Anda di halaman 1dari 8

DEMAM TYPHOID ICD-9 002.0; ICD-10 A01.

0 (Demam enterik, Tifus Abdominalis)


DEMAM PARATIFOID ICD-9 002.1-002.9; ICD-10 A01.1 – A01.4 1.

Identifikasi Adalah penyakit sistemik yang disebabkan oleh bakteri ditandai dengan demam
insidius yang berlangsung lama, sakit kepala yang berat, badan lemah, anoreksia, bradikardi
relatif, splenomegali, pada penderita kulit putih 25% diantaranya menunjukkan adanya “rose
spot” pada tubuhnya, batuk tidak produktif pada awal penyakit, pada penderita dewasa lebih
banyak terjadi konstipasi dibandingkan dengan diare. Gejala lebih sering berupa gejala yang
ringan dan tidak khas. Pada demam tifoid dapat terjadi ulserasi pada plaques peyeri pada ileum
yang dapat menyebabkan terjadinya perdarahan atau perforasi (sekitar 1% dari kasus), hal ini
sering terjadi pada penderita yang terlambat diobati. 557 Dapat juga timbul demam tanpa disertai
keringat, gangguan berfikir, pendengaran berkurang dan parotitis. CFR pada waktu belum
ditemukannya antibiotika bisa mencapai 10 – 20%, saat ini CFR kurang dari 1% jika segera
diberikan pengobatan dengan antibiotika yang tepat. Tergantung pada jenis antibiotika yang
dipakai, penderita yang telah sembuh dapat mengalami relaps (kira-kira 15 – 20%), biasanya
penyakit lebih ringan dibandingkan dengan penyakit yang dialami pertama kali. Nomenklatur
baru berdasarkan hubungan DNA diusulkan untuk pemberian nama pada salmonella sesuai
dengan nomenklatur baru tersebut hanya ada dua species salmonella yaitu – Salmonella bongori
dan Salmonella enterica. Semua bakteri yang patogen terhadap manusia dikelompokkan kedalam
serovarian dibawah sub species I dan S. enterica. Dengan nomenklatur baru yang diusulkan
tersebut maka S. typhi akan berubah menjadi S. enterica serovarian Typhi dan disingkat dengan
S. Typhi (penulisannya tidak dengan huruf italik dan ditulis dengan huruf besar). Beberapa
badan resmi telah menggunakan nomenklatur yang diusulkan tersebut walapun sampai dengan
pertengahan tahun 1999 nomenklatur baru tersebut belum disahkan pemakaiannya. Pada bab ini
telah digunakan nomenklatur baru tersebut. Demam paratifoid memberikan gambaran klinis
yang sama dengan demam tifoid, namun cenderung lebih ringan dengan CFR yang jauh lebih
rendah. Ratio Distribusi Penyakit yang disebabkan oleh Salomnella enterica serovarian Typhi (S.
Typhi) dibandingkan dengan S. enterica serovarian Paratyphi A dan B (S. Paratyphi A, S.
Paratyphi B) kira-kira 10 : 1. Relaps dapat terjadi pada 3 – 4% dari kasus. Jika infeksi
Salmonella tidak terjadi secara sistemik maka manifestasinya hanya berupa gastro enteritis.
Organisme penyebab penyakit dapat diisolasi dari darah pada permulaan penyakit, sedangkan
pada urine dan tinja organisme baru dapat ditemukan seminggu setelah sakit. Konfirmasi
bakteriologis melalui pemeriksaan kultur sampel sumsum tulang adalah yang terbaik walaupun
pada penderita yang telah mendapatkan pengobatan antibiotika (kultur sampel sumsum tulang ini
dengan “recovery” mencapai 90 – 95%). Tes serologis seperti tes widal nilai diagnostiknya
rendah karena sensitivitas dan spesifisitasnya rendah.

2. Penyebab penyakit Demam tifoid disebabkan oleh S. Typhi, basil Tifoid. Untuk tujuan studi
epidemiologis maka prosedur pemeriksaan laboratorium “phage typing” dan “pulsed field gel
electrophoresis” dari S. Typhi mempunyai nilai yang tinggi untuk melakukan identifikasi
terhadap isolat. Untuk demam paratifoid dikenal ada 3 serovarians S. enterica yaitu : S.
Paratyphi A, S. Paratyphi B, S. Paratyphi C. Dikenal beberapa macam “phage types”.

3. Distribusi penyakit Penyakit ini tersebar merata diseluruh dunia. Insidensi penyakit demam
tifoid diseluruh dunia mencapai 17 juta setahun dengan jumlah kematian sebanyak 600.000
orang. Di Amerika Serikat demam tifoid muncul sporadis dan relatif konstan berkisar antara 500
kasus setahun selama bertahun-tahun (bandingkan dengan demam tifoid yang dilaporkan
sebanyak 2484 pada tahun 1950).Dengan memasyarakatnya perilaku hidup bersih dan sehat,
memasyarakatnya pemakaian jamban yang saniter maka telah terjadi penurunan kasus demam
Tifoid, dan yang terjadi di Amerika Serikat adalah kasus import dari daerah endemis. Sekarang
sering ditemukan strain yang resisten terhadap kloramfenikol dan terhadap antibiotika lain yang
umum digunakan untuk demam tifoid. 558 Kebanyakan isolat yang dikumpulkan pada tahun
90an dari Asia Tenggara, Asia Selatan, Timur Tengah dan Afrika Timur Laut adalah strain yang
membawa plasmid dengan faktor R yang membawa kode resistens terhadap berbagai jenis
antibiotika yang dulu umum dipakai untuk mengobati demam tifoid seperti kloramfenikol,
amoksisilin, trimetroprim/sulfametoksasol. Demam paratifoid muncul secara sporadis atau
muncul sebagai KLB terbatas, mungkin juga kejadiannya lebih banyak daripada yang
dilaporkan. DI AS dan Kanada demam paratifoid jarang teridentifikasi. Dari ketiga jenis demam
paratifoid, paratifoid B adalah yang paling sering ditemukan, paratifoid A lebih jarang dan yang
paling jarang adalah paratifoid C.

4. Reservoir Manusia merupakan reservoir bagi tifoid maupun paratifoid; walapun jarang
binatang peliharaan dapat berperan sebagai reservoir bagi paratifoid. Kontak dalam lingkungan
keluarga dapat berupa carrier yang permanen atau carrier sementara. Status carrier dapat terjadi
setelah serangan akut atau pada penderita subklinis. Sedangkan carrier kronis sering terjadi pada
mereka yang kena infeksi pada usia pertengahan terutama pada wanita; carrier biasanya
mempunyai kelainan pada saluran empedu termasuk adanya batu empedu. Status carrier kronis
pada saluran kemih terjadi pada penderita schitosomiasis. Pernah terjadi KLB demam paratifoid
di Inggris, sapi perah yang mengeluarkan mikroorganisme Paratyphi B didalam susu dan kotoran
mereka diketahui sebagai penyebab terjadinya KLB.

5. Cara-cara Penularan Penularan terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi
oleh tinja dan urin dari penderita atau carrier. Dibeberapa negara penularan terjadi karena
mengkonsumsi kerang-kerangan yang berasal dari air yang tercemar, buah-buahan, sayur-
sayuran mentah yang dipupuk dengan kotoran manusia, susu dan produk susu yang
terkontaminasi oleh carrier atau penderita yang tidak teridentifikasi. Lalat dapat juga berperan
sebagai perantara penularan memindahkan mikroorganisme dari tinja ke makanan. Di dalam
makanan mikroorganisme berkembang biak memperbanyak diri mencapai dosis infektif, dimana
dosisnya lebih rendah pada tifoid dibandingkan dengan paratifoid.

6. Masa Inkubasi Masa inkubasi tergantung pada besarnya jumlah bekteri yang menginfeksi;
masa inkubasi berlangsung dari 3 hari sampai dengan 1 bulan dengan rata-rata antara 8 – 14 hri.
Untuk gastroenteris yang disebabkan oleh paratifoid masa inkubasi berkisar antara 1 – 10 hari.

7. Masa Penularan Selama basil ditemukan didalam tinja selama itu dapat terjadi penularan,
biasanya terjadi penularan pada minggu pertama sakit dan selama periode konvalesens; waktu ini
dapat bervariasi (untuk paratifoid biasanya masa penularan berlangsung antara 1 – 2 minggu)
sekitar 10% dari penderita demam tifoid yang tidak diobati selama tiga bulan akan terus menerus
mengeluarkan basil setelah munculnya gejala awal dan 2 – 5% penderita akan menjadi carrier
kronis; sebagian kecil penderita yang terinfeksi oleh paratifoid dapat menjadi carrier permanen
pada kandung empedu. 559

8. Kerentanan dan kekebalan Setiap orang rentan terhadap infeksi, kerentanan ini meningkat
pada orang yang menderita akhlorhidria atau pada orang yang menderita infeksi HIV. Imunitas
spesifik relatif dapat timbul setelah seseorang mengalami infeksi baik yang menunjukkan gejala
klinis maupun pada mereka yang tapa gejala. Imunitas dapat juga muncul setelah pemberian
imunisasi. Didaerah endemis demam tifoid sering ditemukan pada anak prasekolah dan anak-
anak berusia 5 – 19 tahun.
9. Cara-cara pemberantasan

A. Cara-cara Pencegahan 1). Berikan penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya


mencuci tangan setelah buang air besar dan sebelum memegang makanan dan minuman,
sediakan fasilitas untuk mencuci tangan secukupnya. Hal ini terutama penting bagi mereka yang
pekerjaannya sebagai penjamah makanan dan bagi mereka yang pekerjaannya merawat penderita
dan mengasuh anak-anak.

2). Buanglah kotoran pada jamban yang saniter dan yang tidak terjangkau oleh lalat. Pemakaian
kertas toilet yang cukup untuk mencegah kontaminasi jari. Ditempat yang tidak ada jamban, tinja
ditanam jauh dari sumber air dihilir.

3). Lindungi sumber air masyarakat dari kemungkinan terkontaminasi. Lakukan pemurnian dan
pemberian klorin terhadap air yang akan didistribusikan kepada masyarakat. Sediakan air yang
aman bagi perorangan dan rumah tangga. Hindari kemungkinan terjadinya pencemaran
(backflow) antara sistem pembuangan kotoran (sewer system) dengan sistem distribusi air. Jika
bepergian untuk tujuan pikinik atau berkemah air yang akan diminum sebaiknya direbus atau
diberi bahan kimia.

4). Berantas lalat dengan menghilangkan tempat berkembang biak mereka dengan sistem
pengumpulan dan pembuangan sampah yang baik. Lalat dapat juga diberantas dengan
menggunakn insektisida, perangkap lalat dengan menggunakan umpan, pemasangan kasa.
Jamban konstruksinya dibuat sedemikian rupa agar tidak dapat dimasuki lalat.

5). Terapkan standar kebersihan pada waktu menyiapkan dan menangani makanan; simpan
makanan dalam lemari es pada suhu yang tepat. Perhatian khusus harus diberikan pada salad dan
makanan lain yang dihidangkan dalam keadaan dingin. Standar kebersihan ini berlaku untuk
makanan yang disiapkan dirumah tangga maupun yang akan disajikan untuk umum. Jika kita
kurang yakin akan standar kebersihan ditempat kita makan, pilihlah makanan yang panas dan
buah-buahan sebaiknya dikupas sendiri.

6). Lakukan pasteurisasi terhadap susu dan produk susu. Lakukan pengawasan yang ketat
terhadap sanitasi dan aspek kesehatan lainnya terhadap produksi, penyimpanan dan distribusi
produk susu. 7). Terapkan peraturan yang ketat tentang prosedur jaga mutu terhadap industri
yang memproduksi makanan dan minuman. Gunakan air yang sudah diklorinasi untuk proses
pendinginan pada waktu dilakukan pengalengan makanan.

8). Batasi pengumpulan dan penjualan kerang-kerangan dari sumber yang jelas yang tidak
tercemar. Rebuslah kerang sebelum dihidangkan. 560

9). Beri penjelasan yang cukup kepada penderita, penderita yang sudah sembuh dan kepada
carrier tentang cara-cara menjaga kebersihan perorangan. Budayakan kebiasaan mencuci tangan
dengan sabun setelah buang air besar dan sebelum menyiapkan makanan.

10). Promosikan pemberian air susu ibu kepada bayi yang sedang menyusui. Rebuslah susu dan
air yang akan dipakai untuk makanan bayi.

11). Carrier dilarang untuk menangani/menjamah makanan dan dilarang merawat penderita.
Lakukan identifikasi terhadap carrier dan lakukan pengawasan terhadap mereka. Pembuatan
kultur dari sampel limbah dapat membantu untuk menentukan lokasi carrier. Carrier kronis
harus diawasi dengan ketat dan dilarang melakukan pekerjaan yang dapat menularkan penyakit
kepada orang lain. Yang bersangkutan dapat dibebaskan dari larangan ini apabila sudah
memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu tiga kali berturut-turut sampel
tinja yang diperiksa menunjukkan hasil negatif, khusus untuk daerah endemis schistosomiasis
sampel yang diambil adalah sampel urin. Sampel diambil dengan interval satu bulan dan 48 jam
setelah pemberian antibiotika terakhir. Sampel yang baik adalah tinja segar. Dan dari tiga sampel
yang berturut-turut diambil dengan hasil negatif minimal satu sampel harus diambil dengan cara
melakukan lavemen/klisma. Penelitian yang dilakukan akhir-akhir ini menemukan bahwa
penggunaan derivat quinolone yang baru yang diberikan secara oral memberikan hasil yang baik
untuk mengobati carrier walaupun ada kelainan empedu; untuk mengetahui apakah telah terjadi
penyembuhan perlu dilakukan pemeriksaan kultur.

12). Untuk demam tifoid pemberian imunisasi tidak dianjurkan di AS. Saat ini imunisasi hanya
diberikan kepada mereka dengan risiko tinggi seperti petugas laboratorium mikrobiologis,
mereka yang bepergian kedaerah endemis, mereka yang tinggal didaerah endemis, anggota
keluarga dengan carrier. Vaksin yang tersedia adalah vaksin oral hidup yang mengandung S.
Typhi strain Ty21a (diperlukan 3 – 4 dosis dengan interval 2 hari), dan vaksin parenteral yang
beredar adalah vaksin dosis tunggal yang berisi Vi antigen polisakarida. Vaksin oral yang berisi
Ty21a jangan diberikan kepada penderita yang sedang mendapatkan pengobatan antibiotika atau
pengobatan anti malaria, mefloquine. Oleh karena sering menimbulkan efek samping yang berat
maka vaksin “whole cell” yang diinaktivasi dianjurkan untuk tidak digunakan. Vaksin dosis
tunggal yang mengandung Vi antigen polisakarida adalah vaksin pilihan, karena kurang
reaktogenik. Dosis booster perlu diberikan kepada mereka yang secara terus menerus
mempunyai risiko tertular. Booster diberikan dengan interval antara 2 – 5 thun tergantung jenis
vaksinnya. Demam paratifoid: ujicoba dilapangan dengan menggunakan vaksin oral tifoid
(Ty21a) memberikan perlindungan parsial terhadap paratifoid, namun perlindungan yang
diberikan tidak sebaik terhadap tifoid. 561 B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan
sekitarnya

1) Laporan kepada institusi kesehatan setempat; Tifoid wajib dilaporkan disebagian besar negara
bagian dan negara didunia, kelas 2A (Lihat tentang pelaporan penyakit menular).

2) Isolasi: Pada waktu sakit, lakukan kewaspadaan enterik; sebaiknya perawatan dilakukan
dirumah sakit pada fase akut. Supervisi terhadap penderita dihentikan apabila sampel yang
diambil 3 kali berturut-turut dengan interval 24 jam dan 48 jam setelah pemberian antibiotika
terakhir memberikan hasil negatif. Pengambilan sampel tidak boleh kurang dari satu bulan
setelah onset. Sampel yang diambil adalah tinja dan urin untuk penderita di daerah endemis
schistosomiasis. Jika salah satu sampel memberi hasil positif maka ulangi pembuatan kultur
dengan interval satu bulan selama 12 bulan setelah onset, sampai 3 kali beturu-turut sampel yang
diambil hasilnya negatif.

3) Disinfeksi serentak: Disinfeksi dilakukan terhadap tinja, urin dan alat-alat yang tercemar. Di
negara maju dengan fasilitas sistem pembuangan kotoran yang baik, tinja dapat dibuang
langsung kedalam sistem tanpa perlu dilakukan disinfeksi terebih dulu. Dilakukan pembersihan
menyeluruh. 4) Karantina: Tidak dilakukan

5) Imunisasi terhadap kontak: Pemberian imunisasi rutin terhadap anggota keluarga, petugas
kesehatan dengan vaksin tifoid kurang begitu bermanfaat walaupun mereka terpajan dengan
penderita tifoid. Namun vaksinasi masih bermanfaat diberikan kepada mereka yang terpajan
dengan carrier. Tidak ada vaksin yang efektif untuk demam paratifoid A.
6) Lakukan investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi: Sumber infeksi yang sebenarnya dan
sumber infeksi yang potensial harus diidentifikasi dengan cara melakukan pelacakan penderita
yang tidak dilaporkan, carrier dan melacak makanan, susu, air, kerang-kerangan yang
terkontaminsai. Seluruh anggota grup pelancong yang salah satu anggotanya adalah penderita
tifoid harus diamati. Titer antibodi terhadap purified Vi polysaccharide mengidentifikasikan
yang bersangkutan adalah carrier. Jika ditemukan tipe phage yang sama pada organisme yang
diisolasi dari penderita dan carrier menunjukan telah terjadi penularan.

7) Pengobatan spesifik: Meningkatnya resistensi terhadap berbagai macam strain menentukan


jenis obat yang dipakai untuk terapi secara umum, untuk orang dewasa ciprofloxacin oral
dianggap sebagai obat pilihan terutama untuk penderita tifoid di Asia. Belakangan ini dilaporkan
bahwa telah terjadi penurunan sensitivitas pada penelitian in vivo terhadap berbagai strain Asia.
Untuk strain lokal yang masih sensitf terhadap pengobatan maka obat-obatan oral seperti
kloramfenikol, amoksisilin atau TMP-SMX (untuk anak-anak) masih cukup efektif untuk
mengobati penderita akut. Sedangkan ceftriaxone obat parenteral yang diberikan sekali sehari
sangat bermanfaat diberikan kepada penderita obtunded atau kepada penderita dengan
komplikasi dimana tidak bisa diberikan pengobatan antibiotika oral. Pemberian kartikosteroid
dosis tinggi dalam jagka pendek dikombinasikan dengan pemberian antibiotika serta terapi
suportif membantu menurunkan angka kematian pada penderita berat. Untuk pengobatan kepada
carrier lihat uraian pada bagian 9A11 diatas. Penderita schistosomiasis yang menderita tifoid
selain 562 pemberian terapi untuk tifoidnya maka diberikan juga praziquantel untuk
menghilangkan kemungkinan cacing schistosoma membawa basil S. Typhi

C. Penanggulangan wabah

1) Lakukan pelacakan secara intensif terhadap penderita dan carrier yang berperan sebagai smber
peularan. Cari dan temukan media (air, makanan) yang tercemar yang menjadi sumber
penularan. 2) Lakukan pemusnahan terhadap makanan yang diduga sebagai sumber penularan.

2). Lakukan pasteurisasi atau rebuslah susu yang akan dikonsumsi. Singkirkan seluruh suplai
susu dan makanan yang diduga tercemar untuk tidak dikonsumsi pada saat sampai diketahui
bahwa susu dan makanan tersebut aman untuk dikonsumsi.
3). Terhadap sumber air yang diduga tercemar dilakukan klorinasi sebelum digunakan dengan
supervisi yang ketat. Apabila tindakan klorinasi tidak dapat dilakukan, air dari sumber yang
diduga tercemar tersebut jangan digunakan, semua air minum harus diklorinasi, diberi iodine
atau direbus sebelum diminum. 4). Pemberian imunisasi secara rutin tidak dianjurkan.

D. Implikasi bencana Di daerah/tempat penampungan pengungsi dimana persediaan air sangat


terbatas dan fasilitas pembuangan kotoran tidak memadai serta tidak ada pengawasan terhadap
makanan dan air, kemungkinan terjadi penularan demam tifoid sangat besar, apabila diantara
para pengungsi tersebut terdapat penderita aktif atau carrier. Untuk mencegah terjadinya
penularan dikalangan para pengungsi maka lakukan upaya untuk memperbaiki fasilitas
penyediaan air minum dan fasilitas pembuangan kotoran. Pemberian imunisasi bagi kelompok-
kelompok tertentu dapat dilakukan seperti terhadap anak sekolah, penghuni penjara, penghuni
fasilitas tertentu, personil/staf rumah sakit atau terhadap pegawai kantor pemerintahan
kabupaten/kota. Pemberian imunisasi terhadap kelompok ini cukup bermanfaat karena mereka
hidup dalam komunitas yang terorganisir.

E. Tindakan internsional

1) Untuk demam tifoid: pemberian imunisasi dianjurkan untuk diberikan terhadap para
wisatawan yang berkunjung kedaerah enemis, terutama apabila didaerah tersebut para wisatawan
diduga akan terpajang dengan air dan makanan yang tercemar atau wisatawan diduga akan
kontak dengan penduduk asli didaerah pedesaan. Imunisasi tidak diwajibkan bagi wisatawan
yang akan berkunjung kesuatu negara.

2) Untuk demam tifoid dan paratifoid manfaatkan pusat-pusat kerjasam WHO.

Anda mungkin juga menyukai