Anda di halaman 1dari 172

PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FKUI-RSCM - JAKARTA

XL Radiologi 26-27 Nop 1997 Pencitraan: Penggunaannya untuk Menunjang Diagnosis Penyakit
Saluran Napas dan Saraf pada Anak
XLI Hematologi 24-25 Jun 1998 Darah dan Tumbuh Kembang: Aspek Transfusi
XLII Gastroenterologi, 22-23 Feb 1999 Dari Kehidupan Intrauterin sampai Transplantasi Organ: Aktualisasi
Hepatologi dan Gizi Gastroenterologi-Hepatologi dan Gizi
XLIII Hepatologi 31 Mei 2000 Tinjauan Komprehensif Hepatitis Virus Pada Anak
XLIV Alergi-Imunologi, Infeksi 30-31 Juli 2001 Pendekatan Imunologis Berbagai Penyakit Alergi PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN LXXII
dan Penyakit Tropis
XLV Dep.IKA FKUI-RSCM 18-19 Feb 2002Hot Topics and Pediatrics II
XLVI Dep. IKA FKUI-RSCM 5-6 Sep 2004 Current Management of Pediatrics Problems
XLVII Dep. IKA FKUI-RSCM 19-20 Sep 2005Penanganan Demam pada Anak Secara Profesional
XLVIII Dep. IKA FKUI-RSCM 13-14 Des 2005Update in Neonatal Infections
XLIX Dep. IKA FKUI-RSCM 5-7 Maret 2006Neurology in Children for General Practitioner in Daily Practice
L Dep. IKA FKUI-RSCM 24-25 Juli 2006
Strategi Pendekatan Klinis Secara Profesional Batuk pada Anak
LI Dep. IKA FKUI-RSCM 20-21 Nov 2006Pain Management in Children
LII Dep. IKA FKUI-RSCM 16-17 Juli 2007
Pendekatan Praktis Pucat: Masalah kesehatan yang terabaikan pada

Transformation from Fetus to


bayi dan anak
LIII Dep. IKA FKUI-RSCM 12-13 Nov 2007 Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Anak dengan Gejala Kuning
LIV Dep. IKA FKUI-RSCM 27-28 Okt 2008 The 1st National Symposium on Immunization

Excellent Adolescents
LV Dep. IKA FKUI-RSCM 22-23 Maret 2009 HIV Infection in Infants and Children in Indonesia: Current Challenges in
Management
LVI Dep. IKA FKUI-RSCM 9-10 Agt 2009 The 2nd Adolescent Health National Symposia:
Current Challenges in Management
LVII Dep. IKA FKUI-RSCM 8-9 Nov 2009 Management of Pediatric Heart Disease for Practitioners: From Early
Detection to Intervention
LVIII Dep. IKA FKUI-RSCM 20-21 Juni 2010 Pediatric Skin Allergy and Its Problems
LIX Dep. IKA FKUI-RSCM & 19-20 Des 2010 The Current Management of Pediatric Ambulatory Patients
IDAI Jaya
LX Dep. IKA FKUI-RSCM & 9-10 Okt 2011 Peran Dokter Anak dalam Diagnosis Dini dan Pemantauan Keganasan
IDAI Jaya pada Anak
LXI Dep. IKA FKUI-RSCM 5-6 Feb 2012 Kegawatan Pada Bayi dan Anak
LXII Dep. IKA FKUI-RSCM 1-2 Apr 2012 Current Management in Pediatric Allergy and Respiratory Problems
LXIII Dep. IKA FKUI-RSCM 17-18 Juni 2012 Update Management of Infectious Diseases and Gastrointestinal
Disorders
LXIV Dep. IKA FKUI-RSCM 24-25 Maret 2013 Tata Laksana Berbagai Keadaan Gawat Darurat pada Anak
LXV Dep. IKA FKUI-RSCM 17-18 Nop 2013 Pelayanan Kesehatan Anak Terpadu
LXVI Dep. IKA FKUI-RSCM 22-23 Maret 2014 Pendekatan Holistik Penyakit Kronik pada Anak untuk Meningkatkan
Kualitas Hidup
LXVII Dep. IKA FKUI-RSCM 16-17 Nop 2014 Current Evidence in Pediatric Practices
LXVIII Dep. IKA FKUI-RSCM 12-13 April 2015 Current Evidences in Pediatric Emergencies Management
LXIX Dep. IKA FKUI-RSCM 6-7 Des 2015 Menuju diagnosis: pemeriksaan apa yang perlu dilakukan?
LXX Dep. IKA FKUI-RSCM 3-4 April 2016 Common and Re-Emerging Infectious Disease: Current Evidence DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
LXXI Dep. IKA FKUI-RSCM 30-31 Okt 2016 Doctors Without Border: Recent Advances in Pediatrics FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA -
RS. CIPTO MANGUNKUSUMO

Jakarta, 25-26 Maret 2017


Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah
Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, senantiasa mengetengahkan perkembangan mutakhir dalam
bidang ilmu kesehatan anak di samping masalah pediatri praktis. Keterangan tentang program ini setiap saat dapat dimintakan
kepada: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM, Jalan Diponegoro 71, Jakarta 10430, Telp. (021) 3161420, Fax. (021) 3161420
PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FKUI-RSCM JAKARTA

I Kardiologi 7-8 Juli 1980 Penataran Berkala Kardiologi Pediatrik


II Gawat Darurat 23 Jan 1982 Demam Berdarah Dengue
III Hematologi 5 Juni 1982 Beberapa Aspek Hematologi
IV Neurologi 11-16 April 1983 Kejang pada Anak
V Kardiologi 19-20 April 1983 Penataran EKG Bayi danAnak
VI Nefrologi 1 Juni 1983 Penanggulangan Penyakit Ginjal Kronik
VII Gizi 13 Nov 1983 Gizi dan Tumbuh Kembang
VIII Pulmonologi 9-10 Nov 1983 Bronkitis dan Asma pada Anak
IX Perinatologi 3-4 Des 1984 Ikterus pada Neonatus
X Penyakit Tropis 4 Mei 1985 Permasalahan dan Penatalaksanaan Mutakhir Beberapa Penyakit Tropis
XI Kardiologi 31 JuIi-1 Agt 1985Diagnosis dan Penatalaksanaan Penyakit Jantung Bawaan yang Dapat
Dikoreksi
XII Radiologi 1-2 Nov 1985 Radiologi Klinis dan Ultrasonografi pada Bayi dan Anak
XIII Endokrinologi 23 Febr 1986 Masalah penyimpangan Pertumbuhan Somatik dan Seksual pada Anak
dan Remaja
XIV Gawat Darurat 9 Agt 1986 Penanggulangan Terpadu Enterokolitis Nekrotikans Neonatal
XV Radiologi 20-21 Juni 1988 Radiologi dan Ortopedi Praktis pada Anak
XVI Gastroenterologi 30 Sept-1 Okt 1988Penanggulangan Mutakhir Beberapa Penyakit Gastrointestinal pada
Anak
XVII Pulmonologi 21-22 Okt 1988 Beberapa Masalah Klinis Praktis Pulmonologi Anak
XVIII Neurologi 27-28 Jan 1989 Kedaruratan Saraf Anak
XIX Gizi 8-9 Sept 1989 Beberapa Aspek Tentang Vitamin dan Mineral pada Tumbuh Kembang
Anak
XX Kardiologi 15-16 Des 1989 Penatalaksanaan Kedaruratan Kardio vaskular pada Anak
XXI Alergi-imunologi 9-10 Mar 1990 Meningkatkan Profesionalisme dalam Penatalaksanaan Penyakit Alergi-
Imunologi
XXII Nefrologi 7-8 Des 1990 Penatalaksanaan Penyakit Ginjal pada Anak
XXIII Perinatologi 8-9 Juli 1991 Sindrom Gawat Napas pada Neonatus
XXIV Hematologi 6-7 Sept 1991 Perkembangan Mutakhir Penyakit Hematologi Onkologi Anak
XXV Penyakit Tropis 26-27 Juni 1992 Tata Iaksana Penyakit Infeksi pada Anak Masa Kini dan Masa
Mendatang
XXVI Radiologi 11-12 Sept 1992 Pencitraan Traktus Urinarius pada Anak
XXVII Hepatologi 6-7 Nop 1992 Hepatologi Anak Masa Kini
XXVIII Endokrinologi 16-15 Feb 1993 Masalah Penyimpangan Pertumbuhan Somatik pada Anak dan Remaja
XXIX Nefrologi 24-25 Sept 1993 Penanggulangan Masalah Uronefrologi pada Anak
XXX Gawat Darurat 3-4 Des 1993 Pendekatan Farmakologi pada Pediatrik Gawat Darurat
XXXI Gastroenterologi 3-4 Feb 1994 Optimalisasi Tatalaksana Gagal Tumbuh Gastointestinal Guna
Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia
XXXII Kardiologi 1-2 Juli 1994 Pengenalan Dini dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan pada
Neonatus
XXXIII Pulmonologi 2-3 Des 1994 Perkembangan dan Masalah Pulmonologi Anak Saat ini
XXXIV Neurologi 24-25 Mar 1995 Neurologi Anak dalam Praktek Sehari-hari
XXXV Gizi 11-12 Agt 1995 Masalah Gizi Ganda dan Tumbuh Kembang Anak
XXXVI Alergi-Imunologi 10-11 Nop 1995 Strategi Pendekatan Klinis Berbagai Penyakit Alergi dan Reumatik pada
Anak
XXXVII Tumbuh Kembang 21-23 Nop 1996 Deteksi dan Intervensi Dini Penyimpangan Tumbuh Pediatri Sosial
Kembang Anak dalam Upaya Optimalisasi Kualitas Sumber Daya
Manusia
XXXVIII Perinatologi 7-8 Apr 1997 Penanganan Mutakhir Bayi Prematur: Memenuhi Kebutuhan Bayi
Prematur untuk Menunjang Peningkatan Kualitas Sumber Daya
Manusia
XXXIX Infeksi dan Pediatrik 25-26 Agt 1997 Strategi Pemilihan dan Penggunaan Vaksin serta Antibiotik dalam
Tropik Upaya Antisipasi Era Perubahan Pola Penyakit
UNIVERSITAS
INDONESIA
Veritas, Probitas, Justitia

FAKULTAS

KEDOKTERAN

PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN LXXII

Transformation from Fetus to


Excellent Adolescents

Penyunting:
Nia Kurniati
Risma K. Kaban
Novie Amelia Chozie
Titis Prawitasari
Madeleine Ramdhani Jasin

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang memperbanyak, mencetak dan menerbitkan sebagian atau seluruh
buku dengan cara dan dalam bentuk apapun juga tanpa seizin penulis dan
penerbit

Diterbitkan oleh:
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM

Cetakan Pertama 2017

ISBN 978-979-8271-56-4

ii
Kata Sambutan
Ketua Departemen IKA FKUI - RSCM

Assalamualaikum Wr. Wb.

Yth Teman Sejawat sekalian


Tugas kita sebagai Dokter Spesialis Anak yang selama melakukan pelayanan
kesehatan anak lebih banyak didominasi oleh pengobatan kuratif akan beralih
menjadi pelayanan kesehatan anak yang berorientasi pada aspek preventif
dan promotif. Hal ini sesuai pula dengan system kesehatan nasional kita yang
dengan piramidanya menempatkan pelayanan kesehatan kuratif sekunder
dan tersiar pada bagian teratas yang berarti merupakan proporsi terkecil dari
system kesehatan tersebut. Berbicara mengenai aspek preventif dan promotif
maka kita berbicara mengenai pemantauan tumbuh kembang anak secara
komprehensif. Oleh karena itu pada PKB Departemen Kesehatan kali ini,
selain tetap membahas penyakti-penyakit yang sering dijumpai dalam praktek
sehari-hari, juga disinggung topik non penyakit terkait tumbuh kembang anak.
Agar para peserta mendapatkan gambaran yang utuh dan berkesinambungan
aspek preventif dan promotif terutama tentang tumbuh kembang anak maka
kami membahas aspek tersebut bahkan sejak pertumbuhan jani (intra uterin)
hingga anak tersebut berusia dewasa.
Kami percaya setelah mengikuti PKB ini para peserta akan mendapatkan
tambahan pengetahuan yang relevan diaplikasikan dalam pelayanan kesehatan
anak.
Ucapan terima kasih dan apresiasi saya sampaikan kepada Ketua PKB
Departemen IKA beserta tim dan Ketua Panitia pelaksana berseta seluruh
panitia atas kinerja yang maksimal dalam mempersiapka kegiatan ini. Tidak
lupa ucapan terima kasih disampaikan kepada mitra kerja Departemen Ilmu
Kesehatan Anak FKUI-RSCM yang telah berkontribusi pada kegiatan ini.
Selamat mengikuti PKB ini, semoga Allah SWT meridhoi dan
memberikan rahmat kepada kita semua

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Aryono Hendarto

iii
iv
Kata Sambutan
Ketua Panitia PKB Departemen IKA FKUI-RSCM LXXII

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan izinNya kegiatan Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan (PKB) ke LXXII ini dapat terlaksana. Kegiatan ini
merupakan kegiatan rutin dan secara konsisten diadakan oleh Departemen
Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM.
Pendidikan kedokteran berkelanjutan dirancang untuk dokter
anak dan dokter umum agar pengetahuan dan keterampilan dalam
memberikan pelayanan pada pasien anak selalu mengikuti perkembangan
ilmu kedokteran terkini. Topik ilmiah secara berkala dipilih berdasarkan
masalah yang perlu mendapat perhatian dan kerap dijumpai dalam
praktek sehari-hari.
Mempersiapkan anak agar tercapai tumbuh kembang secara optimal
seharusnya sudah dimulai sejak dalam kandungan. Sejalan dengan
masalah tersebut tema PKB kali ini adalah “Transformation from fetus
to excellent adolescents.” Fokus pembahasan adalah mengenai persiapan
dan permasalahan yang kerap dialami dalam proses seorang anak sejak
dalam kandungan, bayi hingga remaja. Untuk dapat memberikan yang
terbaik kami melibatkan tidak hanya pakar Departemen Ilmu Kesehatan
Anak FKUI-RSCM tetapi juga dari Departemen Obstetri dan Ginekologi
FKUI-RSCM serta pakar kesehatan remaja dari Burnet Institute dan
University of Melbourne (Australia).
Kami mengharapkan PKB ke-72 ini dapat memenuhi harapan
teman sejawat mendapatkan pencerahan mengenai pengetahuan
dan perkembangan ilmu kedokteran terbaru yang bermanfaat dalam
praktek sehari-hari. Akhir kata atas nama panitia PKB ke-72 kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyelenggaraan kegiatan ini, para pakar yang telah bersedia
menjadi narasumber dan seluruh peserta yang telah berperan aktif
mengikuti PKB ini.
Wabillahi taufik wal hidayah
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Murti Andriastuti
Ketua panitia

v
vi
Kata Pengantar Tim Penyunting

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah yang Maha Kuasa atas terbitnya
buku naskah lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB) LXXII,
dengan tema Transformation from Fetus to Excellent Adolescents.
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia - RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo berkomitmen untuk ikut
serta dalam pengembangan keilmuan dan perkembangan serta ketrampilan
di bidang ilmu kesehatan anak, yang diadakan rutin khususnya untuk dokter
spesialis anak di Indonesia dan umumnya untuk semua dokter dalam bentuk
pendidikan kedokteran berkelanjutan.
Topik yang diangkat pada PKB LXXII sebagaimana disebutkan di atas
akan membahas berbagai aspek kesehatan anak, dimulai sejak fetus hingga
remaja. Diantaranya adalah nutrisi ibu selama masa kehamilan, kesehatan
saluran cerna bayi, infeksi pada masa bayi, hingga masalah kesehatan fisik
dan mental pada remaja. Tentu saja tidak semua aspek dapat dibahas lengkap,
namun kami berniat agar setiap artikel lengkap dalam buku ini dapat mewakili
issue penting pada kehidupan anak. Oleh karena itu kami berharap sejawat
sekalian dapat mengambil manfaat yang besar dan dapat berguna dalam
praktik sehari-hari.

Jakarta,

Tim Penyunting

vii
viii
Tim PKB FKUI-RSCM

Ketua : Dr. Sudung O. Pardede, Sp.A(K)


Wakil Ketua : DR. Dr. Partini P. Trihono, Sp.A(K), MMed(Paed)
Sekretaris : Dr. Bernie Endyarni, Sp.A(K), MPH
Bendahara : Dr. Titis Prawitasari, Sp.A(K)
Anggota : 1. Prof. DR. Dr. Sri Rezeki S. Hadinegoro, Sp.A(K)
2. Prof. DR. Dr. Hardiono D. Pusponegoro, Sp.A(K)
3. Prof. Dr. Jose RL Batubara, PhD, Sp.A(K)
4. Prof. DR. Dr. Bambang Supriyatno, Sp.A(K)
5. Dr. Endang Windiastuti, Sp.A(K), MMed(Paed)
6. DR. Dr. Hanifah Oswari, Sp.A(K)

ix
Susunan Panitia

Ketua DR. Dr. Murti Andriastuti, Sp.A(K)


Wakil Ketua Dr. Mulya Rahma Karyanti, Sp.A(K)
Sekretaris Dr. Fatima Safira Alatas, PhD, Sp.A(K)
Bendahara Dr. Frida Soesanti, Sp.A(K)
Seksi Dana Prof. DR. Dr. Sri Rezeki Hadinegoro, Sp.A(K)
Prof. Dr. Jose RL Batubara, PhD, Sp.A(K)
Prof. DR. Dr. Bambang Supriyatno, Sp.A(K)
Prof. DR. Dr. Hardiono D. Pusponegoro, Sp.A(K)
DR. Dr. Zakiudin Munasir, Sp.A(K)
Dr. Badriul Hegar, PhD, Sp.A(K)
DR. Dr. Rini Sekartini, Sp.A(K)
Dr. Piprim B. Yanuarso, Sp.A(K)
Seksi Ilmiah Dr. Nia Kurniati, Sp.A(K)
DR. Dr. Risma K. Kaban, Sp.A(K)
DR. Dr. Novie Amelia Chozie, Sp.A(K)
Dr. Titis Prawitasari, Sp.A(K)
Dr. Madeleine Ramdhani Jasin, Sp.A
Seksi Perlengkapan, Dr. Ari Prayitno, Sp.A(K)
Dokumentasi & Dr. R. Adhi Teguh Perma Iskandar, Sp.A
Pameran
Seksi Sidang Dr. Amanda Soebadi, Sp.A
Dr. Fitri Primacakti, Sp.A
Dr. Putri Maharani T. M., Sp.A
Seksi Konsumsi Dr. Henny Andriani Puspitasari, Sp.A
Dr. Cut Nurul Hafifah, Sp.A

x
Daftar Penulis

DR. Dr. Noroyono Wibowo, SpOG(K)

Dr. Muzal Kadim, Sp.A(K)


Divisi Gastro-Hepatologi
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

Dr. Frida Soesanti, Sp.A(K)


Divisi Endokrinologi
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

Dr. Yoga Devaera, Sp.A(K)


Divisi Nutrisi dan Penyakit Metabolik
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

DR. Dr. Hindra I. Satari, Sp.A(K), MTropPaed


Divisi Infeksi dan Pediatrik Tropis
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

DR. Dr. Teny Tjitra Sari, Sp.A(K)


Divisi Hematologi-Onkologi
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

DR. Dr. Partini P. Trihono, Sp.A(K), MMed(Paed)


Divisi Nefrologi
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

DR. Dr. Najib Advani, Sp.A(K), MMed(Paed)


Divisi Kardiologi
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

DR. Dr. Sudung O. Pardede, Sp.A(K)


Divisi Nefrologi
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

DR. Dr. Rismala Dewi, Sp.A(K)


Divisi Emergensi dan Rawat Intensif Anak
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

Prof. DR. Dr. Mulyadi M. Djer, Sp.A(K)


Divisi Kardiologi
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

xi
Dr. Evita B. Ifran, Sp.A(K)
Divisi Pencitraan
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

Dr. Rosalina D. Roeslani, Sp.A(K)


Divisi Neonatologi
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

Dr. Bernie Endyarni Medise, Sp.A(K), MPH


Divisi Tumbuh Kembang-Pediatri Sosial
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

Peter Azzopardi MB BS MEpi FRACP PhD

Prof. Dr. Arwin AP. Akib, Sp.A(K)


Divisi Infeksi dan Pediatrik Tropis
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

Prof. DR. Dr. Bambang Supriyatno, Sp.A(K)


Divisi Respirologi
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

DR. Dr. Irawan Mangunatmadja, Sp.A(K)


Divisi Neurologi
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

xii
Daftar isi

Kata Sambutan Ketua Departemen IKA FKUI - RSCM.............................. iii


Kata Sambutan Ketua Panitia PKB Departemen IKA FKUI-RSCM LXXII.. v
Kata Pengantar Tim Penyunting................................................................. vii
Tim PKB FKUI-RSCM............................................................................... ix
Susunan Panitia........................................................................................... x
Daftar Penulis............................................................................................. xi
Daftar isi................................................................................................... xiii

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perkembangan Saluran Cerna pada Bayi.1


Muzal Kadim, Alberta Claudia, Wanda Gautami
Menstruasi pada Remaja: Kapan Perlu Khawatir?...................................... 13
Frida Soesanti
Body Image dan Nutrisi Remaja................................................................. 23
Yoga Devaera
Sifilis Kongenital........................................................................................ 28
Hindra Irawan Satari, Dian Ayuningtyas
Anemia pada Neonatus: Fisiologis Atau Patologis?.................................... 36
Teny Tjitra Sari
Hipertensi pada Bayi Baru Lahir................................................................ 48
Partini Pudjiastuti Trihono
Keselamatan Pasien pada Anak.................................................................. 57
Najib Advani

xiii
Etik dalam Pelayanan Kesehatan Anak...................................................... 65
Sudung O. Pardede
Transportasi Anak Sakit Kritis................................................................... 77
Rismala Dewi
Penyakit Jantung pada Remaja................................................................... 85
Mulyadi M. Djer
Kelainan Bawaan Saluran Cerna pada Neonatus........................................ 97
Evita Karianni Bermanshah Ifran
Kelainan Kongenital dan Angka Kematian Neonatus (AKN)................... 116
Rosalina Dewi Roeslani
Skrining Mental, Emosional, Perilaku, dan Psikososial pada Remaja........ 127
Bernie Endyarni Medise
Substance Use Amongst Adolescents....................................................... 135
Peter Azzopardi
Pendekatan Diagnosis Nyeri Sendi pada Anak......................................... 140
Arwin AP Akib
Asma pada Remaja................................................................................... 145
Bambang Supriyatno

xiv
Faktor-Faktor yang Memengaruhi
Perkembangan Saluran Cerna pada Bayi
Muzal Kadim, Alberta Claudia, Wanda Gautami

Tujuan:
1. Mengenali pentingnya perkembangan saluran cerna bayi
2. Membahas proses perkembangan saluran cerna bayi antenatal hingga
pascanatal
3. Membahas fakor-faktor prenatal dan pascanatal yang mempengaruhi
pertumbuhan dan pematangan saluran cerna bayi

Saluran cerna manusia memiliki fungsi yang sangat kompleks antara lain
pencernaan (digesti), penyerapan (absorpsi), ekskresi, metabolik, sistem
saraf, pembatas dengan dunia luar (barrier) dan pertahanan tubuh baik
secara fisis, biokimiawi maupun imunologis. Salah satu perkembangan yang
penting pada saluran cerna bayi setelah lahir adalah perkembangan fungsi
pertahanan epitel usus (intestinal epithelial barier function). Fungsi pertahanan
epitel usus merupakan kemampuan epitel usus untuk memberi batasan antara
lingkungan luar dan internal tubuh dan membentuk pertahanan yang dibentuk,
sehingga patogen, antigen, alergen, maupun molekul toksik yang masuk ke
lumen saluran cerna tidak dapat masuk ke dalam jaringan usus dan akhirnya
ke sirkulasi tubuh. Kerusakan fungsi pertahanan epitel usus, misalnya pada
pertautan erat antar sel enterosit (tight junction) akan menyebabkan inflamasi
lokal maupun sistemik pada tubuh bayi, yang ditandai dengan permeabilitas
usus yang meningkat.1-4
Bayi baru lahir pada awalnya akan memiliki permeabilitas usus yang
tinggi, yang kemudian secara perlahan akan menurun ketika usus bayi
mengalami maturasi pasca kelahiran. Pada tujuh hari pertama pasca kelahiran,
penurunan permeabilitas sangat signifikan. Salah satu faktor yang memengaruhi
permeabilitas usus bayi diantaranya pemberian air susu ibu (ASI) yang terbukti
mempercepat penurunan permeabilitas usus.3,4 Gambar 1 menunjukkan peran
tight junction dalam mempertahankan permeabilitas normal sel enterosit.2

1
Faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan saluran cerna pada bayi

 
  Gambar 1. Pertahanan usus yang baik akan mencegah patogen, antigen dan alergen untuk
melewati epitel menuju lamina propria, bila terjadi kerusakan pada tight junction, maka
terjadi peningkatan permeabilitas usus.2

Perkembangan saluran cerna bayi


Perkembangan saluran cerna yang terjadi pada masa intrauterin sangat
menentukan kemampuan janin manusia untuk bertahan setelah lahir.
Perkembangan fungsi digesti, absorpsi, transport makanan di sepanjang saluran
cerna, fungsi pertahanan baik secara fisis maupun imunologis terhadap patogen,
antigen dan alergen memberi jaminan tumbuh kembang bayi yang normal
pada awal tahun kehidupan. 1,2

 
Perkembangan morfologi
Perkembangan sistem pencernaan manusia dimulai sejak masa konsepsi dan
mengalami kemajuan pesat sejak usia gestasi 5 hingga 40 minggu. Pada usia
gestasi 4 minggu, panjang janin dari mulut mencapai kloaka kurang lebih 4
mm. Volume lambung pada saat bayi lahir sekitar 30 ml, panjang usus halus
bertambah dua kali lipat pada trimester akhir usia gestasi hingga mencapai
panjang rata-rata 275 cm, sedangkan panjang kolon berkisar 30-40 cm saat
lahir. Walaupun pertumbuhan pesat terjadi di dalam kandungan, usus terus
mengalami pertumbuhan hingga anak berusia 3-4 tahun.1,2
Luas permukaan usus juga mengalami perkembangan yang signifikan
dengan bertambahnya villi dan mikrovilli yang berhubungan dengan kapabilitas
absorbsi nutrisi. Villi dan kripta mulai terbentuk sejak usia gestasi 8 minggu,
mulai dari usus halus hingga kolon pada usia 10-12 minggu.2 Walaupun

2
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

berkembang juga di kolon, villi kolon kemudian mengalami regresi pada usia
29-30 minggu gestasi. Selain villi dan sel epitel dengan mikrovilli, sel goblet,
sel enteroendokrin juga mulai terbentuk sejak usia getasi 8 minggu.2,5 Mukosa
usus terus mengalami pertumbuhan dengan kripta yang semakin dalam,
pertambahan jumlah dan lebar villi serta lipatan-lipatan submukosa.6

Perkembangan fungsi mekanis


Walaupun kemampuan menyerap dan mencerna sudah mampu digunakan
pada saat bayi lahir bahkan pada bayi prematur, namun kemampuan
mekanis saluran cerna yang belum berkembang dengan sempurna membatasi
penyesuaian bayi khususnya prematur terhadap asupan makanan eskternal.1
Fungsi mekanis saluran cerna merupakan penentu kesiapan bayi untuk mulai
mengkonsumsi makanan melalui mulut, antara lain terdiri dari koordinasi
menghisap dan menelan, tonus sfingter gastroesofagus, pengosongan lambung
dan motilitas usus.6 Bayi prematur dengan usia gestasi <32 minggu belum
memiliki koordinasi yang baik antara refleks hisap dan menelan. Hal ini
memungkinkan bagi bayi prematur untuk menelan saat bernapas sehingga
berpotensi menyebabkan aspirasi ke dalam saluran napas. Cara menyusui
langsung dari puting susu memberikan resistensi yang lebih tinggi dari
penggunaan botol sehingga membantu dalam penyesuaian koordinasi pola
hisap-menelan-bernapas bayi yang belum berkembang dengan sempurna.6 Pada
usia gestasi 28 minggu, tekanan sfingter bawah esofagus hanya 4 mmHg dan
terus meningkat menjadi 18 mmHg saat usia cukup bulan dan meningkat cepat
pada minggu petama setelah kelahiran. Laju pengosongan lambung prematur
yang juga lebih lambat dibandingkan dengan bayi cukup bulan menyebabkan
volume residu lambung lebih besar. Motilitas dan tonus otot lambung serta
waktu pengosongan lambung pada bayi baru lahir lambat terutama pada
tiga hari pertama kehidupan. Hal ini berkaitan pula dengan problem refluks
gastroesofagus yang kerap kali dijumpai pada bayi.6
Motilitas usus janin mulai berkembang sejak usia gestasi 28 minggu.
Kisaran waktu transit gastro-anal pada bayi prematur ialah 8-96 jam
dibandingkan dengan 4-12 jam pada dewasa. Pola pergerakan usus mulai teratur
sejak usia 33-34 minggu gestasi seiring dengan migrasi kompleks myoelektrik
pada usus dan pembentukan reseptor motilin.6

Perkembangan fungsi digesti dan absorpsi


Bersamaan dengan perubahan morfologi saluran cerna pada masa intrauterin,
fungsi digesti dan absorpsi mulai berkembang pada usia gestasi 10 minggu
dan mulai sempurna antara usia gestasi 26 minggu hingga lahir sampai bulan
pertama kehidupan.1

3
Faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan saluran cerna pada bayi

Digesti dan absorpsi karbohidrat


Enzim laktase, maltase, isomaltase, dan glukoamilase terbentuk sejak usia
gestasi 10 minggu dan mencapai level matur pada usia cukup bulan. Bayi
prematur dengan usia gestasi <32 minggu belum dapat mencerna laktosa
yang merupakan komponen karbohidrat utama ASI secara maksimal karena
aktivitas laktase belum berkembang sepenuhnya. Walaupun demikian, bayi
dengan berat lahir sangat rendah sudah mampu menghidrolisis laktosa
menjadi glukosa dan galaktosa. Enzim lainnya yaitu sukrase, maltase dan
isomaltase sudah hampir sempurna meskipun pada bayi prematur. 1,6 Sedangkan
pencernaan pati merupakan yang paling akhir berkembang dimana amilase
pankreas pertama kali dideteksi pada usia gestasi 22 minggu namun baru
mencapai aktifitas maksimal pada usia 6 bulan setelah lahir. Dengan demikian
pemberian pati baik pada prematur dan matur hanya dapat diberikan dalam
jumlah sedikit.1

Digesti dan absorpsi protein


Protein merupakan komponen esensial dalam nutrisi bayi, terutama diperlukan
dalam proses pertumbuhan dan perkembangan. 5 Untuk proses digesti
protein diperlukan enzim protease antara lain tripsin, kimotripsin, elastase,
enterokinase dan karboksipeptidase yang mulai dibentuk pada usia gestasi 24
minggu.1,7 Dengan demikian, enzim protease sudah dapat ditemukan baik pada
bayi cukup bulan maupun prematur namun jumlah dan aktivitasnya masih
jauh lebih rendah dibandingkan dengan dewasa. Aktivitas enterokinase yang
membantu aktivasi tripsinogen menjadi tripsin mulai terdeteksi sejak usia
gestasi 24 minggu.6 Sebuah studi menyatakan bahwa aktivitas enterokinase
pada bayi prematur hanya 6%, sedangkan bayi cukup bulan 20% jika
dibandingkan dengan aktivitas enterokinase pada dewasa.8 Selain enterokinase,
enzim protease luminal lainnya memiliki konsentrasi yang hampir sama antara
bayi prematur dan cukup bulan pada usia 30 hari setelah lahir, walaupun lebih
rendah dari dewasa.7 Dengan demikian proses digesti dan absorpsi protein
pada bayi prematur sudah efektif walaupun belum sempurna.1 Aktivitas
enterokinase yang rendah menyebabkan terbatasnya pencernaan protein pada
awal kehidupan dan memungkinkan bagi antigen atau mikroorganisme untuk
masuk ke dalam tubuh melalui usus tanpa dihancurkan oleh enzim.

Digesti dan absorpsi lemak


Pada saat lahir, suplai energi pada janin tidak lagi didominasi oleh glukosa
melainkan oleh lemak. Asupan lemak pada bayi baru lahir mencapai 3-5 kali
lebih tinggi (2,5-3,5 g/kg BB/hari) dibandingkan dewasa. Setidaknya selama
6 bulan pertama kehidupan, idealnya nutrisi bayi didapatkan dari ASI yang

4
 
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII
 

 
Gambar 2. Perkembangan enzim pencernaan janin pada masa kehamilan 5

menyumbang 40-60% energi dari lemak. Digesti dan absorpsi lemak tidak
hanya berguna untuk memenuhi kebutuhan energi saja melainkan untuk
optimalisasi pertumbuhan dan perkembangan saraf.9
Digesti lemak bergantung pada aktivitas lipase. Seperti yang disebutkan
sebelumnya bahwa ASI memiliki kandungan yang kaya akan lemak, namun
kapasitas untuk mencerna lemak belum sempurna. Hal ini disebabkan karena
lipase yang dihasilkan oleh pankreas belum cukup untuk memenuhi kebutuhan
tersebut. Dengan demikian, proses pencernaan lemak juga mengandalkan
lipase yang berasal dari gaster, garam empedu (karboksil esterase lipase), dan
lipase dari ASI. Aktivitas lipase gaster dan pankreas yang mulai terdeteksi sejak
usia gestasi 24 minggu dan menjadi stabil menjelang cukup bulan dan setelah
lahir.1,9 Gambar 2 menunjukkan perkembangan enzim pencernaan bayi pada
masa kehamilan sampai 6 bulan setelah lahir.5

Perkembangan fungsi pertahanan dan sistem imun saluran cerna


Sistem pertahanan saluran cerna janin sudah mulai terbentuk sejak awal
gestasi dan terus berkembang selama kehamilan.10 Pada akhir trimester satu,
struktur dasar usus janin dengan epitel berlapis sudah mulai terbentuk dan
berdiferensiasi menjadi sel epitel usus dewasa yaitu epitel kolumnar satu lapis
pada akhir minggu ke 22 usia gestasi.4 Sel goblet memproduksi musin pada
usia gestasi 12 minggu sebagai pertahanan kimiawi.

5
Faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan saluran cerna pada bayi

Mukosa merupakan lingkungan yang rentan terhadap kontaminan


dari lingkungan, bahkan 200 kali lebih besar kemungkinan terapapar bila
dibandingkan dengan kulit. Selain itu, 90% patogen yang menginfeksi manusia
masuk ke dalam tubuh melalui mukosa saluran cerna. Infeksi pada mukosa
merupakan faktor utama yang mempengaruhi kesehatan anak di bawah usia
5 tahun.11
Mukosa usus janin bersifat permeabel terhadap makromolekul sehingga
memungkinkan adanya pertukaran antara cairan amnion dan serum janin,
sedangkan pada minggu pertama setelah lahir terjadi “gut closure”. Pada bayi
prematur, proses ini kerap kali mengalami keterlambatan (leaky gut) sehingga
menjadi predisposisi terhadap infeksi, inflamasi dan sensitisasi alergen. Proses
“gut closure” dimediasi oleh hormon dan growth factor yang terdapat dalam
ASI.2,12
Pertahanan saluran cerna seperti sel Paneth pada kripta yang memproduksi
defensin pada gestasi minggu ke 13 dan lisozim pada minggu ke 20 sebagai
pertahanan antimikroba. Sintesis IgG dan IgM terjadi di limpa pada masa
kehamilan 10 minggu dan mengalami peningkatan hingga msa kehamilan 26
minggu. Zona sel T dan folikel sel B yang berhubungan dengan peyer patches
mulai tampak pada usia gestasi 19 minggu. Sebagian besar system imun usus
dapat teridentifikasi pada usia gestasi 29 minggu.12 Bayi baru lahir memiliki level
serum IgM, IgA dan IgE yang rendah serta perkembangan sel T dan sel B yang
belum sepenuhnya aktif dalam tahun pertama kehidupan, dengan demikian
periode neonatal dini merupakan fase kritis bagi perkembangan usus.11

Perkembangan mikrobiota usus


Saluran cerna neonatus selama masa kehamilan hingga sebelum lahir
merupakan lingkungan yang steril. Walaupun terdapat studi yang menemukan
adanya bakteri intrauterin yang mungkin kelak dapat mempengaruhi mikrobiota
saluran cerna bayi setelah lahir. Ditemukannya mikrobiota pada mekonium
menunjukkan adanya kemungkinan translokasi bakteri dari saluran cerna ibu
melalui aliran darah. 2,11,13 Setelah lahir, profil mikrobiota saluran cerna bayi
terus mengalami modifikasi hingga serupa dengan profil mikrobiota dewasa
pada usia 1 tahun dan menjadi stabil dalam usia 2-3 tahun.14 Perkembangan
kolonisasi mikrobiota pada tahun awal kehidupan bayi berpengaruh kuat
terhadap perkembangan sistem imun innate dan adaptif. 2,11,13 Proses kolonisasi
melibatkan interaksi antara mukosa saluran cerna bayi dengan stimulasi protein
antigen dari lingkungan dan juga komponen susu formula dan ASI.11,13

6
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

Faktor yang mempengaruhi perkembangan saluran


cerna bayi
Perkembangan saluran cerna bayi merupakan hal yang penting melihat
tingginya kebutuhan nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhan neonatus.
Walaupun fungsi digesti dan absorpsi usus bayi cukup bulan sudah cukup
berkembang pada saat lahir, namun perkembangan saluran cerna terus
berlangsung secara signifikan pada tahun pertama kehidupan.2 Beberapa faktor
penting untuk mendukung perkembangan saluran cerna bayi, antara lain:

Faktor luminal
Faktor luminal termasuk berbagai nutrien, sekresi saluran cerna dan komponen
esensial lainnya pada diet atau hasil produksi lumen saluran cerna yang
memiliki fungsi untuk menstimulasi pertumbuhan mukosa usus.15 Cairan
amnion merupakan cairan pertama yang masuk kedalam saluran cerna janin.
Pada minggu ke 16, janin mulai menelan cairan amnion yang mengandung
faktor pertumbuhan esensial seperti epidermal growth factor dan polyamines
yang menstimulasi perkembangan dan diferensiasi saluran cerna serta
perbaikan sel epitel usus.16 Nutrisi juga merupakan komponen yang penting
untuk perkembangan usus bayi. Janin mendapat suplai nutrisi sebagian besar
melalui sirkulasi umbilkus dan dengan menelan cairan amnion. Perubahan jalur
makanan menjadi enteral membutuhkan adaptasi yang lebih mudah untuk
ditoleransi oleh bayi cukup bulan dibandingkan bayi prematur. Bayi prematur
yang belum mampu untuk mentoleransi nutrisi enteral dan mendapatkan
nutrisi secara parenteral dapat mengalami gangguan pertumbuhan usus dan
diferensiasi enterosit. Hal tersebut dapat terjadi karena pemberian makanan
secara enteral dapat menstimulasi produksi faktor pertumbuhan usus seperti
glucagon-like peptide 2 (GLP-2), gastrin, kolesistokinin, peptide YY, dan
neurotensin. 17

Faktor ASI
ASI mengandung seluruh komponen yang diperlukan oleh bayi baru lahir untuk
menghadapi transisi dari lingkungan intrauterin menjadi ekstrauterin. ASI
mengandung sejumlah protein, lemak, karbohidrat, termasuk faktor imunologis
dan faktor pertumbuhan yang berperan dalam perkembangan struktural dan
fungsional saluran cerna bayi.18 Komponen bioaktif ASI menimbulkan respon
trofik kuat yang penting untuk perkembangan saluran cerna. Komponen ASI
yang mendukung maturitas usus meliputi sIgA, laktoferin, lisozim, platelet
activating factor-acetylhydrolase, dan sitokin.2,11 Kolostrum pada ASI juga kaya
akan beberapa faktor maternal seperti epidermal growth factor dan transforming
growth factor β yang mendukung pematangan fungsi saluran cerna.14

7
Faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan saluran cerna pada bayi

Epitel usus pada bayi yang baru lahir belum matang sehingga partikel asing
dan bakteri dapat dengan mudah masuk ke sistem limfatik dan aliran darah.
Konsumsi ASI dapat mengurangi permeabilitas usus sehingga memperkuat
pertahanan fisis usus. Studi yang dilakukan pada bayi prematur dan cukup
bulan, menyimpulkan bahwa permeabilitas usus pada bayi yang mendapatkan
ASI eksklusif lebih rendah dibandingkan dengan bayi yang mendapat susu
campuran atau formula.19,20
Perkembangan dan pematangan mukosa usus dan jaringan limfoid usus
termasuk peyer’s patches diawali oleh kolonisasi mikrobiota usus. Menyusui
merupakan salah satu rute masuknya mikroba dan antigen secara oral. Bayi
yang mendapat ASI akan memiliki koloni bakteri komensal yang didominasi
oleh Bifidobacterium dan lactobacillus dibandingkan dengan susu formula yang
lebih didominasi dengan koloni bakteri Escherichia coli, Clostridium difficile,
Bacteroides spp . Dominasi dari Bifidobacterium pada ASI dipengaruhi oleh
komposisi ASI yang kaya akan ologosakarida yang berfungsi sebagai prebiotik.
Oligosakarida yang dikandung oleh ASI merupakan karbohidrat yang tidak
diserap di usus halus sehingga difermentasi di kolon dan dapat menstimulasi
perkembangan Bifidobacterium dan Bacteroides yang berkontribusi pada
perkembangan sistem imun usus. Salah satu hasil fermentasi oligosakarida
adalah butirat yag efektif sebagai agen antiapoptosis, pro-proliferatif dan juga
memperkuat tight junction interselular dan menstimulasi sintesis GLP 2 yaitu
hormone trofik usus.6,11

Faktor Nutrisi
Perkembangan saluran cerna bayi sangat dipengaruhi oleh nutrisi yang
dikonsumsi oleh bayi, bahkan dapat dikatakan merupakan faktor yang paling
esensial. Beberapa nutrisi yang terbukti mendukung pertumbuhan dan
perkembangan usus antara lain, asam amino (arginin, glutamin, treonin),
asam lemak, prebiotik dan probiotik.

Asam Amino
Untuk menjalankan fungsi fisiologis, maka asam amino sangat diperlukan
oleh tubuh khususnya usus untuk sintesis protein. Asam amino juga dapat
memengaruhi fungsi mekanis, hormon dan neuroendokrin saluran cerna.
Arginin, merupakan asam amino esensial yang disintesis oleh neonatus
oleh enterosit dan diperlukan untuk sintesis protein dan pertumbuhan saluran
cerna serta menurunkan permeabilitas usus. Glutamin berfungsi dalam sumber
energi utama bagi sel epitel usus dan leukosit, sedangkan asam amino esensial
treonin berperan penting dalam sintesis musin dan pemeliharaan fungsi
pertahanan usus. Produksi musin penting dalam pertahanan usus karena

8
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

dengan adanya lapisan mukus pada epitel usus akan memperkuat proteksi
usus terhadap patogen, antigen dan substansi toksin. Adanya kerusakan pada
lapisan ini tentunya dapat memfasilitasi translokasi bakteri ke dalam tubuh. 14

Asam Lemak
Asam lemak merupakan sumber utama energi dan komponen utama membran
sel dan sinyal antar sel, serta berperan sebagai imunomodulator. Medium-chain
triglycerides (MCT) dan long-chain PUFA (LC-PUFA) merupakan komponen
esensial dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan saluran cerna
bayi. Medium-chain fatty acid (MCFA) terbukti mempengaruhi struktur dan
morfologi usus, meningkatkan panjang villus serta memperdalam kripta usus
serta mengurangi limfosit intraepitel yang akan mengurangi apoptosis sel
usus. Modifikasi terhadap asupan LC-PUFA mempengaruhi struktur utama
membran yaitu fosfolipid termasuk pada usus. Hampir 30-35% asam lemak
yang meliputi membran usus halus berasal dari makanan dan tidak dapat
disintesis secara denovo, antara lain asam linoleat dan asam arakhidonat yang
merupakan komponen dari ASI. 2,14 Short chain fatty acid (SCFA) yaitu asetat,
propionat, dan butirat, merupakaan kelompok asam lemak hasil fermentasi
mikrobiota dalam usus. SCFA mudah diabsorbsi mukosa kolon, tinggi energi,
mudah dimetabolisme oleh epitel usus, dan bersifat tropik terhadap mukosa
usus. Berdasarkan sifat tersebut, SCFA dipercaya mampu menstimulasi
proliferasi enterosit, mencegah atrofi mukosa usus, menghambat apoptosis,
dan meningkatkan transporter glukosa, asam amino, dan dipeptidase pada
mukosa usus.17

Prebiotik dan probiotik


Prebiotik merupakan bahan makanan yang tidak dicerna dan bermanfaat bagi
pertumbuhan mikrobiota usus. Hasil fermentasi prebiotik oleh mikrobiota
akan menstimulasi pertumbuhan populasi serta aktivitas mikrobiota tersebut,
dan akan menghasilkan SCFA yang berguna untuk pertumbuhan saluran
cerna. Beberapa prebiotik tersebut adalah short-chain fructo-oligosaccharides
(scFOS), fructo-oligosaccharide (FOS), galacto-oligosaccharide (GOS), human
milk oligosaccharide (HMO). 2,14
Probiotik merupakan mikroorganisme yang memberikan manfaat bagi
saluran cerna. Lactobacillus, Bifidobacterium dan Streptococcus merupakan
probiotik yang sering ditambahkan dalam makanan untuk memelihara fungsi
imunologi usus. Probiotik akan merangsang modulasi imun dan produksi
substansi yang menghambat patogen atau toksin serta sebagai kompetitor
terhadap pertumbuhan bakteri patogen. Probiotik juga dapt memperbaiki

9
Faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan saluran cerna pada bayi

mukosa usus dan menurunkan permeabilitas usus. Probiotik Lactobacillus


plantarum dapat memperkuat integritas tautan erat sel usus serta mampu
menstimulasi produksi musin pada mukosa usus. Probiotik juga mampu
meningkatkan motilitas usus bayi. 2,14

Faktor Mikrobiota
Proses kolonisasi saluran cerna setelah kelahiran menyebabkan pembentukan
mikrobiota stabil yang unik pada setiap individu. Kolonisasi usus dengan
mikrobiota non-patogen (komensal) memiliki fungsi penting bagi
perkembangan usus bayi 11, 21
Ditemukannya mikroba dalam cairan amnion menunjukkan bahwa
janin sejak dalam kandungan terekspos dengan mikroba yang diduga karena
proses menelan cairan amnion. Selain itu, ditemukannya DNA mikroba
pada mekonium bayi prematur yang baru lahir menunjukkan bahwa sejak
lahir, bayi sudah memiliki mikroflora normal pada usus. Sebuah studi kohort
menunjukkan beberapa faktor yang memengaruhi flora normal dalam usus
bayi, diantaranya cara persalinan, usia gestasi, pola makan, riwayat perawatan
di rumah sakit, dan penggunaaan antibiotik.21,22
Bayi yang lahir dengan cara persalinan operasi sesar dibandingkan dengan
bayi yang lahir dengan persalinan normal memiliki lebih sedikit mikroba
anaerob obligat seperti Bacteroides, dan Bifidobacteria; akan tetapi memiliki
lebih banyak mikroba anaerob fakultatif seperti Clostridium. Hal tersebut
dikarenakan bayi yang lahir dengan cara operasi sesar tidak mendapat kontak
langsung dengan flora normal vagina ibu. Kolonisasi bakteri usus pada bayi
prematur berbeda dibandingkan dengan bayi yang cukup bulan dan sehat. Bayi
yang lahir prematur dan bayi yang memiliki riwayat perawatan di rumah sakit
umumnya memiliki jumlah Bifidobacteria dan Bacteroides yang lebih sedikit,
dan jumlah Clostridium difficile yang lebih banyak dibandingkan dengan bayi
cukup bulan yang sehat.22 Bayi yang diberikan susu formula memiliki jumlah
koloni Clostridium difficile, yang lebih banyak dibandingkan bayi yang diberikan
ASI eksklusif. Bayi yang diberi susu formula memiliki jumlah koloni Enterococci
dan Enterobacteria yang lebih tinggi, sementara bayi yang diberi ASI eksklusif
umumnya memiliki jumlah koloni Bifidobacteria dan Lactobacilli yang lebih
tinggi.21,22

10
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

Daftar pustaka
1. Michael JL. Gastrointestinal development, nutrition and absorption. Dalam:
Koletzko, penyunting. Pediatric Nutrition in Practice. Edisi ke 2. Basel: Karger;
2015. h. 83–86.
2. Anderson RC, Dalziel JC, Gopal PK, Bassett S, Ellisand A, Roy NC. The Role of
Intestinal Barrier Function in Early Life in the Development of Colitis. Diunduh
dari: http://cdn.intechopen.com/pdfs/25358.pdf. Diakses tanggal 7 Maret 2017.
3. Pohl CS, Medland JE, Moeser AJ. Early-life stress origins of gastrointestinal
disease: animal models, intestinal pathophysiology, and translational implications.
American Journal of Physiology - Gastrointestinal and Liver Physiology.
2015;309(12):G927–G941.
4. Van Elburg RM, Fetter W, Bunkers C, Heymans H. Intestinal permeability in
relation to birth weight and gestational and pascanatl age. Archives of Disease
in Childhood Fetal and Neonatal Edition. 2003;88(1):F52-F55.
5. Ménard D. Functional development of the human gastrointestinal tract:
Hormone- and growth factor-mediated regulatory mechanisms. Can J
Gastroenterol. 2004;18:39-44.
6. Neu J. Gastrointestinal maturation and implications for infant feeding. Early
Human Development. 2007;83:767–775.
7. Dallas DC, Underwood MA, Zivkovic AM, German JB. Digestion of Protein in
Prematur and Term Infants. J Nutr Disord Ther. 2012(3):112.
8. Antonowicz I, Lebenthal E. Developmental pattern of small intestinal
enterokinase and disaccharidase activities in the human fetus. Gastroenterology.
1977;72:299–1303.
9. Abrahamse A, et al. Development of the Digestive System—Experimental
Challenges and Approaches of Infant Lipid. Food Dig. 2012;3:63–77.

10. Louis NA, Lin PW. The intestinal immune barrier. NeoReviews. 2009;10:180-90.
11. Kusumo PD. Kolonisasi mikrobiota normal dan pengaruhnya pada perkembangan
system imunitas neonatal. Widya 2012;29(320):55-63.
12. Maheshwari A, Zemlin M. Ontogeny of the intestinal immune system.
Haematologica Reports. 2009;10:18-26.
13. Matamoros S, Gras LC, Le Vacon F, Potel G, de La Cochetiere MF. Development
of intestinal mikrobiotain infants and its impact on health. Trends Microbiol.
2013;21(4):167-73.
14. Jain N, Walker WA. Diet and host-microbial crosstalk in pascanatl intestinal
immune homeostasis. Nat Rev Gastroenterol Hepatol. 2015;12(1):14-25.
15. Rao JN, Wang JY. Regulation of gastrointestinal mucosal growth. San Rafael
(CA): Morgan & Claypool Life Sciences; 2010.
16. Dasgupta S, Jain SK. Importance of Amniotic Fluid in Gastrointestinal
Development. NeoReviews. 2016;17:367.
17. Jacobi SK, Odle J. Nutritional factors influencing intestinal health of the neonate.
Advances in Nutrition. 2012; 3(5):687-96.
18. Ballard O, Morrow AL. Human Milk Composition: Nutrients and Bioactive
Factors. Pediatric clinics of North America. 2013;60(1):49-74.
19. Taylor SN, Basile LA, Ebeling M, Wagner CL. Intestinal permeability in preterm

11
Faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan saluran cerna pada bayi

infants by feeding type: Mother’s milk versus formula. Breastfeeding Medicine.


2009;4:11-15.
20. Catassi, C, Bonucci, A, Coppa, G.V, Carlucci, A, Giorgi, PL. Intestinal
permeability changes during the first month: Effect of natural versus artificial
feeding. Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition. 1995;21:383-386.
21. Di Mauro A, Neu J, Riezzo G, Raimondi F, Martinelli D, Francavilla R, et
al. Gastrointestinal function development and microbiota. Italian Journal of
Pediatrics. 2013; 39:15.
22. Penders J, Tjhis C, Vink C, Stelma FF, Snijders B, Kummeling I, et al. Factors
influencing the composition of the intestinal microbiota in early infancy.
Pediatrics. 2006; 118(2): 511-21.

12
Menstruasi pada Remaja:
Kapan Perlu Khawatir?
Frida Soesanti

Tujuan:
1. Mengingatkan kembali tahapan pubertas normal pada remaja putri
2. Mengetahui fisiologi menstruasi pada remaja
3. Mengetahui berbagai gangguan menstruasi yang mungkin terjadi
pada remaja
4. Mengetahui tata laksana awal gangguan menstruasi pada remaja

Pubertas merupakan waktu terjadinya perubahan fisik dan psikologis yang luar
biasa bagi remaja dan menstruasi merupakan salah satu tahapan pubertas yang
sangat penting. Gangguan menstruasi sering dijumpai pada remaja dan dapat
menyebabkan stress baik bagi remaja maupun orang tua. Tak jarang remaja-
pun tidak mengetahui kriteria menstruasi yang normal dan sehingga remaja
dengan gangguan menstruasi sering kali datang terlambat untuk mencari
pertolongan medis. Klinisi, dalam hal ini dokter anak diharapkan mampu
mengenali gangguan menstruasi yang mungkin dialami oleh remaja sehingga
dapat dilakukan evaluasi dan tata laksana yang adekuat. Pada makalah ini
akan dibahas lebih lanjut mengenai berbagai gangguan menstruasi pada remaja
dengan terlebih dahulu mengingatkan kembali tentang tahapan pubertas pada
remaja perempuan.

Tahapan pubertas pada remaja perempuan


Awitan pubertas pada anak perempuan dimulai pada usia 8-13 tahun, yang
ditandai dengan tumbuhnya payudara atau breast budding (tahap Tanner
Mammae 2).1-3 Pertumbuhan payudara ini disebut dengan telarke. Tahapan
pubertas kemudian dilanjutkan dengan mulai tumbuhnya rambut pubis yang
terjadi 1-1,5 tahun setelah telarke (Gambar 1). Pada beberapa kasus rambut
pubis dapat tumbuh segera atau bersamaan dengan telarke. Perkembangan
pubertas selanjutnya adalah terjadinya menstruasi.1-3 Menstruasi yang
pertama kali ini disebut dengan menarke, biasanya terjadi 2 sampai 2,5 tahun
setelah telarke. Pada pubertas juga pacu tumbuh (growth spurt) yang ditandai

13
Menstruasi pada remaja: kapan perlu khawatir?

dengan adanya akselerasi dan deselerasi pertumbuhan. Pacu tumbuh pada


anak perempuan mulai terjadi saat Tanner 2.1-3 Puncak pacu tumbuh terjadi
pada skala Tanner P3 atau kira-kira 1 tahun sebelum menarke.1-3 Terjadinya
menstruasi menunjukkan bahwa tahapan pubertas sudah hampir komplit.

 
  Gambar 1. Skala maturasi seksual anak perempuan 1

Menarke
Menarke atau menarche adalah siklus menstruasi yang pertama kali dialami
oleh remaja. Median usia menarke adalah usia 12-13 tahun, dengan reratanya
terjadi pada usia 12,43 tahun.4,5 Sebanyak 10% remaja mengalami menarke
pada usia 11 tahun dan sebagian besar (90%) sudah mengalami menarke pada
usia 13,75 tahun. Pada usia 15 tahun, sekitar 98% remaja sudah menarke.4
Menarke biasanya terjadi 2-3 tahun setelah pertumbuhan payudara yaitu
tahapan Tanner Mammae IV dan jarang terjadi sebelum tahap Mammae III.4-
6
Usia rerata menarke pada anak perempuan kulit putih adalah 12,6 tahun,
sedangkan pada anak perempuan Afrika-Amerika, menarke terjadi pada usia
12,1 tahun. Di Indonesia rerata usia menarke adalah 12,9 tahun.7

Fisiologi menstruasi
Siklus menstruasi dibagi menjadi tiga fase yaitu fase folikuler (proliferatif), fase
ovulasi, dan fase luteal (sekretorik) (Gambar 2). Lama fase folikuler bervariasi,
tetapi lama fase luteal selalu tetap yaitu 14 hari.6 Siklus ovulasi ditandai dengan
siklus yang reguler dan tidak jarang disertai dengan nyeri atau dismenorea.6

14
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

Siklus menstruasi dimulai dengan aktifnya sekresi gonadotropin-releasing


hormone (GnRH) oleh hipotalamus yang memicu kelenjar pituitari untuk
mensekresikan luteinizing hormone (LH) dan follicle stimulating hormone (FSH).
Kedua hormon ini memicu pertumbuhan folikel di ovarium. Folikel yang
dominan di ovarium akan menghasilkan estrogen yang menyebabkan lapisan
endometrial berproliferasi dan menebal.2,3,6 Meningkatnya hormon estrogen
ini memberikan umpan balik negatif terhadap hipotalamus dan pituitari yang
menyebabkan menurunnya kadar hormon LH dan FSH, namun pada batas
tertentu kadar estrogen ini justru menstimulasi sekresi LH oleh pituitari
sehingga terjadi lonjakan sekresi LH (LH surge). Adanya lonjakan LH ini
memicu terjadinya ovulasi.2,3,6
Setelah ovulasi, folikel yang tersisa di ovarium akan mengalami luteinisasi
menjadi korpus luteum. Korpus luteum ini mensekresi estrogen dan progesteron
yang memiliki efek menstabilkan endometrium dan menyebabkan diferensiasi
sel endometrium menjadi jaringan glandular untuk memproduki spongy

 
  Gambar 2. Fisiologi menstruasi 6

15
Menstruasi pada remaja: kapan perlu khawatir?

lining yang akan diperlukan untuk implantasi ovum yang telah dibuahi. Jika
fertilisasi dan implantasi tidak terjadi maka human chorionic gonadotropin (hCG)
tidak diproduksi dan korpus luteum mengalami involusi. Akibat involusi
korpus luteum ini, kadar progesteron dan estrogen turun drastis sehingga
memicu terjadinya peluruhan (shedding) lapisan endometrial, disebut dengan
menstruasi.2,3,6

Siklus menstruasi
Pada saat awal menstruasi, siklus menstruasi biasanya masih belum teratur,
terutama interval antara siklus pertama dan siklus kedua. Berdasarkan data
WHO dan data penelitian terhadap 3073 remaja, median interval antara
siklus pertama setelah menarke adalah 34 hari, dengan 38% diantaranya
melampaui 40 hari.4
Meskipun cukup bervariasi, sebagian besar interval siklus menstruasi
berkisar antara 21-45 hari, dengan reratanya adalah 32 hari. Siklus menstruasi
dapat lebih pendek dari 20 hari atau lebih panjang dari 45 hari.4-6 Siklus mulai
teratur pada tahun ke-6 menstruasi atau sekitar usia 19-20 tahun. Median
lamanya menstruasi yang normal adalah 7 hari dengan interval 2-7 hari, dengan
3-6 kali ganti pembalut per hari.4-6,8 Rerata jumlah kehilangan darah setiap
siklus menstruasi adalah 30 mL, dengan jumlah terbanyak masih dianggap
normal adalah 80 mL.4-6
Siklus menstruasi awal ditandai dengan siklus yang anovulasi. Usia
menarke yang lebih dini berhubungan dengan siklus ovulasi yang lebih
awal. Jika usia menarke lebih muda dari 12 tahun maka 50% persen remaja
mengalami siklus ovulasi pada tahun pertama setelah menstruasi, sedangkan
remaja dengan usia menarke yang lebih lambat terkadang bahkan memerlukan
waktu sampai 8 tahun untuk mencapai siklus ovulasi.4-6,8

Gangguan menstruasi
Terdapat berbagai kondisi yang menyebabkan siklus menstruasi terganggu.
Kelainan atau gangguan menstruasi yang dapat terjadi antara lain adalah
amenorea, perdarahan uterus yang abnormal, dan dismenorea. Masing-masing
kelainan ini akan dijelaskan lebih lanjut di bawah ini.

Amenorea
Amenorea diklasifikasikan menjadi amenorea primer dan amenorea sekunder.
Amenorea primer secara klinis didefinisikan sebagai tidak adanya menstruasi
pada usia 15 tahun atau tiga tahun setelah pertumbuhan payudara (breast

16
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

budding), sedangkan amenorea sekunder adalah absennya menstruasi selama


3 bulan setelah pasien sudah mengalami menarke.2,3,5,6
Amenorea primer dapat disebabkan oleh abnormalitas traktus genitalia
maupun gangguan endokrin meliputi gangguan atau abnormalitas hipotalamik/
pituitari, abnormalitas ovarium tiroid, atau gangguan adrenal. Amenorea
primer juga dapat disebabkan oleh penyakit kronik atau akibat tumor otak,
radiasi, kemoterapi atau operasi di daerah kranium.2,5,6 Penyebab amenorea
primer dan sekunder selengkapnya dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Etiologi amenorea primer dan amenorea sekunder6


Amenorea primer Amenorea sekunder
Hipotalamus/Pituitari • Penyakit kronik • Penyakit kronik
(hipogonadotropik • Amenorea hipotalamik fungsional • Amenorea hipotalamik
hipogonadisme) • Sindrom Kallman fungsional
• Tumor otak • Tumor
• Infiltrasi
• Radiasi, operasi di daerah kepala
• Hipopituitarisme kongenital
Ovarium • Sindrom Turner • Insufisiensi ovarium primer
• Disgenesis gonadal, insufisiensi • Radiasi, Kemoterapi
ovarium primer
• Tumor
• Radiasi, Kemoterapi
Traktus genitalia • Himen imperforata Sinekia uterus (sindrom
• MRKH Asherman)
• Agenesis vagina
• Sindrom insensitivitas androgen
• Disorders of sex development
Lainnya • Kehamilan • Kehamilan
• Kelainan tiroid • Sindrom ovarium polikistik
• Sindrom Cushing • Pil kontrasepsi
• Penyakit Addison • CAH non klasik
• Sindrom Cushing
• Penyakit Addison

Anamnesis dan pemeriksaan fisis yang detil diperlukan untuk mencari


etiologi amenorea, baik primer maupun sekunder. Pada anamnesis perlu
ditanyakan tentang pola makan dan perubahan berat badan (kenaikan atau
penurunan berat badan yang drastis), riwayat penyakit kronik, perkembangan
status pubertas, pola olahraga, dan adanya stres psikis. Riwayat keluarga dengan
gangguan tiroid, diabetes, sindrom ovarium polikistik, dan infertilitas perlu
digali dalam anamnesis, begitu pula dengan riwayat adanya keterlambatan
menstruasi pada keluarga.5,6 Riwayat aktivitas seksual harus ditanyakan.
Mengingat stres psikis dapat menyebabkan amenorea maka perlu digali
informasi tentang performa sekolah, adanya konflik keluarga, kelainan
mood, body image, dan gangguan makan. Klinisi juga perlu bertanya tentang
riwayat penggunaan obat-obatan termasuk kontrasepsi dan juga obat-obatan
terlarang.5,6

17
Menstruasi pada remaja: kapan perlu khawatir?

Pemeriksaan fisis harus dilakukan secara detil dan menyeluruh


antara lain pemeriksaan antropometrik, berat badan, tinggi badan dan
indeks massa tubuh (IMT). Remaja dengan gizi lebih dan pendek
mungkin mengalami gangguan endokrin, sedangkan remaja yang
kurus mungkin mengalami gangguan makan atau penyakit kronik
lainnya.2,5,6 Salah satu diagnosis banding yang perlu dipertimbangkan
pada pasien remaja dengan amenorea primer dan perawakan pendek
adalah sindrom Turner.5,6
Pemeriksaan kulit harus dilakukan secara detil untuk melihat
adanya jerawat dan pertumbuhan rambut yang berlebihan. Pemeriksaan
lapang pandang dan evaluasi adanya anosmia perlu dikerjakan. Kelenjar
tiroid perlu dipalpasi dan status pubertas harus diperiksa dan ditentukan
berdasarkan skala Tanner. Palpasi abdomen diperlukan untuk melihat
adanya konstipasi dan massa abdomen. Pemeriksaan genitalia eksternal
perlu dilakukan untuk evaluasi adanya klitoromegali dan patensi
introitus vagina.5,6
Pada remaja dengan amenorea primer, pertumbuhan tanda seks
sekunder sangat penting. Adanya pertumbuhan tanda seks sekunder
menunjukkan adanya hormon seks steroid yang dihasilkan tubuh.5
Pasien amenorea primer tanpa adanya pertumbuhan tanda seks
sekunder perlu diperiksakan kadar LH dan FSH. Peningkatan kadar
LH dan FSH menunjukkan adanya gangguan gonad, sedangkan kadar
LH dan FSH yang rendah menunjukkan adanya gangguan di kelenjar
pituitari atau hipotalamus atau adanya constitutional delay.5 Pada pasien
pubertas terlambat dengan kadar FSH dan LH yang meningkat perlu
dilakukan pemeriksaan USG pelvis untuk evaluasi uterus dan ovarium.
Pemeriksaan selanjutnya adalah analisis kromosom untuk membedakan
penyebab kegagalan ovarium, apakah disebabkan oleh disgenesis gonad,
sindrom Turner atau sindrom insensitivitas androgen.5
Evaluasi remaja dengan amenorea sekunder dimulai dengan menyingkirkan
kemungkinan adanya kehamilan meskipun riwayat hubungan seksual disangkal.
Pemeriksaan lebih lanjut meliputi evaluasi tanda-tanda hiperandrogenisme
seperti jerawat, hirsutisme, klitoromegali dan perubahan suara.5,6 Jika
ditemukan tanda hiperadrogen maka perlu dilakukan pemeriksaan FSH, LH,
testosteron dan DHEA-S (dehydroepiandrosterone sulfate). Pada amenorea
sekunder tanpa tanda klinis hiperandrogenisme harus dilakukan pemeriksaan
kadar FSH, LH, TSH dan prolaktin untuk menilai adanya hiperprolaktinemia
atau gangguan tiroid sebagai penyebab amenorea sekunder.5,6

18
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

Perdarahan Uterus Abnormal


Perdarahan uterus abnormal tidak jarang ditemukan pada remaja. Diperkirakan
1 dari 5 wanita pernah mengalami perdarahan uterus abnormal. Perdarahan
abnormal ini dapat berupa menoragia atau metroragia atau kombinasi keduanya
atau disebut dengan menometroragia. Menoragia artinya adalah perdarahan
menstruasi yang banyak, metroragia berarti menstruasi yang tidak teratur, dan
menometroraghia berarti perdarahan yang banyak dan tidak teratur.4-9
Terdapat istilah dysfunctional uterine bleeding (DUB) atau perdarahan
uterus disfungsional yang seringkali digunakan bergantian dengan istilah
abnormal uterine bleeding atau perdarahan uterus abnormal padahal keduanya
memiliki definisi yang berbeda.4-6,8 Perdarahan uterus disfungsional atau
DUB mengacu pada perdarahan uterus yang lama, berlebihan, dan ireguler
yang tidak disebabkan oleh gangguan organik (penyakit lain atau penyakit
sistemik yang mendasarinya).4-6,8,9 Perdarahan uterus disfungsional ini terjadi
akibat siklus anovulasi dan imaturitas sistem umpan balik aksis hipotalamik-
pituitari-ovarium yang menyebabkan proliferasi endometrium secara terus
menerus dengan peluruhan yang ireguler. Jadi diagnosis perdarahan uterus
disfungsional adalah diagnosis eksklusi.4-6,8,9 Perdarahan uterus abnormal
mencakup pengertian yang lebih luas daripada perdarahan uterus fungsional.
Perdarahan uterus abnormal mencakup perdarahan uterus fungsional dan

Tabel 2. Etiologi perdarahan uterus abnormal5


Imaturitas aksis hipotalamus-pituitari-ovarium
Gangguan endokrin
• Sindrom ovarium polikistik
• Gangguan tiroid
• Hiperplasia adrenal kongenital
Kehamilan/komplikasi kehamilan
• Kehamilan ektopik
• Abortus inkomplit atau ancaman abortus
• Endometritis pasca aborsi
Kelainan pembekuan
• Trombositopenia
• Penyakit von Willebrand
• Defisiensi faktor XI
• Anemia aplastik
Gangguan pada saluran reproduksi
• Trauma
• Pelvic inflammatory disease
• Vaginitis
• Partially obstructive congenital uterine anomalies
Penyakit Kronik
Iatrogenik
• Obat-obatan hormonal
• Antikoagulan
• Kemoterapi-neuroleptik

19
Menstruasi pada remaja: kapan perlu khawatir?

perdarahan uterus akibat sebab organik, seperti komplikasi kehamilan,


abnormalitas pembekuan, penyakit sistemik, abnormalitas saluran reproduksi
atau traktus genitalia, penyakit endokrin dan iatrogenik (tabel 2).4-6,8,9
Diagnosis banding perdarahan uterus abnormal pada remaja harus
meliputi perdarahan yang terkait dengan kehamilan, karena hal ini dapat
membahayakan pasien. Pasien yang pernah berhubungan seks harus ditanya
secara spesifik tentang kontrasepsi yang pernah digunakan dan riwayat penyakit
menular seksual.4-6,8,9
Pada anamnesis harus ditanyakan kapan pasien menarke dan pola
menstruasi sejak menarke. Perdarahan uterus abnormal yang terjadi sejak awal
siklus menstruasi menunjukkan kemungkinan adanya kelainan hematologi.
Salah satu proses awal untuk mengontrol kehilangan darah selama menstruasi
adalah terbentuknya plug platelet intravaskuler. Jika jumlah trombosit tidak
normal atau trombosit tidak berfungsi normal maka dapat menyebabkan
perdarahan menstruasi yang banyak.4-6,8,9 Defek sistem koagulasi juga dapat
menyebabkan terjadinya perdarahan uterus abnormal. Hampir 19% remaja
dengan menoragia persisten yang membutuhkan perawatan rumah sakit
disebabkan oleh gangguan koagulasi dan lebih dari 50% wanita muda ini
memiliki gangguan koagulopati seperti trombositopenia, penyakit von
Willebrand atau leukemia.5 Sekitar hampir 95% wanita muda dengan von
Willebrand mengalami menoragia sejak saat menarke.8
Siklus menstruasi ireguler menunjukkan siklus anovulasi yang dapat
disebabkan oleh kelainan endokrin seperti sindrom ovarium polikistik
atau hipotiroidisme. Perdarahan yang terjadi di antara siklus menstruasi
menunjukkan adanya kelainan anatomik seperti servisitis atau adanya
breaktrough bleeding akibat penggunaan kontrasepsi hormonal.4-6,8
Pada anamnesis juga perlu ditanyakan tentang perubahan berat badan,
aktivitas fisik, sakit kepala, gangguan lapang pandang, penyakit kronik,
konstipasi dan pola buang air kecil. Riwayat keluarga dengan gangguan
perdarahan, endokrinopati, dan infertilitas juga perlu digali, begitu pula dengan
riwayat penggunaan obat-obatan anti psikotik, antiepilepsi, aspirin, dan obat
antikoagulan.4-6,8,9
Pemeriksaan fisis harus meliputi pemeriksaan tanda vital terutama
tekanan darah karena wanita muda dapat mentolerir perdarahan berat dan
hanya bermanifestasi sebagai takikardia. Pemeriksaan kulit harus dilakukan
secara detil untuk mencari adanya akne, hirsutisme dan akantosis nigrikans
yang sugestif adanya sindrom ovarium polikistik.4-6,8 Adanya lebam dan
petekie sugestif kemungkinan kelainan hematologis. Palpasi kelenjar tiroid
dan abdomen perlu dilakukan.4-6,8

20
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan adalah pemeriksaan USG


pelvis, untuk evaluasi uterus dan kemungkinan adanya ovarium polikistik.
Pemeriksaan laboratorium awal meliputi pemeriksaan darah tepi lengkap
dan tes kehamilan. Pada pasien menoragia sejak menarke perlu dilakukan
pemeriksaan prothrombin time, partial thromboplastin time, panel von Willebrand,
dan pemeriksaan fungsi trombosit. Sampel darah untuk pemeriksaan faktor
von Willebrand harus diambil sebelum terapi hormonal dikerjakan.4-6,8,9

Dismenorea
Dismenorea merupakan masalah yang sering dialami oleh wanita muda di
seluruh dunia. Dismenorea dibagi menjadi dismenorea primer dan dismenorea
sekunder.5,6,9 Dismenorea primer atau dismenorea fungsional adalah nyeri
yang timbul tanpa adanya gangguan organik di pelvis, sedangkan dismenorea
sekunder adalah nyeri yang terjadi sekunder karena akibat proses patologis
di pelvis. 5,6,9
Dismenorea primer lebih sering terjadi daripada dismenorea sekunder.5,6
Dismenorea primer biasanya terjadi pada tahun kedua atau ketiga setelah
menarke pada saat ovulasi sudah mulai reguler. Nyeri dirasakan di abdomen
bawah, bagian belakang dan paha atas. Nyeri dapat disertai dengan sakit kepala,
mual atau diare. Dismenorea primer terjadi akibat sekresi prostaglandin E2
dan F2a dari uterus yang menyebabkan meningkatnya kontraktilitas uterus
dan meningkatkan sensitivitas reseptor nyeri.5,6,9 Dismenorea primer dapat
menyebabkan menurunnya produktivitas kerja dan absensi sekolah yang
bermakna sehingga memerlukan tata laksana yang tepat. Terapi dismenorea
primer adalah obat-obatan golongan NSAID atau COX-2. Obat kontrasepsi
oral kombinasi juga dapat digunakan. Jika dismenorea tidak respons dengan
terapi tersebut maka langkah selanjutnya adalah evaluasi dengan laparoskopi.5,9
Secara definisi, dismenorea sekunder adalah dismenorea akibat kelainan
organik di pelvis. Nyeri menstruasi yang timbul lebih dari 3 tahun setelah
menarke biasanya disebabkan karena proses patologis. Nyeri abdomen
bawah atau pelvis yang kronik, yang mulai pada satu atau dua hari sebelum
menstruasi, pola menstruasi yang ireguler dan perdarahan yang banyak, dan
gangguan saluran cerna biasanya berhubungan dengan penyakit organik
yang mendasari.5,9 Gejala klinis dismenorea sekunder cukup bervariasi dan
tidak dapat diprediksi. Penyebab paling sering dismenorea sekunder adalah
endometriosis dan penyakit inflamasi pelvis.5,6,9 Penyebab dismenorea lainnya
yang jarang ditemukan adalah malformasi duktus Mullerian, stenosis kanalis
servikalis, fibroids uterus, poli endometrium atau endoseviks, adenomiosis dan
kongesti vena pelvis. Dismenorea akibat endometriosis biasanya tidak respon
dengan NSAID atau obat kontrasepsi oral kombinasi. Jika dalam 3 bulan tidak
terdapat respon maka perlu dilakukan laparoskopi untuk evaluasi.5,6,9

21
Menstruasi pada remaja: kapan perlu khawatir?

Simpulan
Menstruasi merupakan salah satu tahapan pubertas penting bagi remaja
perempuan. Tidak jarang para remaja dan wanita mengalami gangguan
menstruasi. Gangguan menstruasi memerlukan evaluasi secara cepat dan
cermat. Deteksi dini gangguan menstruasi pada remaja memungkinkan tata
laksana yang adekuat. Klinisi, dalam hal ini dokter anak diharapkan mampu
untuk mengenali “red flags” gangguan menstruasi pada remaja. Tidak adanya
menstruasi dalam kurun waktu 3 tahun setelah telarke, belum menstruasi pada
usia 15 tahun, belum menstruasi dan tidak adanya tanda-tanda seks sekunder
pada usia 13 tahun, belum menstruasi dan terdapat tanda hirsutisme atau
adanya gangguan makan atau dicurigai adanya obstruksi traktus genitalia,
adanya menometroragia, adanya amenorea sekunder, adanya dismenorea
sekunder, serta adanya oligomenorea atau polimenorea merupakan red flags
gangguan menstruasi pada remaja yang memerlukan evaluasi lebih lanjut.

Daftar pustaka
1. Bordini B, Rosenfield RL. Pubertal Development: part II: clinical aspects of
puberty. Pediatr in Rev. 2011;32:281.
2. Rosenfield RL, Cooke DW, Radovick S. Puberty and its disorders in the female.
Dalam:Sperling MA, penyunting. Pediatric endocrinology. Edisi keempat.
Philadelphia: Elsevier Saunders. 2014. h.569-604.
3. Nakamoto JM, Franklin SL, Geffner ME. Puberty. Dalam: kappy MS, Allen
DB, Geffner ME, penyunting. Pediatric practice endocrinology. New York: The
McGraw Hill Companies. 2010. h. 257-98.
4. American Academy of Pediatrics, American College of Obstetricians and
Gynecologists. Menstruation in Girls and Adolescents: using the menstrual cycle
as a vital sign. Pediatrics. 2006;116:2245-50.
5. Deligeoroglou E, Creatsas G. Menstrual disorders. Dalam: Sultan C, penyunting.
Pediatric and adolescent gynecology: evidence-based clinical practice. Edisi 2.
Endocr Dev. Basel: Karger, 2012. h. 160–70.
6. Gray SH. Menstrual disorders. Pediatr in Rev. 2013;34:6-17.
7. Batubara JR, Soesanti F, Van de Waal HD. Age at menarche in Indonesia girls:
a national survey. Acta Med Indones. 2010;42:78-81.
8. Emans SJ, Gray SH. Abnormal vaginal bleeding in adolescents. Pediatr in Rev.
2007;28:175-81.
9. Jamieson MA. Disorders of menstruation in adolescent girls. Pediatr Clin N Am.
2015;62:943–61.

22
Body Image dan Nutrisi Remaja
Yoga Devaera

Tujuan:
1. Memahami penilaian body image
2. Memahami implikasi body image terhadap masalah nutrisi remaja

Satu dari enam orang di dunia merupakan seorang remaja. Nutrisi pada
periode ini menentukan tidak hanya kesehatannya saat ini tetapi juga di masa
depan. Kecukupan nutrisi remaja sangat penting agar selaras dengan pacu
tumbuh yang terjadi dan merupakan kesempatan terakhir bagi anak yang
stunted untuk mengejar ketertinggalannya. Di samping itu juga merupakan
investasi untuk generasi yang lebih baik. Remaja terutama remaja putri
yang mengalami malnutrisi dan anemia defisiensi besi meningkatkan risiko
mortalitas dan morbiditas yang berhubungan dengan kehamilan dan persalinan
tetapi juga kemungkinan melahirkan anak dengan berat lahir rendah. Hal ini
merupakan siklus malnutrisi antar generasi yang harus diputus. 1
Perubahan fisik dan komposisi tubuh kadang sulit diterima oleh remaja
sehingga terjadi citra tubuh/body image yang negatif. Secara harfiah, body
image dapat diartikan citra tubuh atau citra raga. Body image merupakan
persepsi dinamis seseorang tehadap tubuhnya sendiri. Persepsi ini tidak statis
tetapi dipengaruhi oleh mood, pengalaman dan lingkungan. Body image lebih
berhubungan dengan self-esteem and self-evaluation, dibandingkan dengan
penilaian eksternal oleh orang lain. Namun hal ini sangat mungkin dipengaruhi
oleh kultur dan standar sosial mengenai definisi penampilan menarik. Saat ini
media mempersepsikan kurus dan langsing sebagai cantik dan menarik pada
perempuan serta gagah dan berotot adalah persepsi menarik untuk laki-laki.
Peran sebaya dan media sering menyebabkan remaja mempunyai ekspektasi
yang tidak wajar tentang bentuk badan ideal. Hal ini juga menyebabkan remaja,
terutama remaja putri, melakukan pola makan yang tidak sehat.2 Makalah ini
akan membahas secara singkat tentang body image dan hubungannya dengan
masalah nutrisi pada remaja.

23
Body image dan nutrisi remaja

Penilaian body image


Penilaian body image dapat dilakukan melalui anamnesis, kuesioner dan figure
rating scale. Dalam pendekatan psikososial remaja HEADSSS (Home, education/
employement, eating, activity, drugs, sexuality, suicide, safety) pertanyaan tentang
nutrisi tidak hanya tentang kebiasaan makan tetapi juga mencakup kepuasan
remaja terhadap tubuhnya sendiri, seperti yang tertuang dalam pertanyaan
berikut ini:3
Apakah berat badan atau bentuk tubuhmu menjadi masalah?
Apa yang kamu sukai dan tidak sukai tentang tubuhmu?
Bagaimana pendapatmu jika berat badanmu turun beberapa Kg?

Anamnesis lebih lanjut tentang body image meliputi pula pandangan


teman-temannya tentang berat badan/bentuk tubuh ideal serta usaha yang
dilakukan remaja untuk mencapai hal tersebut seperti tidak sarapan, diet
tertentu, kebiasaan olah raga dan lain-lain. Penting untuk diingat bahwa
mendengarkan dan menjaga privasi merupakan hal penting yang perlu
diperhatikan dalam menghadapi pasien remaja.2
Dalam dua dekade terakhir banyak penelitian yang mengembangkan
penilaian body image untuk anak dan remaja dengan aspek yang berbeda seperti
aspek perilaku, aspek kognitif dan sebagainya, contoh: Body Esteem Scale-
Children (Mendelson and White, 1985) dan Body Esteem Scale–Adolescents
and Adults (Mendelson and White, 2001) yang merupakan kuesioner untuk
menilai kepuasan seseorang terhadap bentuk tubuhnya sendiri serta Body
Change Inventory (Ricciardelli and McCabe’s, 2002) yang menilai aspek kognitif
dan perilaku remaja terhadap usaha untuk meningkatkan/menurunkan berat
badan dan merubah bentuk tubuh mereka.4 Penggunaan figure rating scale
merupakan hal yang praktis dalam praktik sehari-hari. Remaja akan ditanya
mengenai bentuk tubuh nomor berapa yang paling sesuai dengan kondisinya
saat ini dan nomor berapa yang merupakan bentuk tubuh ideal. Semakin besar
perbedaan yang ada menunjukkan besarnya ketidakpuasan pasien terhadap
bentuk tubuhnya.5 Penyempurnaan figure rating scale dengan menggunakan
perangkat lunak komputer sehingga menghasilkan gambar yang lebih realistik
dan tidak mencirikan etnis tertentu dengan menghilangkan bentuk wajah
dapat dilihat pada gambar 1.6

Implikasi masalah body image terhadap nutrisi remaja


Sebagian besar remaja tidak puas dengan bentuk tubuh mereka.2 Penelitian

24
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

di Malaysia yang melibatkan 2050 remaja laki-laki dan perempuan berusia


antara 11-16 tahun menunjukkan 87% menyatakan bentuk tubuh merupakan
salah satu fokus perhatian mereka dan setengah dari mereka menyatakan
ketidakpuasan atas bentuk tubuhnya. Hanya 8% remaja yang tidak puas
terhadap bentuk tubuhnya mencari informasi dari tenaga kesehatan. 7
Perhatian yang berlebihan terhadap bentuk tubuh dan berat badan
dapat menyebabkan remaja menjalani pola makan restrikstif dan diet tidak
sehat menurunkan berat badan, termasuk penggunaan laksatif dan obat lain
yang dianggap dapat menurunkan berat badan. Sepertiga remaja laki-laki
dan setengah remaja perempuan pada suatu penelitian besar di AS pernah
menggunakan cara tidak sehat tersebut.2 Penelitian lain di Brasil menunjukkan
15% remaja pernah menggunakan cara yang ekstrim untuk menurunkan
berat badan.8 Perhatian berlebihan terhadap berat badan dan body image
dissatisfaction merupakan faktor risiko timbulnya masalah makan yang serius
seperti anoreksia nervosa.2
Untuk mengatasi hal tersebut maka remaja, orangtua dan tenaga
kesehatan diharapkan mampu mengarahkan remaja untuk mempunyai body
image yang positif. Tabel 1 merupakan kumpulan beberapa cara yang dapat
dilakukan untuk hal tersebut.

Tabel 1. Beberapa tips untuk remaja, orangtua dan dokter untuk memperoleh body image positif2
Remaja Orangtua Dokter
Lihat di cermin dan fokus pada Contohkan kebiasaan makan yang Diskusikan masalah perubahan
bagian tubuh yang merupakan kele- sehat dan hindari pola makan fisik yang terjadi selama masa
bihan bukan kekuranganmu ekstrim pubertas/remaja
Katakan sesuatu yang menyenang- Pusatkan perhatian pada bakat Nilai kekhawatiran tentang berat
kan tentang penampilan temanmu lain yang tidak berhubungan badan dan body image
dengan penampilan fisik
Pikirkan bakatmu yang tidak ber- Pujilah anak sehubungan dengan Jika seorang remaja mengalami
hubungan dengan penampilan fisik prestasi akademik atau lainnya masalah dengan body image,
diskusikan penyebab dan kon-
sekuensinya
Baca majalah dengan kritis, pikirkan Analisis majalah/media lainnya Diskusikan bagaimana media
bagaimana fotografer dapat dengan anak anda dapat mempengaruhi body image
menghasilkan foto seorang model
seperti itu
Jika kamu kegemukan, maka Tunjukkan anda mencintai anak Diskusikan pilihan cara menurunk-
turunkan berat badan secara berta- anda tanpa memandang berat an berat badan dan kekhawatiran-
hap dan buat harapan yang realistik badannya nya terhadap berat badan berlebih
dalam waktu yang cukup
Sadari bahwa setiap orang mem- Diskusikan variasi normal ukuran
punyai bentuk tubuh dan ukuran dan berat badan
tubuh yang unik
Jika kamu mempunyai kekhawati- Diskusikan dengan dokter bila Rujuk ke ahli terkait bila anak
ran tentang ukuran/bentuk tubuh anda khwatir anak anda mempun- dengan masalah makan atau berat
dan beratbadan,, tanyalah ke yai masalah makan badan yang serius
dokter

25
Body image dan nutrisi remaja

Simpulan
Ketidakpuasan terhadap bentuk tubuh dan berat badan merupakan hal yang
sering terjadi pada remaja termasuk remaja dengan gizi baik. Hal ini merupakan
faktor risiko perilaku makan yang tidak sehat. Sehingga saat menghadapi
pasien remaja, Dokter Anak perlu membahas hal yang berkaitan dengan
pola makan dan body image. Penggunaan HEADSSS dan figure rating scale
merupakan cara praktis untuk mengeksplorasi ke arah hal tersebut.

Daftar pustaka
1. WHO. Adolescent nutrition: A review of the situation in selected South-East
Asian countries. New Delhi: WHO, 2006.
2. Croll J. Body image and adolescent. Dalam: Stang J, Story M penyunting.
Guidelines for adolescent nutrition services. Minnesota: Regents of the University
of Minnesota, 2012.h.158-66.
3. Goldenring JM, Rosen DS. Getting into adolescent heads: an essential update.
Contemp Pediatr. 2004;21:64-90.
4. Smolak L. Body Image in children and adolescents: where do we go from here?
Body image. 2004;1: 15–28.
5. Gardner GM, Brown DL. Body image assessment: A review of figural drawing
scales. Personality and Individual Differences. 2010;48: 107–11.
6. Mutale GJ, Dunn AK, Stiller J, Larkin R. Development of a Body Dissatisfaction
Scale Assessment Tool. New School Psychol Bull. 2016;2:47-57.
7. Khor G L, Zalilah M S, Phan Y Y, Ang M, Maznah B, Norimah A K. Perceptions
of body image among Malaysian male and female adolescents. Singapore Med
J. 2009;5:303-11.Claro RM, Santos MA, Oliveira-Campos M. Body image and
extreme attitudes toward weight in Brazilian schoolchildren (PeNSE 2012).Rev
Bras Epidemiol. 2014;17:146-57.

26
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

Gambar 1. Figure rating scale4  Gambar 1. Figure rating scale4

27
Sifilis Kongenital
Hindra Irawan Satari, Dian Ayuningtyas

Tujuan:
1. Mampu memahami etiologi dan patofisiologi sifilis kongenital
2. Mampumendiagnosis croup berdasarkan gejala dan tanda klinis

Sifilis pertama kali ditemukan di Eropa pada akhir abad ke-15 dan pada
tahun 1905, Schaundinn dan Hoffman menemukan penyebab Sifilis yaitu
Treponema pallidum.1 Sifilis kongenital terjadi pada bayi yang ditularkan
ibunya yang menderita sifilis. Bila tidak diobati dengan baik, infeksi dapat
mengenai berbagai organ janin dan dapat mengakibatkan kematian. Sifilis
kongenital merupakan penyakit yang jarang dilaporkan. Di Amerika Serikat
tahun 1997, didapatkan 3,2 kasus baru per 100.000 populasi. Di RSUPN Cipto
Mangunkusumo, sejak tahun 1995 tidak didapatkan laporan mengenai kasus
ini.2 Namun data RSCM menunjukkan adanya beberapa kasus pada tahun
2016-2017.
Gambaran klinis sifilis kongenital dibagi menjadi sifilis kongenital dini,
serta sifilis kongenital lanjut. Hampir semua kasus sifilis didapat melalui kontak
seksual langsung dengan lesi dari individu yang terjangkit sifilis aktif primer
ataupun sekunder. Sifilis dapat ditransmisikan secara kongenital dari ibu yang
terinfeksi melalui plasenta ke janin. Transmisi lain yang mungkin namun
jarang terjadi termasuk transfusi darah, kontak personal non seksual, inokulasi
langsung yang tidak disengaja. Obat pilihan utama pada sifilis kongenital adalah
penisilin, baik pada ibu hamil maupun bayi.

Definisi
Sifilis kongenital adalah penyakit yang didapatkan janin dalam uterus dari
ibunya yang menderita sifilis, atau ditemukannya Treponema pallidum pada
lesi, plasenta, tali pusat atau otopsi jaringan; atau bayi yang dilahirkan oleh
ibu penderita sifilis yang belum mendapat pengobatan atau telah mendapat
pengobatan namun tidak adekuat sebelum atau selama kehamilan, atau
ibu yang telah mendapat terapi penisilin tetapi tidak menunjukkan respons
serologi; atau ditemukannya salah satu dari hal berikut, yaitu pemeriksaan

28
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

radiologi tulang panjang dan/atau cairan serebrospinal yang sesuai gambaran


sifilis kongenital.3

Epidemiologi
Sejak tahun 1980, di Amerika Serikat terdapat peningkatan yang pesat jumlah
kasus sifilis primer dan sekunder yang mencapai puncaknya pada tahun 1990
yaitu 20,3 kasus per 100.000 populasi. Namun kemudian, terjadi penurunan
jumlah kasus sifilis primer dan sekunder mencapai 3,2 kasus per 100.000
populasi pada tahun 1997.2 Faktor risiko yang berhubungan dengan sifilis
maternal adalah usia muda, sosial ekonomi rendah, kurangnya pemeriksaan
selama kehamilan yang adekuat, pernah menderita penyakit menular
seksual, perilaku seksual resiko tinggi, dan pemakai obat narkotika. Transmisi
transplasental lebih sering terjadi pada ibu hamil yang menderita sifillis primer
atau sekunder dibandingkan dengan yang menderita sifilis laten.

Etiologi
Penyebab sifilis adalah bakteri Treponema pallidum, termasuk ordo Spirochaetales,
familia Spirochaetaceae dan genus Treponema. Bentuk seperti spiral teratur,
panjangnya antara 6-15 um, lebar 0,15 um, terdiri atas 8-24 lekukan.
Gerakannya berupa rotasi dan maju sepanjang aksis seperti gerakan pembuka
botol. Membiak secara belah lintang pada stadium aktif yang terjadi tiap 30
jam. Pembiakan pada umumnya tidak dapat dilakukan di luar tubuh. Di luar
tubuh kuman tersebut cepat mati, sedangkan dalam darah untuk transfusi
,dapat bertahan hidup hingga 72 jam.4

Patogenesis
Sifilis dapat ditularkan oleh ibu pada waktu bersalin, namun sebagian besar
kasus sifilis kongenital merupakan akibat penularan in utero. Risiko sifilis
kongenital berhubungan langsung dengan stadium sifilis yang diderita ibu
semasa kehamilan. Lesi sifilis kongenital biasanya timbul setelah 4 bulan in
utero pada saat janin sudah dalam keadaan imunokompeten. Penularan in
utero terjadi transplasental, sehingga dapat dijumpai Treponema pallidum pada
plasenta, tali pusat, serta cairan amnion. Treponema pallidum melalui plasenta
masuk ke dalam peredaran darah janin dan menyebar ke seluruh jaringan.
Kemudian berkembang biak dan menyebabkan respons peradangan selular
yang akan merusak janin. Kelainan yang timbul dapat bersifat fatal sehingga

29
Sifilis kongenital

terjadi abortus atau lahir mati, atau terjadi gangguan pertumbuhan pada
berbagai tingkat kehidupan intrauterin maupun ekstrauterin.5

Manifestasi Klinis
Plasenta dari bayi yang menderita sifilis kongenital dapat mengalami
plasentomegali berupa penebalan plasenta yang melebihi +2SD (deviasi
standar) disesuaikan dengan usia kehamilan. Kematian janin atau perinatal
terjadi pada 40% bayi yang terinfeksi. Persalinan preterm dan pertumbuhan
janin terhambat juga telah dilaporkan. Pada bayi yang tetap hidup, manifestasi
klinis dibagi dalam stadium dini dan stadium lanjut.
Stadium dini terjadi dalam dua tahun pertama kehidupan, sedangkan
stadium lanjut terjadi setelah usia dua tahun. Kurang lebih dua pertiga bayi
tidak menunjukkan gejala klinis saat dilahirkan, tetapi jika tidak diobati gejala
akan muncul dalam beberapa minggu atau bulan. Manifestasi klinis bervariasi
dan dapat mengenai beberapa organ. Organ yang sering terkena adalah hati
dan limpa berupa pembesaran (hepatosplenomegali), ikterik yang menetap
dan peningkatan enzim hati. Limfadenopati bersifat difus dan sembuh dengan
sendirinya. Kelainan kulit dapat berupa eritematosa makulopapular atau lesi bula
diikuti oleh deskuamasi pada telapak tangan dan kaki. Dapat pula ditemukan
lesi kondiloma yang khas pada membran mukosa dan rinitis. Bila terdapat
osteokondritis, akan terasa nyeri yang dapat menyebabkan bayi menjadi sensitif
dan tidak mau menggerakkan tungkainya (pseudoparalisis Parrot). Kelainan
susunan saraf pusat, gagal tumbuh, korioretinitis, nefritis, dan sindrom nefrotik
dapat juga ditemukan. Manifestasi klinis yang mengenai ginjal dapat berupa
hipertensi, hematuria, proteinuria, hipoproteinemia dan hiperkolesterolemia.
Hal ini diakibatkan oleh deposit kompleks imun di glomerulus. Gambaran klinis
yang jarang dapat berupa gastroenteritis, peritonitis, pankreatitis, pneumonia,
kelainan mata (glaukoma dan korioretinitis), hidrops, dan massa pada testis.5
Manifestasi lanjut merupakan akibat inflamasi kronis pada tulang, gigi,
dan susunan saraf pusat. Perubahan tulang akibat periostitis yang menetap
atau berulang dan berhubungan dengan penebalan tulang dapat berupa frontal
boosing, penebalan sternoklavikula yang unilateral atau bilateral, bagian tengah
tibia yang melengkung ke depan (Saber shins), dan skapula skapoid. Kelainan
hidung yang terjadi, berupa saddle nose akibat rinitis yang menghancurkan
tulang sekitarnya. Manifestasi stadium lanjut dapat berupa keratitis interstitialis
yang unilateral atau bilateral dengan gejala fotofobia dan lakrimasi, diikuti
opaksifikasi kornea yang mengakibatkan kebutaan tang terhjadi setelah
beberapa minggu sampai dengan beberapa bulan.

30
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium darah tepi pada sifilis kongenital menunjukkan kelainan berupa
anemia, monositosis, dan trombositopenia. Pemeriksaan serologi dapat
dilakukan dengan metode deteksi langsung dengan baku emas pemeriksaan
rabbit infectivity test (RIT). Uji serologi non-treponema untuk skrining seperti
uji Venereal Disease Research Laboratory (VDRL), Rapid Plasma Reagin (RPR)
yang memiliki sensitivitas 70-100% dan spesifisitas 97-99%, serta uji serologi
untuk konfirmasi yaitu Treponema Pallidum Hemagglutination Assay (TPHA),
Fluorescent Treponemal Antibody Absorption (FTA-Abs) yang memiliki
sensitivitas sebesar 76- 100% dan spesifisitas 97-99%.6
Uji nontreponemal yang paling sering dilakukan adalah uji VDRL
dan RPR. Pemeriksaan ini digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap
antigen yang terdiri atas kardiolipin, kolesterol, dan lesitin yang sudah
terstandardisasi. Uji serologi nontreponemal ini merupakan uji yang dianjurkan
untuk memantau perjalanan penyakit selama dan setelah pengobatan, oleh
karena pemeriksaannya mudah, cepat dan tidak mahal. Uji serologi treponemal
termasuk pemeriksaan serum dengan metode Fluorescent treponemal antibody
absorption (FTA-ABS) dan Treponema pallidum particle agglutination(TP-PA)
terhadap Treponema pallidum. Pemeriksaan ini mendeteksi antibodi terhadap
antigen treponemal dan memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan
dengan uji nontreponemal, terutama sifilis lanjut.
Pada pemeriksaan histologi jaringan plasenta, didapatkan funisitis dan
vaskulitis. Selain itu terdapat juga gambaran plasentitis berupa fibrosis villi
korionik dan infiltrat plasmolimfositik pada stroma. Mikroskop lapangan
pandang gelap digunakan untuk mendeteksi adanya bakteri Treponema
pallidum dalam cairan tubuh (sekret hidung, serum dari lesi kulit, cairan
ketuban). Pemeriksaan mikroskop lapangan pandang gelap, selain untuk
melihat morfologi bakteri, dapat juga melihat pergerakannya yang khas. Pada
pemeriksaan radiologi dapat dijumpai perubahan metafisis tulang panjang.

Diagnosis
Diagnosis sifilis kongenital ditegakkan berdasarkan anamnesis riwayat ibu yang
menderita sifilis tanpa pengobatan yang adekuat, atau uji serologis positif,
atau pada pemeriksaan mikroskop lapangan pandang gelap ditemukan bakteri
Treponema pallidum dalam cairan tubuh. Pada pemeriksaan fisis didapatkan
ikterik, hepatosplenomegali, anemia, trombositopenia, kelainan gambaran
radiologis tulang panjang, dan kelainan pada cairan serebrospinalis. Pada bayi
usia 3-12 minggu dapat ditemukan rinitis, kelainan kulit makulopapular, lesi

31
Sifilis kongenital

mukokutan, dan pseudoparalisis.7 Gambaran khas sifilis kongenital dini adalah


saddle nose, gigi Hutchinson, keratitis interstitialis, Saber shins, serta gumma
pada hidung dan palatum.

Tata laksana
Penisilin masih tetap merupakan obat pilihan untuk pengobatan sifilis, baik
sifilis didapat maupun sifilis kongenital. Terdapat beberapa kriteria yang harus
dipenuhi pada pengobatan sifilis kongenital menurut CDC tahun 2015, yaitu: a)
menderita sifillis kongenital yang sesuai dengan gambaran klinik, laboratorium
dan/radiologik, b) mempunyai titer test nontreponema ≥4 kali dibanding
ibunya, c) dilahirkan oleh ibu yang pengobatannya sebelum melahirkan
tidak tercatat, tidak diketahui, tidak adekuat atau terjadi ≤30 hari sebelum
persalinan, d) dilahirkan oleh ibu seronegatif yang diduga menderita sifilis,
e) titer pemeriksaan nontreponema meningkat ≥4 kali selama pengamatan,
f) Hasil tes treponema tetap reaktif sampai anak berusia 15 bulan, atau g)
mempunyai antibodi spesifik IgM antitreponema. Pengobatan sifilis kongenital
tidak boleh ditunda dengan alasan menunggu diagnosis pasti secara klinis atau
serologik. Berikut algoritma tata laksana pada bayi dengan sifilis kongenital.8

Pemantauan pasca-pengobatan
Pemeriksaan penderita sifilis harus dilakukan secara dini apabila bila terjadi
infeksi ulang setelah pengobatan. Setelah pemberian penisilin G, maka setiap
pasien harus diperiksa 3 bulan kemudian untuk penentuan hasil pengobatan.
Pengalaman menunjukkan bahwa infeksi ulang sering terjadi pada tahun
pertama setelah pengobatan. Evaluasi kedua dilakukan 6-12 bulan setelah
pengobatan. Penderita yang diberi pengobatan selain penisilin harus lebih
sering diperiksa. Semua penderita sifilis kardiovaskuler dan neurosifilis harus
diamati bertahun-tahun, termasuk klinis, serologis dan pemeriksaan cairan
sumsum tulang belakang dan bila perlu radiologis. Pada semua tingkat sifilis,
pengobatan ulang diberikan bila tanda-tanda dan gejala klinis menunjukkan
sifilis aktif yang persisten atau berulang, atau terjadi kenaikan titer tes
nontreponemal lebih dari dua kali pengenceran ganda.9 Pemeriksaan cairan
sumsum tulang belakang harus dilakukan setelah diberi pengobatan, kecuali
ada infeksi ulang atau diagnosis sifilis dini dapat ditegakkan. Penderita harus
diberi pengobatan ulang terhadap sifilis yang lebih dari 2 tahun. Pada umumnya
hanya sekali pengobatan ulang dilakukan sebab dengan pengobatan yang
cukup, penderita akan stabil dengan titer rendah.

32
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

33
Sifilis kongenital

Prognosis
Sifilis kongenital yang berat dapat menyebabkan kematian pada masa janin
maupun perinatal. Prognosis sifilis kongenital bergantung periode munculnya
gejala, kerusakan yang terjadi, dan penatalaksanaan. Bila penyakit tersebut
telah mengenai meningovaskular dapat menyebabkan sekuele permanen. Sifilis
Kongenital dapat sembuh sempurna bila mendapat terapi adekuat. Pengobatan
dengan penisilin bersifat kuratif, sehingga perubahan serologi dapat terjadi
dalam satu tahun.

Simpulan
Diagnosis dan tatalaksana kongenital sifilis harus berdasar atas riwayat
kehamilan, gejala klinis dan uji nontreponela (VDRL atau RPR) dan
trepopnema (FTA-ABS) dan/atau MHA-TP). Terapi pada bayi diberikan
tanpa mempertimbangkan serologi dan gejala. Hanya antibiotic Penisilin
yang terbukti efektif dalam mengobati sifilis. Selma 10-14 hari. Pemantauan
ketat klinis maupun serologis pada bayi yang terpapar sifilis dalam kehamilan
harus dilakukan.

Daftar pustaka
1. Sheffield JS, Wendel GD. Syphilis in pregnancy. Clin Obstet Gynecol 1999;
42:97-106.
2. Ogle WJ. Spirochetal infections. Dalam: Hay WW, Groothuis JR, Hayward AR,
Levin MJ, penyunting. Current Pediatric Diagnosis and Treatment. Edisi ke-13.
Connecticut: Appleton and Lange, 1997. h. 1053-6.
3. Mc. Farlin BL, Bottoms SF, Dock BS, Isada NB. Epidemic syphilis: Maternal
factors associated with congenital infection. Am J Obstet Gynecol 1994;170:535-
40.
4. Humphrey MD, Bradford DL. Congenital syphilis: still a reality in 1996. Med J
Am 1996;165:382-5.
5. Azimi P. Syphilis (Treponema pallidum). Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,
Jensen BH, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-16. Philadelphia:
WB Saunders Company, 2000. h. 903-14.
6. Kolman CJ, Lara AC, Lukehart SA, Owsley W, Tuross N. Idetification of
Treponema palllidum subspecies pallidum in a 200-year-old skeletal specimen. J
Infect Dis 1999;180:2060-3.
7. Terkait NM, Aboobacker KC. Congenital syphilis: Case report and review of the
literature. Kuwait Med J 2002;34:43-6.
8. Sexually Transmitted Diseases Treatment Guidelines.CDC 2015; Diunduh
dari:www.cdc.gov. Diakses pada 20 Maret 2017.

34
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

9. Rolfs RT, Joesoef MR, Hendershot EF, RompaloAM, Augenbraun MH, Chiu
M, dkk. A randomized trial of enhanced therapy for early syphilis in patients
with and without human immunodeficiency virus infection. N Engl J Med
1997;337:307-14.

35
Anemia pada Neonatus:
Fisiologis Atau Patologis?
Teny Tjitra Sari

Tujuan :
1. Mengetahui definisi anemia pada neonatus
2. Membedakan penyebab fisiologis atau patologi
3. Memberikan terapi anemia pada neonatus

Anemia neonatus didefinisikan sebagai kadar hemoglobin dan atau hematokrit


di bawah -2 standar deviasi kadar pasca natal. Gangguan anemia pada masa
neonatus terjadi akibat interaksi genetik, penyakit yang didapat dan keadaan
maternal yang memengaruhi eritrosit janin. Untuk dapat menentukan
penyebab anemia yang terjadi itu fisiologis atau patologis, maka penting
diketahui proses eritropoiesis yang terjadi pada masa neonatus.1

Eritropoiesis pada masa neonatus


Hematopoiesis pada janin dan neonatus merupakan suatu keadaan adaptasi
bayi baru lahir terhadap lingkungannya. Eritropoiesis janin terpisah, tidak
berhubungan dengan proses pada ibu. Perkembangan eritropoiesis janin
terjadi dalam 3 tahap yaitu yolk sac, hepar dan sumsum tulang. Pembentukan
eritrosit di yolk sac terjadi antara masa gestasi 2 hingga 20 minggu, sedangkan
produksi eritrosit di sumsum tulang dimulai masa gestasi 18 minggu. Setelah
masa gestasi 30 minggu, sumsum tulang menjadi organ penting pembentukan
eritropoiesis. Saat lahir pada bayi matur, semua produksi eritropoiesis terjadi di
sumsum tulang; walau demikian, sejumlah kecil proses eritropoiesis di hepar
masih berlangsung selama beberapa hari (Gambar 1).1
Terdapat peran eritropoietin (EPO) selama fase eritropoiesis di hepar
dan sumsum tulang. Hepar menjadi tempat produksi EPO selama masa janin.
Perkembangan hematopoiesis baik in utero dan saat lahir dikendalikan oleh
beberapa faktor perkembangan proliferasi sel dan aktivasi cell-specific genes.
Bukti-bukti memperlihatkan abnormalitas cell-specific genes (contoh GLUT1,
GLUT4, KLF) dapat menyebabkan anemia pada neonatus. Eritrosit janin

36
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

 
 
Gambar 1. Perkembangan eritrosit masa janin.1
 
Eritrosit embrionik (eritrosit primitif) dibuat di yolk sac saat masa gestasi 7,5 minggu dan ditemukan
di sirkulasi sampai masa gestasi 11-12 minggu. Pada masa gestasi 9 minggu, yolk sac dan plasenta
menghasilkan progenitor definitif yang bermigrasi ke hepar janin, selanjutnya berdiferensiasi menjadi
eritrosit definitif (menunjukkan globin janin/dewasa) dan memasuki sirkulasi. Pada masa gestasi 10,5
minggu, aorta-gonad-mesonefros (AGM) menghasilkan hematopoietik sumsum tulang pertama yang
migrasi ke hepar janin dan berdiferensiasi ke jalur eritroid dan eritrosit definitif memasuki sirkulasi.
Hematopoietik sumsum tulang yang berasal dari hepar kemudian bermigrasi dan berkolonisasi di
sumsum tulang saat lahir, yang akan menjadi suplai produksi eritrosit definitif seumur hidup untuk
sirkulasi. Limpa juga merupakan tempat untuk berdiferensiasi untuk eritrosit.

berisi terutama HbF yang mempunyai afinitas oksigen lebih tinggi dibanding
hemoglobin dewasa yang diproduksi setelah lahir. Kecepatan produksi eritrosit
selama masa janin lebih tinggi lima kali dibanding kecepatan produksi orang
dewasa.1
Dengan demikian, indeks eritrosit dan morfologi saat lahir berbeda
dibanding dewasa dan secara bertahap akan berubah sesuai usia. Usia
eritrosit saat lahir lebih rendah dibanding eritrosit dewasa, usia eritrosit bayi
prematur (35-50 hari) dibanding eritrosit dewasa (90-120 hari) kemungkinan
disebabkan oleh peningkatan kekakuan eritrosit. Eritrosit saat lahir bersifat
lebih resisten untuk tes osmotic lysis,dan nilai mean corpuscular volume lebih
tinggi, mean corpuscular hemoglobin concentration lebih rendah dan lebih rentan
terhadap oxydant induced trauma yang terutama disebabkan defisiensi aktivitas
fosfofruktokinase. Pada gambaran darah tepi lebih sering ditemukan sferosit
dan poikilositosis (14%) dibanding dewasa (3%), dan lebih banyak lagi pada
bayi prematur. Beberapa hal yang memengaruhi nilai referensi adalah masa
gestasi (matur vs prematur), cara kelahiran, penanganan tali pusat (delayed vs

37
Anemia pada neonatus: fisiologis atau patologis?

early clamping), tempat pengambilan (kapiler vs vena) dan saat pengambilan.1


Nilai referensi hematologi untuk bayi matur dan prematur dapat dilihat pada
Tabel 1 dan Tabel 2.

Tabel 1. Referensi nilai hematologik pada bayi lahir cukup bulan1


Umur Hemoglobin(g/dl) Hematokrit(%) Eritrosit (x 106/dL) MCV (fl) MCH (pg)
 
Rata-rata -2 SD Rata-rata -2 SD Rata-rata -2 SD Rata-rata -2 SD Rata-rata -2 SD
Tali pusat 16,5 13,5 51 42 4,7 3,9 108 98 34 31
1-3 hari 18.5 14,5 56 45 5,3 4,0 108 95 34 31
7 hari 17,5 13,5 54 42 5,1 3,9 107 88 34 28
14 hari 16,4 12,5 51 39 4,9 3,6 105 86 34 28
4 minggu 14,0 10,0 43 31 4,2 3,0 104 85 34 28
8 minggu 11,5 9,0 35 28 3,8 2,7 96 77 30 26
12 minggu 11,5 9,0 35 29 3,8 3,1 91 74 30 25

Tabel 2. Referensi nilai hemoglobin (Hb) pada bayi kurang bulan1


Umur (minggu) Hemoglobin berdasarkan berat lahir
  1000 - 1500 g 1501-2000 g
2 16,3 (11,7-18,4) 16,8 (11,8-19,6)
4 10,9 (8,7-15,2) 11,5 (8,2-15)
8 8,8 (7,1-11,5) 9,4 (8,0-11,4)
12 9,8 (8,9-11,2 10,2 (9,3-11,8)
16 11,3 (9,1-13,1) 11,3 (9,1-13,1)

Anemia fisiologik
Saat lahir terjadi perubahan fisiologik pada bayi matur; terjadi anemia transien
yang disebut anemia fisiologik.1 Dalam kandungan terjadi keadaan hipoksia
(saturasi oksigen 70%) yang menstimulasi produksi EPO sehingga terjadi
produksi retikulosit (37%) dan meningkatkan produksi eritrosit. Saat bayi
menarik nafas pertama, saturasi oksigen menjadi 95%. Selain itu, terjadi
peralihan HbF yang kaya afinitas oksigen berubah menjadi Hb adult yang
kurang afinitas oksigen menyebabkan oksigen yang terikat hemoglobin akan
terlepas ke jaringan. Peningkatan kadar oksigen dalam darah dan jaringan
kemudian akan menekan produksi EPO menyebabkan EPO tidak terdeteksi,
eritropoiesis menjadi tertekan dan produksi eritrosit saat usia 7 hari menjadi
hanya sekitar 10% aktivitas dalam kandungan.1,2 Konsentrasi hemoglobin
terus menurun hingga kebutuhan oksigen menjadi lebih besar dibanding
hantaran oksigen. Normalnya titik ini dicapai antara usia 6-12 minggu
dengan konsentrasi hemoglobin antara 9,5 – 11 g/dL.1,3 Sesuai dengan adanya
hipoksia yang dideteksi oleh sensor oksigen di ginjal atau hepar, produksi EPO
meningkat dan eritropoiesis dimulai kembali. Pada bayi matur dengan suplai

38
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

besi yang cukup, proses eritropoiesis dapat terjadi hingga usia 20 minggu.
Anemia fisiologis pada bayi matur sehat biasanya ringan, tanpa gejala dan tidak
membutuhkan terapi. Hematokrit terendah pada bayi matur terjadi pada usia
10-12 minggu dan jarang < 30% dengan hemoglobin 10-12 g/dL. Setelah 10-
12 minggu, hematokrit dan hemoglobin meningkat perlahan untuk mencapai
nilai dewasa saat usia 2 tahun.1

Anemia of prematurity
Anemia of prematurity terjadi pada bayi prematur < 32 minggu. Penyebabnya
adalah ketidaksesuaian antara rendahnya retikulosit dengan beratnya anemia
dan ketidaksesuaian antara rendahnya kadar EPO dengan derajat anemia. Bayi
prematur (1200-2500 g) mencapai titik terendah lebih cepat dibanding bayi
matur (5-10 minggu vs 6-12 minggu) dan hemoglobin lebih rendah (8-10 vs
9,5 -11 g/dL) atau hematokrit (28 vs > 30%).1,3 Bayi prematur kecil (<1200
g) memperlihatkan anemia yang lebih cepat dan berat dengan titik terendah
pada 4-8 minggu, hemoglobin 6,4 – 9 g/dL dan hematokrit 21%. Beberapa
faktor endogen dan eksogen berkontribusi pada anemia of prematurity. Faktor
yang banyak berperan adalah rendahnya kadar EPO sebagai respons terhadap
anemia; akibat rendahnya produksi EPO dan meningkatnya katabolisme EPO.
Adanya transisi janin dari lingkungan hipoksia ke lingkungan kaya oksigen,
menjadikan produksi EPO menjadi berkurang (downregulated). Selain itu,
tempat produksi EPO berubah dari hepar ke ginjal yang terjadi pada 3-4 bulan
setelah lahir.1
Dengan demikian tempat utama produksi EPO pada bayi prematur
adalah hepar. Waktu perubahan dari hepar ke ginjal adalah tetap dan tidak
dapat dipercepat dengan kelahiran yang prematur. Hal ini penting karena
hepar kurang sensitif terhadap hipoksia jaringan sebagai stimulus produksi
EPO dibanding ginjal. Penurunan produksi EPO menyebabkan penurunan sel
progenitor eritroid di sumsum tulang sebesar 20%. Klirens EPO dan distribusi
volume EPO pada neonatus juga lebih tinggi dibanding dewasa, hal ini juga
menyebabkan rendahnya EPO yang beredar. Adanya pacu tumbuh yang
tinggi dibanding bayi matur dan masa hidup eritrosit yang lebih singkat juga
merupakan faktor endogen penyebab anemia of prematurity. Faktor eksogen
yang berperan adalah kehilangan darah iatrogenik untuk pemeriksaan
laboratorium, defisiensi besi, atau defisiensi nutrien lain, inflamasi, infeksi dan
penyakit kronik lainnya.1,3 Bayi dengan berat badan kurang masa kehamilan
yang mengalami hipoksia dalam kandungan memperlihatkan peningkatan
eritropoiesis. Anemia of prematurity juga jarang terjadi pada bayi dengan
kelainan jantung bawaan atau insufisiensi respirasi yang mengindikasikan

39
Anemia pada neonatus: fisiologis atau patologis?

adanya peningkatan hantaran oksigen yang terjadi dalam kandungan saat


kebutuhan oksigen meningkat.2
Gambaran klinis anemia of prematurity adalah takikardi, meningkatnya
apne dan bradikardi, meningkatnya kebutuhan oksigen, berat badan sulit
naik. Gambaran darah tepi memperlihatkan anemia normositik normokrom.2

Anemia patologis
Kehilangan darah dapat merupakan akibat abnormalitas tali pusat, plasenta
previa, solusio plasenta, kelahiran traumatik, atau perdarahan interna. Adanya
perdarahan janin-maternal dapat ditunjukkan dengan adanya sel janin pada
sirkulasi maternal. Darah juga dapat ditransfusikan dari satu janin ke janin
lainnya pada kehamilan kembar monokorionik. Destruksi eritrosit juga dapat
berupa kelainan imun ataupun non imun. Anemia hemolitik isoimun dapat
disebabkan inkompatibilitas ABO, Rh ataupun golongan darah minor lainnya.
Antibodi IgG ibu dapat menembus plasenta dan masuk ke sirkulasi janin yang
akan menyebabkan hemolisis. Gambaran klinis begitu luas, dari yang ringan
dan dapat sembuh sendiri hingga bentuk hidrops fetalis yang letal. Karena
antibodi ibu membutuhkan waktu bulanan untuk hilang, bayi dapat mengalami
hemolisis yang berkepanjangan. Abnormalitas struktur eritrosit, aktivitas enzim
dan produksi hemoglobin juga dapat menyebabkan anemia hemolitik.3 Untuk
mencari penyebab anemia pada neonatus, maka perlu mempertimbangkan
penyebab anemia patologis pada neonatus sesuai dengan kategori kehilangan
darah, menurunnya produksi, meningkatnya destruksi (hemolisis) (Box 1).1,2
Pendekatan diagnosis anemia pada neonatus dapat dilihat pada Gambar
2. Pendekatan diagnosis anemia pada neonatus perlu eksplorasi lebih lanjut
terutama mengenai:1
1. Riwayat keluarga dan ibu
Riwayat keluarga penting dalam mencari penyakit genetik yang
menyebabkan anemia seperti sferositosis, congenital dyserythropoietic
anemias, glucose-6-phosphate dehydrogenase dan harus ditanyakan mengenai
riwayat ikterik, batu kandung empedu, splenomegali, riwayat transfusi
atau suplementasi besi dalam keluarga. Riwayat ibu juga harus ditanyakan
mengenai penyakit yang diderita saat hamil atau saat melahirkan misalnya
kelainan autoimun, status nutrisi ibu dan nilai hematologik ibu.
2. Riwayat kehamilan
Perlu ditanyakan mengenai perkembangan janin, infeksi virus kongenital,
cara kelahiran, adanya riwayat fetal distress, kelainan plasenta atau tali
pusat.

40
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

Box 1. Penyebab anemia patologis pada neonatus

Kehilangan Darah
Kehilangan darah samar sebelum kelahiran
Fetomaternal (malformasi plasenta atau tumor, spontan, dll)
Feto-fetal
Penyebab obstetrik
Abruptio placentae
Placenta previa
Ruptur tali pusat
Ruptur pembuluh darah
Sectio caesarea
Manipulasi intrauterin
Insisi plasenta saat sectio caesarea
Pendarahan internal saat baru lahir
Intrakranial karena berbagai alasan (lahiran terlalu cepat, prematur, kembar lahir kedua,
hypoxia, dll)
Retroperitoneal
Ruptur lien atau hepar
Sefalohematoma yang besar
Pendarahan gastrointestinal
Peningkatan destruksi eritrosit (hemolisis)
Penyakit sel darah merah turunan
Gangguan pada membran sel darah merah (sferositosis, eliptositosis, dll)
Kerusakan enzim sel darah merah (defisiensi G6PD, defisiense piruvat kinase, dll)
Hemoglobinopati (thalasemia α dan γ dan kelainan struktur rantai)
Reaksi Imun
Inkompatibilitas ABO
Inkompatibilitas Rhesus
Inkompatibilitas grup darah minor
Penyakit autoimun maternal (lupus, anemia hemolitik, dll)
Anemia hemolitik karena obat
Didapat
Infeksi
Koagulasi intravaskular diseminata
Anemia mikro/makroangiopati (stenosis arteri renal, hemangioma kavernosus)
Anemia karena nutrisi (defisiensi vitamin E)
Kekurangan produksi
Anemia Diamond-Blackfan
Anemia kongenital atau tumor
Sindrom Down
Sindrom Pearson
Osteopetrosis
Infeksi karena obat-obatan (rubella, parvovirus B19, cytomegalovirus, adenovirus)

41
Anemia pada neonatus: fisiologis atau patologis?

3. Pemeriksaan fisis
Pemeriksaan fisis dapat dicari adanya tanda anemia kronik seperti pucat,
berat badan sulit naik, dll dan tanda anemia akut (takikardia, gagal
jantung, gangguan pernafasan, dll). Tanda dari penyakit kongenital dimana
anemia merupakan bagian dari penyakitnya misal malformasi dari Anemia
Fanconi, atau tanda hemolisis (ikterik, splenomegali, sefalhematoma,
anasarka, dll)
4. Pemeriksaan laboratorium
Hal pertama yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah tepi lengkap
untuk menegakkan diagnosis anemia. Hemoglobin atau hematokrit harus
dibandingkan dengan nilai referensi yang sesuai dengan masa gestasi,
dan tempat pengambilan (lihat Box 1 dan tabel 1 dan 2). Selanjutnya,
dapat diperiksa retikulosit, indeks eritrosit, gambaran darah tepi, indeks
hemolisis (bilirubin total dan indirek, lactate dehydrogenase, tes Coombs).
Terapi yang dapat diberikan sebagai penanggulanan anemia pada
neonatus adalah sebagai berikut:

Transfusi darah
Terapi anemia bertujuan untuk mempertahankan hantaran oksigen (oxygen
delivery) yang adekuat ke jaringan. Indikasi yang pasti adalah kasus kehilangan
darah atau syok untuk memperbaiki volume darah. Panduan memberikan
transfusi pada neonatus sangat bervariasi di tiap negara dan senter pelayanan. Hal
ini termasuk batasan dan cara memberikannya. Paduan transfusi yang ada saat ini
kebanyakan didasarkan pedapat ahli, namun demikian keputusan memberikan
transfusi darah merupakan kombinasi gambaran klinis dan parameter laboratoris
dengan memperhatikan keadaan bayi dan kebutuhan fisiologis.1 Penelitian
di Brazil (2015) mendapatkan transfusi pada bayi VLBW akan makin sering
bila didapatkan masa gestasi makin rendah, terdapat morbiditas (apne,
perdarahan paru, sepsis, perdarahan intraventrikular, necrotizing enterocolitis,
bronchopulmonary dysplasia).4 Darah yang digunakan sebaiknya leukodepleted.1,2,5
Hal ini untuk mengurangi insiden bronchopulmonary dysplasia (odds ratio 0,42;
95% CI 0,25 – 0,70), retinopathy of prematurity ( OR 0,56; 95% CI 0,33 – 0,93)
dan necrotizing enterocolitis (OR 0,39; 95% CI 0,17 – 0,93).5
Selain itu darah sebaiknya juga irradiated untuk bayi < 1200 g dan berasal
dari satu donor untuk membatasi paparan donor.1,2 Cara pemberian transfusi
PRC pada neonatus juga sangat bervariasi. Salah satunya adalah dengan
cara memberikan sejumlah 10-15 mg/kg dengan memperhatikan keadaan
kardiovaskular.6 Contoh panduan pemberian yang dapat digunakan dapat
dilihat pada box 3 dan tabel 3.

42
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

Anemia   

Retikulosit Meningkat    Retikulosit Berkurang 
 
Anemia Diamond‐Blackfan    
  Osteopetrosis     
  Obat‐obatan     
  Leukemia kongenital/tumor    
  Infeksi     
  Anemia fisiologis anemia prematuritas
  Defisiensi Nutrisi    
 
Coombs tes direk  

Inkompatibilitas Rh 
  Negatif    Positif  Inkompatibilitas ABO 
  Inkompatibilitas grup minor 
  Penyakit maternal (contoh: autoimmun)
 

Sel darah merah (MCV/MCHC)   

Anemia kronik   
Normal atau tinggi   Rendah  Hemorrhage fetomaternal    
  Transfusi feto‐fetal    
  Thalasemia α atau γ     
 

MCHC sel darah merah   

Normal atau rendah   Tinggi  Sferositosis herediter    

Apusan darah tepi  

Koagulasi intravaskular diseminata

  Normal Mikroangiopati (hemangioma kavernosus)
      Abnormal Gangguan pada membran sel darah merah 
  (elliptositosis)   
  Kerusakan enzim sel darah merah
Kehilangan darah, infeksi,  (defisiensi G6PD, defisiense piruvat kinase)
hemolisis (karena berbagai  Hemoglobinpati 
alasan), dll
 

Gambar 2. Pendekatan diagnostik untuk anemia pada neonatus berdasarkan pemeriksaan


Gambar 2. Pendekatan diagnostik untuk anemia pada neonatus berdasarkan pemeriksaan hematologi2
  hematologi2
 


 

43
Anemia pada neonatus: fisiologis atau patologis?

Box 3. Contoh-contoh panduan transfusi untuk bayi baru lahir


Panduan transfusi sel darah merah untuk bayi baru lahir (Kanada 2002 dan Irlandia 2007)1,7
• Syok hipovolemik karena kehilangan darah akut
• Hematokrit 30 - 35% atau Hb 10 - 12 g/dL dalam keadaan sakit berat yang membutuhkan hantaran
oksigen yang baik
• Hematokrit 20 - 30% atau Hb 6 - 10 g/dL dan bayi dalam keadaan sakit berat dan/atau sedang
menggunakan ventilasi mekanik.
• Hematokrit rendah (≤20%) atau Hb (≤6 g/dL) dengan retikulosit ≤100,000 – 150,000/mm3 disertai
tanda klinis: failure to thrive, takikardia dan respirasi >180x/menit, tanda-tanda respiratorik
seperti takipnea dan peningkatan kebutuhan oksigen, letargi.

Panduan transfusi sel darah merah untuk bayi umur <4 bulan (Amerika Serikat 2000 dan Irlandia
2007)1
1. Hematokrit <20% dengan hitungan retikulosit rendah diikuti tanda-tanda anemia (takikardia,
takipnea, poor feeding)
2. Hematokrit <30% dengan:
Menggunakan O2 Hood <35%
Menggunakan O2 via nasal kanul
Membutuhkan Positive airway pressure (PAP) terus menerus dan/atau ventilasi intermiten
melalui ventilasi mekanik dengan mean airway pressure <6cmH2O
Apnea atau bradikardia yang signifikana
Takikardia atau takipnea yang signifikanb
Kenaikan berat badan yang rendahc
3. Hematokrit <35% dengan:
Menggunakan O2 Hood <35%
Membutuhkan Positive airway pressure (PAP) terus menerus dan/atau harus ventilasi intermiten
melalui ventilasi mekanik dengan mean airway pressure ≥6-8cmH2O
4. Hematokrit <45% dengan:
Menggunakan extracorporeal membrane oxygenation
Penyakit jantung bawaan sianotik
a
Lebih dari 6 episode dalam 12 jam atau 2 episode dalam 24 jam yang membutuhkan ventilasi
dengan masker dan bag disertai terapi metilxanthin
b
Laju jantung >180x/menit dalam 24 jam; respirasi >80x/menit dalam 24 jam
c
Kenaikan <10 g/hari selama 4 hari saat menerima ≥100kcal/kg/hari

Panduan transfusi untuk bayi umur <4 bulan (Inggris 2004)1


• Anemia pada 24 jam pertama: Hb 12 g/dL (hematokrit 36 vol%)
• Kumulatif kehilangan darah dalam 1 minggu pada neonatus membutuhkan perawatan intensif:
10% volume darah
• Neonatus dengan perawatan intensif: Hb 12 g/dL
• Kehilangan darah akut (10%)
• Ketergantungan oksigen kronik: Hb 11 g/dL
• Late anemia dengan klinis stabil: Hb 7 g/dL

Tabel 3. Indikasi pemberian transfusi PRC pada anemia of prematurity1,8


Usia (hari) Daerah pengambilan Dengan alat bantu nafas* Tanpa alat bantu nafas
1-7 Skin prick < 11,5 < 10,0
Vena sentral < 10,4 < 9,0
8-14 Skin prick < 10,0 < 8,5
Vena sentral < 9,0 < 7,7
> 15 Skin prick < 8,5 < 7,5
Vena sentral < 7,7 < 6,8
*kebutuhan oksigen > 25% atau menggunakan ventilasi mekanik, continous positive-pressure ventilation, free-
flowing oxyen

44
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

Dari panduan-panduan tersebut di atas terlihat bahwa batasan


pemberian transfusi banyak ragamnya. Telaah sistematik oleh Ibrahim dkk,
(2012) menyebutkan bahwa pemberian transfusi darah secara restriktif akan
menurunkan jumlah transfusi dan paparan terhadap donor. Namun demikian,
tidak ada perbedaan komplikasi jangka pendek seperti necrotizing enterocolitis
(NEC), retinopathy of prematurity (ROP), bronchopulmonary dysplasia (BPD),
ataupun kematian pada bayi VLBW.9
Data lain memperlihatkan adanya hubungan pemberian transfusi yang
terlalu dini dengan kejadian perdarahan intraventrikuler derajat 3 atau 4.
Risiko lainnya adalah adanya hubungan pemberian transfusi lambat (lebih
dari 48 jam) dengan kejadian NEC. Mekanisme yang berperan meliputi
kadar hematokrit pada kantung darah, mekanisme imunologik dan gangguan
mekanik pada kantung darah. Hingga saat ini masih dalam penelitian mengenai
pemberian transfusi pada bayi prematur yang dihubungkan dengan luaran
neurologis Penelitian yang masih berlangsung contohnya ETTNO (the effects
of transfusion thresholds on neurocognitive outcome of extremely low birth-weight
infants study) dan TOP (transfusion on premature trial).1

Eritropoietin, dapopoietin
Alternatif lain yang banyak dibicarakan adalah pemberian EPO pada neonatus
dengan anemia. Mekanisme yang diharapkan adalah pemberian EPO secara
dini akan mengaktivasi eritropoiesis sehingga kebutuhan transfusi menjadi
berkurang. Dapopoietin merupakan eritropoeitin jangka panjang sehingga
makin mengurangi kebutuhan pemberian eritropoeitin.1 Rekombinan EPO
manusia (rHuEPO) dosis 75-300 unit/kg/minggu subkutan selama 4 minggu
mulai usia 3-4 minggu akan meningkatkan retikulosit dan hemoglobin. Hal
ini membutuhkan waktu 2 minggu untuk meningkatkan hemoglobin secara
bermakna. Keadaan ini membuat kebutuhan transfusi berkurang yang lebih
terlihat pada bayi < 1000 g. Walaupun demikian konsensus ini masih jadi
perdebatan.2
Hingga saat ini belum ada bukti yang cukup kuat bahwa eritropoietin
mempunyai indikasi dalam terapi anemia of prematurity, baik EPO yang
diberikan secara dini (sebelum usia 8 hari) atau lambat (setelah 8 hari).
Pemberian EPO secara dini akan menurunkan kebutuhan transfusi, volume
darah transfusi dan jumlah donor sehingga mengurangi paparan terhadap donor,
tetapi pengurangan ini sangat terbatas secara klinis dan terdapat peningkatan
ROP. EPO juga tidak menurunkan mortalitas, perdarahan intraventrikular
dan NEC. Dengan demikian, Cochrane tidak menganjurkan pemberian EPO
secara rutin.10 Penelitian Ohls dkk memperlihatkan pemberian EPO secara
dini memperlihatkan perbaikan luaran neurocognitive jangka panjang (18-22

45
Anemia pada neonatus: fisiologis atau patologis?

bulan). Masih perlu penelitian lanjutan mengenai keuntungan dan kerugian


pemberian EPO secara dini.11
Pemberian EPO secara lambat juga mengurangi kebutuhan transfusi,
jumlah transfusi (< 1 transfusi per bayi), tetapi tidak mengurangi jumlah total
volume (mL/kg). Pemberian lambat ini tidak mengurangi secara bermakna
luaran klinis kecuali terlihat tren peningkatan risiko ROP, sehingga hal ini
tidak dianjurkan.12

Suportif lain
Delayed cord clamping selama 30-60 detik pada bayi yang tidak membutuhkan
resusitasi akan mengurangi beratnya anemia of prematurity. Suplementasi besi
oral atau intravena dosis minimal 2 mg/kg/hari diberikan untuk mencegah
defisiensi besi. Perlu diperhatikan asupan asam folat, vitamin E dan protein
untuk menunjang eritropoiesis. Membatasi kehilangan darah akibat flebotomi
sangat penting diperhatikan.2

Simpulan
Anemia fisiologis pada neonatus merupakan akibat proses adaptasi terhadap
lingkungannya dengan karakteristik tertentu pada bayi matur dan prematur.
Anemia patologis dikategorikan sebagai kehilangan darah, menurunnya
produksi, dan meningkatnya destruksi (hemolisis). Panduan transfusi perlu
mempertimbangkan berbagai faktor termasuk klinis dan kebutuhan fisiologis
bayi.

Daftar pustaka
1. Colombatti R, Sainati L, Trevisanuto D. Anemia and transfusion in the neonate.
Seminars in Fetal & Neonatal Medicine. 2016;21:2-9.
2. Lanzkowsky P. Anemia during the neonatal period. Dalam: Lanzkowsky’s Manual
of Pediatric Hematology and Oncology. Lanzkowsky P, Lipton JM, Fish JD,
penyunting. Edisi ke-6. New York 2016. Academic Press. San Diego. h. 65-6.
3. Kett JC. Anemia in infancy. Pediatrics in Review. 2012;33:186-7.
4. dos Santos AMN, Guinsburg R, de Almeida MFB, Procianoy RS, Marba STM,
Ferri WAG, dkk. Factors associated with red blood cell transfusions in very-
low-birth-weight preterm infants in Brazilian neonatal units. BMC Pediatrics.
2015;15:113.
5. dos Santos AMN, Trindade CEP. Red blood cell transfusions in the neonate.
NeoReviews. 2011;12:e13-9.

46
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

6. Ramasethu J, Luban NLC. Transfusion practices. Dalam: Neoatal Hematology.


de Alarcόn P, Werner E. Penyunting. New York 2005. Cambrige University Press.
h. 364.
7. Canadian Paediatric Society. Red blood cell transfusions in newborn infants:
Revised guidelines. Paediatr Child Health 2002;7(8):553-8.
8. Girelli G, Antoncecchi S, Casadei AM, Vecchio AD, Isernia P, Motta M, dkk.
Recommendations for transfusion therapy in neonatology. Blood Transfus.
2015;13:284-97.
9. Ibrahim M, Ho SKY, Yeo CL. Restrictive versus liberal red blood cell transfusion
thresholds in very low birth weight infants: a systematic review and meta-analysis.
J Paediatr Child Health. 2014;50:122-30.
10. Ohlsson A, Aher SM. Early erythropoietin for preventing red blood cell
transfusion in preterm and/or low birth weight infants. Cochrane Database Syst
Rev 2014;(4):CD004863.
11. Ohls RK, Kamath-Rayne BD, Christensen RD, Wiedmeier SE, Rosenberg A,
Fuller J, dkk. Cognitive outcomes of preterm infants randomized to darbepoetin,
erythropoietin, or placebo. Pediatrics 2014;133:1023-30.
12. Aher SM, Ohlsson A. Late erythropoietin for preventing red blood cell
transfusion in preterm and/or low birth weight infants. Cochrane Database Syst
Rev 2014;(4):CD004868.

47
Hipertensi pada Bayi Baru Lahir
Partini Pudjiastuti Trihono

Tujuan:
1. Memahami definisi hipertensi pada bayi baru lahir
2. Memahami faktor risiko pra-natal dan pasca-natal
3. Memahami pendekatan diagnosis dan tata laksana hipertensi pada
bayi baru lahir

Hipertensi sebagai sebuah masalah klinis pada bayi baru lahir pertama kali
dikenal pada tahun 1978.1 Pemeriksaan tekanan darah masih belum merupakan
bagian dari pemeriksaan fisis rutin pada bayi baru lahir, hal ini berkaitan
dengan alat yang tidak selalu tersedia, dan belum terdapat standar baku di
unit neonatologi. Para klinisi lebih sering mengukur tekanan darah bayi baru
lahir untuk mencari tahu apakah terdapat hipotensi pada neonatus, jarang
sekali yang ditujukan untuk mengidentifikasi hipertensi. Insidens hipertensi
pada neonatus berkisar 0,2-3%,2 angka ini meningkat pada neonatus yang
dirawat di unit perawatan intensif neonatal (NICU), bayi prematur, dan
bayi dengan kelainan ginjal dan saluran kemih, displasia bronkopulmoner
(bronchopulmonary dysplasia/BPD), perdarahan intraventrikular, kateterisasi
arteri umbilikalis, atau duktus arteriosus persisten, menjadi sekitar 5-20%.3
Hipertensi pada bayi baru lahir memberikan risiko morbiditas akibat
kerusakan organ target, seperti ensefalopati hipertensif, retinopati, hipertrofi
ventrikel kiri, kardiomiopati, dan mortalitas yang lebih tinggi. Hipertensi
yang menetap selama masa bayi dan anak akan menyebabkan penyakit
kardiovaskular, penyakit ginjal kronik, dan stroke pada dewasa. 3 Risiko
hipertensi pada neonatus yang menetap selama masa bayi dan anak lebih besar
pada bayi prematur dan bayi berat lahir rendah.4
Fakta yang menunjukkan bahwa pengukuran tekanan darah pada
bayi baru lahir belum dilakukan secara rutin mengakibatkan kondisi ini
underdiagnosis, sehingga diperlukan kewaspadaan akan kondisi ini dengan
mengenali faktor risiko perinatal maupun pascanatal.

48
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

Tekanan darah pada bayi baru lahir


Pada bayi cukup bulan, tekanan darah pada hari pertama berkorelasi dengan
masa gestasi. Tekanan darah pada hari kedua lebih tinggi daripada nilainya
pada hari pertama, dan menetap pada hari-hari berikutnya. Tekanan darah
sistolik meningkat 1-2 mmHg per hari selama minggu pertama kehidupan dan
1-2 mmHg per minggu selama 6 minggu berikutnya.4 Bayi cukup bulan yang
beratnya kecil untuk masa kehamilan (small for gestational age) menunjukkan
tekanan darah yang paling rendah saat lahir, namun meningkat cepat sehingga
pada usia 1 bulan sama nilainya dengan semua bayi cukup bulan.5
Tekanan darah bayi prematur pada hari pertama kehidupan berkorelasi
dengan berat lahir dan masa gestasi. Setelah melewati hari pertama kehidupan,
peningkatan tekanan darah pada bayi prematur berlangsung lebih cepat
sampai usia 2 minggu kemudian kecepatan penambahan tekanan darah
setelah usia 2 minggu melambat. Seiring dengan maturitas bayi prematur
tersebut, maka faktor yang paling mempengaruhi tekanan darah adalah usia
pasca-konsepsi. Bayi berat lahir rendah mempunyai tekanan darah yang lebih
rendah dibandingkan dengan bayi cukup bulan, namun perbedaan ini tidak
ada lagi pada usia 16 minggu usia kronologis.6

Pengukuran tekanan darah pada neonatus


Tekanan darah pada bayi baru lahir dipengaruhi oleh berat lahir, usia gestasi
dan usia pasca-konsepsi (post conceptual age), serta aktivitas bayi tersebut.
Tekanan darah meningkat ketika bayi sedang menangis, pemberian minum,
nyeri, atau agitasi. Pengukuran tekanan darah sebaiknya dilakukan ketika
bayi sedang tidur, dengan menggunakan ukuran manset (cuff) yang sesuai
dan dilakukan dengan metoda auskultasi.7 Pemeriksaan noninvasif dengan
menggunakan metoda osilometri otomatik saat ini lebih banyak digunakan
dan cukup reliable, yang harus diperhatikan adalah menggunakan manset
yang sesuai dan dilakukan dalam suasana yang tidak stres. Panjang manset
haruslah sekurang kurangnya 80% panjang lengan atas bayi (jarak acromion
ke olecranon), sedang lebar manset setidaknya 60% dari ukuran lingkar lengan
atas bayi tersebut.4,8 Pada neonatus dengan sakit berat, monitor tekanan darah
dilakukan secara langsung melalui kateter arteri yang dipasang pada arteri
radialis atau arteri umbilikalis.7
Untuk mendapatkan hasil pengukuran tekanan darah yang sahih,
Nwankwo dkk. menggunakan protokol standar pengukuran tekanan darah
menggunakan alat osilometri, sebagai berikut: pembacaan tekanan darah
dilakukan 1,5 jam setelah bayi diberi minum untuk intervensi/prosedur medik
dan 15 menit setelah pemasangan manset, pada lengan kanan, posisi bayi

49
Hipertensi pada bayi baru lahir

Tabel 1. Tekanan darah bayi baru lahir (setelah usia 2 minggu) berdasarkan masa gestasi.2,3
Usia gestasi (minggu) Persentil tekanan Tekanan sistolik Tekanan diastolik Mean arterial pres-
darah (mmHg) (mmHg) sure (mmHg)
26-28 50 55 – 60 30 – 38 38 – 45
95 72 – 75 50 – 50 57 – 58
99 77 – 80 54 – 56 63 – 63
30-32 50 65 – 68 40 – 40 48 – 48
95 80 – 83 55 – 55 63 – 64
99 85 – 88 60 – 60 68 – 69
34-36 50 70 – 72 40 – 50 50 – 57
95 85 – 87 55 – 65 65 – 72
99 90 – 92 60 – 70 70 – 71
38-40 50 77 – 80 50 – 50 59 – 60
95 92 – 95 65 – 65 74 – 75
99 97 – 100 70 – 70 79 – 80
42-44 50 85 – 88 50 – 50 62 – 63
95 98 – 105 65 – 68 76 – 80
99 102 – 110 70 – 73 81 – 85

Tabel 2. Rerata (95% interval kepercayaan) tekanan darah pada neonatus menurut berat lahir.7
Berat lahir (g) Tekanan sistolik (mmHg) Tekanan diastolik (mmHg)
750 40 (25-60) 30 (15-45)
1000 45 (30-65) 30 (15-45)
1250 50 (30-70) 30 (15-45)
1500 50 (35-70) 35 (15-45)
1750 50 (35-70) 35 (15-50)
2000 55 (40-75) 35 (15-50)
2250 58 (40-75) 35 (20-50)
2500 60 (45-76) 40 (20-55)
2750 60 (45-80) 40 (20-55)
3000 65 (45-80) 40 (25-55)
3250 65 (50-80) 45 (25-55)
3500 70 (50-85) 45 (25-60)
3750 75 (55-85) 45 (30-60)
4000 75 (55-90) 45 (30-60)

dapat telentang atau tengkurap, ditunggu sampai bayi tenang atau tertidur.
Pengukuran tekanan darah dilakukan 3 kali dengan interval 2 menit.9
Untuk neonatus cukup bulan dan bayi usia 1 sampai 12 bulan, hipertensi
didefinisikan sebagai tekanan darah yang pada pengukuran beberapa kali tetap
berada sama atau di atas persentil 95.10 Sampai saat ini belum ada kesepakatan
mengenai batasan hipertensi pada bayi prematur, namun berdasarkan
pemikiran deduksi maka ditetapkan seperti batasan hipertensi pada bayi
cukup bulan. Pada Tabel 1. dapat dilihat sebaran tekanan darah bayi baru
lahir berdasarkan masa gestasi.2
Pada neonatus dengan tekanan darah yang sama atau melebihi persentil
99 perlu dilakukan pemeriksaan yang komprehensif untuk mencari etiologi
dan memulai pemberian obat antihipertensi.2

50
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

Batasan tekanan darah neonatus dapat pula menggunakan berat lahir, dan
dinyatakan hipertensi bila tekanan darah melebihi 95% interval kepercayaan
untuk bayi baru lahir dengan ukuran berat badan tertentu,7 seperti tampak
pada Tabel 2.

Etiologi hipertensi pada neonatus


Penyebab hipertensi pada neonatus sangat banyak, kelainan renovaskular dan
penyakit parencim ginjal merupakan penyebab tersering,2,7 seperti terlihat pada
Tabel 3. Komplikasi dari kateterisasi umbilikalis yang menimbulkan trombus
pada aorta atau arteri renalis merupakan penyebab yang sering ditemukan.
Pembentukan trombus ini dikaitkan dengan disrupsi endotel vaskular saat
kateterisasi dilakukan, makin lama kateterisasi maka makin tinggi risiko
pembentukan trombus, baik pada arteri renalis, aorta, atau keduanya. Penyebab
renovaskular yang juga sering ditemukan adalah stenosis arteri renalis yang
disebabkan oleh displasia fibromuskular.2

Tabel 3. Etiologi hipertensi pada neonatus.2,7

Renovascular Medication and intoxications


▪ Tromboembolisme Bayi: Ibu:
▪ Stenosis arteri renalis ▪ Deksametason - Kokain
▪ Mid-aortic coarctation ▪ Adrenergic agents - Heroin
▪ Trombosis vena renalis ▪ Intoksikasi vitamin D
▪ Kompresi arteri renalis ▪ Teofilin
▪ Idiopathic arterial calcification ▪ Kafein
▪ Sindrom rubella kongenital ▪ Pankuronium
▪ Fenilefrin
Penyakit parenkim ginjal KeganasanTumor Wilms
• Kongenital ▪ Nefroma mesoblastik Neuroblastoma
• Polycystic kidney disease ▪ Feokromositoma
• Multicystic-dysplastic kidney disease
• Tuberus sklerosis
• Ureteropelvic junction obstruction
• Hipoplasia renal unilateral
• sindrom nefrotik kongenital NeurologiNyeri
• Disgenesis tubular renal ▪ Hipertensi intrakranial Kejang
• Didapat (Acquired) ▪ Familial dysautonomia
▪ Nekrosis tubular akut Nekrosis kortikal ▪ Hematoma subdural
▪ Nefritis Iinterstitial Sindrom hemolitik-
uremik Obstruksi (batu, tumor)
ParuDisplasia bronkopulmonar Pneumotoraks LainnyaNutrisi parenteral total Closure of
abdominal wall defect
JantungThoracic aortic coarctation ▪ Adrenal hemorrhage
▪ Hiperkalsemia
EndokrinHiperplasia adrenal kongenital Hyperal- ▪ Traction
dosteronisme ▪ Extracorporeal membrane oxygenation
▪ Hipertroidisme ▪ Asfiksia
▪ Pseudohipoaldosteronism tipe II

51
Hipertensi pada bayi baru lahir

Penyakit parenkim ginal seperti autosomal dominant dan autosomal recessive


polycystic kidney disease (PKD) dapat bermanifestasi sebagai nefromegali dan
hipertensi. Hipertensi dapat pula ditemukan pada bayi dengan ginjal multikistik
displastik unilateral, hal ini dikaitkan dengan kemungkinan kelainan urologi
lain yang sering menyertainya, seperti pembentukan jaringan sklerotik di ginjal.
Obstruksi renal, misalnya obstruksi kongenital pada hubungan ureteropelvis,
dapat disertai dengan hipertensi, yang dapat menetap walaupun telah
dilakukan operasi koreksi. Karenanya sangat dianjurkan untuk mengukur
tekanan darah pada neonatus dengan obstruksi renal.7

Manifestasi klinis dan pemeriksaan penunjang


Sebagian besar hipertensi pada neonatus tidak memberikan gejala klinis,
melainkan terdeteksi pada saat pemantauan rutin. Neonatus dengan hipertensi
berat dapat memberikan gejala klinis berupa gagal jantung kongestif, syok
kardiogenik, kesulitan minum, takipnea, apnea, letargi, iritabel, atau kejang.2,7
Untuk mencari etiologi hipertensi diperlukan anamnesis dan pemeriksaan
fisis yang cermat. Pada anamnesis dikumpulkan data mengenai paparan
pranatal, perjalanan klinis bayi dan kondisi-kondisi yang menyertainya,
termasuk riwayat kateterisasi arteri umbilikalis dan pemakaian obat-obatan
yang dapat meningkatkan tekanan darah. Beberapa faktor risiko perinatal
lain yang dikaitkan dengan terjadinya hipertensi pada neonatus, antara lain
pemakaian steroid antenatal, maternal hipertensi, gagal ginjal akut, duktus
arteriosus persisten, penggunaan indometasin, penyakit paru kronik, dan bayi
small for gestational age.8
Pemeriksaan fisis difokuskan untuk mempersempit diagnosis banding
etiologi hipertensi. Tekanan darah perlu diukur pada ke-empat ekstremitas
untuk menyingkirkan koartasio aorta. Penampakan umum yang mengarah

Tabel 4. Pemeriksaan penunjang pada hipertensi neonatal.2


Pemeriksaan rutin Pemeriksaan atas indikasi
Urinalisis (dapat disertai kultur urin) Pemeriksaan hormon tiroid
Darah perifer lengkap Kadar VMA dan HVA urin
Kadar elektrolit PRA (plasma renin activity)
Ureum dan kreatinin Kadar aldosteron
Kalsium darah Kadar kortisol
Foto rontgen toraks Ekokardiografi
Ultrasonografi ginjal dengan Doppler Ultrasonografi abdomen dan pelvis
VCUG (voiding cysto-uretrography)
Aortografi
Renal angiography
Nuclear scan (DTPA atau MAG3)

52
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

kepada gambaran dismorfik dapat memberikan petunjuk menuju diagnosis


tertentu, misalnya hiperplasia adrenal kongenital. Teraba massa di daerah
abdomen mengarah ke diagnosis obstruksi renal, sedangkan bruit yang
terdengar di daerah epigastrium menunjukkan adanya stenosis arteri renalis.2,7
Diagnosis etiologi hipertensi pada neonatus biasanya sudah dapat
ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisis, sehingga umumnya
tidak diperlukan banyak pemeriksaan penunjang. Tabel 4. menunjukkan
pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan pada neonatus dengan hipertensi.

Tata laksana
Tata laksana hipertensi pada neonatus dimulai dengan menghentikan penyebab
iatrogenik, seperti pemberian inotropik, deksametason, atau steroid lain,
mengatasi hiperkalsemia, overload cairan, ataupun nyeri. Hipoksemia pada bayi
dengan penyakit paru kronik perlu diatasi terlebih dahulu, demikian pula terapi
sulih hormon pada kelainan endokrin. Pada hipertensi berat dengan manifestasi
klinis yang nyata, seperti gagal jantung atau kejang, terapi antihipertensi perlu
segera diberikan.11
Tekanan darah yang menetap di atas persentil 99 merupakan indikasi
untuk memberikan antihipertensi. Obat antihipertensi oral dapat diberikan
bila tekanan darah tidak terlalu tinggi atau pada neonatus dengan tekanan
darah yang sangat tinggi yang telah terkontrol dengan pemberian antihipertensi
intravena. Jenis dan dosis obat antihipertensi untuk neonatus dapat dilihat
pada Tabel 5. Biasanya dimulai dengan pemberian calcium channel blocker,
seperti isradipine atau amlodipine. Pemakaian β blocker harus dihindari pada
bayi dengan penyakit paru kronik.
Golongan ACE-inhibitor dan angiotensin receptor blocker hanya boleh
diberikan pada bayi dengan usia pasca-konsepsi >44 minggu, karena obat ini
dapat memengaruhi pertumbuhan ginjal.11
Pada neonatus dengan hipertensi yang sementara tidak dapat diberikan
terapi oral, misalnya pada kasus NEC (necrotizing enterocolitis) dapat diberikan
antihipertensi intravena secara intermiten, dengan menggunakan hydralazine
atau labetalol; sedang neonatus dengan hipertensi berat yang membutuhkan
terapi antihipertensi intravena berkesinambungan, dapat diberikan infus
nikardipin, atau infus obat esmolol, labetalol, dan nitroprusside.11 Monitor
ketat perlu dilakukan pada pemberian infus antihipertensi, terutama pada
bayi prematur, karena penurunan tekanan darah yang terlalu cepat dapat
menimbulkan iskemia dan perdarahan serebral.
Tindakan bedah diperlukan pada obstruksi renal, stenosis arteri renalis,
ataupun koartasio aorta. Pengangkatan tumor ginjal dilakukan pada tumor

53
Tabel 5. Jenis dan dosis obat antihipertensi pada neonatus.11 
Hipertensi pada bayi baru lahir

54
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

Wilms dan neuroblastoma setelah diberikan kemoterapi. Nefrektomi dapat


dilakukan pada neonatus dengan trombosis pembuluh renal, atau hipertensi
yang disebabkan oleh ginjal multikistik displastik ataupun PKD.2,7,11

Prognosis
Luaran jangka panjang hipertensi pada neonatus umumnya cukup baik.4,7
Hipertensi yang dikaitkan dengan kateterisasi umbilikalis dapat menghilang
dalam beberapa bulan. Hipertensi yang disebabkan oleh trombosis vena renalis
atau penyakit parencim ginjal umumnya akan menetap.7,11
Bayi prematur mempunyai risiko mengalami hipertensi yang menetap
karena perkembangan ginjal yang normalnya berlangsung sampai trimester
ketiga kehamilan mengalami disrupsi. Proses nefrogenesis belum berhenti pada
kehamilan 32-36 minggu, bahkan terus berlanjut sampai masa pascanatal.
Interupsi pada proses nefrogenesis ini akan mengurangi jumlah nefron, sehingga
bayi prematur sangat rentan mengalami gangguan ginjal akut (acute kidney
injury) yang diakibatkan oleh hipertensi, hipoksemia, dan zat nefrotoksin.
Jumlah nefron yang berkurang pada prematur juga merupakan risiko untuk
menjadi hipertensi pada remaja dan dewasa.11

Simpulan
Tekanan darah pada neonatus tergantung pada beberapa faktor, seperti usia
gestasi, usia kronologis/pascakonsepsi, dan berat lahir. Hipertensi pada bayi baru
lahir dapat ditemukan pada berbagai situasi klinis di ruang NICU, terutama
pada bayi yang menjalani kateterisasi umbilikalis. Evaluasi diagnostik yang
komprehensif diperlukan untuk menentukan penyakit yang mendasari hipertensi
tersebut. Pemberian antihipertensi oral atau intravena disesuaikan dengan derajat
hipertensi dan kondisi klinis setiap bayi. Sebagian besar hipertensi pada neonatus
akan membaik dengan berjalannya waktu, kecuali pada sebagian kecil neonatus
yang hipertensi melanjut ke usia remaja dan dewasa.

Daftar pustaka
1. Adelman RD. Neonatal hypertension. Pediatr Clin North Am. 1978;25:99–110.
2. Flynn JT. Neonatal hypertension:diagnosis and management. Dalam: Oh W,
Guignard JP, Baumgart S, editor. Nephrology and fluid/electrolyte physiology:
neonatology questions and controversies. Edisi ke-2. Philadelphia: Elsevier,
2012. h.251-65.
3. Nickavar A, Assadi F. Managing hypertension in the newborn infants. Int J Prev
Med. 2014;5:S39–S43.

55
Hipertensi pada bayi baru lahir

4. Dionne JM, Abitbol CL, Flynn JT. Hypertension in infancy: diagnosis,


management and outcome. Pediatr Nephrol. 2012;27:17–32.
5. Lurbe E, Garcia-Vicent C, Torro I, Fayos JL, Aguilar F, de Llano JM, et al. First-
year blood pressure increase steepest in low birthweight newborns. J Hypertens.
2007;25:81-6.
6. Duncan AF, Heyne RJ, Morgan JS, Ahmad N, Rosenfeld CR. Elevated systolic
blood pressure in preterm very-low-birth-weight infants ≤3 years of life. Pediatr
Nephrol. 2011;26:1115–21.
7. Bagga A, Gulati A. Diseases of the newborn. Dalam: Bagga A, Srivastava RN,
editor. Pediatric nephrology. Edisi ke-5. New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publishers, 2011. h.494-524.
8. Seliem WA, Falk MC, Shadbolt B, Kent AL. Antenatal and postnatal risk factors
for neonatal hypertension and infant follow-up. Pediatr Nephrol. 2007;22:2081–7.
9. Nwankwo MU, Lorenz JM, Gardiner JC. A standard protocol for blood pressure
measurement in the newborn. Diunduh dari http://www.pediatrics.org/cgi/
content/full/99/6/e10. Diakses tanggal 5 Maret 2017.
10. Task Force on Blood Pressure Control in Children. Report of the Second Task
Force on Blood Pressure Control in Children – 1987. National Heart, Lung and
Blood Institute, National Institutes of Health, Bethesda, 1987.
11. Dionne JM, Flynn JT. Hypertension in the neonate. NeoReviews. 2012;13:e401-9.

56
Keselamatan Pasien pada Anak
Najib Advani

Tujuan:
1. Memahami pentingnya faktor keselamatan pasien terutama anak
dalam pelayanan medis baik rawat jalan maupun rawat inap
2. Memahami keselamatan pasien anak sebagai budaya dan dasar
pelayanan yang utama

Patient safety (Keselamatan Pasien, KP) merupakan inti dari pelayanan


kesehatan masa kini. Cedera akibat pelayanan medis yang dulu dianggap
tidak mungkin dihindari, sekarang dinyatakan dapat dicegah dan terbuka
untuk diselidiki. Secara umum dapat dikatakan bahwa KP adalah pelayanan
kesehatan yang bebas dari cedera. Untuk anak, keselamatan pasien berarti
mencegah cedera pada anak akibat pelayanan kesehatan.1 Sejak sekitar 15
tahun terakhir, kesadaran tentang pentingnya KP di dunia semakin meningkat
dan makin banyak penelitian yang dibuat di bidang ini. KP tidak hanya
ditujukan untuk melindungi pasien tetapi juga karyawan rumah sakit serta
pengunjung.
Safety atau keselamatan, merupakan suatu dimensi dari kualitas. Kualitas
adalah derajat pelayanan kesehatan untuk meningkatkan hasil pelayanan
yang konsisten dengan pengetahuan mutakhir.2 Kesalahan dalam pelayanan
kesehatan merupakan penyebab utama kematian dan cedera. Sekitar 3-4%
pasien dewasa mengalami bahaya akibat pelayanan kesehatan yang sejatinya
ditujukan untuk menolong mereka. Sekitar 7% terpapar kesalahan medis
serius yang berbahaya atau berpotensi membahayakan mereka.2

Pentingnya keselamatan pasien


WHO pada tahun 2014 mengemukakan 10 fakta tentang keselamatan pasien
serta alasan perlunya: 3
1. KP merupakan isu global kesehatan masyarakat yang serius
2. Satu dari 10 pasien di negara maju diperkirakan mengalami bahaya atau
cedera saat menerima pelayanan di rumah sakit.

57
Keselamatan pasien pada anak

3. Dari 100 pasien yang dirawat, 7 di negara maju dan 10 di negara


berkembang mengalami infeksi yang berhubungan dengan pelayanan
medis.
4. Mayoritas pasien terutama di negara berkembang, tidak memperoleh
pelayanan kesehatan dengan alat yang memadai.
5. Penyuntikan yang tidak aman berkurang 88% selama tahun 2000- 2010
6. Pembedahan yang aman membutuhkan kerja tim yang baik.
Terdapat sekitar 234 juta pembedahan di dunia saban tahun.
7. Sekitar 20-40% biaya terbuang percuma akibat kualitas pelayanan
kesehatan yang tidak benar.
8. Kualitas keselamatan pelayanan kesehatan masih memprihatinkan.
Dalam penerbangan, risiko terjadinya bahaya pada 1: 1.000.000 tetapi
pada pelayanan kesehatan 1: 300.
9. Pemberdayaan pasien serta komunitas merupakan hal yang penting.
Pengalaman serta perspektif masyarakat merupakan sumber yang berharga
untuk identifikasi kebutuhan, menilai kemajuan serta evaluasi hasil
pelayanan kesehatan
10. Kerja sama antar rumah sakit dapat memperbaiki KP dan kualitas
pelayanan medis

Keselamatan pasien pada anak


Berbeda dengan dewasa, belum banyak data epidemiologik tentang kesalahan
medis yang terjadi pada anak, meski potensi kesalahan medis untuk pasien
rawat inap anak cukup besar. Sebagian disebabkan oleh pasien anak yang
secara klinis unik dan sehingga cenderung untuk terjadi kesalahan. Risiko
unik ini adalah perubahan perkembangan, ketergantungan pada dewasa,
epidemiologi penyakit serta karakteristik demografik penyakit yang berbeda.
Perubahan perkembangan misalnya kerentanan neonatus terhadap infeksi
atau perubahan dosis berdasarkan berat badan yang mengikuti pertumbuhan
fisik. Ketergantungan anak paada dewasa membuat mereka rentan terhadap
kesalahan medikasi karena mereka tidak mengatur pengobatan sendiri atau
mengatakan keluhan sendiri dan juga tidak dapat mempertanyakan pengobatan
yang mereka terima. Perbedaan epidemiologi penyakit seperti penyakit anak
yang unik yang perlu pengananan keselamatan pasien yang berbeda dengan
dewasa, misalnya trauma lahir atau skrining kelainan metabolik. Anak juga
mempunyai karakteristik demografi sendiri dan lebih mungkin hidup dalam
kemiskinan dibanding segmen populasi yang lain.2

58
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

Potensi timbulnya kejadian yang tidak diharapkan akibat obat (adverse


drug events) 3 kali lebih banyak pada anak dibanding dewasa. Pengertian
potensi adalah kejadian yang tidak atau belum menimbulkan bahaya karena
sudah diketahui sebelumnya. Potensi bahaya kebanyakan terjadi pada tingkat
pemesanan obat dan mencakup dosis yang tidak tepat, obat anti infeksi
dan obat obat intravena. Pada rawat jalan, sekitar 13 % resep untuk anak
mempunyai potensi terjadinya kesalahan medis. Kesalahan ini lebih sering
pada bayi dan anak kecil, yang mendapatkan polifarmasi pada saat yang sama
dan obat analgetik/narkotik.2
Selain itu ada beberapa hal yang membuat KP pada anak berbeda dengan
dewasa
1. Risiko kesalahan medikasi anak lebih besar. Kesalahan penulisan,
peracikan serta pemberian obat merupakan hal utama kesalahan medis
pada anak yang sebenarnya dapat dicegah.4,5
2. Entri pemesanan obat dengan komputer yang didisain untuk dewasa
mempunyai efektivitas yang terbatas pada pasien anak.6
Usaha KP pada anak perlu dikaji lebih lanjut untuk menentukan strategi
terbaik untuk mengurangi bahaya yang dapat dicegah pada anak.1

Faktor faktor yang penting pada keselamatan pasien


Untuk membuat pelayanan lebih aman dibutuhkan identifikasi serta kontrol
terhadap hal hal yang dapat membahayakan pasien. Beberapa hal yang
dibutuhkan untuk KP yang baik adalah:2

1. Pendekatan sistem
Mayoritas kesalahan timbul akibat kesalahan intrinsik proses dalam pemberian
pelayanan dibanding individu sendiri. Untuk ini diperlukan sistem yang baik.
Dalam KP dikenal istilah Swiss cheese phenomenon, yaitu mayoritas kejadian
yang tidak diharapkan bukan terjadi akibat kesalahan tunggal, tetapi suatu
kegagalan multipel dari penghalang (barrier, biasanya kebijakan dan prosedur)
yang dibuat untuk melindungi pasien.7

2. Membangun budaya keselamatan pasien


Tantangan utama ke arah sistem kesehatan yang lebih aman adalah mengubah
budaya dari menyalahkan individu ke perbaikan sistem. Laporan kesalahan
harus dihargai dan ditindak secara rahasia dan mereka yang melaporkan
kesalahan harus dilindungi. Budaya untuk belajar ke arah pelayanan yang lebih
aman juga perlu ditingkatkan. Jika terjadi kesalahan, budaya KP bukanlah

59
Keselamatan pasien pada anak

unytuk menyalahkan individu tetapi lebih pada mencari mengapa ini terjadi
pada rantai sistem yang ada. Budaya keselamatan pasien tidak muncul spontan,
tetapi dibutuhkan waktu dan dilakukan secara konsisten. Suatu penelitian
mendapatkan bahwa karakteristik institusi dengan angka kecelakaan yang
rendah adalah:8
yy Program keselamatan pasien dengan komitmen pemimpin yang kuat
yy Pelatihan keselamatan pasien untuk semua pekerja
yy Pejabat senior sebagai petugas keselamatan pasien
yy Keselamatan pasien di promosikan melalui bimbingan dan reinforcement
dan bukan teguran

3. Komunikasi
Komunikasi yang baik antar individu atau tim penyelenggara pelayanan
kesehatan mutlak diperlukan. Petugas kesehatan harus yakin untuk serah
terima pelayanan pasien dan transfer informasi pasien. Komunikasi yang
buruk antar petugas kesehatan dapat membuka peluang terjadinya kesalahan
penanganan pasien. Kesalahan interpretasi medis sering terjadi.

3. Kerja tim dan gradasi otoritas


Pelayanan kesehatan mencakup suatu hierarki dari dokter yang berperan
sebagai pemimpin dengan otonomi yang luas. Gradasi otoritas kebawah dapat
mengakibatkan kegagalan komunikasi karena mungkin tim junior ragu untuk
angkat bicara dan senior enggan menerima umpan balik sehingga kesalahan
dapat terjadi. Seorang mahasiswa atau asisten perawat mungkin ragu untuk
bicara pada dokter yang bertugas tentang adanya potensi kesalahan. Pada
budaya KP, semua anggota tim dengan posisi otoritas yang berbeda harus
berinteraksi dengan baik dan punya hak yang setara untuk mengajukan
pendapat. Masalah lain adalah tim bisa berganti hari ke hari sesuai jadwal
kerja mereka sehingga budaya kerja tim yang baik sangat dibutuhkan.

4. Human factor enginering


Merupakan suatu disiplin yang berhubungan dengan disain alat dan
perlengkapan serta sistem yang mempertimbangkan kapabilitas, keterbatasan
serta karakteristik manusia. Mencakup pembuatan sarana yang ergonomik
dan penggunaan sesuai dengan human performance dan interaksi sistem.
Sebagai contoh, pemesanan obat secara komputer yang terbukti mengurangi
kesalahan medis. Pengetahuan tentang faktor manusia merupakan suatu bidang
multidisipliner yang mengkombinasikan ketrampilan psikolog, insinjur, disainer
industri, ahli statistik dll. Faktor manusia adalah karakteristik fisik dan kognitif
yang memengaruhi bagaimana seseorang berinterkasi dalam suatu sistem.9

60
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

5. Reliabilitas
Reliabilitas dalam pelayanan kesehatan adalah kapabilitas yang dapat diukur
dari sebuah proses, prosedur atau pelayanan kesehatan untuk melakukan fungsi
yang dituju pada waktu yang tertentu dalam situasi sehari hari. Suatu pelayanan
hendaknya dapat terukur dan dapat diulang dengan hasil yang konsisten.

IPSG (International Patient Safety Goal)


Dalam dunia internasional, secara umum untuk mencegah cedera atau bahaya
pada pasien, digunakan IPSG yang tdd:10

1. Identifikasi pasien dengan benar


Tujuan identifikasi agar setiap tenaga kesehatan memberikan pelayanan
kepada pasien yang benar
yy Gunakan minimal 2 identitas: nama lengkap dan tanggal lahir
yy Pasien diidentifikasi saat: pemberian obat, pemberian makan, pemberian
darah/produknya, pengambilan sampel darah/spesimen lain, prosedur/
tindakan operasi
yy Label identitas baku terdiri dari: nama lengkap, tanggal lahir, no rekam
medik, jenis kelamin.
yy Identifikasi pasien berisiko dengan penanda risiko: klip atau gelang
kuning untuk risiko jatuh, merah untuk alergi, ungu untuk DNR (do not
rescuscitate)

2. Tingkatkan komunikasi yang efektif


Komunikasi efektif terutama saat melaporkan
yy Pasien dengan kondisi kritis
yy Pemeriksaan penunjang dengan hasil kritis
yy Pasien yang perlu pengawasan khusus
yy Monitoring yang ketat
Komunikasi dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis. Saat komunikasi
lisan (misalnya instruksi melalui telpon) harus di tulis, baca dan konfirmasi.
Pesanan pemberian obat LASA ( look alike sound alike) harus dieja per huruf.
Obat look alike misalnya medrol 4 dengan medrol 16, sedangkan sound alike
misalnya losec dengan lasix. Instruksi pemberian obat epidural dan high alert
(misalnya elektrolit pekat) sedapat mungkin tidak secara lisan.

61
Keselamatan pasien pada anak

3. Tingkatkan keamanan obat high alert


Obat obat high alert seperti NaCl 3%, opiat dan narkotik, kemoterapi,
antikoagulan, insulin, dextrose 40%, dan LASA (look alike sound alike) harus
disimpan terpisah dan diberi stiker khusus.

4. Pastikan benar sisi, benar prosedur, benar pasien.


Eliminasi salah sisi, salah pasien dan salah prosedur
yy Penanda daerah yang akan dioperasi
yy Verifikasi sebelum tindakan/prosedur
yy Time out : dilakukan sebelum operasi / prosedur dimulai

5. Menurunkan risiko infeksi nosokomial


Untuk mencegah risiko infeksi sangat penting untuk mencuci tangan.
Lima momen untuk cuci tangan:
yy Sebelum kontak dengan pasien
yy Sebelum tindakan asepsis
yy Setelah kontak cairan tubuh pasien
yy Setelah kontak dengan pasien
yy Setelah kontak dengan lingkungan pasien

6. Menurunkan risiko pasien cedera karena jatuh


Semua pasien anak di bawah usia 12 tahun dan pasien perawatan intensif
dianggap berisiko jatuh. Untuk pasien anak usia 12-18 tahun perlu ditentukan
risiko jatuhnya (skala Humpy Dumpty).
Untuk bidang pediatri, sasaran pelayanan tanpa bahaya (harm-free) adalah:11
yy Tidak ada atau minimal nyeri dan distres.
yy Tanpa cedera jaringan: ekstravasasi, ulkus akibat tekanan.
yy Tanpa infeksi yang timbul di rumah sakit.
yy Tanpa cedera akibat obat dan cairan yang diberikan.
yy Deteksi dan penanganan dini komplikasi tindakan atau bedah.
yy Deteksi dan penanganan dini sepsis maupun infeksi lain yang mengancam
nyawa.
yy Deteksi dan penanganan dini perburukan kondisi anak di rumah sakit.
yy Deteksi dan penanganan dini untuk proteksi dari bahaya.
yy Jangan ada perawatan, pemeriksaan, prosedur maupun tatalaksana yang
tidak perlu.
yy Tanpa bahaya atau trauma psikologis serta memberikan pengalaman
positif.

62
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

Taksonomi keselamatan pasien


Jenis jenis insiden keselamatan pasien pada dewasa maupun anak pada dasarnya
tidak berbeda . Beberapa taksonomi insiden keselamatan pasien:10
1. KPC (kondisi potensial cedera)
Adalah kondisi atau situasi yang sangat berpotensi untuk menimbulkan
cedera tetapi belum terjadi insiden. Contoh: alat defibrilator di ruang
kateterisasi jantung ditemukan rusak saat pengecekan berkala
2. KNC (kejadian nyaris cedera)
Suatu insiden yang belum sempat terpapar ke pasien atau petugas. Contoh
transfusi darah yang hampir diberikan kepada pasien yang salah.
3. KTC (kejadian tidak cedera)
Insiden yang sudah terpapar ke pasien atau petugas tetapi tidak
menimbulkan cedera. Contoh: obat yang salah diberikan kepada pasien,
tetapi tidak terjadi cedera
4. KTD (kejadian tidak diharapkan)
Insiden yang mengakibatkan cedera pada pasien atau petugas. Contoh
transfusi diberikan pada pasien yang salah dan timbul reaksi.
5. Sentinel
Suatu kejadian yang tidak diantisipasi dan dapat mengakibatkan kematian
atau kehilangan fungsi permanen. Kejadian tersebut tidak berhubungan
dengan riwayat alamiah penyakit yang mendasari atau penyakit penyerta.
Kejadian sentinel membutuhkan investigasi dan respons segera. Contoh
obat yang diberikan salah dosis dan mengakibatkan kematian pasien
Tiap kesalahan yang terjadi baik yang menimbulkan cedera ataupun tidak,
harus dicatat dan dilaporkan guna perbaikan sistem. Jadi yang pertama dicari
bukanlah siapa yang melakukan tetapi mengapa kesalahan tersebut terjadi,
dengan demikian diharapkan tidak terulang lagi.

Penutup
Meskipun KP pada anak sudah berkembang lebih baik dibanding tahun tahun
sebelumnya, namun masih dibutuhkan kerja keras berkesinambungan yang
dapat dimulai dari diri kita sebagai dokter dalam menjalankan kaidah kaidah
KP dalam pelayanan kesehatan anak baik dalam rawat jalan dan rawat inap.
Pelayanan yang tidak mengikuti kaidah KP dapat membahayakan pasien serta
merugikan dokter terutama jika terjadi tuntutan. Dengan diterapkannya kaidah
kaidah keselamatan pasien diharapkan pelayanan dapat lebih berkualitas serta
lebih aman baik untuk pasien, dokter serta semua pihak yang terkait.

63
Keselamatan pasien pada anak

Daftar pustaka
1. Steering Committee on Quality Improvement and Management and Comittee
on Hospital Care. Principles of pediatric patient safety: reducing harm due to
medical care. Pediatrics 2011; 127:1199-1212.
2. Sachdeva RC. Quality and safety in healthcare for children. Dalam: Kliegman
RM, Stanton BF, Geme JW, Schor NF, editor. Nelson textbook of pediatrics; edisi
ke-20. Philadelphia: Elsevier, 2016:18-27.
3. WHO 10 facts on patient safety (updated June 2014, diunduh 3 Maret 2017)
Diunduh dari www.who.int/features/factfiles/patient_safety.
4. Kaushal R, Jaggi T, Walsh K, Fortescue EB, Bates DW. Pediatric medication errors:
what do we know? What gaps remain? Ambul Pediatr. 2004;4:73–81.
5. Kaushal R, Bates DW, Landrigan C, et al. Medication errors and adverse drug
events in pediatric inpatients. JAMA. 2001;285: 2114–20.
6. McPhillips HA, Stille CJ, SmithD, McPhillips HA, Stille CJ, SmithD, et
al. Potential medication dosing errors in outpatient pediatrics. J Pediatr.
2005;147:761–7
7. Reason J. Human Error. Cambridge:Cambridge University Press; 1990
8. Zohar D. Safety climate in industrial organizations: theoretical; and applied
implications. J.Appl Psychol.1980;65:96-192
9. Lee AY, Taghon T, McClead R, Crandall WQ, Davis T, Brilli RJ. Dalam: Allen
HD, Shaddy RE, Penny DJ, Feltes TF, Cotta F, penyunting. Moss and Adams’
Heart disease in infants, children, and adolescents; edisi ke-9.Philadelphia: Wolter
Kluwer, 2016:1781- 92.
10. Komite Mutu, Keselamatan, dan Kinerja RSCM. Petunjuk keselamatan pasien.
Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo. Jakarta. 2015.
11. Fitzsimons J, Vaughan D. Top 10 interventions in pediatric patient safety. Curr
Treat Options Peds 2015;1:275-85.

64
Etik dalam Pelayanan Kesehatan Anak
Sudung O. Pardede

Tujuan:
1. Mengingatkan kembali etik kedokteran
2. Meningkatkan pemahaman etik dalam praktik pelayanan kesehatan
anak

Dokter merupakan individu yang spesial. Orang datang ke dokter mencari


pertolongan akan kebutuhan mereka atau mengatasi kesulitan mereka, agar
bebas dari rasa sakit dan penderitaan dan menginginkan kesehatan atau kondisi
mereka kembali ke keadaan tubuh yang baik. Mereka mengijinkan dokter
menanyakan berbagai hal mengenai diri mereka termasuk hal yang sangat
pribadi, mengijinkan dokter melihat, menyentuh, meraba, menggerakkan, dan
memanipulasi termasuk melakukan tindakan pembedahan pada setiap bagian
dari tubuh, bahkan bagian yang sangat khusus pun. Berbagai upaya mereka
lakukan untuk mewujudkan pengharapan yang mereka inginkan, sehingga
pasien sangat berharap banyak dari seorang dokter.
Sesungguhnya merupakan kehormatan bagi dokter jika terlibat dalam
pelayanan kesehatan dalam hubungan antara dokter dan pasien, karena
terjalin hubungan yang unik atas dasar kepercayaan. Hubungan dokter-pasien
merupakan hubungan kesepakatan terapeutik antara dokter dan penderita
atau pasien yang dilakukan dalam suasana saling percaya mempercayai
serta senantiasa diliputi oleh emosi, harapan, dan kekhawatiran tentang
keadaan kehidupan pasien.1 Oleh sebab itu, dalam praktik kedokteran
termasuk pelayanan kesehatan anak, dokter harus menentukan sikap untuk
”menempatkan pasien di urutan pertama” sebagaimana tercantum dalam
Deklarasi Jenewa, ketika dokter menyatakan: ”Kesehatan pasien akan selalu
menjadi pertimbangan pertama saya.” Kode Etik Kedokteran Internasional
juga menyebutkan: ”Dokter harus memberikan kepada pasiennya loyalitas
penuh dan seluruh pengetahuan yang dimilikinya”.1
Anak bukan dewasa kecil, dan anak merupakan individu dengan
keunikan dan kekhususannya memerlukan perhatian berdasarkan norma dan
nilai khusus dalam pelayanan kesehatan. Anak mulai dari janin, neonatus,
bayi, usia toddler, usia prasekolah, usia sekolah, dan remaja memiliki berbagai

65
Etik dalam pelayanan kesehatan anak

kekhususan pada masing-masing kelompok usia sehingga tidak dapat disamakan


dengan dewasa, termasuk dalam memberikan pelayanan kesehatan.2,3,4 Dalam
hal pelayanan kesehatan anak, hubungan dokter-pasien menjadi lebih luas
karena tidak hanya merupakan hubungan antara dokter dengan pasien, tetapi
juga menyangkut hubungan dengan orangtua pasien atau orang lain yang ada
hubungan dengan sang anak (physician-patients-parents relationship).5 Dalam
hubungan dokter-pasien, keselamatan pasien menjadi tujuan utama, sehingga
pengambilan keputusan ketika melaksanakan pelayanan medis, yang menjadi
pertimbangan pertama adalah kepentingan terbaik untuk pasien, meskipun hal
ini sering menjadi dilemna pada pasien anak. Masalah ini akan lebih kompleks
lagi jika dikaitkan dengan aspek sosial, budaya, agama, peran keluarga, dan
otoritas orangtua.2,4,6,7

Etik
Istilah etik pertama kali disampaikan oleh seorang filosof Yunani yang bernama
Aristoteles (384–322 SM). Etik berasal dari bahasa Yunani yaitu kata “ethos”
yang berarti kehendak atau kebiasaan baik yang tetap. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, etik atau moral adalah ajaran tentang baik dan
buruk mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya. Menurut K.
Bertenes, etik adalah nilai atau norma yang menjadi pegangan bagi individu
dalam mengatur tingkah lakunya. Etik berarti ajaran baik dan buruk tentang
perbuatan dan tingkah laku (akhlak), yang membicarakan tingkah laku
manusia yang dilakukan dengan sadar yang dinilai dari sudur sudut baik atau
buruk.8
Etik profesi menyangkut hubungan manusia dengan sesamanya dalam
satu lingkup profesi serta bagaimana mereka harus menjalankan profesinya
dengan profesional agar diterima oleh masyarakat yang berhubungan dengan
profesi tersebut. Dengan etik profesi diharapkan kaum profesional dapat
bekerja sebaik mungkin, serta dapat mempertanggung jawabkan tugas yang
dilakukannya dari segi tuntutan pekerjaan. Profesional merupakan profesi yang
mengandalkan keterampilan atau keahlian khusus yang menuntut pengemban
profesi tersebut untuk terus memperbaharui keterampilannya sesuai dengan
perkembangan teknologi. Untuk menjadi seseorang yang profesional, seseorang
yang melakukan pekerjaan dituntut memiliki beberapa sikap seperti komitmen
yang tinggi, tanggung jawab, berfikir sistematis, menguasai materi, dan menjadi
bagian dari masyarakat profesional.7

66
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

Pelayanan kesehatan anak


Anak membutuhkan perlindungan khusus yang sebagian besar diperankan
orangtua, seperti asupan nutrisi, pencegahan, dan kebutuhan anak lainnya.9,10
Kemampuan anak yang masih terbatas membuat komunikasi dengan
anak berbeda dengan dewasa. Dokter perlu melakukan komunikasi sesuai
dengan tingkat perkembangan anak. Dokter perlu menghargai pendapat
maupun perilaku anak, dan memberikan kesempatan kepada anak untuk
mengungkapkan keluhannya. Keluhan anak tidak selalu dikeluarkan melalui
bahasa verbal, tetapi dapat juga diperlihatkan dengan sikap seperti menangis,
tidak bersedia mengikuti kehendak orangtua atau dokter, tidak mau buka
mulut atau berbicara, menunjukkan sikap tidak bersahabat, meronta, atau
memukul dan menendang. Oleh karena itu, dokter perlu menunjukkan sikap
bersahabat kepada anak dan bekerja sama dengan orangtua untuk mencari
penyebab sikap anak yang tidak kooperatif. Dalam melakukan pemeriksaan
fisik, dokter perlu punya kiat tersendiri menyikapi kondisi anak agar mau
diperiksa. Bila memungkinkan, hindari pemeriksaan yang dapat menimbulkan
rasa sakit atau membuat anak merasa takut.2,4,6,7,10
Meskipun anak sering tidak kooperatif, dituntut kemampuan dokter
untuk menggali informasi penting menegakkan diagnosis dan merencanakan
tata laksana. Pelayanan kesehatan pada anak sesungguhnya hampir sama
dengan pelayanan kesehatan pada dewasa, namun pada anak ada beberapa hal
yang berbeda dengan dewasa. Proses tumbuh kembang yang menjadi ciri khas
anak membuat jenis pelayanan yang spesifik pada anak. Anak yang sering tidak
bisa atau sulit disuruh melakukan sesuatu, tidak kooperatif, sering menangis,
atau tidak mau diperiksa serta kehidupan anak yang sangat tergantung pada
orangtua membuat pelayanan kesehatan berbeda baik anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Hal ini memerlukan perlakuan khusus untuk
menghadapi atau memeriksa anak yang berkaitan dengan etik, disiplin, dan
hukum. 2,4
Pelayanan kesehatan pada anak adalah upaya yang dilakukan oleh
tenaga medis terhadap pasien sebagai kelanjutan hubungan dokter-pasien
yang didasari pada kepercayaan dan etik. Pelayanan kesehatan meliputi upaya
promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan paliatif.1 Pelayanan kesehatan
untuk anak dapat berupa pelayan rawat jalan atau pelayanan rawat inap.
Pelayanan rawat jalan pediatrik (pediatric out patient) merupakan bagian dari
pelayanan kesehatan untuk pasien yang tidak memerlukan rawat inap atau
karena alasan tertentu tidak memungkinkan untuk rawat inap. Layanan rawat
inap diperuntuk untuk pasien yang memerlukan rawat inap, baik karena kondisi
pasien, maupun karena rencana tata laksana, atau karena indikasi tertentu.
Pelayanan rawat inap sebagian besar berupa upaya diagnostik, terapeutik,
paliatif, kemudian diikuti upaya rehabilitatif, promotif, dan preventif.

67
Etik dalam pelayanan kesehatan anak

Pelayanan kesehatan termasuk kesehatan anak terkait degan


aspek etik, disiplin, dan hukum. Dengan demikian, dalam pelayanan
kesehatan anak, perlu diperhatikan prinsip umum etik, yaitu benefi-
cence, non maleficence, autonomy, dan justice. Beneficence (berbuat baik:
a practitioner should act in the best interest of the patient), non-maleficence
(tidak merugikan, ridak memperburuk keadaan pasien, “first, do no harm,
autonomy (otonomi, menghormati pasien untuk menentukan pilihan:
the patient has the right to refuse or choose their treatment), dan justice (adil,
tidak diskriminatif: concerns the distribution of scarce health resources, and
the decision of who gets what treatment (fairness and equality).2,4,11,12

Etik pada pelayanan kesehatan anak


Di dalam UU nomor 20 tahun 2013 tentang pendidikan kedokteran pasal 4
disebutkan bahwa pendidikan kedokteran bertujuan menghasilkan dokter yang
berbudi luhur, bermartabat, bermutu, berkompeten, berbudaya menolong,
beretika, berdedikasi tinggi, profesional, berorientasi pada keselamatan
pasien, bertanggung jawab, bermoral, humanistis, sesuai dengan kebutuhan
masyarakat, mampu beradaptasi dengan lingkungan sosial, dan berjiwa sosial
tinggi.13 Dalam mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)
disebutkan bahwa sifat mendasar yang melekat pada diri dokter adalah baik
dan bijaksana, sifat ketuhanan, kemurnian niat, keluhuran budi, kerendahan
hati, kesungguhan kerja, integritas ilmiah dan sosial, serta kesejawatan.1 Hal
ini menggambarkan bahwa dalam menjalankan praktik kedokteran, dokter
harus menjunjung tinggi etik dan bekerja dengan memperhatikan etik, dan
berorientasi pada keselamatan pasien.
Dalam hubungan dokter-pasien, pada pelayan kesehatan anak, maka
hubungan ini lebih sering merupakan interaksi antara dokter dengan orangtua
atau keluarga pasien, seperti dalam malakukan anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan penunjang, terapi, dan memutuskan tata laksana atau
pemeriksaan atau tindakan terhadap anak. Keputusan persetujuan umumnya
ditentukan oleh orangtua atau keluarga, walaupun dalam keadaan tertentu
harus mempertimbangkan pendapat anak terutama pada anak remaja.6,7
Banyak pasien yang tidak mampu mengambil keputusan untuk mereka
sendiri antara lain karena masih usia anak. Mereka memerlukan pengambil
keputusan pengganti, yang sering memunculkan masalah etis mengenai siapa
yang berhak mengambil keputusan. Dahulu, ketika era paternalisme berlaku,
dokter dianggap sebagai pengambil keputusan yang tepat bagi pasien yang tidak
kompeten. Namun, secara gradual, dokter mulai kehilangan kewenangannya
dalam mengambil keputusan untuk tindakan medik, sehingga keputusan tidak

68
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

lagi ditentukan oleh dokter. Untuk anak, seyogyanya pengambil keputusan


pengganti adalah orangtua.5,10 Namun hal ini pun tidaklah mudah dan sering
menjadi masalah, misalnya pada keadaan orangtua sudah bercerai dan anak
diasuh bukan oleh keluarga.2
Pada penelitian di Brazil tentang masalah etik pada anak, didapatkan
210 masalah etik yang dikelompokkan ke dalam 5 kelompok yakni masalah
hubungan dokter-pasien sebanyak 29,0%, end-life care 26,2%, health professional
conducts 23,8%, masalah sosio-ekonomi dan kebijakan kesehatan masyarakat
14,8%, serta proses edukasi pediatrik 6,2%. Masalah hubungan dokter-pasien
antara lain kerahasiaan, menghadapi orangtua ketika menyampaikan kabar
yang tidak baik, ketidak setujuan orangtua terhadap diagnosis oleh dokter
sebelumnya, penegakan diagnosis, kesulitan komunikasi dengan orangtua,
reaksi yang tidak diharapkan dari keluarga anak, konflik otonomi orangtua
dan remaja. Masalah end-life care meliputi memutuskan menghentikan atau
meneruskan terapi penunjang, nutrisi, atau resusitasi; menerima pendapat
sejawat untuk perawatan di ruang rawat intensif, diagnosis brain death,
menerima usulan sejawat untuk memberikan terapi. Masalah penyelenggaraan
health professional antara lain ketidak setujuan dengan sejawat terhadap indikasi
prosedur, ketidak setujuan terhadap sikap sejawat lain, ketidak setujuan
terhadap hubungan dokter-pasien yang kurang sesuai. Masalah sosio-ekonomi
dan kebijakan kesehatan masyarakat antara lain mengambil keputusan pada
saat tidak tersedia tempat tidur untuk pasien yang mengancam jiwa atau
pasca operasi, kesulitan untuk merujuk pasien, mengambil keputusan pada
keadaan ketidakadaan peralatan. Masalah dalam proses edukasi pediatrik
antara lain perilaku mahasiswa kedokteran dan residen, masalah dalam
hubungan dokter sebagai dosen atau supervisor, diskusi tentang pasien di
koridor. Beberapa masalah etik tersebut berkaitan dengan tempat layanan
kesehatan.14 Untuk memperoleh interaksi dokter-pasien-orangtua yang
ideal, American Academic of Pediatrics (AAP) telah menetapkan 8 komponen
profesionalisme di lingkungan dokter anak, 6 komponen berhubungan dengan
sikap (attitude) yaitu honesty dan integrity, reliability dan responsibility, respect for
others, compassion dan empathy, communication dan collaboration, serta altruism
dan defense; serta 2 komponen berhubungan dengan keterampilan dokter yaitu
self-improvement dan self-awareness serta keterbatas pengetahuan. Komponen
ini perlu diterapkan melalui edukasi terus menerus setelah lulus jadi dokter.15

Kewajiban umum
Dalam menjalankan profesi untuk melaksanakan pelayanan kesehatan pada
anak, seorang dokter atau tenaga medis hendaknya memegang teguh etik
profesi, yang meliputi etik secara umum, etik terhadap pasien, etik terhadap

69
Etik dalam pelayanan kesehatan anak

sejawat, maupun terhadap diri sendiri. Konsil Kedokteran Indonesia telah


mengeluarkan panduan bagi dokter untuk melaksanakan pelayanan kesehatan
yang dituangkan dalam Peraturan Konsil (Perkonsil) nomor 4 tahun 2011
yang terdiri atas 28 butir dan isinya berkaitan juga dengan etik. Beberapa
pelanggaran yang dicantumkan antara lain tidak merujuk pasien, tidak
melakukan tindakan memadai pada keadaan yang dapat membahayakan
pasien, melakukan pemeriksaan atau terapi yang tidak sesuai kebutuhan
pasien, tidak memberikan penjelasan adekuat (jujur, etis, memadai) dalam
melakukan praktik kedokteran, menjalankan praktik kedokteran dengan
menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang belum diterima, menolak
atau menghentikan tindakan atau asuhan medis tanpa alasan yang sah
dan layak, membuat keterangan yang tidak didasarkan pemeriksaan yang
benar, menerima imbalan sebagai hasil meresepkan obat/alat kesehatan atau
pemeriksaan atau merujuk pasien, dan mengiklankan kemampuan/pelayanann
yang dimiliki yang tidak benar atau menyesatkan.16
Sebagai panduan untuk melaksanakan pelayanan kesehatan pada anak,
dokter spesialis anak berpedoman pada KODEKI yang dikeluarkan oleh
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. Selain itu, pada tahun 2014 Ikatan
Dokter Anak Indonesia (IDAI) telah mengeluarkan buku Panduan Etik dan
Perilaku Profesi Dokter Spesialis Anak Indonesia dan buku Pedoman Praktik
Dokter Spesialis Anak.
Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada anak, setiap dokter
wajib memperhatikan hak anak baik sebagai pasien maupun sebagai anak,
maupun hak orangtua sebagaimana diatur dalam Undang-undang RI nomor
44 tahun 2009 tentang rumah sakit dan undang-undang RI nomor 23 tahun
2002 tentang perlindungan anak. Pasien termasuk anak mempunyai hak untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan aman.13,17 Pada tahun
2012, Joint Comission International telah menetapkan international patient safety
goals untuk mencegah keadaan yang dapat membahayakan pasien termasuk
kesehatan anak yakni: identifikasi pasien dengan benar, komunikasi efektif,
pengawasan penggunaan obat high alert, memperhatikan prosedur keselamatan
operasi dan tindakan medik lain dengan menjamin pasien benar, prosedur
benar, tindakan benar; mengurangi risiko infeksi, dan mengurangi risiko jatuh.18

Etik terhadap masyarakat


Setiap dokter wajib mempertahankan profesionalisme dalam menginformasikan
kualitas kompetensi dan kewenangan diri kepada profesi kesehatan atau
masyarakat, dan menghindari niat dan upaya menunjukkan kehebatan diri.
Dokter juga dilarang mengiklankan kemampuan atau kelebihan yang dimilikinya
baik secara lisan maupun tulisan.1,16 Dalam Panduan Etik dan Perilaku Profesi

70
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

Dokter Spesialis Anak Indonesia disebutkan bahwa setiap dokter spesialis anak
wajib menjaga keluhuran profesinya di tengah masyarakat yang membutuhkan
pengabdiannya. Dokter spesialis anak dilarang mengiklankan atau menjadi
model iklan obat, alat kesehatan, perbekalan kesehatan, dan fasilitas pelayanan
kesehatan, kecuali dalam iklan layanan masyarakat untuk promosi kesehatan
yang bertujuan mengubah masyarakat agar berperilaku hidup sehat dan bersih
atau mendukung program pemerintah.19 Dalam bekerjasama dengan pejabat
di bidang kesehatan dan masyarakat dalam pelayanan kesehatan anak, wajib
saling menghormati.1 Dokter perlu mengikuti perkembangan di masyarakat
termasuk yang berkaitan dengan anak, misalnya ketentuan yang berlaku, pola
kehidupan anak terutama kaitannya dengan kemajuan teknologi, dan masalah
kesehatan anak lainnya.10

Etik terhadap pasien


Salah satu kalimat dalam sumpah dokter adalah seorang dokter akan memelihara
dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur profesi kedokteran. Demi
menjaga profesi luhur kedokteran, maka dokter harus bersikap sopan, ramah,
dan berwibawa terhadap pasien. Dokter harus bekerja sepenuh hati, teliti,
dan mengutamakan kepentingan pasien. Dokter harus bersikap empati, turut
merasakan keluhan pasien maupun orangtua atau keluarga.1
Dalam menangani anak, dokter termasuk dokter spesialis anak wajib
memperlakukan pasien sebagai anaknya sendiri, sehingga akan diperlakukan
dengan cara terbaik sebagaimana orangtua memperlakukan anaknya. Dalam
pelayanan kesehatan anak, hubungan antara dokter-pasien lebih sering berupa
hubungan dokter dengan orangtua atau keluarga pasien, sehingga dokter harus
memahami bahwa ia berhubungan baik dengan pasien anak maupun orangtua
atau keluarga anak pada saat yang bersamaan.
Dokter spesialis anak wajib melakukan tindak medis seperti pemeriksaan
penunjang, rawat inap, atau terapi atas indikasi. Dalam rencana tata laksana
kesehatan anak, dokter wajib membicarakannya terlebih dahulu dengan
orangtua dan bila perlu dengan anak sendiri, dan keputusan akhir untuk tata
laksana yang akan diberikan diserahkan kepada orangtua.10,19 Dalam melakukan
pemeriksaan anak, memberikan informasi atau berdiskusi dengan orangtua/
keluarga anak tentang keadaan anak, atau pun dalam melakukan tindakan
medis, dokter wajib didampingi oleh perawat atau tenaga para medis lainnya.
Dalam melakukan tindakan medis, dokter wajib mempertimbangkan efikasi
(efficacy), keamanan (safety), ketersediaan obat atau fasilitas yang tersedia
(suitable) dengan mengutamakan keselamatan pasien (patient safety), dan
kemampuan orangtua dalam pembiayaan (cost).

71
Etik dalam pelayanan kesehatan anak

Hubungan antara dokter dengan pasien anak dan orangtuanya


merupakan hubungan atas dasar kepercayaan (trust) dan moral terhadap
integritas dokter. Orangtua pasien mempercayai dokter untuk mendiagnosis
dan menatalaksana masalah yang dialami oleh anaknya dan berharap bahwa
dokter akan melakukan upaya maksimal untuk mengatasi derita yang dialami
anaknya. Oleh karena itu dokter harus mampu meyakinkan orangtua dan
anak bahwa dokter melakukan yang terbaik untuk pasiennya, tidak akan
merugikan, berbuat adil, sebagaimana disebutkan dalam prinsip utama etik
yaitu beneficence (berbuat baik), non-maleficence (tidak merugikan), autonomy
(otonomi), dan justice (keadilan).2,4,12
Dokter harus menunjukkan sikap profesional, berempati, menjadi
pendengar yang baik untuk keluhan orangtua dan anak, dan membuat pasien
dan orangtua merasa nyaman dan aman. Oleh sebab itu, dalam hubungan
dokter-pasien-orangtua, diperlukan komunikasi dua arah yang baik.
Di dalam buku Pedoman Praktik Dokter Spesialis Anak yang dikeluarkan
oleh IDAI, dicantumkan tentang komunikasi yang baik, meliputi: mendengar
keluhan langsung dari anak dan orangtua, menggali informasi dan menghormati
pandangan serta kepercayaan anak dan orangtua yang berkaitan dengan
keluhan; memberikan informasi yang diminta maupun yang tidak diminta
dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh anak dan orangtua; dalam kasus
khusus memberikan informasi kepada orangtua atau keluarga setelah mendapat
ijin dari anak.10
Dokter wajib membatasi hubungan dokter-pasien sebatas
kepentingan pelayanan medis untuk anak.19 Pemeriksaan anak hendaknya
mempertimbangkan kenyamanan, keamanan, maupun budaya, agama, dan
kebiasaan keluarga. Kepentingan anak merupakan pertimbangan utama dalam
melakukan tindakan pelayanan kesehatan anak.12,19
Dokter wajib memberikan informasi yang jelas tentang keadaan pasien,
rencana tata laksana, komplikasi, maupun prognosis. Pada keadaan tertentu,
orangtua diberi keleluasaan untuk berfikir sebelum mengambil putusan
termasuk meminta pendapat dari dokter atau ahli lainnya. Biarlah orangtua
atau pasien yang menentukan keputusan akhir tentang tindakan yang akan
dilakukan.2,4,6,12
Dokter wajib bersikap tulus, ikhlas, dan menggunakan seluruh ilmu
dan keterampilannya untuk kepentingan pasien, namun ia harus menyadari
keterbatasan ilmu dan keterampilannya. Jika masalah penyakit anak di luar
kemampuannya, ia wajib merujuk anak kepada dokter yang lebih ahli demi
kepentingan dan keselamatan pasien.1,5,20 Dalam merujuk pasien, dokter yang
merujuk wajib menuliskan ringkasan medik pasien termasuk pemeriksaan
penunjang yang sudah dilakukan berikut hasilnya, dan terapi yang sudah
diberikan, agar dokter yang dirujuk memperoleh informasi yang memadai.1

72
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

Konsultasi dan merujuk adalah upaya dokter untuk mendapatkan layanan


yang lebih baik untuk pasien untuk menghindari kemungkinan kesalahan
diagnosis, terapi, maupun mendapatkan rencana tata laksana lebih lanjut.
Konsultasi adalah upaya dokter untuk meminta pendapat, saran, dan nasehat
dari dokter lain, sedangkan merujuk adalah upaya menyerahkan pasien kepada
dokter lain, baik secara vertikal maupun horizontal. Konsultasi horizontal
adalah konsultasi kepada dokter spesialis dengan bidang lain, misalnya
konsultasi oleh dokter spesialis anak kepada dokter spesialis bedah atau mata,
sedangkan konsultasi vertikal adalah konsultasi dengan dokter spesialis dengan
kemampuan yang lebih baik,1 misalnya konsultasi dokter spesialis anak kepada
dokter spesialis anak konsultan nefrologi, atau konsultan bidang lainnya.
Dalam hal konsul atau merujuk pasien kepada teman sejawat, sering
terjadi salah pengertian tentang maksud konsul. Dalam hal konsultasi, dokter
perlu menjelaskan kepada orangtua atau keluarga pasien tentang kejelasan
hubungan dokter-pasien dalam hal konsultasi, apakah rawat bersama atau alih
rawat. Dokter perlu memahami surat permintaan konsul agar tidak terjadi salah
pengertian. Surat permintaan yang berisi: ”mohon konsul dan pengobatan
selanjutnya/lebih lanjut” bermakna bahwa pasien diserahkan kepada dokter
yang dirujuk. Surat rujukan yang berbunyi: ”mohon konsul dan advis/saran
pengobatan” bermakna bahwa pasien harus dikembalikan kepada dokter yang
merujuk disertai surat jawaban terhadap surat konsul, sedangkan surat rujukan
yang berbunyi: ”mohon konsul dan rawat bersama” berarti pasien dirawat
bersama oleh dokter yang merujuk dan yang dirujuk.1 Dokter spesialis anak
wajib menjawab konsultasi atau rujukan yang diminta sejawat lain menurut
pengetahuan, dan keterampilan yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah dan etis.19
Dalam hal hubungan dokter pasien tidak lagi didasarkan kepercayaan
misalnya saat dokter menilai kepercayaan orangtua terhadapnya menurun
atau tidak memercayai lagi, atau dokter merasa terancam misalnya terdapat
kekerasan fisik atau psikis, maka dokter dapat menolak melakukan pelayanan
medis dan memutuskan hubungan dokter-pasien dengan orangtua, dengan
menjelaskan pilihan tata laksana dan menyarankan anak dibawa ke dokter lain
untuk memperoleh layanan medis,10,16,19,20 dengan mengatasi kegawatdaruratan
medis terlebih dahulu jika ada. Namun dokter tidak boleh mengakhiri hubungan
medis dokter-pasien dengan alasan pasien mengeluh tentang layanan kedokteran
yang diberikan kurang memadai, biaya jasa layanan, atau terapi yang diberikan.
Dokter wajib menghormati dan menghargai hak azasi anak dan orangtua
atau keluarga termasuk dalam beribadat, merahasiakan segala sesuatu tentang
pasien, bahkan setelah pasien itu meninggal. Dokter juga wajib melakukan
pertolongan darurat, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bersedia dan
mampu memberikannya.1,16,19

73
Etik dalam pelayanan kesehatan anak

Etik terhadap sejawat


Dokter perlu memahami bahwa umumnya masyarakat kita belum begitu
memahami hubungan erat antara dokter-pasien, sehingga kadang-kadang
keluarga pasien melakukan tindakan yang dapat mengadu domba dokter,
misalnya orangtua pasien membawa anaknya berobat kepada dua atau
tiga dokter dan membandingkan upaya satu dokter dengan yang lain dan
menyampaikannya kepada dokter.
Sebagaimana tercantum pada sumpah dokter butir 10, setiap dokter
akan memperlakukan sejawat sebagai saudara kandung, maka dokter ingin
diperlakukan sama (golden rule). Oleh karena itu hindari perbuatan yang
tidak kolegial, misalnya mengejek teman sejawat, mempergunjingkan dengan
keluarga pasien atau orang lain tentang perbuatan dokter yang dianggap
tidak benar. Hindari pencemaran nama baik sejawat karena hal itu berarti
mencemarkan nama baik sendiri. Dokter tidak boleh melecehkan sejawat
di depan pasien atau umum, misalnya dengan mengatakan sejawatnya lebih
muda, lulusan baru, belum berpengalaman, sudah terlalu tua, ilmunya sudah
ketinggalan zaman, dan lain sebagainya.1
Dalam hubungan dengan sejawat, dokter spesialis anak, sebagai anggota
tim wajib saling menjaga etik dan moral melayani pasien, menghargai
kompetensi profesi lain, tidak menyalahkan dan mempermalukan sejawat
atau profesi lain di depan pasien atau keluarga pasien.19 Dokter wajib menjaga
etik dan menghargai kompetensi tenaga profesi lain seperti perawat, bidan,
farmasis, dan profesional lainnya
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat,
kecuali dengan persetujuan keduanya atau berdasarkan prosedur yang etis
sebagaimana dicantumkan dalam KODEKI pasal 19. Dalam penjelasan
disebutkan bahwa dokter tidak boleh membuat renggang kondisi hubungan
dokter-pasien dari sejawatnya. Dokter tidak boleh memberikan komentar
negatif tentang sejawat lain di depan pasien atau orangtua/keluarga.1. Pada
Pedoman Praktik Dokter Spesialis Anak pasal 25 disebutkan bahwa dokter
spesialis anak wajib mengingatkan sejawat lain dengan dasar kejujuran,
kepercayaan, dan saling menghormati dalam berinteraksi melayani pasien.19
Dokter wajib berkomunikasi dengan teman sejawat yang terlibat merawat pasien
yang sama. Permintaan second opinion untuk tujuan kesehatan dimungkinkan.
Dokter perlu memahami bahwa pasien yang telah kehilangan kepercayaan
kepada seorang dokter, tidak dapat dipaksa untuk kembali mempercayainya.
Perlu dipahami bahwa tidak etis bagi dokter apabila mengganti obat dari dokter
sebelumnya padahal belum mengamati efek terapi, apalagi mencela perbuatan
dokter sebelumnya di hadapan pasien. Penggantian obat yang diberikan
dokter sebelumnya dapat dilakukan jika sudah diyakini bahwa pengobatan

74
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

sebelumnya tidak sesuai, menimbulkan efek samping, atau tidak diperlukan


lagi, dan pemberitahuan dilakukan dengan bijaksana.1

Etik terhadap diri sendiri


Pada KODEKI pasal 20 disebutkan bahwa dokter mempunyai kewajiban
terhadap dirinya sendiri untuk menjaga kesehatan agar dapat bekerja dengan
baik. Dokter wajib menelihara kesehatan bertujuan agar dokter tetap sehat
menjalankan pekerjaan dan tugasnya dengan baik. Selain itu, dokter hendaknya
menjadi pendidik dan panutan bagi masyarakat dalam memelihara kesehatan,
dan tidak menjadi sumber penyakit bagi pasien, terutama pada pasien anak
yang lebih rentan tertular oleh penyakit infeksi. Dokter juga perlu menyadari
bahwa praktik dengan jumlah pasien yang banyak dan waktu praktik yang
lama rentan terhadap kelelahan dan penurunan ketahanan fisik, sehingga
rentan terhadap gangguan kesehatan yang membuat pelayanan yang tidak
maksimal. Dokter wajib menjadi teladan dan panutan dalam perilaku sehat,
menjaga kebugaran fisik, mental, dan sosial serta menghindari kegiatan atau
kebiasaan yang menganggu kesehatan.1 Hal yang sama juga disebutkan dalam
buku Panduan Etik dan Perilaku Profesi Dokter Spesialis Anak Indonesia pasal
30 yang dikeluarkan oleh IDAI tahun 2014. Setiap dokter spesialis anak wajib
menjaga kesehatan pribadi, baik aspek jasmani, mental, intelektual, sosial,
serta bebas dari kemungkinan menjadi sumber penularan penyakit yang dapat
membahayakan anak.19
Selain menjaga kesehatan, dokter juga wajib mengikuti perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran dan kesehatan, termasuk aspek
etik kedokteran, disiplin, dan hukum. Hal ini berarti setiap dokter wajib
berada di lini terdepan dalam ilmu pengetahuan kedokteran yang relevan
bagi praktiknya dan meyakinkan bahwa kemampuan klinis dan teknisnya
terpelihara.1 Hal yang sama juga diatur dalam Undang-undang nomor 29 tahun
2004 tentang praktik kedokteran pasal 28 yang berbunyi: setiap dokter yang
berpraktik wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan kedokteran berkelanjutan
dalam rangka penyerapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran,20 dan dalam buku Panduan Etik dan Perilaku Profesi Dokter
Spesialis Anak Indonesia pasal 31 yang dikeluarkan oleh IDAI tahun 2014.19

Penutup
Dalam melakukan praktik kedokteran, masalah etik merupakan hal yang
perlu diperhatikan. Meskipun masalah etik dalam pelayanan kesehatan pada
anak hampir sama dengan dewasa, tetapi ada hal yang menjadi perhatian

75
Etik dalam pelayanan kesehatan anak

khusus dalam pelayanan kesehatan pada anak karena kondisi anak yang
masih tumbuh dan berkembang serta peran orangtua yang dominan dalam
hubungan dokter-pasien.

Daftar pustaka
1. Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Kode Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta, 2012.
2. Nelson MR. Ethics in pediatric care. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE,
Jenson HB, Stanton BF, penyunting, Nelsons Textbook of Pediatrics, edisi ke-18,
Philadelphia,: WB Saunders Elsevier, 2007. h.18-24.
3. Hester DM. Ethical issues in pediatrics. Dalam: Hester DM, Schonfeld T,
penyunting. Guidance for Healthcare Ethics Committees, Cambridge, Cambridge
University Press.2012:h. 114-21.
4. Kodish W, Weise KL. Ethics in pediatric care. Dalam: Kliegman RM, Behrman
RE, Stanton BF, Geme III JWS, Schor NF, penyunting, Nelsons Textbook of
Pediatrics, edisi ke-20, Philadelphia, Elsevier, 2016,h.27-32.
5. Cummings CL, Mercurio MR. Autonomy, beneficence, and rights. Pediatr Rev.
2010;6:252-5.
6. Frankel LR, Goldworth A, Rorty MV, Silverman WA. Ethical dilemmas in
pediatrics: Cases and commentaries. N Engl J Med.2006;18:1965-6.
7. Okun A. Ethics for the pediatrician: Chilfren who have special health-care needs:
ethical issues. Pediatr Rev. 2010;31:514-8.
8. Bertens K. Apakah itu etika? Dalam: Bertens K, penyunting. Etika. Cetakan
ke-10, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2007,h.3-40.
9. Undang-undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan
anak, Jakarta, 2002.
10. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Praktik Dokter Spesialis Anak, Jakarta,
2014.
11. ACP Ethics and Human Rights Committee. Ethics manual. Ann Intern
Med.1998;128:576-94.
12. Attard-Montalto S. Ethical issues in pediatric practice –part I: General principles.
Images Paediatr Cardiol. 2001;3:1-3.
13. Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2013 tentang Pendidikan
Kedokteran, Jakarta, 2013.
14. Guedert JM, Grosseman S. Ethical problems in pediatrics: what does the setting
of care and education show us? BMC Medical Ethics.2012;13:1-9.
15. Fallat ME, Glover J. Professionalism in pediatrics. Pediatrics.2007;120:e1123-33.
16. Konsil Kedokteran Indonesia. Peraturan Konsil nomor 4 tahun 2011.
17. Undang-undang Republik Indonesia nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit,
Jakarta, 2009.
18. Joint Comission International. International patient safety goals. 2012.
19. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Panduan Etika dan Perilaku Profesi Dokter
Spesialis Anak Indonesia (PEP-DSAI), Jakarta, 2014.
20. Undang-undang Republik Indonesia nomor 29 tahun 2004 tentang praktik
kedokteran, Jakarta, 2004.

76
Transportasi Anak Sakit Kritis
Rismala Dewi

Tujuan:
1. Mengetahui prinsip transpor pasien anak sakit kritis
2. Mampu menjelaskan persiapan dan syarat transpor anak sakit kritis
3. Mampu menjelaskan persiapan pasien yang akan ditransfer

Perpindahan atau transpor pasien anak yang sedang dirawat di rumah sakit
merupakan hal yang umum dilakukan dengan alasan atau maksud tertentu,
misalnya untuk dilakukan pemeriksaan penunjang di sarana yang lebih
lengkap atau tempat rawat tidak tersedia. Proses transportasi pasien-pasien
kritis mengandung risiko untuk terjadinya perburukan pada pasien tersebut.
Keputusan untuk memindahkan pasien anak sakit kritis baik di dalam
rumah sakit atau ke fasilitas lain, didasarkan pada penilaian antara manfaat
transportasi dibandingkan dengan potensi risiko dilakukannya perpindahan
pasien. Oleh karena itu perpindahan dengan alasan apapun harus selalu
mempertimbangkan antara besarnya keuntungan dan kerugian yang akan
didapat. Dibutuhkan sarana yang sesuai dan tenaga kesehatan yang terlatih
agar proses perpindahan berlangsung dengan baik.1,2
Transfer antar rumah sakit mungkin dapat menyelamatkan nyawa tetapi
biayanya mahal, secara logistik cukup menantang serta berisiko. Insiden yang
merugikan saat transportasi sebanding dengan durasi transfer, keparahan
penyakit atau cedera pra-transfer dan kurangnya pengalaman para pendamping
medis. Laporan dari Inggris mendapatkan 15% pasien yang melakukan
perpindahan mengalami hipotensi setelah tiba di tujuan dan 10% mengalami
trauma baru yang tidak terdeteksi saat sebelum pindah. Perburukan klinis
dilaporkan terjadi antara 3-75% pada saat transpor. Sebanyak 70% anak
mengalami perubahan klinis seperti hipotermia, takikardia, kesalahan obat
atau prosedur, infus terlepas dan sianosis. Kematian pada saat perpindahan
pasien kritis sangat jarang terjadi.3,4

Prinsip transfer yang aman3


yy Staf berpengalaman

77
Transportasi anak sakit kritis

yy Peralatan yang tepat dan kendaraan yang sesuai


yy Penilaian penuh dan investigasi
yy Pemantauan ekstensif
yy Stabilisasi pasien dengan hati-hati
yy Penilaian ulang
yy Melanjutkan perawatan selama transfer
yy Serah terima langsung
yy Dokumentasi dan audit

Transportasi dalam rumah sakit


Proses transportasi pasien-pasien kritis sebaiknya tertata dengan baik dan
efisien serta memenuhi beberapa persyaratan, antara lain:4,5

Koordinasi dan komunikasi sebelum transpor


yy Dilakukan komunikasi antar dokter dan/atau perawat mengenai keadaan
pasien dan tindakan yang harus dilakukan agar terjadi berkesinambungan
terutama bila tim yang menerima pasien berbeda dengan tim sebelumnya.
yy Konfirmasi kesiapan tempat yang akan menerima pasien serta menentukan
waktu transfer serta memastikan instrumen medis yang diperlukan siap
untuk digunakan.
yy Memastikan petugas yang bertanggung jawab terhadap hal yang dapat
terjadi pada pasien selama masa transportasi dan selama pasien berada
di luar unit intensif atau di area lain di luar rumah sakit.
yy Melakukan pencatatan mengenai indikasi dilakukan perpindahan pasien
dan melakukan dokumentasi keadaan pasien selama masa transportasi
pada rekam medis.

Petugas pengantar pasien


Syarat petugas pengantar pasien
yy Paling sedikit petugas pengantar pasien berjumlah dua orang.
yy Salah satu dari petugas merupakan tenaga medis yang mempunyai keahlian
khusus yang berhubungan dengan sakit pasien, atau merupakan perawat
yang sudah terlatih dan mempunyai kompentensi menangani pasien
dengan kondisi gawat.
yy Personel tambahan terdiri dari terapis gangguan napas, perawat pencatat,
mekanik perawatan khusus, atau dokter. Dokter yang bertugas mengantar
harus paham mengenai kondisi pasien yang tidak stabil yang mungkin akan
memerlukan intervensi, terampil manajemen jalan napas dan mempunyai
keahlian bantuan hidup jantung lanjut.

78
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

Instrumen selama proses transpor


Pada setiap transpor pasien dengan kondisi gawat diperlukan
yy Cardiac monitor dan alat pengukur tekanan darah
yy Defibrilator.
yy Alat bantu napas dan kantung resusitasi tersendiri untuk pasien tertentu
yy Sumber oksigen dan alat pengukur saturasi
yy Obat-obat standar resusitasi, seperti epinefrin, lidokain, atropin dan
sodium bikarbonat.
yy Cairan intravena serta alat regulatornya seperti infusion pump
yy Obat tambahan yang harus diberikan pada waktu tertentu atau obat yang
dapat digunakan ketika dibutuhkan
yy Alat monitor kondisi pasien selama perjalanan atau sesaat sebelum masuk
ke ruang intensif

Monitoring selama transportasi


yy Selama proses transportasi, alat monitor dasar seperti elektrokardiografi
(EKG) kontinyu, pulse oksimetri, pengukuran berkala tekanan darah,
repirasi, nadi, tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial. Seluruh
pasien harus selalu termonitor meskipun dengan kondisi yang sulit.
yy Pasien yang terintubasi dan menggunakan ventilator, maka harus terpasang
alarm yang memberikan tanda peringatan terjadi putus hubungan dengan
sumber listrik, atau tekanan udara yang berlebih.

Transportasi antar rumah sakit


Luaran pasien bergantung pada kemajuan teknologi dan keahlian petugas
yang tersedia dalam setiap fasilitas pelayanan kesehatan. Ketika layanan
yang diperlukan melebihi sumber daya yang tersedia, pasien idealnya akan
dipindahkan ke fasilitas yang memiliki sumber daya yang diperlukan. Setelah
keputusan ini telah dibuat, transfer dilakukan sesegera mungkin.
Resusitasi dan stabilisasi sesegera mungkin dilakukan di rumah sakit yang
merujuk, dan usaha itu dilanjutkan hingga pasien sampai di tempat rujukan.
Hal penting yang harus diingat adalah informed concern kepada pasien atau
keluarga pasien mengenai perbandingan antara risiko dan keuntungan pasien
dirujuk ke rumah sakit lain. Apabila kondisi tidak memungkinkan untuk
melakukan informed concern, maka pencatatan mengenai indikasi pasien dirujuk
harus tertera dengan jelas pada catatan medis. Komponen minimal yang harus
dipenuhi pada proses transport pasien antar rumah sakit, yaitu:1,4,6

79
Transportasi anak sakit kritis

Koordinasi dan komunikasi pra transpor, termasuk :


yy Dokter yang merujuk sebelumnya harus menghubungi dokter di tempat
rujukan, menjelaskan tentang kondisi pasien yang akan dirujuk dan
meminta saran mengenai stabilisasi dan transportasi pasien.
yy Jenis transportasi yang akan digunakan (darat atau udara) harus
dikonfirmasikan dan dikoordinasikan oleh dokter yang akan merujuk
kepada dokter yang menerima rujukan. Konfirmasi lain diantaranya adalah
mengenai waktu keberangkatan dan kemungkinan pasien tiba di tempat
rujukan, apakah pasien memerlukan intevensi medis agar bisa bertahan
selama perjalanan. Selain itu juga dibutuhkan petugas medis dan sarana
yang memadai disesuaikan dengan jenis transportasi yang digunakan.
yy Pemberi pelayanan transportasi harus segera dihubungi untuk segera
menyediakan sarana yang dibutuhkan, memberi informasi mengenai
kondisi pasien, mengkoordinasikan kebutuhan peralatan medis selama
proses transpor serta berkoordinasi mengenai waktu yang tepat untuk
melakukan rujukan.
yy Komunikasi antar perawat dari rumah sakit yang merujuk dan rumah
sakit rujukan atau fasilitas intensif harus dilakukan.
yy Salinan rekam medis pasien, resume serta seluruh hasil pemeriksaan
penunjang terhadap pasien seperti hasil foto rontgen harus disertakan.

Petugas pengantar pasien


yy Paling tidak dibutuhkan 2 orang pengantar sebagai tambahan di luar
operator kendaraan yang akan digunakan. Salah satu dari personel
tersebut setidaknya berstatus sebagai perawat pencatat registrasi, dokter
atau petugas unit gawat darurat yang dapat melakukan penanganan
kegawatan napas termasuk intubasi endotrakeal, melakukan tindakan
dan terapi intravena, melakukan interpretasi gangguan irama jantung
serta manajemennya, serta dapat melakukan pertolongan bantuan hidup
dasar dan bantuan hidup lanjut pada kasus kegawatan di bidang trauma
dan kardiologi.
yy Bila tidak ada dokter yang ikut mengantar pasien, harus dibuat mekanisme
komunikasi antar perawat dan/atau petugas unit gawat darurat dengan
dokter yang akan memberikan instruksi bila terjadi perubahan pada pasien
selama dalam periode transportasi.

Instrumen selama proses transportasi


Kebutuhan alat dan medikasi minimal yang harus ada selama proses
transportasi harus dipenuhi agar transportasi berlangsung aman.
Beberapa alat yang harus disediakan, antara lain:

80
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

yy Alat bantu jalan napas dan oksigenasi serta sumber oksigen


yy Kantung resusitasi dan masker dengan ukuran yang sesuai dengan pasien
yy Instrumen jalan napas oral, laringoskop, endotracheal tube dengan ukuran
sesuai pasien
yy Monitor jantung atau defibrillator.
yy Manset untuk pemeriksaan tekanan darah
yy Akses intravena, cairan resusitasi dan rumatan, tube, jarum dan syringe
pump
yy Obat-obatan untuk resusitasi, obat penunjang organ lainnya, obat-obatan
khusus sesuai kebutuhan pasien, obat-obatan sedatif dan hipnotik,
narkotika dan analgetika
yy Alat komunikasi, yang digunakan terutama untuk berkomunikasi antara
pembawa kendaraan rujukan dengan rumah sakit yang merujuk maupun
rumah sakit tujuan rujukan.

Monitoring selama transportasi


yy Semua pasien yang akan ditransportasikan dengan kondisi kritis harus
mempunyai alat monitor minimal seperti EKG kontinyu, pulse oksimetri,
pengukuran intermiten tekanan darah dan respirasi
yy Pengukuran vena sentral, tekanan arteri pulmonal, ataupun tekanan
intrakranial
yy Pemantauan tekanan udara untuk pasien yang berada dalam keadaan
terintubasi dan memakai ventilator harus mempunyai sistim alarm bila
terjadi putus hubungan dengan sumber listrik atau gangguan tekanan
udara
yy Penanganan pasien selama transportasi harus tercatat dengan baik di
dalam rekam medis

Kendaraan untuk transportasi


Kendaraan yang digunakan untuk transportasi harus dirancang sedemikian rupa
sehingga menjamin akses troli yang baik, memperbaiki sistim, pencahayaan, dan
kontrol suhu. Cukup ruang untuk petugas medis, gas dan listrik yang memadai,
ruang penyimpanan, serta sistem komunikasi yang baik. Metode transportasi
harus mempertimbangkan urgensi, waktu mobilisasi, faktor geografis, cuaca,
kondisi lalu lintas dan biaya. Transportasi darat merupakan pilihan sebagian
besar pasien, karena memiliki keuntungan biaya rendah, mobilisasi yang cepat,
tidak tergantung cuaca, dan pemantauan pasien lebih mudah.3,7
Transportasi lewat udara harus dipertimbangkan untuk perjalanan lebih
dari 80 km atau 2 jam. Kecepatannya harus seimbang antara keterlambatan

81
Transportasi anak sakit kritis

Gambar 1. Kendaraan transpor pasien

perawatan dan transfer antar kendaraan diawal dan akhir. Helikopter


direkomendasikan untuk perjalanan lebih dari 80 km atau jika akses sulit,
tapi kurang nyaman, mahal, dan keamanan kurang terjamin. Pesawat udara
sebaiknya digunakan untuk jarak perpindahan lebih dari 240 km.3,7

Persiapan pasien
Pendekatan ‘scoop and run’ tidak terbukti menghasilkan luaran yang baik dalam
transportasi antar rumah sakit pasien sakit kritis. Oleh karena itu, sebelum
melakukan proses transportasi ke fasilitas yang akan dituju, diperlukan evaluasi
yang tepat dan stabilisasi sebaik mungkin untuk memastikan keselamatan
pasien selama perpindahan. Keterlambatan yang tidak perlu bisa dialami jika
tim transportasi harus melakukan prosedur yang panjang dan kompleks untuk
menstabilkan pasien sebelum transfer, sehingga pemeriksaan dan prosedur yang
tidak penting yang akan menunda pemindahan harus dihindari. Informasi dan
rekomendasi tentang aspek perawatan pasien secara umum dapat diminta pada
dokter pengirim saat kontak awal.2,6,8
Gambaran klinis, pemeriksaan lengkap dan pemantauan sebelum
transfer harus mencakup elektrokardiografi, saturasi oksigen arteri, tekanan
darah intraarterial langsung, tekanan vena sentral, dan diuresis. Pemeriksaan
penunjang yang disertakan mencakup rontgen dada, hematologi, dan biokimia.
Pasien yang diintubasi akan menyulitkan saat transpor, tetapi jika ada
kecurigaan gangguan saluran napas atau gagal napas, maka sebaiknya pasien
diintubasi dan dipasang ventilasi mekanik sebelum keberangkatan. Obat-
obatan yang sesuai harus disediakan seperti sedasi, analgesia, dan relaksan otot.
Pemberian cairan bolus intravena diperlukan untuk mempertahankan tekanan
darah, perfusi, dan jumlah urin serta pemberian obat inotropik. Jika pasien
tidak stabil diperlukan pemantauan tekanan vena sentral atau tekanan arteri
pulmonalis untuk mengoptimalkan filling pressure dan curah jantung. Pasien
dalam kondisi hipovolemik berisiko terjadinya perburukan klinis saat transpor
sehingga volume sirkulasi harus normal atau supranormal sebelum transfer.8,9

82
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

Gambar 2. Algoritma transpor


Gambar 2. antar rumah
Algoritma sakit
transpor 1
antar rumah sakit1

Pipa nasogastrik untuk drainase lambung perlu dipasang, semua akses


terfiksasi dengan aman. Peralatan harus diperiksa termasuk baterai dan suplai
oksigen, catatan kasus, hasil rontgen, surat rujukan, darah atau produk darah.
Unit penerima harus diberitahu tentang perkiraan waktu kedatangan serta
pengaturan perjalanan harus didiskusikan dengan kerabat.8,9

Simpulan
Keberhasilan transportasi pasien anak dengan sakit kritis sangat tergantung
pada rencana awal, komunikasi yang dijalin, peralatan yang tersedia serta

83
Transportasi anak sakit kritis

ketrampilan anggota tim transportasi. Risiko perburukan klinis yang terjadi


selama proses transportasi dapat dicegah dengan stabilisasi yang optimal,
ketepatan waktu transportasi, koordinasi yang baik antara tim perujuk dan
tempat rujukan, pemantauan yang adekuat serta intervensi medis yang
dilakukan oleh personel tim yang kompeten saat terjadi masalah pada saat
transpor.

Daftar pustaka
1. Warren J, Fromm RE, Orr RA, Rotello LC, Horst HM. Guidelines for the inter- and
intrahospital transport of critically ill patients. Crit Care Med. 2004;32:256–62.
2. Droogh JM, Smit M, Absalom AM, Ligtenberg JM, Zijlstra JG. Transferring the
critically ill patient: are we there yet? Crit Care. 2015;19:62-9.
3. Wallace PG, Ridley SA. ABC of intensive care: Transport of critically ill patients.
BMJ. 1999;319:368-71.
4. Blakeman TC, Branson RD. Inter- and Intra-hospital Transport of the Critically
Ill. Respir Care. 2013;58:1008 –21.
5. Fanara B, Manzon C, Barbot O, Desmettre T, Capellier G. Recommendations
for the intra-hospital transport of critically ill patients. Crit Care. 2010;14:87-96.
6. Gupta S, Bhagotra A, Gulati S, Sharma J. Guidelines for the Transport of Critically
Ill Patients. JK Sci. 2004;6:109-11.
7. Hatherill M, Waggie Z, Reynolds L. Transport of critically ill children in a
resource-limited setting. Int Care Med. 2003;29:1547–54.
8. Dawes J, Ramnarayan P, Lutman D. Stabilisation and transport of the critically
ill child. JICS. 2014;15:34-42.
9. Rowney DA, Simpson DL. Stabilization and transport of critically ill children.
Anaest & Int Care Med. 2006;7:16-21.

84
Penyakit Jantung pada Remaja
Mulyadi M. Djer

Tujuan:
1. Mengenal tumbuh-kembang pada masa remaja
2. Mengetahui penyakit jantung pada remaja
3. Mengetahui cara diagnosis dan tata laksana penyakit jantung pada
remaja

Masa remaja adalah masa transisi antara masa anak dan dewasa. Tumbuh
kembang pada remaja dibagi menjadi tiga, yaitu remaja awal 10-13 tahun,
remaja pertengahan 14-17 tahun dan remaja akhir 17-29 tahun. Dalam masa
ini terjadi pacu tumbuh, timbul ciri-ciri seks sekunder, terjadi fertilitas dan
terjadi pertumbuhan psikologis serta kognitif. Agar pertumbuhan fisis optimal,
anak harus mendapatkan makanan yang bergizi dan olahraga yang cukup.
Pada remaja sebagian besar morbiditas dan mortalitas remaja disebabkan
oleh keadaan yang bisa dicegah dan berhubungan dengan masalah perilaku,
lingkungan, dan sosial.1
Populasi remaja ataupun dewasa dengan penyakit jantung bawaan
(PJB) sekarang ini makin meningkat jumlahnya.2-4 Hal ini disebabkan karena
meningkatnya harapan hidup bayi dan anak setelah menjalani operasi jantung
atau kardiologi intervensi.5-7 Sekarang ini pada sebagian besar PJB dapat
dilakukan tindakan operasi8,9 atau kardiologi intervensi pada masa bayi dan
anak.10-13 Lebih dari 90% anak dengan PJB sekarang ini dapat hidup sampai
dewasa.9,14 Di Negara berkembang seperti Indonesia karena keterbatasan
fasilitas dan dana, banyak pasien PJB tidak terdiagnosis saat bayi atau anak.15
Di samping itu ada juga yang sudah terdiagnosis tidak punya biaya untuk
dilakukan tindakan operasi/kardiologi intervensi sehingga menimbulkan
komplikasi saat anak sudah remaja atau dewasa.15 Di sisi lain ada sebagian
kasus PJB kompleks yang terapi definitifnya masih sulit seperti pada kasus
single ventrikel (operasi Fontan) yang meskipun sudah menjalani beberapa
kali operasi namun karena darah vena sistemik mengalir langsung ke paru
tanpa pompa akan menimbulkan masalah di kemudian hari yang memerlukan
pemantauan dan penanganan khusus.8 Bagi mereka yang terapinya single
ventrikel perlu edukasi secara lengkap pada keluarga karena kualitas hidupnya
tidak akan sama dengan orang normal. Oleh karena itu, PJB pada remaja atau

85
Penyakit jantung pada remaja

dewasa di beberapa negara sekarang ini sudah merupakan cabang spesialis


tersendiri.4
Berkat adanya perbaikan dalam sistem pelayanan kesehatan akhir-akhir
ini di Indonesia, semua bayi dan anak dengan PJB sudah dapat ditata laksana
dengan baik mulai dari diagnosis sampai operasi/kardiologi intervensi dan
dibiayai oleh pemerintah. Diharapkan nantinya pasien PJB di Indonesia akan
mempunyai harapan hidup yang sama dengan PJB di negara maju lainnya.
Tujuan makalah ini adalah membahas sekitar masalah diagnosis dan tata
laksana penyakit jantung pada remaja serta permasalahannya.

Jenis penyakit jantung pada remaja


Penyakit jantung pada remaja secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu
penyakit jantung bawaan (PJB) dan penyakit jantung didapat. PJB artinya
kelainan jantung sudah ada sejak lahir. Sebaliknya pada penyakit jantung
didapat artinya saat lahir jantungnya normal, kelainan jantung didapat
setelah anak lahir. PJB meskipun bawaan karena bervariasi dari yang ringan
sampai berat, pada bentuk yang ringan bisa saja terdiagnosis bukan saat lahir.
Di samping itu karena remaja sudah bisa menyatakan keluhannya sendiri
ditemukan juga masalah spesifik seperti nyeri dada, berdebar, sinkop dan lain-
lain seperti tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Penyakit jantung pada remaja


No Jenis Penyakit Jantung Contoh
1 Penyakit jantung Bawaan Non-sianotik Defek septum atrium
Defek septum ventrikel
Duktus arteriosus persisten
Stenosis pulmoner
Sianotik Tetralogi Fallot
Transposisi arteri besar
Atresia pulmoner
Didapat Demam reumatik/penyakit jantung
reumatik
Penyakit Kawasaki
Kelainan sistemik Talassemia
Kelainan ginjal
2 Masalah spesifik Nyeri dada
Sinkop
Palpitasi
3 Lain-lain Kardiomiopati
Hipertensi pulmoner primer
Aritmia
4 Psikologis

86
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

Penyakit jantung bawaan


Penyakit jantung bawaan merupakan kelainan yang paling sering ditemukan
pada bayi dan anak. Dengan penanganan yang memadai anak ini nanti dapat
tumbuh menjadi remaja dan dewasa. Oleh karena itu penyakit jantung yang
akan dibahas pada makalah ini adalah PJB.
PJB dibagi menjadi kelompok asianotik dan sianotik. Kelompok asianotik
dikelompokkan lagi menjadi PJB asianotik dengan aliran darah ke paru normal
dan PJB asianotik dengan aliran darah ke paru meningkat. Kelompok PJB
sianotik dikelompokkan menjadi PJB sianotik dengan aliran darah paru normal,
PJB sianotik dengan aliran darah ke paru berkurang dan PJB sianotik dengan
aliran darah ke paru meningkat (Tabel 1).6,16

Tabel 1. Klasifikasi penyakit jantung bawaan


No Jenis CHD Aliran darah paru Contoh
1. Asianotik Normal Stenosis pulmoner
Stenosis aorta
Koarktatio aorta
Meningkat Duktus arteriosus persisten
Defek septum atrium
Defek septum ventrikel
2. Sianotik Normal Transposisi arteri besar dengan septum ventrikel
intak (TGA-IVS)
Meningkat Transposisi arteri besar dengan defek septum
ventrikel (TGA-VSD)
Trunkus arteriosus
Ventrikel kanan jalan keluar ganda
Berkurang Tetralogi Fallot
Atresia pulmoner

Pada PJB asianotik dengan aliran darah paru normal ditemukan adanya
sumbatan/obstruksi pada jalan keluar ventrikel kanan atau jalan keluar
ventrikel kiri. Pada sumbatan jalan keluar ventrikel kanan seperti pada stenosis
pulmoner, ventrikel kanan akan bekerja lebih berat memompakan darah
ke paru sehingga terjadi hipertrofi ventrikel kanan. Dengan ekokardiografi
dapat diukur perbedaan tekanan antara arteri pulmoner dan ventrikel kanan.
Stenosis dikatakan berat jika beda tekanan lebih dari 60 mmHg, sedang jika
beda tekanan 40-60 mmHg dan ringan jika beda tekanan kurang dari 40
mmHg. Pada sumbatan jalan keluar ventrikel kiri seperti pada stenosis aorta
atau koarktasio aorta, ventrikel kiri akan bekerja lebih berat maka akan terjadi
hipertrofi ventrikel kiri.
PJB asianotik dengan aliran darah ke paru meningkat disebabkan karena:
adanya pirau kiri ke kanan lewat septum atrium pada defek septum atrium
(ASD); lewat septum ventrikel pada defek septum ventrikel (VSD); atau lewat

87
Penyakit jantung pada remaja

adanya hubungan langsung aorta dengan arteri pulmoner seperti pada duktus
arteriosus persisten (PDA).
Pada PJB sianotik, terjadi percampuran darah pada tingkat atrium atau
ventrikel sehingga darah yang keluar ke aorta saturasinya rendah. Umumnya
pada PJB sianotik, kelainan yang ada lebih dari satu macam sehingga disebut
juga dengan PJB kompleks. Aliran darah ke paru bisa normal, berkurang atau
meningkat tergantung pada ada tidaknya VSD, ASD, stenosis pada arteri
pulmoner, dan asal pembuluh darah besar. Pada transposisi arteri besar tanpa
VSD (TGA-IVS), aliran darah ke paru normal. Pada tetralogi Fallot (TF) aliran
darah ke paru berkurang karena adanya stenosis pada infundibulum sehingga
darah dari ventrikel kanan menyeberang ke aorta melalui VSD dan posisi
overriding aorta. Pada ventrikel kanan jalan keluar ganda (DORV) aorta dan
arteri pulmoner sama-sama keluar dari ventrikel kanan, demikian juga pada
trunkus arteriosus aorta dan arteri pulmoner sama-sama keluar dari trunkus,
darah akan memilih ke paru yang tahanannya lebih rendah dari pada ke aorta
sehingga aliran darah paru meningkat.

Tata laksana CHD


Tata laksana PJB meliputi tata laksana medikamentosa, kardiologi intervensi,
bedah dan terapi hibrida. Tata laksana medikamentosa diberikan untuk
PJB dengan gejala gagal jantung, serangan sianotik atau aritmia. Terapi
medikamentosa hanya terapi sementara sambil menunggu tindakan definitif
apakah itu berupa kardiologi intervensi atau bedah atau hibrida.17,18
Pemilihan terapi definitif saat ini tergantung pada derajat efektifitas
dan invasivitas prosedur. Terapi bedah memang efektif untuk menangani
PJB, namun tindakannya sangat invasif. Pasien harus menjalani by-pass dan
pasca-bedah dirawat di ICU pasca-bedah jantung dan memerlukan tenaga
ahli intensivis untuk merawatnya. Sebaliknya tindakan kardiologi intervensi
efektifitasnya sama dengan bedah namun relatif kurang invasif. Pasien tidak
perlu pakai by-pass dan pasca-tindakan tidak perlu dirawat di ICU pasca-
bedah. Oleh karena itu di negara berkembang seperti Indonesia yang fasilitas
ICU dan jumlah ahli intensivis masih sangat terbatas, maka pengembangan
tindakan kardiologi intervensi merupakan pilihan terapi yang tepat. Di samping
itu terapi kardiologi intervensi secara kosmetik lebih baik jika dibandingkan
bedah karena tidak ada jaringan parut luka operasi di kulit. Hanya saja
tindakan kardiologi intervensi tidak bisa dikerjakan pada bayi kecil karena
ukuran pembuluh darahnya masih kecil. Untuk mengatasi hal ini sekarang
ini dikembangkan teknik hibrida, yaitu gabungan antara tindakan bedah
dengan non-bedah. Dokter bedah melakukan torakotomi, kemudian ahli
kardiologi langsung memasang kateter dengan menusuk langsung dinding

88
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

Gambar 1. State of the art dalam tata laksana penyakit jantung bawaan

jantung, tidak melalui pembuluh darah. Jika dibandingkan dengan intervensi


non-bedah, teknik hibrida relatif lebih invasif tapi tidak seinvasif tindakan
bedah karena pada terapi hibrida jantung tidak dihentikan jadi tidak pakai
by-pass (Gambar 1).

Kelompok PJB yang bertahan sampai remaja


Kelompok ini dibagi 2 yaitu:

1. Kelompok PJB yang tidak dilakukan operasi atau kardiologi


intervensi14,15
Berdasarkan alasan mengapa pasien tidak dilakukan operasi atau kardiologi
intervensi, kelompok ini ada yang memang kelainannya ringan dan tidak
mengganggu hemodinamik seperti pada ASD atau VSD kecil. Kelompok
lainnya adalah kelompok yang terlambat dilakukan operasi atau intervensi
karena sudah terjadi sindrom Eisenmenger atau penyakit vaskular paru.
Kemudian ada kelompok pasien yang tidak dioperasi karena masalah biaya atau
menolak untuk dilakukan operasi atau intervensi. Terakhir adalah kelompok
pasien yang tidak terdiagnosis pada masa bayi atau anak.
Jenis PJB yang tidak dioperasi/intervensi yang bertahan sampai dewasa
dapat dilihat pada Tabel 2.

89
Penyakit jantung pada remaja

Tabel 2. Kelompok PJB yang tidak dioperasi/intervensi yang bertahan sampai dewasa
Stenosis katup pulmoner ringan
Stenosis pulmoner perifer
Katup aorta bicuspid
Stenosis subaorta ringan
Stenosis katup aorta ringan
Defek septum atrium kecil
Defek septum ventrikel kecil kecil
Duktus arteriosus persisten kecil
Prolaps katup mitral
Anomali Ebstein
ccTGA (congenitally corrected transposition of great artery)
Lesi kompleks balans [DILV (double inlet left ventricle) dengan PS]
Defek dengan penyakit vaskular paru (sindrom Eisenmenger)
Di bawah ini akan dibahas satu persatu.

a. Duktus arteriosus persisten (PDA)


PDA adalah PJB non-sianotik ditandai dengan adanya hubungan langsung
aorta dengan arteri pulmoner. Akibat adanya hubungan, sebagian darah
dari aorta akan mengalir ke arteri pulmoner sehingga kalau jumlahnya
banyak dapat menimbulkan hipertensi pulmoner. Darah dari arteri
pulmoner akan mengalir ke atrium kiri dan kanan sehingga atrium kiri
dan kanan akan membesar.
PDA kecil umumnya asimptomatik. Tumbuh kembang pasien
biasanya normal. Pasien dapat hidup sampai dewasa. Komplikasi PDA
kecil adalah endokarditis bakterialis. Oleh karena itu setiap pasien PDA
kalau akan menjalani operasi kecil atau besar non-jantung harus diberikan
antibiotik profilaksis.
b. Defek septum atrium (ASD)
ASD ditandai dengan adanya defek atau lubang antara serambi kiri dan
serambi kanan sehingga sebagian darah dari atrium kanan akan mengalir
ke serambi kiri. ASD sering asimptomatik. Biasanya pada ASD besar
kalau sudah ada tanda atau gejala seperti sesak napas, bibir kebiruan
artinya sudah Eisenmenger. Dengan adanya ekokardiografi, insidens ASD
jadi bertambah jumlahnya. ASD kecil atau sedang biasanya juga dapat
bertahan sampai dewasa.
c. Defek septum ventrikel (VSD)
VSD merupakan penyakit jantung bawaan non-sianotik yang ditandai
dengan adanya lubang antara bilik kiri dengan bilik kanan. VSD adalah
jenis PJB yang paling sering ditemukan. Pada VSD kecil karena pirau kiri
ke kanan minimal, pasien biasanya asimptomatik dan juga dapat bertahan
sampai dewasa

90
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

d. Stenosis pulmoner (PS)


PS adalah PJB non-sianotik ditandai adanya penyempitan jalan keluar
ventrikel kanan. Tempat penyempitan bisa di katup, sub-valvuar atau di
atas katup atau supra valvular. Pasien PS ringan atau sedang biasanya
asimtomatik.
e. Koarktasio aorta
Koarktasio aorta adalah stenosis pada aorta, paling sering lokasi
penyempitannya pada daerah ismus yaitu antara arteri subklavia kiri dan
PDA. Pasien dengan koarktasio aorta umumnya datang dengan hipertensi
f. Tetralogy Fallot (ToF)
TF termasuk PJB sianotik yang paling sering. Kelainannya ditandai 4
komponen yaitu VSD, stenosis pulmoner, aorta overriding dan hipertrofi
ventrikel kanan. Pasien TF yang dapat bertahan sampai dewasa umumnya
mempunyai kolateral yang banyak.
g. Eisenmenger
Eisenmenger merupakan komplikasi PJB dengan pirau kiri ke kanan.
Akibat adanya pirau kiri ke kanan, darah ke paru berlebihan. Untuk
mengatasinya, paru akan bereaksi dengan jalan meningkatkan tahanan,
mula-mula vasokonstriksi, namun lama kelamaan terjadi penebalan pada
tunika intima dan media jaring pembuluh darah paru sehingga tekanan
di ventrikel kanan lebih tinggi. Akibatnya pirau yang tadinya dari kiri ke
kanan akan berbalik arah menjadi pirau kanan ke kiri sehingga pasien
akan sianosis. Kualitas hidup pasien Eisenmenger biasanya rendah, pasien
tidak dapat melakukan aktifitas seperti anak normal. Pada anak wanita
dengan sindrom Eisenmenger, kehamilan akan membahayakan janin dan
ibunya sehingga tidak dianjurkan.

2. Kelompok yang sudah dilakukan operasi atau kardiologi intervensi9,15


Kelompok pasien yang sudah menjalani operasi atau intervensi kardiologi
mempunyai spektrum yang luas. Tindakan ini dibagi atas tindakan definitif
atau paliatif. Tidak sedikit pasien berhenti sampai hanya pada tahapan setelah
tindakan paliatif seperti bidirectional cavo pulmonary shunt (BCPS). Tindakan
definitif juga ada yang biventrikular repair, single ventrikel repair/univentrikular
repair, satu setengah ventrikel dan transplantasi jantung. Transplantasi jantung
di dunia masih jarang karena kesulitan mencari donor. Dari kelompok yang
biventrikuler repair mungkin ada juga yang ada residual shunt atau residual
stenosis (Tabel 3).

91
Penyakit jantung pada remaja

Tabel 3. CHD yang sudah dioperasi/intervensi yang bertahan sampai dewasa


Defek septum atrium /atrial septal defect
Defek septum ventrikel / ventricukar septal defect
Defek septum atrioventrikular / atrioventricular septal defect
Stenosis pulmoner/pulmonary stenosis
Penyakit katup aorta
Koarktasio aorta
Tetralogi Fallot dengan stenosis atau atresia pulmoner
Transposisi komplit
Anomali total drainase vena pulmoner
Penyakit katup mitral
Anomali Ebstein
Prosedur Fontan pada penyakit jantung bawaan kompleks
Transposisi kongenital terkoreksi

a. Duktus arteriosus persisten (PDA)


PDA yang sudah ditutup pada masa bayi atau anak baik dengan operasi
ataupun dengan kardiologi intervensi umumnya dapat tumbuh normal
sampai dewasa. Ruang jantung yang mengalami dilatasi akibat adanya
pirau kiri ke kanan lambat laun akan kembali normal.
b. Defek septum atrium (ASD)
Umumnya ASD dapat ditutup dengan cara bedah atau kardiologi
intervensi dengan risiko yang rendah. Kecuali pada pasien ASD yang
tahanan parunya sudah tinggi, resolusinya memerlukan waktu. Komplikasi
yang dapat terjadi akibat dilatasi atrium kanan antara lain adalah aritmia
berupa atrial ekstra sistol, supraventricular takikardia ataupun walaupun
jarang dapat terjadi atrial flutter atau atrial firilasi. Untuk itu pasien pasca-
penutupan ASD perlu dipantau secara regular.
c. Defek septum ventrikel (VSD)
VSD sekarang ini dapat ditutup dengan cara bedah atau intrvensi non-
bedah. Hasil penutupan VSD umumnya baik. Kecuali kalau tahanan paru
sudah tinggi, risikonya akan bertambah. Pasien dengan VSD yang sudah
dilakukan penutupan dapat hidup sampai dewasa dengan kualitas yang
normal.
d. Stenosis pulmoner (PS)
Pasien dengan PS mempunyai prognosis yang baik. Tata laksana PS bisa
dengan cara bedah atau kardiologi intervensi yaitu dengan valvuloplasti
balon. Pada stenosis pulmoner valvular, valvuloplasti balon merupakan
terapi pilihan terkini. Baik tindakan bedah ataupun valvuloplasti balon
akan dapat menimbulkan restenosis di kemudian hari sehingga perlu
dipantau

92
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

e. Koarktasio aorta
Koarktasio aorta yang mendapat penanganan yang tepat dapat hidup
sampai dewasa. Setelah penyempitannya diatasi dengan cara operasi atau
tanpa operasi dengan cara balon angioplasti tanpa atau dengan pesangan
stent, hipertensi akan membaik.
f. Tetralogi Fallot (ToF)
Pasien ToF yang dilakukan total koreksi pada masa bayi atau anak biasanya
akan bertahan sampai dewasa. Masalah yang kadang-kadang terjadi adalah
pada saat dewasa pasien memerlukan pemasangan katup pulmonal. Katup
pulmonal pada saat operasi total koreksi dilebarkan dengan memasang
patch saat melakukan rekonstruksi jalan keluar ventrikel kanan. Saat ini
sudah ada teknik baru pemasangan katup pulmonal transkateter, hanya
saja harganya masih mahal.
g. Transposisi arteri besar (TGA)
TGA termasuk PJB yang bisa dikoreksi. Hanya saja risikonya masih
tinggi karena ke-2 arteri koroner juga harus dipindahkan saat operasi
pertukaran arteri pulmonal dengan aorta. Pasien TGA yang berhasil
dioperasi umumnya dapat hidup sampai dewasa.
h. Fontan
Fontan atau sirkulasi univentrikel merupakan koreksi fisiologis pada PJB
yang sangat kompleks. Pada pasien ini tidak memungkinkan dilakukan
pemisahan darah bersih dari sisi kiri jantung dan darah dengan saturasi
rendah pada sisi kanan jantung. Pada operasi Fontan, aliran darah balik
sistemik dari vena kava inferior dan dari vena kava superior langsung
dihubungkan ke arteri pulmoner kanan. Setelah operasi Fontan saturasi
oksigen darah arteri akan membaik tapi tidak pernah 100% karena masih
ada vena jantung (sinus koronarius) yang masuk ke atrium kanan. Kualitas
hidup pasien pasca operasi Fontan umumnya rendah. Pasien tidak dapat
melakukan aktifitas fisik berat.

Masalah lain
a. Endokarditis15
Endokarditis sering terjadi pada PJB yang menimbulkan aliran cepat/
jet stream aliran darah setelah melewati dinding berlubang seperti VSD
atau PDA atau bagian yang menyempit stenosis pulmoner, stenosis arta
dan lain-lain. Permukaan dalam jantung yang terkena semprotan akan
abnormal sehingga kuman mudah menempel kemudian terjadi infeksi.
Oleh karena itu setiap pasien PJB yang kelainannya menimbulkan aliran

93
Penyakit jantung pada remaja

cepat (jet stream) perlu mendapatkan antibiotik profilaksis sebelum pasien


menjalani tindakan bedah minor atau mayor non-jantung,
b. Aritmia19
Aritmia sering merupakan kelainan akibat komplikasi PJB yang dilakukan
manipulasi di daerah atrium kanan seperti pada operasi Fontan. Pasien
yang mengalami aritmia perlu dipantau secara ketat dan kalau perlu
dilakukan pemeriksaan Holter. Jika ada AV blok komplit perlu dilakukan
pemasangan alat pacu jantung.
c. Abses otak15
Abses otak merupakan komplikasi PJB sianotik yang tidak dikoreksi
sesudah usia 2 tahun. Abses otak terjadi karena ada fokus infeksi dari
daerah ekstremitas yang harusnya difilter di paru, tetapi akibat pirau
kanan ke kiri akan mem-bypass paru dan masuk ke aliran sistemik dan
sampai di otak. Komplikasi lain penyakit jantung bawaan sianostik yang
dapat terjadi adala stroke. Oleh karena itu pada pasien dewasa yang ada
riwayat stroke harus disingkirkan kemungkinan penyakit jantung bawaan.
d. Adaptasi psikososial (aktifitas sekolah dan pekerjaan)20
Pasien PJB yang sudah dioperasi atau intervensi harus dikonsulkan juga
ke ahli psikologi untuk mengatasi masalah psikososial. Pasien yang tidak
mempunyai residual shunt atau residual stenosis tidak perlu dilakukan
pembatasan aktifitas atau makanan tertentu. Pasien dapat kembali ke
kelompok dia bermain, dan dapat menjalani aktifitas sekolah seperti biasa.
Pada kelompok tertentu seperti pasca-operasi Fontan perlu dilakukan
pembatasan aktifitas fisik.
Terdapat klasifikasi fungsional pasien dewasa dengan PJB menurut UCLA.6
Berdasarkan kelas fungsionalnya pasien dibagi atas 4 kelompok, yaitu
klas 1 asimtomatik, klas 2 sesak kalau aktifitas sedang, klas 3 sesak kalau
aktifitas ringan dan klas 4 sesak pada saat istirahat.
e. Fertilitas21
Pada umumnya pasien PJB mempunyai fertilitas normal, kecuali PJB yang
disertai kelainan kromosom. Remaja perempuan dengan PJB sianotik
yang sudah dioperasi umumnya mengalami menstruasi yang sedikit lebih
lambat dari anak normal. Demikian juga pada anak pria dengan penyakit
jantung bawaan juga ada sedikit mengalami keterlambatan pubertas.
f. Kehamilan15,21
Dengan meningkatnya jumlah pasien yang dioperasi, maka jumlah wanita
yang menikah dan hamil juga meningkat. Kehamilan dapat berpengaruh
pada ibu dan juga pada anak yang dikandungnya. Untuk menanganinya
perlu kerjasama antara kardiologi, ahli kandungan dan ahli anak.

94
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

g. Kontrasepsi15,21
Beberapa jenis kontrasepsi mempunyai risiko terhadap pasien PJB.
Alat kontrasepsi dalam rahim misalnya tidak dianjurkan karena dapat
menimbulkan inflamasi dalam rahim yang dapat merupakan sumber
endokarditis. Kontrasepsi oral dihindari pada PJB sianotik karena
mempermudah timbulnya tromboemboli. Depo provera sebaiknya
dihindari pada pasien PJB yang sering mengalami gagal jantung karena
obat ini akan menyebabkan retensi cairan sehingga memperberat gejala
gagal jantung. Penggunaan alat kontrasepsi lain seperti kondom, cukup
aman. Sterilisasi merupakan cara kontrasepsi yang dipandang cukup aman
dan perlu dipertimbangkan pada PJB tertentu yang tidak dapat mentolerir
kehamilan seperti pada sindrom Eisenmenger.

Simpulan
Penyakit jantung pada remaja dapat berupa penyakit jantung bawaan atau
penyakit jantung didapat. Berkat kemajuan dalam bidang kardiologi intervensi
dan bedah populasi remaja dengan penyakit jantung bawaan meningkat.
Khususnya PJB pada remaja, penanganannya perlu komprehensif melibatkan
dokter anak, dokter kardiologi dan dokter spesialis lainnya sesuai dengan
masalah yang dihadapi. Oleh karena itu di negara lain sekarang ini bidang ini
sudah menjadi spesialisasi tersendiri.

Daftar pustaka
1. Soetjiningsih. Tumbuh-kembang remaja. Dalam: Soetjiningsih, Ranuh IGNG,
penyunting. Tumbuh kembang anak. Edisi ke-2. Jakrta: EGC; 2012. h. 116-24.
2. Mulder BJM. Epidemiology of adult congenital heart disease: demographic
variations worldwide. Neth Heart J. 2012;20:505-8.
3. Zomer AC, Vaartjes I, Grobbee DE, Mulder BJM. Adult congenital heart disease:
new challenges. Int J Cardiol. 2013;163:105-7.
4. Perloff JK, Miner PD, Houser L. Specialized facilities for adults with congenital
heart disease. Dalam: Perloff JK, Child JS, Aboulhosn J, penyunting. Congenital
heart disease in adults. Edisi ke-3. Philadelphia: Elsevier; 2009. h. 18-22.
5. Schneider F, Kelleher A. Adult congenital heart disease. Anesth Intens Care
Med. 2012;13:513-8.
6. Van Engelan K, Baars MJH, van Rongen LT, van der Velde Enno, Mulder BJM,
Smets EMA. Adults with congenital heart disease: patients knowledge and
concerns about inheritance. Am J Med Genet. 2011;155:1661-7.
7. Daniels CJ. The adolescent and adult with congenital heart disease. Dalam:
Allen HD, Driscoll DJ, Shaddy RE, Feltes TF, penyunting. Moss and Adam’s
heart disease in infants, children, and adolescents including fetus and young
adult. Philadelpia: William & Wilkin; 2008. h. 1370-97.

95
Penyakit jantung pada remaja

8. Marell AS, Mackie AS, Lonesscu-Ittu R, Rahme E, Pilote L. Congenital heart


disease in the general population. Changing prevalence and age distribution.
Circulation. 2007;115:163-72.
9. Marelli D, Plunkett MD, Perloff JK, Laks H. Cardiac surgery in adults with
congenital heart disease: operation and reoperation. Dalam: Perloff JK, Child
JS, Aboulhosn J, penyunting. Congenital heart disease in adults. Edisi ke-3.
Philadelphia: Elsevier; 2009. h. 323-41.
10. Perloff JK, Plunkett MD. Survival patterns cardiac surgery or interventional
catheterization: a narrowing base. Dalam: Perloff JK, Child JS, Aboulhosn J,
penyunting. Congenital heart disease in adults. Edisi ke-3. Philadelphia: Elsevier;
2009. h. 68-102.
11. Akagi T. Catheter intervention for adult patients with congenital heart disease.
J Cardiol. 2012;60:151-9.
12. Qureshi SA, Hildick-Smith D, Giovanni LD, Clift P, Stuart G, Henderson R, et
al. Adult congenital heart disease interventions: recommendations from a Joint
Working of the British Congenital Cardiac Association, British Cardiovascular
Intervention Society, and the British Cardiovascular Society. Cardiol Young.
2013;23:68-74.
13. Aboulhosn J, Levi D, Moore JW. Transcatheter interventions in adults congenital
heart disease. Dalam: Perloff JK, Child JS, Aboulhosn J, penyunting. Congenital
heart disease in adults. Edisi ke-3. Philadelphia: Elsevier; 2009. h. 357-79.
14. Iglessis I, Landzberg MS. Interventional catheterization in adult congenital heart
disease. Circulation. 2007;115:1622-33.
15. Perloff JK. Survival patterns without cardiac surgery or interventional
catheterization: a narrowing base. Dalam: Perloff JK, Child JS, Aboulhosn J,
penyunting. Congenital heart disease in adults. Edisi ke-3. Philadelphia: Elsevier;
2009. h. 25-67.
16. Harimurti G, Advani N. Penyakit jantung pada remaja dan dewasa muda. Dalam:
Sastroasmoro S, Madiyono B, penyunting. Buku ajar kardiologi. Jakarta: Balai
Penerbit IDAI; 1992. h. 520-32.
17. Rhodes JF, Hijazi ZM, Sommer RS. Pathophysiology of congenital heart disease
in the adult. Part II. Simple obstructive lesions. Circulation. 2008;117:1228-37.
18. Webb GA, Williams RG. Care of the adult with congenital heart disease. J Am
Coll Cardiol. 2001;37:1166.
19. Baungartner H, Broenhoffer P, De Groor NMS, de Haan F, Deanfield JE, Galic
N. ESC guidelines for management of grown-up congenital heart disease (new
version). Eur Heart J. 2010;31:2915-57.
20. Walse EP, Cecchin F. Arrhythmias in adult patients with congenital heart disease.
Circulation. 2007;115:534-45.
21. Aboulhosn J, Perloff JK. Exercise and athletics in adults with congenital heart
disease. Dalam: Perloff JK, Child JS, Aboulhosn J, penyunting. Congenital heart
disease in adults. Edisi ke-3. Philadelphia: Elsevier; 2009. h. 248-64.
22. Child JS, Perloff JK, Koos B. Management of pregnancy and contraception in
congenital heart disease. Dalam: Perloff JK, Child JS, Aboulhosn J, penyunting.
Congenital heart disease in adults. Edisi ke-3. Philadelphia: Elsevier; 2009. h.
194-220.

96
Kelainan Bawaan Saluran Cerna pada Neonatus
Evita Karianni Bermanshah Ifran

Tujuan:
ada ahir makalah ini diharapkan pembaca dapat mengetahui
1. P
berbagai macam kelainan bawaan yang sering dijumpai pada
saluran cerna neonatus
2. pada ahir makalah ini pembaca dapat mengetahui berbagai
macam pemeriksaan pencitraan dan memilih pemeriksaan
pencitraan yang sesuai untuk menegakkan diagnosis kelainan
bawaan saluran cerna pada neonatus

Kelainan bawaan merupakan salah satu penyebab kesakitan dan kematian


pada bayi baru lahir. Pengetahuan akan berbagai macam kelainan bawaan
berdasaran gejala pada bayi dan penentuan modalitas pencitraan yang sesuai
serta kemampuan menginterpretasi kelainan tersebut akan memberikan
tatalaksana yang tepat dan adekuat pada neonatus. Keterlambatan dalam
menegakkan diagnosis serta keterlambatan tatalaksana akan meningkatkan
angka kematian dan kecacatan anak dikemudian hari.Untuk mengetahui
kelainan pada sistem pencernaan terlebih dahulu harus diketahui anatomi
normal saluran cerna.

Modalitas pemeriksaan pencitraan 1,2


Pemeriksaan pencitran untuk melihat kelainan bawaan saluran cerna dapat
berupa pemeriksaan radiologis konvensional seperti pemeriksaan foto torak dan
abdomen, pemeriksaan dengan menggunakan fluoroskopi, atau pemeriksaan
ultrasonografi (USG) abdomen, CT(Computed Tomography)-scan abdomen
sampai MRI (Magnetic Resonance Imaging) abdomen.
Pemeriksaan foto röntgen konvensional seperti foto torako-
abdomen masih sangat bermanfaat untuk melihat kelainan pada saluran
cerna atas khususnya bila gejala obstruksi seperti muntah sudah terjadi
saat diberikan minum pada jam-jam pertama kehidupan. Bila muntah
terjadi beberapa hari kemudian pemeriksaan serial gastrointestinal lebih
memberikan gambaran kelainan daripada pemeriksaan foto rontgen

97
Kelainan bawaan saluran cerna pada neonatus

konvensional. Pemeriksaan ini hanya boleh dilakukan apabila obstruksi


sifatnya pasial. Pemeriksaan serial gastrointestinal dengan menggunakan
zat kontras harus didahului dengan foto polos abdomen untuk melihat
apakah terdapat kontraindikasi dilakukan pemeriksaan ini seperti
ditemukannya gambaran obstruksi total atau telah terjadi perforasi.
Apabila obstruksi dicurigai letak rendah, pemeriksaan enema dengan
zat kontras yang larut dalam air merupakan pilihan pada neonatus.
Pemeriksaan CT scan abdomen dan MRI hanya dilakukan apabila
dengan pemeriksaan pencitraan konvensioanl dan fluoroskopi kelainan
tidak dijumpai. Pemeriksaan CTscan dan MRI bukan merupakan
pemeriksaan skrining. USG abdomen sebaiknya dilakukan sebelum
pemeriksaan CT scan dan MRI. Beberapa kelainan bawaan dapat
dilihat dengan baik menggunakan USG abdomen. Sebelum kita mencari
kelainan pada saluran cerna terlebih dahulu kita harus mengingat
bagian-bagian dari saluran cerna serta letaknya yang normal di dalam
rongga tubuh (Gasmbar 1)

Forgut (mendapat darah dari arteri siliaka)


Esofagus distal, lambung, duodenum
proksimal, pankreas hati, kandung
empedu.

Midgut (mendapat darah dari arteri mesen-


terika superior)
Duodenum proksimal, yeyunum. ileum.
sekum, apendiks, kolom asendens, 2/3
proksimal kolon transfersum Hindgut
(mendapat darah dari arteri mesenteri-
ka inferior) sepertiga distal kolontrans-
fersum, kolon desendens, sigmoid,
rektum dan kanal anus proksimal.

(a) (b)
Anatomi normal saluran cerna

Gambar 1. (a) Anatomi normal dan pembagian saluran cerna, (b) Gambaran normal pada foto polos
abdomen. Pada neonatus usus halus dan kolon tidak dapat dibedakan pada foto polos abdomen.

98
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

Berbagai macam kelainan bawaan saluran cerna


1. Atresia esofagus 1,2,3,4
Atresia esofagus disebabkan ketidak sempurnaan dalam pemisahan esofagus
dan trahea pada perkembangan embrional, sehingga terdapat bagian esofagus
yang buntu dengan atau tanpa fistel ke trakea. Atresia esofagus umumnya
disertai dengan fistel ke trahea. Fistel terbanyak berasal dari trahea ke distal
kantung esofagus yang buntu, kadang berasal dari trahea ke bagian atas
kantung esofagus yang buntu, dan sangat jarang terdapat fistula multipel
dari kantung atas dan bawah esofagus yang buntu. Anomali esofagus lainnya
adalah atresia esofagus tanpa fistula dan fistel traheoesofagus tanpa atresia
esofagus (Gambar 2)
Atresia esofagus tidak jarang disertai juga kelainan lain seperti atresia
ani, atresia duodeni, anular pankreas, stenosis pilorus hipertropi. Juga sering
dijumpai kelainan pada sistem lain seperti kelainan jantung, traktus urinarius,
saluran napas, tulang belakang dan iga, atau bagian dari sindrom VACTERL
(vertebral, anal, cardiac, trachea, esophagus, renal, limb abnormalities). Skrining
terhadap kelainan tersebut harus dilakukan.

Gejala klinis
Hipersaliasi dan pipa oro/nasogastrik (O/NGT) tidak dapat masuk ke dalam
lambung pada saat bayi lahir. Bila fistel cukup besar gejala klinis segera
terlihat. Sebaliknya pada fistel traheoesofagus tanpa atresia gejala tidak jelas,
terkadang baru diketahui pada masa kanak-kanak. Bila dicurigai terdapat
atresia esofagus, anak di posisikan tengkurap dan dilakukan penghisapan
berkala untuk mencegah terjadinya aspirasi.

Gambar 2. Tipe atresia esofaghus

99
Kelainan bawaan saluran cerna pada neonatus

Pemeriksaan pencitraan dan gambaran yang ditemukan


Diagnosis dapat ditegakkan dengan menggunakan foto polos torakoabdomen.
Selain untuk melihat esofagus juga untuk melihat ada tidaknya udara di
abdomen. Sebelumnya pasang OGT sejauh yang dapat dimasukkan. Pipa akan
berhenti atau melingkar pada ujung kantong esofagus yang buntu. Pemeriksaan
foto abdomen dilakukan dengan dua posisi yaitu anteroposterior (AP) dan
lateral. Pada foto akan terlihat gambaran radiolusen kantung esofagus yang
buntu dan melebar terisi udara dengan ujung OGT berhenti atau melingkar di
dalamnya (Gambar 3). Bila pada foto abdomen tertlihat opak tanpa gambaran
lambung atau usus, hal ini menunjukan atresia esofagus tanpa disertai adanya
fistel. Normalnya dalam 15 menit setelah lahir lambung sudah terisi udara. Tipe
A dan B tidak terdapat udara di di abdomen. Tipe C dan D terlihat udara di
abdomen (gambar 3). Pada foto lateral selain dapat dilihat gambaran radiolusen
kantung esofagus yang buntu, juga dapat dilihat ada tidaknya kompresi trahea
yang sering menimbulkan masalah pernapasan dikemudian hari. Tipe E pada
pemeriksaan dengan kontras terlihat fistel yang berjalan ke anterior dan ke
atas menuju trahea. Dapat dijumpai gambaran atelektasis atau pneumonia
lobus kanan atas bila terjadi aspirasi.

Gambar 3. Atresia esofagus dengan fistel. Tampak OGT melingkar setinggi vertebra torakal IV. Abdomen
terisi udara di dalam lambung dan duodenum yang melebar menunjukkan terdapat fistel trakeoesofagus.

2. Gastroesophageal reflux Disease (GERD)1,2,,5


Refluks gastroesophageal adalah keadaan dimana terjadi aliran balik cairan
dari lambung ke esofagus. Tergantung beratnya refluks dapat disertai regurgitasi
atau muntah. Keadaan ini dapat fisiologis, misalnya pada bayi prematur dimana

100
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

masih terdapat kelemahan sphincter gastroesofagus. Perbedaan anatomi esofagus


dan lambung pada bayi dan orang dewasa, dimana sudut antara pertemuan
esofagus dan lambung lebih kecil dibandingkan pada orang dewasa sehingga
hampir membentuk suatu tabung garis lurus serta esofagus yang lebh pendek
dibandingkan dewasa yang terletak sampai beberapa senti dibawah diafragma
turut berperan terhadap tejadinya refluks pada bayi, khususnya bayi prematur.
Keadaan ini masih fisiologis dan akan membaik dengan bertambahnya usia
anak. GER sering ditemukan pasca repair atresia esofagus, pada hiatal hernia,
anak dengan palsi serebral atau obesitas. Riwayat keluarga sering ditemukan.
Pada sebagian anak tidak toleransi terhadao kondisi ini, akan terjadi proses
inflamasi akibat cairan lambung yang masuk ke esofagus, tertbentuk ulkus,
perdarahan, sampai terjadi striktur pada esofagus. Anak akan mengalami
anemia, melena dan disfagia. Bila telah menyebabkan gangguan tumbuh
kembang keadaan ini menjadi patologis disebut Gastro Esophageal Reflux
Disease (GERD) yang memerlukan penanganan adekuat untuk mengembalikan
tumbuh kembang anak yang normal. Perlu dicari penyebabnya dan bila perlu
dilakukan tindakan bedah untuk mengatasinya.

Gejala klinis
Bayi akan muntah bila diberikan minum dalam jumlah tertentu, bahkan dapat
setiap diberikan minum anak gumoh atau muntah. Meningkatnya kejadian
aleregi belakangan ini, adanya alergi susu sapi harus disingkirkan. Bila dengan
perubahan posisi serta cara pemberian minum dengan anak ditegakkan dengan
jumlah pemberian sedikir-sedikit namun sering tidak memberikan perbaikan,
pemeriksaan pencitraan harus dilakukan, terlebih bila kenaikan berat badan
anak terganggu. Bayi terlihat iritable, seperti kejang, tortikolis atau distonia.
Pada anak besar gejala dapat berupa rasa panas di ulu hati dan dada, disfagia
atau hematemesis. Terkadang terlihat sebgai asma, pneumonia berulang,
bronhiolitis, bronhitis dan kelainan paru lainnya.

Pemetriksaan pencitran dan gambaran yang terlihat


Ultrasonografi dapat memperlihatkan GER sedang dan berat, pda pemereiksaan
dengan minum barium akan terlihat aliran balik dari lambung ke esofagus.
(Gambar 4). Bila GER tidak membaik dengan tatalaksana yang adekuat,
dilanjutkan dengan pemeriksaan fluoroskopi serial gastrointestinal dengan
mengunakan kontras larut dalam air/non ionik untuk mencari penyebab
obstruksi. Penangan disesuaikan dengen kalainan yang ditemukan. Bila dengan
terapi medikamentosa GERD tetap tidak membaik dilakukan tindakan bedah
fundoplikasi.

101
Kelainan bawaan saluran cerna pada neonatus

Gambar 4. Refluks pada pemeriksaan serial gastrointestinal dengan kontras. Gambar kiri saat anak
diberi minum zat kontras. Beberapa saat kemudian zat kontras yang telah masuk ke dalam lambung naik
kembali ke esofagus (refluks) (gambar kanan)

3. Ahalasia 1,2,5
Sphincter esofagus bagian bawah dibawah kontrol oleh nervus vagus yang
akan relaksasi pada saat proses menelan terjadi. Peningkatan kadar gastrin
serum akan meningkatkan tonus sphincter esofagus. Bagaimanakah mekanisme
kontrol sphicter masih kontrovesrial. Ahalasia jarang ditemukan pada bayi dan
anak. Sering pada ACTH insensitive dan kelainan neurologis. Penyebab tidak
diketahui, pada beberapa kasus didapatkan tidak adanya sel ganglion pada
esofagus distal.

Gejala klinis
Gejala klinis ahalasia dapat berupa regurgitasi kronik makanan yang tidak
dicerna, aspirasi pneumonisa dan gagal tumbuh.

Pemeriksaan pencitraan dan gambaran yang terlihat


Pemeriksaan foto polos akan memperlihatkan esofagus dilatasi dan terisi
cairan sehinga terlihat air fluid level pada posisi tegak. Terkadang pada kasus
yang terlambat, esofagus yang terisi makanan akan terlihat sebagai massa di
mediastinum. Pada pemeriksaan dengan barium akan terlihat dilatasi esofagus
yang terisi barium dengan ujung distal menyempit (beak) serta hilangnya
peristaltik normal atau peristaltik tidak beraturan diatas penyempitan (Gambar
5)

102
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

Gambar 5 (a) Anatomi normal dan abnormal sphincter esofagus distal (b) Pemerikasaan fluoroskopi
dengan zat kontras, terlihat esofagus distal menyempit (beak) dan peristaltik tidak beraturan (tidak
terlihat)

4. Hiatal hernia 1,2,5,6


Hiatal hernia adalah herniasi lambung ke atas diafragma masuk ke dalam
rongga toraks. Terdapat dua tipe hiatus hernia: (1). Sliding hiatal hernia, (2).
Paraesophageal hiatal hernia (Gambar 6).

(a) (b)
Gambar 6. (a) Sliding hiatal hernia (b) Paraesophageal hiatal hernia

Gejala klinis
Anak akan merasa penuh, kenyang, nyeri abdomen dan gastroesofageal refluks.
Bila hiatus hernia kecil tanpa disertai GER dapat tanpa gejala klinis serta
bersifat sementara.

103
Kelainan bawaan saluran cerna pada neonatus

Pemeriksaan pencitraan dan gambaram yang ditemukan


Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan minum barium. Lambung yang
terisi zat kontras berada intratorakal. Gambaran parsial atau komplit seluruh
lambung berada intratorakal sangat jarang ditemukan, kelainan ini dengan
pemeriksaan minum barium akan terlihat dengan jelas.

5. Stenosis pilorus hipertropi 1,2,4,7


Angka kejadian stenosis hipertropi piulorus (SHP) 1- 3 per 1000 kelahiran dan
lebih sering ditemukan pada bayi laki-laki, golongan darah O dan B serta pada
ibu yang mengkonsumsi macrolide. Sering merupakan bagian dari sindrom.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 7. Pilorus (a) normal dan abnormal (b) SPH pada USG terlihat otot pilorus tebal dan kanalis
pilorus sempit dan panjang, (c) dan (d) SPH pada pemeriksaan serial gastrointestinal terlihat gambaran
beak, tit, shoulder, string sign, dan mushroom sign.

104
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

Gejala klinis:
Anak biasanya mulai muntah pada usia 3-5 minggu. Muntah non bilious
semakin lama semakin sering dan proyektil. Bila dibiarkan anak menjadi
dehidrasi berat, alkalosis metabolik hipokloremik dan gagal tumbuh. Pada saat
anak dberikan minum akan terlihat gelombang di perut yang berjalan dari kiri
atas ke kanan bawah dan pada perabaan akan terba pilorus yang hipertropi
sebesar buah olive.

Pemeriksaan pencitraan dan gambaram yang ditemukan


Pada setiap anak dengan gejala muntah hal yang penting adalah menentukan
apakah terdapat kelainan pada gastric outlate, hal ini perlu untuk tindakan
selanjutnya apakah diperlukan tindakan bedah atau cukup dengan
medikamentosa. Ultrasonografi merupakan pemeriksaan pencitraan non radiasi
yang dapat dipergunakan untuk mengevaluasinya
USG merupakan first choice imaging modality. Pada USG otot pilous yang
hipertropi akan terlihat tebal (>3 mm) serta kanalis pilorus panjang (>15
mm). Lambung akan terlihat hiperperistaltik berusaha untuk mendorong isi
lambung ke duodenum melalui kanalis pilorus yang sempit (gambar 7 b)
Pada foto polos abdomen dapat tertlihat lambung yamg besar dengan
gambaran udara usus di distalnya berkurang. Dahulu pemeriksaan SPH
dilakukan dengan pemeriksaan fluoroskopi minum barium (zat kontras).
Pemeriksaan ini kurang disenangi dan belakangan ini jarang dilakukan karena
memberikan radiasi yang besar pada anak, Pemeriksaan minum barium ini
hanya dilakukan apabila pada pemeriksaan USG tidak ditemukan SPH dan
tujuannya adalah untuk mencari penyebab muntah pada anak yang tidak
terlihat dengan USG. Pada pemeriksaan minum kontras akan terlihat beak,
yaitu cairan dari lambung yang berusaha masuk ke dalam kanalis pilorus
yang sempit, shoulder adalah gambaran indentasi otot pilorus yang menebal
pada dinding antrum, string, double atau triple tract adalah gambaran kontras
yang masuk ke dalam kanalis pilorus yang sempit, panjang dengan mukosa
berlipat-lipat membentuk gambaran 1-3 garis opak, sedangkan mushroom
adalah gambaran menyerupai jamur pada saat kontras masuk ke dalam bulbus
duodenum (gambar 7 c,d). Dapat terlihat gerakan peristaltik lambung yang
berusaha mendorong isi lambung ke duodenum melalui pilrorus yangh sempit
(caterpillar sign). Pengosongan lambung berjalan lambat.

6. Vovulus gaster 12,8


Lambung normalnya diikat olah empat ligamen. Bila lambung tidak diikat
secara baik maka lambung dapat berputar. Rotasi dapat terjadi pada seluruh

105
Kelainan bawaan saluran cerna pada neonatus

bagian lambung. Bila berputar pada sumbu panjangnya, disebut volvulus


organoaksial atau berputar pada sumbu tegak lurus terhadap sumbu panjang
disebut volvulus mesenteroaksial (gambar 8). Volvulus organoaksial dapat
ditemukan bersama dengan defek pada diafragma.

Gejala klinis
Pada volvulus mesenteroaksial terjadi obstruksi pada gastric inlet dan
outlet. Tipe ini merupakan kasus emerjensi karena dapat terjadi terpuntirnya
pembuluh darah yang memberikan darah ke lambung. Gejala utama anak
muntah. Pada anak besar disertai keluhan sakit perut.

Pemeriksaan pencitraan dan gambaram yang ditemukan


Pada volvulus mesenteroaksial berhubungan dengan eventerasio difragma kiri,
pada foto polos abdomen akan terlihat lambung yang besar terletak dibawah
diafragma kiri yang terletak tinggi. Pada volvulus organoaksial lebih sering
terjadi dan berhubngan dengan histus hernia besar, terutama tipe paraesofageal.
Kelainan ini memerlukan pemeriksaan gastrointestinal serial.

(a) (b) (c)


Gambar 8. Dua tipe volvulus. (a) Volvulus organoaksal, lambung berputar pada sumbu panjang, (b)
Volvulus mesenteroaksial, lambung berputar pada sumbu tegal lurus terhadap sumbu panjang. (c)
Pemeriksaan dengan fluoroskopi terihat rotasi lambung (volvulus).

7. Atresia duodenum, jejenum, ileum 1,2


Atresia duodenum, yeyuni atau ilei akibat kegagalan rekanalisasi lumen usus
pada minggu ke 9-11 kehaminan. Atresia duodeni paling sering dijumpai. Pada
duodenum selain atresia dapat terjadi stenosis duodenum dan web duodenum.
Penyebab ekstrinsik antara lain anular pankreas, ladd’s bands, malrotasi usus.

106
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

Gejala klinis
Bila anak muntah hijau pada jam-jam pertama kehidupan, adanya obstruksi
saluran cerna bagian atas harus difikirkan. Keadaan ini sering disebabkan
atresia duodeni, yeyuni atau ilei. Semakin cepat timbulnya muntah semakin
tinggi letak atresia (lihat gambar 1)

Pemeriksaan pencitraan dan gambaran yang ditemukan


Pemeriksaan foto polos abdomen sudah dapat melihat adanya atresia duodeni,
yeyeni atau ilei. Foto abdomen diambil dengan posisi bayi tegak (AP tegak).
Berdasarkan jumlah bubble udara uang mengisi saluran cerna dapat ditentukan
letak obstruksi. Bila hanya terlihat double bubble maka atresia terdapat di
duodenum, bubble 3-5 atresia yeyuni, dab bila bubbke 6-8 atresia di ilei
(gambar 9). Pemeriksaan gastrointestinal serial atau barium meal merupakan
kontraindikasi pada kecurigaan atresia.

(a) (b)

(b)

Gambar 9 (a) atreia duodeni; (b) atresia yeyuni, (c) atresia ilei. Jumlah bubble (udara di dalan usus)
menunjukkan perkiraan letak obstruksi (evita)

107
Kelainan bawaan saluran cerna pada neonatus

8. Malrotasi usus 1,2


Merupakan kelainan akibat kegagakan usus berotasi setelah kembali ke rongga
abdomen (gambar 10), akibatnya usus halus mengisi rongga abdomen kanan
sedangkan kolon mengisi rongga kiri abdomen. Adanya amlrotasi harus
dicurigai apabila caecum tidak ditemukan di kuadran kanan bawah.
Caecum diikat oleh pengikat jaringan yang disebut ladd bands sehingga
berada di abdomen kanan bawah, pengikat ini melintasi duodenum, kadang
menyebabkan obstruksi dan volvulus sekitar arteri mesenteria superior.

Gambar 10. Malrotasi usus. Ussu halus berada di sisi kanan abdomen.

Gejala klinis
Muntah biliurs yang terjadi dalam satu bulan pertama setelah lahir semakin
lama semakin sering.

Pemeriksaan pencitraan dan gambaran yang ditemukan


Ultrasonografi akan memperlihatkan inversi letak arteri mesenterika superior
dan vena mesenterika superior. Namun tidak ditemukannya invesri arteri
mesenterika belum menyingkirkan adanya malrotasi. Pemeriksaan serial
gastrointestinal memperlihatkan kontras sulit keluar dari lambung dan
membentuk gambaran seperti spiral, usus halus berkumpul di abdomen kanan
dan usus besar di abdomen kiri.

108
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

9. Morbus Hirschsprung 1,2


Merupakan penyebab obstruksi rendah pada saluran cerna, disebabkan
gangguan perkembangan persyarafan saluran cerna, sehingga tidak ditemukan
sel ganglion pada submukosa dan plexus myenteric. Keadaan ini menyebabkan
kesulitan untk mengeluarkan feses, bagian proksimal bagian yang aganglion
menjadi dilatasi dan terjadi stasis feses yang akan berkembang menjadi
enterokoliitis dan sepsis. Pada beberapa kepustakaan Morbus Hisrcsprung
dikategorikan emerjensi yang harus segera ditangani. Belakangan ini berubah
dikarenakan perubahan tehnik serta waktu tindakan koreksi bedah. Ahir-ahir
ini dilakukan dilatasi terlebih dahulu untuk dapat mengeluarkan fekal mass,
dan tindakan operasi dilakukan km kemudian setelah anak bertambah besar
serta hanya dilakukan satu kali tindakan operasi. Sebagian besar Moerbus
Hirscpsprung kelainanannya segmen pendek (80%), sisanya segmen panjang.
Sering ditemukan bersama dengan sindrom lain, misalnya pada Down
Syndrome. Tidak dijumpai pada prematur.

Gambar 11 (a) perkembangan syaraf pada kolon, (b) M. Hirschsprung pada pemeriksaan enema barium.
Rasio rektum dan sigmoid < 1.

Gejala klinis
Mekonum pada bayi dengan Morbus Hirscsprung biasanya terlambat keluar
(> 24 jam). Beberapa setelah lahir anak terlihat kembung dan defekasi
menjadi jarang atau harus dirangsang. Pada pemeriksaan rektum dengan
jari, feses menyemprot keluar saat jari ditarik. Pada obstruksi letak rendah
gejala yang pertama timbul adalah distensi abdomen kemudian baru diikuti
dengan muntah, dapat berwarna hijau. Late Hirscsprung pada anak ditemukan
riwayat konstipasi sejak bayi. Bila feses yang terkumpul sangat banyak dapat
menyebabkan kompresi pada traktus urinarius sehingga terjadi hidronefrosis,
retensi urin serta infeksi pada saluran kemih.

109
Kelainan bawaan saluran cerna pada neonatus

Pemeriksaan pencitraan dan gambaram yang terlihat


Pemeriksaan foto polos abdomen AP dan prone sinar borisontal terkadang
dapat memperlihatkan kecurigaan adanya Morbus Hisrsprung, selanjutnya
dilakukan pemeriksaan enema barium atau non ionik kontras. Adanya zona
transisi serta rasio kaliber rektosigmoid yang terbalik (<1) dari bagian usus
aganglion yang kecil ke bagian proksimalnya yang melebar, sesuai dengan
Morbus Hischsprung. (gambar 11). Terkadang bila telah berlangsung lama
terlihat gambaran dinding usus yang iregular menunjukkan ulserasi atau telah
terjadi colitis. Sebaiknya tidak dilakukan pemasangan pipa rektum 24 jam
sebelum pemeriksaan, tindakan ini akan menyebabkan udara masuk ke dalam
rektum dan gambaran zona transisi menjadi kurang jelas. Bila gambaran zona
transisi meragukan namun secara klinis sangat dicurigai Morbus Hisrcsprung,
lakukan pemeriksaan kembali 1 bulan kemudian, biasanya gambaran yang
telihat semakin jelas atau dilakukan pemeriksaan anorectal manometry atau
biopsi yang merupakan gold standard.

10. Mikrokolon1,2,9
Mikrokolon adalah obstruksi gastrointestinal bawah akibat tidak digunakannya
saluran cerna intrauterin, disebut juga small unused colon.

Gambar 12. Pada barium enema terlihat seluruk kolon kalibenya kecil. (a) AP dan (b) lateral.

110
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

Gejala klinis
Neonatus dengan mikmrokolon akan menunjukkan gejala obstruksi, perut
terlihat besar kemudian disertai muntah, yang menunjukkan obstriksi terletak
rendah.

Pemeriksaan pencitraan serta gambaran yang terlihat.


Pada foto polos abdomen seluruh usus terlihat melebar. Gambaran ini tidak
khas untuk mikrokolon. Pada neonatus sulit dibedakan pelebaran usus pada
usus halus atau usus besar, untuk itu diperlukan pemeriksaan fluoroskopi
dengan zat kontras. Pafda foto terlentang dengan sinar horisontal/cross table
x ray, terlihat air fluid level multipel yang menunjukkan terdapat obstruksi.
Pemeriksaan dengan barium enema atau kontras non ionik, terlihat seluruh
kolon kalibernya kecil.

11. Left bowel syndrome


Sering ditemukan pada neonatus dari ibu dengan DM. Imatur fungsional
kolon. Biasanya pada neonatus near mature dengan berat badan lahir normal.

Gejala klinis
Gejala klinis memperlihatkan gejala obstruksi usus, 1-2 hari setelah lahir
dengan riwayat mekonium belum keluar dalam 24 jam pertama. Distensi
abdomen diikuti muntah berwarna hijau.

Pemeriksaan pencitraan dan gambaram yang terlihat


Pada pemeriksaan dengan barium enema, kontras mengisi kolon desendens
yang kalibernya kecil dengan zona transisi terdapat di fleksura lienalis, terlihat
filling deferct multiple menunjukkan gambaran mekonium yang tertahan di
dalam kolon yang kecil. Pemeriksaan dengan barium enema umumnya juga
kuratif, ukuran kolon secara bertahap dalam beberapa minggu atau bulan
kemudian akan menjadi normal.

12. Malformasi Anorektal1,2,10


Merupakan abnormalitas pemisahan sistem genotourinaria dari hindgut.
Spektrum yang terbentuk dari inperforata anus (membran tipis) sampai atresia
distal rektum. Pada atresia ani dalam 24-48 jam setelah lahir perlu dilakukan
pemeriksaan pencitraan untuk menentukan beratnya kelainan serta adanya
kelainan lain yang menyertainya yang akan mempengaruhi tindakan koreksi

111
Kelainan bawaan saluran cerna pada neonatus

pada atresia ani. Pada keadaan yang berat seperti adanya kloaka, pemeriksaan
MRI atau fluorosopi mungkin diperlukan. Kelainan yang ditemukan
menentukan prosedur bedah yanag akan dilakukan pada bayi tersebut.

Gejala kinis
Atresia ani dapat diketahui sejak dalam kandungan pada skrining USG
antenatal dari usia gestasi 12-22 minggu. Diperlukan keterampilan karena
sistem pencernaan yang sedang berkembang dan ukurannya yang sangat kecil.
Bila setelah lahir terdapat urin yang bercampur dengan feses, adanya fistel dari
rektum ke traktus urinarus sangat mungkin dah harus dievaluasi.

Pemeriksaan pencitraan dan gambaran yang terlihat


Pada letak rendah terlihat orifosium pada perineal, biasanya berupa membran
atau stenosis. Tidak berhubngan denga traktus genitourinaius. Pada tipe
intermedia akan terlihat lesi terletak lebih tinggi. Pada tipe letak tingi,
terlihat fistula rektovesika pada analk laki-laki, atau fistel rektovagina atau
rektovestibular pada anak wanita, sangat mungkin disertai abnormalitas pada
vagina, uterus dan kandung kemih. Pemeriksaan radiologi dilakukan dengan
posisi anak knee chest (seperti bersujut) dengan pengambilan foto dari samping
(sinar horisontal/cross table lateral x-ray). Posisi foto Langenstein dengan
bayi dijungkir balikkan tidak boleh lagi dilakukan, karena akan mencederai
bayi. Dengan tehnik pemeriksaan ini dapat diketahui posisi terendah udara
di dalam rektum, dan dapat diukur jaraknya terhadap marker anal yang
sangat menentukan tindakan bedah yang harus dilakukan. Bila letak udara
di usus terendah berada di atas garis yang menghubungkan tulang pubis dan
tulang saktrum ahir dikatakan atresia ani letak tinggi. Pemeriksaan dengan
menggunakan kontras dapat memperlihatkan adabtidaknya fistel serta lokasi fitel
apakah rektovesika atau rektovestibuler. Pada kelainan malformasi anorektalal
harus dilakukan skrining terhadap sindrom VACTERL (gambar 13-14).

Kesimpulan
yy Bila didapatkan keluhan muntah atau regurgitasi pada
bayi, pemeriksaan USG merupakan pilihan pertama, untuk
menyingkirkan kemungkinan adanya kelainan pada gastric
outlate.
yy Bila gejala muntah pada anak, pemeriksaan serial
gastrointewstinal merupakan pilihan. USG pada anak tidak
memberikan gambaran lambung sebagaimana pada bayi.
112
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

yy Bila dengan terapi medikamentosa keluhan anak membaik,


evaluasi cukup dengan menggunakan USG.

  Malformasi anorektal laki-laki 

Skrining VACTERL 
• Foto tulang belakang  Neonatus dengan anus tidak
• Foto sakrum  terlihat 
• USG spinal (usia <3
bulan) 
• MRI spinal (usia Evaluasi perineum pada usia
>3bulan) atau bla USG 24 jam
spinal abnormal 
• Ekokardiografi 
• Pemasangan OGT dan
foto abdomen untuk Mekonium (-) di perineum Mekonium (+) di perineum
konfirmasi lambung  Mekonium (+) di urin  Foto knee chest rektum < 1
Foto Knee chest rektum >1 cm   cm dari marker anus 
• USG ginjal  
dari marker anus   

Kolostomi 
PSARP primer 

Lopografi pada usia 8-10 minggu 

Rektum dapat dicapai Rektum tidak aman


melalui insisi sagital dicapai melalui insisi
posterior  sagital posterior 

PSARP dengan bantuan


Keterangan 
PSARP  laparoskopi atau
• PSARP: Posterior Laparoskopi dan PSARP 
Sagittal
Anorectoplasty 

• OGT: Orogastric tube  Evaluasi anus dengan anestesi 2 minggu 


• USG: Ultrasonografi 

Dilatasi bila
diperlukan 

Gambar13. Algoritma malformasi anorektal laki-laki (modifikasi Taylor dkk, 2015)

113
Kelainan bawaan saluran cerna pada neonatus

Female Anorectal malformation 


 
 
 
 
 
Skrining VACTERL 
• Foto tulang belakang 
• Foto sakrum 
• USG spinal (usia <3 bulan)  Neonatus perempuan
• MRI spinal (usia >3bulan) atau bla USG
spinal abnormal  Anus tidak terlihat 
• Ekokardiografi 
• Pemasangan OGT dan foto abdomen
untuk konfirmasi masuk ke dalam
lambung 
• USG ginjal  
• Foto ekstremitas bila diperlukan Jumlah lubang di perineum
berdasarkan temuan klinis 

3  2  1 

   
Fistula
Fistula  Fistula Tidak ada Fistula vestibular
Kloaka  Lain-lain
vestibular  Fistula  dan  
perineal  rektovaginal
vagina (-) 

USG Ginjal dan pelvis


(hari pertama) 
Foto posisi
knee chest 
Hidrokolpos Hidrokolpos
+/- 
(-) 
Hidronefrosis 

PSARP  Rektum Rektum tidak Vaginostomi 


Primer  dapat dicapai  aman dicapai Kolostomi
Kolostomi 

3D/2D
PSARP  Kloakagram 
Kolostomi
Sistoskopi 

Panjang saluran? <3cm atau


Keterangan  >3cm 
Panjang uretra? <2cm atau >2cm 
• PSARP: Posterior Sagittal Anorectoplasty J l h i d ik

• OGT: Orogastric tube PS 1-3 cm DAN PS >3 cm ATAU


Uretra >2cm DAN   Uretra <2cm ATAU 
• USG: Ultrasonografi  rektum DAN uretra
dapat dicapai 
rektum ATAU
uretra TIDAK dapat

• PS: Panjang saluran 


PSARP dan TUM Complex repair:
• TUM: Total urogenital mobilisation (periksa septum
PSARP + laparotomi 
dengan pemisahan
vaginal )  urogenital + 
periksa septum vagina 
(jika perlu vaginal
swicth/replacement)  

Gambar14. Malformasi anorektal rempuan (modifikasi Taylor dkk, 2015)

114
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

Daftar pustaka
1. Silverman FN, Kuhn, JP. Congenital abnormalities. In Caffey’s Pediatric X- Ray
Diagnosis. St Louis, 9th edition, 1993. pp. 1033-37
2. Tamaela L; Parmulyo HS; Bermanshah EKI: Saluran Pencernaan. Dalam
Radiologi Anak. Diagnostik Gambar dari 201 Kasus Pendidikan dengan 374 foto.
Jakarta, edisi pertama, Badan Penerbit IDAI, 2010. Hal 1-171.
3. Pinheiro PFMP, Silve ACS, Per RM. Current knowledge on esophageal atresia.
World J Gastroenterology 2012; 18 (28): 3662-72.
4. Maagikner AD, Esophageal atresia and hypertropic pyloric stenosis: sequencial
coexistence of disease (case report). Am J Roentgen. 10086. 147 (2): 329-30
5. Swiuschuk. LE. Gastroesophagela Reflux, Chalasia, and Hiatus Hernia. in
Imaging of the Newborn, Infant, and Young Child. Lippincott. Philadelphia, 5th
ed. 2004. pp. 345-349.
6. Silverman, FN, Kuhn, JP. Disorders at the esophagus junction: Hiatal hernia. In
Caffey’s Pediatric X- Ray Diagnosis. St Louis, 9th edition, 1993. pp. 1020-22)
7. Back SJ. Imaging in Hypertropic Pylotric Stenosis. Medscap. Updte Dec, 2015.
emedicine.medscape.com. Diunduh 12 maret 2017
8. Green J. Gastric Volvulus. Medscape. Upodate Nov 28, 2015. emedicine.
medscape.com. Diunduh 12 Maret 2017.
9. Laya BF, Andres MM, ]Concepcion NDP, Dizon RH. Patterns of Microcolon:
Imaging Strategies for Diagnosis of Lower Intestinal Obstruction in Neonates. J
Am Osteopath Coll Radiol q2015; vol.4 (1): 2-11)
10. Gilbert CE, Hamill J, Metcalfe RF, Smith P, Teele RL. Changing antenatal
sonographic appearance of anorectal atresia from first to third trimesters. J
Ultrasound Med. 2006;25:781–784. PMID: 16731896.
11. Westgarth-Taylor C, Westgarth-Taylor T, Wood RJ, Levitt MA. in anorectal
malformations: What does the surgeon need to know? S Afr J Rad. 2015;19(2);
Art. #903,10 pages. http://dx.doi).

115
Kelainan Kongenital dan Angka Kematian
Neonatus (AKN)
Rosalina Dewi Roeslani

Tujuan
1. Kontribusi kelainan kongenital pada angka kematian neonatus.
2. Menyamakan persepsi mengenai definisi kelainan bawaan.
3. Kelainan kongenital yang menyebabkan kematian pada masa neonatal
4. Kelainan kongenital yang sering dijumpai

Angka kematian bayi (AKB) di dunia telah mengalami penurunan pada dekade
terakhir ini yaitu dari 63 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1990 menjadi
32 per 1000 kelahiran hidup di tahun 2015 (gambar 1).1 Jumlah kematian bayi
per tahun telah menurun yang pada tahun 2009 sebesar 8.9 menjadi 4.5 juta di
tahun 2015.1 Beberapa upaya berskala global maupun regional telah dilakukan
untuk menurunkan angka kematian anak seperti Millenium Development Goals
(MDGs) yang telah selesai pada tahun 2015. Angka kematian neonatus (AKN)
berkontribusi sebesar 48,2 % pada angka kematian anak di bawah 5 tahun
(gambar 2). Meskipun angka kematian anak telah menurun hingga separuhnya
tetapi angka kematian neonatus cenderung melandai dan lambat (gambar 1).
Berdasarkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)
tahun 2012, angka Kematian Neonatus (AKN) pada tahun 2012 sebesar 19 per
1.000 kelahiran hidup. Angka ini sama dengan tahun 2007 dan hanya menurun
1 angka dibanding SDKI tahun 2002-2003 yaitu 20 per 1.000 kelahiran hidup.
Salah satu penyebab melandainya penurunan AKB adalah kematian karena
kelainan kongenital (gambar 2).2
Kelainan kongenital, abnormalitas kongenital, malformasi kongenital,
dan birth defect adalah beberapa istilah yang digunakan untuk menerangkan
gangguan perkembangan pada janin.3 Terdapat ribuan kelainan kongenital
yang terbagi atas kondisi gangguan struktural, fungsional, metabolik, dan
keturunan/herediter.5 Hingga saat ini belum ada kesepakatan universal
mengenai definisi maupun klasifikasi kelainan kongenital.

116
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

 
Gambar 1. Tren angka kematian neonatal, bayi, dan balita di Indonesia tahun 1991 – 2015
 
 
 

   
  Gambar 2. Persentase etiologi mortalitas neonatus di Indonesia. 6
 

Angka Kematian Neonatus


Penyebab kematian neonatus pada tahun 2010 terbanyak berturut-turut
adalah sebagai berikut prematuritas sebesar 40,7%, asfiksia 21,8%, infeksi
20,3%, kelainan kongenital 10,5% dan lain-lain (gambar 2). Pada tahun 2015
diperkirakan 303.000 bayi baru lahir di dunia meninggal saat berusia 4 minggu
pertama kehidupan oleh karena kelainan kongenital (gambar 3).4 Kelainan
kongenital diperkirakan menyebabkan kematian sebanyak
  3% dari bayi baru
lahir. Bukan hanya menyebabkan kematian kelainan kongenital menjadi beban
5
 
kesehatan baik bagi negara maupun keluarga. Selama ini  pencatatan kelainan
 kongenital di Indonesia belum baik sehingga belum diketahui prevalensiinya.
Beberapa kelainan kongenital dapat dicegah dan yang lainnya diskrining dan

117
Kelainan kongenital dan angka kematian neonatus (AKN)

terminasi. Diharapkan dengan pencatatan yang baik dapat direncanakan upaya


yang harus diambil untuk menurunkan kematian akibat kelainan kongenital
yang pada akhirnya berdampak pada AKN.
 
 

 
 
Gambar 3. Penyebab 2.68 juta kematian di seluruh dunia selama periode neonatal tahun 2015.5

Kelainan Kongenital
Definisi
Kelainan kongenital adalah kelainan dalam pertumbuhan janin yang dimulai
sejak konsepsi.4 Berdasarkan International Classification Disease ke 10 (ICD10),
kelainan kongenital termasuk malformasi kongenital, deformitas, dan
abnormalitas kromosom sedangkan gangguan metabolik kongenital tidak
termasuk di dalamnya.6

Etiologi
Etiologi kelainan kongenital adalah multifaktorial dan biasanya akibat interaksi
antara kelainan genetik dan faktor lingkungan. Interaksi antara factor genetik
dan lingkungan adalah penyebab tersering kelainan kongenital yaitu pada 60-
75% kasus. Kelainan bawaan dapat disebabkan karena kelainan kromosom,
gen tunggal atau multifaktorial. Frekuensi penyebab kelainan bawaan berturut-
turut sebagai berikut kelainan kromosom 1 per 263 kelahiran, gen tunggal 1 per
81 kelahiran dan malformasi kongenital 1 per 27 kelahiran. Faktor lingkungan
sebagai penyebab kelainan kongenital berkisar antara 5-10 seperti defisiensi
nutrisi, infeksi, obat yang dikonsumsi ibu, obat yang teratogenik, polusi, alkohol
dan lain sebagainya.4

118
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

Beberapa faktor etiologi yang diduga penyebab terjadinya kelainan


kongenital antara lain:
1. Kelainan Genetik dan Kromosom
Kelainan genetik pada ayah atau ibu kemungkinan besar akan berpengaruh
atas kelainan kongenital pada anaknya. Di antara kelainan-kelainan ini
ada yang mengikuti hukum Mendel, tetapi dapat pula dominan (dominant
traits) dan terkadang sebagai unsur resesif. Beberapa contoh kelainan
kromosom autosomal seperti Trisomi 21 (sindrom Down), kromosom
kelamin : sindrom Turner dan lain-lain.13
2. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang mempengaruhi terjadinya kelainan kongenital
antara lain defisiensi nutrisi, penyakit infeksi, kondisi medis ibu, medikasi
teratogenik, alkohol, obat-obatan rekreasional, dan polutan yang
teratogenik.6

Tabel 1. Etiologi, Klasifikasi, dan Contoh Kelainan Kongenital.4

 
 
119
Kelainan kongenital dan angka kematian neonatus (AKN)

2.1. Faktor Mekanik


Tekanan mekanik pada janin selama intrauterin dapat menyebabkan
kelainan bentuk organ tubuh hingga menimbulkan deformitas.4
2.2. Faktor Infeksi
Infeksi yang dapat menimbulkan kelainan kongenital adalah yang terjadi
pada periode organogenesis, yakni dalam trimester pertama kehamilan.
Infeksi pada trimester pertama di samping dapat menimbulkan kelainan
kongenital dapat pula meningkatkan kemungkinan terjadinya abortus.
Beberapa infeksi lain pada trimester pertama yang dapat menimbulkan
kelainan kongenital antara lain ialah infeksi virus sitomegalovirus, infeksi
toksoplasmosis dan lain-lain.4
2.3. Faktor Obat
Beberapa jenis obat tertentu yang diminum wanita hamil pada trimester
pertama kehamilan diduga sangat erat hubungannya dengan terjadinya
kelainan kongenital pada bayinya. Salah satu jenis obat yang telah
diketahui dapat menimbulkan kelainan kongenital ialah thalidomide yang
dapat mengakibatkan terjadinya fokomelia atau mikromelia.4
2.4. Faktor Umur Ibu
Telah diketahui bahwa mongolisme lebih sering ditemukan pada bayi-
bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendekati masa menopause. Kejadian
mongolisme akan meningkat pada ibu usia di atas 30 tahun dan akan lebih
tinggi lagi pada usia 40 tahun.
2.5. Faktor Hormonal
Faktor hormonal diduga mempunyai hubungan pula dengan kejadian
kelainan kongenital. Bayi yang dilahirkan oleh ibu hipotiroidisme atau
ibu penderita diabetes mellitus kemungkinan untuk mengalami gangguan
tumbuh-kembang lebih besar bila dibandingkan dengan bayi yang normal.
2.6. Faktor Radiasi
Radiasi pada permulaan kehamiIan mungkin sekali akan dapat
menimbulkan kelainan kongenital pada janin. Adanya riwayat radiasi yang
cukup besar pada orang tua dikhawatirkan akan dapat mengakibatkan
mutasi pada gen yang mungkin sekali dapat menyebabkan kelainan
kongenital pada bayi yang dilahirkannya. Radiasi untuk keperluan
diagnostik atau terapeutis sebaiknya dihindarkan dalam masa kehamilan,
khususnya pada hamil muda.
2.7. Faktor Gizi
Kekurangan beberapa zat yang penting selama hamil dapat menimbulkan
pada janin. Frekuensi kelainan kongenital lebih tinggi pada ibu-ibu dengan
gizi yang kurang selama kehamilan. Salah satu zat dalam pertumbuhan

120
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

janin adalah asam folat. Kekurangan asam folat dapat meningkatkan


resiko terjadinya spina bifida atau kelainan tabung saraf lainnya.
2.8. Faktor sosioekonomi dan demografi
Sekitar 94% kelainan kongenital berat terjadi pada negara-negara
dengan pendapatan rendah hingga sedang.6 Faktor-faktor yang berkaitan
dengan pendapatan rendah antara lain kurangnya nutrisi yang adekuat
pada ibu hamil, tingginya paparan agen atau faktor seperti infeksi dan
alkohol, minimnya akses ke tempat pelayanan kesehatan dan skrining
dapat meningkatkan insidensi terjadinya perkembangan prenatal yang
abnormal.6
 
  Tabel 2. Prevalensii dan berbagai tipe kelainan kongenital

 
 
Prevalensi kelainan bawaan
 
Kelainan kongenital menyebabkan kematian di awal kehidupan pada 30%
kelahiran hidup, 27 % menjadi kronis dan 43 % dapat disembuhkan (tabel 2).6
Sejak tahun 2013, Indonesia mulai melakukan pencatatan rekam medik
(surveillance) mengenai kelainan kongenital di 10 RS Pemerintah dan 3 Swasta
yaitu RS.CiptoMangunkusumo, RSAB Harapan Kita, RS M. Djamil, RS Hasan
Sadikin, RS Kariadi, RS Sardjito, RS Sanglah, RS Wahidin Sudiro Husodo,
RS Dr. Soetomo, RS Adam Malik, RS Budi Kemuliaan, RS Bunda, dan RS
Hermina. Pencatatan ini kerjasama antara Kementrian Kesehatan RI, Ikatan
Dokter Anak Indonesia (IDAI), dan RS yang terlibat.
Dari laporan tersebut pada 1 September 2014 – 30 Juni 2016 didapatkan
kelainan bawaan sebanyak 268 kasus dari 39.084 kelahiran hidup. Dari 268
kasus kelainan bawaan didapatkan 198 kasus hidup. Prevalensi kelainan
kongenital pada tahun tersebut adalah 6.93 per 1000 kelahiran hidup.

121
  kongenital dan angka kematian neonatus (AKN)
Kelainan

Gambar 5. Prevalensii kelainan kongenital berdasarkan rumah sakit di Indonesia

Tabel 3. Prevalensii bayi baru lahir dengan kelainan kongenital di Indonesia


Periode: 1 Sep 2014 s.d 30 Jun 2016 Angka
Jumlah angka kelahiran 40.862
Angka lahir hidup 39.084
Angka lahir mati 1.778
Jumlah bayi dengan cacat lahir 283
Angka bayi yang hidup dengan cacat lahir 268
Angka bayi yang mati dengan cacat lahir 15
Luaran bayi dengan cacat lahir 268
Hidup 198
Mati 70
Sumber: Regional Network Meeting to Review Progress on Newborn-Birth Defects Database 9 – 11 August
2016, Jakarta, Indonesia

Kelainan kongenital yang baru dicatat ada 15 jenis yang meliputi kelainan
sistem saraf pusat (anensefali, ensefalokel, dan spina bifida), kelainan pada mata
wajah dan leher (katarak kongenital, labiognatopalatoskisis), kelainan saluran
cerna (atreasia ani dgn atau tanpa fistula), kelainan genoital (hipospadia),
kelainan saluran kencing (epispadia), kelainan muskoloskeletal (talipes
equinovarus, defek atau reduksi tungkai, omfalokel, gastroskisis), dan kelainan
lainnya (kembar siam). Tipe kelainan kongenital terbanyak sesuai pelaporan
di atas adalah talipes ekuinofarus 22%, defek orofasial 22%, sistem saraf 22%,
abdominal 16.3%, atresia ani 4.8%, dan kembar dempet 6.7%.
Beberapa anomali letal yang paling sering ditemukan, yaitu:
1. Trisomi 18 (Sindrom Edward) merupakan urutan ke-2 trisomi autosomal
tersering setelah trisomi 21 (Sindrom Down).7,8 Prevalensi trisomi 18
(Sindrom Edward) di dunia adalah 1/4000 janin and 1/5000 bayi baru
lahir. Rata-rata usia harapan hidup pada bayi baru lahir dengan trisomi 18
nonmosaik yang tidak dirawat dengan perawatan intensif adalah 2 – 10

122
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

hari. Persentase mortalitas pada usia 1 tahun kehidupan yaitu 90 – 95%


dimana 5% akan tetap bertahan lebih dari usia 1 tahun.9
2. Trisomi 13 (Sindrom Patau)/ kelainan pada kromosom 13, dengan
gabungan kelainan seperti defek saraf pusat yang dihubungkan dengan
retardasi mental, sumbing bibir/palatum, polidaktili, kulit, jantung, dan
genitalia. Sindrom ini terjadi jika pasien memiliki lebih satu kromosom
pada pasangan kromosom ke-13. Beberapa pula disebabkan oleh
translokasi Robertsonian. Sindrom Patau ini dapat menyebabkan kematian
saat berusia 3 bulan , tetapi beberapa anak dapat hidup sampai umur 5
tahun. Prevalensii trisomi 13 di dunia yaitu 1 : 20.000 – 29.000. Sindrom
ini termasuk urutan ke-3 trisomi autosomal tersering setelah trisomi 21
(Sindrom Down) dan trisomi 18 (Sindrom Edward).7,8,9
3. Ansenfali adalah suatu gangguan penutupan bagian anterior selubung saraf
sehingga tidak terdapatnya sebagian besar tulang tengkorak, selaput saraf,
otak dan kulit.13 Insidensi di USA 1per 1000 kelahiran hidup di USA.
Penyebabnya adalah multifaktorial dari kelainan genetika dan lingkungan.
Kemungkinan untuk kejadian anensefal di anak lainnya adalah 2-3%.
Kelainan ini terjadi pada awal perkembangan janin yaitu antara minggu
ke 20-28. Lima puluh persen akan lahir mati. Jika bayi lahir hidup, maka
akan meninggal dalam masa neonatal.
Kelainan kongenital adalah penyebab terbanyak lahir mati/stillbirth dan
neonatal tetapi merupakan penyebab dari morbiditas akut maupun kronis
(tabel 4).14

Tabel 4. Anomali Kongenital Umum Yang Mengancam Nyawa.14


Nama Manifestasi
Atresia Koanal Gangguan napas pada ruang bersalin, apnea, selang
nasogastrik tidak mampu melewati nares. Suspek sin-
droma CHARGE (coloboma, heart disease, atresia choane,
Retardation of growth and/or development, genitourinary
and ear).
Sindroma Pierre-Robin Mikrognatia, celah palatum, obstruksi napas
Hernia Diafrgmatika Abdomen skafoid, bising usus terdengar pada dada,
gangguan napas
Fistula Trakeoesofageal Polihidramnion, pneumonia aspirasi, salivasi berlebihan,
ketidakmampuan memasang selang nasogastric ke
lambung. Suspek sindroma VATER
Obstruksi Intestinal: Polihidramnion, emesis cairan empedu, distensi abdo-
Volvulus, Atresia Duodenal, Atresia Ileum men, suspek trisomi 21, fibrosis sistik, kokain
Gastroskisis, omfalokel Polihidramnion, obstruksi intestinal,
Agenesis Renal, Sindroma Potter Oligohiramnion, anuria, hypoplasia pulmoner, pneumo-
toraks
Defek Selubung Saraf: Polihidramnion, peningkatan alfa-fetoprotein, penu-
Anensefalus, Meningomiokel runan aktivitas fetal
Penyakit Jantung Kongenital Bergantung Duktus Sianosis, hipotensi, murmur

123
Kelainan kongenital dan angka kematian neonatus (AKN)

Beberapa kelainan kongenital yang sering dijumpai menyebabkan


penyakit akut, antara lain:
1. Otolaringologi, meliputi atresia koana (unilateral/bilateral), celah bibir/
langit-langit, dan ankiloglosia (tongue tie). Atresia koana adalah tidak
terbentuknya saluran posterior koana di rongga hidung hidung dapat
bilateral maupun unilateral. Insidensinya 1 per 5000 sampai 5000
kelahiran. Pada tahun 2015 insidensi nya 0,82 kasus per 10.000 kelahiran
dan atresia koana yang unilateral 2 kali lebih sering dibandingkan
bilateral.15,16
2. Kelainan neurologik, meliputi hidrosefalus dan meningomielokel.
Hidrosefalus kongenital dapat terlihat sebagai pembesaran kepala segera
setelah bayi lahir, atau terlihat sebagai ukuran kepala normal tetapi
tumbuh cepat sekali pada bulan pertama setelah lahir. Peninggian tekanan
intrakranial dapat menyebabkan iritabilitas, muntah, kehilangan nafsu
makan, gangguan pergerakan bola mata, hipertonia ekstrimitas bawah,
dan hiperefleksia. Meningomielokel sering disertai hidrosefalus sekunder.
Insidensi terjadinya meningomielokel adalah 3-10 per 10.000 kelahiran.
3. Kelainan pernapasan, meliputi:
• Atresia esophagus adalah kelainan kongenital terhentinya
pertumbuhan esofagus sehingga membentuk kantong dan sebagian
besar disertai fistul dengan organ sekitar. Bentuk atresia esofagus yang
terbanyak dijumpai (lebih kurang 80-90%) adalah penyumbatan di
bagian proksimal sedangkan distalnya berhubungan dengan trakea
sebagai fistula trakeo-esofagus. Insidensi 1 per 2500-5000 kelahiran
hidup. Secara klinis, pada kelainan ini tampak air ludah terkumpul
dan terus meleleh atau berbusa serta menjadi sesak napas, batuk,
muntah, dan biru di setiap minum.13
• Hernia diafragmatika kongenital adalah masuknya organ perut ke
dalam rongga dada melalui suatu lubang pada diafragma, sebagian
besar melalui foramen Bochdalek (posterolateral) dan sisanya
foramen Morgagni (retrosternal) Kelainan ini jarang terjadi yaitu 1:
3000 hingga 5000 kelahiran dan lebih sering ditemukan pada laki-laki
12,13

4. Kelainan abdominal, meliputi: gastroskisis, omfalokel, dan anus


imperforata, Insidensi omfolokel telah dilaporkan antara 1 : 3000 dari
10.000 kelahiran hidup, sedangkan insidensi gastroskisis telah mengalami
perubahan pada dua dasawarsa ini, yaitu 1 : 150.000 kelahiran. Gastroskisis
lebih sering timbul pada bayi dari ibu primigravida muda dengan insidensii
prematuritas yang tinggi (60%). Omfalokel, adalah kelainan yang berupa
protusi isi rongga perut ke luar dinding perut sekitar umbilikus, benjolan

124
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

terbungkus dalam suatu kantong. Omfalokel terjadi akibat hambatan


kembalinya usus ke rongga perut dari posisi ekstra-abdominal di daerah
umbilikus yang terjadi dalam minggu keenam sampai kesepuluh kehidupan
janin.13
5. Kelainan genitourinaria: ekstrofi kandung kemih. Ekstrofi kandung kemih
adalah salah satu tipe kelainan bawaan dari sistem genitourinaria, ditandai
terbukanya kandung kemih pada dinding bawah abdomen. Rasio kejadian
antara anak laki-laki dan perempuan 2:1. Defek ekstrofi kandung kemih
menyebabkan berbagai risiko gangguan berkemih saat pre-pasca operatif.13
Agenesis ginjal adalah tidak adanya ginjal baik unilateral maupun
keduanya.Insidensi di USA adalah 1 per 1000 kelahiran. Hingga saat
ini patofisiologinya belum diketahui. Agenesis ginjal biasanya menyertai
kelainan kongenital lainnya seperti Potter sequence/ karakteristik wajah
(agenesis renal bilateral, hypoplasia paru, oligohidramnion dan kelainan
ekstremitas. Kelainan saluran urogenital, menyertai agenesis ginjal pada
50 % kasus dan dapat pula disertai kelainan saluran cerna maupun
jantung. Kurang lebih 50 sindrom dengan multiple kelainan cardiac, atresia
esophagus, renal, limb) dan MURCS (mullerian, renal, cerviothoracic somite
abnormality). Penyebabnya adalah diturunkan secara sporadik, autosomal
dominan dan kemungkinan mengenai anak lainnya antara 2-5 %. Faktor
risiko ibu antara lain adalah 2-5 %. Agenesis ginjal bilateral akan lahir
mati pada 40% kasus dan sisanya meninggal pada awal kehidupan
karena hypoplasia paru. Agenesis renal unilateral dapat tidak bergejala
dan mempunyai rentang usia normal.anak perempuan dengan agenesis
ginjal unilateral harus di USG pelvis untuk mendeteksi adanya kelainan
Mullerian.13

Simpulan
yy Kelainan kongenital adalah gangguan pertumbuhan yang terjadi sejak
masa konsepsi meliputi kelainan anatomi, fungsi dan struktural organ.
yy Kelainan kongenital adalah salah satu penyebab kematian pada anak di
dunia sebanyak 3 %. Dan 10 % dari AKN. Kelainan kongenital adalah
penyebab kematian ke 4 tersering setelah prematur, asfiksia dan sepsis.
yy Pencegahan dan tata laksana kelainan kongenital yang optimal dapat
mengurangi AKN.

125
Kelainan kongenital dan angka kematian neonatus (AKN)

Daftar pustaka
1. World Health Organization. Global health observatory data. Dalam: WHO. 2016.
Disitasi 16 Januari 2017. Diunduh dari http://www.who.int/gho/child_health/
mortality/neonatal_infant_text/en/ .
2. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Profil kesehatan Indonesia Tahun
2014. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2014. h.23-26.
3. Kurinczuk JJ, Hollowell J, Boyd PA, Oakley L, Brocklehurst, Gray R. The
contribution of congenital anomalies to infant mortality. Oxford: National
Perinatal Epidemiology Unit. 2010;4:1-13.
4. World Health Organization. Congenital anomalies. Dalam: WHO. 2016.
Dimutakhirkan September 2016. Disitasi 9 Januari 2017. Diunduh dari http://
www.who.int/mediacentre/factsheets/fs370/en/
5. Francine R, Pascale S, Aline H. Congenital anomalies : prevalence and risk
factors. Univer J Public Health. 2014;2:58-63.
6. World Health Organization. Birth defects in south-east asia : a public health
challenge. India: 2013.
7. Cereda A, Carey JC. The trisomy 18 syndrome. Orphanet J Rare Dis. 2012;8:1-14.
8. Boghossian NS, Hansen NI, Bell EF, Stoll BJ, Murray JC, Carey JC, dkk. Mortality
and morbidity of vlbw infants with trisomy 13 or 18. Pediatrics. 2014;133:226-35.
9. Merritt TA, Catlin A, Wool C, Peverini R, Goldstein M, Oshiro B. Trisomi 18 and
trisomy 13 : treatment and management decisions. NeoReviews. 2012;13:40-8.
10. Polli JB, Groff DB, Petry P, Mattos VF, Rosa RCM, Zen PRG, et al. Trisomi 13
syndrome (patau syndrome) and congenital heart defects. Am J Med Genet Part
A. 2013;164A:272-5.
11. Stumpf DA, Cranford RE, Elias S, Fost NC, McQuillen MP, Myer EC. The infant
with anencephaly. N England J Med. 1990;322:669-74.
12. Tovar JA. Congenital diaphragmatic hernia. Orphanet J Rare Dis. 2012;7:1-15.
13. Hogge WA, Wilkins I, Hill LM, Cohlan B. Dalam: Sanders’ Structural Fetal
Abnormalities. Edisi Ke-3. United States : McGraw-Hill Education; 2017.h.358-
65.
14. Dalam: Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi Ke-20. Philadelphia: Saunders
Elsavier; 2015. h
15. Choanal Atresia. Disitasi 16 Januari 2017. Diunduh dari http://emedicine.
medscape.com/article/872409-overview#a6
16. Kwong KM. Current updates on choanal atresia. Frontr Pediatr. 2015;3:1-7.

126
Skrining Mental, Emosional, Perilaku,
dan Psikososial pada Remaja
Bernie Endyarni Medise

Tujuan:
1. Mengetahui berbagai jenis alat skrining kesehatan mental, emosional
dan perilaku remaja
2. Mengetahui dasar pemilihan dan cara penggunaan alat skrining
kesehatan mental, emosional dan perilaku remaja

Pada masa remaja terjadi percepatan pertumbuhan dan perkembangan yang


meliputi semua aspek, antara lain aspek perkembangan fisik (percepatan
pertambahan tinggi, perkembangan seks sekunder), aspek mental, emosional,
psikososial, kognitif, dan perilaku. Kecepatan pertumbuhan dan perkembangan
ini belum tentu seiring. Remaja juga rentan bermasalah dengan perilaku
berisiko.1-3
Usia remaja merupakan bagian dari usia anak. Di Indonesia, berdasarkan
Undang-undang Republik Indonesia nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan
atas Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia no. 25 tahun 2014 tentang Upaya Kesehatan Anak juga menjelaskan
bahwa yang dimaksud remaja adalah kelompok usia 10 tahun hingga 18 tahun.
Definisi remaja ini selaras dengan definisi yang digunakan secara global.
Berdasarkan World Health Organization (WHO) remaja adalah kelompok anak
berusia 10-19 tahun, sedangkan pemuda (youth) berusia 15-24 tahun.4 Dua
populasi ini merepresentasikan 1,8 milyar penduduk dunia dan 90 persennya
berada di Negara berkembang.4 Di Indonesia, populasi remaja meliputi 27%
penduduk yaitu sekitar 64 juta.5

Masalah kesehatan remaja


Masa remaja dianggap sebagai periode kehidupan yang paling sehat, namun
sebenarnya berisiko mengalami berbagai masalah kesehatan. Remaja tidak
hanya berhadapan dengan kesehatan fisik umum, namun juga kesehatan

127
Skrining mental, emosional, perilaku, dan psikososial pada remaja

reproduksi, kesehatan mental emosional dan perilaku.1,4,6-10 Penyebab utama


mortalitas pada remaja masih didominasi oleh unintentional injuries atau
kecelakaan sebesar hampir 50%. Sedangkan sebagian besar penyebab lain
mortalitas dan morbiditas remaja, merupakan penyakit atau kondisi yang dapat
dicegah (preventable diseases). 4,6,9,10
Beberapa keadaan yang berkontribusi terhadap tingginya morbiditas
dan mortalitas pada usia remaja antara lain perilaku berisiko tinggi, seperti
penyalahgunaan obat, zat, rokok, alkohol, perilaku seks tidak aman,
perilaku seksual pranikah, berkendara tidak aman selain penyebab lain yang
berhubungan dengan kesehatan fisik. Kesehatan mental, emosional dan
perilaku sering terlewat saat remaja datang ke pusat kesehatan.1,4,6,7
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2010, pada kelompok remaja yang
belum kawin, 3% laki-laki dan 1,1% perempuan pernah berhubungan seksual.
Usia pertama berhubungan seksual sudah terjadi pada usia 8 tahun, yaitu
pada 0,5% anak perempuan dan 0,1% anak laki-laki.7 Sebanyak 22% remaja
perempuan di Indonesia menikah di usia 18 tahun11, dengan usia menikah
rata-rata remaja perempuan di Indonesia adalah 19,8 tahun.5
Sekitar 46% laki-laki di Indonesia merokok sedangkan perempuan
mencapai angka 5,3%. Sebanyak 4 dan 24% remaja perempuan dan laki-
laki telah merokok pada usia 13 – 15 tahun.11,12 Survey yang dilakukan pada
tahun 2007 hingga 2012 menunjukkan bahwa persentase pria belum kawin di
Indonesia umur 15-24 tahun yang merokok, minum alkohol, dan menggunakan
obat terlarang menurut tempat tinggal di perkotaan adalah berturut-turut 80%,
41% dan 5% sedangkan di pedesaan 81%, 37% dan 3%.7,12

Alat skrining kesehatan mental, emosional, perilaku


dan psikososial remaja
Dalam menangani masalah remaja, sebaiknya tenaga kesehatan selalu
menyempatkan diri untuk menanyakan masalah mental, emosional, perilaku
dan psikososial remaja di samping masalah kesehatan fisik. Terdapat beberapa
alat skrining kesehatan mental, emosional dan psikososial remaja yang
cukup beragam. Ada yang cukup singkat, ada pula yang terdiri dari ratusan
pertanyaan. Intinya, alat skrining dibuat untuk membantu tenaga kesehatan
agar dapat menilai kesehatan remaja secara lebih komprehensif. Dokter anak
berperan penting dalam mendeteksi masalah kesehatan remaja. Permasalahan
kesehatan remaja sering berhubungan dengan perilaku berisiko remaja,
sehingga dalam menangani masalah kesehatan remaja perlu pendekatan
melalui masalah mental, emosional, perilaku dan psikososial, agar masalah
dapat segera dicegah dan ditata laksana dengan baik.4,6,7

128
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

Penggunaan alat skrining kesehatan remaja dapat membantu dalam


mendeteksi sedini mungkin penyimpangan masalah kesehatan dan psikososial
remaja. Berikut adalah beberapa kuesioner yang telah direkomendasikan oleh
American Academy of Pediatric (AAP) untuk menilai kesehatan remaja yang
digunakan untuk alat deteksi dini dan pemantau lanjutan.

Car, Relax, Alone, Forget, Friends, Trouble (CRAFFT)


Car, Relax, Alone, Forget, Friends, Trouble (CRAFFT) merupakan suatu alat
skrining perilaku yang sederhana dan praktis dan direkomendasikan oleh AAP.
Kuesioner ini untuk mendeteksi remaja dengan risiko tinggi penyalahgunaan
alkohol dan obat-obatan. Kuesioner CRAFFT digunakan untuk remaja usia
11-21 tahun.1,6,13,14
Kuesioner ini hanya terdiri dari enam pertanyaan singkat, dan memerlukan
waktu kurang dari 5-8 menit untuk melengkapi dan mengintepretasikannya.
Nilai CRAFFT dua atau lebih dianggap risiko tinggi dan cukup optimal
untuk mengidentifikasi masalah. Sensitivitas CRAFFT adalah 76%-92%
dan spesifisitas berkisar 72%-94%, dengan nilai prediksi positif 0,83 serta
nilai prediksi negatif 0,91. Nilai CRAFFT yang semakin tinggi menandakan
probabilitas yang semakin tinggi untuk diagnosis penyalahgunaan obat atau
ketergantungan obat. 4,6,8-10,13 Pada risiko tinggi perlu penelusuran lebih lanjut
terhadap kemungkinan penyalahgunaan atau ketergantungan obat atau
alkohol serta tata laksananya. Validasi kuesioner ini tidak dipengaruhi oleh
usia, jenis kelamin atau ras.3,4,14

Child Behavioral Checklist


Child Behavioral Checklist (CBCL) merupakan kuesioner untuk mendeteksi
adanya masalah perilaku dan emosional pada anak. Kuesioner ini dapat
digunakan untuk anak dan remaja usia 6-18 tahun, di samping itu, terdapat
pula kuesioner untuk anak yang lebih kecil. Terdapat 20 kompetensi yang
meliputi masalah aktifitas, hubungan sosial dan sekolah anak. 1,6,8,15
Kuesioner ini cukup panjang, terdiri atas 118 pertanyaan yang
menggambarkan masalah perilaku dan emosional yang khusus, ditambah dua
buah pertanyaan terbuka untuk mendapatkan masalah tambahan. Namun,
umumnya hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit untuk mengisi
kuesioner. Orangtua diminta memilih jawaban berdasarkan skala nol hingga
dua.1,6,8,15

Child Depression Inventory (CDI)


Kuesioner CDI merupakan kuesioner pendapat diri yang sudah digunakan

129
Skrining mental, emosional, perilaku, dan psikososial pada remaja

secara luas, terdiri dari 27 pertanyaan untuk remaja usia 7 hingga 17 tahun.
Kuesioner dibuat dengan bahasa yang mudah dimengerti dan setara untuk
kemampuan membaca tingkat sekolah dasar. Kuesioner ini didisain untuk
menilai gejala kognitif, afektif dan perilaku anak dan remaja yang mengalami
depresi. CDI sensitif untuk menilai perubahan gejala depresi dari waktu ke
waktu dengan indeks yang sangat berguna untuk menilai tingkat keparahan
gejala depresif.6,8,15
Nilai hasil CDI memberikan informasi nilai remaja dibandingkan dengan
nilai sampel normal dari individu pada umumnya. Rerata waktu untuk
melengkapi dan menilai skrining ini sekitar 5-10 menit. Setiap pertanyaan
memiliki tingkat penilaian 0, 1, atau 2, tergantung pada tingkat beratnya gejala.
Internal consistency coefficient berkisar antara 0,71-0,89 sedangkan test-retest
coefficient berkisar antara 0,74–0,88.6,15

Conners Rating Scales-Revised


Conners Rating Scales-Revised merupakan alat skrining dan penilaian untuk
mengidentifikasi gejala gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktifitas
(GPPH) atau attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) dan masalah
perilaku lainnya. Kuesioner ini terdiri dari formulir isian untuk orang tua,
guru dan anak. Tersedia untuk usia 3 hingga 17 tahun. Kuesioner cukup
singkat dan hanya membutuhkan waktu sekitar 5 hingga 10 menit untuk
pengisian. Kuesioner menilai masalah conduct, kognitif, keluarga, emosi, kontrol
kemarahan dan masalah cemas atau ansietas.6,8,16

Home, Education and employment, Eating, Activities, Drugs,


Sexuality, Suicide/depression, Safety (HEEADSSS)
Kuesioner HEEADSSS telah direkomendasikan baik oleh AAP maupun
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia untuk digunakan dalam
melakukan pemeriksaan kesehatan remaja. HEEADSSS digunakan sebagai
skrining masalah psikososial dan risiko kesehatan remaja yang dapat membantu
proses wawancara secara komprehensif. Kuesioner ini merupakan alat skrining
adanya perilaku spesifik pada remaja yang berguna untuk tindakan preventif
dan intervensi. Waktu yang dibutuhkan untuk pengisian HEEADSSS cukup
beragam. Kepustakaan menyebutkan antara 10 hingga 90 menit. Kuesioner ini
dapat membantu tenaga kesehatan dalam menilai kesehatan remaja hampir
di semua aspek.6,8,17,18
Pada HEEADSSS, terdapat beberapa tema. Setiap tema memiliki
ragam pertanyaan yang dapat ditanyakan, berdasarkan ketersediaan waktu.
Home menanyakan konfigurasi keluarga dan anggota keluarga (keluarga inti
atau extended), pengaturan hidup, hubungan dengan anggota keluarga lain.

130
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

Education/employment menanyakan riwayat pendidikan atau pekerjaan, rencana


masa depan, dan keamanan dalam lingkungan sekolah atau di tempat kerja.
Eating menanyakan riwayat singkat nutrisi, faktor risiko obesitas, perhatian pada
berat badan atau body image, kelainan perilaku makan. Activities menanyakan
pertemanan dengan teman seusia baik sesama maupun lawan jenis, aktifitas
berkencan, dan aktivitas seksual. Drugs menanyakan penggunaan alkohol,
rokok, obat terlarang, steroid, teman dan anggota keluarga pengguna narkoba.
Sexuality menanyakan orientasi seksual, aktivitas seksual, sexual abuse. Suicide
(mental health) menanyakan perasaan sedih, kesendirian, depresi, kebosanan,
kecemasan berlebihan, pemikiran bunuh diri. Safety menanyakan antara lain
riwayat kecelakaan, pemakaian tali pengaman saat berkendara, berkendara
dengan aman, ada tidaknya kekerasan di keluarga, dan lainnya. Pertanyaan
terdiri atas pertanyaan penting (esensial), pertanyaan yang ditanyakan bila
waktu memungkinkan dan pertanyaan optional.6, 8,17,18

Patient Health Questionnaire-9 (PHQ-9)


Kuesioner ini merupakan modifikasi dari adult PHQ-9, terdiri atas 13
pertanyaan yang merupakan bagian dari kriteria diagnosis DSM-IV untuk
mendeteksi gejala depresi serta kecenderungan bunuh diri pada remaja.
American Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan penggunaan
PHQ-9 untuk remaja dilakukan setiap tahun. Sembilan pertanyaan utama
menanyakan masalah gejala depresi, dua pertanyaan berkisar beratnya gejala,
dan dua pertanyaan lain mengenai kecenderungan bunuh diri. Kuesioner
ini sangat mudah dan hanya memerlukan waktu 5 menit untuk mengisi dan
menilai. Kuesioner PHQ-9 dapat diisi oleh anak usia 12-18 tahun. Hasil PHQ-
9 yang bernilai >11 memiliki sensitivitas 89,5% dan spesifisitas 78,8% untuk
mendeteksi depresi.6,8,13

Pediatric symptom checklist (PSC)


Pediatric symptom checklist (PSC) merupakan alat skrining psikososial yang
cukup praktis, sering digunakan, dan hanya membutuhkan waktu kurang dari
5 menit untuk pengisian. Terdapat beberapa versi PSC antara lain PSC-35
yang terdiri atas 35 pertanyaan, PSC-17 berisi 17 pertanyaan, serta Youth PSC
(PSC-Y) yang merupakan bentuk penyederhanaan PSC-35. Kuesioner PSC-
17 menilai subskala internalisasi, eksternalisasi, dan perhatian. Kuesioner ini
mempermudah penggunaan PSC di klinik. 4,6,8,19
Kuesioner ini untuk memeriksa ada tidaknya masalah kognitif, emosional,
dan masalah perilaku anak dan remaja usia 4-16 tahun. Pertanyaan pada
kuesioner ini singkat, dan pilihan jawaban: tidak pernah, kadang-kadang, atau
sering yang dinilai sebagai 0, 1, dan 2. Pengisian kuesioner PSC dilakukan oleh

131
Skrining mental, emosional, perilaku, dan psikososial pada remaja

orangtua pada anak usia 4 hingga 11 tahun. Pada anak usia 11 tahun ke atas,
pengisian kuesioner PSC dilakukan oleh anak dan orangtua.1,6,8,19
PSC-Y berisi 35 pertanyaan seputar perilaku yang harus dijawab oleh
remaja sesuai penilaian remaja terhadap dirinya sendiri. Kuesioner ini diisi
sendiri oleh remaja dan orang tua. Pada PSC-Y, terdapat tambahan dua
pertanyaan mengenai keinginan dan usaha bunuh diri. Sensitivitas dan
spesifitas PSC-Y adalah sebesar 94% dan 88%, sedangkan sensitivitas dan
spesifisitas PSC-35 adalah sebesar 80%-95% dan 68%-100%. 4,6,8,19 Penelitian
PSC-Y menunjukkan bahwa sekitar 14% remaja usia 13 -18 tahun di berbagai
kota kecil, dan sekitar 20% remaja usia 9-14 tahun di kota besar di Amerika
Serikat memperlihatkan masalah psikososial. Terdapat 2% remaja yang
memiliki ide bunuh diri. 4,13,19
Penelitian di Departemen Ilmu Kesehatan Anak pada populasi anak
dengan obesitas, membandingkan PSC-17 dengan CBCL sebagai baku emas.
Penelitian ini memperlihatkan bahwa pada anak obesitas ditemukan masalah
emosi dan perilaku sebesar 28% menggunakan CBCL dan 22% berdasarkan
PSC-17. PSC-17 memiliki sensitivitas 69,2% dan spesifisitas 95,6%, positive
dan negative predictive values sebesar 85,7% dan 89%.20

The Strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ)


Salah satu skrining untuk menilai kesehatan mental remaja adalah kuesioner
Strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ). Kuesioner ini dikembangkan
oleh Robert Goodman pada tahun 1997 dan telah ada terjemahannya dalam
bahasa Indonesia oleh Tjhin Wiguna dan Yohana Hestyanti.21,22 Kuesioner
SDQ berisi 25 pertanyaan singkat untuk skrining perilaku psikososial anak
berusia 3-17 tahun. Skrining ini terdiri dari beberapa versi untuk memenuhi
berbagai keperluan penelitian, klinisi, dan pengajar, dan telah diterjemahkan ke
dalam lebih 40 bahasa. Pengisian dan penilaian kuesioner hanya membutuhkan
waktu kurang dari 10 menit. Setiap versi mencakup pertanyaan positif dan
negatif yang mencakup pertanyaan yang berhubungan dengan gejala emosi,
conduct problems, hiperaktifitas/inatensi, masalah hubungan dengan teman, dan
perilaku prososial. Masing-masing topik pertanyaan terdiri atas 5 pernyataan.
Setiap penyataan akan dijawab oleh orangtua atau remaja. Skor tiap pernyataan
bernilai antara 0 hingga 2. Sensitivitas dan spesifisitas SDQ adalah antara
63%-94% dan 88%-98%.8,21,22
Penelitian di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta menggunakan
kuesioner SDQ menunjukkan bahwa masalah hubungan dengan teman sebaya
dan masalah emosional merupakan masalah dengan proporsi terbesar pada
anak usia 6 hingga 12 tahun yaitu sebesar 54,81% dan 42.2%.19 Suatu studi
yang melibatkan lima Negara termasuk Indonesia menunjukkan bahwa pada

132
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

sekitar 10,5% remaja memiliki hasil SDQ yang abnormal.23

Simpulan
Masalah kesehatan remaja bukan hanya masalah kesehatan fisik namun juga
masalah mental, psikososial, emosional, kognitif dan perilaku. Deteksi dini
gangguan kesehatan remaja menggunakan alat skrining masalah mental,
emosional dan psikososial yang diikuti dengan intervensi yang tepat, dapat
menurunkan morbiditas dan mortalitas remaja yang sebagian besar merupakan
keadaan atau penyakit yang dapat dicegah (preventable diseases).

Daftar pustaka
1. Dhamayanti M, Endyarni B, Hartanto F, Lestari H. Bunga rampai kesehatan
remaja. Jakarta:Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010.
2. Marcell AV. Adolescence. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE Jenson HB
Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia:
Elsevier; 2013. h. 60-5.
3. Gleason MM, Prachi Shah, Boris NW. Assessment and interviewing. Dalam:
Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke 18. Kliegman RM, Jenson HB, Behrman
RE, Stanton BF. Philadelphia:Saunders Elsevier; 2007. h.101-105.
4. UNFPA. Adolescents and youth demographic: A brief overview. Diunduh dari:
https://www.unfpa.org/webdav/site/global/shared/factsheets/One%20pager%20
on%20youth%20demographics%20GF.pdf
5. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Remaja dan
permasalahannya jadi perhatian dunia. Diunduh dari: http://www.bkkbn.go.id/
ViewBerita.aspx?BeritaID=840.
6. American Academy of Pediatric (AAP). Mental health screening and assessment
tools for primary care. Diunduh dari: http://www.aap.org/en-us/advocacy-and-
policy/aap-health-initiatives/Mental-Health/Documents/MH_ScreeningChart.
pdf.
7. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia. Riset Kesehatan Dasar 2010.
8. Grant R, Gracy D, Brito A. Developmental and social-emotional screening
instruments for use in pediatric primary care in infant and young children. Children’s
Health Fund New York, NY. Diunduh dari: http://www.childrenshealthfund.org/
sites/default/files/dev-and-mental-health-primary-care-screening-tools.pdf.
Diakses: 20 Februari 2014.
9. Levy S, Knight JR. Office management of substance use. Dalam: Aten CB,
Gotlieb EM, penyunting. Caring for adolescent Patients. Edisi ke-2. Philadelphia:
American Academy of Pediatrics; 2006.h. 535 – 44.
10. Ozer EM, Adams SH, Lustig JL, Gee S, Garber AK, Gardner LR, et al. Increasing
the screening and counseling of adolescents for risky health behaviors: A
primary care intervention. Dalam: Aten CB, Gotlieb EM, penyunting. Caring for

133
Skrining mental, emosional, perilaku, dan psikososial pada remaja

adolescent Patients. Edisi ke-2. Philadelphia: American Academy of Pediatrics;


2006: 513-24.
11. Population Reference Bureau. The world’s youth 2013 data sheet. Diunduh dari:
http://www.prb.org/pdf13/youth-data-sheet-2013.pdf.
12. Kementrian Kesehatan RI. Profil Data Kesehatan Indonesia tahun 2011. Diunduh
dari:http://www.depkes.go.id/downloads/PROFIL_DATA_KESEHATAN_
INDONESIA_TAHUN_2011.pdf
13. National Center for Mental Health Checkups. Teen screen Primary Care.Diunduh
dari: http://depts.washington.edu/dbpeds/Screening%20Tools/TeenScreen.pdf.
14. Knight, J.R., Sherritt, L., Shrier, L.A., Harris, S.K., Chang, G. Validity of the
CRAFFT substance abuse screening test among adolescent clinic patients. Arch
of Pediatr Adolesc Med. 2002;156:607-14.
15. Kovacs M. Children’s Depression Inventory Profile Report. Diunduh dari: http://
www.psychassessments.com.au/products/22/prod22_report1.pdf
16. Conners CK. Conners’ Rating Scale-Revised. Interpretive report. Diunduh dari:
http://www.psychassessments.com.au/products/33/prod33_report1.pdf
17. Goldenring JM, Rosen DS. Getting into an adolescent head: an essential update.
Diunduh dari:http://www2.aap.org/pubserv/PSVpreview/pages/Files/HEADSS.
pdf
18. Klein DA, Goldenring JM, Adelman WP. HEEADSSS 3.0: The psychosocial
interview for adolescents updated for a new century fueled by media. Diunduh
dari; http://contemporarypediatrics.modernmedicine.com/contemporary-
pediatrics/content/tags/adolescent-medicine/heeadsss-30-psychosocial-interview-
adolesce?page=full.
19. Jellinek MS, Murphy JM, Little M, Pagano ME, Comer DM, Kelleher KJ. Use of
Pediatric Symptoms Checklist to Screen for Psychosocial problems in pediatric
primary care. Arch Pediatr Adolesc Med 1999:153;254-60.
20. Harahap DF, Sjarif DR, Soedjatmiko, Widodo DP, Tedjasaputra MS. Identification
of emotional and behavior problems in obese children using Child Behavior
Checklist (CBCL) and 17-items Pediatric Symptom Checklist (PSC-17). Paediatr
Indones. 2010;50:42-9.
21. Wiguna T, Manengkei PSK, Pamela C, Rheza AM, Hapsari WA. Masalah Emosi
dan Perilaku pada Anak dan Remaja di Poliklinik Jiwa Anak dan Remaja RSUPN
dr. Ciptomangunkusumo (RSCM), Jakarta. Sari Pediatri 2010;12:270-7.
22. Lipkin PH. Developmental and Behavioral Surveillance and screening within
medical home. Dalam: Voigt RG, Macias MM, Myers SM, penyunting.
Development and Behavioral Pediatrics. Philadelphia:American Academy of
Pediatrics: 2011.h.69-92.
23. Atilola O, Balhara YPS, Stevanovic D, Avicenna M, Kandemir H. Self-Reported
Mental Health Problems Among Adolescents in Developing Countries: Results
from an International Pilot Sample. J Dev Behav Pediatr 2013; 34:129–37.

134
Substance Use Amongst Adolescents
Peter Azzopardi

Why is substance amongst adolescents is important ?


Substance use (including alcohol and illicit substances, AOD) is a leading
cause of poor health globally, and accounts for almost 10% of healthy life lost
in Indonesia (Global Burden of Diseease, 2015). In addition to individual
harms, substance use is an important contributor to family breakdown and
criminal behaviour. Importanly, most of the harms associated with substance
use are preventable.
There are good reasons to focus on adolescents in responding to substance
use. Firstly , AOD use commonly has its onset around this age, and is a
significant contributor to harms experienced by this age group. AOD
impairs decision making (especially in the context of adolescent’s immature
frontal cortex) and can place young people at considerable physical and
psychosocial risk. Acute harms that result from AOD include intentional
and unintentional injury, while longer-term harms stem from the disruption
to education, employment, family role and contact with the justice system.
These harms can also be intergenerational, with AOD a predictor of risky
sexual behaviour, and AOD use during pregnancy a determinant of child
health outcomes. Secondly, AOD use during adolescence is a predictor of
patterns of AOD use across the life-course. In particular, early exposure to
AOD is toxic to the developing brain, alters neurochemistry (increasing the
risk of future substance use), and adversely impacts on social and emotional
development (further increasing the risk of AOD). Delaying first AOD
use amongst adolescents is therefore a priority for community prevention.
Thirdly, interventions that target adolescents specifically have been shown
to be effective and cost effective. Finally, adolescents are also particularly
susceptible to experimentation and peer pressure as they form their own
identity as an important and normal task of adolescence. Providing young
people with the ‘social scaffolding’ that comes from community connectedness,
family and pro-social school environments ensures healthy transitions and can
avert the risks of harmful AOD use.

135
Substance use amongst adolescents

Data relating to substance use amongst Indonesian adolescents are


limited. There are currently studies underway to better understand the pattern
of substance use so that targeted interventions can be developed.

Understanding patterns of substance use


Key diagnostic criteria for alcohol use disorders as an example of substances
are shown in box 1. The important distinction is between hazardous use,
harmful use and dependence.

Box 1. Alcohol Use Disorders (Source Mbuba & Newton, 2009; World Health Organization, 1992)

Identifying and diagnosing substance use


Some features of substance use disorder are outlined in Box 2. However,
adolescents are more likely to have hazardous or harmful patterns of use, and
may therefore not present with typical features. More often they are identified
on screening, or as a result of substance related harm (for example, injury from
substance use or blood borne virus from sharing needles).

136
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

Box 2: Some common features of substance use.

• Appearing to be under the influence of alcohol (e.g. smell of Substance use disorder
alcohol, looks intoxicated, hangover)
• Presenting with an injury
• Somatic symptoms associated with alcohol use (e.g. insomnia,
fatigue, anorexia, nausea, vomiting, indigestion, diarrhoea,
headaches)
• Difficulties in carrying out usual work, school, domestic or social
activities

Diagnostic criteria for substance use disorder are shown in Box 3.

Box 3: Diagnosis of an alcohol (or drug) dependence (Source Patel, 2002)

Responding to substance use


General principles
Substance use and mental health overlap significantly. General principles in
respoding to mental health and substance use amongst adolescents is shown
in Box 4.

Box 4: Key priniciples in providing mental health care (adapted from mhGAP guidelines, 2010):

yy Communication should be clear, respectful and non-judgemental.


yy Mental health should be explored and addressed at each clinical encounter.
This is not only part of providing comprehensive health care (given mental
health is integral to self efficacy and adherance to treatment), but also
helps address the mental health treatment gap. (Patel, 2013). Going
beyond the presenting complaint is especially important for adolescents
as many mental disorders have their onset during adolescence, and young
people may face signficant barriers in accessing health services including
poor health litearcy (especially where health services are fragmented)

137
Substance use amongst adolescents

and concerns around confidentality (especially in the context of stigma).


–– Conversley, the physical health & wellbeing of people with mental
disorders should also be addressed. Many of the determinants of mental
disorder are common to physical illness. People living with mental
disorder are also more likely to be socioeconomically disadvantaged,
and they may experience additional barriers to preventive and essential
health care. Regularly perform physical health checks and provide
education around healthy behaviours (nutrition, smoking, substance
use, contraception and safe sex)
yy Confidentality should be assured and maintained, recognising when
confidentality should be breached for the safety of the individual (for
example suicide risk) or community (disclosure of risk of harm to others).
–– A challenge to confidentality in the assessment of mental illness is the
value of 3rd party history (for example from a partner or parent). Flag
early in the consultation that you may talk to other people (family
members, community members, members of the treatment team) and
why (to better understand/ address their health needs)- involve the
patient as much as you can about who you talk to and why. Reassure
them that any discussion you have is to help them.
–– While people with mental illness may not be competent to provide
consent for treatment (or witholding treatment), they may be able
to provide assent (approval or agreement): involve them as much as
possible in the management plan.
yy Disclosure of distressing information (such as self-harm or sexual assualt)
should be responded to sensitvely.
yy Given the challenges of identifying mental disorder in a cross-cultural
settings, visiting clinicans should work closely with local health care
workers to assist identification and interpretation of symptoms where
possible (this may involve seeing patients together). Local health care
workers also are likely to have an understanding of the social context and
supports available to the patient. In small communities health care workers
may be related to patients- empower local professionals and discuss with
patients the importance of their role whilst reinforcing confidentality.
yy Evidence-based information should be provided to patients in terms they
can understand.
yy Patients and their families should be engaged as much as possible in the
decision-making process. Ask and respond the person’s fears and concerns
around diagnosis and treatment.
yy Faciliate linkage of patients with community supports- ask the patient to
help identify suitable support people. Supports may include social supports
and basic needs (such as food, shelter, safety).

138
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

yy Actively follow up patients- people with mental disorders are at perhaps


the highest risk of poor clinical follow-up. Use family and community
resources to contact people who have not returned for follow-up. Patients
who do not attend follow-up should never be ‘punished’ or ‘scolded’.

Specific approaches
Substances are a significant cause for concern because they cause a great
deal of harm, but they often go unnoticed and untreated for long periods of
time. This is despite the fact that brief, easily delivered interventions have
been shown to be effective (Benegal, Chand, & Obot, 2009). Management
of AUD is a stepped-care approach. The first stage involves early detection
and brief intervention (exploring reasons for alcohol use, avoiding going to
places where alcohol is served, removing alcohol sources from the home). The
next level of intervention involves psychosocial approaches to prevent/delay
relapse, including structured interventions and self-help groups. The third
level of intervention includes pharmacotherapy for detoxification and relapse
prevention, which requires specialised input and is the most costly option
(Benegal et al., 2009). An important consideration is supporting families and
carers of people with AUD, and exploring social networks and finances (which
may be the cause, or caused by AUD).
Detailed management guidance is provided in mhGAP which includes
harm minimisation.

139
Pendekatan Diagnosis
Nyeri Sendi pada Anak
Arwin AP Akib

Tujuan:
1. Mengetahui beberapa penyakit sendi dan variasi klinis nyeri sendi
pada anak.
2. Mengetahui alur pendekatan diagnosis nyeri sendi pada anak.
3. Mengetahui tata laksana nyeri sendi sendi pada anak.

Rasa sakit merupakan sensasi subjektif seseorang terhadap stimulus atau


ancaman berbahaya (noxious) yang diterima oleh reseptor nosiseptif. Rasa nyeri
pada anak dipengaruhi oleh faktor lingkungan, faktor emosi dan kognitif, serta
faktor biologi. Keluhan rasa sakit pasien dalam praktek klinis dihubungkan
dengan sakit kepala, perut, leher, dada, kaki, tangan, badan, dan sakit non-
spesifik lain. Sakit sendi secara harfiah berarti rasa sakit yang terasa pada
sendi atau daerah sendi, yang dapat disebabkan oleh proses inflamasi atau
non-inflamasi. Dalam praktek klinis sakit sendi sering dikeluhkan sebagai
pegal, ngilu, linu, sakit, atau nyeri sendi. Walau tidak konsisten dan sering
dipertukarkan, pegal biasanya dihubungkan sakit otot, ngilu dan linu dengan
sakit tulang, serta nyeri dengan sakit sendi. Makalah ringkas ini akan membahas
beberapa penyakit sendi untuk mendapat gambaran tentang variasi klinis nyeri
sendi pada anak.

Telaah klinis nyeri sendi


Pada dasarnya telaah klinis ini bertujuan untuk menentukan alur pendekatan
diagnosis nyeri sendi, terutama arah pendekatan pada kelompok nyeri sendi
akut yang lebih terbatas dan kelompok nyeri sendi kronis yang lebih kompleks.
Langkah selanjutnya yang lebih spesifik dapat mendekatkan kita pada
kelompok penyakit atau diagnosis tertentu. Telaah klinis terutama mencakup
aspek anamnesis serta pemeriksaan fisis, laboratorium, dan pencitraan.
Anamnesis terarah dilakukan untuk menilai karakteristik nyeri sendi,
keluhan atau gejala klinis lain yang menyertai nyeri sendi, riwayat pasien
dan keluarga yang meliputi riwayat penyakit sendi/reumatik dalam keluarga,

140
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

serta keadaan sosial, ekonomi, pendidikan, emosi, dan lingkungan keluarga.


Karakter nyeri sendi yang harus ditanyakan adalah berapa lama terasa nyeri
sendi, sendi mana yang sakit dan berapa banyak sendi besar atau kecil yang
terlibat, apakah nyeri sendi menetap atau berpindah, membaik atau memburuk
dan apa penyebab perubahan nyeri tersebut. Selain itu, penting ditanyakan
juga tentang gejala inflamasi sendi, apakah terdapat bengkak atau deformitas
sendi, sendi teraba hangat atau dingin, kemerahan sendi dan daerah sekitarnya,
apakah ada nyeri gerak (nyeri bertambah bila sendi digerakkan) atau kaku sendi
(gerakan sendi terbatas) terutama pagi hari. Sangat penting untuk menanyakan
apakah terdapat keluhan dan gejala konstitusional seperti demam (terutama
demam lama atau berulang), sakit kepala atau perut berulang, letih-lesu, napsu
makan dan berat badan berkurang, ruam kulit, serta keluhan gastrointestinal.
Riwayat penyakit dalam keluarga dapat membantu penilaian nyeri sendi,
misalnya penyakit spondilitis angkilosis, sindrom Reiter, penyakit inflamasi
usus, nyeri punggung, nyeri tumit atau iritis akut, psoriasis, fibromialgia atau
nyeri kronis lain. Hubungan sosial dan keluarga terutama masalah tekanan
dalam keluarga, sekolah, atau kelompok pertemanan, serta disharmoni
interaksi pasien-orangtua perlu diketahui untuk menilai emosi dan perbedaan
persepsi rasa sakit pasien dan orangtua.
Pemeriksaan fisis rutin dilakukan terhadap keadaan umum, ukuran
antropometri dan tanda vital, serta keadaan anatomi dan fungsi organ tubuh
secara sistematis. Pemeriksaan keadaan umum dilakukan pula untuk mencari
gejala konstitusional demam, lemah, lesu, sakit kepala, sakit perut, mual, dan
lainnya. Secara khusus diperhatikan apakah tampilan rasa sakit sesuai dengan
tanda klinis sambal mencari tanda inflamasi sendi, terutama deformitas sendi
(bengkak, infiltrat, edema), sendi kemerahan dan teraba hangat, nyeri gerak,
dan kaku sendi. gangguan gerak serta fungsi sendi (memegang, menjangkau,
pincang), kelemahan otot, atrofi, atau disfungsi neurologis.
Pada telaah klinis nyeri sendi tidak ada pemeriksaan penunjang spesifik
karena sebagian besar keluhan nyeri sendi tidak memerlukan pemeriksaan
laboratorium khusus. Pemeriksan dengan berbagai metode dan perangkat
yang terarah dan tidak berlebihan dapat menuju diagnosis yang benar.
Banyaknya pemeriksaan laboratorium akan meningkatkan kesimpulan positif
palsu, karena itu pemeriksaan laboratorium lebih spesifik hanya dilakukan bila
terdapat indikasi tertentu. Untuk evaluasi awal nyeri sendi pada anak dapat
dilakukan pemeriksaan laboratorium darah tepi rutin: kadar Hb, hitung leukosit
dan trombosit, hitung jenis leukosit, serta LED/CRP untuk menilai kondisi
inflamasi penyakit pasien. Pemeriksaan antibodi antinuklear (ANA), faktor
reumatoid (RF), atau ASTO hanya perlu bila secara klinis terdapat gejala
penyakit inflamasi muskuloskeletal. Demikian pula pemeriksaan radiologi
dan pencitraan MRI hanya dilakukan secara khusus untuk menegakkan atau
menyingkirkan diagnosis penyakit tertentu.

141
Pendekatan diagnosis nyeri sendi pada anak

Diagnosis banding
Nyeri sendi dapat terjadi secara akut atau kronis. Nyeri sendi akut sering
dihubungkan dengan trauma dan penyakit infeksi akut, sedangkan nyeri sendi
kronik kebanyakan dihubungkan dengan inflamasi autoimun penyakit reumatik
anak. Nyeri sendi akut pada anak biasanya tidak begitu menimbulkan masalah,
tetapi nyeri sendi kronik lebih memerlukan perhatian khusus. Nyeri sendi
kronik pada anak secara klinis sulit dipisahkan dari nyeri muskuloskeletal yang
sering berhubungan dengan penyakit reumatik anak. Nyeri muskuloskeletal
merupakan keluhan tersering, dapat sampai sekitar 50% pasien baru yang
dirujuk ke sentra reumatologi pediatri walaupun hanya sebagian kecil yang
kemudian terbukti menderita penyakit reumatik.
Nyeri sendi akut berhubungan dengan trauma fisik, infeksi akut, dan
proses fisiologis yang dikenal sebagai growing pain. Nyeri sendi akut yang sering
ditemui dokter anak biasanya berhubungan dengan infeksi akut sebagai radang
atau artritis, yaitu artritis septik, artritis reaktif, dan artritis pasca infeksi.
Artritis secara klinis ditandai oleh sendi bengkak, nyeri, kemerahan, teraba
hangat, dan gangguan fungsi sendi. Artritis septik adalah radang sendi oleh
mikroba yang menyerang sendi dan daerah sekitar sendi, misalnya radang sendi
gonokokus, sifilis, dan tuberkulosis. Artritis septik umumnya terjadi karena
penyebaran hematogen mikroba penyebab infeksi dari lokus infeksi awal.
Artritis reaktif sering dihubungkan dengan reaksi inflamasi sendi terhadap
mikroba penyebab infeksi pada organ lain, misalnya artritis reaktif terhadap
infeksi enteropatogen di saluran gastrointestinal dan penyakit demam reumatik
akut terhadap infeksi Streptococcus pyogenes B-hemolyticus goup A di mukosa
saluran napas atas. Artritis pasca-infeksi lebih banyak berupa artralgia yang
tidak menunjukkan tanda klinis artritis. Artralgia pasca-infeksi dapat terjadi
pada masa aktif infeksi atau setelah infeksi reda, misalnya pada infeksi dengue
dan chikungunya, atau setelah imunisasi.
Nyeri sendi kronik pada anak dapat bersifat idiopatik atau primer, dan
artritis kronik pada penyakit inflamasi autoimun. Sindrom fibromialgia primer
idiopatik (JPFS) merupakan kondisi klinis tersering nyeri sendi idiopatik,
sedangkan artritis kronik autoimun terpenting pada anak terdapat pada
kelompok penyakit reumatik. Nyeri sendi kronik biasanya tidak bersifat
tersendiri pada sendi tetapi disertai nyeri pada organ lain berupa nyeri
muskuloskeletal atau bahkan disertai gejala sistemik. Nyeri sendi kronik
idiopatik tidak menunjukkan gejala inflamasi sendi seperti pada artritis, tetapi
sebetulnya tidak begitu mudah membedakan nyeri muskuloskeletal pada
anak tanpa latar belakang penyakit inflamasi dengan nyeri muskuloskeletal
pada penyakit inflamasi autoimun. Umumnya pada nyeri idiopatik anak tidak
tampak sakit sedangkan pada penyakit autoimun disertai berbagai gejala klinis
lain, bahkan terkadang disertai gejala sistemik.

142
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

Kelompok penyakit reumatik anak terdiri dari beberapa subkelompok dan


yang paling kerap ditemukan adalah artritis idiopatik/reumatoid juvenil (JIA).
Secara klinis JIA dibedakan dalam tujuh kriteria diagnosis. Klasifikasi dan
kriteria diagnosis JIA merupakan kriteria eksklusi karena untuk mengetahuinya
membutuhkan kemampuan mengenal berbagai penyakit reumatik anak.
Artritis pada JIA merupakan penanda utama dan ditentukan bila terdapat
salah satu dari gejala bengkak/deformitas sendi atau efusi sendi; atau paling
sedikit dua dari tiga gejala kaku sendi, nyeri gerak, dan sendi teraba hangat.
Bengkak dan kaku sendi lebih dominan pada JIA dibandingkan nyeri sendi.
Kaku sendi pada pagi hari (morning stiffness) atau sehabis berdiam diri lama
(gelling), misalnya duduk atau berkendara jarak jauh, merupakan indikator
inflamasi penting artritis JIA.
Klasifikasi dan kriteria diagnosis penyakit reumatik anak sangat
membantu telaah klinis menuju diagnosis dan pengobatan nyeri sendi dengan
baik. Dengan mengenal dan memahami penyakit reumatik anak kita dapat
membuat diagnosis banding nyeri sendi akut dan kronik lebih cepat sehingga
anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang dapat diarahkan
lebih tertuju untuk pendekatan diagnosis dan tata laksana selanjutnya.

Pengobatan
Terapi dasar nyeri sendi idiopatik maupun artritis adalah analgesik sebagai
obat simtomatik. Obat yang sering diberikan adalah antiinflamasi non-steroid
(NSAID) seperti parasetamol, aspirin, ibuprofen, naproksen, diklofenak,
piroksikam, dan indometasin. Hindari pemakaian kortikosteroid selain
untuk indikasi khusus gejala sistemik. Pemberian analgesik atau antiinflamasi
sederhana disertai fisioterapi umumnya sudah cukup untuk pengobatan
nyeri sendi. Pada beberapa anak dengan nyeri sendi non-inflamasi idiopatik/
primer sering membutuhkan pula bantuan psikologis. Nyeri sendi atau nyeri
muskuloskelatal pada penyakit reumatik memerlukan pengobatan dan tindakan
lebih kompleks dan komprehensif sesuai dengan klasifikasi dan kriteria
diagnosis penyakitnya.

Penutup
Nyeri sendi pada anak dapat timbul secara akut atau kronik. Nyeri sendi dapat
terjadi karena proses noninflamasi pada sendi yang kita kenal sebagai artralgia,
atau merupakan gejala klinis artritis akibat proses inflamasi pada sendi dan
jaringan sekitar sendi. Gejala klinis artritis adalah bengkak, nyeri, teraba
hangat, kemerahan, dan gangguan fungsi sendi. Nyeri sendi akut biasanya tidak
begitu menimbulkan masalah klinis, tetapi nyeri sendi kronis yang umumnya
artritis kronik pada penyakit reumatik memerlukan tindak lanjut khusus.

143
Pendekatan diagnosis nyeri sendi pada anak

Tidak ada gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium tertentu untuk


menentukan penyebab nyeri sendi. Pendekatan diagnosis nyeri sendi pada
anak dilakukan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisis tertuju berdasarkan
pengetahuan tentang klasifikasi dan kriteria diagnosis penyakit reumatik.
Sebagian besar keluhan nyeri sendi tidak memerlukan pemeriksaan penunjang
khusus selain pemeriksaan laboratorium rutin untuk menilai kondisi inflamasi.
Pengobatan dasar nyeri sendi adalah analgesik sebagai obat simtomatik.
Hindari pemakaian kortikosteroid selain untuk indikasi khusus gejala sistemik.
Pengobatan selanjutnya disesuaikan dengan protokol pengobatan penyakit
menurut diagnosis yang ditegakkan.

Daftar pustaka
1. Rapoff MA, Lindsley CB. Pain. Dalam Cassidy JT, Petty RE, Laxer RM, Lindsley
CB, penyunting. Textbook of Pediatric Rheumatology. Edisi ke 6. Philadelphia:
Saunders-Elsevier; 2011. h. 192-7.
2. Scheibel HG. Scientific basis of pain. Dalam Hochberg MC, Silman AJ, Smolen JS,
Weinblatt ME, Weisman MH, penyunting. Rheumatology. Edisi ke 5. Philadelphia:
Mosby Elsevier; 2011. h. 199-218.
3. Eleftheriou D, Batu ED, Ozen S, Brogan PA. Vasculitis in children. Nephrol Dial
Transplant 2015;30:i94–i103.
4. Singer NG, Ravelli A. Evaluation of musculoskeletal complaints in children.
Dalam Hochberg MC, Silman AJ, Smolen JS, Weinblatt ME, Weisman MH,
penyunting. Rheumatology. Edisi ke 5. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2011.
h.975-85.
5. Anthony KK, Schanberg LE. Pediatric pain syndromes and management of pain
in children and adolescents with rheumatic disease. Pediatr Clin North Am
2005;52:611-39.
6. Petty RE, Cassidy JT. Chronic arthritis in childhood. Dalam: Cassidy JT, Petty
RE, Laxer RM, Lindsley CB, penyunting. Textbook of Pediatric Rheumatology.
Philadelphia: Saunders-Elsevier; 2011. h. 211-35.
7. Laxer RM, Lindley CB. Infectious arthritis and osteomyelitis. Dalam Cassidy
JT, Petty RE, Laxer RM, Lindsley CB, penyunting. Textbook of Pediatric
Rheumatology. Philadelphia: Saunders-Elsevier; 2011.h. 559-99.
8. Gewitz MH, Baltimore RS, Tani LY, Sable CA, Shulman ST, Carapetis J, dkk.
Revision of the Jones Criteria for the diagnosis of Acute Rheumatic Fever in
the era of doppler echocardiography: A scientific statement from the American
Heart Association. Circulation. 2015;131:1806-18.
9. Teng TS, Kam YW, Lee B, Hapuarachchi HC, Wimal AT, Ng LC, Ng LFP. A
systematic meta-analysis of immune signatures in patients with acute chikungunya
virus infection. J Infect Dis. 2015;211:1925–35.
10. Klein NP, Lewis E, Fireman B, Hambidge SJ, Naleway A, Nelson JC, dkk. Safety
of measles-containing vaccines in 1-year-old children. Pediatrics. 2015;135:321-9.

144
Asma pada Remaja
Bambang Supriyatno

Tujuan:
1. Mengetahui morbiditas dan mortalitas asma pada remaja
2. Mampu mengetahui masalah yang ada pada asma remaja
3. Mampu mendiagnosis dan menatalaksana asma pada remaja

Asma merupakan penyakit respiratoris kronik yang sering dijumpai pada anak
dan memerlukan pertolongan pertama bila terjadi serangan asma di instalasi
gawat darurat.1,2 Prevalens asma pada anak berusia 6-7 tahun di Indonesia
sekitar 10%, sementara prevalens asma pada remaja di dunia berkisar antara
6,5-19,8%.3,4 Dengan kemajuan industri dan meningkatnya polusi udara
baik indoor maupun outdoor, prevalens asma pada anak juga mengalami
peningkatan.1-4
Beberapa pedoman asma (termasuk Global Initiative for Asthma,
GINA), umumnya hanya membahas asma pada anak dan dewasa, sedangkan
pembahasan asma pada remaja terkesan terabaikan.1,3,5,6 Asma pada remaja
mempunyai karakteristik yang unik karena selain dapat merupakan lanjutan
atau persistensi dari asma pada anak, penanganannya pun berbeda. Pada
penanganan asma remaja, selain medikamentosa perlu dipertimbangkan faktor
atau dampak dari pertumbuhan dan perkembangan remaja itu sendiri seperti
perubahan fisis, emosi, psikologis, dan sosial.4,7,8
Diagnosis dan tata laksana asma pada remaja secara umum tidak memiliki
perbedaan yang mendasar dengan asma pada anak maupun dewasa. Asma
terbagi dalam keadaan serangan asma dan di luar serangan asma (klasifikasi
asma). Serangan asma terbagi menjadi serangan ringan-sedang, berat, dan
terdapat ancaman henti napas. Sementara, sedangkan klasifikasi asma terbagi
menjadi asma intermiten, asma persisten ringan, asma persisten sedang, dan
asma persisten berat.1,3

Diagnosis
Diagnosis asma pada remaja hampir sama dengan diagnosis asma pada anak

145
Asma pada remaja

secara umum. Kecurigaan asma dipikirkan apabila dijumpai batuk dan/atau


mengi yang berlangsung episodik (berulang), timbul terutama pada malam hari
(variabilitas nokturnal), bersifat reversibel (dapat membaik dengan/atau tanpa
bronkodilator) dan dijumpai adanya atopi baik pada pasien maupun keluarga.1,3
Dahulu terdapat mitos yang menyatakan bahwa asma akan berkurang
(remisi) pada saat akil balig (pubertas) karena proses outgrow. Serangan asma
pada remaja lebih ringan dibanding anak, dan kekambuhannya lebih jarang.
Ternyata mitos ini tidak semuanya benar yaitu 41-58% asma pada anak akan
menetap (persisten), angka kematian asma pada remaja hampir 6 kali lipat
dibandingkan pada anak, dan kekerapan asma pada remaja lebih sering karena
umumnya asma persisten.4,9-11
Dalam pemantauan kohort sampai dengan pasca-pubertas (bahkan
sampai 19 tahun), asma yang menetap diduga karena beberapa faktor seperti
beratnya asma saat prepubertas, wanita, obesitas, uji kulit positif, pubertas
dini, dan rinosinusitis aktif.9,10,12 Adanya ibu yang merokok merupakan hal
yang kontroversi karena sebagian menyatakan bukan merupakan faktor risiko
menetapnya asma sampai dengan remaja.9,10,13
Mortalitas asma pada remaja lebih tinggi dibandingkan dengan usia
anak yang lebih muda antara lain karena beberapa faktor, yaitu terlalu yakin
dengan b2-agonis (pereda) tanpa menggunakan pengendali, adanya rasa denial
(penolakan), pengaruh asap rokok, dan adanya tekanan dari peer group (teman-
teman) sehingga tidak mau menggunakan obat.4,11,14
Diagnosis asma pada remaja sama saja dengan diagnosis asma pada anak
dan dewasa. Dengan adanya gejala yang sesuai dengan asma, maka tentukan
saat itu sedang serangan atau tidak. Bila gejala yang ditemui saat itu progresif
memberat dibandingkan gejala yang dimiliki sebelumnya, maka diagnosis
serangan asma dapat ditegakkan.1,3 Pembagian serangan asma didasarkan pada
tanda, gejala dan pemeriksaan penunjang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Derajat serangan asma


Klinis SERANGAN
Ringan-sedang Berat Ancaman henti napas
Bicara Kalimat Kata-kata
Posisi Lebih senang duduk daripada Duduk bertopang
berbaring lengan Kriteria asma serangan
Gelisah Tidak ada Ada berat terpenuhi ditambah
dengan:
Frekuensi napas Meningkat Meningkat
Mengantuk
Frekuensi nadi Meningkat Meningkat Letargi
Retraksi Minimal Berat Suara napas tak terdengar
Saturasi oksigen 90-95% <90%
Peak expiratory flow >50% prediksi <50% prediksi

146
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

Salah satu kemudahan diagnosis asma pada remaja adalah penggunaan


pemeriksaan uji fungsi paru dengan spirometri. Pemeriksaan spirometri
yang merupakan kendala pada anak, dapat dilakukan pada remaja. Pada
pemeriksaan spirometri dapat dilihat adanya penurunan FEV1 (forced expiratory
volume in 1 second) di bawah 70% dari nilai prediksi yang menandakan adanya
obstruksi saluran napas. Selain pemeriksaan uji fungsi paru, dapat dilakukan
uji reversibilitas yaitu adanya perbedaan nilai FEV1 sebelum dan sesudah
diberikan bronkodilator > 12%.1,3,15
Pada keadaan tidak jelas asma, dapat dilakukan uji provokasi bronkus
dengan histamin atau metakolin atau menggunakan NaCl hipertonik.1,16
Dengan uji provokasi bronkus dapat ditentukan asma atau bukan. Namun
demikian pemeriksaan uji provokasi bronkus ini jarang dilakukan karena
ketersediaan histamin atau metakolin sebagai bahan dasar.3,16
Berbeda dengan asma di bawah 5 tahun, asma anak, dan asma dewasa,
diagnosis banding pada asma remaja adalah sindrom hiperventilasi, gastro-
esophageal reflux disease (GERD), batuk psikogenik, dan bronkiektasis.1,11

Tata laksana
Tata laksana asma terbagi menjadi medikamentosa dan non-
medikamentosa. Tata laksana medikamentosa tidak berbeda antara
asma pada anak, remaja, dan dewasa. Perbedaan hanya dalam dosis
dan cara pemberian. Untuk tata laksana nonmedikamentosa, pada
asma remaja sangat berbeda dengan asma pada anak dan hampir sama
dengan dewasa. 4,11,14

Tata laksana medikamentosa


Serangan asma
Serangan asma adalah episode perburukan yang progresif dari gejala-gejala
batuk, sesak napas, mengi, rasa dada tertekan atau berbagai kombinasi dari
gejala tersebut. Derajat serangan asma dapat mulai dari serangan ringan-sedang
hingga serangan berat yang dapat mengancam jiwa.1,3,5

Tata laksana serangan ringan-sedang


Tujuan tata laksana serangan asma adalah meredakan obstruksi jalan napas
secepat mungkin, mengurangi hipoksemia, mengembalikan fungsi paru ke
keadaan normal secepatnya, dan merencanakan tata laksana untuk mencegah
kekambuhan. 1,3,5,6

147
Asma pada remaja

Tatalaksana serangan asma dapat dibagi menjadi dua, yaitu saat di rumah
dan di fasilitas kesehatan. Pada serangan ringan-sedang, di rumah dapat
diberikan b2- agonis secara inhalasi (dapat dengan metered dose inhaler = MDI
atau nebulizer) dan kortikosteroid oral. Pemberian MDI sebanyak 2-4 puff
(semprot) dengan menggunakan alat bantu spacer atau dengan nebulizer b2-
agonis. Pemberian ini dapat diulang sebanyak 2 kali dengan interval di atas 30
menit. Apabila perbaikan, maka dapat diteruskan dengan b2- agonis oral atau
inhalasi, tetapi bila tidak ada perbaikan yang nyata maka dianjurkan mencari
pertolongan ke fasilitas pelayanan kesehatan atau dokter.1,3
Tata laksana di fasilitas kesehatan, apabila belum diberikan b2- agonis
maka diberikan b2- agonis inhalasi dan kortikosteroid oral dahulu dan bila
gagal maka diberikan kombinasi antara b2- agonis dan ipratropium bromida
secara inhalasi serta kortikosteroid oral. Pada keadaan sudah diberikan b2-
agonis sebelumnya maka langsung diberikan inhalasi b2- agonis dengan MDI
sebanyak 6-10 semprot atau kombinasi antara b2- agonis dengan ipratropium
bromida secara inhalasi.1,3,5
Pemberian kortikosteroid oral pada serangan asma ringan-sedang,
menimbulkan kekhawatiran terjadinya drug abuse terhadap kortikosteroid.
Kekhawatiran tersebut tidak akan terjadi karena pemberiannya hanya
berlangsung 3-5 hari dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis tanpa
tappering off.7 Perlu diperhatikan pemberian kortikosteroid oral yang berlangsung
berulang-ulang atau dalam jangka panjang karena dapat mengganggu proses
pertumbuhan.1,3

Tata laksana serangan berat


Pasien yang kurang/tidak respons (poor response) dengan tata laksana serangan
ringan-sedang, disebut sebagai serangan berat (dahulu dikenal status asmatikus)
dan pasien harus dirawat di ruang rawat inap. Pada serangan berat harus dicari
penyebab kegagalan tata laksana standar seperti keadaan dehidrasi, asidosis,
dan gangguan ventilasi akibat atelektasis.1,3
Penanganan serangan asma berat di ruang rawat inap adalah:1,3,5,17,18
yy Pemberian oksigen.
yy Koreksi cairan dan/atau gangguan asam basa bila terjadi dehidrasi dan
asidosis.
yy Kortikosteroid intravena secara bolus setiap 6-8 jam, dengan dosis 1-2
mg/kgBB/hari.
yy Nebulisasi b2-agonis+ antikolinergik (ipratropium bromida) dengan
oksigen tiap 1-2 jam, jika dalam 4-6 kali pemberian telah terjadi perbaikan
klinis, jarak pemberian menjadi tiap 4-6 jam.

148
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

yy Aminofilin intravena dengan dosis sebagai berikut:


–– Bila pasien belum mendapat aminofilin/teofilin sebelumnya, diberi
aminofilin dosis awal (inisial) sebesar 6-8 mg/kgBB dilarutkan dalam
dekstrose atau garam fisiologis sebanyak 20 ml, diberikan dalam 20-30
menit. Jika pasien telah mendapat aminofilin/teofilin (kurang dari 8
jam), dosis awal aminofilin diberikan setengahnya.
–– selanjutnya aminofilin dosis rumatan diberikan sebesar 0,5-1 mg/
kgBB/jam.
–– sebaiknya kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 10-20 mcg/ml.
yy Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga
24 jam. Kortikosteroid dan aminofilin dapat diberikan peroral.
yy Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan
dibekali obat b2- agonis (hirupan atau oral), yang diberikan tiap 4-6 jam
selama 24-48 jam. Kortikosteroid peroral diberikan hingga pasien kontrol
ke klinik rawat jalan dalam 24-48 jam untuk re-evaluasi tata laksana.
Jika pasien sebelumnya sudah mendapat obat pencegahan atau rumatan
(pengendali), maka obat tersebut juga diteruskan.
yy Jika dengan tata laksana di atas tidak berhasil, bahkan pasien menunjukkan
tanda ancaman henti napas, maka pasien dialih-rawat ke ruang rawat
intensif.
yy Indikasi perawatan di ruang intensif adalah perburukan yang cepat,
ancaman henti napas, tidak menunjukkan perbaikan dengan tata laksana
serangan berat yang standar.
yy Pada keadaan pemberian obat standar untuk serangan berat tidak respons
secara bermakna dapat diberikan obat lain seperti MgSO4 20 – 100 mg/
kgBB dalam 20 menit maksimal sebanyak 2 gram atau drip kontinu 10 –
20 mg/kg/jam.1,3,19,20

Tidak semua obat untuk asma terindikasi diberikan pada serangan asma.
Beberapa obat bahkan tidak disarankan untuk diberikan pada saat serangan,
antara lain:
1. Kortikosteroid inhalasi
Kortikosteroid inhalasi dapat diberikan bersama b2-agonis pada serangan
ringan-sedang tetapi tidak dianjurkan pada serangan berat. Indikasi
pemberian kortikosteroid inhalasi adalah pada keadaan kontraindikasi
pemberian kortikosteroid oral. Dosis kortikosteroid inhalasi yang diberikan
harus dosis tinggi yaitu sekitar 2.000-2.400 mikrogram (mcg) budesonide.
Pemberian kortikosteroid inhalasi dosis rendah untuk serangan asma tidak
mempunyai efek terapetik.1,3

149
Asma pada remaja

2. Mukolitik
Mukolitik tidak dianjurkan pada serangan berat karena dapat memperberat
serangannya. Pada serangan ringan-sedang dapat diberikan meskipun efek
terapetiknya masih kontroversial.1,3
3. Antibiotik
Antibiotik tidak dianjurkan pada serangan asma kecuali terdapat
pneumonia (baik atipik maupun pneumonia yang klasik).1,3,5
4. Antileukotrien
Antileukotrien tidak dianjurkan pada serangan asma. Antileukotrien
diberikan untuk tatalaksana jangka panjang (sendiri maupun bersama
kortikosteroid).1,5

Tata laksana jangka panjang


Pada asma intermiten tidak memerlukan obat pengendali (controler),
sedangkan pada asma persisten diberikan pengendali. Obat antiinflamasi
non-steroid, antihistamin, dan disodium cromoglicate tidak digunakan
lagi sebagai pengendali. Obat pengendali utama adalah kortikosteroid
inhalasi dengan/atau tanpa tambahan obat lain.1,3,5,6
Pada tata laksana jangka panjang terdapat beberapa jenjang (step) yaitu
jenjang 1, 2, 3,dan 4 (Gambar.1).1,3 Jenjang 1 adalah pada asma intermiten
yang tidak memerlukan pengendali. Pada jenjang 2, asma persisten ringan,
dapat diberikan pengendali yaitu kortikosteroid inhalasi dosis rendah (100-
200 mcg budesonide) atau antileukotrien oral. Pemberian kortikosteroid
inhalasi merupakan pilihan utama pada jenjang 2, namun apabila terdapat
kontraindikasi atau kekhawatiran terhadap pemberian kortikosteroid, maka
dapat digantikan dengan antileukotrien oral. Efektifitas kortikosteroid inhalasi
lebih baik dari antileukotrien.1,3,21
Pada jenjang 3 (bila jenjang 2 kurang/tidak respons), diberikan
kortikosteroid inhalasi dosis medium (200-400 mcg budesonide) atau
kortikosteroid inhalasi dosis rendah ditambah LABA (long acting beta-2
agonist), atau kortikosteroid inhalasi dosis rendah ditambah antileukotrien
(ALTR) oral, atau kortikosteroid inhalasi dosis rendah ditambah theophylline
slow release = TSR).1,3,21,22
Pada jenjang 4 (apabila jenjang 3 kurang/tidak respons), diberikan
kortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>400 mcg budesonide), atau kortikosteroid
dosis medium ditambah LABA (long acting beta-2 agonist), atau kortikosteroid
inhalasi dosis medium ditambah antileukotrien (ALTR) oral, atau
kortikosteroid inhalasi dosis medium ditambah theophylline slow release atau
pemberian anti IgE.1,3

150
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

Gambar 1. Tata laksana asma jangka panjang.1,3  


 

Pada tata laksana jangka panjang dikenal istilah up dan down regulation
atau ”naik jenjang” dan ”turun jenjang”. ”Naik jenjang” berarti dari jenjang
1 meningkat menjadi jenjang 2, 3, atau 4 yaitu pada keadaan tidak respons
terhadap obat yang diberikan. Pada kondisi ”naik jenjang”, diperlukan evaluasi
yang berlangsung kurang dari 2 bulan. Apabila ”turun jenjang”, yang berarti
dari jenjang 4 ke tahap 3, 2, atau 1 perlu evaluasi yang lebih lama yaitu sekitar
2-3 bulan untuk menentukan tahap berikutnya. Evaluasi naik jenjang atau
turun jenjang dilakukan dengan cara mengevaluasi gejala kendali asma (Tabel 
2).1,3
 
 Tabel 2. Gejala derajat kendali asma.
1,3

151
Asma pada remaja

Anti IgE (omalizumab) dapat diberikan pada asma persisten berat yang
kurang/tidak respons terhadap jenjang-jenjang tersebut di atas. Sebelum
pemberian anti IgE, perlu diperiksa kadar IgE untuk menentukan dosis
omalizumab. Dosis omalizumab ditentukan berdasarkan berat badan dan
kadar anti IgE.1,23
Selain pemberian pengendali, upaya pencegahan terhadap alergen
merupakan tatalaksana yang paling utama dalam tatalaksana jangka panjang.
Alergen yang dapat menyebabkan timbulnya serangan asma adalah asap rokok,
debu (tungau debu rumah), dan makanan tertentu berdasarkan pemantauan
pasien dan/atau keluarga.1,3,5,6

Tata laksana non-medikamentosa


Tata laksana asma pada remaja bersifat unik karena adanya faktor yang ada
pada remaja. Pada remaja, terjadi perubahan yang drastis pada fisik, emosi,
psikologis, dan sosial. Remaja akan merasa bahwa semua orang harus mengerti
akan perubahan yang terjadi pada dirinya. Jika tata laksana pada anak
pendekatan yang dilakukan adalah doctor-centered approach (yaitu biasanya
dokter akan memberikan instruksi kepada psiennya), maka pada remaja
pendekatan ini tidak akan berhasil. Pendekatan yang dianjurkan adalah patient-
centered approach yaitu pendekatan dengan mengajak pasien menentukan
pilihan obat dan cara pemberian dengan prinsip kesepakatan.4,11 P a s i e n
menentukan cara pemberian obat misalnya dengan DPI (dry powder inhaler),
kemudian jadwal pemberian (selama masih dalam batas keamanan). Dokter
menjelaskan keuntungan dan kerugian DPI dan MDIdengan spacer dan
obat secara oral, tetapi pasien yang akan menentukan. Seandainya dokter
memaksakan kehendaknya untuk menggunakan MDI dengan spacer, maka
pasien tidak akan menggunakannya karena perasaan malu jika diketahui oleh
peer group (teman) menderita asma (karena harus membawa spacer).4,11
Di sisi lain penggunaan pengendali yang setiap hari dengan dosis 2 kali
sehari akan memberatkan remaja karena takut diketahui oleh teman-temannya
dan menjadi bahan tertawaan (bully) karena masih menderita asma. Hal
ini yang akan memudahkan pasien asma remaja untuk tidak menggunakan
pengendali dan hanya memakai pereda. Penggunaan pereda saja dan keyakinan
yang berlebihan terhadap pereda (b2-agonis) akan menyebabkan angka
kematian yang tinggi karena sudah tidak respons lagi terhadap obat pereda atau
bahkan terjadi takifilaksis karena penggunaan beta agonis yang berlebihan.4,11
Tata laksana non-medikamentosa yang sangat penting adalah
mengikutsertakan pasien (remaja) untuk menentukan pemantauan terhadap
pengobatan seperti kartu harian (action plan) dan uji fungsi paru dengan mini
peak flow meter. Pasien membuat catatan penting mengenai perkembangan

152
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

klinis selama dalam pengobatan dan rencana atau tindakan yang dilakukan
dalam mengatasi hal-hal yang terjadi atau adanya perubahan. Kartu harian
sangat berguna dalam memantau perkembangan asma karena sebagai evaluasi
terhadap hasil pengobatan dan rencana selanjutnya.4,11
Dengan kata lain pendekatan non-medikamentosa lebih berperan pada
tata laksana asma pada remaja dibandingkan dengan asma anak dan dewasa.
Perlu perhatian khusus terhadap perubahan yang terjadi pada remaja dan
keunikan remaja.4,11,14

Keadaan khusus
Pada keadaan tertentu, setelah tata laksana medikamentosa dan non-
medikamentosa dijalankan tetapi masih belum terdapat respons juga,
maka perlu dipertimbangkan adanya faktor komorbiditas pada asma
remaja. Beberapa komorbiditas yang sering terjadi adalah rinosinusitis,
penyakit refluks gastro-esofagus (GERD), obesitas, dan infeksi pada paru
seperti pneumonia sehingga sering disebut sebagai difficult asthma. Pada
difficult asthma perlu pemeriksaan penunjang seperti foto Roentgen dada
atau sinus paranasal, uji fungsi paru, CT scan, atau bronkoskopi.24,25
Pada rinosinusitis, dapat diberikan kortikosteroid intranasal dengan atau
tanpa antibiotik. Pada keadaan rinosinusitis yang dicurigai karena faktor alergi,
tidak memerlukan antibiotik tetapi hanya kortikosteroid intranasal selama
minimal 3 minggu. Pada kecurigaan rinosinusitis bakterialis seperti gambaran
radiologis berupa air fluid level, tidak ada perbaikan setelah pengobatan 5-10
hari dengan kortikosteroid intranasal, maka dapat ditambahkan antibiotik
selama 3 minggu. Pilihan antibiotik dapat berupa amoksilin-klavulanat atau
makrolid, atau sefalosporin.26,27
Pada keadaan GERD, dapat diberikan obat anti refluks seperti PPI (proton
pump inhibitor). Pada GERD dapat terjadi batuk yang kronik dan perasaan
heart burn serta halitosis.25,28 Pada obesitas, asma dapat menjadi lebih berat
karena dapat terjadi komorbirditas berupa OSAS (obstructive sleep apnea
syndrome). Pada keadaan OSAS perlu dilakukan tata laksana obesitas dan
tindakan tonsiloadenoidektomi atau pemberian CPAP (continuous positive
airway pressure) untuk menghilangkan hipoksia kronis yang terjadi akibat
apnea saat tidur.24,25,29
Pada kecurigaan pneumonia dapat dilakukan pemeriksaan foto Roentgen
dada, dengan ditemukannya gambaran pneumonia lobaris atau adanya
pneumonia atipik maka perlu pemberian antibiotik berupa makrolid.25,30

153
Asma pada remaja

Simpulan
Asma pada remaja merupakan kelompok yang kurang mendapat perhatian
meskipun angka kejadian dan kematiannya cukup tinggi dibandingkan asma
anak dan dewasa. Diagnosis asma pada remaja sama dengan asma anak dan
dewasa. Tata laksana asma pada remaja sama dengan pada anak dan dewasa
dalam hal medikamentosa tetapi berbeda dalam hal nonmedikamentosa.
Beberapa faktor yang perlu diperhatikan pada tatalaksana asma remaja adalah
adanya perubahan fisik, emosi, psikologis, dan sosial yang akan mempengaruhi
kejiwaannya serta adanya faktor tekanan dari peer group serta adanya asap
rokok yang akan mempersulit tata laksana asma pada remaja.
Pada tata laksana asma remaja perlu mengikutsertakan peran pasien
(patient-centered approach) dalam menentukan jenis dan cara pemberian
obat. Disamping masalah tata laksana asma pada remaja yang sulit (difficult
asthma), beberapa penyakit penyerta dapat lebih mempersulit tata laksana,
yaitu rinosinusitis, GERD, obesitas dengan OSAS (obstructive sleep apnea
syndrome), dan pneumonia atipik.
Oleh karena itu, terlihat bahwa tata laksana asma pada remaja masih
merupakan tantangan yang berat dan memerlukan pemikiran yang lebih
mendalam untuk mencegah terjadinya kematian akibat asma. Di masa
mendatang, tata laksana asma (baik asma anak dan remaja) semakin kompleks
dan perlu pendekatan multidisiplin karena asma merupakan penyakit yang
melibatkan disiplin lain. Tata laksana secara dini, cepat, dan tepat serta
pemantauan yang komprehensif dapat mengurangi kompleksitas tata laksana
asma sehingga difficult asthma dapat dicegah.

Daftar pustaka
1. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management and
Prevention. 2015.
2. Maziak W, von Motius E, Keil U, Hirsch T, Laupold W, Rzehak P, dkk. Predictors
of healthy care utilization of children with asthma in the community. Pediatr
Allergy Immunol. 2004;15:166-71.
3. UKK Respirologi. Pedoman Nasional Asma Anak. UKK Respirologi. 2015.
4. Couriel J. Asthma in adolescence. Pediatr Respir Rev. 2003;4:47-54.
5. Nishimuta T, Kondo N, Hamasaki Y, Morikawa A, Nishima S. Japanese Guideline
for Childhood Asthma. Allergology Int. 2011;60:147-69.
6. Papadopoulos NG, Arakawa H, Carlsen KH, Custovic A, Gern J, Lemanske R,
dkk. International consensus on (ICON) pediatric asthma. Allergy. 2012;67:976-
97.
7. Rhee H, Belyea MJ, Elward KS. Patterns of asthma control perception in
adolescents: associations with psychosocial functioning. J Asthma. 2008;45:600-6.

154
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXII

8. Arshad SH, Raza A, Lau L, Bawahid K, Karmaus W, Zhang H, dkk.


Pathophysological characterization of asthma transitions across adolescence.
Respir Res. 2014;15:153-65.
9. Andersson M, Hedman L, Bjers A, Forsberg B, Lundback B, Ronmark E.
Remission and persistence of asthma followed from 7 to 19 years of age. Pediatrics.
2013;132:e435-42.
10. To T, Gershon A, Wang C, Dell S, Cicutta L. Persitence and remission in childhood
asthma. A population-based asthma birth cohort study. Arch Pediatr Adolesc
Med. 2007;161:1197-1204.
11. de Benedictis D, Bush A. The challenge of asthma in adolescence. Pediatr
Pulmonol. 2007;42:683-92.
12. Guerra S, Wright AL, Morgan WJ, Sherrill DL, Holberg CJ, Martinez FD.
Persitence of asthma symptoms during adolescence. Role of obesity and age at
the onset of puberty. Am J Respir Crit Care Med. 2004;170:78-85.
13. Belsky DW, Sears MR. The potential to predict the course of childhood asthma.
Expert Rev Respir Med. 2014;8:137-41.
14. Dahlen E, Wattermark B, Bergstrom A, Jonsson EW, Almqvist C, Kull L. Medicine
use and disease control among adolescents with asthma. Eur J Clin Pharmacol.
2016;72:339-47.
15. Ruppel GL, Enright PL. Pulmonary function testing. Respir Care. 2012;57:165–75.
16. Supriyatno B, Medina D, Tumbelaka AR, Rahajoe NN. The use of 4.5%
hypertonic saline challenge test in diagnosing asthma in children with chronic
recurrent cough. Pediatr Indones. 2005;45:93-8.
17. Mitra A, Bassler D, Goodman K, Lasserson TJ, Ducharme FM. Intravenous
aminophylline for acute severe asthma in children over two years receiving inhaled
bronchodilators. The Cochrane database of systematic reviews. 2005;2:Cd001276.
18. Supriyatno B, Dewi R, Indawati W. Penggunaan MgSO4 pada asma serangan
berat: Laporan kasus. Sari Pediatr. 2009;11:155-8.
19. Griffiths B, Ducharme FM. Combined inhaled anticholinergics and short-acting
beta2-agonists for initial treatment of acute asthma in children. The Cochrane
database of systematic reviews. 2013;8:Cd000060.
20. Bittar TM, Guerra SD. Use of intravenous magnesium sulfate for the treatment
of severe acute asthma in children in emergency department. Rev Brasil Ter
Intens. 2012;24:86-90.
21. Price D, Musgrave SD, Shepstone L, Hillyer EV, Sims EJ, Gilbert RFT.
Antileukotrien antagonist as a first-line or add-on asthma control therapy. N
Eng J Med. 2011;364:1695-707.
22. Bush A. Montelukast in paediatric asthma: where we are now and what still
needs to be done? Paediatr Respir Rev. 2015;16:97-100.
23. Lai T, Wang S, Xu Z, Zhang C, Zhao Y, Hu Y, et al. Long-term efficacy and
safety of omalizumab in patients with persistent uncontrolled allergic asthma: a
systematic review and metaanalysis. Sci Rep. 2015;5:8191-9.
24. Strek ME. Difficult asthma. Proc Am Thorac Soc. 2006;3:116-23.
25. Le AV, Simon RA. The difficult to control asthma: A systematic approach. Allergy
Asthma Clin Immunol. 2006;2:109-16.

155
Asma pada remaja

26. Bousquet J, Khaltaev N, Cruz AA, Denburg J, Fokkens WJ, Togias A,dkk. Allergic
rhinitis and its impact on asthma (ARIA) 2008. Allergy. 2008;63:8-160.
27. Price D, Kemp L, Sims E, van Ziegenweidt J, Navaratnam P, Lee AS, dkk.
Observational study comparing intranasal mometasone furoat with oral
antihistamines for rhinitis and asthma. Prim Care Respir J. 2010;19:266-73.
28. De Blasio F, Virchow JC, Polverino M, Zanasi A, Behrakis PK, Kilinç G, dkk.
Cough management: a practical approach. Cough. 2011;7:7-19
29. Supriyatno B, Said M, Hermani B, Sjarif DR, Sastroasmoro S. Risk factors of
obstructive sleep apnea syndrome in obese early adolescents: a prediction model
using scoring system. Acta Med Indones. 2010:42:152-7.
30. Biscardi S, Lorrot M, marc E, Mouline F, Faucher BB, Heilbronner C, dkk.
Mycoplasma pneumonia and asthma in children. Clin Infect Dis. 2004;38:1341-6.

156

Anda mungkin juga menyukai