Anda di halaman 1dari 103

KEPABEANAN

Bahan Ajar

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI – UNIVERSITAS DR. SOETOMO


PROGRAM STUDI : ADMINISTRASI BISNIS
2021

Disusun oleh :

ANITA ASNAWI, S.Sos.,


MM.

i
DAFTAR ISI

Hal.

Bab I PERDAGANGAN INTERNASIONAL 1


1.1 Konsep Perdagangan Internasional 1
1.2 Kendala-kendala dalam Perdagangan Internasional 3
1.3 Karakteristik Perdagangan Internasional 3
1.4 Lembaga-lembaga Internasional dalam Perdagangan Internasional 4
1.5 Perdagangan Bebas 5
1.6 Latihan 6
Bab II KEPABEANAN 7
2.1 Konsep Kepabeanan 7
a. Dokumen-dokumen Pelengkap 9
b. Incoterm 2020 14
2.2 Kepabeanan di Indonesia 24
2.3 Aspek-aspek Kepabeanan 24
2.4 Pemeriksaan Pabean 25
2.5 Pengawasan Pabean 25
2.6 Soal Latihan 26
Bab III Impor dan Ekspor 29
3.1 Konsep Impor 29
a. Impor Barang Penumpang 32
b. Impor Barang Pelintas Batas 34
c. Impor Barang Kiriman 35
3.2 Pengeluaran Barang Impor 39
3.3 Konsep Ekspor 40
3.4 Pemeriksaan atas Barang Ekspor 43
3.5 Pengurusan oleh PPJK 44
3.6 Latihan Soal 45
Bab 4 Pengangkutan Barang Impor dan Ekspor 46
4.1 Pengertian Pengangkutan 46
4.2 Pemberitahuan Pabean 48
4.3 Pemberitahuan Impor Barang 48
4.4 Pemberitahuan Ekspor Barang 50
4.5 Kewajiban Registrasi 52
4.6 Latihan 52
Bab 5 Pembongkaran dan Penimbunan 53
5.1 Pembongkaran 53
5.2 Penimbunan 53
5.3 Tanggung Jawab Bea Masuk 56
5.4 Kawasan Berikat 58
5.5 Gudang Berikat 60
5.6 Latihan 60

ii
Bab 6 Bea Masuk, Cukai, dan Pajak Lalu Lintas Barang 61
6.1 Pajak Lalu Lintas barang dalam Kepabeanan 61
6.2 Bea Masuk 64
6.3 Bea Masuk Anti Dumping 65
6.4 Bea Masuk Imbalan 65
6.5 Bea Masuk Tindakan Pengamanan 66
6.6 Bea Masuk Pembalasan 66
6.7 Tidak Dipungut Bea Masuk 66
6.8 Pembebasan Bea Masuk 66
6.9 Keringanan Bea Masuk 67
6.10 Pengembalian Bea Masuk 68
6.11 Soal latihan 68
Bab 7 Tarif dan Nilai Pabean 69
7.1 Tarif 69
7.2 BTKI 2017 70
7.3 Nilai Pabean 71
7.4 Latihan 84
Bab 8 Larangan dan Pembatasan, Barang yang Tidak Dikuasai, Barang yang Tidak Dikuasai 85
Negara, Wewenang Pabean
10.1 Larangan dan Pembatasan 85
10.2 Barang yang Dinyatakan Tidak Dikuasai, Dikuasai, dan yang Menjadi Milik Negara 87
10.3 Latihan 91
Bab 9 Cukai 93
9.1 Barang Kena Cukai dan Obyek Cukai 93
9.2 Sistem Tarif, Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau dan Tarif Cukai Barang Kena 93
Cukai Lainnya
9.3 Saat Pengenaan dan Cara Pelunasan Cukai 94
9.4 Ketentan Taruf Cukai Hasil Tembakau dan Barang Kena Cukai Lainnya 95
9.5 Latihan 99
Daftar Pustaka

iii
Bab 1
PERDAGANGAN INTERNASIONAL

1.1. Konsep Perdagangan Internasional


Manusia sebagai makluk sosial menerima dan memberi andilnya kepada orang lain, saling bekerja sama
untuk memenuhi hajat hidup orang banyak. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya diperlukan kerjasama
(berorganisasi). Salah satu aspek kerjasama yang paling utama dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia
adalah perdagangan, yaitu dengan melakukan pertukaran dan distribusi barang atau komoditi. Untuk
memastikan kelancaran proses aliran barang dalam kegiatan pertukaran dan distribusi tersebut diperlukan
aturan-aturan.

Dengan berkembangnya perdagangan dan bisnis lintas negara dibutuhkan aturan tertentu yang dapat
menjadi pedoman pelaksanaan bagi masing-masing negara yang terlibat dalam perdagangan atau bisnis tersebut
agar terhindar dari kesalahpahaman ataupun hal negatif lainnya. Lahirnya World Trade Organization (WTO)
menjembatani kesepakatan multilateral. Sementara itu dunia perdagangan internasional dalam urusannya
dengan transportasi, asuransi, dan kegiatan forwarder, melahirkan International Air Transport Association (IATA)
serta International Federation of Freight Forwarder Association (IAFA).

Kemajuan teknologi dalam bidang komunikasi, informasi, serta transportasi menjadi peran penting atas
pesatnya kegiatan dalam perdagangan internasional. Dengan teknologi komunikasi dan informasi yang semakin
canggih akan memudahkan suatu bangsa mengetahui bagaimana cara memenuhi kebutuhan ekononomisnya
dan kemana mereka akan memasarkan komoditi unggulannya. Di sisi lain, perkembangan dalam bidang
transportasi (kontainerisasi) telah mengubah strategi dan struktur armada kapal-kapal tradisional, yang pada
akhirnya mampu meningkatkan kapasitas muat-bongkar serta mempertinggi frekuensi mobilitas armada angkut.

Perdagangan internasional memiliki berbagai manfaat, antara lain : memperoleh barang yang tidak dapat
diproduksi di negara sendiri, memperoleh keuntungan dari spesialisasi, memperluas pasar dan menambah
keuntungan, serta dapat melakukan transfer teknologi modern.

Adanya interdepensi kebutuhan antar negara yang satu dengan negara lainnya merupakan fakta bahwa
tidak ada suatu negara yang dapat memenuhi seluruh kebutuhannya sendiri, dengan demikian terciptalah
kegiatan perdagangan internasional. Beberapa teori yang menjadi pijakan dalam perdagangan internasional :

1. Keunggulan absolute (absolute advantage)

Keunggulan absolut terjadi apabila suatu negara memegang monopoli dalam berproduksi dan
perdagangan terhadap produk tersebut. Hal ini akan dapat dicapai hanya jika tidak ada negara lain
yang dapat menghasilkan produk tersebut sehingga negara itu menjadi satu-satunya negara
penghasil. Penyebab utama adalah kondisi alam yang dimilikinya, misalnya hasil tambang,
perkebunan, kehutanan, pertanian dan sebagainya. Dalam kondisi tersebut, mereka mampu untuk
memproduksikan suatu komoditi yang paling murah di antara negara-negara lainnya. Akan tetapi
keunggulan semacam ini pada umumnya tidak akan dapat berlangsung lama karena kemajuan
teknologi akan dengan cepat mengatasi cara produksi yang lebih efisien dan ongkos yang lebih
murah.

1
Teori keunggulan absolut dipelopori oleh Adam Smith yang dikenal dengan Model Adam Smith.
Model Adam Smith ini berfokus pada keuntungan mutlak yang menyatakan bahwa suatu negara
akan memperoleh keuntungan mutlak dikarenakan negara tersebut mampu memproduksi barang
dengan biaya yang lebih rendah dibandingkan negara lain. Syarat teori ini adalah harga barang
dengan jenis sama tidak memiliki perbedaan di berbagai negara maka tidak ada alasan untuk
melakukan perdagangan dengan negara lain.

2. Keunggulan komperatif (comparative advantage)

Konsep Keunggulan komparatif ini lebih mendekati kenyataan dalam bisnis internasional. Konsep
ini menyatakan bahwa suatu negara memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam berbagai bentuk
untuk menawarkan produknya dibandingkan dengan negara lain. Wujud kemampuan yang lebih
tinggi tersebut diantaranya :

a. Biaya produksi dan harga penawaran yang lebih rendah.


b. Kualitas produk yang lebih baik meskipun harganya lebih mahal.
c. Kontinuitas penyediaan (Supply) yang lebih baik.
d. Stabilitas hubungan bisnis maupun politik yang baik.
e. Tersedianya fasilitas penunjang yang lebih baik.

Model Ricardian

Model Ricardian ini memfokuskan kepada kemampuan komperatif yang merupakan konsep
penting dalam teori perdagangan internasional, di mana negara atau setiap negara mempunyai
spesialisasi untuk memproduksi barang-barang terbaik yang dapat dihasilkan. Teori ini tidak
mengaitkan antara produksi dengan ketersediaan sumber daya manusia dan modal dalam
negeri. Gagasannya adalah apabila suatu negara dapat memproduksi barang pada tingkat harga
dan dengan biaya yanglebih rendah daripada negara lain, sedangkan apabila negara lain dapat
memproduksi barang lain dengan biaya yang lebih rendah, maka lebih baik jika kedua negara
tersebut memperdagangkan satu dengan lainnya barang yang relatif lebih murah secara timbal
balik. Kedua negara itu akan memperoleh manfaat dan keuntungan atas perdagangan tersebut.
(Purwito, 2008 : 4-5).

Model Heckscher-Ohlin

Fokus teori ini adalah berdasarkan kemampuan komparatif (comparative advantage) meskipun
tingkat akurasinya masih diragukan, tetapi dipandang dari sudut teori, konsep ini menyediakan
solusi dengan menggabungkan mekanisme harga neoklasik ke dalam teori perdagangan
internasional. Teori ini sering disebut sebagai “Revolusi Marginal” karena mencakup suatu
pergeseran penekanan dari hal-hal yang menjadi pPerdaerhatian ekonom klasik mengenai
sumber-sumber kekayaan dan pembagiannya antra sumber daya manusia, pemilik tanah, dan
pemilik modal ke arah suatu studi tentang prinsip-prinsip yang mengatur pengalokasian
sumber-sumber secara optimal (Purwito, 2008 : 5). Sehingga bisa dikatakan bahwa Heckser-
Ohlin tidak sependapat atas pernyataan bahwa ekspor dilakukan oleh suatu negara akibat
adanya surplus barang tersebut dan impor dilakukan karena adanya kelangkaan barang
tersebut di dalam negeri.

2
1.2. Kendala-kendala dalam Perdagangan Internasional

Kegiatan transaksi dagang dalam lingkup internasional menghadapi permasalahan yang kompleks
karena melibatkan dua atau lebih negara yang berbeda. Beberapa kendala yang dihadapi dalam perdagangan
internasional diantaranya adalalah (Ahsjar, 2006: 4-5) :

b. Kepercayaan antar pihak yang terlibat


c. Buyer dan seller tidak saling kenal
d. Sistem quote dari pemerintah suatu negara
e. Pemasaran untuk menerobos pasar dunia
f. Keterikatan anggota organisasi tingkat dunia, misalnya ICO (kopi),OPEC (minyak bumi), INRO
(karet), ITA (timah).
g. Tidak mengetgahu aturan dan kemudahan yang diberikan suatu negara.
h. Kurang pemahaman tentang bahasa antar negara.
i. Kurang pemahaman prosedur, mekanisme transaksi tingkat dunia
j. Pembiayaan komoditi ekspor dananya cukup besar
k. Standarisasi mutu barang ekspor (kualitas)
l. Hubungan bilateral/diplomatik kedua negara.

1.3. Karakteristik Perdagangan Internasional

Untuk mengantisipasi perkembangan yang cepat dari perdagangan internasional menuju kepada
perdagangan global diperlukan suatu kondisi dan kinerja yang bersifat global dan berlaku secara universal.
Karakteristik tersebut diantaranya :

a. Intermoda transportasi. Mata rantai transportasi intermoda dalam pengembangan kinerja


ekonomi dengan tujuan efisiensi, fleksibilitas, serta kelancaran arus barang.

b. Single window documents. Single window adalah sistem yang menerapkan satu dokumen
pemberitahuan (single submission document) dan satu pembuatan keputusan (single decision-
making) dalam proses administrasi pengeluaran barang (custom release).
ASEAN Single Window (ASW) lahir sebagai upaya untuk mempercepat dan mempermudah alur
informasi antara pemerintah dan pelaku usaha, sehingga menguntungkan semua pihak yang
terlibat dalam perdagangan internasional. ASW menciptakan sistem yang reliable, sederhana,
serta memiliki standar dalam proses keluar-masuk barang (cargo clearance) yang diharapkan
dapat mengurangi waktu dan biaya yang ditimbulkan dalam proses cargo clearance.

Sebagai dukungan terhadap ASW, Indonesia membentuk Indonesia National Single Window
(INSW) yang menggunakan model Automated Information and Transaction System. Dalam Pasal 1
ayat (2) Perpres Nomor 44 Tahun 2018, dijelaskan bahwa INSW adalah integrasi sistem secara
nasional yan memungkinkan dilakukannya penyampaian data dan infomrasi secara tunggal,
pemrosesan data dan informasi secara tunggal, dan penyampaian keputusan secara tunggal
untuk pemberian izin kepabeanan dan pengeluaran barang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Penanganan dokumen kekarantinaan, dokumen kepabeanan, dokumen perizinan, dokumen


kepelabuhan/kebandarudaraan, dan dokumen lain, yang terkait dengan ekspor dan/atau impor
dilakukan melalui INSW. Dokumen-dokumen tersebut disampaikan oleh pengguna jasa kepada
kementrian/lembaga terkait melalui Sistem INSW dengan mekanisme penyampaian data dan
informasi secara tunggal. (SetkabRI, 2018).
3
c. Risk management.
Kepabeanan atau pajak lalu lintas barang memiliki karakteristik yang terkait dengan banyaknya
transaksi dan dokumen. Kompleksitas transaksi dan dokumen tersebut tidak memungkinkan
untuk diteliti satu persatu sehingga perlu dilakukan pengawasan agar dapat meminimasi risiko
dan memaksimasi penerimaan negara.

Pelaksanaan pengawasan dilakukan dengan cara mengidentifikasi risiko kedalam tiga kriteria,
yaitu risiko tinggi (high risk), risiko sedang (medium risk), dan risiko rendah (low risk). Ada tiga
tahapan pengawasan yang dilakukan yaitu (Purwito, 2008 : 8) :

a. Pre-clearance, merupakan tahapan pengawasan di mana saat barang-barang belum


diajukan pemberitahuanpabean untuk pengeluaran ke dalam daerah pabean atau ke
luar daerah pabean. Meliputi pemberitahuan sarana pengangkut, pembongkaran, dan
penimbunan atau pindah lokasi ke kawasan pabean lainnya.

b. Clearance, merupakan tahapan pengawasan yang dilakukan setelah pemberitahuan


pabean mendapatkan nomor pendaftaran atau sebelum atau sesudan dilakukan
pemeriksaan fisik barang.

c. Post-clearance audit, merupakan tahapan pengawasan dan pemeriksaan yang


dilakukan atas barang yang telah di-clearance, terutama atas barang-barang yang
mendapatkan fasilitas.

1.4. Lembaga-lembaga Internasional dalam Perdagangan Internasional


Pembentukan lembaga-lembaga internasional yang berkaitan dengan perdagangan internasional
dimaksudkan untuk mengatur sistem dan prosedur perdagangan internasional yang berlaku bagi semua negara.
Beberapa lembaga tersebut diantaranya sebagai berikut:

1) The General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO).

World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia, resmi berdiri pada 1 Januari 1995,
merupakan satu-satunya badan internasional yang secara khusus menyediakan aturan-aturan dasar
dalam perdagangan internasional, serta membantu anggota-anggotanya dalam menyelesaikan
sengketa dagang melalui mekanisme yang mengikat secara hukum. Tujuan pendirian organisasi ini
adalah untuk mengurangi tarif dan hambatan perdagangan lainnya, yang diharapkan dapat memajukan
ekonomi dan meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Gagasan untuk mendirikan suatu organisasi perdagangan multilateral telah mulai dirintis dengan
disepakatinya General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada tahun 1947, sebagai awal dari rencana
pembentukan International Trade Organization (ITO) yang gagal dibentuk. Organisasi lainnya
adalah International Monetary Fund (IMF) dan International Bank for Reconstruction and Development
(IBRD) yang sering dikenal dengan World Bank.

2) World Customs Organization (WCO).

WCO (World Customs Organization) adalah organisasi dunia antar pemerintah yang independen dengan
misi mendorong efektifitas dan efisiensi administrasi pabean dalam mencapai tujuannya, yaitu
memberikan kemudahan perdagangan, perlindungan kepada masyarakat, dan mengumpulkan
penerimaan bagi pemerintah. WCO menciptakan prinsip kepabeanan yang sama (uniform) dan
administrasi kepabeanan yang modern, membuat harmonisasi jenis komoditi sistem kode (klasifikasi

4
barang dalam harmonized system – HS), serta pengembangan pengaturan seperti : izin sementara,
pembebasan bea masuk, dan aplikasi peraturan yang sama atas WTO Valuation Agreement.

3) International Chamber of Commerce (ICC).

ICC menyuarakan kepentingan bisnis dalam ekonomi global, dengan tujuan untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi, pengadaan kesempatan kerja, serta kemakmuran. Tujuan lain dari ICC adalah
melawan korupsi dan tindak pidana dalam perdagangan.

1.5. Perdagangan Bebas


Perdagangan bebas (free trade) merupakan konsep di bidang ekonomi dan pemerintahan yang
mencakup perdagangan internasional atas barang tanpa tarif untuk perhitungan bea masuk, cukai, atau
hambatan lain dalam perdagangan dan pajak-pajak lain yang dikenakan dalam rangka importasi barang-barang
yang disebabkan oleh adanya pembatasan atau perlindungan terhadap industri dalam negeri, misalnya kuota dan
tata niaga, sebagai modal yang akan meningkatkan kemampuan industri domestik dalam rangka bersaing dengan
produk-produk negara lain di pasar luar negeri (Purwito, 2008 : 11).

Zona Perdagangan Bebas (free trade zone)atau disebut juga dengan export processing zone (EPZ) yaitu
satu atau lebih kawasan dari suatu negara dimana tarif dan kuota dibatasi dan birokrasi dalam prosedural
dikurangi, dengan tujuan untuk menarik pelaku bisnis dan inestasi luar negeri. Dalam kawasan ini difokuskan
kepad pemberian kesempatan kerja (labor intensive) pada pusat manufakturing yang berkaitan dengan impor
barang berupa bahan baku dan berbentuk komponen untuk dijadikan produk yang dapat diekspor. Pada zona ini
hambatan perdagangan (trade barriers) seperti penerapan instrument tariff tidak diberlakukan, disertai dengan
penyederhanaan prosedur dan kemungkinan diberikan beberapa insentif pajak sebagai perangsang. Untuk
mengisi tenaga kerja, ditgerapkan system outsourcing dan biasanya kawasan ini digunakan oleh perusahaan-
perusahaan multi-nasional (terutama untuk pakaian dan sepatu). (Purwito, 2008 : 11).

Contoh zona ini :


- Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (Bahasa Inggris: North American Free Trade
Agreement, kepanjangan dari NAFTA), adalah sebuah organisasi yang terdiri dari negara-negara
Amerika Utara. Organisasi ini didirikan pada 1994 oleh tiga negara, yaitu Amerika Serikat, Kanada,
dan Meksiko.
- AFTA adalah singkatan dari kepanjangan ASEAN Free Trade Area. Organisasi AFTA didirikan pada
tahun 1992 di Singapura pada saat berlangsungnya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke
IV. AFTA adalah kesepakatan yang dibentuk oleh negara-negara ASEAN untuk menciptakan suatu
zona perdagangan bebas.
- Asosiasi Perdagangan Bebas Eropa (bahasa Inggris: European Free Trade Association, sering
disingkat EFTA).

Untuk mendukung kelancaran dan ketertiban dalam perdagangan bebas tersebut, serta untuk
mendorong kegiatan lalu lintas perdagangan internasional yang mendatangkan devisa bagi negara serta dapat
memberi pengaruh dan manfaat besar bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, Pemerintah RI menerbitkan UU
Nomor 36 Tahun 2000 sebagai pengganti UU Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas. Kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas adalah kawasan yang ada dalam wilayah
hukum NKRI yang terpisah dari daerah pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, pajak pertambahan
nilai, pajak penjualan atas barang mewah dan cukai. Di dalam Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
dilakukan kegiatan-kegiatan di bidang ekonomi, seperti sektor perdagangan, maritim, industri, perhubungan,
perbankan, pariwisata, dan bidang-bidang lain yang ditetapkan dalam Undang-undang tersebut.
5
Fungsi Kawasan Bebas dan Pelabuhan Bebas adalah sebagai berikut:

(1) Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas mempunyai fungsi sebagai tempat untuk
mengembangkan usaha-usaha di bidang perdagangan, jasa, industri, pertambangan dan energi, transportasi,
maritim dan perikanan, pos dan telekomunikasi, perbankan, asuransi, pariwisata dan bidang-bidang lainnya.

(2) Fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi : a. kegiatan manufaktur, rancang bangun,
perekayasaan, penyortiran, pemeriksaan awal, pemeriksaan akhir, pengepakan, dan pengepakan ulang atas
barang dan bahan baku dari dalam dan luar negeri, pelayanan perbaikan atau rekondisi permesinan, dan
peningkatan mutu; b. penyediaan dan pengembangan prasarana dan sarana air dan sumber air, prasarana dan
sarana perhubungan termasuk pelabuhan laut dan bandar udara, bangunan dan jaringan listrik, pos dan
telekomunikasi, serta prasarana dan sarana lainnya.

1.6. Latihan

1. Uraikanlah manfaat yang didapatkan dari perkembangan perdagangan internasional.

2. Jelaskan beberapa teori yang mendasari terjadinya perdangan internasional. Menurut Anda,
mana teori yang lebih bisa diterima mengingat kondisi pasar dan perekonomian saat ini?
Jelaskan alasan Anda.

3. Uraikanlah beberapa kendala yang dihadapi dalam perdagangan internasional.

4. Apa yang dimaksud dengan single window documents? Jelaskan tujuan dibentuknya single
window documents.

5. Kegiatan kepabean tidak lepas dari pelaksanaan pengawasan kepabeanan untuk meminimalisir
resiko yang muncul dengan adanya perdagangan lintas negara tersebut, dengan setidaknya ada
tiga risiko yang dihadapi. Uraikanlah masing-masing risiko tersebut.

6. Jelaskan masing-masing kelembagaan berikut ini, serta uraikanlah tujuan pembentukannya.

a. GATT

b. WTO

c. ICC

7. Apa yang dimaksud dengan zona perdagangan bebas (free trade zone) ? uraikanlah dan berilah
contoh zona tersebut.

8. Jelaskan apa fungsi Kawasan bebas dan Pelabuhan bebas.

6
Bab 2
KEPABEANAN

2.1. Konsep Kepabeanan


Republik Indonesia sebagai negara hukum menghendaki terwujudnya sistem hukum nasional yang mantap
dan mengabdi kepada kepentingan nasional, Undang-Undang Pabean bersumber pada Pancasila dan Undang-
undang Dasar 1945. Dalam mewujudkan peraturan perundang-undangan yang berlandaskan Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945, yang didalamnya terkandung asas keadilan, menjunjung tinggi hak setiap anggota
masyarakat, dan menempatkan Kewajiban Pabean sebagai kewajiban kenegaraan yang mencerminkan peran
serta anggota masyarakat dalam menghimpun dana melalui pembayaran Bea Masuk, maka peraturan
perundang-undangan kepabeanan ini sebagai bagian dari hukum fiskal harus dapat menjamin perlindungan
kepentingan masyarakat, kelancaran arus barang, orang, dan dokumen, penerimaan Bea Masuk yang optimal,
dan dapat menciptakan iklim usaha yang dapat lebih mendorong laju pembangunan nasional (Dimyati, 2011 : 5).

Undang-undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang mulai diberlakukan secara penuh pada
tanggal 1 Maret 1997 merupakan produk perundang-undangan yang lahir setelah kemerdekaan. Kemudian
dilakukan perubahan atas Undang-undang tersebut menjadi Undang-undang No. 17 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Undang-undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Perubahan tersebut adalah wujud dari
:

a. Tuntutan dan masukan dari masyarakat terhadap UU tersebut agar :


- Memberikan fasilitasi dan perlindungan perdagangan dan industri.
- Mempertegas ketentuan mengenai pidana untuk menangkal penyelundupan.
- Memperberat sanksi terhadap pelanggaran kepabeanan untuk menimbulkan efek jera.
- Memberikan kewenangan kepada Direktorat jenderal Bea dan Cukai untuk mengawasi
pengangkutan atas Barang Tertentu dalam Daerah Pabean.
- Kesetaraan pengenaan sanksi bagi Pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang turut serta
dalam pelanggaran kepabeanan (Dimyati, 2011 :8-9).

b. Menyesuaikan dengan perjanjian dan konvensi Internasional :


− World Trade Organization (Safeguard Tariff, Hirarkhi Penetapan Nilai Pabean)
− Revised Kyoto Convention (Bea Keluar, Penangkutan Barang Tertentu, Pemeriksaan Pabean,
Free Trade Zone , Kawasan Berikat)
− Arusha Declaration ‘Declaration of the Customs Cooperation Council Concerning Good
Governance And Integrity In Customs’ (Kode Etik Pegawai )
− Nairoby Convention ‘ International Convention On Mutual Adminstratif Assistance For
Preventioan, Investigation anad Repression of Customs Offences’ (Larangan dan Pembatasan,
Pemberantasan penyelundupan) (Dimyati, 2011 : 9).

Beberapa konsep dan pengertian dalam ruang lingkup Kepabeanan yang dimuat di dalam UU Nomor 17
Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1o Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagai berikut:

Kepabeanan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan atas lalu lintas barang yang
masuk atau keluar Daerah Pabean serta pemungutan Bea Masuk dan Bea Keluar.

7
Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara
di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen yang di dalamnya
berlaku Undang-undang ini.

Kawasan pabean adalah kawasan dengan batas-batas tertentu di pelabuhan laut, bandar udara, atau
tempat lain yang ditetapkan untuk lalu lintas barang yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai.

Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya
kewajiban pabean sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.

Pos Pengawasan Pabean adalah tempat yang digunakan oleh Pejabat Bea dan Cukai untuk melakukan
pengawasan terhadap lalu-lintas impor dan ekspor.

Kewajiban pabean adalah semua kegiatan di bidang kepabeanan yang wajib dilakukan untuk memenuhi
ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Pemberitahuan Pabean adalah pernyataan yang dibuat oleh orang dalam rangka melaksanakan Kewajiban
Pabean dalam bentuk dan syarat yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.

Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.

Direktorat jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai adalah unsur pelaksana tugas pokok dan fungsi Departemen Keuangan
di bidang Kepabeanan dan Cukai.

Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan
tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-undang ini.

Orang adalah orang perseorangan atau badan hukum.

Impor adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam Daerah Pabean.

Ekspor adalah semua kegiatan untuk mengeluarkan barang dari dalam Daerah Pabean untuk
dibawa/dikirim ke luar negeri.

Bea Masuk adalah pungutan negara berdasarkan Undang-undang ini yang dikenakan terhadap barang
yang diimpor.

Bea Keluar adalah pungutan Negara berdasarkan undang-undang ini yang dikenakan terhadap barang
ekspor.

Tempat Penimbunan Sementara adalah bangunan dan atau lapangan atau tempat lain yang disamakan
dengan itu di Kawasan Pabean untuk menimbun barang sementara menunggu pemuatan atau pengeluarannya.

Tempat Penimbunan Berikat adalah bangunan, tempat atau kawasan yang memenuhi persyaratan
tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan
Bea Masuk.

Tempat Penimbunan Pabean adalah bangunan dan/atau lapangan atau tempat lain yang disamakan
dengan itu yang disediakan oleh Pemerintah di Kantor Pabean yang berada dibawah pengelolaan Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai untuk menyimpan barang yang dinyatakan tidak dikuasai, barang yang dikuasai negara,
dan barang yang menjadi milik negara berdasarkan Undang-undang ini.

8
Barang tertentu adalah barang yang ditetapkan oleh instansi tehnis terkait sebagai barang yang
pengangkutannya di dalam daerah pabean diawasi.

Audit kepabeanan adalah kegiatan pemeriksaan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang
menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, surat
yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan, dan/atau sediaan barang dalm rangka pelaksanaan
ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang kepabeanan.

Tarif adalah klasifikasi barang dan pembebanan bea masuk atau keluar.

Dalam hal kewajiban pabean, semua kegiatan di bidang kepabeanan, yang terkait dengan ekspor-impor
berhubungan dengan kegiatan pengangkutan, pembongkaran, penyimpanan, serta penimbunan yang wajib
dilakukan oleh orang yang melakukan kegiatan kepabeanan. Pemenuhan kewajiban pabean dilaksanakan dengan
penyerahan dokumen-dokumen pemberitahuan dalam bentuk dan syarat seperti yang telah ditentukan dalam
Keputusan Menteri Keuangan serta dengan dokumen pelengkap (seperti : penerbitan invoice, packing list, bill of
lading atau airway bill, manifest, izin-izin, dll), dan juga pembayaran bea masuk dan pajak dalam rangka
impor/ekspor. Pemeriksaan administrasi atas dokumen dan dokumen lain serta pemeriksaan fisik atas barang
impor dilakukan oleh pejabat bea dan cukai. Tujuan dari penyerahan dokumen tersebut adalah untuk pembuktian
kepeilikan atas barang, kebenaran pemberitahuan, serta untuk melindungi hak-hak keuangan negara.

Penjelasan lebih lanjut tentang kegiatan ekspor secara nyata adalah ekspor terjadi pada saat barang
melintasi daerah pabean. Barang yang telah dimuat di sarana pengangkut untuk dikeluarkan dari daerah pabean
dianggap telah diekspor dan diperlakukan sebagai barang ekspor, kecuali dapat dibuktikan bahwa baran tersebut
ditujukan untuk dibongkar di suatu tempat dalam daerah pabean.

Sedangkan impor terjadi secara yuridis saat barang memasuki batas negara sebagai telah disetujui dalam
hukum laut internasional atau ditetapkkan oleh hukum laut nasional, dianggap berkewajiban untuk memenuhi
kewajiban pabean dan melunasi pajak lalu lintas barang yang terutang. Barang yang dimasukkan ke dalam daerah
pabean diperlakukan sebagai barang impor dan terutang bea masuk.

2.2. Kepabeanan dalam Perdagangan Internasional


Kepentingan perdagangan internasional/global memerlukan kepastian hukum dan pelayanan yang cepat
dalam menunjang kelancaran arus barang. Sebagai jalan antisipasi hal tersebut, kepabeanan internasional
mendirikan sebuah organisasi customs union yang keanggotaannya terdiri atas negara-negara di dunia dan
menyepakati untuk menyusun bersama suatu sistem dan prosedur kepabeanan yang berlaku secara universal.
Ketentuan atas kesepakatan tersebut adalah sebagai berikut:

Customs union bertujuan untuk mencapai efisiensi dalam biaya produksi, dengan menekankan pada
perdagangan antara anggota-anggotanya dengan tarif rendah yang pada waktunya nanti menjadi nol persen.
Dengan demikian, meskipun biaya produksi di negara asal tinggi, tetapi negara-negara anggota lain boleh menjual
lebih rendah melalui fasilitas tarif yang rendah. Tujuan akhir yang ingin dicapai adalah untuk menciptakan
perdagagan dengan tingkat efisiensi yang tinggi dengan biaya produksi rendah. Dalam perilaku bisnis dikenal
dengan penciutan I(downsizing), yang bertujuan untuk meningkatkan produksi dan daya saing (competitive
advantage) dari suatu produk.

Untuk memenuhi sistem dan prosedur yang berlaku dalam perdagangan internasional, ada tata cara yang
harus diketahui dan dilaksanakan oleh orang atau badan hukum yang terlibat dalam transaksi perdagangan global
yang berkenaan dengan pemenuhan hak dan kewajiban para pihak yang terkait dengan dokumen-dokumen
pelengkap serta incoterm.

9
a. Dokumen-dokumen Pelengkap

Dokumen pelengkap dalam kepabeanan digunakan sebagai tanda bukti kepemilikan, dokumen
pelindung barang, tanda pembayaran, surat keterangan asal barang (baik sebagai sarana untuk
menunjukkan mutu, perbandingan dalam penetapan nilai transaksi, maupun pemenuhan persyaratan dari
beberapa negara), pengawasan dan sebagai dokumen untuk menuntut ganti rugi juka salah satu pihak tidak
melaksanakan apa yang telah diperjanjikan.

Secara umum dokumen-dokumen yang diperlukan dikategorikan sebagai berikut :

(1) Dokumen Komersial (commercial documents)

Dokumen komersial adalah dokumen-dokumen yang harus ada dan sebagai pembuktian atas terjadinya
perikatan yang telah disepakati serta terkait dengan hak dan kewajiban penjual dan pembeli, yaitu:

i. Sales contract
Dokumen ini berupa kontrak atau perjanjian mengenai perikatan jual beli yang dibuat oleh kedua
belah pihak yaitu penjual dan pembeli dengan persyaratan yang telah disepakati, seperti pihak-pihak
yang mengadakan perjanjian atau kuasa yang ditunjuk, cara pembayaran, cara penyerahan barang,
nilai pabean/harga (customs value), cara penyelesaian jika timbul sengketa, dimuat dalam surat
kontrak perjanjian jual beli.
Dokumen ini merupakan kontrak legal/sah dalam perjanjian pertukaran barang, pelayanan, atau
properti. Isi kontrak juga meliputi kesepakatan mengenai harga yang sebenarnya dibayar dan cara
pembayaran serta penyerahan barang.
The United Nations Convention on Contract for the International Sale of Goods (CISG) menawarkan
keseragaman dalam hukum untuk kontrak jual beli secara internasional. Hukum kontrak didesain
untuk pembuatan transaksi diantara paara pedagang dan konsumen yang dibuat secara sederhana
dan mudah dipahami. Tujuan peraturan tersebut adalah untuk menghindari kesalahpahaman akibat
kesalahan penafsiran dalam kontrak dagang.

ii. Purchase order


Purchase order, atau dikenal dengan istilah PO, adalah dokumen yang diterbitkan oleh pembeli dan
dapat membuktikan bahwa pembeli telah memberikan order untuk membeli barang-barang.
Dokumen ini dianggap konfirmasi dan kesepakatan dari pembelitentang barnag yang dipesan. Jika
sales contract tidak dibuat atau kedua belah pihak menganggap bahwa perjanjian cukup dibuat
sekali dan PO sebagai pelaksanaannya.
PO berisi hal-hal tentang tipe, kiantitas, dan harga yang telah disetujui untuk produkyangakan
dipasok oleh penjual. Penerimaan PO oleh penjual bisa berarti tidak diperlukan lagi kontrak.
dalamPO biasanya disertakan kondisi tertentu seperti cara pembayaran, cara penyerahan barang
(incoterm), penanggung biaya pengangkutan dan tanggal penyerahan barang.

iii. Order confirmation


Konfirmasi pesanan merupakan dokumen yang diterbitkan oleh pembeli, berisi kesepakatan
pembeli untuk membeli barang-barang sesuai pesanan, sebagai konfirmasi atas pemesanan atau
pembelian yang dilakukan, sehingga surat tersebut mengikat kedua belah pihak sebagai telah terjadi
suatu transaksi jual beli. Order confirmation ini dapat dianggap sebagai “tanda jadi” yang
sebelumnya telah dilakukan korespondensi (memory of understanding). Dapat terjadi juga apabila
antara penjual dan pembeli telah terjadi transaksi jual beli sebelumnya, maka untuk pemesanan
ulang dilakukan melalui dokumem tersebut.

10
iv. Commercial invoice
Commercial invoice atau shipper’s export declaration, yaitu dokumen kunci untuk pengangkutan
barng yang melintasi perbatasan antarnegara, merupakan nota perincian tentang keterangan
jumlah barang yang dijual, harga dari barang dan perhitungan pembayaran. Commercial invoice
digunakan saat sudah ada transaksi jual beli, dilengkapi dengan nama perusahaan pelayaran, alamat
lengkap beserta nomor telepon, dan ditandatangani oleh pengirim atau agennya. Faktur ini
ditujukan oleh penjual (eksportir) kepada pembeli (importir) yang nama dan alamatnya sesuai
dengan yang tercantum dalam L/C dan ditanda tangani oleh yang berhak menandatanganinya.
Apabila penerima barang bukan importir sendiri, atau dalam hal ini ada notify party atau orang atau
pihak ketiga yang ditunjuk untukmenerima dan mengurus pengeluaran barang, harus dituliskan di
dalam invoice. Dokumen yang asli digunakan untuk lampiran dari dokumen yang diserahkan kepada
importir, sedangkan salinannya dilampirkan pada dokumen pengapalan apabila diminta.

v. Packing list
Dokumen ini dibuat oleh eksportir yang menerangkan uraian dari barang-barang yang dipak,
dibungkus, diikat dalam peti yang biasanya diperlukan oleh bea cukai.

vi. Certificate of analysis


Certificate of analysis merupakan hasil analisis mengenai barang yang diekspor, misalnya mengenai
campuran barang kimia. Ketentuan membuat sertifikasi negara asal barang dapat dilakukan dengan
menuliskan pada commercial invoice. Dokumen-dokumen tersebut penting bagi petugas bea dan
cukai untuk menentukan apakah akandikenkan tambahan bea masuk atau apakah terdapat larangan
dan pembatasan.
Dokumen-dokumen lain yang diperlukan untuk barang-barang tertentu seperti certificate of
quarantine, certificate of surveyor dan lainnya harus dilampirkan sebagai kelengkapan dokumen.

(2) Dokumen Finansial (financial documents)

i. Collection draft
Collection draft (wesel inkaso; document against payment) artinya adalah dokumen-dokumen baru
diserahkan apabila pembayaran sudah dilaksanakan sesuai perjanjian. Disebut juga sebagai
document of acceptance dimana pembayaran baru dilakukan setelah wesel tersebut diaksep
(ditandatangani di belakang wesel). Selama belum diaksep, eksportir masih berhak atas barang-
barang yang akan diterimakan kepada importir. Hal ini dilakukan oleh eksportir yang belum
mengenal atau memahami pembeli barang-barangnya atau dapat juga terjadi kalau importasinya
dilakukan oleh indentor.

ii. Consignment
Dengan cara pembayaran konsinyasi maka hak atas barang yang diekspor tetap dipegang oleh
eksportir. Barang yang diserahkan kepada penerima dapat dijual lebih dulu, sedangkan
pembayarannya dilakukan kemudian. Cara pembayaranini biasanya dilakukan antarperusahaan yang
bergerak dalam multilevel marketing (MLM), sehingga kerugian bagi penerima/importir minimal.
Sebaliknya perputaran uang (turn over) modal eksportir berlangsung lama dan juga tidak ada
kepastian pembayaran dari importir.

iii. Letter of credit


Dokumen-dokumen yang berkaitan dengan sistem transaksi pembayaran dalam perdagangan
internasional tunduk pada aturan UCP-ICC (Uniform Customs and Practice for Documentary Credits –
International Chambers of Commerce). UCP adalah kodifikasi kebiasaan yang sudah diidentifikasikan
11
seragam dalam penanganan Letter of Credit, yaitu keseragaman transaksi kredit secara internasional
dengan maksud meminimalkan perbedaan penafsiran di antara para pihak yang mengikatkan diri
pada UCP dan dapat dijadikan penyelesaian konflik atau sengketa.
Kredit merupakan transaksi terpisah dari underlying contracts dan harus didnyatakan dengan bank
mana kredit tersedia atau tersedia setiap waktu (by sight payment atau by deffered payment atau by
negotiation atau by acceptance ). Tanggal jatuh tempo penyerahan dokumen harus dinyatakan
secara tegas dalam kredit dan presentasi harus dilakukan pada atau sebelum tanggal jatuh tempo.

(3) Dokumen Transportasi (transportation documents)

Dokumen pengangkutan (transportasi) diperlukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan serta sebagai
pembuktian mengenai hak atas barang-barang yang diangkut dan untuk keperluan pembayaran maupun
penghitungan jumlah pajak atas lalu lintas barang yang harus dibayar. Dokumen pengangkutan
termaksud antara lain adalah:

i. Manifest
Adalah dokumen sarana pengangkut yang berupa daftar muatan barang-barangyang diangkut, yang
meliputi : nomor daftar,nama/inisial penerima, tujuan (nama pelabuhan), nama negara dan nomor
kode harmonized system (HS) yang menunjukkan jenis barang yang ad dalam kemasan.

ii. Bill of lading (B/L) dan Airway bill (AWB)


B/L dan AWB merupakan suatu dokumen kontrak antara pengangkut dan pengirim barang, terdiri
atas tiga original dan lainnya merupakan copy, memuat nama pengirim (shipper), penerima
(consignee), notify party (orang atau badan hukum yang diberikan kuasa untuk menerima,
mengurus, dan membayar kepengurusan barang yang diimpor), nama sarana pengangkut,
pelabuhan muat dan tujuan, jumlah barang/container, dan berat barang.
Dokumen transportasi ini sebenarnya merupakan perjanjian tertulis yang berisi tentang penyerahan
barang dari pengirim kepada sarana pengankut dengan tujuan untuk diangkut kepelabuhan tujuan
dan memuat mengenai:
a) Nama pengirim barang dan penerima barang atau notify party. Nama inidinotifikasikan oleh
perusahaan pengangkutan pada saat barang tiba di pelabuhan.
b) Nama pengangkut (carrier), untuk kepentingan pemenuhan prosedural kepabeanan, asuransi,
serta pembayaran/perbankan. Pelabuhan muat harus sesuai dengan yang ditulis di dalam L/C.
c) B/L ditandatangani oleh carrier, master, atau agen yang ditunjuk oleh peruesahaan sarana
pengangkut.
d) Tanggal pemuatan barang (selesai dimuat) dan tanggal penerbitannya harus sama dengan
barang selesai dimuat (date of shipment).
e) B/L boleh mengindikasikan bahwa barang akan atau mungkin dilakukan transhipment sepanjang
pelayaran dilindungi dengan satu B/L, jika dikapalkan dengan peti kemas, trailer atau LASH
barge. B/L yang diterbitkan oleh peruesahansarana pengangkut diindikasikan tunduk pada satu
charter party, ditandatangani oleh master, pemilik sarana pengakut, orang yang mencarter atau
agen yang ditunjuk (secara khusus dinyatakan atas nama master, pemilik atau orang yang
mencarter). Nama pelabuhan bongkar menunjuk sebagai rangkaian pelabuhan atau wilayah
geografis sebagaimana dinyatakan dalam L/C.

B/L juga memuat tentang biaya pengangkut dibayarkan di pelabuhan muat (freight prepaid) atau
belum dibayar, sehingga harus dibayar di pelabuhan bongkar (freight collect). Perlu diperhatikan
oleh importir adalah persyaratan atau perjanjian yang diterakan dalam B/L atau AWB dan keabsahan

12
dokumen dengan penandatanganan oleh pegawai perusahaaan sarana pengangkut di bawah kolom
tempat dan tanggal diterbitkannya. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah tentang kondisi barang,
ukuran berat, marks, jumlah, kualaitas, isi, dan harga harus sesuai dengan commercial invoice.
Keabsahan B/L dibuktikan dengan tanda tangan pengangkut.

iii. Delivery of order (DO)


DO adalah dokumen yang dimiliki oleh penerima, pengirim, atau pemilik dari perusahaan sarana
pengangkut yang berisi perintah untuk menyerahkan barang-barang yang diangkut kepada pihak
lain atau yang tertera dalam dokumen tersebut. DO dapat diterimakan dengan menunjukkan atau
menyerahkan B/L. DO tunduk pada aturan UCC (Uniform Commercial Code).
Yang harus diperhatikan oleh pihak importir adalah tanggal dan masa berlakunya, yang
menunjukkan batas waktu pengurusan barang agar tidak melewati masa berlakunya sehingga
terhindar dari biaya sewa dan denda yang dihitung harian.

iv. Cargo policy


Cargo policy fungsinya mirip dengan certificate of insurance yait kesepakatan antara dua belah pihak,
dimana satu pihak menjamin atas kejadian (occurance) terhadap barang-barang yang diangkut oleh
suatu sarana pengangkut. Di dalam dokumen tersebut dijelaskan mengenai hak dan kewajiban
kedua belah pihak dan mekanisme tuntutan ganti rugi yang harus dilakukan. Dokumen ini berisi
nama sarana pengangkut, ditandatangani oleh pengangkut atau agennya, sereta tanggal
penerbitan barang untuk dikirim.

(4) Dokumen Resmi (official documents)

i. Perizinan
Dokumen resmi (official) adalah dokumen-dokumen yang diterbitkan oleh departemen teknik, yang
mempunyai otoritas untuk lisensi yang harus dimiliki oleh importir maupun eksportir dalam kegiatan
kepabeanannya. Misalnya, lisensi atau izin-izin yang diperlukan atau diharuskan oleh departemen
tersebut.

ii. Surat Keterangan Asal (SKA)


SKA/Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin /CoO) adalah surat keterangan kebangsaan suatu
barang yang disertakan pada saat barang tersebut memasuki wilayah negara tujuan ekspor tertentu
untuk memberitahukan bahwa barang tersebut berasal/diolah dari suatu negara.
Jenis SKA :
a) SKA Preferensi
SKA yang berfungsi sebagai persyaratan dalam memperoleh preferensi yang disertakan pada
barang ekspor tertentu untuk memperoleh fasilitas pembebasan sebagian atau seluruh bea
masuk yang diberikan oleh suatu negara. Contoh : Form A,D (ATIGA), IJ-EPA.

Kategori Preference:

a. Form A (GSP) untuk ke negara tujuan EROPA, USA dan CANADA


b. Form D ATIGA untuk ke negara tujuan ASEAN
c. Form AK (AK-FTA) untuk ke negara KOREA SELATAN
d. Form AANZ untuk ke negara ASEAN AUSTRALIA DAN NEW ZEALAND
e. Form IJ-EPA (SKA KE JEPANG)
f. Form IP (iNDONESIA PAKISTAN)
g. Form ICC ( SKA kerajinan tangan untuk ke Australia)
h. Form COA (SKA Preferensi untuk tembakau di 4 IPSKA)
13
i. Form GSTP (SKA Preferensi untuk sesama negara berkembang di 45 negara)
j. Form AI (AI-FTA) untuk negara India
k. Form HANDICRAFT ( untuk kerajinan tangan ke uni Eropa)

b) SKA Non Preferensi


SKA yang berfungsi sebagai dokumen pengawasan dan atau dokumen penyerta asal barang
yang disertakan pada barang ekspor untuk dapat memasuki suatu wilayah negara tertentu.
Contoh : Form B.

Kategori non preferensi :


a. Form B (NON PREFERENSI)
b. Form ICO (SKA non Preferensi Ekspor)
c. Form ANNEX 3 untuk tujuan ke Meksiko

b. Incoterm

International Commercial Terms (Incoterms) adalah kumpulan istilah yang dibuat untuk menyamakan
pengertian antara penjual dan pembeli dalam perdagangan internasional. Incoterms menjelaskan hak dan
kewajiban pembeli dan penjual yang berhubungan dengan pengiriman barang. Hal-hal yang dijelaskan
meliputi proses pengiriman barang, penanggung jawab proses ekspor-impor, penanggung biaya yang timbul
dan penanggung risiko bila terjadi perubahan kondisi barang yang terjadi akibat proses pengiriman.

Tabel : Incoterm 2020

Sumber : https://www.velotrade.com/guides/what-is-incoterms-2020/

14
Incoterms merupakan produk ICC yang ditujukan untuk memudahkan transaksi perdagangan internasional.
Incoterms merupakan seperangkat peraturan yang dibuat untuk menyeragamkan penafsiran persyaratan
perdagangan yang menetapkan hak dan kewajiban pembeli dan penjual dalam mekanisme penyerahan
barang, meliputi harga, kuantitas, jenis,dan karakteristik barang. Setiap kontrak dalam perdagangan
internasional akan menunjuk incoterm dan menentukan cara dan waktu pembayaran oleh pihak-pihak yang
mengikatkan diri dalam transaksi jual beli, transportasi, dan risiko kerugian lainnya.

Klasifikasi Incoterms

Incoterms dibagi menjadi empat kategori utama: E, F, C dan D.

Kategori E (Keberangkatan), yang hanya mengandung satu istilah perdagangan, yaitu. EXW
Kategori F (Gerbong Utama Tidak Dibayar), yang berisi tiga ketentuan perdagangan:
• FCA (Operator Gratis)
• FAS (Gratis Di Samping Kapal)
• FOB (Gratis di kapal)
Kategori C (Gerbong Utama Dibayar), yang berisi empat ketentuan perdagangan:
• CPT (Pengangkutan dibayarkan ke)
• CIP (Pengangkutan dan Asuransi dibayarkan kepada)
• CFR (Biaya dan Pengiriman)
• CIF (Biaya, Asuransi dan Pengangkutan)
Kategori D (Kedatangan), yang berisi tiga ketentuan perdagangan:
• DAP (Disampaikan di Tempat)
• DPU (Dikirim di Tempat Tidak Dibongkar)
• DDP (Tugas Terkirim Dibayar)

Keempat kategori yang disebutkan di atas juga dapat diklasifikasikan sesuai dengan alat transportasi:
• Incoterms untuk semua moda transportasi: EXW, FCA, CPT, CIP, DPU, DAP dan DDP;
• Incoterms hanya untuk transportasi laut dan perairan: FAS, FOB, CFR dan CIF.

Peralihan Tanggung
Istilah Kepanjangan Kewajiban Eksportir Kewajiban Importir
Jawab
• Mengambil barang di
pabrik/gudang eksportir
Saat barang diambil
Mempersiapkan barang ekspor • Menanggung semua biaya
EXW Ex-Works di pabrik atau gudang
di pabrik/gudang dan risiko pengiriman
eksportir
• Mengurus perizinan ekspor
dan impor
Saat barang
• Mengantar barang kepada • Menanggung biaya dan risiko
diserahkan ke
pengangkut (carrier) yang setelah barang diterima
FCA Free Carrier pengangkut (carrier)
ditunjuk importir pengangkut (carrier)
yang ditunjuk
• Mengurus perizinan ekspor • Mengurus perizinan impor
importir
• Menanggung biaya dan risiko
Free • Mengantar barang sampai di Saat barang sudah
setelah barang sudah di sisi
FAS Alongside sisi kapal diantar di sisi kapal
kapal
Ship • Mengurus perizinan ekspor yang berangkat ke
• Mengurus perizinan impor

15
pelabuhan tujuan
importir
Saat barang sudah
• Menanggung biaya dan risiko
• Mengantar barang sampai dimuat di kapal yang
Free On setelah barang dimuat di
FOB dimuat di kapal berangkat ke
Board kapal
• Mengurus perizinan ekspor pelabuhan tujuan
• Mengurus perizinan impor
importir
• Menanggung biaya asuransi
• Mengantar barang sampai
pengiriman Saat barang sudah
dimuat di kapal
• Menanggung biaya dan risiko dimuat di kapal yang
Cost and • Menanggung biaya sampai
CFR setelah barang di pelabuhan berangkat ke
Freight barang tiba di pelabuhan
tujuan sampai ke lokasi pelabuhan tujuan
tujuan (kecuali asuransi)
importir importir
• Mengurus perizinan ekspor
• Mengurus perizinan impor
• Mengantar barang sampai
• Menanggung biaya dan risiko Saat barang sudah
dimuat di kapal
Cost, setelah barang di pelabuhan dimuat di kapal yang
• Menanggung biaya dan
CIF Insurance, tujuan sampai ke lokasi berangkat ke
asuransi sampai barang tiba
and Freight importir pelabuhan tujuan
di pelabuhan tujuan
• Mengurus perizinan impor importir
• Mengurus perizinan ekspor
• Mengantar barang sampai
• Menanggung biaya dan risiko Saat barang sudah
dimuat di kapal
Cost, setelah barang di pelabuhan dimuat di kapal yang
• Menanggung biaya dan
CIF Insurance, tujuan sampai ke lokasi berangkat ke
asuransi sampai barang tiba
and Freight importir pelabuhan tujuan
di pelabuhan tujuan
• Mengurus perizinan impor importir
• Mengurus perizinan ekspor
• Menanggung biaya asuransi
Saat barang
pengiriman
• Bertanggung jawab hingga diserahkan ke
• Menanggung biaya dan risiko
Carriage barang diserahkan ke pengangkut (carrier)
CPT setelah barang diserahkan ke
Paid To carrier di negara tujuan yang ditunjuk
carrier sampai ke lokasi
• Mengurus perizinan ekspor importir di negara
importir
tujuan
• Mengurus perizinan impor
• Bertanggung jawab hingga Saat barang
• Menanggung biaya dan risiko
barang diserahkan ke diserahkan ke
Carriage and setelah barang diserahkan ke
carrier di negara tujuan pengangkut (carrier)
CIP Insurance carrier sampai ke lokasi
• Menanggung biaya yang ditunjuk
Paid To importir
asuransi pengiriman importir di negara
• Mengurus perizinan impor
• Mengurus perizinan ekspor tujuan
• Bertanggung jawab hingga
• Menanggung biaya dan risiko
barang tiba di terminal Saat barang tiba dan
setelah barang diserahkan di
Delivery At yang ditentukan importir diserahkan di
DAT terminal sampai ke lokasi
Terminal • Menanggung biaya terminal yang
importir
asuransi pengiriman ditentukan importir
• Mengurus perizinan impor
• Mengurus perizinan ekspor
• Bertanggung jawab hingga • Menanggung biaya dan risiko
Saat barang tiba dan
barang tiba di lokasi yang setelah barang diserahkan di
Delivery At diserahkan di lokasi
DAP ditentukan importir lokasi yang ditentukan
Place yang ditentukan
• Menanggung biaya importir
importir
asuransi pengiriman • Mengurus perizinan impor
16
• Mengurus perizinan ekspor
• Bertanggung jawab hingga
barang tiba di lokasi yang
• Menanggung biaya dan risiko Saat barang tiba dan
ditentukan importir
Delivery setelah barang diserahkan di diserahkan di lokasi
DDP • Menanggung biaya
Duty Paid lokasi yang ditentukan yang ditentukan
asuransi pengiriman
importir importir
• Mengurus perizinan ekspor
dan impor
Sumber: https://www.ukmindonesia.id/baca-artikel/353; dengan perubahan pada item DAT diganti DPU sesuai perubahan
pada Incoterm 2020

i. Kelompok E - Keberangkatan

1. EXW

EXW (Ex Works) didefinisikan sebagai syarat penyerahan barang dimana penjual
(seller) menyerahkan barang kepada pembeli (buyer), ketika penjual menempatkan barang atas
pengaturan pembeli ( at the buyer disposal) di tempat yang disebutkan oleh pembeli, dan saat itulah
terjadi pengalihan resiko dari penjual kepada pembeli. Penjual tidak perlu memuat barang ke
kendaraan pengangkut (contoh: truck) dan juga tidak perlu mengurus perizinan ekspor.
Ketentuan EXW ini bisa diterapkan pada semua moda transportasi (any mode).

Berdasarkan definisi tersebut, ada 3 (tiga) hal kritis yang perlu diketahui :
1. Tempat atau lokasi penyerahan barang adalah atas pengaturan pembeli (buyer disposal).
Pembelilah yang menentukan titik dimana tempat atau lokasi barang akan diserahkan. Pembeli
wajib menyebutkan tempat penyerahan barang secara jelas (named place of delivery). Contoh :
EXW ( PT. ABC, Kawasan MM 2100, Jakarta) Incoterms 2020.

2. Tempat atau lokasi penyerahan barang adalah di tempat penjual (seller premises) atau tempat
lain yang disebutkan.
Penyerahan barang tidak selalu dari tempat penjual tetapi bisa disuatu tempat yang ditentukan
oleh pembeli. Contoh: Penjual adalah berlokasi di Kawasan MM2100, Bekasi. Kesepakatan
dengan pembeli adalah EXW Gudang X di Tanjung Priok. Penjual wajib membawa barang
tersebut ke tempat yang ditunjuk oleh pembeli yaitu : Gudang X di Tanjung Priok.

Cara penulisan untuk EXW adalah :


EXW ( PT. ABC, Kawasan MM 2100, Jakarta) Incoterms 2020

3. Peralihan resiko dari penjual dan pembeli terjadi pada saat barang telah diantarkan ke tempat
yang telah ditunjuk oleh pembeli pada tanggal yang disepakati atau dalam periode yang telah
disepakati. Jika pembeli tidak memuat barang ke kendaaraan pengangkut, maka penjual tidak
menanggung resiko lagi.

Syarat penyerahan barang dengan EXW Incoterms 2010 adalah resiko paling kecil dari sisi penjual.
Penjual harus sudah menetapkan keuntungan tertentu pada saat menjual barang dengan terms ini
karena pembeli tentunya sudah dapat lebih mudah menghitung berapa besar biaya produksi barang.
Kekuatan negosiasi penjual lemah dengan pembeli karena sturktur biaya sudah penjual ketahui.

17
Pembeli mempunyai resiko paling besar dengan syarat penyerahan barang ini. Pembeli harus sudah
memiliki perwakilan atau kantor cabang atau agent di tempat penjual yang akan ditunjuk untuk
mengurus segala sesuatu tentang pengiriman barang. Pembeli harus mempunyai modal yang kuat
dan pengetahuan yang kuat tentang situasi dan kondisi negara penjual. Keuntungannya: Pembeli
memiliki kekuatan negosiasi yang tinggi dengan penjual. Pembeli akan mendapatkan untung yang
besar dalam berdagang ketika transaksi dengan term EXW ini dapat terlaksana dengan baik.

ii. Kelompok F – Pengangkutan belum/tidak dibayar

a. Free Carrier (FCA)

FCA didefinisikan sebagai syarat penyerahan barang dimana penjual (seller) menyerahkan barang
ke pembeli (buyer) : kepada pengangkut atau orang lain yang ditunjuk oleh pembeli ditempat
penjual (seller premises) atau tempat lain yang disebutkan. Penjual dan pembeli disarankan untuk
menentukan titik tempat penyerahan barang secara jelas (named place of delivery). Resiko beralih
dari penjual kepada pembeli di titik tempat penyerahan barang tersebut. Penjual wajib mengurus
perizinan ekspor dan prosedur kepabeanan ekspor (export custom clearance)

Berdasarkan definisi tersebut, ada 3 (tiga) hal kritis yang perlu diketahui :

1. Penjual wajib melakukan penyerahan barang adalah kepada pengangkut atau orang lain yang
ditunjuk oleh pembeli
2. Tempat atau lokasi penyerahan barang adalah di tempat penjual (seller premises) atau tempat
lain yang disebutkan. Jika tempat penyerahan barang adalah di tempat penjual (pabrik), maka
penjual bertanggungjawab dalam memuat barang ke atas kendaraan pengangkut, namun jika
tempat penyerahan barang adalah ditempat lain, penjual hanya menyerahkan barang ke tempat
yang ditunjuk dengan kondisi siap untuk dibongkar.
3. Penjual wajib mengurus perizinan ekspor dan prosedur kepabeanan ekspor (export custom
clearance)

Cara penulisan untuk FCA adalah :


FCA ( Soekarno Hatta Airport, Jakarta) Incoterms 2020

b. Free Alongside Ship (FAS)

Term FAS hanya berlaku untuk pengangkutan barang dengan menggunakan moda transportasi
pengangkutan laut dan perairan sungai dan danau saja.
FAS didefinisikan : syarat penyerahan barang dimana penjual (seller) menyerahkan barang ke
pembeli hingga barang telah ditempatkan di sisi kapal (seperti: dermaga atau tongkang) di pelabuha
pemuatan yang ditunjuk oleh si pembeli. Barang telah bongkar saat barang telah tiba di sisi kapal di
pelabuhan pemuatan yang telah disebutkan.

Resiko Penjual akan berakhir ketika barang telah tiba dan bongkar di sisi kapal. Penjual
telah memenuhi kewajibannya untuk mengantar barang kepada pembeli pada saat barang telah
berada disisi kapal di pelabuhan pemuatan yang telah ditentukan oleh si pembeli.Penjual
bertanggungjawab dalam mengurus izin ekspor barang. Penjual tidak bertanggungjawab dalam
mengurus pengangkutan,dan tidak berkewajiban dalam mengurus asuransi barang.

Berdasarkan definisi tersebut, ada 3 (tiga) hal kritis yang perlu diketahui :
18
a) Penjual harus mengetahui dengan tepat pelabuhan pemuatan barang yang ditentukan atau
disebutkan oleh si pembeli. Contoh : Di Tanjung Priok Port, Jakarta, Indonesia.
b) Penjual harus menempatkan barang hingga berada disisi kapal, sehingga penjual
bertanggungjawab dalam membongkar barang dari sarana pengangkut hingga barang
ditempatkan disisi kapal. Pembeli wajib mempersiapkan sarana pengangkut ketika barang
sudah berada disisi kapal.
c) Resiko beralih dari penjual kepada pembeli pada saat barang telah ditempatkan disisi kapal di
pelabuhan pemuatan yang ditentukan oleh si pembeli.

Cara penulisan untuk FAS adalah :


FAS (Tanjung Priok Port, Jakarta, Indonesia) Incoterms 2020

c. Free on Board (FOB)

Term FOB hanya berlaku untuk pengangkutan barang dengan menggunakan moda transportasi
pengangkutan laut dan perairan sungai dan danau saja
FOB didefinisikan sebagai syarat penyerahan barang dimana penjual (seller) menyerahkan barang
ke pembeli hingga barang telah ditempatkan di atas kapal (on board) di pelabuhan pemuatan yang
ditunjuk oleh si pembeli atau mengadakan barang yang diantarkan (untuk penjualan berantai –
string sale). Resiko Penjual akan berakhir ketika barang telah berada diatas kapal.
Penjual telah memenuhi kewajibannya untuk mengantar barang kepada pembeli pada saat barang
telah berada diatas kapal di pelabuhan pemuatan yang telah ditentukan oleh si pembeli. Penjual
bertanggungjawab dalam mengurus izin ekspor barang, pengurusan prosedur kepabeanan ekspor.
Penjual tidak bertanggungjawab dalam mengurus pengangkutan, dan tidak berkewajiban
mengurus asuransi barang. Jika pengangkutan barang adalah dengan menggunakan peti kemas
maka istilah FOB tidak sesuai untuk digunakan, istilah yang tepat digunakan adalah FCA (Free
carriage)

Berdasarkan definisi tersebut, ada 3 (tiga) hal kritis yang perlu diketahui :

1. Penjual harus mengetahui dengan tepat pelabuhan pemuatan barang yang ditentukan atau
disebutkan oleh si pembeli. Contoh : Di Tanjung Priok Port, Jakarta, Indonesia.
2. Penjual harus menempatkan barang hingga berada diatas kapal, sehingga penjual
bertanggungjawab dalam memuat barang hingga termuat di sarana pengangkut. Pembeli
wajib mempersiapkan sarana pengangkut.
3. Resiko beralih dari penjual kepada pembeli pada saat barang telah ditempatkan diatas kapal
di pelabuhan pemuatan yang ditentukan oleh si pembeli.

iii. Kelompok C – Biaya pengangkutan dibayar

a. Cost and Freight (CFR)

Term CFR hanya berlaku untuk pengangkutan barang dengan menggunakan moda transportasi
pengangkutan laut dan perairan sungai dan danau saja
CFR didefinisikan sebagai syarat penyerahan barang dimana penjual (seller) menyerahkan barang
ke pembeli hingga barang telah ditempatkan di atas kapal (on board) di pelabuhan pemuatan yang
ditunjuk oleh si pembeli atau mengadakan barang yang diantarkan (untuk penjualan berantai-string
sale). Namun penjual bertanggunjawab dalam mengurus pengangkutan dari pelabuhan pemuatan
hingga pelabuhan tujuan. Resiko Penjual akan berakhir ketika barang telah berada diatas kapal.
19
Penjual telah memenuhi kewajibannya untuk mengantar barang kepada pembeli pada saat barang
telah berada diatas kapal di pelabuhan pemuatan yang telah ditentukan oleh si pembeli. Penjual
bertanggungjawab dalam mengurus izin ekspor barang ,pengurusan prosedur kepabeanan ekspor
dan pengurusan pengangkutan (shipping).

Banyak persepsi keliru terhadap penerapan CFR, dimana resiko penjual adalah hingga pelabuhan
tujuan, seharusnya penjual hanya beresiko hingga barang ditempatkan diatas kapal (on board) di
pelabuhan pemuatan.
Penjual bertanggungjawab dalam mengurus pengangkutan, dan namun tidak berkewajiban dalam
mengurus asuransi barang (marine cargo insurance).

Berdasarkan definisi tersebut, ada 3 (tiga) hal kritis yang perlu diketahui :
1. Penjual harus mengetahui dengan tepat pelabuhan tujuan yang ditentukan atau disebutkan oleh
si pembeli. Contoh : Di Tokyo Port, Japan.
2. Penjual harus menempatkan barang hingga berada diatas kapal, dan bertanggungjawab dalam
pengurusan pengapalan barang (penunjukkan shipping company)
3. Resiko Penjual beralih dari penjual kepada pembeli pada saat barang telah ditempatkan diatas
kapal di pelabuhan pemuatan yang ditentukan oleh si pembeli, bukan di pelabuhan tujuan.

Cara penulisan untuk CFR adalah :


CFR (Tokyo Port, Japan) Incoterms 2020

b. Cost Insurance and Freight (CIF)

Term CIF hanya berlaku untuk pengangkutan barang dengan menggunakan moda transportasi
pengangkutan laut dan perairan sungai dan danau saja
CIF didefinisikan sebagai syarat penyerahan barang dimana penjual (seller) menyerahkan barang ke
pembeli hingga barang telah ditempatkan di atas kapal (on board) di pelabuhan pemuatan yang
ditunjuk oleh si pembeli atau mengadakan barang yang diantarkan (untuk penjualan berantai-string
sale). Namun penjual bertanggunjawab dalam mengurus pengangkutan dari pelabuhan pemuatan
ke pelabuhan tujuan, dan asuransi barang.

Resiko Penjual akan berakhir ketika barang telah berada diatas kapal. Penjual akan berkewajiban
dalam mengasuransikan barangnya dari pelabuhan muat hingga kepelabuhan tujuan, akan tetapi
resiko barang rusak, hilang adalah di sisi pembeli. Penjual hanya bertanggungjawab dalam membuka
asuransi barang saja tanpa menanggung resiko dalam perjalanan sejak barang ditempatkan di atas
kapal (on board). Penjual hanya membuka asuransi dengan pertanggungan minimal, yaitu : cover
ICC “C”, jika pembeli menginginkan pertanggungan maksimal, cover ICC “ A” – All Risk, maka
pembeli berkewajiban untuk membayar tambahan premi asuransi barang yang seharusnya
ditanggung cover ICC “C” menjadi cover ICC “A”.

Penjual bertanggungjawab dalam mengurus izin ekspor barang ,pengurusan prosedur kepabeanan
ekspor dan pengurusan pengangkutan (shipping) dan pengurusan asuransi barang (marine cargo
insurance).
Banyak persepsi keliru terhadap penerapan CIR, dimana resiko penjual adalah hingga pelabuhan
tujuan DAN PENJUAL menaggung resio hingga ke pelabuhan tujuan, seharusnya penjual hanya
beresiko hingga barang ditempatkan diatas kapal (on board) di pelabuhan pemuatan dan

20
pembukaan pertanggungan asuransi oleh penjual bukan berarti resiko adalah di sisi penjual
namun, resiko adalah di sisi pembeli sejak barang ditempatkan diatas kapal.

Berdasarkan definisi tersebut, ada 3 (tiga) hal kritis yang perlu diketahui :
1. Penjual harus mengetahui dengan tepat pelabuhan tujuan yang ditentukan atau disebutkan
oleh si pembeli. Contoh : Di Singapura Port, Singapura.
2. Penjual harus menempatkan barang hingga berada diatas kapal, dan bertanggungjawab
dalam pengurusan pengapalan barang (penunjukkan shipping company) dan pembukaan
asuransi dengan pertanggungan minimal ( ICC “C”)
3. Resiko Penjual beralih dari penjual kepada pembeli pada saat barang telah ditempatkan
diatas kapal di pelabuhan pemuatan yang ditentukan oleh si pembeli, bukan di pelabuhan
tujuan.

Cara penulisan untuk CIF adalah :


CIF (Singapura Port, Singapura) Incoterms 2020

c. Carriage Paid to (CPT)

CPT didefinisikan sebagai syarat penyerahan barang dimana penjual (seller) menyerahkan barang
ke pembeli : pada pengangkut atau orang lain yang ditunjuk oleh penjual ditempat yang disepakati
(an agreed place) (jika ada tempat yang disepakati antar pihak). Penjual wajib melakukan kontrak
pengangkutan untuk membayar ongkos pengangkutan yang diperlukan untuk membawa barang ke
tempat tujuan yang disebutkan.

Penjual telah memenuhi kewajibannya untuk mengantar barang kepada pembeli pada saat telah
diserahkannya barang kepada pengangkut dan bukan ketika barang tersebut telah tiba ditempat
tujuan. Resiko dan biaya beralih pada titik yang berbeda. Resiko beralih di pengangkut atau orang
lain yang ditunjuk (dipelabuhan muat), sedangkan biaya hingga tempat tujuan yang disepakati.

Berdasarkan definisi tersebut, ada 3 (tiga) hal kritis yang perlu diketahui :
1. Penjual wajib melakukan penyerahan barang adalah kepada pengangkut atau orang lain yang
ditunjuk oleh penjual (nominated by seller)
2. Tempat atau lokasi penyerahan barang harus disebutkan dengan jelas, yaitu kepada
pengangkut atau orang lain di tempat yang telah disepakati antara penjual dan pembeli.
Sedangkan kontrak pengangkutan antara penjual dengan pengangkut adalah sampai ke tempat
tujuan (named place of destinantion)
3. Resiko dan biaya beralih pada titik yang berbeda. Resiko beralih di pengangkut atau orang lain
yang ditunjuk (dipelabuhan muat), sedangkan biaya beralih ditempat tujuan yang disepakati

Penjual wajib mengurus perizinan ekspor dan prosedur kepabeanan ekspor (export custom
clearance), namun penjual tidak ada kewajiban untuk penyelesaian perijinan impor barang,
membayar setiap bea impor atau melakukan prosedur kepabeanan impor.

Cara penulisan untuk CPT adalah :


CPT ( Narita Airport, Tokyo) Incoterms 2020

d. Carriage and Insurance Paid to (CIP)

CIP didefinisikan sebagai syarat penyerahan barang dimana penjual (seller) menyerahkan barang
ke pembeli : pada pengangkut atau orang lain yang ditunjuk oleh penjual ditempat yang disepakati
21
(an agreed place) (jika ada tempat yang disepakati antar pihak). Penjual wajib melakukan kontrak
pengangkutan untuk membayar ongkos pengangkutan yang diperlukan untuk membawa barang ke
tempat tujuan yang disebutkan serta melakukan kontrak penutupan asuransi.

Kontrak penutupan asuransi adalah atas resiko si pembeli bukan resiko si penjual untuk kehilangan
atau kerusakan barang yang terjadi sejak serah terima barang. Cover asuransi yang dibuka oleh si
penjual adalah cover asuransi pertanggungan minimal (Institute Cargo Clause "C"- ICC “C”) . Jika
pembeli ingin memiliki perlindungan lebih , maka perlu ada kesepakatan lagi antara penjual dan
pembeli. Penjual dapat menaikkan cover asuransi tersebut dengan tambahan biaya dari si pembeli.
Penjual telah memenuhi kewajibannya untuk mengantar barang kepada pembeli pada saat telah
diserahkannya barang kepada pengangkut dan bukan ketika barang tersebut telah tiba ditempat
tujuan. Resiko dan biaya beralih pada titik yang berbeda. Resiko beralih di pengangkut atau orang
lain yang ditunjuk (di pelabuhan muat), sedangkan biaya hingga tempat tujuan yang disepakati

Berdasarkan definisi tersebut, ada 4 (empat) hal kritis yang perlu diketahui :

1. Penjual wajib melakukan penyerahan barang adalah kepada pengangkut atau orang lain yang
ditunjuk oleh penjual (nominated by seller)
2. Tempat atau lokasi penyerahan barang harus disebutkan dengan jelas, yaitu kepada
pengangkut atau orang lain di tempat yang telah disepakati antara penjual dan pembeli.
Sedangkan kontrak pengangkutan antara penjual dengan pengangkut adalah sampai ke tempat
tujuan (named place of destinantion)
3. Resiko dan biaya beralih pada titik yang berbeda. Resiko beralih di pengangkut atau orang lain
yang ditunjuk (dipelabuhan muat), sedangkan biaya beralih ditempat tujuan yang disepakati
4. Penjual mengurus dan membuat kontrak pengangkutan dan kontrak penutupan asuransi.
Kontrak penutupan asuransi adalah dengan pertanggungan minimal.

Penjual wajib mengurus perizinan ekspor dan prosedur kepabeanan ekspor (export custom
clearance), namun penjual tidak ada kewajiban untuk penyelesaian perijinan impor barang,
membayar setiap bea impor atau melakukan prosedur kepabeanan impor.

Cara penulisan untuk CIP adalah :


CIP ( Shanghai Pudong Airport, China) Incoterms 2020
iv. Kelompok D

a. Delivered at Place Unloaded

DPU (dikirim di tempat tidak dibongkar) didefinisikan sebagai syarat penyerahan barang dimana
penjual (seller) menyerahkan barang ke pembeli ketika barang sudah dibongkar dari sarana
pengangkut yang telah tiba diterminal yang ditunjuk pembeli pada pelabuhan bongkar atau tempat
tujuan.

Pengiriman barang oleh penjual ke pembeli terjadi ketika barang diturunkan dari kendaraan
transportasi dan diletakkan di pembuangan pembeli di tempat tujuan atau pada titik yang disepakati
di tempat tujuan, jika ada. Penjual menanggung risiko sampai barang dibongkar di tempat tujuan.

Cara penulisan untuk DPU adalah :


DPU (CY UTC 1, Tanjung Priok Port, Jakarta) Incoterms 2020

b. Delivered at Place (DAP)

22
DAP didefinisikan sebagai syarat penyerahan barang dimana penjual (seller) menyerahkan barang
ke pembeli pada sarana pengangkut yang telah telah tiba ditempat tujuan yang disebutkan atas
pengaturan dari pembeli.

Berdasarkan definisi tersebut, ada 3 (tiga) hal kritis yang perlu diketahui :

1. Penjual wajib melakukan penyerahan barang adalah hingga ke tempat tujuan yang
disebutkan oleh pembeli. Penjual dan pembeli harus jelas menyepakati dimana tempat
tujuan yang disebutkan, Contoh : Di Pabrik PT. X di MM 2100, Bekasi, Jawa Barat, Indonesia.
2. Penjual TIDAK bertanggungjawab dalam membongkar barang dari sarana pengangkut
yang telah tiba di tempat tujuan . Pembeli wajib mempersiapkan sarana dan alat bongkar
barang
3. Resiko beralih dari penjual kepada pembeli pada saat sarana pengangkut telah tiba
ditempat tujuan yang disebutkan. Barang tidak dalam keadaan bongkar dari sarana
pengangkut.

Cara penulisan untuk DAP adalah :


DAP (Pabrik PT.X di MM 2100, Bekasi, Jawa Barat, Indonesia) Incoterms 2020

c. Delivered Duty Paid (DDP)

DDP didefinisikan sebagai syarat penyerahan barang dimana penjual (seller) menyerahkan barang
ke pembeli pada sarana pengangkut yang telah telah tiba ditempat tujuan yang disebutkan atas
pengaturan dari pembeli. Barang belum bongkar pada saat tiba ditempat tujuan yang disebutkan.
Penjual akan menanggung resiko dari sejak barang dibawa dari tempat penjual hingga diantar ke
tempat yang ditentukan oleh pembeli. Istilah yang sering dikenal adalah istilah pengiriman door to
door.

Penjual telah memenuhi kewajibannya untuk mengantar barang kepada pembeli pada saat sarana
pengangkut telah tiba ditempat tujuan yang disebutkan oleh pembeli. Penjual bertanggungjawab
dalam mengurus izin ekspor barang maupun izin impor, membayar bea masuk, pajak dalam rangka
impor (PPN dan PPH) dan serta bertanggungjawab dalam melaksanakan pengeluaran barang impor
(prosedur kepabeanan impor). Penjual mengurus pengangkutan menuju ke tempat yang
disebutkan oleh pembeli saja. DDP adalah tanggungjawab maksimal dari sisi penjual (seller). Penjual
harus mempertimbangkan segala resiko dari sejak barang dimuat hingga barang sampai ke tempat
tujuan yang ditunjuk oleh si pembeli.

Berdasarkan definisi tersebut, ada 3 (tiga) hal kritis yang perlu diketahui :

1. Penjual wajib melakukan penyerahan barang adalah hingga ke tempat tujuan yang
disebutkan oleh pembeli. Penjual dan pembeli harus jelas menyepakati dimana tempat
tujuan yang disebutkan. Contoh : Di Pabrik PT. ABC di KBN Cakung, Jakarta, Indonesia.
2. Penjual tidak bertanggungjawab dalam membongkar barang dari sarana pengangkut yang
telah tiba di tempat tujuan. Pembeli wajib mempersiapkan sarana dan alat bongkar barang.
3. Penjual wajib mengurus kepabeanan ekspor impor, membayar bea masuk hingga
pengeluaran barang impor hingga pengantaran barang tersebut ke tempat tujuan.
4. Resiko beralih dari penjual kepada pembeli pada saat sarana pengangkut telah tiba
ditempat tujuan yang disebutkan. Barang tidak dalam keadaan bongkar dari sarana
pengangkut.

23
Cara penulisan untuk DDP adalah :
DDP (Pabrik PT.ABC di KBN Cakung, Jakarta, Indonesia) Incoterms 2020

2.2. Kepabeanan di Indonesia


Sejak kemerdekaan Undang-undang kepabeanan nasional belum dapat dibentuk sehingga Indische Tarief
Wet (Undang-undang Tarif Indonesia) Staatsblad Tahun 1873 Nomor 35, Rechten Ordonnantie (Ordonansi Bea)
Staatsblad Tahun 1882 Nomor 240, dan Tarief Ordonnantie (Ordonansi Tarif) Staatsblad Tahun 1910 Nomor 628
masih diberlakukan berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945. Meskipun terhadap ketiga
peraturan perundang-undangan tersebut telah dilakukan perubahan dan penambahan untuk menjawab tuntutan
pembangunan nasional, karena perubahan tersebut bersifat partial dan tidak mendasar serta berbeda falsafah
yang melatarbelakangi, perubahan dan penambahan tersebut belum dapat memenuhi tuntutan dimaksud
sehingga perlu dilakukan pembaruan.

Dalam mewujudkan peraturan perundang-undangan yang berlandaskan Pancasila dan Undang-undang


Dasar 1945, yang didalamnya terkandung asas keadilan, menjunjung tinggi hak setiap anggota masyarakat, dan
menempatkan Kewajiban Pabean sebagai kewajiban kenegaraan yang mencerminkan peran serta anggota
masyarakat dalam menghimpun dana melalui pembayaran Bea Masuk, maka peraturan perundang-undangan
kepabeanan ini sebagai bagian dari hukum fiskal harus dapat menjamin perlindungan kepentingan masyarakat,
kelancaran arus barang, orang, dan dokumen, penerimaan Bea Masuk yang optimal, dan dapat menciptakan iklim
usaha yang dapat lebih mendorong laju pembangunan nasional. Produk perundang-undangan yang lahir
disetelah kemerdekaan adalah Undang-undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang mulai diberlakukan
secara penuh pada tanggal 1 Maret 1997. Dengan adanya tuntutan dan masukan dari masyarakat maka sebelas
tahun kemudian Undang-undang ini kemudian diubah dengan Undang-undang No. 17 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Undang-undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.

2.3. Aspek-aspek Kepabeanan


Undang-undang Kepabeanan ini telah memperhatikan aspek-aspek :

1) Keadilan, sehingga Kewajiban Pabean hanya dibebankan kepada masyarakat yang melakukan kegiatan
kepabeanan dan terhadap mereka diperlakukan sama dalam hal dan kondisi yang sama;
2) Pemberian insentif yang akan memberikan manfaat pertumbuhan perekonomian nasional yang antara
lain berupa fasilitas Tempat Penimbunan Berikat, pembebasan Bea Masuk atas impor mesin dan bahan
baku dalam rangka ekspor, dan pemberian persetujuan impor barang sebelum pelunasan Bea Masuk
dilakukan;
3) Netralitas dalam pemungutan Bea Masuk, sehingga distorsi yang mengganggu perekonomian nasional
dapat dihindari;
4) Kelayakan administrasi, yaitu pelaksanaan administrasi kepabeanan dapat dilaksanakan lebih tertib,
terkendali, sederhana, dan mudah dipahami oleh anggota masyarakat sehingga tidak terjadi duplikasi.
Oleh karena itu biaya administrasi dapat ditekan serendah mungkin;
5) Kepentingan penerimaan negara, dalam arti ketentuan dalam Undang-undang ini telah memperhatikan
segi-segi stabilitas, potensial, dan fleksibilitas dari penerimaan, sehingga dapat menjamin peningkatan
penerimaan negara, dan dapat mengantisipasi kebutuhan peningkatan pembiayaan pembangunan
nasional;
6) Penerapan pengawasan dan sanksi dalam upaya agar ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini
ditaati;
7) Wawasan Nusantara, sehingga ketentuan dalam Undang-undang ini diberlakukan di Daerah Pabean yang
meliputi wilayah negara kesatuan Republik Indonesia, dimana Indonesia mempunyai kedaulatan dan hak
24
berdaulat yaitu, diperairan pedalaman, perairan nusantara, laut wilayah, zona tambahan, Zona Ekonomi
Eksklusif, Landas Kontinen, dan selat yang digunakan untuk pelayaran internasional;
8) Praktek kepabeanan internasional sebagaimana diatur dalam persetujuan perdagangan internasional.

2.4. Pemeriksaan Pabean


Terhadap barang impor dilakukan pemeriksaan pabean untuk memperoleh data dan penilaian yang tepat
mengenai Pemberitahuan Pabean yang diajukan. Bentuk pemeriksaan pabean adalah penelitian terhadap
dokumen dan pemeriksaan atas fisik barang. Pemeriksaan pabean terhadap barang dilakukan secara selektif
dalam arti pemeriksaan fisik barang dan penelitian dokumen hanya dilakukan dengan mempertimbangkan resiko
yang melekat pada barang dan importir yang bersangkutan. Pada dasarnya pemeriksaan pabean dilakukan
dalam Daerah Pabean , namun dengan mempertimbangkan kelancaran arus barang dan/atau pengamanan
penerimaan negara, Menteri Keuangan dapat menetapkan pelaksanaan pemeriksaan pabean di luar Daerah
Pabean oleh Pejabat bea dan Cukai atau pihak lain yang bertindak untuk dan atas nama Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai.

Pemeriksaan pabean dalam bentuk pemeriksaan fisik atas barang ekspor harus diupayakan seminimal
mungkin sehingga terhadap barang ekspor pada dasarnya hanya dilakukan penelitian terhadap dokumennya.
Namun demikian untuk memperoleh data dan penilaian yang tepat mengenai Pemberitahuan Pabean yang
diajukan, UU Kepabeanan memberikan kewenangan kepada Menteri untuk dalam hal-hal tertentu dapat
menetapkan ketentuan tentang pemeriksaan fisik atas barang ekspor.

2.5. Pengawasan Pabean

Terhadap barang tertentu dilakukan pengawasan pengangkutannya dalam Daerah Pabean, yaitu
pengawasan pengangkutan dari satu tempat ke tempat lain dalam Daerah Pabean melalaui laut. Pengawasan
pengangkutan barang tertentu ini bertujuan untuk mencegah penyelundupan ekspor dengan modus
antarpulau barang-barang strategis seperti hasil hutan, hasil tambang atau barang yang mendapat subsidi ,
misalnya , pupuk , bahan bakar minyak dan laian-lain. Penetapan suatu barang sebagai barang tertentu
ditetapkan oleh menteri yang membidangi perdagangan , dalam hal ini Menteri Perdagangan. Ada kewajiban
dari Menteri Perdagangan kepada Menteri Keuangan untuk memberitahukan daftar barang yang ditetapkan
sebagai barang tertentu kepada Menteri Keuangan.

Ada tiga tahapan dalam pengawasan pabean, yaitu:

(i) Pre-clearance, yaitu tahapan pengawasan saat barang-barang belum diajukan pemberitahuan pabean
untuk pengeluaran ke dalam daerah pabean atau ke luar daerah pabean. Meliputipemberitahuan
sarana pengangkut, pembongkaran dan penimbunan atau pindah lokasi ke kawasan pabean lainnya.
(ii) Clearance, yaitu tahapan pengawasan yang dilakukan setelah pemberitahuanpabean mendapatkan
nomor pendaftaran atau sebelum atau sesudah dilakukan pemeriksaan fisik barang.
(iii) Post clearance audit, yaitu tahapan pengawasan dan pemeriksaan setelah barang dilakukan clearance,
terutama barang-barang yang mendapatkan fasilitas.

Untuk pelaksanaan dan pengawasan pemenuhan Kewajiban Pabean, ditetapkan Kawasan Pabean dan Pos
Pengawasan Pabean yang penetapannya dilakukan oleh Menteri Keuangan. Dengan demikian, pengawasan akan
lebih mudah dilakukan, sebab tempat untuk memenuhi Kewajiban Pabean seperti penyerahan Pemberitahuan
Pabean atau pelunasan Bea Masuk telah dibatasi dengan penunjukan Kantor Pabean yang disesuaikan dengan
kebutuhan perdagangan. Pemenuhan Kewajiban Pabean di tempat selain di Kantor Pabean dapat diizinkan
dengan pemenuhan persyaratan tertentu yang akan ditetapkan oleh Menteri Keuangan , sesuai dengan

25
kepentingan perdagangan dan perekonomian; atau apabila dengan cara tersebut Kewajiban Pabean dapat
dipenuhi dengan lebih mudah, aman, dan murah, pemberian kemudahan tersebut bersifat sementara.

Penunjukan Pos Pengawasan Pabean dimaksudkan untuk tempat Pejabat Bea dan Cukai melakukan
pengawasan. Pos tersebut merupakan bagian dari Kantor Pabean dan di tempat tersebut tidak dapat dipenuhi
Kewajiban Pabean.

Pemberitahuan Pabean diserahkan kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean atau tempat lain yang
disamakan dengan Kantor Pabean dalam bentuk tulisan di atas formulir atau dalam bentuk data elektronik. Yang
dimaksud dengan ’data elektronik’ adalah informasi atau rangkaian informasi yang disusun dan/atau dihimpun
untuk kegunaan khusus yang diterima, direkam, dikirim, disimpan, diproses, diambil kembali, atau diproduksi
secara elektronik dengan menggunakan komputer atau perangkat pengolah data elektronik, optikal atau cara
laian yang sejenis .

2.6. Latihan

1) Jelaskan hal-hal baru yang diatur didalam UU Kepabeanan!


2) Jelaskan aspek-aspek UU Kepabeanan!
3) Jelaskan latar belakang diubahnya UU No. 10 Tahun 1995 dengan UU No. 17 Tahun 2006!
4) Jelaskan perlunya pengawasan pengangkutan Barang Tertentu dalam Daerah Pabean!
5) Jelaskan pengertian-pengertian :
a). Kepabeanan
b). Daerah Pabean
c). Kawasan Pabean
d). Kantor Pabean.
6) Jelaskan bilamana barang impor terutang Bea Masuk! Dimana pemenuhan kewajiban Pabean harus
dilakukan? Bagaimana caranya?
7) Jelaskan anggapan tentang ekspor menurut ketentuan kepabeanan Indonesia. Dan jelaskan barang yang
dapat dikenakan Bea Keluar!
8) Jelaskan pemeriksaan pabean terhadap barang impor dan barang ekspor ! Serta jelaskan pengawasan
terhadap barang tertentu!
9) Dimana pemenuhan kewajiban Pabean harus dilakukan? Bagaimana caranya?
10) Jelaskan ketentuan tentang kewajiban melakukan registrasi kepabeanan!
11) Apa yang menjadi alasan dan tujuan didirikannya organisasi kepabeanan internasional (custom union)?
12) Ada beragam dokumen pelengkap dalam kepabeanan. Setidaknya ada empat jenis dokumen, yaitu
dokumen komersial, dokumen finansial, dokumen transportasi, serta dokumen resmi. Jelaskan masing-
masing jenis dokumen tersebut serta sebutkan contoh dokumennya.

13) S0al kasus tentang incoterm :

a. PT. Agrindo sepakat menjual biji kedelai ke Universal,Ltd dengan term : EXW Gudang X di Tanjung Priok
sebanyak 200 ton. Periode Pengiriman barang ke gudang paling lambat : 22 Januari 2021. Pengiriman biji
kedelai ke Gudang X oleh PT. Agrindo menggunakan 8 truck tronton kapasitas 25 Ton. Pada tanggal 22
Januari 2021, semua truck sudah tiba, dan 5 truck telah selesai dibongkar pada hari itu juga, tetapi 3 truck
lagi dibongkar besok harinya, tanggal 23 Januari 2021. Ternyata pada esok hari tanggal 23 Januari 2021
tiga truck berisi 75 ton biji kedelai tersebut dirampok dan dijarah oleh preman Tanjung Priok. Apakah PT.
Agrindo bertanggungjawab atas kehilangan 75 ton biji kedelai tersebut ? Jelaskan jawaban Anda.

26
b. PT. Semenindo adalah eksportir semen berlokasi di Cibinong, Jawa Barat. Dia sepakat menjual semen ke
Cwilanseng, Ltd dengan term : FCA (PT. Semenindo, Cibinong, Jawa Barat) Incoterms 2020 sebanyak
200 ton. Periode pengiriman barang dari Cibinong ditentukan pada tanggal : 22 Januari 2021. Pengiriman
barang tersebut menggunakan 10 x 20’ dengan kapasitas 20 ton per peti kemas.
1) Siapa yang bertanggungjawab dalam memuat barang ?
2) Apakah PT. Semenindo bertanggungjawab dalam membayar trucking dari Cibinong ke UTC 1,
Tanjung Priok Port ?
3) Dalam perjalanan dari Cibinong ke UTC1, Tanjung Priok Port, terjadi demo buruh pelabuhan yang
menuntut kenaikan upah dan suasana sangat kacau yang berakibat 3 dari 10 unit truck peti kemas
dibakar oleh para buruh pelabuhan yang demo. Siapa yang berisiko atas kehilangan semen
sebanyak 60 Ton yang terdapat dalam 3 x 20’ truk peti kemas yang dibakar oleh para demonstran
?

c. PT. Semenindo adalah eksportir semen berlokasi di Cibinong, Jawa Barat. Dia sepakat menjual semen ke
Cwilanseng,Ltd dengan term : FCA ( UTC 1, Tanjung Priok Port , Jakarta) Incoterms 2020 sebanyak 100
ton. Periode pengiriman barang dari Cibinong ke UTC 1, Tanjung Priok Port adalah tanggal : 22 Januari
2020. Pengiriman barang tersebut menggunakan 10 x 20’ dengan kapasitas 20 ton per peti kemas. Kapal
berangkat tanggal 24 Januari 2020 menuju ke Shanghai, China.

1) Dimana titik penyerahan barang terjadi ?


2) Siapa yang bertanggungjawab dalam membayar biaya lift off dan storage sebanyak : 10 x 20’ di
UTC 1 tersebut?
3) Tanggal 23 Januari 2020 terjadi rob (banjir air laut) di UTC 1, Tanjung Priok setinggi 1 meter. Air
laut masuk ke empat peti kemas dari sepuluh peti kemas tersebut sehingga terjadi kerusakan
semen. Siapa yang berisiko atas rusaknya semen sebanyak 80 Ton yang terdapat dalam peti kemas
4x20’ ?

d. PT. Karetindo adalah eksportir getah karet. Dia sepakat dengan pembeli dari Tokyo, Jepang, yaitu :
Narutokareto, Ltd. dengan term : FOB ( Tanjung Priok Port, Jakarta, Indonesia) Incoterms 2020 untuk
ekspor getah karet sebesar 100 ton dengan menggunakan 5 x 20’ truk peti kemas. Dua hari setelah peti
kemas dibongkar di pelabuhan Tanjung Priok terjadi rob ( banjir karena air laut pasang) di sekitar peti
kemas sehingga banyak peti kemas yang tergenang air, termasuk peti kemas yang memuat karet dengan
ke Jepang tersebut.
1) Dimana titik penyerahan barang antara eksportir (PT. Karetindo) dengan pembeli (Narutokareto,
Ltd) terjadi ?
2) Siapa yang bertanggungjawab atas rusaknya kopi yang belum sempat termuat ke atas kapal ?
3) Siapa yang mengurus perijinan ekspor dan pemasukan barang ekspor(custom clearance) ?

e. PT. Karetindo adalah eksportir getah karet. Dia sepakat dengan pembeli dari Tokyo, Jepang, yaitu :
Narutokareto, Ltd. dengan term : FOB ( Tanjung Priok Port, Jakarta, Indonesia) Incoterms 2020 untuk
ekspor getah karet sebesar 100 ton dengan menggunakan 5 x 20’ truk peti kemas. Setelah selesai
melakukan pemuatan peti kemas berisi getah karet tersebut ke atas kapal tanker, kapal menunggu
otoritas syahbandar untuk berlayar. Sesaat pada saat mau berangkat dari pelabuhan Tanjung Priok kapal
oleng dan terbalik. Kapal pun tenggelam di dermaga Tanjung Priok.
1) Dimana titik penyerahan barang antara eksportir (PT. Karetindo) dengan pembeli (Narutokareto
Ltd.) terjadi ?

27
2) Siapa yang bertanggungjawab atas barang getah karet yang tenggelam di kapal pada saat mau
berangkat dari pelabuhan Tanjung Priok tersebut?
3) Siapa yang menunjuk dan membayar freight kapal tersebut?

f. PT. Berasindo adalah importir beras. Dia sepakat dengan penjual dari Bangkok, Thailand yaitu : Thairice
Internastional Ltd. dengan term : CIF ( Tanjung Priok port, Jakarta) Incoterms 2020 untuk impor
beras sebesar 15.000 Ton. Pengapalan beras dilakukan sebanyak tiga kali, masing-masing 5000 ton.
Pengapalan beras pertama dan kedua berhasil tiba di Tanjung Priok, namun pengapalan kedua, terjadi
perampokan kapal di perairan selat Sunda.
1) Dimana titik penyerahan barang antara importir PT. Berasindo dengan penjual (Thairice
International Ltd.) terjadi ?
2) Siapa yang beresiko atas kapal yang bermuatan beras 5000 Ton yang dirampok ? Apa solusi yang
diberikan agar klaim dapat dibayarkan oleh perusahaan asuransi ?
3) Biaya apa saja yang ditanggung oleh si pembeli dalam melakukan impor beras tersebut dengan CIF?

g. PT. Sarungindo adalah eksportir sarung berlokasi di Tangerang, Banten. Dia sepakat menjual sarung ke
Al Qatar Ltd. dengan term : CPT (Port of Doha, Qatar) Incoterms 2020 sebanyak lima ton. Biaya
pengapalan/ freight JKT/Qatar : USD 10/Kg. Pada saat kapal yang membawa barang tersebut bersandar
di pelabuhan, tiba-tiba kapal terbakar dan terdengan ledakan keras. Tidak ada penumpang yang
meninggal kecuali barang yang dibawa oleh kapal tersebut.
1) Dimana titik penyerahan barang antara penjual (PT. Sarungindo) dengan pembeli (Al Qatar Ltd.)
terjadi ?
2) Siapa yang membayar biaya pengapalan/freight? Berapa biaya freight yang harus dibayar ?
3) Pembeli (Al Qatar Ltd.) mengajukan klaim kepada Penjual (PT. Sarungindo) agar barang yang
terbakar tersebut diganti pengiriman barang baru lagi. Alasan pembeli karena barang belum
diterima akibat peristiwa kebakaran kapal? Apakah PT. Sarungindo mau menerima klaim tersebut ?

h. PT. Kedelaiku adalah importir kedelai yang mempunyai pabrik berlokasi di SIER, Surabaya. Dia sepakat
membeli 10.000 ton kedelai dari eksportir Vietnam, yaitu : Vietdelai Ltd. dengan term : DAP ( SIER,
Surabaya, Indonesia) Incoterms 2020 . Pengiriman kedelai menggunakan satu Kapal . Barang telah tiba
di pelabuhan Tanjung Perak pada tanggal 5 Februari 2021. Oleh Eksportir, barang dibongkar dan
ditampung di gudang di Tanjung Peralk disebabkan importir belum membayar kedelai tersebut. Pada
tanggal 6 Februari 2021, sebanyak 1000 ton kedelai hilang dirampok.
1) Dimana titik penyerahan barang antara pembeli (PT. Kedelaiku) dengan penjual Vietdelai, Ltd.)
terjadi ?
2) Siapa yang bertanggungjawab atas 1000 ton kedelai yang dirampok tersebut ?
3) Siapa yang membayar biaya angkutan kedelai dari pelabuhan Tanjung Perak ke SIER Surabaya ?

28
Bab 3
IMPOR DAN EKSPOR

3.1. Konsep Impor


Impor merupakan kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean baik yang dilakukan oleh orang
pribadi maupun badan hukum. Berikut ini diuraikan beberapa ketentuan tentang impor dan ekspor.

a. Impor untuk Dipakai

Impor untuk dipakai dapat didefisikan sebagai berikut:

1) Memasukkan barang ke dalam Daerah Pabean dengan tujuan untuk dipakai. Dalam hal ini, barang impor
tersebut akan dijual kembali atau digunakan oleh pemakai akhir (end user) atau habis dikonsumsi.
2) Memasukkan barang ke dalam Daerah Pabean untuk dimiliki atau dikuasai oleh Orang yang berdomisili
di Indonesia.

Dalam ketentuan ini tidak dibedakan apakah orang atau badan usaha yang memasukkan barang impor
tersebut adalah warga negara/perusahaan Indonesia atau asing berdomisili, berarti ketentuan tersebut
berlaku bagi siapapun yang tinggal dan bekerja di wilayah Indonesia (tidak terikat time test).

Pada dasarnya kegiatan melakukan impor atau memasukkan barang ke dalam Daerah Pabean dapat
dilaksanakan setelah semua persyaratan pemenuhan kewajiban pabean sudah dilakukan. Pemasukan barang
untuk dipakai dapat juga dilakukan tanpa harus membayar bea masuk terlebih dulu, asalkan yang
bersangkutan menaruh jaminan sebesa pajak lalu lintas barang yang harus dibayar, impor dilakukan tanpa
harus membayar bea masuk meskipun untuk pajak masih harus dibayar. Tujuan pemberian kemudahan
tersebut adalah untuk menjamin kelancaran arus barang, dengan batas jangka waktu tertentu dan tata
laksana pabeannya harus dipenuhi.

Pengeluaran barang untuk dipakai sendiri terjadi setelah pemenuhan kewajiban pembayaran pajak lalu lintas
barang dipenuhi. Dokumen yang diperlukan untuk pengeluaran barang impor antara lain:

i. Pemberitahuan Impor Barang (PIB)


ii. Pemberitahuan Impor Barang Tertentu (PIBT)
iii. Customs Declaration (BC 2.2) untuk barang penumpang dan awak sarana pengangkut
iv. Pencacahan dan Pembeaan Kiriman Pos (PPKP) untuk barang impor melalui PT Pos
Indonesia; atau
v. Pemberitahuan Lintas Batas untuk barang impor pelintas batas.

Setiap orang yang akan mengeluarkan barang-barang impornya diwajibkan untuk membuat dan mengisi
pemberitahuan pabean sesuai dengan peraturan yang berlaku dan berprinsip kepada azas self assesment
untuk pencapaian tujuan pengawasan.

Penyampaian PIB ke Kantor Pabean dapat dilakukan untuk setiap pengimporan atau secara berkala dalam
periode tertentu, serta dapat dilakukan secara manual atau melalui media elektronik yang dilakukan melalui
komputer yang online dengan sistem PDE Kepabeanan. PIB dan bukti pembayaran pajak lalu lintas barang
disampaikan kepada Pejabat di Kantor Pabean tempat pengeluaran barang. Dikecualikan dari penyerahan

29
PIB yang disampaikan oleh importir MITA Prioritas. Penyampaian PIB dapat dialkukan sebelum barang impor
yang bersangkutan tiba di pelabuhan tujuan.

Apabila pada saat pengeluaran barang impor dari kawasan pabean dengan PIB terdapat selisih kurang dari
jumlah yang diberitahukan (eksep) maka penyelesaian barang eksep tersebut dilakukan dengan
menggunakan PIB semula paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan pengeluaran
barang (SPPB).

Cara pemeriksaan atas barang-barang impor maupun ekspor diatur dalam Pasal 3 Undang-undang
Kepabeanan. Dalam Undang-undang Kepabeanan terdapat unsur-unsur:

i. Pada dasarnya pemeriksaan bapean dilakukan oleh pejabat bea dan cukai secara selektif dengan
mempertimbangkan risiko yang melekat pada barang dan importir, melalui suatu analisis risiko.
ii. Kelancaran arus barang dan pengaman penerimaan negara, seperti dituntut oleh para penanam
modal, bahwa kelancaran arus administrasi dan barang merupakan suatu kepastian di dalam dunia
industri.
iii. Sistem pemeriksaan yang menunjang kepentingan nasional dan investasi dengan melakukan
pemeriksaan sebelum pengapalan (pre shipment inspection) dan setelah barang tiba (on the arrival
inspection).
iv. Efisiensi waktu dan biaya, pemeriksaan dapat dilakukan di Tempat Penimbunan Berikat, Gudang
Berikat atau Gudang Importir, setelah diajukan permohonoan kepada kepala kantor pabean
pelabuhan bongkar untuk izin pemindahan barang dari Tempat Penimbunan Sementara ke gudang
yang ditentukan.

Pemeriksaan barang impor dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a) Pemeriksaan administrasi

Meliputi pemberitahuan pabean beserta lampiran-lampirannya berupa dokumen pelengkap (termasuk


lisensi dan izin dari departemen yang diperlukan untuk tujuan pemeriksaan tersebut). Pemeriksaan
akan dilanjutkan dengan kebenaran atas peneraplan klasifikasi barang sesuai dengan Buku Tarif Beas
Masuk Indonesia, dan yang didasarkan atas catatan-catatan yang ada baik dalam buku taruf bea masuk
maupun dari Explanatory Notes termasuk Index dan peraturan tata niaga yang diterbitkan oleh
Departemen Teknis. Tujuannya agar tidak merugikan negara maupun pihak pengguna jasa
kepabeanan.

Dengan adanya pemeriksaan administrasi akan ditentukan penetapa jalur pengeluaran barang impor
berdasarkan Profil Importir dan/atau Profil Komoditi yang terbagi atas:

a. Jalur Hijau, yaitu mekanisme pelayanan dan pengawasan pengeluaran barang impor dengan tidak
dilakukan pemeriksaan fisik, tetapi dilakukan penelitian dokumen setelah penerbita Surat
Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB). Jalur hijau ditetapkan dalam hal:
• Importir berisiko menengah yang mengimpor komoditi berisiko rendah.
• Importir berisiko rendah yang mengimpor komoditi berisiko rendah atau menengah.

b. Jalur Merah, yaitu mekanisme pelayanan dan pengawasan pengeluaran barang impor dengan
dilakukan pemeriksaan fisik dan penelitian dokumen sebelum penerbitan SPPB. Jalur Merah
ditetapkan dalam hal:
• Importasi oleh Importir berisiko sangat tinggi
• Importir yang berisiko tinggi yang mengimpor komoditi berisiko tinggi atau menengah.
• Importir berisiko menengah yang mengimpor komoditi berisiko tinggi.
30
• Importir berisiko rendah yang mengimpor komoditi berisiko tinggi.
• Barang impor sementara, kecuali oleh MITA prioritas.
• Barang re-impor, kecuali oleh MITA prioritas.
• Barang impor dengan fasilitas penangguhan pembararan Bea Masuk, cukai, dan PDRI, kecuali
oleh MITA prioritas.
• Terkena pemeriksaan acak.
• Barang impor tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah.

Berdasarkan kriteria yang ditentukan, sistem aplikasi pelayanan menetapkan jalur pengeluaran
barang impor yang terdiri atas Jalur Merah, Jalur Hijau, dan Jalur MITA. Dengan ditetapkannya
beberapa pelabuhan di Indonesia sebagai pelabuhan utama, antara lain Tanjung Priok, penetapan
jalur ditetapkan berbeda dengan yang lainnya, yaitu:

c. Jalur Kuning, yaitu mekanisme pelayanan dan pengawasan pengeluaran barang impor dengan tidak
dilakukan pemeriksaan fisik, tetapi dilakukan penelitian dokumen sebelum penerbitan SPPB.
Apabila dalam pengeluaran barang oleh Pejabat Pemeriksa Dokumen diperlukan pemeriksaan
laboratorium, maka importir mengajukan permohonan pengambilan contoh barang kepada Kepala
Bidang Pelayanan Pabean dan Cukai atau pejabat yang ditunjuk, dan akan dilakukan pemeriksaan
fisik melalui mekanisme NHI berdasarkan informasi dari Pejabat Pemeriksa Dokumen. Jalur Kuning
ditetapkan dalam hal:
f) Importir berisiko tinggi yang mengimpor komoditi berisiko rendah
g) Importir berisiko menengah yang mengimpor komoditi berisiko menengah

d. Jalur MITA
Jalur MITA atau Jalur Prioritas diperuntukkan bagi Mitra Utama (MITA) yaitu importir, yang diseleksi
dan ditetapkan oleh Direktur Teknis Kepabeanan atas nama Direktur Jenderal.
Jalur MITA terdiri dari:
h) Jalur MITA Prioritas
Yaitu mekanisme pelayanan dan pengawasan pengeluaran barang impor oleh Importir Jalur
Prioritas dengan langsung diterbitkan SPPB tanpa dilakukan pemeriksaan fisik dan penelitian
dokumen.
i) Jalur MITA Non Prioritas
Yaitu mekanisme pelayanan dan pengawasan pengeluaran barang impor oleh importir
dengan langsung diterbitkan SPPB tanpa dilakukan pemeriksaan fisik dan penelitian
dokumen, yang diperuntukkan bagi importir yang memenuhi persyaratan dan ditetapkan
sebagai Mitra Utama (nonprioritas) dengan keputusan Kepala Kantor Pabean atas nama
Direktur Jenderal, kecuali dalam hal:
i. Impor komoditi berisiko tinggi
ii. Impor sementara
iii. Re-impor
iv. Barang impor dengan penangguhan pembayaran Bea Masukl, barang impor
tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah, diterbitkan SPPB setelah penelitian
dokumen selesai.

b) Pemeriksaan fisik
Pejabat Pemeriksa Barang melakukan pemeriksaan fisik untuk mengetahui jumlah dan jenis barang
impor yang diperiksa untuk menentukan klasifikasinya dan menetapkan nilai pabean. Pemeriksaan fisik
atas barang dilaksanakan berdasarkan tingkat risiko, yaitu:
31
j) Hi Risk, yaitu importasi yang dilakukan oleh Importir Umum (IU) dan Importir lain yang
mempunyai tingkat risiko tinggi (High Importir), melalui Jalur Merah dengan tingkat
pemeriksaan 100% (High; penelitian yang mendalam atas seluruh dokumen pemenuhan
persyaratan/izin impor dan dokumen pelengkap lainnya) pada saat proses pelayanan
kepabeanan bidang impor. Atas impor ini dilakukan pemeriksaan fisik barang secara benar dan
sesuai serta meningkatkan akurasi penetapan nilai pabean dan klasifikasi pos tarif atas barang-
barang yang dimaksud.
k) Medium Risk, untuk barang-barang yang diimpor maupun diekspor yang masih mempunyai
potensi risiko yang kemungkinan dapat merugikan pendapatan negara. Atas barang-barang
tersebut dilaksanakan pemeriksaan barang secara selektif.
l) Low Risk, didasarkan pada jenis barang yang diimpor, adanya pelanggaran dan pertimbangan
lain dan didasarkan atas profil importir/eksportir yang disusun oleh Komite yang dibentuk oleh
Direktur Jenderal Bea dan Cukai.

c) Pemeriksaan fisik secara jabatan (ex-officio)

Pemeriksaan jabatan adalah pemeriksaan fisik terhadap barang impor/ekspor atas prakarsa pejabat
bea dan cukai untuk mengamankan hak-hak negara dan/atau memenuhi ketentuan pejabat bea dan
cukai. Pemeriksaan ini dilakukan sebelum atau sesudah pemberitahuan pabean disampaikan ke kantor
Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai, dan dilaksanakan berdasarkan perintah tertulis dari kepala
kantor atau pejabat yang ditunjuk terhadap:

(i) Barang yang impornya:


m) Diduga melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku berdasarkan hasil analisis
intelijen sebelum pengajuan pemberitahuan pabean, dan/atau
n) Barang impor yang telah ditimbun di kawasan pabean namun tidak diurus sampai jangka waktu
tertentu setelah pemberitahuan pabeannya disampaikan.

(ii) Barang ekspor yang ditimbun di kawasan pabean dan telah disampaikan pemberitahuan pabeannya
namun sampai jangka waktu tertentu tidak diurus.

Lokasi pemeriksaan dapat dilakukan di :

o) Lapangan dan atau gudang pemeriksaan, Tempat Penimbunan Sementara, Tempat Penimbunan
Pabean, atau Tempat Penimbunan Berikat.
p) Gudang/lapangan importir dengan izin Kepala Kantor Pabean atau Pejabat yang ditunjuknya.
q) Lokasi hi-co scan X Ray container atas barang impor sejenis atau barang impor yang dikemas
dalam kemasan berpendingin (refrigerated container).

a. Impor Barang Penumpang

Setiap orang yang melintasi perbatasan wilayah negara dengan menggunakan sarana pengangkut (darat,
laut, udara) wajib memenuhi kewajiban pabeannya apabila membawa barang-barang (baik yang dibawa ataupun
dibeli dari luar daerah pabean untuk dipakai di dalam pabean) yang dipungut bea masuknya sesuai dengan
ketentuan UU. Pemberitahu kewajibannya dengan menyampaikan pernyataan atas dasar prinsip self assessment
dalam customs declaration pada saat kedatangannya. Customs Declaration adalah pemberitahuan pabean atas
barang impor yang dibawa oleh penumpang atas awak sarana pengangkut.

Barang pribadi penumpang adalah barang yang dibawa oleh setiap orang yang melintasi perbatasan
wilayah negara dengan menggunakan sarana pengangkut, tidak termasuk barang dagangan maupun barang
yang dibawa awak sarana pengangkut atau pelintas batas. Termasuk dalam kategori ini adalah barang keperluan
32
diri dan sisa bekal penumpang baik dalam keadaan baru maupun bekas pakai yang wajar yang diperlukan selam
dalam perjalanannya. Barang pribadi penumpang ini sampai batas nilai pabean dan jumlah tertentu tidak akan
dikenakan bea masuk serta tidak dipungut pajak dalam rangka impor sesuai dengan ketentuan UU.

Barang pribadi awak sarana pengangkut adalah semua barang yang dibawa oleh awak sarana pengangkut,
tetapi tidak termasuk barang dagangan. Awak sarana pengangkut adalah setiap orang yang karena sifat
pekerjaannya harus berada dalam sarana pengangkut dan datang bersama sarana pengangkut.

Barang pribadi penumpang yang tiba sebelum atau sesudah kedatangan penumpang dapat disebut
sebagai Barang Pribadi Penumpang sepanjang dapat dibuktikan kepemilikannya dengan menggunakan paspor
dan boarding pass yang bersangkutan serta tidak melebihi batasan waktu kedatangan yang dipersyaratkan
dalam ketentuan,yaitu:

• Paling lama 30 (tiga puluh) hari sebelum kedatangan penumpang, dan/atau 60 (enam puluh) hari setelah
kedatangan penumpang. Untuk penumpang yang menggunakan sarana pengangkut laut; atau
• Paling lama 30 (tiga puluh) hari sebelum kedatangan penumpang, dan/atau 15 (lima belas) hari setelah
penumpang tiba. Untuk penumpang yang menggunakan sarana pengangkut udara

Beberapa ketentuan mengenai barang penumpang sebagai berikut:

• Barang Penumpang dibebaskan dari kewajiban pabean serta pajak dalam rangka impor lainnya, jika nilai
barang yang dibawa kurang dari FOB USD 500 per orang. Jika nilai barang tersebut melebihi FOB USD
500 per orang, maka dipungut bea masuk dan pajak dalam rangka impor.Barang penumpang asing
seperti kamera, video kamera, radio kaset, teropong, leptop atau telepon genggam yang akan
dipergunakan selama mereka tinggal di Indonesia dan akan dibawa kembali pada saat mereka
meninggalkan Indonesia mendapat fasilitas pembebasan.
• Kewajiban memberitahukan jumlah uang kepada Petugas Pabean Indonesia hanya ditekankan bagi
individu ketika mereka membawa masuk atau keluar uang rupiah senilai Rp. 100.000.000,- atau lebih,
atau mata uang asing lainnya bernilai sama.
• Setiap orang diperbolehkan membawa rokok dan minuman beralkohol ke Indonesia dalam jumlah
terbatas sebagai berikut: paling banyak 200 batang sigaret, 25 batang cerutu, atau 100 gram tembakau
iris dan/atau 1 liter minuman mengandung etil alkohol tidak diwajibkan untuk membayar Kewajiban
Pabean dan Cukai dan Pungutan pajak lainnya.

Ketentuan dan prosedur pengeluaran barang bawaan penumpang yang tidak datang bersamaan dengan
penumpang adalah sebagai berikut:
• Barang pribadi penumpang yang tidak tiba bersama penumpang merupakan barang yang telah
melewati jangka waktu 15 (lima belas) hari setelah penumpang tiba atau melebihi 30 (tiga puluh) hari
sebelum penumpang tiba dan terdaftar sebagai barang “Lost and Found”.
• Barang pribadi penumpang yang telah tiba sebelum dan/atau setelah kedatangan penumpang, dapat
diselesaikan oleh Penumpang, atau kuasanya dengan menggunakan :
a) Pemberitahuan Impor Barang Khusus (PIBK), untuk Barang Pribadi Penumpang atau Barang
Pribadi Awak Sarana Pengangkut yang terdaftar di dalam manifest;
b) CD yang digunakan pada saat kedatangan penumpang atau awak sarana pengangkut
bersangkutan, untuk barang pribadi penumpang atau barang pribadi awak sarana pengangkut
yang terdaftar sebagai “lost and found”.
• Barang pribadi penumpang yang tidak tiba bersama penumpang tidak mendapatkan fasilitas
pembebasan bea masuk dan dipungut pajak dalam rangka impor.

33
• Barang pribadi penumpang yang tidak tiba bersama penumpang yang merupakan barang kena cukai
diwajibkan membayar cukai untuk setiap orang dewasa paling banyak:
1. 200 (dua ratus) batang sigaret, 25 (dua puluh lima) batang cerutu, atau 100 (seratus) gram
tembakau iris/ hasil tembakau lainnya;
2. 1 (satu) liter minuman mengandung etil alkohol;
• Atas kelebihan barang kena cukai dari batasan jumlah tersebut akan langsung dimusnahkan dengan atau
tanpa disaksikan penumpang yang bersangkutan.
• Terhadap penumpang yang tidak memenuhi ketentuan impor barang penumpang wajib membayar bea
masuk yang terutang dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar paling sedikit 100% dari bea
masuk yang seharusnya dibayar dan paling banyak 500% dari bea masuk yang seharusnya dibayar.

Contoh penghitungan BM :

Saya memberi barang dengan nilai total $800, dengan rincian 1 buah tas $300, 2 pasang sepatu @ $150,
dan 2 buah dompet @ $100 bagaimana pengenaan pajaknya?

Pembebasan BM diberikan USD500 per orang, BM dan PDRI dikenakan atas kelebihan nilai tersebut.
Perhitungan sebagai berikut:
Nilai Pabean: $800 – $500 = $300
BM = 10% x $300 = $30
PPN = 10% x $330 (Nilai Pabean + BM)
PPh= 7,5% x $330 (jika punya NPWP); atau
PPh= 15% x $330 (jika tidak punya NPWP)

b. Impor Barang Pelintas Batas

Barang pribadi pelintas batas adalah barang yang dibawa oleh pelintas batas, tetapi tidak termasuk
barang dagangan. Pelintas batas adalah penduduk yang berdiam atau bertempat tinggal dalam wilayah
perbatasan negara serta memiliki kartu identitas yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang dan
melakukan perjalanan lintas batas di daerah perbatasan melalui Pos Pengawas Lintas Batas. Pos Lintas Batas
(PLB) adalah kartu yang dikeluarkan oleh kantor imigrasi yang diberikan kepada pelintas batas. Sedangkan Pos
pemeriksaan lintas batas (PPLB) adalah tempat yang ditunjuk pada perbatasan wilayah negara untuk
memberitahukan dan menyelesaikan kewajiban pabean terhadap barang yang dibawa oleh Pelintas Batas.

Setiap pelintas batas yang membawa barang impor wajib memiliki KILB yang dikeluarkan oleh Kepala
Kantor Pabean yang mengawasi PPLB atas permohonan pelintas batas. KILB adalah Kartu Identitas Lintas Batas
adalah kartu yang dikeluarkan oleh kantor pabean yang membawahi pos pemeriksaan lintas
batas yang diberikan kepada pelintas batas setelah dipenuhi persyaratan tertentu. Untuk mendapatkan KILB,
pelintas batas harus mengajukan permohonan kepada kepala kantor pabean dengan melampirkan fotokopi
kartu tanda penduduk dan fotokopi pas lintas batas yang ditandasahkan oleh pejabat yang berwenang.

Buku Pas Barang Lintas Batas yang selanjutnya disingkat BPBLB adalah buku yang dipakai oleh pejabat
bea dan cukai untuk mencatat jumlah, jenis, dan nilai pabean atas barang yang dibawa oleh pelintas batas dari
luar daerah pabean.

Barang pelintas batas diberikan pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor
dengan ketentuan nilai pabean sebagai berikut:

1. Indonesia dengan Papua Nugini paling banyak FOB USD 300 (tiga ratus US dolar) per orang untuk
jangka waktu 1 (satu) bulan.
2. Indonesia dengan Malaysia:
34
1) Paling banyak FOB MYR 600 (enam ratus ringgit Malaysia) per orang untuk jangka waktu 1 (Satu)
bulan, apabila melewati batas daratan (land border);
2) Paling banyak FOB MYR 600 (enam ratus ringgit Malaysia) setiap perahu untuk setiap trip,
apabila melewati batas lautan (sea border);
3. Indonesia dengan Filipina paling banyak FOB USD 250 (dua ratus lima puluh US dolar) per orang untuk
jangka waktu 1 (satu) bulan.
4. Indonesia dengan Timor Leste paling banyak FOB USD 50 (lima puluh US dolar) per orang untuk jangka
waktu 1 (satu) hari.

Dalam hal barang pribadi pelintas batas melebihi batas nilai pabean tersebut di atas, maka atas kelebihan
nilai pabean tersebut dipungut bea masuk dan pajak dalam rangka impor.

Tata cara pengeluaran barang pribadi pelintas batas adalah sebagai berikut:

▪ Pelintas batas yang tiba dari luar daerah pabean dengan membawa barang bawaan wajib
menunjukan KILB dan memberitahukan barang bawaannya kepada Pejabat Bea dan Cukai di PPLB
▪ Pelintas batas yang tidak dapat menunjukan KILB tidak diberikan fasilitas berupa pembebasan bea
masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor
▪ Pejabat bea dan cukai melakukan pemeriksaan fisik dan menuangkan hasil pemeriksaan fisik tersebut
ke dalam nota pemeriksaan
▪ Pejabat bea cukai menetapkan besarnya bea masuk dan pajak dalam rangka impor yang harus
dipungut dengan dasar nilai pabean dikurangi dengan nilai pabean yang mendapatkan pembebasan
bea masuk, dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan kedapatan nilai pabean barang melebihi
ketentuan.
▪ Pejabat bea cukai memberikan persetujuan pengeluaran barang setelah bea masuk dan pajak dalam
rangka impor dilunasi.
▪ Dalam hal ditemukan adanya penyalahgunaan fasilitas pembebasan bea masuk dan tidak dipungut
pajak dalam rangka impor atas barang pelintas batas, maka fasilitas pembebasan bea masuk dan
tidak dipungut pajak dalam rangka impor dicabut.

c. Impor Barang Kiriman

Barang Kiriman adalah barang impor yang dikirim oleh pengirim tertentu di luar negeri kepada penerima
tertentu di dalam negeri, baik melalui Pos ataupun PJT. Perusahaan Jasa Titipan (PJT) adalah perusahaan yang
memperoleh izin usaha jasa titipan dari instansi terkait serta memperoleh persetujuan untuk melaksanakan
kegiatan kepabeanan dari kepala kantor pabean.

Tatacara pengeluaran barang kiriman melalui pos atau perusahaan jasa titipan sebagai berikut:

▪ Atas barang kiriman pos wajib diberitahukan kepada Pejabat Bea dan Cukai dikantor Pabean dan
hanya dapat dikeluarkan dengan persetujuan Pejabat Bea dan Cukai;
▪ Impor barang kiriman dilakukan melalui pos atau PJT dan dilakukan pemeriksaan pabean yang
meliputi penelitian dokumen dan pemeriksaan fisik barang oleh Pejabat Bea dan Cukai;
▪ Pemeriksaan fisik barang disaksikan oleh petugas pos atau petugas PJT;
▪ Pejabat Bea dan Cukai menetapkan tarif dan nilai pabean serta menghitung bea masuk dan pajak
dalam rangka impor yang wajib dilunasi atas barang kiriman melalui pos dan PJT;
▪ Barang kiriman melalui pos yang telah ditetapkan tarif dan nilai pabeannya diserahkan kepada
penerima barang kiriman melalui pos setelah bea masuk dan pajak dalam rangka impor dilunasi;

35
Ketentuan mengenai impor barang kiriman diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No 112/PMK.04/2018
tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 182/PMK.04/2016 tentang Ketentuan Impor Barang
Kiriman berlaku ketentuan:

▪ Pejabat Bea dan Cukai menetapkan tarif dan nilai pabean serta menghitung bea masuk dan pajak
dalam rangka impor yang wajib dilunasi atas barang kiriman melalui pos dan PJT;
▪ Barang Kiriman yang diimpor untuk dipakai dapat diberikan pembebasan bea masuk dengan nilai
pabean paling banyak FOB USD 75.00
▪ Pembebasan bea masuk dimaksud diberikan untuk setiap penerima barang per 1 (satu) hari atau lebih
dari 1 (satu) kali pengiriman dalam waktu 1 (satu) hari sepanjang nilai pabean atas keseluruhan barang
tidak melebihi FOB USD 75.00, jika melebihi FOB USD 75.00 (tujuh puluh lima United States Dollar)
dipungut BM dan PDRI secara keseluruhan.
▪ Berat barang Kiriman lebih dari 100 kg dikenakan ketentuan umum di bidang impor (impor umum)
dan penyelesaiannya dilakukan dengan dokumen PIB (Pemberitahuan Impor Barang).
▪ Sifat Pemeriksaan : official assestment (Pemeriksaan oleh Pejabat Bea dan Cukai)
▪ Barang Kiriman dengan nilai pabean lebih dari USD 1500.00 (seribu lima ratus United States Dollar)
diberitahukan dengan dokumen PIB dalam hal Penerima Barang merupakan badan usahaatau PIBK
dalam hal Penerima Barang bukan merupakan badan usaha
▪ Barang kiriman sampel/hadiah/gift diperlakukan ketentuan kepabeanan, yakni ditetapkan nilai
pabeannya oleh Petugas Bea dan Cukai berdasarkan data harga pembanding, jika data harga
pembanding sama dengan atau lebih rendah dari FOB USD 75.00 maka terhadap barang kiriman
sampel/hadiah/gift tersebut tidak akan dikenakan BM dan PDRI, namun jika data harga pembanding
lebih tinggi dari FOB USD 75.00 maka terhadap barang kiriman sampel/hadiah/gift tersebut akan
dikenakan BM dan PDRI.
▪ Barang impor yang dikategorikan sebagai barang mewah (seperti tas branded, berlian dll)
berdasarkan peraturan di bidang perpajakan, dikenakan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM)
yang kriteria dan besaran tarifnya telah ditentukan;
▪ Tarif BM sebesar 7.5%
▪ Tarif PPN Impor sebesar 10%
▪ Tarif PPh Pasal 22 Impor :
▪ Memiliki API -> 2,5%; Tidak Memiliki API -> 7,5%
▪ Memiliki NPWP -> 10%; Tidak Memiliki NPWP -> 20%
▪ Barang Kena Cukai (BKC) hanya diijinkan per alamat penerima barang, paling banyak :
- 40 batang sigaret; atau
- 10 batang cerutu; atau
- 40 gram hasil tembakau lainnya; dan
- 350 ml minuman mengandung etil alkohol;
- Terhadap kelebihannya akan dimusnahkan secara langsung.

Pejabat Bea dan Cukai berwenang melakukan pemeriksaan pabean yang meliputi penelitian dokumen dan
pemeriksaan fisik barang (official assestment). Pemeriksaan fisik dilakukan secara selektif dan disaksikan oleh
Petugas PJT dengan tujuan untuk (1) menetapkan klasifikasi dan nilai pabean atas barang kiriman, dan (2)
memastikan apakah terhadap barang kiriman terkena ketentuan perijinan dari instansi teknis terkait, seperti :

▪ Produk makanan, minuman, obat-obatan harus memperoleh persetujuan dari BPOM; dalam hal
kiriman adalah untuk tujuan penelitian termasuk uji klinik, pengembangan produk, sampel

36
registrasi, bantuan/hibah/donasi, tujuan pameran dan penggunaan sendiri/pribadi, dapat melalui
mekanisme jalur khusus yakni dengan mengajukan Ijin SAS (Special Access Scheme) ke BPOM;
▪ Produk Kosmetika harus memperoleh persetujuan dari BPOM berupa SKI (Surat Keterangan
Impor);
▪ Impor Kiriman Telepon Seluler, Komputer Genggam (Handheld) dan Komputer Tablet hanya
diperbolehkan maksimal 2 (dua) buah sebagaimana diatur di Peraturan Menteri Perdagangan;
▪ Impor Kiriman Pakaian jadi hanya diperbolehkan maksimal 10 (sepuluh) buah sebagaimana diatur
di Peraturan Menteri Perdagangan;
▪ Impor Kiriman Produk Elektronik hanya diperbolehkan maksimal 2 (dua) buah sebagaimana diatur
di Peraturan Menteri Perdagangan;
▪ Produk hewan, tumbuhan dan ikan harus memperoleh ijin pemasukan dari Badan Karantina;
▪ Produk senjata api, air softgun dan peralatan sejenis harus mendapatkan ijin dari Kepolisian;

Dalam rangka penetapan nilai pabean, Pejabat Bea dan Cukai dapat meminta informasi (Notifikasi) bukti
pendukung transaksi jual beli yang obyektif dan terukur kepada Penerima Barang melalui PJT, sebagai data
pendukung untuk penetapan nilai barang, yaitu bukti bayar. Untuk pemberitahuan barang kiriman diajukan oleh
PJT dengan dokumen PIBK (Pemberitahuan Impor Barang Khusus). Pembayaran BM dan PDRI ke Kas Negara
oleh PJT dilakukan melalui Bank Devisa Persepsi dengan menggunakan SSPCP (Surat Setoran Pabean, Cukai dan
Pajak) paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah Pejabat Bea dan Cukai menerbitkan persetujuan pengeluaran barang
(SPPB).

Ketentuan penyelesaian Barang Kiriman adalah sebagai berikut:

▪ Pengeluaran barang kiriman hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Pejabat Bea dan Cukai dengan
penerbitan SPPB (Surat Persetujuan Pengeluaran Barang) setelah dipenuhi kewajiban pabean, yaitu :
o PJT memberitahukan secara tertulis dengan dokumen PIBK
o Penerima Barang telah melengkapi Perijinan dari Instansi Teknis Terkait dan menyerahkan kepada
PJT.
▪ BM dan PDRI atas barang kiriman yang telah dibayar oleh PJT dianggap telah disetujui;
▪ Penerima Barang dapat mengajukan keberatan secara tertulis kepada Direktur Jenderal atas penetapan
yang diterbitkan oleh Pejabat Bea dan Cukai berdasarkan PER-15/BC/2017 tentang Tata Cara Pengajuan dan
Penyelesaian Keberatan di Bidang Kepabeanan dan Cukai pasal 2.
▪ Barang kiriman yang telah berstatus SPPB akan dikirimkan oleh PJT terkait ke Penerima Barang;
▪ Terhadap barang kiriman yang tidak bisa diterbitkan perijinannya oleh Instansi Terkait, Penerima Barang
dapat mengirim kembali ke negara pengirim (RTO/Return To Origin/Re-ekspor) dengan mengajukan
permohonan ke Kepala Kantor dan berkoordinasi dengan PJT terkait;
▪ Barang kiriman yang tidak diselesaikan oleh Penerima Barang lebih dari 30 (tiga puluh) hari sejak
kedatangannya akan dianggap sebagai barang yang tidak dikuasai (BCF 1.5) dan dialihkan ke Gudang TPP
(Gudang Pabean)

Contoh kasus:

a) Bapak Budi mendapat barang kiriman impor yang dikirim melalui sebuah PJT dengan harga barang sesuai
invoice dan transfer payment sebesar USD 250, biaya pengangkutan udara sesuai Airwaybill (AWB) USD
100, Bapak Budi tidak memiliki API namun mempunyai NPWP.

Kurs pajak yang berlaku pada saat pembayaran

▪ USD 1 = Rp 14,000
37
▪ tarif BM = 7.5%
▪ PPN = 10%
▪ PPh = 10%

Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor yang harus dibayar

b) Bapak Dodi mendapat barang kiriman impor yang dikirim melalui sebuah PJT dengan harga barang
sesuai invoice dan transfer payment sebesar USD 70, biaya pengangkutan udara sesuai Airwaybill (AWB)
USD 15, Bapak Dodi tidak memiliki API namun mempunyai NPWP.

Kurs pajak yang berlaku pada saat pembayaran

▪ USD 1 = Rp 14 000
▪ tarif BM = 7.5%
▪ PPN = 10%
▪ PPh = 10%

Pada Bapak Dodi tidak dikenakan Bea Masuk dan PDRI karena Harga Barang/cost dibawah USD 75.

c) Bapak Edi belanja online dari Luar Negeri sebanyak tiga kali pengiriman seharga USD 20, USD 50, dan
USD 100 dalam satu hari. Biaya pengangkutan udara sesuai Airwaybill (AWB) USD 100, Saudara C tidak
memiliki API dan tidak mempunyai NPWP.

Kurs pajak yang berlaku pada saat pembayaran


▪ USD 1 = Rp 14,000
▪ tarif BM = 7.5%
▪ PPN = 10%

38
▪ PPh = 20%

Peraturan Terkait:

Peraturan Menteri Keuangan No 112/PMK.04/2018 tentang tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 182/PMK.04/2016 tentang Ketentuan Impor Barang Kiriman

3.2. Pengeluaran Barang Impor


Barang impor dapat dikeluarkan dari kawasan pabean atau tempat lain yang diperlakukan sama dengan
tempat penimbunan sementara setelah dipenuhinya kewajiban pabean untuk:
a) diimpor untuk dipakai; yaitu memasukkan barang ke dalam daerah pabean dengan tujuan untuk dipakai;
atau memasukkan barang ke dalam daerah pabean untuk dimiliki atau dikuasai oleh orang yang
berdomisili di Indonesia
b) diimpor sementara;
c) ditimbun di tempat penimbunan berikat;
d) diangkut ke tempat penimbunan sementara di kawasan pabean lainnya;
e) diangkut terus (yaitu barang yang diangkut dengan sarana pengangkut melalui kantor pabean tanpa
dilakukan pembongkaran terlebih dulu ), atau diangkut lanjut (yaitu barang yang diangkut dengan
sarana pengangkut melalui kantor pabean dengan dilakukan pembongkaran terlebih dulu);
f) diekspor kembali, antara lain pengiriman kembali barang impor keluar daerah pabean karena ternyata
tidak sesuai dengan yang dipesan, oleh karena suatu ketentuan baru dari pemerintah tidak boleh diimpor
ke dalam daerah pabean

39
Importir yang telah mengajukan permohonan untuk memperoleh fasilitas pembebasan atau keringanan
bea masuk dan pajak dalam rangka impor, dan/atau cukai, dan atas permohonan dimaksud belum diterbitkan
keputusan mengenai pemberian fasilitas tersebut dapat memperoleh fasilitas pengeluaran barang impor untuk
dipakai dengan menggunakan jaminan. Barang impor yang berada di Kawasan Pabean, TPS, atau tempat lain
yang diperlakukan sama dengan TPS, dapat dikeluarkan sebagai barang impor untuk dipakai setelah dokumen
pelengkap pabean dan jaminan diserahkan ke kantor pabean. Jaminan yang harus diserahkan adalah sebesar bea
masuk, pajak dalam rangka impor, dan/atau cukai yang terutang. Jenis-jenis jaminan yang dapat dipergunakan
antara lain:
1. Uang Tunai
2. Jaminan Bank
3. Jaminan dari Perusahaan Asuransi (Customs Bond)
4. Jaminan lainnya

Barang Impor untuk penanggulangan bencana alam dapat dikeluarkan dari kawasan pabean sebelum
pengajuan permohonan untuk memperoleh fasilitas pembebasan atau keringanan bea masuk dan pajak dalam
rangka impor, dan/atau cukai. Barang impor yang termasuk barang larangan atau pembatasan dapat
menggunakan fasilitas ini sepanjang telah memenuhi ketentuan impor barang larangan atau pembatasan sesuai
ketentuan perundangan yang berlaku. Untuk mendapatkan fasilitas ini, Importir mengajukan surat permohonan
kepada kepala kantor pabean dengan menyebutkan alasannya.

Prosedur pemenuhan kewajiban pabean atas penggunaan fasilitas ini:

• Importir harus segera mengajukan pemberitahuan pabean impor disampaikan dalam jangka waktu
paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal diserahkannya dokumen pelengkap pabean.
• Jangka waktu tersebut dapat diberikan perpanjangan paling lama 30 (tiga puluh) hari oleh Kepala
Kantor.
• Jika masih diperlukan perpanjangan, importir wajib mengajukan permohonan kepada direktur jenderal
atau pejabat yang ditunjuk. Perpanjangan jangka waktu yang terakhir ini diberikan paling lama 30 (tiga
puluh) hari dan tidak dapat diperpanjang lagi.

Batas akhir pelunasan bea masuk dan pajak dalam rangka impor, dan/atau cukai yang terutang paling lama
pada saat tanggal pendaftaran pemberitahuan pabean. Sanksi bagi importir yang tidak menyelesaikan kewajiban
berupa penyampaian pemberitahuan pabean dan membayar bea masuk dan pajak dalam rangka impor, dan/atau
cukai yang terutang, sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan adalah Importir wajib membayar:

1) Bea masuk dan pajak dalam rangka impor, dan/atau cukai yang terutang.
2) Sanksi administrasi berupa denda sebesar 10% (sepuluh persen) dari bea masuk yang wajib dilunasi dan
bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari pajak dalam rangka impor yang wajib dilunasi

3.3. Konsep Ekspor


Pengertian ekspor menurut Undang-undang Kepabeanan adalah kegiatan mengeluarkan barang dari
daerah pabean. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan
ruang udara diatasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di
dalamnya berlaku undang undang kepabeanan. Pihak yang melakukan ekspor disebut sebagai eksportir.

Berdasarkan ketentuan kepabeanan di bidang ekspor, eksportir adalah orang perseorangan, lembaga atau
badan usaha yang melakukan ekspor. Hal ini sejalan dengan ketentuan umum di bidang ekspor yang dikeluarkan
oleh Kementerian Perdagangan melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 13/M-DAG/PER/3/2012

40
(Permendag No. 13/2012) yang menyatakan bahwa yang bisa melakukan ekspor adalah orang perseorangan,
Lembaga atau Badan Usaha, baik yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum.

Sesuai dengan Pasal 11A Undang-undang Kepabeanan, eksportir wajib memberitahukan barang yang akan
diekspor ke Kantor Pabean dengan menggunakan pemberitahuan pabean ekspor. Pemberitahuan pabean untuk
ekspor adalah PEB, yang harus diajukan ke Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC). Dari sisi
Bea dan Cukai, pemberitahuan pabean dimaksudkan sebagai sarana untuk melakukan pengawasan terhadap
barang yang akan dikeluarkan dari daerah pabean. Dikecualikan dari pemberitahuan pabean ekspor ini terhadap:
barang pribadi penumpang, barang awak sarana pengangkut, barang pelintas batas dan barang kiriman melalui
PT (Persero) Pos Indonesia dengan berat tidak melebihi 100 (seratus) kilogram.

Dalam kaitan dengan pemberitahuan pabean ini, eksportir harus bisa mendeskripsikan jenis barangnya
serta jumlah/volume barangnya dengan benar, sesuai dengan data yang dikehendaki dalam PEB. Penyampaian
PEB ke KPPBC disampaikan dalam bentuk tulisan di atas formulir (secara manual) atau data elektronik. Data
elektronik dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu Pertukaran Data Elektronik (PDE) dan media penyimpan data
elektronik (misalnya : CD, flash disk dan sebagainya).

Pemahaman yang baik tentang kewajiban eksportir ini menjadi penting karena dalam mengajukan
pemberitahuan pabean ekspor, eksportir dituntut untuk memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang dengan
benar. Jika salah dalam memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang dalam pemberitahuan pabean yang
mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara di bidang ekspor (meliputi bea keluar), eksportir akan
dikenakan sanksi administrasi berupa denda paling sedikit 100% (seratus persen) dari pungutan negara di bidang
ekspor yang kurang dibayar dan paling banyak 1000% (seribu persen) dari pungutan negara di bidang ekspor yang
kurang dibayar (Pasal 82 UU Kepabeanan).

Ketentuan larangan dan pembatasan ekspor di Indonesia diterbitkan oleh instansi diluar DJBC,
misalnya oleh Kementerian Perdagangan, Bank Indonesia, Kementerian Kesehatan dan lain-lain. Dalam
ketentuan umum di bidang ekspor (Permendag No. 13/2012) yang diterbitkan oleh Kementerian Perdagangan,
barang ekspor dibedakan menjadi tiga (3) golongan, yaitu: barang dilarang ekspor, barang dibatasi ekspor dan
barang bebas ekspor.

a) Barang dilarang ekspor, yaitu barang yang tidak boleh diekspor. Tidak diperkenankan bagi orang
perseorangan maupun badan usaha atau siapapun untuk melakukan ekspor jenis barang yang dilarang ini.
Barang dilarang ekspor misalnya: rotan mentah, kayu dalam bentuk log, bantalan rel kereta api atau trem
dari kayu, sisa dan skrap dari besi tuang, bijih timah dan konsentratnya, pasir silika/kuarsa. Jenis-jenis
barang yang dilarang diekspor dapat dilihat dalam Peraturan Menteri Perdagangan tentang Barang
Dilarang Ekspor (Permendag No. 44/M-DAG/PER-7/2012).

b) Barang dibatasi ekspor, yaitu barang yang dibatasi jenis dan/atau jumlah yang diekspor. Untuk kategori
barang ini, saat ekspornya diperlukan perizinan khusus dari intansi yang berwenang. Perizinan ini harus
dipenuhi sebelum mengajukan PEB ke kantor pabean, karena dokumen dari instansi lain ini merupakan
dokumen pelengkap PEB, artinya suatu dokumen yang harus dilampirkan ketika mengajukan PEB.
Sehingga tanpa dokumen perizinan dimaksud, DJBC tidak akan melayani ekspor yang diajukan oleh
eksportir. Jika PEB disampaikan melalui sistem PDE, maka PEB yang dikirim tersebut akan dilakukan
pengecekan perizinan di portal Indonesia National Single Window (INSW) sebelum diteruskan ke sistem
pelayanan Bea dan Cukai. Jika perizinan tidak terpenuhi, maka PEB yang diajukan tidak akan diteruskan ke
sistem pelayanan Bea dan Cukai tetapi akan dikonfirmasi perizinannya. Beberapa contoh dokumen yang
diperlukan untuk barang pembatasan ini adalah Surat Persetujuan Ekspor (SPE), Laporan Surveyor (LS),
dan dokumen V-legal.
41
c) Barang bebas ekspor, yaitu barang yang tidak termasuk dalam kelompok barang dibatasi dan dilarang
ekspor. Atas ekspor barang jenis ini tidak dilarang dan tidak diperlukan perizinan khusus untuk
ekspornya. Jadi boleh mengekspor jenis barang ini tanpa persyaratan/perizinan khusus.

Sebagai eksportir, perlu memahami apakah barang yang akan diekspor termasuk barang bebas ekspor,
barang dibatasi ekspor atau barang dilarang ekspor. Dengan memahami ketentuan larangan dan pembatasan
ekspor sebelum melakukan kegiatan ekspor, diharapkan segala persyaratan ekspor dapat dipenuhi sebelum
mengajukan PEB, sehingga proses kepabeanan berjalan lancar. Karena jika persyaratan ketentuan larangan
pembatasan tersebut tidak dipenuhi dan telah diberitahukan dengan pemberitahuan pabean, maka akan
diberlakukan ketentuan Pasal 53 ayat (3) Undang-undang Kepabeanan, yaitu atas permintaan eksportir
barangnya diekspor kembali atau dimusnahkan dibawah pengawasan pejabat bea dan cukai, kecuali barang
tersebut ditetapkan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Misalnya, pelanggaran atas
ketentuan perizinan ekspor flora fauna, terhadap barangnya (species flora fauna tersebut) akan disita untuk
negara.

Jika barang ekspor yang dilarang atau dibatasi tidak diberitahukan atau diberitahukan secara tidak benar,
maka sesuai dengan ketentuan Pasal 53 ayat (4) Undang-undang Kepabeanan, atas barang tersebut dinyatakan
sebagai barang dikuasai negara kecuali barang tersebut ditetapkan lain berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Saat ini daftar barang yang dilarang dan dibatasi ekspornya dapat diakses di
situs: http://www.insw.go.id/

Hal lain yang perlu dilakukan pengecekan juga adalah apakah barang yang akan diekspor tersebut ada
ketentuan serupa di negara tujuan. Informasi ini dapat ditanyakan kepada calon importir (buyer) di negara
tujuan. Sehingga jika ada, eksportir atau buyer/importir bisa mengurusnya bersama atau melengkapi segala
persyaratan sebelum kegiatan ekspor dilakukan.

Bea keluar adalah pungutan negara berdasarkan undang-undang kepabeanan yang dikenakan terhadap
barang ekspor. Bea keluar dikenakan terhadap barang ekspor dengan tujuan untuk:

a) Menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri;


b) Melindungi kelestarian sumber daya alam;
c) Mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dan komoditi ekspor tertentu di pasaran internasional;
d) Menjaga stabilitas harga komoditi tertentu di dalam negeri.

Barang ekspor yang dikenakan bea keluar antara lain:

- Kulit (kulit jangat & kulit mentah, kulit disamak (wet blue);
- Kayu (Veneer, serpih kayu dan kayu olahan);
- Biji Kakao;
- Kelapa Sawit, CPO dan Produk Turunannya (terdiri dari 29 komoditi tunggal dan 6 produk campuran);
- Produk Mineral Hasil Pengolahan (6 jenis komoditi konsentrat: Cu, Fe, Mn, Pb, Zn, ilmenite/titanium
lainnya).

Perhitungan tarif bea keluar merupakan perkalian antara volume ekspor dengan Harga Patokan Ekspor
(HPE), tarif dan kurs. HPE adalah harga patokan yang ditetapkan secara periodik oleh Menteri Perdagangan.
Secara umum formula perhitungan bea keluar adalah:

Volume Ekspor x HPE x Tarif x Kurs Tarif bea keluar ada yang bersifat spesifik dan advalorum. Advalorum
yaitu perhitungan bea keluar sebesar persentase tertentu sesuai dengan besaran harga ekspor sebagaimana
tabel berikut:

42
• Sedangkan dalam hal tarif bea keluar ditetapkan secara spesifik, bea keluar dirumuskan sebagai berikut:
Tarif bea keluar per satuan barang dalam satuan mata uang tertentu x jumlah satuan barang x nilai tukar
mata uang
• Berikut rincian tarif bea keluar dari barang ekspor yang dikenakan bea keluar:
• Tarif bea keluar x jumlah satuan barang x harga ekspor per satuan barang x nilai tukar mata uang

Prosedur kepabeanan Ekspor sebagai berikut:

1) Eksportir wajib memberitahukan barang yang akan diekspor ke Kantor Bea dan Cukai tempat
pemuatan dengan menggunakan PEB (BC 3.0).
2) PEB dibuat oleh Eksportir berdasarkan dokumen pelengkap pabean berupa:
a. Invoice;
b. Packing List;
c. Dokumen lain yang diwajibkan.
3) Eksportir wajib memenuhi ketentuan larangan dan/ atau pembatasan ekspor yang ditetapkan oleh
instansi teknis.
4) Penghitungan besaran Bea Keluar dilakukan sendiri oleh Eksportir secara Self Assessment.
5) PEB disampaikan ke Kantor Bea Cukai pemuatan paling cepat 7 (tujuh) hari sebelum tanggal perkiraan
ekspor dan paling lambat sebelum barang ekspor masuk ke Kawasan Pabean tempat pemuatan.
6) Atas Ekspor barang curah, eksportir atau PPJK dapat menyampaikan PEB sebelum keberangkatan
sarana pengangkut.
7) Pengurusan PEB dapat dilakukan sendiri oleh eksportir atau dikuasakan kepada Pengusaha Pengurusan
Jasa Kepabeanan (PPJK).
8) Pada Kantor Pabean yang sudah menerapkan sistem PDE (Pertukaran Data Elektronik) kepabeanan,
eksportir/PPJK wajib menyampaikan PEB dengan menggunakan sistem PDE Kepabeanan

3.4. Pemeriksaan atas Barang Ekspor


Dalam rangka mendorong kegiatan ekspor diupayakan suatu pemeriksaan pabean atas barang ekspor
yang dilaksanakan secara cepat dan memberikan kepastian bagi eksportir dan importir atas barang yang
dikirimkan dan akan diterima ke/dari luar daerah pabean. Pemeriksaan ini pada dasarnya hanya pada
dokumennya (PEB dan dokumen pelengkap). Untuk barang-barang ekspor yang dipungut bea keluar dan
menurut analisis yang menghasilkan Hasil Nota Informasi/Intelijen tingkat risiko tinggi dapat dilakukan
pemeriksaan fisik.

Aturan mengenai pengawasan terhadap fasilitas yang diberikan oleh pemerintah antara lain:

a) Dalam hal tertentu diadakan pemeriksaan fisik, oleh petugas bea dan cukai terhadap barang ekspor
berdasarkan petunjuk kuat akan terjadi pelanggaran atau telah terjadi pelanggaran ketentuan di
bidang ekspor.
b) Berdasarkan informasi dari Direktorat Jenderal Pajak terdapat petunjuk kuat akan terjadi
pelanggaran atau telah terjadi pelanggaran ketentuan di bidang perpajakan dalam kaitannya
dengan restitusi PPN dan PPnBM.

43
c) Akan dimasukkan kembali ke dalam pabean (re-impor). Pemeriksaan dapat dilaksanakan di
Kawasan Pabean, Gudang eksportir atau tempat lain yang digunakan eksportir untuk menyimpan
barang ekspor.
d) Terhadap hasil produksi yang seharusnyua diekspor dimana bahan bakunya mendapat pembebasan
dan/atau pengembalian serta PPN dan PPnBM tidak dipungut yang harus ada di perusahaan, apabila
perusahaan tidak dapat mempertanggungjawabkan, maka perusahaan wajib:
r) Membayar BM dan/atau Cukai yang terutang ditambah denda sebesar 100% dari BM dan/atau
Cukai yang seharusnya dibayar dan bunga sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
s) Membayar PPN dan PPnBM yang semula tidak dipungut ditambah sanksi sesuai dengan
ketentuan perpajakan yang berlaku.

Pemeriksaan dapat dilakukan oleh surveyor terhadap barang ekspor yang seluruhnya atu sebagian
berasal dari barang impor yang mendapatkan fasilitas pembebasan BM, Penangguhan Pembayaran PPN/PPnBM
dan pengembalian BM, serta pembayaran pendahuluan PPN/PPnBM. Pemeriksaan dilaksanakan di tempat yang
ditunjuk oleh eskportir di luar kawasan pabean.

Dalam UU Nomor 17 Tahun 2007 yang mengatur tentang Pemeriksaan Pabean pada dasarnya pemeriksaan
dapat dilakukan di dalam daerah pabean oleh pejabat bea dan cukai ataupun di luar daerah pabean. Untuk
barang-barang ekspor yang terkena pembatasan larangan akan diperiksa secara intensif, apabila atas barang-
barang tersebut telah mendapatkan izin lebih dulu dari departemen teknis kepabeanan.

Bahwa terhadap barang Ekspor, dapat dilakukan pemeriksaan fisik yang dilakukan secara selektif
berdasarkan manajemen risiko, yaitu terhadap:

1) Barang Ekspor yang akan diimpor kembali;


2) Barang Ekspor yang pada saat impornya ditujukan untuk diekspor kembali;
3) Barang Ekspor yang mendapat fasilitas pembebasan dan/atau fasilitas pengembalian;
4) Barang Ekspor yang dikenakan Bea Keluar;
5) Barang Ekspor yang berdasarkan informasi dari Direktorat Jenderal Pajak menunjukkan adanya indikasi
yang kuat akan terjadi pelanggaran atau telah terjadi pelanggaran terhadap ketentuan perundang-
undangan di bidang perpajakan; atau
6) Barang Ekspor yang berdasarkan hasil analisis atas informasi yang diperoleh dari Unit Pengawasan
menunjukkan adanya indikasi yang kuat akan terjadi pelanggaran atau telah terjadi pelanggaran
ketentuan perundang-undangan.

3.5. Pengurusan oleh PPJK


Pengusaha pengurusan jasa kepabeanan (PPJK) adalah badan usaha yang melakukan kegiatan
pengurusan pemenuhan kewajiban pabean untuk dan atas nama pemilik barang. Pengusaha semacam ini
sebelumnya telah ada dan didalam praktek sehari-hari dikenal dengan nama perusahaan ekspedisi muatan kapal
laut (EMKL), ekspedisi muatan kapal udara, atau ekspedisi muatan pesawat udara (EMKU/EMPU), atau
pengusaha jasa transportasi. Untuk dapat melakukan pengurusan jasa kepabeanan, pengusaha terkait harus
mendapat pengesahan dari DJBC dan terdaftar pada Kantor Bea dan Cukai setempat.
Untuk dapat melakukan pengurusan jasa kepabeanan, PPJK (Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan)
harus memiliki nomor identitas berupa Nomor Pokok PPJK dalam rangka akses kepabeanan baik secara manual
maupun secara elektronik. Nomor pokok PPJK diterbitkan oleh Direktur Teknis Kepabeanan atas nama Direktur
Jenderal. PPJK harus melakukan registrasi melalui media elektronik kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai,
dengan persyaratan sebagai berikut:
a) Kejelasan dan kebenaran alamat PPJK (existence)
44
b) Kejelasan dan kebenaran identitas pengurus dan penganggung jawab PPJK (responsibility)
c) Mempunyai Ahli Kepabeanan (competency), dan hanya dapat digunakan untuk satu PPJK.
d) Kepastian penyelenggaran pembukuan (auditable).

3.6. Latihan Soal


1. Jelaskan kewajiban pengangkut sebelum kedatangannya di Kawasan Pabean !
2. Jelaskan kewajiban pengangkut yang sarana pengangkutnya memasuki Daerah Pabean !
3. Jelaskan kewajiban pengangkut yang sarana pengangkutnya datang dari luar Daerah Pabean !
4. Jelaskan kewajiban pengangkut yang datang dari luar Daerah Pabean dalam hal pembongkaran tidak dapat
segera dilakukan !
5. Jelaskan pengusaha atau importir yang mengangkut barang impor dari tempat penimbunan sementara atau
tempat penimbunan berikat dengan tujuan tempat penimbunan sementara atau tempat penimbunan
berikat lainnya !
6. Jelaskan ketentuan tentang pengangkutan barang tertentu !
7. Jelaskan kewajiban pengangkut yang sarana pengangkutnya akan berangkat ke dalam Daerah Pabean
tetapi mengangkut barang impor atau barang ekspor!
8. Jelaskan kewajiban pengangkut yang membongkar barang impor !
9. Jelaskan apa yang dimaksud dengan barang impor untuk dipakai; dan dalam hal apa barang impor dapat
dikeluarkan untuk dipakai !
10. Jelaskan ketentuan tentang barang penumpang, awak sarana pengangkut dan pelintas batas !
11. Jelaskan besaran sanksi adminstrasi untuk orang yang tidak melubasi Bea Masuk dalam jangka waktu yang
ditetapkan !
12. Jelaskan ketentuan perubahan atas data pemberitahuan pabean yang telah diserahkan !
13. Jelaskan jangka waktu impor sementara !
14. Jelaskan fasilitas yang diberikan terhadap barang impor sementara !
15. Apakah semua barang ekspor wajib diberitahukan dengan pemberitahuan pabean ? Jelaskan !
16. Jelaskan ketentuan tentang pembatalan ekspor !
17. Jelaskan pengertian penumpang, awak sarana pengangkut dan pelintas batas

45
Bab 4
PENGANGKUTAN BARANG IMPOR DAN EKSPOR

4.1. Pengangkutan Barang


Pengangkut adalah orang, kuasanya atau yang bertanggungjawab atas pengoperasian Sarana
Pengangkut yang mengangkut barang dan/atau orang. Sarana Pengangkut adalah kendaraan/angkutan melalui
laut, udara atau darat yang dipakai untuk mengangkut barang dan/atau orang.

Pengangkut yang sarana pengangkutnya akan datang dari luar/dalam Daerah Pabean wajib
memberitahukan rencana kedatangan sarana pengangkut ke kantor pabean tujuan sebelum kedatangan sarana
pengangkut. Kewajiban tersebut juga berlaku untuk sarana pengangkut yang datang dari dalam Daerah Pabean
yang mengangkut barang impor, barang ekspor dan/atau barang asal Daerah pabean yang diangkut ke tempat
lain dalam Daerah Pabean melalaui luar Daerah Pabean. Kewajiban dimaksud tidak berlaku untuk sarana
pengangkut darat.
Yang dimaksud dengan saat kedatangan sarana pengangkut yaitu :
a) saat lego jangkar di perairan pelabuhan untuk sarana pengangkut melalui laut ;
b) saat mendarat di landasan bandar udara untuk sarana pengangkut melalaui udara.
Pada saat memasuki Daerah Pabean pengangkut sebagaimana tersebut diatas wajib mencantumkan
barang barang impor, barang ekspor dan/atau barang asal Daerah Pabean yang diangkut ke tempat lain dalam
Daerah Pabean melalaui luar Daerah Pabean, dalam manifesnya. Yang dimaksud manifes adalah barang niaga
yang dimuat dalam sarana pengangkut. Manifest dibuat oleh sarana pengangkut berdasarkan dokumen surat
muatan (Bill of Lading atau Airway Bill). Jadi sebenarnya dokumen Manifest adalah merupakan rekapitulasi dari
dokumen surat muatan.

Pengangkut yang sarana pengangkutnya datang dari luar Daerah Pabean atau datang dari dalam Daerah
Pabean dengan mengangkut barang impor, barang ekspor dan/atau barang asal Daerah pabean yang diangkut
ke tempat lain dalam Daerah Pabean melalui luar Daerah Pabean, wajib menyerahkan pemberitahuan
pabean,yang berisi informasi tentang semua barang niaga yang diangkutnya sebelum melakukan pembongkaran.

Kewajiban dari pengangkut pada saat kedatangan sarana pengangkut ke dalam daerah pabean,
dikecualikan bagi pengangkut yang berlabuh paling lama 24 (dua puluh empat) jam dan tidak melakukan
pembongkaran barang, antara lain:

a) Wajib Memberitahukan rencana kedatangan sarana pengangkut (RKSP) ke Kantor pabean tujuan
sebelum kedatangan sarana pengangkut, kecuali sarana pengangkut darat.
b) Wajib mencantumkan barang impor, barang ekspor, dan/atau barang asal daerah pabean yang
diangkut ke tempat lain dalam daerah pabean melalui luar daerah pabean yang diangkut oleh
sarana pengangkutnya dalam manifestnya.
c) Wajib menyerahkan pemberitahuan pabean mengenai barang yang diangkutnya sebelum
melakukan pembongkaran.
Dalam hal tidak segera dilakukan pembongkaran, kewajiban pengangkut untuk menyerahkan
pemberitahuan pabean mengenai barang yang diangkutnya dilaksanakan:

46
a) Paling lambat 24 (dua puluh empat) jam sejak kedatangan sarana pengangkut, untuk sarana
pengangkut yang melalui laut;
b) Paling lambat 8 (delapan) jam sejak kedatangan sarana pengangkut, untuk sarana pengangkut
yang melalui udara;
c) Pada saat kedatangan sarana pengangkut, untuk sarana pengangkut yang melalui darat;
Rencana Kedatangan Sarana Pengangkut adalah pemberitahuan tentang rencana kedatangan Sarana
Pengangkut yang disampaikan oleh pengangkut ke suatau Kantor Pabean. Jadwal Kedatangan Sarana
Pengangkut adalah pemberitahuan tentang rencana kedatangan Sarana Pengangkut yang mempunyai jadwal
kedatangan secara teratur dalam suatu periode tertentu, yang disampaikan oleh pengangkut ke suatu Kantor
Pabean.
Manifes Kedatangan Sarana Pengangkut (Inward Manifest), untuk selanjutnya disebut Inward Manifest
adalah daftar muatan barang niaga yang diangkut oleh sarana pengangkut melaui laut, udara dan darat pada saat
memasuki kawasan pabean.

Pada dasarnya barang impor hanya dapat dibongkar setelah diajukan pemberitahuan pabean tentang
kedatangan sarana pengangkut. Akan tetapi jika sarana pengangkut mengalami keadaan darurat seperti
mengalami kebakaran, kerusakan mesin yang tidak dapat diperbaiki, terjebak dalam cuaca buruk, atau hal lain
yang terjadi di luar kemampuan manusia, dapat dilakukan pengecualian dengan melakukan pembongkaran tanpa
memberitahukan terlebih dahulu tentang kedatangan sarana pengangkut.

Kewajiban yang harus dilakukan pengangkut pada saat sarana pengangkutnya mengalami keadaan
darurat tersebut antara lain:

a) Melaporkan keadaan darurat tersebut ke kantor pabean terdekat pada kesempatan pertama, yaitu
kantor pabean yang paling mudah dicapai dengan menggunakan radio panggil, telepon atau faksimili;
b) Menyerahkan pemberitahuan pabean paling lambat 72 (tujuh puluh dua) jam sesudah
pembongkaran.

Kewajiban dari pengangkut pada saat keberangkatan sarana pengangkut antara lain:

a) Wajib menyerahkan pemberitahuan pabean atas barang yang diangkutnya sebelum keberangkatan
sarana pengangkut;
b) Wajib mencantumkan barang impor, barang ekspor, dan /atau barang asal daerah pabean yang
diangkut melalui luar daerah pabean yang diangkut oleh sarana pengangkutnya dalam manifesnya.

Manifes Keberangkatan Sarana Pengangkut (Outward Manifest), untuk selanjutnya disebut Outward
Manifest adalah daftar muatan barang niaga yang diangkut oleh sarana pengangkut melaui laut, udara dan darat
pada saat meninggalkan kawasan pabean.

Sedangkan Pemberitahuan Pabean Pengangkutan Barang terdiri dari:

a) Pemberitahuan Rencana Kedatangan Sarana Pengangkut/ Jadwal Kedatangan Sarana Pengangkut


(RKSP/JKSP), dikenal dengan dokumen BC 1.0;
b) Pemberitahuan Manifes Kedatangan/Keberangkatan Sarana Pengangkut, dikenal dengan dokumen
BC 1.1;
c) Pemberitahuan pengeluaran barang impor dari kawasan pabean untuk diangkut ke tempat
penimbunana sementara di kawasan pabean lainnya, dikenal dengan dokumen BC 1.2;

47
d) Pemberitahuan Pengangkutan barang asal daerah pabean dari satu tempat ke tmpat lain melalui
luar daerah pabean, dikenal dengan dokumen BC 1.3;

4.2. Pemberitahuan Pabean


Untuk pemberitahuan pabean, pihak-pihak yang berhak melakukan pengurusan adalah pengangkut
(pelayaran/penerbangan), importir dan eksportir. Dalam pasal 29 Undang-undang kepabeanan disebutkan
bahwa:

a) Pengurusan Pemberitahuan Pabean yang diwajibkan Undang-undang ini dilakukan oleh pengangkut,
importir, atau eksportir.
b) Dalam hal pengurusan Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan
sendiri, importir atau eksportir menguasakannya kepada pengusaha pengurusan jasa kepabeanan.
c) Ketentuan tentang pengurusan Pemberitahuan Pabean diatur lebih lanjut oleh Manteri.

Pengurusan pemberitahuan yang berkaitan dengan kedatangan sarana pengangkut dibuat oleh
pengangkut. Pemberitahuan pabean dibuat dan diserahkan oleh pengangkut kepada Kantor Bea dan Cukai
setempat dalam jangka waktu yang ditetapkan. Pemberitahuan pabean ini berupa:
– RKSP (rencana kedatangan sarana pengangkut), dan
– Manifest (daftar muatan kapal).
Dalam praktek sehari-hari tugas ini dilakukan oleh agen perkapalan/agen penerbangan yang bersangkutan.

Terhadap penyelesaian barang impor yang telah berada di kawasan pabean, pengajuan dokumen
pemberitahuan pabean (PIB: Pemberitahuan Impor Barang) dilakukan oleh importer. Dalam hal ini termasuk juga
pengusaha Tempat Penimbunan Berikat. Demikian juga halnya terhadap barang ekspor. Pihak eksportirlah yang
harus melakukan pemberitahuan ekspor.

Pada dasamya Undang-undang Kepabeanan menganut prinsip bahwa semua pemilik barang, baik barang
impor maupun barang ekspor, dapat menyelesaikan sendiri kewajiban pabeannya. Namun mengingat bahwa
tidak semua pemilik barang mengetahui atau menguasai ketentuan tatalaksana penyelesaian kepabeanannya,
atau karena suatu hal tidak dapat menyelesaikan sendiri kewajiban pabeannya, maka Undang-undang memberi
kemungkinan pemberian kuasa penyelesaian kewajiban pabean kepada pihak lain dalam hal ini kepada PPJK.

4.3. Pemberitahuan Impor Barang


Pemberitahuan Impor Barang (PIB) adalah dokumen pemberitahuan oleh importir kepada bea cukai atas
barang impor, berdasarkan dokumen pelengkap pabean sesuai prinsip self assessment, yaitu prinsip yang
mewajibkan wajib pajak menghitung, membayar dan melaporkan pajak sesuai ketentuan undang-undang.
Beberapa contoh dokumen yang termasuk dalam dokumen pelengkap PIB di antaranya invoice, packing list, bill
of lading/airway bill asuransi.
Sejumlah landasan hukum yang mengatur penggunaan formulir PIB di Indonesia :
o Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang telah diubah dengan UU no. 17 Tahun
2006.
o Peraturan Menteri Keuangan Nomor. 155/PMK.04/2008 tentang Pemberitahuan Pabean sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 226/PMK.04/2015.
o Peraturan Dirjen Bea dan Cukai No. P-22/BC/2009 tentang Pabean Impor sebagaimana telah diubah
beberapa kali terakhir dengan PER 20/BC/2016.

48
Beberapa bagian yang harus diperhatikan sebelum mengisi formulir PIB adalah :
- Kantor Kepabeanan
Kantor Pelayanan Bea Cukai tempat Anda mengurus dokumen bersangkutan.
- Nomor Pengajuan
Merupakan kombinasi angka yang akan diisi dengan identitas bank yang akan Anda gunakan, tanggal
PIB dibuat dan nomor seri EDI (Electronic Data Interchnage)
- Jenis-Jenis Pemberitahuan Impor Barang

49
1. Pemberitahuan Impor Barang Biasa adalah PIB yang diajukan untuk sekali impor baik untuk barang
impor yang telah tiba dan yang diajukan sebelum barang impor tiba.
2. Pemberitahuan Impor Barang Berkala adalah PIB yang diajukan untuk lebih dari sekali impor untuk
satu periode. Barang impor dalam periode ini biasanya dikeluarkan terlebih dahulu dari kawasan
pabean.
3. Pemberitahuan Impor Barang Penyelesaian adalah PIB yang diajukan untuk sekali pengimporan
setelah barang impor dikeluarkan lebih dulu dari Kawasan pabean.
- Jenis Impor. Mencatat fasilitas pengeluaran barang. Contohnya, kode angka 1 untuk impor dipakai, 2
untuk impor sementara, 3 untuk reimpor, 5 untuk pelayanan segera atau 9 untuk status vooruitslag yaitu
pengeluaran barang impor untuk dipakai dengan menggunakan jaminan.
- Cara Pembayaran. Untuk melakukan pembayaran, Anda dapat menerapkan sistem biasa, berkala atau
dengan jaminan.
- Nama Pemasok. Berisi identitas lengkap pihak eksportir disertai kode negara pengekspor.
- Importir. Berisi data-data perusahan pengimpor seperti NPWP, Identitas, status dan Angka Pengenal
Importir (API).
- Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan. Berisi identitas lengkap pemilik jasa kepabeanan yang diinput
langsung oleh pihak penyedia jasa kepabeanan.
- Perkiraan Tanggal tiba. Berisi estimasi waktu sampai yang bisa dilihat berdasarkan Bill of Lading yang
sudah kita miliki

PIB berisi perincian atas barang impor, termasuk jumlah pajak dan bea masuk yang harus dibayar atas
barang impor. PIB disampaikan dalam data elektronik melalui sistem kepabeanan atau menggunakan media
penyimpan data digital. PIB juga dapat disampaikan melalui tulisan di atas formulir khusus. PIB kemudian dila
porkan bersamaaan dengan beberapa dokumen pelengkap serta bukti pembayaran bea masuk, cukai dan Pajak
Dalam Rangka Impor (PDRI) yang disampaikan kepada pejabat di kantor pabean. Barang Kena Cukai (BKC) dapat
dilunasi dengan pelekatan pita cukai yang dokumen pemesananannya telah disampaikan kepada pejabat di
kantor pabean tempat pengeluaran barang.
Untuk dokumen seperti Surat Pemberitahuan Jalur Merah, Surat Pemberitahuan Jalur Kuning, SPPB untuk
jalur hijau pelunasannya dilakukan dalam jangka waktu 3 hari kerja setelah tanggal. Sementara, untuk dokumen
SPPB untuk jalur MITA Prioritas dan jalur MITA Non Prioritas pelunasannya dilakukan dalam jangka waktu 5 hari
kerja.
Tata cara pembayaran bea masuk, cukai dan pajak dalam rangka impor:
o Pembayaran bea masuk, cukai dan PDRI dapat dilakukan di bank devisa persepsi atau kantor pabean
dapat dilakukan dengan cara pembayaran biasa dan pembayaran berkala.
o Untuk kantor pabeanan yang telah menerapkan sistem PDE kepabeanan, dapat melakukan pembayaran
di bank devisa persepsi yang masih sejalur dengan sistem PDE kepabeanan yang sekota/sewilayan kerja
dengan kantor pabean yang bersangkutan. Pihak Bank akan memberikan bukti pembayaran dan
mengirimkan credit advice melalui sistem PDE kepabeanan ke kantor pabean yang telah menerapkan
sistem PDE kepabeanan.

4.4. Pemberitahuan Ekspor Barang


Tata laksana ekspor ditentukan sebagai berikut:

1) Eksportir/ Kuasanya menyampaikan dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) ke Kantor Bea
Cukai tempat pemuatan.

50
2) Terhadap Barang Ekspor yang diberitahukan dalam PEB dilakukan penelitian dokumen setelah
dokumen pemberitahuan disampaikan.
3) Jika terhadap penelitian dokumen PEB menunjukkan pengisian atas data PEB tidak lengkap dan/atau
tidak sesuai, diterbitkan respon Nota Pemberitahuan Penolakan (NPP).
4) Jika dalam penelitian larangan dan/atau pembatasan menunjukkan dokumen persyaratan belum
dipenuhi maka diterbitkan Nota Pemberitahuan Persyaratan Dokumen (NPPD).
5) Dalam hal hasil penelitian Sistem Komputer Pelayanan menunjukan lengkap dan sesuai, dan tidak
termasuk barang yang dilarang atau dibatasi ekspornya, atau termasuk barang yang dilarang atau
dibatasi ekspornya tetapi persyaratan ekspornya telah dipenuhi, serta barang tidak dilakukan
pemeriksaan fisik, PEB diberi nomor dan tanggal pendaftaran dan diterbitkan respon NPE.
6) Dalam hal dilakukan pemeriksaan fisik, maka diterbitkan Pemberitahuan Pemeriksaan Barang (PPB).
Jika pemeriksaan fisik barang ekspor menunjukkan:
a. Hasil sesuai, maka diterbitkan Nota Pelayanan Ekspor (NPE).
b. Hasil tidak sesuai, diteruskan kepada Unit Pengawasan untuk penelitian lebih lanjut.

Prosedur kepabeanan ekspor adalah berikut ini:

1) Eksportir wajib memberitahukan barang yang akan diekspor ke Kantor Bea dan Cukai tempat
pemuatan dengan menggunakan PEB (BC 3.0).
2) PEB dibuat oleh Eksportir berdasarkan dokumen pelengkap pabean berupa:
a. Invoice;
b. Packing List;
c. Dokumen lain yang diwajibkan.
3) Eksportir wajib memenuhi ketentuan larangan dan/ atau pembatasan ekspor yang ditetapkan oleh
instansi teknis.
4) Penghitungan besaran Bea Keluar dilakukan sendiri oleh Eksportir secara Self Assessment.
5) PEB disampaikan ke Kantor Bea Cukai pemuatan paling cepat 7 (tujuh) hari sebelum tanggal perkiraan
ekspor dan paling lambat sebelum barang ekspor masuk ke Kawasan Pabean tempat pemuatan.
6) Atas Ekspor barang curah, eksportir atau PPJK dapat menyampaikan PEB sebelum keberangkatan
sarana pengangkut.
7) Pengurusan PEB dapat dilakukan sendiri oleh eksportir atau dikuasakan kepada Pengusaha
Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK).
8) Pada Kantor Pabean yang sudah menerapkan sistem PDE (Pertukaran Data Elektronik) kepabeanan,
eksportir/PPJK wajib menyampaikan PEB dengan menggunakan sistem PDE Kepabeanan.

Pengecualian kewajiban memberitahukan PEB antara lain:

1. Barang pribadi penumpang;


2. Barang awak sarana pengangkut;
3. Barang pelintas batas; atau
4. Barang kiriman melalui pos dengan berat tidak melebihi 100 (seratus) kilogram.

Sanksi yang ditetapkan atas tidak dipenuhinya tata laksana ekspor adalah sebagai berikut:
1. Mengekspor tanpa menyerahkan pemberitahuan pabean dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000 (lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp 5.000.000.000 (lima miliar rupiah).

51
2) Menyerahkan pemberitahuan pabean dan/atau dokumen pelengkap pabean yang palsu atau dipalsukan
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun paling lama 8 (delapan) tahun dan/ atau
pidana denda paling sedikit seratus juta rupiah dan paling banyak lima miliar rupiah.
3) Tidak melaporkan pembatalan ekspor kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Bea Cukai Pemuatan atau
melaporkan pembatalan eksponya namun melewati jangka waktu, dikenai sanksi administrasi berupa
denda sebesar Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
4) Salah memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang dikenai sanksi administrasi berupa denda paling
sedikit 100% (seratus persen) dari pungutan negara di bidang ekspor yang kurang dibayar dan paling
banyak 1.000% (seribu persen) dari pungutan negara di bidang ekspor yang kurang dibayar.

4.5. Kewajiban Registrasi


Orang yang akan melakukan pemenuhan kewajiban pabean wajib melakukan registrasi ke Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai untuk mendapatkan nomor identitas dalam rangka akses kepabeanan. Perimbangannya
adalah, semakin berkembangnya penggunaan tehnologi informasi dalam kegiatan kepabeanan, diperlukan
adanya sarana untuk mengenali pengguna jasa kepabeanan melalaui nomor identitas pribadi yang diberikan oleh
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Dengan demikian hanya orang yang memiliki nomor identitas tersebut yang
dapat mengakses atau berhubungan dengan sistem tehnologi informasi kepabeanan. Perolehan nomor identitas
tersebut dilakukan dengan cara registrasi, misalnya registrasi importir, eksportir dan penggusaha pengurusan
jasa kepabeanan.

Dikecualikan dari kewajiban registrasi kepabeanan adalah orang yang melakukan pemenuhan kewajiban
pabean tertentu misalnya barang penumpang, barang diplomatik, atau barang kiriman melalui pos atau
perusahaan jasa titipan.

4.6. Latihan

1. Apa yang dimaksud dengan kegiatan ekspor dan kegiatan impor?


2. Jelaskan yang dimaksud dengan Pengangkut dan Sarana Pengangkut.
3. Kapankah saat kedatangan sarana pengangkut?
4. Apa kewajiban yang harus dipenuhi oleh Pengangkut saat sarana pengangkutnya memasuki daerah
Pabean?
5. Jelaskan masing-masing istilah berikut ini:
a. Manifes Kedatangan Sarana Pengangkut (inward manifest)
b. Manifes Keberangkatan Sarana Pengangkut (outward manifest)
c. Rencana Kedatangan Sarana Pengangkut (RKSP)
d. Pemberitahuan Pabean
e. Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB)
f. Pemberitahuan Impor Barang (PIB)
6. Apa saja yang menjadi pengecualian dalam kewajiban memberitahukan PEB?
7. Apa saja yang menjadi pengecualian dalam kewajiban memberitahukan PIB?

52
Bab 5
PEMBONGKARAN DAN PENIMBUNAN

5.1. Pembongkaran
Barang impor yang diangkut sarana pengangkut dapat dibongkar ke sarana pengangkut lainnya di laut
dalam hal pelabuhan belum dapat disandari langsung sehingga pembongkaran dilakukan di luar pelabuhan
(reede). Selanjutnya barang impor yang telah dibongkar di luar pelabuhan tersebut wajib dibawa ke kantor
pabean melalui jalur yang telah ditetapkan, yaitu jalur yang harus dilalui oleh sarana pengangkut yang
meneruskan pengangkutan dari reede ke kantor pabean.

Apabila barang impor yang dibongkar kedapatan kurang atau lebih dari yang diberitahukan dalam
pemberitahuan pabean maka:

1)Dalam hal barang impor yang dibongkar kedapatan kurang dari yang diberitahukan dalam
pemberitahuan pabean dan pengangkut tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi di
luar kemampuannya, pengangkut wajib membayar bea masuk atas barang yang kurang dibongkar dan
dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp 25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah) dan
paling banyak Rp 25.0000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah) ;
2) Dalam hal barang impor yang dibongkar kedapatan lebih banyak yang diberitahukan dalam
pemberitahuan pabean dan pengangkut tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi di
luar kemampuannya, pengangkut wajib membayar bea masuk atas barang yang kurang dibongkar dan
dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp 25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah) dan
paling banyak 500.0000.000 (lima ratus juta rupiah)

Sedangkan apabila jumlah barang impor yang dibongkar kedapatan kurang dari yang diberitahukan dalam
pemberitahuan pabean dan pengangkut tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi di luarn
kemampuannya, maka pengangkut dianggap telah memasukan barang impor tersebut ke peredaran bebas,
sehingga dikenai sanksi administrasi atas kelalaian tersebut.

5.2. Penimbunan
Barang impor yang diangkut sarana pengangkut wajib dibongkar di kawasan paeban atau dapat dibongkar
di tempat lain setelah mendapat izin kepala kantor pabean. Pembongkaran di tempat lain dilakukan dengan
memperhatikan teknis pembongkaran atau sebab lain atas pertimbangan kepala kantor pabean, misalnya sarana
pengangkut tidak dapat sandar di dermaga atau alat bongkar tidak tersedia.

Barang impor dapat dikeluarkan dari kawasan pabean untuk:

a) diimpor untuk dipakai


b) diimpor sementara
c) ditimbun di tempat penimbunan berikat
d) diangkut ke tempat penimbunan sementara di kawasan pabean lainnya
e) diekspor kembali.

Dalam hal barang impor sementara menunggu pengeluarannya dari kawasan pabean, dapat ditimbun di
tempat penimbunan sementara atau di tempat lain yang diperlakukan sama dengan tempat penimbunan

53
sementara. Yang dimaksud dengan Tempat-tempat Penimbunan adalah Bangunan atau lapangan yang
digunakan untuk menyimpan/menimbun barang impor/ekspor yang belum diselesaikan kewajiban pabeannya
sesuai ketentuan Undang-undang Kepabeanan.

Tempat-tempat penimbunan tersebut terdiri dari :

1) Tempat Penimbunan Sementara

Sebagaimana yang disebutkan dalam modul I (pasal 1 ayat 16 UU Kepabeanan) : “Tempat Penimbunan
Sementara adalah bangunan dan/atau lapangan atau tempat lain yang di samakan dengan itu di Kawasan Pabean
untuk menimbun barang sementara menunggu pemuatan atau pengeluarannya.”

Penjelasannya adalah sebagai berikut:

❖ “Menimbun barang sementara” artinya barang impor/ekspor tidak boleh lama ditimbun di Tempat
Penimbunan Sementara.
Ada dua jenis TPS, yaitu:
1. Tempat Penimbunan Sementara yang ada di dalam area pelabuhan dibatasi paling lama 30 (tiga
puluh) hari.
2. Tempat Penimbunan Sementara yang ada diluar area pelabuhan (tempat lain yang disamakan)
dibatasi paling lama 60 (enam puluh) hari.

Contoh :
Dipelabuhan Tanjung Priok terdapat Tempat Penimbunan Sementara yang berada di luar area pelabuhan,
contoh:
a. JICT I (Jakarta International Container Terminal )
b. KOJA
c. DP3 (Depo Petikemas dibawah Pengawasan Pabean)

Pembatasan waktu penimbunan di Tempat Penimbunan Sementara tujuannya agar arus lalu lintas barang
yang keluar /masuk kawasan pabean /pelabuhan tidak terhambat (kongesti). Tidak lancarnya pengeluaran
barang dari pelabuhan akan menyebabkan sewa gudang meningkat; resiko kehilangan/kerusakan barang
impor/ekspor sangat tinggi, yang pada akhirnya akan menyebabkan ekonomi biaya tinggi.

❖ “.....menunggu pemuatannya atau pengeluarannya....”


▪ Pemuatannya artinya pemuatan barang ekspor ke sarana pengangkut;
▪ pengeluarannya artinya pengeluaran barang impor dari TPS/Kawasan Pabean.

Kesimpulan :

Tempat Penimbunan Sementara merupakan tempat untuk menimbun barang impor / ekspor yang dibatasi
waktunya yang tujuannya untuk mencegah kongesti.

Penimbunan barang impor/ekspor di Tempat Penimbunan Sementara yang melewati batas waktu yang
ditetapkan dinyatakan sebagai barang yang tidak dikuasai. Pengusaha Tempat Penimbunan Sementara
bertanggung jawab terhadap hutang Bea Masuk atas barang impor yang ditimbun di Tempat Penimbunan
Sementara tersebut.

2) Tempat Penimbunan Berikat (TPB)

Menurut pasal 1 ayat 17 UU Kepabeanan , Tempat Penimbunan Berikat adalah :

54
“ bangunan, tempat atau kawasan yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang
dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan Bea Masuk” .

Tujuan tertentu didirikannya Tempat Penimbunan Berikat tercantum dalam pasal 44 UU Kepabeanan ,
sebagai berikut :

i. menimbun barang impor guna diimpor untuk dipakai, dikeluarkan ke tempat berikat lainnya atau diekspor;
ii. menimbun barang guna diolah atau digabungkan sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai;
iii. menimbun barang impor, dengan atau tanpa digabungkan dengan barang dari dalam daerah pabean, guna
dipamerkan;
iv. menimbun, menyediakan untuk dijual dan menjual barang impor kepada orang tertentu;
v. menimbun barang impor guna dilelang sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai;
vi. menimbun barang asal daerah pabean guna dilelang sebelum diekspor atau dimasukkan kembali ke dalam
daerah pabean; atau
vii. menimbun barang impor guna didaur ulang sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai.

Dengan adanya Tempat Penimbunan Berikat ini akan dapat dijamin adanya kelancaran arus barang dalam
kegiatan impor atau ekspor serta peningkatan produksi dalam negeri dalam rangka pembangunan dan
pengembangan ekonomi nasional.

Semua barang impor yang ditimbun di Tempat Penimbunan Berikat mendapat fasilitas Penangguhan Bea
Masuk yaitu peniadaan sementara kewajiban pembayaran Bea Masuk sampai timbul kewajiban untuk membayar
Bea Masuk berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan .

Barang dapat dikeluarkan dari tempat penimbunan berikat atas persetujuan pejabat Bea dan Cukai , untuk
:

i. diimpor untuk dipakai ;


ii. diolah ;
iii. diekspor sebelum atau sesudah diolah ;
iv. diangkut ke tempat penimbunan berikat lain atau tempat penimbunan sementara ;
v. dikerjakan dalam Daerah Pabean dan kemudian dimasukkan kembali ke tempat penimbunan berikat
dengan persyaratan yang ditetapkan Menteri Keuangan ;
vi. dimasukkan kembali ke dalam Daerah Pabean.

Barang dari tempat penimbunan berikat yang diimpor untuk dipakai , berupa barang yang telah diolah
atau digabungkan, barang yang tidak diolah , dan/atau barang lainnya dipungut bea masuk berdasarkan tarif
dan nilai pabean yang ditetapkan dengan peraturan Menteri Keuangan.

Berdasarkan Undang-undang Kepabeanan orang yang mengeluarkan barang dari tempat penimbunan
berikat sebelum diberikan persetujuan oleh pejabat Bea dan Cukai tanpa bermaksud mengelakkan kewajiban
pabean dikenai sanksi adminstrasi berupa denda sebesar Rp. 75.000.000,00

Pengusaha TPB yang tidak dapat mempertanggung jawabkan barang yang seharusnya berada di tempat
tersebut, wajib membayar bea masuk yang terutang dan dikenai sanksi administrasi sebesar 100% dari bea masuk
yang seharusnya dibayar.

3) Tempat Penimbunan Pabean (TPP)

Tempat Penimbunan Pabean adalah bangunan dan /atau lapangan atau tempat lain yang disamakan
dengan itu yang disediakan oleh pemerintah di Kantor Pabean yang berada dibawah pengelolaan Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai dan digunakan untuk :
55
▪ menyimpan barang yang dinyatakan tidak dikuasai
▪ barang yang dikuasai negara
▪ barang yang menjadi milik negara

Disetiap kantor pabean disediakan tempat penimbunan pabean. Penunjukkan tempat lain yang berfungsi
sebagai tempat penimbunan pabean ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

5.3. Tanggung Jawab Bea Masuk


Berdasarkan ketentuan Kepabeanan, terhadap barang yang dimasukan ke dalam daerah pabean
diperlakukan sebagai barang impor dan terutang bea masuk. Barang impor begitu memasuki batas daerah
pabean sudah terutang bea masuk, namun mengingat barang tersebut belum tentu diimpor untuk dipakai, maka
kewajiban melunasi bea masuk baru timbul sejak tanggal pemberitahuan pabean atas impor.

Dalam pasal 30 Undang-undang Kepabeanan disebutkan bahwa:

1) Importir bertanggung jawab terhadap Bea Masuk yang terutang sejak tanggal Pemberitahuan Pabean atas
Impor.
2) Bea Masuk yang harus dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan tarif yang berlaku
pada tanggal Pemberitahuan Pabean atas Impor dan nilai pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
3) Bea masuk harus dibayar dalam mata uang rupiah.
4) Ketentuan mengenai nilai tukar mata uang yang digunakan untuk penghitungan dan pembayaran bea
masuk diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri.

Nilai pabean yang dimaksud dalam pasal 15 tersebut diatas adalah nilai pabean untuk perhitungan bea
masuk berdasarkan nilai transaksi dari barang yang bersangkutan.

Tanggung jawab importir bukan hanya terhadap pelunasan bea masuk atas importasi barang yang
dilakukannya, akan tetapi juga konsekuensi dari pemberitahuan impor barang yang disampaikan ke pihak Bea
dan Cukai. Konsekuensi tersebut meliputi kemungkinan pengenaan sanksi administrasi ataupun sanksi pidana
atas pelanggaran ketentuan Undang-undang Kepabeanan sesuai ketentuan yang berlaku.

Pada prinsipnya pungutan bea masuk atas barang impor merupakan tanggung jawab importir yang
bersangkutan. Namun apabila pengurusan pengajuan pemberitahuan impor dikuasakan kepada pengusaha
pengurusan jasa kepabeanan (PPJK), maka pihak PPJK juga dapat dimintakan pertanggungjawabannya atas bea
masuk yang terhutang. Hal ini dapat terjadi apabila karena sesuatu hal ( misalnya terjadi pelanggaran
kepabeanan) dilakukan penagihan bea masuk atau denda administrasi, namun importirnya tidak dapat
ditemukan, misalnya melarikan diri atau alamatnya palsu dan sebagainya. Dalam hal demikian maka tanggung
jawab atas bea masuk tersebut beralih kepada pihak pengusaha pengurusan jasa kepabeanan.

Pada prinsipnya importir bertanggung jawab atas pembayaran bea masuk barang yang diimpornya.
Namun berdasarkan ketentuan dalam pasal 30 ayat (1) Undang-undang pabean tersebut diatas bahwa importir
baru dinyatakan bertanggung jawab atas bea masuk terhitung sejak diajukan atau didaftarkaannya dokumen
pemberitahuan pabean dalam hal ini sejak diajukannya dokumen PIB (Pemberitahuan Impor Barang) kepada
Kantor Bea dan Cukai setempat. Sebelum PIB/pemberitahuan pabean didaftarkan di kantor pabean, maka
tanggung jawab atas bea masuk berada pada pengusaha Tempat Penimbunan Sementara, dimana barang impor
ditimbun sebelum dikeluarkan dari Kawasan Pabean.

Sebagai contoh di pelabuhan Tanjung Priok atas barang yang ditimbun di UTPK (Unit Terminal Peti Kemas)
yang tidak dapat dibuktikan pengeluarannya secara sah, maka pihak Pelindo harus bertanggung jawab terhadap

56
bea masuk yang terutang atas barang yang ditimbun di tempat tersebut. Kecuali dapat dibuktikan bahwa barang
dimaksud musnah, direekspor, diimpor atau dipindahkan ke TPS lain, TPB atau TPP.

Dalam hal barang yang ditimbun dipindahkan ke TPS lain atau ke TPB, maka tanggung jawab atas bea
masuk barang impor beralih kepada pengusaha TPS lain atau pengusaha TPB. Namun jika barang impor tersebut
dipindahkan ke TPP (Tempat Penimbunan Pabean) maka status barang tersebut menjadi barang tidak dikuasai.
Namun kepada pemilik barang masih diberi kesempatan untuk menyelesaikannya sampai batas waktu
pelelangan. TPP berada dibawah pengelolaan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai

Apabila terjadi kasus pertanggungjawaban bea masuk oleh pengusaha TPS terdiri dari beberapa jenis
barang impor dengan satu nama umum, maka perhitungan bea masuknya dilakukan dengan cara sebagai berikut:
Apabila barang impor yang harus dilunasi bea masuknya terdiri dari beberapa jenis dengan satu nama
umum/golongan barang (karena biasanya nama barang yang ditimbun tidak rinci) sedangkan jenis barang yang
sebenarnya tidak dapat diketahui, maka sebagai dasar perhitungan bea masuk diambil tarif tertinggi yang
berlaku atas golongan barang tersebut, dan nilai pabean ditetapkan oleh pejabat Bea dan Cukai.

Pengusaha Tempat Penimbunan Sementara yang tidak dapat mempertanggungjawabkan barang yang
seharusnya berada di tempat tersebut selain harus membayar bea masuk juga dikenai sanksi administrasi berupa
denda sebesar 25 % (dua puluh lima persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar (lihat pasal 43 tentang
Tempat Penimbunan Sementara).

Selanjutnya apabila barang impor ditimbun di TPB ( tempat penimbunan berikat ), tanggung jawab bea
masuk atas barang yang ditimbun disitu menjadi beban pengusaha TPB yang bersangkutan.

Sebagai contoh barang yang ditimbun di Kawasan Berikat berupa kain katun untuk diolah menjadi kemeja,
dan selanjutnya diekspor atau diimpor untuk dipakai. Jika pada waktu pencacahan oleh petugas ditemui adanya
kekurangan/kehilangan kain katun, maka atas kekurangan tersebut pihak pengusaha Kawasan Berikat harus
melunasi bea masuk beserta pungutan impor lainnya (pajak-pajak dalam rangka impor).

Selain itu terhadap pengusaha TPB yang tidak dapat mempertanggungjawabkan barang yang seharusnya
berada di tempat tersebut, dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari bea
masuk yang seharusnya dibayar. Dengan demikian disampaing adanya kewajiban membayar bea masuk yang
terutang, kepada pengusaha TPB juga dikenai sanksi administrasi berupa denda.

Dari uraian diatas jelas bahwa pada prinsipnya tanggung jawab barang impor berada pada importir, atau
dalam hal barang belum diimpor untuk dipakai, tanggung jawab berada pada pengusaha TPS atau pengusaha
TPB.dimana barang tersebut disimpan. Namun dalam hal barang impor berupa barang yang mendapat fasilitas
pembebasan atau keringanan bea masuk, tanggung jawab bea masuk dapat berada pada orang yang mendapat
pembebasan bea masuk atau orang yang menguasai barang yang bersangkutan. Penjelasannya adalah bahwa
terhadap importasi barang yang mendapat fasilitas pembebasan/keringanan bea masuk, terikat dengan
persyaratan pemberian pembebasan/keringanan bea masuk. Jika persyaratan atau ketentuan pemberian
pembebasan tidak dipenuhi jika mengakibatkan kerugian pada penerimaan negara, dikenai sanksi administrasi
berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar.

Sebagai contoh atas impor sementara barang berupa alat berat perata tanah yang mendapat
pembebasan/keringanan bea masuk, apabila peralatan tersebut digunakan tidak sesuai tujuan semula, maka atas
barang tersebut ditagih bea masuk beserta dendanya. Dalam hal demikian orang yang mendapat pembebasan
atau orang yang menguasai barang yang bersangkutan (dalam hal importirnya tidakditemukan) bertanggung
jawab atas bea masuk yang terutang beserta dendanya.

57
Pembebasan atau keringanan bea masuk sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 dan pasal 26 pada
hakekatnya tidak membebaskan importir dari tanggung jawab atas bea masuk yang harus dilunasi, karena
pembebasan atau keringana tersebut harus memenuhi persyaratan tertentu yang telah ditetapkan secara
limitatif pada saat fasilitas pembebasan/keringanan tersebut diberikan. Dengan demikian tidak tertutup
kemungkinan bahwa fasilitas tersebut pada suatu saat digunakan tidak sesuai dengan fasilitas yang diberikan.

Yang dimaksud dengan tempat kedatangan sarana pengangkut adalah pelabuhan laut, pelabuhan udara
maupun darat. Sedangkan tempat tertentu didaerah perbatasan yang ditunjuk adalah suatu tempat di daerah
perbatasan yang merupakan bagian dari jalan perairan, daratan atau jalan darat diperbatasan yang ditunjuk
sebagai tempat lintas batas (point of entry). Sebagai contoh pada saat kedatangan penumpang dari luar negeri,
awak sarana pengangkut, pelintas batas atau siapapun yang kedapatan menguasai barang impor di pelabuhan
atau ditempat-tempat tertentu diperbatasan, bertanggung jawab atas barang yang berada padanya.

5.4. Kawasan Berikat


Pengertian Kawasan Berikat adalah suatu bangunan, tempat, atau kawasan dengan batas-batas tertentu
yang di dalamnya dilakukan kegiatan usaha industri pengolahan barang dan bahan, kegiatan rancang bangun,
perekayasaan, penyortiran, pemeriksaan awal, pemeriksaan akhir, dan pengepakan atas barang dan bahan asal
impor atau barang dan bahan dari dalam Daerah Pabean Indonesia lainnya, yang hasilnya terutama untuk tujuan
ekspor. (Peraturan Pemerintah no 33 tahun 1996)

Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 1986, yang dimaksud dengan Kawasan Berikat
(Bonded Zone) yaitu suatu kawasan dengan batas-batas tertentu di wilayah pabean Indonesia yang didalamnya
diberlakukan ketentuan khusus di bidang kepabeanan. Barang-barang yang dimasukkan dari luar daerah pabean
atau dari dalam daerah pabean Indonesia lainnya tanpa terlebih dahulu terkena pungutan bea-cukai, dan atau
pungutan negara lainnya sampai barang tersebut dikeluarkan dengan tujuan impor, ekspor atau re-ekspor.

Kegiatan yang utama yang dilakukan di dalam Kawasan Berikat adalah kegiatan pengolahan atau
memproses bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai
yang lebih tinggi untuk penggunaannya. Berbeda dengan kawasan perdagangan bebas, di kawasan ini
merupakan kegiatan industri, manufaktur atau bukan hanya perakitan. Fasilitas Kawasan Berikat diberikan antara
lain kepada perusahaan industri yang orientasi pengeluaran (penjualan) produknya adalah untuk tujuan ekspor
dan/atau untuk dijual ke Kawasan Berikat lainnya.

Bagi perusahaan industri/manufaktur yang berorientasi ekspor akan mendapatkan fasilitas kepabeanan
dan perpajakan sebagai berikut :

1. Penangguhan Bea Masuk dan tidak dipungut PPN, PPnBM dan PPh Pasal 22:

• Atas impor barang modal atau peralatan dan peralatan perkantoran yang semata-mata dipakai oleh PKB
termasuk PKB merangkap PDKB;
• Atas impor barang modal atau peralatan pabrik yang berhubungan langsung dengan kegiatan produksi
PDKB;
• Atas impor barang dan atau bahan untuk diolah di PDKB.

2. Tidak dipungut PPN dan PPnBM

• Atas pemasukan Barang Kena Pajak (BKP) dari DPIL untuk diolah lebih lanjut;
• Atas pengiriman barang hasil produksi PDKB ke PDKB lainnya untuk diolah lebih lanjut;
• Atas pengeluaran barang dan atau bahan ke perusahaan industri di DPIL atau PDKB lainnya dalam rangka
sub kontrak;
58
• Atas penyerahan kembali BKP hasil pekerjaan sub kontrak oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) di DPIL atau
PDKB lainnya kepada PKP PDKB asal;
• Atas peminjaman mesin dan atau peralatan pabrik dalam rangka sub kontrak

3. Pembebasan cukai:

• Atas impor barang dan atau bahan untuk diolah lebih lanjut;
• Atas pemasukan Barang Kena Cukai (BKC) dari DPIL untuk diolah lebih lanjut.

Dengan fasilitas yang diperoleh tersebut diatas, maka manfaat yang bisa dipetik oleh pengusaha dengan
mendapatkan fasilitas Kawasan Berikat antara lain:

1. Efisiensi waktu pengiriman barang dengan tidak dilakukannya pemeriksaan fisik di Tempat Penimbunan
Sementara (TPS / Pelabuhan).
2. Fasilitas perpajakan dan kepabeanan memungkinkan PDKB dapat menciptakan harga yang kompetitif di
pasar global serta dapat melakukan penghematan biaya perpajakan.
3. Cash Flow Perusahaan serta Production Schedule lebih terjamin.
4. Membantu usaha pemerintah dalam rangka mengembangkan program keterkaitan antara perusahaan
besar, menengah, dan kecil melalui pola kegiatan sub kontrak.

Sementara, kawasan bebas merupakan istilah yang mengacu pada kawasan perdagangan bebas yang ada
dalam wilayah hukum Indonesia. Kawasan bebas ini perlakuannya terpisah dari daerah pabean. Jadi, dalam
kawasan bebas tidak ada pengenaan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (PPnBM) dan cukai. Hasil dalam kawasan bebas ini juga tidak mesti untuk kepentingan ekspor. Kawasan
bebas di Indonesia ini terdiri atas empat, yakni di Batam, Sabang, Bintan dan Karimun. Baik kawasan berikat dan
kawasan bebas, keduanya diberikan perlakuan istimewa dalam aspek perpajakan.

Sejumlah syarat khusus yang harus dipenuhi agar suatu kawasan ditetapkan sebagai kawasan berikat.
Syarat-syarat tersebut antara lain:

1. Melalui keputusan Presiden.


Kawasan yang mendapat izin Penyelenggara Kawasan Berikat (PKB) apabila mendapat persetujuan dari
pemerintah dan dikukuhkan melalui Keputusan Presiden.
2. Memenuhi persyaratan perusahaan tertentu.
Jenis perusahaan yang dapat diberikan izin PKB adalah perusahaan-perusahaan yang berbentuk:
o Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)
o Penanaman Modal Asing (PMA), baik sebagian atau keseluruhan sahamnya
o Non-PMA atau PMDN dengan badan hukum Perseroan Terbatas (PT)
o Koperasi yang memiliki badan hukum
o Yayasan
3. Perusahaan yang memenuhi syarat PKB
Untuk bisa mendapatkan izin PKB, suatu perusahaan harus memenuhi beberapa ketentuan, antara lain:
o Ada di dalam kawasan industri.
o Jika berada dalam daerah yang tidak memiliki kawasan industri, maka perusahaan tersebut
berlokasi di kawasan yang diperlakukan sebagai kawasan industri/kawasan peruntukan industri.
Penentuannya merupakan kewenangan Pemerintah Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kotamadya).
o Telah memiliki kawasan industri sebelum ketentuan mengenai kawasan berikat disahkan.

Sedangkan untuk kawasan bebas, penentuannya merupakan kewenangan pemerintah pusat Indonesia,
dengan pengukuhan lewat Peraturan Pemerintah. Misalnya, saat penentuan kawasan bebas Bintan, yang
59
dikukuhkan lewat PP Nomor 41 Tahun 2017. Badan yang ditunjuk untuk mengelola kawasan bebas ini untuk
selanjutnya disebut Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas atau lazim disebut
Badan Pengusahaan (BP), seperti yang ada di Batam dan Bintan yang dinamakan BP Batam dan BP Bintan.

5.5. Gudang Berikat


Gudang berikat adalah Tempat Penimbunan Berikat untuk menimbun barang impor, dapat
disertai 1 (satu) atau lebih kegiatan berupa pengemasan/pengemasan kembali, penyortiran,
penggabungan (kitting), pengepakan, penyetelan, pemotongan, atas ba rang-barang tertentu
dalam jangka waktu tertentu untuk dikeluarkan kembali. Selain mendapatkan penangguhan bea
masuk, kepada Gudang Berikat juga diberikan fasilitas kemudahan pelayanan perijinan, kemudahan
pelayanan kegiatan operasional dan kemudahan kepab eanan dan cukai lainnya.

Ada 3 (tiga) jenis Gudang Berikat, yaitu:

1. Gudang Berikat Pendukung Kegiatan Industri, yaitu Gudang Berikat yang menimbun dan
menyediakan barang impor untuk didistribusikan kepada industri di dalam daerah pabean atau
Kawasan Berikat. Industri yang dimaksud dapat berupa: manufaktur, pertambangan, alat berat,
atau industri jasa perminyakan;
2. Gudang Berikat Pusat Distribusi Khusus Toko Bebas Bea, yaitu Gudang Berikat yang menimbun dan
mendistribusikan barang impor ke Toko Bebas Bea; ata u
3. Gudang Berikat Transit, yaitu Gudang Berikat yang menimbun dan mendistribusikan barang impor
ke luar daerah pabean.

5.6. Latihan
1. Jelaskan mekanisme pembongkaran barang impor.
2. Bagaimana jika barang impor yang dibongkar ternyata diketahui kurang atau lebih dari yang
diberitahukan dalam pemberitahuan pabean?
3. Untuk tujuan apa sajakah barang impor yang dapat dikeluarkan dari Kawasan pabean?
4. Apakah yang dimaksud dengan Tempat Penimbunan Sementara, serta jelaskan dua jenis TPS tersebut.
5. Apa tujuan pembatasan waktu penimbunan di TPS?
6. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Tempat Penimbunan Berikat (TPB) dan apa tujuannya.
7. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Tempat Penimbunan Pabean (TPP) dan apa tujuannya.
8. Apa yang dimaksud dengan Bea Masuk dan bagaimana pengenaannya?
9. Apa yang dimaksud dengan Nilai Pabean?
10. Siapa sajakah yang bertanggung jawab ata bea masuk dan bagaimana terjadinya?
11. Apa yang dimaksud dengan Tempat Kedatangan Sarana Pengangkut?
12. Apa yang dimaksud dengan Kawasan Berikat?
13. Apa yang dimaksud dengan Gudang Berikat?

60
Bab 6
Bea Masuk, Cukai, dan Pajak Lalu Lintas Barang

6.1. Pajak Lalu Lintas barang dalam Kepabeanan

Pajak dan bea cukai merupakan sumber pendapatan negara yang berfungsi untuk membiayai keperluan
negara dan pembangunan nasional yang dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pajak
merupakan iuran wajib yang dibebankan oleh negara kepada rakyat baik orang pribadi maupun badan yang
sifatnya memaksa berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Atas kewajiban ini, rakyat tidak
memperoleh imbalan secara langsung, karena pajak yang dibayarkan dimanfaatkan untuk membiayai belanja
atau keperluan negara dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jadi, pajak bukan merupakan hak, melainkan
kewajiban setiap warga negara ikut berpartisipasi dan berperan aktif dalam pembiayaan negara dan
pembangunan nasional.

Bea merupakan pungutan yang dikenakan atas barang yang masuk (impor) maupun keluar (ekspor) dari
wilayah kepabeanan. Perlu dicatat bahwa wilayah pabean Indonesia adalah 200 mil dari pantai terdepan. Dari
definisi tersebut tampak bahwa bea dibebankan kepada orang pribadi atau badan yang melakukan perdagangan
internasional baik impor maupun ekspor. Bea dibedakan menjadi dua, yakni bea masuk dan bea keluar. Bea masuk
merupakan pungutan yang dikenakan pada barang-barang impor.

Bea masuk dalam istilah internasional disebut sebagai duty dan pemungutannya dilakukan saat barang
tersebut melintasi daerah pabean. Selain bea masuk normal, terhadap barang impor juga dapat dikenakan bea
masuk tambahan. Bea masuk tambahan ini menambah besaran bea masuk umum yang dikenakan terhadap
barang impor. Artinya bila suatu barang dikenakan bea masuk 5%, lalu terhadap barang tersebut juga dikenakan
bea masuk tambahan berupa bea masuk antidumping sebesar 10%, maka total bea masuk yang dibebankan
terhadap impor tersebut adalah 15%. Termasuk dalam kategori bea masuk tambahan adalah bea masuk
antidumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindak pengamanan.

Bea keluar adalah pungutan yang dibebankan pada barang-barang ekspor yang ditujukan untuk
melindungi kepentingan nasional dan masyarakat dalam negeri yang pada dasarnya bukan merupakan pajak.

Cukai juga merupakan pungutan resmi yang dibebankan oleh negara pada barang-barang yang memiliki
karakteristik khusus sesuai ketentuan undang-undang cukai. Karakteristik khusus yang dimaksud adalah sifat
barang yang pemakaiannya bisa memberikan dampak negatif terhadap lingkungan hidup dan masyarakat umum.
Sebab itu, barang-barang yang dikenai cukai peredaran dan tingkat konsumsinya perlu dikendalikan dan diawasi.
Beberapa jenis barang yang dikenai cukai adalah rokok, minuman keras, tembakau, dan bensin. Sebagai pungutan
resmi yang dikenakan oleh negara, pajak, bea dan cukai memiliki keterkaitan satu sama lain. Meskipun demikian,
ketiga jenis pungutan tersebut memiliki perbedaan yang signifikan.

Berikut beberapa perbedaan antara pajak dengan bea cukai.

• Sifat pungutan

a) Pajak merupakan pungutan wajib yang sifatnya memaksa. Sebab itu, mau tidak mau atau suka tidak
suka, setiap warga negara baik orang pribadi maupun badan yang menjadi wajib pajak diharuskan
membayar pajak, tanpa adanya balas jasa secara langsung. Artinya, meski telah membayar pajak
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, namun para wajib pajak
61
tidak memperoleh balas jasa langsung dari negara. Pajak yang dibayarkan dimanfaatkan untuk
membiayai keperluan negara dan pembangunan nasional. Jadi, balas jasa negara atas pembayaran
pajak bukan pada orang per orang atau badan, tetapi seluruh rakyat berupa pembangunan
infrastruktur dan fasilitas umum seperti jalan, jembatan, puskesmas, dan lain sebagainya.
b) Bea dan cukai merupakan pungutan resmi yang sifatnya sesuai kebijakan. Untuk bea, subjek
pemungutan tidaklah mencakup seluruh rakyat, tetapi hanya orang pribadi atau badan yang
berkepentingan dalam kegiatan impor dan ekspor saja.
c) Cukai, subjek pemungutan juga hanya pihak-pihak tertentu saja, yakni orang pribadi atau badan
yang mengonsumsi atau memanfaatkan barang-barang yang dikenai cukai seperti konsumen
rokok, minuman keras, bensin, dan lainnya.

• Lembaga pemungut dan pengelola

Meski sama-sama sebagai sumber pendapatan negara, namun pajak, bea dan cukai merupakan pos-pos
yang berbeda. Sebab itu, lembaga pemungut dan pengelolanya juga berbeda.

a) Pemungut dan pengelola pajak digolongkan menjadi dua, yakni pemerintah pusat melalui
Direktorat Jenderal Pajak, dan pemerintah daerah baik kota/kabupaten maupun provinsi melalui
Dinas Pendapatan Daerah. Adapun jenis pajak yang dipungut dan dikelola pemerintah pusat
meliputi pajak penghasilan (PPh), pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak pertambahan nilai (PPN),
dan pajak penjualan atas barang mewah (PPn-BM). Sementara jenis pajak yang dipungut dan
dikelola pemerintah daerah mencakup pajak kendaraan bermotor, pajak hiburan, pajak restoran,
dan lain sebagainya.
PPN dan PPnBM menganut prinsip akrual, artinya pajak terjadi pada saat penyerahan barang kena
pajak, meskipun pembayaran atas penyerahan barang tersebut belum sepenuhnya diterima atau
pada saat importasi barang kena pajak.
PPh pasal 22 menjelaskan bahwa pajak dipungut sehubungan dengan pembayaran dan
penyerahan barang dan pemungutan nya dilakukan oleh pabean di pelabuhan bongkar dari Wajib
Pajak yang melakukan kegiatan di bidang impor.

b) Pemungutan dan pengelolaan bea dan cukai tidak dibedakan antara pemerintah pusat dan
daerah, karena semua kewenangannya tersentralisasi pada pemerintah pusat melalui Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai. Meski di setiap daerah terdapat Kantor Bea dan Cukai sebagai perwakilan
dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi bea dan cukai di daerah, namun pemungutan dan
pengelolaan dana tetap dilakukan secara terpusat, bukan per daerah.

• Pemungutan Pajak Lalu Lintas Barang

a) Pemungutan bea masuk dan pajak dalam rangka impor dan bea keluar adalah pada saat
pemberitahuan pabean telah mendapatkan nomor pendaftaran.

b) Pemungutan cukai (BKC) adalah saat barang kena cukai selesai dibuat. Dalam hal BKC tersebut
diimpor maka saat pengenaan cukainya adalah dihitung bersamaan dengan saat pemberitahuan
pabean telah mendapatkan nomor pendaftaran.

• Jatuh Tempo Pembayaran

a) Pembayaran pajak jatuh tempo pada tahun fiskal.


Tahun fiskal yaitu jangka waktu selama dua belas bulan berturut-turut yang digunakan sebagai
dasar penyelenggaraan dan penutupan buku suatu badan usaha. Awal tahun fiskal tak selalu sama

62
dengan tahun kalender. Untuk pajak, tahun fiskal diawali pada 1 April sehingga akan berakhir pada
31 Maret. Artinya, jatuh tempo pembayaran pajak adalah 31 Maret setiap tahunnya.
b) Pembayaran jatuh tempo pembayaran untuk bea dan cukai tidak ditetapkan berdasarkan tahun
fiskal, tetapi disesuaikan dengan pemakaian.
Pada bea, pembayaran dilakukan setiap kali orang pribadi atau perusahaan akan mengimpor atau
mengekspor barang. Selama bea baik masuk maupun keluar masih terutang, maka otoritas bea
dan cukai tidak akan meloloskan barang baik yang impor maupun ekspor.
c) Jatuh tempo pembayaran cukai juga berdasarkan pemakaian. Konsumen akan membayar cukai
pada saat mereka mengonsumsi atau memanfaatkan barang yang menjadi objek cukai.

• Perhitungan tarif

a) Dalam ketentuan perundang-undangan perpajakan telah diatur tentang proporsi besaran pajak
yang harus dibayarkan oleh wajib pajak baik orang pribadi maupun badan. Meski demikian,
perhitungan tarif pajak dan penyusunan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak dilakukan oleh
masing-masing wajib pajak, terutama untuk jenis pajak penghasilan. Setiap wajib pajak
berkewajiban melaporkan penghasilan atau harta kekayaan yang menjadi objek pajak.
b) Perhitungan tarif bea dan cukai dilakukan oleh pemerintah. Dalam hal ini, orang pribadi atau
perusahaan yang melakukan impor atau ekspor membuat dokumen pemberitahuan kepada pihak
bea dan cukai mengenai barang yang akan diimpor atau diekspor. Dokumen ini disebut dengan
Pemberitahuan Impor Barang (PIB). Atas dasar dokumen tersebut, kemudian pihak bea dan cukai
melakukan perhitungan total nilai bea impor atau ekspor yang harus dibayarkan. Jika bea impor
atau ekspor telah dibayarkan, maka orang pribadi atau perusahaan selaku pengimpor dapat
mengambil barang yang diimpornya. Demikian pula untuk orang pribadi atau perusahaan selaku
pengekspor, setelah bea keluar dibayarkan, maka barangnya bisa segera dikirimkan ke negara
tujuan ekspor.
c) Perhitungan cukai juga dilakukan oleh pemerintah. Cukai dibayarkan oleh konsumen yang
mengonsumsi atau memanfaatkan barang objek cukai. Hanya saja, pembayaran cukai ditalangi
oleh perusahaan selaku produsen atas barang tersebut lebih dulu. Biaya cukai selanjutkan akan
diperhitungkan sebagai komponen dalam harga barang tersebut. Sebagai gambaran cukai untuk
produk rokok. Perusahaan yang memproduksi rokok membayar cukai lebih dulu kepada
pemerintah. Atas pembayaran cukai tersebut, perusahaan mendapatkan pita cukai yang
kemudian disematkan pada kemasan produk rokok. Cukai yang telah dibayarkan perusahaan
selanjutnya dibebankan kepada konsumen yang mengonsumsi produk rokok tersebut.

Lalu lintas barang merupakan arus barang yang keluar masuk dari/ke daerah pabean Indonesia, yang
dikenal sebagai barang ekspor dan impor, serta pengangkutan antarpulau barang-barang tertentu yang belum
dipenuhi kewajiban pabeannya, meliwati batas-batas negara atau dari pulai satu ke pulau lain di dalam daerah
pabean. Untuk kepentingan pengawasan dan pengendalian atas lallu lintas barang terbseut, pada prinsipnya
akan dipungut pajak berupa bea masuk, cukai, dan bea keluar.

Berdasarkan pengertian di atas, pajak atas lalu lintas barang adalah pungutan negara atas pemasukan dan
pengeluaran barang ke dalam ataupun ke luar daerah pabean yang terutang oleh pengguna jasa kepabeanan
saat barang melintasi batas negara Indonesia.

Pajak atas lalu lintas barang terkait dengan hal-hal sebagai berikut:

(a) Dasar hukum untuk memungut pajak atas lalu lintas barang adalah:

- UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang diubah dengan UU Nomor 17 Tahun 2006,
63
- UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang diubah dengan UU Nomor 17 Tahun
2000
- UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah yang diubah dengan UU Nomor 18 Tahun 2000.

(b) Saat Pajak atas Lalu Lintas barang dipungut (taat bestand) adalah saaat baang melintasi batas daerah
pabean. Namun dalam pengawasan dan pemungutan pajak ke seluruh perbatasan adalah hal yang
tidak mungkin, maka garis perbatasan ditarik hingga ke pelabuhan di dalamnya terletak kawasan
pabean.

(c) Proses pemungutan pajak lalu lintas barang dilaksanakan apabila proses pengajuan pemberitahuan
pabean sudah mendapatkan nomor pendaftaran dari petugas bea dan cukai.

6.2. Bea Masuk


Sesuai pasal 12 UU Kepabeanan, barang impor dipungut Bea Masuk berdasarkan tarif setingi-tingginya
empat puluh persen dari nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk. Dengan memperhatikan Undang-undang
No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan
Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), besarnya tarif maksimum ditetapkan setinggi-tingginya empat
puluh persen termasuk Bea Masuk Tambahan (BMT) yang pada waktu diundangkannya Undang-undang
Kepabeanan masih dikenakan terhadap barang-barang tertentu. Namun, dengan tetap memperhatikan
kemampuan daya saing industri dalam negeri, kebijaksanaan umum di bidang tarif harus senantiasa ditujukan
untuk menurunkan tingkat tarif yang ada dengan tujuan :

➢ melindungi konsumen dalam negeri; dan


➢ meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasaran internasional;
➢ mengurangi hambatan dalam perdagangan internasional dalam rangka mendukung terciptanya
perdagangan bebas.

Sesuai dengan Notifikasi Indonesia pada Persetujuan Umum Mengenai Tarif dan Perdagangan (GATT),
dikecualikan ketentuan maksimum sebesar 40 % tersebut diatas diatas adalah :

a. barang impor hasil pertanian tertentu, produk pertanian tertentu sebagaimana tercantum dalam Skedul XXI-
Indonesia, tarif Bea Masuknya diikut pada tingkat yang lebih tinggi dari empat puluh persen, dengan tujuan
untuk menghapus penggunaan hambatan nontarif sehingga menjadi tarifikasi;
b. barang impor termasuk dalam daftar eksklusif Skedul XXI-Indonesia pada Persetujuan Umum Mengenai tarif
dan Perdagangan. Tujuannya adalah demi kepentingan nasional, produk tertentu yang termasuk dalam
daftar ekslusif Skedul XXI-Indonesia, tarif Bea Masuknya tidak diikat pada tingkat tarif tertentu sehingga
dikecualikan dari ketentuan pengenaan tarif maksimum 40 %. Namun, dalam jangka waktu tertentu tarif
atas produk tersebut akan diturunkan ;
c. barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) UU Kepabeanan sebagai berikut :
- barang impor yang dikenakan tarif Bea Masuk berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional.
Tarif Bea Masuk dikenakan berdasarkan perjanjian atau kesepakatan yang dilakukan Pemerintah
Republik Indonesia dengan pemerintah negara lain atau beberapa negara lain, misalnya Bea Masuk
berdasarkan Common Effective Preferential Tarif untuk Asean Free Trade Area (CEPT for AFTA).
- barang impor bawaan penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, atau barang kiriman
melalui pos atau jasa titipan. Dalam rangka mempermudah dan mempercepat penyelesaian impor
barang bawaan penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman melalui pos
atau jasa titipan, dapat dikenakan Bea Masuk berdasarkan tarif yang berbeda, misalnya dengan

64
pengenaan tarif rata-rata. Ketentuan ini perlu, mengingat barang-barang yang dibawa oleh para
penumpang, awak sarana pengangkut, dan pelintas batas pada umumnya terdiri dari beberapa jenis.
- barang impor yang berasal dari negara yang memperlakukan barang ekspor Indonesia secara
diskriminatif. Dalam hal barang ekspor Indonesia diperlakukan secara tidak wajar oleh suatu negara
misalnya dengan pembatasan, larangan, atau pengenaan tambahan Bea Masuk, barang-barang dari
negara yang bersangkutan dapat dikenakan tarif yang besarnya berbeda dan dapat melebihi 40 %.

6.3. Bea Masuk Anti Dumping


Bea masuk antidumping (BMAD) adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang dumping yang
menyebabkan kerugian. Yang dimaksud barang dumping adalah barang yang diimpor dengan tingkat harga
ekspor yang lebih rendah dari nilai normalnya di negara pengekspor. Sedangkan yang dimaksud kerugian adalah
kerugian material yang telah terjadi, ancaman terjadinya kerugian material atau terhalangnya pengembangan
industri di dalam negeri.

Selain bea masuk antidumping, ada juga bea masuk antidumping sementara. Bea masuk antidumping
sementara adalah pungutan negara yang dikenakan pada masa penyelidikan terhadap barang dumping yang
menyebabkan kerugian berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Artinya bea masuk antidumping mungkin saja
diterapkan meskipun kerugian yang ‘didakwakan’ masih dalam proses penelitian.

Yang bertugas untuk melakukan menyelidikan adanya kerugian industri dalam negeri dalam pengenaan
bea masuk anti dumping adalah Komite Anti Dumping Indonesia (KADI). Selain bertugas menyelidiki
permasalahan terkait dumping, komite ini juga berperan dalam mengurus dan menetapkan bea masuk imbalan.

Bea masuk antidumping dikenakan terhadap barang impor setinggi-tingginya sebesar selisih antara nilai
normaldengan harga ekspor dari barang tersebut. Yang dimaksud dengan nilai normal adalah harga yang
sebenarnya dibayar atau akan dibayar untuk barang sejenis dalam perdagangan pada umumnya di pasar
domestik negara pengekspor untuk tujuan konsumsi. Sedangkan yang dimaksud dengan harga ekspor adalah
harga yang sebenarnya dibayar atau akan dibayar untuk barang yang diekspor ke daerah pabean Indonesia.

6.4. Bea Masuk Imbalan


Bea masuk imbalan (BMI) adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang impor
mengandung subsidi yang menyebabkan kerugian. Yang dimaksud dengan subsidi adalah setiap bantuan
keuangan yang diberikan oleh pemerintah atau badan-badan pemerintah kepada perusahaan, industri, kelompok
industri, atau eksportir. Subsidi ini dapat diberikan secara langsung maupun tidak langsung. Subsidi dapat juga
berbentuk dukungan terhadap pendapatan atau harga yang diberikan secara langsung atau tidak langsung untuk
meningkatkan ekspor atau menurunkan impor dari atau ke negara yang bersangkutan.

Bea masuk imbalan juga dapat dikenakan terhadap barang impor dalam hal barang tersebut:

1. menyebabkan kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan
barang tersebut;
2. mengancam terjadinya kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis
dengan barang tersebut; atau
3. menghalangi pengembangan industri barang sejenis di dalam negeri.
Bea masuk imbalan dikenakan terhadap barang impor setinggi-tingginya sebesar selisih antara subsidi
dengan biaya permohonan, tanggungan atau pungutan lain yang dikeluarkan untuk memperoleh subsidi, atau
pungutan yang dikenakan pada saat ekspor untuk mengganti subsidi yang diberikan kepada barang ekspor
tersebut.
65
6.5. Bea Masuk Tindakan Pengamanan
Bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) adalah pungutan negara untuk memulihkan atau mencegah
ancaman kerugian serius yang diderita oleh industri dalam negeri. Lonjakan jumlah barang impor dapat
menyebabkan kerugian terhadap barang sejenis yang diproduksi dalam negeri. Bea masuk tindakan pengamanan
dapat dikenakan dengan tujuan agar industri dalam negeri yang mengalami kerugian serius atau ancaman
kerugian serius dapat melakukan penyesuaian. Yang dimaksud dengan kerugian serius adalah kerugian nyata
yang diderita oleh industri dalam negeri. Kerugian tersebut harus didasarkan pada fakta-fakta (shall be based
on) bukan didasarkan pada tuduhan, dugaan, atau perkiraan.

Bea masuk tindakan pengamanan paling tinggi sebesar jumlah untuk mengatasi atau mencegah ancaman
kerugian serius terhadap industri dalam negeri. Dalam hal tindakan pengamanan telah ditetapkan dalam bentuk
kuota (pembatasan impor), maka bea masuk tindakan pengamanan tidak harus dikenakan.

6.6. Bea Masuk Pembalasan


Bea masuk pembalasan dikenakan terhadap barang impor yang berasal dari negara yang memperlakukan
barang ekspor secara diskrimatif, yaitu perlakuan tidak wajar misalnya pembatasan, larangan atau pengenaan
tambahan bea masuk. Bea masuk pembalasan adalah merupakan tambahan bea masuk yang dipungut
berdasarkan pasal 12 ayat (1) UU Kepabeanan.

6.7. Tidak Dipungut Bea Masuk


Barang yang dimasukkan ke dalam Daerah Pabean untuk diangkut terus atau diangkut lanjut ke luar
Daerah Pabean tidak dipungut Bea Masuk. Yang dimasud dengan ‘barang diangkut terus’ adalah barang impor
yang diangkut melalaui Kantor Pabean tanpa melalui suatu pembongkaran terlebih dahulu. Sedangkan yang
dimaksud dengan ‘barang diangkut lanjut’ adalah barang impor yang diangkut melalui suatu Kantor Pabean
melalui pembongkaran terlebih dahulu.
Alasan mengapa barang impor yang diangkut terus atau diangkut lanjut tidak dipungut Bea Masuk adalah
meskipun pada dasarnya barang dari luar Daerah Pabean sejak memasuki Daerah Pabean sudah terutang Bea
Masuk , namun mengingat barang tersebut tidak diimpor untuk dipakai, barang tersebut tidak dipungut Bea
Masuk.

6.8. Pembebasan Bea Masuk


Pembebasan Bea Masuk yang diberikan dalam ketentuan pasal 25 UU Kepabeanan ini adalah pembebasan
yang bersifat mutlak, dalam arti jika persyaratan yang diatur dalam pasal ini dipenuhi, barang yang diimpor
tersebut diberi pembebasan. Yang dimaksud dengan "pembebasan Bea Masuk" adalah peniadaan pembayaran
Bea Masuk yang diwajibkan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Kepabeanan .

Pembebasan Bea Masuk diberikan terhadap barang-barang berikut ini:

i. barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas
timbal balik, yaitu barang milik atau untuk keperluan perwakilan negara asing tersebut, termasuk pejabat
pemegang paspor diplomatik dan keluarganya di Indonesia.
ii. barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia, yaitu barang
milik atau untuk keperluan badan internasional yang diakui dan terdaftar pada Pemerintah Indonesia,
termasuk para pejabatnya yang ditugaskan di Indonesia.
iii. buku ilmu pengetahuan;
iv. barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, atau kebudayaan.

66
v. barang untuk keperluan museum, kebun binatang, dan tempat lain semacam itu yang terbuka untuk umum;
vi. barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
vii. barang untuk keperluan khusus kaum tuna netra dan penyandang cacat lainnya;
viii. persenjataan, amunisi, dan perlengkapan militer, termasuk suku cadang yang diperuntukkan bagi keperluan
pertahanan dan keamanan negara;
ix. barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan pertahanan dan
keamanan negara;
x. barang contoh yang tidak untuk diperdagangkan, yang diimpor khusus sebagai contoh, antara lain untuk
keperluan produksi (prototipe) dan pameran dalam jumlah dan jenis yang terbatas, baik tipe maupun merek.
xi. peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah;
xii. barang pindahan;
xiii. barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman sampai batas nilai
pabean dan/atau jumlah tertentu;
xiv. obat-obatan yang diimpor dengan menggunakan anggaran pemerintah yang diperuntukkan bagi
kepentingan masyarakat ;
xv. barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan, dan pengujian;
xvi. barang yang telah diekspor, kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama;
xvii. bahan terapi manusia, pengelompokan darah, dan bahan penjenisan jaringan;

Orang yang tidak memenuhi ketentuan tentang pembebasan Bea Masuk yang ditetapkan menurut
Undang-undang ini (menyalahgunakan fasilitas pembebasan yang diberikan), jika mengakibatkan kerugian pada
penerimaan negara, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar seratus persen dari Bea Masuk yang
seharusnya dibayar.

6.9. Keringanan Bea Masuk


Pembebasan Bea Masuk yang diberikan adalah pembebasan yang relatif, dalam arti bahwa pembebasan
yang diberikan didasarkan pada beberapa persyaratan dan tujuan tertentu, sehingga terhadap barang impor
dapat diberikan pembebasan atau hanya keringanan Bea Masuk. Yang dimaksud dengan "keringanan Bea
Masuk" adalah pengurangan sebagian pembayaran Bea Masuk yang diwajibkan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Kepabeanan. Pembebasan atau keringanan Bea Masuk diberikan kepada barang-barang berikut
ini :

i. barang dan bahan dalam rangka pembangunan dan pengembangan industri dalam rangka penanaman
modal;
ii. mesin untuk pembangunan dan pengembangan industri
iii. peralatan dan bahan yang digunakan untuk mencegah pencemaran lingkungan;
iv. bibit dan benih untuk pembangunan dan pengembangan industri pertanian, peternakan, atau perikanan;
v. hasil laut yang ditangkap dengan sarana penangkap yang telah mendapat izin.
vi. barang yang mengalami kerusakan, penurunan mutu, kemusnahan, atau penyusutan volume atau berat
karena alamiah antara saat diangkut ke dalam Daerah Pabean dan saat diberikan persetujuan impor untuk
dipakai;
vii. barang oleh Pemerintah pusat atau Pemerintah daerah yang ditujukan untuk kepentingan umum ;
viii. barang dengan tujuan untuk diimpor sementara.
ix. barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor.

Orang yang tidak memenuhi ketentuan pembebasan atau keringanan Bea Masuk yang ditetapkan
menurut Undang-undang Kepabeanan (menyalahgunakan fasilitas), jika mengakibatkan kerugian pada
67
penerimaan negara, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar seratus persen dari Bea Masuk yang
seharusnya dibayar.

6.10. Pengembalian Bea Masuk


Pengembalian Bea Masuk dapat diberikan terhadap seluruh atau sebagian Bea Masuk yang telah dibayar
atas:
i. kesalahan tata usaha antara lain adalah kesalahan tulis, kesalahan hitung, atau kesalahan pencantuman tarif.
ii. kelebihan pembayaran Bea Masuk yang disebabkan Keputusan Pejabat Bea dan Cukai tentang tarif dan nilai
pabean (Pasal 16 ayat (5) UU Kepabeanan) dan Penetapan Kembali Direktur Jenderal Bea dan Cukai tentang
tarif dan nilai pabean ( Pasal 17 ayat (3) UU Kepabeanan);
iii. impor barang sebagaimana yang setelah dibayar Bea Masuk-nya kemudian mendapat fasilitas pembebasan
Bea Masuk (pasal 25 UU Kepabeanan) atau pembebasan atau keringanan Bea Masuk (pasal 26 UU
Kepabeanan) ;
iv. impor barang yang oleh sebab tertentu harus diekspor kembali atau dimusnahkan di bawah pengawasan
Pejabat Bea dan Cukai; Yang dimaksud dengan "sebab tertentu" pada ayat ini adalah bahwa hal tersebut
bukan merupakan kehendak importir, melainkan disebabkan oleh adanya kebijaksanaan Pemerintah yang
mengakibatkan barang yang telah diimpor tidak dapat dimasukkan ke dalam Daerah Pabean sehingga harus
diekspor kembali atau dimusnahkan dibawah pengawasan Pejabat Bea dan Cukai dalam kondisi yang sama.
v. impor barang yang sebelum diberikan persetujuan impor untuk dipakai kedapatan jumlah yang sebenarnya
lebih kecil daripada yang telah dibayar bea masuknya, cacat, bukan batang yang dipesan, atau berkualitas
lebih rendah; atau
vi. kelebihan pembayaran Bea Masuk sebagai akibat putusan lembaga banding (Pengadilan Pajak).

6.11. Latihan Soal


1. Jelaskan ketentuan tarif maksimum Bea Masuk dan pengecualiannya !
2. Jelaskan alasan pengenaan Bea Masuk Anti Dumping !
3. Jelaskan alasan pengenaan Bea Masuk Imbalan !
4. Jelaskan pengertian ‘harga normal’ dan ‘ Subsidi’ !
5. Jelaskan besaran Bea Masuk Anti Dumping dan Bea Masuk Imblaan !
6. Jelas alasan pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengaman !
7. Jelaskan alasan pengenaan Bea Masuk Pembalasan !
8. Jelaskan besaran pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengaman dan Bea Masuk Pembalasan !
9. Jelaskan perbedaan antara terminologi ’tidak dipungut Bea Masuk’, ’pembebasan Bea Masuk’ dan ’pembebasan
atau keringanan Bea Masuk’
10. Jelaskan jenis barang yang diberikan fasilitas ‘tidak dipungut Bea Masuk’!
11. Jelaskan jenis barang yang diberikan fasilitas ‘pembebasan Bea Masuk!
12. Jelaskan jenis barang yang diberikan fasilitas ‘pembebasan atau keringanan Bea Masuk !

68
Bab 7
Tarif dan Nilai Pabean

7.1. Tarif dan Klasifikasi Barang

Barang impor dipungut Bea Masuk berdasarkan tarif setinggi-tingginya empat puluh persen dari nilai
pabean untuk perhitungan Bea Masuk. Untuk penetapan tarif Bea Masuk, barang dikelompokkan berdasarkan
sistem klasifikasi barang. Yang dimaksud dengan "sistem klasifikasi barang" dalam pasal ini adalah suatu daftar
penggolongan barang yang dibuat secara sistematis dengan tujuan untuk mempermudah penarifan
perdagangan.

Berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 35 Tahun 1993, Indonesia telah menjadi contracting party dari
’International Convention on the Harmonized Description and Coding System’ atau sering disebut sebagai HS
Convention. Sebagai salah satu contracting party dari HS Convention, Indonesia telah beberapa kali menerbitkan
dan menyempurnakan BTBMI, terakhir dalam bentuk BTBMI 2007 yang disusun berdasarkan Amandemen HS
2006.

Sebagai salah satu negara ASEAN, Indonesia berkehendak untuk memberlakukan nomenklatur tarif yang
harmonis diseluruh negara ASEAN sesuai kesepakatan yang terutang dalam Protocol Governing the
implementation of the ASEAN Harmonized Tariff Nomenclature (AHTN) mulai 1 Januari 2004. Keputusan Menteri
Keuangan Republik Indonesia No. 545/KMK.01/2003 tanggal 18 Desember 2003 tentang penetapan Sistem
Klasifikasi Barang Impor, menetapkan nomenklatur tarif berdasarkan AHTN. Agar keputusan Menteri Keuangan
ini dapat dilaksanakan secara optimal, maka dipandang perlu untuk menerbitkan referensi praktis berupa Buku
Tarif Bea Masuk Indonesia 2004 (BTBMI 2004) yang materi pokoknya disusun berdasarkan Keputusan Menteri
Keuangan tersebut.

Sistem penomoran BTBMI 2004 yang kemudian diganti dengan BTBMI 2007 terdapat pada kolom pertama
‘Pos/Subpos/Pos Tarif’ yang mencatumkan nomor pos/subpos sebagai berikut:

➢ 4 (empat) digit pertama berasal dari teks Harmonized System-World Customs Organization (HS-WCO);
➢ 8 (delapan) digit berasal dari teks AHTN;
➢ 10 (sepuluh) digit merupakan teks berasal dari uraian barang dalam bahasa Indonesia, kecuali :
- yang digit terakhirnya 00 (misalnya 8709.10.21.00) berasal dari teks AHTN;
- yang digit terakhirnya 00.00 (misalnya 8709.11.00.00) berasal dari teks HS-WCO.
➢ 4 (empat), 6 (enam) dan 10 (sepuluh) digit pada bab 98 merupakan teks berasal dari uraian barang dalam
bahasa Indonesia.

BTBMI 2007 juga merupakan referensi praktis berkaitan dengan prosentase tarif Bea Masuk, Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjaualan Atas Barang Mewah (PPnBM). BTBMI 2004 juga memuat referensi
tentang jenis-jenis barang yang terkena ketentuan larangan dan pembatasan.

Berdasarkan pasal 16 ayat (1) UU Kepabeanan, Pejabat Bea dan Cukai dapat menetapkan tarif Bea Masuk
atas barang impor sebelum penyerahan pemberitahuan pabean atau dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
tanggal pemberitahuan pabean.

Besarnya prosentase tariff barang impor ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Untuk mengantisipasi
perkembangan perdagangan internasional yang demikian cepat dan dengan tetap memperhatikan kepentingan
69
nasional, diberikan pendelegasian wewenang kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan besarnya tarif Bea
Masuk setiap jenis barang dan melakukan perubahan terhadap besarnya tarif tersebut.

7.2. BTKI 2017

Kementerian Keuangan Republik Indonesia telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
Nomor 6/PMK.010/2017 tentang Penetapan Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang
Impor. PMK ini ditetapkan tanggal 26 Januari 2017, diundangkan tanggal 27 Januari 2017 dan mulai berlaku sejak
tanggal 01 Maret 2017. Peraturan ini adalah dasar dari penggunaan BTKI 2017. Mulai tanggal tersebut semua
pengisian pemberitahuan pabean baik itu PIB, PEB atau BC23 dan pemberitahuan pemasukan dan pengeluaran
barang lainnya wajib menggunakan HS Code dengan digit 8, dari sebelumnya sebanyak 10 digit.

Peraturan ini mencabut PMK tentang penetapan klasifikasi barang dan pembebanan tarif bea masuk
sebelumnya, yang lebih dikenal dengan BTKI 2012, beserta peraturan perubahannya. Peraturan yang dinyatakan
dicabut dan tidak berlaku lagi antara lain adalah:

1. PMK 213/PMK.010/2011 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk
atas Barang Impor;
2. PMK 133/PMK.011/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.011/2011
tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor;
3. PMK 97/PMK.010/2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
213/PMK.011/2011 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas
Barang Impor;
4. PMK 132/PMK.010/2015 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
213/PMK.011/2011 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas
Barang Impor;
5. PMK 35/PMK.010/2016 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
213/PMK.011/2011 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas
Barang Impor; dan
6. PMK 134/PMK.010/2016 tentang Perubahan Kelima atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
213/PMK.011/2011 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas
Barang Impor.

Perubahan HS dari 10 digit menjadi 8 digit dilakukan sehubungan dengan adanya amandemen
terhadap Harmonized System (HS) 2012 menjadi Harmonized System (HS) 2017 dan Revisi ASEAN Harmonised Tariff
Nomenclature (AHTN) 2012 menjadi ASEAN Harmonised Tariff Nomenclature (AHTN) 2017.

Negara Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 telah meratifikasi penggunaan HS
Code yang diterbitkan oleh The World Customs Organization (WCO), sehingga dalam hal terjadi perubahan atau
amandemen terhadap HS Code yang dilakukan oleh WCO, maka Indonesia juga terikat pada ketentuan tersebut.

PMK 6/PMK.010/2017 tentang BTKI 2017 ini berisi 3 lampiran, yaitu:

Lampiran I – Ketentuan Umum untuk Menginterpretasi Harmonized System (KUMHS)


Lampiran II – Catatan Bagian, Catatan Bab, dan Catatan Subpos
Lampiran III – Struktur Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk

Struktur klasifikasi barang yang tercantum dalam Lampiran III terdiri dari:

70
1. Nomor dan uraian barang pada tingkat 4 (empat) digit dan 6 (enam) digit, yang merupakan teks
dari Harmonized System (HS) yang disahkan oleh World Customs Organization (WCO);
2. Nomor dan uraian barang pada tingkat 8 (delapan) digit, yang merupakan teks dari ASEAN Harmonized
Tariff Nomenclature (AHTN) dan merupakan pos tarif nasional; dan
3. Nomor dan uraian barang pada Bab 98 struktur klasifikasi barang, yang seluruhnya merupakan
ketentuan nasional.

Bea Masuk Free Trade Area (FTA)

Dengan berlakunya BTKI 8 digit, lalu bagaimana dengan peraturan-peraturan sebelumnya yang masih
menggunakan referensi BTKI 10 digit, apakah masih berlaku? PMK ini pada pasal 4 menyebutkan bahwa:
“Ketentuan mengenai sistem klasifikasi barang yang diatur dalam Peraturan Menteri ini berlaku secara mutatis
mutandis bagi sistem klasifikasi barang yang digunakan dalam ketentuan di bidang tarif dan non tarif, termasuk
bidang kepabeanan, cukai, perpajakan, fiskal, perdagangan, industri, dan investasi”. Hal ini dapat diartikan bahwa
BTKI 2017 menggantikan BTKI 2012 meskipun pada peraturan yang merefensi BTKI 2012 tersebut belum dilakukan
perubahan. Namun demikian, PMK ini juga mensyaratkan perubahan atas peraturan yang sebelumnya merujuk
penggunaan BTKI 2012 untuk menggantinya dengan BTKI 2017. Jangka waktu yang diberikan adalah paling lambat
2 (dua) tahun terhitung sejak berlakunya Peraturan Menteri ini.

Terkait dengan tarif bea masuk dalam rangka free trade area (FTA), menteri keuangan telah melakukan
penyesuaian dengan mengeluarkan peraturan yang menggantikan peraturan sebelumnya. Hal ini juga dilakukan
terhadap peraturan tarif bea masuk lainnya akibat dari perjanjian internasional.

Paket peraturan tentang penetapan tarif dalam rangka free trade area (FTA) yang dikeluarkan
sehubungan dengan adanya perubahan digit HS Code antara lain adalah:

1. PMK 24/PMK.010/2017 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka ASEAN – Korea Free Trade Area
(AKFTA);
2. PMK 25/PMK.010/2017 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka ASEAN Trade In Good
Agreement (ATIGA);
3. PMK 26/PMK.010/2017 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka ASEAN – China Free Trade Area
(ACFTA);
4. PMK 27/PMK.010/2017 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka ASEAN – India Free Trade Area
(AIFTA);
5. PMK 28/PMK.010/2017 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka ASEAN – Australia – New
Zealand Free Trade Area (AANZFTA);
6. PMK 29/PMK.010/2017 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka Perjanjian Perdagangan
Preferensial Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Islam Pakistan;
7. PMK 30/PMK.010/2017 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka Persetujuan Antara Republik
Indonesia dan Jepang Mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi (IJEPA);
8. PMK 31/PMK.010/2017 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dengan Skema User Spesific Duty Free Scheme
(USDFS) Dalam Rangka Persetujuan Antara Republik Indonesia dan Jepang Mengenai Suatu Kemitraan
Ekonomi.

7.3. Nilai Pabean

Di dalam sistim self assesment, importir diminta memberitahukan jumlah jenis dan kualitas barangnya.
Importir juga diminta untuk memberitahukan tarif, pembebanan dan nilai pabean atas barang yang diimpornya.
Pasal 16 Undang-undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
71
undang No. 17 Tahun 2006 (selanjutnya disebut Undang-undang Kepabeanan) menyebutkan bahwa Pejabat Bea
dan Cukai berwenang menetapkan tarif dan nilai pabean untuk penghitungan bea masuk sebelum diajukan
pemberitahuan pabean atau dalam jangka waktu tiga puluh hari sejak tanggal pemberitahuan pabean. Penelitian
kebenaran pemberitahuan tarif dan nilai pabean adalah bagian dari tugas Pejabat Bea dan Cukai didalam
melakukan penelitian dokumen. Penelitian kebenaran pemberitahuan tentang nilai pabean menggunakan
metode-metode penetapan nilai pabean sebagaimana diatur dalam pasal 15 Undang-undang Kepabeanan.

1) Tarif spesifik, tarif advalorum dan pengertian nilai pabean.

Ketentuan cara penghitungan bea masuk diatur didalam pasal 12 ayat (1) Undang-undang
Kepabeanan, yang menyatakan bahwa, barang impor dipungut bea masuk berdasarkan tarif setinggi-
tingginya empat puluh persen dari nilai pabean untuk perhitungan bea masuk. Kemudian didalam pasal 14
disebutkan bahwa, untuk penetapan tarif bea masuk dan bea keluar, barang dikelompokkan berdasarkan
sistem klasifikasi barang. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RI No. 110/PMK.010/2006 tanggal 15
Nopember 2006 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Impor, maka sistem klasifikasi barang impor
yang berlaku sekarang ini adalah sistem klasifikasi barang berdasarkan Buku Tarif Bea Masuk Indonesia
(BTBMI) versi 2007.

Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa rumus sebagai berikut

BM = ≤ 40 % BTBMI X NILAI PABEAN

Sebenarnya cara penghitungan bea masuk didasarkan pada 2 (dua) cara yaitu dengan mendasarkan
pada tarif spesifik atau tarif advolorum. Didalam sistem tarif spesifik, penghitungan bea masuk didasarkan
pada tarif yang dinyatakan dalam nilai rupiah tertentu untuk setiap satuan atau takaran tertentu dari suatu
barang impor. Dewasa ini hanya 2 (dua) jenis barang impor yang dikenakan tarif spesifik yaitu, beras dan
gula.

Perhatikan contoh berikut :

Importir I mengimpor gula sebanyak 10.000 ton. 1701.11.00.00 Gula tersebut termasuk didalam pos tariff
BTBMI 1701.11.00.00. Besarnya tarif bea masuk adalah Rp. 550,-/kg. Dengan demikian Bea Masuk wajib
dibayar I adalah : 10.000 x 1.000 x Rp. 550,- = Rp. 5.500.000.000,-.

Sebagian besar barang impor dikenakan bea masuk berdasarkan tarif advalorum, yaitu bea masuk
yang dihitung dari prosentase tertentu dari harga barang. Prosentase tertentu didasarkan pada besaran
tarif yang tertera didalam Buku Tarif Bea Masuk Indonesia (BTBMI). Sistem tarif advolorum ini sesuai
dengan ketentuan pasal 12 dan 13 Undang-undang Kepabeanan.
Perhatikan contoh berikut :

Importir I mengimpor barang dengan data-data sebagai berikut :


Jenis barang : Calcium Chloride, 95 %
Negara asal : Singapura
Jumlah : 110.000 kg
Harga CIF : USD 22,000.-
Pos tarif BTBMI : 2516.12.2000 (Tarif Bea Masuk : 5 % )
NDPBM : USD 1.- = Rp. 9.250,-
Jika harga CIF tersebut diterima oleh Pejabat Bea dan Cukai sebagai nilai pabean, maka perhitungannya adalah
sebagai berikut :
72
Nilai pabean : 22.000 x Rp. 9.250,- = Rp. 203.500.000,-
Bea Masuk : 5 % x Rp. 203.500.000,- = Rp. 10.175.000,-

Dari contoh diatas Anda dapat mengetahui bahwa, jika digunakan tarif advalorum, besarnya bea
masuk yang harus dibayar importir tergantung pada harga barang yang bersangkutan. Dengan demikian
pengertian ’nilai pabean’ adalah nilai yang menjadi dasar untuk menghitung bea masuk.

2) Sejarah sistem nilai pabean di Indonesia.

Sebelum tahun 1985, Indonesia menganut sistem harga patokan (dahulu terminologinya juga disebut
‘priscourant’ ) dimana nilai pabean dipatok secara tetap dan tertentu untuk selama periode tertentu.
Importir yang memberitahukan nilai pabean lebih rendah dari harga patokan akan terkena tambah bayar
bea masuk serta terkena sanksi administrasi berupa denda. Harga Patokan ditetapkan berdasarkan
keputusan bersama Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian. Dalam prakteknya
ketiga menteri tersebut sangat jarang melakukan peninjauan kembali atas harga patokan yang telah
ditettapkannya, sehingga keputusan harga cenderung ketinggalan jaman, tidak aktual dan cenderung tidak
mengikuti perkembangan jenis-jenis barang yang kemudian muncul. Untuk mengatasi hal ini muncul
terminologi ’Catatan Harga’ yang berasal dari Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Kantor Wilayah Bea dan Cukai
atau Kantor Inspeksi Bea dan Cukai. ’Catatan Harga’ ini kemudian dijadikan dasar penetapan nilai pabean
oleh Pejabat Bea dan Cukai. Namun tidak semua barang impor mempunyai catatan harga, sehinggga sangat
mudah bagi Pejabat Bea dan Cukai melakukan pengaturan-pengaturan lebih lanjut yang dapat bermuara
pada kepentingan-kepentingan pribadi.

Maka muncullah argumen bahwa institusi kepabeanan pada waktu itu dipandang sebagai institusi
yang sangat tidak efisien, penuh biaya tinggi dan menghambat arus barang impor dan ekspor. Akhirnya
dengan Instruksi Presiden No. 4 Tahun 1985 Pemerintah memberlakukan sistem pemeriksaan pra-
pengapalan (pre-shipment inspection), dimana diatur sebagai berikut :

a. impor barang dengan nilai FOB USD 5,000.- atau lebih dilakukan pemeriksaan oleh Surveyor yang
ditunjuk (yaitu PT Surveyor Indonesia / SGS) untuk melakukan pemeriksaan di Negara pengekspor (pre-
shipment inspection).
b. ekspor barang tidak dilakukan pemeriksaan fisik oleh Pejabat Pabean.

Dibidang impor pemeriksaan nilai pabean dilakukan oleh Surveyor di negara pengekspor yang
didasarkan pada harga pasar (prevailing on the market price in the country of exportation). Laporan
Pemeriksaan Surveyor (LPS) yang dikeluarkan Surveyor, disamping meliputi jumlah, jenis dan kualitas
barang, juga meliputi harga barang. Jika suatu importasi sudah dilindungi dengan dokumen LPS maka
Pejabat Pabean tidak lagi diperkenankan melakukan pemeriksaan fisik atau pemeriksaan atas tarif dan nilai
pabean.

Untuk importasi barang dengan harga kurang dari FOB USD 5,000,-. Pejabat Pabean masih
mempenyuai kewenangan melakukan pemeriksaan fisik, tarif dan nilai pabean. Dasar penetapan nilai
pabean adalah harga sebenarnya yang umumnya tercermin pada harga yang tercantum dalam invoice atas
barang yang dijual ke Indonesia. Dalam hal harga invoice diragukan maka digunakan sebagai data
pembanding data barang identik atau barang serupa yang terdapat pada Profil Harga I atau Profil Harga II.

Putaran Uruguay perundingan perdagangan multilateral GATT Putaran Uruguay di Maroko, tanggal
15 April 1994 telah menyetujui terbentuknya Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization).
Salah satu agreement yang terlampir didalam persetujuan tersebut adalah Persetujuan tentang pelaksanan
73
Article VII GATT (Agreement on Implementation of Article VII of GATT 1994). Persetujuan ini sering disebut
sebagai WTO Valuation Agreement. Persetujuan ini menggariskan bahwa untuk menetapkan harga pabean
harus menggunakan salah satu cara dari 6 cara atau metode penetapan harga yang tersedia sebagai berikut
:

a. Metode I : Metode nilai transaksi (article 1 dan 8) ;


b. Metode II : Metode nilai transaksi barang identik (article 2);
c. Metode III : Metode nilai transaksi barang serupa (article 3);
d. Metode IV : Metode deduksi (article 5);
e. Metode V : Metode komputasi (article 6); dan
f. Metode VI : Metode fall-back (article 7).

Indonesia sebagai negara berkembang telah meratifikasi persetujuan pendirian WTO dengan
undang-undang No. 7 Tahun 1994. Dengan demikian persetujuan ini mengikat bagi Indonesia, termasuk
segala agreement yang terlampir didalam persetujuan tersebut, diantaranya adalah Agreement on
Implementation of Article VII of GATT 1994. Konsekuensinya adalah Indonesia harus menyesuaikan segala
ketentuan yang berkaitan dengan nilai pabean sesuai dengan ketentuan agreement dimaksud. Bagi
Indonesia tidak usah menunggu sampai dengan batas waktu ketentuan WTO (1 Januari 2000), karena
ketentuan penetapan nilai pabean berdasarkan WTO Valuation Agreement telah dimasukkan didalam pasal
15 Undang-undang No. 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan yang telah diubah atau ditambah dengan
Undang-undang No. 17 Tahun 2007.

GATT / WTO Valuation Agreement disusun untuk membangun sebuah sistem internasional untuk
menetapkan nilai pabean barang impor. Tujuan utama dari WTO Valuation Agreement adalah untuk
menciptakan system system penetapan nilai pabean yang netral, adil dan seragam yang tidak memberikan
ruang bagi penggunaan nilai pabean yang sembarangan atau fiktif. WTO Valuation Agreement juga
menghendaki agar dasar bagi penetapan nilai pabean sedapat mungkin berdasarkan nilai transaksi barang
impor yang bersangkutan yang sedang ditetapkan nilai pabeannya tersebut. Dengan demikian penerapan
WTO Valuation Agreement memerlukan adanya perubahan pola pikir dunia usaha dan bea dan cukai.

WTO Valuation Agreement mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995 bagi anggota WTO termasuk
tujuh negara anggota ASEAN yang merupakan anggota WTO. Sebagaimana telah dinyatakan dalam Asean
Customs Policy Implementation and Work Programe (PIWP), semua adminstrasi bea dan cukai di ASEAN
telah setuju untuk memasukkan WTO Valuation Agreement ke dalam peraturan perundang-undangan
kepabeanan mereka masing-masing. Sebagai tindak lanjut pada dalam KTT Asean ke-9 pada tahun 2003 di
Bali telah disepakati pedoman implementasi yang seragam antar negara ASEAN dalam bentuk Asean
Customs Valuation Guide.

3) Kewenangan pabean.

Sistem kepabeanan di Indonesia menganut azas self assessment, dimana importir diminta untuk
memberitahukan didalam pemberitahuan impor jumlah, jenis dan harga barang. Dengan demikian semakin
besar nilai pabean diberitahukan importir semakin besar pula bea masuk yang harus dibayar importir.
Sebaliknya semakin kecil nilai pabean diberitahukan importir semakin kecil pula bea masuk yang dibayar
importir. Karena besar kecilnya pungutan negara sangat tergantung pula besarnya nilai pabean yang
diberitahukan importir, maka pemberitahuan nilai pabean ini harus diteliti oleh Pejabat Bea dan Cukai.
Tujuannya adalah untuk menghindari pemberitahuan nilai pabean yang lebih rendah dari yang seharusnya,
sehingga mengakibatkan kerugian penerimaan negara dari sektor bea masuk, cukai dan pajak dalam rangka
impor. Umum sering menyebut sebagai under invoice, yaitu invoice yang mencantumkan harga barang lebih
74
rendah dari yang seharusnya. Invoice ini dalam banyak hal dibuat sendiri oleh importir yang nakal sekedar
sebagai persyaratan dokumen pelengkap pabean Dikalangan Pejabat Bea dan Cukai, invoice macam ini
sering disebut sebagai ‘invoice pasar pagi’.

Sesuai pasal 16 ayat (2) Undang-undang Kepabeanan, Pejabat Bea dan Cukai berwenang menetapkan
nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk sebelum atau 30 (tiga puluh) hari setelah pemberitahuan
pabean diserahkan oleh importir. Pejabat Bea dan Cukai yang dimaksud adalah Pejabat Fungsional
Pemeriksaan Dokumen atau Kepala Seksi Pabean. Berdasarkan pasal 16 ayat (4) Undang-undang
Kepabeanan, Importir yang salah memberitahukan nilai pabean untuk penghitungan bea masuk sehingga
mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100
% sampai dengan 1000 % dari bea masuk yang kurang dibayar.

Keputusan Pejabat Pabean tersebut juga masih dapat ditetapkan kembali oleh Direktur Jenderal Bea
dan Cukai dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak pemberitahuan pabean (lihat pasal 17 UU Kepabeanan).
Penetapan kembali Direktur Jenderal Bea dan Cukai dapat berakibat kekurangan atau kelebihan
pembayaran bea masuk dan pajak dalam rangka impor. Dalam hal penetapan kembali nilai pabean
mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk dan pajak dalam rangka impor, maka importir akan
ditagih sesuai kekurangannya. Sebaliknya dalam hal penetapan kembali nilai pabean mengakibatkan
kelebihan pembayaran bea masuk, maka akan dikembalikan sesuai kelebihannya. Importir yang salah
memberitahukan nilai transaksinya akan dikenai sanksi adminstrasi berupa denda sebesar 100 % sampai
dengan 1.000 % dari kekurangan bea masuk. (pasal 17 A Undang-undang Kepabeanan).

4) Ketentuan nilai pabean didalam Undang-undang Kepabeanan.

Sesuai dengan prinsip utama WTO Valuatian Agreement, dasar utama penetapan nilai pabean
adalah nilai transaksi dari barang impor yang bersangkutan. Untuk selanjutnya dalam hal nilai transaksi
barang impor yang bersangkutan tidak dapat ditentukan, maka dipakai metode-metode lainnya didalam
pelaksanaan penetapan nilai pabean. Pasal 15 UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana
telah diubah atau ditambah dengan Undang-undang N0. 17 Tahun 2006 , telah mengadopsi prinsip-prinsip
WTO Valuation Agreement sebagai berikut :

a) Metode I, nilai transaksi barang impor yang bersangkutan ( ayat 1) ;


b) Metode II, nilai transaksi barang identik (ayat 2) ;
c) Metode III, nilai transaksi barang serupa (ayat 3) ;
d) Metode IV, metode deduksi (ayat 4) ;
e) Metode V, metode komputasi (ayat 5) ;
f) Metode VI, metode penetapan nilai pabean berdasarkan tatacara yang wajar dan konsisten dengan
dengan prinsip-prinsip metode I s/d metode V berdasarkan data yang tersedia di Daerah Pabean (ayat
6).

Metode I sampai dengan Metode VI harus diterapkan secara hierarkhi penggunaannya. Artinya Pejabat
Bea dan Cukai tidak diperkenankan menerapkan Metode II, tanpa terlebih dahulu ia mencoba menerapkan
Metode I. Demikian pula ia tidak boleh menerapkan metode III tanpa ia mencoba terlebih dahulu menerapkan
metode II atau metode I. Namun didalam pasal 15 ayat (3A) Undang-undang Kepabeaanan, atas permintaan
importir, Pejabat Bea dan Cukai dapat menerpakan terlebih dulu metode V mendahului penerapan metode IV.

A. Metode I : Nilai Transaksi Barang Impor Yang Bersangkutan

a. Pengertian metode I

75
Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Kepabeanan menyebutkan bahwa nilai pabean untuk
penghitungan bea masuk adalah nilai transaksi dari barang impor yang bersangkutan. Jika pejabat Bea dan
Cukai menetapkan nilai pabean berdasarkan pasal ini maka ia menerapkan Metode I.

Metode I mengatur bahwa nilai pabean untuk penghitungan bea masuk adalah nilai transaksi dari
barang impor yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan nilai transaksi adalah harga yang sebenarnya
atau yang seharusnya dibayar dari barang yang dijual untuk diekspor ke Daerah Pabean ditambah dengan
biaya – biaya tertentu, sepanjang biaya-biaya tertentu tersebut belum termasuk dalam harga yang
sebenarnya atau yang seharusnya dibayar.

Harga yang sebenarnya dibayar atau yang seharusnya dibayar merupakan total pembayaran yang
dilakukan atau akan dilakukan oleh pembeli kepada atau untuk kepentingan penjual berkenaan dengan
barang yang diimpor. Pembayaran tersebut tidak harus dilakukan dalam bentuk transfer uang, melainkan
dengan menggunakan salah satu cara didalam system pembayaran ekspor impor, misalnya melului letter
of credit (L/C), wesel internasional, advance payment dan lain-lain.

Yang dimaksud dengan harga yang sebenarnya dibayar (terjemahan dari ‘price actually paid) adalah
harga barang yang pada waktu barang tersebut diimpor (diserahkan PIB-nya kepada Kantor Pabean) telah
dibayar lunas oleh pembeli barang. Sedangkan yang dimaksud dengan harga yang seharusnya dibayar (
terjemahan dari ‘payable) adalah bahwa barang tersebut pada waktu diimpor (diserahkan PIB-nya ke
Kantor Pabean) belum dibayar/dilunasi oleh pembeli yang bersangkutan.

Didalam penggunaan Metode I, disyaratkan importasi adalah merupakan transaksi jual beli yaitu
kegiatan komersial yang mensyaratkan adanya “pembeli”, yaitu pihak yang setuju untuk memperoleh
barang dalam jumlah tertentu dan setuju untuk membayar/mengirimkan kompensasi, dan “penjual”, yaitu
pihak yang setuju untuk menyerahkan hak kepemilikan barang. Apabila ke dua belah pihak, yaitu penjual
dan pembeli yang terlibat dalam transaksi tersebut memberikan persetujuan dalam kaitannya dengan
barang dan harga, maka terjadilah suatu penjualan (transaksi jual-beli).

Apabila barang impor bukan merupakan subyek dari suatu penjualan, berarti tidak terdapat nilai
transaksi sehingga barang impor yang bersangkutan tidak dapat ditetapkan nilai pabeannya berdasarkan
Metode I.

Contoh barang impor yang bukan merupakan suatu subyek penjualan, yaitu:

a) Barang yang dikirim secara konsinyasi yang dijual setelah pengimporan atas perintah dan/atau untuk
kepentingan pemasok;
b) Barang yang dikirim dengan Cuma-Cuma, misalnya barang hadiah, barang promosi, barang contoh
(free of charge);
c) Barang yang diimpor oleh intermediary yang tidak membeli barang, barang tersebut dijual setelah
pengimporan;
d) Barang yang diimpor oleh anak cabang perusahaan dengan kondisi anak cabang tersebut bukan
merupakan badan hukum yang berdiri sendiri;
e) Barang yang disewa (leasing contract);
f) Barang bantuan dari luar negeri yang kepemilikannya ditangan pengirim barang;

b. Biaya-biaya yang tidak termasuk harga sebenarnya atau seharusnya dibayar.

Harga yang Sebenarnya Dibayar atau yang Seharusnya Dibayar, tidak meliputi :

76
1. Biaya yang terjadi dari kegiatan yang dilakukan oleh pembeli untuk kepentingannya sendiri, yaitu
antara lain biaya untuk : uji coba; pembuatan ruang pamer; penyelidikan pasar; dan biaya pembukaan
L/C.
2. Biaya yang terjadi setelah pengimporan barang adalah :
- biaya konstruksi, pembangunan, perakitan, pemeliharaan atau bantuan teknik yang dilakukan
setelah pengimporan;
- biaya pengangkutan, asuransi dan atau biaya lainnya setelah pengimporan;
- bea masuk, cukai, dan pungutan dalam rangka impor
3. Bunga (Interest Charges) dan deviden.
4. Diskon (Potongan)
Diskon merupakan komponen untuk mengurangi harga barang impor sepanjang diskon tersebut
berlaku umum dalam perdagangan. Di dalam perdagangan dikenal tiga jenis diskon, yaitu :
- cash discount adalah diskon yang diberikan karena pembayaran kontan, diskon ini diberikan
kepada pembeli atas pembayaran yang dilakukan dalam kurun waktu tertentu yang telah
disetujui oleh penjual ;
- quantity discount adalah diskon yang diberikan karena perbedaan jumlah pembelian;
- trade discount adalah diskon yang diberikan karena adanya perbedaan tingkat perdagangan :
wholeseller, retailer dan end-user);

c. Biaya yang Ditambahkan pada Harga yang Sebenarnya Dibayar atau yang Seharusnya Dibayar

Untuk memperoleh nilai transaksi, harga yang sebenarnya dibayar atau yang seharusnya dibayar
ditambah dengan biaya-biaya tertentu, yaitu :

1. Biaya yang dibayar oleh pembeli yang belum termasuk dalam harga yang sebenarnya dibayar atau
yang seharusnya dibayar, berupa :
- Komisi dan jasa perantara, kecuali komisi pembelian;
- Biaya pengemasan yang untuk kepentingan pabean pengemasan tersebut menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dengan barang yang bersangkutan.
- biaya pengepakan, baik untuk upah tenaga kerja maupun material pengepakan.
2. Nilai bantuan (assist).
Assist adalah nilai dari barang dan jasa yang dipasok secara langsung atau tidak langsung oleh
pembeli dengan Cuma-Cuma atau dengan harga yang diturunkan, untuk kepentingan produksi dan
penjualan untuk ekspor barang impor yang bersangkutan, sepanjang nilai tersebut belum termasuk
dalam harga yang sebenarnya dibayar atau seharusnya dibayar.
3. Royalti dan biaya lisensi.
Royalti dan lisensi adalah pembayaran yang berkaitan antara lain dengan paten, merek dagang dan
hak cipta. Royalti dan lisensi ditambahkan sepanjang belum termasuk dalam harga sebenarnya
dibayar atau seharusnya dibayar serta memenuhi pesrsyaratan sebagai berikut :

- dibayar oleh pembeli secara langsung atau tidak langsung. Pembeli berkewajiban membayar
royalti atau biaya lisensi atas pembelian barang impor yang bersangkutan.
- merupakan persyaratan jual beli barang impor.
- berkaitan dengan barang impor, artinya, pada barang impor yang bersangkutan terdapat Hak
Atas Kekayaaan Intelektual.

4. Proceeds.

77
Yang dimaksud dengan proceeds adalah nilai dari bagian pendapatan yang diperoleh pembeli atas
penjualan kembali, pemanfaatan atau pemakaian barang impor yang kemudian diserahkan secara
langsung atau tidak langsung kepada penjual. Pada umumnya proceeds diberlakukan oleh penjual
apabila barang tersebut mempunyai posisi tawar yang sangat tinggi.

5. Biaya transportasi barang impor yang dijual untuk di ekspor ke tempat impor di Daerah Pabean.
Yang dimaksud dengan biaya transportasi (freight) adalah biaya transportasi barang impor ke tempat
impor di Daerah Pabean, yaitu biaya transportasi yang sebenarnya dibayar atau yang seharusnya
dibayar yang pada umumnya tercantum pada dokumen pengangkutan, seperti B/L atau AWB dari
barang impor yang bersangkutan.

Apabila biaya transportasi tidak tercantum di dalam B/L atau AWB, maka biaya transportasi adalah
biaya yang sebenarnya dibayar atau yang seharusnya dibayar sepanjang pembeli dapat menunjukkan
bukti yang obyektif dan terukur atas biaya transportasi tersebut

6. Biaya pemuatan, pembongkaran dan penanganan yang berkaitan dengan pengangkutan barang
impor ke tempat impor di Daerah Pabean.
Yang dimaksud dengan biaya pemuatan, pembongkaran dan penanganan (handling charges) yang
belum termasuk biaya transportasi adalah segala biaya yang berkaitan dengan pengangkutan barang
ke tempat impor di Daerah Pabean yang belum termasuk dalam biaya transportasi (freight). Biaya
tersebut antara lain berupa biaya pemuatan, pembongkaran, penyimpanan / pergudangan, transit
dan penanganan barang impor (handling charges) yang timbul sejak barang diangkut ke tempat impor
(pelabuhan tujuan ) di Daerah Pabean.

7. Biaya asuransi.
Yang dimaksud dengan biaya asuransi adalah biaya penjaminan pengankutan barang dari tempat
ekspor di luar negeri ke tempat impor di Daerah Pabean.

2) Metode II, Nilai Transaksi Barang Identik

a. Pengertian nilai transaksi barang identik.

Metode II yaitu nilai transaksi barang identik akan digunakan jika Metode I tidak dapat digunakan,
misalnya karena tidak adanya transaksi jual beli. Jika Pejabat Bea dan Cukai menggunakan metode II
sebagai dasar penetapan nilai pabean, maka ia menggunakan data barang identik yang ada di Kantor
Pabean. Artinya data barang impor yang diberitahukan didalam dokumen Pemberitahuan Impor Barang
(PIB) dibandingkan dengan data barang identik yang ada di Kantor Pabean. Pemberitahuan harga barang
impor akan ditetapkan sebagai nilai pabean oleh Pejabat Bea dan Cukai jika data harga yang diberitahukan
sesuai dengan data barang identik yang terdapat di Kantor Pabean. Sebaliknya jika data harga barang
identik lebih besar dari data harga yang diberitahukan dalam pemberitahuan pabean, maka importir
dikenakan tambah bayar bea masuk ditambah dengan sanksi adminatrasi berupa denda.

Dua barang dianggap identik jika :

Kedua barang tersebut sama dalam segala hal, meliputi karakter fisik, mutu dan reputasi, serta
dibuat di negara yang sama oleh produsen yang sama atau yang berbeda. Perbedaan-perbedaan
kecil diantara dua barang tersebut, misalnya karena perbedaan warna atau aksesori, tidak
mempengaruhi penilaian suatu barang dianggap sebagai barang identik.

78
Perhatikan contoh barang identik sebagai berikut :

Data PIB :

Jenis barang : Pesawat penerima siaran televisi, berwarna


( Colour TV Receiver)
Ukuran : 29 ’’
Tipe : KV29S
Merek : Sony
Negara asal : Japan

Data di Kantor Pabean :

Jenis barang : Pesawat penerima siaran televisi, berwarna


( Colour TV Receiver)
Ukuran : 29 ’’
Kualitas : Berwarna
Tipe : KV29S
Merek : Sony
Negara asal : Japan

b. Persyaratan penggunaan Metode II

Data barang identik di Kantor Pabean dapat digunakan sebagai dasar penetapan nilai pabean
menggunakan Metode II sepanjang memenuhi persyaratan :

▪ berasal dari Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang nilai pabeannya telah ditetapkan berdasarkan
nilai transaksi oleh Kantor Pelayanan Bea dan Cukai;
▪ tanggal Bill of Lading (B/L) atau Airway Bill (AWB)-nya sama atau dalam waktu tiga puluh hari sebelum
atau sesudah tanggal B/L atau AWB barang impor yang sedang ditetapkan nilai pabeannya;
▪ tingkat perdagangan dan jumlah barangnya sama dengan tingkat perdagangan dan jumlah barang,
barang impor yang sedang ditetapkan nilai pabeannya.

Apabila terdapat lebih dari satu nilai transaksi barang identik, maka untuk menetapkan nilai pabean
digunakan nilai transaksi barang identik yang paling rendah.

3) Metode III, Nilai Transaksi Barang Serupa.

a. Pengertian nilai transaksi barang serupa.

Metode III yaitu nilai transaksi barang serupa, akan digunakan jika Metode II dan Metode I tidak
dapat digunakan, misalnya karena persyaratan untuk penggunaan metode-metode tersebut tidak
terpenuhi. Misalnya, metode II tidak dapat digunakan jika tidak terdapat data barang identik yang
memenuhi syarat di Kantor Pabeaan. Jika Pejabat Bea dan Cukai menggunakan metode III sebagai dasar
penetapan nilai pabean, maka ia menggunakan data barang serupa yang ada di Kantor Pabean. Artinya
data barang impor yang diberitahukan didalam dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB)
dibandingkan dengan data barang serupa yang ada di Kantor Pabean. Pemberitahuan harga barang impor
akan ditetapkan sebagai nilai pabean oleh Pejabat Bea dan Cukai jika data harga yang diberitahukan sesuai
79
dengan data barang serupa yang terdapat di Kantor Pabean. Sebaliknya jika data harga barang serupa lebih
besar dari data harga yang diberitahukan dalam pemberitahuan pabean, maka importir dikenakan tambah
bayar bea masuk ditambah dengan sanksi adminatrasi berupa denda.

Dua barang dianggap serupa jika :

Kedua barang tersebut meskipun tidak sama dalam segala hal, tetapi mempunyai karakter fisik
sama, komponen material sama, berfungsi sama dan secara komersial saling dapat dipertukarkan
, serta dibuat di negara yang sama oleh produsen yang sama atau yang berbeda. Perbedaan-
perbedaan kecil diantara dua barang tersebut, misalnya karena perbedaan warna atau aksesori,
tidak mempengaruhi penilaian suatu barang dianggap sebagai barang identik.

Perhatikan contoh barang serupa sebagai berikut :

Data PIB :

Jenis barang : USB Flash Drive


Ukuran : 2 GB
Merek : Kingston
Negara asal : China

Data di Kantor Pabean :

Jenis barang : USB Flah Drive


Ukuran : 2 GB
Merek : Sandisk
Negara asal : China

b. Persyaratan penggunaan Metode III


Data barang identik di Kantor Pabean dapat digunakan sebagai dasar penetapan nilai pabean
menggunakan Metode III sepanjang memenuhi persyaratan :

▪ berasal dari Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang nilai pabeannya telah ditetapkan berdasarkan
nilai transaksi oleh Kantor Pelayanan Bea dan Cukai;
▪ tanggal Bill of Lading (B/L) atau Airway Bill (AWB)-nya sama atau dalam waktu tiga puluh hari sebelum
atau sesudah tanggal B/L atau AWB barang impor yang sedang ditetapkan nilai pabeannya;
▪ tingkat perdagangan dan jumlah barangnya sama dengan tingkat perdagangan dan jumlah barang,
barang impor yang sedang ditetapkan nilai pabeannya.

Apabila terdapat lebih dari satu nilai transaksi barang identik, maka untuk menetapkan nilai pabean
digunakan nilai transaksi barang identik yang paling rendah.

4) METODE IV : METODE DEDUKSI

a. Pengertian Metode Deduksi.

80
Metode deduksi adalah metode penetapan nilai pabean berdasarkan harga satuan di pasar daerah
pabean dari barang impor yang bersangkutan, barang identik atau barang serupa, dalam penjualan
terbesar dan dalam kondisi sama dengan saat diimpor, dikurangi dengan sejumlah faktor pengurangan.

Metode deduksi baru dapat digunakan apabila metode III, Metode II atau Metode I, tidak dapat
digunakan. Sebagai contoh, metode III tidak dapat digunakan dalam hal tidak terdapat data barang serupa
pada kantor pabean atau persyaratan penggunaan metode III tidak terpenuhi.

b. Faktor pengurangan .

Faktor pengurangan adalah biaya-biaya setelah pengimporan yang dilaporkan oleh importir kepada
pihak pabean, berupa :

i. Komisi atau keuntungan dan pengeluaran umum atas penjualan barang impor yang bersangkutan,
barang identik atau barang serupa di pasaran dalam Daerah Pabean;
ii. Biaya transportasi, asuransi dan biaya lainnya yang ditanggung oleh pembeli setelah barang impor
yang bersangkutan, barang identik, atau barang serupa tiba di tempat impor di Daerah Pabean;
iii. Bea masuk, cukai, dan pajak dalam rangka impor.

Harga satuan dalam daerah pabean setelah dikurangi dengan biaya-biaya sebagaimana butir i, ii dan
iii tersebut diatas menjadi nilai pabean barang impor yang bersangkutan. Data besarnya biaya – biaya
pengurangan diperoleh dari importir (pembeli barang ), kecuali data tersebut tidak sesuai dengan
kelaziman yang berlaku di Daerah Pabean.

c. Persyaratan Harga Satuan

Harga satuan yang digunakan sebagai dasar perhitungan Metode Deduksi harus memenuhi persyaratan,
yaitu :

i. harga satuan diperoleh dari penjualan di pasaran dalam Daerah Pabean yang antara penjual dan
pembeli tidak saling berhubungan;
ii. merupakan harga satuan dari barang impor yang bersangkutan, barang identik atau barang serupa
yang laku terjual dalam jumlah terbanyak (greatest aggregate quantity);
iii. penjualan tersebut adalah penjualan tangan pertama setelah pengimporan (harga jual importir) ;
iv. penjualan tersebut terjadi pada tanggal yang sama dengan atau terjadi dalam waktu 30 (tiga puluh)
hari sebelum atau sesudah tanggal pendaftaran PIB barang impor yang sedang ditetapkan nilai
pabeannya;

Apabila tidak terdapat harga satuan yang memenuhi syarat, maka Metode Deduksi tidak dapat
digunakan untuk menetapkan nilai pabean barang impor yang bersangkutan.

5) Metode V, Metode Komputasi


a. Pengertian metode komputasi .
Metode komputasi adalah metode penetapan nilai pabean dengan cara menjumlahkan sejumlah
unsur biaya sehingga didapat harga CIF di Daerah Pabean. Metode Komputasi baru dapat digunakan
apabila nilai pabean tidak dapat ditetapkan berdasarkan nilai transaksi barang impor yang bersangkutan,
nilai transaksi barang identik, nilai transaksi barang serupa atau metode deduksi. Contoh, nilai pabean
tidak dapat digunakan dengan menggunakan metode IV, jika tidak terdapat data barang identik atau
serupa yang dijual oleh importir yang bersangkutan.

b. Unsur –unsur pembentuk nilai pabean dalam metode komputasi.


81
Unsur-unsur biaya yang dijumlahkan didalam metode komputasi adalah sebagai berikut:

i. biaya atau harga bahan baku dan proses pembuatan atau proses lainnya yang dilakukan dalam
memproduksi barang impor yang bersangkutan;
ii. keuntungan dan pengeluaran umum yang besarnya sama atau mendekati keuntungan dan
pengeluaran umum penjualan barang sejenis yang dibuat oleh produsen di negara pengekspor untuk
dikirim ke Daerah Pabean;
iii. biaya transportasi dari pelabuhan muat ke tempat impor di Daerah Pabean, termasuk biaya pemuatan,
pembongkaran dan penanganan; dan
iv. biaya asuransi.

Unsur pembentuk nilai pabean sebagaimana dimaksud diatas termasuk juga :

i. biaya yang ditanggung oleh pembeli berupa :


a. komisi dan jasa perantara, kecuali komisi pembelian;
b. biaya pengemas yang untuk kepentingan pabean pengemas tersebut menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dengan barang yang bersangkutan; dan / atau
c. biaya pengapakan meliputi upah tenaga kerja dan material pengepakan,
ii. assist

Metode Komputasi hanya digunakan dalam hal antara penjual dan pembeli saling berhubungan,
dan produsen atau kuasanya bersedia memberikan informasi kepada pihak pabean mengenai unsur-unsur
pembentuk nilai pabean dan bersedia memberikan fasilitas untuk pemeriksaan lebih lanjut apabila
diperlukan

c. Persyaratan penggunaan metode komputasi

Data-data unsur –unsur biaya dari barang impor yang sedang ditetapkan nilai pabeannya harus
berasal dari produsen barang yang bersangkutan. Produsen adalah penduduk warga negara asing. Tidak
ada kewajiban bagi penduduk warga negara asing untuk taat pada ketentuan undang-undang Indonesia.
Dapat saja pihak pabean Indonesia memaksa produsen yang warga negara asing tersebut untuk
menyerahkan data, dengan cara menghambat importasi barang tersebut. Namun hal tersebut tidak
diperkenankan. Salah satu ketentuan dari GATT Valuation Agreement bahkan menyatakan bahwa negara
anggota tidak boleh memaksa penduduk warga negara lain untuk menyerahkan data berdasarkan metode
ini. Data – data unsur biaya jika diserahkan oleh pihak produsen harus didasarkan pembukuan produsen
barang yang sedang ditetapkan nilai pabeannya, yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip akuntansi yang
berlaku di negara pengekspor.

6) Metode VI, Metode I sampai dengan Metode V Yang Diterapkan Secara Fleksibel

a. Pengertian metode VI.

Metode VI adalah metode penetapan nilai pabean dengan cara mengulangi ketentuan Metode I
sampai dengan V dengan pelaksanaan yang fleksibel, serta memperhatikan prinsip dan ketentuan Pasal
VII GATT 1994, dan berdasarkan data yang tersedia di daerah pabean. Metode VI baru dapat digunakan
apabila metode I, metode II, metode III, metode IV dan metode V tidak dapat digunakan. Penetapan nilai
pabean berdasarkan Metode VI dilaksanakan dengan cara mengulangi kembali prinsip dan ketentuan

82
Metode I sampai dengan V yang diterapkan secara fleksibel berdasarkan data yang tersedia di Daerah
Pabean.

Dalam menggunakan Metode VI harus mengikuti hirarki metode penetapan nilai pabean.
Penggunaan Metode I yang diterapkan secara fleksibel lebih diutamakan dari pada penggunaan Metode
II yang diterapkan secara fleksibel, dan seterusnya. Azas fleksibelitas ini diterapkan dengan pertimbangan
jangan sampai terdapat pemberitahuan pabean yang tidak dapat ditetapkan nilai pabean.

b. Cara penetapan nilai pabean berdasarkan metode VI.

i. Penetapan nilai pabean berdasarkan metode VI dengan menggunakan metode I yang diterapkan
secara fleksibel.

Didalam penggunaan metode I, metode nilai transaksi barang impor, disyaratkan adanya kondisi jual
beli didalam perjanjian antara importir dan eksportir. Namun didalam penggunaan metode I dengan
menggunakan metode VI yang diterapkan secara fleksibel, Pejabat Bea dan Cukai dapat menetapkan
nilai pabean berdasarkan nilai sewa yang dihitung dengan menggunakan rumus-rumus tertentu.

ii. Penetapan nilai pabean berdasarkan metode VI dengan menggunakan metode II atau metode III yang
diterapkan secara fleksibel dilakukan dengan cara sebagai berikut :

• Didalam penggunaan metode II atau metode III, barang identik atau barang serupa harus berasal
dari negara yang sama dengan barang impor yang sedang ditetapkan nilai pabeannya. Didalam
penggunaan metode VI dengan menggunakan metode II atau metode III yang diterapkan secara
fleksibel, pejabat Bea dan Cukai dapat menetapkan nilai pabean dengan menggunakan data
barang identik atau barang serupa yang negara pembuatannya berbeda dengan data barang yang
diberitahukan.
• Didalam penggunaan metode II atau metode III, tanggal B/L atau AWB barang identik atau serupa
harus sama atau dalam jangka waktu 30 hari sebelum atau sesudah tanggal B/L atau AWB dari
pemberitahuan pabean yang sedang ditetapkan nilai pabeannya. Didalam penggunaan metode
VI, jangka waktu ini dilonggarkan menjadi 60 hari sesudah atau sebelum tanggal B/L atau AWB
dari pemberitahuan pabean yang sedang ditetapkan nilai pabeannya.
iii. Penetapan nilai pabean berdasarkan metode VI dengan menggunakan metode IV yang diterapkan
secara fleksibel dilakukan dengan cara sebagai berikut :

• Cara penetapan nilai pabean berdasarkan metode IV adalah harga satuan dipasar dalam Daerah
Pabean dikurangi dengan sejumlah faktor pengurangan. Yang dimaksud dengan harga pasar
adalah harga jual tangan pertama setelah pengimporan (harga jual importir). Didalam penetapan
nilai pabean berdasarkan metode VI dengan menggunakan IV yang diterapkan secara fleksibel
Pejabat Bea dan Cukai dapat menggunakan harga satuan ditingkat wholesaler atau retailer.
• Didalam penerapan metode IV, besarnya faktor penggurangan harus didasarkan pada informasi
importir barang impor yang bersangkutan. Didalam penetapan nilai pabean berdasarkan metode
VI dengan menggunakan IV yang diterapkan secara fleksibel, besarnya faktor pengurangan
ditetapkan oleh Pejabat Bea dan Cukai dengan melakukan penghitungan dengan menggunakan
faktor multiplikator.

c. Ketentuan larangan dalam penggunaan metode VI.

83
Didalam penggunan metode VI Pejabat Bea dan Cukai tidak diperkenankan, menetapkan dengan cara
mendasarkan pada :

i. harga jual di Daerah Pabean dari barang yang diproduksi di daerah pabean;
ii. sistem yang menetapkan nilai pabean lebih tinggi apabila terdapat alternatif nilai;
iii. harga pasar dalam negeri negara pengekspor;
iv. biaya produksi selain yang dihitung dengan menggunakan Metode Komputasi yang telah ditentukan
untuk barang identik atau barang serupa;
v. harga barang yang diekspor ke suatu negara selain ke dalam Daerah Pabean;
vi. nilai pabean minimal;
vii. nilai pabean yang ditetapkan dengan sewenang-wenang atau fiktif.

7.4. Latihan

1. Jelaskan perbedaan antara penghitungan bea masuk dengan menggunakan tarif spesifik dengan yang
menggunakan tarif advalorum !
2. Jelaskan pengertian nilai pabean !
3. Jelaskan beberapa sistem nilai pabean yang pernah berlaku di Indonesia !
4. Mengapa Indonesia menganut pada sistem nilai pabean sebagaimana diatur didalam WTO Valuation
Agreement ? Jelaskan !
5. Jelaskan metode-metode penetapan nilai pabean yang berlaku berdasarkan Undang-undang
Kepabeanan ?
6. Jelaskan pengertian nilai transaksi !
7. Jelaskan persyaratan penggunaan Metode I !
8. Jelaskan pengertian barang identik !
9. Jelaskan pengertian barang serupa !
10. Jelaskan persyaratan penggunaan metode II dan metode III !
11. Jelaskan pengertian metode deduksi !
12. Jelaskan persyaratan penggunaan metode IV !
13. Jelaskan pengertian metode komputasi !
14. Jelaskan unsur-unsur biaya yang dijumlahkan dalam metode komputasi!
15. Jelaskan cara penerapan metode VI !
16. Jelaskan contoh – contoh fleksibelitas didalam penggunaan Metode VI

84
Bab 8
Larangan dan Pembatasan Impor atau Ekspor,
Barang yang Tidak Dikuasai, Barang yang Tidak Dikuasai Negara,
Wewenang Pabean

8.1. Larangan dan Pembatasan Impor atau Ekspor

Suatu barang dilarang diimpor atau diekspor jika barang tersebut sesuai ketentuan perundang-undang
yang berlaku memang dilarang untuk diimpor atau diekspor. Suatu barang dibatasi impornya atau ekspornya jika
barang tersebut sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku memang dibatasi untuk diimpor atau
diekspor. Pembatasan tersebut dapat dilakukan dengan melalaui proses perizinan atau pembatasan jumlah
yang diimpor atau diekspor.

Contoh larangan impor :

• Departemen Perdagangan melarang semua barang bekas dimasukkan ke dalam daerah Pabean
(dilarang di impor).
• Departemen Kesehatan melarang impor bahan baku Narkoba kecuali untuk pembuatan obat Anti
Biotik oleh pabrik farmasi
• Impor senjata api dilarang
Contoh pembatasan :

▪ Pembatasan terhadap jenis barang.


Impor beras selama tahun 2004 dibatasi sebanyak 2 juta ton. Perusahaan yang mengimpor tidak
dibatasi tetapi jumlah barang yang diimpor dibatasi.
▪ Pembatasan terhadap perusahaan.
Impor minuman beralkohol tidak dibatasi jumlahnya, tetapi perusahaan yang mengimpor ditunjuk
hanya perusahaan tertentu.

Dalam UU Kepabeanan, ditetapkan bahwa dalam rangka untuk kepentingan pengawasan yang dilakukan
oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terhadap pelaksanaan ketentuan dan larangan dan pembatasan, maka
instansi teknis yang menetapkan larangan dan atau pembatasan atas impor atau ekspor barang tertentu wajib
memberitahukan kepada Menteri Keuangan, sebagai atasan dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Pada
hakekatnya pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan larangan dan pembatasan pada saat pemasukan atau
pengeluaran barang ke atau dari daerah pabean. Sesuai dengan praktek kepabeanan internasional pengawasan
lalu lintas barang yang masuk atau keluar dari daerah pabean dilakukan oleh instansi pabean (dalam hal ini
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai).

Agar pelaksanaan pengawasan peraturan larangan dan pembatasan menjadi lebih efektif dan
terkoordinasi, maka instansi teknis yang bersangkutan dengan barang impor atau ekspor yang dilarang atau
dibatasi wajib menyampaikan peraturan dimaksud kepada Menteri Keuangan untuk ditetapkan dan dilaksanakan
oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

85
Barang yang dilarang atau dibatasi yang tidak memenuhi syarat untuk diekspor atau diimpor, jika telah
diberitahukan dalam Pemberitahuan Pabean harus diekspor kembali atau dimusnahkan.

Contoh :

Dalam Pemberitahuan Impor Barang (PIB) diberitahukan bubuk Percusor (bahan baku untuk membuat
obat), akan tetapi tidak dilampiri surat rekomendasi dari instansi teknis terkait kepada importir yang
bersangkutan. Barang ditahan oleh Pejabat Bea Cukai. Atas barang impor tersebut dapat:

− dibatalkan ekspornya kalau barang ekspor


− diekspor kembali kalau barang impor
− dimusnahkan dibawah pengawasan Pejabat Bea dan Cukai.

Barang yang dilarang atau dibatasi untuk diimpor atau diekspor yang tidak memenuhi syarat adalah
barang impor atau ekspor yang telah diberitahukan dengan Pemberitahuan Pabean, tetapi tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan larangan atau pembatasan atas barang yang bersangkutan.

Barang yang dilarang atau dibatasi untuk diimpor atau diekspor yang tidak diberitahukan atau
diberitahukan secara tidak benar dinyatakan sebagai barang milik negara.

Contoh :

Dalam Pemberitahuan Impor Barang diberitahukan biji gandum, namun pada waktu dilakukan
pemeriksaan fisik ternyata kedapatan beras. Namun tidak semua barang larangan dikuasai negara. Terhadap
barang dimaksud dapat ditetapkan lain berdasarkan peraturan yang berlaku. Peraturan yang bersangkutan telah
mengatur secara khusus penyelesaian barang impor yang dibatasi atau dilarang.

Contoh :

Impor limbah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun. Atas barang tersebut tidak dikuasai
negara. Barang tersebut wajib direekspor atau dimusnahkan.

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai diberi tugas untuk melakukan penangguhan sementara waktu
pengeluaran barang impor atau ekspor atas dugaan adanya pelanggaran atas HAKI berdasarkan bukti yang
cukup.

Jenis-jenis HAKI yang ada dan telah ditetapkan dengan undang-undang adalah:

▪ Hak Cipta (Copy Right) UU Nomor 10 tahun 2003


▪ Hak Merk Dagang (Trade Mark) UU Nomor 15 tahun 2001
▪ Hak Patent UU Nomor 14 tahun 2001
▪ Hak Desain Produk Industri UU Nomor 31 tahun 2001
▪ Rahasia Dagang UU Nomor 30 tahun 2000
▪ Desain Rangkaian Listrik Terpadu UU Nomor 32 tahun 2000
▪ Indikasi Geografis

Berkaitan dengan tugas dan fungsí DJBC sesuai ketentuan yang diatur dalam pasal 54 Undang-undang
Kepabeanan, pengendalian barang hasil pelanggaran HAKI meliputi merek atau hak cipta.
Penangguhan pengeluaran barang dilaksanakan oleh Pejabat Bea dan Cukai untuk jangka waktu paling
lama 10 (sepuluh) hari kerja. Jangka waktu tersebut disediakan untuk memberi kesempatan kepada pihak yang
meminta penangguhan agar segera mengambil langkah-langkah untuk mempertahankan haknya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penangguhan ini berdasarkan alasan dan dengan syarat-syarat
tertentu dapat diperpanjang satu kali untuk paling lama 10 (sepuluh) hari kerja dengan perintah tertulis Ketua
86
Pengadilan Niaga setempat. Perpanjangan penangguhan pengeluaran barang impor/ekspor disertai dengan
perpanjangan jaminan.

Atas permintaan pemilik/pemegang HAKI (merk/hak cipta) yang telah meminta penangguhan, Ketua
Pengadilan Negeri setempat dapat memberi izin kepada pemilik/pemegang HAKI, guna memeriksa barang impor
/ekspor yang diminta penangguhan pengeluarannya. Izin pemeriksaan tersebut dilakukan dalam rangka
identifikasi atau pencacahan untuk kepentingan pengambilan tindakan hukum atau langkah-langkah untuk
mempertahankan hak yang diduga telah dilanggar. Pemeriksaan tersebut sudah tentu dilakukan dengan
sepengetahuan Pejabat Bea dan Cukai. Izin pemeriksaan diberikan setelah mempertimbangkan kepentingan
importir/eksportir.

Karena permintaan penangguhan tersebut masih berdasarkan dugaan, maka kepentingan pemilik barang
(importir/eksportir) juga perlu diperhatikan secara wajar. Kepentingan yang dimaksud antara lain :

▪ Kepentingan untuk menjaga rahasia dagang.


▪ informasi teknologi yang dirahasiakan yang digunakan untuk memproduksi barang impor/ekspor.

Dalam hal demikian, pemeriksaan hanya diizinkan secara fisik, sekedar untuk identifikasi atau mencacah
barang-barang yang dimintakan penangguhan. Apabila selama penangguhan tidak ada permintaan untuk
memperpanjang perintah penangguhan, Pejabat Bea dan Cukai wajib mengakhiri tindakan penangguhan
pengeluaran barang impor/ekspor yang bersangkutan, dan segera menyelesaikannya sesuai dengan ketentuan
kepabeanan berdasarkan UU Kepabeanan.

Dalam hal tertentu importir/eksportir atau pemilik barang dapat mengajukan permintaan kepada Ketua
Pengadilan Niaga setempat untuk memerintahkan secara tertulis kepada Pejabat Bea dan Cukai agar mengakhiri
penangguhan dengan menyerahkan jaminan yang sama dengan jaminan yang diserahkan oleh pemilik HAKI. Yang
dimaksud dengan hal tertentu tersebut misalnya kondisi atau sifat barang yang cepat rusak.

Apabila dari hasil pemeriksaan perkara di depan pengadilan terbukti bahwa barang impor/ekspor
tersebut tidak merupakan atau tidak berasal dari hasil pelanggaran HAKI (merk atau hak cipta) pemilik
barang impor/ekspor berhak memperoleh ganti rugi dari pemilik/pemegang hak yang meminta
penangguhan pengeluaran barang impor/ekspor tersebut. Ganti rugi diperoleh dengan membayar dari
jaminan yang telah dipertaruhkan oleh pemilik/ pemegang hak.

Ketentuan penangguhan pengeluaran barang yang diduga merupakan hasil pelanggaran HAKI tidak
diberlakukan terhadap barang-barang tertentu yaitu:

▪ Barang bawaan penumpang


▪ Barang awak sarana pengangkut
▪ Barang pelintas batas
▪ Barang kiriman melalui pos
▪ Barang kiriman jasa titipan yang tidak dimaksudkan untuk tujuan komersil

8.2. Barang yang Dinyatakan Tidak Dikuasai, Dikuasai, dan yang Menjadi Milik Negara

A. Barang yang Dinyatakan Tidak Dikuasai

Barang yang dinyatakan tidak dikuasai sesuai Pernyataan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang
mengambil alih hak pindah tangan ke pihak ke-3 dari importir/eksportir. Namun demikian barang impor/ekspor
tersebut masih tetap milik importir/eksportir. Pernyataan barang yang tidak dikuasai ini tujuannya untuk
mencegah terjadinya KONGESTI, dimana kelancaran arus barang dari dan ke pelabuhan terhambat /tidak lancar.
87
KONGESTI ini akan menyebabkan sewa gudang meningkat, timbulnya kerusakan, kehilangan barang
impor/ekspor yang pada akhirnya akan menyebabkan ekonomi biaya tinggi.

Jenis-jenis barang yang tidak dikuasai adalah :

1) Barang yang ditimbun di Tempat Penimbunan Sementara (TPS) yang melebihi jangka waktu :
▪ 30 (tiga puluh) hari di Tempat Penimbunan Sementara di area pelabuhan
▪ 60 (enam puluh) hari di Tempat Penimbunan Sementara di luar area pelabuhan (tempat lain yang
disamakan dengan TPS).
2) Barang yang tidak dikeluarkan dari Tempat Penimbunan Berikat (TPB) yang telah dicabut izinnya
dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari
3) Barang kiriman pos melalui Kantor Pos Lalu Bea :
▪ Yang ditolak oleh dipenerima (si alamat) karena satu dan lain hal, misalkan: si penerima tidak
mampu membayar Bea masuk dan PDRI yang terhutang atau barang kiriman tersebut
memerlukan izin instansi terkait.
▪ Barang kiriman pos tujuan luar daerah pabean yang diterima kembali, karena ditolak oleh
penerima di luar daerah pabean atau tidak disampaikan kepada alamat yang dituju. Kemudian
diberitahukan kepada pengirim, akan tetapi dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak di terimanya
pemberitahuan dari kantor pos, si pengirim tidak juga mengambil kiriman pos yang ditolak diluar
daerah pabean tersebut.

Semua barang impor /ekspor yang telah dinyatakan sebagai barang yang tidak dikuasai dipindahkan ke
Tempat Penimbunan Pabean (TPP) dan dipungut sewa gudang.

Pejabat Bea dan Cukai segera memberitahukan secara tertulis kepada pemilik barang impor/ekspor bahwa
barang yang tidak dikuasai akan dilelang jika tidak diselesaikan dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak
disimpan di Tempat Penimbunan Pabean (TPP).

Barang yang tidak dikuasai yang berada di Tempat Penimbunan Pabean sepanjang belum dilelang ( dua
hari kerja sebelum tanggal pelelangan) oleh pemiliknya dapat :

1) Diimpor untuk dipakai setelah bea masuk dan biaya lainnya yang terutang dilunasi.
2) Diekspor kembali setelah biaya yang terutang dilunasi
3) Dibatalkan ekspornya setelah biaya yang terutang dilunasi
4) Diekspor setelah biaya yang terutang dilunasi
5) Dikeluarkan dengan tujuan Tempat Penimbunan Berikat setelah biaya yang terutang dilunasi.

Yang dimaksud dengan biaya yang terutang antara lain terdiri dari :

• Sewa gudang di Tempat Penimbunan Sementara (TPS)


• Sewa gudang di Tempat Penimbunan Pabean (TPP)
• Biaya pemindahan barang yang tidak dikuasai dari TPS ke TPP
Barang impor /ekspor yang telah dinyatakan sebagai barang yang tidak dikuasai, apabila ada barang :
a. Busuk segera dimusnahkan
b. Karena sifatnya tidak tahan lama, merusak, berbahaya atau pengurusannya memerlukan biaya tinggi,
barang dapat segera dilelang dengan memberitahukan secara tertulis kepada pemiliknya. Barang-
barang tersebut adalah sebagai berikut:
✓ Barang yang sifatnya tidak tahan lama antara lain barang cepat busuk, contoh : buah segar;
sayur segar.

88
✓ Barang yang sifatnya merusak adalah barang yang dapat merusak atau mencemari barang
lainnya, contoh : asam sulfat; belerang.
✓ Barang yang berbahaya adalah barang yang antara lain mudah terbakar, meledak atau
membahayakan kesehatan.
✓ Barang yang memerlukan biaya tinggi adalah barang yang pengurusannya memerlukan
perlakuan khusus,
Contoh : binatang hidup; barang yang harus disimpan dalam ruangan pendingin.
c. Merupakan barang yang dilarang dinyatakan menjadi milik negara
d. Merupakan barang yang dibatasi disediakan untuk diselesaikan oleh pemiliknya dalam jangka waktu
60 (enam puluh) hari terhitung sejak disimpan di Tempat Penimbunan Pabean.

Barang yang tidak dikuasai dilelang melalui lelang umum, yaitu proses pelelangan untuk umum yang
dilakukan oleh pejabat lelang negara. Harga terendah dari barang yang akan dilelang minimal sebesar bea masuk
dan pungutan impor lainnya serta biaya lainnya.

Yang dimaksud dengan HARGA TERENDAH adalah harga serendah-rendahnya yang harus dicapai dan
ditetapkan oleh Menteri Keuangan, yang terdiri dari :

• Bea masuk + PDRI


• Sewa gudang di TPS
• Sewa gudang di TPP
• Biaya lain misalkan : upah buruh, ongkos angkut untuk memindahkan barang dari TPS ke TPP.
• Honor Pejabat Bea dan Cukai yang menyiapkan pelelangan.

Apabila pelelangan berhasil maka hasil lelang akan dikurangi dengan BM+PDRI; sewa gudang di TPS dan
TPP; dan biaya lainnya; dan sisa hasil lelang disediakan untuk pemiliknya. Dalam waktu 7 (tujuh) hari sisa hasil
lelang ini diberitahukan kepada pemiliknya (importir/ eksportir) untuk diambil. Sisa hasil lelang ini menjadi milik
negara apabila dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak pemberitahuan yang diberikan oleh Pejabat
Bea dan Cukai tidak diambil oleh pemiliknya (importir/eksportir).

Yang dimaksud dengan barang yang dikuasai negara adalah barang yang untuk sementara waktu
penguasaannya berada pada negara sampai dapat ditentukan status barang yang sebenarnya. Perubahan status
ini dimaksudkan agar Pejabat Bea dan Cukai dapat memproses barang tersebut secara administratif sampai dapat
dibuktikan bahwa terjadi kesalahan atau sama sekali tidak terjadi kesalahan, sehingga masalah kepabeannya
dapat diselesaikan dengan ketentuan Undang-undang ini.

B. Barang yang Dikuasai Negara

Barang yang dikuasai negara adalah :

a. Barang yang dibatasi atau dilarang yaitu barang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dinyatakan dilarang atau dibatasi untuk diimpor dan tidak diberitahukan atau diberitahukan
secara tidak benar, kecuali jika peraturan yang melarang dan /atau membatasinya menentukan penyelesaian
lain atas barang tersebut.
b. Barang dan/atau sarana pengangkut yang ditegah oleh Pejabat bea dan cukai. Barang yang dikuasai negara
dalam hal ini adalah barang impor/ekspor yang ditunda pengeluarannya, pemuatannya atau
pengangkutannya atau sarana pengangkut yang ditunda keberangkatannya oleh Pejabat Bea dan Cukai
guna pemenuhan kewajiban pabean berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 10 tahun 1995
tentang Kepabeanan yang telah direvisi dengan Undang-undang Nomor 17 tahun 2006.

89
c. Barang dan atau sarana pengangkut yang ditinggalkan di kawasan Pabean oleh pemilik yang tidak dikenal.
Yang dimaksud dengan barang dan atau sarana pengangkut yang ditinggalkan di kawasan pabean adalah
barang yang oleh pemiliknya ditinggalkan di Kawasan pabean karena tidak memiliki dokumen yang
diwajibkan untuk itu.

Sarana pengangkut yang ditinggalkan biasanya sarana pengangkut yang kapasitasnya (daya angkut) kecil.

Contoh:

Motor boat yang digunakan mengangkut barang impor/ekspor yang tidak memenuhi ketentuan yang
berlaku (UU Nomor 10 tahun 1995 jo. No.17 tahun 2006). Penggunaan sarana pengangkut seperti ini
biasanya terjadi di perbatasan wilayah republik indonesia (Indonesia-malaysia; Indonesia – Singapore; atau
di Kalimantan Timur (Tarakan-Tawao)).

Barang yang dikuasai negara diberitahukan oleh Pejabat Bea dan Cukai secara tertulis kepada pemiliknya
dengan menyebutkan alasannya. Pemberitahuan secara tertulis adalah pemberitahuan yang diberikan secara
tertulis kepada pemilik atau kuasanya yang menyatakan bahwa barang atau sarana pengangkut miliknya berada
dalam penguasaan negara, dan pemilik/kuasanya diminta untuk menyelesaikan kewajiban pabeannya.

Sedangkan barang yang dikuasai negara yang ditinggalkan di kawasan pabean oleh pemilik yang tidak
dikenal diumumkan selama 30 (tiga puluh) hari sejak disimpan di Tempat Penimbunan Pabean. Pengumuman
yang dilakukan adalah pengumuman yang ditempelkan pada papan pengumuman yang terdapat di kantor-kantor
pabean atau diumumkan melalui media massa seperti di surat kabar- surat kabar.

Barang yang dikuasai negara disimpan di Tempat Penimbunan Pabean. Barang yang di kuasai negara yang
terdiri dari :

• Barang yang busuk segera dimusnahkan


• Karena sifatnya tidak tahan lama, merusak, berbahaya atau pengurusannya memerlukan biaya tinggi
sepanjang bukan merupakan barang yang dilarang atau dibatasi dapat segera dilelang dengan
memberitahukan secara tertulis kepada pemiliknya.
• Merupakan barang yang dilelang atau dibatasi dinyatakan sebagai barang milik negara.

Barang yang dikuasai negara yang terdiri dari barang dan atau sarana pengangkut yang ditegah oleh
Pejabat Bea dan Cukai diserahkan kembali kepada pemiliknya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
penyimpanan di Tempat Penimbunan Pabean dalam hal :

➢ Bea masuk yang terutang telah dibayar dan apabila merupakan barang larangan atau pembatasan telah
diserahkan dokumen atau keterangan yang diperlukan sehubungan dengan larangan atau pembatasan
impor atau ekspor, atau;
➢ Bea masuk yang terutang telah dibayar dan apabila merupakan barang larangan atau pembatasan telah
diserahkan dokumen atau keterangan yang diperlukan sehubungan dengan larangan atau pembatasan
impor atau ekspor serta telah diserahkan sejumlah uang yang akan ditetapkan oleh Menteri Keuangan
sebagai ganti barang yang besarnya tidak melebihi harga barang, sepanjang barang tersebut tidak
diperlukan untuk bukti pengadilan.

Pemilik barang atau sarana pengangkut yang telah dinyatakan sebagai barang yang dikuasai negara dapat
mengajukan keberatan secara tertulis kepada Menteri Keuangan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
diberitahukan oleh Pejabat Bea dan Cukai dengan menyebutkan alasan dan bukti yang menguatkan
keberatannya.

90
Dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak diterimanya permohonan keberatan, Menteri
Keuangan memberikan keputusan bahwa :

i. Tidak terdapat pelanggaran terhadap terhadap Undang-undang Kepabeanan segera memerintahkan agar
barang dan /atau sarana pengangkut yang dikuasai negara atau uang pengganti yang telah diserahkan harus
dikembalikan kepada pemiliknya, atau;
ii. Telah terjadi pelanggaran terhadap Undang-undang Kepabeanan, barang dan atau sarana pengangkut atau
uang pengganti yang telah diserahkan oleh pemilik diselesaikan lebih lanjut berdasarkan Undang-undang
Kepabeanan.

Keputusan Menteri Keuangan diberitahukan kepada pemilik dan Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Apabila
dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari Menteri Keuangan tidak memberikan keputusan, maka
permohonan keberatan yang diajukan oleh pemilik dianggap diterima.

Barang-barang yang tidak tahan lama harus segera dilelang tanpa memperhatikan batas waktu
pelelangan, kecuali terhadap barang larangan dan pembatasan. Barang dilelang melalui lelang umum. Apabila
harga terendah tak tercapai, barang tersebut dapat dimusnahkan atau ditetapkan untuk tujuan lain atas
persetujuan Menteri Keuangan. Terhadap barang yang harus segera dilelang, hasil lelang disimpan sebagai ganti
barang yang bersangkutan sambil menunggu keputusan Menteri Keuangan tentang permohonan keberatan
yang diajukan oleh pemilik barang, atau untuk alat bukti disidang pengadilan.

C. Barang Yang Menjadi Milik Negara

Barang yang menjadi milik negara adalah :

a. Barang yang dinyatakan tidak dikuasai yang merupakan barang yang dilarang.
b. Barang yang dinyatakan tidak dikuasai yang merupakan barang yang dibatasi yang tidak diselesaikan oleh
pemiliknya dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari terhitung sejak disimpan di Tempat Penimbunan
Pabean.
c. Barang dan atau sarana pengangkut yang ditinggalkan di kawasan pabean oleh pemilik yang tidak dikenal,
yang berasal dari tindak pidana.
d. Barang dan atau sarana pengangkut yang ditinggalkan oleh pemilik yang tidak dikenal di kawasan pabean
yang tidak diselesaikan oleh pemiliknya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak disimpan di Tempat
Penimbunan Pabean.
e. Barang yang dikuasai negara yang merupakan barang yang dilarang atau dibatasi.
f. Barang dan atau sarana pengangkut yang berdasarkan putusan hukum yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap, dinyatakan dirampas untuk negara.

Barang yang menjadi milik negara merupakan kekayaan negara dan disimpan di Tempat Penimbunan
Pabean. Penggunaan barang yang menjadi milik negara ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

8.3. Latihan

1) Jelaskan mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terhadap
barang larangan dan pembatasan
2) Jelaskan penyelesaian barang yang dilarang /dibatasi yang telah diberitahukan oleh importir/eksportir
dalam pemberitahuan pabean
3) Sebutkan jenis-jenis HAKI yang ada

91
4) Apa Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pemilik HAKI pada saat mengajukan permintaan kepada
Ketua Pengadilan Negeri waktu meminta penangguhan pengeluaran barang impor / ekspor yang
diduga melanggar HAKI
5) Apa maksud/tujuan dari syarat-syarat tersebut diatas
6) Jelaskan mekanisme tindakan Pejabat Bea dan Cukai dalam melakukan penanguhan terhadap barang
impor/ekspor yang diduga melanggar HAKI
7) Apa tujuan jaminan yang diserahkan oleh pemilik HAKI sewaktu mengajukan permintaan penangguhan
8) Ada berapa macam tindakan tindakan penangguhan yang dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai
terhadap barang impor ekspor yang diduga dari pelanggaran HAKI.
9) Dapatkah Pejabat Bea dan Cukai memperpanjang penangguhan terhadap barang impor/ekspor yang
diduga melanggar HAKI dan berapa lama perpanjangan yang dimaksud
10) Apakah yang dimaksud dengan tindakan Pejabat Bea dan Cukai karena jabatan ?
11) Jelaskan apa yang dimaksud dengan barang yang tidak dikuasai !
12) Sebutkan jenis-jenis barang yang tidak dikuasai !
13) Sebutkan kemungkinan penyelesaian barang yang tidak dikuasai yang dilakukan pemilik barang
(importir/eksportir) 2 (dua) hari kerja sebelum lelang!
14) Apa yang dimaksud dengan ”biaya lainnya yang terutang” ?
15) Sebutkan komponen dari ”HARGA TERENDAH” untuk harga barang yang tidak dikuasai dalam lelang
umum !
16) Apa yang dimaksud dengan barang yang dikuasai negara?
17) Sebutkan jenis-jenis barang yang dikuasai negara!
18) Dalam hal apa pemilik barang yang dikuasai negara mengajukan keberatan kepada Menteri Keuangan?

92
Bab 9
CUKAI

9.1. Barang Kena Cukai dan Obyek Cukai

Beberapa hal yang menentukan bahwa barang-barang tertentu yang mempunyai sifat dan karakteristik,
dikenai cukai karena :
a) Pemilihan cakupannya yang betul-betul terpilih (selectivity in coverage) dimana cukai hanya dikenakan
terhadap beberapa jenis barang tertentu saja ;
b) Pemilihannya sesuai dengan maksud atau tujuan pengenaannya (discrimination in intent) dimana
pengenaan cukai terhadap barang yang digolongkan sebagai barang kena cukai (BKC), dapat
digunakan untuk berbagai sasaran atau maksud yang ingin dicapai. Pengenaan cukai tersebut antara lain
dapat digunakan sebagai instrumen untuk mengendalikan tingkat konsumsi barang-barang tertentu,
melindungi kerusakan lingkungan, mencegah kerusakan moral masyarakat dan menciptakan keadilan
dan keseimbangan atas pemakaian barang tertentu di masyarakat ; disamping sebagai instrumen
untuk penerimaan negara ;
c) Penegakan pemenuhan ketentuan (aspek yuridis)
Penggunaan beberapa bentuk tindakan tertentu untuk menguji kepatuhan akan kewajibannya
terhadap cukai (often some form of quantitative meausurement in determining the tax liability)
dengan pemberian kewenangan atau otoritas kepada Pejabat Bea dan Cukai untuk mengontrol secara
phisik dan pemeriksaan pembukuan untuk mengawasi dipenuhinya ketentuan cukai.

Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, maka kreteria barang yang menjadi obyek cukai dipertegas dengan
memperhatikan sifat kekhususan yang dimiliki oleh cukai yang menjadi faktor pembeda antara cukai dengan
pajak. Pasal 2 dari Undang-Undang tersebut menentukan bahwa barang-barang tertentu yang mempunyai sifat
dan karakteristik, dikenai cukai karena :

1). Konsumsinya perlu dikendalikan ;


2). Peredarannya perlu diawasi ;
3). Pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negative bagi masyarakat atau lingkungan hidup ; dan
4). Pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.

Yang dimaksud dengan pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara dalam rangka keadilan dan
keseimbangan, disini adalah : pungutan cukai dapat dikenakan terhadap barang yang dikatagorikan sebagai
barang mewah dan/atau bernilai tinggi, namun bukan merupakan kebutuhan pokok, sehingga tetap terjaga
keseimbangan pembebanan pungutan antara konsumen yang berpenghasilan tinggi dengan konsumen yang
berpenghasilan rendah.

9.2. Sistem Tarif, Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau dan Tarif Cukai Barang Kena Cukai lainnya

Apabila kita berbicara mengenai tarif, khususnya mengenai tarif cukai, maka yang dimaksud dengan tarif
cukai adalah tarif yang ada kaitannya dengan harga barang yang dikenakan cukai. Sehubungan dengan hal
tersebut diatas, maka sistem tarif dan kebijakan tarif cukai hasil tembakau, menganut sistem tarif berikut ini :

93
a. Sistem Tarif Cukai Advalorum
Yang dimaksud dengan tarif cukai advalorum adalah tarif cukai berdasarkan prosentase tarif dikalikan
dengan harga dasar barang kena cukai (BKC). Harga Dasar BKC disini dapat berupa Harga Jual Pabrik
(HJP) atau Harga Jual Eceran (HJE).
HJP adalah harga penjualan dari pabrik kepada penyalur atau konsumen yang didalamnya belum
termasuk Cukai, Sedangkan yang dimaksud dengan HJE adalah harga penyerahan kepada konsumen
terakhir yang didalamnya sudah termasuk cukai.
Contoh : Sigaret Putih Mesin (SPM) dikenakan Cukai dengan tarif sebesar 57 % dari Harga Jual Eceran-
nya.
b. Sistem Tarif Cukai Spesifik
Yang dimaksud dengan tarif cukai spesifik adalah tarif cukai berdasarkan besaran nilai dalam satuan
rupiah untuk setiap satuan BKC dalam bentuk satuan atau berat barang.
Contoh : Etil Alkohol dikenakan tarif cukai sebesar Rp. 10.000,-/liter.
c. Sistem Tarif Cukai Gabungan Advalorum dan Spesifik
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu Sistem Tarif Ad-Valorum, pada saat tertentu dapat
pula dirubah menjadi Sistem Tarif Spesifik atau dapat juga ditetapkan sebaliknya atau-pun
penggabungan antara keduanya (tarif ad-valorum dan tarif spesifik).

Sistem Tarif dan Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau yang diterapkan pada saat ini menganut Sistem Tarif
Cukai Gabungan (Advalorum dan Spesifik), yaitu tarif cukai berdasarkan prosentase tarif dikalikan dengan harga
dasar barang kena cukai, dan tarif cukai berdasarkan besaran nilai dalam satuan rupiah untuk setiap satuan BKC
dalam bentuk satuan atau berat barang. Contoh :

1). Sigaret Putih Mesin (SPM) dikenakan cukai dengan tarif sebesar 57 % dari Harga Dasar, ditambah
dengan penetapan HJE sebesar Rp. 7/batang ; dan
2). Etil Alkohol dikenakan tarif cukai sebesar Rp. 10.000,-/liter.

Pertimbangan diterapkannya sistem tarif gabungan seperti diatas, antara lain adalah untuk :
• kepentingan penerimaan negara ;
• pembatasan produksi, peredaran dan konsumsi barang kena cukai ; serta
• kepentingan pertumbuhan perekonomian nasional (kesempatan kerja, produsen, petani dan
konsumen).

9.3. Saat Pengenaan dan Cara Pelunasan Cukai

Oleh karena itu dalam pengeterapan kebijakan tarif, walaupun kebijakan ini senantiasa dikaitkan dengan
kebijakan peningkatan penerimaan cukai, namun demikian ketika menetapkan tarif maksimum, penetapan ini
hendaknya dilakukan berdasarkan pertimbangan yang matang, karena menurut Teori Arthur Laffer 1, tingkat tarif
yang semakin tinggi tidak selalu akan menghasilkan penerimaan cukai yang semakin tinggi pula, karena pada tingkat
tertentu, yaitu pada saat mencapai area yang dikenal sebagai “Prohibitive Range for Government”, penerimaan
cukai akan menurun. Apabila beban cukai terlalu besar, hal ini tidak saja dapat menimbulkan distorsi terhadap
perekonomian di sektor hulu (petani tembakau dan petani cengkeh), tetapi juga dapat menimbulkan distorsi di
sektor hilir (industri rokok dan perluasan tenaga kerja).

1
Permana Agung, DR, MSc, “Optimalisasi Tarif Cukai Tembakau Suatu Analisis dengan Kurva Laffer”, Jakarta 1999.-

94
Faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan cukai hasil tembakau tergantung pada sasaran yang akan
dicapai, misalnya semata-mata bertujuan pada kepentingan penerimaan negara (budgetory), atau penciptaan
lapangan kerja (employment creation) ataupun pembatasan produksi dan konsumsi hasil tembakau (internalize
negative externalities). Selain pertimbangan ekonomis diatas (sampai pada tingkat tertentu), kebijakan cukai
juga dipengaruhi oleh faktor politis dan budaya (ekstrnal maupun internal).
Kebijakan cukai sebagaimana diuraikan diatas, pada saat ini yang diterapkan terutama dikaitkan dengan
penerapan prinsip keadilan dalam keseimbangan, yaitu berupa :
a) jaminan kelangsungan hidup dari industri barang kena cukai terutama barang kena cukai produksi
dalam negeri, khususnya terhadap industri hasil tembakau golongan III A dan III B (Golongan Kecil dan
Kecil Sekali) ;
b) adanya pembedaan tarif baik antara Minuman Mengandung Etil Alkohol yang kadarnya rendah
dengan Minuman Mengandung Etil Alkohol berkadar tinggi serta Hasil Tembakau yang diproduksi
secara manual (SKT) dengan yang diproduksi secara machinal (SPM dan SKM), sehingga industri yang
menyerap banyak tenaga kerja (padat karya), seperti Industri Rokok SKT dapat berkembang dan
bersaing dengan industri hasil tembakau yang memiliki modal besar (padat modal), serta tujuan
Pemerintah untuk penciptaan lapangan kerja guna mengurangi jumlah pengangguran yang ada dapat
tercapai.

9.4. Ketentuan Tarif Cukai Hasil Tembakau dan Barang Kena Cukai lainnya

Bila kita mengkaji pada skala yang lebih sempit, maka tarif atas barang kena cukai yang ditetapkan dalam
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 Jo. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, adalah
sebagai berikut :

1. a. Hasil Tembakau yang dibuat di Indonesia, adalah :


a). 275 % (dua ratus tujuh puluh lima puluh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang
digunakan adalah harga jual pabrik ; atau
b). 57 % (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah
harga jual eceran.
b. Hasil Tembakau yang di impor, adalah :
a). 275 % (dua ratus tujuh puluh lima puluh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang
digunakan adalah nilai pabean ditambah bea masuk ; atau
b). 57 % (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah
harga jual eceran.
2. a. Barang kena cukai lainnya yang dibuat di Indonesia, adalah :
a). 1.150 % (seribu seratus lima puluh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan
adalah harga jual pabrik ; atau
b). 80 % (delapan puluh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga
jual eceran.
b. Barang kena cukai lainnya, yang di impor, adalah :
a). 1.150 % (seribu seratus lima puluh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan
adalah nilai pabean ditambah bea masuk ; atau
b). 80 % (delapan puluh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga
jual eceran.

95
1. Harga Dasar Barang Kena Cukai

Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 Jo. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007,
mengatur tentang :

(1) Harga Dasar yang digunakan untuk perhitungan cukai atas BKC yang dibuat di Indonesia adalah Harga
Jual Pabrik atau Harga Jual Eceran (HJE) ;

(2) Harga Dasar yang digunakan untuk perhitungan Cukai atas BKC yang di-Impor adalah Nilai Pabean
ditambah BM atau HJE.

Yang dimaksud dengan Harga Jual Pabrik adalah harga penyerahan pabrik kepada penyalur atau konsumen
yang di dalamnya belum termasuk cukai. Sedangkan yang dimaksud dengan Harga Jual Eceran adalah harga
penyerahan pedagang eceran kepada konsumen terakhir yang di dalamnya sudah termasuk cukai. HJE juga disebut
juga sebagai harga pita atau harga yang tercantum pada pita cukai.

Begitu juga dengan pengertian Nilai Pabean dan Bea Masuk adalah Nilai Pabean dan Bea Masuk
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Kepabeanan.

Disamping itu dikenal pula pengertian mengenai Harga Transaksi Pasar, yaitu : besaran harga transaksi
penjualan yang terjadi pada tingkat konsumen akhir.

Dalam hal Harga Transaksi Pasar telah melampaui Harga Jual Eceran, maka Pengusaha Pabrik atau Importir
wajib melakukan penyesuaian dengan cara mengajukan permohonan Penetapan Kenaikan Harga Jual Eceran.
Apabila berdasarkan hasil pemantauan Pejabat BC kedapatan Harga Transaksi Pasar telah melampaui Harga Jual
Eceran, Direktur Jenderal Bea dan Cukai dapat memberitahukan hal tersebut kepada Pengusaha Pabrik atau
Importir yang bersangkutan dengan surat pemberitahuan biasa. Apabila dalam jangka waktu 30 hari setelah
tanggal penerimaan surat pemberitahuan, Pengusaha Pabrik, Importir atau kuasanya tidak memberikan
sanggahan atau mengajukan Permohonan Penetapan Kenaikan Harga Jual Eceran, Direktur Jenderal dapat
melakukan Penetapan Kenaikan Harga Jual Eceran atas hasil tembakau yang bersangkutan yang telah
disesuaikan dengan Harga Transaksi Pasar yang terjadi.

2. Penetapan Tarif Cukai dan Harga Jual Eceran Hasil Tembakau

Sebagai tindak lanjut dari Pasal 6 Undang Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, Menteri Keuangan mengeluarkan peraturan pelaksanaannya secara
tehnis yang menetapkan tarif cukai hasil tembakau berdasarkan tarif Ad-Valorum dan/atau tarif Spesifik,
sedangkan harga dasarnya adalah Harga Jual Eceran (HJE).

Harga Jual Eceran Hasil Tembakau ditetapkan oleh Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan
Cukai setempat sesuai permohonan penetapan HJE yang diajukan Pengusaha hasil tembakau bersangkutan (baik
untuk hasil tembakau merk baru ataupun hasil tembakau merk yang ada akan dinaikkan HJE-nya), untuk tujuan
pemasaran di dalam negeri maupun untuk ekspor. Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi dalam pengajuan
permohonan penetapan HJE dimaksud diatas adalah : merek/design kemasan hasil tembakau yang bersangkutan
tidak memiliki kesamaan nama, baik tulisan maupun pengucapannya atau kemiripan dengan merek/design
kemasan milik pengusaha pabrik/importir lainnya, yang telah tercatat pada administrasi Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai. Begitu juga untuk hasil tembakau yang akan diberikan secara cuma-cuma kepada Karyawan Pabrik,
wajib dilampiri dengan daftar jumlah karyawan yang tercatat pada masing-masing unit kerja atau bagian Pabrik
dalam bulan Desember tahun takwim sebelumnya.

96
Selanjutnya pengusaha pabrik hasil tembakau dikelompokkan ke dalam Golongan Pengusaha Pabrik
berdasarkan batasan produksi pabrik yang disesuaikan dengan jenis hasil tembakau yang diproduksinya setiap
tahun takwin.

Yang dimaksud dengan Batasan Produksi Pabrik adalah batasan produksi dari masing-masing jenis hasil
tembakau yang dihitung berdasarkan dokumen pemesanan pita cukai hasil tembakau, dalam satu tahun takwin
(misalnya Pabrik Rokok Gudang Garam memproduksi berbagai jenis rokok dalam satu tahun takwim lebih dari 2
milyar batang). Sedangkan Jenis hasil tembakau adalah jenis- jenis hasil tembakau yang berdasarkan ketentuan
Undang Undang Cukai dikenakan pungutan cukai (misalnya Sigaret Putih Mesin/SPM atau Sigaret Kretek
Tangan/SKT).

3. Penetapan Tarif Cukai dan Harga Jual Eceran Barang Kena Cukai lainnya
Bila kita membahas mengenai barang kena cukai lainnya (selain hasil tembakau), maka barang kena cukai
lainnya tersebut adalah Etil Alkohol (EA) dan Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA). Penetapan tarif cukai
dan harga jual eceran MMEA, tidaklah semudah penetapan tarif cukai dan harga jual eceran EA, karena tarif cukai
EA hanyalah berdasarkan tarif spesifik, yaitu berdasarkan jumlah yang ditetapkan dalam rupiah untuk setiap
satuan barang (misalnya tarif cukai EA = Rp. 10.000,-/liter). Sedangkan MMEA (termasuk Konsentratnya),
walaupun penetapan tarif cukainya sama dengan EA, yaitu berdasarkan tarif spesifik, namun tarif cukai tersebut
dikaitkan dengan kadar alkohol yang terkandung pada MMEA bersangkutan, sehingga cara menghitungnya ada
sedikit perbedaan (misalnya tarif cukai MMEA buatan luar negeri, golongan B2 dengan kadar EA < 15 % s/d 20 %,
tarif cukainya ditetapkan sebesar Rp.30.000,-/liter).

Pada awalnya penetapan tarif cukai dan harga jual eceran atas MMEA dan Konsentrat yang mengandung
EA berdasarkan sistem tarif spesifik dan dibedakan dalam skala golongan I sampai dengan golongan V. Dalam
pengeterapan selanjutnya tarif cukai MMEA digolongkan dalam dua macam tarif spesifik, baik berdasarkan HJE
per liter ataupun berdasarkan kadar EA nya, dan dalam hal demikian maka penetapan tarif cukainya didasarkan
pada tarif cukai yang tertinggi.

Pada beberapa tahun terakhir ini, penetapan tarif cukai MMEA yang tidak lagi dikaitkan dengan HJE MMEA.

Sehubungan dengan penetapan tarif cukai diatas yang tidak ada kaitannya dengan harga jual eceran, maka
menurut Penulis tidak perlu menguraikan secara rinci mengenai penetapan harga jual eceran-nya. Hal itu
dikarenakan harga jual eceran tidak mempengaruhi tarif cukai MMEA bersangkutan.

4. Potensi Cukai Sebagai Salah Satu Sumber Penerimaan Negara

Sesuai ketentuan mengenai Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai 2,
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mempunyai tugas :

1. Pelayanan dan Pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk dan keluar wilayah Republik Indonesia
;
2. Pemungutan penerimaan negara berupa Bea Masuk dan Cukai serta Pungutan Negara lainnya.

Selanjutnya bila kita melihat kembali pada fungsi Budgetory dan Regulatory, kemudian bila kedua fungsi
tersebut dijabarkan lebih lanjut, serta dikaitkan dengan kondisi yang berkembang dewasa ini, maka formulasi
kedua fungsi tersebut menjadi berikut ini :

2
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 133/PMK.01/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai
97
a. Revenue Collector, yaitu sebagai institusi pemungut penerimaan negara dalam rangka mengoptimalkan
penerimaan negara melalui Bea Masuk, Cukai dan PDRI serta mencegah kemungkinan terjadinya
kebocoran atas penerimaan negara ;
b. Community Protector, yaitu sebagai institusi pengawasan lalu lintas barang dalam rangka melindungi
kepentingan masyarakat melalui upaya-upaya pencegahan terhadap masuknya barang-barang yang
dapat membahayakan keamanan negara, merusak kesehatan dan meresahkan masyarakat serta yang
dapat merugikan konsumen ;
c. Trade Fasilitator, yaitu sebagai institusi yang memberikan fasilitas perdagangan melalui berbagai upaya
dengan tujuan untuk meningkatkan kelancaran arus barang dan dokumen, menekan ekonomi biaya
tinggi, menciptakan iklim perdagangan yang kondusif guna mendorong peningkatan daya saing
perekonomian nasional maupun internasional ;
d. Industrial Assistance, yaitu sebagai institusi yang mampu memberikan dukungan kepada industri dalam
rangka melindungi industri di dalam negeri dari masuknya barang-barang impor secara illegal dan
membantu meningkatkan daya saing industri dalam negeri dan peningkatan ekspor.

Sebagaimana telah disinggung diatas bahwa salah satu prinsip yang dianut di dalam pemungutan cukai
berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun
1995 tentang Cukai, adalah prinsip penerimaan negara, yang mengandung arti bahwa fleksibilitas ketentuan
Undang-undang Cukai, diterapkan melalui berbagai perhitungan yang tepat dan matang, sehingga dapat
menjamin pada peningkatan penerimaan negara secara pasti. Prinsip ini bila dikaitkan dengan fungsi
Budgetair/Revenue Collector, maka penerimaan cukai haruslah semata-mata untuk kepentingan peningkatan
penerimaan negara, karena fungsi ini hingga sekarang merupakan fungsi utama yang pelaksanaannya dilakukan
oleh jajaran Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

5. Faktor Penentuan Tarif Cukai sehubungan dengan Perkembangan Fungsi Cukai


Sebagaimana telah dibahas pada Bab terdahulu, bahwa Cukai sebagai salah satu unsur Pajak Tidak
Langsung mempunyai fungsi untuk :

1. Menghimpun dana bagi Penerimaan Negara ;


2. Menciptakan lapangan kerja ;
3. Menstabilkan harga ;
4. Memberikan Proteksi bagi Industri didalam Negeri, serta
5. Mencegah konsumsi barang mewah yang berlebihan.

Pengetrapan dari fungsi-fungsi tersebut diatas, disamping terutama ditujukan untuk kepentingan
penghimpunan dana bagi penerimaan negara, serta Pembatasan produksi, peredaran dan konsumsi ini disatu sisi
bertujuan untuk mengatur masyarakat tertentu untuk tidak menghasilkan barang kena cukai secara berlebihan
dan disisi lain untuk melindungi masyarakat banyak untuk tidak mengkonsumsikan barang kena cukai dimaksud
secara berlebihan dan tanpa batas, sehingga mengakibatkan terganggunya kesehatan, ketertiban dan keamanan
dilingkungan masyarakat itu sendiri.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu, Tarif Ad-Valorum pada saat tertentu dapat pula
dirubah menjadi Tarif Spesifik atau dapat juga ditetapkan sebaliknya atau-pun penggabungan antara keduanya
(tarif ad-valorum dan tarif spesifik). Barang kena cukai seperti ini produksi, peredaran dan pemakaiannya oleh
Pemerintah ingin dibatasi secara ketat, maka cara membatasinya dilakukan melalui instrumen tarif sebagaimana
tersebut diatas, yaitu dengan mengetrapkan tarif maksimum. Dengan demikian peranan instrumen tarif disini
dapat dipakai dalam kebijakan penerapan tarif cukai atas barang kena cukai, karena pemungutan cukai yang

98
dilakukan negara atas barang kena cukai tidak hanya berorientasi pada aspek penerimaan negara (Budgetair),
melainkan juga dipakai sebagai alat pengaturan (Regulatory) atas konsumsi dan perekonomian nasional.
Sistem tarif cukai telah diterapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia sejak diproklamasikannya
Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, walaupun Undang-undang
Cukai yang mendasarinya pada saat itu masih memakai undang-undang warisan Pemerintah Hindia Belanda.
Sistem Tarif Cukai yang diterapkan pada waktu itu adalah Single Tariff, artinya sistem tarif yang diterapkan masih
sangat sederhana, sejenis dan seragam, baik untuk tarif cukai hasil tembakau maupun tarif barang kena cukai
lainnya. Pengetrapan sistem tarif seperti ini disesuaikan dengan kondisi perekonomian pada saat itu, termasuk
tingkat pendapatan masyarakat serta elastisitas permintaan konsumen terhadap barang kena cukai
bersangkutan.
Kemudian pada tahun 1974 sampai dengan tahun 1991, sistem tarif yang diberlakukan adalah sistem tarif
cukai berdasarkan Multi Tariff, yaitu sistem tarif yang didasarkan pada strata produksi dari produsen barang kena
cukai. Selanjutnya pada tahun 1991 sampai dengan tahun 1999, sistem Multi Tariff masih diterapkan, namun
dikembangkan tidak saja berdasarkan strata produksi-nya tetapi juga pada strata harga jual eceran (HJE)
minimum barang kena cukai dan berikutnya pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2001, harga jual eceran-nya
tidak saja berdasarkan harga jual minimum tetapi juga berdasarkan harga jual maksimum, karena faktor yang
diperhatikan disini tidak saja disesuaikan dengan kondisi perekomian dan tingkat pendapatan masyarakat serta
elastisitas permintaan konsumen terhadap barang kena cukai, tetapi juga terhadap tingkat inflasi dan tingkat
kurs yang terjadi pada saat itu. Lebih lanjut pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2005, dikembalikan lagi
berdasarkan harga jual eceran minimum. Perubahan-perubahan dari sistem tarif yang diterapkan pada kurun
waktu tersebut diatas, pada dasarnya akan menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan baik bagi industri
rokok maupun bagi petani tembakau dan petani cengkeh serta tenaga kerjanya.

9.5. Latihan

1. Apa maksud dan tujuannya pemberian izin berupa NPPBKC dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai kepada
para Pengusaha yang melakukan kegiatannya di bidang cukai.
2. Secara umum NPPBKC tidak termasuk pengertian dari Perizinan, apa sebabnya sampai terjadi hal seperti itu,
Jelaskan.
3. Apa fungsinya NPPBKC bagi para Pengusaha yang melakukan kegiatannya bidang cukai dan apa perlunya
bagi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Jelaskan.
4. Siapa yang berwenang memberikan NPPBKC dan bagaimana prosedur untuk mendapatkan izin dimaksud.
5. Sebutkan larangan yang berlaku di Tempat Penjualan Eceran Etil Alkohol.
6. Jelaskan apa perbedaan antara tarif ad valorum dengan tarif spesifik ? Berikanlah contohnya.
7. Bagaimanakah cara menentukan harga dasar cukai untuk perhitungan cukai dan dokumen apa yang
dipergunakan Pengusaha Pabrik/Importir dalam pengajuan harga jual eceran BKC ?
8. Faktor apa yang diperhitungkan dalam penentuan tarif cukai ?, Jelaskanlah.
9. Adakah kemungkinan dilakukannya perluasan obyek cukai dan apa sebabnya sampai Pemerintah melakukan
perluasan obyek cukai tersebut ?, Jelaskanlah
10. Hitunglah besarnya Cukai dan PPN yang harus dibayar si Pengusaha atas Hasil Tembakau yang diproduksinya,
bila :
a. harga jual eceran (HJE) per bungkusnya sebesar Rp. 200,- ; dan
b. tarif Cukai 38 % dan tarif PPN 8,4 % ; serta
c. berapa keutungan yang diterima para pengusaha bersangkutan ?.

99
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal. 2009. Modul Materi Undang-Undang Cukai. Bahan Diklat Teknis Substantif Dasar. Pusat Pendidikan
dan Latihan Bea dan Cukai, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Departemen Keuangan Republik
Indonesia. Jakarta.
Ahsjar, H. Djauhari. 2007. Pedoman Transaksi Ekspor dan Impor. Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta. Cetakan
pertama.
Dimyati, Ahmad. 2009. Modul Teknik Kepabeanan. Diklat Teknis Substansif Dasar Kepabeanan dan Cukai.
Departemen Keuangan Republik Indonesia, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Pusat Pendidikan
dan Pelatihan Bea dan Cukai.
Dimyati, Ahmad. 2011. Modul Undang-Undang Pabean. Diklat Teknis Substansif Dasar Kepabeanan dan Cukai.
Kementrian Keuangan Republik Indonesia, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Pusat Pendidikan dan
Pelatihan Bea dan Cukai.
Griffin, Ricky W. dan Michael W. 2015. Bisnis Internasional. Penerbit Salemba Empat.
Purwito M, Ali. 2008. Kepabeanan dan Cukai (Pajak Lalu Lintas Barang) : Teori dan Aplikasi. Kajian Hukum Fiskal
FHUI Bekerjasama dengan Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Surono. 2009. Modul Teknis Cukai. Diklat Teknis Substansif Dasar Kepabeanan dan Cukai. Kementrian Keuangan
Republik Indonesia, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Bea dan
Cukai.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 6/Pmk.010/2017 Tentang Penetapan Klasifikasi Barang
Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 133/PMK.01/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2018 tentang Indonesia National Single Window.
Permana Agung, Optimalisasi Tarif Cukai Tembakau Suatu Analisis dengan Kurva Laffer, Jakarta 1999.-
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2000 Tanggal 21 Desember 2000 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2000 Tentang Kawasan Perdagangan Bebas
Dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1995 Tentang Kepabeanan.

REFERENSI dari INTERNET

Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. 11 Juni 2018. Inilah Perpres Nomor 44 Tahun 2018 tentang Indonesia
National Single Window. Sumber: https://setkab.go.id/inilah-perpres-nomor-44-tahun-2018-tentang-
indonesia-national-single-window/ Diunduh pada 14/2/2021 pukul 11:11 am.
https://www.ukmindonesia.id/baca-artikel/353sd
https://www.international-arbitration-attorney.com/id/icc-incoterms-in-international-trade/
https://www.velotrade.com/guides/what-is-incoterms-2020/

100

Anda mungkin juga menyukai