Anda di halaman 1dari 9

Chapter 4

Gempa baru saja selesai mengganti pakaiannya. Jadwal pemotretannya sangat padat. Anak bungsu
kembar Boboiboy itu merupakan seorang model majalah busana. Biasanya, Taufan juga kadang ikut
menjadi model dalam pemotretan Gempa. Kalau Halilintar, jelas saja tidak. Anak sulung kembar
Boboiboy itu tidak menyukai hal seperti ini.

"Ada apa denganmu, Hali?" Gempa mendudukkan dirinya di sofa seberang Halilintar.

"Kau senang?" Tanya Halilintar dingin.

"Apa maksudmu?" Gempa bertanya balik.

"Bagaimana Grace?"

Gempa terdiam sejenak. Kemudian Gempa tersenyum tipis. Grace, pacar barunya yang merupakan
mantan pacar Halilintar.

"Luar biasa." Jawab Gempa tenang, seolah tidak merasa bersalah.

"Kenapa kau selalu seperti ini, Gem?" Tanya Halilintar dengan suara khasnya yang rendah.

"Mungkin karena tipe wanita yang kita suka sama?"

Halilintar kadang muak sekali dengan kelakuan adik keduanya itu. Setiap gadis yang berhasil ia kencani,
selalu saja berhasil Gempa rebut. Apa adiknya itu lebih menarik daripada dirinya?

"Aku pergi." Halilintar kemudian beranjak berdiri dari duduknya.

"Ke mana?" Tanya Gempa.

"Pulang."

"Ke rumah utama?" Gempa bertanya lagi.

"Yang benar saja! Pulang ke apartemen." Jawab Halilintar.

Halilintar kemudian berjalan pergi meninggalkan studio pemotreran Gempa. Omong-omong, mereka
sedang berdua. Gopal dan Taufan tidak ikut mengantar pemotretan Gempa.

••••••••••

"Terima kasih atas kunjungannya." Yaya tersenyum manis sambil menyerahkan beberapa uang
kembalian dan struk belanja pada pengunjung minimarket.

Gadis cantik itu kemudian menghela nafas lelah. Sekarang sudah malam, jadwal shift nya sudah
berakhir. Yaya harus segera pulang, tugas sekolahnya sama sekali belum Yaya kerjakan. Besok dia juga
harus mempersiapkan dirinya di sekolah. Para pembully itu pasti akan memberikan kejutan lagi
padanya.

Tidak ada satu haripun yang tenang bagi korban COS. Setiap hari, siswa-siswi yang sudah mendapat COS
pasti selalu menjadi buronan anak buah geng Halilintar. Yaya lebih memilih untuk berhadapan dengan
Gopal, Taufan, Gempa, atau anak buah mereka. Daripada harus berhadapan langsung dengan leader
mereka, Halilintar.

Lelaki tampan berhati iblis itu selalu membuat detak jantungnya menggila setiap kali Yaya melihatnya.
Jelas saja karena ia takut dengan Halilintar, tapi detakan jantungnya yang menggila saat melihat
Halilintar itu, bukan hanya sekedar rasa takut, tapi juga karena sesuatu.

*FLASHBACK ON*

"Apa?! Kau serius, Yaya?!" Fang memekik terkejut saat mendengar satu nama yang Yaya sebutkan.

Yaya hanya menundukkan kepalanya, tak berani melihat ke arah Fang. Setelah Fang bertanya pada
dirinya tentang siapa seseorang yang Yaya suka, Yaya kemudian menjawab jujur.

"HALILINTAR? KAU SERIUS?!" Ucap Fang berteriak.

"Pelankan suaramu, Fang!" Yaya merenggut sebal.

"Kau gila, Yaya?!" Fang masih terkejut sekali dengan jawaban Yaya.

"Aku tahu, aku tahu. Aku memang gila karena telah menyukai dirinya, Fang." Ucap Yaya pasrah.

"Dari sekian banyaknya pria, kenapa harus Halilintar?" Fang bertanya frustasi.

"Kalau aku bisa memilih, aku juga tidak ingin memiliki perasaan padanya."

"Tapi kenapa harus Halilintar? Manusia paling berbahaya! Serius Yaya! Aku tidak akan apa-apa jika kau
menyukai salah satu adiknya, tapi ini Halilintar?! Benar-benar sulit dipercaya." Fang menggeleng-
gelengkan kepalanya.

Yaya juga berharap bisa menyukai salah satu dari adik Halilintar.Tapi, ia bisa apa? Yang berhasil mencuri
hatinya adalah anak sulung kembar Boboiboy, Halilintar.

"Kau tahu, Yaya. Kau tidak mungkin bisa mendapatkannya."

"Aku tahu, Fang. Setidaknya tolong rahasiakan ini dari semua orang, hmm?" Pinta Yaya.

Fang kemudian menganggukkan kepalanya. Ia sudah bisa menormalkan lagi raut wajahnya.

"Katakan, sejak kapan kau menyukainya?" Tanya Fang.

"Kelas 10, ku rasa." Jawab Yaya pelan.


Ya, sejak pertama kali melihatnya, Yaya sudah merasa ada sesuatu di hatinya. Melihat bagaimana kakak
kelasnya itu begitu keren saat bermain basket di lapangan. Ia akan selalu memperhatikan Halilintar dari
jauh.

Awalnya Yaya pikir itu hanya sebatas perasaan kagum. Tapi semakin lama, ia menyadari hal lain. Setiap
Halilintar berjalan melewati kelasnya, Yaya akan bersorak senang di dalam hatinya. Atau juga, saat Yaya
tidak sengaja melihat Halilintar yang sedang duduk bersama gengnya di Caffetaria, Yaya akan diam-diam
memperhatikan pria dingin itu. Ada perasaan menyenangkan di dalam hati Yaya setiap kali ia melihat
kakak kelasnya itu.

••••••••••

"Hallo, maaf menganggu waktunya, senior Ying." Yaya menyapa sekumpulan siswi perempuan, yang
merupakan kakak kelasnya.

Ying kemudian membalikkan badannya dan menemukan Yaya yang sedang tersenyum manis padanya.
Sepertinya, ia pernah melihat gadis itu sebelumnya.

"Kau..."

"Ah iya, perkenalkan aku Yaya dari kelas 11-B. Dan ini sahabatku, Fang." Yaya kemudian menarik Fang
yang sedang bersembunyi di belakangnya.

Fang terlihat malu-malu dan berusaha berontak pada Yaya. Tapi gadis cantik itu memaksanya untuk
tetap diam.

Saat bel istirahat berbunyi, Yaya tiba-tiba menyeretnya. Awalnya Fang kira Yaya akan membawanya
menuju Caffetaria, tapi sahabat kecilnya itu justru membawanya menuju taman sekolah. Tahu-tahu,
Yaya malah menghampiri sekumpulan kakak kelas, dan ternyata ada Ying di sana.

"Oh, kau yang waktu itu menabrakku?" Tanya Ying masih terlihat bingung.

Fang kemudian menganggukkan kepalanya malu. Aduh, kenapa Yaya harus membawanya ke sini sih?
Kalau Fang tahu ada senior Ying di sini, sudah jelas ia tidak akan mengikuti Yaya.

"Ada apa?" Tanya Ying ramah.

Yaya kemudian melerbarkan senyumannya. Fang benar, senior Ying ternyata baik sekali. Ia terlihat
sangat ramah, tidak seperti siswa siswi lain yang selalu memandangnya rendah.

"Begini, senior Ying. Ada yang ingin temanku katakan padamu." Ucap Yaya.

"Heh? Apa maksudmu, Yaya?" Fang bertanya terkejut.

Yaya kemudian mendorong pundak Fang, memberi kode agar Fang berbicara pada Ying.
"Err--anu... Begini, senior Ying..." Fang menggaruk-garuk pelipisnya, ia bingung apa yang harus ia
katakan.

"Fang menyukaimu, senior Ying. Dia bilang padaku." Yaya berkata polos sambil tersenyum ceria.

Fang membulatkan matanya, terkejut dengan yang Yaya katakan. Begitu juga dengan Ying, kakak kelas
cantik itu terlihat terkejut. Teman-teman Ying yang sedari tadi memperhatikan, tertawa dengan apa
yang Yaya katakan.

"Hahaha, apa yang dia katakan?"

"Serius? Lelaki itu menyukaimu, Ying?"

"Yang benar saja, berani sekali adik kelas sepertimu menyukai Ying. Hahahaha!"

Fang tertunduk mendengar ejekan kakak-kakak kelasnya. Yaya kemudian menyentuh pundak Fang dan
menatap ke arah kakak-kakak kelas yang ada di depannya.

"Apa ada yang salah jika sahabatku menyukai senior Ying?" Tanya Yaya.

"Tentu saja!" Ucap salah satu kakak kelasnya.

"Hey, tunggu dulu. Kau? Bukankah kau siswi penerima beasiswa yang sering adikku ceritakan?" Kakak
kelas ber-nametag Angeline itu menatap remeh pada Yaya.

"Benarkah?"

"Serius?"

Lalu kakak-kakak kelas yang lainnya ikut penasaran. Yaya mengedarkan pandangannya pada Ying, ia
melihat kakak kelasnya itu hanya diam dan seperti berniat tidak ingin memperumit.

"Berani sekali, murid sepertimu datang pada kami dan mengatakan sesuatu yang luar biasa!" Ucap
Angeline.

Ying hendak menghentikan Angeline, tapi temannya itu tidak ingin dihentikkan. Senioritas di sekolah ini
memang masih kental sekali. Ini yang membuat Ying tidak suka harus bersekolah di sini. Tapi apa daya,
kedua orang tuanya memaksa agar ia harus bersekolah di sini.

"Katakan, apa kau juga sama-sama penerima beasiswa seperti gadis ini?" Tanya Angeline sambil berjalan
menghampiri Fang.

"Tidak, Fang bukan----"

"Maafkan aku. Aku salah." Ucap Fang tiba-tiba.


"Bagus kalau kau mengaku salah. Kalangan bawah seperti kalian tidak sepantasnya menyukai kami yang
merupakan kalangan atas. Dan kau, bermimpilah untuk menyukai Ying. Ingat, Ying tidak pantas untuk
orang sepertimu." Angeline menunjuk-nunjuk pundak Fang dengan keras.

"Sudah, Angeline. Kita pergi, ayo." Ying kemudian menarik Angeline untuk pergi dari taman sekolah,
diikuti oleh teman-temannya yang lain.

"Mimpi saja kau!"

"Dasar, tidak sadar diri!!"

"Seorang kurcaci berani sekali menyukai seorang putri."

Itu yang Yaya dengar dari omongan kakak-kakak kelasnya itu. Fang pasti merasa sakit hati. Yaya
kemudian mengusap-usap pundak Fang.

"Fang, maafkan aku." Ucap Yaya merasa bersalah.

"Hmm. Bisa antar aku ke ruang kesehatan? Kepalaku sedikit pusing." Ucap Fang pelan.

Yaya kemudian menganggukkan kepalanya. Ia lalu merangkul Fang untuk berjalan menuju ruang
kesehatan sekolah.

••••••••••

Setelah perbuatan Yaya tempo hari, kabar Fang siswa penerima beasiswa (yang sebenarnya Fang
bukanlah siswa penerima beasiswa) menyukai Ying ketua cheers kelas 12-A tersebar pesat di seluruh
penjuru sekolah. Para siswa-siswi Malaysia High School dibuat heboh dengan berita tersebut. Mereka
bahkan sampai mengejek Fang.

Sebab itu, Fang dan Yaya tidak lagi sering keluar dari ruang kelas. Yaya merasa kasihan pada Fang yang
harus menanggung malu karena perbuatannya. Ia sudah berkali-kali meminta maaf pada Fang dan
sahabatnya itu hanya tersenyum dan memaklumi.

Sekarang mereka sedang ada di rooftop sekolah. Fang dan Yaya tidak lagi pergi ke Caffetaria dan
mengambil jatah makan siang mereka. Mereka berdua sepakat untuk pergi makan siang di rooftop
sekolah dengan membawa bekal dari rumah.

"Masakan ibumu selalu enak, Aya." Ucap Fang senang.

"Kalau begitu, lain kali datanglah ke rumahku. Aku akan meminta Ibu untuk memasak banyak makanan."
Balas Yaya tersenyum senang.

"Tentu saja. Aku bisa saja berkunjung ke rumahmu. Tapi, kau selalu sibuk dengan jadwal part time mu
itu." Fang membuat ekpresi cemberut.

"Hahaha, maaf. Tapi dari hari jumat sampai minggu aku tidak bekerja, Fang."
"Aku tahu. Sayangnya hari jumat itu waktuku bermain game, dan hari sabtu minggu aku tidak bisa keluar
rumah. Aku harus pergi bimbingan belajar, malah sekarang Ayahku juga menambah jam belajarku, huh
menyebalkan!" Fang berucap sebal.

Yaya tersenyum maklum. Beginilah orang kaya, selalu terobsesi agar anaknya tidak tertinggal pelajaran,
maka mereka akan memberi jadwal bimbingan belajar pada anak mereka. Seandainya bisa, Yaya juga
ingin ikut bimbingan belajar seperti Fang dan siswa-siswi yang lain. Tapi, Yaya bersyukur karena ia sudah
terlahir dengan otak yang cerdas.

"Aku lupa! Guru matematika menyuruhku untuk datang menemuinya di ruang guru." Ucap Yaya
terkejut.

"Pergilah. Aku ingin disini sebentar." Fang kemudian menyuruh Yaya untuk pergi.

"Baiklah, aku pergi." Yaya beranjak dari duduknya dan berjalan menuju pintu rooftop sekolah.

Setelah memastikan Yaya sudah pergi dan turun dari rooftop sekolah. Fang kemudian menatap langit
biru di atas sana. Lelaki itu memandang ke arah langit dan menyampaikan semua keluh kesahnya yang
selama ini tersimpan di hatinya. Ia sebenarnya sudah muak dengan segala ejekan dari siswa-siswi
sekolah ini.

"Hey, bocah!" Teriak seseorang.

Fang menoleh ke arah sumber suara dan menemukan seseorang sedang berjalan ke arahnya.

*FLASHBACK OFF*

••••••••••

"Fang..." Yaya berbicara lirih pada Fang yang sedang memasukkan barang-barangnya ke dalam loker.

Seperti biasa, tidak ada sapaan balik dari Fang. Sahabatnya itu langsung pergi begitu saja tanpa menoleh
ke arahnya. Yaya tahu, ia salah. Yaya menyesal.

"Oi, gadis kampung!" Teriak seseorang tak jauh dari tempat Yaya berdiri.

Yaya kemudian menolehkan pandangannya dan menemukan para pembully itu sudah berlari ke
arahnya. Gadis cantik itu lalu segera berlari menjauh dari para pembully yang semakin dekat
mengejarnya.

Yaya menghentikan larinya dan tertunduk sambil menetralkan jantungnya. Ia sudah lari sampai ke
halaman belakang sekolah. Para pembully itu sudah tidak terlihat olehnya. Ia lalu mengedarkan
pandangannya, mencari tempat untuk ia bersembunyi.

"Hey! Mau lari ke mana kau?!!"


Yaya menoleh ke arah belakang dan terkejut melihat para pembully itu sudah berhasil menemukannya.
Yaya kemudian lanjut berlari menghindar dari para pembully itu. Saat dipertigaan koridor ruang
olahraga, seseorang tiba-tiba menarik tangannya cukup kencang.

"Akh!" Yaya mengaduh karena punggungnya terdorong sedikit keras pada tembok.

Orang yang menarik tangannya sekarang sudah berada di depannya. Mengukung dirinya dengan tangan
kanannya yang membekap mulut Yaya dan tangan kirinya yang ia letakkan di tembok.

Yaya mendengar suara langkah kaki berlari yang melewati dirinya. Sepertinya para pembully itu sudah
pergi menjauh dan tidak tahu kalau Yaya berada di balik tembok koridor ruang olahraga.

Yaya kemudian mengangkat kepalanya, mencoba melihat siapa yang telah menyelamatkannya dari para
pembully itu. Meski Yaya tidak bisa melihat wajah seseorang yang menyelamatkannya karena koridor ini
sangat gelap, Yaya bisa mengenalinya dengan topi bercorak kuning keemasan.

"Se-senior Gempa?" Tanya Yaya terkejut.

••••••••••

"Minumlah." Gempa menyodorkan botol minuman pada Yaya.

"Te-terima kasih." Yaya menerimanya dengan gugup.

Mereka berdua sekarang sedang berada di taman belakang sekolah. Yaya merasa takut sekali, karena ia
sekarang sedang berhadapan dengan Boboiboy Gempa. Hey! Gempa kan sama-sama geng pembuat
COS! Tapi kenapa kakak kelasnya itu justru malah menyelamatkannya dari para pembully itu?

"Tidak usah takut. Aku tidak akan macam-macam padamu." Gempa berkata tiba-tiba seolah tahu apa
yang sedang Yaya pikirkan.

Yaya kemudian menundukkan kepalanya.

"Terima kasih sudah menyelamatkanku dari mereka, senior Gempa." Ucap Yaya dengan suara yang
pelan.

"Tidak masalah. Dari dulu aku memang tidak suka dengan permainan ini." Gempa kemudian
mendudukkan dirinya di samping Yaya.

Yaya menggeser dirinya sedikit menjauh dari Gempa. Tentu saja ia segan. Gadis itu lalu menoleh ke arah
kakak kelasnya itu.

"Eh?"

"Kau pasti tahu, aku tidak pernah terlibat langsung menindas atau membully para korban COS. Aku
hanya menyaksikan dan tidak berminat untuk melakukannya." Ucap Gempa.

Benar, Yaya tidak pernah melihat Gempa turun tangan menindas para korban COS sepertinya.
"Aku tidak bisa menghentikan permainan ini. Halilintar sulit sekali untuk dihentikan. Aku sebagai adiknya
hanya bisa menurut padanya." Sambung Gempa.

"Ah begitu." Jawab Yaya, ia bingung harus berbicara apa lagi.

Jantungnya sedari tadi berdetak sangat cepat. Ia sedikit takut pada lelaki yang sekarang sedang duduk di
sampingnya.

"Sebab itu, atas nama kakak-kakak ku dan Gopal, aku ingin minta maaf padamu, Yaya." Gempa menoleh
ke arah Yaya dan tersenyum lembut.

Yaya dibuat terkejut dengan ucapan kakak kelasnya itu. Kenapa Gempa harus repot-repot meminta
maaf padanya.

"Ti-tidak apa-apa, senior Gempa. Tidak usah meminta maaf padaku." Yaya menggeleng-gelengkan
kepalanya.

"Tapi aku ingin. Aku tidak suka permainan ini berlaku untuk gadis manis sepertimu."

HEHHHHHH???

Apa yang kakak kelasnya itu katakan??!

Manis????

Yaya terkejut bukan main. Gempa yang melihatnya hanya tersenyum tipis.

"Dengar, aku mungkin tidak bisa menghentikan permain yang dibuat oleh Halilintar. Tapi, aku akan
berusaha untuk melindungimu dari para pembully itu." Gempa berkata lembut sambil memandang Yaya.

Semburat merah perlahan muncul di pipi gadis itu. Apa ini? Kenapa Yaya jadi salah tingkah?

"Sekarang apa kita bisa menjadi teman?" Tanya Gempa sambil menyodorkan tangan kanannya.

Lagi-lagi Yaya dibuat terkejut oleh tindakan kakak kelasnya itu. Apa lelaki yang sedang duduk di
sampingnya itu benar-benar Boboiboy Gempa?

"Ah, kau tidak ingin berteman denganku yaa?" Gempa berkata dengan nada kecewa karena tidak
mendapat balasan jabatan tangan dari Yaya.

"Bu-bukan begitu, aku---aku..." Ucap Yaya terbata.

"Hahaha, tidak apa-apa. Aku mengerti. Kau pasti masih bingung dengan ini."

Yaya menundukkan kepalanya malu.

"Baiklah aku harus pergi. Kau bisa menjaga rahasia ini? Jangan beritahu orang lain tentang ini, okay?
Apalagi pada kakak-kakak ku dan Gopal. Aku bisa habis nanti, hahaha." Gempa tertawa.
Yaya kemudian menganggukkan kepalanya. Ia mengerti maksud Gempa. Ada fakta yang baru Yaya
ketahui. Boboiboy Gempa ternyata benar-benar baik. Sangat baik.

"Aku harap bisa mengobrol lebih lama lagi denganmu, Yaya. Tapi aku harus segera pergi. Baiklah, sampai
jumpa." Gempa melambaikan tangannya kemudian berjalan meninggalkan Yaya. Gadis itu
memandangnya dengan tatapan lembut.

••••••••••

*FLASHBACK ON*

Yaya sedang membereskan tas sekolahnya. Gadis itu sedang memasukkan buku pelajaran yang akan ia
bawa besok ke sekolah. Tunggu dulu, sepertinya ada sesuatu yang salah. Yaya tidak menemukan buku
sketsanya yang selalu ia simpan di dalam tas sekolahnya.

Yaya kemudian mengubrak-abrik isi tas sekolahnya. Ia tidak menemukan buku sketsanya. Yaya ingat,
kemarin ia masih melihat buku sketsanya itu ada di dalam tas. Lalu kenapa sekarang tidak ada?

Ia lalu keluar dari dalam kamarnya dan berjalan tergesa menghampiri Ibunya yang sedang memasak di
dapur.

"Ada apa, Yaya?" Tanya Ibu Wawa.

"Ibu, apa Totoitoy mengambil buku sketsaku?' Tanya Yaya.

"Sepertinya tidak. Adikmu itu tidak terlihat sedang memainkan buku sketsamu. Biasanya dia akan
menyuruh Ibu untuk membantunya menggambar. Tapi, Otoy sedang asik dengan mainan robotnya
sekarang." Jelas sang Ibu.

Raut wajah Yaya sekarang menjadi terlihat cemas. Kalau adiknya tidak mengambil buku sketsa itu, lalu
siapa yang telah mengambil buku sketsanya?

Yaya berharap Totoitoy memang benar-benar mengambil buku sketsanya. Dicoret-coret oleh adiknya
pun ia tak apa. Yaya tidak akan memarahi adiknya itu. Tapi, sekarang ia tidak tenang. Ada sesuatu di
dalam buku sketsanya yang tidak ingin Yaya tunjukkan pada siapapun. Kemana buku sketsanya itu
menghilang?

*FLASHBACK OFF*

TBC

Anda mungkin juga menyukai