Anda di halaman 1dari 15

“BALI TOLAK REKLAMASI!

Analisis Teologis Ke(tidak)bijakan Reklamasi Teluk Benoa melalui


Dialog dengan Pemikiran Ekologis Hindu

Daniel Syafaat Siahaan*


Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan Negeri Sentani

Abstrak
Persoalan lingkungan hidup di Indonesia merupakan kenyataan yang
tak terhindarkan. Salah satu yang cukup menyita perhatian adalah persoalan
reklamasi teluk Benoa Bali. Artikel ini bermaksud untuk menganalisis
persoalan tersebut dari sudut pandang teologi Kristen dalam dialog dengan
konsep ekologi Hindu dari Vandana Shiva. Tujuannya agar ada analisis
teologi kontekstual yang mampu memaparkan persoalan ekologi dari sudut
pandang Kristen namun juga mempertimbangkan pemikiran dalam konteks
yang sementara dihadapi.

Kata kunci :Ekologi, Teologi, Benoa, Reklamasi, Vandana Shiva, Hinduisme.

Pendahuluan
Bali Tolak Reklamasi! Saat tulisan ini dibuat, spanduk dengan kalimat
seperti itu tak jarang ditemui di jamak tempat di Bali. Slogan tersebut
merupakan suara masyarakat Bali untuk menolak kebijakan pemerintah yang
mengijinkan pihak pengembang melakukan reklamasi Teluk Benoa. Bali, bagi
saya setidaknya, merupakan salah satu atau satu-satunya tempat di
Indonesia yang suasana alamnya masih sangat asri dan alami, meski sudah
jamak turis berkunjung baik domestik maupun internasional. Berdasarkan
pengamatan kasatmata, cepat saya menilai penyebab keindahan alam Bali
masih terjaga adalah karena mayoritas penduduk Bali beragama Hindu.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, tercatat persentase penganut agama
Hindu adalah sebesar 84,5%.1 Gampang sekali kita menemukan tempat-
tempat yang dianggap suci bagi kaum Hindu di Bali. Bukan hanya itu, banyak
pula pohon-pohon besar diberikan kain semacam sarung, karena dianggap
keramat. Kedekatan kepercayaan kaum Hindu dengan alam menjadi alas an
nyata terjaganya kenaturalan alam Bali.

1
Hindu (84,5%), Islam (13,3%), Kristen dan Katolik (1.7%), Buddha (0.5%), dilansir bps.go.id
Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang Dianut (2010 Census).

1
Berdasarkan hal tersebut, maka tak heran slogan Bali Tolak Reklamasi
begitu keras disuarakan oleh banyak masyarakat Bali. Kedekatan penduduk
Hindu Bali dengan alam menjadi tantangan bagi pemerintah maupun
pengembang yang hendak melakukan reklamasi Teluk Benoa. Pada titik ini,
saya sebagai seorang Kristen “terpaksa” menilik pemikiran Hindu mengenai
ekologi. Awalnya, ketika berkunjung ke Bali, saya terkesima melihat
keindahan panorama alam Bali. Hal itu mendorong saya memilih topik diskusi
Ekologis Hindu untuk saya diskusikan dalam tulisan ini.
Pada bagian awal, saya akan mengulas singkat mengenai kebijakan
Reklamasi Teluk Benoa. Berdasarkan ulasan itu, maka akan terlihat
keuntungan dan kerugian serta alasan-alasan yang melatarbelakangi
kebijakan reklamasi tersebut. Hasil ulasan tersebut kemudian akan saya
analisis berdasarkan sudut pandang teologi Kristen. Pada bagian ini, saya
akan berdialog dengan pemikiran Vandana Shiva, sebagai salah satu ekolog
Hindu.

Untung Rugi Reklamasi Teluk Benoa


Reklamasi secara sederhana mengubah kawasan perairan menjadi sebuah
daratan baru. Reklamasi daratan yang juga bisa disebut reklamasi,
merupakan proses membuat sebuah daratan baru. Daratan ini bias berasal
dari dasar laut atau juga sungai, yang kemudian daratan yang terbentuk
dinamakan tanah reklamasi atau landfill.2 Teluk Benoa adalah kawasan
wisata di Bali yang berada di wilayah Kuta Selatan. Reklamasi Teluk Benoa
ini dilakukan berdasarkan inisatif PT. Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI).
Niatan ini ternyata ditanggapi baik oleh pemerintah Kabupaten Badung.
Hadirnya wacana mengenai reklamasi teluk Bali ini melahirkan gerakan-
gerakan pro dan kontra. Salah satu gerakan kontra menamakan diri mereka
dengan sebutan ForBALI. ForBALI atau Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi
adalah gerakan akar rumput dari masyarakat sipil Bali. Gerakan ini terang-
terangan menentang rencana pengembang untuk membangun daratan baru
atau tanah reklamasi di Teluk Benoa, Bali Selatan yang luasnya sebesar 838
Hektar.3

2
https://id.wikipedia.org/wiki/Reklamasi_daratan, diakses pada 31 Mei 2016, pukul 18.36.
3
Surat Kabar ForBALI: Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi, Edisi 1 Tahun 2014, hal. 1.
Dalam situsnya, gerakan ForBALI merunut kronologi kebijakan
reklamasi Teluk Benoa sebagai berikut:
26 Desember 2012, izin reklamasi diberikan oleh Gubernur Bali kepada
PT. Tirta Wahana Bali Internasional (PT TWBI). Izin reklamasi yang
tersebut adalah untuk mereklamasi kawasan perairan yakni Teluk Benoa
yang berada di Kabupaten Badung. Luas daerah yang rencananya
direklamasi adalah 838 hektar. Izin ini diterbitkan dengan SK Nomor
2138/02-C/HK/2012 tentang Rencana Pemanfaatan dan Pengembangan
Kawasan Perairan Teluk Benoa.
Pada 16 Agustus 2013, SK tersebut dicabut melalui penerbitan SK
Gubernur Bali nomor 1727/01-B/HK/2013 tentang Izin Studi Kelayakan
Rencana Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah
Perairan Teluk Benoa Provinsi Bali. Tetapi, penerbitan SK tersebut tidak
seta-merta menghentikan proyek reklamasi tersebut. Karena sebenarnya
SK tersebut hanyalah revisi dari SK sebelumnya, dan tetap masih
memberikan ijin kepada PT. TWBI untuk tetap melakukan reklamasi
dengan penambahan kegiatan studi kelayakan di Teluk Benoa.
Penerbitan izin tersebut dilakukan dengan diam-diam dan kental kesan
manipulative. Selain hal tersebut, penerbitan ozon ini sebenarnya
berseberangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya, yakni
Perpres No 45 Thn 2011 tentang tata ruang kawasan perkotaan
Sarbagita, karna teluk benoa termasuk kawasan konservasi; serta Perpres
No 122 Thn 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil yang melarang reklamasi dilakukan di kawasan konservasi.
Di akhir masa jabatannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
mengeluarkan Perpres No 51 Thn 2014 Tentang Perubahan Atas Perpres
No 45 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan
SARBAGITA. Isi dari Perpres ini adalah mengganti status kawasan
konservasi pada Teluk Benoa menjadi zona penyangga atau kawasan
pemanfaatan umum.
Penerbitan Perpres No 51 Thn 2014 ini kemudian menghapuskan pasal-
pasal yang menyatakan Teluk Benoa adalah kawasan konservasi
sebagaimana yang disebutkan di dalam pasal 55 ayat 5 Perpres No 45
Tahun 2011. Bukan hanya itu, penerbitan Perpres ini juga mengurangi
besar luasan kawasan konservasi perairan dengan menambahkan frasa
“sebagian” pada kawasan konservasi Pulau Serangan dan Pulau Pudut.
Konsekuensinya adalah susutnya luas kawasan konservasi di wilayah
SARBAGITA. Perpres No 51 Thn 2014 dibuat semata-mata untuk
memberikan jalan kepada rencana reklamasi Teluk Benoa dengan luas
700 ha. Dengan diterbitkannya Perpres ini, maka otomatis PT. TWBI
memiliki izin lokasi reklamasi nomor 445/MEN-KP/VIII/2014 dari Menteri
Kelautan dan Perikanan di kawasan perairan Teluk Benoa yang meliputi
Kabupaten Badung dan Kota Denpasar Provinsi Bali seluas 700 hektar. 4

Dari penjelasan gerakan ForBALI, sangat kental terasa adanya


konspirasi antara pihak pemerintahan dan pengembang. Namun ternyata, di
pihak lain, muncul juga gerakan yang malah mendukung kebijakan reklamasi
4
http://www.forbali.org/id/mengapa-kami-menolak/, diakses pada 31 Mei 2016, pukul 18.36.
Teluk Benoa tersebut. Salah satu gerakan yang pro terhadap kebijakan
reklamasi ini adalah Gerakan Revitalisasi Nasional (GRN). Minggu, 20 Maret
2016, GRN Melakukan aksinya mendukung reklamasi Teluk Benoa. Seperti
dilansir okezone.comRatusan orang yang tergabung dari Gerakan Revitalisasi
Nasional (GRN) menggelar aksi unjuk rasa mendukung rencana reklamasi
berbasis revitaliasi Teluk Benoa, Bali, di Bundaran Hotel Indonesia (HI),
Jakarta Pusat. Rachman Tiro sebagai juru bicara aksi menandaskan alasan
urgensi reklamasi Teluk Benoa adalah sebagai bentuk revitalisasi wilayah
tersebut. Ia mengatakan: “Pulau Pudut yang berada di sekitar Teluk Benoa
perlahan-lahan tenggelam. Dengan melakukan reklamasi, pulau ini akan
terangkat kembali. Pulau itu dulu dijadikan lahan untuk berjualan masyarakat
sekitarnya. Namun, karena perlahan-lahan tenggelam, pulau itu ditinggalkan.
Dengan direklamasi, pulau muncul kembali dan bermanfaat secara
ekonomi.”5 Gubernur Bali juga mengungkapkan keuntungan besar yang akan
didapat apabila reklamasi Teluk Benoa dilakukan. Hasil feasibility study yang
telah disampaikan oleh Gubernur Bali menyatakan bahwa setiap harinya
dapat diestimasi akan terjadi perputaran uang sebesar 50 milyar rupiah di
pulau baru tersebut. Dengan demikian dapat dibayangkan, jika dengan
pengelolaan yang baik, maka rupiah-rupiah tersebut sudah tentu mampu
mensejahterakan masyarakatnya.6
Dari pemaparan tersebut, sangat gamblang kesan yang dapat
ditangkap adalah mengunggulkan keuntungan ekonomis dibandingkan
ekologis. Kebijakan ini benar-benar melekat dengan semangat kapitalisme,
dan sangat mengesampingkan keselamatan ekologi. Oleh karenanya, tak
heran mengapa masyarakat Bali begitu getol menyuarakan suara mereka
menolak reklamasi teluk Benoa ini. Dari sini, saya akan mendiskusikan topik
ini secara teologis, dengan berdialog dengan pemikiran ekologis Hindu.

Pembangunan Ekonomi dan Pemikiran di Baliknya


Joko Widodo menuliskan dalam akun pribadi media sosialnya demikian,
“Terlalu fokus terhadap ekonomi, membuat kita melupakan lingkungan. Oleh
5
http://news.okezone.com/read/2016/03/20/338/1340989/ini-alasan-reklamasi-teluk-benoa-
harus-dilakukan, diakses pada 2 Juni 2016, pukul 15.30.
6
Pemprov Bali. Dokumentasi Video Rapat Koordinasi dan Diskusi tentang Reklamasi Teluk
Benoa. 6 Agustus 2013.
sebab itu, perlu adanya keseimbangan. Pertumbuhan ekonomi harus berjalan
seiringan dengan terjaganya kualitas lingkungan kita.” 7 Pernyataan Jokowi ini
agaknya mewakili apa yang telah terjadi di Bali. Pembangunan yang marak
terjadi seolah tidak lagi memperhitungkan lingkungan yang dirusakkan
olehnya.
Ekonomi adalah alasannya. Pembangunan ekonomi dianggap lebih
penting dibanding menjaga lingkungan. Eksploitasi secara masif terhadap
alam dan sumber daya alam di planet bumi dimulai bersamaan dengan
datangnya Revolusi Industri kurang lebih 200 tahun lalu. 8 Sejak Revolusi
Industri, ideologi Kapitalisme pun mulai berkembang. Segala sesuatu
ditentukan oleh pemilik modal. Franz Magnis-Suseno mengatakan bahwa
dasar ideologi Revolusi Industri adalah pertumbuhan. 9 Segala sesuatu diukur
oleh pertumbuhan, yakni pertumbuhan ekonomi. Ekologi tidak lagi penting
apabila tidak dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi. Bahkan, negara-
negara totaliter sosialis komunis tidak perlu memperhatikan reaksi
masyarakat, sehingga dengan terang-terangan menggadang bahwa satu-
satunya hukum yang berlaku adalah pertumbuhan ekonomi. 10
Apabila dicocokkan dengan teori Hallman mengenai nilai-nilai yang
dominan yang sedang memengaruhi masyarakat kontemporer, hal tersebut
terjadi karena keserakahan manusia.11 Manusia dengan keserakahannya
lebih mementingkan kepentingan dirinya sendiri dibandingkan memikirkan
keberlanjutan lingkungan alam. Alam hanyalah dipandang sebagai objek,
kemudian manusia dengan leluasa menguasai, memanfaatkan dan
memanipulasi sumber daya yang ada di alam. Pemanfaatan ini dilakukan
dengan sesuka hati, karena menganggap alam disediakan untuk dirinya.
Singgih dalam bukunya menyatakan, ada dua pendekatan dalam
tanggapan terhadap isu kerusakan ekologis: pertama, pendekatan yang
bersumber dari keserakahan manusia yang menganggap alam ini sebagai
7
https://m.facebook.com/profile.php?
v=timeline&timecutoff=1424301196&sectionLoadingID=m_timeline_loading_div_1420099199_1388
563200_8_&timeend=1420099199&timestart=1388563200&tm=AQDm9UuOQtujwuDa&id=2763595
12474040, diakses pada Rabu, 16 Maret 2016, pukul 13.25.
8
Borrong, Etika Bumi Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), hal. 47.
9
Suseno, “tanggung Jawab terhadap Lingkungan Hidup dari Perspektif Gereja Katolik”,
dalam Refleksi XV/1/92, hal. 18.
10
Ibid.
11
David G. Hallman, Spiritual Values for Earth Community (Geneva: World Council of
Churches, 2012), hal. 1.
objek dan berada di luar dirinya sehingga terjadi eksploitasi habis-habisan.
Kedua, pemahaman tentang manusia sebagai mahkota ciptaan (Imago Dei)
yang tentu lebih tinggi dari ciptaan lainnya. Hal ini membuat manusia
cenderung menganggap bahwa ciptaan lainnya adalah benda yang tidak
berjiwa yang dapat dimakan dan dieksploitasi habis-habisan. 12 Agaknya,
pendekatan pertama merupakan alasan yang lebih mendekati untuk konteks
reklamasi Teluk Benoa.
Ada pandangan yang menganggap bahwa ada susunan hierarkhis
yang berlaku mengenai keterhubungan ciptaan, antara ciptaan yang satu
dengan yang lainnya. Pandangan ini juga terdapat dalam semangat ideologi
antroposentrisme. Dari sudut pandang ekofeminis, krisis ekologi disebabkan
oleh cara pandang antroposentris yakni cara pandang yang berpusat pada
manusia.13 Pandangan antroposentris menjadikan manusia sebagai pusat
dari segala sesuatu, yakni ciptaan. Dalam pandangan ini, manusia sebagai
makhluk yang memiliki akal dan bisa berpikir memanipulasi nilai dan makna
dan menganggap bahwa nilai tertinggi dari kehidupan adalah manusia,
sedang alam dan semua yang ada di dalamnya hanyalah objek. Objek ini
kemudian dijadikan alat pemuasan kepentingan dan kebutuhan hidup dari
manusia. Karena manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta, maka
manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam
tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitannya
dengan alam.14
Kebijakan-kebijakan seringkali diambil berdasarkan keuntungan
terhadap manusia. Apabila terdapat dua pilihan, yang satu menguntungkan
manusia dan merugikan alam, kemudian yang satunya merugikan manusia
dan menguntungkan alam, maka kecendrungannya akan memilih pilihan
pertama. Alam seringkali dikorbankan dalam pemilihan dan pembuatan
kebijakan-kebijakan yang dilakukan manusia. Demi kesejahteraan dan
kenyamanan hidup manusia, alam disulap menjadi kota, tanah pertanian yang

12
Singgih, Menguak Isolasi Menjalin Relasi: Teologi Kristen dan Tantangan Dunia
Postmodern (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), hal. 183.
13
Sururi, Merawat Bumi: Sebuah Pemikiran Ekofeminis dalam Perspektif Etika Lingkungan
Sebagai Alternatif Baru Pelestarian Lingkungan Hidup di Indonesia (Yogyakarta:Intan Cendikia,
2011), hal. 8-9
14
Ibid., hal. 69.
subur dan sumber-sumber alam diambil dan diolah untuk memenuhi
kebutuhan dan tuntutan keinginan manusia.15
Sikap antroposentris yang menganggap manusia sebagai pusat
seluruh ciptaan, membuat manusia bersikap manipulatif, eksploitatif, dan
destruktif terhadap lingkungan. 16 Pandangan hierarkhis yang mengakar dalam
imajinasi manusia bahwa manusia adalah pusat seluruh ciptaan membuat
manusia bersikap kepada alam berdasarkan asas manfaat. Tumbuh-
tumbuhan dan hewan yang juga adalah makhluk hidup dianggap sebagai
subordinat dari manusia, dan kegunaannya hanyalah sebagai objek pemuas
kebutuhan manusia. Oleh karenanya, penguasaan terhadap lingkungan
dianggap hal yang wajar. Pandangan antroposentris demikian mengikis
kesadaran pemikiran kosmosentris.
Maka sebenarnya dapat dikatakan bahwa pandangan hierarkhis
mengenai alam dan manusia ini juga berdampak terhadap pemolaan
hierarkhis dalam struktur masyarakat itu sendiri. Apabila alam dipandang
sebagai subordinat, dan manusia di atasnya, maka seringkali alam dirugikan
demi keuntungan manusia itu sendiri. Tetapi, berdasarkan sudut pandang
tersebut, terjadi pula susunan-susunan hierarkhis dalam masyarakat.
Masyarakat menengah ke bawah dianggap sebagai subordinat, dan pemilik
modal berada di atasnya. Kerugian juga kerap dialami oleh masyarakat
kalangan bawah ini, akibat kebijakan-kebijakan yang mendukung para
kapitalis.
Efek yang ditimbulkan bagai efek domino. Pertama, alam dijadikan
sebagai subrodinat dan dieksploitasi sumber dayanya demi keuntungan
manusia. Kemudian kedua, ternyata eksploitasi alam tersebut juga memiliki
dampak negatif terhadap masyarakat menengah ke bawah, karena
eksploitasi alam kebanyakan dilakukan oleh kaum kapitalis. Kemudian ketiga,
apabila tetap terus berlanjut, maka kerusakan ekologi yang parah terjadi, dan
merugikan seluruh ciptaan, baik manusia, tumbuhan, maupun hewan.

Berdialog dengan Pemikiran Ekolog Hindu Vandana Shiva

15
Borrong, Etika Bumi Baru, hal. 31.
16
Sudhiarsa, “Merumuskan Tanggung Jawab Iman dan Keberpihakan pada Lingkungan
Hidup”, dalam A. Sunarko dan A. Eddy Kritiyanto (Eds.) Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi:
Tinjauan Teologis atas Lingkungan Hidup (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hal. 179.
Vandana Shiva lahir pada 5 November 1952. Ia merupakan cendekiawan,
aktivis lingkungan, dan penulis anti-globalisasi yang berasal dari India.17 Ia
adalah fisikawan, filsuf dan feminis, dan juga merupakan Direktur Lembaga
Penelitian Ilmu, teknologi dan Kebijakan Sumber Alam, Dehradun, India. Ia
pernah berkecimpung aktif dalam Gerakan Chipko. Ia juga merupakan
seorang kritikus pedas perkembangan teknologi pertanian dan teknologi
reproduksi mutakhir. Secara ekstensif beliau menulis mengenai wanita,
ekologi dan filsafat ilmu pengetahuan.
Shiva dan Bandyopadhyay dalam tulisannya menghadirkan peristiwa
konkrit keberpihakan pemerintah negara bagian Madhya Pradesh dan Bihar
terhadap kapitalisme dibanding masyarakat menengah ke bawah. 18 Baru-baru
ini diusahakan oleh departemen kehutanan di negara bagian Madhya
Pradesh dan Bihar untuk menanam kayu jati dan pinus yang bernilai
komersial dengan menghancurkan hutan-hutan sal tradisional yang menurut
para pakar hutan tidak produktif. Padahal, pohon sal bagi penduduk setempat
memainkan peranan sentral dalam ekonomi dan kebudayaan. Mereka
memakai bijinya untuk membuat minyak, daunnya untuk pakan ternak,
bunganya untuk makanan dan minuman, serta kulit kayunya untuk obat-
obatan (pasien-pasien diabetis dapat disembuhkan dengan minum air yang
disimpan di dalam cangkir yang terbuat dari kayu Sal). Dengan demikian,
pohon sal rupanya adalah bagian integral yang lekat dengan kehidupan
sosial, religius, kultural, dan ekonomis mereka. Bagi pemikiran ekologis
Hindu, selalu ada keterkaitan antara krisis ekologis dengan krisis
kebudayaan. Sehingga, setiap usaha yang tidak berpihak kepada alam dan
masyarakat adalah termasuk penyerangan terhadap kebudayaan mereka.
Pola serupa dapat kita lihat juga dalam kasus reklamasi Teluk Benoa
ini. Ironis memang, di negara yang membopong semangat demokrasi,
pemerintah tetap melanggengkan maksud pemilik modal untuk merusak alam
dengan alasan mendongkrak ekonomi, dan mengabaikan suara rakyat yang
berteriak memohon penghentian mega proyek ini. Seperti yang jamak
diketahui bahwa masyarakat Hindu Bali memiliki tradisi upacara pemakaman

17
https://id.wikipedia.org/wiki/Vandana_Shiva, diakses pada Kamis, 17 Maret 2016, pukul
17.15.
18
Shiva dan Bandyopadhyay, “Penilaian Teknologi oleh Rakyat”, dalam W. Fernandes dan R.
Tandon (eds.), Riset Partisipatoris: Riset Pembebasan (Jakarta: Gramedia, 1993), hal. 138.
yang unik. Umat Hindu Bali, dalam melakukan upacara pemakaman,
mengembalikan jasad manusia ke dalam lima unsur yang membentuk tubuh
itu, salah satunya yaitu air. Upacara ini disimbolisasikan dengan membuang
abu hasil pembakaran mayat ke dalam laut. Maka dapat dibayangkan, apabila
reklamasi dilakukan, masyarakat Hindu Bali lokal, khususnya yang berada di
kawasan Teluk Benoa akan kehilangan hak untuk melaksanakan upacara
keagamaan mereka. Hal ini tentu bisa terjadi, apabila wilayah tersebut telah
diprivatisasi, maka apabila masyarakat lokal hendak melaksanakan upacara
Ngaben, masyarakat harus mendapat ijin dari pemilik hotel ataupun resort di
tempat reklamasi tersebut. Tentu ada alternative lain, yang tentunya lebih
merepotkan pula, yakni memindahkan pelaksanaan upacara tersebut ke
pantai lain, yang bukan kawasan reklamasi.
Bukan hanya mengkritik kebijakan pemerintah yang tidak berpihak
terhadap masyarakat, Shiva juga mengkritik ideologi Barat yang mengagung-
agungkan ilmu pengetahuan dan paradigma pertumbuhan ekonomi. Ia
menuliskan:
Contemporary development activity in the third world superimpose the
scientific and economic paradigms created by Western, gender-based
ideology on communities in other culture. 19

Shiva menganggap pemikiran hierarkis patriarkal telah menimbulkan budaya


penindasan, bukan hanya terhadap wanita, tetapi juga terhadap alam.
Tatanan kosmis dianggap memiliki susunan hierarki, manusia lebih tinggi
dibanding alam, laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan, dan susunan-
susunan non-egaliter lainnya. Sehingga, menurut Shiva, penting bagi wanita
untuk memperjuangkan kesetaraan dan melawan kekerasan akibat hierarki
patriarkal. Ia menjelaskan:
Women, as victims of the violence of patriarchal forms of the development,
have risen against them to protect nature and preserve their survival and
sustenance. Indian Women have been in the forefront of ecological
struggles, to conserve forests, land, and water. They have challenged the
Western concept of nature as an object of exploitation and have protected
it as Prakriti, the living force that supports life.20

Contoh buah pemikiran ideologi Barat yang tidak berpihak pada alam
dan masyarakat menengah kebawah diidentifikasikan oleh Shiva terwujud
19
Shiva, The Vandana Shiva Reader (Lexington: University Press of Kentucky, 2014), p. 253.
20
Ibid.
dalam kebijakan WTO (World Trade Organization) yakni Persetujuan tentang
Pertanian (AoA: Agreement of Agriculture) WTO dan perjanjian Hak
Kekayaan Intelektual menyoal Perdagangan (TRIPs: Trade Related
Intellectual Property Rights).21 Ia menganggap kebijakan tersebut merupakan
perampokan, yang mengakibatkan keuntungan besar bagi koprorasi-
korporasi besar, sedangkan rakyat kecil dan alam menjadi tumbal. Mengenai
AoA ini, Prof. Bana sudah pernah menyinggung dalam kelas beberapa waktu
lalu, yakni liberalisasi perdagangan di bidang pertanian. Produk pertanian
baik di dunia pertama maupun dunia ketiga menjadi bebas diperdagangkan
(ekspor-impor), sehingga mengakibatkan persaingan yang sangat jelas
mengisyaratkan kemenangan korporasi agrobisnis Amerika Serikat dan
kematian pertanian-pertanian lokal ataupun rakyat kecil. Mengenai TRIPs,
Shiva menjelaskan bahwa dalam perjanjian ini ditentukan aturan global
tentang hak paten, hak cipta dan juga merek dagang, yang cakupannya
meluas hingga pengaturan sumber hayati. Dengan aturan-aturan ini, segala
jenis gen, sel, benih, tanaman dan juga binatang menjadi dapat dipatenkan
dan secara tidak langsung “dimiliki” sebagai kekayaan intelektual. Sehingga,
produksi dan perdagangan produk hayati menjadi monopoli kaum kapitalis
dan secara perlahan membunuh petani kecil.
Shiva mengkritik kebijakan-kebijakan tersebut. Dalam kebudayaan dan
tradisi suci Hindu, para petani diwajibkan untuk melakukan aktivitas
penyimpanan benih, sebagai bentuk tanggung jawab moral dan tradisi suci.
Tetapi, berdasarkan peraturan TRIPs ini, kegiatan tersebut malah dapat
diidentifikasi sebagai tindakan kriminal dan perampokan “kekayaan”
intelektual. Shiva juga mengkritik hak paten yang diberlakukan untuk
memonopoli produk hayati. Ia menjelaskan kebijakan tersebut telah
menganggap bahwa benih, tanaman, domba, lembu, atau galur sel manusia
merupakan “hasil-hasil pemikiran” (products of the mind) yang “diciptkan oleh
Monsanto, Novartis, Ian Wilmut, ataupun berbagai korporasi besar lain
semacamnya. Padahal, pada hakikatnya organisme memiliki kapasitas
instrinsik untuk penataan dirinya, mereka juga membentuk dirinya sendiri.

21
Shiva, “Peraturan Pertanian WTO: Ancaman bagi Para Petani Dunia Ketiga”, dalam
Globalisasi Kemiskinan dan Ketimpangan (Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003), hal.
137.
Dengan demikian, organisme tidak bisa direduksi menjadi status “barang
temuan” dan “barang ciptaan” dari si pemegang paten. 22
Kebijakan-kebijakan seperti, AoA, TRIPs, ataupun Green Revolution 23
yang membopong semangat agrikultur kapitalis yang tidak berpihak pada
petani kecil dan juga ekologi merupakan ancaman bagi iman, martabat, dan
kehormatan orang Hindu India. Di titik inilah kemudian Shiva menganggap
bahwa krisis yang terjadi pada alam, adalah merupakan bagian integral dari
krisis terhadap kebudayaan, bahkan keagamaan. Menurut sudut pandang
kosmologi India,24 dunia ini diciptakan dan diperbarui oleh proses dialektis
antara penciptaan dan perusakan, penyatuan dan perpecahan. Ketegangan
yang muncul merupakan akibat dari adanya pertentangan-pertentangan (yang
ahirnya memicu pergerakan), dan digambarkan sebagai kemunculan pertama
energi dinamis (Shakti). Segala sesuatu di alam muncul dari energi primordial
ini, yang merupakan substansi dan perlindungan segala sesuatu. Perwujudan
kekuatan yakni energi inilah yang kemudian disebut alam (Prakriti). Alam,
yang hidup maupun tidak, merupakan pernyataan Shakti, yang merupakan
prinsip feminim, kreatif dan kosmos.
Shiva menjelaskan prinsip feminis yang terdapat dalam kepercayaan
Hindu sebagai dasar pemikiran untuk mengembalikan martabat dan
kehormatan wanita bahkan alam (Prakriti). Manusia, tanaman, dan ciptaan
lainnya sebenarnya memiliki nilai intrinsik sendiri sebagai subjek, tetapi oleh
sains telah direduksi menjadi objek dan tidak memiliki nilai intrinsik. 25 Shiva
menjelaskan salah satu contoh pereduksian yang telah dilakukan oleh sains
terhadap manusia, demikian:
Penanganan persalinan telah dikaitkan terhadap mekanisasi tubuh
perempuan menjadi seperangkat bagian yang bisa difragmentasikan,
dipuja-puja dan bagian yang dapat dipindahkan, yang diatur oleh para
apakar profesional. Seorang perempuan yang sedang hamil tidak banyak
dilihat sebagai sumber regenerasi manusia, tapi hanyalah sebagai ‘bahan
baku’ dari mana ‘produk’nya –si bayi- dilahirkan. Dalam situasi demikian,
bukan ibu yang dipandang telah berjasa melahirkan anak tapi sang
22
Ibid., 143-144.
23
Shiva, “Let Us Survive: Women, Ecology and Development”, in R.R. Ruether, Women
Healing Earth: Third World Women on Ecology, Feminism, adn Religion (Maryknoll: Orbis Books,
2000), p. 72.
24
Shiva, Bebas dari Pembangunan: Perempuan, Ekologi dan Perjuangan Hidup di India
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997), hal. 49.
25
Shiva dan Mies, Ecofeminism: Perspektif Gerakan Perempuan dan Lingkungan
( Yogyakarta: IRE Press, 2005), hal. 31-36.
dokterlah. ... Pada awalnya, fokus perhatiannya terletak pada sang ibu,
dan kesatuan organik dari ibu dan bayi, tetapi kini hanya terpusat pada
‘hasil janin’ yang dikontrol oleh para dokter. Rahim perempuan telah
direduksi menjadi sebuah wadah yang tidak berdaya. 26

Shiva menegaskan bahwa pemikiran demikian merupakan sesat pikir


dan pengkhianatan terhadap Ibu, kaum wanita. Ia kemudian mengidentikan
tanah (alam) sebagai Ibu yang disucikan. 27Di dalam Sastra Suci Hindu,
Atharvaveda (12,1.12) dinyatakan:
Mātā bhūmih putro’ham pṛtivyāh
Bumi adalah ibuku dan aku adalah anaknya.
Shiva mengidentifikasikan hubungan antara manusia dengan alam adalah
seperti anak dengan Ibu. Alam sebenarnya telah memberikan kehidupan bagi
manusia. tetapi kemudian manusia berkhianat terhadap Ibunya yang telah
melahirkan, dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang
sama sekali tidak berpihak kepada alam. Reklamasi menurut saya
merupakan salah satu buah dari ilmu pengetahuan dan juga teknologi yang
mutakhir. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini akhirnya
memampukan manusia “mengubah” lautan menjadi daratan. Apabila
fenomena ini dilihat berdasarkan kacamata Shiva, maka alam kemudian
dijadikan sebagai sebuah produk teknologi dan ilmu pengetahuan. Dengan
kata lain, dalam proses kelahiran, bukanlah Ibu yang menjadi pahlawan,
melainkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimonopoli oleh “sang
dokter”. Shiva menyimpulkan perkembangan dari teknologi dan ilmu
pengetahuan yang tidak berpihak terhadap alam merupakan akhir dari
perkembangan itu sendiri. Ia menuliskan:
An acceleration of erosion of resources and poisoning of ecosystems are
the inevitable outcome of scientific and technological change which has
become an end in itself and is not guided by criteria of choice related to
resources and needs. The values of Artha (resources) and Kama (needs)
are no longer primary. And there is no place for Dharma, the stabiliser in
the contemporary scheme of things.28

Jadi, sivilisasi yang diharapkan tercipta dan bertahan adalah sivilisasi yang
bertahan tanpa merusak hak yang lain (orang lain dan ciptaan yang lain,

26
Ibid., hal. 32.
27
Ibid., hal. 115.
28
Vandana Shiva, “Anticipating the Future of Ecosystems”, in Bangalore Theological Forum
(Vol. XVII, No. 3, July-Sept. 1985), p. 45.
alam) untuk hidup dan bertahan. Sivilisasi yang demikianlah diharapkan
menjadi tuntunan dan pedoman bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.29

Penutup
Bali Tolak Reklamasi, hingga kini masih dan terus akan didengungkan sampai
ada keputusan final membatalkan rencana reklamasi teluk ini. Mudah
membayangkan kemungkinan buruk yang akan terjadi terhadap alam apabila
mega proyek ini tetap dijalankan. Iming-iming keuntungan ekonomis masih
begitu menggiurkan bagi sebagian kalangan yang tidak peduli sama sekali
terhadap alam. Melalui peristiwa ini, kesadaran terhadap alam kembali
digugah untuk kembali menyadari posisi egaliter alam dan manusia, bahkan
alam harusnya lebih superior dibanding manusia! Tanpa manusia, rasa-
rasanya alam dapat hidup, tetapi tidak demikian dengan manusia. Manusia
tanpa alam, siapa yang dapat membayangkan? Vandana Shiva dan
pemikiran ekologis Hindu memberikan analogi yang logis mengenai
hubungan alam dan manusia, bagai Ibu dan anak. Dengan pemikiran
tersebut, reklamasi Teluk Benoa hanyalah merupakan pengkhianatan anak
terhadap Ibunya!

Daftar Pustaka

Borrong, Robert P.Etika Bumi Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999.

Hallman, David G.Spiritual Values for Earth Community. Geneva: World


Council of Churches, 2012.

Shiva V. dan M. Mie. Ecofeminism: Perspektif Gerakan Perempuan dan


Lingkungan. Yogyakarta: IRE Press, 2005.

Shiva, V. dan J. Bandyopadhyay, “Penilaian Teknologi oleh Rakyat”, dalam


W. Fernandes dan R. Tandon (eds.), Riset Partisipatoris: Riset
Pembebasan. Jakarta: Gramedia, 1993.

Shiva, Vandana. “Anticipating the Future of Ecosystems”, in Bangalore


Theological Forum. Vol. XVII, No. 3, July-Sept. 1985.

29
Ibid.
_____________ “Let Us Survive: Women, Ecology and Development”, in R.R.
Ruether, Women Healing Earth: Third World Women on Ecology,
Feminism, adn Religion. Maryknoll: Orbis Books, 2000.

_____________“Peraturan Pertanian WTO: Ancaman bagi Para Petani Dunia


Ketiga”, dalam Globalisasi Kemiskinan dan Ketimpangan. Yogyakarta:
Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003.

_____________Bebas dari Pembangunan: Perempuan, Ekologi dan


Perjuangan Hidup di India. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997.

______________The Vandana Shiva Reader. Lexington: University Press of


Kentucky, 2014.

Singgih, E.G. Menguak Isolasi Menjalin Relasi: Teologi Kristen dan


Tantangan Dunia Postmodern. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.

Sudhiarsa, Raymundus. “Merumuskan Tanggung Jawab Iman dan


Keberpihakan pada Lingkungan Hidup”, dalam A. Sunarko dan A. Eddy
Kritiyanto (Eds.) Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi: Tinjauan
Teologis atas Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius, 2008.

Sururi, Ahmad.Merawat Bumi: Sebuah Pemikiran Ekofeminis dalam


Perspektif Etika Lingkungan Sebagai Alternatif Baru Pelestarian
Lingkungan Hidup di Indonesia . Yogyakarta:Intan Cendikia, 2011.

Suseno, Franz Magnis. “Tanggung Jawab terhadap Lingkungan Hidup dari


Perspektif Gereja Katolik”, dalam Refleksi XV/1/92.

Sumber Lain

bps.go.id Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang Dianut (2010 Census)

http://news.okezone.com/read/2016/03/20/338/1340989/ini-alasan-reklamasi-
teluk-benoa-harus-dilakukan

http://www.forbali.org/id/mengapa-kami-menolak/

https://id.wikipedia.org/wiki/Reklamasi_daratan

https://id.wikipedia.org/wiki/Vandana_Shiva

https://m.facebook.com/profile.php?
v=timeline&timecutoff=1424301196&sectionLoadingID=m_timeline_loa
ding_div_1420099199_1388563200_8_&timeend=1420099199&timest
art=1388563200&tm=AQDm9UuOQtujwuDa&id=276359512474040

Pemprov Bali. Dokumentasi Video Rapat Koordinasi dan Diskusi tentang


Reklamasi Teluk Benoa. 6 Agustus 2013.
Surat Kabar ForBALI: Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi, Edisi 1 Tahun
2014.

Anda mungkin juga menyukai