XL Radiologi 26-27 Nop 1997 Pencitraan: Penggunaannya untuk Menunjang Diagnosis Penyakit
Saluran Napas dan Saraf pada Anak
XLI Hematologi 24-25 Jun 1998 Darah dan Tumbuh Kembang: Aspek Transfusi
XLII Gastroenterologi, 22-23 Feb 1999 Dari Kehidupan Intrauterin sampai Transplantasi Organ: Aktualisasi
Hepatologi dan Gizi Gastroenterologi-Hepatologi dan Gizi
XLIII Hepatologi 31 Mei 2000 Tinjauan Komprehensif Hepatitis Virus Pada Anak
XLIV Alergi-Imunologi, Infeksi 30-31 Juli 2001 Pendekatan Imunologis Berbagai Penyakit Alergi PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN LXXII
dan Penyakit Tropis
XLV Dep.IKA FKUI-RSCM 18-19 Feb 2002Hot Topics and Pediatrics II
XLVI Dep. IKA FKUI-RSCM 5-6 Sep 2004 Current Management of Pediatrics Problems
XLVII Dep. IKA FKUI-RSCM 19-20 Sep 2005Penanganan Demam pada Anak Secara Profesional
XLVIII Dep. IKA FKUI-RSCM 13-14 Des 2005Update in Neonatal Infections
XLIX Dep. IKA FKUI-RSCM 5-7 Maret 2006Neurology in Children for General Practitioner in Daily Practice
L Dep. IKA FKUI-RSCM 24-25 Juli 2006
Strategi Pendekatan Klinis Secara Profesional Batuk pada Anak
LI Dep. IKA FKUI-RSCM 20-21 Nov 2006Pain Management in Children
LII Dep. IKA FKUI-RSCM 16-17 Juli 2007
Pendekatan Praktis Pucat: Masalah kesehatan yang terabaikan pada
Excellent Adolescents
LV Dep. IKA FKUI-RSCM 22-23 Maret 2009 HIV Infection in Infants and Children in Indonesia: Current Challenges in
Management
LVI Dep. IKA FKUI-RSCM 9-10 Agt 2009 The 2nd Adolescent Health National Symposia:
Current Challenges in Management
LVII Dep. IKA FKUI-RSCM 8-9 Nov 2009 Management of Pediatric Heart Disease for Practitioners: From Early
Detection to Intervention
LVIII Dep. IKA FKUI-RSCM 20-21 Juni 2010 Pediatric Skin Allergy and Its Problems
LIX Dep. IKA FKUI-RSCM & 19-20 Des 2010 The Current Management of Pediatric Ambulatory Patients
IDAI Jaya
LX Dep. IKA FKUI-RSCM & 9-10 Okt 2011 Peran Dokter Anak dalam Diagnosis Dini dan Pemantauan Keganasan
IDAI Jaya pada Anak
LXI Dep. IKA FKUI-RSCM 5-6 Feb 2012 Kegawatan Pada Bayi dan Anak
LXII Dep. IKA FKUI-RSCM 1-2 Apr 2012 Current Management in Pediatric Allergy and Respiratory Problems
LXIII Dep. IKA FKUI-RSCM 17-18 Juni 2012 Update Management of Infectious Diseases and Gastrointestinal
Disorders
LXIV Dep. IKA FKUI-RSCM 24-25 Maret 2013 Tata Laksana Berbagai Keadaan Gawat Darurat pada Anak
LXV Dep. IKA FKUI-RSCM 17-18 Nop 2013 Pelayanan Kesehatan Anak Terpadu
LXVI Dep. IKA FKUI-RSCM 22-23 Maret 2014 Pendekatan Holistik Penyakit Kronik pada Anak untuk Meningkatkan
Kualitas Hidup
LXVII Dep. IKA FKUI-RSCM 16-17 Nop 2014 Current Evidence in Pediatric Practices
LXVIII Dep. IKA FKUI-RSCM 12-13 April 2015 Current Evidences in Pediatric Emergencies Management
LXIX Dep. IKA FKUI-RSCM 6-7 Des 2015 Menuju diagnosis: pemeriksaan apa yang perlu dilakukan?
LXX Dep. IKA FKUI-RSCM 3-4 April 2016 Common and Re-Emerging Infectious Disease: Current Evidence DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
LXXI Dep. IKA FKUI-RSCM 30-31 Okt 2016 Doctors Without Border: Recent Advances in Pediatrics FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA -
RS. CIPTO MANGUNKUSUMO
FAKULTAS
KEDOKTERAN
Penyunting:
Nia Kurniati
Risma K. Kaban
Novie Amelia Chozie
Titis Prawitasari
Madeleine Ramdhani Jasin
Diterbitkan oleh:
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM
ISBN 978-979-8271-56-4
ii
Kata Sambutan
Ketua Departemen IKA FKUI - RSCM
Aryono Hendarto
iii
iv
Kata Sambutan
Ketua Panitia PKB Departemen IKA FKUI-RSCM LXXII
Murti Andriastuti
Ketua panitia
v
vi
Kata Pengantar Tim Penyunting
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah yang Maha Kuasa atas terbitnya
buku naskah lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB) LXXII,
dengan tema Transformation from Fetus to Excellent Adolescents.
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia - RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo berkomitmen untuk ikut
serta dalam pengembangan keilmuan dan perkembangan serta ketrampilan
di bidang ilmu kesehatan anak, yang diadakan rutin khususnya untuk dokter
spesialis anak di Indonesia dan umumnya untuk semua dokter dalam bentuk
pendidikan kedokteran berkelanjutan.
Topik yang diangkat pada PKB LXXII sebagaimana disebutkan di atas
akan membahas berbagai aspek kesehatan anak, dimulai sejak fetus hingga
remaja. Diantaranya adalah nutrisi ibu selama masa kehamilan, kesehatan
saluran cerna bayi, infeksi pada masa bayi, hingga masalah kesehatan fisik
dan mental pada remaja. Tentu saja tidak semua aspek dapat dibahas lengkap,
namun kami berniat agar setiap artikel lengkap dalam buku ini dapat mewakili
issue penting pada kehidupan anak. Oleh karena itu kami berharap sejawat
sekalian dapat mengambil manfaat yang besar dan dapat berguna dalam
praktik sehari-hari.
Jakarta,
Tim Penyunting
vii
viii
Tim PKB FKUI-RSCM
ix
Susunan Panitia
x
Daftar Penulis
xi
Dr. Evita B. Ifran, Sp.A(K)
Divisi Pencitraan
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta
xii
Daftar isi
xiii
Etik dalam Pelayanan Kesehatan Anak...................................................... 65
Sudung O. Pardede
Transportasi Anak Sakit Kritis................................................................... 77
Rismala Dewi
Penyakit Jantung pada Remaja................................................................... 85
Mulyadi M. Djer
Kelainan Bawaan Saluran Cerna pada Neonatus........................................ 97
Evita Karianni Bermanshah Ifran
Kelainan Kongenital dan Angka Kematian Neonatus (AKN)................... 116
Rosalina Dewi Roeslani
Skrining Mental, Emosional, Perilaku, dan Psikososial pada Remaja........ 127
Bernie Endyarni Medise
Substance Use Amongst Adolescents....................................................... 135
Peter Azzopardi
Pendekatan Diagnosis Nyeri Sendi pada Anak......................................... 140
Arwin AP Akib
Asma pada Remaja................................................................................... 145
Bambang Supriyatno
xiv
Faktor-Faktor yang Memengaruhi
Perkembangan Saluran Cerna pada Bayi
Muzal Kadim, Alberta Claudia, Wanda Gautami
Tujuan:
1. Mengenali pentingnya perkembangan saluran cerna bayi
2. Membahas proses perkembangan saluran cerna bayi antenatal hingga
pascanatal
3. Membahas fakor-faktor prenatal dan pascanatal yang mempengaruhi
pertumbuhan dan pematangan saluran cerna bayi
Saluran cerna manusia memiliki fungsi yang sangat kompleks antara lain
pencernaan (digesti), penyerapan (absorpsi), ekskresi, metabolik, sistem
saraf, pembatas dengan dunia luar (barrier) dan pertahanan tubuh baik
secara fisis, biokimiawi maupun imunologis. Salah satu perkembangan yang
penting pada saluran cerna bayi setelah lahir adalah perkembangan fungsi
pertahanan epitel usus (intestinal epithelial barier function). Fungsi pertahanan
epitel usus merupakan kemampuan epitel usus untuk memberi batasan antara
lingkungan luar dan internal tubuh dan membentuk pertahanan yang dibentuk,
sehingga patogen, antigen, alergen, maupun molekul toksik yang masuk ke
lumen saluran cerna tidak dapat masuk ke dalam jaringan usus dan akhirnya
ke sirkulasi tubuh. Kerusakan fungsi pertahanan epitel usus, misalnya pada
pertautan erat antar sel enterosit (tight junction) akan menyebabkan inflamasi
lokal maupun sistemik pada tubuh bayi, yang ditandai dengan permeabilitas
usus yang meningkat.1-4
Bayi baru lahir pada awalnya akan memiliki permeabilitas usus yang
tinggi, yang kemudian secara perlahan akan menurun ketika usus bayi
mengalami maturasi pasca kelahiran. Pada tujuh hari pertama pasca kelahiran,
penurunan permeabilitas sangat signifikan. Salah satu faktor yang memengaruhi
permeabilitas usus bayi diantaranya pemberian air susu ibu (ASI) yang terbukti
mempercepat penurunan permeabilitas usus.3,4 Gambar 1 menunjukkan peran
tight junction dalam mempertahankan permeabilitas normal sel enterosit.2
1
Faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan saluran cerna pada bayi
Gambar 1. Pertahanan usus yang baik akan mencegah patogen, antigen dan alergen untuk
melewati epitel menuju lamina propria, bila terjadi kerusakan pada tight junction, maka
terjadi peningkatan permeabilitas usus.2
Perkembangan morfologi
Perkembangan sistem pencernaan manusia dimulai sejak masa konsepsi dan
mengalami kemajuan pesat sejak usia gestasi 5 hingga 40 minggu. Pada usia
gestasi 4 minggu, panjang janin dari mulut mencapai kloaka kurang lebih 4
mm. Volume lambung pada saat bayi lahir sekitar 30 ml, panjang usus halus
bertambah dua kali lipat pada trimester akhir usia gestasi hingga mencapai
panjang rata-rata 275 cm, sedangkan panjang kolon berkisar 30-40 cm saat
lahir. Walaupun pertumbuhan pesat terjadi di dalam kandungan, usus terus
mengalami pertumbuhan hingga anak berusia 3-4 tahun.1,2
Luas permukaan usus juga mengalami perkembangan yang signifikan
dengan bertambahnya villi dan mikrovilli yang berhubungan dengan kapabilitas
absorbsi nutrisi. Villi dan kripta mulai terbentuk sejak usia gestasi 8 minggu,
mulai dari usus halus hingga kolon pada usia 10-12 minggu.2 Walaupun
2
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
berkembang juga di kolon, villi kolon kemudian mengalami regresi pada usia
29-30 minggu gestasi. Selain villi dan sel epitel dengan mikrovilli, sel goblet,
sel enteroendokrin juga mulai terbentuk sejak usia getasi 8 minggu.2,5 Mukosa
usus terus mengalami pertumbuhan dengan kripta yang semakin dalam,
pertambahan jumlah dan lebar villi serta lipatan-lipatan submukosa.6
3
Faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan saluran cerna pada bayi
4
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
Gambar 2. Perkembangan enzim pencernaan janin pada masa kehamilan 5
menyumbang 40-60% energi dari lemak. Digesti dan absorpsi lemak tidak
hanya berguna untuk memenuhi kebutuhan energi saja melainkan untuk
optimalisasi pertumbuhan dan perkembangan saraf.9
Digesti lemak bergantung pada aktivitas lipase. Seperti yang disebutkan
sebelumnya bahwa ASI memiliki kandungan yang kaya akan lemak, namun
kapasitas untuk mencerna lemak belum sempurna. Hal ini disebabkan karena
lipase yang dihasilkan oleh pankreas belum cukup untuk memenuhi kebutuhan
tersebut. Dengan demikian, proses pencernaan lemak juga mengandalkan
lipase yang berasal dari gaster, garam empedu (karboksil esterase lipase), dan
lipase dari ASI. Aktivitas lipase gaster dan pankreas yang mulai terdeteksi sejak
usia gestasi 24 minggu dan menjadi stabil menjelang cukup bulan dan setelah
lahir.1,9 Gambar 2 menunjukkan perkembangan enzim pencernaan bayi pada
masa kehamilan sampai 6 bulan setelah lahir.5
5
Faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan saluran cerna pada bayi
6
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
Faktor luminal
Faktor luminal termasuk berbagai nutrien, sekresi saluran cerna dan komponen
esensial lainnya pada diet atau hasil produksi lumen saluran cerna yang
memiliki fungsi untuk menstimulasi pertumbuhan mukosa usus.15 Cairan
amnion merupakan cairan pertama yang masuk kedalam saluran cerna janin.
Pada minggu ke 16, janin mulai menelan cairan amnion yang mengandung
faktor pertumbuhan esensial seperti epidermal growth factor dan polyamines
yang menstimulasi perkembangan dan diferensiasi saluran cerna serta
perbaikan sel epitel usus.16 Nutrisi juga merupakan komponen yang penting
untuk perkembangan usus bayi. Janin mendapat suplai nutrisi sebagian besar
melalui sirkulasi umbilkus dan dengan menelan cairan amnion. Perubahan jalur
makanan menjadi enteral membutuhkan adaptasi yang lebih mudah untuk
ditoleransi oleh bayi cukup bulan dibandingkan bayi prematur. Bayi prematur
yang belum mampu untuk mentoleransi nutrisi enteral dan mendapatkan
nutrisi secara parenteral dapat mengalami gangguan pertumbuhan usus dan
diferensiasi enterosit. Hal tersebut dapat terjadi karena pemberian makanan
secara enteral dapat menstimulasi produksi faktor pertumbuhan usus seperti
glucagon-like peptide 2 (GLP-2), gastrin, kolesistokinin, peptide YY, dan
neurotensin. 17
Faktor ASI
ASI mengandung seluruh komponen yang diperlukan oleh bayi baru lahir untuk
menghadapi transisi dari lingkungan intrauterin menjadi ekstrauterin. ASI
mengandung sejumlah protein, lemak, karbohidrat, termasuk faktor imunologis
dan faktor pertumbuhan yang berperan dalam perkembangan struktural dan
fungsional saluran cerna bayi.18 Komponen bioaktif ASI menimbulkan respon
trofik kuat yang penting untuk perkembangan saluran cerna. Komponen ASI
yang mendukung maturitas usus meliputi sIgA, laktoferin, lisozim, platelet
activating factor-acetylhydrolase, dan sitokin.2,11 Kolostrum pada ASI juga kaya
akan beberapa faktor maternal seperti epidermal growth factor dan transforming
growth factor β yang mendukung pematangan fungsi saluran cerna.14
7
Faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan saluran cerna pada bayi
Epitel usus pada bayi yang baru lahir belum matang sehingga partikel asing
dan bakteri dapat dengan mudah masuk ke sistem limfatik dan aliran darah.
Konsumsi ASI dapat mengurangi permeabilitas usus sehingga memperkuat
pertahanan fisis usus. Studi yang dilakukan pada bayi prematur dan cukup
bulan, menyimpulkan bahwa permeabilitas usus pada bayi yang mendapatkan
ASI eksklusif lebih rendah dibandingkan dengan bayi yang mendapat susu
campuran atau formula.19,20
Perkembangan dan pematangan mukosa usus dan jaringan limfoid usus
termasuk peyer’s patches diawali oleh kolonisasi mikrobiota usus. Menyusui
merupakan salah satu rute masuknya mikroba dan antigen secara oral. Bayi
yang mendapat ASI akan memiliki koloni bakteri komensal yang didominasi
oleh Bifidobacterium dan lactobacillus dibandingkan dengan susu formula yang
lebih didominasi dengan koloni bakteri Escherichia coli, Clostridium difficile,
Bacteroides spp . Dominasi dari Bifidobacterium pada ASI dipengaruhi oleh
komposisi ASI yang kaya akan ologosakarida yang berfungsi sebagai prebiotik.
Oligosakarida yang dikandung oleh ASI merupakan karbohidrat yang tidak
diserap di usus halus sehingga difermentasi di kolon dan dapat menstimulasi
perkembangan Bifidobacterium dan Bacteroides yang berkontribusi pada
perkembangan sistem imun usus. Salah satu hasil fermentasi oligosakarida
adalah butirat yag efektif sebagai agen antiapoptosis, pro-proliferatif dan juga
memperkuat tight junction interselular dan menstimulasi sintesis GLP 2 yaitu
hormone trofik usus.6,11
Faktor Nutrisi
Perkembangan saluran cerna bayi sangat dipengaruhi oleh nutrisi yang
dikonsumsi oleh bayi, bahkan dapat dikatakan merupakan faktor yang paling
esensial. Beberapa nutrisi yang terbukti mendukung pertumbuhan dan
perkembangan usus antara lain, asam amino (arginin, glutamin, treonin),
asam lemak, prebiotik dan probiotik.
Asam Amino
Untuk menjalankan fungsi fisiologis, maka asam amino sangat diperlukan
oleh tubuh khususnya usus untuk sintesis protein. Asam amino juga dapat
memengaruhi fungsi mekanis, hormon dan neuroendokrin saluran cerna.
Arginin, merupakan asam amino esensial yang disintesis oleh neonatus
oleh enterosit dan diperlukan untuk sintesis protein dan pertumbuhan saluran
cerna serta menurunkan permeabilitas usus. Glutamin berfungsi dalam sumber
energi utama bagi sel epitel usus dan leukosit, sedangkan asam amino esensial
treonin berperan penting dalam sintesis musin dan pemeliharaan fungsi
pertahanan usus. Produksi musin penting dalam pertahanan usus karena
8
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
dengan adanya lapisan mukus pada epitel usus akan memperkuat proteksi
usus terhadap patogen, antigen dan substansi toksin. Adanya kerusakan pada
lapisan ini tentunya dapat memfasilitasi translokasi bakteri ke dalam tubuh. 14
Asam Lemak
Asam lemak merupakan sumber utama energi dan komponen utama membran
sel dan sinyal antar sel, serta berperan sebagai imunomodulator. Medium-chain
triglycerides (MCT) dan long-chain PUFA (LC-PUFA) merupakan komponen
esensial dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan saluran cerna
bayi. Medium-chain fatty acid (MCFA) terbukti mempengaruhi struktur dan
morfologi usus, meningkatkan panjang villus serta memperdalam kripta usus
serta mengurangi limfosit intraepitel yang akan mengurangi apoptosis sel
usus. Modifikasi terhadap asupan LC-PUFA mempengaruhi struktur utama
membran yaitu fosfolipid termasuk pada usus. Hampir 30-35% asam lemak
yang meliputi membran usus halus berasal dari makanan dan tidak dapat
disintesis secara denovo, antara lain asam linoleat dan asam arakhidonat yang
merupakan komponen dari ASI. 2,14 Short chain fatty acid (SCFA) yaitu asetat,
propionat, dan butirat, merupakaan kelompok asam lemak hasil fermentasi
mikrobiota dalam usus. SCFA mudah diabsorbsi mukosa kolon, tinggi energi,
mudah dimetabolisme oleh epitel usus, dan bersifat tropik terhadap mukosa
usus. Berdasarkan sifat tersebut, SCFA dipercaya mampu menstimulasi
proliferasi enterosit, mencegah atrofi mukosa usus, menghambat apoptosis,
dan meningkatkan transporter glukosa, asam amino, dan dipeptidase pada
mukosa usus.17
9
Faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan saluran cerna pada bayi
Faktor Mikrobiota
Proses kolonisasi saluran cerna setelah kelahiran menyebabkan pembentukan
mikrobiota stabil yang unik pada setiap individu. Kolonisasi usus dengan
mikrobiota non-patogen (komensal) memiliki fungsi penting bagi
perkembangan usus bayi 11, 21
Ditemukannya mikroba dalam cairan amnion menunjukkan bahwa
janin sejak dalam kandungan terekspos dengan mikroba yang diduga karena
proses menelan cairan amnion. Selain itu, ditemukannya DNA mikroba
pada mekonium bayi prematur yang baru lahir menunjukkan bahwa sejak
lahir, bayi sudah memiliki mikroflora normal pada usus. Sebuah studi kohort
menunjukkan beberapa faktor yang memengaruhi flora normal dalam usus
bayi, diantaranya cara persalinan, usia gestasi, pola makan, riwayat perawatan
di rumah sakit, dan penggunaaan antibiotik.21,22
Bayi yang lahir dengan cara persalinan operasi sesar dibandingkan dengan
bayi yang lahir dengan persalinan normal memiliki lebih sedikit mikroba
anaerob obligat seperti Bacteroides, dan Bifidobacteria; akan tetapi memiliki
lebih banyak mikroba anaerob fakultatif seperti Clostridium. Hal tersebut
dikarenakan bayi yang lahir dengan cara operasi sesar tidak mendapat kontak
langsung dengan flora normal vagina ibu. Kolonisasi bakteri usus pada bayi
prematur berbeda dibandingkan dengan bayi yang cukup bulan dan sehat. Bayi
yang lahir prematur dan bayi yang memiliki riwayat perawatan di rumah sakit
umumnya memiliki jumlah Bifidobacteria dan Bacteroides yang lebih sedikit,
dan jumlah Clostridium difficile yang lebih banyak dibandingkan dengan bayi
cukup bulan yang sehat.22 Bayi yang diberikan susu formula memiliki jumlah
koloni Clostridium difficile, yang lebih banyak dibandingkan bayi yang diberikan
ASI eksklusif. Bayi yang diberi susu formula memiliki jumlah koloni Enterococci
dan Enterobacteria yang lebih tinggi, sementara bayi yang diberi ASI eksklusif
umumnya memiliki jumlah koloni Bifidobacteria dan Lactobacilli yang lebih
tinggi.21,22
10
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
Daftar pustaka
1. Michael JL. Gastrointestinal development, nutrition and absorption. Dalam:
Koletzko, penyunting. Pediatric Nutrition in Practice. Edisi ke 2. Basel: Karger;
2015. h. 83–86.
2. Anderson RC, Dalziel JC, Gopal PK, Bassett S, Ellisand A, Roy NC. The Role of
Intestinal Barrier Function in Early Life in the Development of Colitis. Diunduh
dari: http://cdn.intechopen.com/pdfs/25358.pdf. Diakses tanggal 7 Maret 2017.
3. Pohl CS, Medland JE, Moeser AJ. Early-life stress origins of gastrointestinal
disease: animal models, intestinal pathophysiology, and translational implications.
American Journal of Physiology - Gastrointestinal and Liver Physiology.
2015;309(12):G927–G941.
4. Van Elburg RM, Fetter W, Bunkers C, Heymans H. Intestinal permeability in
relation to birth weight and gestational and pascanatl age. Archives of Disease
in Childhood Fetal and Neonatal Edition. 2003;88(1):F52-F55.
5. Ménard D. Functional development of the human gastrointestinal tract:
Hormone- and growth factor-mediated regulatory mechanisms. Can J
Gastroenterol. 2004;18:39-44.
6. Neu J. Gastrointestinal maturation and implications for infant feeding. Early
Human Development. 2007;83:767–775.
7. Dallas DC, Underwood MA, Zivkovic AM, German JB. Digestion of Protein in
Prematur and Term Infants. J Nutr Disord Ther. 2012(3):112.
8. Antonowicz I, Lebenthal E. Developmental pattern of small intestinal
enterokinase and disaccharidase activities in the human fetus. Gastroenterology.
1977;72:299–1303.
9. Abrahamse A, et al. Development of the Digestive System—Experimental
Challenges and Approaches of Infant Lipid. Food Dig. 2012;3:63–77.
10. Louis NA, Lin PW. The intestinal immune barrier. NeoReviews. 2009;10:180-90.
11. Kusumo PD. Kolonisasi mikrobiota normal dan pengaruhnya pada perkembangan
system imunitas neonatal. Widya 2012;29(320):55-63.
12. Maheshwari A, Zemlin M. Ontogeny of the intestinal immune system.
Haematologica Reports. 2009;10:18-26.
13. Matamoros S, Gras LC, Le Vacon F, Potel G, de La Cochetiere MF. Development
of intestinal mikrobiotain infants and its impact on health. Trends Microbiol.
2013;21(4):167-73.
14. Jain N, Walker WA. Diet and host-microbial crosstalk in pascanatl intestinal
immune homeostasis. Nat Rev Gastroenterol Hepatol. 2015;12(1):14-25.
15. Rao JN, Wang JY. Regulation of gastrointestinal mucosal growth. San Rafael
(CA): Morgan & Claypool Life Sciences; 2010.
16. Dasgupta S, Jain SK. Importance of Amniotic Fluid in Gastrointestinal
Development. NeoReviews. 2016;17:367.
17. Jacobi SK, Odle J. Nutritional factors influencing intestinal health of the neonate.
Advances in Nutrition. 2012; 3(5):687-96.
18. Ballard O, Morrow AL. Human Milk Composition: Nutrients and Bioactive
Factors. Pediatric clinics of North America. 2013;60(1):49-74.
19. Taylor SN, Basile LA, Ebeling M, Wagner CL. Intestinal permeability in preterm
11
Faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan saluran cerna pada bayi
12
Menstruasi pada Remaja:
Kapan Perlu Khawatir?
Frida Soesanti
Tujuan:
1. Mengingatkan kembali tahapan pubertas normal pada remaja putri
2. Mengetahui fisiologi menstruasi pada remaja
3. Mengetahui berbagai gangguan menstruasi yang mungkin terjadi
pada remaja
4. Mengetahui tata laksana awal gangguan menstruasi pada remaja
Pubertas merupakan waktu terjadinya perubahan fisik dan psikologis yang luar
biasa bagi remaja dan menstruasi merupakan salah satu tahapan pubertas yang
sangat penting. Gangguan menstruasi sering dijumpai pada remaja dan dapat
menyebabkan stress baik bagi remaja maupun orang tua. Tak jarang remaja-
pun tidak mengetahui kriteria menstruasi yang normal dan sehingga remaja
dengan gangguan menstruasi sering kali datang terlambat untuk mencari
pertolongan medis. Klinisi, dalam hal ini dokter anak diharapkan mampu
mengenali gangguan menstruasi yang mungkin dialami oleh remaja sehingga
dapat dilakukan evaluasi dan tata laksana yang adekuat. Pada makalah ini
akan dibahas lebih lanjut mengenai berbagai gangguan menstruasi pada remaja
dengan terlebih dahulu mengingatkan kembali tentang tahapan pubertas pada
remaja perempuan.
13
Menstruasi pada remaja: kapan perlu khawatir?
Gambar 1. Skala maturasi seksual anak perempuan 1
Menarke
Menarke atau menarche adalah siklus menstruasi yang pertama kali dialami
oleh remaja. Median usia menarke adalah usia 12-13 tahun, dengan reratanya
terjadi pada usia 12,43 tahun.4,5 Sebanyak 10% remaja mengalami menarke
pada usia 11 tahun dan sebagian besar (90%) sudah mengalami menarke pada
usia 13,75 tahun. Pada usia 15 tahun, sekitar 98% remaja sudah menarke.4
Menarke biasanya terjadi 2-3 tahun setelah pertumbuhan payudara yaitu
tahapan Tanner Mammae IV dan jarang terjadi sebelum tahap Mammae III.4-
6
Usia rerata menarke pada anak perempuan kulit putih adalah 12,6 tahun,
sedangkan pada anak perempuan Afrika-Amerika, menarke terjadi pada usia
12,1 tahun. Di Indonesia rerata usia menarke adalah 12,9 tahun.7
Fisiologi menstruasi
Siklus menstruasi dibagi menjadi tiga fase yaitu fase folikuler (proliferatif), fase
ovulasi, dan fase luteal (sekretorik) (Gambar 2). Lama fase folikuler bervariasi,
tetapi lama fase luteal selalu tetap yaitu 14 hari.6 Siklus ovulasi ditandai dengan
siklus yang reguler dan tidak jarang disertai dengan nyeri atau dismenorea.6
14
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
Gambar 2. Fisiologi menstruasi 6
15
Menstruasi pada remaja: kapan perlu khawatir?
lining yang akan diperlukan untuk implantasi ovum yang telah dibuahi. Jika
fertilisasi dan implantasi tidak terjadi maka human chorionic gonadotropin (hCG)
tidak diproduksi dan korpus luteum mengalami involusi. Akibat involusi
korpus luteum ini, kadar progesteron dan estrogen turun drastis sehingga
memicu terjadinya peluruhan (shedding) lapisan endometrial, disebut dengan
menstruasi.2,3,6
Siklus menstruasi
Pada saat awal menstruasi, siklus menstruasi biasanya masih belum teratur,
terutama interval antara siklus pertama dan siklus kedua. Berdasarkan data
WHO dan data penelitian terhadap 3073 remaja, median interval antara
siklus pertama setelah menarke adalah 34 hari, dengan 38% diantaranya
melampaui 40 hari.4
Meskipun cukup bervariasi, sebagian besar interval siklus menstruasi
berkisar antara 21-45 hari, dengan reratanya adalah 32 hari. Siklus menstruasi
dapat lebih pendek dari 20 hari atau lebih panjang dari 45 hari.4-6 Siklus mulai
teratur pada tahun ke-6 menstruasi atau sekitar usia 19-20 tahun. Median
lamanya menstruasi yang normal adalah 7 hari dengan interval 2-7 hari, dengan
3-6 kali ganti pembalut per hari.4-6,8 Rerata jumlah kehilangan darah setiap
siklus menstruasi adalah 30 mL, dengan jumlah terbanyak masih dianggap
normal adalah 80 mL.4-6
Siklus menstruasi awal ditandai dengan siklus yang anovulasi. Usia
menarke yang lebih dini berhubungan dengan siklus ovulasi yang lebih
awal. Jika usia menarke lebih muda dari 12 tahun maka 50% persen remaja
mengalami siklus ovulasi pada tahun pertama setelah menstruasi, sedangkan
remaja dengan usia menarke yang lebih lambat terkadang bahkan memerlukan
waktu sampai 8 tahun untuk mencapai siklus ovulasi.4-6,8
Gangguan menstruasi
Terdapat berbagai kondisi yang menyebabkan siklus menstruasi terganggu.
Kelainan atau gangguan menstruasi yang dapat terjadi antara lain adalah
amenorea, perdarahan uterus yang abnormal, dan dismenorea. Masing-masing
kelainan ini akan dijelaskan lebih lanjut di bawah ini.
Amenorea
Amenorea diklasifikasikan menjadi amenorea primer dan amenorea sekunder.
Amenorea primer secara klinis didefinisikan sebagai tidak adanya menstruasi
pada usia 15 tahun atau tiga tahun setelah pertumbuhan payudara (breast
16
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
17
Menstruasi pada remaja: kapan perlu khawatir?
18
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
19
Menstruasi pada remaja: kapan perlu khawatir?
20
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
Dismenorea
Dismenorea merupakan masalah yang sering dialami oleh wanita muda di
seluruh dunia. Dismenorea dibagi menjadi dismenorea primer dan dismenorea
sekunder.5,6,9 Dismenorea primer atau dismenorea fungsional adalah nyeri
yang timbul tanpa adanya gangguan organik di pelvis, sedangkan dismenorea
sekunder adalah nyeri yang terjadi sekunder karena akibat proses patologis
di pelvis. 5,6,9
Dismenorea primer lebih sering terjadi daripada dismenorea sekunder.5,6
Dismenorea primer biasanya terjadi pada tahun kedua atau ketiga setelah
menarke pada saat ovulasi sudah mulai reguler. Nyeri dirasakan di abdomen
bawah, bagian belakang dan paha atas. Nyeri dapat disertai dengan sakit kepala,
mual atau diare. Dismenorea primer terjadi akibat sekresi prostaglandin E2
dan F2a dari uterus yang menyebabkan meningkatnya kontraktilitas uterus
dan meningkatkan sensitivitas reseptor nyeri.5,6,9 Dismenorea primer dapat
menyebabkan menurunnya produktivitas kerja dan absensi sekolah yang
bermakna sehingga memerlukan tata laksana yang tepat. Terapi dismenorea
primer adalah obat-obatan golongan NSAID atau COX-2. Obat kontrasepsi
oral kombinasi juga dapat digunakan. Jika dismenorea tidak respons dengan
terapi tersebut maka langkah selanjutnya adalah evaluasi dengan laparoskopi.5,9
Secara definisi, dismenorea sekunder adalah dismenorea akibat kelainan
organik di pelvis. Nyeri menstruasi yang timbul lebih dari 3 tahun setelah
menarke biasanya disebabkan karena proses patologis. Nyeri abdomen
bawah atau pelvis yang kronik, yang mulai pada satu atau dua hari sebelum
menstruasi, pola menstruasi yang ireguler dan perdarahan yang banyak, dan
gangguan saluran cerna biasanya berhubungan dengan penyakit organik
yang mendasari.5,9 Gejala klinis dismenorea sekunder cukup bervariasi dan
tidak dapat diprediksi. Penyebab paling sering dismenorea sekunder adalah
endometriosis dan penyakit inflamasi pelvis.5,6,9 Penyebab dismenorea lainnya
yang jarang ditemukan adalah malformasi duktus Mullerian, stenosis kanalis
servikalis, fibroids uterus, poli endometrium atau endoseviks, adenomiosis dan
kongesti vena pelvis. Dismenorea akibat endometriosis biasanya tidak respon
dengan NSAID atau obat kontrasepsi oral kombinasi. Jika dalam 3 bulan tidak
terdapat respon maka perlu dilakukan laparoskopi untuk evaluasi.5,6,9
21
Menstruasi pada remaja: kapan perlu khawatir?
Simpulan
Menstruasi merupakan salah satu tahapan pubertas penting bagi remaja
perempuan. Tidak jarang para remaja dan wanita mengalami gangguan
menstruasi. Gangguan menstruasi memerlukan evaluasi secara cepat dan
cermat. Deteksi dini gangguan menstruasi pada remaja memungkinkan tata
laksana yang adekuat. Klinisi, dalam hal ini dokter anak diharapkan mampu
untuk mengenali “red flags” gangguan menstruasi pada remaja. Tidak adanya
menstruasi dalam kurun waktu 3 tahun setelah telarke, belum menstruasi pada
usia 15 tahun, belum menstruasi dan tidak adanya tanda-tanda seks sekunder
pada usia 13 tahun, belum menstruasi dan terdapat tanda hirsutisme atau
adanya gangguan makan atau dicurigai adanya obstruksi traktus genitalia,
adanya menometroragia, adanya amenorea sekunder, adanya dismenorea
sekunder, serta adanya oligomenorea atau polimenorea merupakan red flags
gangguan menstruasi pada remaja yang memerlukan evaluasi lebih lanjut.
Daftar pustaka
1. Bordini B, Rosenfield RL. Pubertal Development: part II: clinical aspects of
puberty. Pediatr in Rev. 2011;32:281.
2. Rosenfield RL, Cooke DW, Radovick S. Puberty and its disorders in the female.
Dalam:Sperling MA, penyunting. Pediatric endocrinology. Edisi keempat.
Philadelphia: Elsevier Saunders. 2014. h.569-604.
3. Nakamoto JM, Franklin SL, Geffner ME. Puberty. Dalam: kappy MS, Allen
DB, Geffner ME, penyunting. Pediatric practice endocrinology. New York: The
McGraw Hill Companies. 2010. h. 257-98.
4. American Academy of Pediatrics, American College of Obstetricians and
Gynecologists. Menstruation in Girls and Adolescents: using the menstrual cycle
as a vital sign. Pediatrics. 2006;116:2245-50.
5. Deligeoroglou E, Creatsas G. Menstrual disorders. Dalam: Sultan C, penyunting.
Pediatric and adolescent gynecology: evidence-based clinical practice. Edisi 2.
Endocr Dev. Basel: Karger, 2012. h. 160–70.
6. Gray SH. Menstrual disorders. Pediatr in Rev. 2013;34:6-17.
7. Batubara JR, Soesanti F, Van de Waal HD. Age at menarche in Indonesia girls:
a national survey. Acta Med Indones. 2010;42:78-81.
8. Emans SJ, Gray SH. Abnormal vaginal bleeding in adolescents. Pediatr in Rev.
2007;28:175-81.
9. Jamieson MA. Disorders of menstruation in adolescent girls. Pediatr Clin N Am.
2015;62:943–61.
22
Body Image dan Nutrisi Remaja
Yoga Devaera
Tujuan:
1. Memahami penilaian body image
2. Memahami implikasi body image terhadap masalah nutrisi remaja
Satu dari enam orang di dunia merupakan seorang remaja. Nutrisi pada
periode ini menentukan tidak hanya kesehatannya saat ini tetapi juga di masa
depan. Kecukupan nutrisi remaja sangat penting agar selaras dengan pacu
tumbuh yang terjadi dan merupakan kesempatan terakhir bagi anak yang
stunted untuk mengejar ketertinggalannya. Di samping itu juga merupakan
investasi untuk generasi yang lebih baik. Remaja terutama remaja putri
yang mengalami malnutrisi dan anemia defisiensi besi meningkatkan risiko
mortalitas dan morbiditas yang berhubungan dengan kehamilan dan persalinan
tetapi juga kemungkinan melahirkan anak dengan berat lahir rendah. Hal ini
merupakan siklus malnutrisi antar generasi yang harus diputus. 1
Perubahan fisik dan komposisi tubuh kadang sulit diterima oleh remaja
sehingga terjadi citra tubuh/body image yang negatif. Secara harfiah, body
image dapat diartikan citra tubuh atau citra raga. Body image merupakan
persepsi dinamis seseorang tehadap tubuhnya sendiri. Persepsi ini tidak statis
tetapi dipengaruhi oleh mood, pengalaman dan lingkungan. Body image lebih
berhubungan dengan self-esteem and self-evaluation, dibandingkan dengan
penilaian eksternal oleh orang lain. Namun hal ini sangat mungkin dipengaruhi
oleh kultur dan standar sosial mengenai definisi penampilan menarik. Saat ini
media mempersepsikan kurus dan langsing sebagai cantik dan menarik pada
perempuan serta gagah dan berotot adalah persepsi menarik untuk laki-laki.
Peran sebaya dan media sering menyebabkan remaja mempunyai ekspektasi
yang tidak wajar tentang bentuk badan ideal. Hal ini juga menyebabkan remaja,
terutama remaja putri, melakukan pola makan yang tidak sehat.2 Makalah ini
akan membahas secara singkat tentang body image dan hubungannya dengan
masalah nutrisi pada remaja.
23
Body image dan nutrisi remaja
24
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
Tabel 1. Beberapa tips untuk remaja, orangtua dan dokter untuk memperoleh body image positif2
Remaja Orangtua Dokter
Lihat di cermin dan fokus pada Contohkan kebiasaan makan yang Diskusikan masalah perubahan
bagian tubuh yang merupakan kele- sehat dan hindari pola makan fisik yang terjadi selama masa
bihan bukan kekuranganmu ekstrim pubertas/remaja
Katakan sesuatu yang menyenang- Pusatkan perhatian pada bakat Nilai kekhawatiran tentang berat
kan tentang penampilan temanmu lain yang tidak berhubungan badan dan body image
dengan penampilan fisik
Pikirkan bakatmu yang tidak ber- Pujilah anak sehubungan dengan Jika seorang remaja mengalami
hubungan dengan penampilan fisik prestasi akademik atau lainnya masalah dengan body image,
diskusikan penyebab dan kon-
sekuensinya
Baca majalah dengan kritis, pikirkan Analisis majalah/media lainnya Diskusikan bagaimana media
bagaimana fotografer dapat dengan anak anda dapat mempengaruhi body image
menghasilkan foto seorang model
seperti itu
Jika kamu kegemukan, maka Tunjukkan anda mencintai anak Diskusikan pilihan cara menurunk-
turunkan berat badan secara berta- anda tanpa memandang berat an berat badan dan kekhawatiran-
hap dan buat harapan yang realistik badannya nya terhadap berat badan berlebih
dalam waktu yang cukup
Sadari bahwa setiap orang mem- Diskusikan variasi normal ukuran
punyai bentuk tubuh dan ukuran dan berat badan
tubuh yang unik
Jika kamu mempunyai kekhawati- Diskusikan dengan dokter bila Rujuk ke ahli terkait bila anak
ran tentang ukuran/bentuk tubuh anda khwatir anak anda mempun- dengan masalah makan atau berat
dan beratbadan,, tanyalah ke yai masalah makan badan yang serius
dokter
25
Body image dan nutrisi remaja
Simpulan
Ketidakpuasan terhadap bentuk tubuh dan berat badan merupakan hal yang
sering terjadi pada remaja termasuk remaja dengan gizi baik. Hal ini merupakan
faktor risiko perilaku makan yang tidak sehat. Sehingga saat menghadapi
pasien remaja, Dokter Anak perlu membahas hal yang berkaitan dengan
pola makan dan body image. Penggunaan HEADSSS dan figure rating scale
merupakan cara praktis untuk mengeksplorasi ke arah hal tersebut.
Daftar pustaka
1. WHO. Adolescent nutrition: A review of the situation in selected South-East
Asian countries. New Delhi: WHO, 2006.
2. Croll J. Body image and adolescent. Dalam: Stang J, Story M penyunting.
Guidelines for adolescent nutrition services. Minnesota: Regents of the University
of Minnesota, 2012.h.158-66.
3. Goldenring JM, Rosen DS. Getting into adolescent heads: an essential update.
Contemp Pediatr. 2004;21:64-90.
4. Smolak L. Body Image in children and adolescents: where do we go from here?
Body image. 2004;1: 15–28.
5. Gardner GM, Brown DL. Body image assessment: A review of figural drawing
scales. Personality and Individual Differences. 2010;48: 107–11.
6. Mutale GJ, Dunn AK, Stiller J, Larkin R. Development of a Body Dissatisfaction
Scale Assessment Tool. New School Psychol Bull. 2016;2:47-57.
7. Khor G L, Zalilah M S, Phan Y Y, Ang M, Maznah B, Norimah A K. Perceptions
of body image among Malaysian male and female adolescents. Singapore Med
J. 2009;5:303-11.Claro RM, Santos MA, Oliveira-Campos M. Body image and
extreme attitudes toward weight in Brazilian schoolchildren (PeNSE 2012).Rev
Bras Epidemiol. 2014;17:146-57.
26
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
27
Sifilis Kongenital
Hindra Irawan Satari, Dian Ayuningtyas
Tujuan:
1. Mampu memahami etiologi dan patofisiologi sifilis kongenital
2. Mampumendiagnosis croup berdasarkan gejala dan tanda klinis
Sifilis pertama kali ditemukan di Eropa pada akhir abad ke-15 dan pada
tahun 1905, Schaundinn dan Hoffman menemukan penyebab Sifilis yaitu
Treponema pallidum.1 Sifilis kongenital terjadi pada bayi yang ditularkan
ibunya yang menderita sifilis. Bila tidak diobati dengan baik, infeksi dapat
mengenai berbagai organ janin dan dapat mengakibatkan kematian. Sifilis
kongenital merupakan penyakit yang jarang dilaporkan. Di Amerika Serikat
tahun 1997, didapatkan 3,2 kasus baru per 100.000 populasi. Di RSUPN Cipto
Mangunkusumo, sejak tahun 1995 tidak didapatkan laporan mengenai kasus
ini.2 Namun data RSCM menunjukkan adanya beberapa kasus pada tahun
2016-2017.
Gambaran klinis sifilis kongenital dibagi menjadi sifilis kongenital dini,
serta sifilis kongenital lanjut. Hampir semua kasus sifilis didapat melalui kontak
seksual langsung dengan lesi dari individu yang terjangkit sifilis aktif primer
ataupun sekunder. Sifilis dapat ditransmisikan secara kongenital dari ibu yang
terinfeksi melalui plasenta ke janin. Transmisi lain yang mungkin namun
jarang terjadi termasuk transfusi darah, kontak personal non seksual, inokulasi
langsung yang tidak disengaja. Obat pilihan utama pada sifilis kongenital adalah
penisilin, baik pada ibu hamil maupun bayi.
Definisi
Sifilis kongenital adalah penyakit yang didapatkan janin dalam uterus dari
ibunya yang menderita sifilis, atau ditemukannya Treponema pallidum pada
lesi, plasenta, tali pusat atau otopsi jaringan; atau bayi yang dilahirkan oleh
ibu penderita sifilis yang belum mendapat pengobatan atau telah mendapat
pengobatan namun tidak adekuat sebelum atau selama kehamilan, atau
ibu yang telah mendapat terapi penisilin tetapi tidak menunjukkan respons
serologi; atau ditemukannya salah satu dari hal berikut, yaitu pemeriksaan
28
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
Epidemiologi
Sejak tahun 1980, di Amerika Serikat terdapat peningkatan yang pesat jumlah
kasus sifilis primer dan sekunder yang mencapai puncaknya pada tahun 1990
yaitu 20,3 kasus per 100.000 populasi. Namun kemudian, terjadi penurunan
jumlah kasus sifilis primer dan sekunder mencapai 3,2 kasus per 100.000
populasi pada tahun 1997.2 Faktor risiko yang berhubungan dengan sifilis
maternal adalah usia muda, sosial ekonomi rendah, kurangnya pemeriksaan
selama kehamilan yang adekuat, pernah menderita penyakit menular
seksual, perilaku seksual resiko tinggi, dan pemakai obat narkotika. Transmisi
transplasental lebih sering terjadi pada ibu hamil yang menderita sifillis primer
atau sekunder dibandingkan dengan yang menderita sifilis laten.
Etiologi
Penyebab sifilis adalah bakteri Treponema pallidum, termasuk ordo Spirochaetales,
familia Spirochaetaceae dan genus Treponema. Bentuk seperti spiral teratur,
panjangnya antara 6-15 um, lebar 0,15 um, terdiri atas 8-24 lekukan.
Gerakannya berupa rotasi dan maju sepanjang aksis seperti gerakan pembuka
botol. Membiak secara belah lintang pada stadium aktif yang terjadi tiap 30
jam. Pembiakan pada umumnya tidak dapat dilakukan di luar tubuh. Di luar
tubuh kuman tersebut cepat mati, sedangkan dalam darah untuk transfusi
,dapat bertahan hidup hingga 72 jam.4
Patogenesis
Sifilis dapat ditularkan oleh ibu pada waktu bersalin, namun sebagian besar
kasus sifilis kongenital merupakan akibat penularan in utero. Risiko sifilis
kongenital berhubungan langsung dengan stadium sifilis yang diderita ibu
semasa kehamilan. Lesi sifilis kongenital biasanya timbul setelah 4 bulan in
utero pada saat janin sudah dalam keadaan imunokompeten. Penularan in
utero terjadi transplasental, sehingga dapat dijumpai Treponema pallidum pada
plasenta, tali pusat, serta cairan amnion. Treponema pallidum melalui plasenta
masuk ke dalam peredaran darah janin dan menyebar ke seluruh jaringan.
Kemudian berkembang biak dan menyebabkan respons peradangan selular
yang akan merusak janin. Kelainan yang timbul dapat bersifat fatal sehingga
29
Sifilis kongenital
terjadi abortus atau lahir mati, atau terjadi gangguan pertumbuhan pada
berbagai tingkat kehidupan intrauterin maupun ekstrauterin.5
Manifestasi Klinis
Plasenta dari bayi yang menderita sifilis kongenital dapat mengalami
plasentomegali berupa penebalan plasenta yang melebihi +2SD (deviasi
standar) disesuaikan dengan usia kehamilan. Kematian janin atau perinatal
terjadi pada 40% bayi yang terinfeksi. Persalinan preterm dan pertumbuhan
janin terhambat juga telah dilaporkan. Pada bayi yang tetap hidup, manifestasi
klinis dibagi dalam stadium dini dan stadium lanjut.
Stadium dini terjadi dalam dua tahun pertama kehidupan, sedangkan
stadium lanjut terjadi setelah usia dua tahun. Kurang lebih dua pertiga bayi
tidak menunjukkan gejala klinis saat dilahirkan, tetapi jika tidak diobati gejala
akan muncul dalam beberapa minggu atau bulan. Manifestasi klinis bervariasi
dan dapat mengenai beberapa organ. Organ yang sering terkena adalah hati
dan limpa berupa pembesaran (hepatosplenomegali), ikterik yang menetap
dan peningkatan enzim hati. Limfadenopati bersifat difus dan sembuh dengan
sendirinya. Kelainan kulit dapat berupa eritematosa makulopapular atau lesi bula
diikuti oleh deskuamasi pada telapak tangan dan kaki. Dapat pula ditemukan
lesi kondiloma yang khas pada membran mukosa dan rinitis. Bila terdapat
osteokondritis, akan terasa nyeri yang dapat menyebabkan bayi menjadi sensitif
dan tidak mau menggerakkan tungkainya (pseudoparalisis Parrot). Kelainan
susunan saraf pusat, gagal tumbuh, korioretinitis, nefritis, dan sindrom nefrotik
dapat juga ditemukan. Manifestasi klinis yang mengenai ginjal dapat berupa
hipertensi, hematuria, proteinuria, hipoproteinemia dan hiperkolesterolemia.
Hal ini diakibatkan oleh deposit kompleks imun di glomerulus. Gambaran klinis
yang jarang dapat berupa gastroenteritis, peritonitis, pankreatitis, pneumonia,
kelainan mata (glaukoma dan korioretinitis), hidrops, dan massa pada testis.5
Manifestasi lanjut merupakan akibat inflamasi kronis pada tulang, gigi,
dan susunan saraf pusat. Perubahan tulang akibat periostitis yang menetap
atau berulang dan berhubungan dengan penebalan tulang dapat berupa frontal
boosing, penebalan sternoklavikula yang unilateral atau bilateral, bagian tengah
tibia yang melengkung ke depan (Saber shins), dan skapula skapoid. Kelainan
hidung yang terjadi, berupa saddle nose akibat rinitis yang menghancurkan
tulang sekitarnya. Manifestasi stadium lanjut dapat berupa keratitis interstitialis
yang unilateral atau bilateral dengan gejala fotofobia dan lakrimasi, diikuti
opaksifikasi kornea yang mengakibatkan kebutaan tang terhjadi setelah
beberapa minggu sampai dengan beberapa bulan.
30
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium darah tepi pada sifilis kongenital menunjukkan kelainan berupa
anemia, monositosis, dan trombositopenia. Pemeriksaan serologi dapat
dilakukan dengan metode deteksi langsung dengan baku emas pemeriksaan
rabbit infectivity test (RIT). Uji serologi non-treponema untuk skrining seperti
uji Venereal Disease Research Laboratory (VDRL), Rapid Plasma Reagin (RPR)
yang memiliki sensitivitas 70-100% dan spesifisitas 97-99%, serta uji serologi
untuk konfirmasi yaitu Treponema Pallidum Hemagglutination Assay (TPHA),
Fluorescent Treponemal Antibody Absorption (FTA-Abs) yang memiliki
sensitivitas sebesar 76- 100% dan spesifisitas 97-99%.6
Uji nontreponemal yang paling sering dilakukan adalah uji VDRL
dan RPR. Pemeriksaan ini digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap
antigen yang terdiri atas kardiolipin, kolesterol, dan lesitin yang sudah
terstandardisasi. Uji serologi nontreponemal ini merupakan uji yang dianjurkan
untuk memantau perjalanan penyakit selama dan setelah pengobatan, oleh
karena pemeriksaannya mudah, cepat dan tidak mahal. Uji serologi treponemal
termasuk pemeriksaan serum dengan metode Fluorescent treponemal antibody
absorption (FTA-ABS) dan Treponema pallidum particle agglutination(TP-PA)
terhadap Treponema pallidum. Pemeriksaan ini mendeteksi antibodi terhadap
antigen treponemal dan memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan
dengan uji nontreponemal, terutama sifilis lanjut.
Pada pemeriksaan histologi jaringan plasenta, didapatkan funisitis dan
vaskulitis. Selain itu terdapat juga gambaran plasentitis berupa fibrosis villi
korionik dan infiltrat plasmolimfositik pada stroma. Mikroskop lapangan
pandang gelap digunakan untuk mendeteksi adanya bakteri Treponema
pallidum dalam cairan tubuh (sekret hidung, serum dari lesi kulit, cairan
ketuban). Pemeriksaan mikroskop lapangan pandang gelap, selain untuk
melihat morfologi bakteri, dapat juga melihat pergerakannya yang khas. Pada
pemeriksaan radiologi dapat dijumpai perubahan metafisis tulang panjang.
Diagnosis
Diagnosis sifilis kongenital ditegakkan berdasarkan anamnesis riwayat ibu yang
menderita sifilis tanpa pengobatan yang adekuat, atau uji serologis positif,
atau pada pemeriksaan mikroskop lapangan pandang gelap ditemukan bakteri
Treponema pallidum dalam cairan tubuh. Pada pemeriksaan fisis didapatkan
ikterik, hepatosplenomegali, anemia, trombositopenia, kelainan gambaran
radiologis tulang panjang, dan kelainan pada cairan serebrospinalis. Pada bayi
usia 3-12 minggu dapat ditemukan rinitis, kelainan kulit makulopapular, lesi
31
Sifilis kongenital
Tata laksana
Penisilin masih tetap merupakan obat pilihan untuk pengobatan sifilis, baik
sifilis didapat maupun sifilis kongenital. Terdapat beberapa kriteria yang harus
dipenuhi pada pengobatan sifilis kongenital menurut CDC tahun 2015, yaitu: a)
menderita sifillis kongenital yang sesuai dengan gambaran klinik, laboratorium
dan/radiologik, b) mempunyai titer test nontreponema ≥4 kali dibanding
ibunya, c) dilahirkan oleh ibu yang pengobatannya sebelum melahirkan
tidak tercatat, tidak diketahui, tidak adekuat atau terjadi ≤30 hari sebelum
persalinan, d) dilahirkan oleh ibu seronegatif yang diduga menderita sifilis,
e) titer pemeriksaan nontreponema meningkat ≥4 kali selama pengamatan,
f) Hasil tes treponema tetap reaktif sampai anak berusia 15 bulan, atau g)
mempunyai antibodi spesifik IgM antitreponema. Pengobatan sifilis kongenital
tidak boleh ditunda dengan alasan menunggu diagnosis pasti secara klinis atau
serologik. Berikut algoritma tata laksana pada bayi dengan sifilis kongenital.8
Pemantauan pasca-pengobatan
Pemeriksaan penderita sifilis harus dilakukan secara dini apabila bila terjadi
infeksi ulang setelah pengobatan. Setelah pemberian penisilin G, maka setiap
pasien harus diperiksa 3 bulan kemudian untuk penentuan hasil pengobatan.
Pengalaman menunjukkan bahwa infeksi ulang sering terjadi pada tahun
pertama setelah pengobatan. Evaluasi kedua dilakukan 6-12 bulan setelah
pengobatan. Penderita yang diberi pengobatan selain penisilin harus lebih
sering diperiksa. Semua penderita sifilis kardiovaskuler dan neurosifilis harus
diamati bertahun-tahun, termasuk klinis, serologis dan pemeriksaan cairan
sumsum tulang belakang dan bila perlu radiologis. Pada semua tingkat sifilis,
pengobatan ulang diberikan bila tanda-tanda dan gejala klinis menunjukkan
sifilis aktif yang persisten atau berulang, atau terjadi kenaikan titer tes
nontreponemal lebih dari dua kali pengenceran ganda.9 Pemeriksaan cairan
sumsum tulang belakang harus dilakukan setelah diberi pengobatan, kecuali
ada infeksi ulang atau diagnosis sifilis dini dapat ditegakkan. Penderita harus
diberi pengobatan ulang terhadap sifilis yang lebih dari 2 tahun. Pada umumnya
hanya sekali pengobatan ulang dilakukan sebab dengan pengobatan yang
cukup, penderita akan stabil dengan titer rendah.
32
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
33
Sifilis kongenital
Prognosis
Sifilis kongenital yang berat dapat menyebabkan kematian pada masa janin
maupun perinatal. Prognosis sifilis kongenital bergantung periode munculnya
gejala, kerusakan yang terjadi, dan penatalaksanaan. Bila penyakit tersebut
telah mengenai meningovaskular dapat menyebabkan sekuele permanen. Sifilis
Kongenital dapat sembuh sempurna bila mendapat terapi adekuat. Pengobatan
dengan penisilin bersifat kuratif, sehingga perubahan serologi dapat terjadi
dalam satu tahun.
Simpulan
Diagnosis dan tatalaksana kongenital sifilis harus berdasar atas riwayat
kehamilan, gejala klinis dan uji nontreponela (VDRL atau RPR) dan
trepopnema (FTA-ABS) dan/atau MHA-TP). Terapi pada bayi diberikan
tanpa mempertimbangkan serologi dan gejala. Hanya antibiotic Penisilin
yang terbukti efektif dalam mengobati sifilis. Selma 10-14 hari. Pemantauan
ketat klinis maupun serologis pada bayi yang terpapar sifilis dalam kehamilan
harus dilakukan.
Daftar pustaka
1. Sheffield JS, Wendel GD. Syphilis in pregnancy. Clin Obstet Gynecol 1999;
42:97-106.
2. Ogle WJ. Spirochetal infections. Dalam: Hay WW, Groothuis JR, Hayward AR,
Levin MJ, penyunting. Current Pediatric Diagnosis and Treatment. Edisi ke-13.
Connecticut: Appleton and Lange, 1997. h. 1053-6.
3. Mc. Farlin BL, Bottoms SF, Dock BS, Isada NB. Epidemic syphilis: Maternal
factors associated with congenital infection. Am J Obstet Gynecol 1994;170:535-
40.
4. Humphrey MD, Bradford DL. Congenital syphilis: still a reality in 1996. Med J
Am 1996;165:382-5.
5. Azimi P. Syphilis (Treponema pallidum). Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,
Jensen BH, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-16. Philadelphia:
WB Saunders Company, 2000. h. 903-14.
6. Kolman CJ, Lara AC, Lukehart SA, Owsley W, Tuross N. Idetification of
Treponema palllidum subspecies pallidum in a 200-year-old skeletal specimen. J
Infect Dis 1999;180:2060-3.
7. Terkait NM, Aboobacker KC. Congenital syphilis: Case report and review of the
literature. Kuwait Med J 2002;34:43-6.
8. Sexually Transmitted Diseases Treatment Guidelines.CDC 2015; Diunduh
dari:www.cdc.gov. Diakses pada 20 Maret 2017.
34
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
9. Rolfs RT, Joesoef MR, Hendershot EF, RompaloAM, Augenbraun MH, Chiu
M, dkk. A randomized trial of enhanced therapy for early syphilis in patients
with and without human immunodeficiency virus infection. N Engl J Med
1997;337:307-14.
35
Anemia pada Neonatus:
Fisiologis Atau Patologis?
Teny Tjitra Sari
Tujuan :
1. Mengetahui definisi anemia pada neonatus
2. Membedakan penyebab fisiologis atau patologi
3. Memberikan terapi anemia pada neonatus
36
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
Gambar 1. Perkembangan eritrosit masa janin.1
Eritrosit embrionik (eritrosit primitif) dibuat di yolk sac saat masa gestasi 7,5 minggu dan ditemukan
di sirkulasi sampai masa gestasi 11-12 minggu. Pada masa gestasi 9 minggu, yolk sac dan plasenta
menghasilkan progenitor definitif yang bermigrasi ke hepar janin, selanjutnya berdiferensiasi menjadi
eritrosit definitif (menunjukkan globin janin/dewasa) dan memasuki sirkulasi. Pada masa gestasi 10,5
minggu, aorta-gonad-mesonefros (AGM) menghasilkan hematopoietik sumsum tulang pertama yang
migrasi ke hepar janin dan berdiferensiasi ke jalur eritroid dan eritrosit definitif memasuki sirkulasi.
Hematopoietik sumsum tulang yang berasal dari hepar kemudian bermigrasi dan berkolonisasi di
sumsum tulang saat lahir, yang akan menjadi suplai produksi eritrosit definitif seumur hidup untuk
sirkulasi. Limpa juga merupakan tempat untuk berdiferensiasi untuk eritrosit.
berisi terutama HbF yang mempunyai afinitas oksigen lebih tinggi dibanding
hemoglobin dewasa yang diproduksi setelah lahir. Kecepatan produksi eritrosit
selama masa janin lebih tinggi lima kali dibanding kecepatan produksi orang
dewasa.1
Dengan demikian, indeks eritrosit dan morfologi saat lahir berbeda
dibanding dewasa dan secara bertahap akan berubah sesuai usia. Usia
eritrosit saat lahir lebih rendah dibanding eritrosit dewasa, usia eritrosit bayi
prematur (35-50 hari) dibanding eritrosit dewasa (90-120 hari) kemungkinan
disebabkan oleh peningkatan kekakuan eritrosit. Eritrosit saat lahir bersifat
lebih resisten untuk tes osmotic lysis,dan nilai mean corpuscular volume lebih
tinggi, mean corpuscular hemoglobin concentration lebih rendah dan lebih rentan
terhadap oxydant induced trauma yang terutama disebabkan defisiensi aktivitas
fosfofruktokinase. Pada gambaran darah tepi lebih sering ditemukan sferosit
dan poikilositosis (14%) dibanding dewasa (3%), dan lebih banyak lagi pada
bayi prematur. Beberapa hal yang memengaruhi nilai referensi adalah masa
gestasi (matur vs prematur), cara kelahiran, penanganan tali pusat (delayed vs
37
Anemia pada neonatus: fisiologis atau patologis?
Anemia fisiologik
Saat lahir terjadi perubahan fisiologik pada bayi matur; terjadi anemia transien
yang disebut anemia fisiologik.1 Dalam kandungan terjadi keadaan hipoksia
(saturasi oksigen 70%) yang menstimulasi produksi EPO sehingga terjadi
produksi retikulosit (37%) dan meningkatkan produksi eritrosit. Saat bayi
menarik nafas pertama, saturasi oksigen menjadi 95%. Selain itu, terjadi
peralihan HbF yang kaya afinitas oksigen berubah menjadi Hb adult yang
kurang afinitas oksigen menyebabkan oksigen yang terikat hemoglobin akan
terlepas ke jaringan. Peningkatan kadar oksigen dalam darah dan jaringan
kemudian akan menekan produksi EPO menyebabkan EPO tidak terdeteksi,
eritropoiesis menjadi tertekan dan produksi eritrosit saat usia 7 hari menjadi
hanya sekitar 10% aktivitas dalam kandungan.1,2 Konsentrasi hemoglobin
terus menurun hingga kebutuhan oksigen menjadi lebih besar dibanding
hantaran oksigen. Normalnya titik ini dicapai antara usia 6-12 minggu
dengan konsentrasi hemoglobin antara 9,5 – 11 g/dL.1,3 Sesuai dengan adanya
hipoksia yang dideteksi oleh sensor oksigen di ginjal atau hepar, produksi EPO
meningkat dan eritropoiesis dimulai kembali. Pada bayi matur dengan suplai
38
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
besi yang cukup, proses eritropoiesis dapat terjadi hingga usia 20 minggu.
Anemia fisiologis pada bayi matur sehat biasanya ringan, tanpa gejala dan tidak
membutuhkan terapi. Hematokrit terendah pada bayi matur terjadi pada usia
10-12 minggu dan jarang < 30% dengan hemoglobin 10-12 g/dL. Setelah 10-
12 minggu, hematokrit dan hemoglobin meningkat perlahan untuk mencapai
nilai dewasa saat usia 2 tahun.1
Anemia of prematurity
Anemia of prematurity terjadi pada bayi prematur < 32 minggu. Penyebabnya
adalah ketidaksesuaian antara rendahnya retikulosit dengan beratnya anemia
dan ketidaksesuaian antara rendahnya kadar EPO dengan derajat anemia. Bayi
prematur (1200-2500 g) mencapai titik terendah lebih cepat dibanding bayi
matur (5-10 minggu vs 6-12 minggu) dan hemoglobin lebih rendah (8-10 vs
9,5 -11 g/dL) atau hematokrit (28 vs > 30%).1,3 Bayi prematur kecil (<1200
g) memperlihatkan anemia yang lebih cepat dan berat dengan titik terendah
pada 4-8 minggu, hemoglobin 6,4 – 9 g/dL dan hematokrit 21%. Beberapa
faktor endogen dan eksogen berkontribusi pada anemia of prematurity. Faktor
yang banyak berperan adalah rendahnya kadar EPO sebagai respons terhadap
anemia; akibat rendahnya produksi EPO dan meningkatnya katabolisme EPO.
Adanya transisi janin dari lingkungan hipoksia ke lingkungan kaya oksigen,
menjadikan produksi EPO menjadi berkurang (downregulated). Selain itu,
tempat produksi EPO berubah dari hepar ke ginjal yang terjadi pada 3-4 bulan
setelah lahir.1
Dengan demikian tempat utama produksi EPO pada bayi prematur
adalah hepar. Waktu perubahan dari hepar ke ginjal adalah tetap dan tidak
dapat dipercepat dengan kelahiran yang prematur. Hal ini penting karena
hepar kurang sensitif terhadap hipoksia jaringan sebagai stimulus produksi
EPO dibanding ginjal. Penurunan produksi EPO menyebabkan penurunan sel
progenitor eritroid di sumsum tulang sebesar 20%. Klirens EPO dan distribusi
volume EPO pada neonatus juga lebih tinggi dibanding dewasa, hal ini juga
menyebabkan rendahnya EPO yang beredar. Adanya pacu tumbuh yang
tinggi dibanding bayi matur dan masa hidup eritrosit yang lebih singkat juga
merupakan faktor endogen penyebab anemia of prematurity. Faktor eksogen
yang berperan adalah kehilangan darah iatrogenik untuk pemeriksaan
laboratorium, defisiensi besi, atau defisiensi nutrien lain, inflamasi, infeksi dan
penyakit kronik lainnya.1,3 Bayi dengan berat badan kurang masa kehamilan
yang mengalami hipoksia dalam kandungan memperlihatkan peningkatan
eritropoiesis. Anemia of prematurity juga jarang terjadi pada bayi dengan
kelainan jantung bawaan atau insufisiensi respirasi yang mengindikasikan
39
Anemia pada neonatus: fisiologis atau patologis?
Anemia patologis
Kehilangan darah dapat merupakan akibat abnormalitas tali pusat, plasenta
previa, solusio plasenta, kelahiran traumatik, atau perdarahan interna. Adanya
perdarahan janin-maternal dapat ditunjukkan dengan adanya sel janin pada
sirkulasi maternal. Darah juga dapat ditransfusikan dari satu janin ke janin
lainnya pada kehamilan kembar monokorionik. Destruksi eritrosit juga dapat
berupa kelainan imun ataupun non imun. Anemia hemolitik isoimun dapat
disebabkan inkompatibilitas ABO, Rh ataupun golongan darah minor lainnya.
Antibodi IgG ibu dapat menembus plasenta dan masuk ke sirkulasi janin yang
akan menyebabkan hemolisis. Gambaran klinis begitu luas, dari yang ringan
dan dapat sembuh sendiri hingga bentuk hidrops fetalis yang letal. Karena
antibodi ibu membutuhkan waktu bulanan untuk hilang, bayi dapat mengalami
hemolisis yang berkepanjangan. Abnormalitas struktur eritrosit, aktivitas enzim
dan produksi hemoglobin juga dapat menyebabkan anemia hemolitik.3 Untuk
mencari penyebab anemia pada neonatus, maka perlu mempertimbangkan
penyebab anemia patologis pada neonatus sesuai dengan kategori kehilangan
darah, menurunnya produksi, meningkatnya destruksi (hemolisis) (Box 1).1,2
Pendekatan diagnosis anemia pada neonatus dapat dilihat pada Gambar
2. Pendekatan diagnosis anemia pada neonatus perlu eksplorasi lebih lanjut
terutama mengenai:1
1. Riwayat keluarga dan ibu
Riwayat keluarga penting dalam mencari penyakit genetik yang
menyebabkan anemia seperti sferositosis, congenital dyserythropoietic
anemias, glucose-6-phosphate dehydrogenase dan harus ditanyakan mengenai
riwayat ikterik, batu kandung empedu, splenomegali, riwayat transfusi
atau suplementasi besi dalam keluarga. Riwayat ibu juga harus ditanyakan
mengenai penyakit yang diderita saat hamil atau saat melahirkan misalnya
kelainan autoimun, status nutrisi ibu dan nilai hematologik ibu.
2. Riwayat kehamilan
Perlu ditanyakan mengenai perkembangan janin, infeksi virus kongenital,
cara kelahiran, adanya riwayat fetal distress, kelainan plasenta atau tali
pusat.
40
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
Kehilangan Darah
Kehilangan darah samar sebelum kelahiran
Fetomaternal (malformasi plasenta atau tumor, spontan, dll)
Feto-fetal
Penyebab obstetrik
Abruptio placentae
Placenta previa
Ruptur tali pusat
Ruptur pembuluh darah
Sectio caesarea
Manipulasi intrauterin
Insisi plasenta saat sectio caesarea
Pendarahan internal saat baru lahir
Intrakranial karena berbagai alasan (lahiran terlalu cepat, prematur, kembar lahir kedua,
hypoxia, dll)
Retroperitoneal
Ruptur lien atau hepar
Sefalohematoma yang besar
Pendarahan gastrointestinal
Peningkatan destruksi eritrosit (hemolisis)
Penyakit sel darah merah turunan
Gangguan pada membran sel darah merah (sferositosis, eliptositosis, dll)
Kerusakan enzim sel darah merah (defisiensi G6PD, defisiense piruvat kinase, dll)
Hemoglobinopati (thalasemia α dan γ dan kelainan struktur rantai)
Reaksi Imun
Inkompatibilitas ABO
Inkompatibilitas Rhesus
Inkompatibilitas grup darah minor
Penyakit autoimun maternal (lupus, anemia hemolitik, dll)
Anemia hemolitik karena obat
Didapat
Infeksi
Koagulasi intravaskular diseminata
Anemia mikro/makroangiopati (stenosis arteri renal, hemangioma kavernosus)
Anemia karena nutrisi (defisiensi vitamin E)
Kekurangan produksi
Anemia Diamond-Blackfan
Anemia kongenital atau tumor
Sindrom Down
Sindrom Pearson
Osteopetrosis
Infeksi karena obat-obatan (rubella, parvovirus B19, cytomegalovirus, adenovirus)
41
Anemia pada neonatus: fisiologis atau patologis?
3. Pemeriksaan fisis
Pemeriksaan fisis dapat dicari adanya tanda anemia kronik seperti pucat,
berat badan sulit naik, dll dan tanda anemia akut (takikardia, gagal
jantung, gangguan pernafasan, dll). Tanda dari penyakit kongenital dimana
anemia merupakan bagian dari penyakitnya misal malformasi dari Anemia
Fanconi, atau tanda hemolisis (ikterik, splenomegali, sefalhematoma,
anasarka, dll)
4. Pemeriksaan laboratorium
Hal pertama yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah tepi lengkap
untuk menegakkan diagnosis anemia. Hemoglobin atau hematokrit harus
dibandingkan dengan nilai referensi yang sesuai dengan masa gestasi,
dan tempat pengambilan (lihat Box 1 dan tabel 1 dan 2). Selanjutnya,
dapat diperiksa retikulosit, indeks eritrosit, gambaran darah tepi, indeks
hemolisis (bilirubin total dan indirek, lactate dehydrogenase, tes Coombs).
Terapi yang dapat diberikan sebagai penanggulanan anemia pada
neonatus adalah sebagai berikut:
Transfusi darah
Terapi anemia bertujuan untuk mempertahankan hantaran oksigen (oxygen
delivery) yang adekuat ke jaringan. Indikasi yang pasti adalah kasus kehilangan
darah atau syok untuk memperbaiki volume darah. Panduan memberikan
transfusi pada neonatus sangat bervariasi di tiap negara dan senter pelayanan. Hal
ini termasuk batasan dan cara memberikannya. Paduan transfusi yang ada saat ini
kebanyakan didasarkan pedapat ahli, namun demikian keputusan memberikan
transfusi darah merupakan kombinasi gambaran klinis dan parameter laboratoris
dengan memperhatikan keadaan bayi dan kebutuhan fisiologis.1 Penelitian
di Brazil (2015) mendapatkan transfusi pada bayi VLBW akan makin sering
bila didapatkan masa gestasi makin rendah, terdapat morbiditas (apne,
perdarahan paru, sepsis, perdarahan intraventrikular, necrotizing enterocolitis,
bronchopulmonary dysplasia).4 Darah yang digunakan sebaiknya leukodepleted.1,2,5
Hal ini untuk mengurangi insiden bronchopulmonary dysplasia (odds ratio 0,42;
95% CI 0,25 – 0,70), retinopathy of prematurity ( OR 0,56; 95% CI 0,33 – 0,93)
dan necrotizing enterocolitis (OR 0,39; 95% CI 0,17 – 0,93).5
Selain itu darah sebaiknya juga irradiated untuk bayi < 1200 g dan berasal
dari satu donor untuk membatasi paparan donor.1,2 Cara pemberian transfusi
PRC pada neonatus juga sangat bervariasi. Salah satunya adalah dengan
cara memberikan sejumlah 10-15 mg/kg dengan memperhatikan keadaan
kardiovaskular.6 Contoh panduan pemberian yang dapat digunakan dapat
dilihat pada box 3 dan tabel 3.
42
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
Anemia
Retikulosit Meningkat Retikulosit Berkurang
Anemia Diamond‐Blackfan
Osteopetrosis
Obat‐obatan
Leukemia kongenital/tumor
Infeksi
Anemia fisiologis anemia prematuritas
Defisiensi Nutrisi
Coombs tes direk
Inkompatibilitas Rh
Negatif Positif Inkompatibilitas ABO
Inkompatibilitas grup minor
Penyakit maternal (contoh: autoimmun)
Sel darah merah (MCV/MCHC)
Anemia kronik
Normal atau tinggi Rendah Hemorrhage fetomaternal
Transfusi feto‐fetal
Thalasemia α atau γ
MCHC sel darah merah
Apusan darah tepi
Koagulasi intravaskular diseminata
Normal Mikroangiopati (hemangioma kavernosus)
Abnormal Gangguan pada membran sel darah merah
(elliptositosis)
Kerusakan enzim sel darah merah
Kehilangan darah, infeksi, (defisiensi G6PD, defisiense piruvat kinase)
hemolisis (karena berbagai Hemoglobinpati
alasan), dll
7
43
Anemia pada neonatus: fisiologis atau patologis?
Panduan transfusi sel darah merah untuk bayi umur <4 bulan (Amerika Serikat 2000 dan Irlandia
2007)1
1. Hematokrit <20% dengan hitungan retikulosit rendah diikuti tanda-tanda anemia (takikardia,
takipnea, poor feeding)
2. Hematokrit <30% dengan:
Menggunakan O2 Hood <35%
Menggunakan O2 via nasal kanul
Membutuhkan Positive airway pressure (PAP) terus menerus dan/atau ventilasi intermiten
melalui ventilasi mekanik dengan mean airway pressure <6cmH2O
Apnea atau bradikardia yang signifikana
Takikardia atau takipnea yang signifikanb
Kenaikan berat badan yang rendahc
3. Hematokrit <35% dengan:
Menggunakan O2 Hood <35%
Membutuhkan Positive airway pressure (PAP) terus menerus dan/atau harus ventilasi intermiten
melalui ventilasi mekanik dengan mean airway pressure ≥6-8cmH2O
4. Hematokrit <45% dengan:
Menggunakan extracorporeal membrane oxygenation
Penyakit jantung bawaan sianotik
a
Lebih dari 6 episode dalam 12 jam atau 2 episode dalam 24 jam yang membutuhkan ventilasi
dengan masker dan bag disertai terapi metilxanthin
b
Laju jantung >180x/menit dalam 24 jam; respirasi >80x/menit dalam 24 jam
c
Kenaikan <10 g/hari selama 4 hari saat menerima ≥100kcal/kg/hari
44
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
Eritropoietin, dapopoietin
Alternatif lain yang banyak dibicarakan adalah pemberian EPO pada neonatus
dengan anemia. Mekanisme yang diharapkan adalah pemberian EPO secara
dini akan mengaktivasi eritropoiesis sehingga kebutuhan transfusi menjadi
berkurang. Dapopoietin merupakan eritropoeitin jangka panjang sehingga
makin mengurangi kebutuhan pemberian eritropoeitin.1 Rekombinan EPO
manusia (rHuEPO) dosis 75-300 unit/kg/minggu subkutan selama 4 minggu
mulai usia 3-4 minggu akan meningkatkan retikulosit dan hemoglobin. Hal
ini membutuhkan waktu 2 minggu untuk meningkatkan hemoglobin secara
bermakna. Keadaan ini membuat kebutuhan transfusi berkurang yang lebih
terlihat pada bayi < 1000 g. Walaupun demikian konsensus ini masih jadi
perdebatan.2
Hingga saat ini belum ada bukti yang cukup kuat bahwa eritropoietin
mempunyai indikasi dalam terapi anemia of prematurity, baik EPO yang
diberikan secara dini (sebelum usia 8 hari) atau lambat (setelah 8 hari).
Pemberian EPO secara dini akan menurunkan kebutuhan transfusi, volume
darah transfusi dan jumlah donor sehingga mengurangi paparan terhadap donor,
tetapi pengurangan ini sangat terbatas secara klinis dan terdapat peningkatan
ROP. EPO juga tidak menurunkan mortalitas, perdarahan intraventrikular
dan NEC. Dengan demikian, Cochrane tidak menganjurkan pemberian EPO
secara rutin.10 Penelitian Ohls dkk memperlihatkan pemberian EPO secara
dini memperlihatkan perbaikan luaran neurocognitive jangka panjang (18-22
45
Anemia pada neonatus: fisiologis atau patologis?
Suportif lain
Delayed cord clamping selama 30-60 detik pada bayi yang tidak membutuhkan
resusitasi akan mengurangi beratnya anemia of prematurity. Suplementasi besi
oral atau intravena dosis minimal 2 mg/kg/hari diberikan untuk mencegah
defisiensi besi. Perlu diperhatikan asupan asam folat, vitamin E dan protein
untuk menunjang eritropoiesis. Membatasi kehilangan darah akibat flebotomi
sangat penting diperhatikan.2
Simpulan
Anemia fisiologis pada neonatus merupakan akibat proses adaptasi terhadap
lingkungannya dengan karakteristik tertentu pada bayi matur dan prematur.
Anemia patologis dikategorikan sebagai kehilangan darah, menurunnya
produksi, dan meningkatnya destruksi (hemolisis). Panduan transfusi perlu
mempertimbangkan berbagai faktor termasuk klinis dan kebutuhan fisiologis
bayi.
Daftar pustaka
1. Colombatti R, Sainati L, Trevisanuto D. Anemia and transfusion in the neonate.
Seminars in Fetal & Neonatal Medicine. 2016;21:2-9.
2. Lanzkowsky P. Anemia during the neonatal period. Dalam: Lanzkowsky’s Manual
of Pediatric Hematology and Oncology. Lanzkowsky P, Lipton JM, Fish JD,
penyunting. Edisi ke-6. New York 2016. Academic Press. San Diego. h. 65-6.
3. Kett JC. Anemia in infancy. Pediatrics in Review. 2012;33:186-7.
4. dos Santos AMN, Guinsburg R, de Almeida MFB, Procianoy RS, Marba STM,
Ferri WAG, dkk. Factors associated with red blood cell transfusions in very-
low-birth-weight preterm infants in Brazilian neonatal units. BMC Pediatrics.
2015;15:113.
5. dos Santos AMN, Trindade CEP. Red blood cell transfusions in the neonate.
NeoReviews. 2011;12:e13-9.
46
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
47
Hipertensi pada Bayi Baru Lahir
Partini Pudjiastuti Trihono
Tujuan:
1. Memahami definisi hipertensi pada bayi baru lahir
2. Memahami faktor risiko pra-natal dan pasca-natal
3. Memahami pendekatan diagnosis dan tata laksana hipertensi pada
bayi baru lahir
Hipertensi sebagai sebuah masalah klinis pada bayi baru lahir pertama kali
dikenal pada tahun 1978.1 Pemeriksaan tekanan darah masih belum merupakan
bagian dari pemeriksaan fisis rutin pada bayi baru lahir, hal ini berkaitan
dengan alat yang tidak selalu tersedia, dan belum terdapat standar baku di
unit neonatologi. Para klinisi lebih sering mengukur tekanan darah bayi baru
lahir untuk mencari tahu apakah terdapat hipotensi pada neonatus, jarang
sekali yang ditujukan untuk mengidentifikasi hipertensi. Insidens hipertensi
pada neonatus berkisar 0,2-3%,2 angka ini meningkat pada neonatus yang
dirawat di unit perawatan intensif neonatal (NICU), bayi prematur, dan
bayi dengan kelainan ginjal dan saluran kemih, displasia bronkopulmoner
(bronchopulmonary dysplasia/BPD), perdarahan intraventrikular, kateterisasi
arteri umbilikalis, atau duktus arteriosus persisten, menjadi sekitar 5-20%.3
Hipertensi pada bayi baru lahir memberikan risiko morbiditas akibat
kerusakan organ target, seperti ensefalopati hipertensif, retinopati, hipertrofi
ventrikel kiri, kardiomiopati, dan mortalitas yang lebih tinggi. Hipertensi
yang menetap selama masa bayi dan anak akan menyebabkan penyakit
kardiovaskular, penyakit ginjal kronik, dan stroke pada dewasa. 3 Risiko
hipertensi pada neonatus yang menetap selama masa bayi dan anak lebih besar
pada bayi prematur dan bayi berat lahir rendah.4
Fakta yang menunjukkan bahwa pengukuran tekanan darah pada
bayi baru lahir belum dilakukan secara rutin mengakibatkan kondisi ini
underdiagnosis, sehingga diperlukan kewaspadaan akan kondisi ini dengan
mengenali faktor risiko perinatal maupun pascanatal.
48
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
49
Hipertensi pada bayi baru lahir
Tabel 1. Tekanan darah bayi baru lahir (setelah usia 2 minggu) berdasarkan masa gestasi.2,3
Usia gestasi (minggu) Persentil tekanan Tekanan sistolik Tekanan diastolik Mean arterial pres-
darah (mmHg) (mmHg) sure (mmHg)
26-28 50 55 – 60 30 – 38 38 – 45
95 72 – 75 50 – 50 57 – 58
99 77 – 80 54 – 56 63 – 63
30-32 50 65 – 68 40 – 40 48 – 48
95 80 – 83 55 – 55 63 – 64
99 85 – 88 60 – 60 68 – 69
34-36 50 70 – 72 40 – 50 50 – 57
95 85 – 87 55 – 65 65 – 72
99 90 – 92 60 – 70 70 – 71
38-40 50 77 – 80 50 – 50 59 – 60
95 92 – 95 65 – 65 74 – 75
99 97 – 100 70 – 70 79 – 80
42-44 50 85 – 88 50 – 50 62 – 63
95 98 – 105 65 – 68 76 – 80
99 102 – 110 70 – 73 81 – 85
Tabel 2. Rerata (95% interval kepercayaan) tekanan darah pada neonatus menurut berat lahir.7
Berat lahir (g) Tekanan sistolik (mmHg) Tekanan diastolik (mmHg)
750 40 (25-60) 30 (15-45)
1000 45 (30-65) 30 (15-45)
1250 50 (30-70) 30 (15-45)
1500 50 (35-70) 35 (15-45)
1750 50 (35-70) 35 (15-50)
2000 55 (40-75) 35 (15-50)
2250 58 (40-75) 35 (20-50)
2500 60 (45-76) 40 (20-55)
2750 60 (45-80) 40 (20-55)
3000 65 (45-80) 40 (25-55)
3250 65 (50-80) 45 (25-55)
3500 70 (50-85) 45 (25-60)
3750 75 (55-85) 45 (30-60)
4000 75 (55-90) 45 (30-60)
dapat telentang atau tengkurap, ditunggu sampai bayi tenang atau tertidur.
Pengukuran tekanan darah dilakukan 3 kali dengan interval 2 menit.9
Untuk neonatus cukup bulan dan bayi usia 1 sampai 12 bulan, hipertensi
didefinisikan sebagai tekanan darah yang pada pengukuran beberapa kali tetap
berada sama atau di atas persentil 95.10 Sampai saat ini belum ada kesepakatan
mengenai batasan hipertensi pada bayi prematur, namun berdasarkan
pemikiran deduksi maka ditetapkan seperti batasan hipertensi pada bayi
cukup bulan. Pada Tabel 1. dapat dilihat sebaran tekanan darah bayi baru
lahir berdasarkan masa gestasi.2
Pada neonatus dengan tekanan darah yang sama atau melebihi persentil
99 perlu dilakukan pemeriksaan yang komprehensif untuk mencari etiologi
dan memulai pemberian obat antihipertensi.2
50
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
Batasan tekanan darah neonatus dapat pula menggunakan berat lahir, dan
dinyatakan hipertensi bila tekanan darah melebihi 95% interval kepercayaan
untuk bayi baru lahir dengan ukuran berat badan tertentu,7 seperti tampak
pada Tabel 2.
51
Hipertensi pada bayi baru lahir
52
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
Tata laksana
Tata laksana hipertensi pada neonatus dimulai dengan menghentikan penyebab
iatrogenik, seperti pemberian inotropik, deksametason, atau steroid lain,
mengatasi hiperkalsemia, overload cairan, ataupun nyeri. Hipoksemia pada bayi
dengan penyakit paru kronik perlu diatasi terlebih dahulu, demikian pula terapi
sulih hormon pada kelainan endokrin. Pada hipertensi berat dengan manifestasi
klinis yang nyata, seperti gagal jantung atau kejang, terapi antihipertensi perlu
segera diberikan.11
Tekanan darah yang menetap di atas persentil 99 merupakan indikasi
untuk memberikan antihipertensi. Obat antihipertensi oral dapat diberikan
bila tekanan darah tidak terlalu tinggi atau pada neonatus dengan tekanan
darah yang sangat tinggi yang telah terkontrol dengan pemberian antihipertensi
intravena. Jenis dan dosis obat antihipertensi untuk neonatus dapat dilihat
pada Tabel 5. Biasanya dimulai dengan pemberian calcium channel blocker,
seperti isradipine atau amlodipine. Pemakaian β blocker harus dihindari pada
bayi dengan penyakit paru kronik.
Golongan ACE-inhibitor dan angiotensin receptor blocker hanya boleh
diberikan pada bayi dengan usia pasca-konsepsi >44 minggu, karena obat ini
dapat memengaruhi pertumbuhan ginjal.11
Pada neonatus dengan hipertensi yang sementara tidak dapat diberikan
terapi oral, misalnya pada kasus NEC (necrotizing enterocolitis) dapat diberikan
antihipertensi intravena secara intermiten, dengan menggunakan hydralazine
atau labetalol; sedang neonatus dengan hipertensi berat yang membutuhkan
terapi antihipertensi intravena berkesinambungan, dapat diberikan infus
nikardipin, atau infus obat esmolol, labetalol, dan nitroprusside.11 Monitor
ketat perlu dilakukan pada pemberian infus antihipertensi, terutama pada
bayi prematur, karena penurunan tekanan darah yang terlalu cepat dapat
menimbulkan iskemia dan perdarahan serebral.
Tindakan bedah diperlukan pada obstruksi renal, stenosis arteri renalis,
ataupun koartasio aorta. Pengangkatan tumor ginjal dilakukan pada tumor
53
Tabel 5. Jenis dan dosis obat antihipertensi pada neonatus.11
Hipertensi pada bayi baru lahir
54
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
Prognosis
Luaran jangka panjang hipertensi pada neonatus umumnya cukup baik.4,7
Hipertensi yang dikaitkan dengan kateterisasi umbilikalis dapat menghilang
dalam beberapa bulan. Hipertensi yang disebabkan oleh trombosis vena renalis
atau penyakit parencim ginjal umumnya akan menetap.7,11
Bayi prematur mempunyai risiko mengalami hipertensi yang menetap
karena perkembangan ginjal yang normalnya berlangsung sampai trimester
ketiga kehamilan mengalami disrupsi. Proses nefrogenesis belum berhenti pada
kehamilan 32-36 minggu, bahkan terus berlanjut sampai masa pascanatal.
Interupsi pada proses nefrogenesis ini akan mengurangi jumlah nefron, sehingga
bayi prematur sangat rentan mengalami gangguan ginjal akut (acute kidney
injury) yang diakibatkan oleh hipertensi, hipoksemia, dan zat nefrotoksin.
Jumlah nefron yang berkurang pada prematur juga merupakan risiko untuk
menjadi hipertensi pada remaja dan dewasa.11
Simpulan
Tekanan darah pada neonatus tergantung pada beberapa faktor, seperti usia
gestasi, usia kronologis/pascakonsepsi, dan berat lahir. Hipertensi pada bayi baru
lahir dapat ditemukan pada berbagai situasi klinis di ruang NICU, terutama
pada bayi yang menjalani kateterisasi umbilikalis. Evaluasi diagnostik yang
komprehensif diperlukan untuk menentukan penyakit yang mendasari hipertensi
tersebut. Pemberian antihipertensi oral atau intravena disesuaikan dengan derajat
hipertensi dan kondisi klinis setiap bayi. Sebagian besar hipertensi pada neonatus
akan membaik dengan berjalannya waktu, kecuali pada sebagian kecil neonatus
yang hipertensi melanjut ke usia remaja dan dewasa.
Daftar pustaka
1. Adelman RD. Neonatal hypertension. Pediatr Clin North Am. 1978;25:99–110.
2. Flynn JT. Neonatal hypertension:diagnosis and management. Dalam: Oh W,
Guignard JP, Baumgart S, editor. Nephrology and fluid/electrolyte physiology:
neonatology questions and controversies. Edisi ke-2. Philadelphia: Elsevier,
2012. h.251-65.
3. Nickavar A, Assadi F. Managing hypertension in the newborn infants. Int J Prev
Med. 2014;5:S39–S43.
55
Hipertensi pada bayi baru lahir
56
Keselamatan Pasien pada Anak
Najib Advani
Tujuan:
1. Memahami pentingnya faktor keselamatan pasien terutama anak
dalam pelayanan medis baik rawat jalan maupun rawat inap
2. Memahami keselamatan pasien anak sebagai budaya dan dasar
pelayanan yang utama
57
Keselamatan pasien pada anak
58
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
1. Pendekatan sistem
Mayoritas kesalahan timbul akibat kesalahan intrinsik proses dalam pemberian
pelayanan dibanding individu sendiri. Untuk ini diperlukan sistem yang baik.
Dalam KP dikenal istilah Swiss cheese phenomenon, yaitu mayoritas kejadian
yang tidak diharapkan bukan terjadi akibat kesalahan tunggal, tetapi suatu
kegagalan multipel dari penghalang (barrier, biasanya kebijakan dan prosedur)
yang dibuat untuk melindungi pasien.7
59
Keselamatan pasien pada anak
unytuk menyalahkan individu tetapi lebih pada mencari mengapa ini terjadi
pada rantai sistem yang ada. Budaya keselamatan pasien tidak muncul spontan,
tetapi dibutuhkan waktu dan dilakukan secara konsisten. Suatu penelitian
mendapatkan bahwa karakteristik institusi dengan angka kecelakaan yang
rendah adalah:8
yy Program keselamatan pasien dengan komitmen pemimpin yang kuat
yy Pelatihan keselamatan pasien untuk semua pekerja
yy Pejabat senior sebagai petugas keselamatan pasien
yy Keselamatan pasien di promosikan melalui bimbingan dan reinforcement
dan bukan teguran
3. Komunikasi
Komunikasi yang baik antar individu atau tim penyelenggara pelayanan
kesehatan mutlak diperlukan. Petugas kesehatan harus yakin untuk serah
terima pelayanan pasien dan transfer informasi pasien. Komunikasi yang
buruk antar petugas kesehatan dapat membuka peluang terjadinya kesalahan
penanganan pasien. Kesalahan interpretasi medis sering terjadi.
60
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
5. Reliabilitas
Reliabilitas dalam pelayanan kesehatan adalah kapabilitas yang dapat diukur
dari sebuah proses, prosedur atau pelayanan kesehatan untuk melakukan fungsi
yang dituju pada waktu yang tertentu dalam situasi sehari hari. Suatu pelayanan
hendaknya dapat terukur dan dapat diulang dengan hasil yang konsisten.
61
Keselamatan pasien pada anak
62
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
Penutup
Meskipun KP pada anak sudah berkembang lebih baik dibanding tahun tahun
sebelumnya, namun masih dibutuhkan kerja keras berkesinambungan yang
dapat dimulai dari diri kita sebagai dokter dalam menjalankan kaidah kaidah
KP dalam pelayanan kesehatan anak baik dalam rawat jalan dan rawat inap.
Pelayanan yang tidak mengikuti kaidah KP dapat membahayakan pasien serta
merugikan dokter terutama jika terjadi tuntutan. Dengan diterapkannya kaidah
kaidah keselamatan pasien diharapkan pelayanan dapat lebih berkualitas serta
lebih aman baik untuk pasien, dokter serta semua pihak yang terkait.
63
Keselamatan pasien pada anak
Daftar pustaka
1. Steering Committee on Quality Improvement and Management and Comittee
on Hospital Care. Principles of pediatric patient safety: reducing harm due to
medical care. Pediatrics 2011; 127:1199-1212.
2. Sachdeva RC. Quality and safety in healthcare for children. Dalam: Kliegman
RM, Stanton BF, Geme JW, Schor NF, editor. Nelson textbook of pediatrics; edisi
ke-20. Philadelphia: Elsevier, 2016:18-27.
3. WHO 10 facts on patient safety (updated June 2014, diunduh 3 Maret 2017)
Diunduh dari www.who.int/features/factfiles/patient_safety.
4. Kaushal R, Jaggi T, Walsh K, Fortescue EB, Bates DW. Pediatric medication errors:
what do we know? What gaps remain? Ambul Pediatr. 2004;4:73–81.
5. Kaushal R, Bates DW, Landrigan C, et al. Medication errors and adverse drug
events in pediatric inpatients. JAMA. 2001;285: 2114–20.
6. McPhillips HA, Stille CJ, SmithD, McPhillips HA, Stille CJ, SmithD, et
al. Potential medication dosing errors in outpatient pediatrics. J Pediatr.
2005;147:761–7
7. Reason J. Human Error. Cambridge:Cambridge University Press; 1990
8. Zohar D. Safety climate in industrial organizations: theoretical; and applied
implications. J.Appl Psychol.1980;65:96-192
9. Lee AY, Taghon T, McClead R, Crandall WQ, Davis T, Brilli RJ. Dalam: Allen
HD, Shaddy RE, Penny DJ, Feltes TF, Cotta F, penyunting. Moss and Adams’
Heart disease in infants, children, and adolescents; edisi ke-9.Philadelphia: Wolter
Kluwer, 2016:1781- 92.
10. Komite Mutu, Keselamatan, dan Kinerja RSCM. Petunjuk keselamatan pasien.
Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo. Jakarta. 2015.
11. Fitzsimons J, Vaughan D. Top 10 interventions in pediatric patient safety. Curr
Treat Options Peds 2015;1:275-85.
64
Etik dalam Pelayanan Kesehatan Anak
Sudung O. Pardede
Tujuan:
1. Mengingatkan kembali etik kedokteran
2. Meningkatkan pemahaman etik dalam praktik pelayanan kesehatan
anak
65
Etik dalam pelayanan kesehatan anak
Etik
Istilah etik pertama kali disampaikan oleh seorang filosof Yunani yang bernama
Aristoteles (384–322 SM). Etik berasal dari bahasa Yunani yaitu kata “ethos”
yang berarti kehendak atau kebiasaan baik yang tetap. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, etik atau moral adalah ajaran tentang baik dan
buruk mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya. Menurut K.
Bertenes, etik adalah nilai atau norma yang menjadi pegangan bagi individu
dalam mengatur tingkah lakunya. Etik berarti ajaran baik dan buruk tentang
perbuatan dan tingkah laku (akhlak), yang membicarakan tingkah laku
manusia yang dilakukan dengan sadar yang dinilai dari sudur sudut baik atau
buruk.8
Etik profesi menyangkut hubungan manusia dengan sesamanya dalam
satu lingkup profesi serta bagaimana mereka harus menjalankan profesinya
dengan profesional agar diterima oleh masyarakat yang berhubungan dengan
profesi tersebut. Dengan etik profesi diharapkan kaum profesional dapat
bekerja sebaik mungkin, serta dapat mempertanggung jawabkan tugas yang
dilakukannya dari segi tuntutan pekerjaan. Profesional merupakan profesi yang
mengandalkan keterampilan atau keahlian khusus yang menuntut pengemban
profesi tersebut untuk terus memperbaharui keterampilannya sesuai dengan
perkembangan teknologi. Untuk menjadi seseorang yang profesional, seseorang
yang melakukan pekerjaan dituntut memiliki beberapa sikap seperti komitmen
yang tinggi, tanggung jawab, berfikir sistematis, menguasai materi, dan menjadi
bagian dari masyarakat profesional.7
66
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
67
Etik dalam pelayanan kesehatan anak
68
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
Kewajiban umum
Dalam menjalankan profesi untuk melaksanakan pelayanan kesehatan pada
anak, seorang dokter atau tenaga medis hendaknya memegang teguh etik
profesi, yang meliputi etik secara umum, etik terhadap pasien, etik terhadap
69
Etik dalam pelayanan kesehatan anak
70
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
Dokter Spesialis Anak Indonesia disebutkan bahwa setiap dokter spesialis anak
wajib menjaga keluhuran profesinya di tengah masyarakat yang membutuhkan
pengabdiannya. Dokter spesialis anak dilarang mengiklankan atau menjadi
model iklan obat, alat kesehatan, perbekalan kesehatan, dan fasilitas pelayanan
kesehatan, kecuali dalam iklan layanan masyarakat untuk promosi kesehatan
yang bertujuan mengubah masyarakat agar berperilaku hidup sehat dan bersih
atau mendukung program pemerintah.19 Dalam bekerjasama dengan pejabat
di bidang kesehatan dan masyarakat dalam pelayanan kesehatan anak, wajib
saling menghormati.1 Dokter perlu mengikuti perkembangan di masyarakat
termasuk yang berkaitan dengan anak, misalnya ketentuan yang berlaku, pola
kehidupan anak terutama kaitannya dengan kemajuan teknologi, dan masalah
kesehatan anak lainnya.10
71
Etik dalam pelayanan kesehatan anak
72
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
73
Etik dalam pelayanan kesehatan anak
74
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
Penutup
Dalam melakukan praktik kedokteran, masalah etik merupakan hal yang
perlu diperhatikan. Meskipun masalah etik dalam pelayanan kesehatan pada
anak hampir sama dengan dewasa, tetapi ada hal yang menjadi perhatian
75
Etik dalam pelayanan kesehatan anak
khusus dalam pelayanan kesehatan pada anak karena kondisi anak yang
masih tumbuh dan berkembang serta peran orangtua yang dominan dalam
hubungan dokter-pasien.
Daftar pustaka
1. Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Kode Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta, 2012.
2. Nelson MR. Ethics in pediatric care. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE,
Jenson HB, Stanton BF, penyunting, Nelsons Textbook of Pediatrics, edisi ke-18,
Philadelphia,: WB Saunders Elsevier, 2007. h.18-24.
3. Hester DM. Ethical issues in pediatrics. Dalam: Hester DM, Schonfeld T,
penyunting. Guidance for Healthcare Ethics Committees, Cambridge, Cambridge
University Press.2012:h. 114-21.
4. Kodish W, Weise KL. Ethics in pediatric care. Dalam: Kliegman RM, Behrman
RE, Stanton BF, Geme III JWS, Schor NF, penyunting, Nelsons Textbook of
Pediatrics, edisi ke-20, Philadelphia, Elsevier, 2016,h.27-32.
5. Cummings CL, Mercurio MR. Autonomy, beneficence, and rights. Pediatr Rev.
2010;6:252-5.
6. Frankel LR, Goldworth A, Rorty MV, Silverman WA. Ethical dilemmas in
pediatrics: Cases and commentaries. N Engl J Med.2006;18:1965-6.
7. Okun A. Ethics for the pediatrician: Chilfren who have special health-care needs:
ethical issues. Pediatr Rev. 2010;31:514-8.
8. Bertens K. Apakah itu etika? Dalam: Bertens K, penyunting. Etika. Cetakan
ke-10, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2007,h.3-40.
9. Undang-undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan
anak, Jakarta, 2002.
10. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Praktik Dokter Spesialis Anak, Jakarta,
2014.
11. ACP Ethics and Human Rights Committee. Ethics manual. Ann Intern
Med.1998;128:576-94.
12. Attard-Montalto S. Ethical issues in pediatric practice –part I: General principles.
Images Paediatr Cardiol. 2001;3:1-3.
13. Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2013 tentang Pendidikan
Kedokteran, Jakarta, 2013.
14. Guedert JM, Grosseman S. Ethical problems in pediatrics: what does the setting
of care and education show us? BMC Medical Ethics.2012;13:1-9.
15. Fallat ME, Glover J. Professionalism in pediatrics. Pediatrics.2007;120:e1123-33.
16. Konsil Kedokteran Indonesia. Peraturan Konsil nomor 4 tahun 2011.
17. Undang-undang Republik Indonesia nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit,
Jakarta, 2009.
18. Joint Comission International. International patient safety goals. 2012.
19. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Panduan Etika dan Perilaku Profesi Dokter
Spesialis Anak Indonesia (PEP-DSAI), Jakarta, 2014.
20. Undang-undang Republik Indonesia nomor 29 tahun 2004 tentang praktik
kedokteran, Jakarta, 2004.
76
Transportasi Anak Sakit Kritis
Rismala Dewi
Tujuan:
1. Mengetahui prinsip transpor pasien anak sakit kritis
2. Mampu menjelaskan persiapan dan syarat transpor anak sakit kritis
3. Mampu menjelaskan persiapan pasien yang akan ditransfer
Perpindahan atau transpor pasien anak yang sedang dirawat di rumah sakit
merupakan hal yang umum dilakukan dengan alasan atau maksud tertentu,
misalnya untuk dilakukan pemeriksaan penunjang di sarana yang lebih
lengkap atau tempat rawat tidak tersedia. Proses transportasi pasien-pasien
kritis mengandung risiko untuk terjadinya perburukan pada pasien tersebut.
Keputusan untuk memindahkan pasien anak sakit kritis baik di dalam
rumah sakit atau ke fasilitas lain, didasarkan pada penilaian antara manfaat
transportasi dibandingkan dengan potensi risiko dilakukannya perpindahan
pasien. Oleh karena itu perpindahan dengan alasan apapun harus selalu
mempertimbangkan antara besarnya keuntungan dan kerugian yang akan
didapat. Dibutuhkan sarana yang sesuai dan tenaga kesehatan yang terlatih
agar proses perpindahan berlangsung dengan baik.1,2
Transfer antar rumah sakit mungkin dapat menyelamatkan nyawa tetapi
biayanya mahal, secara logistik cukup menantang serta berisiko. Insiden yang
merugikan saat transportasi sebanding dengan durasi transfer, keparahan
penyakit atau cedera pra-transfer dan kurangnya pengalaman para pendamping
medis. Laporan dari Inggris mendapatkan 15% pasien yang melakukan
perpindahan mengalami hipotensi setelah tiba di tujuan dan 10% mengalami
trauma baru yang tidak terdeteksi saat sebelum pindah. Perburukan klinis
dilaporkan terjadi antara 3-75% pada saat transpor. Sebanyak 70% anak
mengalami perubahan klinis seperti hipotermia, takikardia, kesalahan obat
atau prosedur, infus terlepas dan sianosis. Kematian pada saat perpindahan
pasien kritis sangat jarang terjadi.3,4
77
Transportasi anak sakit kritis
78
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
79
Transportasi anak sakit kritis
80
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
81
Transportasi anak sakit kritis
Persiapan pasien
Pendekatan ‘scoop and run’ tidak terbukti menghasilkan luaran yang baik dalam
transportasi antar rumah sakit pasien sakit kritis. Oleh karena itu, sebelum
melakukan proses transportasi ke fasilitas yang akan dituju, diperlukan evaluasi
yang tepat dan stabilisasi sebaik mungkin untuk memastikan keselamatan
pasien selama perpindahan. Keterlambatan yang tidak perlu bisa dialami jika
tim transportasi harus melakukan prosedur yang panjang dan kompleks untuk
menstabilkan pasien sebelum transfer, sehingga pemeriksaan dan prosedur yang
tidak penting yang akan menunda pemindahan harus dihindari. Informasi dan
rekomendasi tentang aspek perawatan pasien secara umum dapat diminta pada
dokter pengirim saat kontak awal.2,6,8
Gambaran klinis, pemeriksaan lengkap dan pemantauan sebelum
transfer harus mencakup elektrokardiografi, saturasi oksigen arteri, tekanan
darah intraarterial langsung, tekanan vena sentral, dan diuresis. Pemeriksaan
penunjang yang disertakan mencakup rontgen dada, hematologi, dan biokimia.
Pasien yang diintubasi akan menyulitkan saat transpor, tetapi jika ada
kecurigaan gangguan saluran napas atau gagal napas, maka sebaiknya pasien
diintubasi dan dipasang ventilasi mekanik sebelum keberangkatan. Obat-
obatan yang sesuai harus disediakan seperti sedasi, analgesia, dan relaksan otot.
Pemberian cairan bolus intravena diperlukan untuk mempertahankan tekanan
darah, perfusi, dan jumlah urin serta pemberian obat inotropik. Jika pasien
tidak stabil diperlukan pemantauan tekanan vena sentral atau tekanan arteri
pulmonalis untuk mengoptimalkan filling pressure dan curah jantung. Pasien
dalam kondisi hipovolemik berisiko terjadinya perburukan klinis saat transpor
sehingga volume sirkulasi harus normal atau supranormal sebelum transfer.8,9
82
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
Simpulan
Keberhasilan transportasi pasien anak dengan sakit kritis sangat tergantung
pada rencana awal, komunikasi yang dijalin, peralatan yang tersedia serta
83
Transportasi anak sakit kritis
Daftar pustaka
1. Warren J, Fromm RE, Orr RA, Rotello LC, Horst HM. Guidelines for the inter- and
intrahospital transport of critically ill patients. Crit Care Med. 2004;32:256–62.
2. Droogh JM, Smit M, Absalom AM, Ligtenberg JM, Zijlstra JG. Transferring the
critically ill patient: are we there yet? Crit Care. 2015;19:62-9.
3. Wallace PG, Ridley SA. ABC of intensive care: Transport of critically ill patients.
BMJ. 1999;319:368-71.
4. Blakeman TC, Branson RD. Inter- and Intra-hospital Transport of the Critically
Ill. Respir Care. 2013;58:1008 –21.
5. Fanara B, Manzon C, Barbot O, Desmettre T, Capellier G. Recommendations
for the intra-hospital transport of critically ill patients. Crit Care. 2010;14:87-96.
6. Gupta S, Bhagotra A, Gulati S, Sharma J. Guidelines for the Transport of Critically
Ill Patients. JK Sci. 2004;6:109-11.
7. Hatherill M, Waggie Z, Reynolds L. Transport of critically ill children in a
resource-limited setting. Int Care Med. 2003;29:1547–54.
8. Dawes J, Ramnarayan P, Lutman D. Stabilisation and transport of the critically
ill child. JICS. 2014;15:34-42.
9. Rowney DA, Simpson DL. Stabilization and transport of critically ill children.
Anaest & Int Care Med. 2006;7:16-21.
84
Penyakit Jantung pada Remaja
Mulyadi M. Djer
Tujuan:
1. Mengenal tumbuh-kembang pada masa remaja
2. Mengetahui penyakit jantung pada remaja
3. Mengetahui cara diagnosis dan tata laksana penyakit jantung pada
remaja
Masa remaja adalah masa transisi antara masa anak dan dewasa. Tumbuh
kembang pada remaja dibagi menjadi tiga, yaitu remaja awal 10-13 tahun,
remaja pertengahan 14-17 tahun dan remaja akhir 17-29 tahun. Dalam masa
ini terjadi pacu tumbuh, timbul ciri-ciri seks sekunder, terjadi fertilitas dan
terjadi pertumbuhan psikologis serta kognitif. Agar pertumbuhan fisis optimal,
anak harus mendapatkan makanan yang bergizi dan olahraga yang cukup.
Pada remaja sebagian besar morbiditas dan mortalitas remaja disebabkan
oleh keadaan yang bisa dicegah dan berhubungan dengan masalah perilaku,
lingkungan, dan sosial.1
Populasi remaja ataupun dewasa dengan penyakit jantung bawaan
(PJB) sekarang ini makin meningkat jumlahnya.2-4 Hal ini disebabkan karena
meningkatnya harapan hidup bayi dan anak setelah menjalani operasi jantung
atau kardiologi intervensi.5-7 Sekarang ini pada sebagian besar PJB dapat
dilakukan tindakan operasi8,9 atau kardiologi intervensi pada masa bayi dan
anak.10-13 Lebih dari 90% anak dengan PJB sekarang ini dapat hidup sampai
dewasa.9,14 Di Negara berkembang seperti Indonesia karena keterbatasan
fasilitas dan dana, banyak pasien PJB tidak terdiagnosis saat bayi atau anak.15
Di samping itu ada juga yang sudah terdiagnosis tidak punya biaya untuk
dilakukan tindakan operasi/kardiologi intervensi sehingga menimbulkan
komplikasi saat anak sudah remaja atau dewasa.15 Di sisi lain ada sebagian
kasus PJB kompleks yang terapi definitifnya masih sulit seperti pada kasus
single ventrikel (operasi Fontan) yang meskipun sudah menjalani beberapa
kali operasi namun karena darah vena sistemik mengalir langsung ke paru
tanpa pompa akan menimbulkan masalah di kemudian hari yang memerlukan
pemantauan dan penanganan khusus.8 Bagi mereka yang terapinya single
ventrikel perlu edukasi secara lengkap pada keluarga karena kualitas hidupnya
tidak akan sama dengan orang normal. Oleh karena itu, PJB pada remaja atau
85
Penyakit jantung pada remaja
86
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
Pada PJB asianotik dengan aliran darah paru normal ditemukan adanya
sumbatan/obstruksi pada jalan keluar ventrikel kanan atau jalan keluar
ventrikel kiri. Pada sumbatan jalan keluar ventrikel kanan seperti pada stenosis
pulmoner, ventrikel kanan akan bekerja lebih berat memompakan darah
ke paru sehingga terjadi hipertrofi ventrikel kanan. Dengan ekokardiografi
dapat diukur perbedaan tekanan antara arteri pulmoner dan ventrikel kanan.
Stenosis dikatakan berat jika beda tekanan lebih dari 60 mmHg, sedang jika
beda tekanan 40-60 mmHg dan ringan jika beda tekanan kurang dari 40
mmHg. Pada sumbatan jalan keluar ventrikel kiri seperti pada stenosis aorta
atau koarktasio aorta, ventrikel kiri akan bekerja lebih berat maka akan terjadi
hipertrofi ventrikel kiri.
PJB asianotik dengan aliran darah ke paru meningkat disebabkan karena:
adanya pirau kiri ke kanan lewat septum atrium pada defek septum atrium
(ASD); lewat septum ventrikel pada defek septum ventrikel (VSD); atau lewat
87
Penyakit jantung pada remaja
adanya hubungan langsung aorta dengan arteri pulmoner seperti pada duktus
arteriosus persisten (PDA).
Pada PJB sianotik, terjadi percampuran darah pada tingkat atrium atau
ventrikel sehingga darah yang keluar ke aorta saturasinya rendah. Umumnya
pada PJB sianotik, kelainan yang ada lebih dari satu macam sehingga disebut
juga dengan PJB kompleks. Aliran darah ke paru bisa normal, berkurang atau
meningkat tergantung pada ada tidaknya VSD, ASD, stenosis pada arteri
pulmoner, dan asal pembuluh darah besar. Pada transposisi arteri besar tanpa
VSD (TGA-IVS), aliran darah ke paru normal. Pada tetralogi Fallot (TF) aliran
darah ke paru berkurang karena adanya stenosis pada infundibulum sehingga
darah dari ventrikel kanan menyeberang ke aorta melalui VSD dan posisi
overriding aorta. Pada ventrikel kanan jalan keluar ganda (DORV) aorta dan
arteri pulmoner sama-sama keluar dari ventrikel kanan, demikian juga pada
trunkus arteriosus aorta dan arteri pulmoner sama-sama keluar dari trunkus,
darah akan memilih ke paru yang tahanannya lebih rendah dari pada ke aorta
sehingga aliran darah paru meningkat.
88
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
Gambar 1. State of the art dalam tata laksana penyakit jantung bawaan
89
Penyakit jantung pada remaja
Tabel 2. Kelompok PJB yang tidak dioperasi/intervensi yang bertahan sampai dewasa
Stenosis katup pulmoner ringan
Stenosis pulmoner perifer
Katup aorta bicuspid
Stenosis subaorta ringan
Stenosis katup aorta ringan
Defek septum atrium kecil
Defek septum ventrikel kecil kecil
Duktus arteriosus persisten kecil
Prolaps katup mitral
Anomali Ebstein
ccTGA (congenitally corrected transposition of great artery)
Lesi kompleks balans [DILV (double inlet left ventricle) dengan PS]
Defek dengan penyakit vaskular paru (sindrom Eisenmenger)
Di bawah ini akan dibahas satu persatu.
90
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
91
Penyakit jantung pada remaja
92
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
e. Koarktasio aorta
Koarktasio aorta yang mendapat penanganan yang tepat dapat hidup
sampai dewasa. Setelah penyempitannya diatasi dengan cara operasi atau
tanpa operasi dengan cara balon angioplasti tanpa atau dengan pesangan
stent, hipertensi akan membaik.
f. Tetralogi Fallot (ToF)
Pasien ToF yang dilakukan total koreksi pada masa bayi atau anak biasanya
akan bertahan sampai dewasa. Masalah yang kadang-kadang terjadi adalah
pada saat dewasa pasien memerlukan pemasangan katup pulmonal. Katup
pulmonal pada saat operasi total koreksi dilebarkan dengan memasang
patch saat melakukan rekonstruksi jalan keluar ventrikel kanan. Saat ini
sudah ada teknik baru pemasangan katup pulmonal transkateter, hanya
saja harganya masih mahal.
g. Transposisi arteri besar (TGA)
TGA termasuk PJB yang bisa dikoreksi. Hanya saja risikonya masih
tinggi karena ke-2 arteri koroner juga harus dipindahkan saat operasi
pertukaran arteri pulmonal dengan aorta. Pasien TGA yang berhasil
dioperasi umumnya dapat hidup sampai dewasa.
h. Fontan
Fontan atau sirkulasi univentrikel merupakan koreksi fisiologis pada PJB
yang sangat kompleks. Pada pasien ini tidak memungkinkan dilakukan
pemisahan darah bersih dari sisi kiri jantung dan darah dengan saturasi
rendah pada sisi kanan jantung. Pada operasi Fontan, aliran darah balik
sistemik dari vena kava inferior dan dari vena kava superior langsung
dihubungkan ke arteri pulmoner kanan. Setelah operasi Fontan saturasi
oksigen darah arteri akan membaik tapi tidak pernah 100% karena masih
ada vena jantung (sinus koronarius) yang masuk ke atrium kanan. Kualitas
hidup pasien pasca operasi Fontan umumnya rendah. Pasien tidak dapat
melakukan aktifitas fisik berat.
Masalah lain
a. Endokarditis15
Endokarditis sering terjadi pada PJB yang menimbulkan aliran cepat/
jet stream aliran darah setelah melewati dinding berlubang seperti VSD
atau PDA atau bagian yang menyempit stenosis pulmoner, stenosis arta
dan lain-lain. Permukaan dalam jantung yang terkena semprotan akan
abnormal sehingga kuman mudah menempel kemudian terjadi infeksi.
Oleh karena itu setiap pasien PJB yang kelainannya menimbulkan aliran
93
Penyakit jantung pada remaja
94
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
g. Kontrasepsi15,21
Beberapa jenis kontrasepsi mempunyai risiko terhadap pasien PJB.
Alat kontrasepsi dalam rahim misalnya tidak dianjurkan karena dapat
menimbulkan inflamasi dalam rahim yang dapat merupakan sumber
endokarditis. Kontrasepsi oral dihindari pada PJB sianotik karena
mempermudah timbulnya tromboemboli. Depo provera sebaiknya
dihindari pada pasien PJB yang sering mengalami gagal jantung karena
obat ini akan menyebabkan retensi cairan sehingga memperberat gejala
gagal jantung. Penggunaan alat kontrasepsi lain seperti kondom, cukup
aman. Sterilisasi merupakan cara kontrasepsi yang dipandang cukup aman
dan perlu dipertimbangkan pada PJB tertentu yang tidak dapat mentolerir
kehamilan seperti pada sindrom Eisenmenger.
Simpulan
Penyakit jantung pada remaja dapat berupa penyakit jantung bawaan atau
penyakit jantung didapat. Berkat kemajuan dalam bidang kardiologi intervensi
dan bedah populasi remaja dengan penyakit jantung bawaan meningkat.
Khususnya PJB pada remaja, penanganannya perlu komprehensif melibatkan
dokter anak, dokter kardiologi dan dokter spesialis lainnya sesuai dengan
masalah yang dihadapi. Oleh karena itu di negara lain sekarang ini bidang ini
sudah menjadi spesialisasi tersendiri.
Daftar pustaka
1. Soetjiningsih. Tumbuh-kembang remaja. Dalam: Soetjiningsih, Ranuh IGNG,
penyunting. Tumbuh kembang anak. Edisi ke-2. Jakrta: EGC; 2012. h. 116-24.
2. Mulder BJM. Epidemiology of adult congenital heart disease: demographic
variations worldwide. Neth Heart J. 2012;20:505-8.
3. Zomer AC, Vaartjes I, Grobbee DE, Mulder BJM. Adult congenital heart disease:
new challenges. Int J Cardiol. 2013;163:105-7.
4. Perloff JK, Miner PD, Houser L. Specialized facilities for adults with congenital
heart disease. Dalam: Perloff JK, Child JS, Aboulhosn J, penyunting. Congenital
heart disease in adults. Edisi ke-3. Philadelphia: Elsevier; 2009. h. 18-22.
5. Schneider F, Kelleher A. Adult congenital heart disease. Anesth Intens Care
Med. 2012;13:513-8.
6. Van Engelan K, Baars MJH, van Rongen LT, van der Velde Enno, Mulder BJM,
Smets EMA. Adults with congenital heart disease: patients knowledge and
concerns about inheritance. Am J Med Genet. 2011;155:1661-7.
7. Daniels CJ. The adolescent and adult with congenital heart disease. Dalam:
Allen HD, Driscoll DJ, Shaddy RE, Feltes TF, penyunting. Moss and Adam’s
heart disease in infants, children, and adolescents including fetus and young
adult. Philadelpia: William & Wilkin; 2008. h. 1370-97.
95
Penyakit jantung pada remaja
96
Kelainan Bawaan Saluran Cerna pada Neonatus
Evita Karianni Bermanshah Ifran
Tujuan:
ada ahir makalah ini diharapkan pembaca dapat mengetahui
1. P
berbagai macam kelainan bawaan yang sering dijumpai pada
saluran cerna neonatus
2. pada ahir makalah ini pembaca dapat mengetahui berbagai
macam pemeriksaan pencitraan dan memilih pemeriksaan
pencitraan yang sesuai untuk menegakkan diagnosis kelainan
bawaan saluran cerna pada neonatus
97
Kelainan bawaan saluran cerna pada neonatus
(a) (b)
Anatomi normal saluran cerna
Gambar 1. (a) Anatomi normal dan pembagian saluran cerna, (b) Gambaran normal pada foto polos
abdomen. Pada neonatus usus halus dan kolon tidak dapat dibedakan pada foto polos abdomen.
98
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
Gejala klinis
Hipersaliasi dan pipa oro/nasogastrik (O/NGT) tidak dapat masuk ke dalam
lambung pada saat bayi lahir. Bila fistel cukup besar gejala klinis segera
terlihat. Sebaliknya pada fistel traheoesofagus tanpa atresia gejala tidak jelas,
terkadang baru diketahui pada masa kanak-kanak. Bila dicurigai terdapat
atresia esofagus, anak di posisikan tengkurap dan dilakukan penghisapan
berkala untuk mencegah terjadinya aspirasi.
99
Kelainan bawaan saluran cerna pada neonatus
Gambar 3. Atresia esofagus dengan fistel. Tampak OGT melingkar setinggi vertebra torakal IV. Abdomen
terisi udara di dalam lambung dan duodenum yang melebar menunjukkan terdapat fistel trakeoesofagus.
100
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
Gejala klinis
Bayi akan muntah bila diberikan minum dalam jumlah tertentu, bahkan dapat
setiap diberikan minum anak gumoh atau muntah. Meningkatnya kejadian
aleregi belakangan ini, adanya alergi susu sapi harus disingkirkan. Bila dengan
perubahan posisi serta cara pemberian minum dengan anak ditegakkan dengan
jumlah pemberian sedikir-sedikit namun sering tidak memberikan perbaikan,
pemeriksaan pencitraan harus dilakukan, terlebih bila kenaikan berat badan
anak terganggu. Bayi terlihat iritable, seperti kejang, tortikolis atau distonia.
Pada anak besar gejala dapat berupa rasa panas di ulu hati dan dada, disfagia
atau hematemesis. Terkadang terlihat sebgai asma, pneumonia berulang,
bronhiolitis, bronhitis dan kelainan paru lainnya.
101
Kelainan bawaan saluran cerna pada neonatus
Gambar 4. Refluks pada pemeriksaan serial gastrointestinal dengan kontras. Gambar kiri saat anak
diberi minum zat kontras. Beberapa saat kemudian zat kontras yang telah masuk ke dalam lambung naik
kembali ke esofagus (refluks) (gambar kanan)
3. Ahalasia 1,2,5
Sphincter esofagus bagian bawah dibawah kontrol oleh nervus vagus yang
akan relaksasi pada saat proses menelan terjadi. Peningkatan kadar gastrin
serum akan meningkatkan tonus sphincter esofagus. Bagaimanakah mekanisme
kontrol sphicter masih kontrovesrial. Ahalasia jarang ditemukan pada bayi dan
anak. Sering pada ACTH insensitive dan kelainan neurologis. Penyebab tidak
diketahui, pada beberapa kasus didapatkan tidak adanya sel ganglion pada
esofagus distal.
Gejala klinis
Gejala klinis ahalasia dapat berupa regurgitasi kronik makanan yang tidak
dicerna, aspirasi pneumonisa dan gagal tumbuh.
102
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
Gambar 5 (a) Anatomi normal dan abnormal sphincter esofagus distal (b) Pemerikasaan fluoroskopi
dengan zat kontras, terlihat esofagus distal menyempit (beak) dan peristaltik tidak beraturan (tidak
terlihat)
(a) (b)
Gambar 6. (a) Sliding hiatal hernia (b) Paraesophageal hiatal hernia
Gejala klinis
Anak akan merasa penuh, kenyang, nyeri abdomen dan gastroesofageal refluks.
Bila hiatus hernia kecil tanpa disertai GER dapat tanpa gejala klinis serta
bersifat sementara.
103
Kelainan bawaan saluran cerna pada neonatus
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 7. Pilorus (a) normal dan abnormal (b) SPH pada USG terlihat otot pilorus tebal dan kanalis
pilorus sempit dan panjang, (c) dan (d) SPH pada pemeriksaan serial gastrointestinal terlihat gambaran
beak, tit, shoulder, string sign, dan mushroom sign.
104
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
Gejala klinis:
Anak biasanya mulai muntah pada usia 3-5 minggu. Muntah non bilious
semakin lama semakin sering dan proyektil. Bila dibiarkan anak menjadi
dehidrasi berat, alkalosis metabolik hipokloremik dan gagal tumbuh. Pada saat
anak dberikan minum akan terlihat gelombang di perut yang berjalan dari kiri
atas ke kanan bawah dan pada perabaan akan terba pilorus yang hipertropi
sebesar buah olive.
105
Kelainan bawaan saluran cerna pada neonatus
Gejala klinis
Pada volvulus mesenteroaksial terjadi obstruksi pada gastric inlet dan
outlet. Tipe ini merupakan kasus emerjensi karena dapat terjadi terpuntirnya
pembuluh darah yang memberikan darah ke lambung. Gejala utama anak
muntah. Pada anak besar disertai keluhan sakit perut.
106
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
Gejala klinis
Bila anak muntah hijau pada jam-jam pertama kehidupan, adanya obstruksi
saluran cerna bagian atas harus difikirkan. Keadaan ini sering disebabkan
atresia duodeni, yeyuni atau ilei. Semakin cepat timbulnya muntah semakin
tinggi letak atresia (lihat gambar 1)
(a) (b)
(b)
Gambar 9 (a) atreia duodeni; (b) atresia yeyuni, (c) atresia ilei. Jumlah bubble (udara di dalan usus)
menunjukkan perkiraan letak obstruksi (evita)
107
Kelainan bawaan saluran cerna pada neonatus
Gambar 10. Malrotasi usus. Ussu halus berada di sisi kanan abdomen.
Gejala klinis
Muntah biliurs yang terjadi dalam satu bulan pertama setelah lahir semakin
lama semakin sering.
108
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
Gambar 11 (a) perkembangan syaraf pada kolon, (b) M. Hirschsprung pada pemeriksaan enema barium.
Rasio rektum dan sigmoid < 1.
Gejala klinis
Mekonum pada bayi dengan Morbus Hirscsprung biasanya terlambat keluar
(> 24 jam). Beberapa setelah lahir anak terlihat kembung dan defekasi
menjadi jarang atau harus dirangsang. Pada pemeriksaan rektum dengan
jari, feses menyemprot keluar saat jari ditarik. Pada obstruksi letak rendah
gejala yang pertama timbul adalah distensi abdomen kemudian baru diikuti
dengan muntah, dapat berwarna hijau. Late Hirscsprung pada anak ditemukan
riwayat konstipasi sejak bayi. Bila feses yang terkumpul sangat banyak dapat
menyebabkan kompresi pada traktus urinarius sehingga terjadi hidronefrosis,
retensi urin serta infeksi pada saluran kemih.
109
Kelainan bawaan saluran cerna pada neonatus
10. Mikrokolon1,2,9
Mikrokolon adalah obstruksi gastrointestinal bawah akibat tidak digunakannya
saluran cerna intrauterin, disebut juga small unused colon.
Gambar 12. Pada barium enema terlihat seluruk kolon kalibenya kecil. (a) AP dan (b) lateral.
110
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
Gejala klinis
Neonatus dengan mikmrokolon akan menunjukkan gejala obstruksi, perut
terlihat besar kemudian disertai muntah, yang menunjukkan obstriksi terletak
rendah.
Gejala klinis
Gejala klinis memperlihatkan gejala obstruksi usus, 1-2 hari setelah lahir
dengan riwayat mekonium belum keluar dalam 24 jam pertama. Distensi
abdomen diikuti muntah berwarna hijau.
111
Kelainan bawaan saluran cerna pada neonatus
pada atresia ani. Pada keadaan yang berat seperti adanya kloaka, pemeriksaan
MRI atau fluorosopi mungkin diperlukan. Kelainan yang ditemukan
menentukan prosedur bedah yanag akan dilakukan pada bayi tersebut.
Gejala kinis
Atresia ani dapat diketahui sejak dalam kandungan pada skrining USG
antenatal dari usia gestasi 12-22 minggu. Diperlukan keterampilan karena
sistem pencernaan yang sedang berkembang dan ukurannya yang sangat kecil.
Bila setelah lahir terdapat urin yang bercampur dengan feses, adanya fistel dari
rektum ke traktus urinarus sangat mungkin dah harus dievaluasi.
Kesimpulan
yy Bila didapatkan keluhan muntah atau regurgitasi pada
bayi, pemeriksaan USG merupakan pilihan pertama, untuk
menyingkirkan kemungkinan adanya kelainan pada gastric
outlate.
yy Bila gejala muntah pada anak, pemeriksaan serial
gastrointewstinal merupakan pilihan. USG pada anak tidak
memberikan gambaran lambung sebagaimana pada bayi.
112
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
Skrining VACTERL
• Foto tulang belakang Neonatus dengan anus tidak
• Foto sakrum terlihat
• USG spinal (usia <3
bulan)
• MRI spinal (usia Evaluasi perineum pada usia
>3bulan) atau bla USG 24 jam
spinal abnormal
• Ekokardiografi
• Pemasangan OGT dan
foto abdomen untuk Mekonium (-) di perineum Mekonium (+) di perineum
konfirmasi lambung Mekonium (+) di urin Foto knee chest rektum < 1
Foto Knee chest rektum >1 cm cm dari marker anus
• USG ginjal
dari marker anus
Kolostomi
PSARP primer
Dilatasi bila
diperlukan
113
Kelainan bawaan saluran cerna pada neonatus
3 2 1
Fistula
Fistula Fistula Tidak ada Fistula vestibular
Kloaka Lain-lain
vestibular Fistula dan
perineal rektovaginal
vagina (-)
3D/2D
PSARP Kloakagram
Kolostomi
Sistoskopi
114
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
Daftar pustaka
1. Silverman FN, Kuhn, JP. Congenital abnormalities. In Caffey’s Pediatric X- Ray
Diagnosis. St Louis, 9th edition, 1993. pp. 1033-37
2. Tamaela L; Parmulyo HS; Bermanshah EKI: Saluran Pencernaan. Dalam
Radiologi Anak. Diagnostik Gambar dari 201 Kasus Pendidikan dengan 374 foto.
Jakarta, edisi pertama, Badan Penerbit IDAI, 2010. Hal 1-171.
3. Pinheiro PFMP, Silve ACS, Per RM. Current knowledge on esophageal atresia.
World J Gastroenterology 2012; 18 (28): 3662-72.
4. Maagikner AD, Esophageal atresia and hypertropic pyloric stenosis: sequencial
coexistence of disease (case report). Am J Roentgen. 10086. 147 (2): 329-30
5. Swiuschuk. LE. Gastroesophagela Reflux, Chalasia, and Hiatus Hernia. in
Imaging of the Newborn, Infant, and Young Child. Lippincott. Philadelphia, 5th
ed. 2004. pp. 345-349.
6. Silverman, FN, Kuhn, JP. Disorders at the esophagus junction: Hiatal hernia. In
Caffey’s Pediatric X- Ray Diagnosis. St Louis, 9th edition, 1993. pp. 1020-22)
7. Back SJ. Imaging in Hypertropic Pylotric Stenosis. Medscap. Updte Dec, 2015.
emedicine.medscape.com. Diunduh 12 maret 2017
8. Green J. Gastric Volvulus. Medscape. Upodate Nov 28, 2015. emedicine.
medscape.com. Diunduh 12 Maret 2017.
9. Laya BF, Andres MM, ]Concepcion NDP, Dizon RH. Patterns of Microcolon:
Imaging Strategies for Diagnosis of Lower Intestinal Obstruction in Neonates. J
Am Osteopath Coll Radiol q2015; vol.4 (1): 2-11)
10. Gilbert CE, Hamill J, Metcalfe RF, Smith P, Teele RL. Changing antenatal
sonographic appearance of anorectal atresia from first to third trimesters. J
Ultrasound Med. 2006;25:781–784. PMID: 16731896.
11. Westgarth-Taylor C, Westgarth-Taylor T, Wood RJ, Levitt MA. in anorectal
malformations: What does the surgeon need to know? S Afr J Rad. 2015;19(2);
Art. #903,10 pages. http://dx.doi).
115
Kelainan Kongenital dan Angka Kematian
Neonatus (AKN)
Rosalina Dewi Roeslani
Tujuan
1. Kontribusi kelainan kongenital pada angka kematian neonatus.
2. Menyamakan persepsi mengenai definisi kelainan bawaan.
3. Kelainan kongenital yang menyebabkan kematian pada masa neonatal
4. Kelainan kongenital yang sering dijumpai
Angka kematian bayi (AKB) di dunia telah mengalami penurunan pada dekade
terakhir ini yaitu dari 63 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1990 menjadi
32 per 1000 kelahiran hidup di tahun 2015 (gambar 1).1 Jumlah kematian bayi
per tahun telah menurun yang pada tahun 2009 sebesar 8.9 menjadi 4.5 juta di
tahun 2015.1 Beberapa upaya berskala global maupun regional telah dilakukan
untuk menurunkan angka kematian anak seperti Millenium Development Goals
(MDGs) yang telah selesai pada tahun 2015. Angka kematian neonatus (AKN)
berkontribusi sebesar 48,2 % pada angka kematian anak di bawah 5 tahun
(gambar 2). Meskipun angka kematian anak telah menurun hingga separuhnya
tetapi angka kematian neonatus cenderung melandai dan lambat (gambar 1).
Berdasarkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)
tahun 2012, angka Kematian Neonatus (AKN) pada tahun 2012 sebesar 19 per
1.000 kelahiran hidup. Angka ini sama dengan tahun 2007 dan hanya menurun
1 angka dibanding SDKI tahun 2002-2003 yaitu 20 per 1.000 kelahiran hidup.
Salah satu penyebab melandainya penurunan AKB adalah kematian karena
kelainan kongenital (gambar 2).2
Kelainan kongenital, abnormalitas kongenital, malformasi kongenital,
dan birth defect adalah beberapa istilah yang digunakan untuk menerangkan
gangguan perkembangan pada janin.3 Terdapat ribuan kelainan kongenital
yang terbagi atas kondisi gangguan struktural, fungsional, metabolik, dan
keturunan/herediter.5 Hingga saat ini belum ada kesepakatan universal
mengenai definisi maupun klasifikasi kelainan kongenital.
116
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
Gambar 1. Tren angka kematian neonatal, bayi, dan balita di Indonesia tahun 1991 – 2015
Gambar 2. Persentase etiologi mortalitas neonatus di Indonesia. 6
117
Kelainan kongenital dan angka kematian neonatus (AKN)
Gambar 3. Penyebab 2.68 juta kematian di seluruh dunia selama periode neonatal tahun 2015.5
Kelainan Kongenital
Definisi
Kelainan kongenital adalah kelainan dalam pertumbuhan janin yang dimulai
sejak konsepsi.4 Berdasarkan International Classification Disease ke 10 (ICD10),
kelainan kongenital termasuk malformasi kongenital, deformitas, dan
abnormalitas kromosom sedangkan gangguan metabolik kongenital tidak
termasuk di dalamnya.6
Etiologi
Etiologi kelainan kongenital adalah multifaktorial dan biasanya akibat interaksi
antara kelainan genetik dan faktor lingkungan. Interaksi antara factor genetik
dan lingkungan adalah penyebab tersering kelainan kongenital yaitu pada 60-
75% kasus. Kelainan bawaan dapat disebabkan karena kelainan kromosom,
gen tunggal atau multifaktorial. Frekuensi penyebab kelainan bawaan berturut-
turut sebagai berikut kelainan kromosom 1 per 263 kelahiran, gen tunggal 1 per
81 kelahiran dan malformasi kongenital 1 per 27 kelahiran. Faktor lingkungan
sebagai penyebab kelainan kongenital berkisar antara 5-10 seperti defisiensi
nutrisi, infeksi, obat yang dikonsumsi ibu, obat yang teratogenik, polusi, alkohol
dan lain sebagainya.4
118
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
119
Kelainan kongenital dan angka kematian neonatus (AKN)
120
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
Prevalensi kelainan bawaan
Kelainan kongenital menyebabkan kematian di awal kehidupan pada 30%
kelahiran hidup, 27 % menjadi kronis dan 43 % dapat disembuhkan (tabel 2).6
Sejak tahun 2013, Indonesia mulai melakukan pencatatan rekam medik
(surveillance) mengenai kelainan kongenital di 10 RS Pemerintah dan 3 Swasta
yaitu RS.CiptoMangunkusumo, RSAB Harapan Kita, RS M. Djamil, RS Hasan
Sadikin, RS Kariadi, RS Sardjito, RS Sanglah, RS Wahidin Sudiro Husodo,
RS Dr. Soetomo, RS Adam Malik, RS Budi Kemuliaan, RS Bunda, dan RS
Hermina. Pencatatan ini kerjasama antara Kementrian Kesehatan RI, Ikatan
Dokter Anak Indonesia (IDAI), dan RS yang terlibat.
Dari laporan tersebut pada 1 September 2014 – 30 Juni 2016 didapatkan
kelainan bawaan sebanyak 268 kasus dari 39.084 kelahiran hidup. Dari 268
kasus kelainan bawaan didapatkan 198 kasus hidup. Prevalensi kelainan
kongenital pada tahun tersebut adalah 6.93 per 1000 kelahiran hidup.
121
kongenital dan angka kematian neonatus (AKN)
Kelainan
Kelainan kongenital yang baru dicatat ada 15 jenis yang meliputi kelainan
sistem saraf pusat (anensefali, ensefalokel, dan spina bifida), kelainan pada mata
wajah dan leher (katarak kongenital, labiognatopalatoskisis), kelainan saluran
cerna (atreasia ani dgn atau tanpa fistula), kelainan genoital (hipospadia),
kelainan saluran kencing (epispadia), kelainan muskoloskeletal (talipes
equinovarus, defek atau reduksi tungkai, omfalokel, gastroskisis), dan kelainan
lainnya (kembar siam). Tipe kelainan kongenital terbanyak sesuai pelaporan
di atas adalah talipes ekuinofarus 22%, defek orofasial 22%, sistem saraf 22%,
abdominal 16.3%, atresia ani 4.8%, dan kembar dempet 6.7%.
Beberapa anomali letal yang paling sering ditemukan, yaitu:
1. Trisomi 18 (Sindrom Edward) merupakan urutan ke-2 trisomi autosomal
tersering setelah trisomi 21 (Sindrom Down).7,8 Prevalensi trisomi 18
(Sindrom Edward) di dunia adalah 1/4000 janin and 1/5000 bayi baru
lahir. Rata-rata usia harapan hidup pada bayi baru lahir dengan trisomi 18
nonmosaik yang tidak dirawat dengan perawatan intensif adalah 2 – 10
122
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
123
Kelainan kongenital dan angka kematian neonatus (AKN)
124
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
Simpulan
yy Kelainan kongenital adalah gangguan pertumbuhan yang terjadi sejak
masa konsepsi meliputi kelainan anatomi, fungsi dan struktural organ.
yy Kelainan kongenital adalah salah satu penyebab kematian pada anak di
dunia sebanyak 3 %. Dan 10 % dari AKN. Kelainan kongenital adalah
penyebab kematian ke 4 tersering setelah prematur, asfiksia dan sepsis.
yy Pencegahan dan tata laksana kelainan kongenital yang optimal dapat
mengurangi AKN.
125
Kelainan kongenital dan angka kematian neonatus (AKN)
Daftar pustaka
1. World Health Organization. Global health observatory data. Dalam: WHO. 2016.
Disitasi 16 Januari 2017. Diunduh dari http://www.who.int/gho/child_health/
mortality/neonatal_infant_text/en/ .
2. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Profil kesehatan Indonesia Tahun
2014. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2014. h.23-26.
3. Kurinczuk JJ, Hollowell J, Boyd PA, Oakley L, Brocklehurst, Gray R. The
contribution of congenital anomalies to infant mortality. Oxford: National
Perinatal Epidemiology Unit. 2010;4:1-13.
4. World Health Organization. Congenital anomalies. Dalam: WHO. 2016.
Dimutakhirkan September 2016. Disitasi 9 Januari 2017. Diunduh dari http://
www.who.int/mediacentre/factsheets/fs370/en/
5. Francine R, Pascale S, Aline H. Congenital anomalies : prevalence and risk
factors. Univer J Public Health. 2014;2:58-63.
6. World Health Organization. Birth defects in south-east asia : a public health
challenge. India: 2013.
7. Cereda A, Carey JC. The trisomy 18 syndrome. Orphanet J Rare Dis. 2012;8:1-14.
8. Boghossian NS, Hansen NI, Bell EF, Stoll BJ, Murray JC, Carey JC, dkk. Mortality
and morbidity of vlbw infants with trisomy 13 or 18. Pediatrics. 2014;133:226-35.
9. Merritt TA, Catlin A, Wool C, Peverini R, Goldstein M, Oshiro B. Trisomi 18 and
trisomy 13 : treatment and management decisions. NeoReviews. 2012;13:40-8.
10. Polli JB, Groff DB, Petry P, Mattos VF, Rosa RCM, Zen PRG, et al. Trisomi 13
syndrome (patau syndrome) and congenital heart defects. Am J Med Genet Part
A. 2013;164A:272-5.
11. Stumpf DA, Cranford RE, Elias S, Fost NC, McQuillen MP, Myer EC. The infant
with anencephaly. N England J Med. 1990;322:669-74.
12. Tovar JA. Congenital diaphragmatic hernia. Orphanet J Rare Dis. 2012;7:1-15.
13. Hogge WA, Wilkins I, Hill LM, Cohlan B. Dalam: Sanders’ Structural Fetal
Abnormalities. Edisi Ke-3. United States : McGraw-Hill Education; 2017.h.358-
65.
14. Dalam: Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi Ke-20. Philadelphia: Saunders
Elsavier; 2015. h
15. Choanal Atresia. Disitasi 16 Januari 2017. Diunduh dari http://emedicine.
medscape.com/article/872409-overview#a6
16. Kwong KM. Current updates on choanal atresia. Frontr Pediatr. 2015;3:1-7.
126
Skrining Mental, Emosional, Perilaku,
dan Psikososial pada Remaja
Bernie Endyarni Medise
Tujuan:
1. Mengetahui berbagai jenis alat skrining kesehatan mental, emosional
dan perilaku remaja
2. Mengetahui dasar pemilihan dan cara penggunaan alat skrining
kesehatan mental, emosional dan perilaku remaja
127
Skrining mental, emosional, perilaku, dan psikososial pada remaja
128
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
129
Skrining mental, emosional, perilaku, dan psikososial pada remaja
secara luas, terdiri dari 27 pertanyaan untuk remaja usia 7 hingga 17 tahun.
Kuesioner dibuat dengan bahasa yang mudah dimengerti dan setara untuk
kemampuan membaca tingkat sekolah dasar. Kuesioner ini didisain untuk
menilai gejala kognitif, afektif dan perilaku anak dan remaja yang mengalami
depresi. CDI sensitif untuk menilai perubahan gejala depresi dari waktu ke
waktu dengan indeks yang sangat berguna untuk menilai tingkat keparahan
gejala depresif.6,8,15
Nilai hasil CDI memberikan informasi nilai remaja dibandingkan dengan
nilai sampel normal dari individu pada umumnya. Rerata waktu untuk
melengkapi dan menilai skrining ini sekitar 5-10 menit. Setiap pertanyaan
memiliki tingkat penilaian 0, 1, atau 2, tergantung pada tingkat beratnya gejala.
Internal consistency coefficient berkisar antara 0,71-0,89 sedangkan test-retest
coefficient berkisar antara 0,74–0,88.6,15
130
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
131
Skrining mental, emosional, perilaku, dan psikososial pada remaja
orangtua pada anak usia 4 hingga 11 tahun. Pada anak usia 11 tahun ke atas,
pengisian kuesioner PSC dilakukan oleh anak dan orangtua.1,6,8,19
PSC-Y berisi 35 pertanyaan seputar perilaku yang harus dijawab oleh
remaja sesuai penilaian remaja terhadap dirinya sendiri. Kuesioner ini diisi
sendiri oleh remaja dan orang tua. Pada PSC-Y, terdapat tambahan dua
pertanyaan mengenai keinginan dan usaha bunuh diri. Sensitivitas dan
spesifitas PSC-Y adalah sebesar 94% dan 88%, sedangkan sensitivitas dan
spesifisitas PSC-35 adalah sebesar 80%-95% dan 68%-100%. 4,6,8,19 Penelitian
PSC-Y menunjukkan bahwa sekitar 14% remaja usia 13 -18 tahun di berbagai
kota kecil, dan sekitar 20% remaja usia 9-14 tahun di kota besar di Amerika
Serikat memperlihatkan masalah psikososial. Terdapat 2% remaja yang
memiliki ide bunuh diri. 4,13,19
Penelitian di Departemen Ilmu Kesehatan Anak pada populasi anak
dengan obesitas, membandingkan PSC-17 dengan CBCL sebagai baku emas.
Penelitian ini memperlihatkan bahwa pada anak obesitas ditemukan masalah
emosi dan perilaku sebesar 28% menggunakan CBCL dan 22% berdasarkan
PSC-17. PSC-17 memiliki sensitivitas 69,2% dan spesifisitas 95,6%, positive
dan negative predictive values sebesar 85,7% dan 89%.20
132
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
Simpulan
Masalah kesehatan remaja bukan hanya masalah kesehatan fisik namun juga
masalah mental, psikososial, emosional, kognitif dan perilaku. Deteksi dini
gangguan kesehatan remaja menggunakan alat skrining masalah mental,
emosional dan psikososial yang diikuti dengan intervensi yang tepat, dapat
menurunkan morbiditas dan mortalitas remaja yang sebagian besar merupakan
keadaan atau penyakit yang dapat dicegah (preventable diseases).
Daftar pustaka
1. Dhamayanti M, Endyarni B, Hartanto F, Lestari H. Bunga rampai kesehatan
remaja. Jakarta:Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010.
2. Marcell AV. Adolescence. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE Jenson HB
Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia:
Elsevier; 2013. h. 60-5.
3. Gleason MM, Prachi Shah, Boris NW. Assessment and interviewing. Dalam:
Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke 18. Kliegman RM, Jenson HB, Behrman
RE, Stanton BF. Philadelphia:Saunders Elsevier; 2007. h.101-105.
4. UNFPA. Adolescents and youth demographic: A brief overview. Diunduh dari:
https://www.unfpa.org/webdav/site/global/shared/factsheets/One%20pager%20
on%20youth%20demographics%20GF.pdf
5. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Remaja dan
permasalahannya jadi perhatian dunia. Diunduh dari: http://www.bkkbn.go.id/
ViewBerita.aspx?BeritaID=840.
6. American Academy of Pediatric (AAP). Mental health screening and assessment
tools for primary care. Diunduh dari: http://www.aap.org/en-us/advocacy-and-
policy/aap-health-initiatives/Mental-Health/Documents/MH_ScreeningChart.
pdf.
7. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia. Riset Kesehatan Dasar 2010.
8. Grant R, Gracy D, Brito A. Developmental and social-emotional screening
instruments for use in pediatric primary care in infant and young children. Children’s
Health Fund New York, NY. Diunduh dari: http://www.childrenshealthfund.org/
sites/default/files/dev-and-mental-health-primary-care-screening-tools.pdf.
Diakses: 20 Februari 2014.
9. Levy S, Knight JR. Office management of substance use. Dalam: Aten CB,
Gotlieb EM, penyunting. Caring for adolescent Patients. Edisi ke-2. Philadelphia:
American Academy of Pediatrics; 2006.h. 535 – 44.
10. Ozer EM, Adams SH, Lustig JL, Gee S, Garber AK, Gardner LR, et al. Increasing
the screening and counseling of adolescents for risky health behaviors: A
primary care intervention. Dalam: Aten CB, Gotlieb EM, penyunting. Caring for
133
Skrining mental, emosional, perilaku, dan psikososial pada remaja
134
Substance Use Amongst Adolescents
Peter Azzopardi
135
Substance use amongst adolescents
Box 1. Alcohol Use Disorders (Source Mbuba & Newton, 2009; World Health Organization, 1992)
136
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
• Appearing to be under the influence of alcohol (e.g. smell of Substance use disorder
alcohol, looks intoxicated, hangover)
• Presenting with an injury
• Somatic symptoms associated with alcohol use (e.g. insomnia,
fatigue, anorexia, nausea, vomiting, indigestion, diarrhoea,
headaches)
• Difficulties in carrying out usual work, school, domestic or social
activities
Box 4: Key priniciples in providing mental health care (adapted from mhGAP guidelines, 2010):
137
Substance use amongst adolescents
138
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
Specific approaches
Substances are a significant cause for concern because they cause a great
deal of harm, but they often go unnoticed and untreated for long periods of
time. This is despite the fact that brief, easily delivered interventions have
been shown to be effective (Benegal, Chand, & Obot, 2009). Management
of AUD is a stepped-care approach. The first stage involves early detection
and brief intervention (exploring reasons for alcohol use, avoiding going to
places where alcohol is served, removing alcohol sources from the home). The
next level of intervention involves psychosocial approaches to prevent/delay
relapse, including structured interventions and self-help groups. The third
level of intervention includes pharmacotherapy for detoxification and relapse
prevention, which requires specialised input and is the most costly option
(Benegal et al., 2009). An important consideration is supporting families and
carers of people with AUD, and exploring social networks and finances (which
may be the cause, or caused by AUD).
Detailed management guidance is provided in mhGAP which includes
harm minimisation.
139
Pendekatan Diagnosis
Nyeri Sendi pada Anak
Arwin AP Akib
Tujuan:
1. Mengetahui beberapa penyakit sendi dan variasi klinis nyeri sendi
pada anak.
2. Mengetahui alur pendekatan diagnosis nyeri sendi pada anak.
3. Mengetahui tata laksana nyeri sendi sendi pada anak.
140
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
141
Pendekatan diagnosis nyeri sendi pada anak
Diagnosis banding
Nyeri sendi dapat terjadi secara akut atau kronis. Nyeri sendi akut sering
dihubungkan dengan trauma dan penyakit infeksi akut, sedangkan nyeri sendi
kronik kebanyakan dihubungkan dengan inflamasi autoimun penyakit reumatik
anak. Nyeri sendi akut pada anak biasanya tidak begitu menimbulkan masalah,
tetapi nyeri sendi kronik lebih memerlukan perhatian khusus. Nyeri sendi
kronik pada anak secara klinis sulit dipisahkan dari nyeri muskuloskeletal yang
sering berhubungan dengan penyakit reumatik anak. Nyeri muskuloskeletal
merupakan keluhan tersering, dapat sampai sekitar 50% pasien baru yang
dirujuk ke sentra reumatologi pediatri walaupun hanya sebagian kecil yang
kemudian terbukti menderita penyakit reumatik.
Nyeri sendi akut berhubungan dengan trauma fisik, infeksi akut, dan
proses fisiologis yang dikenal sebagai growing pain. Nyeri sendi akut yang sering
ditemui dokter anak biasanya berhubungan dengan infeksi akut sebagai radang
atau artritis, yaitu artritis septik, artritis reaktif, dan artritis pasca infeksi.
Artritis secara klinis ditandai oleh sendi bengkak, nyeri, kemerahan, teraba
hangat, dan gangguan fungsi sendi. Artritis septik adalah radang sendi oleh
mikroba yang menyerang sendi dan daerah sekitar sendi, misalnya radang sendi
gonokokus, sifilis, dan tuberkulosis. Artritis septik umumnya terjadi karena
penyebaran hematogen mikroba penyebab infeksi dari lokus infeksi awal.
Artritis reaktif sering dihubungkan dengan reaksi inflamasi sendi terhadap
mikroba penyebab infeksi pada organ lain, misalnya artritis reaktif terhadap
infeksi enteropatogen di saluran gastrointestinal dan penyakit demam reumatik
akut terhadap infeksi Streptococcus pyogenes B-hemolyticus goup A di mukosa
saluran napas atas. Artritis pasca-infeksi lebih banyak berupa artralgia yang
tidak menunjukkan tanda klinis artritis. Artralgia pasca-infeksi dapat terjadi
pada masa aktif infeksi atau setelah infeksi reda, misalnya pada infeksi dengue
dan chikungunya, atau setelah imunisasi.
Nyeri sendi kronik pada anak dapat bersifat idiopatik atau primer, dan
artritis kronik pada penyakit inflamasi autoimun. Sindrom fibromialgia primer
idiopatik (JPFS) merupakan kondisi klinis tersering nyeri sendi idiopatik,
sedangkan artritis kronik autoimun terpenting pada anak terdapat pada
kelompok penyakit reumatik. Nyeri sendi kronik biasanya tidak bersifat
tersendiri pada sendi tetapi disertai nyeri pada organ lain berupa nyeri
muskuloskeletal atau bahkan disertai gejala sistemik. Nyeri sendi kronik
idiopatik tidak menunjukkan gejala inflamasi sendi seperti pada artritis, tetapi
sebetulnya tidak begitu mudah membedakan nyeri muskuloskeletal pada
anak tanpa latar belakang penyakit inflamasi dengan nyeri muskuloskeletal
pada penyakit inflamasi autoimun. Umumnya pada nyeri idiopatik anak tidak
tampak sakit sedangkan pada penyakit autoimun disertai berbagai gejala klinis
lain, bahkan terkadang disertai gejala sistemik.
142
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
Pengobatan
Terapi dasar nyeri sendi idiopatik maupun artritis adalah analgesik sebagai
obat simtomatik. Obat yang sering diberikan adalah antiinflamasi non-steroid
(NSAID) seperti parasetamol, aspirin, ibuprofen, naproksen, diklofenak,
piroksikam, dan indometasin. Hindari pemakaian kortikosteroid selain
untuk indikasi khusus gejala sistemik. Pemberian analgesik atau antiinflamasi
sederhana disertai fisioterapi umumnya sudah cukup untuk pengobatan
nyeri sendi. Pada beberapa anak dengan nyeri sendi non-inflamasi idiopatik/
primer sering membutuhkan pula bantuan psikologis. Nyeri sendi atau nyeri
muskuloskelatal pada penyakit reumatik memerlukan pengobatan dan tindakan
lebih kompleks dan komprehensif sesuai dengan klasifikasi dan kriteria
diagnosis penyakitnya.
Penutup
Nyeri sendi pada anak dapat timbul secara akut atau kronik. Nyeri sendi dapat
terjadi karena proses noninflamasi pada sendi yang kita kenal sebagai artralgia,
atau merupakan gejala klinis artritis akibat proses inflamasi pada sendi dan
jaringan sekitar sendi. Gejala klinis artritis adalah bengkak, nyeri, teraba
hangat, kemerahan, dan gangguan fungsi sendi. Nyeri sendi akut biasanya tidak
begitu menimbulkan masalah klinis, tetapi nyeri sendi kronis yang umumnya
artritis kronik pada penyakit reumatik memerlukan tindak lanjut khusus.
143
Pendekatan diagnosis nyeri sendi pada anak
Daftar pustaka
1. Rapoff MA, Lindsley CB. Pain. Dalam Cassidy JT, Petty RE, Laxer RM, Lindsley
CB, penyunting. Textbook of Pediatric Rheumatology. Edisi ke 6. Philadelphia:
Saunders-Elsevier; 2011. h. 192-7.
2. Scheibel HG. Scientific basis of pain. Dalam Hochberg MC, Silman AJ, Smolen JS,
Weinblatt ME, Weisman MH, penyunting. Rheumatology. Edisi ke 5. Philadelphia:
Mosby Elsevier; 2011. h. 199-218.
3. Eleftheriou D, Batu ED, Ozen S, Brogan PA. Vasculitis in children. Nephrol Dial
Transplant 2015;30:i94–i103.
4. Singer NG, Ravelli A. Evaluation of musculoskeletal complaints in children.
Dalam Hochberg MC, Silman AJ, Smolen JS, Weinblatt ME, Weisman MH,
penyunting. Rheumatology. Edisi ke 5. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2011.
h.975-85.
5. Anthony KK, Schanberg LE. Pediatric pain syndromes and management of pain
in children and adolescents with rheumatic disease. Pediatr Clin North Am
2005;52:611-39.
6. Petty RE, Cassidy JT. Chronic arthritis in childhood. Dalam: Cassidy JT, Petty
RE, Laxer RM, Lindsley CB, penyunting. Textbook of Pediatric Rheumatology.
Philadelphia: Saunders-Elsevier; 2011. h. 211-35.
7. Laxer RM, Lindley CB. Infectious arthritis and osteomyelitis. Dalam Cassidy
JT, Petty RE, Laxer RM, Lindsley CB, penyunting. Textbook of Pediatric
Rheumatology. Philadelphia: Saunders-Elsevier; 2011.h. 559-99.
8. Gewitz MH, Baltimore RS, Tani LY, Sable CA, Shulman ST, Carapetis J, dkk.
Revision of the Jones Criteria for the diagnosis of Acute Rheumatic Fever in
the era of doppler echocardiography: A scientific statement from the American
Heart Association. Circulation. 2015;131:1806-18.
9. Teng TS, Kam YW, Lee B, Hapuarachchi HC, Wimal AT, Ng LC, Ng LFP. A
systematic meta-analysis of immune signatures in patients with acute chikungunya
virus infection. J Infect Dis. 2015;211:1925–35.
10. Klein NP, Lewis E, Fireman B, Hambidge SJ, Naleway A, Nelson JC, dkk. Safety
of measles-containing vaccines in 1-year-old children. Pediatrics. 2015;135:321-9.
144
Asma pada Remaja
Bambang Supriyatno
Tujuan:
1. Mengetahui morbiditas dan mortalitas asma pada remaja
2. Mampu mengetahui masalah yang ada pada asma remaja
3. Mampu mendiagnosis dan menatalaksana asma pada remaja
Asma merupakan penyakit respiratoris kronik yang sering dijumpai pada anak
dan memerlukan pertolongan pertama bila terjadi serangan asma di instalasi
gawat darurat.1,2 Prevalens asma pada anak berusia 6-7 tahun di Indonesia
sekitar 10%, sementara prevalens asma pada remaja di dunia berkisar antara
6,5-19,8%.3,4 Dengan kemajuan industri dan meningkatnya polusi udara
baik indoor maupun outdoor, prevalens asma pada anak juga mengalami
peningkatan.1-4
Beberapa pedoman asma (termasuk Global Initiative for Asthma,
GINA), umumnya hanya membahas asma pada anak dan dewasa, sedangkan
pembahasan asma pada remaja terkesan terabaikan.1,3,5,6 Asma pada remaja
mempunyai karakteristik yang unik karena selain dapat merupakan lanjutan
atau persistensi dari asma pada anak, penanganannya pun berbeda. Pada
penanganan asma remaja, selain medikamentosa perlu dipertimbangkan faktor
atau dampak dari pertumbuhan dan perkembangan remaja itu sendiri seperti
perubahan fisis, emosi, psikologis, dan sosial.4,7,8
Diagnosis dan tata laksana asma pada remaja secara umum tidak memiliki
perbedaan yang mendasar dengan asma pada anak maupun dewasa. Asma
terbagi dalam keadaan serangan asma dan di luar serangan asma (klasifikasi
asma). Serangan asma terbagi menjadi serangan ringan-sedang, berat, dan
terdapat ancaman henti napas. Sementara, sedangkan klasifikasi asma terbagi
menjadi asma intermiten, asma persisten ringan, asma persisten sedang, dan
asma persisten berat.1,3
Diagnosis
Diagnosis asma pada remaja hampir sama dengan diagnosis asma pada anak
145
Asma pada remaja
146
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
Tata laksana
Tata laksana asma terbagi menjadi medikamentosa dan non-
medikamentosa. Tata laksana medikamentosa tidak berbeda antara
asma pada anak, remaja, dan dewasa. Perbedaan hanya dalam dosis
dan cara pemberian. Untuk tata laksana nonmedikamentosa, pada
asma remaja sangat berbeda dengan asma pada anak dan hampir sama
dengan dewasa. 4,11,14
147
Asma pada remaja
Tatalaksana serangan asma dapat dibagi menjadi dua, yaitu saat di rumah
dan di fasilitas kesehatan. Pada serangan ringan-sedang, di rumah dapat
diberikan b2- agonis secara inhalasi (dapat dengan metered dose inhaler = MDI
atau nebulizer) dan kortikosteroid oral. Pemberian MDI sebanyak 2-4 puff
(semprot) dengan menggunakan alat bantu spacer atau dengan nebulizer b2-
agonis. Pemberian ini dapat diulang sebanyak 2 kali dengan interval di atas 30
menit. Apabila perbaikan, maka dapat diteruskan dengan b2- agonis oral atau
inhalasi, tetapi bila tidak ada perbaikan yang nyata maka dianjurkan mencari
pertolongan ke fasilitas pelayanan kesehatan atau dokter.1,3
Tata laksana di fasilitas kesehatan, apabila belum diberikan b2- agonis
maka diberikan b2- agonis inhalasi dan kortikosteroid oral dahulu dan bila
gagal maka diberikan kombinasi antara b2- agonis dan ipratropium bromida
secara inhalasi serta kortikosteroid oral. Pada keadaan sudah diberikan b2-
agonis sebelumnya maka langsung diberikan inhalasi b2- agonis dengan MDI
sebanyak 6-10 semprot atau kombinasi antara b2- agonis dengan ipratropium
bromida secara inhalasi.1,3,5
Pemberian kortikosteroid oral pada serangan asma ringan-sedang,
menimbulkan kekhawatiran terjadinya drug abuse terhadap kortikosteroid.
Kekhawatiran tersebut tidak akan terjadi karena pemberiannya hanya
berlangsung 3-5 hari dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis tanpa
tappering off.7 Perlu diperhatikan pemberian kortikosteroid oral yang berlangsung
berulang-ulang atau dalam jangka panjang karena dapat mengganggu proses
pertumbuhan.1,3
148
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
Tidak semua obat untuk asma terindikasi diberikan pada serangan asma.
Beberapa obat bahkan tidak disarankan untuk diberikan pada saat serangan,
antara lain:
1. Kortikosteroid inhalasi
Kortikosteroid inhalasi dapat diberikan bersama b2-agonis pada serangan
ringan-sedang tetapi tidak dianjurkan pada serangan berat. Indikasi
pemberian kortikosteroid inhalasi adalah pada keadaan kontraindikasi
pemberian kortikosteroid oral. Dosis kortikosteroid inhalasi yang diberikan
harus dosis tinggi yaitu sekitar 2.000-2.400 mikrogram (mcg) budesonide.
Pemberian kortikosteroid inhalasi dosis rendah untuk serangan asma tidak
mempunyai efek terapetik.1,3
149
Asma pada remaja
2. Mukolitik
Mukolitik tidak dianjurkan pada serangan berat karena dapat memperberat
serangannya. Pada serangan ringan-sedang dapat diberikan meskipun efek
terapetiknya masih kontroversial.1,3
3. Antibiotik
Antibiotik tidak dianjurkan pada serangan asma kecuali terdapat
pneumonia (baik atipik maupun pneumonia yang klasik).1,3,5
4. Antileukotrien
Antileukotrien tidak dianjurkan pada serangan asma. Antileukotrien
diberikan untuk tatalaksana jangka panjang (sendiri maupun bersama
kortikosteroid).1,5
150
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
Pada tata laksana jangka panjang dikenal istilah up dan down regulation
atau ”naik jenjang” dan ”turun jenjang”. ”Naik jenjang” berarti dari jenjang
1 meningkat menjadi jenjang 2, 3, atau 4 yaitu pada keadaan tidak respons
terhadap obat yang diberikan. Pada kondisi ”naik jenjang”, diperlukan evaluasi
yang berlangsung kurang dari 2 bulan. Apabila ”turun jenjang”, yang berarti
dari jenjang 4 ke tahap 3, 2, atau 1 perlu evaluasi yang lebih lama yaitu sekitar
2-3 bulan untuk menentukan tahap berikutnya. Evaluasi naik jenjang atau
turun jenjang dilakukan dengan cara mengevaluasi gejala kendali asma (Tabel
2).1,3
Tabel 2. Gejala derajat kendali asma.
1,3
151
Asma pada remaja
Anti IgE (omalizumab) dapat diberikan pada asma persisten berat yang
kurang/tidak respons terhadap jenjang-jenjang tersebut di atas. Sebelum
pemberian anti IgE, perlu diperiksa kadar IgE untuk menentukan dosis
omalizumab. Dosis omalizumab ditentukan berdasarkan berat badan dan
kadar anti IgE.1,23
Selain pemberian pengendali, upaya pencegahan terhadap alergen
merupakan tatalaksana yang paling utama dalam tatalaksana jangka panjang.
Alergen yang dapat menyebabkan timbulnya serangan asma adalah asap rokok,
debu (tungau debu rumah), dan makanan tertentu berdasarkan pemantauan
pasien dan/atau keluarga.1,3,5,6
152
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
klinis selama dalam pengobatan dan rencana atau tindakan yang dilakukan
dalam mengatasi hal-hal yang terjadi atau adanya perubahan. Kartu harian
sangat berguna dalam memantau perkembangan asma karena sebagai evaluasi
terhadap hasil pengobatan dan rencana selanjutnya.4,11
Dengan kata lain pendekatan non-medikamentosa lebih berperan pada
tata laksana asma pada remaja dibandingkan dengan asma anak dan dewasa.
Perlu perhatian khusus terhadap perubahan yang terjadi pada remaja dan
keunikan remaja.4,11,14
Keadaan khusus
Pada keadaan tertentu, setelah tata laksana medikamentosa dan non-
medikamentosa dijalankan tetapi masih belum terdapat respons juga,
maka perlu dipertimbangkan adanya faktor komorbiditas pada asma
remaja. Beberapa komorbiditas yang sering terjadi adalah rinosinusitis,
penyakit refluks gastro-esofagus (GERD), obesitas, dan infeksi pada paru
seperti pneumonia sehingga sering disebut sebagai difficult asthma. Pada
difficult asthma perlu pemeriksaan penunjang seperti foto Roentgen dada
atau sinus paranasal, uji fungsi paru, CT scan, atau bronkoskopi.24,25
Pada rinosinusitis, dapat diberikan kortikosteroid intranasal dengan atau
tanpa antibiotik. Pada keadaan rinosinusitis yang dicurigai karena faktor alergi,
tidak memerlukan antibiotik tetapi hanya kortikosteroid intranasal selama
minimal 3 minggu. Pada kecurigaan rinosinusitis bakterialis seperti gambaran
radiologis berupa air fluid level, tidak ada perbaikan setelah pengobatan 5-10
hari dengan kortikosteroid intranasal, maka dapat ditambahkan antibiotik
selama 3 minggu. Pilihan antibiotik dapat berupa amoksilin-klavulanat atau
makrolid, atau sefalosporin.26,27
Pada keadaan GERD, dapat diberikan obat anti refluks seperti PPI (proton
pump inhibitor). Pada GERD dapat terjadi batuk yang kronik dan perasaan
heart burn serta halitosis.25,28 Pada obesitas, asma dapat menjadi lebih berat
karena dapat terjadi komorbirditas berupa OSAS (obstructive sleep apnea
syndrome). Pada keadaan OSAS perlu dilakukan tata laksana obesitas dan
tindakan tonsiloadenoidektomi atau pemberian CPAP (continuous positive
airway pressure) untuk menghilangkan hipoksia kronis yang terjadi akibat
apnea saat tidur.24,25,29
Pada kecurigaan pneumonia dapat dilakukan pemeriksaan foto Roentgen
dada, dengan ditemukannya gambaran pneumonia lobaris atau adanya
pneumonia atipik maka perlu pemberian antibiotik berupa makrolid.25,30
153
Asma pada remaja
Simpulan
Asma pada remaja merupakan kelompok yang kurang mendapat perhatian
meskipun angka kejadian dan kematiannya cukup tinggi dibandingkan asma
anak dan dewasa. Diagnosis asma pada remaja sama dengan asma anak dan
dewasa. Tata laksana asma pada remaja sama dengan pada anak dan dewasa
dalam hal medikamentosa tetapi berbeda dalam hal nonmedikamentosa.
Beberapa faktor yang perlu diperhatikan pada tatalaksana asma remaja adalah
adanya perubahan fisik, emosi, psikologis, dan sosial yang akan mempengaruhi
kejiwaannya serta adanya faktor tekanan dari peer group serta adanya asap
rokok yang akan mempersulit tata laksana asma pada remaja.
Pada tata laksana asma remaja perlu mengikutsertakan peran pasien
(patient-centered approach) dalam menentukan jenis dan cara pemberian
obat. Disamping masalah tata laksana asma pada remaja yang sulit (difficult
asthma), beberapa penyakit penyerta dapat lebih mempersulit tata laksana,
yaitu rinosinusitis, GERD, obesitas dengan OSAS (obstructive sleep apnea
syndrome), dan pneumonia atipik.
Oleh karena itu, terlihat bahwa tata laksana asma pada remaja masih
merupakan tantangan yang berat dan memerlukan pemikiran yang lebih
mendalam untuk mencegah terjadinya kematian akibat asma. Di masa
mendatang, tata laksana asma (baik asma anak dan remaja) semakin kompleks
dan perlu pendekatan multidisiplin karena asma merupakan penyakit yang
melibatkan disiplin lain. Tata laksana secara dini, cepat, dan tepat serta
pemantauan yang komprehensif dapat mengurangi kompleksitas tata laksana
asma sehingga difficult asthma dapat dicegah.
Daftar pustaka
1. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management and
Prevention. 2015.
2. Maziak W, von Motius E, Keil U, Hirsch T, Laupold W, Rzehak P, dkk. Predictors
of healthy care utilization of children with asthma in the community. Pediatr
Allergy Immunol. 2004;15:166-71.
3. UKK Respirologi. Pedoman Nasional Asma Anak. UKK Respirologi. 2015.
4. Couriel J. Asthma in adolescence. Pediatr Respir Rev. 2003;4:47-54.
5. Nishimuta T, Kondo N, Hamasaki Y, Morikawa A, Nishima S. Japanese Guideline
for Childhood Asthma. Allergology Int. 2011;60:147-69.
6. Papadopoulos NG, Arakawa H, Carlsen KH, Custovic A, Gern J, Lemanske R,
dkk. International consensus on (ICON) pediatric asthma. Allergy. 2012;67:976-
97.
7. Rhee H, Belyea MJ, Elward KS. Patterns of asthma control perception in
adolescents: associations with psychosocial functioning. J Asthma. 2008;45:600-6.
154
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
155
Asma pada remaja
26. Bousquet J, Khaltaev N, Cruz AA, Denburg J, Fokkens WJ, Togias A,dkk. Allergic
rhinitis and its impact on asthma (ARIA) 2008. Allergy. 2008;63:8-160.
27. Price D, Kemp L, Sims E, van Ziegenweidt J, Navaratnam P, Lee AS, dkk.
Observational study comparing intranasal mometasone furoat with oral
antihistamines for rhinitis and asthma. Prim Care Respir J. 2010;19:266-73.
28. De Blasio F, Virchow JC, Polverino M, Zanasi A, Behrakis PK, Kilinç G, dkk.
Cough management: a practical approach. Cough. 2011;7:7-19
29. Supriyatno B, Said M, Hermani B, Sjarif DR, Sastroasmoro S. Risk factors of
obstructive sleep apnea syndrome in obese early adolescents: a prediction model
using scoring system. Acta Med Indones. 2010:42:152-7.
30. Biscardi S, Lorrot M, marc E, Mouline F, Faucher BB, Heilbronner C, dkk.
Mycoplasma pneumonia and asthma in children. Clin Infect Dis. 2004;38:1341-6.
156