Anda di halaman 1dari 5

Konflik Kebijakan Reklamasi Teluk

Benoa
Bagus Nuari Harmawan
Mahasiswa
Alumnus Administrasi Publik Universitas Jember
Follow

22/11/20161.5rb4 min baca


Sudah empat  tahun terakhir  wacana reklamasi Teluk Benoa menjadi pro-
kontra di Provinsi Bali. Alur Kontradiksi antara Pemerintah Pusat dan Bali
dengan masyarakat maupun komunitas adat dan lingkungan berjalan
cukup panjang. Pertentangan antar pihak dalam wacana reklamasi teluk
benoa diawali pada tanggal 26 Desember 2012 ketika Gubernur Bali
memberikan izin reklamasi kepada PT. Tirta Wahana Bali Internasional (PT
.TWBI) di kawasan Teluk Benoa berlandaskan pada SK Nomor 2138/02-
C/HK/2012 tentang Rencana Pemanfaatan dan Pengembangan Kawasan
Perairan Teluk Benoa.

Di tengah jalan Gubernur Bali merevisi SK Nomor 2138/02-C/HK/2012 dan


menerbitkan SK Gubernur Bali nomor 1727/01-B/HK/2013 tentang Izin
Studi Kelayakan Rencana Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan
Wilayah Perairan Teluk Benoa Provinsi Bali. Revisi SK Gubernur tidak
memiliki perubahan yang signifikan karena tetap memberikan wewenang
kepada PT. TWBI untuk melaksanakan reklamasi seluas 700 hektar di
kawasan Teluk Benoa.

Wacana reklamasi Teluk Benoa semakin memanas setelah diterbitkanya


Kebijakan kawasan pemanfaatan terbatas  oleh Presiden SBY ketika
masih menjabat melalui Perpres Nomor 51 Tahun 2014 sebagai revisi dari
Perpres 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan
Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbatiga). Terbitnya  Perpres
tersebut menampilkan sinyalemen bahwa rencana reklamasi akan terus
dijalankan karena terdapat penguatan legalitas wewenang .

Setelah muncul berbagai pertentangan yang diwujudkan dalam bentuk


tulisan, aksi demonstrasi dan forum komunikasi dengan dewan legislatif di
Bali selama beberapa waktu,  Tahun 2016 seolah menjadi klimaks gerakan
perlawanan 

yang dilaksanakan oleh masyarakat dan komunitas adat serta organisasi


advokasi lingkungan seperti Pasubayan Desa Adat atau Pakraman, Forum
Rakyat Bali (ForBALI), WALHI Bali, hingga kalangan intelektual pemerhati
Bali yang memberikan perspektifnya melalui dunia maya.

Gerakan penolakan terhadap Reklamasi Teluk Benoa yang


dimanifestasikan dalam berbagai bentuk seperti demonstrasi atau long
march turun jalan, pawai perahu tolak reklamasi, Forum Grup Discussion
(FGD)  dengan Legislatif Bali dan pemasangan spanduk serta baliho
bertuliskan “Bali Tolak Reklamasi” di  jalanan Kabupaten Badung dan Kota
Denpasar. Gencarnya pemberitaan terkait berbagai langkah advokasi dari
Civil Society Bali terhadap rencana reklamasi menjadikan  sorotan di
lingkup nasional.

Diagnosa Konflik
Ketika membahas tentang Reklamasi Teluk Benoa sebagai sebuah
kebijakan publik, terdapat sebuah benang merah yang harus dirangkai
untuk mewujudkan sebuah kebijakan yang memaslahatkan masyarakat.
Perbedaan perspektif antara Pemerintah Nasional dan Bali sebagai
penerbit peraturan dan pemberi izin tender reklamasi kepada PT. TWBI
dengan masyarakat dan komunitas lingkungan disebabkan karena
perbedaan asumsi antara kedua belah pihak dalam kebijakan.
PT. TWBI  sebagai investor yang melaksanakan reklamasi memiliki asumsi
bahwa Reklamasi Teluk Benoa menjadi pemicu bagi pertumbuhan
ekonomi dengan hadirnya infrastruktur yang menopang pariwisata, dengan
berlandaskan pada asumsi dengan menggunakan analisis data atau bukti
dalam lingkup perspektif ekonomi dan pembangunan (evidence-based
policy).

Sementara, masyarakat dan komunitas adat serta organisasi advokasi


lingkungan seperti Pasubayan Desa Adat atau Pakraman, Forum Rakyat
Bali (ForBALI), WALHI Bali, hingga kalangan intelektual pemerhati Bali
sebagai pihak yang kontra terhadap reklamasi memiliki asumsi bahwa
Reklamasi Teluk Benoa akan membahayakan lingkungan dengan
rusaknya ekosistem laut dan pada sisi yang lain bertentangan dengan
kosmologi masyarakat Bali.

ForBali  sebagai salah satu pihak yang menentang memberikan tiga belas
alasan kenapa rencana reklamasi harus dihentikan. Beberapa poin  di
sebutkan dalam website forbali.org bahwa reklamasi akan menyebabkan
rusaknya wilayah konservasi Teluk Benoa yang menyangkut reservoir atau
tampungan banjir dari 5 sungai, hilangnya wilayah suci atau campuhan
agung, secara lokal berfungsi sebagai sistem penyangga terumbu karang,
dan hilangnya  kawasan “segitiga emas”  keaneragaman hayati pesisir
bersama kawasan candi dasa dan nusa penida.

Sementara itu, penolakan yang dilakukan oleh Pasubayan Desa Adat 


menyangkut dengan reklamasi yang bertentangan dengan nilai-nilai adat
tradisional atau kosmologi masyarakat Bali. Masyarakat Bali menganggap
bahwa Reklamasi Teluk Benoa akan merusak keseimbangan alam dan
merubah tatanan ruang yang selama ini tetap dijaga dalam menjalankan
kehidupan sehari-hari.

Untuk menilai sebuah kebijakan yang menyangkut lingkungan Bali


memang tidak bisa dilepaskan dari keterkaitanya dengan adat-istiadat
Masyarakat Bali. Kebijakan Reklamasi Teluk Benoa yang dilandasi oleh
tujuan pembangunan infrastruktur untuk menggenjot pariwisata ketika tidak
memakai referensi nilai kultural mau tidak mau akan dihadapkan pada
sebuah pertentangan.

Pemerintah pusat sebagai penerbit peraturan Perpres Nomor 51 Tahun


2014 dan Pemerintah Provinsi dengan penerbitan SK Gubernur Bali nomor
1727/01-B/HK/2013 diharapkan memberi perhatian yang serius ketika opini
publik yang  mengarah pada penolakan terhadap reklamasi.

Logika pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang selama ini


digunakan untuk menjalankan reklamasi diharuskan untuk dikaji ulang.
Untuk menghilangkan sifat “elitisme” dalam kebijakan tersebut, pemerintah
diharapkan mengevaluasi kebijakan dengan membuka ruang dialog yang
luas kepada stakholder.

Langkah Prosedural
   Protes dari masyarakat dan stakeholder yang terjadi dalam Reklamasi
Teluk Benoa memperlihatkan bahwa terdapat kegagalan pada penggunaan
analisis data atau bukti  dalam lingkup perspektif ekonomi dan
pembangunan (evidence-based policy). Ketika sebuah fase implementasi
kebijakan dilaksanakan dan mendapatkan reaksi penolakan yang cukup
keras dari masyarakat sebagai stakeholder utama menandakan bahwa
rambu-rambu penyelesaian konfik harus dilaksanakan.

De Graaf (2014) menawarkan sebuah metode inkrementalisme dalam


menyelesaikan konfik Reklamasi teluk benoa dimana  secara perlahan nilai
lingkungan dan kultural masyarakat Bali mendapatkan prioritas dalam
kebijakan publik dan menunda jalanya reklamasi demi membuka ruang
diskursif yang luas bagi stakeholder. Pemerintah Pusat dan Provinsi Bali
sebagai garda terdepan wajib membuka ruang partisipasi masyarakat
dengan melaksanakan forum discussion grup kepada stakeholder yang
melakukan tuntutan serta mengakomodir tuntutan-tuntan yang diinginkan
kelompok penekan.

Untuk menambah keakuratan data, pemerintah membentuk sebuah tim


yang malaksanakan metode dokumentasi, survei dan wawancara
dilapangan, serta melaksanakan observasi dengan mangamati secara
langsung yang terjadi di lapangan tentang efek samping rencana
reklamasi. Berbagai metode diatas ditujukan untuk menghasilkan
komparatif data tentang kemungkinan implementasi kebijakan bisa
dilanjutkan atau tidak.

Pada titik klimaks, kebijakan Reklamasi Teluk Benoa harus menjalani


proses terminasi atau penghentian kebijakan ketika data yang di analisis
dari lapangan dan tuntunan stakeholder mengarah pada kebijakan yang
dapat merugikan banyak pihak.
Proses terminasi dapat berjalan ketika terdapat dorongan yang kuat dari
dua arah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah Bali serta
masyarakat dan komunitas lingkungan yang selama ini mendorong
penghentian kebijakan. Pemerintah Provinsi Bali memberikan penjabaran
data analisis lapangan serta memberikan hasil FDG dengan stakeholder
kepada pemerintah pusat, untuk kemudian melaksanakan keputusan
penghentian kebijakan. 

Anda mungkin juga menyukai