Anda di halaman 1dari 17

PPH PASAL 21

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
JURUSAN AKUNTANSI
2019/2020
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pajak merupakan sumber penerimaan Negara yang digunakan untuk membiayai kepentingan umum yang
akhirnya juga mencakup kepentingan pribadi individu seperti kepentingan rakyat, pendidikan, kesejahteraan
rakyat, kemakmuran rakyat dan sebagainya. Sehingga pajak merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan
Negara.
            Pemungutan pajak yang dilakukan oleh pemerintah merupakan sumber terpenting dari penerimaan
Negara. Lagipula penerimaan Negara dari pajak dapat dijadikan indicator atas peran serta masyarakat (sebagai
subjek pajak) dalam kontribusinya melakukan kewajiban perpajakan, karena pembayaran pajak yang
dilakukan akan dikembalikan lagi kepada masyarakat dalam bentuk tidak langsung. PPh Pasal 21 merupakan
pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan
dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh
wajib pajak orang pribadi dalam negeri.
Pajak Penghasilan Pasal 21 atau biasa disebut dengan PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa
gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan
dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam
negeri. Saat ini PPh pasal 21 harus menjadi perhatian bagi wajib pajak yang dikenakan PPh pasal 21, oleh
karena itu kita akan membahasnya secara perlahan-lahan agar mudah dimengerti.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah dan Apa saja Istilah-Istilah dalam PPh Pasal 21?
2. Apa Subjek PPh Pasal 21?
3. Apa saja Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 (Objek PPh Pasal 21)?
4. Siapa Pemotong PPh Pasal 21?
5. Kapan Saat Terutang Pajak?
6. Bagaimana Pengurangan yang Diperbolehkan?
7. Bagaimana Tarif Pajak dan Perhitungannya?
8. Bagaimana Hak dan Kewajiban Pemotong Pajak?
9. Bagaimana Hak dan Kewajiban Penerima Penghasilan?
10. Apa yang dimaksud dengan Keberatan dan Banding?
11. Bagaimana Akuntansi PPh Pasal 21?
12. Bagaimana Perhitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan dengan Mata Uang Asing?
13. Bagaimana Tarif Pemotongan PPh Pasal 21 bagi Penerima Penghasilan yang Tidak Mempunyai NPWP?

BAB 2
PEMBAHASAN
A. SEJARAH DAN ISTILAH-ISTILAH
Pengenaan pajak langsung sebagai cikal bakal dari pajak penghasilan sudah terdapat pada zaman
Romawi Kuno, antara lain dengan adanya pungutan yang bernama tributum yang berlaku sampai
dengan tahun 167 Sebelum Masehi.
Pengenaan pajak pajak penghasilan secara eksplisit yang diatur dalam suatu Undang-undang sebagai
Income Tax baru dapat ditemukan di Inggris pada tahun 1799. Di Amerika Serikat, pajak penghasilan
untuk pertama kali dikenal di New Plymouth pada tahun 1643, di mana dasar pengenaan pajak adalah
" A person's faculty, personal faculties and abilitites",
Pada tahun 1646 di Massachusetts dasar pengenaan pajak didasarkan pada "returns and gain".
“Personal faculty and abilities" secara implisit adalah pengenaan pajak penghasilan atas orang
pribadi, sedangkan "Returns and gain" berkonotasi pada pajak penghasilan badan. Tonggak-tonggak
penting dalam sejarah pajak di Amerika Serikat adalah Undang-Undang Pajak Federal tahun 1861
yang selanjutnya telah beberapa kali mengalami tax reform, terakhir dengan Tax Reform Act tahun
1986. Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (tax return) yang dibuat pada tahun 1860-an
berdasarkan Undang-Undang Pajak Federal tersebut telah dipergunakan sampai dengan tahun 1962.

Istilah-istilah yang harus dipahami terkait dengan pajak penghasilan orang pribadi ini antara lain:
1. Pejabat Negara adalah pejabat yang lingkungan kerjanya berada pada lembaga negara yang
merupakan alat kelengkapan negara beserta derivatifnya berupa lembaga negara pendukung. Pejabat
negara menjalankan fungsinya untuk dan atas nama negara.
2. Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah PNS-Pusat, PNS-Daerah, dan PNS lainnya yang ditetapkan
dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana diatur dalam UU No 8/1974.
3. Badan adalah sekumpulan orang/modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha
maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer,
perseroan lainya, badan usaha milik Negara atau badan usaha milik daerah keuangan dengan nama
dan dalam bentuk apapun
4. Pegawai adalah orang yang melaksanakan pekerjaan dengan mendapat imbalan jasa berupa gaji dan
tunjangan dari pemerintah atau perusahaan.
5. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183
hari dalam jangka waktu 12 bulan yang menerima atau memperoleh gaji, honorarium dan/atau
imbalan lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan.
6. Tenaga Lepas adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang hanya menerima imbalan
apabila orang pribadi yang bersangkutan bekerja.
7. Penerima pensiun adalah orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima atau memperoleh imbalan
untuk pekerjaan yang dilakukan di masa lalu, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang
menerima tunjangan hari tua atau jaminan hari tua.
8. Penerima Honorarium adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh imbalan sehubungan
dengan jasa, jabatan, atau kegiatan yang dilakukan.
9. Penerima Upah adalah orang pribadi yang menerima upah harian, upah mingguan, upah borongan,
atau upah satuan.
10. Upah Harian adalah upah yang terutang atau dibayarkan atas dasar jumlah harian kerja.
11. Upah Mingguan adalah upah yang terutang atau dibayarkan secara mingguan.
12. Upah Borongan adalah upah yang terutang atau dibayarkan atas dasar penyelesaian pekerjaan
tertentu.
13. Upah satuan adalah upah yang terutang atau dibayarkan atas dasar banyaknya satuan produk yang
dihasilkan.
14. Honorarium adalah imbalan atas jasa, jabatan, atau kegiatan yang dilakukan.
15. Hadiah atau penghargaan perlombaan adalah hadiah atau penghargaan yang diberikan melelui suatu
perlombaan atau adu ketangkasan.
16. Magang adalah aktivitas untuk memperoleh pengalaman dan atau keterampilan dan atau keahlian
sehubungan dengan pekerjaan yang akan dilakukan.
17. Bea Siswa adalah pembayaran kepada pegawai tetap, tidak tetap, dan calon pegawai, yang
ditugaskan oleh pemberi kerja untuk mengikuti program pendidikan yang ditetapkan oleh pemberi
kerja yang terikat dengan kontrak atau perjanjian kerja atau pembayaran yang dilakukan oleh suatu
institusi kepada orang pribadi yang tidak mempunyai ikatan kontrak atau perjanjian kerja untuk
mengikuti suatu program pendidikan.
18. Kegiatan adalah keikutsertaan dalam suatu rangkaian tindakan, termasuk mengikuti rapat,
sidang,seminar, lokakarya (workshop), pendidikan, pertunjukan, dan olahraga.
19. Kegiatan multilevel marketing atau direct selling adalah suatu sistem penjualan secara langsung
kepada konsumen yang dilakukan secara berantai oleh orang-perorangan sebagai distributor
perusahaan multilevel marketing atau direct selling.
20. Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang
muslim sesuai dengan ketentuan agam untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.

B. SUBJEK PPH PASAL 21


Subjek pajak orang pribadi dalam negeri
UU PPh secara umum menyebutkan penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan
yang dikenai PPh pasal 21. Penghasilan dimaksud bisa berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, uang
pensiun, dan pembayaran lain yang diterima atau diperoleh.
Dalam PER-16/PJ/2016, penerima penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 adalah orang pribadi dengan
status sebagai Subjek Pajak dalam negeri. Penerima Penghasilan yang dipotong pajak penghasilan pasal 21
adalah orang pribadi yang merupakan:
 pegawai;
 penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari
tua, termasuk ahli warisnya;
 bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pemberian jasa;
 anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada
perusahaan yang sama;
 mantan pegawai;
 peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya
dalam suatu kegiatan.

Subjek pajak orang pribadi bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan
dengan pemberian jasa meliputi:
 tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter,
konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
 pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan,
sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan
seniman lainnya;
 olahragawan;
 penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
 pengarang, peneliti, dan penerjemah;
 pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya,
telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu
kepanitiaan;
 agen iklan;
 pengawas atau pengelola proyek;
 pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
 petugas penjaja barang dagangan;
 petugas dinas luar asuransi;
 distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya.

Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam
suatu kegiatan bisa merupakan:
 peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olah raga, seni, ketangkasan, ilmu
pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya;
 peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja;
 peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu;
 peserta pendidikan dan pelatihan;
 peserta kegiatan lainnya

C. PENGHASILAN YANG DIPOTONG PPH PASAL 21 (OBJEK PPH PASAL 21)


1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat
teratur maupun tidak teratur.
2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh Penerima pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau
penghasilan sejenisnya.
3. Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan dengan
pensiun
yang diterima secara sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau
jaminan hari tua, dan pembayaran lain sejenis.
4. Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah
satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan.
5. Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sejenisnya
dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan
kegiatan yang dilakukan.
6. Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat,
honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis
dengan nama apapun.

D. PEMOTONG PPH PASAL 21


Para pemotong PPh 21 adalah:
1. Pemberi Kerja yang terdiri dari orang pribadi maupun badan, yang merupakan induk, cabang,
perwakilan atau unit perusahaan, yang membayar atau terutang gaji, upah, honorarium, tunjangan
dan pembayaran lain dengan nama apapun (mis: bonus, tunjangan, tantiem, dll)
2. Bendahara Pemerintah termasuk bendahara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau
lembaga pemerintah, lembaga-lembaga Negara lainnya dan Kedutaan Besar Republik Indonesia
di luar negeri.
3. Dana Pensiun atau badan lain (misalnya badan penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja)
yang memberi uang pensiun, tunjangan hari tua, dan tabungan hari tua.
4. Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta Badan yang
Membayar: honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa dan/atau
kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak Dalam Negeri dan Luar
Negeri, dan honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatih, dan magang.
5. Penyelenggara Kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi termasuk organisasi
internasional, perkumpulan, orang pribadi, serta lembaga lain yang menyelenggarakan kegiatan,
yang membayar honorarium, hadiah dan penghargaan dalam bentuk apapun kepada WP Dalam
Negeri orang pribadi berkenaan dengan suatu kegiatan.

E. SAAT TERUTANG PAJAK


Saat terutang pajak adalah pada saat:
1 Penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
.
2 Impor Barang Kena Pajak
.
3 Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean
.
4 Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean
.
5 Pembayaran, dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP atau sebelum pemanfaatan
. BKP tidak berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean
6 Saat ditetapkan lain oleh Ditjen Pajak
.
Saat terutang dalam rangka Perubahan Bentuk Usaha
Terutangnya Pajak atas penyerahan BKP dalam rangka perubahan bentuk usaha atau penggabungan usaha
atau pemekaran usaha atau pengalihan seluruh aktiva perusahaan yang diikuti dengan perubahan pihak yang
berhak atas BKP tersebut, terjadi pada saat ditandatanganinya akte yang berkenaan oleh Notaris.
Saat dimulainya pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan atau JKP dari Luar Daerah Pabean
Saat dimulainya pemanfaatan BKP tidak berwujud dan atau JKP dari luar Daerah Pabean adalah :
a. saat Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak secara nyata digunakan oleh pihak
yang memanfaatkannya;
b saat harga perolehan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dinyatakan sebagai
. utang oleh pihak yang memanfaatkannya;
c. saat harga jual Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau penggantian Jasa Kena Pajak ditagih oleh
pihak yang menyerahkannya;
d saat harga perolehan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah
. Pabean dibayar baik sebagian atau seluruhnya oleh pihak yang memanfaatkannya.

F. PENGURANGAN YANG DIPERBOLEHKAN


Secara umum pengurang yang terkait dengan usaha di atur di dalam Pasal 6 ayat 1 dan Pasal 9 ayat 1 UU
PPh. Setiap pengeluaran dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sepanjang berhubungan langsung
dengan kegiatan usaha dalam hal mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dan didukung
dengan bukti yang memadai (valid & reliable). Berikut ini adalah rinciannya.
1.       Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain:
a.       biaya pembelian bahan;
b.       biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus,
gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang;
c.        bunga, sewa, dan royalti;
d.       biaya perjalanan;
e.       biaya pengolahan limbah;
f.         premi asuransi;
g.       biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan;
h.       biaya administrasi; dan
i.         pajak kecuali Pajak Penghasilan;

G. TARIF PAJAK DAN PERHITUNGANNYA


Tarif PPh 21 pada dasarnya dibedakan menjadi 2, yaitu tarif PPh 21 untuk penerima penghasilan
(wajib pajak) yang memiliki NPWP dan penerima penghasilan (wajib pajak) yang tidak memiliki
NPWP.
a. Tarif Pajak Penghasilan PPh 21 Dengan NPWP
Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Penghasilan tahunan hingga Rp50.000.000 5%
Penghasilan tahunan di atas Rp50.000.000 – Rp250.000.000 15%
Penghasilan tahunan di atas Rp250.000.000 – Rp500.000.000 25%
Penghasilan tahunan di atas Rp500.000.000 30%
b. Tarif Pajak Penghasilan PPh 21 Tanpa NPWP
Bagi penerima penghasilan (wajib pajak) yang tidak punya NPWP, tarif yang dikenakan lebih tinggi
20% dari tarif yang diterapkan terhadap wajib pajak yang memiliki NPWP.
Berikut ini rincian tarifnya:
 Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar 120% dari jumlah PPh Pasal 21 yang
seharusnya dipotong dalam hal yang bersangkutan memiliki NPWP.
 Ketentuan di atas diterapkan untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final.
 Dalam hal pegawai tetap atau penerima pensiun berkala sebagai penerima penghasilan yang telah
dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP
dalam tahun kalender yang bersangkutan paling lama sebelum pemotongan PPh Pasal 21 untuk Masa
Pajak Desember, selisih pengenaan tarif sebesar 20% lebih tinggi tersebut diperhitungkan untuk
bulan-bulan selanjutnya setelah memiliki NPWP.
c. Cara Menghitung Pajak Penghasilan Pph 21 Tahun 2018
Untuk menghitung pajak penghasilan Pph 21 langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
1. Hitung penghasilan bruto Anda dalam setahun, seperti gaji pokok ditambah dengan tunjangan-
tunjangan lainnya.
2. Hitung Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), sesuai dengan status Anda.
3. Hitung pengurang lainnya seperti : Tunjangan Biaya Jabatan 5% & Iuran Pensiun 5% dari
penghasilan bruto, catatan: Tunjangan Biaya Jabatan Maksimal Rp. 6 juta per tahun, dan Tunjangan Iuran
Pensiun maksimal 2,4 juta per tahun.
4. Hitung Penghasilan netto Anda : Penghasilan Bruto – PTKP – Iuran Jabatan & Pensiun.
5. Kalikan Penghasilan Netto dengan tarif Pajak Penghasilan yang berlaku.

H. HAK DAN KEWAJIBAN PEMOTONG PAJAK


 Hak dan kewajiban pemotong pajak adalah sebagai berikut:
1. Pemotong pajak berhak untuk memperhitungkan kelebihan setoran PPh 21 dalam satu bulan takwin
dengan PPh 21 yang terutang pada bulan berikutnya dalam tahun takwim yang bersangkutan.
2. Pemotong Pajak berhak untuk memperhitungkan kelebihan setoran pada SPT Tahunan dengan PPh 21
yang terutang untuk bulan pada waktu dilakukan perhitungan tahunan dan jika masih ada sisa kelebihan,
maka diperhitungkan untuk bulan-bulan lainnya dalam tahun berikutnya.
3. Pemotong pajak berhak membetulkan sendiri SPT atas kemauan sendiri dengan menyampaikan
pernyataan tertulis dalam jangka waktu 2 tahun sesudah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa
Pajak atau Tahun Pajak, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.
4. Pemotong Pajak berhak untuk mengajukan surat keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan
Pajak Lebih Bayar, Surat Ketetapan Pajak Nihil Kurang Bayar.
5. Pemotong Pajak berhak mengajukan permononan banding secara tertulis dalam dengan alasan yang jelas
kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak. Permohonan banding ini dilakukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan
diterima, dilampiri dengan salinan surat keputusan tersebut.
6. Pemotong pajak dapat mengajukan permohonan untuk mengajukan permohonan untuk memperpanjang
jangka waktu penyampaian SPT Tahunan Pasal 21. Permohonan diajukan secara tertulis selambat-
lambatnya tanggal 31 Maret tahun takwim berikutnya dengan menggunakan formulir yang ditentukan
oleh Direktur Jenderal Pajak disertai surat pernyataan mengenai perhitungan sementara PPh 21 yang
terutang dan bukti pelunasan kekurangan pembayaran PPh 21 yang terutang untuk tahun takwin yang
bersangkutan.
7. Setiap pemotong pajak wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan
Pajak setempat. Kewajiban sebagai pemotong pajak berlaku juga terhadap organisasi internasional yang
tidak dikecualikan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.
8. Pemotong pajak mengambil sendiri formulir-formulir yang diperlukan dalam rangka pemenuhan
kewajiban perpajakannya pada Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat.
9. Pemotong pajak wajib menghitung, memotong, dan menyetorkan PPh 21 yang terutang untuk setiap
bulan takwim. Penyetoran pajak dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) ke Kantor
Pos atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah, atau Bank-bank lain
yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Anggaran, selambat-lambatnya tanggal 10 bulan takwim
berikutnya.
10. Pemotong pajak wajib melaporkan penyetoran tersebut sekalipun nihil dengan menggunakan Surat
Pemberitahuan (SPT) Masa ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat,
selambat-lambatnya pada tanggal 20 bulan takwim berikutnya. Apabila dalam satu bulan takwim terjadi
kelebihan penyetoran PPh 21, maka kelebihan tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh 21 yang
terutang pada bulan berikutnya dalam tahun takwim yang bersangkutan.
11. Pemotong pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh 21 baik diminta maupun tidak pada saat
dilakukannya pemotongan pajak kepada orang pribadi bukan sebagai pegawai tetap, penerimaan uang
tembusan pensiun, penerimaan Jaminan Hari Tua, penerima uang pesangon, dan penerima dana pensiun.
12. Pemotong pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh 21 Tahunan kepada pegawai tetap, termasuk
penerima pensiun bulanan, dengan menggunakan formulir yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak
dalam waktu 2 bulan setelah tahun takwim berakhir. Apabila pegawai tetap berhenti bekerja atau
pensiun pada bagian tahun takwim, maka bukti pemotongan diberikan oleh pemberi pekerja selambat-
lambatnya 1 bulan setelah pegawai yang bersangkutan berhenti bekerja atau pensiun.
13. Dalam waktu 2 bulan setelah tahun takwim berakhir, pemotong pajak berkewajiban menghitung kembali
jumlah PPh 21 yang terutang oleh pegawai tetap dan penerimaan pensiun bulanan menurut tarif yang
berlaku.
14. Setiap pemotong pajak wajib mengisi, menandatangani dan menyampaikan SPT Tahunan PPh 21 ke
Kantor Pelayanan Pajak tempat pemotong pajak terdaftar atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat. Surat
Pemberitahuan Tahun PPh 21 harus disampaikan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret tahun takwim
berikutnya. Ketentuan tersebut berlaku juga bagi pemotong pajak yang tahun pajak atau tahun bukunya
tidak sama dengan tahun takwim.
15. Pemotong pajak wajib menyetor kekurangan PPh 21 yang berutang apabila jumlah PPh 21 yang terutang
dalam suatu tahun takwim lebih besar daripada PPh 21 yang telah disetor. Penyetoran tersebut harus
dilakukan sebelum penyampaian SPT Tahunan PPh 21 selambat-lambatnya pada tanggal 25 Maret tahun
takwim berikutnya.
16. Pemotong pajak wajib melampiri SPT Tahunan PPh 21 dengan lampiran-lampiran yang ditentukan
dalam Petunjuk Pengisian SPT Tahunan PPh 21 untuk Tahun Pajak yang bersangkutan.

I. HAK DAN KEWAJIBAN PENERIMA PENGHASILAN


Hak–hak penerima penghasilan wajib pajak adalah sebagai berikut:
a. Wajib Pajak berhak meminta bukti pemotongan PPh Pasal 21 kepada pemotong pajak,
jumlah PPh Pasal 21 yang telah dipotong dapat dikreditkan dari pajak penghasilan untuk
tahun pajak yang bersangkutan kecuali PPh Pasal 21 yang bersifat final.
b. Wajib Pajak berhak mengajukan surat keberatan kepada Direktorat Jenderal Pajak, jika PPh
Pasal 21 yang dipotong oleh pemotong pajak tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.
c. Wajib Pajak berhak mengajukan permohonan banding secara tertulis dalam bahasa Indonesia
dengan alasan yang jelas kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak  terhadap keputusan
mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Kewajiban Penerima Penghasilan Kewajiban Penerima Penghasilan adalah sebagai berikut :
- Wajib Pajak wajib menyerahkan surat pernyataan kepada pemotong pajak, yang menyatakan
jumlah tanggungan keluarga pada suatu tahun takwim, untuk mendapatkan pengurangan
berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak PTKP. Penyerahan tersebut pada saat mulai bekerja,
atau pada permulaan menjadi subjek pajak dalam negeri atau mulai pensiun atau dalam hal
terjadi perubahan tanggungan keluarga menurut keadaan pada permulaan tahun takwim
- Wajib Pajak berkewajiban menyerahkan bukti pemotongan PPh Pasal 21 kepada :
1. Pemotong Pajak kantor cabang baru dalam hal yang bersangkutan dipindah tugaskan.
2. Pemotong Pajak tempat kerja yang baru dalam hal yang bersangkutan pindah kerja.
- Wajib Pajak berkewajiban menyerahkan SPT Tahunan PPh Pasal 21, jika Wajib Pajak
mempunyai penghasilan lebih dari satu pemberi kerja.

J. KEBERATAN DAN BANDING


 Keberatan adalah cara yang ditempuh oleh Wajib Pajak jika merasa tidak puas atau kurang puas atas
suatu ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya atau atas pemotongan / pemungutan oleh pihak
ketiga.
 Banding
Apabila Wajib Pajak masih belum puas dengan Surat Keputusan Keberatan atas keberatan yang
diajukannya, maka Wajib Pajak masih dapat mengajukan banding ke Badan Peradilan Pajak.
Syarat pengajuan banding adalah:

1. Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dalam waktu 3 (tiga) bulan
sejak keputusan keberatan diterima dilampiri surat Keputusan Keberatan tersebut.
2. Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding.

Pengadilan Pajak harus menetapkan putusan paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak Surat Banding
diterima. Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi
administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding
dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.

K. AKUNTANSI PPH PASAL 21


Lazimnya PPh Pasal 21 dibayar oleh karyawan melalui mekanisme pemotongan oleh pemberi kerja.
Namun pada prakteknya, kadang pemberi kerja menanggung PPh Pasal 21 tersebut, dan tak jarang juga yang
memberikan tunjangan PPh. 
a. PPh Pasal 21 ditanggung sendiri oleh penerima penghasilan
Pada tanggal 25 Oktober 2014, PT GOINGSATAN mencatat pembayaran gaji kepada pada karyawannya.
Jumlah gaji yang dibayarkan kepada seluruh karyawan bulan itu adalah Rp300.000.000,-. PT
GOINGSATAN memotong PPh Pasal 21 sebesar Rp18.750.000,-; Premi BPJS Kesehatan Rp3.750.000,-
dan Iuran Pensiun Rp7.500.000,-. Sehingga jumlah uang yang dibayarkan kepada karyawan sebesar
Rp270.000.000,- .
Maka jurnalnya adalah:

TANGGAL URAIAN DEBIT KREDIT

25 Oktober 2014 Biaya Gaji 300.000.000,-

Utang PPh Pasal 21 18.750.000,-

Utang Premi BPJS Kesehatan 3.750.000,-

Utang Iuran Pensiun 7.500.000,-

Kas 270.000.000,-
Jurnal pada saat penyetoran pajak dan iuran-iuran lainnya adalah:

TANGGAL URAIAN DEBIT KREDIT

25 Oktober 2014 Utang PPh Pasal 21 18.750.000,-

Utang Premi BPJS Kesehatan 3.750.000,-


Utang Iuran Pensiun 7.500.000,-

Kas 30.000.000,-

b. PPh Pasal 21 Ditanggung oleh Pemberi Kerja


Contohnya sama dengan contoh kasus pada huruf a), namun PPh Pasal 21-nya ditanggung oleh pemberi
kerja. Dalam hal PPh ditanggung oleh pemberi kerja, dan dicatat sebagai beban PPh Pasal 21, beban tersebut
harus dikoreksi positif karena tidak diperkenankan untuk dibebankan sebagaimana diatur oleh UU PPh.
Ayat jurnal pada saat pembayaran gaji:

TANGGAL URAIAN DEBIT KREDIT

25 Oktober 2014 Biaya Gaji 300.000.000,-

Beban PPh Pasal 21 18.750.000,-

Utang PPh Pasal 21 18.750.000,-

Utang Premi BPJS Kesehatan 3.750.000,-

Utang Iuran Pensiun 7.500.000,-

Kas 288.750.000,-
Ayat jurnal pada saat penyetoran pajak dan iuran-iuran lainnya:

TANGGAL URAIAN DEBIT KREDIT

25 Oktober 2014 Utang PPh Pasal 21 18.750.000,-

Utang Premi BPJS Kesehatan 3.750.000,-

Utang Iuran Pensiun 7.500.000,-

Kas 30.000.000,-

c. PPh Pasal 21 diberikan Tunjangan oleh Pemberi Kerja Tidak di-Gross Up


Dalam hal kepada pegawai diberikan tunjangan PPh Pasal 21, maka tunjangan tersebut merupakan tambahan
penghasilan yang juga harus dipotong PPh Pasal 21. Dalam memberikan tunjangan PPh Pasal 21 dikenal
istilah di-gross up dan tidak di-gross up. Sebenarnya UU PPh, PP No 94 tahun 2010 dan
PER-31/PJ/2012 tidak mengenal istilah gross up. Sehingga kita tidak akan menemukan contoh
perhitungannya di lampiran PER-31/PJ/2012. 
Untuk PPh Pasal 21 yang diberikan tunjangan namun tidak di gross up, berikut ilustrasi contoh:
PT KRISNALDI BERJAYA melakukan pembayaran gaji kepada para karyawan bulan Oktober pada tanggal
25 Oktober 2014. Gaji yang dibayarkan sebesar Rp300.000.000,- perusahaan memberikan tunjangan sebesar
Rp11.250.000,-. Perusahaan memotong PPh Pasal 21 sebesar Rp 27.000.000,-. premi BPJS kesehatan
Rp3.750.000,- dan iuran pensiun Rp7.500.000,- maka jurnalnya adalah:
Ayat jurnal pada saat pembayaran gaji:

TANGGAL URAIAN DEBIT KREDIT

25 Oktober 2014 Biaya Gaji 300.000.000,-

Beban PPh Pasal 21 11.250.000,-

Utang PPh Pasal 21 27.000.000,-

Utang Premi BPJS Kesehatan 3.750.000,-

Utang Iuran Pensiun 7.500.000,-

Kas 273.000.000,-

Ayat jurnal pada saat penyetoran pajak dan iuran-iuran lainnya:

TANGGAL URAIAN DEBIT KREDIT

25 Oktober 2014 Utang PPh Pasal 21 27.000.000,-

Utang Premi BPJS Kesehatan 3.750.000,-

Utang Iuran Pensiun 7.500.000,-

Kas 38.250.000,-
d. PPh Pasal 21 Diberikan Tunjangan Dengan di-Gross Up
Pada saat diberikan tunjangan pajak yang dihitung secara gross up, sebagaimana telah kita bahas di atas,
artinya jumlah pajak yang akan terutang per karyawan harus sama dengan besarnya tunjangan PPh Pasal
21. Secara umum rumus untuk menghitung tunjangan PPh Pasal 21 dengan cara di-gross up adalah:

N PENGHASILAN KENA
LAPISAN RUMUS GROSS UP
O PAJAK

1 Lapisan 1 Rp0 – Rp47.500.000 (PKP setahun – 0) x 5/95 + 0


Rp47.500.000 – (PKP Setahun – Rp47.500.000) x
2 Lapisan 2
Rp217.500.000 15/85 + Rp2.500.000

Rp217.500.000 – (PKP setahun – Rp217.500.000) x


3 Lapisan 3
Rp405.000.000 25/75 + Rp32.500.000

(PKP setahun – Rp405.000.000) x


4 Lapisan 4 >Rp 405.000.000
30/70 + Rp95.000.000

Melanjutkan contoh pada huruf c), apabila perusahaan membebankan biaya gaji sebesar Rp300.000.000,-,
maka besarnya tunjangan PPh Pasal 21 dihitung dengan:
(Rp300.000.000,- – Rp217.500.000,-) x 25/75 + Rp 32.500.000,- = Rp60.000.000,-
L. PERHITUNGAN PPH PASAL 21 ATAS PENGHASILAN DENGAN MATA UANG ASING
Contoh Menghitung Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Pegawai Tetap Penerima Penghasilan Dalam
Mata Uang Asing Sebagian Atau Seluruhnya
       
        Contoh menghitung pajak penghasilan Pasal 21 Pegawai Tetap penerima penghasilan dalam mata uang
asing sebagian atau seluruhnya, diambilkan dari ilustrasi Jacky. Jacky adalah seorang pegawai tetap
memperoleh gaji pada bulan Januari 20xx dalam mata uang asing sebesar US$2,000 sebulan. Kurs yang
berlaku untuk bulan Januari 20xx berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan adalah Rp11.250,00 per
US$1.00. Jacky berstatus menikah dengan 1 anak. Penghitungan PPh Pasal 21 dapat dipelajari dari
pembahasan di bawah ini.
Gaji sebulan adalah :US$ 2,000 x Rp11.250,00 Rp  22.500.000,00

Pengurangan:
Biaya Jabatan 5% x Rp22.500.000,00= Rp
1.125.000,00
Maksimum diperkenankan Rp     500.000,00(-)
Penghasilan neto sebulan Rp  22.000.000,00

Penghasilan neto setahun 12 x Rp 264.000.000,00


Rp22.000.000,00

PTKP setahun (K/1)* PMK No101 th 2016


- untuk WP sendiri Rp54.000.000,00
- tambahan karena menikah Rp  4.500.000,00
- tambahan untuk 1 orang anak Rp  4.500.000,00(+)
Rp  63.000.000,00(-)
Penghasilan Kena Pajak Rp 201.000.000,00

PPh Pasal 21 terutang setahun :


5% x Rp 50.000.000,00 Rp   2.500.000,00
15% x Rp151.000.000,00 Rp 22.650.000,00(+)
Total Rp 25.150.000,00

PPh Pasal 21 bulan Januari: Rp25.150.000,00 : 12 = Rp2.095.833,33


M. TARIF PEMOTONGAN PPH PASAL 21 BAGI PENERIMA PENGHASILAN YANG TIDAK
MEMPUNYAI NPWP
Ketentuan yang diatur dalam UU No 36 Tahun 2008, Pasal 21 ayat (5a), yang mengatur
bahwa tarif yang diterapkan terhadap wajib pajak yang tidak memiliki NPWP lebih tinggi
20% daripada tarif yang diterapkan terhadap wajib pajak yang dapat menunjukkan NPWP.
Ketentuan ini dipertegas kembali dalam Pasal 20, Peraturan Dirjen Pajak No PER-16/PJ/2016
tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal
21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang
Pribadi:
(1) Bagi penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 yang tidak memiliki NPWP dikenakan
pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif lebih tinggi 20% daripada tarif yang diterapkan terhadap
wajib pajak yang memiliki NPWP.
(2) Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar
120% dari jumlah PPh Pasal 21 yang seharusnya dipotong dalam hal yang bersangkutan memiliki
NPWP.
Dengan demikian, kamu perlu memotong pajaknya sebesar 120% dari tarif yang disebut
dalam Pasal 17. Sebagai contoh, dua orang karyawan masing-masing memiliki PKP setahun Rp
48.000.000, tetapi yang satu memiliki NPWP dan yang lainnya tidak punya. Maka perhitungan PPh
21 mereka juga berbeda, sebagai berikut:

Karyawan memiliki NPWP Karyawan tidak memiliki NPWP

PPh 21 setahun PPh 21 setahun


5% x Rp 48.000.000 Rp 2.400.000  120% x 5% x Rp 48.000.000 Rp 2.880.000

PPh 21 dipotong sebulan Rp 200.000 PPh 21 dipotong sebulan Rp 240.000

Contoh untuk karyawan dengan PKP Rp 60.000.000 setahun, perhitungan PPh 21-nya sebagai berikut:

Karyawan memiliki NPWP Karyawan tidak memiliki NPWP

5% x Rp 50.000.000 Rp 2.500.000 120% x 5% x Rp 50.000.000 Rp 3.000.000


15% x Rp 10.000.000 Rp 1.500.000 120% x 15% x Rp 10.000.000 Rp 1.800.000

PPh 21 setahun Rp 4.000.000 PPh 21 setahun Rp 4.800.000

PPh 21 dipotong sebulan Rp 333.333 PPh 21 dipotong sebulan Rp 400.000


Untuk itu, kita harus teliti sebelum menghitung dan memotong PPh 21 karyawan. Pastikan lebih dulu
apakah para karyawan punya NPWP atau tidak agar tidak terjadi salah hitung di slip gaji mereka.
BAB 3
PENUTUPAN

KESIMPULAN
Pajak Penghasilan Pasal 21 atau biasa disebut dengan PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan
berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun
sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek
Pajak dalam negeri. Saat ini PPh pasal 21 harus menjadi perhatian bagi wajib pajak yang dikenakan PPh
pasal 21, oleh karena itu kita akan membahasnya secara perlahan-lahan agar mudah dimengerti.
Pemungutan serta tarif pajak pph didasarkan atas undang – undang yang ada. Pajak merupakan
penyumbang terbesar bagi kas negara.

SARAN
Sebagai warga negara yang baik, kita harus sadar akan pentingnya pajak bagi negara dan kita sebagi
masyarakatnya. Adapun dalam peningkatan kesadaran, kita sebagai wajib pajak baiknya memenuhi
kewajiban-kewajiban yang ada dan menaati ketentuan-ketentuan itu sendiri agar dapat memaksimalkan
tujuan dari perpajakan ini sendiri. Pemungutan pajak pun sangat diharapkan dapat dipertanggung jawabkan
dengan sebaik-baiknya dan tidak disalahgunakan untuk segeltintir orang dengan mengingat pajak untuk
pembangunan bersama.
DAFTAR PUSTAKA

https://sites.google.com/site/referensipajak/contoh-menghitung-pajak-penghasilan-pph-pasal-21-pegawai-
tetap-penerima-penghasilan-dalam-mata-uang-asing-pph-sebagian-atau-seluruhnya-ditanggung-pemberi-
kerja-penerima-tunjangan-pph-penerima-natura-kenikmatan
https://www.kemendag.go.id/files/regulasi/2000/12/kdp545.htm
https://www.google.com/search?ei=VDqbXb_5ELS-
3LUPmpiIyAM&q=8.%09Penerima+Honorarium&oq=8.%09Penerima+Honorarium&gs_l=psy-
ab.3...1010.1010..2028...0.0..0.0.0.......0....2j1..gws-
wiz.nCxcMbJteaU&ved=0ahUKEwi_86G2nYrlAhU0H7cAHRoMAjkQ4dUDCAo&uact=5
http://www.transformasi.net/articles/read/73/update-pph-pasal-21.html

Anda mungkin juga menyukai