Anda di halaman 1dari 262

BAHAN AJAR TEKNIS CUKAI

PROGRAM DIPLOMA I KEUANGAN


SPESIALISASI KEPABEANAN DAN CUKAI

OLEH:

SURONO

SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA


TAHUN 2013
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia ilmu bagi umat manusia yang senantiasa berpikir. Karunia utama yang
penulis rasakan saat ini adalah diberikannya kesempatan untuk memberikan
sumbang pemikiran dalam bentuk bahan ajar yang ditujukan bagi Sekolah Tinggi
Akuntansi Negara, khususnya Program Diploma I Spesialisasi Bea dan Cukai
untuk mata pelajaran Teknis Cukai.

Bahan Ajar ini disusun untuk Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, Program
Diploma I Bea dan Cukai untuk mata diklat teknis cukai yang berisi pengetahuan
teknis untuk melaksanakan kegiatan di bidang cukai. Untuk penulisan ini penulis
mengambil referensi utama dari Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995
sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-undang Nomor 39 Tahun
2007 tentang Perubahan atas Undang-undang RI nomor 11 tahun 1995 tentang
Cukai dan juga peraturan pelaksanaan dari Undang-undang tersebut. Selain hal
tersebut, penulis juga mengambil referensi tambahan dari buku-buku terkait dan
juga artikel-artikel on-line dengan tujuan agar penyajian modul ini dapat lebih
menarik dan up to date.

Penulis menyadari bahwa sebagai manusia biasa, tulisan ini masih jauh
dari tingkat sempurna. Untuk itu diharapkan kritik dan masukannya untuk
pengembangan dan penyempurnaan ke depan. Terakhir, semoga Bahan Ajar
singkat ini dapat bermanfaat bagi Mahasiswa STAN pada umumnya dan bagi
siapa saja yang tertarik membacanya.

Jakarta, Agustus 2013

Surono

hal | i
DAFTAR ISI

Hal.

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR TABEL viii
PENDAHULUAN 1

BAB 1 PERIZINAN DI BIDANG CUKAI 5


A. Ketentuan Umum Penerbitan Izin NPPBKC 5
1. Kewajiban Memiliki Izin NPPBKC 5
2. Kegiatan di Bidang Cukai 7
3. Pemegang Izin dan Masa Berlakunya NPPBKC 9
4. Pengecualian Kewajiban Memiliki Izin NPPBKC 10
B. Tatacara Pengajuan Izin NPPBKC 12
. 1. Alur Proses Perizinan NPPBKC 12
2. Persyaratan Pemberian Izin NPPBKC Etil Alkohol 17
3. Persyaratan Pemberian Izin NPPBKC MMEA 21
4. Persyaratan Pemberian Izin NPPBKC Hasil Tembakau 27
5. Penomoran NPPBKC 29
C.. Pembekuan, Pencabutan dan Perubahan NPPBKC 32
1. Pembekuan NPPBKC 32
2. Pencabutan NPPBKC 33
3. Perubahan NPPBKC 34
TATACARA PENETAPAN TARIF CUKAI, PENYEDIAAN DAN
BAB 2 38
PEMESANAN PITA CUKAI
A. Tarif Cukai dan Harga Dasar BKC 38
. 1. Tarif Cukai 38
2. Harga Dasar BKC 42
B. Tatacara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau 45
1. Jenis Hasil tembakau 46
2. Golongan Pengusaha Pabrik Hasil Tembakau 48
3. Batasan HJE 51
4. Struktur Tarif Cukai Hasil Tembakau 53
C. Tatacara Penetapan Tarif Cukai MMEA dan Etil Alkohol 60
1. Tarif Cukai MMEA dan Etil alkohol 60
2. Mekanisme Penetapan Tarif Cukai MMEA 63

hal | ii
D. Tatacara Penyediaan Pita Cukai Hasil Tembakau 67
1. Proses Pemungutan Cukai Hasil Tembakau 67
2. Pengenalan Pita Cukai 69
3. Lokasi Penyediaan Pita Cukai 72
4. Mekanisme Penyediaan Pita Cukai 72
E. Tatacara Pemesanan Pita Cukai Hasil Tembakau 77
1. Mekanisme Pemesanan CK-1 77
BAB 3 FASILITAS DAN KEMUDAHAN PEMBAYARAN CUKAI 82
A. Fasilitas Tidak Dipungut Cukai 82
1. Gambaran Umum 82
2. Jenis-jenis Fasilitas Tidak Dipungut Cukai 83
B Fasilitias Pembebasan Cukai 88
1. Gambaran Umum 88
2. Jenis-jenis Fasilitas Pembebasan Cukai 89
C Penundaan Pembayaran Cukai 101
1. Gambaran Umum 101
2. Ketentuan Penundaan Cukai 102
D. Pembayaran Berkala 108
1. Gambaran Umum 108
2. Ketentuan Pembayaran Berkala 109
BAB 4 TATACARA PELUNASAN DAN PENAGIHAN CUKAI 115
A. Tatacara Pelunasan Cukai 115
1. Konsep Pelunasan Cukai 115
2. Pelunasan Cukai dengan Cara Pembayaran 118
3. Pelunasan Cukai dengan Cara Pelekatan Pita Cukai 119
4. Pembubuhan Tanda Pelunasan Cukai Lainnya 121
B. Penghitungan Pungutan Cukai 121
1. Penghitungan Cukai Etil Alkohol 122
2. Penghitungan Cukai MMEA 123
3. Penghitungan Cukai Hasil Tembakau 125
C. Tatacara Penagihan dan Pengangsuran Cukai 128
1. Penagihan Cukai 128
2. Pengangsuran 130
3. Masa Daluwarsa Tagihan Cukai 132
BAB 5 PENCATATAN, PEMBUKUAN, DAN PENCACAHAN BKC 135
A. Pencatatan dan Pembukuan BKC 135
1. Kewajiban Pembukuan 135
2. Kewajiban Pencatatan 139
B. Pencatatan dan Pelaporan dalam Rangka Pengawasan BKC
144
yang Masih Terhutang Cukai
1. Pemberitahuan BKC yang Selesai Dibuat 145
2. Pemberitahuan Rencana Produksi PBCK-1 149
3. Laporan Penggunaan dan Persediaan BKC yang 150
Mendapat Fasilitas Cukai

hal | iii
4. Pencatatan oleh Pejabat Bea dan Cukai 155
C. Pencacahan BKC 159
1. Konsep Pencacahan 159
2. Waktu Pelaksanaan Pencacahan 160
3. Penyelesaian Hasil Temuan Pencacahan 160
BAB 6 MUTASI BKC 167
A. Jenis Kegiatan Mutasi BKC 167
1. Konsep Mutasi BKC 167
2. Penimbunan BKC 168
3. Pemasukan dan Pengeluaran BKC 169
4. Pengangkutan BKC 172
B. Dokumen Mutasi BKC 174
1. Dokumen Pemberitahuan Pemasukan dan Pengeluaran 174
2. Dokumen Pelindung Pengangkutan 178
C. Tatalaksana Mutasi BKC 181
1. Pengeluaran BKC dari Pabrik dengan Pelunasan 181
2. Pengeluaran BKC dari Pabrik dengan Tujuan Diekspor 183
3. Pengeluaran BKC sebagai Bahan Bakar dengan Tujuan
184
ke Pabrik BKC Lain
BAB 7 TATACARA PEMUSNAHAN DAN PENGOLAHAN KEMBALI
189
BKC
A. Gambaran Umum 189
1. Konsep Pemusnahan dan Pengolahan Kembali 189
2. Struktur Pengembalian Cukai atas BKC yang Diolah
190
Kembali atau Dimusnahkan
3. Cara Pengolahan Kembali dan Pemusnahan BKC 191
B. Pengolahan Kembali dan Pemusnahan BKC yang
191
Pelunasannya dengan Pelekatan Pita Cukai
1. Subyek yang Berhak Mendapat Pengembalian Cukai 191
2. Ketentuan dan Persyaratan 192
3. Mekanisme Pengolahan Kembali atau Pemusnahan 193
C. Pengolahan Kembali atau Pemusnahan BKC yang
203
Pelunasannya dengan Pembayaran
1. Subyek yang Berhak Mendapat Pengembalian Cukai 203
2. Ketentuan dan Persyaratan 203
3. Mekanisme Pengolahan Kembali atau Pemusnahan 204
BAB 8 KEWENANGAN PEJABAT BEA DAN CUKAI 208
A. Gambaran Umum 208
B. Kewenangan Umum 209
1. Pengertian dan Jenis Kewenangan Umum 209
2. Kewenangan dan Penindakan terhadap BKC atau
211
Barang Lain yang Terkait dengan BKC
3. Kewenangan Pejabat Bea dan Cukai untuk Tidak 219

hal | iv
Melayani Pemesanan Pita Cukai
4.Kewenangan Audit di Bidang Cukai 221
5.Penyerahan Perkara atas Dugaan Pelanggaran Cukai
222
dari Instansi Penegak Hukum Lain
C. Kewenangan Khusus 223
1. Kewenangan Khusus Direktur Jenderal 224
2. Kewenangan Khusus Penyidik di Bidang Cukai 224
BAB 9 KEBERATAN DAN BANDING DI BIDANG CUKAI 231
A. Keberatan di Bidang Cukai 231
1. Gambaran Umum 231
2. Konsep Keberatan di Bidang Cukai 231
3. Pejabat yang Berwenang Memutuskan Keberatan 232
4. Persyaratan Administrasi dan Jaminan dalam Pengajuan
233
Keberatan Persyaratan Administrasi
5. Mekanisme Pengajuan Keberatan 235
B. Pengajuan Banding 236
1. Konsep Banding di Bidang Cukai 236
2. Persyaratan Administrasi Banding 237
3. Mekanisme Pengajuan Banding 237
4. Jenis Putusan Pengadilan Pajak atas Perkara Banding 238
C. Pengajuan Gugatan 239
1. Konsep Gugatan di Bidang Cukai 239
2. Mekanisme Pengajuan Gugatan 240
PENUTUP 245
GLOSARIUM 246
DAFTAR PUSTAKA 248
BIODATA PENULIS 250

hal | v
DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Gambar Hal.

1.1 Alur Proses Pemberian Izin NPPBKC 13


1.2 Contoh Permohonan PMCK-6 15
1.3 Contoh NPPBKC Hasil Tembakau 31
2.1 Kalkulasi HJE Hasil Tembakau 44
Alur Proses Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau
2.2 54
atas Merek-Merek Baru
2.3 Mekanisme Penetapan Tarif Cukai MMEA 64
2.4 Contoh Permohonan Penetapan Tarif Cukai MMEA 66
2.5 Alur Proses Pemungutan Cukai Hasil Tembakau 68
2.6 Contoh P3C Pengajuan Awal 74
2.7 Alur Proses Pemesanan Pita Cukai Hasil Tembakau 78
2.8 Contoh Pengajuan CK-1 79
3.1 Contoh PBCK-1 87
Skema Permohonan Pembebasan atas Etil alkohol
3.2 91
untuk Pembuatan BHA
5.1 Catatan Sediaan Hasil Tembakau (CSCK-1) 141
5.2 Catatan Sediaan Retur Hasil Tembakau (CSCK-2) 142
5.3 Catatan Sediaan Pita Cukai (CSCK-3) 143
5.4 Contoh Halaman Pertama CK-4A 146
5.5 Contoh CK-4B 148
5.6 Contoh CK-4C 149
5.7 Laporan Penggunaan LACK-1 151
5.8 Laporan LACK-10 154
5.9 Laporan Pengangkutan BKC Tertentu 155
5.10 Contoh Buku Rekening BKC (BRCK-1) 158
5.11 Contoh Buku Rekening Kredit (BRCK-3) 158
6.1 Dokumen Cukai PMBKC 176
6.2 Lembar Lanjutan PMBKC 177
6.3 Dokumen CK-6 180
Flowchart Pelayanan Pengeluaran BKC dengan
6.4
Dokumen PMBKC Pelunasan

hal | vi
Flowchart Pelayanan Pengeluaran BKC dengan
6.5 183
Dokumen PMBKC Pelunasan
Flowchart Pelayanan Pengeluaran BKC sebagai
6.6 185
Bahan Baku untuk Pembuatan BKC Lainnya
Struktur Tatalaksana Pengolahan Kembali dan
7.1 191
Pemusnahan BKC
Flowchart Prosedur Pengolahan
7.2 Kembali/Pemusnahan BKC yang Masih Berada di 194
Dalam Pabrik
Prosedur Pengolahan Kembali /Pemusnahan BKC
7.3 198
yang Berasal dari Peredaran Bebas
Prosedur Pemusnahan BKC di Tempat
7.4 200
Pemusnahan di Luar Pabrik

hal | vii
DAFTAR TABEL

Judul Tabel Halaman


Nomor

Penggolongan dan Batasan Produksi Hasil


2.1 49
Tembakau
Tarif Cukai dan Batasan Minimal HJE Hasil Tembakau
2.2 58
Dalam Negeri
Tarif Cukai dan Batasan Minimal HJE Hasil Tembakau
2.3 59
yang Diimpor
Tarif Cukai MMEA dan Konsentrat yang Mengandung Etil
2.4 62
Alkohol

hal | viii
PENDAHULUAN

Mata pelajaran Teknis Cukai merupakan salah


satu mata pelajaran utama atau yang lebih dikenal
dengan istilah mata kuliah keahlian berkarya (MKB)
dalam kurikulum Program Diploma I Kepabeanan dan
Cukai Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Mata
pelajaran ini memberikan pengetahuan dan ketrampilan teknis dasar di bidang
cukai bagi mahasiswa Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN).

Berdasarkan kurikulum diklat disebutkan bahwa mata pelajaran teknis


cukai I merupakan salah satu mata pelajaran pokok dengan alokasi waktu
sebanyak 3 (tiga) SKS. Materi yang disampaikan dalam mata diklat Teknis Cukai
adalah pengetahuan umum mengenai konsep cukai dan aplikasinya serta
panduan umum yang bersifat operasional mengenai pelaksanaan Undang-
undang Cukai sesuai yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan dan juga
petunjuk pelaksanaan yang dikeluarkan oleh DJBC.

Kami berusaha agar materi yang disampaikan dalam Bahan Ajar ini tidak
membuat mahasiswa menjadi jenuh. Oleh karenanya layout dan variasi
penulisan yang kami tampilkan, baik dalam bentuk tabel atau gambar mudah-
mudahan dapat membuat Mahasiswa nyaman.

Secara umum materi pelajaran yang disampaikan dalam Bahan ajar


Teknis Cukai ini terdiri dari 9 (sembilan) Bab, yang disusun secara sequential.
Artinya bahwa penyampaian tiap-tiap bab disusun secara berurutan yang
disesuaikan dengan urutan kegiatan yang sesungguhnya terjadi di bidang
pelayanan cukai. Secara ringkas dapat kami sebutkan urutan waktu
penyampaian materi Kegiatan Belajar Teknis Cukai, sebagai berikut :

hal | 1
1) Perizinan di Bidang Cukai
Pokok bahasan pada bab 1 ini akan mencakup penjelasan mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan perizinan di bidang cukai. Untuk lebih fokus, uraian
penjelasan akan dibagi berdasarkan kategori ketentuan umum dan
ketentuan khusus perizinan cukai.
2) Penetapan Tarif dan Harga Dasar Barang Kena Cukai (BKC),
Penyediaan dan Pemesanan Pita Cukai
Pokok bahasan pada bab 2 ini akan mencakup mekanisme penetapan tarif
cukai yang di dalamnya juga akan mencakup Harga Jual Eceran BKC.
Kemudian dalam bab ini juga akan dijelaskan mengenai mekanisme
penyediaan dan pemesanan pita cukai.
3) Fasilitas dan Kemudahan Cukai
Pokok bahasan bab 3 ini akan mencakup penjelasan mengenai fasilitas
pembebasan dan fasilitas tidak dipungut cukai. Kemudian akan dijelaskan
pula kemudahan-kemudahan berkaitan dengan mekanisme pembayaran
cukai.

4) Pelunasan dan Penagihan Cukai


Pokok bahasan bab 4 ini akan mencakup penjelasan mengenai mekanisme
pelunasan cukai terhadap masing-masing BKC. Metode penyampaian materi
akan lebih banyak ditekankan pada simulasi cara menghitung pungutan
cukai baik terhadap BKC produksi dalam negeri maupun produk BKC impor.

5) Pencatatan, Pembukuan dan Pencacahan BKC


Pokok Bahasan yang disampaikan berisi materi teknis operasional terkait
dengan kegiatan pencatatan, pembukuan dan pencacahan BKC. Materi
belajar akan difokuskan pada tata cara pengelolaan administrasi pencatatan
dan pelaporan oleh pengusaha pabrik BKC tertentu dan bendahara Bea dan
Cukai.

6) Mutasi BKC
Pokok bahasan pada bab 6 ini akan mencakup penjelasan mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan mekanisme pemasukan, penimbunan, pengeluaran,
pengangkutan dan perdagangan BKC. Uraian penjelasan akan mencakup

hal | 2
alur proses mutasi BKC dan pengenalan terhadap dokumen pelindung
mutasi BKC.
7) Pemusnahan dan Pengolahan Kembali BKC
Pokok bahasan pada bab 7 ini akan mencakup teknis operasional di bidang
cukai yang terkait dengan kategori pengembalian cukai, khususnya karena
alasan pemusnahan dan pengolahan kembali. Topik Pemusnahan dan
pengembalian cukai di materi Bab 7 ini merupakan hanya sebagian saja dari
keseluruhan topik pengembalian di bidang cukai.

8) Kewenangan Pejabat Bea dan cukai


Pokok bahasan pada bab 8 ini akan berisi penjelasan mengenai
kewenangan umum dan kewenangan khusus di bidang cukai.

9) Keberatan dan Banding di Bidang Cukai


Pokok bahasan bab 9 ini akan mencakup penjelasan mengenai mekanisme
keberatan, mekanisme banding dan mekanisme gugatan di bidang cukai.

Tujuan Pembelajaran Umum

Standar kompetensi yang ingin dicapai terhadap Mahasiswa yang mempelajari


modul ini adalah agar siswa mampu menjelaskan ketentuan teknis operasional di
bidang Cukai

Tujuan Pembelajaran Khusus

Kompetensi dasar yang diharapkan setelah mempelajari modul ini adalah agar
peserta mampu menjelaskan ketentuan teknis operasional cukai yang berkaitan
dengan :

1) Perizinan di Bidang Cukai


2) Penetapan Tarif dan Harga Dasar BKC, serta Penyediaan dan pemesanan
Pita Cukai
3) Fasilitas Cukai dan Kemudahan Pembayaran Cukai
4) Pelunasan dan Penagihan Cukai
5) Pencatatan, pembukuan dan pencacahan di bidang cukai
6) Mutasi BKC

hal | 3
7) Pemusnahan dan pengolahan kembali BKC
8) Kewenangan pejabat di bidang cukai
9) Keberatan dan banding di bidang cukai

Akhirnya kami berharap agar Bahan Ajar ini diharapkan dapat memberikan
pemahaman dan wawasan yang tepat mengenai tatacara teknis operasional di
bidang cukai kepada Mahasiswa STAN. Untuk selanjutnya kami akan berusaha
agar bahan ajar ini akan terus di-update sesuai dengan perkembangan terbaru
tatalaksana teknis operasional di bidang cukai .

The magic word:


Sukses terdiri dari 1% bakat dan 99%
keringat"
-Thomas
Alfa Edison-

hal | 4
BAB

PERIZINAN DI BIDANG CUKAI


1
Tujuan Pembelajaran Khusus:
Setelah mengikuti pembelajaran ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan
tatalaksana perizinan di bidang cukai

A. Ketentuan Umum Penerbitan Izin NPPBKC

1. Kewajiban Memiliki Izin NPPBKC

Setiap orang yang menjalankan kegiatan di


bidang cukai wajib memiliki izin dari otoritas
pemerintah. Hal ini secara tegas diatur di dalam
ketentuan pasal 14 Undang-undang Cukai.1 Ketentuan
perizinan dalam pasal 14 tersebut juga menegaskan
posisi Menteri Keuangan sebagai pihak yang berhak
mengeluarkan izin, meskipun dalam pelaksanaan
operasionalnya wewenang tersebut didelegasikan kepada Direktur Jenderal Bea
dan Cukai c.q. Kepala Kantor Bea dan Cukai.

Sifat pungutan cukai yang merupakan pajak tidak langsung memberikan


ruang bagi pemerintah untuk melakukan penarikan cukai pada sektor hulu
(produsen BKC). Hal ini akan lebih mudah dilakukan daripada proses
pemungutannya dilakukan pada tingkat hilir (konsumen langsung). Untuk
memudahkan kontrol terhadap pengusaha BKC maka pemerintah mewajibkan
pengusaha untuk memiliki izin di bidang cukai. Adanya kewajiban untuk memiliki

1
Undang-undang Nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diamandemen dengan
Undang-undang Nomor 39 tahun 2007

hal | 5
izin di bidang cukai Perizinan terhadap pengusaha BKC dikeluarkan dalam
bentuk Nomor Pokok Pengusaha BKC (NPPBKC).

Sebagai pelaksanaan ketentuan perizinan di bidang cukai tersebut,


pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2008
tentang Nomor Pokok Pengusaha BKC. Kemudian untuk pengaturan teknis
tatacara penerbitan NPPBKC, Menteri Keuangan telah menerbitkan tiga
peraturan teknis yang memberikan panduan bagi aparatur DJBC dalam
melaksanakan ketentuan perizinan di bidang cukai. Ketiga peraturan teknis
tersebut adalah :
a) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200/PMK.04/2008 jo. PMK
191/PMK.04/2010 tentang Tata Cara Pemberian, Pembekuan, dan
Pencabuan NPPBKC untuk Pengusaha Pabrik dan Importir Hasil
Tembakau ;
b) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 201/PMK.04/2008 tentang Tata Cara
Pemberian, Pembekuan, dan Pencabuan NPPBKC untuk Pengusaha
Pabrik, Importir, Penyalur dan Pengusaha tempat Penjalan Eceran MMEA ;
c) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 202/PMK.04/2008 tentang Tata Cara
Pemberian, Pembekuan, dan Pencabuan NPPBKC untuk Pengusaha
Pabrik, Pengusaha Tempat Penyimpanan, Importir dan Pengusaha Tempat
Penjualan Eceran Etil Alkohol.

NPPBKC yang diberikan Menteri sama sekali tidak mengurangi kewajiban


untuk memenuhi izin-izin dari instansi terkait lainnya berdasarkan lingkup tugas,
fungsi dan wewenangnya masing-masing, sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Sebagai contoh, untuk izin NPPBKC sebagai
Penyalur atau Pengusaha Tempat Penjualan Eceran MMEA maka Pengusaha
diwajibkan pula untuk memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman
Beralkohol (SIUP-MB) yang dikeluarkan oleh Departemen Perdagangan dan juga
rekomendasi dari Kepolisian setempat.

hal | 6
2. Kegiatan di Bidang Cukai

Izin di bidang cukai wajib dimiliki oleh setiap orang yang menjalankan
kegiatan di bidang cukai. Pengertian “orang” dalam ketentuan tersebut mencakup
subyek orang pribadi atau subyek badan hukum. Adapun pengertian “kegiatan” di
bidang cukai adalah kegiatan-kegiatan yang meliputi :

a. Memproduksi (membuat) BKC


Pengertian memproduksi BKC adalah kegiatan menghasilkan BKC di
Indonesia. Konteks tempat dalam pengertian ini harus dimaknai secara
cermat, karena makna “di Indonesia” memiliki pengertian yang berbeda
dengan makna “di daerah pabean”. Perbedaan konsep ini terutama akan
menjadi masalah yang cukup pelik ketika dihadapkan pada konsep “free
trade zone (FTZ)”. Proses produksi BKC hanya dapat dilakukan di dalam
pabrik. Pengertian Pabrik adalah tempat tertentu termasuk bangunan,
halaman, dan lapangan yang merupakan bagian daripadanya, yang
dipergunakan untuk menghasilkan BKC dan/atau untuk mengemas BKC
dalam kemasan untuk penjualan eceran. Pihak yang mengusahakan pabrik
BKC disebut sebagai Pengusaha Pabrik. Pihak pengusaha pabrik inilah
yang wajib memiliki izin NPPBKC sebelum melakukan kegiatan
memproduksi BKC.

b. Menyimpan Etil Alkohol dalam Tempat Penyimpanan (TP) Etil Alkohol


Pengertian tempat penyimpanan mencakup tempat, bangunan, dan/atau
lapangan yang bukan merupakan bagian dari Pabrik, yang dipergunakan
untuk menyimpan BKC berupa etil alkohol yang masih terutang cukai
dengan tujuan untuk disalurkan, dijual atau diekspor. Kegiatan TP etil alkohol
merupakan mata rantai distribusi dalam perdagangan etil alkohol.
Keberadaan TP etil alkohol dibutuhkan untuk mendukung pabrik etil alkohol
yang jumlahnya cukup terbatas. Pihak yang mengusahakan tempat
penyimpanan disebut sebagai Pengusaha Tempat Penyimpanan. Pihak
inilah yang wajib memiliki izin NPPBKC sebelum melakukan kegiatan
menyimpan BKC etil alkohol.

hal | 7
c. Melakukan kegiatan impor BKC

Pengertian impor BKC adalah memasukkan BKC ke dalam daerah pabean


Indonesia. Tatalaksana kegiatan impor BKC secara umum diatur dalam
ketentuan tatalaksana kepabeanan. Undang-undang cukai hanya mengatur
penetapan suyek dan obyek berkaitan dengan kegiatan impor BKC. Pihak
yang memasukkan BKC ke dalam daerah pabean Indonesia disebut sebagai
importir. Importir berkewajiban memiliki NPPBKC sebelum melakukan
kegiatannya. Dalam aturan pelaksanaannya, khusus terhadap BKC MMEA
hanya dimungkinkan importasinya oleh importir yang ditunjuk oleh Menteri
Perdagangangan. Hingga saat ini (Oktober 2010) telah ditunjuk 8 importir
yang dapat melakukan importasi MMEA, yaitu :
- PT. Sarinah
- PT. Jaddi International
- PT. Indowines
- PT. Mitra Indo Maju
- PT. Muliatama Mitra Sejahtera
- PT. Aska Indoco
- PT. Boga Citra Nusapratama
- PT. Pantja Artha Niaga
Importasi MMEA yang dilakukan oleh importir yang ditnjuk hanya boleh
dilakukan di pelabuhan-pelabuhan yang ditunjuk dengan jumlah kuota yang
ditetapkan oleh Menteri Perdagangan.

d. Melakukan kegiatan penyaluran BKC

Kegiatan penyaluran BKC adalah kegiatan menyalurkan atau menjual BKC


yang sudah dilunasi yang semata-mata ditujukan bukan kepada konsumen
akhir. Berdasarakan aturan Undang-undang cukai dan PP Nomor 72 tahun
2008, kegiatan cukai sebagai penyalur MMEA dan etil alkohol diwajibkan
untuk memiliki NPPBKC. Dalam pelaksanaannya sesuai dengan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 201/PMK.04/2008 dan PMK Nomor
202/PMK.04/2008, kewajiban untuk memiliki NPPBKC terhadap kegiatan
usaha sebagai penyalur hanya diatur terhadap BKC berupa MMEA saja.

hal | 8
Konsep penyalur BKC pada dasarnya hampir mirip dengan konsep tempat
penyimpanan etil alkohol. Hanya saja tempat penyimpanan etil alkohol
mendapat pengecualian dalam hal status BKC yang disimpan di dalamnya,
yaitu masih terutang cukai. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan,
mengapa kegiatan penyaluran etil alkohol belum diatur secara tegas dalam
peraturan operasional oleh Menteri Keuangan. Pihak yang melakukan
kegiatan penyaluran BKC disebut sebagai Penyalur. Pihak inilah yang wajib
memiliki izin NPPBKC sebelum melakukan kegiatan menyalurkan BKC.

e. Melakukan kegiatan penjualan eceran BKC

Pengertian TPE adalah tempat untuk menjual secara eceran BJKC berupa
MMEA atau Etil Alkohol kepada konsumen akhir. Pihak yang mengusahakan
tempat penjualan eceran BKC disebut sebagai Pengusaha TPE. Pihak inilah
yang wajib memiliki izin NPPBKC sebelum melakukan kegiatan menjual
secara eceran BKC. Kewajiban memiliki NPPBKC diwajibkan khusus
terhadap BKC berupa etil alkohol dan MMEA. Hal ini dengan pertimbangan
bahwa karakteristik BKC tersebut memiliki tingkat kerawanan yang tinggi
dalam peredarannya di masyarakat.

3. Pemegang Izin dan Masa Berlakunya NPPBKC

Izin NPPBKC sebagai Pengusaha di bidang Cukai diberikan kepada :


a) Orang (baik sebagai pribadi atau badan hukum) yang berkedudukan di
Indonesia;
b) Orang (baik sebagai pribadi atau badan hukum) yang secara sah mewakili
badan hukum atau orang pribadi yang berkedudukan di luar Indonesia.

Dalam hal pemegang izin NPPBKC adalah orang pribadi, apabila yang
bersangkutan meninggal dunia, maka izin NPPBKC dapat dipergunakan selama
dua belas bulan sejak tanggal meninggalnya yang bersangkutan oleh ahli waris
atau yang dikuasakan dan setelah lewat jangka waktu tersebut izin wajib
diperbaharui.

Masa berlakunya pemberian izin NPPBKC terhadap pengusaha pabrik dan


importir BKC adalah selama yang bersangkutan masih menjalankan kegiatan

hal | 9
usahanya. Pengertiannya adalah bahwa Orang yang mendapat penunjukkan
sebagai pemegang NPPBKC baik mewakili kepentingan pribadinya (sebagai
pengusaha perorangan) ataupun mewakili kepentingan suatu Badan Usaha
harus bertindak sebagai subyek yang wajib bertanggung jawab penuh terhadap
kegiatan di bidang cukai. Apabila yang bersangkutan tidak lagi menjalankan
kegiatan usaha di bidang cukai tersebut, maka izin NPPBKC yang dipegangnya
tersebut menjadi batal.

Berkaitan dengan posisi pemegang NPPBKC di suatu Badan Usaha yang


telah dipindahtangankan, maka pemilik baru harus segera mengajukan
permohonan perubahan NPPBKC dengan melampirkan bukti-bukti
pemindahtanganan tersebut. Bukti-bukti yang wajib dilampirkan antara lain
adalah: salinan akte notaris, perdsetujuan akta perubahan Anggaran Dasar
perusahaan dan sebagainya.

Masa berlakunya pemberian izin NPPBKC terhadap Pengusaha Tempat


Penyimpanan, Pengusaha Penyalur dan Tempat Penjualan Eceran adalah
selama lima tahun, dan setiap kali dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang
sama. Adapun maksud dari pembatasan jangka waktu hanya selama lima tahun
ini didasarkan atas pertimbangan bahwa karakteristik BKC etil alkohol dan
MMEA tersebut mudah menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan dan
menimbulkan kerawanan sosial, sehingga pengawasan terhadap peredaran dan
penggunaannya perlu lebih diperketat.

4. Pengecualian Kewajiban Memiliki Izin NPPBKC

Terhadap orang tertentu yang memproduksi BKC ataupun melakukan


kegiatan usaha yang berkaitan dengan BKC, dikecualikan dari kewajiban
memiliki NPPBKC. Hal ini berkaitan dengan pemberian fasilitas di bidang cukai
sebagaimana diatur dalam pasal 8 dan pasal 9 Undang-undang Nomor 11 Tahun
1995 jo. Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai dan juga
mempertimbangkan efektifitas pengawasan. Adapun subyek yang dikecualikan
dari kewajiban untuk memiliki NPPBKC adalah sebagai berikut :

hal | 10
1) Orang yang membuat tembakau iris yang dibuat dari tembakau hasil
tanaman di Indonesia yang tidak dikemas untuk penjualan eceran atau
dikemas untuk penjualan eceran dengan bahan pengemas tradisional yang
lazim dipergunakan, apabila :
- Dalam pembuatannya tidak dicampur atau ditambah dengan tembakau
yang berasal dari luar negeri atau bahan lain yang lazim dipergunakan
dalam pembuatan hasil tembakau;
- Pada pengemas atau tembakau irisnya tidak dibubuhi atau dilekati atau
dicantumkan cap, merek dagang, etiket, atau sejenis dengan itu.
2) Orang yang membuat minuman mengandung etil alkohol yang diperoleh dari
hasil peragian atau penyulingan, apabila :
- Dibuat oleh rakyat Indonesia;
- Pembuatannya dilakukan secara sederhana;
- Produksi tidak melebihi 25 (dua puluh lima) liter setiap hari;
- Tidak dikemas dalam kemasan penjualan eceran.
3) Orang yang mengimpor BKC yang mendapat fasilitas pembebasan cukai :
- Untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan
- Untuk keperluan perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang
bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik;
- Untuk keperluan tenaga ahli bangsa asing yang bertugas pada Badan
atau Organisasi Internasional di Indonesia;
- Yang dibawa oleh penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas
atau kiriman dari Luar Negeri, dalam jumlah tertentu;
- Untuk tujuan sosial.
4) Pengusaha Tempat Penjualan Eceran etil alkohol yang jumlah penjualannya
dalam sehari maksimal 30 (tiga puluh) liter
5) Pengusaha Tempat Penjualan Eceran MMEA dengan kadar paling tinggi 5%
(lima persen).

hal | 11
B. Tatacara Pengajuan Izin NPPBKC

1. Alur Proses Perizinan NPPBKC

Untuk mendapatkan izin NPPBKC sebagai Pengusaha BKC maka


Pengusaha wajib mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Bea dan
Cukai setempat. Sesuai dengan ketentuan Undang-undang Cukai, pemberian
izin NPPBKC merupakan wewenang yang dimiliki oleh Menteri Keuangan, akan
tetapi dalam pelaksanaan operasionalnya wewenang ini telah didelegasikan
hingga pada level Kepala Kantor Bea dan Cukai. Hal ini dimaksudkan untuk lebih
memberi kemudahan kepada para pengusaha yang ingin mendapatkan izin
kegiatan di bidang cukai.

Proses pengajuan izin NPPBKC secara umum dilaksanakan dalam dua


tahapan. Tahapan pertama adalah tahap permohonan pemeriksaan lokasi, yaitu
permintaan untuk dilakukannya pemeriksaan lokasi atas bangunan atau tempat
usaha yang akan dijadikan lokasi kegiatan di bidang cukai. Tahapan ini bertujuan
untuk menyaring permohonan NPPBKC yang betul-betul layak untuk diproses
lebih lanjut. Berdasarkan aturan PP nomor 72 tahun 2008 ketentuan persyaratan
fisik lokasi subyek NPPBKC semakin diperketat. Hal ini sejalan dengan kebijakan
pemerintah yang secara bertahap akan semakin membatasi jumlah produsen
BKC. Output dari proses tahap pertama ini adalah Berita Acara Pemeriksaan
Lokasi.

Tahapan kedua dalam proses perizinan NPPBKC adalah pengajuan


permohonan izin NPPBKC dengan menggunakan format dokumen PMCK-6.
Pengajuan PMCK-6 harus dilampiri dengan dokumen perizinan dari instansi
terkait. Izin NPPBKC yang dikeluarkan oleh NPPBKC merupakan izin terakhir
yang harus dipenuhi oleh pengusaha yang akan melakukan kegiatan cukai.

Secara umum proses pemberian izin NPPBKC kepada subyek NPPBKC


dapat kami jelaskan dalam gambar 1.1 berikut. Mekanisme pengajuan NPPBKC
ini kami rangkum dari tiga Peraturan Menteri Keuangan yang berkaitan dengan
NPPBKC yang telah disebutkan sebelumnya.

hal | 12
Gambar 1.1
Alur Proses Pemberian Izin NPPBKC

Penjelasan :
a) Tahap pertama pengajuan NPPBKC diawali dengan permohonan
pemeriksaan lokasi yang dimintakan izin. Permohonan pemeriksaan lokasi
atas bangunan atau tempat usaha minimal harus dilampiri dengan :
- Salinan atau fotocopi izin usaha;
- Gambar denah lokasi bangunan atau tempat usaha;
- Salinan atau fotocopi izin mendirikan bangunan (IMB);
- Salinan atau fotocopi izin berdasarkan Undang-undang Mengenai
Gangguan
b) Atas permohonan yang diajukan tersebut, Kantor Pelayanan Bea dan Cukai
akan melakukan wawancara terhadap pemohon. Tujuan wawancara adalah
untuk memeriksa kebenaran data pemohon selaku penanggung jawab dan
juga kebenaran mengenai data-data yang dilampirkan. Hasil wawancara
akan dituangkan dalam suatu Berita Acara Wawancara.

hal | 13
c) Langkah selanjutnya adalah melakukan pemeriksaan lokasi terhadap
bangunan atau tempat usaha yang dimintakan izin NPPBKC. Proses
pemeriksaan lokasi ini harus dilaksanakan paling lambat dalam jangka waktu
30 hari sejak permohonan diterima. Hasil pemeriksaan lokasi akan
dituangkan dalam suatu berita acara pemeriksaan lokasi (BAP) yang
ditandatangani oleh Pemeriksa dan Pengusaha yang bersangkutan.
d) Berita Acara Pemeriksaan Lokasi dan Gambar Denah lokasi harus memuat
secara rinci :
- persil, bangunan, ruangan, tempat dan pekarangan yang termasuk bagian
dari bangunana atau tempat usaha yang dimohonkan izinnya ;
- batas-batas bangunan atau tempat usaha yang dimohonkan izinnya;
- luas bangunan atau Tempat Usaha yang dimohonkan izin NPPBKC.
e) Berita Acara Pemeriksaan Lokasi yang menyatakan Lokasi yang
bersangkutan Layak untuk diberikan izin NPPBKC , digunakan sebagai salah
satu persyaratan untuk memperoleh NPPBKC . Berita Acara tersebut hanya
dapat digunakan dalam jangka waktu paling lamabat tiga bulan sejak tanggal
BAP ditandatangani.
f) Tahapan Kedua dalam alur proses pemberian izin NPPBKC adalah
pengajuan permohonan izin NPPBKC dalam suatu format permohonan
standar (PMCK 6) dengan disertai lampiran perizinan dari instansi terkait dan
data identitas diri pemohon. Lampiran persyaratan izin dari instansi terkait
untuk masing-masing jenis kegiatan di bidang cukai tidaklah sama. Khusus
untuk persyaratan izin terhadap kegiatan dibidang cukai MMEA dan Etil
Alkohol agak lebih ketat dibandingkan dengan persyaratan izin untuk
kegiatan cukai hasil tembakau.
g) Kepala Kantor atas nama Menteri Keuangan harus memutuskan disetujui
atau ditolaknya permohonan PMCK.6 dalam jangka waktu 30 hari sejak
permohonan diterima secara lengkap.
h) Dalam hal permohonan disetujui maka akan diterbitkan Keputusan
Pemberian NPPBKC, namun bila permohonan ditolak maka diterbitkan surat
penolakan yang memberikan penjelasan mengenai alasan penolakan. Salah
satu dasar pertimbangan penolakan oleh Kepala Kantor adalah apabila

hal | 14
nama pabrik, tempat penyimpanan, importir, penyalur atau TPE yang
diajukan memiiliki kesamaan nama, baik tulisan maupun pengucapannya
dengan nama subyek cukai sejenis lainnya yang telah mendapatkan
NPPBKC lebih dahulu.

Gambar 1.2
Contoh Permohonan PMCK-6

hal | 15
hal | 16
2. Persyaratan Pemberian izin NPPBKC Etil Alkohol

a. Kewajiban dan Persyaratan Lokasi Bangunan atau Tempat Usaha

Sebelum mengajukan proses permohonan izin NPPBKC, pengusaha wajib


memenuhi persyaratan fisik lokasi yang dimintakan izin. Berikut ini akan kami
jelaskan beberapa ketentuan khusus yang harus dipenuhi dalam proses
pemberian izin dalam kegiatan cukai berkaitan dengan BKC etil alkohol.

Kewajiban bagi Pabrik Etil Alkohol :


a) Tidak berhubungan langsung dengan bangunan, halaman, atau tempat-
tempat lain yang bukan bagian pabrik yang dimintakan izin;
b) Tidak berhubungan langsung dengan rumah tinggal;
c) Berbatasan langsung dan dapat dimasuki dari jalan umum, kecuali yang
lokasinya dalam kawasan industri;
d) Memiliki luas bangunan minimal 5.000 (lima ribu) meter persegi;
e) Memiliki ruang laboratorium dan peralatannya;
f) Memiliki bangunan, ruangan dan tempat yang dipakai untuk membuat etil
alkohol;
g) Memiliki bangunan, ruangan, tempat, pekarangan dan tangki atau wadah
lainnya untuk menyimpan bahan baku atau bahan penolong;
h) Memiliki bangunan, ruangan, tempat, pekarangan dan tangki atau wadah
lainnya untuk menyimpan hasil akhir yang bukan BKC (dalam hal pabrik
dengan proses produksi terpadu);
i) Memiliki bangunan, ruangan, tempat, pekarangan dan tangki atau wadah
lainnya untuk menampung etil alkohol yang telah dirusak sehingga tidak
baik untuk diminum (spiritus bakar);
j) Memiliki bangunan, ruangan, tempat, pekarangan dan tangki atau wadah
lainnya untuk menampung produk sampingan;
k) Memiliki peralatan pemadam kebakaran yang memadai;
l) Memiliki ruangan yang memadai bagi pejabat bea dan cukai dalam
melakukan pekerjaan atau pengawasan; dan

hal | 17
m) Memiliki pagar dan/atau dinding keliling dari tembok, dengan ketinggian
minimal 2 (dua) meter yang merupakan batas pemisah yang jelas, kecuali
sisi bagian depan disesuaikan dengan aturan pemerintah daerah setempat.

Kewajiban bagi Tempat Penyimpanan etil alkohol :

a) Tidak berhubungan langsung dengan bangunan,halaman, atau tempat-


tempat lain yang bukan bagian tempat penyimpanan yang dimintakan izin;
b) Dilarang berhubungan langsung dengan rumah tinggal;
c) Berbatasan langsung dan dapat dimasuki dari jalan umum, kecuali yang
lokasinya dalam kawasan industri;
d) Memiliki tempat penimbunan permanen berupa tangki dengan kapasitas
keseluruhan minimal 200.000 (dua ratus ribu) liter etil alkohol, dilengkapi
dengan fasilitas penunjang berupa pompa, alat ukur volume dan suhu, dan
tabel volume yang disahkan oleh Dinas Meteorologi;
e) Memiliki luas lokasi minimal 5.000 (lima ribu) meter persegi;
f) Memiliki pagar dan/atau dinding keliling dari tembok, dengan ketinggian
minimal 2 (dua) meter yang merupakan batas pemisah yang jelas, kecuali
sisi bagian depan disesuaikan dengan aturan pemerintah daerah setempat.
g) Memiliki ruang laboratorium dan peralatannya;
h) Memiliki aset milik sendiri untuk menjalankan usaha tempat penyimpanan
yang meliputi gudang dan tangki tempat penimbunan etil alkohol yang
masih terutang cukai;
i) Memiliki bangunan, ruangan, tempat, pekarangan dan tangki atau wadah
lainnya untuk menampung etil alkohol yang telah dicampur;
j) Memiliki peralatan pemadam kebakaran yang memadai;
k) Memiliki ruangan yang memadai bagi pejabat bea dan cukai dalam
melakukan pekerjaan atau pengawasan.

Ketentuan persyaratan fisik pendirian Tempat Penyimpanan sebagaimana


dimaksud diatas berlaku juga bagi persyaratan pendirian Tempat Penyimpanan
Khusus Pencampuran dan Tempat Penyimpanan Khusus Tujuan Ekspor.

hal | 18
Kewajiban bagi Tempat Usaha Importir :

a) Tidak menggunakan tempat penimbunan etil alkohol yang berhubungan


langsung dengan bangunan, halaman, atau tempat-tempat lain yang bukan
bagian tempat usaha importir yang dimintakan izin;
b) Memiliki jarak lebih dari 100 (seratus) meter dengan tempat ibadah umum,
sekolah atau rumah sakit;
c) Berbatasan langsung dan dapat dimasuki dari jalan umum, kecuali yang
berada di kawasan perdagangan;
d) Memiliki persil, bangunan, ruangan, tempat dan pekarangan yang termasuk
bagian dari tempat usaha importir;
e) Memiliki bangunan,ruangan dan tempat yang digunakan untuk menimbun
etil alkohol yang diimpor; dan
f) Memiliki pagar dan/atau dinding keliling dari tembok dengan ketinggian
paling rendah 2 (dua) meter yang merupakan batas pemisah yang jelas,
kecuali sisi bagian depan disesuaikan dengan aturan pemerintah daerah
setempat.

Kewajiban bagi Tempat Penjualan Eceran :

a) Dilarang berhubungan langsung dengan bangunan, halaman, atau tempat-


tempat lain yang bukan bagian dari TPE yang dimintakan izin, kecuali yang
berada di kawasan industri atau kawasan perdagangan;
b) Berbatasan langsung dan dapat dimasuki dari jalan umum, kecuali yang
berada di kawasan perdagangan;
c) Memiliki bangunan, ruangan dan tempat yang digunakan untuk menimbun
etil alkohol.

b. Persyaratan Administrasi

Untuk mendapatkan NPPBKC terhadap kegiatan yang berkaitan dengan


BKC etil alkohol maka pengusaha harus memenuhi persyaratan administrasi
sebagai berikut:

hal | 19
Untuk Pabrik Etil Alkohol dan Tempat Penyimpanan Etil Alkohol,
persyaratan administrasi yang wajib dilengkapi adalah :
a) Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari Pemerintah Daerah setempat;
b) Izin berdasarkan Undang-undang gangguan dari Pemerintah Daerah
setempat;
c) Izin Usaha Industri dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di
bidang Perindustrian dan/atau Perdagangan;
d) Izin Usaha Perdagangan dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di
bidang Perindustrian dan/atau Perdagangan;
e) Khusus untuk Pengusaha Pabrik Etil Alkohol, dilengkapi dengan izin atau
rekomendasi dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang
Kesehatan;
f) Khusus untuk Pengusaha Pabrik Etil Alkohol, dilengkapi dengan izin atau
rekomendasi dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang
Tenaga Kerja;
g) Nomor Pokok Wajib Pajak ;
h) Surat Keterangan Catatan Kepolisian dari Kepolisian Republik Indonesia,
apabila pemohon merupakan orang pribadi;
i) Kartu Tanda Pengenal diri, apabila pemohon merupakan orang pribadi;
j) Akta Pendirian Usaha, apabila pemohon merupakan Badan Hukum; dan
k) Surat Pernyataan di atas materei yang cukup akan menyelenggarakan
pembukuan perusahaan berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan yang
berlaku dan menyimpan dokumen, buku, dan laporan selama 10 (sepuluh)
tahun pada tempat usahanya.
l) Berita Acara Hasil Pemeriksaan Lokasi dari Kantor Pelayanan Bea dan
Cukai setempat.

Untuk persyaratan administrasi terhadap Importir etil alkohol yang


mengajukan permohonan NPPBKC:
a) Izin sebagai importir dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di
bidang perdagangan;
b) Nomor Pokok Wajib Pajak ;
c) Akta Pendirian Usaha, apabila pemohon merupakan Badan Hukum; dan

hal | 20
d) Nomor Identitas Kepabeanan
e) Berita Acara Hasil Pemeriksaan Lokasi dari Kantor Bea dan Cukai setempat.

Persyaratan administrasi terhadap Pengusaha Tempat Penjualan eceran


etil alkohol yang mengajukan permohonan NPPBKC:
a) Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari Pemerintah Daerah setempat;
b) Izin berdasarkan Undang-undang gangguan dari Pemerintah Daerah
setempat;
c) Izin usaha perdagangan dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di
bidang Perdagangan;
d) Izin atau rekomendasi dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di
bidang tenaga kerja;
e) Nomor Pokok Wajib Pajak;
f) Surat Keterangan Catatan kepolisian dari Kepolisian Republik Indonesia,
apabila pemohon merupakan orang pribadi;
g) Kartu tanda pengenal diri, apabila pemohon merupakan orang pribadi;
h) Akta pendirian usaha, apabila pemohon merupakan Badan Hukum.
i) Berita Acara Hasil Pemeriksaan Lokasi dari Kantor Pelayanan Bea dan
Cukai setempat.
j) Dalam hal status kepemilikan tempat usaha adalah bukan pemilik bangunan,
maka harus disertai dengan surat perjanjian sewa-menyewa yang disahkan
notaris untuk jangka waktu paling singkat 5 (lima) tahun.

3. Persyaratan Pemberian izin NPPBKC MMEA

a. Kewajiban dan Persyaratan Lokasi Bangunan atau Tempat Usaha

Berkaitan dengan pemberian izin NPPBKC terhadap Pengusaha yang


melakukan kegiatan cukai MMEA diatur hal-hal yang bersifat khusus terhadap
proses pemberian izin NPPBKC untuk jenis BKC berupa MMEA. Berikut ini akan
kami jelaskan beberapa ketentuan khusus yang harus dipenuhi dalam proses
pemberian izin dalam kegiatan cukai MMEA.

hal | 21
Kewajiban yang harus dipenuhi terhadap Pabrik MMEA :
a) Tidak berhubungan langsung dengan bangunan, halaman, atau tempat-
tempat lain yang bukan bagian pabrik yang dimintakan izin;
b) Berbatasan langsung dan dapat dimasuki dari jalan umum;
c) Memiliki luas bangunan minimal 300 (tiga ratus) meter persegi;
d) Memiliki persil, bangunan, ruangan, tempat dan pekarangan yang termasuk
bagian dari pabrik;
e) Memiliki bangunan, ruangan dan tempat yang dipakai untuk membuat
MMEA;
f) Memiliki bangunan, ruangan, tempat, dan tangki atau wadah lainnya untuk
menimbun MMEA yang selesai dibuat;
g) Memiliki bangunan, ruangan, tempat, dan tangki atau wadah lainnya untuk
menimbun MMEA yang cukainya sudah dibayar atau dilunasi;
h) Memiliki bangunan, ruangan, tempat, dan tangki atau wadah lainnya untuk
menimbun MMEA yang selesai dibuat;
i) Memiliki bangunan, ruangan, tempat, pekarangan dan tangki atau wadah
lainnya untuk menyimpan bahan baku atau bahan penolong;
j) Memiliki bangunan, ruangan, tempat, pekarangan dan tangki atau wadah
lainnya yang digunakan untuk kegiatan produksi dan penimbunan bahan
baku atau bahan penolong;
k) Memiliki ruangan yang memadai bagi pejabat bea dan cukai dalam
melakukan pekerjaan atau pengawasan; dan
l) Memiliki pagar dan/atau dinding keliling dari tembok, dengan ketinggian
minimal 2 (dua) meter yang merupakan batas pemisah yang jelas, kecuali
sisi bagian depan disesuaikan dengan aturan pemerintah daerah setempat.

Kewajiban bagi Tempat Usaha Importir MMEA :


a) Tidak menggunakan tempat penimbunan etil alkohol yang berhubungan
langsung dengan bangunan, halaman, atau tempat-tempat lain yang bukan
bagian tempat usaha importir yang dimintakan izin;
b) Memiliki jarak lebih dari 100 (seratus) meter dengan tempat ibadah umum,
sekolah atau rumah sakit;

hal | 22
c) Berbatasan langsung dan dapat dimasuki dari jalan umum, kecuali yang
berada di kawasan perdagangan;
d) Memiliki persil, bangunan, ruangan, tempat dan pekarangan yang termasuk
bagian dari tempat usaha importir;
e) Memiliki bangunan,ruangan dan tempat yang digunakan untuk menimbun
MMEA yang diimpor; dan
f) Memiliki pagar dan/atau dinding keliling dari tembok dengan ketinggian
paling rendah 2 (dua) meter yang merupakan batas pemisah yang jelas,
kecuali sisi bagian depan disesuaikan dengan aturan pemerintah daerah
setempat.

Kewajiban bagi Tempat Usaha Penyalur MMEA :


a) Dilarang menggunakan tempat penimbunan MMEA yang berhubungan
langsung dengan bangunan, halaman, atau tempat-tempat lain yang bukan
bagian tempat usaha importir yang dimintakan izin;
b) Memiliki jarak lebih dari 100 (seratus) meter dengan tempat ibadah umum,
sekolah atau rumah sakit;
c) Berbatasan langsung dan dapat dimasuki dari jalan umum, kecuali yang
berada di kawasan perdagangan;
d) Memiliki luas bangunan minimal 100 (seratus) meter persegi;
e) Memiliki persil, bangunan, ruangan, tempat dan pekarangan yang termasuk
bagian dari tempat usaha penyalur;
f) Memiliki bangunan, ruangan dan tempat yang digunakan untuk menimbun
MMEA; dan;
g) Memiliki peralatan pemadam kebakaran yang memadai;
h) Memiliki pagar dan/atau dinding keliling dari tembok dengan ketinggian
paling rendah 2 (dua) meter yang merupakan batas pemisah yang jelas,
kecuali sisi bagian depan disesuaikan dengan aturan pemerintah daerah
setempat.

hal | 23
Kewajiban bagi Pengusaha TPE MMEA :
a) Dilarang berhubungan langsung dengan bangunan, halaman, atau tempat-
tempat lain yang bukan bagian dari TPE yang dimintakan izin, kecuali yang
berada dikawasan industri atau kawasan perdagangan;
b) Berbatasan langsung dan dapat dimasuki dari jalan umum, kecuali yang
berada di kawasan perdagangan;
c) Memiliki jarak lebih dari 100 (seratus) meter dengan tempat ibadah umum,
sekolah dan rumah sakit, kecuali tempat ibadah umum yang disediakan oleh
pengusaha hotel, restoran, atau tempat hiburan ;
d) Memiliki persil, bangunan,ruangan, tempat dan pekarangan yang termasuk
bagian dari TPE;
e) Memiliki persil, bangunan,ruangan dan tempat yang digunakan untuk
menimbun MMEA.

b. Persyaratan Administrasi

Untuk mendapatkan NPPBKC terhadap kegiatan yang berkaitan dengan


BKC MMEA maka pengusaha harus memenuhi persyaratan administrasi sebagai
berikut:

Pengusaha Pabrik MMEA harus memiliki izin-izin dari instansi terkait,


yaitu:
a) Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari Pemerintah Daerah setempat;
b) Izin berdasarkan Undang-undang gangguan dari Pemerintah Daerah
setempat;
c) Izin Usaha Industri dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di
bidang Perindustrian dan/atau Perdagangan;
d) Izin Usaha Perdagangan dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di
bidang Perindustrian dan/atau Perdagangan;
e) izin atau rekomendasi dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di
bidang Kesehatan;
f) izin atau rekomendasi dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di
bidang Tenaga Kerja;

hal | 24
g) Nomor Pokok Wajib Pajak ;
h) Surat Keterangan Catatan Kepolisian dari Kepolisian Republik Indonesia,
apabila pemohon merupakan orang pribadi;
i) Kartu Tanda Pengenal diri, apabila pemohon merupakan orang pribadi;
j) Akta Pendirian Usaha, apabila pemohon merupakan Badan Hukum; dan
k) Berita Acara Hasil Pemeriksaan Lokasi dari Kantor Pelayanan Bea dan
Cukai setempat.
l) Dalam hal status kepemilikan tempat usaha adalah bukan pemilik bangunan,
maka harus disertai dengan surat perjanjian sewa-menyewa yang disahkan
notaris untuk jangka waktu paling singkat 5 (lima) tahun.

Bagi Importir MMEA yang mengajukan permohonan NPPBKC, maka harus


melengkapi perizinan dari instansi terkait, sebagai berikut :
a) Izin sebagai importir dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di
bidang perdagangan. Dalam hal ini, penunjukan sebagai importir MMEA
bersifat terbatas, artinya bahwa hanya importir terdaftar (IT) tertentu saja
yang mendapat izin khusus dari Menteri Perdagangan yang boleh
mengimpor MMEA. Untuk saat ini, hanya PT. Sarinah yang mendapat izin
khusus untuk mengimpor MMEA;
b) Nomor Pokok Wajib Pajak ;
c) Akta Pendirian Usaha, apabila pemohon merupakan Badan Hukum; dan
d) Nomor Identitas Kepabeanan;
e) Berita Acara Hasil Pemeriksaan Lokasi dari Kantor Pelayanan Bea dan
Cukai setempat.

Bagi Pengusaha Penyalur MMEA yang mengajukan permohonan


NPPBKC, maka harus melengkapi perizinan dari instansi terkait, sebagai berikut
:
a) Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari Pemerintah Daerah setempat;
b) Izin berdasarkan Undang-undang gangguan dari Pemerintah Daerah;
c) Izin usaha perdagangan dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di
bidang Perdagangan. Dalam hal ini ada dua izin yang harus dimiliki, yaitu
Surat izin usaha Perdagangan (SIUP) dan Surat Izin Usaha Perdagangan
Minuman Beralkohol (SIUPMB);

hal | 25
d) Izin atau rekomendasi dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di
bidang tenaga kerja;
e) Nomor Pokok Wajib Pajak;
f) Surat Keterangan Catatan kepolisian dari Kepolisian Republik Indonesia,
apabila pemohon merupakan orang pribadi;
g) Kartu tanda pengenal diri, apabila pemohon merupakan orang pribadi;
h) Akta pendirian usaha, apabila pemohon merupakan Badan Hukum.
i) Berita Acara Hasil Pemeriksaan Lokasi dari Kantor Pelayanan Bea dan
Cukai setempat.
j) Dalam hal status kepemilikan tempat usaha adalah bukan pemilik bangunan,
maka harus disertai dengan surat perjanjian sewa-menyewa yang disahkan
notaris untuk jangka waktu paling singkat 5 (lima) tahun.

Bagi Pengusaha Tempat Penjualan Eceran MMEA yang mengajukan


permohonan NPPBKC, maka harus melengkapi perizinan dari instansi terkait,
sebagai berikut :

a) Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari Pemerintah Daerah setempat;


b) Izin berdasarkan Undang-undang gangguan dari Pemerintah Daerah
setempat;
c) Izin usaha perdagangan dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di
bidang Perdagangan. Dalam hal ini ada dua izin yang harus dimiliki, yaitu
Surat izin usaha Perdagangan (SIUP) dan Surat Izin Usaha Perdagangan
Minuman Beralkohol (SIUPMB);
d) Izin atau rekomendasi dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di
bidang tenaga kerja;
e) Nomor Pokok Wajib Pajak;
f) Surat Keterangan Catatan kepolisian dari Kepolisian Republik Indonesia,
apabila pemohon merupakan orang pribadi;
g) Kartu tanda pengenal diri, apabila pemohon merupakan orang pribadi;
h) Akta pendirian usaha, apabila pemohon merupakan Badan Hukum.
i) Berita Acara Hasil Pemeriksaan Lokasi dari Kantor Pelayanan Bea dan
Cukai setempat.

hal | 26
j) Dalam hal status kepemilikan tempat usaha adalah bukan pemilik bangunan,
maka harus disertai dengan surat perjanjian sewa-menyewa yang disahkan
notaris untuk jangka waktu paling singkat 5 (lima) tahun.

4. Persyaratan Pemberian izin NPPBKC Hasil Tembakau

a. Kewajiban dan Persyaratan Lokasi Bangunan atau Tempat Usaha

Berkaitan dengan pemberian izin NPPBKC terhadap pengusaha yang


melakukan kegiatan cukai Hasil Tembakau diatur hal-hal yang bersifat khusus
terhadap proses pemberian izin NPPBKC. Berikut ini akan kami jelaskan
beberapa ketentuan khusus yang harus dipenuhi dalam proses pemberian izin
dalam kegiatan cukai Hasil Tembakau.

Kewajiban bagi pabrik Hasil Tembakau


a) Tidak berhubungan langsung dengan bangunan, halaman, atau tempat-
tempat lain yang bukan bagian pabrik yang dimintakan izin;
b) Tidak berhubungan langsung dengan rumah tinggal
c) Berbatasan langsung dan dapat dimasuki dari jalan umum;
d) Memiliki luas bangunan minimal 200 (dua ratus) meter persegi
Kewajiban bagi Tempat Usaha Importir Hasil Tembakau
a) Tidak menggunakan tempat penimbunan hasil tembakau yang
berhubungan langsung dengan bangunan, halaman, atau tempat-tempat
lain yang bukan bagian tempat usaha importir yang dimintakan izin;
b) Tidak berhubungan langsung dengan rumah tinggal;
c) Berbatasan langsung dan dapat dimasuki dari jalan umum.
b. Persyaratan Administrasi

Untuk mendapatkan NPPBKC terhadap kegiatan yang berkaitan dengan


BKC Hasil Tembakau maka pengusaha minimal harus memenuhi persyaratan
administrasi sebagai berikut:

Pabrik Hasil Tembakau, harus memenuhi persyarataan administrasi :


a) Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari Pemerintah Daerah setempat;

hal | 27
b) Izin berdasarkan Undang-undang gangguan dari Pemerintah Daerah
setempat;
c) Izin Usaha Industri dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di
bidang Perindustrian dan/atau Perdagangan;
d) Izin Usaha Perdagangan dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya
di bidang Perindustrian dan/atau Perdagangan;
e) izin atau rekomendasi dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di
bidang Tenaga Kerja;
f) Nomor Pokok Wajib Pajak ;
g) Surat Keterangan Catatan Kepolisian dari Kepolisian Republik Indonesia,
apabila pemohon merupakan orang pribadi;
h) Kartu Tanda Pengenal diri, apabila pemohon merupakan orang pribadi;
i) Akta Pendirian Usaha, apabila pemohon merupakan Badan Hukum;
j) Berita Acara Hasil Pemeriksaan Lokasi dari Kantor Pelayanan Bea dan
Cukai setempat;
k) Dalam hal status kepemilikan tempat usaha adalah bukan pemilik
bangunan, maka harus disertai dengan surat perjanjian sewa-menyewa
yang disahkan notaris untuk jangka waktu paling singkat 5 (lima) tahun;
l) Surat pernyataan bermaterei cukup bahwa pemohon tidak berkeberatan
untuk dibekukan atau dicabut NPPBKC yang telah diberikan dalam hal
nama pabrik yang bersangkutan memiliki kesamaan nama, baik tulisan
maupun pengucapannya dengan nama pabrik lain yang telah mendapat
NPPBKC.

Importir Hasil Tembakau yang mengajukan permohonan NPPBKC harus


memenuhi persyaratan administrasi :

a) Izin sebagai importir dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di
bidang perdagangan;
b) Nomor Pokok Wajib Pajak ;
c) Akta Pendirian Usaha;
d) Nomor Identitas Kepabeanan (NIK)

hal | 28
e) Surat penunjukan sebagai agen penjualan dari produsen hasil tembakau
yang diimpor;
f) Berita Acara Hasil Pemeriksaan Lokasi dari Kantor Bea dan Cukai.

5. Penomoran NPPBKC

Untuk memberikan keseragaman dalam hal identifikasi data pemegang


NPPBKC maka penomoran NPPBKC ditetapkan secara standar dengan mengacu
kepada ketentuan Surat Edaran Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor : SE-
03/BC/2009. Adapun sistem penomoran yang harus digunakan dalam pemberian
izin NPPBKC adalah sebagai berikut :

a) Sistem Penomoran NPPBKC terdiri dari 10 (sepuluh) digit, dengan rincian :


- 4 (empat) digit pertama merupakan kode Kantor penerbit NPPBKC .
Tabel kode Kantor penerbit NPPBKC dapat anda lihat dalam Lampiran
SE-03/BC/2009.
- 1 (satu) digit kelima merupakan kode jenis usaha, dengan rincian bahwa
kode angka “1” untuk pabrik , angka “2” untuk importir, angka “3” untuk
Tempat Penyimpanan, angka “4” untuk Tempat Penjualan Eceran, dan
angka “5” untuk Penyalur.
- 1 (satu) digit keenam merupakan kode jenis BKC, dengan rincian bahwa
kode angka “1” untuk jenis BKC etil alkohol, angka “2” untuk jenis BKC
MMEA, dan angka “4” untuk jenis BKC hasil tembakau.
- 4 (empat) digit terakhir merupakan nomor urut NPPBKC sesuai
dengan nomor urut pemberian di masing-masing Kantor Bea dan Cukai.

b) Dalam rangka tertib administrasi dan menghindari duplikasi, pemberian


nomor urut NPPBKC baru maupun pembaharuan, untuk 4 (empat) digit
keempat dimulai dengan angka 1001 (seribu satu) .

c) Contoh Penomoran NPPBKC :


 Pengusaha Pabrik MMEA PT. “A” (pabrik baru) berada di wilayah
pengawasan KPPBC Tipe Madya Cukai Malang mengajukan permohonan
NPPBKC. Setelah dilakukan proses penelitian administratif dan
pemeriksaan lokasi sesuai ketentuan yang berlaku, kedapatan Pabrik

hal | 29
MMEA PT. “A” telah memenuhi persyaratan dan layak diberikan NPPBKC.
Maka terhadap Pabrik MMEA PT. “A” diberikan NPPBKC dengan nomor
0706.1.2. 1001, artinya bahwa :

- Angka 0706 adalah kode Kantor Penerbit NPPBKC untuk KPPBC


Tipe Madya Cukai Malang
- Angka 1 adalah kode untuk pabrik BKC
- Angka 2 adalah kode untuk MMEA
- Angka 1001 adalah nomor urut yang diberikan untuk pabrik MMEA
PT “A” (urutan ke-1 atas NPPBKC yang diterbitkan oleh KPPBC Tipe
Madya Cukai Malang)
 TPE MMEA PT. “B” (TPE lama) telah mempunyai NPPBKC dengan
nomor 0603.4.2. 0205 berada di wilayah pengawasan KPPBC Tipe
Madya Cukai Kudus. Sesuai ketentuan, maka NPPBKC wajib diperbaharui
oleh pemegang NPPBKC dengan mengajukan permohonan dan wajib
memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan sesuai PMK Nomor
201/PMK.04/2008. Setelah dilakukan proses penelitian administratif dan
pemeriksaan lokasi sesuai ketentuan yang berlaku kedapatan TPE
MMEA PT. “B” telah memenuhi persyaratan dan layak diberikan NPPBKC.
Berdasarkan catatan pada KPPBC Tipe Madya Cukai Kudus, diketahui
bahwa KPPBC Tipe Madya Cukai Kudus belum pernah menerbitkan
NPPBKC TPE MMEA. Maka terhadap TPE MMEA PT. “B” diberikan
NPPBKC dengan nomor 0603.4.2. 1001, artinya bahwa :
- Angka 0603 adalah kode Kantor penerbit NPPBKC untuk KPPBC
Tipe Madya Cukai Kudus
- Angka 4 adalah kode untuk TPE
- Angka 2 adalah kode untuk MMEA
- Angka 1001 adalah nomor urut yang diberikan untuk TPE MMEA
PT. “B”

hal | 30
Gambar 1.3
Contoh NPPBKC Hasil Tembakau

hal | 31
C. Pembekuan, Pencabutan, dan Perubahan NPPBKC

1. Pembekuan NPPBKC
Yang dimaksud dengan pembekuan izin adalah tidak diperbolehkannya
Pengusaha yang memiliki NPPBC untuk melakukan kegiatan usaha di bidang
cukai sampai dengan diterbitkannya keputusan pemberlakuan kembali atau
pencabutan izin, tanpa mengurangi kewajiban yang harus diselesaikan kepada
negara. Izin NPPBKC bagi Pengusaha BKC dapat dibekukan, dalam hal :

a) adanya bukti permulaan yang cukup bahwa pemegang izin NPPBKC


melakukan pelanggaran pidana di bidang cukai, antara lain :
- Laporan Kejadian
- Berita Acara Wawancara
- Laporan Hasil Penyelidikan
- Keterangan saksi ahli
- Barang bukti
Bukti permulaan yang cukup dalam pengertian disini adalah suatu kondisi
yang memungkinkan penyidik bea cukai untuk mulai melakukan kegiatan
penyidikan pidana cukai. Kegiatan penyidikan bea cukai diawali dengan
dikeluarkannya surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) kepada
penuntut umum.

b) adanya bukti yang cukup sehingga persyaratan perizinan tidak lagi dipenuhi,
yaitu :
- Pemegang izin NPPBKC tidak lagi mewakili kepentingan Badan Hukum
atau orang pribadi yang berkedudukan di luar Indonesia
- Persyaratan fisik lokasi bangunan atau tempat usaha tidak lagi dipenuhi
- Persyaratan administrasi pemberian izin NPPBKC tidak lagi dipenuhi
- Adanya kesamaan nama perusahaan dengan nama pabrik, importir,
penyalur, atau TPE lainnya yang telah mendapatkan NPPBKC
c) pemegang izin berada dalam pengawasan kurator sehubungan dengan
utangnya. Kondisi ini terjadi ketika perusahaan pemegang NPPBKC digugat

hal | 32
pailit namun belum mendapatkan keputusan Hakim yang bersifat tetap.
Selama belum ada keputusan yang bersifat final, maka status NPPBKC yang
bersangkutan hanya dibekukan saja.

2. Pencabutan NPPBKC
Pengertian pencabutan izin NPPBKC adalah bahwa Izin kegiatan di bidang
Cukai yang dimiliki Pengusaha BKC tidak lagi berlaku baik karena kemauan
sendiri ataupun dicabut oleh otoritas yang sah. Izin NPPBKC dapat dicabut,
dalam hal :
a) atas permohonan pemegang izin yang bersangkutan ;
b) tidak dilakukan kegiatan selama satu tahun ;
c) persyaratan perizinan tidak lagi dipenuhi ;
d) pemegang izin tidak lagi secara sah mewakili badan hukum atau orang
pribadi yang berkedudukan di luar Indonesia ;
e) pemegang izin dinyatakan pailit ;
f) tidak dipenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ;
g) pemegang izin dipidana berdasarkan keputusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap karena melanggar ketentuan undang-
undang cukai ;
h) pemegang izin melanggar ketentuan Pasal 30 ; atau
i) Izin NPPBKC dipindahtangankan, dikuasakan, dan/atau dikerjasamakan
dengan orang/pihak lain tanpa persetujuan Menteri.

Dalam hal izin NPPBKC dicabut maka terhadap BKC yang belum dilunasi
cukainya yang masih berada di dalam Pabrik atau Tempat Penyimpanan harus
dilunasi cukainya dan dikeluarkan dari Pabrik atau Tempat Penyimpanan dalam
waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya surat keputusan pencabutan izin.
Dalam hal ketentuan tersebut tidak dipenuhi, maka BKC yang bersangkutan
dimusnahkan atau diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan. BKC
yang telah dilunasi cukainya dan berada di tempat usaha importir, penyalur, dan
pengusaha tempat penjualan eceran, yang izinnya telah dicabut, harus
dipindahkan ke tempat usaha importir BKC, penyalur, atau pengusaha tempat
penjualan eceran lainnya atau dimusnahkan.

hal | 33
3. Perubahan NPPBKC

Perubahan nama perusahaan, kepemilikan perusahaan,


lokasi/bangunan/tempat usaha yang tercantum dalam NPPBKC, hanya dapat
dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Bea dan Cukai
atau Pejabat yang ditunjuknya atas nama Menteri Keuangan. Untuk hal tersebut,
Subyek pemegang NPPBKC yang akan melakukan perubahan nama
perusahaan, kepemilikan perusahaan, lokasi/bangunan Pabrik atau Tempat
Penyimpanan, harus mengajukan permohonan perubahan NPPBKC kepada
Menteri Keuangan c.q. Kepala Kantor Pelayanan dilampiri dengan bukti dokumen
perubahan terdiri dari :

a. Untuk perubahan nama Perusahaan :


1) akta notaris;
2) persetujuan akta perubahan anggaran dasar perusahaan dari instansi
yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum, khusus bagi
pengusaha yang berstatus badan hukum;
3) perubahan Izin Usaha Industri dari instansi yang tugas dan tanggung
jawabnya di bidang perindustrian dan/atau perdagangan;
4) perubahan Izin Usaha Perdagangan dari instansi yang tugas dan
tanggung jawabnya di bidang perindustrian dan/atau perdagangan; dan
5) perubahan Nomor Pokok Wajib Pajak.
b. Untuk perubahan kepemilikan Perusahaan :
1) akta notaris;
2) persetujuan akta perubahan anggaran dasar perusahaan dari instansi
yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum, khusus bagi
pengusaha yang berstatus badan hukum;
3) perubahan Izin Usaha Industri dari instansi yang tugas dan tanggung
jawabnya di bidang perindustrian dan/atau perdagangan; dan
4) perubahan Izin Usaha Perdagangan dari instansi yang tugas dan
tanggung jawabnya di bidang perindustrian dan/atau perdagangan.

c. Untuk perubahan lokasi/bangunan Pabrik atau Tempat Penyimpanan


1) Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari pemerintah daerah setempat;

hal | 34
2) Izin berdasarkan Undang-Undang Gangguan dari pernerintah daerah
setempat;
3) perubahan Izin Usaha Industri dari instansi yang tugas dan tanggung
jawabnya di bidang pcrindustrian dan/atau perdagangan;
4) perubahan Izin Usaha Perdagangan dari instansi yang tugas dan
tanggung jawabnya di bidang perindustrian dan/atau perdagangan; dan
5) perubahan Nomor Pokok Wajib Pajak.

Dalam hal permohonan diterima secara lengkap dan benar, Direktur


Jenderal Bea dan Cukai atau Pejabat yang ditunjuknya atas nama Menteri
Keuangan dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari sejak
permohonan diterima, menetapkan Keputusan Perubahan NPPBKC dengan
menggunakan format standar. Dalam hal permohonan diterima secara tidak
lengkap atau tidak benar, Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau Pejabat yang
ditunjuknya memberitahukan secara tertulis kepada pemohon untuk melengkapi
kekurangan persyaratan atau memperbaiki data permohonan dalam jangka
waktu paling lama 15 (lima belas) hari.

Apabila dalam jangka waktu tersebut, Pemohon tidak melengkapi


kekurangan persyaratan atau memperbaiki data permohonan, Direktur Jenderal
Bea dan Cukai atau Pejabat yang ditunjuknya mengeluarkan surat
pemberitahuan penolakan yang memuat alasan penolakan. Keputusan
perubahan NPPBKC atau surat pemberitahuan penolakan disampaikan kepada
pemilik NPPBKC bersangkutan dan salinannya disampaikan kepada Direktur
Cukai dan Kepala Kantor Wilayah.

hal | 35
RANGKUMAN :

1) Pemberian NPPBKC kepada para Pengusaha yang bergerak di bidang cukai


merupakan salah satu mekanisme pengawasan yang diterapkan oleh DJBC
dalam rangka untuk pengamanan penerimaan negara dan
pengendalian/pengawasan BKC
2) Subyek yang wajib memiliki NPPBKC adalah : Pengusaha Pabrik BKC,
Pengusaha tempat Penyimpanan etil alkohol, Penyalur MMEA dan etil alkohol,
Importir BKC, Pengusaha TPE MMEA dan Etil alkohol;

3) Pada prinsipnya izin NPPBKC dikeluarkan oleh Menteri Keuangan, namun


dalam praktek operasionanalnya izin tersebut didelegasikan kewenangannya
kepada Kepala Kantor Bea dan Cukai setempat;

4) Jangka waktu berlakunya izin NPPBKC adalah: khusus izin NPPBKC bagi
Pengusaha Pabrik Importir BKC adalah selama pengusaha yang bersangkutan
menjalankan kegiatan usahanya. Untuk izin NPPBKC bagi pengusaha tempat
penyimpanan, penyalur atau pengusaha Tempat penjualan Eceran adalah
selama lima tahun;

5) Izin NPPBKC dapat dibekukan dalam hal:


a) adanya bukti permulaan yang cukup bahwa pemegang izin NPPBKC
melakukan pelanggaran pidana di bidang cukai;
b) adanya bukti yang cukup sehingga persyaratan perizinan tidak lagi dipenuhi;
c) pemegang izin berada dalam pengawasan kurator sehubungan dengan
utangnya

6) Izin NPPBKC terhadap Pengusaha BKC dapat dicabut, dalam hal :


a) atas permohonan pemegang izin yang bersangkutan ;
b) tidak dilakukan kegiatan selama satu tahun ;
c) persyaratan perizinan tidak lagi dipenuhi ;
d) pemegang izin tidak lagi secara sah mewakili badan hukum atau orang
pribadi yang berkedudukan di luar Indonesia ;
e) pemegang izin dinyatakan pailit ;
f) tidak dipenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ;
g) pemegang izin dipidana berdasarkan keputusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap karena melanggar ketentuan UU Cukai
h) pemegang izin melanggar ketentuan Pasal 30;

hal | 36
Latihan
LATIHAN : :

Agar Anda dapat lebih memahami materi bahasan pada Bab 1, coba kerjakan
latihan-latihan berikut ini.
1) Jelaskan siapa saja yang wajib memiliki izin NPPBKC dan juga yang
dikecualikan untuk memiliki izin NPPBKC ?
2) Jelaskan persyaratan fisik minimal yang berkaitan dengan luas lokasi
tempat usaha yang harus dimiliki oleh pengusaha dalam melakukan
kegiatan di bidang cukai ?
3) Jelaskan mekanisme pemberian izin NPPBKC ?
4) Jelaskan pengertian pembekuan dan pencabutan NPPBKC ?
5) Jelaskan mekanisme perubahan NPPBKC ?

hal | 37
BAB

2
TATACARA PENETAPAN TARIF CUKAI
PENYEDIAAN DAN PEMESANAN PITA
CUKAI

Tujuan Pembelajaran Khusus :


Setelah mengikuti pembelajaran ini Mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan
tatacara penetapan tarif dan harga dasar BKC, penyediaan dan pemesanan pita cukai

A. Tarif Cukai dan Harga Dasar BKC

1. Tarif Cukai

Pada Bab 2 ini kita akan mendalami materi


bahasan mengenai tata cara penetapan tarif dan
harga dasar BKC, penyediaan dan pemesanan pita
cukai. Sebelum kita masuk pada pembahasan
mengenai hal tersebut, ada baiknya kami mereview
kembali pengetahuan mengenai konsep tarif cukai
sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang
Cukai. Pemahaman yang tepat mengenai konsep tarif cukai, akan memudahkan
anda dalam melaksanakan tugas-tugas yang berkaitan dengan penetapan tarif
cukai di tempat kerja masing-masing.

Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam pasal 5 Undang-undang Cukai


diatur mengenai tarif cukai sebagai berikut :
1) BKC berupa hasil tembakau, dikenakan cukai berdasarkan tarif paling tinggi
a) Untuk yang dibuat di Indonesia :
– 275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila
harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik(HJP) ; atau

hal | 38
– 57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar
yang digunakan adalah Harga Jual Eceran (HJE).
b) Untuk yang diimpor :
– 275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila
harga dasar yang digunakan adalah nilai pabean ditambah bea
masuk ; atau
– 57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar
yang digunakan adalah HJE.
2) BKC lainnya dikenakan cukai berdasarkan tarif paling tinggi :
a) Untuk yang dibuat di Indonesia :
– 1.150% (seribu seratus lima puluh persen) dari harga dasar apabila
harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik ; atau
– 80% (delapan puluh persen) dari harga dasar apabila harga dasar
yang digunakan adalah HJE.
b) Untuk yang diimpor :
– 1.150% (seribu seratus lima puluh persen) dari harga dasar apabila
harga dasar yang digunakan adalah nilai pabean ditambah bea
masuk ; atau
– 80% (delapan puluh persen) dari harga dasar apabila harga dasar
yang digunakan adalah HJE.
Ketentuan pasal 5 Undang-undang Cukai tersebut sekaligus memberikan
pedoman mengenai sistem tarif cukai yang dapat diberlakukan terhadap BKC
Undang-undang cukai memberikan keleluasaan bagi pemerintah untuk
menerapkan alternatif sistem tarif cukai sebagai berikut :

a. Tarif cukai advalorum atau persentase

Dalam sistem tarif advalorum, pungutan cukai dihitung berdasarkan


besaran persentase tertentu yang dikalikan dengan harga dasar tertentu .

Cukai = Tarif % x Harga Dasar

hal | 39
Keuntungan dalam sistem tarif advalorum adalah mudah dalam mengikuti
perkembangan harga pasar. Hal ini karena komponen tarif cukai bersifat variabel
terhadap harga jual BKC. Sebagai contoh, apabila pengusaha dikenakan tarif
cukai advalorum sebesar 30% dari HJE (misal Rp. 10.000,-) maka pungutan
cukai akan mudah ditentukan yaitu sebesar Rp.3.000,-.

Ketika kebijakan HJE dinaikkan oleh Pemerintah menjadi sebesar Rp.


12.000,- maka dengan sendirinya beban cukai dapat diestimasikan meningkat
secara variabel menjadi Rp. 3.600,-. Dari sisi pemahaman maupun cara
perhitungan cukainya, maka sistem tarif cukai advalorum juga lebih simpel dan
mudah.

Kerugian atau lebih tepatnya kesulitan yang dihadapi pemerintah terhadap


penerapan sistem tarif cukai advalorum adalah dalam hal pengawasan di
lapangan. Penjelasannya adalah sebagai berikut :
- Dengan penerapan sistem tarif cukai advalorum, kebijakan pemerintah
cenderung menggunakan instrumen HJE sebagai cara untuk meningkatkan
penerimaan cukai setiap tahunnya atau untuk maksud pembatasan-
pembatasan tertentu.
- Kenyataan riil yang ada di pasar menunjukkan bahwa HJE yang ditetapkan
pemerintah (official price) selalu lebih tinggi dibandingkan dengan harga
transaksi di tingkat konsumen (demand price). Hal ini terjadi karena adanya
mekanisme pasar yang terbentuk terhadap konsumsi BKC tersebut.
- Adanya disparitas harga yang cukup tinggi antara HJE penetapan
pemerintah (official price) dengan harga transaksi pasar (demand price)
membuat produsen rokok membayar cukai lebih besar dari yang
seharusnya. Dampaknya adalah timbulnya upaya-upaya penghindaran cukai
dalam berbagai bentuk, antara lain: penggunaan pita cukai palsu, rokok
tanpa pita cukai (rokok polos), penggunaan pita cukai yang bukan haknya,
dan lain sebagainya. Pemerintah khususnya DJBC dengan jumlah sumber
daya yang terbatas akan kesulitan leakukan pengawasan terhadap
peredaran rokok-rokok ilegal di seluruh Indonesia.

hal | 40
b. Tarif Cukai Spesifik

Dalam sistem tarif cukai spesifik, pungutan cukai dihitung dengan cara
mengalikan antara Tarif cukai dalam satuan Rupiah dengan jumlah satuan
spesifik tertentu, misalnya : jumlah dalam liter, jumlah dalam batang, dan
sebagainya.

Cukai = Tarif Rp x Jumlah Satuan Spesifik (liter atau batang)

Sistem tarif cukai spesifik sudah lebih dahulu diterapkan terhadap BKC
berupa etil alkohol dan MMEA sejak awal pemberlakukan Undang-undang
Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, dan bahkan sejak masa penerapan
Ordonansi Cukai Bir dan Cukai Alkohol Sulingan. Sejak penerapan Peraturan
Menteri Keuangan nomor 203/PMK.04/2008 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau
pada tanggal 1 Februari 2009, pemungutan cukai hasil tembakau secara resmi
menggunakan sistem tarif spesifik.

Keuntungan dan kerugian sistem tarif spesifik ini merupakan kebalikan dari
sistem tarif advalorum. Dari sisi keuntungan, sistem tarif spesifik relatif akan
memudahkan aparatur DJBC dalam pengawasan terhadap peredaran BKC di
pasaran. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa sistem tarif advalorum cenderung
membuat disparitas harga jual BKC menjadi semakin besar. Hal ini tidak terjadi
pada sistem tarif spesifik, oleh karena kebijakan kenaikan cukai cenderung
menggunakan instrumen tarif. Komponen harga tidak lagi bersifat variabel
terhadap pungutan cukai. Diharapkan dengan pemberlakukan sistem tarif
spesifik akan mengurangi disparitas harga antara official price dengan demand
price.

Kerugian yang dihadapi dalam penerapan sistem tarif spesifik lebih kepada
sifat tarif spesifik yang tidak dapat mengikuti perkembangan harga pasar.
Ekstremnya dapat dikatakan bahwa berapapun peningkatan harga yang terjadi di

hal | 41
pasar tidak akan mempengaruhi besarnya pungutan cukai. Hal inilah yang terjadi
pada BKC berupa etil alkohol dan MMEA. Khusus untuk Hasil Tembakau
pemerintah pada dasarnya tidak menerapkan sistem tarif spesifik murni, karena
masih menggunakan variabel lain yaitu: batasan golongan berdasarkan jumlah
produksi dan batasan HJE dalam strata tertentu. Kita akan membahas lebih
lanjut hal ini pada bagian berikutnya.

c. Tarif Cukai Gabungan

Ketentuan Pasal 5 Undang-undang Cukai membolehkan Pemerintah untuk


mengubah tarif advalorum atau tarif spesifik menjadi tarif gabungan. Kita tidak
akan membahas kerugian atau kelebihan sistem tarif gabungan ini, karena pada
prakteknya sistem tarif gabungan bukanlah suatu pilihan tarif yang permanen.
Sistem tarif gabungan biasanya hanya digunakan pada masa transisi ketika
pemerintah hendak mengalihkan suatu sistem tarif advalorum menjadi sistem
tarif spesifik atau sebaliknya. Tujuannya adalah agar tidak menimbulkan gejolak
berlebihan dan sekaligus sebagai transisi terhadap proses pengalihan tarif baru.

Cukai = (Tarif % x Harga Dasar) + (Tarif Rp x Jumlah Satuan tertentu)

2. Harga Dasar BKC

Istilah harga dasar dalam konsep pemungutan cukai muncul bersama-sama


dengan ketentuan tarif cukai dalam Pasal 5 Undang-undang Cukai. Selanjutnya
di dalam pasal 6 Undang-undang Cukai, ketentuan mengenai harga dasar
dipertegas kembali sebagaimana bunyi pasal berikut :

a) Harga dasar yang digunakan untuk perhitungan cukai atas BKC yang dibuat
di Indonesia adalah harga jual pabrik atau HJE.
b) Harga dasar yang digunakan untuk perhitungan cukai atas BKC yang
diimpor adalah nilai pabean ditambah bea masuk atau HJE.

hal | 42
Berdasarkan ketentuan pasal 5 dan pasal 6 Undang-undang Cukai dapat
disimpulkan bahwa harga dasar yang dapat digunakan dalam rangka
penghitungan sistem tarif cukai advalorum adalah :

a. HJE

Pengertiannya adalah harga yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagai


dasar penghitungan besarnya tarif cukai. Oleh karena penetapan HJE Hasil
tembakau dilakukan oleh Pemerintah, maka Mark (2003) mengistilahkan HJE
tersebut sebagai official price. Akan tetapi ketika Dalam konteks sistem
pemungutan cukai MMEA istilah HJE cenderung lebih mengarah kepada Harga
Pemberitahuan.

b. Harga Jual Pabrik

Pengertiannya adalah harga penyerahan pabrik kepada penyalur atau


konsumen yang didalamnya belum termasuk cukai. Bila kita meninjau definisi
yang diberikan dalam penjelasan pasal 6 ayat (1) Undang-undang Cukai dapat
disebutkan bahwa istilah harga jual pabrik similar dengan istilah harga pokok
penjualan (HPP). Dalam konsep akuntansi, harga pokok penjualan adalah
seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh barang yang dijual atau harga
perolehan dari barang yang dijual. Ada dua manfaat dari HPP, yaitu:
a) sebagai patokan untuk menentukan harga jual, dan
b) untuk mengetahui laba yang diinginkan perusahaan.

Untuk lebih jelasnya, anda dapat membandingkan komponen harga jual


pabrik dan HJE dalam dokumen CK-21A berikut ini. Dokumen CK-21A
merupakan dokumen mengenai kalkulasi HJE yang wajib diberitahukan oleh
Pengusaha Hasil Tembakau pada saat mengajukan permohonan penetapan tarif
dan HJE hasil tembakau atas merek-merek baru yang akan dipasarkan.

hal | 43
Gambar 2.1
Kalkulasi HJE Hasil Tembakau

Poin 1 sampai dengan poin ke-17 merupakan perhitungan untuk memperoleh


harga jual pabrik, sedangkan komponen untuk menghitung HJE, masih harus
ditambah dengan poin ke-18 sampai ke-22.

hal | 44
c. Nilai Pabean + Bea Masuk

Harga dasar yang dapat digunakan Pemerintah sebagai patokan dalam


rangka penghitungan tarif cukai khususnya tarif cukai atas BKC yang diimpor
adalah nilai pabean + Bea Masuk. Istilah nilai pabean dan bea masuk adalah
istilah yang diatur di dalam Undang-undang Kepabeanan. Sebagai tambahan
penjelasan, untuk penentuan harga dasar dalam penghitungan nilai cukai atas
BKC yang diimpor maka Pemerintah lebih memilih untuk menggunakan patokan
harga dasar berupa HJE yang ditetapkan oleh pemerintah.

B. Tatacara Penetapan Tarif Cukai Hasil tembakau

Untuk menindaklanjuti ketentuan mengenai tarif cukai sebagaimana diatur


di dalam Pasal 5 ayat (5) Undang-undang Cukai, pemerintah mengeluarkan
peraturan operasional dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan1. Untuk saat
ini (Nopember 2010), Peraturan Menteri Keuangan yang paling update yang
mengatur mengenai tatacara penetapan tarif cukai hasil tembakau adalah
Peraturan menteri Keuangan nomor 179/PMK.011/2012 tentang Tarif Cukai Hasil
Tembakau. Kebijakan pemerintah yang mengalihkan sistem tarif cukai advalorum
menjadi sistem tarif cukai spesifik membuat fokus kebijakan pemerintah lebih
mengarah kepada pengaturan terhadap besaran tarif cukai dibandingkan dengan
HJE.

Dalam sistem penetapan tarif cukai spesifik pada BKC hasil tembakau,
pada dasarnya pemerintah tidak menetapkan sistem tarif spesifik murni
sebagaimana halnya pada etil alkohol maupun MMEA. Untuk sistem tarif cukai
hasil tembakau setidaknya ada empat besaran pokok yang mempengaruhi nilai
cukai hasil tembakau, yaitu :
1) Jenis hasil tembakau;
2) Golongan Produsen yang ditentukan berdasarkan jumlah produksi hasil
tembakau selama satu tahun takwim;
3) Batasan HJE, artinya adalah batas HJE minimum yang boleh diajukan
Pengusaha dalam rangka penetapan Tarif cukai; dan

hal | 45
4) Tarif cukai spesifik dalam nilai satuan Rupiah .

1. Jenis Hasil Tembakau

Kebijakan pemerintah yang mengakomodasikan berbagai jenis hasil


tembakau yang ada di pasaran ke dalam struktur tarif cukai yang berbeda-beda
membuat sistem pemungutan cukai hasil tembakau di Indonesia agak sedikit
komplek dan rumit. Kebijakan penjenisan hasil tembakau ini sudah ada sejak
pemberlakuan Ordonansi Cukai Hasil Tembakau oleh Pemerintah Kolonial
Belanda berdasarkan Tabsacccijns Ordonnantie, Stbl. 1932 Nomor 517.

Kategori hasil tembakau yang diakomodasikan dalam PMK nomor


179/PMK.011/2012 terdiri atas 9 jenis produk. Masing-masing jenis hasil
tembakau tersebut memiliki struktur tarif cukai yang berbeda-beda. Penjelasan
terhadap jenis hasil tembakau dapat kami sampaikan sebagai berikut:

a) Sigaret Kretek Mesin (SKM); adalah sigaret yang dalam pembuatannya


dicampur dengan cengkih, atau bagiannya, baik
asli maupun tiruan tanpa memperhatikan
jumlahnya yang dalam pembuatannya mulai dari
pelintingan, pemasangan filter, pengemasannya
dalam kemasan untuk penjualan eceran, sampai
dengan pelekatan pita cukai, seluruhnya, atau
sebagian menggunakan mesin.

b) Sigaret Putih Mesin (SPM), adalah sigaret yang dalam pembuatannya


tanpa dicampuri dengan cengkih, kelembak, atau
kemenyan yang dalam pembuatannya mulai dari
pelintingan, pemasangan filter, pengemasannya
dalam kemasan untuk penjualan eceran, sampai
dengan pelekatan pita cukai, seluruhnya, atau
sebagian menggunakan mesin.

hal | 46
c) Sigaret Kretek Tangan (SKT) adalah sigaret yang dalam pembuatannya
dicampur dengan cengkih, atau bagiannya, baik asli maupun tiruan tanpa
memperhatikan jumlahnya yang dalam proses pembuatannya mulai dari
pelintingan, pengemasan dalam kemasan untuk penjualan eceran, sampai
dengan pelekatan pita cukai, tanpa menggunakan mesin.

d) Sigaret Putih Tangan (SPT) adalah sigaret yang dalam pembuatannya


tanpa dicampuri dengan cengkih, kelembak, atau kemenyan yang dalam
proses pembuatannya mulai dari pelintingan, pemasangan filter,
pengemasan dalam kemasan untuk penjualan eceran, sampai dengan
pelekatan pita cukai, tanpa menggunakan mesin.

e) Sigaret Kretek Tangan Filter (SKTF); adalah sigaret yang dalam


pembuatannya dicampur dengan cengkih, atau bagiannya, baik asli maupun
tiruan tanpa memperhatikan jumlahnya yang dalam proses pembuatannya
mulai dari pelintingan, pemasangan filter, pengemasan dalam kemasan
untuk penjualan eceran, sampai dengan pelekatan pita cukai, tanpa
menggunakan mesin.

f) Sigaret Putih Tangan Filter (SPTF); adalah sigaret yang dalam


pembuatannya tanpa dicampuri dengan cengkih, kelembak atau kemenyan
yang dalam proses pembuatannya mulai dari pelintingan, pemasangan filter,
pengemasan dalam kemasan untuk penjualan eceran, sampai dengan
pelekatan pita cukai, tanpa menggunakan mesin.

g) Sigaret Kelembak Kemenyan (KLM) adalah sigaret yang


dalam pembuatannya dicampur dengan kelembak dan/atau
kemenyan asli maupun tiruan tanpa memperhatikan
jumlahnya.
h) Cerutu (CRT); adalah hasil tembakau yang
dibuat dari lembaran-lembaran daun tembakau
diiris atau tidak, dengan cara digulung demikian
rupa dengan daun tembakau untuk dipakai, tanpa
mengindahkan bahan pengganti atau bahan

hal | 47
pembantu yang digunakan dalam pembuatannya.

i) Rokok Daun atau Klobot (KLB); adalah hasil tembakau yang dibuat
dengan daun nipah, daun jagung (klobot), atau sejenisnya, dengan cara
dilinting, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan
pembantu yang digunakan dalam pembuatannya.

j) Tembakau Iris (TIS); adalah hasil tembakau yang dibuat dari daun
tembakau yang dirajang, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan
pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya.

k) Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL); adalah hasil tembakau


yang dibuat dari daun tembakau selain yang disebut dalam angka 1 sampai
dengan angka 8 yang dibuat secara lain sesuai dengan perkembangan
teknologi dan selera konsumen, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau
bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya.

2. Golongan Pengusaha Pabrik Hasil Tembakau

Dalam struktur tarif cukai hasil tembakau, golongan pengusaha pabrik


merupakan salah satu variabel yang menentukan besarnya nilai cukai.
Penggolongan pabrikan hasil tembakau dikelompokkan berdasarkan masing-
masing jenis dan jumlah produksi hasil tembakau untuk setiap satu tahun
takwim. Pengertiannya adalah apabila seorang Pengusaha memproduksi dua
jenis hasil tembakau (misal: SKM dan SPM), maka kemungkinan Pabrikan
tersebut untuk menempati golongan yang berbeda, dapat saja terjadi ( Jenis
SKM sebagai Golongan I dan jenis SPM sebagai Golongan II).

Secara umum penggolongan hanya dibedakan berdasarkan dua kelompok


saja yaitu Golongan I dan Golongan II, namun khusus untuk jenis SKT/SPT
penggolongan dibedakan menjadi tiga golongan. Untuk jenis SKT, kebijakan
yang diambil pemerintah adalah tetap memberikan insentif terhadap sektor
industri yang padat karya (labour intensive), walaupun secara gradual
Pemerintah mulai melaksanakan kebijakan yang mengarah kepada pengurangan
jumlah konsumsi hasil tembakau. Kebijakan tersebut tertuang di dalam Roadmap

hal | 48
Kebijakan Industri Hasil Tembakau. Penggolongan pengusaha pabrik hasil
tembakau dapat anda lihat pada tabel 2.1 berikut.

Tabel 2.1
Penggolongan dan Batasan Produksi Hasil Tembakau

No. JENIS GOLONGAN BATASAN PRODUKSI


URUT HASIL TEMBAKAU PENGUSAHA (per tahun takwin)
PABRIK
1. SKM I Lebih dari 2 milyar batang
II Tidak Lebih dari 2 milyar batang
2. SPM I Lebih dari 2 milyar batang
II Tidak Lebih dari 2 milyar batang
3. SKT atau SPT I Lebih dari 2 milyar batang
II Lebih dari 400 jt batang, tetapi
tidak lebih dari 2 milyar batang
III Tidak lebih dari 400 jt batang
4. SKTF atau SPTF I Lebih dari 2 milyar batang
II Tidak Lebih dari 2 milyar batang
5. TIS Tanpa Gol. Tanpa Batasan Jumlah Produksi
6. KLM atau KLB Tanpa Gol. Tanpa Batasan Jumlah Produksi
7. CRT Tanpa Gol. Tanpa Batasan Jumlah Produksi
8. HPTL Tanpa Gol. Tanpa Batasan Jumlah Produksi

Sumber : PMK Nomor 179/PMK.011/2012

Apabila jumlah produksi suatu pabrikan hasil tembakau telah melampaui


batasan jumlah produksi untuk golongan diatasnya, maka pengusaha yang
bersangkutan wajib mengajukan penyesuian kenaikan golongan. Pengajuan ini
tetap harus dilakukan oleh yang bersangkutan meskipun belum genap satu tahun
takwim atau masih dalam periode satu tahun takwim berjalan. Penyesuaian tarif
cukai atas kenaikan golongan ini akan mulai berlaku setelah 6 (enam) bulan

hal | 49
sejak tanggal keputusan mengenai penyesuaian golongan Pengusaha Pabrik
hasil tembakau, dan tidak melebihi tahun takwim berjalan.

Contoh :
1) Pabrik “A”, produksi pabrik berdasarkan dokumen pemesanan pita cukai
(CK-1) telah melampaui Batasan Jumlah Produksi Pabrik yang bersangkutan
pada tanggal 25 April 2012, maka kepala Kantor:
 menetapkan Keputusan Penyesuaian Golongan Pengusaha Pabrik hasil
tembakau pada tanggal 25 April 2012 dan keputusan ini mulai berlaku
pada tanggal 25 April 2012; dan
 menetapkan Keputusan Penyesuaian Tarif Cukai Hasil Tembakau pada
tanggal 25 April 2012 dan keputusan ini mulai diberlakukan mulai tanggal
25 Oktober 2012.

2) Pabrik “B”, produksi pabrik berdasarkan dokumen pemesanan pita cukai


(CK-1) melampaui Batasan Jumlah Produksi Pabrik yang bersangkutan pada
tanggal 25 September 2012, maka kepala Kantor:
 menetapkan Keputusan Penyesuaian Golongan Pengusaha Pabrik hasil
tembakau pada tanggal 25 September 2012 dan keputusan ini mulai
berlaku pada tanggal 25 September 2012; dan
 menetapkan Keputusan Penyesuaian Tarif Cukai Hasil Tembakau pada
tanggal 25 September 2012 dan keputusan ini mulai diberlakukan mulai
tanggal 31 Desember 2012.

Dalam hal hasil produksi selama satu tahun takwim ternyata kurang dari
batasan jumlah produksi pabrik yang berlaku bagi golongan yang telah
ditetapkan, maka Pengusaha Pabrik hasil tembakau yang bersangkutan dapat
mengajukan permohonan untuk penurunan golongan. Permohonan penurunan
golongan diajukan paling lambat pada bulan Januari tahun takwim berikutnya
sebelum dokumen pemesanan pita cukai pertama kali diakjukan. Atas
permohonan tersebut, Kepala kantor wajib menetapkan keputusan menerima
atau menolak permohonan dalam jangka waktu maksimal 10 (sepuluh) hari
terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap dan benar. Keputusan

hal | 50
untuk menerima permohonan penurunan golongan hanya diberikan untuk satu
tingkat lebih rendah dari golongan pengusaha pabrik sebelumnya.

3. Batasan HJE

Meskipun tidak lagi menjadi fokus utama kebijakan di bidang cukai hasil
tembakau, instrumen HJE tetap menjadi salah komponen yang cukup
menentukan dalam pengambilan kebijakan mengenai tarif cukai hasil tembakau.
Batasan HJE minimal yang boleh diajukan oleh setiap pengajuan penetapan tarif
cukai hasil tembakau tetap harus memenuhi batasan HJE yang ditetapkan oleh
Pemerintah sebagaimana yang tercantum dalam lampiran I PMK Nomor
179/PMK.011/2012 (lihat Tabel 2.2)

Untuk penetapan tarif cukai atas pengajuan merek-merek baru produk hasil
tembakau maupun untuk penetapan kembali atas merek yang sudah ada
sebelumnya, maka penentuan batasan HJE yang bersangkutan harus mengacu
kepada :
1) HJE yang tercantum dalam penetapan tarif cukai yang masih berlaku
berdasarkan struktur tarif yang lama ;
2) HJE yang diberitahukan oleh Pengusaha Pabrik Hasil Tembakau, khusus
untuk pengajuan merek baru
3) HJE yang telah mengalami kenaikan
HJE yang menjadi dasar acuan sebagaimana tersebut diatas, harus dalam
kelipatan Rp. 25,00 .

HJE per batang atau gram untuk setiap jenis hasil tembakau untuk tujuan
ekspor harus ditetapkan sama dengan HJE per batang atau gram untuk setiap
jenis hasil tembakau dari jenis dan merek hasil tembakau yang sama yang
ditujukan untuk pemasaran di dalam negeri. Penetapan HJE atas produk hasil
tembakau yang diekspor tetap diperlukan untuk pencatatan administrasi,
meskipun untuk produk hasil tembakau yang diekspor tidak perlu dilekati dengan
pita cukai dan juga mendapat fasilitas tidak dipungut cukai .

Pengusaha pabrik atau importir hasil tembakau tidak dapat menurunkan


HJE yang masih berlaku atas merek hasil tembaklau yang dimilikinya. Ketentuan

hal | 51
mengenai HJE atas merek-merek baru yang boleh diajukan oleh Pengusaha
Pabrik atau Importir adalah tidak boleh lebih rendah dari HJE yang masih
berlaku atas merek hasil tembakau yang dimilikinya dalam satuan batang atau
gram untuk jenis hasil tembakau yang sama. Pengertian ini dapat kami
perjelas dengan contoh-contoh kasus sebagai berikut :

1) Pabrik “PR GG” merupakan pabrik yang sudah lama berdiri, termasuk
Pengusaha Pabrik jenis SKM golongan I, mengajukan penetapan tarif
cukai atas merek ”C” dengan HJE diberitahukan adalah Rp 8.050 isi 12
batang. Untuk pengajuan tersebut yang bersangkutan melampirkan merek-
merek lama yang masih berlaku yang dimilikinya, sebagai berikut :
- Merek A, SKM, isi @ 16 batang HJE Rp. 10.650,- tarif Rp.325,-
- Merek B, SKM, isi @ 20 batang, HJE Rp. 13.375,- tarif Rp.325,-
Pertanyaannya tentu saja adalah, apakah pengajuan terhadap “merk C”
dapat diterima oleh KPPBC setempat. Untuk menentukan hal ini, kita harus
meneliti terlebih dahulu HJE yang diajukan.
- HJE sebesar Rp. 8.050,- bila dibagi 12 batang hasilnya adalah Rp.
670,83
- Untuk HJE atas merek “A” : Rp.10.650,- dibagi 16 hasilnya adalah Rp.
665,63
- Untuk HJE atas merek “B” : Rp. 13.375,- dibagi 20 hasilnya adalah
Rp. 668,75
Oleh karena HJE atas merek C telah melebihi batas minimal HJE terendah
yang dimilikinya (merek A), maka pengajuan HJE atas merek C dapat
disetujui oleh KPPBC setempat. Selanjutnya perhitungan penetapan tarif
cukai atas merek C dapat merujuk pada ketentuan Lampiran I PMK nomor
190/PMK.011/2010, yaitu berada dalam batasan HJE per batang atau gram
golongan I layer 1 dengan rentang HJE lebih dari Rp 660 per batang, maka
penetapan tarif cukainya adalah Rp 325 per batang.

2) Pabrik “XYZ” merupakan pabrik yang sudah lama berdiri, termasuk


Pengusaha Pabrik jenis SPM golongan II, mengajukan penetapan tarif
cukai atas merek ”C” dengan HJE diberitahukan adalah Rp 6.000 isi 20

hal | 52
batang. Untuk pengajuan tersebut yang bersangkutan melampirkan merek-
merek lama yang masih berlaku yang dimilikinya, sebagai berikut :
- Merek A, SPM, isi @ 20 batang HJE Rp. 6.025,- tarif Rp.215,-
- Merek B, SPM, isi @ 20 batang, HJE Rp. 6.200,- tarif Rp.215,-
Apakah pengajuan terhadap “merk C” dapat diterima oleh KPPBC setempat?

Untuk menentukan hal ini, kita harus meneliti terlebih dahulu HJE yang
diajukan.
- HJE Merek C sebesar Rp. 6.000,- bila dibagi dengan isi 20 batang
hasilnya adalah Rp. 300,00
- Untuk HJE atas merek “A” : Rp.6.025,- dibagi 20 hasilnya adalah Rp.
301,25
- Untuk HJE atas merek “B” : Rp. 6.200,- dibagi 20 hasilnya adalah Rp.
310,00
Oleh karena HJE atas merek C masih dibawah batas minimal HJE terendah
yang dimilikinya (merek A), maka pengajuan HJE atas merek C harus
ditolak oleh KPPBC setempat. HJE minimal yang boleh diajukan atas merek
C adalah Rp. 6.025,- dengan penetapan tarif cukai Rp. 215 per batang.

4. Struktur Tarif Cukai Hasil Tembakau

Instrumen terakhir yang paling menentukan besarnya nilai cukai adalah


instrumen tarif spesifik itu sendiri. Dengan penerapan sistem tarif spesifik, maka
kebijakan pemerintah akan lebih dikonsentrasikan pada penentuan besaran tarif
cukai hasil tembakau yang ideal. Pengertian ideal disini adalah pemerintah harus
mengharmonisasikan berbagai kepentingan yang berkaitan dengan kebijakan
cukai hasil tembakau, antara lain: kepentingan penerimaan negara, kebijakan
pembatasan konsumsi, insentif terhadap industri hasil tembakau yang
berorientasi labor intensive, dan lain-lain. Hal inilah yang membuat struktur tarif
cukai hasil tembakau menjadi tidak sederhana dan bersifat komplek.

Struktur tarif cukai hasil tembakau hasil produksi dalam negeri dapat anda
lihat pada tabel 2.2. Struktur tarif cukai tersebut dikutip dari PMK nomor

hal | 53
179/PMK.011/2012. Adapun penetapan tarif cukai hasil tembakau oleh
pengusaha, harus memperhatikan komponen sebagai berikut :
1) Jenis hasil tembakau;
2) Golongan pengusaha Pabrik;
3) Batasan HJE per batang atau gram.

Tarif cukai hasil tembakau untuk masing-masing Pengusaha Pabrik atau


Importir ditetapkan oleh kepala Kantor dengan menerbitkan keputusan mengenai
tarif cukai hasil tembakau. Tarif cukai hasil tembakau ditetapkan dengan
menggunakan jumlah dalam rupiah untuk setiap satuan batang atau gram hasil
tembakau. Mekanisme pengajuan penetapan tarif cukai dapat kami jelaskan
dalam gambar 2.2 berikut.

Gambar 2.2
Alur Proses Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau
atas Merek-Merek Baru

hal | 54
Penjelasan :
1) Pengusaha BKC sebelum memasarkan hasil produksinya ke pasar, baik
pasar dalam negeri maupun pasar internasional (ekspor), wajib terlebih
dahulu mengajukan permohonan kepada Kepala KPPBC setempat untuk
penetapan HJE dan tarif cukai atas produk hasil tembakau tersebut;
2) Disamping surat permohonan maka lampiran yang harus diikutsertakan
dalam proses pengajuan penetapan tarif cukai hasil tembakau tersebut
antara lain adalah: contoh etiket atau kemasan, daftar merek-merek hasil
tembakau yang dimiliki dan masih berlaku (jika ada), dan surat pernyataan
diatas materei bahwa merek atau desain kemasan yang dimohonkan tidak
memiliki kesamaan pada pokoknya atau pada keseluruhannya dengan
merek atau desain yang telah dimiliki atau dipergunakan oleh pabrik atau
importir lainnya.
3) KPPBC akan melakukan penelitian terhadap permohonan yang diajukan
dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh ) hari sejak tanggal
permohonan diterima secara lengkap. Fokus penelitian yang dilakukan
pihak KPPBC antara lain adalah: persyaratan administrasi, Batasan minimal
HJE yang boleh diajukan, dan penetapan tarif sesuai struktur tarif dalam
PMK nomor 179/PMK.011/2012
4) Dalam hal berdasarkan penelitian oleh Kepala Kantor
a) permohonan disetujui atau dikabulkan, kepala Kantor menerbitkan
keputusan penetapan tarif cukai hasil tembakau;
b) permohonan ditolak, kepala Kantor menerbitkan surat penolakan dengan
disertai alasan penolakan.
Dalam hal batas waktu maksimal telah dilewati, namun keputusan belum
juga dikeluarkan oleh KPPBC, maka pengajuan penetapan tarif cukai hasil
tembakau tersebut dianggap disetujui
5) Dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal
penetapan, Kepala Kantor wajib mengirimkan lembar tembusan keputusan
penetapan hasil tembakau disertai berkas lampiran kepada Kepala Kantor
Wilayah dan Direktur Cukai.

hal | 55
Keputusan tentang Penetapan HJE yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor
Bea dan Cukai dinyatakan tidak berlaku, apabila selama lebih dari enam bulan
berturut-turut Pengusaha Pabrik atau Importir yang bersangkutan :
1) tidak pernah merealisasikan pemesanan pita cukainya dengan
menggunakan dokumen pemesanan pita cukai; atau
2) tidak pernah merealisasikan ekspor hasil tembakaunya dengan
menggunakan Dokumen pemberitahuan pengeluaran BKC yang belum
dilunasinya dari pabrik hasil tembakau untuk tujuan ekspor
Untuk dapat menggunakan kembali HJE atas merek hasil tembakau yang
dinyatakan tidak berlaku, Pengusaha Pabrik atau Importir harus mengajukan
kembali Permohonan Penetapan HJE sesuai dengan ketentuan dan prosedur
yang berlaku. Dalam hal penetapan kembali, maka tarif cukai atas merek
tersebut tidak boleh lebih rendah dari yang pernah berlaku dan HJE-nya minimal
sama dengan HJE yang pernah berlaku.

Dalam rangka kegiatan pengawasan terhadap peredaran BKC hasil


tembakau si pasaran, maka unit-unit Pengawasan yang ada di Kantor-kantor Bea
dan Cukai wajib melakukan kegiatan pemantauan terutama terhadap harga
transaksi pasar. Apabila dalam kegiatan pemantauan ditemukan disparitas harga
yang sudah cukup besar antara HJE penetapan pemerintah dengan harga
transaksi pasar, maka harus diambil tindakan-tindakan sebagai berikut :

1) Dalam hal harga transaksi pasar atas suatu merek hasil tembakau telah
melampaui batasan HJE per batang atau gram diatasnya, maka pengusaha
pabrik atau importir wajib mengajukan penyesuaian tarif cukai. Contoh :
 Merek A, SKM, Gol.I, isi @ 16 batang, HJE penetapan adalah Rp.
10.650,- dengan tarif cukai Rp. 355 per batang. Pemantauan HJE oleh
pejabat bea dan cukai dalam suatu wilayah dan dalam periode
pemantauan tertentu menunjukkan bahwa harga transaksi pasar untuk
merek A tersebut sudah mencapai Rp. 10.750,-.
 Dalam kondisi perbedaan harga ini Direktur Cukai atas nama Direktur
Jenderal akan segera memberitahukan kepada Pengusaha yang
bersangkutan untuk segera mengajukan penyesuaian tarif cukai. Hal ini
dikarenakan HJE merek A sebesar Rp. 10.650,- per kemasan atau Rp.

hal | 56
665,63 per batang telah melampaui batasan layer ke-2 Golongan I untuk
produk SKM. Atas merek A tersebut wajib disesuaikan tarif cukai dan HJE
nya menjadi Rp. 10.750, - (layer 1) dengan tarif cukai spesifik sebesar Rp.
375,- per batang.

2) Dalam hal harga transaksi pasar atas suatu merek yang penetapan tarif
cukainya berada pada posisi batasan HJE per batang atau gram tertinggi
(layer 1) untuk masing-masing golongan pengusaha pabrik hasil tembakau,
dan telah melampaui 5% (lima persen) dari HJE yang berlaku atas harga
yang tercantum dalam pita cukai maka pengusaha pabrik atau importir hasil
tembakau wajib mengajukan permohonan penyesuaian kenaikan HJE
sebagai dasar perhitungan PPN Hasil Tembakau. Dalam hal ini tarif cukai
untuk merek hasil tembakau tersebut tidak akan mengalami kenaikan karena
sudah pada level tertinggi di golongannya masing-masing. Contoh :
 Merek B, SKM, Gol.I, isi @ 16 batang, HJE penetapan adalah Rp.
10.750,- dengan tarif cukai Rp. 375 per batang. Pemantauan HJE oleh
pejabat bea dan cukai dalam periode pemantauan tertentu menunjukkan
bahwa harga transaksi pasar untuk merek A tersebut sudah mencapai
Rp. 11.400,-. (sudah melebihi 5%) .
 Untuk kasus yang seperti ini, maka Direktur Cukai atas nama Direktur
Jenderal akan segera memberitahukan kepada Pengusaha yang
bersangkutan untuk segera mengajukan penyesuaian HJE saja. Hal ini
dikarenakan HJE merek B sebesar Rp. 11.400,- per kemasan atau Rp.
712,5 per batang telah melampaui 5% dari HJE penetapannya .

hal | 57
Tabel 2.2
Tarif Cukai dan Batasan Minimal HJE HT Dalam Negeri

No. Gol. Pengusaha Pabrik Batasan HJE per batang atau gram Tarif Cukai
Urut Hasil Tembakau per batang
Jenis Golongan
1. I Lebih dari Rp.669 Rp.375
Paling rendah Rp.631 sampai dengan Rp.669 Rp.355
SKM II Lebih dari Rp.549 Rp.285
Paling rendah Rp.440 s.d. Rp.549 Rp.245
2. I Paling rendah Rp.680 Rp.380
II Lebih dari Rp.444 Rp.245
SPM Paling rendah Rp.345 s.d. Rp.444 Rp.195
3. I Lebih dari Rp.749 Rp.275
SKT Lebih dari Rp.550 sampai dengan Rp.749 Rp.205
atau II Lebih dari Rp.379 Rp.130
SPT Lebih dari Rp.349 sampai dengan Rp.379 Rp.110
Paling rendah Rp.336 s.d. Rp.349 Rp.110
III Paling rendah Rp.250 Rp.80
4. SKTF I Lebih dari Rp.669 Rp.375
atau Paling rendah Rp.631 s.d. Rp.669 Rp.355
SPTF II Lebih dari Rp.549 Rp.285
Paling rendah Rp.440 sampai dengan Rp.549 Rp.245
5. TIS Tanpa Gol. Lebih dari Rp.260 Rp.25
Lebih dari Rp.160 sampai dengan Rp.260 Rp.20
Paling rendah Rp.50 s.d. Rp.160 Rp.5
6. KLB Tanpa Gol. Lebih dari Rp.260 Rp.25
Lebih dari Rp.180 sampai dengan Rp.260 Rp.20
7. KLM Tanpa Gol. Paling rendah Rp.180 Rp.20
8. CRT Tanpa Gol. Lebih dari Rp.180.000 Rp.100.000
Lebih dari Rp.50.000 s.d. Rp.180.000 Rp.20.000
Lebih dari Rp.20.000 s.d. Rp.50.000 Rp.10.000
Lebih dari Rp.5000 s.d 20.000 Rp.1.200
Paling Rendah Rp.450 s.d. Rp.5000 Rp.250
9. HPTL Tanpa Gol. Paling rendah Rp.275 Rp.100

hal | 58
Tabel 2.3
Tarif Cukai dan Batasan Minimal HJE HT yang Diimpor

No. Jenis HT Batasan HJE terendah per batang Tarif Cukai per batang
Urut atau gram atau gram

1. SKM Rp 670 Rp 375

2. SPM Rp 680 Rp 380

3. SKT atau SPT Rp 750 Rp 275

4. SKTF atau SPTF Rp 670 Rp 375

5. TIS Rp 261 Rp 25

6. KLB Rp 261 Rp 25

7. KLM Rp 180 Rp 20

8. CRT Rp 180.001 Rp 100.000

9. HPTL Rp. 275 Rp 100

hal | 59
C. Tatacara Penetapan Tarif Cukai MMEA dan Etil Alkohol

1. Tarif Cukai MMEA dan Etil Alkohol

Mekanisme penetapan tarif cukai MMEA dan etil alkohol jauh lebih
sederhana bila dibandingkan dengan mekanisme penetapan tarif cukai hasil
tembakau. Instrumen yang berpengaruh terhadap pungutan cukai MMEA lebih
sedikit, mudah dipahami dan bahkan untuk pungutan cukai etil alkohol berlaku
tarif yang bersifat flat dalam satuan rupiah tertentu.

Adanya perbedaan kebijakan pemerintah yang cukup ekstrim antara sistem


tarif cukai hasil tembakau dengan sistem tarif cukai lainnya (MMEA dan Etil
Alkohol) menurut hemat kami antara lain didorong oleh karena kondisi dan
pemahaman sebagai berikut :
a) Tingkat konsumsi hasil tembakau di Indonesia cukup tinggi membuat potensi
penerimaan cukai yang diperoleh cukup signifikan dalam rangka menambah
penerimaan sektor pajak. Oleh karenanya kebijakan cukai hasil tembakau
sering kali harus disesuaikan dengan kebutuhan APBN.
b) Karakteristik BKC hasil tembakau yang secara historis telah membeda-
bedakan jenis hasil tembakau dan golongan pengusaha pabrik membuat
pemerintah berupaya untuk mengakomodasikan berbagai kepentingan yang
berbeda tersebut
c) Karakteristik pemungutan cukai atas BKC selain hasil tembakau pada
dasarnya lebih mengarah kepada karakteristik dasar sebagai barang yang
peredarannya perlu diawasi dan juga karena sifat pemakaiannya yang dapat
menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat. Stuktur tarif cukai dibuat
lebih sederhana dan cenderung cukup tinggi dengan tujuan agar
pembatasan tersebut dapat dicapai.

a. Tarif Cukai Etil alkohol

Dasar pemungutan cukai etil alkohol adalah sebagaimana yang diatur


dalam Peraturan Menteri Keuangan2. Kebijakan yang diterapkan pemerintah

hal | 60
terhadap tarif cukai etil alkohol tersebut terlihat sangat minimalis dan cenderung
bersifat tetap selama kurun waktu yang cukup lama. Berdasarkan catatan kami,
dapat disebutkan bahwa sejak pemberlakuan Undang-undang Nomor 11 tahun
1995 tentang Cukai, tarif cukai etil alkohol hanya dua kali saja mengalami
peninjauan.

Semula tarif cukai etil alkohol ditetapkan secara flat Rp. 2.500,- per liter
sesuai Keputusan Menteri Keuangan nomor 230/KMK.05/1996. Kemudian
dilakukan peninjauan berdasarkan PMK nomor 89/PMK.04/2006 sehingga tarif
cukai etil alkohol saat ini menjadi Rp. 10.000,- per liter dan bersifat flat. Terakhir,
tarif cukai etil alkohol mengalami penyesuaian kembali dengan pemberlakuan
PMK nomor 62/PMK.04/2010 sehingga tarif cukai etil alkhol saat ini adalah Rp.
20.000,- per liter tanpa membedakan kadar alkohol yang terkandung di dalamnya
dan juga tidak dibedakan antara etil alkohol yang dibuat di dalam negeri atau
yang berasal dari impor.

b. Tarif Cukai MMEA

Apabila kita meninjau kebijakan tarif yang diterapkan terhadap cukai


MMEA, maka akan terlihat pula bahwa tarif cukai spesifik yang ditetapkan atas
MMEA cenderung bersifat stabil. Berdasarkan pengamatan kami, tarif cukai
MMEA sejak awal pemberlakuan Undang-undang Nomor 11 tahun 1995 tentang
Cukai pada tahun 1996, tercatat hanya mengalami lima kali perubahan saja,
yaitu :
1) Tarif cukai MMEA berdasarkan Kep. Menteri Keuangan Nomor
231/KMK.05/1996;
2) Tarif cukai MMEA berdasarkan Kep. Menteri Keuangan Nomor
546/KMK.04/2000;
3) Tarif cukai MMEA berdasarkan Kep. Menteri Keuangan Nomor
125/KMK.04/2002;
4) Tarif cukai MMEA berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
90/KMK.04/2006; dan
5) Tarif cukai MMEA berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
62/PMK.011/2010.

hal | 61
Dalam sistem tarif cukai spesifik atas pemungutan cukai MMEA maka
pungutan cukai ditentukan berdasarkan komponen-komponen sebagai berikut 3:
1) Golongan MMEA, yang dibedakan berdasarkan kadar alkohol masing-
masing MMEA
2) Jumlah dalam satuan liter
3) Tarif cukai spesifik dalam satuan rupiah

Struktur tarif cukai MMEA dan Konsentrat yang mengandung etil alkohol
yang berlaku saat ini adalah sesuai yang ditetapkan dalam PMK nomor
62/PMK.011/2010 yang mulai berlaku sejak tanggal 1 April 2010, sebagaimana
terlihat pada Tabel dibawah ini. Istilah konsentrat dalam Peraturan Menteri
Keuangan tersebut mengacu pada pengertian pekatan dalam konsentrasi yang
tinggi (istilah awamnya adalah “biang”) yang mengandung etil alkohol dengan
konsentrasi kadar etil alkohol yang sangat tinggi.

Tabel 2.4
Tarif Cukai MMEA dan Konsentrat yang Mengandung Etil Alkohol

GOLONGAN KADAR TARIF CUKAI


PENGUSAHA (%)
DALAM NEGERI IMPOR
Rp/ltr Rp/ltr

A .…s/d 5 11.000,- 11.000,-


B > 5 s/d 20 30.000,- 40.000,-
C > 20 75.000,- 130.000,-
KONSENTRAT 100.000,- 100.000,-
MENGANDUNG EA*)

hal | 62
2. Mekanisme Penetapan Tarif Cukai MMEA

Dalam rangka melaksanakan kegiatan pengawasan terhadap peredaran


MMEA sebagaimana tujuan dasar yang ingin dicapai terhadap pemungutan cukai
MMEA, maka Pemerintah memandang perlu untuk mencatat setiap jenis MMEA
yang beredar di masyarakat. Untuk melaksanakan hal tersebut telah diterbitkan
peraturan pelaksanaan dari PMK nomor 62/PMK.011/2010 kedalam suatu
petunjuk pelaksanaan berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai
nomor P-22/BC/2010 tentang tatacara pemungutan cukai etil alkohol, MMEA dan
konsentrat mengandung etil alkohol.

Dengan dikeluarkannya aturan mengenai mekanisme penetapan tarif


cukai MMEA, setidaknya ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh, yaitu:
1) Kantor Bea dan Cukai akan mengetahui produk-produk MMEA saja yang
beredar di pasar secara legal, artinya produk yang diberitahukan HJE nya
kepada Kantor Bea Cukai setempat. Apabila di pasaran diketahui adanya
produk MMEA yang tidak tercatat pemberitahuan HJEnya, maka sudah
dapat dipastikan produk MMEA tersebut adalah produk ilegal.
2) Kantor Bea dan Cukai dapat memiliki data pembanding mengenai jenis,
merek dan kadar MMEA untuk setiap produk MMEA yang diajukan
pemberitahuan HJEnya, sehingga pada saat pencacahan atau pemantauan
di lapangan ditemukan adanya MMEA yang tidak sesuai dengan spesifikasi
yang diajukan maka hal ini dapat ditindaklanjuti sesuai ketentuan yang
berlaku.
Pengusaha Pabrik atau Importir MMEA sebelum memproduksi atau
mengimpor setiap jenis MMEA, harus mendapatkan penetapan tarif cukai dari
Kepala Kantor Bea dan Cukai. Penetapan tarif cukai MMEA dilakukan
berdasarkan kadar etil alkohol yang terkandung di dalamnya. Secara umum
mekanisme penetapan tarif cukai MMEA tidak jauh berbeda dengan mekanisme
penetapan tarif cukai hasil tembakau. Titik perbedaan utamanya terletak pada
jangka waktu penyelesaian penetapan tarif. Khusus penetapan tarif cukai MMEA
wajib dilaksanakan dalam jangka waktu maksimal 5 hari kerja. Gambaran

hal | 63
sederhana mekanisme penetapan tarif cukai MMEA dapat anda lihat pada
flowchart pada gambar 2.3 berikut.

Gambar 2.3
Mekanisme Penetapan Tarif Cukai MMEA

Penjelasan :

1) Pengusaha yang akan memproduksi/mengimpor MMEA wajib mengajukan


permohonan penetapan tarif cukai MMEA dengan mengisi formulir
permohonan sesuai contoh pada gambar 3.4.
Persyaratan administrasi yang harus dilengkapi oleh pengusaha pabrik untuk
kategori MMEA produksi dalam negeri adalah :
a) contoh label/etiket;
b) contoh barang, kecuali untuk produk yang pernah diajukan;
c) fotokopi hasil uji kadar alkohol yang dilakukan oleh instansi/lembaga
pemerintah yang berwenang;
d) fotokopi sertifikat telah terdaftar sebagai produk yang layak dikonsumsi
dari instansi/lembaga yang mengawasi peredaran makanan/minuman;
e) Perhitungan HJE

hal | 64
Persyaratan administrasi yang harus dilengkapi oleh Importir yang
mengajukan permohonan penetapan tarif cukai terhadap MMEA eks impor,
adalah sebagai berikut :
a) daftar rincian yang memuat jenis dan negara asal MMEA yang akan
diimpor;
b) label/etiket/brosur yang memberikan informasi tentang bentuk
kemasan penjualan eceran dan kadar etil alkohol;
c) fotokopi sertifikat telah terdaftar sebagai produk yang layak dikonsumsi
dari instansi/lembaga yang mengawasi peredaran makanan/minuman;
d) Perhitungan HJE.
2) Atas permohonan tersebut, Kepala Kantor harus membuat keputusan
untuk menolak dengan menyebutkan alasan penolakan atau menerbitkan
keputusan penetapan tarif cukai MMEA, dalam jangka waktu 5 (lima) hari
kerja. Dalam hal jangka waktu 5 (hari) belum juga mendapatkan keputusan
maka permohonan dianggap disetujui.
3) Dalam hal terdapat keragu-raguan atas kadar etil alkohol yang terkandung
dalam MMEA yang diajukan penetapan tarif cukainya, Kepala Kantor dapat
melakukan pengujian ulang ke laboratorium atas biaya Pengusaha Pabrik
atau Importir yang bersangkutan. Jangka waktu pengujian ulang kadar etil
alkohol tersebut tidak dihitung sebagai bagian jangka waktu penerbitan
selama 5 (hari).
4) Bentuk persetujuan dan penetapan tarif cukai atas MMEA dituangkan
dalam surat keputusan penetapan tarif cukai MMEA.
5) Keputusan penetapan tarif cukai MMEA diserahkan kepada yang
bersangkutan dan salinan keputusan wajib disampaikan kepada Direktur
Cukai serta Kepala Kantor Wilayah setempat.
6) Dalam hal terdapat perubahan jenis, merek, jenis kemasan, isi kemasan,
kadar, dan desain label/etiket yang telah ditetapkan sebelumnya, terhadap
MMEA produksi dalam negeri, Pengusaha Pabrik mengajukan permohonan
penetapan tarif cukai yang baru kepada Kepala Kantor.
7) Dalam hal terdapat perubahan perhitungan HJE yang telah ditetapkan
sebelumnya, terhadap MMEA produksi dalam negeri, Pengusaha Pabrik

hal | 65
cukup menyampaikan perhitungan HJE yang sudah disesuaikan kepada
Kepala Kantor.

Gambar 2.4
Contoh Permohonan Penetapan Tarif Cukai MMEA

Sumber : KPM Cukai Kediri

hal | 66
D. Tatacara Penyediaan Pita Cukai Hasil Tembakau

Pemungutan cukai hasil tembakau oleh pemerintah dalam proses


pelaksanaannya tidaklah sederhana. Hal ini terkait dengan sistem pelunasan
cukai hasil tembakau yang menggunakan pita cukai sebagai tanda
pelunasannya. Oleh karena itu pengusaha yang akan memproduksi hasil
tembakau wajib mendapatkan terlebih dahulu pita-pita cukainya dari Kantor Bea
dan Cukai setempat.

1. Proses Pemungutan Cukai Hasil Tembakau

Sebelum kita membahas materi penyediaan pita cukai hasil tembakau, ada
baiknya kita meninjau terlebih dahulu gambaran umum mekanisme pemungutan
cukai hasil tembakau. Proses ini diawali mulai dari penetapan tarif cukai hingga
diterimanya pita cukai oleh pengusaha untuk dilekati pada hasil tembakau.
Pemahaman yang komprehensif mengenai sistem pemungutan cukai hasil
tembakau akan membantu anda memahami materi pelajaran ini dengan efektif.

Dalam sistem pemungutan cukai hasil tembakau, sebagai tanda pelunasan


cukai maka BKC hasil tembakau wajib dilekati dengan pita cukai. Oleh karena itu,
setiap pengusaha yang akan memproduksi hasil tembakau untuk penjualan
eceran harus memperoleh pita cukai terlebih dahulu dari DJBC. Untuk
mendapatkan pita-pita cukai tersebut setidaknya ada tiga tahapan yang harus
dilalui oleh pengusaha pabrik atau importir sebelum pita cukai hasil tembakau
diterimanya. Ketiga tahapan tersebut adalah :
a) Pengajuan penetapan Tarif dan HJE hasil tembakau;
b) Permohonan Penyedian Pita Cukai (P3C); dan
c) Permohonan pemesanan pita cukai dengan dokumen CK-1.
Alur proses penyediaan dan pemesanan pita cukai hasil tembakau, kami
tampilkan dalam suatu flowchart sederhana sesuai Gambar 4.1 berikut ini.

hal | 67
Gambar 2.5
Alur Proses Pemungutan Cukai Hasil Tembakau

Penjelasan :
1) Pengusaha yang akan memproduksi atau menjual hasil tembakau untuk
penjualan eceran, wajib mengajukan produk hasil tembakau yang akan
diproduksi kepada KPPBC setempat untuk mendapatkan penetapan tarif
cukai hasil tembakau;
2) Apabila permohonan telah memenuhi kelayakan, Kepala KPPBC akan
menerbitkan keputusan penetapan tarif cukai atas merek-merek hasil
tembakau;
3) Sebelum memproduksi merek hasil tembakau yang telah ditetapkan tarif
cukainya, pengusaha wajib mengajukan permohonan penyediaan pita
cukai melalui KPPBC setempat. Proses ini diperlukan, oleh karena pita
cukai untuk masing-masing pengusaha akan berbeda-beda tergantung
penetapan tarif dan HJE-nya. Bahkan untuk pengusaha golongan II jenis
produk SKM, SPM dan SKTF serta pengusaha golongan III jenis produk

hal | 68
SKT pita cukai dicetak dengan kode personalisasi untuk masing-masing
pabrik.
4) Atas permohonan penyediaan pita cukai (P3C) akan dilakukan penelitian
sesuai mekanisme yang berlaku, dan akan diteruskan kepada Direktorat
Cukai KPDJBC baik menggunakan Sistem Aplikasi Cukai maupun secara
manual menggunakan saluran komunikasi yang tersedia.
5) Data pemesanan pita cukai oleh masing-masing pengusaha akan dicatat
dan akan dibuatkan Order Bea dan Cukai (OBC) kepada perusahaan
percetakan yang ditunjuk (PERURI).
6) Pita cukai yang selesai dicetak akan didistribusikan melalui gudang pita
cukai KPDJBC. Dalam hal ini persediaan pita cukai dapat disimpan di
Gudang Pita Cukai KPDJBC atau di masing-masing KPPBC, hal ini diatur
dalam mekanisme standar.
7) Apabila pita cukai untuk seorang pengusaha pabrik disediakan di KPPBC,
maka persediaan pita cukai akan dikirim kepada Bendaharawan KPPBC.
8) Pengusaha yang pita cukainya telah tersedia baik di KPPBC atau di Kantor
Pusat wajib mengajukan pemesanan pita cukai dengan menggunakan
dokumen pemesanan CK-1.
9) Apabila proses administrasi CK-1 telah diselesaikan, pita cukai diserahkan
kepada pengusaha untuk dilekatkan pada BKC yang akan diproduksi untuk
penjualan eceran.

2. Pengenalan Pita Cukai

Dalam mekanisme pelunasan cukai, BKC yang hingga saat ini


menggunakan model pelunasan dengan cara pelekatan pita cukai adalah hasil
tembakau dan MMEA. Masing-masing pita cukai sebagai tanda pelunasan cukai
tersebut dibedakan bentuk dan spesifikasinya.
Pita cukai yang diperuntukan sebagai tanda pelunasan cukai hasil
tembakau berbentuk lembaran dalam tiga seri, yaitu seri I, seri II dan seri III.
Perbedaan utama dari masing-masing seri pita cukai adalah terletak pada jumlah
keping pita cukai tiap lembar dan ukuran masing-masing pita cukai, yaitu :
1) Seri I berjumlah 120 keping per lembar, ukuran 0,8 x 11,4 cm;

hal | 69
2) Seri II berjumlah 56 keping per lembar, ukuran 1,3 cm x 17,5 cm;
3) Seri III berjumlah 150 keping per lembar, ukuran 1,9 cm x 4,5 cm .

Adanya perbedaan ukuran ini dimaksudkan agar pita cukai yang digunakan
dapat sesuai atau seimbang dengan ukuran kemasan hasil tembakau yang
digunakan oleh setiap produk hasil tembakau. Sebagai contoh, untuk kemasan
SPM isi @ 20 batang (ukuran standar), maka produsen lebih cocok
menggunakan pita cukai seri I atau seri III. Pilihan terhadap seri pita cukai mana
yang akan digunakan oleh Pengusaha diserahkan sepenuhnya kepada
pengusaha yang bersangkutan.

Pita cukai yang diperuntukan sebagai tanda pelunasan cukai MMEA baik
yang diperuntukkan bagi MMEA impor maupun MMEA dalam negeri berbentuk
lembaran dalam satu seri. Setiap lembar pita cukai masing-masing terdiri dari 60
keping pita cukai dengan ukuran per kepingnya adalah : 1,5 cm x 7 cm. Setiap
keping pita cukai MMEA terdapat foil hologram berukuran 0,6 cm X 1,9 cm yang
sekurang-kurangnya memuat teks BC dan teks RI.

Secara umum desain pita cukai baik untuk pita cukai hasil tembakau dan
MMEA antara lain adalah sebagai berikut:
1) Pada setiap keping pita cukai terdapat foil hologram dengan ukuran tertentu;
2) Desain pita cukai memuat lambang negara Republik Indonesia;
3) Memuat lambang Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
4) Memuat tarif cukai
5) Memuat angka tahun anggaran;
6) Memuat HJE;
7) Adanya teks “REPUBLIK” atau “INDONESIA”
8) Jumlah isi kemasan;
9) Jenis Hasil tembakau;
10) Kode personalisasi, khusus pita cukai yang diperuntukan bagi pabrik hasil
tembakau tertentu (Golongan II : jenis produk SKM, SPM, SFTF dan SPTF,
Golongan II dan III : jenis produk SKT dan SPT)

hal | 70
Setiap tahunnya desain dan warna pita cukai selalu dilakukan peninjauan
dan pergantian, terutama terhadap warna dasar pita cukai. Tujuannya adalah
untuk menjaga agar pita cukai tidak dipalsukan. Untuk pita cukai hasil tembakau
tahun edar 2013 telah ditetapkan cetakan dasar masing-masing warna sebagai
berikut :
1) Warna ungu dominan dikombinasi warna merah, digunakan untuk hasil
tembakau dari jenis SKM, SPM, SKT, SKTF, SPT, dan SPTF yang
diproduksi oleh Pengusaha Pabrik Golongan I;
2) Warna coklat dominan dikombinasi warna hijau, digunakan untuk hasil
tembakau dari jenis SKM, SPM, SKT, SKTF, SPT, dan SPTF yang
diproduksi oleh Pengusaha Pabrik Golongan II;
3) Warna hijau dominan dikombinasi warna jingga, digunakan untuk hasil
tembakau dari jenis SKT dan SPT yang diproduksi oleh Pengusaha Pabrik
Golongan III;
4) Warna biru dominan dikombinasi warna jingga digunakan untuk hasil
tembakau dari jenis Tembakau Iris (TIS), Rokok Daun atau Klobot (KLB),
Sigaret Kelembak Menyan (KLM), Cerutu (CRT), dan Hasil Pengolahan
Tembakau Lainnya (HPTL); dan
5) Warna merah dominan dikombinasi warna ungu, digunakan untuk hasil
tembakau yang diimpor untuk dipakai di dalam daerah pabean.

Untuk desain dan warna pita cukai MMEA edisi tahun 2013 juga
mengalami perubahan. Komposisi warna pita cukai MMEA edisi tahun 2013
menjadi sebagai berikut:
1) Warna merah dominan dikombinasi warna ungu, digunakan untuk MMEA
Golongan B dengan kadar etil alkohol di atas 5% sampai dengan 20%
2) Warna biru dominan dikombinasi warna jingga, digunakan untuk MMEA
Golongan C dengan kadar etil alkohol di atas 20%
3) Warna coklat dominan dikombinasi warna hijau, digunakan untuk MMEA
Golongan A (kadar etil alkohol maksimal 5%) yang diimpor untuk dipakai di
dalam daerah pabean
4) Warna ungu dominan dikombinasi warna merah, digunakan untuk MMEA

hal | 71
Golongan B (kadar etil alkohol lebih dari 5% sampai 20%) yang diimpor
untuk dipakai di dalam daerah pabean
5) Warna hijau dominan dikombinasi warna jingga, digunakan untuk MMEA
Golongan C (kadar etil alkohol di atas 20%) yang diimpor untuk dipakai di
dalam daerah pabean

3. Lokasi Penyediaan Pita Cukai

Lokasi penyediaan pita cukai hasil tembakau untuk pengusaha pabrik hasil
tembakau ditentukan di dua tempat, yaitu :
a) Pabrik dengan total produksi semua jenis hasil tembakau dalam 1 tahun
takwim sebelumnya sampai dengan 100.000.000 (seratus juta) batang
dan/atau gram, pita cukainya disediakan di Kantor Pelayanan Bea dan
Cukai.
b) Pabrik dengan total produksi semua jenis hasil tembakau dalam 1 tahun
takwim sebelumnya lebih dari 100.000.000 ( seratus juta ) batang dan/atau
gram, pita cukainya disediakan di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai.
c) Khusus pita cukai hasil tembakau untuk Importir disediakan di Kantor Pusat
DJBC.
Dalam hal-hal tertentu pita cukai hasil tembakau pada butir a diatas, atas
permohonan pengusaha yang bersangkutan dapat disediakan di Kantor Pusat
DJBC.

4. Mekanisme Penyediaan Pita Cukai

Dalam bahan ajar ini, penjelasan kami mengenai mekanisme penyediaan


pita cukai akan lebih difokuskan pada BKC hasil tembakau. Hal ini mengingat
alokasi waktu penyampaian materi yang terbatas. Untuk mekanisme penyediaan
pita cukai MMEA pada dasarnya tidak terlalu berbeda. Penjelasannya dapat
Anda dapatkan pada saat kuliah tatap muka nantinya.

Adapun petunjuk pelaksanaan penyediaan dan pemesanan pita cukai hasil


tembakau diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai nomor P-

hal | 72
16/BC/2008 jo. P-29/BC/2009 yang merupakan tindak lanjut dari Peraturan
Menteri Keuangan nomor 108/PMK.04/2008 jo. PMK nomor 09/PMK.04/2009
tentang Pelunasan Cukai. Beberapa poin penting dalam Juklak penyediaan dan
pemesanan pita cukai (P3C) tersebut akan kami ringkaskan dalam penjabaran
pada sub pokok bahasan ini.

a. P3C Pengajuan Awal

Untuk penyediaan pita cuka hasil tembakau, pengusaha wajib mengajukan


permohonan penyediaan pita cukai P3C kepada Kepala Kantor Bea dan Cukai.
Permohonan penyediaan pita cukai setiap bulannya dapat dilaksanakan mulai
tanggal 1 sampai dengan tanggal 10 untuk kebutuhan 1 bulan berikutnya.
Pengajuan rutin P3C setiap awal bulan ini disebut sebagai P3C pengajuan awal.
Contoh formulir P3C pengajuan awal dapat anda lihat pada Gambar 2.5

Dikecualikan dari batas waktu P3C pengajuan awal (tanggal 10 setiap


bulannya), dapat diberikan dalam hal :
a) Pengusaha baru mendapatkan NPPBKC ;
b) Pengusaha mengalami kenaikkan golongan ;
c) Pengusaha yang NPPBKC-nya diaktifkan kembali setelah pembekuannya
dicabut ;
d) Untuk kebutuhan pita cukai bulan Januari ; atau
e) Terdapat kebijakan di bidang tarif cukai atau HJE.
P3C pengajuan awal hanya dapat diakukan 1 kali dalam 1 periode persediaan
untuk setiap jenis pita cukai.

Jumlah pita cukai yang dapat diajukan oleh pengusaha pada P3C
pengajuan awal untuk setiap jenis pita cukai :
a) Paling banyak 100 % dari rata-rata perbulan jumlah pita cukai yang dipesan
dengan CK-1 dalam kurun waktu tiga bulan terakhir sebelum P3C pengajuan
awal, dengan memperhatikan batasan produksi golongan pengusaha pabrik.
Contoh : Data CK-1 atas PT XX pada bulan Maret = 500 lbr, April = 1.000
lbr, dan Mei=600 lbr, Juli = belum ada (bulan Juli baru sampai tanggal 10).
Maka pengajuan P3C PT XX untuk kebutuhan bulan Agustus 2009 adalah :
P3C = 100% X 1/3 (Realisasi CK-1 Maret+April+Mei)

hal | 73
= 100% X 1/3 (500+1000+600) = 700 lembar

b) Dalam hal data rata-rata perbulan jumlah yang dipesan dengan CK-1 dalam
kurun waktu tiga bulan terakhir sebelum P3C pengajuan awal untuk jenis pita
cukai yang diajukan tidak tersedia, jumlah pita cukai yang dapat diajukan
sesuai kebutuhan perbulan dengan memperhatikan batasan produksi
golongan pengusaha pabrik.
Contoh . PT. “AA” adalah Produsen SPM Golongan II, belum pernah
mengajukan CK-1 atas merek yang telah mendapat penetapan tarif
cukainya. Maka untuk pengajuan awal yang bersangkutan dapat
mengajukan P3C sesuai kebutuhan awalnya dan tidak boleh melewati
batasan maksimal di Golongan II, yaitu untuk kebutuhan 2 milyar batang
dibagi 12 bulan atau sekitar 166,67 juta batang.

Gambar 2.6
Contoh P3C Pengajuan Awal

Sumber : KPM Cukai Kediri

hal | 74
b. P3C Pengajuan Tambahan

Dalam hal pita cukai yang disediakan berdasarkan P3C pengajuan awal
tidak mencukupi, maka pengusaha dapat mengajukan P3C pengajuan
tambahan. Pengajuan P3C tambahan dilakukan paling lambat pada tanggal 20
pada bulan pengajuan CK-1. Jenis pita cukai yang diajukan pada P3C tambahan
harus sama dengan jenis pita cukai yang sudah diajukan pada P3C pengajuan
awal untuk periode yang sama. P3C pengajuan tambahan hanya dapat dilakukan
1 kali dalam periode persediaan untuk setiap jenis pita cukai.

Jumlah pita cukai yang diajukan oleh pengusaha dalam P3C pengajuan
tambahan paling banyak 50 % untuk setiap jenis pita cukai dari P3C pengajuan
awal yang telah diajukan. Periode pengajuannya juga harus dalam periode yang
sama dengan periode P3C pengajuan awal dan harus memperhatikan batasan
produksi golongan pengusaha pabrik.
Contoh : Pengajuan P3C untuk kebutuhan bulan Juli 2013
P3C = 50 % X 1/3 (Realisasi CK-1 Maret+April+Mei)
= 50 % X 1/3 (110+200+260)
= 50 % X 190 = 95 lembar, dibulatkan menjadi 90 lembar
Pembulatan jumlah pita cukai yang diajukan dengan P3C dilakukan dengan cara
membulatkan jumlah ke bawah dan harus dalam kelipatan 10 (sepuluh) lembar.
Dalam hal jumlah pita cukai yang dapat diajukan dengan P3C kurang dari 10
lembar, maka jumlah pengajuan pita cukai dalam P3C adalah 10 lembar.

c. P3C pengajuan tambahan izin Direktur Jenderal

Apabila kebutuhan pita cukai berdasarkan batas pengajuan P3C awal dan
tambahan ternyata dirasakan masih kurang maka Pengusaha dapat mengajukan
P3C pengajuan tambahan izin Direktur Jenderal. Pengertiannya bahwa P3C
dapat diajukan dengan jumlah yang melebihi batas ketentuan P3C awal dan
tambahan. Pengajuan ini ditujukan kepada Direktur Jenderal melalui Kantor Bea
dan Cukai setempat. Permohonan P3C izin Direktur Jenderal harus diserta
alasan yang jelas sesuai kondisi perusahaan yang sebenarnya sehingga
membutuhkan pita cukai dalam jumlah yang tidak biasanya.

hal | 75
Harus diingat bahwa P3C pengajuan tambahan izin Direktur Jenderal
hanya dapat diajukan setelah pengajuan P3C pengajuan tambahan. Jangka
waktu penyampaiannya, paling lambat sampai dengan tanggal 25 pada bulan
pengajuan CK-1. Jenis pita cukai yang diajukan pada P3C tambahan izin DJBC,
harus sama dengan jenis pita cukai yang sudah diajukan pada P3C pengajuan
awal dan P3C pengajuan tambahan untuk periode yang sama. P3C pengajuan
tambahan izin DJBC hanya dapat dilakukan 1 kali dalam periode persediaan
untuk setiap jenis pita cukai.

Kepala Kantor melakukan penelitian atas P3C pengajuan tambahan izin


Direktur Jenderal beserta surat yang menyebutkan alasan pengajuan dengan
memeriksa sekurang-kurangnya :
a) Eksistensi perusahaan terkait persyaratan perizinan yang meliputi: denah
pabrik hasil tembakau dann alamat lokasi;
b) Kapasitas produksi, jumlah alat produksi dan jumlah karyawan; dan
c) Pembukuan/pencatatan serta pelaporan produksi hasil tembakau sesuai
ketentuan.
Pengecualian dari kegiatan penelitian diberikan kepada pengusaha yang
beresiko rendah berdasarkan profil pengusaha. Atas kegiatan pemeriksaan
tersebut Kepala Kantor membuat Laporan Hasil Pemeriksaan.

Apabila hasil pemeriksaan menyimpulkan bahwa P3C pengajuan


tambahan izin Direktur Jenderal layak untuk diteruskan, Kepala Kantor segera
meneruskan berkas tersebut ke Kantor Pusat DJBC dengan disertai Surat
Rekomendasi, yang sekurang-kurangnya berisi :
 Hasil penelitian atau pemeriksaan terhadap berkas dokumen P3CT izin
Direktur Jenderal;
 Sisa persediaan pita cukai yang belum direalisasikan dengan CK-1, dalam
hal penyediaan pita cukainya di KPPBC;
 Data rata-rata perbulan CK-1 dalam 6 bulan terakhir untuk setiap jenis pita
cukai; dan
 Pendapat Kepala Kantor.

hal | 76
Atas P3C pengajuan tambahan izin DJBC dan Surat Rekomendasi Kepala
Kantor, Direktur Jenderal dapat mengabulkan seluruhnya atau sebagaian dan
juga dapat menolak permohonan.

Pengajuan P3C dari Kantor Bea dan Cukai kepada Kantor Pusat DJBC
bagi Kantor-Kantor yang telah menerapkan Sistem Aplikasi Cukai (SAC),
dilakukan secara elektronik melalui Sistem Aplikasi Cukai Sentralisasi. Untuk
Kantor yang tidak menerapkan Sistem Aplikasi Cukai Sentralisasi, Kepala Kantor
menyampaikan P3C pengajuan dan P3C pengajuan tambahan ke Kantor Pusat
DJBC paling lambat pada hari kerja berikutnya dengan cara dikirim melalui
faksimili atau media komunikasi lainnya.

E. Tata Cara Pemesanan Pita Cukai Hasil Tembakau

1. Mekanisme Pemesanan CK-1

Pengusaha yang telah mengajukan P3C dan telah mendapatkan


konfirmasi bahwa pita cukainya telah selesai dicetak, dapat mengajukan CK-1
kepada Kepala Kantor untuk mendapatkan pita cukai. Jumlah pita cukai yang
dapat dipesan dengan CK-1 harus disesuaikan dengan jumlah persediaan pita
cukai yang ada di Kantor Bea dan Cukai atau Kantor Pusat DJBC.

Pemesanaan pita cukai dengan CK-1 hanya dapat diajukan oleh


pengusaha dalam hal :
 NPPBKC yang bersangkutan tidak dalam keadaan dibekukan ;
 Tidak memiliki utang cukai yang tidak dibayar pada waktunya, kekurangan
cukai, dan/atau sanksi admnistrasi berupa denda yang belum dibayar
sampai dengan tanggal jatuh tempo ;
 Telah melunasi biaya pengganti penyediaan pita cukai dalam waktu yang
ditetapkan .

Secara umum alur proses pemesanan CK-1 digambarkan dalam skema


sederhana sesuai Gambar 2.7 berikut. Alur proses yang digambarkan disini
adalah mekanisme penyampaian CK-1 secara elektronik melalui Sistem Aplikasi

hal | 77
Cukai tersentralisasi sesuai panduan yang diberikan dalam Peraturan Direktur
Jenderal nomor P-29/BC/2009. Khusus Kantor-kantor pelayanan yang belum
menggunakan SAC, maka apabila pita cukai penyediaannya di Kantor Pusat
DJBC, setelah proses administrasi selesai di KPPBC, lembar ketiga CK-1
diserahkan kepada pengusaha untuk mengurus pengambilan pita cukainya di
Kantor Pusat DJBC.

Gambar 2.7
Alur Proses Pemesanan Pita Cukai Hasil Tembakau

hal | 78
Gambar 2.8
Contoh Pengajuan CK-1

sumber: KPBC Madya Malang

hal | 79
RANGKUMAN :

1) Dalam sistem tarif cukai hasil tembakau setidaknya ada empat besaran
pokok yang mempengaruhi nilai cukai hasil tembakau, yaitu :
a) jenis hasil tembakau
b) Golongan Produsen yang ditentukan berdasarkan jumlah produksi hasil
tembakau selama satu tahun takwim;
c) Batasan HJE, artinya adalah batas HJE minimum yang boleh diajukan
Pengusaha dalam rangka penetapan Tarif cukai; dan
d) Tarif cukai spesifik dalam nilai satuan Rupiah

2) Pengusaha Pabrik atau Importir MMEA wajib memberitahukan HJE dari


minuman mengandung etil alkohol yang diproduksi atau diimpor untuk setiap
jenis dan merek minuman mengandung etil alkohol kepada Kepala Kantor
Bea dan Cukai yang mengawasi.

3) Dalam sistem pemungutan cuka hasil tembakau yang pelunasannya


dilakukan dengan pelatan pita cukai, ada tahapan yang harus dilalui
pengusaha atau importir BKC sebelum memperoleh pita cukai yaitu :
a) Pengajuan penetapan Tarif dan HJE hasil tembakau;
b) Permohonan Penyedian Pita Cukai (P3C); dan
c) Permohonan pemesanan pita cukai dengan dokumen CK-1

4) Pita cukai yang diperuntukan sebagai tanda pelunasan cukai hasil tembakau
berbentuk lembaran dalam tiga seri, yaitu seri I, seri II dan seri III. Ukuran
masing-masing pita cukai, yaitu :
a) Seri I berjumlah 120 keping per lembar dengan ukuran 0,8 x 11,4 cm;
b) Seri II berjumlah 56 keping per lembar dengan ukuran 1,3 cm x 17,5 cm;
c) Seri III berjumlah 150 keping per lembar dengan ukuran 1,9 cm x 4,5 cm .

hal | 80
LATIHAN :

1) Jelaskan bagaimana implementasi sistem tarif cukai sebagaimana diatur


dalam pasal 5 ayat (3) Undang-undang Cukai terhadap ketiga BKC yang
menjadi obyek pungutan cukai !
2) Jelaskan instrumen apa saja yang berpengaruh terhadap pungutan cukai
hasil tembakau !
3) Jelaskan mekanisme pengajuan penetapan tarif cukai hasil tembakau atas
merek-merek baru yang dimiliki pengusaha pabrik !
4) Jelaskan mekanisme penyediaan pita cukai hasil tembakau !
5) Dimana pita cukai disediakan dan bagaimana mekanisme pemesanannya !

hal | 81
BAB

FASILITAS DAN KEMUDAHAN


PEMBAYARAN CUKAI 3
Tujuan Pembelajaran Khusus :
Setelah mengikuti pembelajaran ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan
mekanisme pemberian fasilitas dan kemudahan di bidang cukai

A. Fasilitas Tidak Dipungut Cukai

1. Gambaran Umum
Pengertian tidak dipungut cukai secara
harfiah adalah adanya pengecualian dari kewajiban
pemungutan cukai terhadap obyek dan/atau subyek
cukai tertentu. Dalam pengertian yang lebih tegas
konsep tidak pungut cukai mengandung pengertian
bahwa obyek cukai dikecualikan dari kategori BKC
atau subyek cukai bukan termasuk sebagai subyek yang harus menanggung
beban cukai dengan alasan penghindaran cukai berganda, azas domisili dalam
pungutan cukai dan juga akibat adanya kemusnahan atau kerusakan BKC.

Bila kita meninjau cukai dari sudut pandang azas perpajakan, pada
dasarnya cukai adalah pajak atas barang (pajak obyektif) yang pelaksanaannya
berlaku azas domisili. Sumitro (1977) menjelaskan pengertian azas domisili
sebagai suatu azas pemungutan pajak yang digantungkan atas domisili (tempat
kediaman) wajib pajak di suatu negara. Pemberlakuan pungutan Cukai sesuai
yang diamanahkan dalam Undang-undang Cukai hanya berlaku di wilayah
hukum Indonesia. Orang yang berkedudukan sebagai wajib cukai atas suatu
pungutan cukai adalah orang yang berdomisili di Indonesia. Hal ini diikuti dengan
kewajiban untuk memiliki izin NPPBKC.

hal | 82
Dengan demikian, ketika suatu produk BKC yang berasal dari luar negeri
kemudian diangkut terus ke luar negeri atau produk BKC dalam negeri yang
diekspor, maka sudah selayaknya mendapatkan pengecualian dari pemungutan
cukai. Hal ini dengan mempertimbangkan bahwa obyek dan subyek cukai
tersebut tidak memenuhi azas domisili.

2. Jenis-Jenis Fasilitas Tidak Dipungut Cukai

Sebagai tindak lanjut dari ketentuan pasal 8 Undang-undang Cukai,


pemerintah telah menerbitkan peraturan Menteri Keuangan yang berkaitan
dengan fasilitas tidak dipungut cukai. Jenis-jenis fasilitas tidak dipungut cukai
yang diatur dalam ketentuan Pasal 8 Undang-undang Cukai adalah sebagai
berikut :

a. Tembakau Iris tradisional

Kami menggunakan istilah tembakau iris tradisional dengan melihat pada


karakateristik tembakau iris sebagaimana yang dimaksudkan dalam ketentuan
tidak dipungut cukai dan juga untuk maksud memudahkan penyebutan. Lebih
lengkapnya dapat dijelaskan bahwa tembakau iris yang dibuat dari tembakau
hasil tanaman di Indonesia yang tidak dikemas untuk penjualan eceran atau
dikemas untuk penjualan ecaran dengan bahan pengemas tradisional yang lazim
dipergunakan, apabila :
a) dalam pembuatannya tidak dicampur atau ditambah dengan tembakau yang
berasal dari luar negeri atau bahan lain yang lazim dipergunakan dalam
pembuatan hasil tembakau, seperti : saus, aroma, dan air gula;
b) pada kemasannya ataupun tembakau irisnya tidak dibubuhi merk dagang,
etiket atau yang sejenis itu.

b. MMEA tradisional

Cukai tidak dipungut atas MMEA yang diperoleh dari hasil peragian atau
penyulingan, apabila :
a) dibuat oleh rakyat Indonesia;

hal | 83
b) Pembuatannya dilakukan secara secara sederhana, dengan menggunakan
peralatan sederhana yang lazim digunakan oleh rakyat Indonesia dan
produksinya tidak melebihi 25 (dua puluh lima ) liter per hari;
c) semata-mata untuk mata pencaharian;
d) tidak dikemas dalam kemasan untuk penjualan eceran.

Pada dasarnya pengecualian pungutan cukai terhadap tembakau iris tradisional


maupun MMEA tradisional adalah untuk memberikan keringanan kepada
masyarakat di beberapa daerah yang secara historis telah memanfaatkan kedua
produk tersebut sebagai sumber mata pencahariannya. Contoh:
- Di beberapa daerah di Jawa sudah menjadi kelaziman bagi masyarakat
pribumi untuk menjual tembakau iris secara sederhana dan dalam jumlah
yang terbatas dalam suatu kemasan tradisionil semacam: besek dari kulit
bambu, daun jati, dan sebagainya.
- Masyarakat Bali telah mengenal arak sebagai minuman tradisional yang
biasa dikonsumsi dalam upacara-upacara adat.
- Masyarakat di beberapa daerah di Jawa Timur atau di daerah Sumatera
utara biasa mengkonsumsi minuman tuak yang beralkohol cukup tinggi yang
diproduksi secara sederhana.

c. BKC yang diangkut terus dan diangkut lanjut

Cukai tidak dipungut atas BKC yang berasal dari luar negeri apabila
diangkut terus atau diangkut lanjut dengan tujuan luar Daerah Pabean. Konsep
barang yang diangkut terus dalam pengertian ini sama halnya dengan konsep
diangkut terus dalam pengertian Undang-undang kepabeanan. Konsep
pengenaan cukai dan bea masuk pada dasarnya menerapkan azas domisili,
sehingga hal ini mengandung konsekuensi bahwa terhadap subyek pajak atas
barang yang diangkut terus adalah bukan subyek pajak dalam negeri dan tidak
dapat dikenakan pungutan bea masuk atau cukai. Akan tetapi, Selama obyek
cukai berada di wilayah Indonesia, kewajiban membayar cukai masih melekat
sampai dapat dibuktikan bahwa BKC tersebut benar-benar telah diangkut terus
dengan menggunakan dokumen kepabeanan (BC1.2).

hal | 84
d. BKC yang diekspor.

Cukai tidak dipungut atas ekspor BKC yang belum dilunasi cukainya yang
berasal dari pabrik atau tempat penyimpanan. Sebelum pelaksanaan ekspor
BKC tersebut, atas pengeluaran BKC dari pabrik/tempat penyimpanan wajib
dilindungi dokumen PMBKC (CK-5). Selanjutnya untuk mengekspor barang yang
bersangkutan, pengusaha tetap mengajukan dokumen Pemberitahuan Ekspor
Barang sesuai mekanisme aturan kepabeanan. Dalam hal ekspor BKC
merupakan barang yang telah dilunasi cukainya yang berasal dari peredaran
bebas, maka fasilitas tidak dipungut cukai tetap diperlakukan (dilakukan
pengembalian cukai) sepanjang eksportir adalah pengusaha pabrik yang memiliki
NPPBKC.

e. BKC yang dimasukkan kedalam Pabrik atau Tempat Penyimpanan

Cukai tidak dipungut atas BKC yang berasal dari Pabrik atau yang berasal
dari Impor apabila dimasukkan ke dalam Pabrik/tempat penyimpanan lainnya.
Sebelum pemasukan BKC ke dalam Pabrik/Tempat penyimpanan lainnya,
Pengusaha Pabrik, Importir BKC, atau Pengusaha Tempat Penyimpanan harus
memberitahukan kepada kepala Kantor yang mengawasi dengan menggunakan
formulir PMBKC. Umumnya kegiatan pemindahan BKC antar pabrik dan/atau
tempat penyimpanan adalah untuk penambahan persedian yang ada, namun
dalam kasus-kasus tertentu dapat saja berupa pemindahan BKC sebagai akibat
pencabutan izin NPPBKC terhadap suatu pabrik atau tempat penyimpanan.

f. BKC yang digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam
pembuatan barang yang hasil akhirnya merupakan BKC

Cukai tidak dipungut atas BKC yang berasal dari Pabrik atau yang
berasal dari Impor apabila dimasukkan ke dalam Pabrik lainnya untuk digunakan
sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan barang hasil akhir
yang merupakan BKC. Konsep pengecualian cukai dalam kondisi ini lebih
dititikberatkan kepada kebijakan pemerintah untuk menghindari penerapan cukai
berganda.

hal | 85
Pengusaha Pabrik yang akan menghasilkan barang hasil akhir yang
merupakan BKC dengan menggunakan bahan baku atau bahan penolong, harus
menyampaikan rencana produksinya kepada DirekturJenderal melalui kepala
Kantor dan kepala Kantor Wilayah yang mengawasinya, dengan menggunakan
formulir PBCK-1. Sebelum pengeluaran BKC dari Pabrik, Tempat Penyimpanan,
atau Kawasan Pabean dengan tujuan untuk dimasukkan ke dalam Pabrik,
Pengusaha harus memberitahukan kepada kepala Kantor yang mengawasi
dengan menggunakan formulir pemberitahuan mutasi BKC.

hal | 86
Gambar 3.1
Contoh PBCK-1

sumber: KPM Cukai Kediri

hal | 87
g. BKC yang telah musnah atau rusak sebelum dikeluarkan dari Pabrik
atau Tempat Penyimpanan atau sebelum diberikan persetujuan impor
untuk dipakai.

Untuk BKC yang telah musnah atau rusak sebelum dikeluarkan dari pabrik
atau tempat penyimpanan atau sebelum diberikan persetujuan impor untuk
dipakai, diatur sebagai berikut :
a) harus memberitahukan kepada Kepala Kantor Bea dan Cukai yang
mengawasi dengan menyebutkan sebab-sebab kemusnahan atau
kerusakan barang;
b) dilakukan pemeriksaan fisik atas BKC tersebut yang hasilnya dituangkan
dalam Berita Acara Pemeriksaan (BACK-1) ;
c) BACK-1 digunakan sebagai dasar pencatatan dalam Buku Rekening BKC
dan Buku Persediaan BKC ;
d) BKC yang rusak dimusnahkan dibawah pengawasan Pejabat Bea Cukai.

Pengusaha Pabrik, Pengusaha Tempat Penyimpanan, Importir atau setiap


orang yang melanggar ketentuan tentang tidak dipungutnya cukai dikenai sanksi
administrasi berupa denda paling banyak Sepuluh kali Nilai Cukai dan paling
sedikit Dua kali Nilai Cukai yang seharusnya dibayar. Yang dimaksud dengan
pelanggaran disini adalah bila BKC didapati menyimpang dari tujuan pemberian
fasilitas. Contoh: misalnya BKC yang diekspor tidak dapat dibuktikan bahwa
BKC yang bersangkutan telah benar-benar diekspor.

B. Fasilitas Pembebasan Cukai

1. Gambaran Umum

Pengertian pembebasan cukai adalah suatu bentuk fasilitas yang diberikan


kepada Pengusaha Pabrik, Pengusaha tempat penyimpanan, Pengusaha
Tempat Penyimpanan khusus pencampuaran, atau Importir untuk tidak
membayar cukai yang terutang4. Bila kita melihat dari sisi subyek dan obyek
cukai maka secara prinsip konsep pembebasan cukai berbeda dengan konsep

hal | 88
tidak dipungut cukai. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa tidak pungut cukai
mengandung pengertian bahwa obyek cukai dikecualikan dari kategori BKC atau
subyek cukai bukan termasuk sebagai subyek yang harus menanggung beban
cukai dengan alasan penghindaran cukai berganda, azas domisili dalam
pungutan cukai dan juga akibat adanya kemusnahan atau kerusakan BKC.

Dalam konsep pembebasan cukai, obyek cukai pada dasarnya adalah


BKC yang terutang cukai, hanya saja karena adanya kebijakan-kebijakan
tertentu dari pemerintah maka subyek cukai dapat dikecualikan dari kewajiban
membayar cukai yang terutang. Salah satu dasar pertimbangan pemberian
fasilitas pembebasan cukai adalah adanya Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun
2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi, serta Peningkatan
Pertumbuhan Ekonomi Nasional. Bila kita melihat karakteristik BKC khususnya
BKC berupa etil alkohol, maka penggunaan BKC tersebut tidak semata-mata
untuk memproduksi MMEA. Cukup banyak industri-industri manufacturing
seperti: farmasi, kosmetik, bahan bangunan, Bio etanol dan lain sebagainya yang
menggunakan etil alkohol sebagai bahan baku atau bahan penmolong untuk
memproduksi barang-barang non BKC.

2. Jenis-Jenis Fasilitas Pembebasan Cukai

a. Bahan Baku/Bahan Penolong Pembuatan Barang Hasil Akhir Bukan


BKC

Pembebasan cukai dapat diberikan atas etil alkohol yang berasal dari
Pabrik, Tempat Penyimpanan, Tempat Penyimpanan Khusus Pencampuran,
atau Asal Impor, yang digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong
dalam pembuatan Barang Hasil Akhir (BHA). Termasuk dalam pengertian
pembuatan Barang Hasil Akhir sebagaimana dimaksud diatas, adalah
pembuatan yang dilakukan melalui proses produksi terpadu.

hal | 89
Proses Produksi Terpadu

Istilah proses produksi terpadu adalah suatu rangkaian proses produksi


yang dilakukan di pabrik etil alkohol, mulai dari pembuatan etil alkohol sebagai
bahan baku sampai dengan pembuatan barang hasil akhir yang bukan BKC. Etil
alkohol sebagai barang hasil akhir yang dibuat melalui proses produksi terpadu
dapat diberikan pembebasan cukai. Untuk dapat memperoleh pembebasan cukai
atas etil alkohol dimaksud, Pengusaha Pabrik yang melakukan Proses Produksi
Terpadu mengajukan permohonan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur
Jenderal melalui Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan dengan
menggunakan contoh format PMCK–1.
Contoh :
- Pabrik Etil Alkohol yang juga memproduksi Produk farmasi
- Pabrik Etil Alkohol yang juga memproduksi produk sanitari

Proses Produksi Non Terpadu

Untuk memperoleh pembebasan cukai etil alkohol yang digunakan sebagai


bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan barang hasil akhir non
terpadu, Pengusaha Pabrik, Pengusaha Tempat Penyimpanan, Pengusaha
Tempat Penyimpanan Khusus Pencampuran, atau Importir, mengajukan
permohonan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal melalui Kepala
Kantor Pelayanan dengan menggunakan contoh format PMCK-2 sebagaimana
ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Menteri Keuangan ini. Secara umum
skema sederhana proses pengajuan pembebasan atas penggunaan etil alkohol
untuk pembuatan barang hasil akhir digambarkan dalam gambar 3.2 berikut ini.
Beberapa contoh, industri yang menggunakan etil alkohol sebagai bahan baku
ata bahan penolong, antara lain:
- Pabrik Farmasi
- Pabrik Bio Etanol
- Pabrik cat dan Bahan Bangunan
- Pabrik Kosmetika
- dll

hal | 90
Gambar 3.2
Skema Permohonan Pembebasan atas
Etil Alkohol untuk Pembuatan BHA

Penjelasan:

1) Pengusaha Pabrik mengajukan permohonan pembebasan etil alkohol


yang akan digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong untuk
pembuatan BHA menggunakan format PMCK-1 (untuk proses produksi
terpadu) atau PMCK-2 (non terpadu). Permohonan sebagaimana
dimaksud diatas, diajukan berdasarkan pesanan produsen Barang Hasil
Akhir, dan pemohon harus mencantumkan rincian jumlah etil alkohol yang
dimintakan pembebasan cukai serta rincian jumlah dan jenis Barang Hasil
Akhir yang akan diproduksi.Dalam hal permohonan tersebut diajukan oleh
Importir, harus dicantumkan pelabuhan pemasukan etil alkohol, dan
dalam hal permohonan diterima secara lengkap dan benar.

2) Kepala KPPBC akan melakukan penelitian administrasi dan untuk


permohonan pertama kali wajib dilakukan pemeriksaan fisik lokasi tempat
yang akan dipakai menimbun etil alkohol di lokasi pabrikan BHA.

hal | 91
3) Apabila permohonan telah lengkap dan layak diterima, Kepala Kantor
membuat rekomendasi mengenai permohonan yang diajukan.

4) Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau Pejabat yang ditunjuknya atas
nama Menteri Keuangan dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari sejak
permohonan diterima secara lengkap dan benar, menetapkan keputusan
atas permohonan yang diajukan sebagaimana dimaksud diatas dan
kepada pengusaha Barang Hasil Akhir bersangkutan diberikan NPP.

Produsen yang memperoleh pembebasan cukai etil alkohol untuk


digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan Barang
Hasil Akhir sebagaimana dimaksud diatas, wajib menyampaikan laporan bulanan
kepada Direktur Jenderal melalui Kepala Kantor Pelayanan paling lama tanggal
10 pada bulan berikutnya berdasarkan catatan pembukuan sebagaimana
dimaksud dalam huruf b, yang memuat :
a. jumlah etil alkohol yang memperoleh pembebasan cukai yang diterima;
b. jumlah etil alkohol yang digunakan;
c. sisa etil alkohol yang belum digunakan yang masih ada dalam perusahaan
pada akhir bulan; dan
d. jenis dan jumlah Barang Hasil Akhir yang menggunakan etil alkohol yang
diproduksi selama satu bulan, dengan menggunakan contoh format
LACK-4 .

b. Untuk Keperluan Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan

Pembebasan cukai atas etil alkohol yang digunakan untuk keperluan


penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, dengan kadar paling rendah
85 % (delapan puluh lima persen). Selanjutnya untuk memperoleh pembebasan
cukai sebagaimana dimaksud, Pengusaha Pabrik, Pengusaha Tempat
Penyimpanan, Pengusaha Tempat Penyimpanan Khusus Pencampuran, atau
Importir mengajukan permohonan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur
Jenderal melalui Kepala Kantor Pelayanan dengan menggunakan contoh format
PMCK-3.

hal | 92
Permohonan diajukan berdasarkan pesanan lembaga/badan resmi
pemerintah yang bergerak di bidang penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan dengan mencantumkan rincian jumlah etil alkohol yang dimintakan
pembebasan cukai dan tujuan pemakaiannya. Dalam hal permohonan diterima
secara lengkap dan benar, Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau Pejabat yang
ditunjuknya atas nama Menteri Keuangan dalam waktu paling lama 10 (sepuluh)
hari sejak permohonan diterima secara lengkap dan benar, menetapkan
keputusan atas permohonan yang diajukan, dan kepada lembaga atau badan
bersangkutan diberikan NPP.

Kepala lembaga atau badan sebagai lembaga/badan penerima


pembebasan cukai, wajib menyampaikan laporan bulanan kepada Direktur
Jenderal melalui Kepala Kantor Pelayanan yang mengawasinya, paling lama
tanggal 10 pada bulan berikutnya, yang memuat :
a) Jumlah etil alkohol yang memperoleh pembebasan cukai yang diterima;
b) Jumlah etil alkohol yang digunakan; dan
c) Jumlah etil alkohol yang belum digunakan yang masih ada pada akhir bulan,
dengan menggunakan contoh format LACK-5 .

c. Untuk Keperluan Perwakilan Asing dan Tenaga Ahli Bangsa Asing

Untuk Keperluan Perwakilan negara Asing

Pembebasan cukai dapat diberikan atas minuman yang mengandung etil


alkohol dan hasil tembakau untuk keperluan perwakilan negara asing beserta
para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik.
Dalam hal ini jumlah BKC yang dapat dibebaskan pada prinsipnya tidak dibatasi
secara khusus, namun tetap berpedoman kepada asas timbal balik.

BKC yang diberikan pembebasan cukai dapat diperoleh dari Toko Bebas
Bea atau diimpor langsung sesuai ketentuan yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan kepabeanan yang berlaku. Untuk memperoleh
pembebasan cukai sebagaimana diatas, yang bersangkutan mengajukan
permohonan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal dengan diketahui
oleh Departemen Luar Negeri.

hal | 93
Untuk keperluan Tenaga ahli Bangsa asing

Pembebasan cukai dapat diberikan atas minuman yang mengandung etil


alkohol dan hasil tembakau untuk keperluan tenaga ahli bangsa asing yang
bertugas pada badan atau organisasi internasional di Indonesia. Untuk
memperoleh pembebasan cukai sebagaimana dimaksud diatas, tenaga ahli yang
bersangkutan mengajukan permohonan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur
Jenderal dengan diketahui oleh Sekretariat Negara.

Jumlah BKC yang dapat diberi pembebasan cukai kepada tenaga ahli
bangsa asing, paling tinggi :
a) Minuman yang mengandung etil alkohol: 10 (sepuluh) liter setiap orang
dewasa setiap bulan
b) Hasil tembakau berupa: sigaret maksimal 300 (tiga ratus) batang ; atau
Cerutu maksimal 100 (seratus) batang; atau Tembakau iris/hasil tembakau
lainnya: maksimal 500 (lima ratus) gram; untuk setiap orang dewasa setiap
bulan atau dalam hal lebih dari satu jenis hasil tembakau, setara dengan
perbandingan jumlah setiap jenis hasil tembakau tersebut.

BKC yang diberikan pembebasan cukai untuk keperluan keperluan


tenaga ahli bangsa asing yang bertugas pada badan atau organisasi
internasional di Indonesia, hanya dapat diperoleh pada Toko Bebas Bea
sesuai ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
kepabeanan yang berlaku.

d. Barang Bawaan Penumpang, Awak Sarana Pengangkut, atau Kiriman


dari Luar Negeri

Pembebasan cukai dapat diberikan atas minuman yang mengandung etil


alkohol dan hasil tembakau yang dibawa oleh penumpang, awak sarana
pengangkut, atau kiriman dari luar negeri. Jumlah BKC yang mendapatkan
pembebasan cukai adalah dalam jumlah setingi-tingginya sebagai berikut:
1) untuk penumpang yang datang dari luar negeri, paling tinggi:
- MMEA maksimal : 1 (satu) liter setiap orang dewasa.

hal | 94
- Hasil tembakau : Sigaret: 200 (dua ratus) batang ; atau Cerutu: 25 (dua
puluh lima) batang ; atau Tembakau iris/hasil tembakau lainnya : 100
(seratus) gram untuk setiap orang dewasa atau dalam hal lebih dari satu
jenis hasil tembakau, setara dengan perbandingan jumlah setiap jenis
hasil tembakau tersebut.
2) untuk awak sarana pengangkut, paling tinggi :
- MMEA maksimal : 350 (tiga ratus lima puluh) mililiter setiap orang
dewasa.
- Hasil tembakau : Sigaret: 40 (empat puluh) batang ; atau Cerutu: 10
(sepuluh) batang ; atau Tembakau iris/hasil tembakau lainnya : 40
(empat puluh) gram untuk setiap orang dewasa atau dalam hal lebih dari
satu jenis hasil tembakau, setara dengan perbandingan jumlah setiap
jenis hasil tembakau tersebut.
3) Untuk barang kiriman dari luar negeri paling tinggi :
- MMEA : 350 (tiga ratus lima puluh) mili liter untuk setiap alamat
penerima kiriman
- Hasil tembakau: sigaret maksimal 40 empat puluh) batang ; atau Cerutu:
10 (sepuluh) batang ; atau Tembakau iris/hasil tembakau lainnya : 40
(empat puluh) gram untuk setiap alamat penerima kiriman atau dalam
hal lebih dari satu jenis hasil tembakau, setara dengan perbandingan
jumlah setiap jenis hasil tembakau tersebut.

Dalam hal jumlah BKC yang dibawa oleh penumpang, awak sarana pengangkut,
atau kiriman dari luar negeri melebihi jumlah yang ditetapkan sebagaimana
diatas, atas kelebihannya wajib dimusnahkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai.

e. Untuk Tujuan Sosial

Pembebasan cukai untuk tujuan sosial, dapat diberikan atas etil alkohol
dengan kadar paling rendah 85 % (delapan puluh lima persen) yang digunakan
untuk tujuan sosial. Yang dimaksud dengan tujuan sosial adalah untuk keperluan
rumah sakit. Untuk memperoleh pembebasan sebagaimana dimaksud diatas,
Pengusaha Pabrik, Pengusaha Tempat Penyimpanan, Pengusaha Tempat

hal | 95
Penyimpanan khusus pencampuran, atau Importir mengajukan permohonan
kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal melalui Kepala Kantor
Pengawasan dan Pelayanan, dengan menggunakan contoh format PMCK-3.
Permohonan sebagaimana dimaksud diatas, diajukan berdasarkan pesanan
rumah sakit dengan mencantumkan rincian jumlah etil alkohol yang dimintakan
pembebasan cukai dan tujuan pemakaiannya.

Jika permohonan diterima secara lengkap dan benar, Direktur Jenderal


Bea dan Cukai atau Pejabat yang ditunjuknya atas nama Menteri Keuangan
dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari sejak permohonan diterima secara
lengkap dan benar, menetapkan keputusan atas permohonan yang diajukan,
dan kepada rumah sakit bersangkutan diberikan NPP. Keputusan
pembebasan ataupun penolakan disampaikan kepada pemohon dan
salinannya disampaikan kepada kepala/pimpinan rumah sakit bersangkutan,
Kepala Kantor Wilayah dan Direktur Cukai.

Kepala/pimpinan rumah sakit wajib menyampaikan laporan bulanan


penerimaan dan penggunaan etil alkohol kepada Direktur Jenderal melalui
Kepala Kantor Pelayanan, paling lambat tanggal 10 pada bulan berikutnya,
yang memuat :
a) Jumlah etil alkohol yang memperoleh pembebasan cukai yang diterima;
b) Jumlah etil alkohol yang digunakan; dan
c) Jumlah etil alkohol yang belum digunakan yang masih ada pada akhir
bulan, dengan menggunakan contoh format LACK-6.

f. BKC Yang Dimasukkan ke Tempat Penimbunan Berikat

Pembebasan cukai dapat diberikan atas BKC yang berasal dari dalam
negeri atau luar negeri yang dimasukkan ke Tempat Penimbunan Berikat.
Pengusaha Pabrik, Pengusaha Tempat Penyimpanan atau Pengusaha Tempat
Penyimpanan Khusus Pencampuran, sebelum mengeluarkan BKC dari Pabrik,
Tempat Penyimpanan atau Tempat Penyimpanan khusus pencampuran untuk
dimasukkan ke Tempat Penimbunan Berikat, wajib memberitahukan kepada
Kepala Kantor Pelayanan dengan menggunakan contoh format PMBKC. Dalam
hal BKC yang akan dimasukkan ke Tempat Penimbunan Berikat berasal dari

hal | 96
Kawasan Pabean, pelaksanaannya mengikuti tata laksana yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan Kepabeanan.

Selanjutnya BKC yang memperoleh pembebasan cukai sebagaimana


dimaksud diatas, digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong pada
pembuatan BKC yang dijual atau diserahkan di dalam negeri, maka terhadap
BKC dimaksud wajib dilunasi cukainya. Dalam hal BKC yang berasal dari
Tempat Penimbunan Berikat yang dimasukkan ke Toko Bebas Bea, dijual
kepada pembeli yang berhak sesuai ketentuan yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan kepabeanan yang berlaku.

g. Etil Alkohol Yang Didenaturasi Menjadi Spiritus Bakar

Ketentuan Pembebasan

Pembebasan cukai dapat diberikan atas etil alkohol yang


dirusak/didenaturasi menjadi spiritus bakar sehingga tidak baik untuk diminum.
Perusakan etil alkohol menjadi spiritus bakar hanya diizinkan kepada Pengusaha
Pabrik, Pengusaha Tempat Penyimpanan, atau Pengusaha Tempat
Penyimpanan Khusus Pencampuran dan dilakukan di tempat tertentu di Pabrik
atau Tempat Penyimpanan dengan diawasi Pejabat Bea dan Cukai.

Pengusaha Pabrik, Pengusaha Tempat Penyimpanan, atau Pengusaha


Tempat Penyimpanan Khusus Pencampuran, sebelum melakukan perusakan etil
alkohol menjadi spiritus bakar wajib mengajukan permohonan kepada Menteri
Keuangan up. Direktur Jenderal melalui Kepala Kantor Bea dan Cukai setempat
dengan menggunakan contoh format PMCK-4 . Khusus untuk permohonan
pertama kali, sebelum pengajuan PMCK-4, pengusaha pabrik terlebih dahulu
wajib untuk mengajukan permohonan pemeriksaan lokasi bangunan kepada
Kepala Kantor Bea dan Cukai setempat.

Direktur Jenderal u.b. Direktur Cukai atas nama Menteri Keuangan dalam
waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan diterima secara
lengkap, harus menetapkan keputusan mengabulkan atau menolak permohonan.

hal | 97
Izin pembebasan cukai terhadap etil alkohol untuk didenaturasi menjadi spiritus
bakar berlaku dalam periode 12 bulan dan tidak dapat dipindahtangankan.

Atas pelaksanaan perusakan etil alkohol menjadi spiritus bakar dibuatkan


Berita Acara Perusakan Etil Alkohol dengan menggunakan contoh format BACK-
6. Etil alkohol yang telah dirusak menjadi spiritus bakar harus dikeluarkan dari
Pabrik paling lambat 8 (delapan) hari setelah pelaksanaan perusakan dan etil
alkohol yang telah dirusak menjadi spiritus bakar harus dikeluarkan dari Tempat
Penyimpanan, Tempat Penyimpanan Khusus Pencampuran paling lambat 1
(satu) hari setelah pelaksanaan perusakan.

Pengusaha Pabrik, Pengusaha Tempat Penyimpanan, atau Pengusaha


Tempat Penyimpanan Khusus Pencampuran wajib menyampaikan laporan
bulanan tentang jumlah etil alkohol yang dirusak menjadi spiritus bakar dan
jumlah spiritus bakar yang dihasilkan kepada Direktur Jenderal melalui Kepala
Kantor Pelayanan, paling lambat pada tanggal 10 pada bulan berikutnya dengan
menggunakan contoh format LACK-7. Dalam hal etil alkohol yang telah dirusak
menjadi spiritus bakar disuling ulang (redestilasi) atau dipisahkan bahan
perusaknya, baik seluruhnya maupun sebagian, dianggap sebagai BKC yang
wajib dilunasi cukainya.

Tatacara Perusakan Etil Alkohol menjadi Spiritus Bakar

Tata cara perusakan Etil Alkohol menjadi spiritus bakar diatur sebagai
berikut :
- Perusakan etil alkohol menjadi spiritus bakar (brand spiritus) dilakukan di
Pabrik Etil Alkohol
- Atas kegiatan perusakan Etil Alkohol menjadi spiritus bakar tersebut
dilakukan pemeriksaan dan pengawasan oleh pejabat bea dan cukai.
- Perusakan Etil Alkohol dilakukan dengan cara mencampur Etil Alkohol
dengan bahan perusak dengan rumus Pencampuran:

hal | 98
Perbandingan 80 liter Etil Alkohol dengan kadar 50 % dicampur 1,4 liter
bahan pencampur.
Bahan perusakan dimaksud butir 3 diatas, diperoleh dari pencampuran
bahan-bahan dengan perbandingan :
a) 400 liter metanol tidak berwarna dicampur dengan 96 gram bahan
warna biru kering ( methylen blue) atau bahan warna violet (
methylen violet) ;
b) 400 liter hasil pencampuran tersebut, dicampur dengan 160 liter
kerosen (minyak tanah) sehingga menjadi 560 liter bahan
pencampur.

Contoh :
PT PS sebagai pabrik etil alkohol mengajukan permohonan PMCK-6 untuk
pembuatan brand spiritus. Jumlah etil alkohol yang diajukan pembebasan adalah
1000 liter kadar 90%. Hitung jumlah bahan pencampur, jumlah spiritus bakar
yang duhasilkan dan bahan-bahan pencampur yang dibutuhkan.
Jawab :
- Jumlah Bahan Pencampur

- Jumlah Spiritus Bakar :


1.000 Liter + 31, 5 Liter = 1.031,5 Liter
- Komposisi bahan pencampur :
Jumlah Methanol

Jumlah Kerosin

Jumlah Bahan Pewarna :

hal | 99
h. Untuk Konsumsi Penumpang Atau Awak Sarana Pengangkut

Pembebasan Cukai dapat diberikan atas minuman yang mengandung etil


alkohol dan hasil tembakau yang berasal dari Pabrik atau yang diimpor untuk
dikonsumsi oleh penumpang atau awak sarana pengangkut yang berangkat
langsung ke luar Daerah Pabean melalui darat, laut, atau udara. Untuk
memperoleh pembebasan cukai sebagaimana dimaksud diatas, Pengusaha
Pabrik atau Importir mengajukan permohonan kepada Menteri Keuangan c.q.
Direktur Jenderal melalui Kepala Kantor Pelayanan dengan menggunakan
contoh format PMCK-5.

Permohonan pembebasan cukai, diajukan berdasarkan pesanan


pengusaha pengangkutan atau pengusaha jasa boga (catering) yang ditunjuk
oleh pengusaha pengangkutan dengan mencantumkan rincian jumlah minuman
mengandung etil alkohol dan/atau hasil tembakau yang dimintakan pembebasan
cukai. Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud diajukan oleh Importir,
harus dicantumkan pelabuhan pemasukan minuman mengandung etil alkohol
dan/atau hasil tembakau.

Jika permohonan diterima secara lengkap dan benar, Direktur Jenderal


Bea dan Cukai atau Pejabat yang ditunjuknya atas nama Menteri Keuangan
dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari, sejak permohonan diterima secara
lengkap dan benar, menetapkan keputusan atas permohonan yang diajukan
tersebut, dan kepada pengusaha pengangkutan atau pengusaha jasa boga
(catering) diberikan NPP.

Keputusan sebagaimana dimaksud diatas, disampaikan kepada pemohon


dan salinannya disampaikan kepada pengusaha pengangkutan atau pengusaha
jasa boga (catering) yang ditunjuk oleh pengusaha pengangkutan, Kepala Kantor
Wilayah dan Direktur Cukai. Pengusaha Pabrik atau Importir sebelum
mengeluarkan minuman yang mengandung etil alkohol dan hasil tembakau dari
Pabrik atau Kawasan Pabean, wajib memberitahukan kepada Kepala Kantor
Pelayanan yang membawahi dengan menggunakan contoh format PMBKC.

Atas penggunaan fasilitas pembebasan tersebut, pengusaha


pengangkutan atau pengusaha jasa boga, wajib menyampaikan laporan bulanan

hal | 100
tentang realisasi penerimaan dan penggunaan BKC kepada Direktur Jenderal
melalui Kepala Kantor Pelayanan, paling lambat pada tanggal 10 pada bulan
berikutnya, yang memuat :

a) Jumlah MMEA dan hasil tembakau yang memperoleh pembebasan cukai


yang diterima ;
b) Jumlah MMEA dan hasil tembakau yang digunakan;
c) Jumlah MMEA dan hasil tembakau yang belum digunakan yang masih ada
pada akhir bulan, dengan menggunakan contoh format LACK-8 .

C. Penundaan Pembayaran Cukai

1. Gambaran Umum

Istilah Penundaan yang dimaksudkan dalam konteks materi belajar ini


adalah suatu bentuk kemudahan pembayaran berupa penangguhan pembayaran
cukai selama jangka waktu tertentu (antara satu hingga tiga bulan) tanpa
dikenakan bunga yang diberikan kepada Pengusaha Pabrik atau Importir BKC.
Penundaan dapat diberikan kepada pengusaha pabrik atau importir atas
pemesanan pita cukai bagi yang melaksanakan pelunasan dengan cara
pelekatan pita cukai.

Filosofi dasar pemberian penundaan pembayaran adalah untuk


memberikan keringanan finansil kepada Pengusaha Pabrik atau importir atas
pemesanan pita cukai yang harus dipesan terlebih dahulu sebelum produknya
siap untuk dijual. Logika berfikirnya dapat kami jelaskan berikut ini :
 Ketentuan dasar cukai mengatur bahwa saat pelunasan cukai (paling
lambat) adalah ketika produk BKC dikeluarkan dari pabrik atau tempat
penimbunan sementara (khusus BKC impor).
 Atas BKC yang pelunasannya dengan cara pelekatan pita cukai maka
sebelum BKC diproduksi, Pengusaha Pabrik terlebih dahulu harus memiliki
pita cukai dengan cara mengikuti mekanisme yang berlaku (P3C dan
pengajuan CK-1). Untuk menjaga agar kelangsungan produksi tetap

hal | 101
berlangsung, Pengusaha wajib memiliki persediaan pita cukai dalam jumlah
yang cukup. Hal iini tentu saja akan membuat cost tersendiri bagi pengusaha
pabrik apabila pemesanan pita cukai dilakukan secara tunai.
 Berdasar filosofi inilah dapat kita ambil kesimpulan bahwa penundaan
pembayaran adalah sangat wajar diberikan kepada pengusaha atau reksan.
 Perlu anda ingat bahwa pemesanan pita cukai dengan pengajuan dokumen
CK-1 yang dibayar secara tunai bukanlah suatu bentuk pelunasan cukai.
Pelunasan cukai atas BKC hasil tembakau dan MMEA tertentu terjadi pada
saat pita cukai dilekatkan pada kemasan penjualan eceran.

Ketentuan mengenai penundaan pembayaran cukai diatur dalam pasal 7A ayat


(2) Undang-undang Cukai, dan sebagai aturan pelaksanaannya telah diterbitkan
dalam suatu Peraturan menteri Keuangan .

2. Ketentuan Penundaan Cukai

a. Batasan Nilai Penundaan

Perhitungan besarnya nilai cukai yang dapat diberikan penundaan:


a) untuk pengusaha pabrik, sebanyak 2 (dua) kali dari nilai cukai rata–rata per
bulan yang paling tinggi, yang dihitung dari pemesanan pita cukai dalam
kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir atau dalam waktu 3 (tiga) bulan terakhir;
b) untuk importir, sebanyak 1 (satu) kali dari nilai cukai rata–rata per bulan yang
paling tinggi, yang dihitung dari pemesanan pita cukai dalam kurun waktu 6
(enam) bulan terakhir atau dalam kurun waktu 3 (tiga) bulan terakhir.
c) bagi pengusaha pabrik yang telah mengekspor hasil tembakau melebihi
yang dijual di dalam negeri, diberikan penundaan sebanyak 3 (tiga) kali dari
nilai cukai rata-rata perbulan yang paling tinggi, yang dihitung dari
pemesanan pita cukai dalam kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir atau
dalam kurun waktu 3 (tiga) bulan terakhir
d) Nilai cukai yang dapat diberikan penundaan sebagaimana dimaksud pada
poin (a) dan (b) dapat ditambah paling banyak 50% (lima puluh persen) dari
hasil perhitungan dengan mempertimbangkan kinerja keuangan perusahaan.

hal | 102
e) Dalam hal terjadi perubahan ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai HJE dan/atau tarif cukai yang mengakibatkan kenaikan nilai cukai
yang wajib dibayar, pengusaha pabrik dan importir dapat mengajukan
permohonan penyesuaian nilai cukai yang diberikan penundaan.

b. Jangka Waktu Penundaan

Penundaan pembayaran cukai diberikan dalam jangka waktu:


a) 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal dokumen pemesanan pita cukai,
untuk pengusaha pabrik; atau
b) 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal dokumen pemesanan pita cukai,
untuk importir.
c) Dikecualikan dari ketentuan jangka waktu penundaan adalah bagi
pengusaha pabrik yang telah mengekspor hasil tembakau melebihi yang
dijual di dalam negeri sebelum tahun anggaran berjalan yang dihitung
berdasarkan dokumen pemesanan pita cukai, dapat diberikan penundaan
dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari.

Apabila tanggal jatuh tempo bertepatan dengan hari libur, hari yang diliburkan,
atau bukan hari kerja perbankan yang mengakibatkan pembayaran tidak dapat
dilakukan, pembayaran cukai yang terutang wajib dilakukan pada hari kerja
sebelum jatuh tempo.

Penetapan jangka waktu penundaan bila dibandingkan dengan jangka


waktu yang tersebut dalam pasal 7A ayat (2) Undang-undang Cukai, maka akan
terdapat sedikit perbedaan. Jangka waktu penundaan berdasarkan Undang-
undang Cukai dinyatakan dalam satuan hari bukan dalam satuan bulan.

Dalam praktek yang terjadi di lapangan, batasan waktu dengan


menggunakan satuan hari sering menimbulkan selisih paham atau perbedaan
persepsi mengenai tanggal jatuh tempo penundaan. Oleh karenanya aturan PMK
nomor 69/PMK.04/2009 menggunakan satuan bulan sebagai dasar penentuan
jangka waktu penundaan pembayaran. Hal ini bertujuan untuk memudahkan
tugas pejabat Bea dan Cukai yang menangani kegiatan pemberian kemudahan
pembayaran.

hal | 103
Contoh : PT. XY pabrik HT dalam negeri mengajukan CK-1 pada tanggal 04
Februari 2010 dengan penundaan pembayaran, maka jatuh tempo CK-1 yang
bersangkutan adalah tanggal 04 April 2010.

c. Kewajiban Jaminan dan Persyaratan Penundaan

Untuk pemesanan pita cukai dengan mendapatkan penundaan maka


pengusaha pabrik atau importir wajib mempertaruhkan jaminan. Ketentuan
jaminan yang harus dipertaruhkan adalah sebagai berikut:
a) Terhadap pengusaha pabrik wajib menyerahkan jaminan berupa jaminan
bank, jaminan dari perusahaan asuransi, atau jaminan perusahaan; atau
b) Terhadap importir wajib menyerahkan jaminan bank.

Untuk mendapatkan penundaan dengan jaminan perusahaan, pengusaha


pabrik harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a) merupakan pengusaha berisiko rendah berdasarkan profil pengusaha pabrik;
b) merupakan Pengusaha Kena Pajak;
c) tidak pernah melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-
undangan di bidang cukai dalam kurun waktu 1 (satu) tahun terakhir;
d) tidak mempunyai tunggakan utang cukai yang tidak dibayar pada waktunya,
kekurangan cukai, sanksi administrasi berupa denda, dan/atau bunga di
bidang cukai, kecuali sedang diajukan keberatan;
e) tidak sedang melakukan pengangsuran pembayaran atas surat tagihan;
f) memiliki laporan keuangan perusahaan yang telah diaudit oleh akuntan
publik dengan opini wajar tanpa pengecualian selama 2 (dua) tahun terakhir;
g) memiliki kinerja keuangan yang baik.

Untuk mendapatkan penundaan dengan jaminan bank atau jaminan dari


perusahaan asuransi, pengusaha pabrik harus memenuhi persyaratan :
1) merupakan Pengusaha Kena Pajak;
2) tidak pernah melakukan pelanggaran pidana di bidang cukai dalam kurun
waktu 1 (satu) tahun terakhir;

hal | 104
3) tidak mempunyai tunggakan utang cukai yang tidak dibayar pada waktunya,
kekurangan cukai, sanksi administrasi berupa denda, dan/atau bunga di
bidang cukai, kecuali sedang diajukan keberatan;
4) dalam hal pengusaha pabrik mendapatkan pemberian pengangsuran, jumlah
angsurannya sudah mencapai 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih dari
total tagihan;
5) memiliki laporan keuangan perusahaan yang telah diaudit oleh akuntan
publik dengan opini wajar tanpa pengecualian selama 1 (satu) tahun terakhir;
6) memiliki kinerja keuangan yang baik.

Untuk mendapatkan penundaan dengan jaminan bank, importir harus


memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) merupakan Pengusaha Kena Pajak;
2) tidak pernah melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-
undangan di bidang kepabeanan dan cukai dalam kurun waktu 1 (satu)
tahun terakhir;
3) tidak mempunyai tunggakan utang cukai yang tidak dibayar pada waktunya,
kekurangan cukai, sanksi administrasi berupa denda, dan/atau bunga di
bidang cukai, kecuali sedang diajukan keberatan;
4) memiliki laporan keuangan perusahaan yang telah diaudit oleh akuntan
publik dengan opini wajar tanpa pengecualian selama 2 (dua) tahun terakhir;
5) memiliki kinerja keuangan yang baik.

d. Pejabat yang Berwenang Memberikan Penundaan

Penetapan terhadap permohonan penundaan yang diajukan oleh


pengusaha pabrik atau importir dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebagai
berikut:
1) untuk permohonan penundaan dengan nilai cukai sampai dengan Rp
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) ditetapkan oleh Kepala Kantor
Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai atas nama Menteri Keuangan.
2) untuk permohonan penundaan dengan nilai cukai sampai dengan Rp
50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah) ditetapkan oleh Kepala Kantor

hal | 105
Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Madya atas nama Menteri
Keuangan.
3) untuk permohonan penundaan melalui Kantor Pelayanan Utama Bea dan
Cukai, ditetapkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atas
nama Menteri Keuangan.
4) penundaan ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah atas nama Menteri
Keuangan, dengan ketentuan sebagai berikut:
a) untuk permohonan penundaan dengan nilai cukai lebih dari Rp
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) bagi pengusaha pabrik atau
importir yang berada pada pengawasan kantor sebagaimana dimaksud
pada poin (1).
b) untuk permohonan penundaan dengan nilai cukai lebih dari Rp
50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah) bagi pengusaha pabrik atau
importir yang berada pada pengawasan kantor Bea Cukai tipe madya.

e. Pembekuan dan Pencabutan Penundaan Cukai

Kemudahan penundaan cukai yang diberikan kepada pengusaha dapat


dibekukan selama 6 (enam) bulan, dalam hal :
1) pelanggaran perdagangan BKC berupa pemberian hadiah uang, barang atau
yang semacam itu, baik dikemas menjadi satu maupun tidak menjadi satu
dengan BKC;
2) pengusaha pabrik atau importir diduga melakukan pelanggaran pidana di
bidang cukai;
3) pengusaha pabrik atau importir melakukan pelanggaran administrasi di
bidang cukai;
4) pengusaha pabrik atau importir tidak menyelesaikan kewajiban pembayaran
cukai sampai jatuh tempo penundaan; atau
5) hasil pemeriksaan sediaan pita cukai atau hasil audit yang dilakukan pejabat
bea dan cukai, kedapatan selisih kurang atau lebih yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan dari jumlah pita cukai yang seharusnya ada sesuai
buku atau catatan sediaan pita cukai.

hal | 106
6) pengusaha pabrik yang mendapatkan penundaan dengan jaminan bank atau
jaminan dari perusahaan asuransi atau importir yang mendapatkan
penundaan dengan jaminan bank, sedang melakukan pengangsuran
pembayaran atas surat tagihan kurang dari 75% (tujuh puluh lima persen)
dari jumlah tagihan.

Pengusaha pabrik atau importir yang dibekukan keputusan pemberian


penundaannya, tidak dapat mengajukan permohonan penundaan baru selama
masa pembekuan. Pembekuan keputusan pemberian penundaan dilakukan oleh
kepala kantor dengan menerbitkan surat pemberitahuan disertai alasan
pembekuan.

Keputusan pemberian penundaan yang telah dibekukan dapat diberlakukan


kembali, apabila:
1) jangka waktu 6 (enam) bulan telah dilewati;
2) pengusaha tidak terbukti melakukan pelanggaran pidana di bidang cukai;
3) pengusaha pabrik atau importir telah melakukan pemenuhan kewajiban yang
ada akibat pelanggaran di bidang cukai dan/atau telah membayar sanksi
administrasi berupa denda;
4) pengusaha pabrik atau importir telah membayar utang cukai yang tidak
dibayar pada waktunya dan sanksi administrasi berupa denda; atau
5) pengusaha pabrik yang melakukan pengangsuran pembayaran cukai, telah
melakukan pengangsuran pembayaran atas surat tagihan sebesar 75%
(tujuh puluh lima persen) atau lebih dari jumlah tagihan.
Keputusan pemberian penundaan dicabut dalam hal:
1) atas permohonan pengusaha pabrik atau importir yang bersangkutan;
2) NPPBKC pengusaha pabrik atau importir yang bersangkutan dicabut;
3) persyaratan mendapatkan penundaan tidak lagi dipenuhi;
4) jangka waktu 6 (enam) bulan telah dilewati namun pengusaha pabrik atau
importir tidak menyelesaikan kewajiban di bidang cukai;
5) pengusaha pabrik atau importir belum menyelesaikan utang cukai,
kekurangan cukai, dan/atau sanksi administrasi berupa denda sampai jatuh
tempo; dan/atau

hal | 107
6) pengusaha pabrik atau importir dijatuhi sanksi pidana di bidang cukai yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pengusaha pabrik atau importir yang dicabut keputusan pemberian
penundaannya, dapat mengajukan kembali permohonan penundaan setelah 6
(enam) bulan sejak tanggal pencabutan.

D. Pembayaran Berkala

1. Gambaran Umum

Pengertian pembayaran berkala adalah pemberian kemudahan


pembayaran berupa penangguhan pembayaran hutang-hutang cukai yang timbul
atas pengeluaran BKC dari pabrik, dan wajib dilunasi paling lambat pada setiap
tanggal 5 bulan berikutnya, tanpa dikenai bunga. Dalam hal jatuh tempo
pembayaran berkala jatuh pada hari libur, hari diliburkan, atau bukan hari kerja
dari Bank Persepsi, Bank Devisa Persepsi, atau Pos Persepsi, yang
mengakibatkan pembayaran tidak dapat dilakukan, maka pembayaran cukai
yang terutang wajib dilakukan pada hari kerja sebelum jatuh tempo.

Pembayaran berkala merupakan salah satu bentuk kemudahan


pembayaran yang diberikan oleh pemerintah kepada industri BKC yang berskala
besar dan memiliki reputasi yang baik. Referensi ketentuan mengenai tatacara
pembayaran berkala diatur dengan Peraturan Menteri.

Pembayaran secara berkala dapat diberikan kepada pengusaha pabrik yang


melaksanakan pelunasan cukainya dengan cara pembayaran, yang memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1) tidak pernah melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-
undangan di bidang cukai dalam kurun waktu 1 (satu) tahun terakhir;
2) memiliki volume produksi BKC dalam negeri paling sedikit 10 (sepuluh) juta
liter pertahun;
3) tidak mempunyai utang cukai yang tidak dibayar pada waktunya,
kekurangan cukai, sanksi administrasi berupa denda, dan/atau bunga di
bidang cukai kecuali sedang diajukan keberatan;

hal | 108
4) dalam hal pengusaha pabrik mendapatkan pemberian pengangsuran,
jumlah angsurannya sudah mencapai 75% atau lebih dari total tagihan;
5) memenuhi kewajiban perpajakan dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir
dengan baik;
6) memiliki laporan keuangan perusahaan yang telah diaudit oleh akuntan
publik dengan opini wajar tanpa pengecualian dalam kurun waktu 2 (dua)
tahun terakhir;
7) menerapkan teknologi berupa sistem komputer yang dapat memonitor
setiap saat proses produksi dan pengeluaran BKC.

2. Ketentuan Pembayaran Berkala

Kewajiban Jaminan dan Persyaratan Permohonan

Untuk dapat mengeluarkan BKC dengan pembayaran secara berkala,


pengusaha pabrik harus menyerahkan jaminan kepada kepala kantor. Jenis
jaminan yang dapat diserahkan dalam rangka pembayaran secara berkala
sebagaimana dimaksud, berupa: Jaminan bank atau Jaminan dari perusahaan
asuransi. Atas jaminan yang diserahkan dalam rangka pembayaran secara
berkala sebagaimana dimaksud pada kepala kantor menerbitkan Bukti
Penerimaan Jaminan (BPJ).

Dalam rangka mengajukan permohonan untuk dapat melakukan


pembayaran cukai secara berkala, pengusaha pabrik harus terlebih dahulu
mengajukan permohonan secara tertulis kepada kepala kantor untuk dilakukan
pemeriksaan sistem komputer sebagai salah satu syarat diberikannya
pembayaran berkala. Atas pemeriksaan tersebut, pejabat bea dan cukai
membuat Berita Acara Pemeriksaan yang berisi hasil pemeriksaan fisik dengan
menggunakan contoh format standar dengan disertai tata letak (lay out) dan
bagan alur sistem monitoring proses produksi dan pengeluaran BKC.

Setelah dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pemohon


mengajukan permohonan secara tertulis kepada kepala kantor untuk

hal | 109
memperoleh pembayaran cukai secara berkala. Permohonan tersebut harus
dilampiri dengan :
1) Laporan keuangan perusahaan selama 2 (dua) tahun terakhir berturut-turut
yang telah diaudit oleh akuntan publik dengan opini wajar tanpa
pengecualian;
2) Rekapitulasi produksi setiap bulan dan rekapitulasi pembayaran cukai setiap
bulan, dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir; dan
3) Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPT) Masa Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) dan SPT Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) dalam kurun waktu 2
(dua) tahun terakhir.

Atas permohonan pebayaran berkala, kepala kantor atas nama Menteri


Keuangan menyetujui atau menolak permohonan dalam jangka waktu 14 (empat
belas) hari terhitung sejak pengajuan permohonan diterima secara lengkap.
Keputusan pemberian pembayaran secara berkala sebagaimana dimaksud
berlaku paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal ditetapkan keputusan
pemberian pembayaran secara berkala.

Sanksi atas Wanprestasi

Dalam hal pengusaha pabrik yang mendapatkan persetujuan


pembayaran secara berkala tidak menyelesaikan pembayaran cukai sampai
dengan jatuh tempo pembayaran secara berkala, berlaku ketentuan sebagai
berikut :
1) dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 10% (sepuluh persen)
dari nilai cukai yang terutang; dan
2) jaminan yang diserahkan pengusaha pabrik dicairkan.

Apabila sampai dengan jatuh tempo pembayaran, pengusaha pabrik tidak


menyelesaikan kewajibannya, bank penjamin atau surety harus melakukan
pencairan jaminan bank atau jaminan dari perusahaan asuransi paling lama 30
(tiga puluh) hari sejak jatuh tempo pembayaran secara berkala. Pencairan
jaminan bank atau jaminan dari perusahaan asuransi dilakukan dengan
menggunakan Surat Pencairan Jaminan (SPJ) sesuai dengan format standar.

hal | 110
Bank penjamin atau surety harus mencairkan jaminan sebesar nilai cukai
yang terutang dan memberitahukan pencairan tersebut kepada kepala kantor.
Dalam hal bank penjamin atau surety tidak melakukan pencairan jaminan berlaku
ketentuan sebagai berikut:
1) jaminan baru yang diterbitkan oleh bank penjamin atau surety yang
bersangkutan tidak dilayani sampai dengan kewajiban pencairan jaminan
dipenuhi; dan
2) terhadap cukai yang terutang dilakukan penagihan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pembekuan dan Pencabutan

Keputusan pemberian pembayaran secara berkala dapat dibekukan


selama 6 (enam) bulan sejak ditemukan pelanggaran apabila pengusaha pabrik
melakukan pelanggaran di bidang cukai. Keputusan pemberian pembayaran
secara berkala sebagaimana dimaksud dibekukan dalam hal pengusaha pabrik
yang mendapatkan pembayaran secara berkala sedang melakukan
pengangsuran pembayaran atas surat tagihan kurang dari 75% (tujuh puluh lima
persen) dari jumlah tagihan. Surat tagihan tersebut berasal dari tagihan selain
utang cukai yang tidak diselesaikan pembayaran cukainya pada saat jatuh tempo
pembayaran secara berkala.

Pengusaha pabrik yang keputusan pemberian pembayaran secara


berkalanya dibekukan, tidak dapat mengajukan permohonan pembayaran secara
berkala baru selama masa pembekuan. Pembekuan keputusan pemberian
pembayaran secara berkala dilakukan oleh kepala kantor dengan menerbitkan
surat pemberitahuan disertai alasan pembekuan. Pemberlakuan kembali
keputusan pemberian pembayaran secara berkala yang telah dibekukan dapat
dilakukan dengan ketentuan:
1) apabila telah melewati jangka waktu 6 (enam) bulan sejak dibekukan
sementara; atau
2) pengusaha pabrik telah melakukan pengangsuran pembayaran atas surat
tagihan sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih dari jumlah
tagihan.

hal | 111
Pemberlakuan kembali keputusan pemberian pembayaran secara berkala
dilakukan oleh kepala kantor dengan menerbitkan surat pemberitahuan disertai
alasan pemberlakuan kembali.

Keputusan pemberian pembayaran secara berkala sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 6 ayat (2) dapat dicabut dalam hal:
1) atas permohonan pengusaha pabrik yang bersangkutan;
2) NPPBKC pengusaha pabrik yang bersangkutan dicabut;
3) persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 5 ayat (4)
tidak lagi dipenuhi;
4) pengusaha pabrik tidak melakukan pembayaran cukai sampai dengan jatuh
tempo pembayaran secara berkala;
5) pengusaha pabrik belum menyelesaikan utang cukai dan/atau sanksi
administrasi berupa denda sampai jatuh tempo; dan/atau
6) pengusaha pabrik dijatuhi sanksi pidana di bidang cukai yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pengusaha pabrik yang dicabut keputusan pemberian pembayaran secara


berkala, dapat mengajukan permohonan untuk pemberian pembayaran secara
berkala kembali, setelah 1 (satu) tahun sejak tanggal pencabutan. Cukai yang
terutang atas pengeluaran BKC sebagai akibat dari pencabutan keputusan
pemberian pembayaran secara berkala, wajib dilunasi dengan cara tunai.

hal | 112
RANGKUMAN :

1) Konsep tidak pungut cukai mengandung pengertian bahwa obyek cukai


dikecualikan dari kategori BKC atau subyek cukai bukan termasuk sebagai
subyek yang harus menanggung beban cukai, dengan alasan penghindaran
cukai berganda, azas domisili dalam pungutan cukai dan juga akibat adanya
kemusnahan atau kerusakan BKC.

2) Jenis-jenis fasilitas tidak dipungut cukai yang diatur dalam Undang-undang


Cukai adalah:
a) Tembakau iris yang dibuat dari tembakau hasil tanaman di Indonesia
yang tidak dikemas untuk penjualan eceran atau dikemas untuk
penjualan ecaran dengan bahan pengemas tradisional yang lazim
dipergunakan;
b) MMEA tradisionil yang diperoleh dari hasil peragian atau penyulingan
oleh masyarakat pribumi, dibuat secara sederhana, semata-mata untuk
mata pencaharian dan tidak dikemas untuk penjualan eceran;
c) BKC yang diangkut terus dan diangkut lanjut;
d) BKC yang diekspor;
e) BKC yang dimasukkan kedalam Pabrik atau Tempat Penyimpanan;
f) BKC yang telah musnah atau rusak sebelum dikeluarkan dari Pabrik atau
Tempat Penyimpanan atau sebelum diberikan persetujuan impor untuk
dipakai.

3) Pembebasan cukai adalah suatu bentuk fasilitas yang diberikan kepada


Pengusaha Pabrik, Pengusaha tempat penyimpanan, Pengusaha Tempat
Penyimpanan khusus pencampuran, atau Importir untuk tidak membayar
cukai yang terutang.

4) Jenis-jenis fasilitas pembebasan cukai adalah:


a) BKC yang digunakan sebagi bahan baku/bahan penolong pembuatan
barang hasil akhir bukan BKC;
b) BKC yang digunakan untuk untuk keperluan penelitian dan
pengembangan Ilmu pengetahuan;
c) BKC yang digunakan untuk keperluan perwakilan asing dan tenaga ahli
bangsa asing;

hal | 113
d) BKC sebagai barang bawaan penumpang, awak sarana pengangkut, atau
kiriman dari luar negeri;
e) BKC yang digunakan untuk Tujuan Sosial
f) BKC yang dimasukkan ke Tempat Penimbunan Berikat
g) Etil Alkohol Yang Didenaturasi Menjadi Spiritus Bakar
h) BKC yang digunakan untuk konsumsi penumpang atau awak sarana
pengangkut
5) Pembayaran berkala merupakan bentuk kemudahan pembayaran yang
diberikan kepada subyek cukai yang cara pelunasannya dengan
pembayaran. Bentuknya adalah penangguhan pembayaran tanpa dikenakan
bunga atas kewajiban pembayaran cukai, dan wajib diselesaikan paling
lambat tanggl 5 bulan berikutnya.

6) Penundaan pembayaran merupakan bentuk kemudahan pembayaran yang


diberikan kepada subyek cukai yang cara pelunasannya dengan pelekatan
pita cukai. Bentuknya adalah penangguhan pembayaran tanpa dikenakan
bunga atas kewajiban pembayaran cukai, dan wajib diselesaikan paling
lambat antara 1(satu) sampai 3(tiga) bulan

LATIHAN :

1) Apa yang dimaksud dengan Fasilitas Tidak Dipungut Cukai dan apa
persyaratan yang harus dipenuhi, jelaskan !.
2) Apa yang dimaksud dengan Fasilitas Pembebasan Cukai dan apa
persyaratan yang harus dipenuhi, jelaskan !
3) Jelaskan perbedaan antara fasilitas pembebasan dengan fasilitas tidak
dipungut cukai!
4) Jelaskan Mengapa terhadap Pabrik Hasil tembakau perlu diberikan
kemudahan pembayaran berupa penundaan cukai !
5) Terhadap BKC yang dibawa Penumpang, dalam jumlah tertentu diberikan
pembebasan cukai. Jelaskan apa yang harus dilakukan petugas Bea dan
Cukai, ketika penumpang membawa BKC dalam jumlah yang lebih dan
yang bersangkutan siap membayar pungutan pajak berapapun mahalnya !

hal | 114
BAB

TATA CARA PELUNASAN DAN


PENAGIHAN CUKAI
4
Tujuan Pembelajaran Khusus:
Setelah mengikuti pembelajaran ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan Tata
cara pelunasan dan penagihan Cukai

A. Tatacara Pelunasan Cukai

1. Konsep Pelunasan Cukai


Pokok bahasan yang akan disampaikan
dalam Bab 4 ini adalah mengenai tata cara
pelunasan cukai, penghitungan pungutan cukai
dan penagihan pungutan cukai. Sebelum kita
masuk pada pokok bahasan ada baiknya kita
mereview kembali konsep dasar berkaitan
dengan pelunasan cukai, tentunya dengan sudut pandang yang lebih
operasional. Artinya bahwa, pelajaran mengenai konsep-konsep dasar tentang
pelunasan cukai yang anda peroleh dalam materi belajar Undang-undang Cukai
akan kita tinjau dari sudut pelaksanaan operasionalnya.

a. Saat Terutang Cukai

Konsep yang paling mendasar yang harus diketahui berkaitan dengan


pelunasan cukai adalah pemahaman mengenai saat terutang cukai (tatbestand).
Dalam pasal 3 ayat (1) Undang-undang Cukai dinyatakan bahwa :
a) BKC yang dibuat di Indonesia terutang cukai pada saat selesai dibuat
menjadi BKC ;

hal | 115
b) BKC yang berasal dari impor terutang cukai pada saat pemasukannya ke
dalam Daerah Pebean Indonesia.

Pengertian yang dapat kita pahami untuk point (1) dari bunyi pasal tersebut
adalah konsep waktu mengenai saat timbulnya hutang cukai atas BKC yang
dibuat di Indonesia. Untuk BKC yang dibuat di Indonesia, terutang cukai pada
saat selesai dibuat. Istilah “selesai dibuat”dalam penjelasan pasal ditafsirkan
sebagai “saat proses pembuatan BKC itu selesai dengan tujuan untuk dipakai”.

Bila pengertian tersebut kita kaitkan dengan masing-masimg BKC maka


kita dapat memahami istilah selesai dibuat tersebut sebagai berikut :

a) Pengertian “selesai dibuat” untuk BKC etil alkohol adalah saat proses
produksi telah menghasilkan etil alkohol (C2H5OH) atau dalam konsep
sederhananya adalah saat etil alkohol tersebut menetes dari tangki-tangki
produksi untuk ditempatkan kedalam wadah penampungan atau tangki
penyimpanan barang jadi.
b) Pengertian “selesai dibuat” untuk produk BKC MMEA adalah pada saat
MMEA tersebut keluar dari keran-keran produksi untuk ditempatkan ke
dalam wadah penampungan atau langsung ke dalam kemasan penjualan
eceran.
c) Pengertian “selesai dibuat” untuk produk hasil tembakau adalah pada saat
proses produksi hasil tembakau telah menghasilkan produk hasil tembakau
yang siap untuk dikonsumsi. Sebagai contoh: untuk sigaret, saat selesai
dibuat adalah saat proses pelintingan dan pemotongan telah selesai
sehingga sigaret tersebut sudah berbentuk batang demi batang. Beberapa
pendapat mengatakan saat selesai dibuat ini adalah saat BKC dikemas
untuk penjualan eceran.

Dalam hal BKC yang telah selesai dibuat yang masih berada di dalam
pabrik ternyata telah dikonsumsi sebelum dikeluarkan dari pabrik, maka terhadap
BKC tersebut dianggap telah dikeluarkan. Oleh karenanya, Pengusaha Pabrik
wajib melunasi hutang cukai yang timbul atas BKC yang selesai dibuat tersebut.
Dalam hal ini, petugas Bea dan cukai berwenang untuk melakukan pengawasan
terhadap BKC yang sudah berstatus terutang cukai. Bentuk pengawasan yang

hal | 116
paling sederhana adalah dengan mewajibkan pengusaha pabrik untuk
melaporkan jumlah produksi BKC yang dihasilkan setiap harinya dengan
menggunakan dokumen CK-4.

Untuk pengertian pada poin (2) dari pasal 3 ayat (1) diatas mengenai
istilah saat terutang cukai terhadap BKC impor, pengertiannya sama dengan hal-
hal yang dijelaskan dalam Undang-undang Kepabeanan. Saya yakin anda
semua sudah mempelajari konsep dasar ini pada mata pelajaran Undang-
undang Kepabeanan.

b. Saat Pelunasan Cukai

Pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai mengatur
ketentuan mengenai saat pelunasan cukai, yaitu :
a) Untuk BKC yang dibuat di Indonesia, pelunasan cukainya dilakukan pada
saat pengeluaran BKC dari Pabrik atau Tempat Penyimpanan.
b) Untuk BKC yang di impor, pelunasan cukainya dilakukan pada saat BKC
tersebut dikeluarkan dari Kawasan Pabean atas impor untuk dipakai.
Pasal 7 ayat (1) dan (2) ini tidak berdiri sendiri, akan tetapi masih diikuti
dengan ayat (3) yang mengatur mengenai cara pelunasan cukai. Pelunasan
cukai atas kedua BKC diatas dilaksanakan dengan cara :
a) pembayaran
b) pelekatan pita cukai
c) pembubuhan tanda pelunasan cukai lainnya.

Pada dasarnya titik perikatan pembayaran cukai antara subyek cukai


dengan pemerintah sesuai dengan bunyai pasal 7 ayat (1) dan (2) tersebut
adalah pada saat dikeluarkan dari pabrik atau saat dikeluarkan dari kawasan
pabean. Hal ini mengandung pengertian bahwa, pengusaha harus memastikan
bahwa seluruh BKC yang akan dikeluarkan dari pabrik untuk dikonsumsi atau
didistribusikan maka BKC tersebut harus telah dilunasi cukainya. Ketika pejabat
Bea dan Cukai menemukan adanya pengeluaran BKC tanpa dokumen yang jelas

hal | 117
yang ternyata belum dilunasi cukainya, maka tindakan tersebut dianggap suatu
pelanggaran (baik pelanggaran sesuai pasal 52 atau pasal 25 ayat 4).

Berkaitan dengan konsep cara pelunasan, hal ini mengandung pengertian


bahwa sebelum BKC dikeluarkan dari pabrik atau kawasan pabean, maka
terhadap BKC tersebut wajib dipenuhi kewajiban pembayaran cukainya baik
dengan cara pembayaran, pelekatan pita cukai atau dengan cara pembubuhan
tanda pelunasan cukai lainnya (hal ini tergantung mekanisme yang diatur
pemerintah). Sebagai contoh, untuk produk hasil tembakau yang pelunasannya
dilakukan dengan cara pelekatan pita cukai. Dalam hal ini, cukai dianggap telah
dilunasi pada saat pita cukai dilekati pada kemasan penjualan eceran yang
bersangkutan.

2. Pelunasan Cukai dengan Cara Pembayaran

Mengacu kepada Peraturan Menteri Keuangan nomor 108/PMK.04/2008


tentang Pelunasan Cukai sebagaimana telah diubah terkhir dengan PMK nomor
159/PMK.04/2009, pelunasan cukai dengan cara pembayaran dilakukan atas
BKC berupa :
a) MMEA yang dibuat di Indonesia dengan kadar etil alkohol sampai dengan
5% (lima persen); dan
b) Etil alkohol.

Pelunasan cukai dengan cara pembayaran, dilakukan dengan


membayar cukai sebelum BKC bersangkutan dikeluarkan dari Pabrik atau
Tempat Penyimpanan. Pembayaran cukai MMEA dalam negeri yang kadar etil
alkoholnya tidak lebih dari 5% atau etil alkohol yang dibuat di Indonesia dilakukan
secara tunai dan dilaksanakan melalui Bank Persepsi atau Kantor Pos Persepsi .
Dikecualikan dari kewajiban pembayaran tunai adalah Pengusaha Pabrik yang
mendapat kemudahan pembayaran secara berkala. Khusus untuk pembayaran
cukai etil alkohol yang berasal dari impor harus dilakukan melalui Bank Devisa
Persepsi atau Kantor Pos Persepsi.

hal | 118
3. Pelunasan Cukai dengan Cara Pelekatan Pita Cukai

a. BKC yang Pelunasannya dengan Cara Pelekatan Pita Cukai

Pelunasan cukai dengan cara pelekatan pita cukai dilakukan atas BKC
berupa :
a) Hasil Tembakau (baik yang dibuat di Indonesia atau yang diimpor);
b) MMEA yang diimpor untuk dipakai di dalam Daerah Pabean Indonesia.
c) MMEA yang dibuat di Indonesia dengan kadar etil alkohol lebih dari 5% (lima
persen).

Pelekatan pita cukai oleh Pengusaha Pabrik dilakukan dengan cara


melekatkan pita cukai yang seharusnya dan dilekatkan sesuai ketentuan yang
berlaku di bidang cukai, sebelum hasil tembakau atau MMEA dikeluarkan dari
pabrik. Pelekatan pita cukai oleh importer dilakukan dengan melekatkan pita
cukai yang seharusnya dilekatkan sesuai ketentuan yang berlaku di bidang cukai,
sebelum diterbitkannya Surat Perintah Pengeluaran Barang.

Lokasi Pelekatan Pita Cukai

Proses pelekatan pita cukai baik dalam rangka pelunasan BKC dalam
negeri atau BKC eks. Impor, harus dilakukan di dalam suatu tempat yang
mendapat pengawasan Bea dan Cukai. Lokasi pelekatan pita cukai dapat
dilaksanakan di tempat-tempat sebagai berikut :
a) Untuk pelekatan pita cukai hasil tembakau dan MMEA yang dibuat di dalam
negeri harus dilakukan di dalam pabrik yang bersangkutan;
b) Untuk hasil tembakau dan MMEA asal impor, dapat dilakukan di negara asal
barang, di tempat penimbunan sementara, dan/atau di tempat penimbunan
berikat;

Ketentuan Pelekatan Pita Cukai

Pita cukai yang dilekatkan pada kemasan penjualan eceran MMEA yang
berasal dari impor dan yang dibuat di Indonesia dengan kadar alkohol lebih dari
5%, harus memenuhi ketentuan :
a) sesuai dengan Tarif Cukai dan Kadar etil alkohol pada isi kemasan ;

hal | 119
b) merupakan hak Importir BKC atau Pengusaha Pabrik yang bersangkutan
dan sesuai dengan peruntukannya ;
c) utuh, tidak rusak, dan/atau bukan bekas pakai ;
d) tidak lebih dari satu keping ; dan
e) dilekatkan pada kemasan yang tertutup dan menutup tempat pembuka
kemasan yang tersedia sehigga pita cukai akan rusak apabila tutup kemasan
dibuka ;
f) harus menggunakan bahan perekat yang kuat sehingga tidak mudah
dilepaskan dari kemasan, dalam keadaan utuh;
g) dilekatkan tidak melebihi batas waktu pelekatan pita cukai yang ditetapkan.

Pita cukai yang dilekatkan pada kemasan penjualan eceran hasil tembakau
baik yang berasal dari impor atau yang dibuat di Indonesia, harus memenuhi
ketentuan :
a) sesuai dengan Tarif Cukai dan Kadar etil alkohol pada isi kemasan ;
b) merupakan hak pengusaha pabrik atau Importir BKC yang bersangkutan dan
sesuai dengan peruntukannya ;
c) utuh, tidak rusak, dan/atau bukan bekas pakai ;
d) tidak lebih dari satu keping ; dan
e) dilekatkan pada kemasan yang tertutup dan menutup tempat pembuka
kemasan yang tersedia;
f) harus menggunakan bahan perekat yang kuat sehingga tidak mudah
dilepaskan dari kemasan, dalam keadaan utuh;
g) dilekatkan tidak melebihi batas waktu pelekatan pita cukai yang ditetapkan.
Dalam hal pita cukai yang dilekatkan tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud diatas, cukainya dianggap tidak dilunasi. Disamping hal
tersebut, pelekatan pita cukai oleh Pengusaha Pabrik atau importir juga harus
memenuhi ketentuan waktu pelekatan, sebagai berikut:
a) dalam hal pergantian tahun anggaran dan/atau desain : pelekatan pita
cukai harus dilakukan paling lambat tanggal 1 (satu) bulan berikutnya
setelah pergantian tahun anggaran dan/atau desain yang baru;
b) dalam hal terdapat perubahan kebijakan di bidang tarif dan/atau HJE
(HJE), atas pita cukai yang dipesan sebelum berlakunya perubahan,

hal | 120
pelekatan pita cukai harus harus dilakukan paling lambat tanggal 1 (satu)
bulan berikutnya setelah diberlakukan perubahan.
c) dalam hal pelekatan pita cukai dilakukan di luar negeri, importasi paling
lambat dilakukan pada tanggal 1 (satu) bulan berikutnya setelah pergantian
tahun anggaran dan/atau desain yang baru, yang dibuktikan dengan tanggal
manifest kedatangan sarana pengangkut (inward manifest BC 1.1).

4. Pembubuhan Tanda Pelunasan Cukai Lainnya

Cara pelunasan yang ketiga yang diatur di dalam ketentuan Pasal 7


Undang Undang Nomor 11 Tahun 1995 Jo. Undang Undang Nomor 39 Tahun
2007, adalah mekanisme pelunasan cukai dengan cara pembubuhan tanda
pelunasan cukai lainnya. Mekanisme pelunasan dengan pembubuhan tanda
pelunasan cukai pada dasarnya adalah mekanisme pelunasan alternatif yang
disediakan Undang-undang dalam rangka mengantisipasi perkembangan
teknologi pelunasan ke depannya. Untuk sekarang ini, teknologi sekuriti telah
lazim menggunakan barcode dan hologram sebagai media pengaman untuk
suatu produk agar tidak mudah dipalsukan. Ke depan, dapat saja pemerintah
mengambil kebijakan untuk menggunakan sistem pelunasan cukai menggunakan
barcode atau hologram .

Pelunasan cukai dengan cara pembubuhan tanda pelunasan cukai lainnya,


dilakukan sebelum BKC tersebut dikeluarkan dari Pabrik, Tempat Penimbunan
Sementara (TPS), Tempat Penimbunan Berikat (TPB), atau di Tempat
pembuatan BKC di luar negeri. Hal-hal yang menyangkut lokasi pembubuhan
tanda pelunasan cukai maupun ketentuan yang harus dipenuhi dalam hal
pembubuhan tanda pelunasan cukai lainnya, pada dasarnya hampir sama
dengan mekanisme pelunasan dengan cara pelekatan pita cukai.

B. Penghitungan Pungutan Cukai

Sebagai calon pelaksana pemeriksa di unit-unit Kepabeanan dan Cukai


sudah selayaknya anda memiliki pengetahuan yang cukup mengenai cara

hal | 121
penghitungan cukai. Konsep penghitungan cukai sebenarnya tidaklah terlalu
sulit. Akan tetapi pengalaman membuktikan bahwa apabila anda tidak pernah
mempraktekkan proses penelitian cukai ini, anda akan mengalami kesulitan
apabila ditempatkan di unit-unit pelayanan cukai. Untuk itu, mari kita bahas
materi ini dengan sungguh-sungguh dan silahkan mencoba mengerjakan soal-
soal latihan yang disediakan pada akhir Bab 5 ini.

1. Penghitungan Cukai Etil Alkohol

Sebagaimana telah kita pelajari pada bab sebelumnya bahwa sistem


pemungutan cukai etil alkohol menggunakan sistem tarif cukai spesifik murni.
Pengertiannya bahwa cukai dipungut berdasarkan jumlah satuan spesifik tertentu
tanpa membedakan kadar etil alkohol yang terkandung di dalamnya dan juga
tanpa membedakan apakah etil alkohol tersebut diperoleh dari impor atau
diproduksi di dalam negeri. Dengan kata lain tarif cukai etil alkohol bersifat flat.
Cara pelunasan etil alkohol dilaksanakan dengan pembayaran tunai atau berkala
sebelum BKC yang bersangkutan dikeluarkan dari pabrik.

Dalam menghitung pungutan cukai etil alkohol, variabel yang terlibat di


dalamnya sangat sederhana, yaitu :
1) Jumlah dalam satuan liter
2) Tarif cukai sepesifik, yaitu Rp. 20.000,- per liter
Rumus penghitungan cukai etil alkohol :

Contoh Penghitungan:
1) Pabrik etil alkohol “PS” di Medan mengajukan permohonan pengeluaran
BKC dengan pelunasan cukai (dokumen CK-5) kepada KPPBC medan,
dengan rincian:
- 20 drum isi @ 200 liter, etil alkohol kadar 96%.

hal | 122
Pertanyaan, Berapa nilai cukai yang harus dibayar Pengusaha ?
Jawab :
Pungutan Cukai yang harus dilunasi = 20 x 200 ltr x Rp. 20.000,-
= Rp. 80.000,-

2) Importir “ACW” mengimpor BKC berupa etil alkohol dari luar negeri dengan
rincian data sebagai berikut :
- Jumlah etil alkohol yang diimpor sebanyak 14.000 liter
- Harga barang tersebut sesuai invoice adalah C& F USD 0.5 per liter
- Biaya insurance yang dikeluarkan importir adalah USD 1,000.00
- NDPBM diasumsikan Rp. 10.000 per 1 USD
- Pos Tarif dan pembebanan sesuai HS adalah :
Pos Tarif : 2207.10.00.00 (BM 30%, PPN 10%, PPh. Psl. 22 2,5%)
Pertanyaan : Hitung pungutan yang harus dilunasi Importir sebelum
barangnya dapat dikeluarkan dari Kawasan Pabean.
Jawab :
- Pungutan Cukai = 14.000 liter x Rp. 20.000,- = Rp. 280.000.000,-
- Nilai Pabean = CIF x NDPBM
= USD (14.000 x 0,5) + 1,000
= USD 8,000.00 x Rp. 10.000,- = Rp. 80.000.000,-
- Bea Masuk = 30 % x Rp. 80.000.000,- = Rp. 24.000.000,-
- Nilai Impor = Nilai Pabean + BM + Cukai
Rp. 80.000.000,- + 24.000.000,- + Rp. 280.000.000,- = Rp. 384.000.000,-
- PPN impor = 10% x Rp. 384.000.000,- = Rp. 38.400.000,-
- PPh. Psl 22 = 2,5% x Rp. 384.000.000,- = Rp. 9.600.000,-
- Total Pungutan : BM + Cukai + PPN + PPh. Psl 22 :
Rp. 24.000.000,- + Rp. 280.000.000,- + 38.400.000,- + Rp. 9.600.000,-
= Rp. 352.000.000,-

2. Penghitungan Cukai MMEA

Berdasarkan PMK nomor 159/PMK.04/2009 mekanisme pelunasan cukai


untuk BKC MMEA mengalami perubahan yang cukup mendasar. Terhadap

hal | 123
MMEA yang diimpor dan MMEA produksi dalam negeri dengan kadar lebih dari
5%, cara pelunasan cukainya dilakukan dengan pelekatan pita cukai. Untuk
MMEA produksi dalam negeri yang kadarnya kurang dari 5%, cara pelunasannya
tetap dengan cara pembayaran.

Berbeda dengan cara penghitungan cukai etil alkohol, dalam menghitung


pungutan cukai MMEA, variabel yang menentukan besarnya nilai cukai lebih
banyak, yaitu :
a) Jumlah barang dalam satuan liter
b) Tarif cukai spesifik sesuai golongan
c) Golongan MMEA yang dibedakan berdasarkan kadar etil alkohol yang
terkandung di dalamnya.
Rumus penghitungan cukai MMEA :

Contoh Penghitungan pungutan cukai MMEA :

1) Pabrik “MB” sebagai produsen bir merek “BB” (isi per botol 330 ml) dengan
kadar alkohol 3%, mengajukan permohonan pengeluaran BKC dengan
pelunasan cukai (CK-5) sebanyak 1.000 krat isi @ 12 botol. HJE per
kemasan @ Rp 8.900,- Pertanyaan, berapa cukai yang harus dilunasi
sebelum pengeluaran dari Pabrik ?

Jawab :
Tarif cukai untuk MMEA kadar 3% (Golongan A) ; Rp. 11.000,- / liter
Pungutan Cukai = 1.000 x 12 x 0,33 x Rp. 11.000,-
= Rp. 43.560.000,-
2) Produsen MMEA “PT IS” telah mengajukan dokumen penyediaan pita
cukai MMEA (P3C) untuk kebutuhan bulan Februari 2010 sebanyak 1.000
lembar pita cukai Gol B. Pada tanggal 8 Februari 2010, Pengusaha

hal | 124
tersebut mengajukan CK-1A dengan total rincian pengajuan, sebagai
berikut :
No. Merk Kemasan Isi Gol. Tarif Lembar
1. CLB Vodka Botol Kaca 250 ml B 300
2. CLB Whisky Botol Kaca 620 ml B 100

Pertanyaan :
Berapa nilai cukai yang harus dibayar untuk pemesanan CK1A tersebut ?
Jawab :
Pertama kali yang harus diingat bahwa pita cukai MMEA diterbitkan
dalam satu seri saja, dengan jumlah keping pita cukai per lembarnya
sebanyak 60 keping.

Perhitungan cukai untuk merk CLB Vodka :


Jumlah Liter = jumlah lembar PC x 60 x 0,25 liter
= 300 x 60 x 0,250 = 4.500 liter
Cukai = Jumlah liter x tarif cukai spesifik Gol B
= 4.500 x Rp. 30.000,- = Rp. 135.000.000,-

Perhitungan cukai untuk merk CLB Whisky :


Jumlah liter = 100 x 60 x 0,620 = 3.720 liter
Cukai = 3.720 x Rp. 30.000 = Rp. 111.600.000,-

3. Penghitungan Cukai Hasil Tembakau

Sejak diberlakukannya PMK nomor 203/PMK.04/2008 sistem


pemungutan cukai hasil tembakau telah beralih dari sistem tarif cukai advalarom
dan/atau gabungan menjadi sistem tarif cukai spesifik. Fokus kebijakan
berkaitan dengan cukai hasil tembakau cukai saat ini tidak lagi mengarah kepada
kebijakan atas HJE hasil tembakau, namun lebih mengarah kepada kebijakan
yang berkaitan dengan besaran tarif cukai spesifik. Meskipun demikian variabel
HJE hasil tembakau tetap berpengaruh kepada besarnya nilai cukai yang harus
dilunasi oleh pengusaha, oleh karena penentuan strata penetapan tarif cukai
spesifik dibedakan pula berdasar batasan HJE atas hasil tembakau.

hal | 125
Berkaitan dengan cara pelunasan cukai hasil tembakau yang dilakukan
dengan cara pelekatan pita cukai, maka komponen-komponen data yang
disebutkan dalam permohonan CK-1 menjadi referensi dalam penghitungan
pungutan cukai. Komponen-komponen data yang disebutkan dalam CK-1 antara
lain:
1) Seri pita cukai; untuk pita cukai hasil tembakau dibedakan menjadi tiga seri:
seri I = 120 keping per lembar, seri II =56 keping per lembar dan seri III =
150 keping per lembar;
2) Isi per bungkus; penghitungan cukai hasil tembakau menggunakan satuan
per batang, sehingga jumlah batang dalam satu bungkus harus diketahui;
3) HJE; komponen ini menentukan tingkat tarif spesifik yang harus dikenakan
(apakah berada di layer 1, layer 2 atau layer 3) dan juga komponen yang
harus diperhatikan dalam penghitungan PPN hasil tembakau;
4) Jumlah lembar; pengertiannya adalah jumlah lembar pita cukai yang dipesan

Hal lain yang harus diperhatikan dalam perhitungan cukai hasil tembakau
adalah kewajiban pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN) hasil tembakau.
Ketentuan mengenai PPN hasil tembakau secara khusus diatur di dalam PMK
nomor 406/KMK.04/2000, antara lain mengatur hal-hal sebagai berikut:
1) PPN atas hasil tembakau dipungut oleh pabrikan hasil tembakau buatan
dalam negeri dan disetor pada Bank Persepsi bersamaan dengan saat
pembelian pita cukai dengan pembayaran tunai atau saat pelunasan hutang
cukai tembakau atas pita cukai yang telah dipesan.
2) PPN yang dikenakan atas penyerahan hasil tembakau buatan dalam negeri
atau atas impor hasil tembakau buatan luar negeri dihitung dengan
menerapkan tarif efektif dikalikan dengan HJE. Besarnya tarif efektif
sebagaimana dimaksud ditetapkan sebesar 8,4%.
3) Terhadap hasil tembakau impor maka PPN yang dipungut adalah PPN
Dalam Negeri dan PPN impor. Dalam hal ini, penghitungan jumlah PPN
Dalam Negeri yang harus disetor yaitu sebesar tarif efektif x HJE dikurangi
Pajak Pertambahan Nilai Impor.

hal | 126
4) HJE hasil tembakau yang diberikan secara cumacuma kepada karyawan
Pabrik adalah 50% dari HJE hasil tembakau untuk jenis dan merek yang
sama, yang dijual untuk umum;
5) HJE hasil tembakau yang diberikan secara cumacuma kepada pihak ketiga
adalah sebesar 75% dari HJE hasil tembakau untuk jenis dan merek yang
sama, yang dijual untuk umum;

Rumus penghitungan :

Tarif Cukai Spesifik : Sesuai struktur tarif yang ditetapkan Menkeu.


Jumlah Batang : Jumlah Lembar x Jumlah Keping Seri x Isi per kemasan

HJE total : HJE per kemasan x Jumlah lembar PC x Jumlah Keping Seri

Contoh Perhitungan:

1) Produsen SKM “PT LM” telah mengajukan dokumen penyediaan pita cukai
(P3C) Hasil Tembakau untuk kebutuhan bulan Februari 2013. Pada tanggal
4 Februari 2013, Pengusaha tersebut mengajukan CK-1 dengan total rincian
pengajuan, sebagai berikut :

No Gol Seri Pita Jumlah Merek Isi/Bks HJE/


Cukai (Lbr) Bungkus

hal | 127
1. II SERI III 1.000 A 12 Btg Rp. 6.600,-
2. II SERI I 500 B 20 Btg Rp.9.000,-

Sebagai tambahan informasi, bahwa Tarif cukai berdasarkan PMK


No.179/PMK.011/2012 yang telah ditetapkan terhadap produk Hasil
tembakau, yaitu:
a. Merk A, Tarif cukai spesifik adalah Rp. 285/btg
b. Merk B, Tarif cukai spesifik adalah Rp. 245/btg
c. Tarif PPN HT adalah 8,4%
Berdasarkan data-data tersebut, Hitung :
A. Total Nilai cukai yang terhutang !
B. Total PPN Hasil Tembakau yang terhutang !

Jawab :

Perhitungan Cukai dan PPN untuk merk A


Jumlah batang = 1.000 lbr x 12 x 150 keping = 1.800.000 batang
Cukai terhutang = Rp. 285 x 1.800.000 = Rp. 513.000.000,-
PPN terhutang = 8,4% x Rp. 6.600 x 1.000 lbr x 150 = Rp. 83.160.000,-

Perhitungan Cukai dan PPN untuk merk B


Jumlah batang = 500 lbr x 20 x 120 keping = 1.200.000 batang
Cukai terhutang = Rp. 245 x 1.200.000 = Rp. 294.000.000,-
PPN terhutang = 8,4% x Rp. 9.000 x 500 lbr x 120 = Rp. 45.360.000,-

Total Cukai terhutang : Rp. 513.000.000 + Rp. 294.000.000


= Rp. 807.000.000,-
Total PPN terhutang : Rp. 83.160.000 + 45.360.000
= Rp. 128.520.000,-

C. Tatacara Penagihan dan Pengangsuran Cukai

1. Penagihan Cukai

Berdasarkan ketentuan pasal 10 Undang-undang Cukai diatur kewajiban


DJBC untuk melakukan penagihan terhadap utang-utang cukai, yaitu :

hal | 128
a) Utang cukai yang tidak dibayar pada waktunya;
b) Kekurangan cukai; dan/atau
c) Sanksi Administrasi berupa Denda.

Pengertian utang cukai yang tidak dibayar pada waktunya mengacu


kepada kemudahan pembayaran yang diberikan oleh pemerintah kepada
pengusaha di bidang cukai, baik dalam bentuk pembayaran berkala maupun
penundaan pembayaran. Timbulnya utang cukai merupakan suatu konsekuensi
logis terhadap kemudahan pembayaran yang diberikan, baik karena unsur
kelalaian administrasi, kesulitan keuangan, dan lain sebagainya. Sebagai
penjelasan awal mengenai istilah kemudahan pembayaran dapat kami sebutkan
sebagai berikut : (akan dipelajari lebih lanjut pada Bab 6)
a) Pembayaran berkala; merupakan bentuk kemudahan pembayaran yang
diberikan kepada subyek cukai yang cara pelunasannya dengan
pembayaran. Bentuknya adalah penangguhan pembayaran tanpa dikenakan
bunga atas kewajiban pembayaran cukai, dan wajib diselesaikan paling
lambat tanggl 5 bulan berikutnya.
b) Penundaan pembayaran; merupakan bentuk kemudahan pembayaran yang
diberikan kepada subyek cukai yang cara pelunasannya dengan pelekatan
pita cukai. Bentuknya adalah penangguhan pembayaran tanpa dikenakan
bunga atas kewajiban pembayaran cukai, dan wajib diselesaikan paling
lambat antara 1(satu) sampai 3(tiga) bulan, tergantung kategori subyek
cukaiUtang cukai akibat kemudahan yang diberikan dalam bentuk
kemudahan penundaan pembayaran cukai.

Yang dimaksud dengan kekurangan cukai, adalah kewajiban cukai yang


timbul sebagai akibat adanya temuan dalam penelitian dokumen, dan hasil
pengecekan lainnya, antara lain:
a) Kekurangan cukai akibat kesalahan perhitungan dalam dokumen
pemberitahuan atau pemesanan pita cukai ; dan
b) Kekurangan cukai akibat hasil pencacahan fisik terhadap BKC berupa etil
alkohol dan MMEA
Berkaitan dengan kekurangan cukai sebagai akibat pengenaan sanksi
administrasi berupa denda maksudnya adalah sanksi yang dikenakan kepada

hal | 129
Pengusaha BKC sebagai akibat tindakan pelanggaran, baik pelanggaran
administrasi dan/atau pelanggaran pidana yang dilakukan Pengusaha tersebut.

Kewajiban membayar utang cukai, kekurangan cukai dan sanksi


administrasi denda wajib diselesaikan pembayarannya paling lama 30 (tiga
puluh) hari sejak tanggal diterimanya surat tagihan. Apabila pembayaran atas
tagihan tersebut melebihi jangka waktu 30 hari, maka si pengusaha akan dikenai
bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 24 (dua puluh
empat) bulan dari nilai utang cukai atau kekurangan cukai, atau sanksi
administrasi denda yang tidak terbayar.

Mekanisme penagihan selanjutnya terhadap kewajiban-kewajiban cukai


yang tidak diselesaikan dalam jangka waktu 30 hari akan dilakukan oleh Seksi
Perbendaharaan dengan berpedoman kepada Undang-undang nomor 19 Tahun
1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 19 Tahun
2000, tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

2. Pengangsuran

Berkaitan dengan penagihan utang cukai yang tidak dilunasi pada


waktunya, kekurangan cukai; dan/atau sanksi administrasi berupa denda, lebih
lanjut Menteri Keuangan mengatur secara teknis penyelesaian dengan cara
pengangsuran. Beberapa poin pokok dalam aturan PMK Nomor
116/PMK.04/2008 dapat kami jelaskan sebagai berikut :
1) Yang dimaksud dengan Pengangsuran adalah pemberian kemudahan
kepada pengusaha pabrik dalam melakukan pembayaran tagihan utang
cukai yang tidak dibayar pada waktunya, kekurangan cukai, dan/atau sanksi
administrasi berupa denda dengan cara beberapa kali pembayaran secara
teratur sampai batas waktu yang ditetapkan.

2) Pengangsuran diberikan kepada pengusaha pabrik yang mengalami


kesulitan keuangan atau dalam keadaan kahar (force majeur), yang
mempunyai itikad baik untuk menyelesaikan kewajiban terhadap utang cukai
yang tidak dibayar pada waktunya, kekurangan cukai, dan/atau sanksi
administrasi berupa denda di bidang cukai ;

hal | 130
3) Pengangsuran bagi pengusaha pabrik yang mengalami kesulitan keuangan
sebagaimana dimaksud diatas, diberikan apabila pengusaha pabrik tersebut
tidak mempunyai kewajiban pengangsuran sebelumnya yang tidak dibayar
sesuai jumlah dan waktu yang telah ditetapkan.

4) Pengangsuran bagi pengusaha pabrik yang mengalami keadaan kahar


(force majeur) sebagaimana dimaksud pada butir 2, diberikan apabila :
 telah terbukti terjadi kahar (force majeur) berdasarkan surat keterangan
dari instansi terkait; dan
 telah dibuatkan berita acara pemeriksaan lapangan oleh Pegawai Bea
dan Cukai.

5) Pengangsuran diberikan untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas)


bulan terhitung sejak tanggal jatuh tempo pembayaran sebagaimana
tercantum dalam surat tagihan. Atas pengangsuran tersebut, pengusaha
dikenai bunga sebesar 2 % (dua persen) setiap bulan, bagian dari bulan
dihitung satu bulan penuh, terhitung sejak tanggal jatuh tempo pembayaran
sebagaimana tercantum dalam surat tagihan.

6) Untuk mendapatkan pengangsuran, pengusaha pabrik harus mengajukan


permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal melalui kepala kantor
yang menerbitkan surat tagihan, dalam jangka waktu paling lama 15 (lima
belas) hari sejak tanggal diterima surat tagihan. Permohonan sebagaimana
dimaksud pada butir 6 harus dilampiri dengan :
a) laporan keuangan tahun terakhir atau surat keterangan dari instansi
terkait tentang terjadinya kahar (force majeur); dan
b) menyerahkan jaminan sebesar 25 % (dua puluh lima persen) dari
tagihan utang cukai yang tidak dibayar pada waktunya, kekurangan
cukai, dan/atau sanksi administrasi berupa denda ditambah dengan
bunga.

c) Jaminan sebagaimana dimaksud pada butir 7 huruf b berupa jaminan


bank atau jaminan dari perusahaan asuransi.

7) Atas permohonan sebagaimana dimaksud diatas, Direktur Jenderal


menetapkan keputusan menerima atau menolak permohonan yang

hal | 131
bersangkutan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari terhitung
sejak permohonan diterima secara lengkap. Apabila dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada butir 8, Direktur Jenderal tidak memberikan
keputusan, permohonan dianggap dikabulkan.

8) Keputusan pemberian pengangsuran dinyatakan tidak berlaku apabila:


a) NPPBKC dicabut;
b) pengusaha pabrik yang bersangkutan tidak membayar angsuran sesuai
jumlah dan waktu yang telah ditetapkan; atau
c) seluruh tagihan telah dibayar.

Dalam hal keputusan pemberian pengangsuran dinyatakan tidak berlaku


sebagaimana dimaksud pada poin a dan b, jaminan dicairkan dan dilakukan
penagihan aktif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam hal keputusan pemberian pengangsuran dinyatakan tidak berlaku
sebagaimana dimaksud pada poin c, jaminan dikembalikan kepada
pengusaha pabrik.

3. Masa Daluwarsa Tagihan Cukai

Berdasarkan ketentuan pasal 13 Undang-undang Cukai diatur bahwa:


hak menagih utang berdasarkan undang-undang Cukai menjadi kedaluwarsa
setelah sepuluh tahun sejak timbulnya hutang pajak. Artinya bahwa apabila DJBC
tidak dapat menemukan adanya bukti-bukti mengenai kekurangan pembayaran
cukai selama kurun waktu sepuluh tahun, maka hak penagihan terhadap utang
cukai yang timbul setelah jangka waktu 10 tahun tersebut menjadi kadaluwarsa.
Jangka waktu sepuluh tahun tidak dapat diperhitungkan sebagai kadaluwarsa
dalam hal adanya pengakuan hutang dari pihak wajib cukai.

hal | 132
RANGKUMAN :

1) Sistem pelunasan cukai yang diatur dalam ketentuan Undang-undang cukai


terdiri atas tiga cara yaitu:
a) Sistem pembayaran
b) Sistem pelekatan pita cukai
c) Sistem pembubuhan tanda pelunasan cukai lainnya

2) BKC yang cara pelunasannya dengan cara pembayaran adalah :


a) etil alkohol produksi dalam negeri;
b) etil alkohol yang diimpor; dan
c) MMEA produksi dalam negeri dengan kadar tidak lebih dari 5%

3) BKC yang cara pelunasannya dilakukan dengan pelekatan pita cukai


adalah:
a) Hasil tembakau produksi dalam negeri
b) Hasil tembakau yang diimpor; dan
c) MMEA produksi dalam negeri dengan kadar lebih dari 5%
d) MMEA yang diimpor

4) Rumus Penghitungan cukai MMEA :

5) Rumus penghitungan cukai hasil tembakau dan PPN hasil tembakau:

Tarif Cukai Spesifik : Sesuai PMK No. 181/PMK.011/2009


Jumlah Batang : Jumlah Lembar x Jumlah Keping Seri x Isi per kemasan

hal | 133
HJE total : HJE per kemasan x Jumlah lembar PC x Jumlah Keping Seri

LATIHAN :

1) Jelaskan metode pelunasan yang diatur dalam Undang-undang cukai !


2) Jelaskan konsep terutang cukai dan saat pelunasan cukai !
3) Jelaskan penerapan sistem pelunasan cukai dengan cara pembayaran !
4) Menurut pandangan anda mana yang lebih efektif, sistem pelunasan cukai
dengan pembayaran atau pelekatan pita cukai ! Jelaskan.
5) Pabrik etil alkohol “PS” di Medan mengajukan permohonan pengeluaran
BKC dengan pelunasan cukai kepada KPPBC medan, dengan rincian:
450 drum isi @ 200 liter, etil alkohol kadar 95%.
Pertanyaan: Berapa nilai cukai yang harus dibayar Pengusaha sebelum
BKC dikeluarkan dari Pabrik ?

hal | 134
BAB

PENCATATAN, PEMBUKUAN, DAN


PENCACAHAN BKC 5
Tujuan Pembelajaran Khusus:
Setelah mengikuti pembelajaran ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan tentang
pencatatan, pembukuan dan pencacahan BKC (BKC)

A. Pencatatan dan Pembukuan BKC

1. Kewajiban Pembukuan

Dalam rangka meningkatkan pengawasan atas


produksi, peredaran dan pemakaian atas BKC, maka
terhadap para pengusaha BKC dan Pejabat Bea dan
Cukai diwajibkan untuk memenuhi ketentuan sebagaimana
diatur dalam Pasal 16, 16A, 16B, 17, 18 dan Pasal 19
Undang-Undang Cukai mengenai penyelenggaraan buku, catatan dan dokumen
di bidang cukai. Kewajiban penyelenggaraan pembukuan yang dimaksudkan
dalam ketentuan Undang-undang Cukai pada dasarnya membedakan istilah
pembukuan dengan istilah pencatatan. Kita akan membahasnya lebih detail
dalam sub pokok bahasan ini.

a. Konsep Pembukuan di Bidang Cukai

Konsep Pembukuan di bidang cukai adalah suatu proses pencatatan yang


dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi yang meliputi
dan mempengaruhi keadaan harta, utang, modal, pendapatan, dan biaya yang
secara khusus menggambarkan jumlah harga perolehan dan penyerahan barang
atau jasa, yang kemudian diikhtisarkan dalam laporan keuangan. Pembukuan

hal | 135
yang diselenggarakan oleh pengusaha harus berdasarkan sistem yang lazim
digunakan di Indonesia yaitu berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK).

Pengertian buku berdasarkan referensi aturan Peraturan Menteri


Keuangan (PMK) nomor 109/PMK.04/2008 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Pembukuan adalah ledger yang merupakan kumpulan catatan hasil klasifikasi
transaksi keuangan sebagai dasar pembuatan laporan keuangan. Dalam
pelaksanaan sistem pembukuan cukai, maka format buku, catatan, dokumen dan
laporan keuangan internal perusahaan dapat disusun sendiri sesuai SAK.

Pengertian catatan dalam konsep pembukuan adalah jurnal yang


merupakan kumpulan data dan/atau informasi yang bersumber dari dokumen,
yang dibuat secara teratur dan sistematis, baik yang tertulis di atas kertas atau
sarana lain yang terekam dalam bentuk apa pun yang dapat dibaca. Kemudian
pengertian dokumen adalah media yang berisi data dan/atau keterangan yang
dibuat dan/atau diterima oleh orang dalam rangkapelaksanaan kegiatannya, baik
yang tertulis di atas kertas atau sarana lain yang terekam dalam bentuk apapun
yang dapat dilihat dan dibaca.

b. Subyek Cukai yang Wajib Pembukuan

Berdasarkan ketentuan teknis di bidang pembukuan cukai, diatur kriteria


subyek cukai yang wajib menyelenggarakan pembukuan, yaitu:
1) Pengusaha Pabrik BKC
Pengusaha pabrik yang dimaksudkan disini adalah pengusaha pabrik yang
berstatus sebagai pemegang NPPBKC dan merupakan pengusaha kena
pajak (PKP). Batasan status PKP mengacu pada Peraturan Menteri
Keuangan Nomor: 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak
Pertambahan Nilai, bahwa batasan peredaran bruto usaha wajib pajak yang
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak adalah lebih besar dari Rp 600
juta, atas penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak selama
satu tahun buku.
2) Pengusaha Tempat Penyimpanan
Pengusaha tempat penyimpanan etil alkohol yang berstatus sebagai
pemegang NPPBKC, tidak dibedakan berdasarkan status PKP-nya.

hal | 136
3) Importir BKC
Importir BKC yang berstatus sebagai pemegang NPPBKC, tidak dibedakan
berdasarkan status PKP-nya.
4) Penyalur BKC tertentu
Penyalur yang wajib pembukuan adalah penyalur yang berstatus sebagai
pemegang NPPBKC dan merupakan pengusaha kena pajak (PKP).
Pengusaha pabrik non PKP dikecualikan dari kewajiban pembukuan.

c. Pedoman Penyelenggaraan Pembukuan

Sebagai tindak lanjut ketentuan pasal 16 ayat (1) Undang-undang Cukai


mengenai pembukuan, pemerintah telah menerbitkan PMK nomor
109/PMK.04/2008. Beberapa hal pokok yang diatur secara khusus dalam
peraturan tersebut antara lain:
1) Pelaksanaan pembukuan dapat diselenggarakan secara tertulis maupun
dalam bentuk data elektronik
2) Pembukuan atas kegiatan usaha di bidang cukai wajib diselenggarakan
dengan baik yang mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang
sebenarnya dan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harta,
kewajiban, modal, pendapatan, biaya, dan arus keluar masuknya BKC.
3) Pembukuan wajib diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf
latin, angka arab, mata uang rupiah, serta bahasa Indonesia, atau dengan
mata uang asing dan bahasa lain yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.
4) Terhadap sediaan barang harus dilakukan penatausahaan dengan baik,
paling sedikit memuat jenis, spesifikasi, jumlah pemasukan dan pengeluaran
barang;
5) Terhadap subyek cukai yang memperoleh dan/atau menggunakan fasilitas
cukai, diwajibkan melakukan penatausahaan sediaan barang sehingga dapat
diketahui jenis, spesifikasi, jumlah pemasukan dan pengeluaran sediaan
barang yang berkaitan dengan fasilitas cukai yang diperoleh dan/atau
digunakan;
6) Subyek cukai yang menyelenggarakan pembukuan, wajib melakukan
penyusunan dan penyajian laporan keuangan dengan berdasarkan pada

hal | 137
prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Penyusunan
laporan keuangan wajib disajikan paling sedikit setahun sekali.
7) Buku, catatan, dokumen dan surat dalam bentuk data elektronik yang
disusun dalam rangka penyelenggaraan pembukuan wajib dijaga atau
dijamin keandalan sistem pengolahan datanya supaya dapat dibuka, dibaca,
atau diambil kembali setiap waktu.
8) Asli dari laporan keuangan, buku, catatan, dokumen, dan surat dapat
dialihkan ke dalam bentuk data elektronik. Namun demikian, bukti asli
tersebut yang mempunyai kekuatan pembuktian otentik dan masih
mengandung kepentingan hukum tertentu, wajib tetap disimpan.
9) Setiap pengalihan laporan keuangan, buku, catatan, dokumen, dan surat
wajib dilegalisasi oleh pimpinan atau orang yang ditunjuk di lingkungan
badan hukum yang bersangkutan, dengan dibuatkan berita acara. Berita
acara sebagaimana dimaksud paling sedikit memuat:
 keterangan tempat, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukannya
legalisasi;
 keterangan bahwa pengalihan laporan keuangan, buku, catatan,
dokumen, dan surat yang dibuat di atas kertas ke dalam disket, compact
disk, tape backup, hard disk atau media lainnya telah dilakukan sesuai
dengan aslinya;
 tanda tangan dan nama jelas orang bersangkutan.
10) Laporan keuangan, buku, catatan, dan dokumen yang menjadi bukti dasar
pembukuan, dan dokumen lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha, serta
surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang cukai, baik tertulis di atas
kertas atau sarana lain yang terekam dalam bentuk apapun yang dapat
dilihat dan dibaca, wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun pada tempat
usahanya di Indonesia, termasuk tempat-tempat lain yang khusus
diperuntukkan sebagai tempat penyimpanan laporan keuangan, buku,
catatan, dokumen, dan surat.
11) Terhadap pengusaha yang kategorinya wajib pembukuan namun tidak
menyelenggarakan pembukuan dimaksud, dikenai sanksi administrasi
berupa denda sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

hal | 138
2. Kewajiban Pencatatan

a. Konsep Pencatatan

Pengertian pencatatan di bidang cukai adalah suatu proses pengumpulan


dan penulisan data secara teratur tentang pemasukan, produksi, dan
pengeluaran BKC, dan penerimaan, pemakaian, dan pengembalian pita cukai
atau tanda pelunasan cukai lainnya. Sistem pencatatan merupakan bentuk yang
lebih sederhana dibandingkan dengan sistem pembukuan. Khusus untuk
pencatatan, pengusaha yang diwajibkan menyelenggarakan pencatatan harus
menggunakan pedoman pencatatan sebagaimana diatur di dalam PMK nomor
110/PMK.04/2008 tentang Kewajiban Pencatatan Bagi Pengusaha pabrik Skala
Kecil, Penyalur Skala Kecil yang Wajib Memiliki Izin, dan Pengusaha Tempat
Penjualan Eceran yang Wajib Memiliki Izin.

Dalam pelaksanaan sistem pencatatan cukai, maka format buku catataan,


disediakan oleh DJBC. Kewajiban pencatatan lebih ditujukan kepada pengusaha
yang tergolong pengusaha kecil yang masih perlu diberikan pembinaan terhadap
administrasi BKC-nya. Pencatatan wajib dibuat secara lengkap yang
mencerminkan:
1) pemasukan, produksi, dan pengeluaran BKC yang sebenarnya, untuk
Pengusaha Pabrik skala kecil; atau
2) pemasukan dan pengeluaran BKC yang sebenarnya, untuk penyalur dan
pengusaha tempat penjualan eceran etil alkohol atau MMEA skala kecil yang
wajib memiliki NPPBKC.

b. Subyek Cukai Yang Wajib Melakukan Pencatatan

Subyek cukai yang tidak diwajibkan menyelenggarakan pembukuan namun


wajib menyelenggarakan pencatatan adalah:
1) Pengusaha Pabrik BKC skala kecil
Kategori Pengusaha berskala kecil mengacu kepada ketentuan perpajakan,
yaitu orang pribadi yang tidak dikukuhkan sebagai PKP.
2) Penyalur etil alkohol atau MMEA berskala kecil, yang wajib memiliki
NPPBKC

hal | 139
Sama halnya dengan konsep pabrik berskala kecil, maka pengertian
penyalur berskala kecil juga mengacu pada status perusahaan yang bukan
PKP.
3) Pengusaha Tempat Penjualan Eceran etil alkohol atau MMEA, yang wajib
memiliki NPPBKC. Khusus terhadap pengusaha tempat penjualan eceran
baik etil alkohol maupun MMEA hanya diwajibkan untuk menyelenggarakan
pencatatan di bidang cukai, tidak dibedakan berdasarkan status PKP-nya.

c. Pedoman Penyelenggaraan Pencatatan

Beberapa pedoman penyelenggaraan pencatatan sebagaimana diatur


dalam PMK nomor 110/PMK.04/2008, antara lain:
 Khusus terhadap pengusaha pabrik BKC skala kecil yang pelunasannya
dengan pelekatan pita cukai, berlaku ketentuan kewajiban pembuatan
pencatatan secara lengkap yang mencerminkan penerimaan, pemakaian
dan pengembalian pita cukai yang sebenarnya.
 Pengadaan Buku catatan sediaan dilakukan sendiri oleh Pengusaha yang
bersangkutan, namun sebelum digunakan buku tersebut harus mendapat
pengesahan dan ditandatangani terlebih dahulu oleh Kepala Kantor Bea dan
Cukai setempat atau pejabat yang ditunjuknya.
 Berkaitan dengan penyelenggaraan pencatatan, pengusaha yang
menyelenggarakan pencatatan tersebut wajib menyimpan buku catatan
sediaan yang dimilikinya selama 10 (sepuluh) tahun pada tempat usahanya
di Indonesia.

d. Buku Catatatan di Bidang Cukai

Pencatatan yang diselenggarakan oleh pengusaha skala kecil mengacu


pada contoh format yang telah ditentukan oleh DJBC. Buku-buku catatan yang
wajib diselenggarakan mencakup kegiatan pencatatan sediaan BKC dan catatan
sediaan pita cukai. Beberapa buku catataan yang wajib diselenggarakan antara
lain mencakup:

hal | 140
1) Buku CSCK-1

CSCK-1 (Gambar I.1) adalah buku catatan sediaan hasil tembakau untuk
mencatat seluruh produksi hasil tembakau yang dihasilkan oleh pabrik hasil
tembakau. Buku CSCK-1 ini akan menjadi dasar bagi pabrikan hasil
tembakau skala kecil untuk melaporkan produksi harian kepada Kantor Bea
dan Cukai dengan menggunakan dokumen pemberitahuan BKC selesai
dibuat (CK-4C).

Gambar 5.1
Catatan Sediaan Hasil tembakau (CSCK-1)

2) Buku CSCK-2
CSCK-2 (Gambar 5.1) adalah buku catatan sediaan hasil tembakau untuk
mencatat hasil tembakau yang dikembalikan dari peredaran dan produk
rusak yang telah dilekati pita cukai. Pencatatan terhadap hasil tembakau
yang telah dilekati pita cukai tersebut bertujuan untuk membedakan
dengan sediaan hasil tembakau yang baru diproduksi dan belum dilekati
pita cukainya, di dalam pabrik.

hal | 141
Gambar 5.2
Catatan Sediaan Retur Hasil Tembakau CSCK-2

3) Buku CSCK-3
CSCK-3 (Gambar 5.2) adalah buku catatan sediaan pita cukai yang
digunakan untuk mencatat persediaan pita cukai yang telah diterima
pengusaha pabrik atas pemesanan pita cukainya. Pencatatan terhadap
persediaan pita cukai penting kegunaannya terutama pada saat pengusaha
pabrik akan mengembalikan pita cukai yang tidak habis digunakan. Salah
satu persyaratan pengembalian pita cukai adalah kewajiban untuk
melampirkan matriks asal pemesanan pita cukai (CK-1).

hal | 142
Gambar 5.3
Catatan Sediaan Pita Cukai (CSCK-3)

4) Buku CSCK-4
CSCK-4, adalah buku catatan sediaan etil alkohol yang berada di dalam
pabrik etil alkohol atau tempat penyimpanan etil alkohol. Buku ini
digunakan untuk mencatat produksi etil alkohol yang dihasilkan oleh
pengusaha pabrik skala kecil, pemasukan etil alkohol dari pabrik etil
alkohol lain atau dari proses impor. Bagi pengusaha tempat penyimpanan,
CSCK-4 ini digunakan untuk mencatat sediaan etil alkohol yang dimasukan
ke dalam tempat penyimpanan.
5) Buku CSCK-5 (Gambar I.4)
CSCK-5 adalah buku catatan sediaan MMEA hasil produksi pabrikan
berskala kecil. Buku CSCK-5 ini akan menjadi dasar bagi pabrikan MMEA
skala kecil untuk melaporkan produksi harian kepada Kantor Bea dan
Cukai dengan menggunakan dokumen pemberitahuan BKC selesai dibuat
(CK-4B).

hal | 143
6) Buku CSCK-6,
CSCK-6 (Gambar I.5) adalah catatan sediaan minuman mengandung etil
alkohol yang dikembalikan dari peredaran, dalam rangka proses
pemusnahan atau pengolahan kembali di dalam pabrik.

7) Buku CSCK-7
CSCK-7 (Gambar I.6) adalah catatan sediaan BKC untuk memonitor
pergerakan BKC yang belum dilunasi cukainya yang ditimbun di dalam
Pabrik BKC skala kecil untuk dipergunakan sebagai bahan baku atau
bahan penolong untuk pembuatan BKC lainnya. Pengusaha pabrik skala
kecil wajib menempatkan sedemikian rupa BKC dan hasil produksinya di
dalam tempat atau ruangan terpisah. Tujuan pemisahan tersebut adalah
agar dapat diketahui jenis dan jumlah BKC yang belum dilunasi cukainya
yang dipergunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong. Atas
pengelolaan Buku catatan sediaan CSCK-7, pengusaha wajib membuat
laporan bulanan penggunaan atau persediaan dengan format LACK-1.

B. Pencatatan dan Pelaporan dalam Rangka Pengawasan BKC yang Masih


Terhutang Cukai

Kewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan dan pencatatan oleh


subyek cukai pada hakekatnya ditujukan untuk kepentingan pengawasan
terhadap BKC, baik yang masih terhutang cukai maupun yang sudah dilunasi
cukainya. Khusus terhadap BKC yang masih terhutang di dalam pabrik atau
tempat penyimpanan BKC, Undang-undang Cukai mewajibkan Pejabat Bea dan
Cukai untuk melakukan pengawasan secara aktif. Bentuk pengawasan yang
dilakukan adalah dengan penyelenggaraan Buku Rekening BKC dan Buku
Rekening Kredit BKC. Disamping hal tersebut, terhadap pengusaha pabrik dan
tempat penyimpanan BKC diwajibkan untuk menyampaikan laporan BKC yang
selesai dibuat dalam periode tertentu.

hal | 144
1. Pemberitahuan BKC yang Selesai Dibuat

Disamping kewajiban pembukuan atau pencatatan, seluruh pengusaha


pabrik diwajibkan untuk memberitahukan secara berkala kepada Kepala Kantor
bea dan Cukai setempat mengenai BKC yang selesai dibuat. Pengusaha pabrik
yang dimaksud adalah:
1) pengusaha pabrik etil alkohol;
2) pengusaha pabrik minuman yang mengandung etil alkohol; atau
3) pengusaha pabrik hasil tembakau.
Pemberitahuan BKC yang selesai dibuat, disusun sesuai format yang disediakan
untuk masing-masing pabrik BKC.

Pemberitahuan BKC yang selesai dibuat untuk Pengusaha Pabrik Etil


Alkohol, dibuat setiap hari dengan menggunakan dokumen Pemberitahuan Etil
Alkohol Yang Selesai Dibuat (CK-4A). CK-4A (Gambar I.7) tersebut wajib
diserahkan oleh pengusaha pabrik etil alkohol kepada kepala kantor yang
mengawasi pada hari kerja berikutnya dan dapat disampaikan dalam bentuk data
elektronik. Dokumen CK-4A tersusun dalam 2 halaman, halaman 1 berisi
pemberitahuan produksi dan halaman 2 berisi rincian jumlah produksi. Format
lengkap CK-4A terlihat pada gambar berikut ini.

hal | 145
Gambar 5.4
Contoh Halaman Pertama CK-4A

hal | 146
Halaman kedua CK-4A

Pemberitahuan BKC yang selesai dibuat untuk Pengusaha Pabrik MMEA,


dibuat setiap hari dan disampaikan paling lambat keesokan harinya. Format
pemberiktahuan menggunakan dokumen Pemberitahuan Etil Alkohol Yang
Selesai Dibuat (CK-4B). Dokumen CK-4B tersusun dalam 2 halaman, halaman
pertama berisi pemberitahuan produksi dan halaman kedua berisi rincian jumlah
produksi. Sama halnya dengan CK-4A, maka format CK-4B ini dapat dibuat
dalam format dokumen elektronik. Berikut contoh halaman kedua dokumen CK-
4B.

hal | 147
Gambar 5.5
Contoh CK-4B

Pemberitahuan BKC yang selesai dibuat untuk Pengusaha Pabrik Hasil


Tembakau dibuat setiap 14 harian, dengan menggunakan dokumen
Pemberitahuan Hasil Tembakau Yang Selesai Dibuat (CK-4C). Pemberitahuan
BKC yang selesai dibuat sebagaimana dimaksud, wajib diserahkan oleh
pengusaha pabrik hasil tembakau kepada kepala kantor yang mengawasi pada:
a) paling lambat tanggal 3 untuk periode pembuatan BKC hasil tembakau dari
tanggal 15 sampai dengan akhir bulan sebelumnya; dan
b) setiap tanggal 17 untuk periode pembuatan BKC hasil tembakau dari tanggal
1 sampai dengan tanggal 14 pada bulan yang sama.
c) Dalam hal tanggal 1 dan tanggal 15 merupakan hari libur, kewajiban
penyerahan sebagaimana dimaksud, dapat dilakukan pada hari kerja
berikutnya.

Dokumen CK-4C (Gambar I.9) tersusun dalam 2 halaman, halaman pertama


berisi pemberitahuan produksi dan halaman kedua berisi rincian jumlah produksi.
Susunan komponen rincian jumlah produksi, sebagaimana terlihat pada gambar
dibawah ini.

hal | 148
Gambar 5.6
Contoh CK-4C

2. Pemberitahuan Rencana Produksi PBCK-1

Dokumen PBCK-1 merupakan pemberitahuan rencana produksi BKC yang


menggunakan BKC lainnya sebagai bahan baku atau bahan penolong dengan
fasilitas tidak dipungut cukai. Pengusaha pabrik yang akan menghasilkan barang
hasil akhir berupa BKC dengan menggunakan bahan baku berpa BKC lainnya
maka harus melaporkan rencana produksinya dengan menggunakan dokumen
PBCK-1. Dokumen PBCK-1 wajib disampaikan kepada Direktur Jenderal Bea
dan Cukai melalui Kepala Kantor pelayanan dan Kepala Kantor Wilayah Bea
dan Cukai sebelum dimulainya kegiatan produksi tiap awal tahun. Rencana
produksi dibuat untuk periode kegiatan selama satu tahun ke depan.

hal | 149
3. Laporan Penggunaan dan Persediaan BKC yang Mendapat fasilitas
Cukai

Pengusaha yang mendapatkan skema fasilitas cukai maupun sebagai


pengguna BKC dengan fasilitas cukai diwajibkan untuk melaporkan penggunaan
dan persediaan BKC-nya kepada Direktur Jenderal melalui Kantor Bea dan
Cukai. Disamping itu, Kepala Kantor Bea dan Cukai juga memiliki kewajiban
untuk melaporkan terhadap BKC yang mendapat fasilitas pembebasan cukai ini
kepada Direktur Jenderal. Bentuk-bentuk laporan tersebut antara lain sebagai
berikut.

a. Laporan Penggunaan dan Persediaan LACK-1


Dokumen LACK-1 (Gambar I.10) merupakan Laporan Penggunaan dan
Persediaan BKC sebagai Bahan Baku atau Bahan Penolong dengan fasilitas
tidak dipungut cukai. Pengusaha pabrik BKC yang menggunakan bahan baku
atau bahan penolong berupa BKC lainnya diwajibkan untuk mengelola dan
menempatkan sedemikian rupa sehingga dapat diketahui jenis dan jumlah BKC
yang belum dilunasi cukainya. Pengelolaan BKC yang digunakan sebagai bahan
baku dilakukan dengan menyelenggarakan pencatatan atas pemasukan,
penimbunan, dan pemakaian BKC tersebut baik dengan format CSCK-7 (bagi
pengusaha kecil) maupun format internal masing-masing pabrik. Contoh
Pabrikan tersebut, antara lain: Pabrik MMEA yang menggunakan bahan baku etil
alkohol, Pabrik SKM/SPM yang menggunakan bahan baku tembakau iris.
Bentuk dan format dokumen pelaporan atas penggunaan atau persediaan
BKC yang digunakan sebagai bahan baku/bahan penolong adalah sesuai
dengan dokumen LACK-1. Pengusaha pabrik wajib menyerahkan laporan
LACK-1 kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai melalui Kepala Kantor yang
mengawasi pabrik. LACK-1 disampaikan dalam jangka waktu paling lama pada
hari kesepuluh bulan berikutnya.

hal | 150
Gambar 5.7
Laporan Penggunaan LACK-1

b. Laporan Penjualan/Penyerahan LACK-2

Dokumen LACK-2 merupakan Laporan Penjualan atau Penyerahan BKC


sebagai Bahan Baku atau Bahan Penolong dengan Fasilitas Tidak Dipungut
Cukai. Pengusaha yang diwajibkan untuk melaporkan LACK-2 ini adalah
Pengusaha pabrik BKC yang melakukan penjualan atau penyerahan BKC untuk
digunakan oleh Pabrik BKC lainnya. Contoh: Pabrik etil alkohol PT “X” memasok
bahan baku untuk membuat MMEA kepada Pabrik BKC MMEA. Dalam hal ini,
Pengusaha pabrik PT “X” wajib melaporkan kegiatan tersebut kepada Direktur
Jenderal Bea dan Cukai melalui Kepala Kantor paling lambat tanggal 10 setiap
bulannya.

c. Laporan Penggunaan dan Persediaan LACK-3

Dokumen LACK-3 merupakan Laporan Penggunaan etil alkohol dengan


fasilitas pembebasan cukai melalui proses produksi terpadu. Laporan ini dibuat
oleh Pengusaha Pabrik non BKC yang menggunakan etil alkohol sebagai bahan

hal | 151
baku atau bahan penolong untuk proses produksi non BKC yang dilakukan
secara terpadu. Pengertian terpadu adalah proses produksi yang dilakukan
secara terintegrasi dalam suatu lokasi yang sama atau berdampingan. Contoh:
Pabrik etil alkohol yang didirikan khusus untuk dipakai dalam pabrik farmasi.

d. Laporan Penggunaan dan Persediaan LACK-4

Dokumen LACK-4 merupakan Laporan Penggunaan etil alkohol dengan


fasilitas pembebasan cukai yang tidak melalui proses produksi terpadu. Laporan
ini dibuat oleh Pengusaha Pabrik non BKC yang menggunakan etil alkohol
sebagai bahan baku atau bahan penolong untuk proses produksi non BKC yang
dilakukan secara terpisah. Artinya bahwa kedudukan pabrik etil alkohol terpisah
dengan lokasi pabrik non BKC yang menggunakan etil alkohol sebagai bahan
baku atau bahan penolong tersebut.

e. Laporan Penggunaan dan Persediaan LACK-5

Dokumen LACK-3 merupakan Laporan Penggunaan etil alkohol dengan


fasilitas pembebasan cukai yang digunakan untuk keperluan penelitian dan
pengembangan ilmu pengetahuan. Laporan ini dibuat oleh Kepala Lembaga atau
institusi tertentu yang menggunakan etil alkohol sebagai bahan untuk penelitian
atau pengembangan ilmu pengetahuan.

f. Laporan Penggunaan dan Persediaan LACK-6

Dokumen LACK-6 merupakan Laporan Penggunaan etil alkohol dengan


fasilitas pembebasan cukai yang digunakan untuk rumah sakit yang bertujuan
sosial. Laporan ini harus dibuat oleh Kepala Rumah sakit tertentu yang
menggunakan etil alkohol untuk keperluan sosial di Rumah sakit.

g. Laporan Penggunaan dan Persediaan LACK-7

Dokumen LACK-7 merupakan laporan bulanan tentang perusakan etil


alkohol menjadi spiritus bakar (brand spiritus) dan pengeluarannya. Laporan ini
harus disampaikan oleh Kepala Kantor yang mengawasi pabrik/tempat
penyimpanan yang melakukan proses denaturasi etil alkohol menjadi spiritus

hal | 152
bakar kepada Direktur Cukai. dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah,
paling lambat pada tanggal 10 bulan berikutnya.

h. Laporan Penggunaan dan Persediaan LACK-8

Dokumen LACK-8 merupakan Laporan realisasi penerimaan dan


pengeluaran BKC yang ditujukan untuk konsumsi penumpang atau awak sarana
pengangkut. Laporan ini dibuat oleh pengusaha jasa boga atau pengusaha
pengangkutan yang mendapatkan fasilitas pembebasan cukai atas BKC yang
ditujukan untuk konsumsi penumpang atau awak sarana pengangkut yang
berangkat langsung ke luar daerah pabean.

i. Laporan Penjualan/Penyerahan LACK-9

Dokumen LACK-9 merupakan Laporan Penjualan atau Penyerahan BKC


dengan Fasilitas pembebasan Cukai. Pengusaha yang diwajibkan untuk
melaporkan kegiatan dengan dokumen LACK-9 ini adalah Pengusaha pabrik
BKC yang melakukan penjualan atau penyerahan BKC untuk digunakan oleh
subyek penerima fasilitas pembebasan cukai. Dalam hal ini, Pengusaha pabrik
BKC wajib melaporkan kegiatan tersebut kepada Direktur Jenderal Bea dan
Cukai melalui Kepala Kantor paling lambat tanggal 10 setiap bulannya.

j. Laporan Penjualan/Penyerahan LACK-10

Kepala Kantor Pelayanan wajib menyampaikan laporan bulanan tentang


pengeluaran dan pencampuran etil alkohol sebagai bahan baku atau bahan
penolong dalam pembuatan Barang Hasil Akhir yang bukan merupakan BKC
kepada Direktur Cukai dan Kepala Kantor Wilayah paling lambat pada tanggal 10
bulan berikutnya. Penyampaian laporan ini menggunakan format LACK-10,
sebagaimana gambar 5.8.

hal | 153
Gambar 5.8
Laporan LACK-10

hal | 154
k. Laporan Pengangkutan BKC Tertentu

Atas pengangkutan BKC tertentu sebagaimana telah dijelaskan


sebelumnya wajib dilindungi dokumen CK-6. Subyek cukai yang wajib
memberitahukan kegiatan pengangkutan atas BKC tertentu tersebut adalah
Pengusaha Penyalur dan Pengusaha TPE . Penggunaan dokumen CK-6 oleh
pengusaha tersebut wajib dilaporkan kepada Kepala Kantor Bea dan Cukai
setempat setiap bulan dalam jangka waktu paling lama hari kesepuluh bulan
berikutnya. Pelaporan atas kegiatan pengangkutan BKC tertentu menggunakan
format formulir laporan pengangkutan etil alkohol/MMEA yang sudah dilunasi
cukainya di peredaran bebas (Gambar 5.9)

Gambar 5.9
Laporan Pengangkutan BKC Tertentu

4. Pencatatan oleh Pejabat Bea dan Cukai

Selain kewajiban pembukuan atau pencatatan oleh pihak subyek cukai,


kepada Pejabat Bea dan Cukai yang mengawasi subyek cukai juga diwajibkan
menyelenggarakan buku catatan. Penyelenggaraan pencatatan oleh pejabat bea
dan cukai mencakup dua jenis buku yaitu buku rekening BKC dan buku rekening

hal | 155
kredit. Pedoman penyelenggaraan buku rekening BKC dan buku rekening kredit
diatur dalam peraturan Menteri keuangan.

Penyelenggaraan buku rekening BKC (BRCK) oleh Pejabat Bea dan Cukai
dilakukan dengan ketentuan:
1) buku rekening BKC untuk etil alkohol yang masih terutang cukai dan masih
berada di pabrik diselenggarakan untuk setiap pengusaha pabrik etil alkohol
sesuai format BRCK-1 (Gambar I.13);
2) buku rekening BKC untuk etil alkohol yang masih terutang cukai dan masih
berada di tempat penyimpanan diselenggarakan untuk setiap pengusaha
tempat penyimpanan sesuai format BRCK-1; atau
3) buku rekening BKC untuk MMEA yang masih terutang cukai dan masih
berada di pabrik diselenggarakan untuk setiap pengusaha pabrik MMEA
sesuai format BRCK-2.

Berkaitan dengan pencatatan dalam Buku Rekening Kredit Pejabat bea


dan cukai wajib menyelenggarakan buku tersebut terhadap:
1) buku rekening kredit untuk setiap pengusaha pabrik yang mendapatkan
kemudahan pembayaran berkala dan penundaan pembayaran cukai sesuai
format BRCK-3; atau
2) buku rekening kredit untuk setiap importir BKC yang mendapatkan
penundaan pembayaran cukai sesuai format BRCK-3 (Gambar I.13).

Dalam penyelenggaraan buku rekening BKC dan buku rekening kredit


beberapa pedoman yang harus anda laksanakan, antara lain sebagai berikut:
 Buku rekening kredit (BRCK-3) digunakan untuk mencatat jumlah cukai yang
diberikan penundaan pembayaran atau mendapat kemudahan pembayaran
secara berkala serta penyelesaiannya.
 Buku Rekening BKC (BRCK-1 dan BRCK-2) digunakan untuk mencatat
jumlah BKC berupa etil alkohol atau minuman yang mengandung etil alkohol
yang dibuat, dimasukkan, dikeluarkan, potongan, kekurangan, dan
kelebihan hasil pencacahan, yang masih terutang cukai dan berada di
Pabrik atau Tempat Penyimpanan.

hal | 156
 Buku Rekening kredit dan Buku Rekening BKC harus diselenggarakan
secara terpisah untuk masing-masing subyek cukai yang diawasi oleh
Pejabat Bea dan Cukai. Contoh:
 KPPBC Medan membawahi empat Pabrikan Rokok yang mendapat
penundaan pembayaran dan tiga pabrikan etil alkohol . Maka
penyelenggaraan Buku Rekening Kredit akan terdiri dari: BRCK-3 untuk
empat pabrikan rokok, sedangkan penyelenggaraan Buku rekening BKC
untuk pabrikan etil alkohol juga ada tiga.
 Buku rekening BKC ditutup dalam kondisi-kondisi sebagai berikut:
a) setiap akhir tahun kalender ; hal ini berkaitan dengan akhir tahun buku
atau akhir tahun anggaran dari pihak pemerintah.
b) setelah dilakukan pencacahan ; Pencacahan diselenggarakan secara
reguler pada setiap awal bulan dan/atau pada waktu-waktu tertentu
secara insidentil.
c) atas permintaan Pengusaha Pabrik atau Pengusaha Tempat
Penyimpanan.
 Penutupan buku rekening BKC, dilakukan dengan cara membuat garis
horisontal dengan tinta merah dan ditandatangani oleh Pejabat Bea dan
Cukai. Penutupan buku rekening BKC tersebut harus diberitahukan kepada
Pengusaha Pabrik atau Pengusaha Tempat Penyimpanan yang
bersangkutan dengan Surat Pemberitahuan Penutupan Buku Rekening
BKC.
 Penyelenggaraan buku rekening BKC dan buku rekening kredit dapat
dilakukan dengan media elektronik.

hal | 157
Gambar 5.10
Contoh Buku Rekening BKC (BRCK-1)

Gambar 5.11
Contoh Buku Rekening Kredit (BRCK-3)

hal | 158
C. Pencacahan BKC

DJBC sebagai institusi pemerintah yang berkepentingan dalam hal


pengawasan terhadap kegiatan di bidang cukai senantiasa harus melakukan
upaya-upaya pengawasan baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat
refresif. Kegiatan pengawasan yang bersifat preventif secara aktif dilaksanakan
baik secara reguler maupun insidentil oleh Kantor Bea dan Cukai. Salah satu
bentuk pengawasan secara aktif dilakukan dengan pencacahan yang
dilaksanakan terhadap pabrik dan tempat penyimpanan etil alkohol dan pabrik
MMEA. Kegiatan pencacahan tersebut secara khusus diatur dalam pasal 20
sampai dengan pasal 23 Undang-undang Cukai. Pelaksanaan lebih lanjut
mengenai kegiatan pencacahan diatur dalam PMK nomor 115/PMK.04/2008
tentang Pencacahan dan Potongan Atas Etil Alkohol dan MMEA .

1. Konsep Pencacahan

Berdasarkan Undang-undang Cukai, pengertian Pencacahan adalah


kegiatan untuk mengetahui jumlah, jenis, mutu, dan keadaan BKC. Kegiatan
pencacahan dilakukan terhadap BKC tertentu berupa :
a. Etil Alkohol yang masih terutang cukai yang berada di dalam Pabrik atau
Tempat Penyimpanan; dan/atau
b. Minuman Mengandung Etil Alkohol yang masih terutang cukai yang berada
di dalam pabrik.

Kegiatan pencacahan dilaksanakan dalam rangka pengawasan secara aktif


untuk menghindari kemungkinan terjadinya manipulasi atau pelarian cukai.
Dalam kegiatan pencacahan Pejabat bea dan cukai yang melakukan
pencacahan harus berdasarkan surat tugas dari kepala kantor yang mengawasi
pabrik atau tempat penyimpanan dengan disaksikan oleh pengusaha pabrik atau
pengusaha tempat penyimpanan.

Atas kegiatan pencacahan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai,
pengusaha pabrik atau tempat penyimpanan wajib menunjukkan semua etil
alkohol atau MMEA yang berada di dalam pabrik atau tempat penyimpanan serta
menyediakan tenaga dan peralatan untuk keperluan pencacahan. Hasil

hal | 159
pencacahan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai dibuatkan berita acara
hasil pencacahan (BACK-5) dan ditandatangani oleh pejabat bea dan cukai serta
pengusaha yang bersangkutan. Dalam hal pengusaha yang bersangkutan
menolak dan berkeberatan atas hasil pencacahan, maka Berita Acara tersebut
cukup ditandatangani sepihak. Pengusaha selanjutnya dapat menempuh
mekanisme keberatan sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

2. Waktu Pelaksanaan Pencacahan

Kegiatan Pencacahan terhadap etil alkohol dan MMEA yang masih


terutang cukai dilakukan pada:
a. setiap awal bulan untuk periode satu bulan sebelumnya;
b. setiap saat atas permintaan pengusaha pabrik atau pengusaha tempat
penyimpanan;
c. setiap saat apabila ada dugaan kuat terjadinya pelanggaran atas ketentuan
yang diatur dalam Undang-Undang Cukai; atau
d. sebelum dan sesudah pemuatan ke kapal untuk tujuan ekspor.

3. Penyelesaian Hasil Temuan Pencacahan

Terhadap kegiatan pencacahan yang dilakukan oleh pejabat Bea dan


Cukai setidaknya akan menghasilkan salah satu temuan sebagai berikut:
a. Jumlah fisik hasil pencacahan menunjukkan adanya kekurangan dibanding
jumlah yang tercantum dalam buku Rekening BKC.
b. Jumlah fisik hasil pencacahan menunjukkan adanya kelebihan dibanding
jumlah yang tercantum dalam buku rekening BKC.
c. Jumlah fisik hasil pencacahan, kedapatan sama dibandingkan dengan
jumlah yang tercantum dalam buku rekening BKC.

Dalam hal terjadi selisih kurang

Dalam hal jumlah hasil pencacahan sebagaimana dimaksud diatas


kedapatan lebih kecil daripada jumlah yang tercantum dalam buku rekening
BKC, maka terhadap:

hal | 160
 Pengusaha pabrik MMEA, akan dikenakan tagihan cukai atas jumlah
kekurangan cukai yang terjadi. Untuk hal tersebut Kepala Kantor akan
menerbitkan penetapan dalam bentuk surat tagihan cukai (STCK).
 Pengusaha Pabrik atau Tempat Penyimpanan etil alkohol, akan dikenakan
tagihan cukai atas kekurangan yang terjadi. Perhitungan atas kekurangan
jumlah etil alkohol yang ada terlebih dahulu harus diperhitungkan dengan
potongan yang dapat diberikan.

Pengertian potongan adalah keringanan yang diberikan kepada pengusaha


pabrik atau pengusaha tempat penyimpanan atas kekurangan BKC yang didapat
pada waktu pencacahan. Potongan hanya diberikan khusus untuk selisih kurang
yang terjadi pada BKC berupa etil alkohol. Dasar pemikiran pemberian potongan
adalah pertimbangan bahwa kekurangan yang terjadi pada etil alkohol dapat
terjadi karena sebab-sebab alamiah seperti penguapan atau penyusutan.

Dalam PMK nomor 115/PMK.04/2008 diatur bahwa besarnya potongan


yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
 untuk pengusaha pabrik etil alkohol, diberikan potongan sebesar:
- 0,5 % (setengah persen) setiap bulan dari jumlah etil alkohol yang ada
pada waktu pencacahan terakhir; dan
- 0,5 % (setengah persen) dari jumlah etil alkohol yang dibuat dan
dimasukkan sejak pencacahan terakhir;
 untuk pengusaha tempat penyimpanan diberikan potongan sebesar:
- 0,5 % (setengah persen) setiap bulan dari jumlah etil alkohol yang ada
pada waktu pencacahan terakhir;
- 0,5 % (setengah persen) dari jumlah etil alkohol yang dimasukkan sejak
pencacahan terakhir; dan
- 1 % (satu persen) dari jumlah selisih antara jumlah etil alkohol hasil
pencacahan sebelum pemuatan ke kapal dan sesudah pemuatan ke
kapal.
Dalam menghitung besarnya potongan sebagaimana dimaksud di atas, jumlah
hari dalam 1 (satu) bulan dihitung sebagai 30 (tiga puluh) hari.

hal | 161
Apabila kekurangan yang terjadi melebihi batas kelonggaran
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Cukai, maka
terhadap kekurangan yang terjadi akan dikenakan sanksi administrasi berupa
denda, paling banyak sepuluh kali nilai cukai dan paling sedikit dua kali nilai
cukai yang kedapatan kurang atau lebih. Adapun batas kelonggaran yang
diberikan terhadap kasus selisih kurang dalam pencacahan adalah sebesar tiga
kali potongan yang diberikan.

Contoh Kasus:
Pada tanggal 01 Februari 2013 Pejabat Bea dan Cukai dari KPPBC Medan
melakukan pencacahan terhadap pabrikan etil alkohol “PT PS” yang berlokasi di
Tanjung Morawa. Dari hasil pencacahan tersebut dan juga data yang tercantum
dalam BRCK-1 yang bersangkutan didapati hal-hal sebagai berikut:
 Pencacahan terakhir terhadap PT PS dilakukan pada tanggal 02 Januari
2013, dengan jumlah saldo sebanyak 150.000 liter
 Produksi Pabrik sampai dengan saat pencacahan 80.000 liter
 Pengeluaran 100.000 liter
 Pemasukan (retur) dari Tempat Penyimpanan 10.000 liter
 Saldo menurut Buku BRCK-1 140.000 liter
 Hasil pencacahan pejabat Bea dan Cukai 130.000 liter
 Selisih kurang sebelum potongan 10.000 liter
 Potongan: 0,5% x (150.000 + 80.000 + 10.000) 1.200 liter
 Kekurangan (akan ditagih cukai dengan STCK) 8.800` liter

Apakah dalam kasus kekurangan ini akan dikenakan sanksi administrasi denda?

Kita lihat perhitungan batas kelonggarannya sebagai berikut:


Batas kelonggaran: 3 x potongan = 3 x 1.200 liter = 3.600 liter
Oleh karena jumlah kekurangan setelah potongan (8.800 liter) lebih besar
daripada batas kelonggaran (3.600) liter, maka terhadap PT. PS akan dikenakan
sanksi administrasi denda.

hal | 162
Dalam hal terjadi selisih lebih

Dalam hal jumlah hasil pencacahan sebagaimana dimaksud diatas


kedapatan lebih besar daripada jumlah yang tercantum dalam buku rekening
BKC, maka terhadap Pabrik atau Tempat penyimpanan etil alkohol tidak
diberikan potongan. Selisih lebih tersebut akan dimasukkan pada kolom debet
Buku Rekening BKC yang bersangkutan dan diperhitungkan dalam saldo hasil
pencacahan. Atas jumlah selisih lebih tersebut tidak akan ditagihkan cukainya,
oleh karena BKC yang kedapatan lebih masih berada di dalam Pabrik yang
bersangkutan.

Apabila jumlah selisih lebih tersebut melebihi batas kelonggaran


sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (2) Undang-undang Cukai, maka
terhadap Pengusaha yang bersangkutan akan dikenakan sanksi administrasi
berupa denda, paling banyak sepuluh kali nilai cukai dan paling sedikit dua kali
nilai cukai yang kedapatan kurang atau lebih. Adapun batas kelonggaran yang
diberikan terhadap kasus selisih lebih dalam pencacahan adalah maksimal satu
persen dari jumlah barang yang seharusnya ada menurut Buku rekening BKC.

Contoh Kasus:
Pada tanggal 01 Maret 2013 Pejabat Bea dan Cukai dari KPPBC Medan
melakukan pencacahan terhadap pabrikan etil alkohol “PT MA” yang berlokasi di
Deli Serdang. Dari hasil pencacahan tersebut dan juga data yang tercantum
dalam BRCK-1 yang bersangkutan didapati hal-hal sebagai berikut:
 Pencacahan terakhir terhadap PT PS dilakukan pada tanggal 02 Februari
2013, dengan jumlah saldo sebanyak 40.000 liter
 Produksi Pabrik sampai dengan saat pencacahan 50.000 liter
 Pengeluaran 45.000 liter
 Saldo menurut Buku BRCK-1 45.000 liter
 Hasil pencacahan pejabat Bea dan Cukai 47.000 liter
 Selisih lebih 2.000 liter
 Potongan: tidak diberikan - liter
 Kelebihan sebesar 2.000 liter akan ditambahkan pada saldo buku sehingga
saldo buku untuk penutupan BRCK-1 menjadi: 47.000 liter

hal | 163
Dalam kasus kelebihan BKC ini kita analisa terlebih dahulu, apakah melebihi
batas kelonggarannya atau tidak:
 Batas kelonggaran: 1 % x Saldo yang seharusnya ada
= 1% x 45.000 liter = 450 liter
 Oleh karena jumlah kelebihan BKC (2.000 liter) lebih besar daripada batas
kelonggaran (450 liter), maka terhadap PT. MA akan dikenakan sanksi
administrasi denda.

Dalam hal hasil pencacahan sesuai dengan saldo BRCK

Dalam hal jumlah hasil pencacahan sebagaimana dimaksud diatas


kedapatan sesuai dengan jumlah yang tercantum dalam buku rekening BKC,
maka terhadap Pabrik atau Tempat penyimpanan etil alkohol tidak diberikan
potongan. Hasil pencacahan yang sesuai tersebut akan menjadi dasar bagi
penutupan Buku Rekening BKC yang dikelola Kepala Seksi Perbendaharaan.
Hasil Selisih lebih tersebut akan dimasukkan pada kolom debet Buku Rekening
BKC yang bersangkutan dan diperhitungkan dalam saldo hasil pencacahan. Atas
jumlah selisih lebih tersebut tidak akan ditagihkan cukainya, oleh karena BKC
yang kedapatan lebih masih berada di dalam Pabrik yang bersangkutan.

hal | 164
RANGKUMAN :

Sebagai rangkuman atas kegiatan belajar Bab 1 ini, dapat kami sampaikan
sebagai berikut:
1) Konsep Pembukuan di bidang cukai adalah suatu proses pencatatan yang
dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi yang
meliputi dan mempengaruhi keadaan harta, utang, modal, pendapatan, dan
biaya yang secara khusus menggambarkan jumlah harga perolehan dan
penyerahan barang atau jasa, yang kemudian diikhtisarkan dalam laporan
keuangan.
2) Pembukuan wajib diselenggarakan oleh Pengusaha Pabrik, Tempat
penyimpanan, importir BKC atau penyalur yang memiliki izin NPPBKC.

3) Konsep pencatatan di bidang cukai adalah suatu proses pengumpulan dan


penulisan data secara teratur tentang pemasukan, produksi, dan
pengeluaran BKC, dan penerimaan, pemakaian, dan pengembalian pita
cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya.

4) Subyek cukai yang tidak diwajibkan menyelenggarakan pembukuan namun


wajib menyelenggarakan pencatatan adalah:
a. Pengusaha Pabrik BKC skala kecil;
b. Penyalur etil alkohol atau MMEA berskala kecil, yang wajib memiliki
NPPBKC;
c. Pengusaha Tempat Penjualan Eceran etil alkohol atau MMEA, yang wajib
memiliki NPPBKC.

5) Bentuk buku catatan yang disediakan oleh DJBC untuk digunakan


pengusaha pabrik skala kecil antara lain:CSCK-1, CSCK-2 dan CSCK-3 bagi
pabrik hasil tembakau; CSCK-4 bagi pabrik etil alkohol; CSCK-5 dan CSCK-
6 bagi pabrik MMEA; dan CSCK-7 bagi pabrik BKC pengguna fasilitas tidak
dipungut cukai.

6) Disamping kewajiban pembukuan atau pencatatan, pengusaha pabrik


diwajibkan untuk memberitahukan secara berkala kepada Kepala Kantor
Bea dan Cukai setempat.

hal | 165
7) Untuk melakukan pengawasan secara aktif, pejabat Bea dan Cukai wajib
melaksanakan kegiatan pencacahan baiak secara reguler maupun insidentil.
Pengertian Pencacahan adalah kegiatan untuk mengetahui jumlah, jenis,
mutu, dan keadaan BKC. Pencacahan dilakukan terhadap:
a. Etil Alkohol yang masih terutang cukai yang berada di dalam Pabrik atau
Tempat Penyimpanan; dan/atau
b. MMEA yang masih terutang cukai yang berada di dalam pabrik.

LATIHAN :

Untuk menguji pemahaman anda terhadap materi kegiatan belajar 5, silahkan


kerjakan soal-soal latihan berikut.
1) Jelaskan perbedaan konsep pembukuan dan pencatatan !

2) Terhadap pengusaha skala kecil hanya diwajibkan pencatatan, jelaskan


pengertian dan kategori pengusaha apa saja yang termasuk skala kecil !

3) Jelaskan pencatatan yang wajib diselenggarakan oleh pejabat bea dan cukai
berkaitan dengan BKC yang diawasi !

4) Dalam rangka pengawasan secara aktif, Pejabat Bea dan Cukai melakukan
kegiatan pencacahan. Jelaskan konsep dan prosedur pencacahan !

5) Jelaskan tindakan apa saja yang mungkin dilakukan sehubungan dengan


hasil temuan pencacahan !

hal | 166
BAB

MUTASI BKC
6
Tujuan Pembelajaran Khusus:
Setelah mengikuti pembelajaran ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan
mekanisme pemasukan, penimbunan, pengeluaran, pengangkutan dan perdagangan BKC

A. Jenis Kegiatan Mutasi BKC

1. Konsep Mutasi BKC

Ketentuan Undang-undang Cukai sesuai


karakteristik dasar pengenaannya antara lain
ditujukan untuk tujuan pembatasan yaitu
pengendalian konsumsi, pengawasan peredaran, dan
juga untuk maksud mengurangi dampak negatif.
Adanya sifat dan karakteristik yang khusus tersebut
mendorong pemerintah untuk melakukan pengawasan atas kegiatan
penimbunan, pemasukan, pengeluaran dan pengangkutan BKC terutama
terhadap BKC berupa etil alkohol dan MMEA. Kedua jenis BKC tersebut secara
spesifik memiliki tingkat kerawanan sosial yang jauh lebih tinggi dibanding BKC
hasil tembakau.

Amanat Undang-undang cukai yang terkait dengan pengendalian konsumsi


dan pengawasan peredaran BKC tertentu diimplementasikan oleh Menteri
Keuangan dalam PMK nomor 235/PMK.04/2009 tentang Penimbunan,
Pemasukan, Pengeluaran dan Pengangkutan BKC. Aturan operasional PMK ini
mengatur kewajiban penggunaan dokumen pemberitahuan mutasi BKC dan
dokumen pelindung pengangkutan BKC terhadap kegiatan penimbunan,
pemasukan, pengeluaran dan pengangkutan BKC tertentu.

hal | 167
Pengertian mutasi BKC adalah setiap kegiatan penimbunan, pemasukan,
pengeluaran dan pengangkutan BKC baik yang digunakan sebagai bahan baku
untuk produk lain maupun sebagai barang jadi yang siap untuk dikonsumsi yang
masih terutang cukai dan juga pengangkutan BKC tertentu yang telah dilunasi
cukainya di peredaran bebas. Terhadap setiap pergerakan BKC yang masih
terhutang cukai dan juga BKC tertentu (etil alkohol dan MMEA) wajib dilindungi
dokumen. Hal tersebut diatur di dalam ketentuan Undang-undang Cukai
khususnya di Pasal 25 ayat (1), dan Pasal 27 ayat (1) dan (2).

Sesuai dengan ketentuan Pasal 25 ayat (1) Undang-undang Cukai, atas


kegiatan pemasukan atau pengeluaran BKC ke atau dari pabrik atau tempat
penyimpanan wajib diberitahukan kepada Kepala kantor dan dilindungi dengan
dokumen cukai. Demikian pula ketentuan pasal 27 ayat (1) dan (2) Undang-
undang Cukai yang mengharuskan adanya dokumen pelindung terhadap
pengangkutan BKC yang belum dilunasi cukainya, termasuk BKC tertentu yang
sudah dilunasi cukainya. Pengaturan lebih lanjut mengenai mutasi BKC diatur
lebih lanjut dalam peraturan Menteri Keuangan terkait.

2. Penimbunan BKC

Pengertian kegiatan penimbunan dalam konteks mutasi BKC adalah


kegiatan menimbun BKC yang belum dilunasi cukainya, baik yang berasal dari
impor maupun yang dibuat di dalam negeri di Tempat Penimbunan Sementara
(TPS) atau Tempat Penimbunan Berikat (TPB). Atas kegiatan penimbunan BKC
yang berasal dari proses impor, maka mekanisme yang haru dipenuhi adalah
sesuai dengan yang diatur dalam peraturan Perundang-undangan di bidang
Kepabeanan. Terhadap kegiatan penimbunan BKC yang berasal dari dalam
negeri, wajib dilindungi dengan dokumen cukai.

Disamping pengertian penimbunan di TPS atau TPB, istilah penimbunan


BKC juga dapat diartikan sebagai penimbunan BKC yang belum dilunasi
cukainya di dalam pabrik BKC lainnya dan digunakan sebagai bahan baku atau
bahan penolong. Atas BKC yang ditimbun di dalam pabrik yang dimiliki oleh
Pengusaha Pabrik skala kecil, memiliki kewajiban:

hal | 168
1) menyelenggarakan pencatatan atas pemasukan, penimbunan, dan
pemakaian BKC pada catatan sediaan;
2) menempatkan sedemikian rupa BKC dan hasil produksinya di dalam tempat
atau ruangan sehingga dapat diketahui jenis dan jumlah BKC yang belum
dilunasi cukainya yang dipergunakan sebagai bahan baku atau bahan
penolong;
3) membuat laporan penggunaan/persediaan BKC setiap bulan dengan
menggunakan formulir laporan penggunaan/persediaan BKC; dan
4) menyerahkan laporan sebagaimana dimaksud pada poin (3) kepada
Direktur Jenderal melalui kepala Kantor yang mengawasi Pabrik dalam
jangka waktu paling lama pada hari kesepuluh bulan berikutnya.

Terhadap BKC yang ditimbun di dalam Pabrik BKC milik Pengusaha Pabrik
yang telah ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, mempunyai kewajiban:
1) menyelenggarakan pencatatan atas pemasukan, penimbunan, dan
pemakaian BKC tersebut sesuai dengan ketentuan pembukuan di bidang
cukai;
2) menempatkan sedemikian rupa BKC tersebut dan hasil produksinya di
dalam tempat atau ruangan sehingga dapat diketahui jenis dan jumlah BKC
yang belum dilunasi cukainya yang dipergunakan sebagai bahan baku atau
bahan penolong;
3) membuat laporan penggunaan/persediaan BKC setiap bulan dengan
menggunakan formulir laporan penggunaan/persediaan BKC; dan
4) menyerahkan laporan sebagaimana dimaksud pada poin (3) kepada Direktur
Jenderal melalui kepala Kantor yang mengawasi Pabrik dalam jangka waktu
paling lama pada hari kesepuluh bulan berikutnya.

3. Pemasukan dan Pengeluaran BKC

Secara umum pengertian kegiatan pemasukan dan pengeluaran BKC


adalah pemasukan atau pengeluaran ke dan dari pabrik/tempat penyimpan atas
BKC yang cukainya belum dilunasi. Atas kegiatan tersebut pejabat bea dan
cukai dapat melakukan pengawasan langsung terhadap pemasukan dan
pengeluaran BKC, terutama dalam hal:

hal | 169
1) pemasukan dan pengeluaran BKC berupa etil alkohol ke atau dari Pabrik
atau Tempat Penyimpanan;
2) pemasukan dan pengeluaran BKC berupa MMEA dengan kadar berapapun
ke atau dari Pabrik yang produksi minuman mengandung etil alkoholnya
dalam satu tahun melebihi 50.000 (lima puluh ribu) liter; dan/atau
3) terdapat dugaan bahwa Pengusaha Pabrik atau Pengusaha Tempat
Penyimpanan akan atau telah melakukan penyimpangan terhadap peraturan
perundang-undangan di bidang cukai.

Istilah pengawasan langsung dalam kegiatan pemasukan dan pengeluaran


adalah menempatkan petugas bea dan cukai di lokasi pabrik atau tempat
penyimpanan yang menjadi obyek pengawasan. Pengawasan terhadap
pemasukan dan pengeluaran BKC dilakukan berdasarkan perintah kepala Kantor
yang mengawasi Pabrik atau Tempat Penyimpanan. Dalam hal pemasukan
atau pengeluaran BKC dilakukan di bawah pengawasan pejabat bea dan cukai,
yang menjadi dasar untuk membukukan dalam Buku Rekening BKC adalah yang
didapati oleh pejabat bea dan cukai yang bersangkutan.

Secara khusus kriteria pemasukan dan pengeluaran BKC mencakup


kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
a. Pemasukan atau Pengeluaran BKC dengan fasilitas tidak dipungut cukai:
1) pengeluaran BKC yang belum dilunasi cukainya dari Pabrik atau Tempat
Penyimpanan dengan tujuan untuk dimasukkan ke Pabrik atau Tempat
Penyimpanan lainnya dengan fasilitas tidak dipungut cukai;
2) pemasukan BKC yang belum dilunasi cukainya ke Pabrik atau Tempat
Penyimpanan yang berasal dari Kawasan Pabean, Tempat Penimbunan
Sementara, atau Tempat Penimbunan Berikat dengan fasilitas tidak
dipungut cukai;
3) pemasukan dan pengeluaran BKC berupa hasil tembakau yang belum
dilunasi cukainya dari tempat pembuatan di luar Pabrik ke dalam Pabrik
dan sebaliknya;
4) pengeluaran BKC yang belum dilunasi cukainya dari Pabrik atau Tempat
Penyimpanan dengan tujuan untuk diekspor dengan fasilitas tidak
dipungut cukai.

hal | 170
b. Pemasukan atau Pengeluaran BKC dengan fasilitas pembebasan cukai:
1) pengeluaran BKC yang belum dilunasi cukainya dari Pabrik atau Tempat
Penyimpanan ke Tempat Penimbunan Berikat dengan fasilitas
pembebasan cukai;
2) pengeluaran etil alkohol yang belum dilunasi cukainya dari Pabrik atau
Tempat Penyimpanan dengan fasilitas pembebasan cukai untuk
digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan
barang hasil akhir yang bukan merupakan BKC;
3) pengeluaran etil alkohol yang belum dilunasi cukainya dari Tempat
Penimbunan Sementara atau Tempat Penimbunan Berikat dengan
fasilitas pembebasan cukai untuk digunakan sebagai bahan baku atau
bahan penolong dalam pembuatan barang hasil akhir yang bukan
merupakan BKC;
4) pengeluaran etil alkohol yang telah dirusak sehingga tidak baik untuk
diminum dari Pabrik atau Tempat Penyimpanan;
5) pengeluaran BKC yang belum dilunasi cukainya dari Pabrik atau Tempat
Penyimpanan dengan fasilitas pembebasan cukai untuk keperluan
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
6) pengeluaran BKC yang belum dilunasi cukainya dari Pabrik atau Tempat
Penyimpanan dengan fasilitas pembebasan cukai untuk keperluan
perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di
Indonesia berdasarkan asas timbal balik;
7) pengeluaran BKC yang belum dilunasi cukainya dari Pabrik atau Tempat
Penyimpanan dengan fasilitas pembebasan cukai untuk tujuan sosial;
8) pengeluaran BKC yang belum dilunasi cukainya dari Pabrik atau Tempat
Penyimpanan dengan fasilitas pembebasan cukai untuk dikonsumsi oleh
penumpang dan awak sarana pengangkut yang berangkat langsung ke
luar Daerah Pabean;
9) pengeluaran BKC yang belum dilunasi cukainya dari Kawasan Pabean,
Tempat Penimbunan Sementara, atau Tempat Penimbunan Berikat
dengan fasilitas pembebasan cukai untuk keperluan perwakilan negara

hal | 171
asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan
asas timbal balik;
10) pengeluaran BKC yang belum dilunasi cukainya dari Kawasan Pabean,
Tempat Penimbunan Sementara, atau Tempat Penimbunan Berikat
dengan fasilitas pembebasan cukai untuk dikonsumsi oleh penumpang
dan awak sarana pengangkut yang berangkat langsung ke luar Daerah
Pabean.

c. Pemasukan atau Pengeluaran BKC yang sudah dilunasi cukainya :


1) pemasukan BKC yang sudah dilunasi cukainya ke Pabrik dengan tujuan
untuk dimusnahkan atau diolah kembali;
2) pemasukan BKC yang sudah dilunasi cukainya ke tempat lain di luar
Pabrik dengan tujuan untuk dimusnahkan untuk mendapatkan
pengembalian cukai;
3) pengeluaran BKC berupa etil alkohol atau minuman mengandung etil
alkohol, yang sudah dilunasi cukainya baik dengan cara pembayaran
maupun dengan cara pelekatan pita cukai, dari Pabrik atau Tempat
Penyimpanan;
4) pengeluaran BKC berupa etil alkohol atau minuman mengandung etil
alkohol, yang sudah dilunasi cukainya baik dengan cara pembayaran
maupun dengan cara pelekatan pita cukai, dari Tempat Penimbunan
Sementara atau Tempat Penimbunan Berikat.

4. Pengangkutan BKC

Pengertian pengangkutan adalah perpindahan dengan menggunakan


sarana pengangkut atas BKC yang masih terutang cukai atau yang cukainya
telah dilunasi dari suatu tempat ke tempat lainnya yang melewati peredaran
bebas. Pada prinsipnya pengangkutan BKC harus sudah selesai dilaksanakan
dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam dokumen pelindung pengangkutan.
Dalam hal terdapat hambatan yang menyebabkan pengangkutan BKC tidak
selesai dilaksanakan dalam jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam
Dokumen Cukai, pengusaha yang bersangkutan dapat meminta perpanjangan

hal | 172
jangka waktu kepada Kepala Kantor Bea dan cukai setempat, sebelum
berakhirnya jangka waktu yang telah ditetapkan.

Pengangkutan BKC yang belum dilunasi cukainya, baik dalam keadaan


telah dikemas dalam kemasan untuk penjualan eceran maupun dalam keadaan
curah atau dikemas dalam kemasan bukan untuk penjualan eceran, wajib
dilindungi dengan Dokumen Cukai. Dikecualikan dari kewajiban dilindungi
dengan dokumen cukai, yaitu terhadap pengangkutan BKC berupa:
1) tembakau iris yang dibuat dari tembakau hasil tanaman di Indonesia yang
tidak dikemas untuk penjualan eceran atau dikemas untuk penjualan eceran
dengan bahan pengemas tradisional yang lazim dipergunakan, apabila
dalam pembuatannya tidak dicampur atau ditambah dengan tembakau yang
berasal dari luar negeri atau bahan lain yang lazim dipergunakan dalam
pembuatan hasil tembakau dan/atau pada kemasannya ataupun tembakau
irisnya tidak dibubuhi merek dagang, etiket, atau yang sejenis itu; dan
2) minuman yang mengandung etil alkohol hasil peragian atau penyulingan
yang dibuat oleh rakyat di Indonesia secara sederhana, semata-mata untuk
mata pencaharian dan tidak dikemas untuk penjualan eceran.

Pengangkutan BKC yang sudah dilunasi cukainya, dari suatu tempat ke


tempat lainnya dalam peredaran bebas, yang terdiri dari:
1) etil alkohol dalam jumlah lebih dari 6 (enam) liter; atau
2) MMEA dengan kadar lebih dari 5% (lima persen) dalam jumlah lebih dari 6
(enam) liter, wajib dilindungi dengan dokumen Cukai.

Pengangkutan BKC tersebut wajib dilaporkan kepada kepala Kantor yang


mengawasi penyalur atau tempat penjualan eceran, setiap bulan dalam jangka
waktu paling lama pada hari kesepuluh bulan berikutnya dengan menggunakan
formulir laporan pengangkutan etil alkohol/MMEA yang sudah dilunasi cukainya
di peredaran bebas.

hal | 173
B. Dokumen Mutasi BKC

1. Dokumen Pemberitahuan Pemasukan dan Pengeluaran

Ketentuan pasal 25 ayat (1) Undang-undang Cukai mengatur mengenai


kewajiban penggunaan dokumen cukai sebagai berikut: “Pemasukan atau
Pengeluaran BKC ke atau dari pabrik atau tempat penyimpanan wajib
diberitahukan kepada Kepala kantor dan dilindungi dokumen cukai”. Sebagai
tindak lanjut atas kewajiban penggunaan dokumen cukai tersebut, sejak
pemberlakuan Undang-undang Cukai pada tahun 1996, DJBC telah menyusun
berbagai bentuk dan format dokumen cukai sebagai dokumen pelindung
pemasukan atau pengeluaran. Beberapa diantaranya, yang mungkin pernah
anda kenal antara lain:
1) Dokumen CK-5: Pemberitahuan pengeluaran dan pemasukan BKC yang
belum dilunasi cukainya dari pabrik atau tempat penyimpanan ke pabrik atau
tempat penyimpanan lainnya;
2) Dokumen CK-7: Pemberitahuan Pemasukan Hasil Tembakau yang belum
dilunasi cukainya dari tempat pembuatan di luar pabrik ke dalam pabrik dan
sebaliknya;
3) Dokumen CK-8: Pemberitahuan pengeluaran BKC yang belum dilunasi
cukainya dari pabrik atau tempat penyimpanan untuk tujuan ekspor
4) Dokumen CK-10: Pemberitahuan pengeluaran etil alkohol yang belum
dilunasi cukainya dari pabrik atau tempat penyimpanan untuk bahan baku
atau bahan penolong.

Penggunaan dokumen cukai yang sangat bervariasi membuat kesan


bahwa sistem administrasi di bidang cukai sangat kompleks dan tidak sederhana.
Berdasarkan aturan terdahulu, yaitu KMK nomor 247/KMK.05/1996 tentang
Penimbunan, Pemasukan, Pengeluaran, Pengangkutan dan Perdagangan BKC,
setidaknya terdapat 20 jenis dokumen cukai yang digunakan sebagai dokumen
pesanan pita cukai, dokumen pemasukan dan pengeluaran, dokumen
penimbunan dan dokumen pengangkutan. Hal ini masih ditambah lagi dengan
penggunaan dokumen pelaporan yang jumlahnya sekitar 9 jenis (LACK-1 sampai
dengan LACK-9). Sejalan dengan perkembangan pelaksanaan di lapangan,

hal | 174
tuntutan untuk menyederhanakan sistem administrasi di bidang cukai semakin
menguat.

Pemberlakuan Undang-undang nomor 39 tahun 2007 sebagai perubahan


atas undang-undang nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai telah mendorong
pemerintah untuk menciptakan sistem administrasi cukai yang lebih sederhana.
Sebagai bentuk implementasinya adalah penerbitan PMK nomor
235/PMK.04/2009 yang menyederhanakan dokumen penimbunan, pemasukan,
pengeluaran dan pengangkutan serta dokumen pelaporan.

Bentuk dan format baru dokumen pelindung pemasukan dan pengeluaran


sesuai dengan PMK nomor 235/PMK.04/2009 mengakomodasi hampir seluruh
kegiatan pemasukan dan pengeluaran di bidang cukai. Format baru dokumen
pemasukan dan pengeluaran sesuai dengan peraturan Menteri Keuangan
tersebut menggunakan format Pemberitahuan Mutasi BKC (PMBKC) atau CK-5.
Bentuk format baru PMBKC dapat anda lihat dalam gambar 6.1 dan 6.2 berikut
ini.

hal | 175
Gambar 6.1
Dokumen Cukai PMBKC

hal | 176
Gambar 6.2
Lembar Lanjutan PMBKC

hal | 177
Format PMBKC (CK-5) digunakan untuk hampir seluruh kegiatan
pemasukan atau pengeluaran BKC baik yang cukainya telah dilunasi maupun
yang masih terutang cukai. Dapat dikatakan bahwa PMBKC merupakan single
document bagi kegiatan cukai yang cukup kompleks tersebut. Beberapa
kategori kegiatan mutasi BKC yang dilindungi dengan dokumen CK-5, anatara
lain:
1) pengeluaran BKC yang belum dilunasi cukainya dari Pabrik atau Tempat
Penyimpanan dengan tujuan untuk dimasukkan ke Pabrik atau Tempat
Penyimpanan lainnya dengan fasilitas tidak dipungut cukai;
2) pemasukan BKC yang belum dilunasi cukainya ke Pabrik atau Tempat
Penyimpanan yang berasal dari Kawasan Pabean, Tempat Penimbunan
Sementara, atau Tempat Penimbunan Berikat dengan fasilitas tidak dipungut
cukai;
3) pemasukan dan pengeluaran BKC berupa hasil tembakau yang belum
dilunasi cukainya dari tempat pembuatan di luar Pabrik ke dalam Pabrik dan
sebaliknya;
4) pengeluaran BKC yang belum dilunasi cukainya dari Pabrik atau Tempat
Penyimpanan dengan tujuan untuk diekspor dengan fasilitas tidak dipungut
cukai;
5) pengeluaran BKC yang belum dilunasi cukainya dari Pabrik atau Tempat
Penyimpanan ke Tempat Penimbunan Berikat dengan fasilitas pembebasan
cukai;
6) pengeluaran etil alkohol yang belum dilunasi cukainya dari Pabrik atau
Tempat Penyimpanan dengan fasilitas pembebasan cukai untuk digunakan
sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan barang hasil
akhir yang bukan merupakan BKC;

2. Dokumen Pelindung Pengangkutan

Ketentuan pasal 27 ayat (1) Undang-undang Cukai mengatur mengenai


kewajiban penggunaan dokumen pengangkutan BKC sebagai berikut:
“Pengangkutan BKC yang belum dilunasi cukainya harus dilindungi dengan
dokumen cukai” . Kemudian pasal 27 ayat (2) juga mengatur dokumen

hal | 178
pengangkutan sebagai berikut: “Pengangkutan BKC tertentu, walaupun sudah
dilunasi cukainya, harus dilindungi dengan dokumen cukai”.

Sesuai dengan pengertian pengangkutan yang telah dijelaskan


sebelumnya, pergerakan BKC yang belum dilunasi cukainya di peredaran bebas
harus dilindungin dengan dokumen cukai untuk menjamin hak-hak negara yang
berkaitan dengan pungutan cukainya. Istilah BKC tertentu dalam konteks pasal
27 ayat (2) di atas mengacu kepada BKC berupa etil alkohol dan MMEA dalam
jumlah dan kadar yang ditetapkan.

Dokumen pelindung pengangkutan yang digunakan terhadap


pengangkutan BKC yang belum dilunasi cukainya baik telah dikemas dalam
kemasan untuk penjualan eceran maupun dalam keadaan curah atau dikemas
tidak untuk penjualan eceran tetap menggunakan dokumen pemasukan dan
pengeluaran sesuai format PMBKC (CK-5).
Contoh:
 PT. GM sebagai pabrik hasil tembakau jenis SKT membeli bahan baku
pembuatan hasil tembakau berupa tembakau iris yang dikemas dalam
bentuk bundel/bal dari suatu tempat di luar pabrik, maka atas pengangkutan
dan pemasukan BKC tersebut ke dalam pabrik wajib dilindungi dokumen
cukai PMBKC.
 Pabrik etil alkohol PT XY memasok etil alkohol untuk kebutuhan pabrik
MMEA PT ZZ, maka atas pengeluaran, pengangkutan dan pemasukan BKC
berupa etil alkohol tersebut ke dalam pabrik ZZ wajib dilindungi dengan
dokumen PMBKC.
 Pabrik farmasi PT KF mendapat fasilitas pembebasan atas etil alkohol yang
digunakannya. BKC etil alkohol tersebut diperoleh dari proses impor melalui
importir pemmegang NPPBKC PT. GX. Atas pengeluaran dan pengangkutan
BKC etil alkohol dari Tempat penimbunan Sementara wajib dilindungi
dokumen PMBKC.

Dokumen pelindung pengangkutan yang digunakan terhadap


pengangkutan BKC tertentu yang sudah dilunasi di peredaran bebas dilindungi

hal | 179
dokumen CK-6. Kategori BKC tertentu yang wajib dilindungi dokumen CK-6
adalah sebagai berikut:
 etil alkohol dalam jumlah lebih dari 6 (enam) liter; dan
 minuman mengandung etil alkohol dengan kadar lebih dari 5% (lima persen)
dalam jumlah lebih dari 6 (enam) liter, wajib dilindungi dengan Dokumen
Cukai.

Format dokumen CK-6 sebagai pelindung BKC tertentu di peredaran bebas


dapat dilihat dalam Gambar 6.3 berikut ini.

Gambar 6.3
Dokumen CK-6

hal | 180
C. Tata Laksana Mutasi BKC
Alur kegiatan mutasi BKC sangat beragam dan masing-masing memiliki
spesifikasi yang berbeda, walaupun dokumen yang digunakan sama. Pada sub
bagian ini penulis hanya akan menjelaskan beberapa alur kegiatan mutasi BKC
yang dilakukan dalam praktek kegiatan sehari-hari. Format alur kegiatan yang
digunakan disini mengacu kepada standar operasional prosedur yang telah
dipraktekkan di beberapa Kantor madya Cukai.

1. Pengeluaran BKC dari Pabrik dengan Pelunasan

Untuk kegiatan mutasi berupa pengeluaran BKC dari pabrik dengan


pelunasan cukai (Gambar II.4), maka pengusaha pabrik menyerahkan PMBKC
kepada KPPBC dengan dilampiri bukti pembayaran dari Bank Persepsi berupa
SSPCP yg telah mendapatkan nomor transaksi pembayaran negara (NTPN).
Pengusaha menyerahkan dokumen PMBKC pelunasan lembar ke-1, 3, 4, 5 yang
telah didaftarkan kepada Kepala Seksi Pelayanan Kepabeanan dan Cukai (PKC).
Kepala Seksi PKC menerima, meneliti, mendisposisi PMBKC (CK-5) pelunasan
kepada Kasubsi Hanggar Pabean dan Cukai untuk diproses lebih lanjut.

Kasubsi Hanggar Pabean dan Cukai menerima, meneliti dan menunjuk


pelaksana pemeriksa untuk melakukan pengawasan terhadap jumlah dan jenis
barang yang diberitahukan. Pelaksana pada Seksi Pelayanan Kepabeanan dan
Cukai membuat konsep surat tugas untuk melakukan pengawasan terhadap
jumlah dan jenis barang yang diberitahukan. Kemudian, Kasubsi Hanggar
menerima, meneliti dan memaraf konsep surat tugas dan menyampaikan kepada
Kepala Seksi PKC. Kepala Seksi PKC menerima, meneliti, dan menandatangani
surat tugas.

Pelaksana pemeriksa yang ditunjuk menerima surat tugas dari Kepala


Seksi PKC, dan segera melakukan tugas pengawasan atas pengeluaran BKC
yang bersangkutan:
 melakukan pengawasan terhadap jumlah dan jenis barang yang dikeluarkan;
 membuat catatan pemeriksaan dan pengeluaran pada halaman ke-2 pada
lembar 1, 3, 4, dan 5 PMBKC dan menyerahkan kepada Pengusaha;
 mencatat dokumen PMBKC ke dalam buku pengawasan.

hal | 181
Gambar 6.4
Flowchart Pelayanan Pengeluaran BKC
dengan Dokumen PMBKC Pelunasan

KEPALA SEKSI KASUBSI PELAKSANA PADA


PENGUSAHA PELAYANAN HANGGAR PABEAN SEKSI PELAYANAN PELAKSANA
KEPABEANAN DAN DAN CUKAI KEPABEANAN DAN PEMERIKSA
CUKAI CUKAI

Meneliti Konsep
Meneliti dan Surat Tugas
dan memaraf
TTD

Konsep
Surat Tugas

Sumber: Bag. OTL DJBC

hal | 182
2. Pengeluaran BKC dari Pabrik dengan Tujuan Diekspor

Alur proses kegiatan mutasi berupa pengeluaran BKC dari pabrik dengan
tujuan diekspor, dapat dilihat dalam flowchart berikut (Gambar II.5).

Gambar 6.5
Flowchart Pelayanan Pengeluaran BKC
dengan Dokumen PMBKC Pelunasan
KEPALA SEKSI KASUBSI PELAKSANA PADA
PENGUSAHA PELAYANAN HANGGAR PABEAN SEKSI PELAYANAN PELAKSANA BENDAHARAWAN
KEPABEANAN DAN DAN CUKAI KEPABEANAN DAN PEMERIKSA
CUKAI CUKAI

M meneliti
M meneliti Konsep
Da dan
D dan Surat Tugas
M memaraf
M memaraf
T

Konsep
Surat Tugas

Sumber: Bag. OTL DJBC

hal | 183
Sesuai flowchart pada gambar 6.5, pengusaha pabrik menyerahkan
PMBKC tujuan ekspor (dalam rangkap 5) yang telah didaftarkan kepada Kepala
Seksi PKC. Kepala Seksi PKC menerima, meneliti, mendisposisi PMBKC CK-5
Pelunasan kepada Kasubsi Hanggar Pabean dan Cukai untuk diproses lebih
lanjut.

Kasubsi Hanggar Pabean dan Cukai menerima, meneliti dan menunjuk


pelaksana pemeriksa untuk melakukan pengawasan stuffing BKC yang
diberitahukan. Pelaksana pada Seksi PKC membuat konsep surat tugas untuk
melakukan pengawasan stuffing BKC. Kasubsi Hanggar Pabean dan Cukai
menerima, meneliti dan memaraf konsep surat tugas.

Kepala Seksi PKC menerima, meneliti, dan menandatangani surat tugas.


Pelaksana Pemeriksa yang ditunjuk menerima surat tugas dan melakukan
pengawasan stuffing BKC yang diberitahukan. Selanjutnya membuat Berita
Acara (BA) penyegelan dan memberikan catatan pengawasan pada PMBKC,
untuk selanjutnya disampaikan kepada Kepala Seksi PKC.

Kepala Seksi PKC menerima BA Penyegelan dan PMBKC yang sudah


diberi catatan pengawasan kemudian mendisposisikan untuk disampaikan
kepada Bendaharawan. Pelaksana pada Seksi PKC BA Penyegelan dan PMBKC
sesuai peruntukan:
 lembar ke-1 untuk pelindung pengeluaran dan pengangkutan BKC
 lembar ke-2 untuk Bendaharawan
 lembar ke-3 untuk Pengusaha Pabrik atau Tempat Penyimpanan Asal

3. Pengeluaran BKC Sebagai Bahan Baku dengan Tujuan ke Pabrik BKC


Lain
Alur proses kegiatan mutasi berupa pengeluaran BKC dari pabrik dengan
tujuan ke pabrik BKC lainnya, sebagai bahan baku pembuatan BKC lainnya,
dapat dilihat dalam flowchart berikut (Gambar II.6). Dalam hal ini pengusaha
Pabrik BKC tujuan telah mengajukan permohonan PBCK-1 kepada Kantor Bea
dan Cukai setempat.

hal | 184
Gambar 6.6
Flowchart Pelayanan Pengeluaran BKC
sebagai Bahan Baku untuk Pembuatan BKC Lainnya
PENGUSAHA KEPALA KEPALA SEKSI KASUBSI PELAKSANA KEPALA SEKSI KPPBC TUJUAN
KPPBC PKC HANGGAR PABEAN PEMERIKSA PERBEND.
DAN CUKAI

Sumber: Bag. OTL DJBC

hal | 185
Sesuai dengan flowchart pada Gambar II.6, pengusaha mengajukan
rencana pengeluaran BKC dilengkapi dengan PMBKC rangkap 5 kepada Kepala
Kantor. Kepala Kantor menerima PMBKC (CK.5) dan mendisposisi kepada
Kepala Seksi PKC. Kepala Seksi PKC menerima dan mendisposisi kepada
Kasubsi Hanggar Pabean dan Cukai.

Kasubsi Hanggar Pabean dan Cukai menerima dan mendisposisi kepada


Pelaksana Pemeriksa pada seksi PKC. Berkas akan diteliti dan juga kelengkapan
PMBKC-nya. Apabila pengisian PMBKC dianggap belum lengkap maupun
terdapat persyaratan yang belum dilampirkan, berkas dokumen akan
dikembalikan kepada pengusaha untuk diperbaiki. Dalam hal sudah lengkap,
Pelaksana Pemeriksa menyampaikan dokumen kepada Kasubsi Hangar Pabean
dan Cukai.

Kasubsi Hangar Pabean dan Cukai melakukan penelitian dan dalam hal
sudah benar membukukan dan menomori PMBKC. Kasi PKC menerima dan
menandatangani dokumen PMBKC (CK.5) dan mendisposisi kepada Kasubsi
Hanggar untuk penyelesaian lebih lanjut. Berkas dokumen PMBKC selanjutnya
akan didistribusikan oleh Pelaksana Pemeriksa, sesuai peruntukan dan
melakukan pengawasan pengeluaran BKC. Lembar peruntukan PMBKC adalah
sebagai berikut:
 lbr ke-1 kepada pengusaha untuk pelindung BKC
 lbr ke-2 kepada bendaharawan asal
 lbr ke-3 kepada pengusaha
 lbr ke-4 kepada penerima BKC
 lbr ke-5 kepada bendaharawan tujuan

Pelaksana Pemeriksa pada Seksi KPC selanjutnya akan membuat konsep


Surat Tugas pengawasan pengeluaran, dan menyampaikannya kepada Kasubsi
Hanggar. Kasubsi Hanggar menerima konsep dan memaraf, selanjutnya
disampaikan kepada Kepala Seksi KPC. Kepala Seksi menerima dan
menandatangani surat tugas a.n. Kepala Kantor. Berdasarkan surat tugas,
Pelaksana Pemeriksa yang ditunjuk akan menerima ST dan melaksanakan
pengawasan pengeluaran. Selanjutnya pemeriksa menerima PMBKC lbr ke-1

hal | 186
dari pengusaha, menuangkan hasil pemeriksaan pada dokumen PMBKC dan
melakukan penyegelan serta membuat BA Penyegelan. Kemudian PMBKC
lembar ke-1 dijadikan dokumen pelindung BKC.

Pengusaha Asal mengirimkan BKC dengan dilindungi dokumen PMBKC ke


tempat tujuan. Pemasukan BKC ke Pabrik/TP tujuan diawasi oleh pelaksana
pemeriksa dari KPPBC tujuan. Selanjutnya PMBKC yang sudah diberikan
catatan pemasukan dikirim kepada KPPBC asal. Kepala Seksi Perbendaharaan
KPPBC asal menerima PMBKC lembar ke-1 dari kantor tujuan, dan
merekonsiliasi dengan PMBKC lembar ke-2.

RANGKUMAN :

Sebagai rangkuman materi Bab 6, dapat disampaikan sebagai berikut:

 Pengertian mutasi BKC adalah setiap kegiatan penimbunan, pemasukan,


pengeluaran dan pengangkutan BKC baik yang digunakan sebagai bahan
baku untuk produk lain maupun sebagai barang jadi yang siap untuk
dikonsumsi yang masih terutang cukai dan juga pengangkutan BKC tertentu
yang telah dilunasi cukainya di peredaran bebas.
 Pengertian kegiatan penimbunan dalam konteks mutasi BKC adalah kegiatan
menimbun BKC yang belum dilunasi cukainya, baik yang berasal dari impor
maupun yang dibuat di dalam negeri di Tempat Penimbunan Sementara
(TPS) atau Tempat Penimbunan Berikat (TPB).
 Pengertian kegiatan pemasukan dan pengeluaran BKC adalah pemasukan
atau pengeluaran ke dan dari Pabrik/Tempat Penyimpan atas BKC yang
cukainya belum dilunasi.
 Pengertian pengangkutan adalah perpindahan dengan menggunakan sarana
pengangkut atas BKC yang masih terutang cukai atau yang cukainya telah
dilunasi dari suatu tempat ke tempat lainnya yang melewati peredaran bebas.
 Format baru dokumen pelindung pemasukan dan pengeluaran sesuai dengan
PMK nomor 235/PMK.04/2009 adalah format PMBKC atau CK-5. Bentuk dan
format baru dokumen CK-5 tersebut telah mengakomodasi hampir seluruh

hal | 187
kegiatan pemasukan dan pengeluaran di bidang cukai.
 Dokumen pelindung pengangkutan yang digunakan terhadap pengangkutan
BKC yang belum dilunasi cukainya baik telah dikemas dalam kemasan untuk
penjualan eceran maupun dalam keadaan curah atau dikemas tidak untuk
penjualan eceran tetap menggunakan dokumen pemasukan dan pengeluaran
sesuai format PMBKC (CK-5).
 Dokumen pelindung pengangkutan yang digunakan terhadap pengangkutan
BKC tertentu yang sudah dilunasi di peredaran bebas dilindungi dokumen
CK-6.

LATIHAN :

Untuk menguji pemahaman anda dalam materi bab 2, silahkan anda kerjakan
soal-soal latihan berikut:
1) Jelaskan pengertian mutasi BKC dan untuk apa DJBC mengawasi
pergerakan BKC!

2) Jelaskan apa yang melatarbelakangi penggunaan dokumen CK-5 format


baru oleh DJBC!

3) Jelaskan kegunaan dokumen PMBKC!

4) Jelaskan konsep dokumen pemasukan/pengeluaran dan dokumen


pengangkutan!

5) Mengapa dalam pergerakan BKC etil alkohol dan MMEA tertentu wajib
dilindungi dengan dokumen CK-6? Jelaskan!

hal | 188
BAB

TATACARA PEMUSNAHAN
DAN PENGOLAHAN KEMBALI BKC 7
Tujuan Pembelajaran Khusus:
Setelah mengikuti pembelajaran ini Mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan
mekanisme pemusnahan dan pengolahan kembali BKC

A. Gambaran Umum

1. Konsep Pemusnahan dan Pengolahan Kembali

Pengertian pengolahan kembali BKC


adalah kegiatan menarik kembali BKC yang
sudah dilunasi cukainya dari peredaran bebas
ke dalam pabrik untuk dilakukan pengolahan
kembali. Umumnya produk BKC yang dapat
diolah kembali adalah produk-produk yang
belum mengalami kadaluwarsa, namun karena adanya cacat produksi
mengharuskan BKC tersebut ditarik dari peredaran bebas. Pengertian
pemusnahan BKC adalah kegiatan penarikan BKC yang sudah dilunasi cukainya
dari peredararan bebas untuk dilakukan pemusnahan di dalam pabrik atau di
tempat-tempat lainnya dibawah pengawasan DJBC.

Pengolahan kembali atau pemusnahan BKC yang dilakukan oleh


pengusaha Pabrik bertujuan untuk pengembalian cukai, sebagaimana diatur
dalam pasal 12 ayat 1 huruf (c) Undang-undang Cukai. Selanjutnya Pasal
tersebut ditindak lanjuti oleh Menteri Keuangan dengan PMK nomor
113/PMK.04/2008 tentang Pengembalian Cukai dan/atau Sanksi Administrasi
Berupa Denda.

hal | 189
Mengacu pada ketentuan pasal 12 Undang-undang Cukai, pengembalian
cukai yang telah dibayar diberikan dalam hal:
1) terdapat kelebihan pembayaran karena kesalahan penghitungan;
2) BKC diekspor;
3) BKC yang mendapat pembebasan cukai
4) BKC yang dibuat di Indonesia diolah kembali di pabrik atau dimusnahkan;
5) pita cukai dikembalikan karena rusak atau tidak terpakai
6) terdapat kelebihan pembayaran sebagai akibat putusan Pengadilan Pajak.

Sebagai acuan petunjuk teknis pengembalian cukai, khususnya mengenai


pemusnahan dan pengolahan kembali, DJBC telah mengeluarkan Peraturan
Dirjend P-19/BC/2008 tentang Pengembalian Cukai atas BKC yang Diolah
Kembali atau Dimusnahkan yang diperbaharui dengan P-03/BC/2010. Topik
bahasan inilah yang akan dijabarkan secara mendalam dalam kegiatan belajar
Bab 3 ini.

2. Struktur Pengembalian Cukai atas BKC yang Diolah Kembali atau


Dimusnahkan

Dalam ketentuan tatalaksana pengembalian cukai atas BKC yang diolah


kembali atau dimusnahkan sebagaimana diatur dalam P-19/BC/2008 jo. P-
03/BC/2010, dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu:
1) tatalaksana pengolahan kembali dan pemusnahan atas BKC yang
pelunasannya dengan cara pelekatan pita cukai
2) tatalaksana pengolahan kembali dan pemusnahan atas BKC yang
pelunasannya dengan cara pembayaran

Untuk memudahkan pemahaman anda maka dalam pembahasan kegiatan


belajar selanjutnya akan kami bedakan menurut dua kategori tersebut.
Gambaran singkat peta konsep tatalaksana pengembalian atas BKC diolah
kembali dan dimusnahkan dapat dilihat dalam Gambar III.1 berikut.

hal | 190
Gambar 7.1
Struktur Tatalaksana Pengolahan Kembali dan Pemusnahan BKC

3. Cara Pengolahan Kembali dan Pemusnahan BKC

Kegiatan pengolahan kembali BKC baik yang berasal dari peredaran bebas
maupun yang masih berada di dalam pabrik dilakukan dengan cara:
 BKC dipindahkan ke dalam kemasan penjualan eceran yang baru atau
diproduksi ulang untuk menjadi BKC baru.
 BKC diproduksi ulang untuk menjadi BKC baru.

Untuk kegiatan pemusnahan BKC baik yang dilakukan di dalam pabrik


maupun di luar pabrik, maka pemusnahan dilakukan dengan cara:
 Membakar habis BKC;
 Menghancurkan BKC dengan menggunakan mesin atau alat penghancur;
 Memasukkan BKC ke dalam lubang galian yang telah diberi air kemudian
ditimbun dengan tanah.

B. Pengolahan Kembali dan Pemusnahan BKC yang Pelunasannya


dengan Pelekatan Pita Cukai

1. Subyek yang Berhak Mendapat Pengembalian Cukai

Pengembalian cukai atas kegiatan pengolahan kembali atau pemusnahan


BKC yang dibuat di Indonesia yang pelunasannya dengan cara pelekatan pita
cukai hanya diberikan kepada Pengusaha Pabrik. BKC yang dapat ditarik dari
peredaran bebas untuk diolah kembali atau dimusnahkan dengan mendapat
pengembalian pita cukai hanya diizinkan apabila pemesanan pita cukainya

hal | 191
dilakukan pada tahun anggaran berjalan atau pada satu tahun anggaran
sebelumnya.

2. Ketentuan dan Persyaratan

Sebelum melakukan kegiatan pengolahan kembali atau pemusnahan,


pengusaha pabrik harus mendapatkan persetujuan dari Pejabat Bea dan Cukai
setempat. Pejabat yang berwenang memberikan persetujuan pengolahan
kembali atau pemusnahan BKC adalah sebagai berikut:
1) Kepala KPPBC Tipe A1 ke bawah yang mengawasi pabrik, dalam hal nilai
cukai yang dimintakan pengembalian tidak melebihi Rp. 100.000.000,-
(seratus juta rupiah);
2) Kepala KPPPBC Tipe Madya, dalam hal nilai cukai yang dimintakan
pengembalian tidak melebihi Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah)
3) Kepala Kantor wilayah atau Kepala KPU Bea dan Cukai dalam hal nilai cukai
melebihi batasan poin 1) dan 2) diatas.

Pemusnahan atau pengolahan kembali atas BKC yang telah dilunasi


cukainya hanya dapat dilakukan oleh Pengusaha Pabrik dan pelaksanaannya
dibawah pengawasan Pejabat Bea dan Cukai setempat. Untuk melaksanakan
tugas pengawasan tersebut, Kepala Kantor Bea dan Cukai yang mengawasi
pabrik membentuk Tim Pengawas yang beranggotakan Pejabat Bea dan Cukai
dari Kantor setempat. Khusus permohonan pengolahan kembali atau
pemusnahan yang nilainya melebihi Rp. 500.000.000,- Tim Pengawas
beranggotakan pejabat dari Kantor Wilayah dan Kantor Pelayanan Bea dan
Cukai setempat.

Pemusnahan atau pengolahan kembali BKC yang telah dilekati pita


cukainya yang masih berada di dalam pabrik hanya dapat dilakukan paling
banyak 2 (dua) kali dalam satu bulan. Apabila pengusaha pabrik bermaksud
melakukan kegiatan pemusnahan atau pengolahan lebih dari dua kali dalam satu
bulan, maka yang bersangkutan harus mendapatkan persetujuan tertulis dari
Kepala Kantor Wilayah.

hal | 192
Pemusnahan atau pengolahan kembali BKC yang telah dilekati pita
cukainya yang berasal dari peredaran bebas hanya dapat dilakukan paling
banyak 4 (empat) kali dalam satu tahun anggaran. Apabila pengusaha pabrik
bermaksud melakukan kegiatan pemusnahan atau pengolahan lebih dari empat
kali dalam satu tahun anggaran, maka yang bersangkutan harus mendapatkan
persetujuan tertulis dari Kepala Kantor Wilayah.

Atas pengolahan kembali di pabrik atau pemusnahan BKC dengan


mendapat pengembalian cukai, maka terhadap pita cukai yang dirusak akan
dikenakan biaya pengganti penyediaan pita cukai sesuai dengan ketentuan yang
berlaku, yaitu:
 Rp. 25,- per keping untuk pita cukai hasil tembakau seri I
 Rp. 40,- per keping untuk pita cukai hasil tembakau Seri II
 Rp. 25,- per keping untuk pita cukai hasil tembakau Seri III
 Rp. 300,- per keping untuk pita cukai MMEA

Pengembalian cukai atas pengolahan kembali atau pemusnahan BKC


terlebih dahulu diperhitungkan dengan utang cukai. Dalam hal pengusaha pabrik
tidak memiliki utang cukai, pengembalian cukai atas permintaannya, dapat:
 diperhitungkan untuk pemesanan pita cukai berikutnya, untuk BKC yang
pelunasannya cukainya dengan cara pelekatan pita cukai.
 dikembalikan kepada pengusaha pabrik sesuai ketentuan yang berlaku.

3. Mekanisme Pengolahan Kembali atau Pemusnahan

a. BKC yang masih berada di dalam Pabrik untuk diolah kembali atau
dimusnahkan di dalam pabrik

Proses permohonan pengolahan kembali dan pemusnahan atas BKC yang


masih berada di dalam pabrik pada dasarnya terbagi menjadi 2 tahapan, yaitu:
1) Tahapan pengajuan PBCK-7 hingga diterbitkannya Berita Acara
Pemeriksaan BKC (dengan dokumen BACK-1)
2) Tahapan pengolahan Kembali atau Pemusnahan (pengajuan PBCK-3)

Pada tahapan pertama, dimulai dengan pengajuan berkas permohonan


PBCK-7 untuk dilakukan pemeriksaan terhadap BKC yang akan

hal | 193
dimusnahkan/diolah kembali. Atas pengajuan PBCK-7 ini Kepala Kantor akan
mendisposikan kepada seksi kepabeanan dan cukai untuk dilakukan penelitian.
Apabila permohonan layak untuk diteruskan, maka Kepala Kantor akan
menugaskan pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan fisik terhadap BKC yang
dimohonkan pengolahan kembali atau pemusnahan. Output terakhir dari
kegiatan tahap pertama ini adalah diterbitkannya Berita Acara Pemeriksaan BKC
oleh pejabat pemeriksa (BACK-1). Atas BKC yang telah selesai diperiksa
dilakukan pengamanan dengan cara penyegelan.

Gambar 7.2
Flowchart Prosedur Pengolahan Kembali/Pemusnahan BKC
yang Masih Berada di Dalam Pabrik

hal | 194
Selanjutnya tahapan ke-2 dari proses permohonan pengolahan kembali
atau pemusnahan BKC adalah dengan mengajukan berkas PBCK-3 yang telah
dilampiri dengan copy PBCK-7 dan berita acara pemeriksaan atas BKC tersebut.
Kantor Bea dan Cukai melakukan penelitian dan pengadministrasian berkas
dokumen PBCK-3.

Dalam hal nilai pengajuan pengembalian masih dalam lingkup


kewenangan Kepala Kantor, maka Kepala Kantor akan mengeluarkan surat
persetujuan pengolahan kembali atau pemusnahan dan membentuk Tim
Pengawas yang bertugas mengawasi pelaksanaan pengolahan kembali atau
pemusnahan. Anggota Tim Pengawas paling sedikit terdiri dari 3 orang Pejabat
Bea dan Cukai dari KPPBC. Tembusan Surat Persetujuan dan Pembentukan Tim
Pengawas disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah.

Dalam hal nilai cukai yang diajukan pengembalian berada pada


kewenangan Kepala Kantor wilayah maka Kepala Kantor membuat surat
rekomendasi dan mengirimkannya kepada Kepala Kantor Wilayah. Surat

hal | 195
persetujuan pengolahan kembali atau pemusnahan diterbitkan oleh Kepala
Kantor Wilayah dan juga pembentukan Tim Pengawas yang terdiri dari paling
banyak dua orang pejabat Kanwil dan paling sedikit tiga orang pejabat dari
KPPBC.

Tim Pengawas melakukan kegiatan pengawasan atas pelaksanaan


pengolahan kembali atau pemusnahan. Sebelum pengolahan kembali atau
pemusnahan dilakukan terlebih dahulu dilakukan pengecekan sebagai berikut:
 mencocokkan jumlah, jenis, merek, tanda atau nomor pengenal koli serta
jenis segel atau tanda pengaman sebagaimana yang tertera pada BACK-1.
 memeriksa keutuhan segel atau tanda pengaman BKC yang akan diolah
kembali atau dimusnahkan.
 dalam hal segel kedapatan utuh, melakukan pemeriksaan secara acak,
paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari jumlah BKC yang akan diolah
kembali atau dimusnahkan dan paling sedikit 2 koli. Dalam hal kedapatan
rusak atau dalam hal hasil pemeriksaan awal kedapatan tidak sesuai,
melakukan pemeriksaan 100% (seratus persen) terhadap BKC yang
bersangkutan.

Sebagai output kegiatan pengawasan yang dilakukan maka Tim Pengawas


membuat Berita Acara Pemusnahan atau Pengolahan Kembali BKC (BACK-3).
BACK-3 yang diterbitkan Tim Pengawas akan menjadi dasar diterbitkannya
dokumen Tanda Bukti Perusakan Pita Cukai (CK-2) oleh kepala Kantor.

b. BKC yang berasal dari peredaran bebas yang akan diolah kembali atau
dimusnahkan di pabrik

Pengajuan CK-5 paling lambat tanggal 1 bulan keempat sejak batas waktu
pelekatan sesuai ketentuan yang berlaku. Pemasukan kembali BKC dari
peredaran bebas ke dalam pabrik untuk diolah kembali atau dimusnahkan
dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal
CK-5. Apabila jangka waktu 30 hari tersebut tersebut tidak dipenuhi, atas
pengolahan kembali BKC atau pemusnahan tidak diberikan pengembalian cukai.
Apabila tanggal pemasukan jatuh pada hari libur atau yang diliburkan, maka

hal | 196
pemasukan dilakukan pada hari kerja terakhir sebelum hari libur atau yang
diliburkan.

Untuk pemasukan ke pabrik, pengusaha Pabrik harus memberitahukan


secara tertulis kepada Kepala Kantor. Pemberitahuan wajib disampaikan
sebelum pemasukan BKC yang telah dilunasi cukainya dari peredaran bebas ke
dalam pabrik untuk diolah kembali atau dimusnahkan dengan menggunakan
pemberitahuan mutasi BKC (CK-5).

Proses permohonan pengolahan kembali dan pemusnahan atas BKC yang


berasal dari peredaran bebas pada dasarnya terbagi menjadi 2 tahapan, yaitu:
1) Tahapan pemasukan BKC ke dalam Pabrik (CK-5)
2) Tahapan pengolahan Kembali atau Pemusnahan (pengajuan PBCK-3)

Pada tahapan pertama, dimulai dengan pengajuan berkas permohonan


CK-5 dalam rangka pemasukan BKC yang akan diolah kembali atau
dimusnahkan oleh Pengusaha Pabrik atau kuasanya. Proses ini dapat saja
melibatkan dua KPPBC yang berbeda. Pengajuan permohonan penarikan BKC
ke pabrik dengan dokumen CK-5 dapat diajukan kepada KPPBC yang terdekat
dengan lokasi BKC yang akan ditarik. Sebagai contoh: Distributor PT. Djarum di
wilayah Sumatera Utara dan sekitarnya dapat saja mengajukan CK-5 kepada
KPPBC Medan dalam rangka penarikan BKC ke pabrik yang ada di Jawa tengah.
Dalam hal ini PT. Djarum wajib memberikan kuasa kepada Distributornya untuk
bertindak atas nama PT.Djarum. Harus diingat bahwa subyek yang berhak
memperoleh pengembalian cukai hanyalah pengusaha pabrik.

Atas pengajuan CK-5 ini Kepala Kantor akan mendisposikan kepada seksi
kepabeanan dan cukai untuk dilakukan penelitian. Apabila permohonan layak
untuk diteruskan, maka Kepala Kantor akan menugaskan pemeriksa untuk
melakukan pemeriksaan fisik terhadap BKC yang dimohonkan pengolahan
kembali atau pemusnahan. Output terakhir dari kegiatan tahap pertama ini
adalah diterbitkannya Berita Acara Pemeriksaan BKC oleh pejabat pemeriksa
(BACK-1). Atas BKC yang telah selesai diperiksa dilakukan pengamanan
dengan cara penyegelan. BKC selanjutnya akan dikirim ke Pabrik asal dengan

hal | 197
dilindungi CK-5 tembusan. Pengiriman BKC ke pabrik asal selambat-lambatnya
30 hari sejak tanggal pemberitahuan CK-5.

Selanjutnya, Kepala Kantor tempat pemeriksaan BKC menyampaikan


pemberitahuan CK-5 kepada Kepala Kantor pengawasan Pabrik. Proses
pemasukan BKC ke dalam pabrik dilakukan pengawasan oleh pejabat
pemeriksa. Untuk itu, Kepala Kantor pengawasan pabrik menugaskan pemeriksa
untuk melaksanakan pengawasan terhadap pemasukan BKC ke dalam Pabrik.
Sampai disini tahap pertama kegiatan selesai. Kemudian dapat dilanjutkan pada
tahap kegiatan berikutnya, yaitu permohonan pengolahan kembali atau
pemusnahan BKC dengan pengajuan PBCK-3.

Tahapan kedua dari mekanisme permohonan pengolahan kembali atau


pemusnahan ini kurang lebih sama dengan tahapan yang kami jelaskan untuk
proses pengolahan kembali atau pemusnahan atas BKC yang masih berada di
dalam pabrik. Titik perbedaannya hanya terletak pada dokumen lampiran PBCK-
3 yang harus disertakan, yaitu CK-5 tembusan dan BACK-1. Flowchart
sederhana untuk kedua tahapan tersebut dapat dilihat dalam gambar 7.3.

Gambar 7.3
Prosedur Pengolahan Kembali/Pemusnahan BKC
yang Berasal dari Peredaran Bebas

hal | 198
c. BKC yang berasal dari peredaran bebas yang akan dimusnahkan di
Luar Pabrik

Apabila kegiatan pemusnahan BKC akan dilakukan di luar pabrik, maka


Pengusaha Pabrik dapat mengajukan permohonan tertulis kepada Kepala
Kantor setempat. Pemusnahan BKC yang dilakukan di luar pabrik hanya
diberikan untuk BKC dengan nilai cukai sampai dengan Rp. 100.000.000,-
(seratus juta rupiah). Atas permohonan tertulis pengusaha pabrik, Kepala Kantor
memberikan putusannya. Kegiatan pemusnahan BKC di luar pabrik hanya dapat
dilakukan paling banyak 2 (dua) kali dalam satu tahun anggaran. Dalam hal
pemusnahan BKC dilakukan di beberapa tempat pemusnahan secara
bersamaan, maka kegiatan tersebut dihitung sama dengan satu kali pemberian
persetujuan pemusnahan di luar pabrik.

Untuk pemusnahan BKC di Tempat Pemusnahan di luar pabrik,


pengusaha Pabrik atau kuasanya harus memberitahukan secara tertulis kepada
Kepala Kantor Pengawasan Tempat Pemusnahan sebelum pemasukan BKC
yang telah dilunasi cukainya dari peredaran bebas ke Tempat Pemusnahan.

hal | 199
Pemberitahuan pemusnahan ini diajukan dengan menggunakan pemberitahuan
mutasi BKC (CK-5).

Proses permohonan pemusnahan BKC di luar pabrik pada dasarnya juga


terbagi menjadi 2 tahapan, yaitu:
1) Tahapan pemasukan BKC ke dalam Tempat Pemusnahan (CK-5)
2) Tahapan pengolahan Kembali atau Pemusnahan (pengajuan PBCK-3)

Flowchart sederhana pada gambar III.4 berikut akan memberikan gambaran


singkat mengenai alur proses permohonan pemusnahan BKC yang berasal dari
peredaran bebas untuk dilakukan pemusnahannya di luar pabrik.

Gambar 7.4
Prosedur Pemusnahan BKC
di Tempat Pemusnahan di Luar Pabrik

hal | 200
Tahapan pertama dimulai dengan pengajuan berkas permohonan CK-5
dalam rangka pemasukan BKC yang akan dimusnahkan oleh Pengusaha Pabrik
atau kuasanya. Proses ini dapat saja melibatkan dua KPPBC yang berbeda.
Pengajuan permohonan penarikan BKC ke Tempat Pemusnahan di Luar Pabrik
dapat diajukan kepada KPPBC yang terdekat dengan lokasi Tempat
Pemusnahan.

Atas pengajuan CK-5 ini Kepala Kantor akan mendisposisikan kepada


Seksi Kepabeanan dan Cukai/Seksi Pelayanan Kepabeanan dan Cukai/Sub
seksi Perbendaharaan dan Pelayanan untuk dilakukan penelitian. Apabila
permohonan layak untuk diteruskan, maka Kepala Kantor akan menugaskan
pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan fisik terhadap BKC yang dimohonkan
pemusnahan di Tempat Pemusnahan di Luar pabrik. Output terakhir dari
kegiatan tahap pertama ini adalah diterbitkannya Berita Acara Pemeriksaan BKC
oleh pejabat pemeriksa (BACK-1). Atas BKC yang telah selesai diperiksa
dilakukan pengamanan dengan cara penyegelan. BKC selanjutnya akan ditimbun
di Tempat Pemusnahan sambil menunggu persetujuan pemusnahan dari Kantor
Bea dan Cukai yang mengawasi Tempat Pemusnahan.

hal | 201
Selanjutnya, Kepala Kantor tempat pemeriksaan BKC menyampaikan
pemberitahuan CK-5 kepada Kepala Kantor pengawasan Pabrik. Sampai disini
tahap pertama kegiatan selesai. Kegiatan berikutnya dapat dilanjutkan pada
tahap kedua, yaitu permohonan pengolahan kembali atau pemusnahan BKC
dengan pengajuan PBCK-3.

Selanjutnya tahapan ke-2 dari proses permohonan pemusnahan BKC di


Luar Pabrik adalah dengan mengajukan berkas PBCK-3 rangkap 5, yang telah
dilampiri dengan copy CK-5 dan berita acara pemeriksaan BACK-1. Kantor Bea
dan Cukai yang mengawasi Tempat Pemusnahan melakukan penelitian dan
pengadministrasian berkas dokumen PBCK-3. Kepala Kantor menerbitkan
persetujuan pemusnahan dan membentuk Tim Pengawas yang beranggotakan
minimal 3 orang pejabat di lingkungan KPPBC setempat. Tembusan Surat
Persetujuan dan Pembentukan Tim Pengawas disampaikan kepada Kepala
Kantor Wilayah dan Kepala Kantor yang mengawasi pabrik.

Tim Pengawas melakukan kegiatan pengawasan atas pelaksanaan


pengolahan kembali atau pemusnahan. Sebelum pengolahan kembali atau
pemusnahan dilakukan pengecekan terlebih dahulu, sebagai berikut:
1) mencocokkan jumlah, jenis, merek, tanda atau nomor pengenal koli serta
jenis segel atau tanda pengaman sebagaimana yang tertera pada BACK-1.
2) memeriksa keutuhan segel atau tanda pengaman BKC yang akan diolah
kembali atau dimusnahkan.
3) dalam hal segel sebagaimana huruf c kedapatan utuh, melakukan
pemeriksaan secara acak, paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari jumlah
BKC yang akan diolah kembali atau dimusnahkan dan paling sedikit 2 koli.
Dalam hal kedapatan rusak atau dalam hal hasil pemeriksaan awal
kedapatan tidak sesuai, melakukan pemeriksaan 100% (seratus persen)
terhadap BKC yang bersangkutan.

Sebagai output kegiatan pengawasan yang dilakukan maka Tim Pengawas


membuat Berita Acara Pemusnahan atau Pengolahan Kembali BKC (BACK-3).
Selanjutnya berkas berupa PBCK-3 lembar asli dan lembar tembusan,
pemberitahuan mutasi BKC (CK-5) lembar asli, BACK-1 lembar asli beserta

hal | 202
BACK-3 lembar asli dan lembar tembusan dikirimkan kepada Kepala Kantor yang
mengawasi pabrik. Berkas BACK-3 dan lampirannya tersebut akan menjadi
dasar diterbitkannya dokumen Tanda Bukti Perusakan Pita Cukai (CK-2) oleh
Kepala Kantor yang mengawasi pabrik.

C. Pengolahan Kembali atau Pemusnahan BKC yang Pelunasannya


dengan Pembayaran
1. Subyek yang Berhak Mendapat Pengembalian Cukai

Pengembalian cukai atas kegiatan pengolahan kembali atau pemusnahan


BKC yang dibuat di Indonesia yang pelunasannya dengan cara pembayaran
hanya diberikan kepada Pengusaha Pabrik. Pembatasan subyek yang berhak
untuk mendapatkan pengembalian cukai terbatas hanya kepada pengusaha
pabrik adalah untuk mencegah penyalahgunaan pengembalian cukai oleh pihak
yang tidak berhak. Disamping hal tersebut kedudukan pengusaha pabrik adalah
sebagai subyek yang bertanggung jawab terhadap hutang cukai. Dengan
demikian ketentuan pengembalian cukai tidak dapat diberikan kepada
Pengusaha Penyalur atau Tempat penjualan Eceran apabila BKC yang dijualnya
disita oleh instansi terkait dan dimusnahkan di luar ketentuan Undang-undang
Cukai.

2. Ketentuan dan Persyaratan

Sebelum melakukan kegiatan pengolahan kembali atau pemusnahan


pengusaha pabrik harus mendapatkan persetujuan dari Pejabat Bea dan Cukai
setempat. Pejabat yang berwenang memberikan persetujuan pengolahan
kembali atau pemusnahan adalah:
1) Kepala KPPBC Tipe A1 ke bawah yang mengawasi pabrik, dalam hal nilai
cukai yang dimintakan pengembalian tidak melebihi Rp. 100.000.000,-
(seratus juta rupiah);
2) Kepala KPPPBC Tipe Madya, dalam hal nilai cukai yang dimintakan
pengembalian tidak melebihi Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
3) Kepala Kantor wilayah atau Kepala KPU Bea dan Cukai dalam hal nilai cukai
melebihi batasan poin 1) dan 2) diatas.

hal | 203
Pemusnahan atau pengolahan kembali atas BKC yang telah dilunasi
cukainya hanya dapat dilakukan oleh Pengusaha Pabrik dan pelaksanaannya
dibawah pengawasan Pejabat Bea dan Cukai setempat. Untuk melaksanakan
tugas pengawasan tersebut, Kepala Kantor Bea dan Cukai yang mengawasi
pabrik membentuk Tim Pengawas yang beranggotakan Pejabat Bea dan Cukai
dari Kantor setempat. Khusus permohonan pengolahan kembali atau
pemusnahan yang nilainya melebihi Rp. 500.000.000,- Tim Pengawas
beranggotakan pejabat dari Kantor Wilayah dan Kantor Pelayanan Bea dan
Cukai setempat.

Pemusnahan atau pengolahan kembali BKC yang dimasukkan ke dalam


pabrik yang berasal dari peredaran bebas dapat dilakukan paling banyak 2
(dua) kali dalam satu tahun anggaran. Apabila pengusaha pabrik bermaksud
melakukan kegiatan pemusnahan atau pengolahan lebih dari dua kali, maka
yang bersangkutan harus mendapatkan persetujuan dari Kepala Kantor Wilayah.

Pengembalian cukai atas pengolahan kembali atau pemusnahan BKC


terlebih dahulu diperhitungkan dengan utang cukai. Dalam hal pengusaha pabrik
tidak memiliki utang cukai, pengembalian cukai atas permintaannya dikembalikan
kepada pengusaha pabrik sesuai ketentuan yang berlaku.

3. Mekanisme Pengolahan Kembali atau Pemusnahan

Pengusaha Pabrik harus memberitahukan secara tertulis kepada Kepala


Kantor sebelum pemasukan BKC yang telah dilunasi cukainya dari peredaran
bebas ke dalam pabrik untuk diolah kembali atau dimusnahkan dengan
menggunakan CK-5. Pemasukan kembali BKC tersebut dari peredaran bebas ke
dalam pabrik untuk diolah kembali atau dimusnahkan dilaksanakan dalam jangka
waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal CK-5. Apabila jangka waktu
30 hari tersebut tersebut tidak dipenuhi, atas pengolahan kembali BKC atau
pemusnahan tidak diberikan pengembalian cukai. Apabila tanggal pemasukan
jatuh pada hari libur atau yang diliburkan, maka pemasukan dilakukan pada hari
kerja terakhir sebelum hari libur atau yang diliburkan.

hal | 204
Apabila kegiatan pemusnahan BKC akan dilakukan di luar pabrik, maka
Pengusaha Pabrik dapat mengajukan permohonan tertulis kepada Kepala
Kantor setempat. Pemusnahan BKC yang dilakukan di luar pabrik hanya
diberikan untuk BKC dengan nilai cukai sampai dengan Rp. 100.000.000,-
(seratus juta rupiah). Atas permohonan tertulis pengusaha pabrik, Kepala Kantor
memberikan putusannya. Kegiatan pemusnahan BKC di luar pabrik hanya dapat
dilakukan paling banyak 2 (dua) kali dalam satu tahun anggaran. Dalam hal
pemusnahan BKC dilakukan di beberapa tempat pemusnahan secara
bersamaan, maka kegiatan tersebut dihitung sama dengan satu kali pemberian
persetujuan pemusnahan di luar pabrik. Alur proses permohonan pengolahan
kembali dan pemusnahan atas BKC yang pelunasannya dengan cara
pembayaran pada dasarnya sama saja dengan flowchart sederhana yang kami
gambarkan dalam Gambar 7.2 dan 7.4 sebelumnya.

RANGKUMAN :

Sebagai rangkuman materi kegiatan belajar Bab 7 dapat disampaikan sebagai


berikut:
 Pengertian pengolahan kembali BKC adalah kegiatan menarik kembali BKC
yang sudah dilunasi cukainya dari peredaran bebas ke dalam pabrik untuk
dilakukan pengolahan kembali. Pengertian pemusnahan BKC adalah
kegiatan penarikan BKC yang sudah dilunasi cukainya dari peredararan
bebas untuk dilakukan pemusnahan di dalam pabrik atau di tempat-tempat
lainnya dibawah pengawasan DJBC. Pengolahan kembali atau pemusnahan
BKC yang dilakukan oleh pengusaha Pabrik bertujuan untuk pengembalian
cukai.
 Pengembalian cukai atas kegiatan pengolahan kembali atau pemusnahan
BKC yang dibuat di Indonesia yang pelunasannya dengan cara pembayaran
hanya diberikan kepada Pengusaha Pabrik.

 Pengertian kegiatan pemasukan dan pengeluaran BKC adalah pemasukan


atau pengeluaran ke dan dari Pabrik/Tempat Penyimpan atas BKC yang

hal | 205
cukainya belum dilunasi.

 Pemusnahan atau pengolahan kembali BKC yang cara pelunasannya


dengan pembayaran, yang dimasukkan ke dalam pabrik dan berasal dari
peredaran bebas dapat dilakukan paling banyak 2 (dua) kali dalam satu
tahun anggaran.

 Pemusnahan atau pengolahan kembali BKC yang telah dilekati pita cukainya
yang masih berada di dalam pabrik, hanya dapat dilakukan paling banyak 2
(dua) kali dalam satu bulan.

 Pemusnahan atau pengolahan kembali BKC yang telah dilekati pita cukainya
yang berasal dari peredaran bebas hanya dapat dilakukan paling banyak 4
(empat) kali dalam satu tahun anggaran.

 Pemusnahan BKC yang berasal dari peredaran bebas untuk dilakukan


pemusnahan di luar pabrik hanya diberikan untuk permohonan dengan nilai
cukai maksimal Rp 100 juta.
 Pejabat yang berwenang memberikan persetujuan pengolahan kembali atau
pemusnahan adalah sebagai berikut:
 Kepala KPPBC Tipe A1 ke bawah yang mengawasi pabrik, dalam hal nilai
cukai yang dimintakan pengembalian tidak melebihi Rp. 100.000.000,-
(seratus juta rupiah);
 Kepala KPPPBC Tipe Madya, dalam hal nilai cukai yang dimintakan
pengembalian tidak melebihi Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
 Kepala Kantor wilayah atau Kepala KPU Bea dan Cukai dalam hal nilai cukai
melebihi batasan poin a dan b diatas.

 Terhadap permohonan pengembalian cukai atas pengolahan kembali dan


pemusnahan BKC akan dikenakan pungutan berupa biaya pengganti
pencetakan pita cukai (khusus BKC yang cara pelunasannya dengan
pelakatan pita cukai)

hal | 206
LATIHAN :

Untuk menguji pemahaman anda dalam materi kegiatan belajar Bab 7, silahkan
anda kerjakan soal-soal latihan berikut:
1) Jelaskan konsep pengolahan kembali dan pemusnahan, dan jelaskan
mengapa atas kegiatan tersebut diberikan pengembalian cukai!
2) Seorang distributor MMEA mengumpulkan produk-produk yang sudah
kadaluwarsa di pasar untuk dikembalikan ke pabrik pembuatnya. Jelaskan
apakah kegiatan tersebut dapat diberikan pengembalian cukai!
3) Jelaskan mekanisme pemusnahan BKC hasil tembakau yang akan
dilakukan di luar pabrik yang dapat diberikan pengembalian cukai!
4) Jelaskan batasan kewenangan pejabat Kepala kantor terkait dengan
pemberian persetujuan pemusnahan atau pengolahan kembali!
5) Jelaskan batasan dan persyaratan pengajuan permohonan pengolahan
kembali dan pemusnahan, untuk masing-masing kategori BKC !

hal | 207
BAB

KEWENANGAN PEJABAT BEA DAN CUKAI 8


Tujuan Pembelajaran Khusus:
Setelah mengikuti pembelajaran ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan tentang
kewenangan pejabat Bea dan dan Cukai

A. Gambaran Umum

Ketentuan umum di bidang cukai


sebagaimana diatur dalam Undang-undang Cukai
membawa konsekuensi adanya hak dan kewajiban
bagi wajib cukai dan juga pihak pemungut cukai
(fiskus). Hak yang dimiliki oleh wajib cukai antara
lain: hak mendapatkan fasilitas dan kemudahan di
bidang cukai, hak mengajukan keberatan, banding dan gugatan atas putusan
pejabat Bea dan cukai, hak mendapatkan pelayanan yang baik dalam prosedur
tata laksana di bidang cukai, dan sebagainya. Disisi lain, wajib cukai diwajibkan
untuk memenuhi segala ketentuan yang diatur dalam Undang-undang cukai,
antara lain: perizinan di bidang cukai, mengajukan pemberitahuan kegiatan di
bidang cukai, membuat laporan-laporan di bidang cukai, membuat pembukuan
atau pencatatan, melunasi pungutan cukai, memenuhi ketentuan larangan, dan
sebagainya.

Dari sisi fiskus, kewajiban yang harus dipenuhi oleh DJBC erat kaitannya
dengan tugas pengawasan dan pelayanan terhadap subyek cukai. Dalam rangka
pelayanan di bidang cukai, DJBC berkewajiban memberikan pelayanan yang
baik, memberikan fasilitas dan kemudahan di bidang cukai sesuai ketentuan,
memungut cukai dan penerimaan terkait cukai lannya, dan sebagainya. Dalam

hal | 208
rangka pengawasan dibidang cukai, DJBC berkewajiban melakukan pengawasan
terhadap kegiatan mutasi BKC, pencacahan BKC tertentu, dan sebagainya.

Disamping kewajiban tersebut, pejabat Bea dan Cukai diberikan hak oleh
Undang-undang Cukai untuk melaksanakan seluruh ketentuan yang diatur dalam
Undang-undang cukai. Hak yang diberikan kepada pejabat Bea dan Cukai
terwujud dalam bentuk kewenangan pengawasan terhadap BKC dan barang lain
yang terkait dengannya, maupun para pengusaha atau orang yang terlibat
didalam ketentuan Undang-undang Cukai.

Jenis kewenangan pejabat Bea dan Cukai dalam melaksanakan Undang-


undang Cukai pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1) Kewenangan umum atau kewenangan administrasi
Referensi aturan yang menjadi dasar pelaksanaan kewenangan umum
pejabat Bea dan Cukai diatur dalam pasal 33 s.d. pasal 40 Undang-undang
Cukai. Yang termasuk kriteria kewenangan umum ini antara lain: penindakan
di bidang cukai; pemblokiran pemesanan pita cukai; meminta bantuan aparat
Kepolisian, Tentara Nasional Indonesia dan instansi lainnya; audit di bidang
cukai, dan sebagainya.
2) Kewenangan khusus atau kewenangan yuridis
Referensi aturan yang menjadi dasar pelaksanaan kewenangan khusus
antara lain: pasal 40A Undang-undang Cukai yang mengatur mengenai
kewenangan khusus Direktur Jenderal Bea dan Cukai, pasal 63 dan 64
Undang-undang Cukai mengenai penyidikan di bidang cukai.

B. Kewenangan Umum

1. Pengertian dan Jenis Kewenangan Umum

Secara definisi pengertian kewenangan umum adalah kewenangan pejabat


Bea dan Cukai untuk mengambil tindakan yang diperlukan dalam rangka
penegakan aturan di bidang Cukai. Tindakan yang dilakukan tersebut dapat
terkait dengan BKC, barang lain yang terkait dengan BKC, sarana pengangkut,
bangunan atau tempat lain, pembukuan atau pencatatan pengusaha BKC,
maupun pelayanan pemesanan pita cukai. Istilah kewenangan umum ini menurut

hal | 209
referensi Undang-undang Cukai dapat juga dimaknai sebagai kewenangan
administratif di bidang cukai.

Sifat kewenangan umum ini dapat melekat kepada siapa saja pejabat
Bea dan Cukai yang sedang menjalankan tugas. Untuk melaksanakan
kewenangan yang bersifat umum, seorang pejabat Bea dan Cukai harus
berdasarkan Surat Perintah Penindakan dari Direktur Jenderal Bea dan Cukai,
Kepala Kantor atau Pejabat yang ditunjuk untuk menangani pengawasan. Surat
Perintah Penindakan paling sedikit memuat:
 Nama pejabat Bea dan Cukai yang diperintahkan;
 Alasan dan tujuan penindakan;
 Jangka waktu berlakunya surat perintah penindakan;
 Kewajiban membuat laporan hasil penindakan.

Dalam kondisi-kondisi tertentu, Surat Perintah Penindakan tidak diperlukan


antara lain dalam hal:
1) Pengejaran terus menerus atas orang atau pengangkut, dan/atau sarana
pengangkut yang patut diduga melanggaran peraturan perundang-undangan
cukai.
2) Pengawasan secara tetap atau berkala, terhadap pabrik, tempat
penyimpanan dan/atau tempat lain yang didalamnya terdapat BKC.
3) Audit cukai, kecuali audit investigasi dugaan adanya tindak pidana.
4) Terdapat kekhawatiran pelaku pelanggaran akan melarikan diri atau
menghilangkan barang bukti, melakukan penindakan terhadap:
 Orang atau pengangkut, dan/atau sarana pengangkut; atau
 Pabrik, Tempat Penyimpanan, dan/atau tempat lain yang didalamnya.

Jenis-jenis Kewenangan Umum

Berdasarkan ketentuan pasal 33 s.d. 40 Undang-undang Cukai,


kewenangan umum dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu:
1) Kewenangan untuk mengambil tindakan yang diperlukan terhadap BKC
dan/atau barang lain yang terkait dengan BKC berupa tindakan:
penghentian, pemeriksaan , penegahan dan penyegelan;

hal | 210
2) Kewenangan untuk mengambil tindakan berupa tidak melayani pemesanan
pita cukai (CK-1/CK-1A) atau tanda pelunasan cukai lainnya;
3) Kewenangan untuk menegah BKC, barang lain yang terkait dengan BKC
dan juga sarana pengakut yang terkait dengan BKC;
4) Kewenganan pemeriksaan terhadap pabrik, tempat penyimpanan, tempat-
tempat lainnya dan bangunan;
5) Kewenangan audit di bidang cukai terhadap pengusaha BKC dan
pengusaha penerima fasilitas cukai;
6) Kewenangan untuk melakukan penyegelan yang diperlukan terhadap
bagian-bagian dari pabrik, tempat penyimpanan, tempat usaha importir,
tempat usaha penyalur, tempat penjualan eceran, tempat lain, atau sarana
pengangkut yang didalamnya terdapat BKC.

2. Kewenangan Penindakan tehadap BKC atau Barang Lain yang Terkait


dengan BKC

Dalam lingkup kewenangan administratif, pejabat Bea dan Cukai berhak


untuk melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan terhadap BKC atau barang
lain yang terkait dengan BKC, dalam rangka penegakan aturan di bidang cukai.
Bentuk-bentuk tindakan yang diperlukan tersebut berupa: penghentian,
pemeriksaan, penegahan dan penyegalan terhadap BKC atau barang lain yang
terkait dengan BKC. Bahkan, apabila diperlukan dapat saja pejabat Bea dan
Cukai melakukan tindakan penegahan dan penyegelan terhadap sarana
pengangkutnya.

Sebelum diuraikan lebih jauh mengenai kewenangan penindakan di bidang


cukai ini, ada baiknya penulis jelaskan terlebih dahulu pengertian barang lain
yang terkait dengan BKC. Istilah tersebut merujuk kepada pengertian bahwa
barang-barang yang bukan merupakan BKC akan tetapi masih memiliki
keterkaitan erat dengan dugaan tindak pelanggaran di bidang cukai. Sebagai
contoh: pita cukai yang diindikasikan palsu, mesin pembuat pita cukai palsu, dsb.

Harus dipahami bahwa kewenangan penindakan di bidang cukai bersifat


selektif dan harus benar-benar didasarkan atas informasi dan/atau fakta yang
akurat. Untuk keperluan penindakan tersebut, pejabat Bea dan Cukai dapat

hal | 211
dilengkapi dengan senjata api serta dapat meminta bantuan Kepolisian RI,
Tentara Nasional Indonesia dan instansi terkait lainnya.

Segera setelah melakukan penindakan cukai, pejabat yang ditunjuk


melakukan penindakan wajib melaporkan secara tertulis kepada DirekturJenderal
atau pejabat yang ditunjuk, dalam waktu paling lama 1 X 24 (satu kali dua puluh
empat) jam dengan membawa orang, pengangkut, dan/atau sarana pengangkut
bersama barang bukti pelanggaran ke Kantor DJBC. Apabila barang bukti tidak
memungkinkan untuk dibawa, maka terhadap barang bukti tersebut dapat
dilakukan penyegelan untuk pengamanannya.

Dalam kegiatan penindakan cukai terhadap BKC atau barang lain yang
dibawa oleh sarana pengangkut maka tindakan penghentian, pemeriksaan,
penegahan hingga penyegelan, merupakan tindakan yang berkesinambungan
dan tidak boleh terputus. Setelah melakukan tindakan penghentian, maka
pejabat Bea dan Cukai harus segera melanjutkan dengan tindakan pemeriksaan
terhadap BKC atau barang lain yang dibawa oleh sarana pengangkut tersebut.
Kemudian harus segera diputuskan, apakah akan dilakukan penegahan atau
tidak terhadap BKC/barang lain/sarana pengangkut tersebut.

Penghentian

Pejabat Bea dan Cukai berwenang untuk menghentikan BKC dan sarana
pengangkut dan/atau barang lain yang terkait dengan BKC yang berada dalam
sarana pengangkut. Tindakan penghentian harus dilakukan secara selektif
berdasarkan adanya informasi adanya dugaan pelanggaran peraturan
perundang-undangan dibidang cukai.

Istilah sarana pengangkut yang dimaksud adalah;


1) Alat yang digunakan untuk mengangkut BKC dan/atau barang lain yang
terkait dengan BKC didarat, diair, atau dudara; dan
2) Orang pribadi yang mengangkut/membawa BKC dan/atau barang lain
yang terkait dengan BKC.

Penghentian terhadap sarana pengangkut dilakukan dengan menggunakan


isyarat kepada pengangkut berupa; isyarat tangan, bunyi, lampu, radio dan

hal | 212
isyarat lainnya yang lazim digunakan. Atas perintah penghentian terhadap
orang dan/atau pengangkut tersebut, maka yang bersangkutan wajib berhenti
dan bagi yang menggunakan sarana pengangkut wajib menghentikan sarana
pengangkutnya atau menghentikan kegiatan mengangkutnya. Kemudian
pengangkut diminta untuk menunjukkan dokumen cukai dan/atau pelengkap
cukai yang diwajibkan.

Disisi lain Pejabat Bea dan Cukai yang melaksanakan kegiatan ini wajib
menunjukkan Surat Perintah Penindakan dan juga identitas yang jelas sebagai
pejabat Bea dan Cukai. Tindakan selanjutnya adalah melakukan pemeriksaan
terhadap BKC atau barang lain atau sarana pengangkut yang dihentikan.

Pemeriksaan

Kewenangan pejabat Bea dan Cukai untuk melakukan pemeriksaan pada


dasarnya ditujukan untuk membuat terang dan jelas dugaan pelanggaran di
bidang cukai. Ruang lingkup kewenangan pemeriksaan tidak hanya dilakukan
dalam lingkup pemeriksaan BKC yang diangkut dengan sarana pengangkut,
akan tetapi juga pemeriksaan terhadap pabrik, tempat penyimpanan, tempat
usaha importir, penyalur, tempat penjualan eceran dan temapat-tempat lain yang
terkait dengan dugaan pelanggaran.

Pemeriksaan dilakukan berdasarkan informasi adanya dugaan


pelanggaran di bidang cukai atau dalam rangka pelaksanaan tugas rutin
berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang cukai. Sebelum
pemeriksaan, pejabat Bea dan Cukai wajib menunjukkan Surat Perintah
Penindakan kepada pengusaha pabrik, tempat penyimpanan atau orang yang
menguasai tempat lain yang digunakan untuk menyimpan BKC atau barang lain
yang terkait BKC yang terhadapnya dilakukan pemeriksaan.

Berkaitan dengan pemeriksaan BKC/barang lain/sarana pengangkut,


pejabat Bea dan Cukai diberi kewenangan melakukan pemeriksaan terhadap:

1) Sarana pengangkut, BKC, dan/atau barang lain yang terkait dengan BKC
yang berada disarana pengangkut.

hal | 213
2) BKC dan/atau barang lain yang terkait dengan BKC yang berada disarana
pengangkut.
3) Memerintahkan kepada pengangkut untuk membuka pengemas BKC
dan/atau barang lain yang terkait dengan BKC.
4) Meminta keterangan baik kepada pengusaha pabrik maupun karyawan
perusahaan atau orang yang menguasai sarana pengangkut, BKC atau
barang lain yang terkait.

Dalam hal perintah Pejabat Bea dan Cukai tidak dipenuhi, pejabat Bea dan
Cukai dapat membuka sendiri:
1) Sarana pengangkut yang digunakan mengangkut BKC yang dipakai di
darat, di udara maupun yang dipakai di air dan orang pribadi yang
membawa BKC atau barang lain yang terkait.
2) Pengemas BKC dan/atau barang lain yang terkait dengan BKC.
Atas pemeriksaan dimaksud dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

Khusus terhadap sarana pengangkut yang telah disegel oleh Dinas Pos
atau Penegak hukum lain, maka pemeriksaan tidak bisa dilakukan secara
sepihak oleh pejabat Bea dan Cukai. Pemeriksaan hanya dapat dilakukan
pembukaan segel dan diperiksa bersama-sama dengan dinas pos atau penegak
hukum lain yang menyegel BKC/Tempat tersebut.

Untuk melakukan pemeriksaan sarana pengangkut, sebaiknya


dilakukan pemeriksaan di lokasi kejadian, namun tetap memperhatikan
kepentingan umum lain. Sebagai contoh: jangan memeriksa ditengah jalan
karena dapat mengganggu kelancaran lalu lintas, jangan memeriksa di tengah
keramaian karena dapat mengundang massa yang tidak paham dengan tugas
DJBC. Apabila tidak dapat diperiksa ditempat, maka sebaiknya dibawa ke Kantor
atau tempat lain yang layak guna memudahkan pemeriksaan.

Hasil pemeriksaan terhadap BKC/barang lain/sarana pengangkut dapat


berupa alternatif sebagai berikut:
1) Dalam hal hasil pemeriksaan tidak menunjukkan adanya pelanggaran,
terhadap sarana pengangkut berikut BKC dan/atau barang lain yang terkait

hal | 214
dengan BKC yang berada di sarana pengangkut diizinkan untuk meneruskan
perjalanan.
2) Dalam hal hasil pemeriksaan menunjukkan adanya pelanggaran di bidang
cukai, Pejabat Bea dan Cukai berwenang menegah sarana pengangkut,
BKC dan/atau barang lain yang terkait dengan BKC yang berada di sarana
pengangkut.
3) Dalam hal hasil pemeriksaan terhadap sarana pengangkut menunjukkan
adanya dugaan pelanggaran tindak pidana di bidang cukai, sarana
pengangkut berikut BKC dan/atau barang lain yang terkait dengan BKC yang
dibawa, diserahkan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil DJBC.

Atas hasil pemeriksaan tersebut, kepada Pengangkut diberikan berita acara


pemeriksaan. Apabila dari hasil pemeriksaan ditemukan adanya pelanggaran
ketentuan perundang-undangan cukai, maka pejabat Bea dan Cukai menegah
sarana pengangkut, BKC dan/atau barang lain yang terkait.

Berkaitan dengan kewenangan pemeriksaan bangunan, Pejabat Bea dan


Cukai diberikan kewenangan melakukan pemeriksaan terhadap:
1) Pabrik, Tempat Penyimpanan atau tempat lain yang digunakan untuk
menyimpan BKC dan/atau barang lain yang terkait dengan BKC yang belum
dilunasi cukainya atau yang mendapat pembebasan cukai ;
2) Bangunan atau tempat lain yang berhubungan dengan pabrik, tempat
penyimpanan atau tempat lainnya, BKC dan/atau barang lain yang terkait
dengan tempat-tempat yang diperiksa tersebut;
3) Meminta catatan sediaan barang, dokumen cukai dan dokumen pelengkap
cukai yang wajib diselenggarakan menurut undang-undang cukai.
4) Meminta keterangan yang diperlukan baik kepada pengusaha pabrik
maupun karyawan, atau orang menguasai pabrik, tempat penyimpanan dan
tempat lain yang terkait dengan BKC.

Kewajiban yang harus dipenuhi pengusaha pabrik, tempat penyimpanan


atau tempat lain terkait dengan pemeriksaan, wajib menunjukan;
1) Tempat- tempat yang menjadi bagian dari bangunan yang diperiksa
2) BKC atau barang lain yang terkait.

hal | 215
Dalam hal pengusaha atau orang mengusai pabrik, tempat penyimpanan,
bangunan atau tempat lain tidak bersedia atau menghalangi pemeriksaan, maka
pejabat Bea dan Cukai berwenang untuk membuka dan melakukan pemeriksaan
sendiri. Pemeriksaan sendiri tersebut haruslah disaksikan oleh pengusaha atau
orang yang menguasai, atau ketua RT/RW, atau aparatur dilingkungan sekitar
pabrik, tempat penyimpanan, bangunan atau tempat lain yang dilakukan
pemeriksaan.

Apabila didapati adanya pelanggaran dibidang cukai dan lokasi pabrik dan
BKC tidak mungkin dilakukan pengawasan terus-menerus oleh pejabat Bea dan
Cukai, maka dapat dilakukan penyegelan atas bangunan atau tempat-tempat
atau bagian-bagian lain yang terhadapnya dilakukan pemeriksaan.

Penegahan

Pejabat Bea dan Cukai berwenang menegah BKC/barang lain maupun


sarana pengangkut yang terkait dengan pelanggaran di bidang cukai.
Berdasarkan konsep aturan Undang-undang Cukai, penegahan didefinisikan
sebagai tindakan yang dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai untuk:

1) menunda pengeluaran, pemuatan, atau pengangkutan terhadap BKC


dan/atau barang lainnya yang terkait dengan BKC; dan/atau
2) mencegah keberangkatan sarana pengangkut.

Dalam menjalankan penindakan di bidang cukai, pejabat Bea dan Cukai


memiliki kewenangan untuk menegah:

1) Sarana pengangkut, BKC dan/atau barang lain yang terkait dengan BKC
yang berada dalam sarana pengangkut; atau
2) BKC dan/atau barang lain yang terkait dengan BKC yang berada di pabrik,
tempat penyimpanan, tempat usaha penyalur, TPE dan tempat-tempat
bedasarkan dugaan adanya pelanggaran atau adanya pelanggaran terhadap
peraturan perundang-undangan dibidang cukai.

Kegiatan penegahan bertujuan untuk mengambil tindakan penyelesaian


atas pelangggaran yang dibuat. Jangka waktu yang diperkenankan untuk
melakukan penegahan adalah selama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal

hal | 216
penegahan. Kemudian, penyelesaian atas tindakan penegahan dapat dilakukan
dengan cara-cara antara lain:
1) Menerbitkan STCK.1 penagihan dan pengenaan denda.
2) Menyerahkan kepada PPNS jika diduga merupakan tindak pidana cukai
3) Menyerahkan kepada penyidik umum jika hal tersebut adalah tindak pidana
selain tindak pidana cukai;
4) Melepaskan sarana pengangkut/BKC atau barang lain jika dalam penegahan
dan pemeriksaan tidak ditemukan adanya pelanggaran.

Penyegelan

Penyegelan adalah tindakan yang dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai
untuk mengunci, menyegel, dan/atau melekatkan tanda pengaman. Hal ini
dilakukan untuk menjamin pengawasan yang lebih baik dalam rangka
pengamanan keuangan negara.

Kewenangan penyegelan dapat dilaksanakan terhadap obyek-obyek


sebagai berikut:
1) Bagian-bagian dari pabrik atau tempat penyimpanan;
2) Tempat lain yang didalamnya terdapat BKC dan/atau barang lain yang
terkait dengan BKC
3) Bagian tempat usaha importir BKC, tempat usaha penyalur dan/atau TPE
4) Sarana pengangkut yang didalamnya terdapat BKC dan/atau barang lain
yang terkait BKC;
5) BKC dan/atau barang lain yang terkait;
6) Bangunan atau ruangan tempat untuk menyimpan laporan keuangan, buku,
catatan, dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan dokumen
lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk sarana media
penyimpan data elektronik, pita cukai atau tanda pelunasan lainnya, sediaan
barang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang keadaan
kegiatan usaha dan/atau tempat lain yang dianggap penting, serta
melakukan pemeriksaan ditempat tersebut.

hal | 217
Pada dasarnya tindakan penyegelan merupakan tindakan alternatif apabila
dipandang diperlukan. Alasan-alasan yang dapat menjadi dasar dilakukan
tindakan penyegelan adalah:
 Berdasarkan hasil pemeriksaan ditemukan adanya pelanggaran saat
pemeriksaan sarana pengangkut, BKC dan/atau barang lain yang terkait;
 Berdasarkan hasil pemeriksaan adanya pelanggaran saat pemeriksaan di
pabrik, bangunan atau tempat, BKC dan/atau barang lain yang terkait;
 Untuk menjamin laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen lain
yang berkaitan dengan usaha, termasuk data elektronik serta surat yang
berkaitan dengan kegiatan dibidang cukai dan barang yang penting agar
tidak dihilangkan, tidak berubah atau tidak dipindahkan sampai dengan
pemeriksaan dan/atau tindakan dilanjutkan;
 Tidak dimungkinkan untuk dilakukan pengawasan terus menerus oleh
pejabat Bea dan Cukai;
 Diperlukan pengamanan atas BKC yang belum dilunasi cukainya, yang
belum dipungut cukainya, dan/atau yang mendapat pembebasan cukai; atau
 Adanya dugaan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-
undangan dibidang cukai.

Untuk setiap tindakan penyegelan yang dilakukan oleh pejabat Bea dan
Cukai wajib dibuatkan Berita Acara Penyegelan yang ditandatangani oleh
Pejabat Bea dan Cukai dan pengusaha/pengangkut, atau pihak yang menguasai
bangunan, sarana pengangkut, BKC atau barang lainnya yang terkait dengan
BKC, pada saat dilakukan penyegelan. Berita acara penyegelan paling sedikit
memuat:
 Nomor dan jenis kunci, segel atau tanda pengaman;
 Waktu penyegelan atau pelekatan tanda pengaman;
 Jumlah dan objek yang dilakukan penyegelan;
 Alasan penyegelan, segel atau tanda pengaman; dan
 Nama,NIP, dan tanda tangan pejabat Bea dan Cukai yang melakukan
penyegelan kunci, segel atau tanda pengaman.

Terhadap obyek BKC, sarana pengangkut dan bangunan yang disegel,


maka berlaku ketentuan sebagai berikut:

hal | 218
 Kunci, segel, atau tanda pengaman yang telah dipasang tidak boleh dibuka,
dilepas, dirusak, atau dilakukan perbuatan sedemikian rupa sehingga kunci,
segel, atau tanda pengaman tidak berfungsi sebagaimana mestinya, tanpa
izin Pejabat Bea dan Cukai
 Atas bangunan, bagian dari bangunan, atau tempat lain yang disegel, tidak
boleh dimasuki, melakukan kegiatan di dalamnya, atau memindahkan
barang-barang yang ada di dalamnya.
 Setiap tindakan yang menyangkut pembukaan segel atau memasuki
bangunan secara tidak sah, dapat dinyatakan sebagai tindakan perusakan
segel;
 Orang yang memiliki atau yang menguasai objek penyegelan bertanggung
jawab atas keutuhan kunci, segel, atau tanda pengaman lain sampai dengan
berakhirnya penyegelan.

Tindakan pembukaan segel karena telah berakhirnya tindakan pengamanan


terhadap obyek penyegelan dilakukan dengan membuat Berita Acara
Pembukaan Segel. Berita Acara tersebut harus ditandatangani oleh pejabat Bea
dan Cukai dan pihak yang menguasai obyek penyegelan.

3. Kewenangan Pejabat Bea dan Cukai untuk Tidak Melayani Pemesanan


Pita Cukai

Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang Cukai,


pejabat Bea dan Cukai dapat melakukan tindakan berupa tidak melayani
pemesanan pita cukai yang diajukan oleh pengusaha pabrik atau importir.
Tindakan ini merupakan bentuk sanksi pemblokiran sementara terhadap
pengusaha yang tidak memenuhi ketentuan di bidang cukai sebagaimana
mestinya. Untuk melakukan tindakan ini, maka seyogyanya pejabat Bea dan
Cukai yang mengambil tindakan harus mendapatkan Surat Perintah Penindakan
dari Kepala Kantor Bea dan Cukai.

Beberapa kategori pelanggaran yang menjadi dasar tindakan pemblokiran


atas pengajuan dokumen pemesanan pita cukai adalah:

hal | 219
 pengusaha pabrik atau importir BKC diduga melakukan pelanggaran pidana.
Hal ini harus dibuktikan dengan adanya surat bukti penindakan atau adanya
rekomendasi dari unit penindakan atau penyidikan DJBC;
 pengusaha pabrik atau importir yang mendapat penundaan pembayaran
cukai yang mempertaruhkan jaminan, tidak menyelesaikan pembayaran
cukai sampai dengan jatuh tempo;
 pengusaha pabrik atau importir BKC tidak menyelesaikan utang cukai,
kekurangan cukai dan sanksi administrasi berupa denda sampai dengan
jatuh tempo pembayaran;
 pengusaha pabrik atau importir BKC tidak membayar biaya pengganti
pencetakan pita cukai dalam jangka waktu yang ditentukan (paling lama 30
hari sejak diterima surat tagihan).

Tindakan pemblokiran terhadap dokumen pemesanan pita cukai akan


berakhir dan pemesanan pita cukai dapat dilayani kembali oleh Pejabat Bea dan
Cukai, apabila:
 pengusaha pabrik atau importir BKC tidak terbukti melakukan pelanggaran
pidana di bidang cukai;
 pengusaha pabrik yang mendapat penundaan pembayaran cukai dengan
menyerahkan jaminan perusahaan, telah membayar utang cukai yang tidak
dibayar pada waktunya dan sanksi administrasi berupa denda atau telah
mendapat persetujuan pengangsuran;
 pengusaha pabrik atau importir BKC telah menyelesaikan utang cukai,
kekurangan cukai, sanksi administrasi berupa denda sampai dengan jatuh
tempo pembayaran serta kewajiban bunga yang timbul; atau
 pengusaha pabrik atau importir BKC telah membayar biaya pengganti
pencetakan pita cukai.

Perlu diingat bahwa setiap kegiatan penindakan yang dilakukan oleh


pejabat Bea dan Cukai wajib dibuatkan surat bukti penindakan (SBP).
Dikecualikan dari kewajiban penyerahan SBP adalah kegiatan penindakan dalam
rangka audit di bidang cukai.

hal | 220
4. Kewenangan Audit di Bidang Cukai

Berdasarkan ketentuan pasal 39 Undang-undang Cukai Pejabat Bea dan


Cukai diberikan kewenangan untuk melakukan audit terhadap pengusaha pabrik,
pengusaha tempat penyimpanan, importir BKC, penyalur dan pengguna BKC
yang mendapatkan fasilitas pembebasan. Tujuan audit di bidang cukai adalah
untuk menguji tingkat kepatuhan pengusaha BKC atau pengusaha yang
mendapat fasilitas cukai, dalam pelaksanaan pemenuhan ketentuan dalam
undang-undang cukai dan peraturan pelaksanannya.

Ketentuan operasional mengenai audit di bidang cukai diatur dalam PMK


nomor 91/PMK.04/2008 tentang Audit Cukai. Definisi audit cukai menurut PMK
tersebut adalah serangkaian kegiatan pemeriksaan, laporan keuangan, buku,
catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan dokumen lain
yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk data elektronik, serta surat
yang berkaitan dengan kegiatan di bidang cukai dan/atau sediaan barang dalam
rangka pelaksanaan ketentuan perundang-undangan di bidang cukai.

Pelaksanaan audit di bidang cukai dilaksanakan oleh Tim Audit yang terdiri
dari: Pengawas Mutu audit (PMA), Pengendali teknis Audit (PTA), Ketua Auditor
dan anggota minimal sebanyak satu Auditor. Jenis audit di bidang cukai
dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu:
1) Audit umum, yaitu audit yang memiliki ruang lingkup menyeluruh terhadap
pemenuhan kewajiban cukai.
2) Audit khusus, yaitu audit yang memiliki ruang lingkup pemeriksaan tertentu
terhadap pemenuhan kewajiban tertentu.
3) Audit Investigasi, yaitu audit yang dilakukan untuk menyelidiki dugaan tindak
pidana dibidang cukai.

Dalam melaksanakan Audit, Tim Audit yang mendapatkan surat tugas


ataupun surat perintah dari Direktur Jenderal atau Kepala Kantor, diberikan
wewenang berdasarkan Undang-undang Cukai, untuk :
 meminta laporan keuangan; buku, catatan, dan dokumen yang menjadi bukti
dasar pembukuan, dan dokumen lain yang berkaitan dengan kegiatan

hal | 221
usaha, termasuk data elektronik serta surat yang berkaitan dengan kegiatan
di bidang cukai;
 meminta keterangan lisan dan/atau tertulis kepada pengusaha pabrik,
pengusaha tempat penyimpanan, importir BKC, penyalur, pengguna BKC
yang mendapatkan fasilitas pembebasan cukai, dan/atau pihak lain yang
terkait;
 memasuki bangunan atau ruangan tempat untuk menyimpan. laporan
keuangan, buku, catatan, dan dokumen yang menjadi bukti dasar
pembukuan, dan dokumen lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha,
termasuk sarana/media penyimpan data elektronik, pita cukai atau tanda
pelunasan cukai lainnya, sediaan barang, dan/atau barang yang dapat
memberi petunjuk tentang keadaan kegiatan usaha dan/atau tempat lain
yang dianggap penting, serta melakukan pemeriksaan di tempat tersebut;
 melakukan tindakan pengamanan yang dipandang perlu terhadap bangunan
atau ruangan penyimpanan.

5. Penyerahan Perkara atas Dugaan Pelanggaran Cukai dari Instansi


Penegak Hukum Lain

Dalam hal penegakan aturan cukai, Undang-undang Cukai merupakan


Undang-undang yang memiliki kedudukan sebagai lex specialist terhadap
Undang-undang lainnya. Dalam prinsip ilmur hukum berlaku prinsip lex spesialis
derogat lex generalis, yang artinya bahwa ketentuan khusus dapat
menyampingkan ketentuan dalam UU yang bersifat umum.

Konsekuensi prinsip dasar ini adalah dimungkinkan adanya penyerahan


perkara di bidang cukai oleh penegak hukum lain kepada DJBC. Dalam
penyerahan perkara tersebut, hendanya dilakukan sesuai ketentuan sebagai
berikut:
1) Penindakan tersebut karena tertangkap tangan oleh penegak hukum lainnya;
2) Telah dilakukan penelitian/penyelidikan awal oleh penegak hukum tersebut
mengenai kesalahan, telah memiliki bukti permulaan yang cukup, dan orang
yang bertanggung jawab terhadap pelanggaran tersebut;

hal | 222
3) Paling sedikit dilengkapi dengan laporan kejadian/laporan polisi,
pemeriksaan dan/atau permintaan keterangan awal yang dituangkan dalam
berita acara, dan kesimpulan pemeriksaan.

Atas penyerahan perkara kepada DJBC tersebut, pejabat Bea dan Cukai
yang menerima berkas penyerahan tersebut melakukan penelitian. Hasil
penelitian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
 Apabila tidak ditemukan adanya dugaan pelanggaran pidana, maka pejabat
Bea dan Cukai menyampaikan surat pemberitahuan mengenai penolakan
kepada penegak hukum lain yang melakukan penindakan dibidang cukai
serta alasan penolakan. Tembusan surat penolakan disampaikan kepada
Direktur Jenderal sebagai laporan.
 Apabila ditemukan adanya dugaan pelanggaran, pejabat Bea dan Cukai
menindak lanjuti dengan menerima penyerahan dugaan pelanggaran yang
yang ditemukan penegak hukum lain disertai barang hasil penindakan, alat
bukti terkait dan orang bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut.
Terhadap penyerahan berkas perkara di bidang cukai harus dibuatkan berita
acara serah terima.

C. Kewenangan Khusus

Istilah kewenangan khusus pada dasarnya merupakan analogi dari konsep


kewenangan umum yang diatur dalam Undang-undang Cukai. Pengertian
kewenangan khusus adalah kewenangan yang bersifat khusus yang hanya
dapat dijalankan oleh pejabat Bea dan Cukai tertentu. Dalam ketentuan Undang-
undang cukai, bentuk kewenangan khusus ini dibedakan menjadi dua kategori,
yaitu: kewenangan khusus Direktur Jenderal dan kewenangan penyidikan yang
hanya dapat dijalankan oleh penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) Bea dan
Cukai.

hal | 223
1. Kewenangan Khusus Direktur Jenderal

Ketentuan pasal 40A Undang-undang Cukai memberikan kewenangan


khusus kepada Direktur Jenderal karena jabatan atau atas permohonan yang
bersangkutan. Bentuk kewenangan khusus Direktur Jenderal, adalah:
a. Membetulkan surat tagihan atau surat keputusan keberatan, yang dalam
penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau
kekeliruan dalam penerapan ketentuan undang-undang; atau
b. Mengurangi atau menghapus sanksi adminstrasi berupa denda dalam hal
sanksi tersebut dikenakan pada orang yang dikenai sanksi adminstrasi
karena kekhilafan atau bukan karena kesalahannya.

Pengertian “membetulkan” dalam kewenangan khusus tersebut dapat


berarti menambah, mengurangi atau menghapus sesuai dengan sifat kesalahan
dan kekeliruan yang dibuat. Secara jabatan, Direktur Jendral memiliki
kewenangan untuk membetulkan atau membatalkan surat tagihan yang tidak
benar. Sebagai contoh: penerbitan surat tagihan yang tidak memenuhi
persyaratan formal, meskipun persyaratan materialnya telah dipenuhi. Hal ini
dilaksanakan untuk menjalankan tata kelola pemerintahan yang baik (good
governance) sehingga apabila terdapat kekeliruan manusiawi dalam suatu
penetapan perlu dibetulkan sebagaimana mestinya.

2. Kewenangan Khusus Penyidikan di Bidang Cukai

Kewenangan khusus lainnya yang diatur oleh Undang-undang Cukai


kepada pejabat Bea dan Cukai diatur dalam pasal 63 mengenai kewenangan
penyidikan. Penyidikan merupakan tindak lanjut dari kegiatan penindakan
maupun penyelidikan di bidang cukai, yang terkait dengan dugaan pelanggaran
pidana di bidang cukai. Istilah kewenangan khusus penyidikan ini dapat juga
dimaknai sebagai kewenangan yuridis.

Untuk menjadi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) maka pejabat Bea
dan Cukai harus memenuhi syarat telah mengikuti pendidikan PPNS dan lulus
serta mempunyai sertifikat/tanda lulus pada Diklat PPNS tersebut. Diklat PPNS
diselenggarakan oleh unsur pembina penyidik yaitu Kepolisian RI. Untuk

hal | 224
menjalankan kewenangan penyidikan, seorang pejabat Bea dan Cukai terlebih
dahulu harus diangkat sebagai penyidik berdasarkan Undang-undang nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

PPNS Bea dan Cukai karena kewajibannya berwenang;


1) menerima laporan atau keterangan dari seorang tentang adanya tindak
pidana;
2) memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
3) melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang disangka
melakukan tindak pidana dibidang cukai (penangkapan dan penahanan
dilakukan terutama dalam keadaan tertangkap tangan);
4) memotret dan/atau merekam melalui media audio visual terhadap orang,
barang, sarana pengangkut, atau apa saja yang dapat diajukan bukti
adanya tindak pidana dibidang cukai;
5) memeriksa catatan dan pembukuan yang diwajibkan menurut undang-
undang ini dan pembukuan lainnya;
6) mengambil sidik jari orang;
7) menggeledah rumah tinggal, pakaian dan badan;
8) menggeledah tempat atau sarana pengangkut dan memeriksa barang yang
terdapat didalamnya apabila dicurigai adanya tindak pidana dibidang cukai;
9) menyita benda-benda yang diduga keras merupakan barang yang dapat
dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana dibidang cukai;
10) memberikan tanda pengaman dan mengamankan apa saja yang dapat
dipakai sebagai bukti sehubungan dengan tindak pidana dibidang cukai;
11) mendatangkan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
12) menyuruh berhenti seorang tersangka pelaku tindak pidana dibidang cukai
serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
13) menghentikan penyidikan;
14) melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak
pidana dibidang cukai menurut hukum yang bertanggung jawab.

hal | 225
Pada dasarnya penyidik dianggap ”mulai melakukan penyidikan”, jika
dalam kegiatan yang dilakukan telah menggunakan tindakan upaya paksa dari
penyidik, seperti pemanggilan ”Untuk Keadilan”, pemeriksaan, penggeledahan,
penyitaan dan sebagainya. Untuk memulai proses penyidikan, penyidik
seyogyanya telah memiliki minimal dua alat bukti yang sah. Penyidik Bea dan
cukai memberitahukan dimulainya penyidikan langsung kepada penuntut umum
(jaksa) dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Dimulainya Proses
penyidikan (SPDP). Penyampaian SPDP ini harus dilampiri dengan laporan
kejadian, resume berita acara pemeriksaan saksi, tersangka, berita acara
penggeledahan, dan sebagainya.

Secara umum, kegiatan-kegiatan pokok dalam rangka penyidikan tindak


pidana dibidang cukai tidak memiliki perbedaan dengan yang diterapkan dalam
penyidikan kepabeanan. Kategori kegiatan-kegiatan pokok penyidikan dapat
digolongkan menjadi Penindakan, Pemeriksaan, dan Penyelesaian dan
Penyerahan Berkas Perkara.

a. Penindakan

Penindakan adalah tindakan hukum yang dilakukan terhadap orang


maupun benda yang ada hubungannya dengan tindak pidana yang terjadi. Harus
dipahami bahwa istilah “penindakan” dalam kerangka kegiatan penyidikan
merupakan sesuatu yang berbeda dengan istilah penindakan dalam menjalankan
kewenagan umum. Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam kegiatan
penindakan penyidikan adalah sebagai berikut;

1) Pemanggilan tersangka dan saksi;


Pejabat Bea dan Cukai yang berwenang mengeluarkan surat panggilan
adalah penyidik, oleh sebab itu surat panggilan ditanda tangani oleh penyidik
dan diketahui oleh Kepala Kantor. Dalam hal Kepala Kantor adalah juga
adalah seorang penyidik, maka surat panggilan ditanda tangani oleh Kepala
Kantor.
2) Penangkapan/Penahanan;
Penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan
tindak pidana yang didasarkan bukti permulaan dan pantas diduga sebagai

hal | 226
pelaku tindak pidana atau tidak memenuhi panggilan secara syah dua kali
berturut-turut. Penangkapan dapat dilakukan paling lama satu hari. Segera
setelah penangkapan agar diadakan pemeriksaan untuk memperoleh hasil
apakah penangkapan tersebut akan dilanjutkan dengan penahanan atau
tidak. Penahanan dilakukan karena adanya dugaan kuat atau kekhawatiran
bahwa tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang
bukti atau mengulangi tindak pidana. Perintah penahanan oleh penyidik
hanya paling lama 20 hari, tetapi apabila diperlukan dapat diperpanjang
paling lama 40 hari.
3) Penggeledahan
Pelaksanaan penggeledaan harus dilakukan berdasarkan surat Perintah
Penggeledahan yang didasari; Laporan kejadian, hasil pemeriksaan
tersangka dan/atau saksi dan pengembangan hasil pemeriksaan tersangka
atau saksi. Penggeledahan rumah hanya dapat dilakukan setelah izin Ketua
Pengadilan Negeri setempat, kecuali dalam keadaan yang sangat perlu dan
terdesak. Hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan penggeledahan
rumah disamping izin Ketua Pengadilan dan surat perintah penggeledahan
juga harus disaksikan oleh aparat pemerintah setempat bersama 2 orang
saksi dari lingkungan yang bersangkutan bila penghuni tidak menyetujui.
4) Penyitaaan
Penyitaan dilakkan dengan surat perintah penyitaan dan telah mendapat izin
khusus dari ketua pengadilan negeri. Dalam keadaan sangat perlu dan
memerlukan tindakan segera, penyitaan dapat dilakukan tanpa izin dari
ketua pengadilan negeri tetapi terbatas pada benda-benda bergerak dan
sesudahnya segera melaporkan kepada Ketua pengadilan negeri setempat.

b. Pemeriksaan

Pemeriksaan merupakan kegiatan untuk mendapatkan keterangan,


kejelasan, keidentikkan tersangka dan atau saksi dan atau barang bukti maupun
tentang unsur-unsur tindak pidana yang telah terjadi, sehingga kedudukan atau
saperanan seseorang maupun barang bukti didalam tindak pidana tersebut
menjadi jelas. Berdasarkan aturan KUHAP, yang berwenang melakukan

hal | 227
pemeriksaan adalah penyidik. Pemeriksaan dapat dilakukan terhadap tersangka
dan saksi-saksi/ahli.

c. Penyelesaian dan penyerahan berkas perkara

Langkah terakhir dari kegiatan penyidikan adalah penyelesaian dan


penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum. Pemberkasan merupakan
kegiatan untuk memberkas isi berkas perkara dengan susunan dan syarat-syarat
pengikatan serta penyegelan yang berlaku. Penyerahan berkas perkara
merupakan kegiatan pengiriman berkas perkara berikut tanggung jawab
tersangka dan barang buktinya kepada penuntut umum. Apabila dalam waktu 14
hari sejak berkas perkara diterima oleh penuntut umum, berkas perkara tidak
dikembalikan kepada PPNS Bea dan cukai, maka penyidikan dianggap selesai
(P-21). Akan tetapi, jika berkas dikembalikan oleh penuntut umum sebelum
melampaui 14 hari, penuntut umum memberi petunjuk jelas yang memuat hal-hal
yang harus dilengkapi, diistilahkan dengan P-19.

hal | 228
RANGKUMAN :

 Jenis kewenangan pejabat Bea dan Cukai dalam melaksanakan Undang-


undang Cukai pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1) kewenangan umum disebut juga kewenangan administrasi
2) kewengan khusus atau kewenangan yuridis

 Kewenangan umum adalah kewenangan pejabat Bea dan Cukai untuk


mengambil tindakan yang diperlukan dalam rangka penegakan aturan di
bidang Cukai. Sifat kewenangan umum ini dapat melekat kepada siapa saja
pejabat Bea dan Cukai yang sedang menjalankan tugas.

 Jenis-jenis kewenangan umum yang diatur oleh Undang-undang Cukai,


antara lain:
1) Kewenangan untuk mengambil tindakan yang diperlukan terhadap BKC
dan/atau barang lain yang terkait dengan BKC berupa tindakan:
penghentian, pemeriksaan , penegahan dan penyegelan;
2) Kewenangan untuk mengambil tindakan berupa tidak melayani
pemesanan pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya;
3) Kewenangan untuk menegah BKC, barang lain yang terkait dengan BKC
dan juga sarana pengakut yang terkait dengan BKC.
4) Kewenganan pemeriksaan terhadap pabrik, tempat penyimpanan,
tempat-tempat lainnya dan bangunan
5) Kewenangan audit di bidang cukai terhadap pengusaha BKC dan
pengusaha penerima fasilitas cukai.
6) Kewenangan untuk melakukan penyegelan yang diperlukan terhadap
bagian-bagian dari pabrik, tempat penyimpanan, tempat usaha importir,
tempat usaha penyalur, tempat penjualan eceran, tempat lain, atau
sarana pengangkut yang didalamnya terdapat BKC.

 Kewenangan khusus adalah kewenangan yang hanya dapat dijalankan oleh


pejabat Bea dan Cukai tertentu. Kewenangan khusus hanya dapat
dijalankan oleh Direktur Jenderal Bea dan cukai dan pejabat Bea dan Cukai
tertentu yang diangkat sebagai PPNS Bea dan Cukai

 Jenis kewenangan khusus yang diatur dalam Undang-undang Cukai adalah:


a) Kewenangan khusus Direktur Jenderal Bea dan cukai yang berkaitan

hal | 229
dengan pembetulan, pengurangan atau penghapusan sanksi
administrasi atau surat keputusan keberatan;
b) Kewenangan khusus pejabat Bea dan cukai yang diangkat sebagai PPNS
Bea dan Cukai, untuk melaksanakan kewenagan penyidikan.

LATIHAN :

1) Sebelum hasil tembakau diproduksi dan dijual secara eceran, pengusaha


pabrik harus memiliki persediaan pita cukai terlebih dahulu. Jelaskan secara
singkat dan gunakan flowchart sederhana bagaimana prosesnya pita cukai
dapat sampai ke tempat pengusaha pabrik!
2) Mengapa pita cukai untuk hasil tembakau disediakan dalam tuga seri yang
berbeda? Jelaskan alasannya menurut anda!
3) Jelaskan upaya-upaya pemerintah terhadap pencegahan atau manipulasi
pungutan cukai atas BKC yang seharusnya dipungut!
4) Jelaskan mekanisme penyediaan pita cukai hasil tembakau!
5) Apa konsekuensi yang harus ditanggung pengusaha, apabila pita cukai yang
telah dimohonkan penyediaannya ternyata tidak seluruhnya diajukan CK-1
atau CK-1A? Jelaskan!

hal | 230
BAB

KEBERATAN DAN BANDING


DI BIDANG CUKAI 9BAB

Tujuan Pembelajaran Khusus :


Setelah mengikuti pembelajaran ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan
mekanisme keberatan, banding dan gugatan di bidang cukai

Tujuan Pembelajaran Khusus :


Setelah mengikuti pembelajaran ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan
A. Keberatan di Bidang cukai
mekanisme keberatan dan banding di bidang cukai

1. Gambaran Umum
Salah satu prinsip yang dianut di dalam Undang-
undang Nomor 11 Tahun 1995 sebagaimana telah
diubah dengan Undang Undang Nomor 39 Tahun
1995 tentang Cukai adalah prinsip keadilan dalam
keseimbangan yang mengandung makna bahwa
kewajiban cukai hanya dibebankan kepada orang-
orang yang memang seharusnya diwajibkan untuk itu
dan semua pihak yang terkait diperlakukan dengan cara yang sama dalam hal
dan kondisi yang sama pula. Apabila wajib cukai merasa tidak diperlakukan
secara adil maka yang bersangkutan dapat menempuh cara-cara yang dapat
memberikan rasa keadilan tersebut. Dalam hal ini Undang-undang Cukai telah
memberikan sarana tersebut dalam bentuk mekanisme keberatan kepada DJBC
serta pengajuan banding dan gugatan kepada Lembaga Pengadilan yang
bersifat independen.

Ketentuan yang mengatur mengenai Keberatan, Banding dan Gugatan


adalah Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 sebagaimana
telah diubah dengan Undang Undang Nomor 39 Tahun 2007. Sebagai tindak
lanjut di tingkat pelaksanaan, pemerintah telah menerbitkan PMK nomor
114/PMK.04/2008 tentang Keberatan di Bidang Cukai. Petunjuk teknis

hal | 231
pelaksanaan keberatan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Direktur Jenderal
Nomor P-28/BC/2009 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan
di Bidang Cukai sebagaimana telah diubah dengan P-36/BC2010.

2. Konsep Keberatan di Bidang Cukai

Pengertian keberatan dalam konteks Undang-undang Cukai adalah subyek


cukai tidak bisa menyetujui atau tidak bisa menerima sanksi atau keputusan
yang ditetapkan oleh pejabat bea dan cukai berkaitan dengan kepentingannya.
Sebagaimana diatur di dalam Pasal 41 ayat (2) Undang-undang Cukai
disebutkan bahwa :
“Orang yang berkeberatan atas penetapan pejabat bea dan cukai dalam
penegakan Undang-undang Cukai, yang mengakibatkan kekurangan cukai
dan/atau sanksi administrasi berupa denda, dapat mengajukan keberatan
secara tertulis kepada Direktur Jenderal dalam jangka waktu 30 (tiga puluh)
hari sejak tanggal diterimanya surat tagihan dengan menyerahkan jaminan
sebesar kekurangan cukai dan/atau sanksi administrasi berupa denda yang
ditetapkan”.

Obyek yang dapat diajukan keberatan adalah penetapan pejabat Bea dan
Cukai yang meliputi:
1) penetapan yang mengakibatkan kekurangan cukai; dan/atau
2) penetapan yang mengakibatkan pengenaan sanksi administrasi denda.

Pengertian penetapan sebagaimana dimaksud adalah penetapan atas


surat tagihan cukai (STCK-1) yang menjadi dasar bagi wajib cukai untuk
melakukan pembayaran atas kekurangan cukai dan/atau sanksi administrasi
berupa denda.

3. Pejabat yang Berwenang Memutuskan Keberatan

Berdasarkan ketentuan pelaksanaan keberatan sebagaimana diatur dalam


Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai, kewenangan memutuskan perkara
keberatan di bidang cukai yang dimiliki Direktur Jenderal didelegasikan kepada:
1) Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai (PPKC) untuk
dan atas nama Dirjend Bea dan Cukai membuat dan menandatangani
keputusan keberatan, dalam hal keberatan diajukan atas penetapan pejabat
bea dan cukai yang disebabkan adanya Laporan Hasil Audit;

hal | 232
2) Kepala Kantor Wilayah untuk dan atas nama Dirjend Bea dan Cukai
membuat dan menandatangani keputusan keberatan, dalam hal keberatan
diajukan atas penetapan pejabat bea dan cukai selain yang disebabkan
adanya Laporan Hasil Audit;
3) Kepala Kantor Pelayanan Utama (Kepala KPU) Bea dan Cukai untuk dan
atas nama Dirjend Bea dan Cukai membuat dan menandatangani keputusan
keberatan, dalam hal keberatan diajukan atas penetapan pejabat bea dan
cukai di KPU selain yang disebabkan adanya Laporan Hasil Audit; dan
4) Kepala KPPBC untuk dan atas nama Dirjend Bea dan Cukai membuat dan
menandatangani keputusan penolakan keberatan, dalam hal pengajuan
keberatan melewati jangka waktu yang ditetapkan.

4. Persyaratan Administrasi dan Jaminan dalam Pengajuan Keberatan


Persyaratan Administrasi

Dalam pengajuan permohonan keberatan hal yang pertama yang harus


dilakukan oleh pengusaha adalah memenuhi persyaratan administrasi
sebagaimana diatur dalam Peraturan Dirjend. Kelengkapan syarat administrasi
ini sangat menentukan diterima atau tidaknya permohonan keberatan yang
bersangkutan.
Adapun persyaratan administrasi yang harus dilengkapi dalam pengajuan
permohonan ditetapkan adalah:
1) Menggunakan formulir yang ditetapkan dan dapat diperoleh di Kantor
Pengawasan dan Pelayanan maupun di KPU Bea dan Cukai setempat.
2) Melampirkan bukti penyerahan jaminan berupa jaminan tunai, jaminan bank
dan jaminan dari perusahaan asuransi sebesar tagihan yang harus
dibayar.
3) Melampirkan foto copy surat tagihan STCK-1.
4) Jangka waktunya masih dalam waktu paling lama 30 hari sejak diterimanya
STCK-1. Jika waktu ini dilampaui, maka yang bersangkutan gugur haknya
untuk mengajukan keberatan dan penetapan pejabat Bea dan Cukai
dianggap diterima. Jika hari ke 30 tersebut jatuh pada hari libur atau yang

hal | 233
diliburkan atau bukan hari kerja, batas akhir pengajuan permohonan adalah
pada hari kerja sebelum liburan.
5) Permohonan keberatan harus memuat alasan dan bukti yang jelas
mengenai:
 Jenis keberatan misalnya keberatan terhadap kekurangan cukai dan/atau
sanksi administrasi berupa denda;
 Argumentasi atau alasan pengajuan keberatan; dan
 Data dan/atau bukti lain yang mendukung pengajuan keberatan.
6) Dalam hal keberatan berkaitan dengan lebih dari satu jenis penetapan, maka
berkas lampiran permohonan dibuat dan dilengkapi untuk masing-masing
jenis penetapan tersebut dan masing-masing diajukan dalam satu
permohonan keberatan.

Persyaratan jaminan

Orang yang mengajukan keberatan dibidang cukai diwajibkan


menyerahkan jaminan kepada bendahara penerima di kantor Bea dan Cukai.
Besarnya jaminan yang wajib diserahkan adalah sebesar kekurangan cukai
dan/atau denda yang ditetapkan. Penyerahan jaminan oleh yang mengajukan
keberatan diberi bukti penerimaan jaminan (BPJ) oleh bendahara penerima.

Jenis jaminan yang dapat diserahkan dalam rangka penjaminan di bidang


cukai, mencakup:
1) Jaminan Bank;
2) Jaminan Perusahaan asuransi (excise bond); dan
3) Jaminan Perusahaan (Corporate guarantee).

Jaminan bank adalah garansi dalam bentuk warkat yang diterbitkan oleh
bank, yang mewajibkan pihak bank membayar kepada pihak yang menerima
garansi apabila pihak yang dijamin cidera janji (wanprestasi). Excise bond adalah
sertifikat jaminan yang diterbitkan oleh surety (penjamin) yang memberikan
jaminan pembayaran kewajiban cukai kepada obligee (penerima jaminan) dalam
hal principal (pihak terjamin) gagal memenuhi pembayaran kewajiban cukai
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jaminan
perusahaan adalah surat pernyataan tertulis dari pengusaha yang berisi

hal | 234
kesanggupan untuk membayar seluruh utang cukainya kepada Direktur Jenderal
atau pejabat bea dan cukai yang ditunjuk sehubungan dengan penundaan dalam
jangka waktu yang ditentukan dengan menjaminkan seluruh aset
perusahaannya.

5. Mekanisme Pengajuan Keberatan

Pengajuan keberatan atas putusan di bidang cukai diajukan dalam jangka


waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya surat tagihan. Dalam hal
selama kurun waktu 30 hari tidak ada pengajuan keberatan, maka hak untuk
mengajukan keberatan setelah jangka waktu tersebut menjadi gugur dan
penetapan pejabat bea dan cukai dianggap telah disetujui.

Kepala Kantor Bea dan Cukai yang menerima berkas permohonan


keberatan dari pengusaha pabrik wajib meneliti :
a. pemenuhan persyaratan pengajuan keberatan (adanya bukti penyerahan
jaminan sebesar tagihan, fotokopi surat tagihan);
b. Pemenuhan jangka waktu pengajuan keberatan

Dalam hal persyaratan telah dipenuhi, maka berkas permohonan


diteruskan kepada Direktur Jenderal atau pejabat yang ditunjuknya dalam jangka
waktu 3 (tiga) hari kerja sejak berkas diterima secara lengkap .

Dirjend Bea dan Cukai atau pejabat yang mendapat peimpahan wewenang
harus memberikan keputusannya dalam jangka waktu selambat-lambatnya 60
(enam puluh) hari sejak tanggal berkas keberatan diterima secara lengkap dan
benar. Sebelum keputusan diterbitkan, pihak yang mengajukan keberatan dapat
menyampaikan alasan, penjelasan tambahan, atau bukti pendukung lain secara
tertulis kepada Direktur Jenderal. Sebaliknya, Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
apabila diperlukan, dapat meminta bukti dan/atau data lain yang diperlukan untuk
memutuskan keberatan kepada pihak yang mengajukan keberatan atau pihak yang
terkait. Dalam hal data yang diperlukan tidak lengkap, DIrektur Jenderal
memberikan keputusan berdasarkan data yang telah ada.

Keputusan atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau


sebagian, atau menolak. Apabila sampai batas waktu 60 (enam puluh) hari

hal | 235
Direktur Jenderal Bea dan Cukai tidak menerbitkan keputusan, keberatan
dianggap diterima dan jaminan dicairkan. Pihak yang mengajukan keberatan dapat
menanyakan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai apabila
sampai dengan 70 (tujuh puluh) dari sejak batas keberatan diterima secara
lengkap dan benar oleh Kepala Kantor Pelayanan Bea dan Cukai, keputusan atas
keberatan belum diterima. Atas pertanyaan tersebut Direktur Jenderal wajib
menyampaikan penjelasan secara tertulis tentang penyelesaian keberatan yang
bersangkutan.

Dalam hal keberatan atas keputusan di bidang cukai dikabulkan, maka


jaminan wajib dikembalikan kepada yang bersangkutan. Apabila keputusan atas
keberatan dinyatakan ditolak, maka jaminan yang dipertaruhkan akan dicairkan
untuk membayar cukai dan/atau sanksi administrasi berupa denda yang
ditetapkan.

B. Pengajuan Banding

1. Konsep Banding di Bidang Cukai

Berdasarkan Undang-undang nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan


Pajak, pengertian banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib
Pajak atau penanggung pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan
banding, berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Keputusan pejabat yang dapat diajukan banding adalah sengketa pajak yang
timbul dalam bidang perpajakan, yang terjadi antara wajib pajak atau penaggung
pajak dengan pejabat pajak (fiskus).

Berdasarkan Undang-undang Cukai, orang yang berkeberatan terhadap


putusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai yang menolak keberatan, dapat
mengajukan banding ke pengadilan pajak dalam jangka waktu 60 hari sejak
tanggal penetapan atau putusan. Pasal 43A Undang-undang Cukai mengatur
jenis putusan yang dapat diajukan banding ke pengadilan pajak, yaitu keputusan
Direktur jenderal bea dan Cukai atas keberatan yang berkaitan dengan
penetapan pejabat bea dan cukai yang mengakibatkan kekurangan cukai
dan/atau sanksi administrasi berupa denda.

hal | 236
2. Persyaratan Administrasi Banding

Keputusan pejabat Bea dan Cukai yang menolak keberatan yang diajukan
pemohon dapat diajukan upaya hukum lanjutan berupa banding ke pengadilan
pajak. Untuk mengajukan banding maka pemohon harus memenuhi persyaratan
administrasi yang ditentukan. Kelengkapan syarat administrasi ini sangat
menentukan diterima atau tidaknya permohonan banding yang bersangkutan.
Adapun persyaratan administrasi yang harus dilengkapi dalam pengajuan
permohonan banding, antara lain:
1) Jangka waktu masih dalam 60 hari sejak putusan keberatan yang ditetapkan
oleh Dirjend Bea dan Cukai saat pengajuan banding.
2) Melunasi pajak 50% dari yang disengketakan.
3) Permohonan banding diajukan dalam bahasa Indonesia.
4) Terhadap satu keputusan diajukan satu surat banding.
5) Pada surat banding dilampirkan salinan keputusan yang dibanding.

3. Mekanisme Pengajuan Banding

Berdasar ketentuan Undang-undang Pengadilan pajak, secara umum


upaya banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima
keputusan yang dibanding, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-
undangan perpajakan. Khusus terhadap upaya banding di bidang cukai, jangka
waktu pengajuannya paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan
atau keputusan. Akan tetapi, jangka waktu sebagaimana dimaksud tidak
mengikat apabila keterlambatan pengajuan disebabkan karena keadaan di luar
kekuasaan pemohon.

Upaya banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas, dan


dicantumkan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding. Berkaitan
dengan upaya banding yang berkaitan dengan besarnya jumlah pajak yang
terutang, banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dimaksud
telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen). Hal ini sesuai dengan azas
presumptio justal causa, atau istilah lainnya “Vermoden van rechtmatig heid”
yang artinya bahwa penetapan pejabat pajak selalu dianggap benar sebelum

hal | 237
ditentukan lain oleh atasan pejabat yang bersangkutan atau pengadilan.
Ketentuan ini agak berbeda dengan ketentuan jaminan yang wajib
dipersyaratkan dalam mekanisme keberatan di bidang cukai yang mewajibkan
untuk menjamin tagihan cukai dan/atau sanksi denda sebesar 100%.

Banding dapat diajukan oleh Wajib Pajak, ahli warisnya, seorang


pengurus, atau kuasa hukumnya. Pemohon Banding dapat melengkapi Surat
Bandingnya untuk memenuhi ketentuan yang berlaku sepanjang masih dalam
jangka waktu pengajuan banding. Selama proses banding diajukan, pemohon
dapat mengajukan surat pernyataan pencabutan kepada Pengadilan Pajak. Atas
pencabutan banding maka perkara tersebut dihapuskan dari daftar sengketa,
dengan ketentuan:
1) dikeluarkan penetapan Ketua Pengadilan dalam hal surat pernyataan
pencabutan diajukan sebelum sidang dilaksanakan;
2) dikeluarkan putusan Majelis/Hakim Tunggal melalui pemeriksaan dalam hal
surat pernyataan pencabutan diajukan dalam sidang atas persetujuan
terbanding.
3) Banding yang telah dicabut melalui penetapan atau putusan sebagaimana
dimaksud tidak dapat diajukan kembali.

4. Jenis Putusan Pengadilan Pajak atas Perkara Banding

Hasil putusan hakim Pengadilan pajak terhadap perkara banding dapat


berupa:
1) Menolak banding
2) Mengabulkan sebagian
3) Mengabulkan seluruhnya
4) Menambah pajak yang harus dibayar
5) Tidak dapat diterima (tidak tergolong sengketa pajak)

Putusan pengadilan pajak atas perkara banding bersifat final dan tetap,
artinya bahwa putusan tersebut konsekuensinya langsung dapat dieksekusi. Sifat
pengadilannya adalah pengadilan pertama dan terakhir, artinya tidak ada kasasi
dalam pengadilan pajak.

hal | 238
Dalam undang-undang pengadilan pajak, pemohon keadilan tidak
diberikan kesempatan untuk mengajukan kasasi. Dasar pertimbangannya adalah
untuk menjamin kepastian keuangan negara yang setiap tahunnya ditentukan
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Apabila sengketa pajak
dikasas, maka hal ini akan memakan waktu lama, sehingga tidak ada kepastian
penerimaan negara dalam satu tahun anggaran tersebut. Walaupun demikian,
bagi pencari keadilan dibidang perpajakan masih mempunyai hak atau
kesempatan untuk menempuh jalur peninjauan kembali (PK) dengan syarat
ditemukan adanya bukti baru yang bersifat menentukan.

C. Pengajuan Gugatan

1. Konsep Gugatan di Bidang Cukai

Pengertian gugatan sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor 14


tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak adalah upaya hukum yang dapat dilakukan
oleh Wajib Pajak atau penanggung pajak terhadap suatu keputusan yang dapat
diajukan gugatan, berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakaan
yang berlaku. Pasal 43B Undang-undang Cukai mengatur jenis putusan yang
dapat diajukan gugatan adalah keputusan pencabutan izin NPPBKC bukan
atas kemauan sendiri.

Lebih lanjut dapat dirincikan jenis keputusan pencabutan izin NPPBKC


yang dapat dilakukan sepihak, yaitu:
1) Pencabutan izin NPPBKC akibat persyaratan perizinan tidak lagi dipenuhi.
2) Pencabutan izin NPPBKC pemegang izin tidak lagi secara sah mewakili
badan hukum atau orang pribadi yang berkedudukan di luar Indonesia.
3) Pencabutan izin NPPBKC pemegang izin dinyatakan pailit.
4) Pencabutan izin NPPBKC tidak lagi dipenuhi oleh karena pemegang
NPPBKC meninggal dunia.
5) Pencabutan izin NPPBKC pemegang izin dipidana berdasarkan keputusan
hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melanggar
ketentuan Undang-undang Cukai.
6) Pencabutan izin NPPBKC pemegang izin melanggar ketentuan Pasal 30.

hal | 239
7) Pencabutan izin NPPBKC
8) Izin NPPBKC dipindahtangankan, dikuasakan, dan/atau dikerjasamakan
dengan orang/pihak lain tanpa persetujuan Menteri.

Bila kita membandingkan konsep banding dan gugatan sebagaimana


penjelasan diatas dapat kita jelaskan perbedaan banding dan gugatan sebagai
berikut:
- konsep banding merupakan mekanisme lanjutan dari proses keberatan di
tingkat institusi pemungut pajak. Konsep banding berkaitan dengan
penetapan Bea dan Cukai yang mengakibatkan kekurangan cukai dan/atau
sanksi denda.
- Konsep gugatan bukan merupakan proses lanjutan dari proses keberatan.

- Gugatan diajukan oleh subyek pajak atas penetapan pajak yang tidak
berakibat pada kekurangan cukai dan/atau sanksi denda. Atas penetapan
pejabat bea dan cukai yang dapat digugat, tidak perlu melewati mekanisme
keberatan terlebih dahulu, tapi dapat langsung diajukan kepada pengadilan
pajak.

2. Mekanisme Pengajuan Gugatan

Gugatan diajukan secara tertulis oleh pemohon dalam Bahasa Indonesia


kepada Pengadilan Pajak. Gugatan dapat diajukan oleh penggugat, ahli
warisnya, seorang pengurus, atau kuasa hukumnya dengan disertai alasan-
alasan yang jelas, mencantumkan tanggal diterima, pelaksanaan penagihan,
atau keputusan yang digugat dan dilampiri salinan dokumen yang digugat.

Jangka waktu untuk mengajukan Gugatan terhadap pelaksanaan


penagihan Pajak adalah 14 (empat belas) hari sejak tanggal pelaksanaan
penagihan. Jangka waktu untuk mengajukan Gugatan terhadap Keputusan selain
yang berkaitan dengan pelaksanaan penagihan pajak adalah 30 (tiga puluh) hari
sejak tanggal diterima Keputusan yang digugat. Jangka waktu tidak mengikat
apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar
kekuasaan penggugat. Dalam hal keadaan diluar kekuasaan penggugat

hal | 240
tersebut, perpanjangan jangka waktu adalah 14 (empat belas) hari terhitung
sejak berakhirnya keadaan di luar kekuasaan penggugat.

Terhadap upaya Gugatan yang diajukan pemohon dapat diajukan surat


pernyataan pencabutan kepada Pengadilan Pajak. Gugatan yang dicabut
sebagaimana dimaksud dihapus dari daftar sengketa dengan :
1) penetapan Ketua pengadilan pajak, dalam hal surat pernyataan pencabutan
diajukan sebelum sidang;
2) putusan Majelis/Hakim Tunggal melalui pemeriksaan dalam hal surat
pernyataan pencabutan diajukan setelah sidang atas persetujuan tergugat.
Gugatan yang telah dicabut melalui penetapan atau putusan tidak dapat
diajukan kembali.

Upaya Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya


penagihan Pajak atau kewajiban perpajakan. Penggugat dapat mengajukan
permohonan agar tindak lanjut pelaksanaan penagihan Pajak sebagaimana
ditunda selama pemeriksaan Sengketa Pajak sedang berjalan, sampai ada
putusan Pengadilan Pajak. Permohonan penundaan dapat dikabulkan hanya
apabila terdapat keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan
kepentingan penggugat sangat dirugikan jika pelaksanaan penagihan Pajak yang
digugat itu dilaksanakan.

hal | 241
RANGKUMAN :

 Ketentuan Undang-undang Cukai memiliki prinsip keadilan dalam


keseimbangan. Salah satu wujud pelaksanaan prinsip ini adalah
diakomodasikannya ketentuan keberatan, banding dan gugatan.

 Orang yang berkeberatan atas penetapan pejabat bea dan cukai dalam
penegakan Undang-undang Cukai, yang mengakibatkan kekurangan cukai
dan/atau sanksi administrasi berupa denda, dapat mengajukan keberatan
secara tertulis kepada Direktur Jenderal dalam jangka waktu 30 (tiga
puluh) hari sejak tanggal diterimanya surat tagihan dengan menyerahkan
jaminan sebesar kekurangan cukai dan/atau sanksi administrasi berupa
denda yang ditetapkan”.

 Pejabat yang berwenang memutuskan keberatan di bidang cukai adalah


Dirjend Bea dan Cukai yang dalam pelaksanaannya didelegasikan kepada:

1) Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai (PPKC)


untuk dan atas nama Dirjend Bea dan Cukai membuat dan
menandatangani keputusan keberatan, dalam hal keberatan diajukan atas
penetapan pejabat bea dan cukai yang disebabkan adanya Laporan Hasil
Audit;

2) Kepala Kantor Wilayah untuk dan atas nama Dirjend Bea dan Cukai
membuat dan menandatangani keputusan keberatan, dalam hal
keberatan diajukan atas penetapan pejabat bea dan cukai selain yang
disebabkan adanya Laporan Hasil Audit;

3) Kepala Kantor Pelayanan Utama (Kepala KPU) Bea dan Cukai untuk dan
atas nama Dirjend Bea dan Cukai membuat dan menandatangani
keputusan keberatan, dalam hal keberatan diajukan atas penetapan
pejabat bea dan cukai di KPU selain yang disebabkan adanya Laporan
Hasil Audit; dan

4) Kepala KPPBC untuk dan atas nama Dirjend Bea dan Cukai membuat

hal | 242
dan menandatangani keputusan penolakan keberatan, dalam hal
pengajuan keberatan melewati jangka waktu yang ditetapkan.

 Keputusan atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian,


atau menolak. Apabila keputusan atas keberatan dinyatakan ditolak, maka
jaminan yang dipertaruhkan akan dicairkan untuk membayar cukai dan/atau
sanksi administrasi berupa denda yang ditetapkan.

 Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau
penanggung pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan banding,
berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakaan yang berlaku.

 Berdasarkan Undang-undang Cukai, orang yang berkeberatan terhadap


putusan Dirjend Bea dan Cukai yang menolak keberatan, dapat mengajukan
banding ke pengadilan pajak dalam jangka waktu 60 hari sejak tanggal
penetapan atau putusan.

 Hasil putusan hakim Pengadilan pajak terhadap perkara banding dapat


berupa:

a) Menolak banding
b) Mengabulkan sebagian
c) Mengabulkan seluruhnya
d) Menambah pajak yang harus dibayar
e) Tidak dapat diterima (tidak tergolong sengketa pajak)

 Pengertian gugatan sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor 14


tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak adalah upaya hukum yang dapat
dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung pajak terhadap suatu
keputusan yang dapat diajukan gugatan, berdasarkan peraturan perundang-
undangan perpajakaan yang berlaku.

 Undang-undang Cukai mengatur jenis putusan yang dapat diajukan gugatan


adalah keputusan pencabutan izin NPPBKC bukan atas kemauan
sendiri.

hal | 243
LATIHAN :

Latihan
1) Apa yang dimaksud dengan keberatan di bidang cukai, Jelaskan!
2) Apa perbedaan antara keberatan di bidang cukai dengan keberatan di
bidang kepabeanan? jelaskan!
3) Jelaskan konsep banding berdasarkan Undang-undang Peradilan Pajak!
Apa yang berbeda dengan Undang-undang Cukai? Jelaskan!
4) Jelaskan perbedaan banding dengan gugatan!
5) Jelaskan mekanisme pengajuan keberatan dan banding di bidang cukai!

Harta akan membawa manusia pada kenikmatan dunia.


Tapi...ilmu yang bermanfaat akan membawa manusia pada
kenikmatan yang abadi

hal | 244
PENUTUP

Sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Akuntansi Negara anda dituntut untuk


memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang cukup sebagai bekal anda dalam
bekerja. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai membutuhkan pegawai yang
berkompetensi tinggi untuk memenuhi tuntutan pekerjaan yang semakin berat.
Untuk memenuhi tuntutan tersebut, calon-calon pegawai DJBC salah satunya
harus memiliki pengetahuan dan ketrampilan teknis di bidang cukai

Tanpa usaha yang sungguh-sungguh dan tekad yang kuat, saya yakin
anda akan sulit memahami dan memiliki ketrampilan teknis cukai dengan baik.
Kata kunci yang dapat saya berikan sebagai tips untuk memahami pelajaran
teknis cukai secara efektif adalah “belajar secara menyeluruh”. Jangan anda
belajar hanya untuk keperluan praktis saja, tapi pelajari secara menyeluruh
konsep-konsep yang ada. Dengan mempelajarai bahan ajar teknis cukai ini
diharapkan anda mendapatkan gambaran yang utuh mengenai kegiatan-kegiatan
yang ada di bidang cukai. Gambaran dan pemahaman yang tepat mengenai
tatalaksana teknis cukai akan membawa anda menjadi seorang calon pelaksana
pemeriksa yang profesional dan berkompeten dalam ruang lingkup tugas di
bidang cukai.

Akhirnya semoga bahan ajar ini bermanfaat khususnya bagi mahasiswa


Sekolah Tinggi Akuntansi Negara dan umumnya bagi siapapun yang
mempelajari bahan ajar ini. Ingatlah bahwa keberhasilan orang-orang hebat di
bidang apapun bukan semata-mata merupakan anugerah dari yang Maka Kuasa
saja, namun kesuksesan dibangun dari kemauan untuk belajar sepanjang masa,

Longlife Learning.

hal | 245
GLOSARIUM

BACK: format berita acara di bidang cukai


BRCK: Buku Rekening di bidang Cukai yang diselenggarakan oleh
Bendaharawan Bea dan Cukai untuk mencatat BKC yang terhutang cukai
yang berada di pabrik/tempat penyimpanan dan juga untuk mencatat
besarnya penundaan/pembayaran berkala di bidang cukai
Corporate guarantee: jaminan di bidang cukai yang diberikan oleh perusahaan

CSCK: Buku catatan sediaan di bidang cukai yang wajib diselenggarakan oleh
Wajib Cukai skala kecil atau yang tidak bersatatus sebagai Pengusaha
Kena pajak
Excise bond: jaminan di bidang cukai yang diberikan oleh perusahaan asuransi
PBCK: Format pemberitahuan di bidang cukai yang wajib diajukan oleh
Pengusaha BKC dalam rangka tujuan tertentu, antara lain: penggunaan
bahan baku berupa BKC lainnya (PBCK-1), pemberitahuan pengolahan
kembali atau pemusnahan BKC
Preventif: upaya pencegahan
Presumptio justal causa: artinya bahwa penetapan pejabat pajak selalu
dianggap benar sebelum ditentukan lain oleh atasan pejabat yang
bersangkutan atau pengadilan.
LACK: Format Laporan di bidang cukai yang wajib dibuat oleh perusahaan
pengguna fasilitas dibidang cukai (LACK-1 s.d. LACK-9) dan juga yang
dibuat oleh Kantor Bea dan Cukai (LACK-10)
ledger: kumpulan catatan hasil klasifikasi transaksi keuangan sebagai dasar
pembuatan laporan keuangan
Lex spesialis derogat lex generalis: yang artinya bahwa ketentuan khusus
dapat menyampingkan ketentuan dalam UU yang bersifat umum.
Stuffing: proses pemuatan barang ke dalam kontainer
Selectivity in coverage : adanya pemilihan cakupan obyek secara terbatas atau
selektif
Supply price : harga penawaran produsen

hal | 246
Vermoden van rechtmatig heid: artinya bahwa penetapan pejabat pajak selalu
dianggap benar sebelum ditentukan lain oleh atasan pejabat yang
bersangkutan atau pengadilan.

hal | 247
DAFTAR PUSTAKA

Buku dan artikel :

Agung, R.B. Permana. (1999). Paper Kecil Tentang Cukai.

Brotodihardjo, R. Santoso. (1995). Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung:


Eresco.

Surono (2009). Modul Teknis Cukai untuk DTSD Kepabeanan dan Cukai
Perpajakan, Jakarta: Pusdiklat Bea dan Cukai,.

Peraturan:

Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah


dengaan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 109/PMK.04/2008 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pembukuan di bidang Cukai
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.04/2008 tentang Kewajiban
Pencatatan Bagi Pengusaha Pabrik Skala Kecil, Penyalur Skala Kecil Yang
Wajib Memiliki Izin, Dan Pengusaha Tempat Penjualan Eceran Yang Wajib
Memiliki Izin.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.04/2008 tentang Pemberitahuan
BKC Yang Selesai Dibuat
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.04/2008 tentang
Penyelenggaraan Buku Rekening BKC dan Buku Rekening Kredit
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 113/PMK.04/2008 tentang Pengembalian
Cukai dan/atau Sanksi Administrasi Berupa Denda
Peraturan Menteri Keuangan nomor 114/PMK.04/2008 tanggal 15 Agustus 2008
tentang Keberatan di Bidang Cukai
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115/PMK.04/2008 tentang Pencacahan dan
Potongan Atas Etil Alkohol dan Minuman Yang Mengandung Etil Alkohol
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 116/PMK.04/2008 tentang Tatacara
Pengangsuran Pembayaran Tagihan Cukai Yang Tidak Dibayar Pada
Waktunya, Kekurangan Cukai dan/atau Sanksi Administrasi Berupa Denda
di Bidang Cukai

hal | 248
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200/PMK.04/2008 jo. PMK nomor
191/PMK.4/2010 tentang Tatacara Pemberian, Pembekuan dan
Pencabutan NPPBKC untuk Pengusaha Pabrik dan Importir Hasil
Tembakau
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 201/PMK.04/2008 tentang Tatacara
Pemberian, Pembekuan dan Pencabutan NPPBKC untuk Pengusaha
Pabrik, Importir, Penyalur dan Pengusaha Tempat penjualan Eceran
MMEA
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 202/PMK.04/2008 tentang Tatacara
Pemberian, Pembekuan dan Pencabutan NPPBKC untuk Pengusaha
Pabrik, IPengusaha Tempat Penyimpanan, Importirr dan Pengusaha
Tempat penjualan Eceran Etil Alkohol
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 237/PMK.04/2009 tentang Tidak Dipungut
Cukai
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 235/PMK.04/2009 tentang Penimbunan,
Pemasukan, Pengeluaran, dan Pengangkutan BKC
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 238/PMK.04/2009 tentang Tatacara
Penghentian, Pemeriksaan, Penegahan, Penyegelan, Tindakan Berupa
Tidak Melayani Pemesanan Pita Cukai Atau Tanda Pelunasan Cukai
Lainnya dan Bentuk Surat Perintah Penindakan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62/PMK.04/2010 tentang Tarif Cukai Etil
Alkohol, MMEA dan Konsentrat yang Mengandung Etil Alkohol
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 179/PMK.04/2012 tentang Tarif Cukai Hasil
Tembakau
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 109/PMK.04/2012 tentang Tatacara
Pembebasan Cukai

hal | 249
BIODATA PENULIS
Nama : Surono
Alamat korespondensi : Jl. Kampung Pluis No.52, RT.04/05, Grogol Utara,
Kebayoran lama, Jakarta Selatan
Unit Instansi : Pusdiklat Bea dan Cukai
Telp./Faks : 021-47862387
HP : 081212173686
E-mail : mr.surono@gmail.com
Riwayat Pendidikan

Tahun
Perguruan Tinggi Bidang Spesialisasi
Lulus

1994 STAN - Program Diploma III Bea dan Cukai

2000 STIA - LAN Manajemen perekonomian Negara

2007 Pasca Sarjana, Universitas Ilmu Manajemen


Sumatera Utara

Nama mata kuliah yang diasuh

No Nama Mata Kuliah


1. Pengantar Cukai
2. Teknis Cukai
3. Teknis Perbendaharaan Penerimaan
4. Teknis Perdagangan Internasional

Pengalaman publikasi di berkala ilmiah 5 tahun terakhir

Volume
Tahun Nama Status
Nama Judul artikel dan
terbit berkala akreditasi
halaman
Majalah 2011 Potensi Kerjasama Diklat Edukasi Edisi -
BPPK : Mewujudkan Mimpi Keuangan 6/2011
Menjadi Center of Excellence

hal | 250
Majalah 2011 Kementerian Keuangan: 65 Edukasi Edisi -
tahun Menapak Sejarah Keuangan 8/2011
Keuangan Bangsa", pada
Majalah Edukasi Keuangan
Majalah 2011 Sertifikasi Widyaiswara: Edukasi Edisi -
Suatu Upaya untuk Keuangan 9/2011
Menjamin Kualitas
Penyelenggaraan Diklat
Majalah 2012 Memaknai Suatu Perubahan Edukasi Edisi -
Keuangan 10/2012

Majalah 2012 Penerapan Free Trade Edukasi Edisi -


Agreement : Keuangan 11/2012
Antara Harapan Dan
Kenyataan

Website 10 Mei Mengenal Lebih Mendalam Artikel Edisi Mei -


Pusdiklat 2011 Pungutan Cukai Web 2011
BC
Website 10 Mei Fasilitas Kepabeanan: Suatu Artikel Edisi Mei -
Pusdiklat 2011 Upaya Pemberian Web 2011
BC Kemudahan dan Insentif
Fiskal Bagi Industri dan
Perdagangan
Website 26 Mei Roadmap Industri Hasil Easylib - -
BPPK 2011 Tembakau:
Menyeimbangkan Fungsi
Budgetair dan Regulatory
Website 05 Perbedaan Perlakuan Artikel Edisi -
Pusdiklat Agustus Fasilitas Kepabeanan Antara Web Agustus
BC 2011 Skema PP Nomor 8 Tahun 2011
1957 dengan Skema PP
Nomor 19 Tahun 1955
Website 16 Mei Mungkinkah Pengenaan Artikel Edisi Mei -
Pusdiklat 2012 Cukai Terhadap Barang Tak Web 2012
BC Berwujud dan Jasa

hal | 251
Website 16 Mei Fasilitas Fiskal atas Impor Artikel Edisi Mei -
Pusdiklat 2012 Mesin, Barang dan Bahan Web 2012
BC Dalam Rangka Penanaman
Modal

Pengalaman penerbitan buku 10 tahun terakhir

Judul Buku Tahun Penerbit ISBN


Modul Sistem Pengawasan 2009 Pusdiklat BC -
Pelaksanaan Tugas dan Evaluasi
Kinerja untuk DTSS KI
Modul Pemeriksaan kepatuhan 2009 Pusdiklat BC -
Internmal untuk DTSS KI
Modul Tatalaksana Organisasi KPU 2009 Pusdiklat BC -
dan KPPBC Madya untuk DTSS KI
Modul Transaksi Perdagangan 2009 Pusdiklat BC -
Internasional untuk Diklat PFPD
Modul Teknik Perdagangan 2009 Pusdiklat BC -
Internasional untuk DTSS PCA
Modul Konsep Intelijen untuk DTSS 2010 Pusdiklat BC -
Intelijen
Modul Kegiatan Intelijen untuk 2010 Pusdiklat BC -
DTSS Intelijen
Modul Pemetaan dan pelaporan 2010 Pusdiklat BC -
Intelijen Taktis

Model Sasaran Operasi Intelijen 2010 Pusdiklat BC -


untuk DTSS Intelijen Taktis
Modul Tatakerja Pemeriksaan Fisik 2010 Pusdiklat BC -
Barang Dengan Alat Pemindai dan
Analisis Temuan Pelanggaran
untuk DTSS Ketrampilan
Penggunaan HICO Scan
Bahan Ajar Teknis Cukai I untuk 2010 STAN -
Program Diploma III

hal | 252
Modul Prinsip Dasar Cukai untuk 2011 Pusdiklat BC -
DTSS Cukai Lanjutan
Modul Perizinan Cukai untuk DTSS 2011 Pusdiklat BC -
Cukai Lanjutan
Modul Penetapan Tarif dan Harga 2011 Pusdiklat BC -
Dasar BKC untuk DTSS Cukai
Lanjutan
Modul Pelunasan Cukai untuk 2011 Pusdiklat BC -
DTSS Cukai Lanjutan
Modul Fasilitas Cukai untuk DTSS 2011 Pusdiklat BC -
Cukai Lanjutan
Modul Teknis Cukai II untuk 2011 STAN -
Program Diploma III

Tangerang Selatan, Agustus 2013


Surono

hal | 253

Anda mungkin juga menyukai