Anda di halaman 1dari 50

1

Preliminary
LAPORAN PENYELIDIKAN GEOTEKNIK
PLTA POSO 1
Poso Energy, PT Oleh : Sugiyono – Desember 2012

1. TOPOGRAFI
Secara umum kondisi topografi di daerah PLTA Poso 1 bagian hulunya (Danau Poso) adalah
perbukitan terjal dan bagian hilir melebar kearah Barat - Utara berupa dataran rendah hingga
pantai. Kemiringan rata-rata Sungai Poso adalah ± 0,010 (sepuluh permil) yang diperoleh dari
elevasi muka air normal (NWL) outlet Danau Poso + 511,10 m sampai ke pantai dengan jarak ±
50 km.

Gambar 1. Peta medan yang diambil dari Google Earth dimana menunjukkan lokasi rencana
PLTA Poso 1 (di dalam kotak)

PLTA Poso-1 direncanakan disisi kanan aliran Sungai Poso yang secara geografi terletak antara
koordinat 01o40’37.7” LS dan 120 o39’03.2” BT sampai 01o39’42.1” LS dan 120o39’38.3” BT. Di
2

hulu rencana PLTA Poso 1 sekitar 12 km terdapat danau tektonik (Danau Poso) dengan luas
permukaan danau ± 368.9 km2 pada muka air normal dan kedalaman maksimum 384.6 m (tahun
2007) dengan fluktuasi muka air danau mencapai 1.86 m serta mempunyai luas daerah tangkapan
hujan (catchment area) ± 1.340 km2 beserta sungai-sungai kecil yang mengelilingi danau.

Dilihat dari bentuknya, kondisi topografi di sepanjang aliran sungai dari outlet Danau Poso adalah
berupa lembah dengan bentuk relatif datar – bergelombang sampai pada jarak ± 12 km ke arah
hilir (bagian hulu PLTA Poso-1), selanjutnya berubah menjadi cekungan curam yang membentuk
celah terjal (bentuk huruf V~U) hingga di muara.

Volume efektif danau diperkirakan lebih besar dari 700x106 m3 pada elevasi muka air normal
(+511,10 m) di atas permukaan laut dan debit keluaran air danau rata-rata 316 m3/detik. Lokasi
terjalan Sungai Poso dimulai dari daerah Saojo (+510 m) sampai daerah Tampe Madoro (+ 20 m)
dengan panjang sungai sekitar 20 km. Dari kondisi diatas, sepanjang lokasi terjalan tersebut
sangat potensial untuk pengembangan pembangkit listrik tenaga air.

Topografi lokasi PLTA Poso 1, paling selatan (hulu sungai) pada lembah sungai baik sisi kanan
maupun sisi kiri sungai mempunyai kemiringan lereng dari sangat curam – curam yang terbentuk
dari batuan batugamping. Pada sisi kiri sungai sebelah utara punggungan mempunyai kemiringan
lereng agak curam – curam yang dibentuk dari broken formation dari batuan asal mélange ofiolit
dan mélange tektonik serta endapan olistostrome dan collovium, sedang sisi kanan sungai
mempunyai kemiringan lereng dari agak curam – curam yang puncak punggungan dibentuk oleh
batugamping dan bagian lereng berupa olistostrome dominasi blok dan broken formation dari
batuan asal melange ofiolit dan melange tektonik sedang pada lembah antar bukit berupa
olistostrome dominasi matrik -ollovium.

Untuk sungai yang akan dijadikan lokasi PLTA Poso 1 mempunyai kemiringan rata-rata 1.38o
atau setiap 100 m mempunyai beda tinggi 2.4 m.

Foto 1. Landscape PLTA Poso 1 dengan posisi-posisi rencana struktur utama dari jalur
alternative V berupa bendung – tunnel (700 m) – headpond – penstock (340 m) – power
house. Foto diambil dari arah Bandara.
3

2. GEOLOGI REGIONAL
Latar Belakang Geologi

Lokasi PLTA Poso 1 merupakan bagian dari Pulau Sulawesi dimana kondisi geologi daerah ini
merupakan daerah yang paling rumit dari semua wilayah di Indonesia. Kondisi geologi ini
disebabkan karena daerah ini merupakan pertemuan dari 3 (tiga) lempeng yang saling
bertumbukan yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Australia dan Lempeng Pasific. Telah banyak
penelitian geologi terhadap sekitar lokasi rencana PLTA Poso 1 yang hasil dari beberapa
penelitian seperti dibawah ini :

R.W. van Bemmelen (1949) didalam bukunya ‘The Geology of Indonesia” telah membuat peta
sketsa dari Geologi Sulawesi Bagian Tengah hasil rangkuman dari publikasi Abendanon
(1915/1918), Reyzer (1920), Koolhoven (1932), von Loczy (1933/1934), Brouwer (1934) dan
Witkamp (1940) dimana penjelasan dari peta sebagai berikut : 1. Crystalline schists; 2. Plutonic
igneous rock, gneiss and schists; 3. Mesozoic Rock; 4a. Tinombo and Maroro Formation (Young
Mesozoic - Eocene); 4b. Pompangeo Formation (Young Mesozoic - Eocene); 5. Mixed belt of
Peloru; 6. Basic and ultrabasic rock (ophiolite); 7. Tertiary of the Palu Zone and the Tawaelia
Graben; 8 Celebes molasse and elevated coral reefs of the Poso Zone and the East Arm; 9. Plio-
pleistocene Barupu tuffs; 10. Quaternary Alluvium, unknown sea and lake

Gambar 2. Sketsa Peta Geologi Sulawesi Bagian Tengah oleh van Bemmelen R.W. (1949)
4

Sukamto (1975) dan Hamilton (1979), telah membuat peta fisio tektonik Sulawesi berdasarkan
asusiasi batuan dan perkembangan tektonik, dimana dalam peta tersebut telah membagi wilayah
Sulawesi menjadi 4 block besar, yaitu : 1. West Sulawesi-Volcanic Arc, 2. Central Sulawesi
Metamorphic Belt, 3. East Sulawesi Ophiolit Belt dan 4. Banggai-Sula and Tukang Besi Blocks.
Daerah sekitar PLTA Poso 1 masuk dalam Central Sulawesi Metamorphic Block yang terdiri dari
Ophiolitic Melange dan Pompangeo Schists seperti pada (Gambar 3) dibawah ini.

Gambar 3. Peta ringkasan geologi Sulawesi yang dibagi dalam 4 block.

Sartono (1991), dalam penelitiannya di daerah sekitar Danau Poso mengungkapkan bahwa
sepanjang pantai sebelah Timur dari Danau Poso, dari sebelah Utara ke ujung sebelah Selatan,
daerah ini tersusun oleh komplek mélange tektonik. Matrik dari mélange tektonik ini terbentuk
dari phillite, dan blok dari sekis, genes, metalimestone dan kuarsit. Tektonisasi yang mengenai
komplek mélange ini terjadi pada akhir kapur, oleh karena itu disebut tektonisasi Larami.
Komplek mélange tektonik ini ditutupi oleh Molasse Sulawesi yang dikatakan Formasi Poso.
Molasse ini terbentuk dari olistostrome - turbidite Miosen – Pliosen yang terdiri dari konglomerat,
batupasir, batulempung, batugamping, dan batugamping terumbu. Bagian atas dari komplek
turbidite merupakan endapan non delapsional batupasir. Ketidakselarasan diatas bagian atas
5

endapan mollase ditemukan teras dari non delapsional berumur Pleistosen yang terbentuk dari
konglomerat, batupasir, batulempung. Kemudian diatasnya tertutup lagi endapan alluvial lepas
non delapsional Holosen yang terbentuk dari gravel, cobble, pasir dan lempung.

Gambar 4. Tektonostratigrafi Lengan Timur Sulawesi dan sekitar Danau Poso oleh Sartono
(1991)

Parkinson (1991 dan 1998), The eastern part of Central Sulawesi Metamorphic Belt is composed
of melange of tectonised and metamorphosed ophiolite fragments and variably disrupted broken
formation. Within the melange area the western lower part is composed of ophiolitic clasts in a
sheared matrix of red phyllite, whereas the eastern upper part has a serpentinite matrix and
component have suffered Oligo-Miosen Blueschist recrystallization. Blocks within the melange,
derived from the ophiolite range from pebble size to several hundreds of metres across, whilst
those of broken formations may be up to hundreds of metres across.

T.O. Simandjuntak, Surono dan J.B. Supandjono telah memetakan geologi secara sistimatis
dalam “Peta Geologi Lembar Poso, Sulawesi”, 1997 dengan skala 1 : 250.000 yang dikeluarkan
oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung yang hasil pemetaanya sekitar rencana
PLTA Poso 1 susunan stratigrafi berurutan dari yang berumur tua ke muda yaitu :
• Satuan Komplek Pompangeo (MTmp), satuan ini termasuk kedalam Mandala Geologi
Sulawesi Timur yang tersusun atas sekis, grafit, batusabak, genes, serpentinit, kuarsit,
batugamping malih dan setempat breksi. Sekis terdiri atas sekis mika, sekis mika yakut,
6

sekis serisit, sekis muskovit, sekis klorit-serisit, sekis hijau, sekis glaukofan, sekis
pumpelit dan sekis yakut-amfibolit. Genes terdiri atas genes albit-muskovit-plagioklas.
Umur satuan ini diduga lebih tua dari Kapur, tebalnya diduga ribuan meter. Batuan ini
banyak dijumpai dan tersingkap di sekitar daerah Perbukitan Bagian Barat dan Timur
Danau Poso.

Gambar 5. Peta Geologi Lembar Poso oleh T.O.Simandjuntak, Surono dan J.B.Supandjono
tahun 1997 yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi
7

• Satuan Batugamping Malih (MTmm), satuan ini termasuk kedalam Mandala Geologi
Sulawesi Timur yang tersusun atas marmer dan batugamping terdaunkan, berwarna kelabu
muda sampai kelabu kehijauan, coklat sampai merah kecoklatan. Satuan ini diduga berasal
dari sedimen pelages laut dalam, sedang umurnya kemungkinan lebih tua dari Kapur.
Satuan batuan ini sebagian menempati daerah aliran Sungai Poso lokasi rencana PLTA
Poso, sebelah Timur Danau Poso mulai dari pantai Selatan sampai Utara dan sebelah Barat
Danau Poso bagian Utara.
• Formasi Poso (Tppl), satuan ini tersusun atas batugamping, napal, batupasir tufan dan
konglomerat. Kandungan fosil foraminifera menunjukkan umur Pliosen, sedang
lingkungan pengendapannya laut dangkal. Tebal formasi mencapai 800 m. Formasi ini
menempati sisi sebelah kanan Sungai Poso sampai daerah Kuku, baru menempati kiri
kanan Sungai Poso sampai kota kota Poso.
• Formasi Puna (Tpps), satuan ini tersusun atas konglomerat, batupasir, lanau, serpih,
batulempung gampingan dan batugamping. Konglomerat tersusun oleh komponen
batugamping terdaunkan, sekis, genes dan kuarsa susu dengan semen karbonat, padat dan
keras. Batupasir berwarna coklat kehijauan sampai kehitaman, padat, keras, berlapis baik
(30 – 200 cm). Lanau berwarna kelabu sampai kelabu kehitaman, agak keras, berlapis baik
(10 – 30 cm). Serpih berwarna kelabu, agak keras dan padat, berlapis baik. Batugamping
umumnya berupa batugamping koral. Fosil foraminifera dalam lempung gampingan
menunjukkan umur Pliosen, sedang lingkungan pengendapannya laut dangkal. Tebal
formasi sekitar 800 m. Formasi ini menindih tak selaras Formasi Pompangeo. Formasi ini
menempati sebelah sisi kiri Sungai Poso sampai daerah Kuku, baru endapannya mengarah
ke daerah Puna.
• Satuan Endapan Danau (Ql), satuan ini tersusun atas lempung, lanau, pasir dan kerikil,
menunjukkan perlapisan mendatar, tebalnya beberapa meter sampai puluhan meter. Satuan
ini umumnya terdapat di sekitar Danau Poso terutama di sekitar Outlet Danau Poso yaitu
pada daerah Tentena.
• Satuan Aluvium (Qal), satuan ini tersusun atas lumpur, lempung, pasir, kerikil dan
kerakal. Endapan ini umumnya terdapat di sepanjang sungai.

Michel Villeneuve – Wahyu Gunawan – Jean – Jacques Cornee – Olivier Tidal (2001) dalam
penelitiannya yang berjudul “Geology of the Cenral Sulawesi Belt (Eastern Indonesia) :
constraints for geodynamic models”, diungkapkan bahwa geologi dari Sulawesi bagian Tengah
merupakan wilayah geologi dengan tektonik yang komplek. Daerah ini terbentuk dari formasi
batuan metamorfik dan sedimen yang secara tidak selaras diatasnya diendapkan molasse Sulawesi
(unit H dan I) yang berumur Miosen – Holosen. Untuk wilayah Sulawesi bagian Tengah ini dibagi
menjadi 3 zona, yaitu :
• The eastern zone corresponds to the sedimentary cover of the Banda Block capped by an
obducted ophiolite.
• The central metamorphic complex corresponds to the suture.
• The western metamorphic and volcano-sedimentary complex corresponds to a volcanic
island arc and its metamorphic basement.

Pada penelitian ini, daerah PLTA Poso 1 masuk dalam zona “the central metamorphic complex
corresponds to the suture” . Zona ini dibagi menjadi 3 unit, yaitu :
• The metamorphic sole unit or ‘Mowomba metamorphic sole’ (Asm). Tersingkap didaerah
bagian Utara diantara Uwekuli dan Malino yang terbentuk dari unit batuan metabasite
pada bagian atas dan batuan metasedimen pada bagian bawah.
8

Gambar 6. Peta Geologi Sulawesi Bagian Tengah menurut Michel Villeneuve – Wahyu
Gunawan, dkk. (2001)
9

• Unit D including tectonic melanges (D2) and imbricated formations with shales and
limestones (D1). Unit D2 berupa tektonik melange yang tersingkap didaerah Peluru dan
sekitar Danau Matano dengan 2 tipe matrix yaitu red phyllite dan green serpentinite yang
keduanya terdaunkan (terfoliasi) dengan kuat. Blok berukuran beberapa cm sampai
beberapa puluh meter dari batuan limestone, radiolarian chert, red shale, serpentinite,
metagreywacke, greenstone, metabasalt and metagabbro (of ophiolitic origin). Matrix dan
block ini telah mengalami beberapa kali proses metamorphose. Unit D1 (imbrications
formation) memperlihatkan karakteristik struktur imbrikasi dengan berkembangnya
penerobosan dan perpecahan pada batuan. Unit D1 ini tersingkap di Selatan dari Peluru
dan Pegunungan Tokalekudju (Selatan Danau Poso) termasuk juga area PLTA Poso 1, 2
dan 3 juga dibentuk oleh unit ini. Unit D1 dibentuk oleh batuan marble, red schists,
metacherts, quartzites, perodotite and greenstone. Unit D1 dan D2 ini menurut Parkinson
(1991) dimasukkan kedalam Peluru Melange Complex.
• Unit E with four kinds of metamorphic rocks: phyllitic rocks, mica-schists, gneiss, and
marbles. Tersingkap disekitar Danau Poso dengan pembentuk berupa batuan phyllitic dan
quartzo-phyllitic berasosiasi dengan batuan marble, meta-conglomerate dan batuan
metabasic.

Struktur Geologi dan Tektonogenesa

Hasil observasi oleh Parkinson (1991) terhadap metamorfisme Sulawesi bagian Tengah yang
dituangkan dalam peta struktur (lihat Gambar 7) menunjukkan bahwa lokasi PLTA Poso 1
merupakan Poso Graben yang kemungkinan terbentuk akibat sesar naik (Poso Fault) arah Utara –
Selatan yang berlokasi sekitar 30 km sebelah Barat lokasi PLTA, 2 sub parallel sesar yang searah
Poso Fault sekitar 10 km sebelah kiri dan kanan dari lokasi PLTA serta yang sesar yang melintasi
area lokasi PLTA yang arahnya juga sama dengan ketiga sesar diatas. Pada Poso Graben ini
dibentuk dari Molassic formations, Lawsonite blueschist faciest dan greenstone block. Legenda
dari peta struktur pada (Gambar 7) keterangannya sebagai berikut : 1. Fold structures; 2. P2
folds; 3. P3 folds; 4. P4 folds; 5. thrusts; 6. strike-slip faults; 7. Lawsonite blueschist facies; 8.
epidote blueschist facies; 9. greenstone block; 10. garnet–amphibolite facies; 11. mountain
peaks; 12. cities and villages; 13. roads; 14. ophiolite nappe; 15. Molassic formations

Sartono (1991), dalam penelitiannya terhadap daerah Danau Poso dan Lengan Timur Sulawesi
dikatakan bahwa pembentuk batuan dasar daerah ini berupa batuan acak Pra Tersier dari melange
tektonik dan melange ophiolit. Komplek mélange ini diusulkan pada waktu Larami terbentuk
endapan dua buah batuan acak olistostrom didalam zona penunjaman sebelum tertektonisasi yang
berakhir pada periode kapur oleh tektonisasi larami menjadi melange tektonik dan melange
ofiolit. Pada proses penunjaman ini, Sulawesi bagian Timur mendekati daerah palung sedang
Sulawesi bagian Barat sangat dekat dengan kerak Benua Asia. Untuk kerak samudera berada pada
sebelah Timur dari posisi Sulawesi sekarang.

Zona penunjaman lain berupa penyusupan kerak samudra Banda yang berbatasan dengan bagian
sebelah Barat Laut dari kerak benua Australia. Zona penunjaman ini dikatakan Geosinklin Banda
yang meluas sampai geosinklin Westralian dimana berbatasan dengan bagian sebelah Barat dari
kerak benua Australia. Penunjaman ini terjadi pada waktu Variscian yang diindikasikan adanya
batuan sekis dan genes sebagai blok yang terkungkung oleh matrix phyllite dari melange tektonik
yang tersingkap didaerah sekitar Danau Poso.
10

Gambar 7. Peta struktur Sulawesi bagian Tengah oleh Parkinson (1991)


11

Gambar 8. Hipotesa Sulawesi pada pembentukan Larami melange wadge didalam zona
penunjaman Sunda (Sartono, 1991)

Pada zona penunjaman larami terendapkan formasi : Tokala, Bunta, Nanaka, Nambo, Matano, dan
ophiolit. Endapan Perm – Kapur ini tertektonisasi oleh tektonisasi larami menjadi mélange
tektonik dan mélange ophiolit. Melange tektonik dan melange ophiolit pada daerah Sulawesi
bercampur bersama-sama sangat dimungkinkan akibat tumbukan dari mikro kontinen Banggai
dengan Sulawesi.

Menyinggung batuan pra tersier dari daerah sekitar Danau Poso dan Lengan Timur Sulawesi
tertektonisasi oleh tektonisasi Larami pada periode akhir kapur. Akibat dari hal ini, pada fase
akhir pertumbuhan terjadi bajian mélange kedalam cekungan volcanic-arc pada Sulawesi bagian
Barat dan satunya berada di Sulawesi bagian Timur sebagai cekungan non volkanik-arc, Diantara
kedua arc berupa cekungan frontal-arc yang saat ini ditempati oleh Teluk Bone, jembatan
Sulawesi bagian tengah dan Teluk Tomini. Cekungan back-arc menempati daerah dari Timur dan
Tenggara Kalimantan meliputi Selat Makasar.
12

Selama periode Tersier diatas daerah ini ditutupi pengendapan cekungan. Keberadaan dari
olistostrome Salodik, Poh dan Pancoran mengindikasikan bahwa daerah ini terpengaruh oleh
tektonik gravitasi. Selanjutnya diatasnya terbentuk molasse Sulawesi dari sequen olistostrome dan
turbidite yang mengindikasikan berkurangnya dari aktivitas pengaruh tektonik gravitasi ke
sediment delapsional. Pengurangan proses ini berakhir diperkirakan dengan selesainya
pengendapan formasi dari endapan molasse.

Gambar 9. Kondisi tumbukan dari mikrokontinen Banggai dan zona penunjaman Sunda pada
Akhir Pliosen

Pada akhir Miosen bawah bagian sisi Utara dari kerak benua Australia retak dan retakan fragment
benua ini kemudian bergerak ke arah Barat sepanjang sistim sesar Sorong menjadi mikro kontinen
dan beradu dengan non volkanik arc dari jalur subduksi post-Larami. Tumbukan ini mematahkan
formasi sepanjang sesar yang membentang dari Timur ke Barat yang salah satunya berupa jalur
sesar Matano, dimana tumbukan ini berakhir mulai periode Pleistosen sampai mencapai jalur
penunjaman Sunda dan berbenturan dengannya. Tumbukan ini diperkirakan mengarah non
volkanik-arc dari jalur penunjaman Sunda pada bagian tengah dan menekan cekungan frontal-arc
ke cekungan lebih dangkal yang mana Formasi Poso dengan fasies molasse terendapkan disana.
13

Gambar 10. Fase akhir tektonisasi Larami (Akhir Kapur) : akresi. Dari Barat ke Timur :
mintakat Variscia berupa kerak benua – mintakat Larami berupa anjakan – kerak
samudera. (Sartono, 1991)

Gambar 11. Akhir Kapur hingga Holosen : tumbukan antara mintakat Larami dengan
mikrokontinen Sula (Sartono, 1991)

Selama periode Pleistosen, tumbukan diantara kerak benua Australia dan kerak benua Asia yang
biasanya berarah dari Timur ke Barat, kemudian mengarah ke Tenggara – Barat Laut. Ini
berakibat meluasnya jalur sesar Tenggara – Barat Daya dan desakan ini membuat naik formasi
dari Danau Tempe Sulawesi Selatan sepanjang sesar Palu Koro dimana dekat dengan cekungan
frontal-arc dan mengubah kondisi menjadi rawa dan danau. Lebih ke Utara, tepatnya sebelah
Selatan cekungan frontal-arc yang menjauhkan diri dari tumbukan menyebabkan kondisi lebih
stabil. Karena tekanan dari Tenggara – Barat Daya meluas pada zaman Pleistosen, terjadi
14

pengendapan teras pada Lengan Timur Sulawesi dan beberapa tempat lain. Pada Pulau Buton
tenaga tekanan ini membentuk mélange diaperik.

Gambar 12. Kondisi regional zona penunjaman pada Post-Laramic (Sartono, 1991)

Gambar 13. Zona sesar di Sulawesi (Sartono, 1991) berupa : Sistim sesar Wallanae (Akhir
Pliosen), Sistim sesar Matano (Akhir Pertengahan Miosen) dan Sistim sesar Poso
(Akhir Kapur)
15

Diperkirakan pada zaman Pleistosen terjadi pergerakan pengangkatan dari Sulawesi bagian
Timur, akibat tumbukan dari Banggai dan Lengan Timur Sulawesi yang saat ini diindikasikan
seringnya terjadi gempa bumi dan aktivitas volkanik yang terjadi di sulawesi. Pergerakan
pengangkatan yang menerus membuat lebih dangkal dan material dari jembatan Sulawesi bagian
tengah membentuk endapan Danau Poso.

John A. Katili dan Sukendar Asikin (1985) dalam penelitiannya yang berjudul “Hydrocarbon
Prospects in Complex Paleo Subduction Zone” telah membuat scenario Tektonik Lempeng dari
Sulawesi bagian Barat – Tengah – Timur seperti pada Gambar 14 dibawah ini, dimana
ditampilkan gambaran penampang penunjaman dan posisi terbentuknya batuan pada Akhir Kapur,
Paleogen dan Neogen – sekarang.

Gambar 14. Skenario tektonik lempeng dari Sulawesi bagian Barat-Tengah-Timur (Katili, J.A.
dan Asikin, S., 1985)

Pada “Ringkasan Hasil Studi Tim Revisi Peta Gempa Indonesia 2010” membuat model
sumber gempa fault dari Sulawesi bagian tengah, yang mana model sumber gempa fault ini juga
disebut sebagai sumber gempa tiga dimensi karena dalam perhitungan probabilitas jarak, yang
dilibatkan adalah jarak dari site ke hypocenter. Jarak ini memerlukan data dip dari fault yang akan
dipakai sebagai perhitungan probabilitas tersebut. Parameter-parameter yang diperlukan untuk
analisis probabilitas dengan model sumber gempa sesar adalah fault trace, mekanisme
pergerakan, slip-rate, dip, panjang dan lebar fault. Penentuan lokasi sesar (fault trace) ini
berdasarnya dari data-data peneliti yang sudah dipublikasi yang kemudian di trace ulang dengan
16

menggunakan data Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM) yang berbentuk peta
geomorfologi dan data gempa historis yang sudah direlokasi (Gambar 15).

Gambar 15. Penampakan sesar Palu-Koro, sesar Poso dan sesar Matano dari data SRTM serta
model mekanisme gempa yang terjadi disekitarnya.

Sesar Palu-Koro, sesar Poso dan sesar Matano ketiganya berupa jenis sesar strike-slip, dengan dip
sesar (50 o, 90o, 90 o), magnitude maksimum (7.94, 6.93, 7.90), panjang sesar (459 km, 55 km, 541
km) dan kecepatan pergerakan permukaan (30-44 mm/th, 2 mm/th, 37-44 mm/th) dengan arah
pergerakan relative Utara-Barat Laut.
17

3. GEOLOGI LOKAL PLTA POSO 1


Melange dan Olistostrome

Istilah melange pertama kali digunakan oleh Greenly (1919) untuk menggambarkan tubuh batuan
yang ditemukan di Anglesey, Wales. Greenly menggunakan ini untuk menunjukkan tubuh batuan,
ditandai dengan phacoid yang kompak yang dilingkupi oleh matrik schistose. Matriks schistose
diduga akibat pergesekan batuan asli karena proses patahan. Ini merupakan gagasan bahwa
mélanges terutama berevolusi dari proses tektonik.

Melanges dapat terbentuk dalam setting tektonik yang berbeda dan bukan berarti hasil dari proses
penunjaman (subduksi). Bahkan, tulisan-tulisan terbaru menunjukkan bahwa melanges dapat
terbentuk melalui berbagai proses seperti (1) tektonik, (2) sedimen, (3) diapiric atau kombinasi
dari proses-proses tersebut (Cloos 1984; Raymond 1984).

Olistostrome terbentuk dari endapan “submarine debrisflow” dengan berbagai macam ukuran
material, dari clayey-block, terkadang mencapai megablock (diameter > 500 m). Flores (1955)
yang pertama mendefinisikan istilah "olistostrome" dari bahasa Yunani "olistomai" (to slide) dan
"strome" (accumulation), secara lengkap "accumulation due to sliding (akumulasi dari luncuran)".
Flores mendifinisikan olistostrom sebagai pengendapan yang dapat dikorelasi, dipetakan,
litologinya heterogen, banyak atau sedikit campuran, memperlihatkan perlapisan batuan yang
tidak sebenarnya, terbentuk dari akumulasi batuan sebagai semifluid body.
Saat ini, olistostrome didefinisikan sebagai endapan hasil sedimentasi yang terbentuk dari massa
chaotic yang tercampur dengan material heterogen (blok dan lumpur) yang terakumulasi pada
kondisi semi fluid body oleh submarine gravity sliding atau slumping dari sedimen tidak
terkonsolidasi (Jackson and Bates, 1980).
Hoedemeker (1973); mengajukan suatu istilah delapsional yang mencakup proses-proses eksogen
yang menghasilkan perpindahan batuan atau endapan tanpa bantuan gaya traksi sebagai gaya
elementer berbentuk medium yang bergerak kearah yang sama.

Sartono (1986); matrix melange terdiri dari batuan metamorfosis, sedangkan olistostrom berupa
non metamorfosis. Melange maupun olistostrom dapat memiliki fragment yang terdiri dari
metamorfosis derajad tingi maupun rendah, yang pada olistostrom dapat pula ditambah dengan
batuan non metamorf yang litologinya tidak sama ataupun sama dengan matrixnya.
18

Gambar 16. Character and classification of mélanges and related rock bodies (from Raymond,
1984). A-Schematic diagram depicting progressive fragmentation and mixing of
interbedded sandstone / shale sequence. Continuum is divided into four types of unit
(a, b, g, d). B-Schematic diagram depicting ophiolite progressively fragmented and
mixed. IA-VIII: eight possible types of classification of the mélanges and related
rock bodies from the literature. IA-Greenly (1919); IBCowan (1978), Hsu (1974); II-
Knipper (1971), Kurenkov (1978), Zhang and Jin (1979); III- Gansser (1974); IV-
Hsu (1968); V- Raymond (1978); VI and VII, no ref.; VIII- Raymond (1984).

Stratigrafi

Kondisi geologi lokasi PLTA Poso 1 terbentuk akibat dari proses penunjaman pada posisi ‘forc
arch basin” yang membentuk batuan acak berupa melange tektonik, melange ofiolit, broken
formation (akibat proses tektonik) dan olistostrome (akibat proses gravitasional). Urutan
stratigrafi pembentuk lokasi PLTA Poso 1 berurutan dari umur tua ke muda sebagai berikut :
a. Satuan Melange Tektonik dan Melange Ofiolit
b. Satuan Olistostrome
19

c. Satuan Batugamping Klastik / Olistostrome Batugamping (Formasi Poso)


d. Satuan Batulempung – Batulanau (Formasi Poso)
e. Alluvial dan Collovial

Penjelasan dari urutan stratigrafi diatas sebagai berikut :


a. Satuan Melange Tektonik dan Melange Ofiolit
Satuan ini merupakan batuan dasar pada daerah ini dimana melange tektonik dan melange
ofiolit bercampur menjadi satu. Satuan batuan ini berumur pra tersier yang merupakan hasil
tektonisasi larami pada periode akhir kapur. Matrik dari percampuran melange dilokasi ini
berupa phillite (melange tektonik), serpentinite (melange tektonik dan melang ofiolit) dan
metabatulempung (melange ofiolit) sedang blok berupa sekis, genes, metalimestone, rijang
dan batuan ofiolit (metagabro, metabasite, greenstone) dengan diameter ada yang lebih 5 m.
Komplek melange ini semula dibentuk dari endapan olistostrome yang terendapkan pada zona
penunjaman larami yang kemudian mengalami tektonisasi pada periode akhir kapur oleh
tektonisasi larami berubah menjadi melange, tetapi di lapangan mengindkasikan juga
percampuran terjadi pada waktu proses tektonisasi. Melange daerah ini telah mengalami
beberapa tektonisasi dengan ditandai diketemukannya batuan sekis dan genes. Banyak
diketemukan juga blok sudah berupa batuan acak dan arah dari sherared (foliasi) pada blok
mempunyai arah yang bervariasi. Satuan melange ini tersingkap pada lereng galian sekitar 600
m dari rencana bendung kearah hulu, dan juga ditemukan dari hasil pemboran PH-01 mulai
kedalaman 18 m. Pada beberapa lokasi satuan ini hancur oleh proses tektonik menjadi broken
formation.

Foto 2.
Foto singkapan melange tektonik berupa
matrik phillite dengan blok berupa
metalimestone, metasediment, serpentinite,
sekis, genes, rijang dan ofiolit. Kotak pada
foto berupa close up untuk Foto 3 (kotak
atas) dan foto 4 (kotak bawah). Lokasi sisi
lereng sisi kana sungai sekitar 700 m dari
rencana bendung arah hilir.

Foto 3.
Foto hasil close up Foto 1 berupa matrik
phillite dengan matrik masih menyisakan
struktur aliran sebagai olistostrome dan dan
kemudian tertektonisasi menjadi melange
tektonik dengan blok yang terlihat berupa
metalimestone, serpentinite dan sekis.
20

Gambar 17. Peta Geologi PLTA Poso 1 dan sekitarnya dimana terdiri dari aluvial & collovial,
satuan batuan batulempung-batulanau (Form. Poso), satuan batugamping klastik
(Form. Poso), satuan olistostrome dan satuan melange tektonik & melange ofiolit.
Dalam gambar juga diperlihatkan 5 alternatif jalur PLTA yang mana Alternatif
Jalur V saja yang dibahas secara detail dalam laporan ini.
21

Foto 4.
Singkapan melange tektonik dengan block
metalimestone dengan arah foliasi yang
berlainan didalam matrik phillite yang
menandakan telah mengalami beberapa
proses tektonisasi.

Foto 5.
Singkapan melange tektonik dengan
memperlihatkan blok-blok berdiameter
mencapai 5 m dari batuan metalimestone,
ofiolit, rijang, sekis dan genes. Lokasi lereng
sisi kanan sungai sekitar 700 m dari rencana
bendung arah hilir. Kotak putih pada foto
merupakan close up untuk foto 6.

Foto 6.
Blok melange tektonik dengan struktur
sheared (foliasi) akibat proses tektonik yang
menyebabkan juga berbagai batuan
bercampur menjadi batuan acak. Blok ini
dilingkupi batuan phillite sebagai bukti telah
mengalami lebih dari 1 proses tektonisasi.

Foto 7.
Singkapan melange tektonik dengan matrik
phillite yang membentuk alur melingkari
blok berupa metalimestone. Selain blok
metalimestone terdapat blok berukuran
gravel – bolderan berupa serpentinite, sekis
dan ofiolit. Lokasi lereng sisi kanan sungai
sekitar 400 m dari rencana bendung arah
hilir.
22

Foto 8.
Hasil pemboran PH-01 pada ked. 20-25 m
yang ditempati melange ofiolit dengan
dominasi blok dari batuan ofiolit dengan
matrik metalempung.

b. Satuan Olistostrome
Satuan ini terbentuk hasil pengendapan gravitasional dari hancuran (broken formation) satuan
melange tektonik dan melange ofiolit pada ujung bajian yang tertransport dan terendapkan ke
cekungan pengendapan dengan proses yang berkembang berupa debris flow, avalanche dan
independent block sliding. Dari beberapa pengambilan contoh dan dilakukan test gradasi,
matrik olistostrome berupa pasir lempungan – pasir lanauan – pasir gravelan. Blok berupa
hancuran dari batuan melange yang masih resisten berupa marmer, ofiolit, rijang, phillite,
sekis, genes, serpentine, metasedimen dan terkadang masih berupa pecahan melange tektonik
ataupun melange ofiolit yang masih menunjukkan matrik melingkupi blok. Ukuran blok dari
beberapa centimeter sampai diatas 10 m. Pada beberapa tempat ditemukan lensa batupasir
sehingga perlapisannya bisa kita ukur untuk mengetahui strike dip keseluruhan dari
olistostrome. Satuan ini tersingkap disepanjang rencana jalur penstock dengan arah
pelongsoran N20oE/50o dan tersingkap juga disekitar rencana bendung. Umur pengendapan
diperkirakan tersier.

Foto 8.
Singkapan sisipan batupasir gravelan -
bolderan pada olistostrome dengan
o o
kedudukan N20 E/50 . Garis putih adalah
bidang perlapisan. Lokasi sebelah barat
sekitar 100 m dari rencana headpond.

Foto 9.
Singkapan olistostrome dengan matrik pasir
lempungan dan blok berupa phillite, sekis,
genis, metalimestone, metasediment, rijang
dan ofiolit. Endapan ini diendapkan oleh
proses gravitasi berupa debris flow. Lokasi
sekitar 100 m sebelah barat lokasi rencana
headpond.
23

Foto 10.
Close up singkapan dari batu rijang sebagi
blok dari olistostrome.

Foto 11.
Close up dari blok olistostrome berupa
melange ofiolit berupa blok dominasi batuan
ofiolit dengan dilingkupi matrik percampuran
serpentine dan metalempung.

Foto 12.
Close up blok olistostrome berupa melange
tektonik dengan matrik sekis melingkupi
metalimestone dan rijang

Foto 13.
Singkapan batuan metasidiment sebagai blok
olistostrome.

c. Satuan Batugamping Klastik / Olistostrome Batugamping (Formasi Poso)


Satuan ini berupa blok terumbu karang yang dilingkupi oleh matrik gamping pasiran. Satuan
ini telah mengalami pengendapan ulang dari tempat aslinya dengan proses debris flow,
24

avalanche dan independent block sliding yang terendapkan pada cekungan dibawah batuan
asal. Blok terumbu karang berdiameter gravelan sampai diatas 1 m. Umur dari satuan ini
Pliosen, dimana dilokasi tersingkap dipunggungan jalur tunnel, sisi kiri lokasi headpond dan
lokasi power house dengan arah pelongsoran sama dengan satuan olistostrome yaitu
N20 oE/50o. Pada pelaksanaan pemboran satuan ini diketemukan di lokasi headpond pada titik
HP-04 dengan kedalaman 12.40 – 30.20 m dan untuk lokasi power house pada titik PH-01
dengan kedalaman dari permukaan sampai 8.60 m.

Foto 14.
Singkapan menunjukkan satuan olistostrome
pada bagian bawah dan dibatasi garis putih
diatasnya berupa satuan batugamping klastik
(olistostrome batugamping) dengan
kedudukan N20oE/50o. Lokasi jalur penstock
bagian atas.

Foto 15.
Singkapan batugamping klastik pada lokasi
titik pemboran PH-01 power house dimana
terletak disisi kanan acak cabang sungai
Poso.

d. Satuan Batulempung – Batulanau (Formasi Poso)


Satuan ini diendapkan secara normal dengan umur Pliosen. Batulanau tersingkap merata pada
lokasi headpond yang diketemukan juga pada pemboran HP-04 mulai permukaan sampai
kedalaman 4.50 m dengan warna putih – coklat muda dan berkadar gampingan tinggi, sedang
batulempung diketemukan hanya pada pemboran HP-04 dibawah batulanau sampai
kedalaman 12.60 m yang dicirikan dengan warna abu-abu dan berkadar gamping tinggi.

Foto 16.
Singkapan batulanau dengan lokasi sebelah
Timur 10 m dari titik bor BH-04 headpond
25

e. Satuan Collovial dan Alluvial


Satuan collovial merupakan endapan pada kaki lereng yang bisa disebabkan runtuhan atau
bisa juga longsoran, dimana dilapangan secara visual sulit dibedakan apakah itu endapan
collovial atau olistostrome. Satuan alluvial diendapkan dibeberapa tempat pada pinggiran
Sungai Poso dan anak Sungai Poso tetapi tidak terlalu luas,

Blok dan matrik batuan acak banyak terdapat kekar / patahan, tetapi kekar/patahan umumnya
berorientasi acak dan tidak bisa dijadikan untuk mengetahui arah umum penyebab tekanannya.
Perlapisan, foliasi dan struktur lain yang diamati dalam blok pada olistostrome dan melange pada
umumnya tidak mewakili keseluruhan struktur massa batuan karena blok batuan telah mengalami
proses olistostromisasi ataupun tektonisasi menjadi batuan acak. Namun beberapa tren perlapisan
ditunjukkan oleh matrik endapan olistostrome area penstock atas dengan arah dan kemiringan
N20oE/50 o yang menunjukkan arah relative pelongsoran. Sesar, kekar dan foliasi yang khas pada
sebagian besar olistostrome dan melang sangat berkaitan dengan proses tektonik aktif pada daerah
ini pada waktu yang lalu.
26

4. GEOTEKNIK

Kondisi geologi lokasi PLTA Poso 1 yang sebagian besar terbentuk dari batuan acak baik berupa
melange tektonik, melange ofiolit dan olistostrome dengan massa batuan yang heterogen dan
struktur batuan yang komplek menjadi problem engineering baik dalam disain maupun dalam
masa kontruksi.

Dalam rangka untuk pemilhan jalur dan memperoleh data-data yang dibutuhkan untuk disain
sampai laporan ini dibuat telah dilakukan 21 titik pemboran dengan panjang 673 m dengan insitu
test berupa DPT/SPT sebanyak 204 test dan permeability test sebanyak 107 test. Untuk
permeability test hanya bisa dilakukan dengan metode falling head test, sedang untuk packer test
tidak bisa dilaksanakan karena tidak ada dinding lubang bor yang kuat untuk dudukan packer.
Pada sekitar rencana lokasi PLTA Poso 1 juga telah dilakukan pemetaan geologi lapangan dimana
pekerjaan ini sangat diperlukan untuk memperoleh pemahaman tentang geometri dan macam dari
blok dan matrik olistostrome ataupun melange sehingga bisa membuat metode penggalian yang
sesuai. Sedang untuk pengamatan fluktuasi dari muka air tanah telah dibuat 5 titik piezometer
pada bekas pemboran titik BH-02, TN-01, TN-03, HP-04 dan HP-04.

Dari beberapa titik pemboran awal, orientasi kondisi geologi dan topografi telah membuat 5
alternatif jalur dari rencana PLTA Poso 1. Dari kelima alternative jalur tersebut, setelah
didiskusikan dari beberapa aspek telah dipilih alternative jalur 5 yang paling feasible. Laporan ini
lebih detail hanya membahas kondisi geoteknik untuk kondisi bendung – tunnel – headpond –
penstock – power house dari altrnatif jalur 5.

Pelaksanaan pemboran pada batuan seperti pada lokasi ini sangat susah walaupun dilaksanakan
oleh juru bor berpengalaman dan peralatan yang memadai, karena sifat fisik dari batuan yang
kontras kondisi kekompakan dan kekerasan dari matrik dan blok. Hal ini menyebabkan hasil
pemboran berupa core untuk matrik tidak menunjukkan struktur geologinya karena rusak waktu
proses pemboran, sehingga apakah itu matrik melange atau matrik olistostrome susah dibedakan.

Untuk mengetahui jenis matrik dari olistostrome telah diambil contoh tanah terganggu (Disturbed
Sample) pada 5 lokasi yang mewakili (pengambilan dilakukan pada type olistostrome yang
mempunyai matrik, sedang pada olistostrome yang didominasi blok tidak bisa dilakukan
pengambilan contoh matrik). Setelah dibawa ke laboratorium proyek PT Poso Energy, contoh
tersebut telah kita lakukan Water Content Test, Specific Gravity Test, Liquid Limit Test dan Grain
Size Analysis (data hasil test terlampir).

Dalam menghadapi massa batuan heterogen seperti ini, sangat sulit untuk mendapatkan sampel
dari batuan utuh yang mewakili untuk pengujian di laboratorium. Pada pelaksanaan pemboran
dari 21 titik bor yang sudah dilaksanakan, kesemuanya tidak bisa diambil contoh tanah tidak
terganggu (UDS=Undisturbed Sample) karena kondisi tanah banyak mengandung butiran
gravelan~boulder, sehingga tabung UDS tidak mampu ditekan secara hydrolis menembus tanah.
Contoh tanah tidak terganggu ini kalau dapat terambil akan diuji di laboratorium mekanika tanah
untuk mengetahui parameter nilai “physical” dan “mechanical” contoh tanah. Dari parameter ini
yang nantinya dipakai didalam perhitungan disain, sedang contoh tanah terganggu (misal: core
hasil bore) hanya dapat diuji untuk mengetahui kondisi fisiknya saja yang belum cukup untuk
perhitungan disain. Untuk contoh batuan hasil pemboran yang kita dapat juga tidak representative
untuk diuji di laboratorium mekanika batuan, karena core batuan hasil bore selama ini
27

kesemuanya merupakan boulder, sehingga parameter nilai yang didapat tidak dapat mewakili
massa batuan untuk perhitungan disain.

Pada insitu test SPT hanya dilakukan sekali dengan nilai N>50 dengan kondisi sampler SPT
sampai rusak. Kemudian untuk selanjutnya diganti dengan insitu DPT, walaupun alat test ini
hanya cocok untuk tanah dengan besar butir pasiran ~ gravelan. Dari aplikasi insitu test dengan
DPT pada beberapa test menghasilkan nilai relative lebih tinggi dari kondisi tanah aslinya
dikarenakan semua lokasi pemboran berupa tanah yang mengandung banyak boulder, sehingga
nilai dari test DPT ini juga kurang bisa mewakili kondisi dari massa batuan untuk dipakai dalam
perhitungan disain, terutama pada pengetesan dimana tidak tercapai penetrasi minimal 10 cm
yang diasumsikan conus terkena boulder sehingga tidak kuat menembus (pada bore log hasil DPT
ditandai dengan tanda >).

Sifat mekanik utama dari matrik olistostrome yaitu tidak tersemen bagus antar butir dari massa
batuan sehingga bila terkena aliran air sangat mudah untuk tererosi dan apabila terjadi
penambahan beban pada massa batuan akibat penjenuhan air secara cepat (resapan hujan) pada
massa batuan ini akan mudah longsor terutama pada lokasi lereng. Untuk kekerasan blok batuan
yang relative lebih keras dari matrik dimana dari yang terlunak berupa phillite maupun schist
dengan kekerasan 50 – 100 MPa dan batuan keras seperti metalimestone, gneiss, rijang dan ofiolit
yang kekerasannya > 100 MPa, walaupun kalau kondisi lapuk dan retak lebih rendah lagi.

Kekuatan massa batuan dari melange dan olistostrome akan sangat tergantung dari kekuatan yang
kontras antara matrik dan blok, ukuran blok dan proporsi volumetric dari blok. Untuk pembahasan
secara geoteknik, massa batuan acak (melange dan olistostrome) untuk lokasi penyelidikan dibagi
dalam 4 type, yaitu :
• Massa Batuan Type A : Endapan olistostrome dengan blok berdiameter dari centimeter –
meter yang dilingkupi dalam matrik lempung atau pasir-lanau. Endapan ini mekanisme
pembentukkannya akibat proses gravitasional berupa debris flow. Proporsi blok terhadap
matrik sedimen < 50%.
• Massa Batuan Type B : Endapan olistostrome yang hampir semua endapan terbentuk dari
block tanpa / sedikit matrik. Endapan ini mekanisme pembentukannya akibat proses
gravitasional berupa avalanche and independent block sliding. Proporsi blok terhadap
matrik sedimen > 50%.
• Massa Batuan Type C : Komplek melange tektonik dengan blok berdiameter dari
centimeter – meter yang dilingkupi dalam matrik batuan phillite atau serpentinite.
Mekanisme pembentukannya dari endapan olistostrome Type A yang mengalami
tektonisasi sehingga matrik berubah dari sedimen menjadi metamorf. Proporsi blok
terhadap matrik batuan metamorf < 50%.
• Massa Batuan Type D : Komplek melange ofiolit dimana blok dan matrik berupa batuan
metamorf dengan kekerasan dan kekuatan relative sama.

Karena tidak didapat nilai properties massa batuan untuk digunakan untuk perhitungan disain baik
nilai properties dari hasil insitu test maupun hasil test laboratorium, maka jalan satu-satunya
dengan cara estimasi dari kondisi visual dilapangan. Sistim untuk estimasi properties untuk PLTA
Poso 1 digunakan sistim seperti yang telah diusulkan oleh Hoek dan Brown (1977) dengan
software RockLab. Dibawah ini pengkelasan massa batuan dari GSI menurut Hoek dan Brown.

GSI Value 76 - 95 56 - 75 36 - 55 21 - 35 < 20


Rock Mass Quality Very Good Good Fair Poor Very Poor
28

Kondisi Geoteknik Lokasi Bendung

Untuk lokasi ini telah dilakukan pemboran coring 2 titik dari rencana 3 titik dengan hasil
pemboran sebagai berikut :

BH-02
Koordinat x : 238815.000 ; y : 9815293.000; z : 504.00 m
M.A.T. Ked. : 0.50 m ; elev. 503.00 m

Ked. (m) Elev. (m) Litologi Bearing Cap.


(ton/m3)
0.00 – 1.70 502.30 – 504.00 Silty GRAVEL (Olistostrome / Collovium)
1.70 – 5.30 498.70 – 502.30 Clayey SAND (Olistostrome / Collovium) 92 - 95
5.30 – 6.50 497.50 – 498.70 Sandy elastic SILT (Olistostrome)
6.50 – 9.10 494.90 – 497.50 Poorly graded SAND (Olistostrome) 81
9.10 – 10.00 494.00 – 494.90 Sandy elastic SILT (Olistostrome) 63
10.00 – 40.00 464.00 – 494.00 Poorly graded SAND (Olistostrome) 76 - 177

BH-03
Koordinat x : 238845.000 ; y : 9815301.000; z : 508.00 m
M.A.T. Ked. : 2.00 m ; elev. 506.00 m

Ked. (m) Elev. (m) Litologi Bearing Cap.


(ton/m3)
0.00 – 7.90 502.30 – 508.00 Sandy elastic SILT (Olistost. / Collovium) 15 - 22
7.90 – 35.00 498.70 – 502.30 Poorly graded SAND (Olistostrome) 39 - 140

Foto 17.
Kondisi rencana As Bendung dimana pondasi akan
bertumpu pada satuan olistostrome dari massa
batuan type A. Foto diambil dari sisi kanan sungai.

Semua area pondasi rencana bendung akan bertumpu pada endapan dari satuan olistostrome dari
Massa Batuan Type A yang mekanisme pembentukan endapan merupakan proses debris flow,
dimana dari hasil pemboran endapan olistostrome bermatrik silty gravel, clayey sand, sandy
elastic silt dan poorly graded sand sesuai diskripsi tanah dari ASTM. Blok olistostrome relative
menyudut, berdiameter dari centimeter – meter dengan proporsi blok terhadap matrik sekitar 20%
- 40% yang didominasi batuan metalimestone dan batuan lain berupa ofiolit, rijang, phillite, sekis,
genes, serpentine, metasedimen dan terkadang masih berupa pecahan melange tektonik ataupun
melange ofiolit yang masih menunjukkan matrik melingkupi blok. Dengan proporsi blok seperti
29

diatas dimana blok mengambang pada material matrik dan antar dinding blok tidak banyak yang
bersinggungan, maka kekuatan massa batuan sangat tergantung dari kondisi matrik. Sifat di
lapangan dari massa batuan ini mudah longsor, mudah tererosi dan apabila terkena air akan
mudah terurai menjadi material loose. Nilai permeability pada endapan pada pondasi rencana
bendung berkisar dari 10 -5 – 10-7 cm/detik.

Untuk mengetahui parameter fisik matrik olistostrome lokasi ini telah diambil 1 contoh tanah
untuk dianalisa dilaboratorium dengan hasil test sebagai berikut :

S-1
Natural Water Contens Specific Gravity Liquid Limit Test Grain Size Analysis
15.40 % 2.407 LL : 17.50 % Rock : 28.15 %
PL : 9.62 % Sand : 57.58 %
IP : 7.88 % Silt : 13.42 %
Clay : 0.85 %

Foto 18.
Proses pengambilan contoh matrik olistostrome
S-1 (poorly graded sand) pada lokasi rencana
portal inlet tunnel. Garis putih menunjukkan
batas dimana bagian atas olistostrome type B
dengan dominasi boulder sedang dibawah garis
olistostrome type A dengan kondisi dominasi
matrik.

Untuk nilai parameter mekanikal massa batuan diperoleh dari hasil estimasi dari sistim Hoek dan
Brown (1977) dengan menggunakan software RockLab dengan hasil sebagai berikut :

Hoek Brown Classification


sigci 3 MPa
GSI 13
mi 6
D 0.7
Ei 600
Hoek Brown Criterion
mb 0.0503649
s 3.34282e-006
a 0.569846
Failure Envelope Range
Application General
sig3max 0.75 MPa
Mohr-Coulomb Fit
c 0.0233988 MPa
phi 7.05883 degrees
Rock Mass Parameters
30

sigc 0.00227357 MPa


sigcm 0.0529499 MPa
Erm 14.0824 MPa

Bendung sebaiknya menggunakan struktur concrete gravity dam dengan pondasi bore pile
terutama pada tubuh bendung untuk menambah daya dukung dan mengurangi gaya geser, sedang
bore pile untuk sayap bendung berfungsi juga untuk penahan longsor. Karena batuan disini mudah
sekali tergerus oleh aliran air, dibuat juga struktur anti scoring pada bagian belakang steling basin.
Untuk treatment batuan yang diperlukan berupa grouting kontak dan konsolidasi dengan
kedalaman 3 – 5 m dibawah concrete dengan tujuan mengisi rongga antara concrete dan batuan
serta untuk meningkatkan konsolidasi/kekuatan pada batuan yang telah terganggu akibat proses
penggalian. Karena sifat batuan yang sudah impermeable dengan nilai k berkisar 10-5 – 10 -7
cm/detik (data test dari 2 titik pemboran), maka grouting tirai tidak diperlukan kecuali ada
tambahan data yang menunjukkan diperlukaanya treatment grouting tirai ini.

Sistim penggalian dengan menggunakan excavator pada olistostrome dengan dominasi blok kecil
dan perlu menyiapkan sistim blasting bila menemukan blok yang besar dimana tidak mampu
digali dengan excavator.

Kondisi Geoteknik Lokasi Portal Inlet Tunnel

Untuk lokasi ini telah dilakukan pemboran coring 1 titik dengan kedalaman 30.0 m dengan
kondisi hasil pemboran sebagai berikut :

TN-01
Koordinat x : 238891.000 ; y : 9815284.000; z : 513.00 m
M.A.T. Ked. : 2.50 m ; elev. 510.50 m

Ked. (m) Elev. (m) Litologi Bearing Cap.


(ton/m3)
0.00 – 20.00 493.00 – 513.00 Poorly graded SAND (Olistostrome) 50 - 86
20.00 – 30.00 483.00 – 493.00 Sandy elastic SAND (Olistostrome) 71 - 83

Ada 2 type massa batuan pada area rencana portal inlet tunnel (lihat Foto 18.), yaitu :
• Massa Batuan Type B : menempati sekitar elevasi 515.00 m keatas (tersingkap pada
lereng 20 m titik pemboran TN-01) atau posisi diatas portal inlet tunnel, dimana massa
batuan ini termasuk satuan olistostrome yang hampir semua endapan terbentuk dari block
dengan sedikit matrik pasir gravelan yang urai (loose). Blok berdiameter centimeter –
meter dengan bentuk menyudut yang didominasi blok marmer terdaunkan dan blok lain
berupa batuan ofiolit, rijang, phillite, sekis, genes, serpentine, metasedimen dan terkadang
masih berupa pecahan melange tektonik ataupun melange ofiolit yang masih menunjukkan
matrik melingkupi blok. Endapan ini mekanisme pembentukannya akibat proses
gravitasional berupa avalanche and independent block sliding. Proporsi blok terhadap
matrik sekitar 70% - 90%, sehingga kekuatan massa batuan ini sangat dipengaruhi saling
mengunci antar blok. Kondisi dilapangan massa batuan ini relative lebih stabil daripada
massa batuan type A dengan singkapan kondisi lereng galian jalan yang tidak longsor,
sedang untuk permeability lebih porous karena matrik dari pasir gravelan yang dilapangan
pada ditandai pada kaki lereng muncul beberapa sumber air. Dari hasil estimasi dari
software RockLab untuk massa batuan ini hasilnya sebagai berikut :
31

Hoek Brown Classification


sigci 15 MPa
GSI 18
mi 6
D 0.7
Ei 3000
Hoek Brown Criterion
mb 0.0662888
s 6.89953e-006
a 0.549987
Failure Envelope Range
Application General
sig3max 3.75 MPa
Mohr-Coulomb Fit
c 0.154418 MPa
phi 8.56918 degrees
Rock Mass Parameters
sigt -0.00156124 MPa
sigc 0.0217525 MPa
sigcm 0.358859 MPa
Erm 76.3534 MPa

• Massa Batuan Type A : massa batuan ini menempati mulai sekitar elevasi 515.00 m
kebawah dimana struktur portal inlet tunnel akan berada pada masa batuan ini. Untuk nilai
permeability (k) dari hasil insitu test dalam lubang bor TN-01 berkisar dari 10-5 – 10 -6
cm/detik.Dari hasil pemboran titik TN-01 dan pengamatan di lapangan, untuk sifat-sifat
keteknikan dan estimasi parameter mekanikal sebagai berikut :

Hoek Brown Classification


sigci 3 MPa
GSI 13
mi 6
D 0
Ei 600
Hoek Brown Criterion
mb 0.268371
s 6.33607e-005
a 0.569846
Failure Envelope Range
Application Tunnels
sig3max 0.0849928 MPa
Unit Weight 0.023 MN/m3
Tunnel Depth 8 m
Mohr-Coulomb Fit
c 0.012197 MPa
phi 28.7064 degrees
Rock Mass Parameters
sigt -0.00070828 MPa
sigc 0.0121564 MPa
sigcm 0.137802 MPa
Erm 20.2512 MPa
32

Untuk portal Inlet Tunnel diusulkan dibuat dengan sistim borepile berimpit denan diameter 1.0 m
pada sisi kanan dan kiri rencana tunnel masing-masing 3 buah, kemudian dihubungkan dengan
pilar concrete pada crown terowongan (min. kedalaman 3 m) dengan sistim digali sedang
dibagian atas dibiarkan alami untuk menghindari pemicuan longsoran. Fungsi struktur ini untuk
menjaga lereng diatasnya supaya tidak longsor masuk kedalam mulut tunnel sehingga
mengganggu proses tunneling.

Foto 19.
Kondisi lokasi rencana portal inlet tunnel
dengan bolder berdiameter >5m dari ofiolit.
Terlihat juga PVC dari pizometer bekas lubang
bor TN-01.

Sistim penggalian dengan menggunakan excavator pada olistostrome yang didominasi blok kecil
dan perlu menyiapkan sistim blasting bila menemukan blok yang besar yang tidak mampu digali
dengan excavator.

Kondisi Geoteknik Jalur Tunnel

Untuk lokasi ini telah dilakukan pemboran coring 2 titik dari rencana 5 titik dengan hasil
pemboran sebagai berikut :

TN-02
Koordinat x : 239000.280 ; y : 9815311.690; z : 545.60 m
M.A.T. Ked. : 3.00 m ; elev. 542.60 m

Ked. (m) Elev. (m) Litologi Bearing Cap.


(ton/m3)
0.00 – 4.50 541.10 – 545.60 Sandy elastic SILT (Olistostrome) 28
4.50 – 35.00 510.60 – 541.10 Poorly graded SAND (Olistostrome) 106

TN-03
Koordinat x : 239092.260 ; y : 9815318.980; z : 559.40 m
M.A.T. Ked. : 7.50 m ; elev. 551.90 m

Ked. (m) Elev. (m) Litologi Bearing Cap.


(ton/m3)
0.00 – 8.20 551.20 – 559.40 Clastic LIMESTONE (Olist. / Form. Poso) 17 - 33
8.20 – 18.90 540.50 – 551.20 Sandy elastic SILT (Olistostrome)
18.90 – 50.00 509.40 – 540.50 Poorly graded SAND (Olistostrome)
33

Untuk mengetahui typikel matrik olistostrome yang diperkirakan menempati tunnel telah diambil
2 contoh matrik olistostrom (contoh matrik S-2 dan S-3) pada lereng sebelah kiri jalur tunnel
dengan hasil sebagai berikut :

S-2
Natural Water Contens Specific Gravity Liquid Limit Test Grain Size Analysis
27.06 % 2.428 LL : 28.20 % Rock : 5.03 %
PL : 18.28 % Sand : 61.43 %
IP : 9.92 % Silt : 4.59 %
Clay : 28.96 %

S-3
Natural Water Contens Specific Gravity Liquid Limit Test Grain Size Analysis
20.21 % 2.452 LL : 27.60 % Rock : 26.26 %
PL : 18.40 % Sand : 49.45 %
IP : 9.20 % Silt : 7.22 %
Clay : 17.08 %

Foto 20.
Proses pengambilan contoh matrik S-2 berupa
batupasir yang merupakan lensa pada
olistostrome dengan kondisi tidak kompak.
Lokasi 100 m posisi Utara dari rencana portal
inlet tunnel.

Foto 21.
Singkapan bidang perlapisan antara endapan
olistostrome dan lensa batupasir (typical contoh
S-2) dengan arah relative utara-selatan dengan
kemiringan 600 kearah timur. Lokasi 10 m
sebelah Selatan pengambilan contoh S-2.
34

Foto 22.
Singkapan lensa batuan konglomerat dengan
matrik yang kompak tersingkap diatas endapan
lensa batupasir (Foto 21). Matrik berupa pasiran
dengan fragment berupa rijang, metalimestone,
serpentinite, ofiolit, kwarsa

Foto 23.
Lokasi pengambilan contoh S-3 pada matrik
endapan olistostrome (poorly graded sand) dari
massa batuan type A. Lokasi 200 m sebelah
utara rencana portal inlet tunnel pada sisi lereng.

Fungsi dari tunnel sebagai jalur menghantarkan air dari sungai Poso yang dibendung disebelah
barat bukit, kemudian melalui inlet tunnel menembus bukit sepanjang sekitar 700 m dan keluar
melalui outlet tunnel disebelah timur bukit langsung menuju headpond. Overburden tertinggi dari
tunnel sekitar 75 m (elev. 580 m) dengan hasil data pemboran TN-01, TN-02 dan TN-03
terowongan akan menembus massa batuan olistostrome Type A. Hasil pemetaan geologi pada
lereng sisi kiri dari bukit yang ditembus tunnel dijumpai 1 lokasi singkapan melange tektonik dan
beberapa typikel olistostrome yang mana massa batuan ini mungkin juga ditemui pada waktu
proses penggalian tunnel. Dari hasil laboratorium terhadap 2 contoh matrik olistostrome masing-
masing berjenis clayey sand (S-2) dan gravely sand (S-3).

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam disain dan kontruksi tunnel dalam kondisi massa batuan
olistostrome dan melange tektonik yang akan ditemui sepanjang tunnel, seperti :
• Satuan batuan lunak dan rapuh dengan ‘stand up time” (waktu yang dibutuhkan batuan
akan runtuh setelah digali) yang pendek terutama pada kondisi dibawah muka air tanah.
• Sepanjang proses tunneling akan banyak menemui batuan bersifat squeezing yang akan
mengakibatkan terjadinya deformasi massa batuan pada dinding dan dasar tunnel yang
mungkin terjadi segera atau seminggu setelah penggalian akibat overstress.
• Blok yang kuat, keras dan banyak kekar yang akan menggagu dalam proses penggalian
terutama bila blok posisinya pada batas penggalian.
• Kondisi massa batuan yang acak yang terdiri dari blok-blok batuan yang kuat (hard rock)
tertanam dalam matriks lemah berupa clayey – gravely pada olistostome dan phillite lapuk
lanjut pada melange tektonik.

Dalam desain tunnel, satu metode yang digunakan untuk mengevaluasi karakteristik massa batuan
serta pemilihan jenis supporting tunnel dengan menggunakan data dari log inti hasil pemboran
dan singkapan batuan disekitar tunnel untuk inputing data disain tunnel dengan metode emperikal.
Ada 2 metode yang biasa dipakai dalam disain tunnel secara emperikal di Indonesia atau diluar
35

negeri yaitu sistim Rock Mass Rating (RMR) dari Bieniawski dan sistim Q dari Barton, dimana
keduanya mengaplikasikan RQD sebagai inputing utama penilaian disamping juga berdasarkan
karakteristik kekar/patahan dan intack strength. Karena diskontinuitas banyak dan berada secara
merata pada semua bagian olistostrome dan melange, nilai RQD pada lokasi semua nilai 0 kecuali
pada blok yang besar, tetapi hasil RQD dari blok ini tidak bisa dipakai untuk penilaian
karakteristik massa batuan, sehingga hasilnya tidak mengapresiasi sifat dari massa batuan yang
sesungguhnya.

Pada kondisi seperti diatas untuk sistim klasifikasi massa batuan yang mendekati adalah
klasifikasi massa batuan menurut Terzaghi (1946), dimana pengkelasan massa batuan
berdasarkan Rock Load Faktor dimana sistim ini massa batuan dibagi menjadi 9 kelas dari mulai
massa batuan yang bersifat massive solid ~ squeezing dan swelling. Konsep yang digunakan
untuk sistim klasifikasi dari estimasi rock loading yang diterima oleh supporting steel arch yang
terpasang pada tunnel.

Gambar 18. Terzaghi Rock Loading Konsep

Untuk rencana tunnel sekitar 700 m akan menemui 3 macam type massa batuan yaitu : “very
blocky and seamy”, “crushed”, dan “squeezing”. Difinisi pada tabel di bawah untuk pengkelasan
massa batuan menurut Terzaghi ini telah dimodifikasi berdasarkan prosentase blok terhadap
matrik dan kekompakan matrik (lihat Tabel 1)

Untuk mehetahui berapa besarnya tekanan yang diterima oleh support tunnel (p) dari rock load
factor (Hp), Terzaghi mengusulkan rumus sebagai berikut :

p = Hp.γ.H

dimana γ merupakan unit weight massa batuan dan H adalah tinggi overburden dari atap tunnel.
Bila estimasi unit weight massa batuan type A sebesar 23 kN/m3 , type B sebesar 24 kN/m3 dan
type C sebesar 25 kN/m3, maka tekanan yang akan diterima support tunnel paling besar akan
36

terjadi pada posisi tunnel dengan overburden maximal sebesar 75 m. Besarnya tekanan terhadap
support pada tiap kondisi massa batuan apabila rumus diatas kita aplikasikan besarnya sebagai
berikut : support tunnel pada massa batuan type C (kondisi blocy and seamy) berkisar 13.125 –
41.250 kN, pada massa batuan type B (kondisi crushed) sekitar 39.600 kN dan pada massa batuan
type A (kondisi squeezing) berkisar 37.950 – 72.450 kN.

Tabel 1. Kondisi Massa Batuan Sepanjang Tunnel dan Loading Batuan

Rock Mass Definition GSI Terzaghi Rock Load Classification1


Condition (RMR) Vertical Rock Load2 Side Pressure
Blocky and Massa Batuan Type C 20 ~ 25 (0.35 to 1.1)C Little or no side
Seamy (25~30) pressure
Crushed Massa Batuan Type B 15 ~ 20 1.1 C Considerable
(20~25) side pressure
Squeezing Massa Batuan Type A 10 ~ 15 (1.1 to 2.1)C Heavy side
(15~20) pressure
Notes: 1 From Terzaghi (Proctor and White, 1968)
2 C=B+H, where B=tunnel width, and H=tunnel height. Formulas are valid for any consistent set of units.
Multiply by unit weight to get load per unit area (pressure).

Karena baru 2 titik pemboran dari 5 titik yang direncanakan, sehingga belum bisa
menggambarkan kondisi geologi sepanjang tunnel dan prosentase dari ketiga kondisi massa
batuan diatas. Pada proses tunneling nanti mungkin akan menjumpai massa batuan type A dan
type B yang bisa saling tindih dan menjemari dengan massa dasar dari massa batuan type C.

Karena kondisi massa batuan sepanjang tunnel sangat bervariasi, sistim supporting awal harus
didesain yang bersifat flexible dan mudah beradaptasi. Hal ini dapat dibuat dengan disain
supporting awal yang nantinya dapat dilakukan penambahan support tanpa membuat perubahan
yang signifikan terhadap penampang geometris penggalian atau melepas support yang sudah
terpasang atau mengubah beberapa komponen struktur jika beban / deformasi yang ditemukan
lebih tinggi daripada disain awal sebelum penggalian. Semua pekerjaan tunnel sifatnya tentative
dimana sangat tergantung dari kondisi massa batuan sepanjang tunnel, maka diperlukan seorang
tunnel geologist untuk pengawalan proses tunneling terutama dalam pengkelasan batuan dan type
supporting yang sesuai serta evaluasi dan pemberian saran untuk metode dan perubahan disain
berdasarkan kondisi actual massa batuan dan dari hasil monitoring yang dilaksanakan.

Pada pelaksanaan proses penggalian tunnel sebaiknya mengaplikasikan metode NATM (New
Austrian Tunneling Method) dimana metode penerowongan modern ini memakai support tunnel
yang flexible berupa steel rib, shotcrete, rockbolt, wiremesh. Aspek utama penggunaan metode
NATM yaitu disain yang dinamis dimana tergantung dari klasifikasi massa batuan dan monitoring
deformasi selama proses penerowongan dengan sasaran sistim support tunnel yang lebih
ekonomis dan lebih stabil.

Dari hail pengkelasan massa batuan menurut Terzaghi, penilaian GSI menurut Hoek dan Brown
dan dikorelasi ke nilai RMR, kemudian dijadikan acuan untuk menentukan supporting awal tunnel
PLTA Poso 1 secara empirical dimana dimasukkan juga prinsip-prinsip utama dari metode
NATM dapat dibagi menjadi 3 type support tunnel sesuai kondisi masing-masing massa batuan.
Selain type support juga dimunculkan juga aplikasi metode penggalian dan kebutuhan titik-titik
untuk monitoring pergerakan. Untuk rincian kebutuhan supporting dari masing-masing type
dapat dilihat pada tabel berikut :
37

Tabel 2. Pembagian 3 type support tunnel (Type A, Type B dan Type C) berdasarkan
pengkelasan batuan menurut Terzaghi dikombinasi dengan GSI, RMR dan NATM

Estimasi parameter mekanikal massa batuan dengan asumsi overburden tunnel maximum 75 m
dan kedalaman air tanah 5 m, untuk ketiga kondisi massa batuan diatas hasil estimasinya sebagai
berikut :
• Massa Batuan Type A
Hoek Brown Classification
sigci 3 MPa
GSI 13
mi 6
D 0
Ei 600
Hoek Brown Criterion
mb 0.268371
s 6.33607e-005
a 0.569846
Failure Envelope Range
Application Tunnels
sig3max 0.696683 MPa
Unit Weight 0.023 MN/m3
Tunnel Depth 75 m
Mohr-Coulomb Fit
c 0.0499544 MPa
phi 15.8298 degrees
Rock Mass Parameters
sigt -0.00070828 MPa
sigc 0.0121564 MPa
sigcm 0.137802 MPa
Erm 20.2512 MPa
38

• Massa Batuan Type B


Hoek Brown Classification
sigci 15 MPa
GSI 18
mi 6
D 0
Ei 3000
Hoek Brown Criterion
mb 0.32084
s 0.000110432
a 0.549987
Failure Envelope Range
Application Tunnels
sig3max 0.809196 MPa
Unit Weight 0.024 MN/m3
Tunnel Depth 75 m
Mohr-Coulomb Fit
c 0.115548 MPa
phi 26.9492 degrees
Rock Mass Parameters
sigt -0.00516294 MPa
sigc 0.0999643 MPa
sigcm 0.857695 MPa
Erm 124.486 MPa

• Massa Batuan Type C


Hoek Brown Classification
sigci 35 MPa
GSI 23
mi 7
D 0
Ei 19250
Hoek Brown Criterion
mb 0.447495
s 0.000192473
a 0.535757
Failure Envelope Range
Application Tunnels
sig3max 0.898676 MPa
Unit Weight 0.025 MN/m3
Tunnel Depth 75 m
Mohr-Coulomb Fit
c 0.205489 MPa
phi 36.3749 degrees
Rock Mass Parameters
sigt -0.0150539 MPa
sigc 0.357596 MPa
sigcm 2.59859 MPa
Erm 1028.94 MPa
39

Kondisi Geoteknik Lokasi Portal Outlet Tunnel

Untuk lokasi ini belum dilakukan pemboran, sedang singkapan dilapangan menunjukkan endapan
clastic limestone (olistosrome / formasi Poso). Karena kondisi massa batuan yang mudah longsor,
maka untuk portal didesain sama seperti inlet tunnel.

Kondisi Geoteknik Lokasi Headpond

Untuk lokasi ini baru 1 titik pemboran yang dapat mewakili kondisi geologi lokasi Headpond
yaitu titik HP-04 (sayap kanan headpond), dikarenakan area headpond keseluruhan lahannya
belum dibebasakan. Untuk dapat gambaran kondisi geologi lokasi headpond secara lengkap
minimal ada tambahan 3 titik bor lagi sesuai rencana. Ringkasan hasil pemboran titik HP-04
sebagai berikut :

HP-04
Koordinat x : 239554.190 ; y : 9815938.550; z : 502.700 m
M.A.T. Ked. : 10.00 m ; elev. 492.00 m

Ked. (m) Elev. (m) Litologi N Value


0.00 – 4.50 498.20 – 502.70 SILTSTONE (Formasi Poso) >50
4.50 – 12.60 490.10 – 498.20 CLAYSTONE (Formasi Poso) >50
12.60 – 30.20 472.50 – 490.10 Clastic LIMESTONE (Olist. / Form. Poso)
30.20 – 37.50 465.20 – 472.50 Poorly graded SAND (Olistostrome)

Dari hasil insitu permeability test pada lubang bor untuk batuan siltstone dan claystone
mempunyai nilai permeability (k) berkisar dari 10-6 – 10 -7 cm/detik yang relative kedap, sedang
untuk clastik limestone nilai permeability (k) 10-3 cm/detik yang menandakan batuan ini sangat
permeable (porous) karena sifat dari batuan ini yang mudah larut membentuk lubang saluran
dibawah tanah. Untuk poorly graded sand tidak bisa di lakukan test karena water loose pada
batuan clastic limestone, dimana debit pompa dilapangan tidak mencukupi untuk dilakukan test.

Estimasi parameter mekanikal massa batuan lokasi ini dapat dibagi menjadi 4 massa batuan yang
masing-masing nilainya sebagai berikut :

• Massa Batuan Siltstone-Claystone


Merupakan batuan sedimen yang diendapkan secara normal dan belum mengalami
delapsional dan olistostromisasi.

Hoek Brown Classification


sigci 15 MPa
GSI 28
mi 5
D 0.7
Ei 4500
Hoek Brown Criterion
mb 0.0956934
s 2.93922e-005
a 0.525561
Failure Envelope Range
Application General
sig3max 3.75 MPa
40

Mohr-Coulomb Fit
c 0.215937 MPa
phi 10.7775 degrees
Rock Mass Parameters
sigt -0.00460724 MPa
sigc 0.0622832 MPa
sigcm 0.521836 MPa
Erm 150.138 MPa

• Massa Batuan Type B (Clastic Limestone)


Massa batuan ini terbentuk akibat gravitasional dengan proses avalanche and independent
block sliding yang diendapkan dicekungan dari batuan asal berupa coral reef. Matrik
berukuran pasiran sedang blok berdiameter centimeter – meter dari coral reef. Proporsi
dari block berkisar 60% - 80% terhadap matriknya. Hasil estimasi dengan software
RockLab untuk massa batuan ini hasilnya sebagai berikut :

Hoek Brown Classification


sigci 5 MPa
GSI 18
mi 7
D 0.7
Ei 5000
Hoek Brown Criterion
mb 0.0773369
s 6.89953e-006
a 0.549987
Failure Envelope Range
Application General
sig3max 1.25 MPa
Mohr-Coulomb Fit
c 0.0553808 MPa
phi 9.21155 degrees
Rock Mass Parameters
sigt -0.00044607 MPa
sigc 0.00725084 MPa
sigcm 0.130171 MPa
Erm 127.256 MPa

• Massa Batuan Type A (poorly graded SAND)


Massa batuan ini merupakan endapan olistostrome yang terbentuk akibat gaya
gravitasional berupa proses debris flow dimana dari hasil pemboran HP-04 matriknya
berupa poorly graded sand dan blok dari metalimestone, ofiolit, rijang, phillite, sekis,
genes, serpentine, metasedimen berdiameter dari centimeter – meter. Proporsi blok
terhadap matrik berkisar 20% - 40% (blok mengambang pada matrik) dengan demikian
kekuatan massa batuan sangat tergantung dari kondisi matriknya.

Hoek Brown Classification


sigci 3 MPa
GSI 13
mi 6
D 0.7
Ei 600
41

Hoek Brown Criterion


mb 0.0503649
s 3.34282e-006
a 0.569846
Failure Envelope Range
Application General
sig3max 0.75 MPa
Mohr-Coulomb Fit
c 0.0233988 MPa
phi 7.05883 degrees
Rock Mass Parameters
sigt -0.000199116 MPa
sigc 0.00227357 MPa
sigcm 0.0529499 MPa
Erm 14.0824 MPa

Kondisi morfologi dari rencana lokasi headpond sangat mendukung dimana posisi headpond saat
ini sebagai cekungan dengan sebelah kiri berupa lereng bukit dengan batuan permukaan batuan
clastic limestone sedang bagian kanan headpond sebagai dataran yang ditempati batuan siltstone-
claystone.

Foto 24.
Kondisi morfologi diambil dari rencana depan
headpond, lokasi headpond berada pada
cekungan. Terlihat lokasi titik pemboran HP-04
pada foto sisi kiri bawah.

Karena baru 1 titik pemboran pada lokasi headpond, sehinga kurang bisa memberi gambaran
secara menyeluruh tempat dudukan pondasi dari rencana bangunan headpond. Hanya untuk
kondisi permukaan headpond dari hasil pemetaan geologi pada headpond bagaian kiri ditempati
batugamping klastik dan headpond bagian kanan ditempati batulanau.

Untuk hasil pemboran HP-04 (posisi titik bor berada rencana headpond kanan depan) dimana dari
permukaan sampai kedalaman 12.60 m (ele. 490.10 – 502.70 m) berupa batuan siltstone-claystone
yang ideal untuk dijadikan sebagai tumpuan pondasi bangunan headpond karena secara kekuatan
mencukupi (nilai N SPT >50) dan bersifat impermeable (k = 10 -6 – 10 -7 cm/detik) sehingga
tampungan air headpond terjaga dari kebocoran. Sedang headpond bagian kiri mungkin
pondasinya akan bertumpu pada batugamping klastik yang relative kompak tetapi sangat
permeable (mudah meloloskan air).

.
42

Foto 25. Foto core hasil pemboran dari titik bor BH-04 ked. 0.0 – 20.0 m (keseluruhan 38.0 m)
43

Untuk mengurangi pergerakan vertical horizontal perlu penambahan bore pile pada pondasi,
sedang treatment batuan dibutuhkan kontak grouting pada pondasi bangunan utama headpond dan
seluruh lantai headpond. Fungsi kontak grouting untuk mengkontakkan antara concrete sama
batuan menjadi monolit dan menjaga supaya tidak ada kebocoran melewati zona lemah antara
concrete dan batuan. Treatment berupa grouting konsolidasi/tirai perlu diaplikasikan untuk
menambah kekuatan dan membuat kedap pada headpond bagian kanan yang bertumpu pada
batugamping klastik.

Sistim penggalian yang sesuai dengan menggunakan excavator karena material penggalian berupa
clastik limestone yang relative urai dengan boulder tidak terlalu besar dan batuan siltstone-
claystone dengan kekerasan batuan sangat lunak sehingga excavator masih mampu walaupun
agak liat.

Kondisi Geoteknik Lokasi Jalur Penstok

Sepanjang sekitar 300 m rencana jalur penstock telah dilakukan 4 titik pemboran dengan hasil
sebagai ringkasan sebagai berikut :

HP-02
Koordinat x : 239527.000 ; y : 9815987.000; z : 508.500 m
M.A.T. Ked. : 0.50 m ; elev. 508.00 m

Ked. (m) Elev. (m) Litologi Bearing Cap.


(ton/m3)
0.00 – 3.10 505.40 – 508.50 Poorly graded SAND (Olistostrome) 39
3.10 – 4.00 504.50 – 505.40 Sandy elastic SILT (Olistostrome)
4.00 – 6.50 502.00 – 504.50 Poorly graded SAND (Olistostrome) 105
6.50 – 25.60 482.90 – 502.00 Sandy elastic SILT (Olistostrome) 60 – 92
25.60 – 27.40 481.10 – 482.90 Poorly graded SAND (Olistostrome)
27.40 – 30.00 478.50 – 481.10 Sandy elastic SILT (Olistostrome) 74

PS-01
Koordinat x : 239534.920 ; y : 9816095.730; z : 499.59 m
M.A.T. Ked. : 2.00 m ; elev. 497.59 m

Ked. (m) Elev. (m) Litologi Bearing Cap.


(ton/m3)
0.00 – 22.20 477.39 – 499.59 Poorly graded GRAVEL (Olistostrome) 107 - 320
22.20 – 24.00 475.59 – 477.39 Poorly graded SAND (Olistostrome) 61
44

PS-02
Koordinat x : 239529.000 ; y : 9816020.000; z : 505.500 m
M.A.T. Ked. : 5.00 m ; elev. 500.50 m

Ked. (m) Elev. (m) Litologi Bearing Cap.


(ton/m3)
0.00 – 2.90 502.60 – 505.50 Clayey SAND (Alluvium) 56
2.90 – 5.00 500.50 – 502.60 Poorly graded SAND (Olistostrome) 103
5.00 – 7.90 497.60 – 500.50 Sandy elastic SILT (Olistostrome) 68
7.90 – 30.00 475.50 – 497.60 Poorly graded SAND (Olistostrome) 64 – 151

BH-16
Koordinat x : 239540.110 ; y : 9816209.130; z : 479.500 m
M.A.T. Ked. : 1.50 m ; elev. 478.00 m

Ked. (m) Elev. (m) Litologi Bearing Cap.


(ton/m3)
0.00 – 2.80 476.70 – 479.50 Sandy elastic SILT (Alluvium) 21
2.80 – 5.80 473.70 – 476.70 Poorly graded SAND (Olistostrome) 74
5.80 – 7.60 471.90 – 473.70 Poorly graded GRAVEL (Olistostrome) 71
7.60 – 9.00 469.50 – 471.90 Poorly graded SAND (Olistostrome)
9.00 – 9.50 470.00 – 469.50 Sandy elastic SILT (Olistostrome)
9.50 – 21.40 458.10 – 470.00 Poorly graded SAND (Olistostrome) 96 – 112
21.40 – 22.40 457.10 – 458.10 COAL 172
22.40 – 28.50 451.00 – 457.10 Poorly graded SAND (Olistostrome) 102 – 131
28.50 – 30.00 449.50 – 451.00 Poorly graded GRAVEL (Olistostrome) 160

Untuk memastikan fisikal properties dari matrik olistostrome sepanjang jalur penstock telah
diambil 2 contoh matrik yaitu S-4 dengan lokasi sekitar headpond dan S-5 diatas power house
dengan hasil sebagai berikut :

S-4
Natural Water Contens Specific Gravity Liquid Limit Test Grain Size Analysis
13.21 % 2.436 LL : 18.40 % Rock : 2.24 %
PL : 10.81 % Sand : 68.31 %
IP : 7.59 % Silt : 3.93 %
Clay : 25.96 %

S-5
Natural Water Contens Specific Gravity Liquid Limit Test Grain Size Analysis
11.24 % 2.519 LL : 16.50 % Rock : 7.09 %
PL : 10.11 % Sand : 68.31 %
IP : 6.39 % Silt : 22.31 %
Clay : 2.29 %
45

Foto 26.
Pelaksanaan pengambilan contoh matrik
olistostrome (poorly graded sand) dengan lokasi
jalur penstock bagian atas.

Foto 27.
Lokasi pengambilan contoh matrik endapan
alluvial (sandy elastic silt) dengan posisi jalur
penstock bagian bawah sekitar 15 m sebelah
barat titik bor BH-16.

Foto 28.
Singkapan endapan olistostrome berupa matrik
poorly graded gravel (massa batuan type A) dan
fragment dominasi metalimestone dan rijang.

Morfologi rencana jalur penstock akan melewati punggungan dengan dilakukan penggalian
terlebih dahulu sebelum mendudukkan pondasi penstock, sehingga posisi yang demikian akan
lebih stabil terhadap problem longsoran daripada jalur pada lereng. Kondisi geologi sepanjang
jalur penstok dapat dibagi menjadi 2 massa batuan yaitu Massa Batuan Alluvium dan Massa
Batuan Type A (porrly graded sand dan sandy elastic silt). Dari hasil test laboratorium untuk S-4
menunjukkan matrik berupa clayey sand dan untuk contoh S-5 berupa silty sand. Untuk insitu test
permeanility test pada pemboran HP-02 dan PS-01 nilai (k) berkisar 10-6 - 10-8 cm/detik, sedang
pada titik PS-02 dan BH-16 nilai (k) berkisar 10-4 - 10 -7 cm/detik. Hasil permeability
menunjukkan bahwa pada jalur penstock pada bagian atas relative impermeable dan pada daerah
bawah lebih variatif dimana ada yang endapat yang bersifat permeable (10-4 cm/detik).
46

Foto 29.
Kondisi morfologi jalur penstock bagian atas
berupa punggungan. Foto diambil dari tengah
jalur penstock kearah headpond.

Foto 30.
Kondisi morfologi jalur penstock bagian bawah
melewati punggungan dan dataran. Foto diambil
dari tengah jalur penstock kearah power house.

Hasil estimasi kekuatan batuan menurut Hoek dan Brown (1977) sebagai berikut :

• Massa Batuan Alluvium


Endapan ini merupakan endapan hasil erosi berupa clayey sand dan sandy elastic silt.
Hoek Brown Classification
sigci 0.6 MPa
GSI 5
mi 6
D 0.7
Ei 120
Hoek Brown Criterion
mb 0.0324511
s 1.04854e-006
a 0.61921
Failure Envelope Range
Application General
sig3max 0.15 MPa
Mohr-Coulomb Fit
c 0.00252044 MPa
phi 4.68256 degrees
Rock Mass Parameters
sigt -1.93867e-005 MPa
sigc 0.000119025 MPa
sigcm 0.00547066 MPa
Erm 2.60181 MPa
47

• Massa Batuan Type A (olistostrome)


Hoek Brown Classification
sigci 3 MPa
GSI 13
mi 6
D 0.7
Ei 600
Hoek Brown Criterion
mb 0.0503649
s 3.34282e-006
a 0.569846
Failure Envelope Range
Application General
sig3max 0.75 MPa
Mohr-Coulomb Fit
c 0.0233988 MPa
phi 7.05883 degrees
Rock Mass Parameters
sigt -0.000199116 MPa
sigc 0.00227357 MPa
sigcm 0.0529499 MPa
Erm 14.0824 MPa

Sistim penggalian dengan menggunakan excavator pada olistostrome dengan dominasi blok kecil
dan perlu menyiapkan sistim blasting bila menemukan blok yang besar yang tidak mampu digali
dengan excavator.

Kondisi Geoteknik Lokasi Power House

Pada lokasi ini baru dilakukan 1 titik pemboran dari rencana 5 titik yang direncanakan dengan
hasil pemboran dapat dirangkum sebagai berikut :

PH-01
Koordinat x : 239531.030 ; y : 9816306.630; z : 470.000 m
M.A.T. Ked. : 4.50 m ; elev. 465.50 m

Ked. (m) Elev. (m) Litologi Bearing Cap.


(ton/m3)
0.00 – 8.60 461.40 – 470.00 Clastic LIMESTONE (Olist. / Form. Poso) 14 – 71
8.60 – 18.30 451.70 – 461.40 Poorly graded SAND (Olistostrome) 11 – 114
18.30 – 30.00 440.00 – 451.70 Ofiolit Melange (block of olistostrome ??)

Untuk insitu permeability test secara falling head pada batuan clastic limestone mempunyai nilai k
= 10-5 cm/detik dan poorly graded sand mempunyai nilai k = 10-5 cm/detik. Hasil estimasi
kekuatan massa batuan menurut Hoek dan Brown (1977) lokasi rencana power house hasilnya
sebagai berikut :

• Massa Batuan Type B (Clastic Limestone)


Hoek Brown Classification
sigci 5 MPa
48

GSI 18
mi 7
D 0.7
Ei 5000
Hoek Brown Criterion
mb 0.0773369
s 6.89953e-006
a 0.549987
Failure Envelope Range
Application General
sig3max 1.25 MPa
Mohr-Coulomb Fit
c 0.0553808 MPa
phi 9.21155 degrees
Rock Mass Parameters
sigt -0.00044607 MPa
sigc 0.00725084 MPa
sigcm 0.130171 MPa
Erm 127.256 MPa

• Massa Batuan Type A (Poorly graded sand)


Hoek Brown Classification
sigci 3 MPa
GSI 13
mi 6
D 0.7
Ei 600
Hoek Brown Criterion
mb 0.0503649
s 3.34282e-006
a 0.569846
Failure Envelope Range
Application General
sig3max 0.75 MPa
Mohr-Coulomb Fit
c 0.0233988 MPa
phi 7.05883 degrees
Rock Mass Parameters
sigt -0.000199116 MPa
sigc 0.00227357 MPa
sigcm 0.0529499 MPa
Erm 14.0824 MPa

• Massa Batuan Type C (Ofiolit Melange)


Massa batuan berupa batuan acak dengan matrik batuan metamorf metalempung dan
serpentine dengan blok didominasi oleh batuan ofiolit dengan sedikit batuan
metalimestone. Secara genesa mungkin juga merupakan blok melange ofiolit dari endapan
olistostrome apabila melange ofiolit ini telah mengalami pelongsoran didasar laut. Hasil
estimasi kekuatan batuan sebagai berikut :
Hoek Brown Classification
sigci 175 MPa
GSI 61
49

mi 19
D 1
Ei 43750
Hoek Brown Criterion
mb 1.17202
s 0.00150344
a 0.502644
Failure Envelope Range
Application General
sig3max 43.75 MPa
Mohr-Coulomb Fit
c 7.69966MPa
phi 27.5994degrees
Rock Mass Parameters
sigt -0.224487 MPa
sigc 6.66988MPa
sigcm 25.427 MPa
Erm 5661.05MPa

Karena baru 1 titik pemboran yang dilaksanakan belum bisa menggambarkan secara detail kondisi
semua area pondasi dari power house. Lokasi power house berupa lereng dengan singkapan
batuan pada permukaan semua area ditempati batuan clastic limestone dengan ketebalan pada
hasil pemboran titik PH-01 sebesar 8.5 m. Pada posisi dibawahnya ditempati endapan
olistostrome Type A dengan ketebalan sekitar 7 m dan dibawahnya merupakan batuan melange
ofiolit yang sangat keras. Pada kondisi batuan diatas samgat menguntungkan untuk dijadikan
sebagai lokasi power house daripada lokasi disekitarnya.

Bila kita asumsikan penyebaran batuan pada area power house menyebar secara horizontal seperti
titik PH-01, maka pondasi power house nantinya sangat ideal bertumpu langsung pada melange
ofiolit yang sangat kuat dengan kombinasi bore pile dan kontak-konsolidasi grouting. Bore pile
akan berfungsi untuk mengurangi pergerakan vertical dan horizontal. Pada kontak grouting untuk
mengisi rongga antara concrete dan batuan sehingga menjadi monolit, sedang konsolidasi
grouting untuk mengisi rongga-rongga kekar dan retakan akibat proses penggalian sehingga
kekuatan batuan lebih . Grouting juga berfungsi untuk mengurangi tekanan air pori yang diterima
dinding pondasi.

Sistim penggalian dengan menggunakan excavator pada batuan clastic limestone dan olistostrome
dan perlu menyiapkan sistim blasting pada penggalian massa batuan melange ofiolit.
50

Foto 31. Foto core hasil pemboran dari titik bor BH-04 ked. 0.0 – 30.0 m dimanan
memperlihatkan bahwa mulai kedalaman 18.30 m (elev. 451.70 m) merupakan batuan
dari melange ofiolit yang sangat keras yang cocok untuk dudukan pondasi power
house.

Anda mungkin juga menyukai