga dan

sebagian juga diperoleh melalui usaha sendiri yang timbul sesudah pemasakan

seksual (pubertas). Penggolongan masa remaja dibagi ke dalam tiga tahap, yaitu

tahap remaja awal (usia 12-14 tahun), tahap remaja tengah (usia 15-17 tahun) dan

tahap remaja akhir (usia 18-21 tahun) (Saputro, 2017).

1
2

Remaja akan mengalami masa perubahan pada dirinya, baik itu dari segi fisik

maupun juga psikis, secara individual ataupun dalam peran sosialnya pada

keluarga, sekolah dan masyarakat. Remaja yang hidup pada era saat ini akan

bersinggungan langsung dengan banyaknya kecanggihan teknologi yang

memudahkan untuk memperoleh berbagai informasi yang dibutuhkannya

(Novrialdy, dkk., 2019).

Pada saat ini, remaja dapat disebut sebagai genarasi post millenials, salah satu

cirinya yaitu tumbuh dengan teknologi yang memudahkan segala urusan untuk

bisa diakses dengan cepat, sehingga hal tersebut membuat remaja saat ini dapat

juga dikatakan sebagai generasi yang paling memahami teknologi (Novrialdy,

dkk., 2019). Kemudahan dalam mengakses ini akan dapat berdampak buruk jika

tidak disikapi dengan baik. Dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa

kelompok usia terbanyak yang mengalami permasalahan dengan penggunaan

teknologi seperti internet, smartphone, dan game online adalah remaja (Hussain,

dkk., 2012).

Game online adalah permainan yang dapat dimainkan oleh banyak orang

pada waktu yang bersamaan melalui jaringan internet (Adams, 2013). Game

online merupakan fenomena permainan yang sangat populer yang mana

merupakan permainan dalam dunia maya yang menampilkan permainan dalam

bentuk virtual seperti pada video game yang terhubung melalui jaringan

internet. Salah satu keunggulan dari game online jika dibandingkan dengan

jenis permainan video game adalah pemain dapat memainkan permainan ini

dengan siapapun tanpa dibatasi oleh sekat geografis. Pemain dari game online
3

ini disebut dengan gamers. Kemunculan game online menjadi sangat populer

dan mudah untuk diakses. Game online dapat dimainkan di berbagai platform,

seperti komputer pribadi (PC), konsol game (alat khusus untuk bermain game)

dan smartphone (Kiraly, dkk., 2014). Saat ini game online seperti Free Fire

merupakan salah satu kegiatan rekreasi yang paling luas terlepas dari

budaya, usia, dan jenis kelamin.

Game Free Fire ini di dirikan oleh perusahaan di Singapura pada 2009, oleh

Ketua CEO Group, Forrest Li. Dimana setiap tiga bulan sekali game tersebut akan

dilakukan pembaharuan. Game online free fire merupakan permainan yang

memiliki kecanggihan dengan aksi petualangan dari genre battle royale, dimana

gamer dapat memilih karakter, senjata, tempat yang diinginkan sesuai level

permainannya dan dapat dimainkan secara bersamaan dalam waktu yang sama

karena terhubung dengan jaringan internet sehingga mendatangkan emosi (rasa

puas, senang, dan bosan, sedih, dll). Game free fire merupakan jenis game online

action adventure yang menggunakan orang ketiga sebagai pemainnya.

Remaja yang sering bermain game online secara umum merupakan

siswa yang menyukai tantangan. Oleh sebab itu siswa memiliki

kecenderungan tidak menyukai proses pada belajar mengajar akademis

sekolah karena kurang rangsangan serta daya tariknya yang lemah, tidak

menantang, monoton dan lamban. Suasana di kelas seolah adalah penjara

untuk jiwanya. Sehingga akan menjadi malas dalam belajar serta seringnya

bolos dari sekolah guna bermain game online (Silaban, 2011).


4

Pada umumnya, remaja lebih sering bermain game online ketimbang orang

dewasa dan mereka akan lebih rentan terhadap kecanduan bermain game online

(Syahran, 2015). Masa remaja yang berada pada periode ketidakstabilan,

cenderung lebih mudah terjerumus terhadap percobaan hal-hal baru

(Jordan & Andersen, 2016). Masa remaja juga lekat dengan stereotype

atau periode yang bermasalah (Hurlock, 2010), yang memungkinkan

remaja untuk melakukan percobaan hal-hal baru yang berisiko menjadi

perilaku bermasalah. Akibatnya, remaja yang kecanduan game online

cenderung kurang tertarik terhadap kegiatan lain, merasa gelisah saat tidak

dapat bermain game online (Nirwana, dkk., 2015).

Remaja yang kecanduan game online akan berdampak pada penurunan

prestasi akademik, relasi sosial, dan kesehatan (Ghuman & Griffiths,

2012). Seseorang yang mengalami kecanduan game online disebabkan

karena memiliki regulasi emosi yang rendah, orang yang memiliki regulasi

emosi yang rendah cenderung memiliki frekuensi bermain game online

yang tinggi (Mills, dkk., 2019).

Regulasi emosi merupakan kemampuan individu untuk mengatur perasaan,

reaksi fisiologis serta kognisi yang berhubungan dengan emosi yang dimiliki

individu. Dampak-dampak yang akan terjadi jika seseorang dapat mengelola

emosinya dengan baik maka ia dapat memaafkan serta akan mengalami

penurunan kemarahan, kecemasan, dan depresi yang signifikan (Astuti et al.,

2019).
5

Regulasi emosi merujuk pada bagaimana seseorang memiliki emosi, kapan

seseorang memilikinya, bagaimana seseorang mengalami atau mengekspresikan

emosinya (Gross, 2014). Seseorang tidak hanya memiliki emosi, tetapi juga perlu

mengatur emosi mereka, dalam arti mereka perlu mengambil sikap terhadap emosi

mereka dan menerima konsekuensi dari tindakan emosional mereka.

Kemampuan mengelola emosi perlu dilakukan agar seseorang terhindar dari

perilaku-perilaku anti sosial, terutama bagi remaja yang sedang mengalami

konflik yang beragam dan kompleks. Individu yang mampu meregulasi emosinya

akan mendapatkan dampak positif bagi kesehatan fisik, tingkah laku, dan

hubungan sosial (Endaryani et al., 2020). Namun sebaliknya, bila seseorang tidak

dapat mengelola emosi dengan baik, seseorang akan berperilaku agresif hingga

membahayakan keselamatan individu atau bahkan orang lain. Seperti yang

diungkapkan oleh Farichah et al. (2019), remaja dengan karakteristik regulasi

emosi rendah biasanya memiliki permasalahan dengan teman sebaya di sekitar

lingkungan mereka, cenderung bertindak tidak sesuai norma yang ada, misalnya

menjadi pelaku perundungan antar teman, mudah menyalahkan orang lain,

meluapkan emosinya dengan hal-hal negatif, berkelahi dengan teman, dendam,

pasrah, mudah marah, dan putus asa.

Serupa dengan pendapat Alsa dan Fitriani (2015), yang mengungkapkan

bahwa regulasi emosi rendah yang dimiliki oleh remaja dapat mengalami

beragam bentuk psikopatologi remaja, baik dari gangguan internal, seperti

depresi, stres, sedih, cemas, dan gangguan eksternalnya seperti perilaku

disregulasi dan kemarahan. Berdasarkan paparan tersebut, tampak bahwa


6

regulasi emosi merupakan hal yang krusial dalam perkembangan remaja.

Fenomena akibat kurangnya regulasi emosi diantaranya berdampak pada

agresifitas yang sering ditunjukkan oleh remaja (Janah, 2015).

Masa remaja yang penuh dengan problem disebabkan karena tidak stabilnya

emosi. Dengan intensitas yang berlebihan, game dapat berpengaruh pada mental

remaja yaitu persepsinya pada lingkungan. Misalnya berkata yang kasar,

berperilaku agresif, serta meniru karakter yang ada pada game tersebut

(Tridhonanto, 2011). Regulasi emosi dapat menyebabkan perubahan perilaku,

mempengaruhi ketepatan dalam pengambilan keputusan, mempengaruhi daya

ingat terhadap suatu peristiwa penting sekaligus dapat memfasilitasi interaksi

sosial (Gross, 2014).

Interaksi sosial adalah hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut

hubungan antara orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia,

maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia (Soekanto, 2012).

Interaksi sosial juga merupakan salah satu prinsip integritas kurikulum

pembelajaran yang berupa keterampilan berkomunikasi, yang bekerja sama

untuk dapat menumbuhkan komunikasi yang harmonis antara individu dengan

lingkungannya (Hernawan, 2010).

Hernawan (2010) menyatakan bahwa tindakan interaksi sosial adalah

tindakan seseorang yang dapat mempengaruhi individu-individu lainnya dalam

lingkungan sosial. Dalam bertindak atau berperilaku sosial, seseorang hendaknya

memperhitungkan keberadaan orang lain yang ada dalam lingkungannya. Hal

tersebut sangat penting diperhatikan karena tindakan interaksi sosial merupakan


7

perwujudan dari hubungan atau interaksi sosial.

Dari pemaparan para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa Interaksi sosial

merupakan hubungan atau komunikasi yang dilakukan oleh dua orang atau lebih

dengan tujuan untuk saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya untuk

mencapai tujuan tertentu. kemampuan interaksi sosial juga merupakan

kesanggupan individu untuk saling berhubungan dan bekerja sama dengan

individu lain maupun kelompok, dimana kelakuan individu yang satu dapat

mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu lain atau

sebaliknya, sehingga terdapat adanya hubungan timbal balik antar individu.

Interaksi sosial sangat penting bagi remaja, karena apabila seorang remaja

tidak memiliki kemampuan untuk berinteraksi sosial atau bahkan tidak dapat

berinteraksi, disadari atau tidak, remaja ini akan kehilangan relasi sosialnya.

Dalam hubungan sehari-hari remaja tidaklah lepas dari hubungan satu dengan

yang lain, remaja akan menyesuaian diri dengan lingkungannya, sehingga

kepribadian remaja, kecakapannya, ciri-ciri kegiatannya baru menjadi

kepribadian individu yang sebenarnya apabila keseluruhan sistem psikofisik

tersebut berhubungan dengan lingkungannya. Interaksi sosial merupakan kunci

semua kehidupan sosial karena tanpa interaksi sosial, tak akan mungkin ada

kehidupan bersama (Soekanto, 2012).

Rakhmat (2012) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mendorong

terjadinya interaksi sosial ada dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor internal yang terdiri dari faktor biologis (keturunan, sistem syaraf, dan

hormon) dan faktor sosio psikologis (intelektual, emosional, kebiasaan atau


8

kemauan bertindak), sementara faktor eksternal yang terdiri dari situasi-situasi

yang dihadapi individu di dalam lingkungannya. Salah satu dorongan terjadinya

interaksi sosial adalah dari lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat dan dari

lingkungan sekolah itu sendiri.

Adapun ciri-ciri dari interaksi sosial sebagai berikut : 1. Adanya jumlah

pelaku dengan jumlah lebih dari satu orang 2. Ada komunikasi antarpelaku

dengan menggunakan simbol-simbol 3. Ada dimensi waktu yaitu (masa lampau,

masa kini, dan masa mendatang) yang menentukan sifat aksi yang sedan

berlangsung 4. Ada tujuan-tujuan tertentu di dalamnya terlepas dari sama tidaknya

tujuan tersebut dengan yang diperkirakan oleh pengamat. Interaksi sosial dilihat

dari bentuknya yaitu terdapat dua bentuk yang pokok, yaitu integrasi dan konflik.

Berdasarkan hasil wawancara tentang interaksi sosial dengan salah satu

remaja berinisial DA siswa yang masih duduk dibangku SMP yang berusia 14

tahun (Personal Communication, 16 April 2021). DA mengatakan bahwa yang

membuat dia malas dalam berinteraksi kepada orang ialah karena lebih fokus

kepada game, dan game tersebut gak bisa dijeda kayak game offline lainnya,

sehingga dia lebih memfokuskan kepada game yang dimainkannya ketimbang

orang lain yang mengajaknya berbicara, tanpa memperdulikan tanggapan orang

lain pada dirinya.

Berdasarkan hasil wawancara tentang interaksi sosial dengan salah satu

remaja berinisial JS siswa yang masih duduk dibangku SMP yang berusia 13

tahun (Personal Communication, 16 April 2021). JS mengatakan bahwa

penyebab dia menjauhi orang-orang yang berada didekatnya kemudian


9

dijauhinya karena tidak mau diganggu untuk sementara waktu, butuh

ketenangan, hal ini biasanya terjadi ketika ia kalah dalam bermain game dan

ingin membalikan keadaan sehingga dia mengulangi permainan tersebut sampai

keadaannya berbalik seperti semula, hal ini dia lakukan tanpa memikirkan

kegiatan lain yang harus ia selesaikan, tak peduli seberapa banyak waktu yang

harus ia tinggalkan.

Berdasarkan hasil wawancara tentang interaksi sosial dengan salah satu remaja

berinisial F siswa yang masih duduk dibangku SMA yang berusia 15 tahun

(Personal Communication, 17 April 2021). F mengatakan bahwa dirinya sering

kali kesulitan dalam mengontrol emosi kepada teman bermain game nya dan

kerap kali menyalahkan-nyalahkan sampai terkadang keluar kata-kata hinaan

kepada temannya, hal ini karena sulitnya mengontrol emosi yang dimilikinya dan

teman gamenya yang cenderung beban sehingga berakibat pada kekalahan yang

membuat remaja F ini keluar kata-kata kasar kepada temannya, dan perilaku ini

yang sering membuat hubungan interaksi kepada temannya menjadi terputus dan

terjalin secara tidak baik.

Berdasarkan hasil wawancara tentang interaksi sosial dengan salah satu remaja

berinisial DRA siswa yang masih duduk dibangku SMP yang berusia 13 tahun

(Personal Communication, 17 April 2021). DRA mengatakan yang bahwa ia

seperti dibuat ketagihan dan penasaran ketika bermain game tersebut untuk

meningkatkan divisi ranked nya, hal ini lantaran ketika ia menang, maka dirinya

terpancing untuk bermain lagi dan ketika ia mengalami kekalahan, ia terpancing

untuk mengembalikan keadaan divisi ranked nya seperti sedia kala, DRA
10

mengungkkan ketika dia hendak push rank, dirinya seolah-olah dibuat terpancing

untuk bermain setiap saat, seperti tidak mau kalah dengan teman lainnya, hal ini

yang membuat ia terkadang sulit untuk lepas dari game tersebut ketika ia telah

bermain dengan durasi yang cukup lama.

Berdasarkan hasil wawancara tentang interaksi sosial dengan salah satu

remaja berinisial RS siswa yang masih duduk dibangku SMP yang berusia 13

tahun (Personal Communication, 17 April 2021). RS mengatakan bahwa faktor-

faktor yang menyebabkan interaksi sosial karena sulit dalam mengontrol diri dan

mengontrol waktu ketika bermain game online tersebut, RS kerap kali saling ejek

kepada teman pengguna game online selain Free Fire. RS mengatakan kalau

waktu sehari-harinya dihabiskan untuk bermain game online, berdasarkan

wawancara lebih lanjut, RS menghabiskan waktu 5-6 jam sehari hanya untuk

bermain game online free fire, dan terkadang hal ini kerap kali membuat ia lebih

menyibukkan dirinya untuk bermain game ketimbang berinteraksi dengan orang

tuanya ataupun lingkungan disekitarnya dan ketika berinteraksi kepada teman

sebaya nya, mereka akan menghabiskan waktunya bermain game melalui

smartphone nya ketimbang mengobrol dan berinteraksi secara langsung.

Dari hasil observasi yang telah dilakukan kepada para remaja, peneliti

menemukan beberapa masalah yang mempengaruhinya, diantaranya adalah

remaja terlalu sering bermain game online, penggunaan handphone secara

berlebihan, kurangnya perhatian orang tua, remaja menjadi bolos sekolah,

membuat remaja menjadi ketagihan bermain game online, lupa waktu, remaja

menjadi malas berinteraksi kepada orang-orang, lebih sering mengurung diri


11

dikamar sambil bermain game, remaja lupa akan tugas sekolah, remaja cenderung

berkata-kata kasar, mengejek, menghina, sulit mengontrol emosi, menyalah-

nyalahkan dan menghina serta mengabaikan orang-orang yang ada disekelilingnya

ketika bermain game online.

Hasil survey awal yang dilakukan oleh peneliti kepada 51 remaja di

Kecamatan Rantau Alai menunjukkan bahwa rata-rata remaja dalam bermain

game online free fire menghabiskan waktu 4-5 jam perharinya dengan rata-rata

pemain game online free fire di usia 14-16 tahun dengan respon jawaban dari

beberapa pernyataan yang 42 orang remaja menyalahkan orang lain ketika kalah

bermain game, 37 menghina, 35 berkata-kata kasar, 34 yang kesal marah dan 40

remaja tidak peduli dan fokus ke game serta lebih memilih menghindar atau

menjauh supaya tidak terganggu dalam bermain game online tersebut.

Soleman (2011) mengatakan bahwa individu yang bermain game online dapat

menimbulkan perilaku negatif, yakni pertama dilihat secara sosial, hubungan

dengan teman, keluarga jadi semakin renggang karena waktu bersama mereka

menjadi jauh berkurang. Keterampilan sosial berkurang, sehingga semakin merasa

sulit berhubungan dengan orang lain. Kedua dilihat secara psikis, pikiran menjadi

terus menerus memikirkan permainan yang sedang dimainkan. Menjadi sulit

konsentrasi terhadap studi, pekerjaan, sering bolos terkadang juga sampai

menghindari pekerjaan. Ketiga dilihat secara fisik, berat badan menurun karena

lupa makan, atau bisa juga bertambah karena banyak dari pemain yang bermain

game online disertai aktivitas makan makanan kecil dan kurang olahraga, terkena

paparan cahaya radiasi komputer ataupun smartphone yang dapat merusak otak,
12

saraf mata, kesehatan jantung menurun akibat kurang beristirahat selama bermain

game online, ginjal dan lambung juga terpengaruh akibat banyak duduk, kurang

minum, serta membuat seseorang menjadi lupa makan karena keasyikan bermain

game online.

Selain itu, remaja yang telah kegatihan bermain game online membuatnya

kurang peduli terhadap hal-hal yang terjadi disekelilingnya, sehingga kehidupan

sosialnya akan terganggu karena para pengguna game online yang ketagihan

biasanya akan bermain game berjam-jam, tak jarang lupa waktu dan itu membuat

interaksi sosial remaja tersebut menjadi terganggu dan hubungannya dengan

lingkungan sekitarnya menjadi renggang. Remaja yang keseringan bermain game

akan berdampak pula pada emosi karna efek dari bermain game, remaja juga

mencuri-curi dari jadwal belajar mereka untuk bermain game, waktu untuk belajar

dirumah dan membantu orang tua sehabis jam sekolah akan hilang karena bermain

game, remaja lebih menghabiskan waktu luangnya untuk bermain game, uang

jajan dan uang sekolah di gunakan hanya untuk bermain game, pola makan dan

pola tidur pun menjadi terganggu, serta remaja akan cenderung membolos sekolah

demi game kesayangan mereka.

Dilihat dari fenomena yang sering terjadi pada remaja pengguna game

online Free Fire, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi remaja, yaitu

regulasi emosi, hal ini karena kurangnya remaja dalam mengelola emosi akibat

dari bermain game online, remaja menjadi emosional, muncul perasaan sedih,

dan stres serta timbul perilaku menyalah-nyalahkan orang yang ada disekitarnya

sehingga berdampak pada interaksi sosial kepada orang-orang disekitarnya


13

menjadi renggang dan terjalin hubungan yang tidak baik, termasuk kepada

teman-teman, tetangga, maupun kepada keluarga khususnya orang tua itu.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kategori regulasi emosi yang ada

pada remaja pengguna game online Free Fire, mengetahui kategori interaksi

sosial remaja dan melihat adakah hubungan antara regulasi emosi terhadap

interaksi sosial remaja pengguna game online tersebut.

C. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan supaya dapat memberikan manfaat, baik itu

manfaat secara teoritis maupun praktis, adapun manfaat-manfaat yang diperoleh

dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini untuk menambah kajian teoritis dalam bidang Psikologi,

khususnya dalam bidang Psikologi Sosial dan Psikologi Perkembangan yang

berkaitan pada remaja. Penelitian ini akan memberikan kajian tentang hubungan

antara regulasi emosi terhadap interaksi sosial pengguna game online pada remaja,

serta diharapkan dapat melengkapi referensi penelitian terutama penelitian

mengenai remaja.

2. Manfaat Praktis
14

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan manfaat sebagai

berikut :

a. Dapat memberikan wacana dan bisa dijadikan sebagai referensi untuk

melakukan penelitian khususnya dalam bidang psikologi sosial dan

psikologi perkembangan yang berhubungan dengan perubahan interaksi

remaja.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan orang

tua akan adanya pengaruh game online bagi interaksi sosial pada remaja.

c. Mengetahui adanya perubahan emosi yang terjadi pada remaja akibat

pengaruh game online.

d. Mendapatkan gambaran secara kuantitatif mengenai kemampuan interaksi

sosial pada remaja.

D. Keaslian Penelitian

Penelitian yang terkait dengan interaksi sosial berjudul “Hubungan Antara

Kecanduan Game Online Dengan Interaksi Sosial Pada Mahasiswa Yang Bermain

Game Online X Di Kota Padang” yang dilakukan oleh Dewi Purnama Sari (2021).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kecanduan game

online dengan interaksi sosial pada mahasiswa di Kota Padang. Penelitian ini

menggunakan pendekatan kuantitatif, kemudian dianalisis dengan tujuan untuk

melihat sejauh mana hubungan antara kedua variabel. Metode yang digunakan

dalam penelitian ini kuantitatif korelasional. Populasi dalam penelitian ini, yaitu
15

mahasiswa yang bermain game online X di Kota Padang dengan subyek sebanyak

120 orang. Dalam penelitiam ini, teknik pengambilan sampel menggunakan

snowball sampling dan analisis data menggunakan product moment. Hasil nilai

korelasi sebesar -0,244 bernilai negatif dan probabilitas (sig) 0,007, maka hasil

penelitian menunjukkan terdapat hubungan antara kecanduan game online dengan

interaksi sosial dan memiliki hubungan negatif yang signifikan di antara

keduanya.

Penelitian lain “Pengaruh Intensitas Bermain Game Online Terhadap Interaksi

Sosial Remaja” yang dilakukan oleh Annisa, dkk (2019). Penelitian ini dilakukan

dengan tujuan untuk mengetahui secara empiris pengaruh intensitas bermain game

online terhadap interaksi sosial remaja. Penelitian ini melibatkan 241 orang siswa

dengan rentang usia 14-18 tahun, berjenis kelamin laki maupun perempuan di

SMA Negeri 5 Samarinda. Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan

teknik stratified random sampling. Analisa yang digunakan adalah teknik analisa

regresi sederhana. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh antara

intensitas bermain game online terhadap interaksi sosial pada remaja. Besar

pengaruh variabel intensitas bermain game online terhadap interaksi sosial adalah

0,256, dengan nilai p=0,000 (p < 0,05). Pengaruh intensitas bermain game online

terhadap interaksi sosial yaitu dengan nilai korelasi yang tergolong sangat rendah

yaitu 0,256, p=0,000 (p < 0,05).

Penelitian lain “Interaksi Sosial Dan Konsep Diri Dengan Kecanduan Games

Online Pada Dewasa Awal” yang dilakukan oleh Lestari Ayu dan Sahat Saragih

(2016). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui; 1) hubungan antara interaksi


16

sosial dan konsep diri dengan kecanduan game online pada awal masa dewasa; 2)

Kontribusi interaksi sosial dengan kecanduan game online; 3) kontribusi konsep

diri dengan kecanduan game online. Hipotesis yang diajukan yaitu ada hubungan

negatif antara interaksi sosial dan konsep diri dalam kecanduan game online.

Subyek penelitian adalah laki-laki dewasa awal berusia 18-40 tahun, yang suka

bermain game online (game PC atau game HP). Proses pemilihan subjek diambil

secara purposive sampling. Data dianalisis dengan analisis regresi. Sebelum

melakukan analisis regresi, pertama-tama dilakukan uji asumsi data penelitian. Uji

asumsi yang dibuat dalam penelitian ini meliputi uji normalitas dan uji linearitas.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara interaksi sosial dan

konsep diri dalam kecanduan game online.

Anda mungkin juga menyukai