Anda di halaman 1dari 58

Completion Report Geologi PLTA Poso 2

By Sugiyono 2014

1. TOPOGRAFI
Secara umum kondisi topografi di daerah PLTA Poso 2 bagian hulunya (Danau Poso) adalah
perbukitan terjal dan bagian hilir melebar kearah Barat - Utara berupa dataran rendah hingga
pantai. Kemiringan rata-rata Sungai Poso adalah ± 0,010 (sepuluh permil) yang diperoleh dari
elevasi muka air normal (NWL) outlet Danau Poso + 511,10 m sampai ke pantai dengan jarak ±
50 km.

Gambar 1. Peta topografi yang diambil dari Google Earth dimana menunjukkan lokasi jalur
PLTA Poso 2 (garis putih)

PLTA Poso-2 direncanakan disisi kanan aliran Sungai Poso yang secara geografi terletak antara
koordinat 01 o38’32.14” LS dan 120 o38’38.79” BT sampai 01 o39’0.13” LS dan 120 o 39’31.53”
BT. Di hulu rencana PLTA Poso-2 sekitar 14 km terdapat danau tektonik (Danau Poso) dengan
luas permukaan danau ± 368.9 km2 pada muka air normal dan kedalaman maksimum 384.6 m
(tahun 2007) dengan fluktuasi muka air danau mencapai 1.86 m serta mempunyai luas daerah
tangkapan hujan (catchment area) ± 1.340 km 2 beserta sungai-sungai kecil yang mengelilingi
danau.

Dilihat dari bentuknya, kondisi topografi di sepanjang aliran sungai dari outlet Danau Poso
adalah berupa lembah dengan bentuk relatif datar – bergelombang sampai pada jarak ± 12 km ke
arah hilir (bagian hulu PLTA Poso-1), selanjutnya berubah menjadi cekungan curam yang
membentuk celah terjal (bentuk huruf V~U) hingga di muara.

Volume efektif danau diperkirakan lebih besar dari 700x106 m 3 pada elevasi muka air normal
±511,10 m) di atas permukaan laut dan debit keluaran air danau rata-rata 316 m 3 /detik. Lokasi
terjalan Sungai Poso dimulai dari daerah Saojo (+510 m) sampai daerah Tampe Madoro (+ 20
m) dengan panjang sungai sekitar 20 km. Dari kondisi diatas, sepanjang lokasi terjalan tersebut
sangat potensial untuk pengembangan pembangkit listrik tenaga air.
Topografi sebelum kontruksi dimana lokasi PLTA Poso-2 terletak disisi kanan Sungai Poso
merupakan suatu lembah dengan sisi kanan dan kiri berupa perbukitan dengan kemiringan lereng
pada intake – power channel – headpond – angkur block AB-1 dari miring – agak curam
bentukan dari satuan Pasiran-Kerikilan (Primary Olistostrome) pada puncak perbukitan dan
Satuan Lanauan-Lempungan (olistostome) pada lereng serta collovial-alluvial pada alur cabang
sungai. Sedang untuk lereng sisi kanan dan kiri sepanjang angkur block AB-1 - power house -
tailrace berkemiringan lereng miring – sangat curam dari bentukan perlapisan batulempung-
batulanau-batupasir pada puncak berbukitan sedang lereng ditempati oleh hancuran akibat
tektonik (broken formation) dari perlapisan batulempung-batulanau-batupasir, sedang lembah
alur sungai ditempati oleh olistostrome dari Satuan Pasiran-Lanauan dan Satuan Lanauan-
Lempungan yang diatasnya berupa talus dan kollovial-alluvial.

Untuk sungai yang dijadikan lokasi PLTA Poso-2 mempunyai kemiringan rata-rata 5.7 o atau
setiap 100 m mempunyai beda tinggi 10 m.

Foto 1. Landscape PLTA Poso-2 dengan posisi-posisi dari atas berupa struktur intake weir –
power channel – headpond – penstok – power house – tailrace dan sub station berada
pada sisi kiri sedang Sungai Poso berada pada sebelah kanan struktur utama PLTA
Poso-2. Foto diambil dari udara.

2. GEOLOGI REGIONAL
Latar Belakang Geologi

Lokasi PLTA Poso-2 merupakan bagian dari Pulau Sulawesi dimana kondisi geologi daerah ini
merupakan daerah yang paling rumit dari semua wilayah di Indonesia. Kondisi geologi ini
disebabkan karena daerah ini merupakan pertemuan dari 3 (tiga) lempeng yang saling
bertumbukan yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Australia dan Lempeng Pasific. Telah banyak
penelitian geologi terhadap sekitar lokasi rencana PLTA Poso-2 yang hasil dari beberapa
penelitian seperti dibawah ini :

R.W. van Bemmelen (1949) didalam bukunya ‘The Geology of Indonesia” telah membuat peta
sketsa dari Geologi Sulawesi Bagian Tengah hasil rangkuman dari publikasi Abendanon
(1915/1918), Reyzer (1920), Koolhoven (1932), von Loczy (1933/1934), Brouwer (1934) dan
Witkamp (1940) dimana penjelasan dari peta sebagai berikut : 1. Crystalline schists; 2. Plutonic
igneous rock, gneiss and schists; 3. Mesozoic Rock; 4a. Tinombo and Maroro Formation (Young
Mesozoic - Eocene); 4b. Pompangeo Formation (Young Mesozoic - Eocene); 5. M ixed belt of
Peloru; 6. Basic and ultrabasic rock (ophiolite); 7. Tertiary of the Palu Zone and the Tawaelia
Graben; 8 Celebes molasse and elevated coral reefs of the Poso Zone and the East Arm; 9. Plio -
pleistocene Barupu tuffs; 10. Quaternary Alluvium, unknown sea and lake

Figure 2. Geological sketchmap of Central Celebes by van Bemmelen R.W. (1949)

Sukamto (1975) dan Hamilton (1979), telah membuat peta fisio tektonik Sulawesi berdasarkan
asusiasi batuan dan perkembangan tektonik, dimana dalam peta tersebut telah membagi wilayah
Sulawesi menjadi 4 block besar, yaitu : 1. West Sulawesi-Volcanic Arc, 2. Central Sulawesi
Metamorphic Belt, 3. East Sulawesi Ophiolit Belt dan 4. Banggai-Sula and Tukang Besi Blocks.
Daerah sekitar PLTA Poso 1 masuk dalam Central Sulawesi Metamorphic Block yang terdiri
dari Ophiolitic Melange dan Pompangeo Schists seperti pada (Gambar 3) dibawah ini.
Gambar 3. Peta ringkasan geologi Sulawesi yang dibagi dalam 4 block.

Sartono (1991), dalam penelitiannya di daerah sekitar Danau Poso mengungkapkan bahwa
sepanjang pantai sebelah Timur dari Danau Poso, dari sebelah Utara ke ujung sebelah Selatan,
daerah ini tersusun oleh komplek mélange tektonik. Matrik dari mélange tektonik ini terbentuk
dari phillite, dan blok dari sekis, genes, metalimestone dan kuarsit. Tektonisasi yang mengenai
komplek mélange ini terjadi pada akhir kapur, oleh karena itu disebut tektonisa si Larami.
Komplek mélange tektonik ini ditutupi oleh Molasse Sulawesi yang dikatakan Formasi Poso.
Molasse ini terbentuk dari olistostrome - turbidite Miosen – Pliosen yang terdiri dari
konglomerat, batupasir, batulempung, batugamping, dan batugamping terumbu. Bagian atas dari
komplek turbidite merupakan endapan non delapsional batupasir. Ketidakselarasan diatas bagian
atas endapan mollase ditemukan teras dari non delapsional berumur Pleistosen yang terbentuk
dari konglomerat, batupasir, batulempung. Kemudian diatasnya tertutup lagi endapan alluvial
lepas non delapsional Holosen yang terbentuk dari gravel, cobble, pasir dan lempung.
Gambar 4. Tektonostratigrafi Lengan Timur Sulawesi dan sekitar Danau Poso oleh Sartono
(1991)

Parkinson (1991 dan 1998), The eastern part of Central Sulawesi Metamorphic Belt is
composed of melange of tectonised and metamorphosed ophiolite fragments and variably
disrupted broken formation. Within the melange area the western lower part is composed of
ophiolitic clasts in a sheared matrix of red phyllite, whereas the eastern upper part has a
serpentinite matrix and component have suffered Oligo-Miosen Blueschist recrystallization.
Blocks within the melange, derived from the ophiolite range from pebble size to several
hundreds of metres across, whilst those of broken formations may be up to hundreds of metres
across.

T.O. Simandjuntak, Surono dan J.B. Supandjono telah memetakan geologi secara sistimatis
dalam “Peta Geologi Lembar Poso, Sulawesi”, 1997 dengan skala 1 : 25 0.000 yang dikeluarkan
oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung yang hasil pemetaanya sekitar
rencana PLTA Poso 1 susunan stratigrafi berurutan dari yang berumur tua ke muda yaitu :
• Satuan Komplek Pompangeo (MTmp), satuan ini termasuk kedalam Mandala Geologi
Sulawesi Timur yang tersusun atas sekis, grafit, batusabak, genes, serpentinit, kuarsit,
batugamping malih dan setempat breksi. Sekis terdiri atas sekis mika, sekis mika yakut,
sekis serisit, sekis muskovit, sekis klorit-serisit, sekis hijau, sekis glaukofan, sekis
pumpelit dan sekis yakut-amfibolit. Genes terdiri atas genes albit-muskovit-plagioklas.
Umur satuan ini diduga lebih tua dari Kapur, tebalnya diduga ribuan meter. Batuan ini
banyak dijumpai dan tersingkap di sekitar daerah Perbuk itan Bagian Barat dan Timur
Danau Poso.

Gambar 5. Peta Geologi Lembar Poso oleh T.O.Simandjuntak, Surono dan J.B.Supandjono
tahun 1997 yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi
Bandung. Lokasi rencana PLTA Poso-2 berada dalam tanda lingkaran.
• Satuan Batugamping Malih (MTmm), satuan ini termasuk kedalam Mandala Geologi
Sulawesi Timur yang tersusun atas marmer dan batugamping terdaunkan, berwarna
kelabu muda sampai kelabu kehijauan, coklat sampai merah kecoklatan. Satuan ini
diduga berasal dari sedimen pelages laut dalam, sedang umurnya kemungkinan lebih tua
dari Kapur. Satuan batuan ini sebagian menempati daerah aliran Sungai Poso lokasi
rencana PLTA Poso, sebelah Timur Danau Poso mulai dari pantai Selatan sampai U tara
dan sebelah Barat Danau Poso bagian Utara.
• Formasi Poso (Tppl), satuan ini tersusun atas batugamping, napal, batupasir tufan dan
konglomerat. Kandungan fosil foraminifera menunjukkan umur Pliosen, sedang
lingkungan pengendapannya laut dangkal. Tebal formasi mencapai 800 m. Formasi ini
menempati sisi sebelah kanan Sungai Poso sampai daerah Kuku, baru menempati kiri
kanan Sungai Poso sampai kota kota Poso.
• Formasi Puna (Tpps), satuan ini tersusun atas konglomerat, batupasir, lanau, serpih,
batulempung gampingan dan batugamping. Konglomerat tersusun oleh komponen
batugamping terdaunkan, sekis, genes dan kuarsa susu dengan semen karbonat, padat dan
keras. Batupasir berwarna coklat kehijauan sampai kehitaman, padat, keras, berlapis baik
(30 – 200 cm). Lanau berwarna kelabu sampai kelabu kehitaman, agak keras, berlapis
baik (10 – 30 cm). Serpih berwarna kelabu, agak keras dan padat, berlapis baik.
Batugamping umumnya berupa batugamping koral. Fosil foraminifera dalam lempung
gampingan menunjukkan umur Pliosen, sedang lingkungan pengendapannya laut
dangkal. Tebal formasi sekitar 800 m. Formasi ini menindih tak selaras Formasi
Pompangeo. Formasi ini menempati sebelah sisi kiri Sungai Poso sampai daerah Kuku,
baru endapannya mengarah ke daerah Puna.
• Satuan Endapan Danau (Ql), satuan ini tersusun atas lempung, lanau, pasir dan kerikil,
menunjukkan perlapisan mendatar, tebalnya beberapa meter sampai puluhan meter.
Satuan ini umumnya terdapat di sekitar Danau Poso terutama di sekitar Outlet Danau
Poso yaitu pada daerah Tentena.
• Satuan Aluvium (Qal), satuan ini tersusun atas lumpur, lempung, pasir, kerikil dan
kerakal. Endapan ini umumnya terdapat di sepanjang sungai.

Michel Villeneuve – Wahyu Gunawan – Jean – Jacques Cornee – Olivier Tidal (2001)
dalam penelitiannya yang berjudul “Geology of the Cenral Sulawesi Belt (Eastern Indonesia) :
constraints for geodynamic models”, diungkapkan bahwa geologi dari Sulawesi bagian Tengah
merupakan wilayah geologi dengan tektonik yang komplek. Daerah ini terbentuk dari f ormasi
batuan metamorfik dan sedimen yang secara tidak selaras diatasnya diendapkan molasse
Sulawesi (unit H dan I) yang berumur Miosen – Holosen. Untuk wilayah Sulawesi bagian
Tengah ini dibagi menjadi 3 zona, yaitu :
• The eastern zone corresponds to the sedimentary cover of the Banda Block capped by an
obducted ophiolite.
• The central metamorphic complex corresponds to the suture.
• The western metamorphic and volcano-sedimentary complex corresponds to a volcanic
island arc and its metamorphic basement.

Pada penelitian ini, daerah PLTA Poso-2 masuk dalam zona “the central metamorphic complex
corresponds to the suture” . Zona ini dibagi menjadi 3 unit, yaitu :
• The metamorphic sole unit or ‘Mowomba metamorphic sole’ (Asm). Tersingkap didaerah
bagian Utara diantara Uwekuli dan Malino yang terbentuk dari unit batuan metabasite
pada bagian atas dan batuan metasedimen pada bagian bawah.
Gambar 6. Peta Geologi Sulawesi Bagian Tengah menurut Michel Villeneuve – Wahyu
Gunawan, dkk. (2001)
• Unit D including tectonic melanges (D2) and imbricated formations with shales and
limestones (D1). Unit D2 berupa tektonik melange yang tersingkap didaerah Peluru dan
sekitar Danau Matano dengan 2 tipe matrix yaitu red phyllite dan green serpentinite yang
keduanya terdaunkan (terfoliasi) dengan kuat. Blok berukuran beberapa cm sampai
beberapa puluh meter dari batuan limestone, radiolarian chert, red shale, serpentinite,
metagreywacke, greenstone, metabasalt and metagabbro (of ophiolitic origin) . Matrix
dan block ini telah mengalami beberapa kali proses metamorphose. Unit D1
(imbrications formation) memperlihatkan karakteristik struktur imbrikasi dengan
berkembangnya penerobosan dan perpecahan pada batuan. Unit D1 ini tersingkap di
Selatan dari Peluru dan Pegunungan Tokalekudju (Selatan Danau Poso) termasuk juga
area PLTA Poso 1, 2 dan 3 juga dibentuk oleh unit ini. Unit D1 dibentuk oleh batuan
marble, red schists, metacherts, quartzites, perodotite and greenstone. Unit D1 dan D2
ini menurut Parkinson (1991) dimasukkan kedalam Peluru Melange Complex.
• Unit E with four kinds of metamorphic rocks: phyllitic rocks, mica -schists, gneiss, and
marbles. Tersingkap disekitar Danau Poso dengan pembentuk berupa batuan phyllitic
dan quartzo-phyllitic berasosiasi dengan batuan marble, meta-conglomerate dan batuan
metabasic.

Struktur Geologi dan Tektonogenesa

Hasil observasi oleh Parkinson (1991) terhadap metamorfisme Sulawesi bagian Tengah yang
dituangkan dalam peta struktur (lihat Gambar 7) menunjukkan bahwa lokasi PLTA Poso-2
merupakan Poso Graben yang kemungkinan terbentuk akibat sesar naik (Poso Fault) arah Utara
– Selatan yang berlokasi sekitar 30 km sebelah Barat lokasi PLTA, 2 sub parallel sesar yang
searah Poso Fault sekitar 10 km sebelah kiri dan kanan dari lokasi PLTA serta yang sesar yang
melintasi area lokasi PLTA yang arahnya juga sama dengan ketiga sesar diatas. Pada Poso
Graben ini dibentuk dari Molassic formations, Lawsonite blueschist faciest dan greenstone
block. Legenda dari peta struktur pada (Gambar 7) keterangannya sebagai berikut : 1. Fold
structures; 2. P2 folds; 3. P3 folds; 4. P4 folds; 5. thrusts; 6. strike-slip faults; 7. Lawsonite
blueschist facies; 8. epidote blueschist facies; 9. greenstone block; 10. garnet–amphibolite
facies; 11. mountain peaks; 12. cities and villages; 13. roads; 14. ophiolite nappe; 15. Molassic
formations

Sartono (1991), dalam penelitiannya terhadap daerah Danau Poso dan Lengan Timur Sulawesi
dikatakan bahwa pembentuk batuan dasar daerah ini berupa batuan acak Pra Tersier dari
melange tektonik dan melange ophiolit. Komplek mélange ini diusulkan pada waktu Larami
terbentuk endapan dua buah batuan acak olistostrom didalam zona penunjaman sebelum
tertektonisasi yang berakhir pada periode kapur oleh tektonisasi larami menjadi melange
tektonik dan melange ofiolit. Pada proses penunjaman ini, Sulawesi bagian Timur mendekati
daerah palung sedang Sulawesi bagian Barat sangat dekat dengan kerak Benua Asia. Untuk
kerak samudera berada pada sebelah Timur dari posisi Sulawesi sekarang.

Zona penunjaman lain berupa penyusupan kerak samudra Banda yang berbatasan dengan bagian
sebelah Barat Laut dari kerak benua Australia. Zona penunjaman ini dikatakan Geosinklin
Banda yang meluas sampai geosinklin Westralian dimana berbatasan dengan bagian sebelah
Barat dari kerak benua Australia. Penunjaman ini terjadi pada waktu Variscian yang
diindikasikan adanya batuan sekis dan genes sebagai blok yang terkungkung oleh matrix phyllite
dari melange tektonik yang tersingkap didaerah sekitar Danau Poso.

Gambar 7. Peta struktur Sulawesi bagian Tengah oleh Parkinson (1991)


Gambar 8. Hipotesa Sulawesi pada pembentukan Larami melange wadge didalam zona
penunjaman Sunda (Sartono, 1991)

Pada zona penunjaman larami terendapkan formasi : Tokala, Bunta, Nanaka, Nambo, Matano,
dan ophiolit. Endapan Perm – Kapur ini tertektonisasi oleh tektonisasi larami menjadi mélange
tektonik dan mélange ophiolit. Melange tektonik dan melange ophiolit pada daerah Sulawesi
bercampur bersama-sama sangat dimungkinkan akibat tumbukan dari mikro kontinen Banggai
dengan Sulawesi.

Menyinggung batuan pra tersier dari daerah sekitar Danau Poso dan Lengan Timur Sulawesi
tertektonisasi oleh tektonisasi Larami pada periode akhir kapur. Akibat dari hal ini, pada fase
akhir pertumbuhan terjadi bajian mélange kedalam cekungan volcanic-arc pada Sulawesi bagian
Barat dan satunya berada di Sulawesi bagian Timur sebagai cekungan non volkanik-arc,
Diantara kedua arc berupa cekungan frontal-arc yang saat ini ditempati oleh Teluk Bone,
jembatan Sulawesi bagian tengah dan Teluk Tomini. Cekungan back-arc menempati daerah dari
Timur dan Tenggara Kalimantan meliputi Selat Makasar.
Selama periode Tersier diatas daerah ini ditutupi pengendapan cekungan. Keberadaan dari
olistostrome Salodik, Poh dan Pancoran mengindikasikan bahwa daerah ini terpengaruh oleh
tektonik gravitasi. Selanjutnya diatasnya terbentuk molasse Sulawesi dari sequen olistostrome
dan turbidite yang mengindikasikan berkurangnya dari aktivitas pengaruh tektonik gravitasi ke
sediment delapsional. Pengurangan proses ini berakhir diperkirakan dengan selesainya
pengendapan formasi dari endapan molasse.

Gambar 9. Kondisi tumbukan dari mikrokontinen Banggai dan zona penunjaman Sunda pada
Akhir Pliosen

Pada akhir Miosen bawah bagian sisi Utara dari kerak benua Australia retak dan retakan
fragment benua ini kemudian bergerak ke arah Barat sepanjang sistim sesar Sorong menjadi
mikro kontinen dan beradu dengan non volkanik arc dari jalur subduksi post-Larami. Tumbukan
ini mematahkan formasi sepanjang sesar yang membentang dari Timur ke Barat yang salah
satunya berupa jalur sesar Matano, dimana tumbukan ini berakhir mulai periode Pleistosen
sampai mencapai jalur penunjaman Sunda dan berbenturan dengannya. Tumbukan ini
diperkirakan mengarah non volkanik-arc dari jalur penunjaman Sunda pada bagian tengah dan
menekan cekungan frontal-arc ke cekungan lebih dangkal yang mana Formasi Poso dengan
fasies molasse terendapkan disana.
Gambar 10. Fase akhir tektonisasi Larami (Akhir Kapur) : akresi. Dari Barat ke Timur :
mintakat Variscia berupa kerak benua – mintakat Larami berupa anjakan – kerak
samudera. (Sartono, 1991)

Gambar 11. Akhir Kapur hingga Holosen : tumbukan antara mintakat Larami dengan
mikrokontinen Sula (Sartono, 1991)

Selama periode Pleistosen, tumbukan diantara kerak benua Australia dan kerak benua Asia yang
biasanya berarah dari Timur ke Barat, kemudian mengarah ke Tenggara – Barat Laut. Ini
berakibat meluasnya jalur sesar Tenggara – Barat Daya dan desakan ini membuat naik f ormasi
dari Danau Tempe Sulawesi Selatan sepanjang sesar Palu Koro dimana dekat dengan cekungan
frontal-arc dan mengubah kondisi menjadi rawa dan danau. Lebih ke Utara, tepatnya sebelah
Selatan cekungan frontal-arc yang menjauhkan diri dari tumbukan menyebabkan kondisi lebih
stabil. Karena tekanan dari Tenggara – Barat Daya meluas pada zaman Pleistosen, terjadi
pengendapan teras pada Lengan Timur Sulawesi dan beberapa tempat lain. Pada Pulau Buton
tenaga tekanan ini membentuk mélange diaperik.

Gambar 12. Kondisi regional zona penunjaman pada Post-Laramic (Sartono, 1991)

Gambar 13. Zona sesar di Sulawesi (Sartono, 1991) berupa : Sistim sesar Wallanae (Akhir
Pliosen), Sistim sesar Matano (Akhir Pertengahan Miosen) dan Sistim sesar Poso
(Akhir Kapur)
Diperkirakan pada zaman Pleistosen terjadi pergerakan pengangkatan dari Sulawesi bagian
Timur, akibat tumbukan dari Banggai dan Lengan Timur Sulawesi yang saat ini diindikasikan
seringnya terjadi gempa bumi dan aktivitas volkanik yang terjadi di sulawesi. Pergerakan
pengangkatan yang menerus membuat lebih dangkal dan material dari jembatan Sulawesi bagian
tengah membentuk endapan Danau Poso.

John A. Katili dan Sukendar Asikin (1985) dalam penelitiannya yang berjudul “Hydrocarbon
Prospects in Complex Paleo Subduction Zone” telah membuat scenario Tektonik Lempeng dari
Sulawesi bagian Barat – Tengah – Timur seperti pada Gambar 14 dibawah ini, dimana
ditampilkan gambaran penampang penunjaman dan posisi terbentuknya batuan pada Akhir
Kapur, Paleogen dan Neogen – sekarang.

Gambar 14. Skenario tektonik lempeng dari Sulawesi bagian Barat-Tengah-Timur (Katili,
J.A. dan Asikin, S., 1985)

Pada “Ringkasan Hasil Studi Tim Revisi Peta Gempa Indonesia 2010” membuat model
sumber gempa fault dari Sulawesi bagian tengah, yang mana model sumber gempa fault ini juga
disebut sebagai sumber gempa tiga dimensi karena dalam perhitungan probabilitas jarak, yang
dilibatkan adalah jarak dari site ke hypocenter. Jarak ini memerlukan data dip dari fault yang
akan dipakai sebagai perhitungan probabilitas tersebut. Parameter-parameter yang diperlukan
untuk analisis probabilitas dengan model sumber gempa sesar adalah fault trace, mekanisme
pergerakan, slip-rate, dip, panjang dan lebar fault. Penentuan lokasi sesar (fault trace) ini
berdasarnya dari data-data peneliti yang sudah dipublikasi yang kemudian di trace ulang dengan
menggunakan data Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM) yang berbentuk peta
geomorfologi dan data gempa historis yang sudah direlokasi (Gambar 15).

Gambar 15. Penampakan sesar Palu-Koro, sesar Poso dan sesar Matano dari data SRTM serta
model mekanisme gempa yang terjadi disekitarnya.

Sesar Palu-Koro, sesar Poso dan sesar Matano ketiganya berupa jenis sesar strike-slip, dengan
dip sesar (50 o, 90 o, 90 o), magnitude maksimum (7.94, 6.93, 7.90), panjang sesar (459 km, 55 km,
541 km) dan kecepatan pergerakan permukaan (30-44 mm/th, 2 mm/th, 37-44 mm/th) dengan
arah pergerakan relative Utara-Barat Laut.

3. GEOLOGI LOKAL PLTA POSO-2


Melange dan Olistostrome

Istilah melange pertama kali digunakan oleh Greenly (1919) untuk menggambarkan tubuh
batuan yang ditemukan di Anglesey, Wales. Greenly menggunakan ini untuk menunjukkan
tubuh batuan, ditandai dengan phacoid yang kompak yang dilingkupi oleh matrik schistose.
Matriks schistose diduga akibat pergesekan batuan asli karena proses patahan. Ini merupakan
gagasan bahwa mélanges terutama berevolusi dari proses tektonik.
Melanges dapat terbentuk dalam setting tektonik yang berbeda dan bukan berarti hasil dari
proses penunjaman (subduksi). Bahkan, tulisan-tulisan terbaru menunjukkan bahwa melanges
dapat terbentuk melalui berbagai proses seperti (1) tektonik, (2) sedimen, (3) diapiric atau
kombinasi dari proses-proses tersebut (Cloos 1984; Raymond 1984).

Olistostrome terbentuk dari endapan “submarine debrisflow” dengan berbagai macam ukuran
material, dari clayey-block, terkadang mencapai megablock (diameter > 500 m). Flores (1955)
yang pertama mendefinisikan istilah "olistostrome" dari bahasa Yunani "olistomai" (to slide) dan
"strome" (accumulation), secara lengkap "accumulation due to sliding (akumulasi dari
luncuran)". Flores mendifinisikan olistostrom sebagai pengendapan yang dapat dikorelasi,
dipetakan, litologinya heterogen, banyak atau sedikit campuran, memperlihatkan perlapisan
batuan yang tidak sebenarnya, terbentuk dari akumulasi batuan sebagai semifluid body.

Menurut Jackson dan Bates (1980), olistostrome didefinisikan sebagai endapan hasil sedimentasi
yang terbentuk dari massa chaotic yang tercampur dengan material heterogen (blok dan lumpur)
yang terakumulasi pada kondisi semi fluid body oleh submarine gravity sliding atau slumping
dari sedimen tidak terkonsolidasi.

Neuendorf, K.K.E., et.al, (2005) dalam bukunya “Glossary of Geology”, istilah mengenai
olistostrome dapat dirangkum sebagai berikut :
• Endapan olistostrome dibentuk dari pengendapan hasil “sub-aqueous slide layer and
debris flow”
• Lensa menyerupai lapisan dengan perlapisan yang tidak sebenarnya
• Material yang heterogen (blok dan lumpur)
• Endapan sedimen tidak terkonsolidasi hasil dari “slumping”atau “gravity sliding”
(allochthonous)
• “Exotic blocks are a mass of rock occurring in a lithologic association foreign to that in
which the mass formed, eg. Slump blocks”
• “Allolistostromes” berisi “exotic blocks”
• “Endolistostromes” tanpa “exotic block”
• Blok dalam olistostrome diistilahkan sebagai “olistolith”

Istilah “slide layers and slumps” diterangkan sebagai berikut :


• “Slide layers are layers of sediment that were deposited due to sediment slides, slumps
or debris slumps or debris-flows”.
• “Sediment slides are described as slope failures in whic h the sediment was deformed and
fluidized during its transport down slope, resulting in highly deformed layering and
ultimately a slurry or debris flow”(Jacobi, 1984).

Istilah “sub marine debris flows” diterangkan sebagai berikut :


• “Resulting deposit is a jumbled mass of sediment”
• “Caused by slope failure, rapid deposition, tectonic activity, dewatering of sediment,
methane release from underlying material “
• “Similar to terrestrial mudflows and avalanches”
Gambar 16. Gambar menunjukkan jenis proses “mass gravity transport” dan jenis endapan
yang terbentuk. Proses “debris-flow, slumping & sliding membentuk endapan
olistostrome sedang “turbidite current” membentuk endapan tubiditan.

Hoedemeker (1973); mengajukan suatu istilah delapsional yang mencakup proses-proses


eksogen yang menghasilkan perpindahan batuan atau endapan tanpa bantuan gaya traksi sebagai
gaya elementer berbentuk medium yang bergerak kearah yang sama.
Sartono (1986); matrix melange terdiri dari batuan metamorfosis, sedangkan olistostrom berupa
non metamorfosis. Melange maupun olistostrom dapat memiliki fragment yang terdiri dari
metamorfosis derajad tingi maupun rendah, yang pada olistostrom dapat pula ditambah dengan
batuan non metamorf yang litologinya tidak sama ataupun sama dengan matrixnya.
Gambar 17. Character and classification of mélanges and related rock bodies (from Raymond,
1984). A-Schematic diagram depicting progressive fragmentation and mixing of
interbedded sandstone / shale sequence. Continuum is divided into four types of
unit (a, b, g, d). B-Schematic diagram depicting ophiolite progressively fragmented
and mixed. IA-VIII: eight possible types of classification of the mélanges and
related rock bodies from the literature. IA-Greenly (1919); IBCowan (1978), Hsu
(1974); II- Knipper (1971), Kurenkov (1978), Zhang and Jin (1979); III - Gansser
(1974); IV- Hsu (1968); V- Raymond (1978); VI and VII, no ref.; VIII- Raymond
(1984).
Tabel 1. Perbedaan konsep diantara melange dan olistostrome (Potter and Pettijohn , 1977)

Stratigrafi

Kondisi geologi lokasi PLTA Poso-2 terbentuk akibat dari proses penunjaman pada posisi ‘forc
arch basin” yang membentuk batuan sangat komplek berupa broken formation (akibat tektonik),
olistostrome (akibat proses gravitasional), perlapisan batulempung-batulanau-batupasir (endapan
normal) dan talus-kollovial-alluvial (endapan darat). Urutan stratigrafi pembentuk lokasi PLTA
Poso-2 berurutan dari umur tua ke muda sebagai berikut :
a. Satuan Pasiran-Kerikilan (Primary Olistostrome)
b. Satuan Perlapisan Batulempung-Batulanau-Batupasir
c. Satuan Lanauan-Lempungan (Olistostrome)
d. Satuan Pasiran-Lanauan (Olistostrome – Turbidite - Normal)
e. Alluvial-Collovial-Talus

Penjelasan dari urutan stratigrafi diatas sebagai berikut :


a. Satuan Pasiran-Kerikilan (Primary Olistostrome)
Satuan pasiran-kerikilan merupakan batuan dasar pada daerah ini, bentukan longsoran
hancuran dari melange tektonik dan melange ofiolit akibat proses gravitasional yang
didominasi jenis rockfall dan debris flow yang terendapkan di cekungan pengendapan (jarak
batuan asal dan lokasi pengendapan tidak jauh). Matrik berupa pasiran-kerikilan berasal
terutama dari material matriknya melange tektonik dan melange ofiolit berupa phillite-
serpentinite. Blok berupa phillite, serpentine, metesedimen, sekis, genes, metalimestone,
rijang dan batuan ofiolit (metagabro, metabasite, greenstone), blok melange tektonik, blok
melange ofiolit dengan diameter ada yang lebih 5 m. Satuan ini menempati puncak -puncak
perbukitan sisi kiri dan kanan mulai intake weir sampai headpond yang pada sisi kanan
sungai dibatasi longsoran Block B dan Longsoran Tower. Satuan ini tersingkap baik pada
hasil penggalian pada galian struktur dan lereng power channel, lereng jalan sisi kanan AB-
1A, lereng jalan dibawah perumahan R-23 dan saluran sisi kiri longsoran tower. Endapan ini
sudah mengalami proses pembatuan (penyemenan dan konsolidasi) walaupun tidak
sempurna, hanya beberapa tempat hancur akibat tektonik (broken formation) dan pelapukan.
Umur satuan ini diperkirakan sebelum miosen atas. Secara tidak selaras diatasnya
diendapkan berupa satuan perlapisan batulempung-batulanau-batupasir, satuan lanauan-
lempungan dan satuan pasiran-lanauan.

Foto 2.
Foto singkapan dari Satuan Pasiran-
Kerikilan (Primary Olistostrome) berupa
blok dilingkupi matrik yang
memperlihatkan hancur akibat kikisan air
pada material lemah (matrik). Lokasi lereng
sisi kanan power channel.

Foto 3.
Foto singkapan dari Satuan Pasiran –
Kerikilan yang memperlihatkan adanya 3
proses pengendapan debris flow yang
ditunjukkan dengan warna material
pengendapan yang berbeda (dibatasi garis
putih). Matrik endapan paling bawah masih
menunjukkan tersemen baik, sedang bagian
atas sudah mengalami pelapukan. Lokasi
sekitar 50 m kanan angkur block AB-1A

Foto 4.
Foto singkapan menunjukkan melange
tektonik sebagai blok dari olistostrome dari
satuan pasiran – kerikilan. Lokasi dinding
sisi kiri struktur power channel.

b. Satuan Perlapisan Batulempung-Batulanau-Batupsir


Satuan ini tersingkap di daerah sekitar PLTA Poso-2 secara terpisah-pisah sebagai block
foulting (atau mega block dari olistostrome ?) akibat proses tektonik sehingga ada bagian
yang relatif naik dan bagian yang relatif turun. Satuan ini termasuk endapan mollase dari
Formasi Puna yang tersingkap dilapangan baik pada bekas galian di lokasi lereng sisi kanan
angkur block AB-3 – AB-4, lereng sisi kanan batas power house – tailrace, lereng sisi kanan
jalan arah sub station diatas longsoran block A, lereng sebelah Utara sub station. Dari
beberapa singkapan menunjukkan sangat variatif kedudukan perlapisan batuan akibat proses
pensesaran, tetapi secara global kemiringan batuan mengarah ke Barat Daya dengan sudut
sekitar 60 o. Butiran dari fragmen perlapisan batuan ini berupa hancuran batuan metamorfosa
berupa serpentinite, marmer, meta beku, sekis, philite, batuan ultramafik, basal, serta
batugamping dan batupasir. Hampir semua batuan mempunyai penyemenan dan kompaksi
yang kurang. Endapan ini berumur Miosen Atas - Pliosen. Pada cekungan antar block
foulting ini kemudian diendapkan secara tidak selaras endapan tidak normal dari satuan
lanauan-lempungan dan satuan pasir lanauan.

Foto 5.
Singkapan perlapisan batulempung-
batulanau-batupasir yang memperlihatkan
banyak patahan (garis warna putih) dengan
arah dan kemiringan yang bervariatif dari
akibat proses tektonik (gravitasi sliding?).
Lokasi punggungan sisi kanan angkur block
AB-2 – AB-3.

Gambar 18. Peta Geologi PLTA Poso-2 dan sekitarnya dimana terdiri dari satuan pasiran –
kerikilan (primary olistostrome), satuan lanauan-lempungan (olistostrome),
satuan perlapisan batulempung-batulanau-batupasir, satuan pasiran-lanauan
(olistostrome – turbidite - normal) dan talus-kollovial-alluvial.

c. Satuan Lanauan-Lempungan (Olistostrome)


Satuan ini terbentuk hasil pengendapan ulang secara gravitasional didasar laut dari material
hancuran satuan pasiran kerikilan (primary olistostrome) pada lereng terjal yang tertransport
dan terendapkan ke cekungan pengendapan diatas batuan yang sama dan dicekungan antar
block foulting dari perlapisan batulempung-batulanau-batupasir dengan proses yang
berkembang berupa rockfall, slumping, debris flow dan independent block sliding. Matrik
dari olistostrome ini berupa lanau – lempungan terutama dari hasil pelapukan mineral
serpentine yang mana paling lunak dan mudah lapuk dari batuan asal dengan ciri
memberikan warna abu-abu kehijauan. Blok berupa hancuran dari batuan melange yang
masih resisten berupa marmer, ofiolit, rijang, phillite, sekis, genes, serpentine, metasedimen
dan terkadang masih berupa pecahan melange tektonik ataupun melange ofiolit yang masih
menunjukkan matrik melingkupi blok. Ukuran blok dari beberapa centimeter sampai diatas
10 m. Satuan ini belum mengalami proses pembatuan sehingga tidak tersemen dan tidak
terkonsolidasi. Satuan ini tersingkap di galian diversi, weir, intake, headpond – AB-2, Block
B, sekitar sub station dan block A – penstok. Arah pelongsoran bermacan-macam tergantung
posisi tinggian dan cekungan. Umur pengendapan diperkirakan tersier - kuarter.

Foto 6.
Singkapan close up dari satuan lanauan-
lempungan (olistostrome) dengan matrik
pasir lempungan dan blok berupa phillite,
sekis, genis, metalimestone, metasediment,
rijang dan ofiolit. Lokasi lereng sisi kiri
diversi.

Foto 7.
Singkapan dari satuan lanauan-lempungan
(olistostrome) dengan matrik pasir
lempungan dan blok berupa phillite, sekis,
genis, metalimestone, metasediment, rijang
dan ofiolit. Lokasi lereng sisi kiri diversi.

d. Satuan Pasiran-Lanauan (Olistostrome – Turbidite - Normal)


Satuan ini terbentuk dari broken formation (formasi hancur akibat tektonik), pengendapan
secara normal dan pengendapan secara tidak normal, dimana pada pengendapan tidak normal
merupakan produk dari pelongsoran gravitasi pada media air dengan material asal berupa
perlapisan batulempung-batulanau-batupasir pada posisi tinggian/anjakan yang terendapkan
pada cekungan antar block foulting dengan proses longsoran berupa sliding-slumping-mass
flow dan turbide yang diselingi endapan normal. Endapan dari satuan ini berupa block
dominasi hancuran perlapisan batulempung-batulanau-batupasir yang terkadang juga ikut
blok dari hancuran melange tektonik - melange ofiolit yang kesemuanya dilingkupi oleh
matrik dari serpih – pasir kerikilan. Pada beberapa tempat seperti intake dan block A,
endapan dari satuan ini menjemari dan berselingan dengan endapan dari satuan Lanauan -
Lempungan (Olistostrome). Satuan endapan ini menempati diversi-weir-intake ke arah
Timur dan sekeliling block foulting dari perlapisan batulempung-batulanau-batu pasir yang
daerahnya dibatasi oleh longsoran block B dan longsoran tower ke arah Barat. Pada satuan
ini juga dimasukkan broken formation dimana batuan sudah mengalami hancur dan menjadi
acak akibat tektonik yang dilapangan terbentuk disekitar block foulting
Foto 8.
Singkapan dari satuan pasiran-lanauan
(olistostrome-turbidite-normal) berupa
blok-blok perlapisan batulempung-
batulanau-batupasir dengan matrik yang
mengalami proses dominasi sliding akibat
gravitasi yang terjadi pada dasar laut.
Lokasi lereng jalan sisi kanan struktur
angkur blok AB-4.

Foto 9.

Singkapan dari satuan pasiran-lanauan


(olistostrome-turbidite-normal) yang
menunjukkan struktur longsoran jenis
slumping berupa material batulanau dan
batupasir. Lokasi lereng sisi kanan
maindrain block A.

e. Satuan Talus-Kollovial-Alluvial
Endapan ini merupakan endapan termuda yang berumur holosen dengan batas dengan
lapisan dibawahnya berupa ketidakselarasan. Endapan talus berupa endapan urai dan
bermacam material yang biasanya diendapkan pada kaki lereng atau kaki tebing. Endapan
kollovial merupakan endapan yang dibentuk oleh pergerakan tanah/batuan kebawah pada
lereng yang diakibatkan gaya gravitasi. Endapan alluvial bentukan dari material lepas dari
berbagai ukuran yang tertransport dan terendapkan oleh aliran sungai atau aliran. Endapan
ini berumur resen. Endapan talus dapat ditemukan disekitar upstream power house sampai
ujung tail race. Endapan kollovial dilapangan terbentuk hasil pelongsoran tanah/batuan
selama menjadi daratan yang banyak ditemukan di topografi lembah dan lereng kiri kananya.
Endapan alluvial dilapangan ditemukan pada sekitar Sungai Poso, cabang sungai dan alur
aliran hujan yang biasa berupa lembah.

Terdapat 1 struktur sesar utama pada daerah sekitar PLTA Poso-2 berarah Timur Laut - Barat
Daya yang melintasi Sungai Poso pada lokasi up stream struktur diversi-weir-intake yang
menjadikan endapan olistostrome dari satuan pasiran – kerikilan teranjakkan menjadi tinggian
sehingga beberapa endapan yang lebih muda didekatnya bera da pada posisi lebih rendah
(endapan perlapisan batulempung-batulanau-batupasir / mollase). Selain sesar utama ini juga
terbentuk sesar-sesar minor pada batuan melange atau batuan yang lebih muda membentuk block
foulting berupa anjakan/tinggian dan cekungan yang lebih kecil. Proses tektonik diatas
menjadikan endapan dari satuan pasiran-kerikilan (primary olistostrome) dan satuan perlapisan
batulempung-batulanau-batupasir sebagian menjadi hancuran yang dapat diistilahkan f ormasi
hancur (broken formation). Karena proses penganjaan menerus sehingga hancuran batuan pada
lereng anjakan akan melongsor akibat gaya gravitasi mengisi cekungan antar anjakan yang kita
sebut endapan olistostrome dari satuan pasiran-kerikilan atau perlapisan batulempung-batulanau-
batupasir yang bisa terdiri dari material satu macam atau bisa keduanya bercampur.
Struktur sesar utama dan sesar minor pada daerah ini tidak tersingkap karena sudah tertutup oleh
endapan olistostrome diatasnya, sedang banyaknya diketemukan patahan dan kekar pada Blok
dan matrik dari Satuan Pasiran-Lanauan (olistostome-turbidite-normal) susah dibedakan apakah
disebabkan karena tektonik atau akibat proses longsoran gravitasional. Perlapisan, foliasi dan
struktur lain yang diamati dalam blok pada olistostrome dan melange pada umumnya tidak
mewakili keseluruhan struktur massa batuan karena blok batuan telah mengalami proses
olistostromisasi ataupun tektonisasi menjadi batuan acak. Sesar, kekar dan foliasi yang khas
pada sebagian besar olistostrome dan melang sangat berkaitan dengan proses tektonik aktif pada
daerah ini pada waktu yang lalu. Untuk struktur yang banyak teramati dilapangan berupa
struktur delapsional seperti rockfall, sliding, slumping, mass flow yang membentuk endapan
olistostrome dan struktur turbidite yang membentuk endapan turbiditan.

4. GEOTEKNIK

Kondisi geologi lokasi PLTA Poso-2 yang sebagian besar terbentuk dari batuan acak baik
berupa melange tektonik-melange ofiolit yang ditemukan dalam bentuk blok berdiameter > 10 m
, beberapa tahapan terbentuknya olistostrome dan struktur batuan yang komplek menjadi
problem engineering baik dalam disain, dalam masa kontruksi, monitoring dan evaluasi pasca
konstruksi.

Dari penggalian-penggalian untuk konstruksi pada area PLTA Poso-2 telah memperlihatkan
kondisi aktual tanah/batuan dengan berbagai struktur geologinya yang m emberikan data
tambahan sebagai evaluasi disain awal dari struktur, treatment batuan/tanah tumpuan pondasi
dan slope stability. Dari tambahan data pemetaan geologi lokasi penggalian juga dapat merevisi
pemetaan geologi awal disain dimana lebih memberikan pemahaman tentang bentuk geometri,
macam material, struktur geologi yang lebih membuat akuran dalam rekontruksi kondisi bawah
permukaan area sekitar PLTA Poso-2 termasuk genesanya. Data tambahan ini juga sangat
penting untuk memberikan gambaran dalam rangka strategi monitoring – evaluasi hasil
monitoring – disain treatment tambahan.

Dalam menghadapi massa batuan heterogen seperti ini, sangat sulit untuk mendapatkan sampel
dari batuan utuh yang mewakili untuk pengujian di laboratorium. Pada pelaksanaan pemboran
pada waktu investigasi geoteknik sebelun dan masa konstruksi yang sudah dilaksanakan,
kesemuanya tidak bisa diambil contoh tanah tidak terganggu (UDS=Undisturbed Sample) karena
kondisi tanah banyak mengandung butiran kerikilan~boulder, sehingga tabung UDS tidak
mampu ditekan secara hydrolis menembus tanah. Contoh tanah tidak terganggu ini kalau dapat
terambil akan diuji di laboratorium mekanika tanah untuk mengetahui parameter nilai
“physical” dan “mechanical” contoh tanah. Dari parameter ini yang nantinya dipakai didalam
perhitungan disain, sedang contoh tanah terganggu (misal: core hasil bore) hanya dapat diuji
untuk mengetahui kondisi fisiknya saja yang belum cukup untuk perhitungan disain. Unt uk
contoh batuan hasil pemboran berupa blok yang kita dapat juga tidak representative untuk diuji
di laboratorium mekanika batuan, karena core batuan hasil bore kebanyakan merupakan boulder,
sehingga parameter nilai yang didapat tidak dapat mewakili massa batuan untuk perhitungan
disain. Hanya pada core sample perlapisan batulempung-batulanau-batupasir pada pondasi AB-3
yang mampu dibawa ke laboratorium untuk ditest nilai mekanikalnya. Pada core sampel hasil
pemboran endapan dari satuan pasiran-kerikilan (primary olistostrome), satuan lanauan-
lempungan dan endapan kollovial-alluvial ketiganya susah dibedakan karena kondisi struktur
hancur dan bercampur slime pemboran, tetapi dari singkapan penggalian ketiganya mudah
dibedakan.

Pada insitu test SPT pada posisi melange - olistostrome – talus – kollovial – alluvial hampir
selalu menghasilkan nilai relative lebih tinggi dari kondisi tanah aslinya dikarenakan semua
lokasi pemboran pada area ini berupa tanah yang mengandung banyak kerikilan - boulder,
sehingga nilai dari test SPT ini juga kurang bisa mewakili kondisi dari massa batuan untuk
dipakai dalam perhitungan disain. Untuk kekerasan blok batuan yang relative lebih keras dari
matrik dimana dari yang terlunak berupa phillite maupun schist dengan kekerasan 50 – 100 MPa
dan batuan keras seperti metalimestone, gneiss, rijang dan ofiolit yang kekerasannya > 100 MPa,
walaupun kalau kondisi lapuk dan retak lebih rendah lagi.

Kondisi Geoteknik Lokasi Diversi dan Longsoran Diversi

Lokasi tumpuan pondasi struktur diversi dan lereng longsoran sisi kiri struktur diversi tersusun
dari berbagai macam batuan/tanah dengan berbeda komposisi dan cara pembentukannya, dimana
dari batuan tertua ke muda sebagai berikut : Satuan Pasiran-Kerikilan (Primary Olistostrome),
Satuan Lanauan-Lempungan (olistostrome), Batupasir – Lempung (Satuan Pasiran-Lanauan /
Formasi Poso), dan Kollovial-Alluvial.
Batuan dasar pada lokasi ini berupa satuan pasiran – kerikilan (primary olistostrome) sebagai
tumpuan langsung lantai diversi dari sekitar center line ke arah down stream. Batuan ini tersusun
dari bongkah dari berbagai macam batuan dengan volumetrik berkisar 70 % dengan matrik
berupa pasiran – kerikilan yang masih terkonsolidasi walaupun mengalami pelapukan. Nilai
permeabilitas sekitar 10 -5 cm/dtk. Permukaan dari endapan ini dijadikan sebagai bidang gelincir
longsoran lereng sisi kiri diversi.

Kemudian diatasnya diendapkan ini diendapkan batupasir kerikilan dan lempung (lapukan dari
batulempung) yang dimasukkan kedalam Satuan Pasiran-Lanauan (olistostrome – turbidite –
normal) dengan struktur bidang perlapisan sedikit miring ke arah barat, dimana keduanya belum
mengalami proses litifikasi (pembatuan) secara sempurna hingga menjadi daratan. Batupasir
kerikilan berwarna kuning kecoklatan, sangat padat dan bersifat meluluskan air. Lempung
berwarna hijau, sangat kaku - keras, masif, tidak meluluskan air. Batupasir kerikilan menempati
pondasi dan lereng dinding diversi sisi kiri up stream dan secara bergradasi pada pondasi lantai
up stream berubah jadi lempung melewati pondasi dinding diversi sisi kanan dan menyebar juga
sebagai pondasi lantai sampai center line yang berbatasan dengan batuan satuan pasiran kerikilan
(primary olistostrome).

Diwaktu bersamaan pengendapan batupasir kerikilan dan lempung terbentuk juga pelongsoran –
pelongsoran sporadis dari batuan asal satuan pasiran – kerikilan (primary olistostrome) endapan
Olistostrome dengan mekanisme pembentukan dominasi debris flow yang berkedudukan sekitar
N225 oE/50 o yang ditunjukkan dari struktur pelongsoran/aliran akibat gaya gravitasi pada kondisi
didalam media air yang mana juga belum mengalami proses konsolidasi dan penyemenan. Setiap
hasil pelongsoran akan menghasilkan endapan yang masing-masing beda sifat fisik maupun
mekaniknya tergantung batuan asal pelongsoran, proses pelongsoran dan jarak pelongsoran. Di
lapangan endapan ini berwarna abu-abu kehijauan – coklat kemerahan – kuning keputihan,
tersemen kurang baik, bongkah dari berbagai macam batuan (ukuran bongkah keatas sekitar 60
%) dengan matrik pasir kerikilan – lanauan yang bersifat agak padat – padat dan tidak
terkonsolidasi. Di lapangan endapan ini masih relatif stabil terhadap longsoran. Endapan ini
menempati lereng diversi sisi kiri bagian down stream.

Endapan paling atas berupa endapan hasil erosi yang diendapkan di danau -sungai-lembah berupa
endapan kollovial-alluvial. Kenampakan endapan ini dengan endapan olistostrome relatif sama
baik warna maupun material pembentuknya, hanya dibedakan dari struktur dan matriknya yang
relatif lebih lunak/urai dan plastis. Seperti halnya olistostrome endapan ini juga bersifat
heterogen sifat fisik dan mekaniknya disebabkan proses pembentukannya. Secara umum
endapan ini dapat didiskripsi sebagai berikut : berwarna abu -abu keputihan - kemerahan –
kecoklatan, bongkah dari bermacam batuan (ukuran bongkah keatas sekitar 40 %) yang
dilingkupi oleh matrik dari lempungan - pasiran, matrik lempungan bersifat lembek – kaku,
plastis dan tidak meluluskan air sedang matrik pasiran bersifat urai – agak padat dan meluluskan
air. Air akan mudah menerobos pada endapan pasiran yang menyebabkan penjenuhan pada
material lempung mengakibatkan lebih plastis sehingga melongsorkan endapan ini. Endapan ini
menempati struktur diversi pada sebagian dinding sisi kiri bagian tengah ke lereng bagian atas.

Longsoran pada daerah ini pada awalnya hanya berupa endapan kollovial-alluvial dalam bentuk
rayapan, akan tetapi dengan berlanjutnya penggalian diversi semakin dalam endapan
dibawahnya yang berupa olistostrome dari Satuan Lanauan-Lempungan yang bersifat lunak dan
plastis juga ikut melongsor secara translasi dengan bidang longsor permukaan satuan pasiran-
kerikilan (primary olistostrome). Secara kedudukan longsoran ini dibatasi pada sisi kiri berupa
Satuan Lanauan-Lempungan (olistostrome), bagian sayap kanan berupa Batupasir dari Satuan
Pasiran-Lanuan (olistostrome – turbidite – normal) dan pada dasar longsoran dari satuan pasiran
– kerikilan (primary olistostrome). Penyebab utama terjadinya longsoran pada daerah ini yaitu :
a. Akibat struktur geologi dimana batas longsoran merupakan bidang ketidakselarasan antara
endapan kollovial-alluvial dengan endapan dibawahnya dimana merupakan zona lemah, b.
Perbedaan material menyebabkan perbedaan parameter fisik maupun mekaniknya dimana
endapan kollovial-alluvial bersifat lunak-urai-plastis sehingga mudah bergerak dibanding
material dibawahnya yang lebih keras-padat-lebih terkonsolidasi, c. Bidang longsor merup akan
zona lemah sehingga mudah tererosi membentuk lembah mengarah ke diversi sekarang yang
kemudian terendapkan olistostrome dan kollovial-alluvial diatasnya, d. Penggalian lereng
menyebabkan morfologi berubah menjadi lebih terjal dan akar tumbuhan yang du lunya sebagai
angkur alami tidak ada menyebabkan berkurangnya penahan atau turunnya tegangan horizont al
mengakibatkan endapan kollovial-alluvial dan olistostrome bergerak turun ke arah galian diversi
akibat gravitasi.

Evaluasi geologi – geoteknik :

Secara keseluruhan pondasi tumpuan dari struktur diversi mempunyai bearing capacity yang
sudah mencukupi dimana pada posisi ¼ luasan lantai dari upstream berupa batupasir –
lempung, sedang ¾ sesudahnya sampai ujung downstream berupa pasiran -kerikilan
(olistostrome).

Untuk permeabilitas batuan pada posisi pondasi mempunyai permeabilitas sangat kedap
untuk lempung, permeabilitas sedang untuk batupasir (10 -3 - 10 -2 cm/dtk) dan sedikit
permeaabel untuk olistostrome pasiran kerikilan (10 -5 cm/dtk). Dari data permeabilitas dan
posisi batuan tumpuan pondasi dapat dipastikan akan sedikit aliran terjadi pada batuan
bawah pondasi karena aliran ke downstream sudah dihalangi oleh endapan olistostrome
pasiran-kerikilan dengan perbeabilitas kecil. Selisih elevasi air bendung dengan dasar
pondasi sebesar 9 m, sehingga pada dasar pondasi air akan bertekanan 0.9 kg/cm 2 yang
dimungkinkan akan terjadi penerobosan oleh aliran air pada zona lemah antara dasar
pondasi concrete dan permukaan batuan dari ujung dibawah pondasi up stream ke arah
downstream menyebabkan terjadinya piping dan skoring. Untuk mencegah piping dan
skoring pada semua lantai diversi telah dilakukan grouting kontak sekalian pemasangan
angkur (Foto 18.).

Pada sisi lereng kiri tidak akan terjadi infiltrasi air melalui batuan karena adanya penghalang
endapan olistostrome pasiran-kerikilan lokasi downstream, tetapi air masih mampu mengalir
pada antara dinding dan tanah asli apabila tidak ada halangan material kedap. Pada 3 titik
piezometer pada dinding teratas diversi center line ke arah downstream yaitu RK -4, RK-5
dan RK-6 mempunyai elevasi muka air tanah masing-masing sebesar 7-8 m, 7-9 m dan 5 -7
m dari elevasi pondasi diversi (443 m). Dari data tersebut pada dasar dinding sisi kiri
downstream pada lokasi downstream sebesar 0.7 – 0.8 kg/cm 2, 0.7 – 0.9 kg/cm2 dan 0.5 –
0.7 kg/cm 2.

Longsoran pada lereng sisi kiri diversi berupa endapan olistostrome dari satuan lanauan-
lempungan dan kollovial-alluvial yang melongsor diatas permukaan endapan olistostrome
pasiran-kerikilan. Elevasi longsoran terbawah tepat pada pertemuan dinding dengan dasar
diversi yaitu 443 m. Untuk mengurangi tekanan longsoran terhadap struktur diversi telah
dilakukan pemasangan bore pile dia. 0.6 m dengan kedalaman 18 m. Pile cap yang
menyatukan seluruh bore pile pada ujung atas mempunyai elevasi 452 m sedang dasar bore
pile 434 m. Jadi minimal kedalaman bore pile tertanam pada batuan stabil sepanjang 9 m,
sehingga dapat dikatakan tirai borepile sudah cukup kuat untuk mencegah tekanan longsor
pada dinding kiri struktur diversi. Untuk memastikan seluruh struktur diversi tidak
menggeser akibat tekanan lateral dari longsoran ada pemasangan angkur pada semua lantai
diversi dengan jarak 3 m, jarak antar baris 2 m dan panjang angkur 6 yang didahului dengan
pekerjaan pemboran dan grouting.

Keseluruhan dari pekerjaan geoteknik yang pernah dilakukan untuk treatment tanah/batuan
dan longsoran struktur diversi sebagai berikut :

• Longsoran diversi
o Penanaman rumput (hancur)
o Bore pile dia. 0.6 m ked. 12 pada tubuh longsoran atas (kurang efektif)
o Shotcrete (sebagaian hancur)
o Minipile (kurang efektif)
o Drainase (pada lokasi longsoran hancur)
o Rock bolt dia. 25 mm ked. 12 m (hancur)
o Horizontal drain ked. 25 m (hancur)
o Bore pile tirai dia. 0.6 m ked. 18 m disatukan dengan pile cap lokasi sisi kanan
dinding diversi (berfungsi baik)
• Pondasi struktur diversi
o Grouting kontak - konsolidasi dilanjutkan pemasangan angkur dia. 25 mm ked.
12 m

Untuk pengecekan efisiensi bore pile telah dilakukan monitoring pergera kan dengan GPS
geodetik pada permukaan pile cap sebelum ditimbun dengan hasil pengukuran pada Tabel 2
yang menunjukkan maksimal pergerakan 1.7 cm dan kembali mendekat (kesalahan posisi
pembacaan), sehingga dapat dikatakan struktur pile cap dan bore pile relatif tidak bergerak.

Tabel 2. Hasil monitoring pergerakan akumulasi secara horizontal pile cap bore pile tirai
diversi

Foto 10.
Kondisi sumuran uji dengan ked. 3 m pada
lokasi longsoran diversi sayap kiri yang
memperlihatkan endapan lanauan-lempungan
(olistostrome) dengan kondisi lunak dan plastis
melongsor diatas endapan dari satuan pasiran
kerikilan (primary olistostrome) yang relatif
lebih kompak dan padat.

Foto 11.
Singkapan dari satuan pasiran – kerikilan lapuk
sebagai batuan dasar dan permukaanya
merupakan bidang longsor untuk endapan
satuan lanauan-lempungan (olistostrome)
diatasnya. Lokasi pada galian lantai bagian
kanan diversi sekitar center line.
Foto 12.
Kondisi pelaksanaan kontruksi pada dinding
kiri up stream center line dimana pada galian
memperlihatkan batas longsoran (garis putih)
antara endapan dari satuan lanauan-lempungan
(bagian atas) dan satuan pasiran-kerikilan
(bagian bawah).

Foto 13.
Singkapan yang memperlihatkan endapan
kolovial-alluvial melongsor diatas batupasir.
Lokasi berada pada ujung up stream sisi kiri
diversi.

Foto 14.
Singkapan lempung sebagai dasar pondasi
dinding sisi kanan diversi lokasi up stream.
Foto 15.
Singkapan endapan dari satuan lanauan-
lempungan (olistostrome) yang
memperlihatkan struktur pelongsoran yang
menunjukkan material sumber dari Barat Daya.
Lokasi galian dinding diversi sisi kanan daerah
down stream.

Foto 16.
Struktur tirai bore pile dengan dia. 0.6 m dan
ked. 18 m untuk menghentikan longsoran dari
satuan lanauan-lempungan (olistostrome).
Terlihat adanya bidang longsor lokal dari
endapan dari satuan lanauan-pasiran mulai tirai
bore pile dengan batas bawah permukaan dari
satuan pasiran-kerikilan (garis putih) yang
dipicu oleh penggalian dinding diversi yang
tegak. Lokasi galian dinding sisi kiri diversi
daerah up stream.

Foto 17.
Struktur pile cap sebagai penyatu bore pile
dibawahnya sebagai struktur terakhir penahan
longsoran untuk pengamanan struktur diversi.
Lokasi lereng diversi sisi kiri.
Foto 18.
Instalasi pipa PVC sebagai pengarah pemboran
menembus batuan dibawahnya untuk pekerjaan
grouting dan pemasangan angkur. Lokasi pada
struktur lantai sekitar center diversi.

Foto 19.
Proses pelaksanaan pemboran untuk
pembuatan lubang untuk pekerjaan grouting
dan instalasi angkur sedalam 6 m dari
permukaan concrete lantai dimana sudah
terpasang PVC sebagai pandauan pemboran.
Lokasi lantai diversi sekitar center line.

Kondisi Geoteknik Lokasi Weir - Intake

Pondasi struktur weir – intake bertumpu pada endapan dari proses sedimentasi tidak normal
berupa hasil pelongsoran-pelongsoran dominasi jenis rockfall yang terjadi didasar laut dari
Satuan Lanauan-Lempungan (olistostrome) yang menjemari dengan sedimentasi normal dari
endapan pasir kerikilan – kerikil pasiran dari Satuan Pasiran-Lanauan (olistostrome - turbidite –
normal). Endapan dari Satuan Lanau-Lempungan (olistostome) secara umum berwarna abu-abu,
dibentuk dari bongkah berbagai macam batuan berdiameter ada yang mencapai > 5 m yang
dilingkupi matrik pasir lempungan dengan kondisi tidak terkonsolidasi dengan proses
pengendapan gravitasi dominasi jenis rockfall, permeability 10 -6 - 10 -4 cm/dt. Endapan dari ini
sebagai pondasi struktur weir pada tumpuan pondasi stelling basin ke kearah downstream,
sedang pada struktur intake endapan ini sebagai tumpuan seluruh struktur intake baik sebagai
tumpuan pondasi lantai intake – struktur intake. Endapan pasir kerikilan – kerikil pasiran dari
Satuan Pasiran-Lanauan (olistostrome – turbidite – normal) sebagai tumpuan pondasi dari
seluruh struktur lantai weir sampai tumpuan pondasi struktur stelling basin dengan ketebalan
dari center line dasar pondasi weir sekitar 20 m yang dibawahnya berupa formasi hancur dari
melang tektonik – melange ofiolit. Endapan ini secara umum dideskripsi sebagai berikut :
berwarna hitam keabuan, dia. pasir – kerikilan, berlapis, sedikit miring ke arah barat, terdapat
fosil cangkang kerang, permeability 10 -2 cm/dt.
Evaluasi geologi – geoteknik :

Pada pondasi struktur weir – intake ada 2 pembentuk endapan, yaitu endapan pasir
kerikilan-kerikilan dari satuan pasir-kerikilan (olistostrome-turbidite-normal) dan satuan
lanau-lempungan (olistostrome) yang keduanya saling menjemari. Sifat dari endapan pasir
kerikilan – kerikilan bersifat urai, nilai bearing capacity rendah, permeabilitas tinggi sedang
olistostome lanau lempungan bersifat padat, nilai bearing tinggi dan permeabilitas sedang –
kecil.

Karena pasir kerikilan – kerikilan bersifat urai sebagai tumpuan struktur berat dari weir
maka akan terjadi penurunan struktur dan juga apabila terjadi gempa pada endapan ini bisa
terjadi proses liquifaction yang akan mengganggu kestabilan bangunan weir.

Pola aliran dibawah struktur weir - intake akan dikontrol oleh kedua endapan diatas dimana
sebenarnya pada upstream endapan sangat porous (pasir kerikilan – kerikilan) tetapi pada
downstream dibentuk dari satuan lanau lempungan yang relatif kedap, sehingga dapan
dianalisa bahwa aliran dari upstream ke downstreamnya weir (lokasi dengan elevasi
terendah) akan dihambat oleh olistostrome lanauan-lempungan mulai pertengahan stelling
basin. Kondisi seperti diatas pada situasi weir air maximal, pada dasar struktur weir tekanan
air porinya sekitar 1 kg/cm 2 (selisih beda tinggi 10 m), sehingga pada posisi pondasi
bertumpu pada endapan porous ini bisa merusak struktur terutama pada join concrete yang
lemah (untuk mengurangi pada downstream weir sudah terpasang under drain dia. 10 cm).
Pada area downstream dimana pondasi bertumpu pada olistostsrome dari satu an lanauan -
lempungan yang realtif kedap, air masih mampu melewati zona lemah antara dasar concrete
dan batuan dari upstream ke downstream yang mampu mengakibatkan piping dan skoring.
Pada pelaksanaan kontruksi juga telah dilakukan pemasangan antiskoring sedalam 9 m
dengan diameter 1 m disain), tetapi karena perubahan metode kerja dari yang sudah
terprogress 50% anti skoring dari bore pile (masih ada spasi) diteruskan dengan penggalian
excavator sehingga tidak optimal baik kerapatan concrete dan kedalaman, menyebabkan
tujuan sebagai struktur anti skoring kurang menjamin. Untuk mencegah skoring juga telah
dilakukan kontak grouting yang berfungsi juga sebagai konsolidasi grouting dengan
kedalaman 6 – 12 m pada semua lantai weir – intake, sehingga pada struktur antiscoring
yang kurang baik sempurna dapan dicover oleh groutin g ini. Grouting ini juga berfungsi
untuk mengkonsolidasikan terutama pada batuan pasir kerikilan – kerikilan yang urai
sehingga lebih terkonsolidasi dan apabila terjadi gempa tidak terjadi liquifaction pada
endapan ini.

Untuk menjaga kestabilan dinding batas diversi dan steling basin weir pada lokasi
downstream dengan tumpuan dari satuan lanauan-lempungan (olistostrome), dimana lantai
stelling basin relatif lebih rendah daripada lantai diversi yang dapat terjadi guling (longsor)
pada batas tersebut ke arah stelling basin. Untuk menjaga kestabilan struktur telah dilakukan
tirai bore pile dia. 0.6 m ked. 12 m pada sisi kanan batas dinding diversi – weir.

Hasil monitoring manual pada waktu operasional PLTA pada setelah ujung pier intake up
stream dari ketiga piezometer yang terpasang (UP-1, UP-2 dan UP-3) menunjukkan
permukaan air tanah berkisar pada elevasi 452 m (relatif sama level genangan air di intake),
yang berarti tekanan air pori pada endapan diwawah struktur tergantung elevasi air intake
(ada lubang dari struktur lantai/dinding intake yang dipakai untuk menghubungkan sistim
air tanah dan air genangan intake).

Hasil monitoring manual pada waktu operasioanal PLTA pada titik piezometer pada pier
pertama dan ketiga dari dinding diversi yang diposisikan pada ujung pier upstream (tidak
terlaksana karena space pemboran tidak bisa), pier tengah dan ujung pier downstream
dengan hasil senagai berikut : UP-10 dan UP-11 (pier pertama) elevasi muka air rata-ratanya
450.2 m dan 449.0 m, sedang UP-7 dan UP-8 (pier ketiga) elevasi muka air rata-rata 448.8
m dan 447.6 m. Melihat hasil tersebut diatas memperlihatkan bahwa elevasi muka air tanah
terpengaruh dengan tinggi elevasi air genangan pada pintu dimana pada piezometer UP-7
dan UP-8 elevasi lebih rendah karena pintu weir sering dibuka daripada yang titik UP-10
dan UP-11.

Pada struktur Intake – Weir pada setiap pier telah ditempatkan satu titik monitoring
pergerakan dengan hasil pengukuran sebagai berikut :

Tabel 3. Tabel hasil monitoring akumulasi pergerakan secara horizontal dari struktur Intake -
Weir

Tanggal
No.
Lokasi 08/12/11 14/12/11 02/05/12 01/08/13 Keterangan
BM
Mm mm mm mm
IT-1 Sisi kanan intake 0,00 13,04 4,00 57,43
IT-2 Pier Intake 0,00 6,32 Titik pengamatan hilang
IT-3 Pier Intake 0,00 11,18 Titik pengamatan hilang
IT-4 Pier Intake 0,00 26,17 13,09 70,00
IT-5 Pier Intake 0,00 30,59 5,38 Titik pengamatan hilang
Batas Intake -
IT-6 Intake Weir 0,00 27,78 Titik pengamatan hilang
IT-7 Pier Intake Weir 0,00 7,62 Titik pengamatan hilang
Sinyal terganggu
IT-8 Pier Intake Weir bangunan
Sinyal terganggu
IT-8A Pier Intake Weir bangunan
Sinyal terganggu
IT-8B Pier Intake Weir bangunan
Batas Intake
IT-9 Weir - Diversi 0,00 13,15 Titik pengamatan hilang
Depan Intake
IT-10 sisi kanan 0,00 39,85 Titik pengamatan hilang

Dari sekian banyak titik monitoring hanya tersisa 2 titik monitoring pada struktur intake
dengan total pergerakan terakhir 57.43 mm dan 70.00 mm, dimana arah pergerakannya
relatif sama dari kedua titik tersebut seperti terlihat pada Gambar 2.1. dibawah.
Gambar 19. Pada gambar menunjukkan 2 titik monitoring pada struktur intake (IT-1 dan IT-4)
mempunyai arah pergerakan yang sama sedang pada struktur power channel (PC-2,
PC-3, PC-4 dan PC-5) mempunyai arah pergerakan yang berlainan.

Foto 20.
Singkapan hasil penggalian posisi down stream
bagian kiri berupa endapan dari satuan
lanauan-lempungan (olistostrome) pada bagian
bawah dan batupasir kerikilan pada bagian atas
yang dibatasi oleh garis putih.

Foto 21.
Singkapan hasil galian intake lokasi lantai dan
lereng sisi kanan berupa endapan olistostrome
dari satuan lanauan-lempungan.
Foto 22.
Singkapan batupasir kerikilan pada posisi
upstream batas struktur intake – weir.

Foto 23.
Singkapan lempung pada pondasi lantai weir
upstream sisi kiri.

Foto 24.
Singkapan perlapisan pasiran – kerikilan pada
galian pondasi center line struktur weir.
Kemiringan perlapisan sekitar 15 o mengarah ke
Barat Daya, dimana mengandung banyak fosil
kerang menandakan diendapkan pada laut
dangkal hanya terangkat ke daratan tidak
terkonsolidasi dan tersemen sehingga bersifat
urai.

Foto 25.
Kondisi galian pondasi lantai up stream weir
berupa endapan pasir kerikilan.
Foto 26.
Pelaksanaan pemboran bore pile dia. 0.6 m
dengan kedalaman 12 m pada batas antara
dinding kanan diversi dan lereng bagian
stelling basin weir sisi kiri

Foto 27.
Kondisi pemasangan pipa PVC untuk lubang
pemboran dan grouting pada tengah tulangan
struktur stelling basin weir.

Foto 28.
Pelaksanaan pemboran untuk lubang grouting
lokasi ujung up stream weir sisi kiri.

Kondisi Geoteknik Lokasi Longsoran Intake

Material pembentuk lereng sisi kanan struktur intake dari Satuan Perlapisan Batulempung-
Batulanau-Batupasir (block foulting aatu mega blok dari olistostrome) yang diatasnya
diendapkan endapan kollovial-alluvial. Perlapisan batulempung-batulanau-batupasir secara
umum berwarna abu-abu kehitaman – coklat kekuningan, kekerasan batuan lunak- sedang,
banyak patahan dan kekar akibat proses tektonik (atau proses tektonik ?), batuan relatif kedap
tetapi pada batas patahan dan kekar sangat meluluskan air. Pada sebelah Timur dibatasi oleh
endapan dari Satuan Pasiran-Lanaun (olistostrome – turbidite – normal) dan sebelah Barat
berupa formasi hancur dari melange tektonik – melange ofiolit yang batasnya merupakan
bidang sesar / zona sesar. Karena perbatasan tersebut merupakan zona sesar dimana sekitarnya
terbentuk hancuran batuan sehingga kondisinya relatif lebih lemah, sehingga sewaktu menjadi
daratan lebih mudah tererosi daripada daerah sekitarnya membentuk cekungan yang kemudian
terendapkan endapan kollovial-alluvial. Kondisi endapan kollovial-alluvial berwarna abu -abu,
material pembentuk hasil dari erosi dan runtuhan batuan olistostrome dan mollase, berupa pasir
kerikilan, porous, urai – sedikit padat, banyak ditemukan mata air di lereng (lereng atas jalan)
dan kaki lereng (sisi kanan struktur intake).

Longsoran terjadi disebabkan karena struktur geologi berupa batas lapisan dari satuan perlapisan
batulempung-batulanau-batupasir yang relatif kompak dan kedap dengan endapan kolovial-
alluvial yang relatif lepas dan porous, dimana batas cekungan tadi miring mengarah ke intake
sehingga menyebabkan bidang batas ini dijadikan endapan kollovial-alluvial untuk melongsor.
Pemicu lain longsoran berupa adanya infiltrasi air permukaan y ang masuk kedalam endapan
kollovial-alluvial yang bersifat porous yang turun dan mengalir diatas permukaan endapan
satuan perlapisan batulempung-batulanau-batupasir membawa material butiran yang dilalui
(skoring) kemudian keluar di kaki lereng. Akibat proses skoring ini, lama kelamaan endapan
terjadi kekosongan dan terjadilah penurunan yang diperparah dengan berlalu lalangnya truk
bermuatan berat di jalan yang merupakan tubuh longsor.

Evaluasi geologi – geoteknik :

Kondisi seperti dijelaskan diatas, untuk mengatasinya pertama telah dilakukan pemasangan
gabion tapi jalan tetap turun, kemudian pada tahap kedua dilaksanakan bore pile tirai 2 baris
berdiameter 1 m dengan ked. 12 m dengan posisi longsoran dan kaki longsoran, kemudian
dilakukan pemasangan weep hole dan shotcrete pada permukaan gabion. Hasil pengamatan
pada kondisi jalan sudah tidak terjadi penurunan, hanya retak pada bidang longsor dahulu.

Foto 29.
Singakpan batuan mollase berupa perlapisan
batulempung-batulanau-batupasir yang
tersingkap diatas struktur pasangan batu sisi
Utara jalan Line 1.
Foto 30.
Foto longsoran jalan Line 1 yang longsor ke
bawah sampai kaki lereng disebelah kanan
struktur intake.

Kondisi Geoteknik Lokasi Power Channel

Lokasi power channel terbentuk dari 3 batuan/endapan yaitu : batuan dasar pada lokasi ini dari
satuan pasiran-kerikilan (primary olistostrome), diatasnya endapan delaspsional jenis rock f all
dari satuan lanauan-lempungan (olistostrome), kemudian diatasnya lagi pada cekungan lembah
berupa endapan darat dari endapan kollovial –alluvial. Satuan pasiran – kerikilan (primary
olistostrome) menempati sebagian besar lereng sisi kiri, lantai dan lereng sisi kanan power
channel, sedang untuk endapan dari satuan lanauan – lempungan (olistostrome) tersingkap pada
lereng sungai dan transisi struktur power channel – headpond, sedang untuk posisi satuan
lanauan-lempungan yang berada diatas struktur power channel sudah habis tergali. Endapan
kollovial-alluvial menempati cekungan lembah antara batas batuan (zona sesar) dari satuan
perlapisan batulempung-batulanau-batupasir dengan endapan satuan pasiran – kerikilan (primary
olistostrome) di lereng sisi kanan diatas jalan Line-1 up stream power channel, sedang endapan
kollovial-alluvial pada pondasi struktur transisi power channel – headpond sisi kanan cekungan
pengendapannya dibatasi oleh satuan pasiran-gravelamn pada sebelah Timur dan olistostrome
dari satuan lanauan-lempungan pada sebelah Barat. Kedua lokasi endapan kollovial-alluvial ini
telah mengalami pelongsoran pada waktu kontruksi. Secara umum satuan pasiran – kerikilan
relatif sama dengan kondisi pada batuan dasar diversi, cuma pada singkapan lereng banyak
memperlihatkan hancur akibat tektonik terutama pada matriknya (broken formation). U ntuk
satuan lanauan-lempungan kondisi sifat fisik dan mekaniknya sama dengan posisi intake, sedang
untuk endapan kollovial-alluvial yang terbentuk dicekungan zona sesar dapat dideskripsi sebagai
berikut : abu-abu kecoklatan, matrik pasir lempungan dengan fragment dari mulai kerikilan
sanpai diatas dia. 1 m, urai yang bila jenuh air mudah mengalir dengan bidang longsor
permukaan batuan dibawahnya. Endapan kolovial-alluvial pada lokasi sisi kanan transisi power
channel – headpond terbentuk dari material erosi dan longsoran satuan lanauan-lempungan
(olistostrome) yang secara visual susah dibedakan antara keduanya, tetapi secara umum endapan
ini lebih besifat lunak, plastis dan kepadatan yang rendah sehingga mudah bergerak dengan
bidang longsor batas keduanya.

Evaluasi geologi – geoteknik :

Secara umum bearing capacity batuan pembentuk lantai power channel sangat mencukupi
sebagai tumpuan pondasi struktur power channel, juga untuk lereng power channel kecuali
area transisi, dengan headpond keseluruhan terbentuk sama dengan batuan pada lantai
dimana batuan relatih stabil. Kondisi endapan dari olistostrome primary pada awalnya
relatif kedap dan terkonsolidasi baik, hanya karena proses tektonik sebagian telah
mengalami hancuran (broken formation) menjadi lebih permeabel apabila kemasukan air
menjadi lemah terutama pada matriknya. Karena bersifat relatif kedap maka air tampungan
power channel relatif aman terhadap kebocoran dari masuknya air ke batuan dan menerus ke
lembah sungai Poso disisi kiri power channel, tetapi perlu pemantauan yang menerus pada
lereng sungai karena kondisi lereng ada beberapa yang tipis dan ada sebagian endapan telah
mengalami hancuran yang dimungkinkan menjadi zona lemah infiltrasi rembesan air dari
power channel. Untuk keamanan rembesan air power channel dan air tanah juga telah dibuat
under drain pada bawah struktur dinding power channel yang disatukan disatukan pada
saluran dikaki dinding dan mengalir dibuang ke kiri headpond. Untuk mencegah hal tersebut
diatas pada kondisi lereng galian sisi kanan diatas struktur power chanel sampai jalan Line-1
telah dilakukan shotcrete.

Pada longsoran yang terjadi pada ujung power channel – transisi headpond sisi kanan telah
dilakukan pemasangan bore pile tirai 2 baris dengan disatkan pile cap dengan masing-
masing dia, 1 m ked.18 m dan diasumsikan bore pile bagian bawah > 9 m tertanam pada
kondisi stabil dari endapan primary olistostrome.

Hasil monitoring pergerakan seperti pada Gambar 19 menunjukkan pada bagian upstream
pergerakan mengarah ke power channel baik sisi kanan mupaupun kiri power channel,
sedang pada titik monitoring mendekati headpond bergerak satu kesatuan dengan
pergerakan headpond yaitu ke arah Barat (upstream). Untuk pergerakan pada power channel
ini tidak mengawatirkan, tetapi perlu monitoring menerus dengan besaran meningkat dalam
arah pergerakan yang dipakai pengukuran terakhir.

Tabel 4. Tabel hasil monitoring akumulasi pergerakan secara horizontal dari struktur Power
Channel

Tanggal
No. BM Lokasi 14/12/11 01/05/12 02/05/12 01/08/13 Keterangan
mm mm mm mm
PC-1 Sisi kiri power channel 0,00 15,23 14,76 Ttitik hilang
PC-2 Sisi kiri power channel 0,00 26,42 14,14 71,61
PC-3 Sisi kiri power channel 0,00 25,32 20,40 89,63
PC-4 Sisi kanan power channel 0,00 20,62 12,73 43,46
PC-5 Sisi kanan power channel 0,00 28,30 16,97 52,63
Foto 31.
Kondisi batuan lantai power channel yang
terbentuk dari endapan dari satuan pasiran-
kerikilan (primary olistostrome) dengan
sebagian telah mengalami hancuran akibat
tektonik (broken formation)

Foto 32.
Singkapan endapan dari satuan pasiran –
kerikilan (primary olistostrome) dengan
sebagian telah mengalami hancuran akibat
tektonik (broken formation). Pada foto
memperlihatkan blok-blok yang dilingkupi
oleh matrik. Lokasi lereng sisi kanan power
channel.

Foto 33.
Pergerakan tanah jenis rayapan dari material
kollovial-alluvial yang dengan bidang longor
batas antara litologi dari satuan pasiran-lanauan
(olistostrome-turbidite-normal) dan satuan
pasir-kerikilan (olistostrome) yang
diperkirakan berupa sesar..

Foto 34.
Pelaksanaan pemboran bore pile tirai dia. 1 m
kedalaman 18 m untuk mencegah longsoran
dari endapan kollovial-alluvial dan endapan
dari satuan lanauan-lempungan yang
melongsor diatas endapan satuan pasiran
kerikilan (primary olistostrome) yang
menyerang struktur power channel dan
headpond. Lokasi transisi struktur power
channel – headpond sisi kanan.
Kondisi Geoteknik Lokasi Headpond

Tumpuan struktur headpond pada bagian kanan dibentuk dari endapan satuan pasiran – kerikilan
(primary olistostrome) dari lanjutan power channel dengan sebagian matrik mengalami hancuran
akibat tektonik (broken formation) sehingga kekuatan massa batuan pada posisi matrik hancur
lebih rendah dibanding yang tidak mengalami. Untuk bagian kiri dibentuk oleh endapan dari
satuan lanauan-lempungan (olistostrome) dengan proses gravitasional slumping dan debris flow
dengan deskripsi sama dengan lokasi diversi. Untuk endapan kollovial-alluvial yang sempat
melongsor merupakan lanjutan endapan lokasi dari struktur transisi sisi kanan power channel-
headpond mengarah diatas tengah lantai headpond dan tengah bangunan headpond yang sudah
habis tergali.

Evaluasi geologi – geoteknik :

Bearing capacity dari tumpuan struktur headpond pada bagian kiri sangat mencukupi,
sedang bagian kiri kurang baik dari bentukan endapan dari satuan lanau -lempungan
(olistostrome) yang agak lunak dan cenderung plastis. Hal ini menyebabkan pada sisi kiri
headpond relatif rentan terhadap penurunan dan pergerakan horizontal akibat kemiringan
strukturnya sendiri yang mengarah ke downstream dengan bidang longsor berupa batas
lantai concrete dengan batuan atau bisa juga antara satuan lanauan -lempungan
(olistostrome) dengan satuan pasiran-kerikilan (primary olistostrome). Untuk mencegah hal
tersebut diatas ada beberapa struktur yang dilaksanakan yaitu pondasi bore pile dia. 0.4 m
dan 0.6 m dengan ked. 6 m, struktur bore pile pada pondasi PIV dengan dia. 0.6 m
kedalaman 12 m dan grouting kontak – konsolidasi pada mulai lantai saluran penguras – bell
mouth dengan ked. 6 m.

Untuk mencegah guling dinding headpond sisi kiri dan kanan telah dilakukan timbunan
CSG pada sebelah sisi kiri dinding headpond bagian bawah diatas galian tanah asli. Diatas
CSG pada dinding sisi kiri headpond dan diatas tanah/batuan asli pada sisi kanan ditimbun
dengan material timbunan yang tidak selektif sesuai standart material timbunan dan dengan
pengerjaan dengan tidak dilalui dengan sesuai standart q uality proses penimbunan. Hal
tersebut menyebabkan terjadinya kebocoran air power channel melalui joint struktur
concrete pada dinding sisi kiri sehingga menyebabkan longsornya sebagian lereng
timbunan. Sehingga fungsi dari timbunan untuk menambah kestabilan struktur headpond
menjadi kurang sempurna.

Karena telah terjadinya pergerakan pada headpond sehingga terjadi renggangan block
concrete dari tubuh utama headpond sampai terjadi kebocoran air dari headpond ke up
stream telah dilakukan groting kontak untuk menutupi celah dan selanjutnya dilakukan
pemasangan prestress untuk menyeatukan 3 block concrete struktur headpond dari sisi kiri
ke kanan. Untuk lokasi headpond bawah berjumlah 8 titik dengan tarikan 60 ton sedang
headpond bagian atas berjumlah 5 titik dengan tarikan 120 ton.

Pada struktur headpond telah dilakukan monitoring pergerakan dengan GPS Geodetic mulai
tanggal 19 November 2012 – 8 Juli 2013 yang hasilnya sebagai berikut :
Gambar 20. Grafik pergerakan hasil monitoring dengan GPS Geodetic dimana pada grafik
menunjukkan pergerakan yang siknifikan pada keseluruhan bangunan struktur
headpond pada pertengahan Desember 2012 ±3.5 cm (?).

Sebelumnya juga pernah dilakukan monitoring beberapa pengukuran pada struktur


headpond ini dengan beberapa titik yang sama dan beberapa berbeda, tetapi titik monitoring
tersebut banyak yang hilang oleh pekerjaan finishing. Hasil monitoring ini keseluruhan titik
relative tidak bergerak.

Dari Gambar 20 dan Gambar 21 dapat disimpulkan bahwa pada struktur headpond
keseruruhan telah mengalami pergerakan cepat mengarah ke depan (penstock) sekitar
tanggal 12/12/2012 ~ 21/12/2012 sebesar ±3.5 cm (?) dengan ditandai juga beberapa
rekahan pada joint concrete. Dari grafik diatas juga memperlihatkan sebelum tanggal
12/12/2012 dan setelah 21/12/2012 hasil monitoring pergerakan relative stabil. Dari
pengalaman dilapangan, ketelitian GPS dipengaruhi oleh sinyal dan kondisi baterei dimana
terkadang walaupun sinyal kurang maksimal dan baterie lemah operator memaksa untuk
mengambil data menyebabkan data kurang akurat. Toleransi GPS Geodetik selama ini
sekitar 3 cm.

Ada beberapa kejadian yang mungkin sebagai pemicu percepatan pergerakan struktur
headpond pada pertengahan Desember 2012 tersebut, kejadian tersebut yaitu :

• Awal mulai penggenangan headpond


• Bocoran headpond pada sisi kiri menyebabkan timbunan jenuh air dan berakibat
longsornya timbunan sehingga secara otomatis berkurang sifatnya sebagai penahan
struktur headpond
• Gempa bumi 4.7 SR pada tanggal 18 Desember 2012 dengan pusat gempa 64 km selatan
Palu dan 126 km barat Poso
Gambar 21. Penyebaran titik-titik monitoring pergerakan struktur headpond yang
memperlihatkan pergerakan semua mengarah ke depan/penstock (arah
pergerakan ditandai dengan anak panah biru)

Foto 35.
Kondisi singkapan endapan dari satuan pasiran-
kerikilan (primary olistostrom) pada tumpuan
dan lereng sisi kanan headpond.
Foto 36.
Kondisi singkapan endapan olistostrome dari
satuan lanauan-lempungan pada tumpuan dan
lereng sayap kiri struktur headpond. Terlihat
struktur perlapisan semu bentukan endapan
gravitasional dengan proses dominasi debris
flow dengan bongkah berukuran > 20 m
dibelakangnya yang relatif kurang padat dan
bersifat urai.

Foto 37.
Singkapan galian tumpuan pondasi
downstream bagian kiri berupa endapan dari
satuan lanauan-lempungan (olistostrome)
dengan memperlihatkan struktur longsoran
gravitasional slumping yang bersifat relatif
lunak dan plastis.

Foto 38.
Pelaksanaan pemboran bore pile untuk struktur
pondasi headpond. Lokasi bore pile struktur
downstream bagian kiri headpond.

Foto 39.
Pelaksanaan pemboran untuk grouting
konsolidasi dan kontak pada pondasi struktur
headpond. Lokasi bellmouth headpond.
Foto 40.
Pelaksanaan pemboran untuk grouting
konsolidasi timbunan sisi kiri headpond

Foto 41.
Pelaksanaan tension prestress dan beberapa
prestress yang sudah terinstal pada lokasi
dinding headpond bagian atas. Lokasi dinding
sisi kanan bagian atas headpond.

Foto 42.
Kondisi hasil instalasi prestress pada headpond
bagian bawah. Foto diambil pada sisi kanan
headpond.

Kondisi Geoteknik Lokasi Jalur Penstok – Power House - Tailrace

Untuk mempermudah pemilahan permasalahan geoteknik sepanjang jalur penstok dapat dibagi
sebagai berikut :

Lokasi Headpond – Pedestal ke 2 dari AB-2

Sepanjang jalur penstok pada lokasi ini tumpuan pondasi berupa Satuan Lanauan -Lempunagn
(olistostrome) yang merupakan kelanjutan endapan dari lokasi headpond dan setempat-setempat
berupa endapan dari kollovial-alluvial yang berada diatasnya dimana kondisi kedua endapan ini
sangat susah dibedakan karena sifat fisik dan mekaniknya hampir sama sedang struktur
longsoran satuan lanauan-lempungan susah terlihat akibat proses pelapukan. Kedua endapan
diatas diendapkan diatas satuan pasiran-kerikilan (primary olistostrome) yang tersingkap disisi
kanan AB-1A pada batas Timur dan diatas satuan perlapisan batulempung-batulanau -batupasir
yang tersingkap baik pada sisi kanan AB-2 pada batas sisi Barat.

Pada waktu kontruksi telah terjadi pergerakan tanah akibat penggalian pondasi penstok dan jalan
Line-1 sebagai kaki lereng sehingga membuat lereng semakin terjal menyebabkan longsor mulai
lantai jalur penstok dari AB-1 – Pedestal ke 2 dari AB-2 mengakibatkan heaving pada kontruksi
lantai penstok sekitar downstream AB-1 dan turunnya jalan Line-1 sekitar kanan AB-1 dan
sekitar kanan AB-2. Longsoran ini disebut Longsoran Block B dengan kepala longsoran mulai
sekitar 100 m di lereng sisi kanan AB-1. Sisi kanan AB-1 dulunya merupakan cekungan
bentukan dari satuan pasiran-kerikilan (primary olistostrome) pada atas - sayap kiri longsoran
dan satuan perlapisan batulempung-batulanau-batupasir pada sayap kanan longsoran, dimana
karena proses gravitasi didasar cekungan pada kondisi laut terend apkan endapan Satuan
Lanauan-Pasiran (olistostrome) dan setelah menjadi daratan diendapkan diatasnya berupa
endapan kollovial-alluvial. Ada dua jenis longsoran yang berkembang yaitu berupa jenis
longsoran translasi pada longsoran bagian atas dimana material yang melongsor berupa endapan
dari Satuan Lanauan-Pasiran (olistostrome) dan kollovial-alluvial yang relatif lebih lunak dan
plastis yang melongsor diatas permukaan batuan dari satuan pasiran-lanauan (primary
olistostrome) dan perlapisan batulempung-batulanau-batupasir yang relatif kompak dan padat
sebagai bidang longsor, sedang longsoran bagian bawah berjenis rotasi karena batuan kompak
relatih dalam sehingga bidang longsor pada endapan Satuan Lanauan-Pasiran sendiri dengan
kaki longsoran lantai penstok.

Evaluasi geologi – geoteknik :

Pada tumpuan penstok pada sepanjang area ini mempunyai bearing capacity bervariatif
dimana sekitar AB-1A sangat mencukupi dari bentukan endapan primary olistostrome dan
lainnya kurang bagus dari bentukan endapan satuan lanauan-lempungan (olistostrome).
Untuk permeabilitas hampir semua kondisinya kedap, hanya terkadang terdapat lapisan
sisipan pasiran yang permeabel yang menyebabkan air masuk melalui lapisan ini kemudian
meresap kedalam lapisan lanauan-lempungan disekitarnya menjadi sangat plastis sehingga
menyebabkan bergerak.

Pekerjaan geoteknik yang dilaksanakan :

• Longsoran Block B
o Pengurangan beban (penggalian tubuh longsor keatas)
o Bore pile tirai dia. 1 m dengan ked. 12 – 18 m
• Pondasi struktur penstok
o Bore pile pada sebagian pondasi angkur block dan suddle block dengan dia. 0.6 m
ked. 12 m lokasi AB-1A – AB-2
o Grouting konsolidasi pada lantai penstok dengan ked. 6 m
o Prestress pada pondasi suddle block lokasi AB-1 – AB-2 bagian atas
Foto 43.
Kondisi singkapan pada penggalian pondasi
angkur block AB-1A dimana memperlihatkan
bagian bawah dengan warna abu-abu tua
berupa satuan lanauan-lempungan
(olistostrome) sedang bagian atas yang
berwarna coklat muda berupa endapan
kollovial-alluvial.

Foto 44.
Kondisi lereng hasil penggalian untuk pondasi
angkur block AB-1 yang ditempati oleh satuan
lanauan-lempungan (olistostrome) dengan
endapan kollovial-alluvial yang susah
dibedakan.

Foto 45.
Kondisi longsoran Block B berupa endapan
alluvial-kollovial dan endapan dari satuan
lanauan-lempungan melongsor diatas serpih
dari satuan pasiran-lanauan (olistostrome-
turbidite-normal). Foto diambil dari jalan
samping AB-1.
Foto 46.
Pelaksanaan pemboran bore pile dia. 0.6 m dan
ked. 12 m pada suddle block antara AB-1A -
AB-1. Pada sebelah kiri mesin bor terlihat
lubang bor yang sudah diconcrete.

Foto 47.
Kondisi batuan pada galian kontruksi bore pile
tirai longsoran Block B dimana
memperlihatkan batas longsoran sayap kanan
(garis warna putih) dari satuan lanauan-
lempungan (warna biru) yang melongsor diatas
satuan pasiran-lanauan/hancuran perlapisan
batulempung-batulanau-batupasir. Foto diambil
dari sisi downstream.

Pedestal ke 2 dari AB-2 – AB-3

Mulai Pedestal ke 2 dari AB-2 tumpuan pondasi jalur penstok berupa perlapisan batulempun g-
batulanau-batupasir (merupakan block foulting atau mega block dari olistostrome) dengan
kedudukan N 190 o E/55 o dengan kedalaman dari pondasi penstok > 30 m. Pada batas arah
downstream berbatasan dengan endapan dari satuan pasiran-lanauan (olistostrome – turbidite –
normal).

Evaluasi geologi – geoteknik :

Batuan pembentuk pondasi penstok pada area ini mempunyai bearing capacity yang sangat
mencukupi sebagai tumpuan pondasi penstok, sedang permeabilitas relatif kedap.
Foto 48.
Kondisi singkapan batuan dari satuan
perlapisan batulempung-batulanau-batupasir
sebagai tumpuan pondasi penstok antara AB-2
– AB-3. Lokasi lereng sisi kanan jalur penstok
antara angkur block AB-2 – AB-3.

AB-3 – AB-5

Tumpuan pondasi penstok berupa bongkahan-bongkahan dari hancuran perlapisan batulempung-


batulanau-batupasir (broken formation) dengan matrik batupasir kerikilan – shale akibat proses
tektonik dan endapan gravitasional yang termasuk dalam satuan pasiran – lanauan (olistostrome
– turbidite – normal). Sekitar AB-5 diatas endapan ini berupa perselingan endapan olistostrome
dari Satuan Pasiran-Lanauan (olistostrome-turbidite-normal) dan Satuan Lanauan-Lempungan
(olistostrome).

Evaluasi geologi – geoteknik :

Secara keseluruhan sebagai pondasi penstok area ini mempunyai bearing capacity yang
sudah mencukupi (N SPT : >50) dan permeabilitas sedang (sekitar 10 -4 cm/dt). Pola aliran a ir
tanah pada lokasi ini berupa aliran air ang mengalir pada zona lemah antar bongkah dimana
akan menyebabkan pelapukan disekitarnya. Akibat hal tersebut, pada lokasi ini setempat -
setempat berupa tanah lunak dan mudah melongsor terutama pada AB-4 – AB-5. Untuk
mengatasi hal tersebut telah dilakukan grouting konsolidasi pada sepanjang lantai penstok
dengan ked. 6 m, sedang pada pondasi angkur blok AB-3 dan pondasi suddle blok antara
AB-4 – AB-5 untuk perkuatan ditambah struktur bore pile dia. 1 m dengan ked. 12 m.

Foto 49.
Singkapan batuan hasil penggalian untuk
pondasi angkur block AB-4 dengan batuan
berupa hancuran berupa blok-blok dari
perlapisan batulempung-batulanau-batupasir
(broken formation) yang termasuk ke dalam
satuan pasiran-lanauan (olistostrome-turbidite-
normal).
Foto 50.
Pelaksanaan pemboran bore pile pada pondasi
suddle block AB-4 – AB-5 dengan dia. 0.6 m
dan ked. 12 m.

Angkur Block AB-5 – AB-6

Mulai sekitar AB-5 endapan tumpuan yang semula murni dari Satuan Pasiran-Lanauan mulai
ditempati oleh perselingan endapan olistostrome dari Satuan Pasiran-Lanauan (batuan asal
berupa perlapisan batulempung-batulanau-batupasir atau hancurannya) dan Satuan Lanauan-
Lempungan (batuan asal dari satuan pasiran – kerikilan) sampai sekitar tumpuan angkur block
AB-6 dengan kedalaman dari pondasi penstok > 40 m. Antara angkur block AB-5 – AB-5A
tumpuan pondasi didominasi dari Satuan Pasiran – Lanauan (olistostrome – turbidite – normal),
sedang antara angkur block AB-5A – AB-6 tumpuan pondasi didominasi Satuan Lanauan-
Lempungan (olistostrome).

Pada pondasi antara angkur block AB-5 – AB-5A telah mengalami pergerakan longsoran yang
mana pada posisi ini sebagai kaki longsoran, dengan sayap kiri mengenai ujung kanan struktur
angkur block AB-5 sedang ujung longsoran (kondisi heaving) pada sisi kiri struktur angkur
block AB-5A sampai didepan up stream struktur angkur block AB-6. Bidang longsoran pada
lokasi heaving berupa bidang perlapisan dari satuan pasiran – lanauan (olistostrome – turbidite –
normal) dengan kedudukan sekitar sekitar N 330 o E/20 o. Kepala dan tubuh longsoran berada
pada sisi kanan jalur penstok yang waktu kontruksi terdapat 2 sistem longsoran yang berbeda
yaitu Longsoran Block A (posisi bawah) dan Longsoran Tower (posisi atas), tetapi pada waktu
berakhirnya masa kontruksi kedua longsoran tersebut sudah jadi satu kesatuan. Kesatuan
longsoran ini berdemensi ter panjang sekitar 1000 m dan terlebar sekitar 260 m dengan perkiraan
luas sekitar 170.000 m 2. Longsoran pada daerah ini sangat komplek dengan kombinasi berbagai
jenis longsoran yang dikontrol terutama oleh struktur geologi, topografi dan kondisi litologinya
dimana pada bagian atas didominasi jenis longsoran rayapan dan translasi, sedang mulai tubuh
longsoran kebawah didominasi jenis longsoran rotasi berjenjang. Pada pondasi penstok
kedalaman bidang longsoran terdalam sekitar 14 m dari lantai penstok yang material longsoran
telah dibuang dan diganti dengan struktur concrete dikasih boulder batuan (cyclope concrete)
sebagai counter weight.
Evaluasi geologi – geoteknik :

Pada pondasi penstok mulai AB-5 – AB-5A terbentuk longsoran dengan kedalaman bidang
longsoran terdalam sekitar 14 m dari lantai penstok yang material longsoran telah dibuang
dan diganti dengan struktur concrete dikasih boulder batuan (cyclope concrete) sebagai
counter weight. Pada area lantai diluar cyclope concrete dibentuk dari endapan olistostrome
dengan bearing capacity sangat variatif dan permeabilitas juga variatif. Pada pondasi
penstok AB-5A – AB-6 berupa endapan talus berupa material lepas dari pasiran hingga
boulderan dengan permeabilitas sangat porous. Karena hal tersebut diatas maka telah
dilakukan beberapa treament pada pondasi penstok pada lokasi yang bertujuan untuk
menstabilkan struktur penstok, dimana item pekerjaaan yang telah dilaksanakan seperti
tercantum dibawah ini.

Pekerjaan geoteknik yang dilaksanakan :

• Longsoran Block A
o Pengurangan beban pada tubuh longsoran keatas
o Main drain (sebagian hancur)
o Bore pile tirai dia. 2 m ked. 30 m (hancur)
o Bore pile dia. 0.6 m ked. 12 pada tubuh longsoran atas (kurang efektif)
• Pondasi struktur penstok
o Penggantian material longsor dengan cyclope concrete kedalaman max. 14 m
antara AB-5 – AB-5A sebagai pondasi lantai penstok
o Bore pile lantai pondasi dia. 1 m ked. 12 m di lokasi downstream AB-5
o Bore pile lantai pondasi dan dia. 2 m ked. 18 m pada lokasi sebagian suddle
block, pondasi angkur block AB 5A dan sisi kanan kiri suddle block line 1 dan
kanan suddle block line 3.
o Grouting konsolidasi pada lantai penstok dengan ked. 15 m

Foto 51.
Singkapan batuan hasil penggalian sampai ked.
14 m untuk struktur pondasi penstok berupa
cyclope concrete antara angkur block AB-5 –
AB5A berupa endapan percampuran material
dari satuan lanauan-lempungan (olistostrome)
dengan pasiran-lanauan (olistostrome-turbidite-
normal). Pada foto memperlihatkan bidang
longsor (garis putih) dari longsoran block A
dimana jalur penstok sekitar angkur block AB-
5A sebagai kaki longsoran.
Foto 52.
Pelaksanaan kontruksi bagian paling atas
struktur cyclope concrete sebagai pondasi
penstok antara AB-5 – AB-5A. Pada posisi
dibelakang excavator terlihat bore pile dia. 2 m
terpasang dan pada bagian kanan foto terlihat
sedang dilaksanakan pemboran bore pile pada
tumpuan pondasi angkur block AB-5A.

Foto 53.
Pelaksanaanpemboran dan grouting konsolidasi
pondasi lantai penstok. Lokasi sisi kanan
penstok line 3 Pelaksanaan kontruksi bagian
antara angkur block AB-5 – AB-5A.

Hasil monitoring angkur block :

Pada monitoring pergerakan struktur angkur blok (AB-1A, AB-1, AB-2, AB-3, AB-4, AB-
5, AB-5A, AB-6 dan AB-6a) telah melakukan 2 periode pengukuran dengan titik yang
berbeda (titik-titik monitoring periode 1 hilang karena proses finishing). Dari 2 periode
pengukuran hasilnya sebagai berikut :

a. Periode Oktober – November 2012

Hasil secara detail dari pergerakan horizontal dapat dilihat pada Tabel 5. dibawah, dimana
hasil pengukuran menunjukkan hasil menjauh dan mendekat dengan rentang 1.0 – 28.4 mm
(masih toleransi GPS) yang dapat dikatakan kondisi semua angkur block masih dalam
kondisi stabil.

Tabel 5. Tabel hasil monitoring akumulasi pergerakan secara horicontal dari struktur angkur
block

Tanggal
No. BM Lokasi 10/10/12 11/10/12 30/10/12 01/11/12 07/11/12
mm mm mm mm Mm
AB-1A Angkur Block Penstok Line 3 0,00 16,03 5,10 11,70 5,83
AB-1 Angkur Block Penstok Line 3 0,00 28,44 19,70 23,60 8,06
AB-2 Angkur Block Penstok Line 3 0,00 18,11 13,04 17,00 23,54
AB-3 Angkur Block Penstok Line 3 0,00 17,00 13,60 10,00 5,00
AB-4 Angkur Block Penstok Line 3 0,00 23,34 14,87 15,00 23,71
AB-5 Angkur Block Penstok Line 3 0,00 8,48 8,48 8,48 8,48
AB-5A Angkur Block Penstok Line 3 0,00 14,21 1,00 15,23 10,82
AB-6 Angkur Block Penstok Line 3 0,00 9,22 7,07 10,77 8,06
AB-6A Angkur Block Penstok Line 3 0,00 8,48 25,49 12,16 15,62

b. Periode Februari - Juli 2013

Dari melihat grafik hasil monitoring pergerakan pada Gambar 22. dibawah memperlihatkan
hasil pengukuran menjauh dan mendekat dengan rentang 2.2 – 47.7 mm (masih toleransi
GPS) yang dapat dikatakan kondisi semua angkur block masih dalam kondisi stabil.

Gambar 22. Grafik pergerakan horizontal struktur anchore block hasil monitoring dengan GPS
Geodetik periode Februari – Juli 2013

Angkur Block AB-6 – Ujung Tailrace

Mulai dari angkur block AB-6 – AB-6A tumpuan pondasi penstok berupa endapan talus yaitu
endapan lembah yang terbentuk dari pasiran – boulderan tang tidak terkonsolidasi atau urai.
Kedalaman endapan ini pada pondasi AB-6 sekitar 9 m dan semakin menipis dan hilang pada
pondasi AB-6A, tetapi masih tersingkap pada lereng galian sisi kiri mulai AB-6A – Tailrace
dengan ketebalan dari elevasi jalan power house dan tailrace sekitar 3 – 6 m. Pada bagian bawah
endapan talus berupa hancuran perlapisan batulempung-batulanau-batupasir yang dilingkupi
serpih - pasir kerikilan akibat proses tektonik berupa sesar dan pelongsoran didasar laut (Satuan
Pasiran-Lanauan atau olistostrome – turbidite) yang tersingkap pada lantai dan lereng galian
mulai AB-6A sampai setengah pondasi power house. Selanjutnya dari tengah pondasi power
house ke arah tailrace sekitar 75 m berupa perlapisan batulempung-batulanau-batupasir (berupa
block faulting atau mega block olistostrome) dengan kedudukan N 65 o E/60 o, seterusnya
kontruksi tailrace berupa endapan dari Satuan Pasiran-Lanauan berupa fragment dari hancuran
perlapisan batulempung-batulanau-batupasir dengan matrik serpih dan pasir kerikilan
(olistostrome – turbidite).

Pada masa kontruksi power house telah terjadi beberapa kali longsoran pada lereng sisi kanan
power house yang dipicu oleh proses penggalian lereng dan pondasi power house. Semula lereng
sebelah kanan struktur power house dibentuk oleh endapan kollovial-alluvial dan endapan
Satuan Lanauan-Lempungan pada endapan teratas, dibawahnya berupa hancuran perlapisan
batulempung-batulanau-batupasir yang dilingkupi serpih - pasir kerikilan akibat proses tektonik
berupa sesar dan pelongsoran didasar laut (Satuan Pasiran-Lanauan atau olistostrome – turbidite)
yang menempati lereng kanan power house ke arah Timur dan endapan terbawah berupa
perlapisan batulempung-batulanau-batupasir menempati lereng kanan power house kearah Barat.
Longsoran power house sangat dikontrol oleh struktur geologi (perlapisan batuan, kekar, sesar,
struktur olistostrome), litologi dan topografi.

Pada longsoran awal proses penggalian dimana material kollovial-alluvial dan endapan Satuan
Lanauan-Lempungan (olistostrome) yang didominasi material lunak dan plastis melongsor diatas
endapan Satuan Pasiran-Lanauan (olistostrome – turbidite) yang relatif lebih padat dimana
dikontrol oleh bentuk dan kemiringan dari batas kedua endapan tersebut membentuk longsoran
yang berkembang berjenis rayapan dan translasi.

Longsoran selanjutnya terjadi berbarengan dengan menerusnya penggalian dasar pondasi power
house menjadikan lereng semakin terjal dan beda tinggi semakin besar sedang struktur slope
proteksi dari kombinasi wiremesh, shotcrete, rockbolt dan prestress tidak mencukupi untuk
menahan pergerakan tanah sehingga menyebabkan terjadinya longsoran dari material Satuan
Pasiran-Lanauan yang tidak tersemen bagus akibat pelapukan intensif baik pada fragment
maupun matriknya. Longsoran ini dibatasi pada sisi kanan berupa bidang perlapisan bidang
perlapisan yang ujungnya pada pertengahan pondasi power house dengan bidang longsor N 65 o
E/60 o dan sisi kiri berupa patahan (akibat tektonik atau longsoran gravitasi) mengarah utara-
selatan melintasi downstream power house. Jenis longsoran yang berkembang berupa longsoran
jenis translasi dimana perlapisan batuan sebagai bidang longsor dan longsoran baji (wedge
failure) yang dikontrol oleh bidang perlapisan batuan, kekar, batas fragment dan batas longsoran
olistostrome.

Untuk longsoran yang terjadi pada perlapisan batulempung-batulanau-batupasir yang


berkembang berupa longsoran baji (wedge failure) yang dikontrol oleh bidang perlapisan batuan,
kekar dan patahan.

Evaluasi geologi – geoteknik :

Pada pondasi penstok dari AB-6 – AB-6A dibentuk dari talus dengan material pasir –
bongkahan dengan kondisi urai dan sangat porous dengan bearing capacity rendah dan
struktur diatasnya mudah bergerak akibat kemiringannya sendiri, sehingga perlu treatment
untuk mengkonsolidasikan endap an ini.

Pada Pondasi penstok dari AB-6A – Power house terbentuk dari hancuran perlapisan
batupasir-batulanau-batulempung yang setempat-setempat batuannya sangat lunak. Untuk
permeability sekitar 10 -4 cm/dt yang mengalir pada hancuran antar bongkah.

Pada pondasi power house bagian downstream mempunyai beraing capacity yang kurang
dan permeability sekitar 10 -4 cm/dt dari bentukan hancuran perlapisan batupasir-batulanau -
batulempung yang setempat-setempat batuannya sangat lunak. Untuk bagian upstream
batuan pondasi sangat bagus dengan bearing capacity cukup dan permeabilitas yang relatif
kedap. Lereng sisi kanan hampir semua berupa kondisi hancuran perlapisan batupasir-
batulanau-batulempung yang setempat-setempat sangat lunak dan memicu longsoran
keseluruhan.

Sepanjang pondasi tailrace secara bearing capacity sangat mencukupi. Untuk batuan
pembentuk lereng pada sisi kanan separo bagian downstream relatih bagus sedang separo
bagian upstream kurang baik.

Pekerjaan geoteknik yang dilaksanakan :

• Longsoran Power House


o Shotcrete dengan wire mesh (hancur)
o Rock bolt dia. 25 mm ked. 6 – 12 m (hancur)
o Prestress ked. 25 m dengan tarikan 60 ton (hancur)
• Pondasi struktur angkur block AB-6 – power house
o Bore pile pondasi angkur block AB-6 dengan dia. 2 m dan ked. 12 Mar.
o Grouting konsolidasi dibawah struktur angkur block AB-6A dan AB-7 dengan
kedalaman 6 m dibawah struktur
• Sekeliling power house
o Grouting konsolidasi material timbunan dengan variasi ked. 5 – 20 m
• Struktur power house
o Instalasi prestress dengan ked. 25 dan tarikan 60 ton pada lantai dasar power
house
o Grouting konsolidasi dan leveling pondasi power house
o Bore pile dinding dan pondasi power house line 3 dengan dia. 1 m serta ked. 18 m

Foto 54.
Kondisi batuan pada galian untuk dudukan
angkur block AB-6A line 1 & 2 dimana
sebagian besar bertumpu pada satuan pasiran-
lanauan / hancuran perlapisan batulempung-
batulanau-batupasir (bagian kiri) dan sebagian
kecil bertumpu pada endapan talus (sisi kanan).
Foto diambil dari up stream angkur block AB-
6A.
Foto 55.
Kondisi batuan pada pondasi turbin 2 dan
lereng sisi kanan power house, dimana pada
tumpuan upstream berupa batuan dari satuan
perlapisan batulempung-batulanau-batupasir
dan posisi downstream berupa hancurannya
(satuan pasiran-lanauan (olistostrome-turbidite-
normal). Foto diambil dari sisi kiri power
house.

Foto 56.
Kondisi batuan pada power house yang
memperlihatkan pada tumpuan upstream
berupa perlapisan batulempung-batulanau-
batupasir dan bagian downstream berupa
hancurannya dengan pada bagian atas terlihat
boulderan dari endapan talus. Foto diambil dari
arah tail race.

Foto 57.
Kondisi batuan lantai dan lereng tail race
dengan pembentuk dari satuan perlapisan
batulempung-batulanau-batupasir (lokasi
upstream), satuan pasiran-lanauan (lokasi
tengah) dan endapan talus-kollovial-alluvial
(lokasi ujung tail race). Foto diambil dari
upstream tail race sisi kiri.

Foto 58.
Pelaksanaan bore pile untuk dinding sisi kanan,
upstream, downstream dan pondasi power
house line 3.
Foto 59.
Pelaksanaan tension 60 ton pada instalasi
prestress lokasi lantai power house untuk
mengatasi kemiringan bangunan power house
yang dikombinasi dengan pekerjaan grouting.

Foto 60.
Pelaksanaan pekerjaan grouting lokasi lantai
power house untuk leveling bangunan power
house line 1 & 2.

Foto 61.
Pelaksanaan pekerjaan pemboran dan grouting
konsolidasi material timbunan sekeliling power
house. Lokasi sisi kanan power house.

Anda mungkin juga menyukai