Anda di halaman 1dari 33

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Jenis - Jenis Konstruksi Perkerasan


Menurut Hardiyatmo (2015), ada dua macam jenis konstruksi perkerasan
antara lain sebagai berikut:
1. Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)
Perkerasan lentur adalah perkerasan yang paling kita sering kita jumpai dan paling
sering digunakan di Indonesia. Ada tiga susunan lapisan utama dari perkerasan
lentur ialah:
- Lapisan Permukaan (surface course)
- Lapisan Pondasi (base course)
- Lapisan Pondasi Bawah (subbase course)
Pada Gambar 2.1. dapat dilihat struktur-struktur lapisan yang ada pada
perkerasan lentur. Pada perkerasan lentur sendiri kekuatan perkerasan diperoleh
dari ketebalan lapisan utama yaitu lapisan pondasi bawah (subbase), pondasi
(base), dan lapisan permukaan (surface course). Pada lapis permukaan sendiri
terbagi menjadi 2 lapis yaitu lapis aus (wearing course) dan lapis pengikat
(binder course) yang ditempatkan secara terpisah satu sama lainnya. Untuk lapis
pondasi dan pondasi bawah bisa ditempatkan dengan bentuk komposit dan
tersusun atas 4 material-material yang cukup berbeda. Yang mana 4 material itu
ialah pondasi atas (upper base), pondasi bawah (lower base), pondasi bawah
bagian atas (upper subbase), serta pondasi bawah bagian bawah (lower subbase).
Pada perkerasan lentur yang memiliki tanah yang lunak, maka solusinya adalah
dengan membuat lapisan penutup (capping layer) ditempatkan tepat di antara lapis
pondasi bawah dan tanah dasar. Kemudian, permukaan tanah pondasi tersebut
dijadikan bagian bawah dari material pondasi bawah serta memungkinkan untuk
bagian atas tanah menjadi distabilisasi (menjadi bahan campuran dengan semen dan
kapur).

6
7

Gambar 2.1 Lapisan Perkerasan Lentur (Analisa Komponen 1987)

Pada perkerasan lentur kapasitas dukung murni nya diperoleh dari


karakteristik distribusi beban dan sistem lapisan pembentuknya. Pada umumnya
material-material dengan kualitas yang tinggi ditempatkan dekat dengan lapisan
permukaan pada perkerasan lentur. Oleh karena itu, kekuatan pada perkerasan
lentur dapat dihasilkan dengan kerjasama antara lapisan-lapisan yang cukup tebal
selanjutnya menyebarkan beban-beban tersebut ke tanah dasar (subgrade)
sehingga mampu meredam dan menahan beban beban yang bekerja. Untuk
perencanaan tebal perkerasan sendiri sangat dipengaruhi oleh kekuatan dari tanah
dasar.

2. Perkerasan Kaku (Rigid Pavement)


Perkerasan kaku adalah perkerasan yang terbuat dari lapisan pelat beton
semen sebagai bahan pengikatnya dan oleh kekakuan serta modulus elastisnya
yang tinggi sehingga menyebabkan beban kerja menyebar ke arah area yang
lebih luas ke tanah. Jadi, kekuatan utama dari struktur perkerasan kaku terletak
di pelat beton itu sendiri. Pelat beton itu sendiri biasa tersusun atas beton dengan
tulangan dan tanpa tulangan yang diletakkan tepat diatas lapis pondasi bawah
atau tepat diatas tanah dasar lalu diatasnya pada lapisan permukaan bisa dilapisi
dengan aspal maupun tanpa aspal.
Perkerasan kaku biasanya tersusun atas 2 lapis yaitu pelat beton dan
pondasi bawah. Adakalanya digunakan lapisan permukaan aspal pada perkerasan
kaku dengan ditambahkannya pada saat pembangunan maupun sesudahnya. Pada
perkerasan kaku lapisan pondasi bawah memiliki fungsi sebagai berikut:
- Tempat mengendalikan pengaruh dari pumping.
- Sebagai tempat lapisan untuk drainase
8

- Mampu mengendalikan aksi pembekuan


- Mampu mengendalikan kembang susut dari tanah dasar
- Mempermudah pelaksanaan
- Mampu mengurangi retakan pada pelat beton.
Pada perkerasan kaku pelat beton semen pada umumnya memiliki sifat
kekakuan yang cukup sehingga mampu menyebarkan beban secara merata ke
bidang area yang lebih luas dan memberi beban kerja serta tegangan yang lebih
kecil atau ringan untuk lapisan di bawahnya. Pelat beton juga bisa diletakkan
tepat diatas material komposit dengan menggunakan agregat yang berbeda
dengan lapisan diatasnya maupun lapisan dibawahnya.
Sesuai dengan kondisi pada perkerasan kaku, perkerasan beton dapat
berupa pelat beton dengan tulangan maupun pelat beton tanpa tulangan. Dapat
juga diberi tulangan secara kontinyu atau berlanjut, prategang, maupun dengan
beton fiber. Pada Gambar 2.2. dapat dilihat struktur perkerasan kaku yang
terdiri atas lapisan tanah, pelat beton, dan lapis permukaan.

Gambar 2.2 Struktur Perkerasan Kaku (Hardiyatmo 2015)


Pada Tabel 2.1. dapat dilihat perbedaan utama atau mendasar antara
perkerasan lentur dan perkerasan kaku adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1 Perbandingan Perkerasan Lentur dan Kaku
No Keterangan Perkerasan Lentur Perkerasan Kaku
1 Bahan pengikat Aspal Semen
2 Repetisi beban Timbul rutting (lendutan Timbul retak – retak
pada jalur roda) pada permukaan
3 Penurunan tanah dasar Jalan bergelombang Bersifat sebagai balok di
(mengikuti tanah dasar) atas perletakan
4 Perubahan temperatur Modulus kekakuan Modulus kekakuan tidak
berubah. berubah.
Timbul tegangan dalam Timbul tegangan dalam
yang kecil yang besar
Sumber: Sukirman (1999)
9

2.2. Kerusakan Jalan

2.2.1 Jenis – jenis Kerusakan Jalan


Pada umumnya kerusakan jalan terjadi pada lapisan permukaan, lapisan di
bawah permukaan dan juga pada struktur jalan. Berdasarkan letak atau tempat
kerusakan kerusakan jalan terdiri dari 2 macam yaitu kerusakan fungsional jalan
yang mana kerusakannya terjadi pada permukaan jalan dan kerusakan struktural
yang mana kerusakannya terjadi pada lapisan bawah permukaan atau struktural
jalan. Di bawah ini adalah uraian singkat tentang 2 macam kerusakan jalan
tersebut.
1. Kerusakan Fungsional
kerusakan ini adalah kerusakan yang pada umumnya sering terjadi atau
terletak pada lapisan permukaan jalan atau pada aspalnya. Kerusakan ini
dapat menyebabkan fungsi jalan tidak berjalan dengan baik dalam
menjalankan tugasnya yaitu memberikan pelayanan yang baik dan nyaman
bagi pengguna jalan tersebut. Pada kerusakan ini sebenarnya jalan sudah
tidak optimal lagi dalam memberikan pelayanan lalu lintas secara aman dan
nyaman bagi pengemudinya, namun masih dapat menampung atau menahan
beban yang bekerja di atasnya. Pada beberapa kasus kerusakan fungsional
sendiri memiliki beberapa indikasi kerusakan ialah kerusakan yang terjadi
pada lapisan permukaan jalan maupun kerusakan yang terjadi pada lapisan
tepi permukaan jalan.
2. Kerusakan Struktural
Kerusakan ini adalah kerusakan yang sering terjadi atau kerusakan yang terletak
tepat pada struktur jalan atau pada lapisan bawah permukaan. Pada kerusakan ini
jalan yang mengalami kerusakan sudah tidak dapat lagi menampung atau
menerima beban-beban yang bekerja diatasnya sehingga jika dibiarkan saja dapat
menyebabkan kerusakan yang cukup serius pada struktur jalan seperti terjadinya
retakan maupun perubahan bentuk lapisan permukaan jalan tersebut. Kerusakan
structural sendiri merupakan kerusakan yang cukup serius sehingga sangat
perlunya penanganan yang cepat dan optimal. Adapun upaya yang dapat
dilakukan untuk penanganan kerusakan ini adalah dengan melakukan perkuatan
10

structural jalan dengan cara memberi lapisan tambahan atau lapis ulang jalan
maupun mendesain struktur jalan tersebut menggunakan perkerasan kaku
(overlay) atau beton semen (rigid pavement).
2.2.2 Penyebab Kerusakan Jalan
Menurut Sukirman (1999) ada beberapa faktor atau hal penyebab kerusakan
pada konstruksi jalan adalah sebagai berikut:
1. Lalu lintas, dimana setiap tahunnya selalu mengalami perubahan peningkatan
kendaraan dan repetisi beban yang terjadi
2. Air, dimana terdapatnya sistem drainase jalan yang jelek sehingga
menyebabkan air yang datang dari hujan mengalami kapilaritas akibat naiknya
air tersebut.
3. bahan-bahan penyusun dari konstruksi perkerasan itu sendiri. Sehubungan
dengan kasus ini penyebabnya adalah akibat dari pengolahan material atau
bahan yang tidak optimal dan efisien.
4. Iklim. Seperti yang kita telah ketahui bersama indonesia beriklim tropis, yang
mana curah hujan pada umumnya cukup tinggi sehingga menyebabkan
terjadinya kerusakan pada jalan tersebut.
5. Kestabilan tanah dasar. Dalam kasus ini biasanya dapat terjadi karena sifat dari
tanah dasar itu sendiri yang jelek maupun pada proses pengerjaan di lapangan
yang tidak sempurna.
6. kurang optimalnya proses pekerjaan pemadatan langsung lapisan yang terdapat
di atas tanah dasar
Pada umumnya jalan yang mengalami kerusakan terjadi tidak hanya
diakibatkan dari faktor-faktor di atas saja, namun bisa juga disebabkan oleh
beberapa hal yang saling mengaitkan satu sama lain sehingga terjadilah gabungan
dari penyebab-penyebab tersebut.
Ada tiga hal yang perlu dievaluasi dalam menentukan kerusakan yang terjadi pada
jalan, ialah:
a) Penyebab kerusakan serta jenis-jenis dari kerusakan tersebut.
b) Tingkatan-tingkatan atau level dari kerusakan tersebut.
c) Total jumlah dari kerusakan yang terjadi
11

2.2.3 Indeks Kondisi Perkerasan (Pavement Condition Index)


Pavement Condition Index (PCI) merupakan penilaian yang dilakukan pada
kondisi permukaan jalan serta menilai dan meninjau ukuran berdasarkan fungsi
dari daya guna yang mengacu pada tingkat kondisi kerusakan yang terletak pada
lapisan permukaan perkerasan jalan (Hardiyatmo, 2015). Untuk memperoleh
Nilai dari PCI serta penilaian terhadap kondisi perkerasan jalan tersebut dapat
dilihat pada Tabel 2.2 yang dimulai dengan kondisi gagal sampai pada kondisi
sempurna.
PCI ini sendiri ialah indeks penilaian numerik dimana nilainya berkisar dari
angka 0 sampai dengan angka 100. Yang mana nilai itu nol sendiri menunjukkan
atau menyatakan bahwasanya perkerasan jalan tersebut sedang dalam kondisi
yang sangat parah atau gagal dan nilai 100 itu menunjukkan atau menyatakan
bahwa perkerasan jalan tersebut dalam kondisi yang masih sempurna.
Tahapan dari penilaian PCI itu sendiri berdasarkan tingkat kerusakan
perkerasan dikelompokkan dari 3 yang menjadikan faktor tersebut menjadi faktor
utama, adalah sebagai berikut:
a. Tipikal dari kerusakan pada jalan itu sendiri
b. Tingkatan atau level kerusakan yang seberapa parah
c. Total dari jumlah serta kerapatan yang terdapat pada kerusakan tersebut
Tabel 2.2 Nilai PCI dan Kondisi Perkerasan Jalan
Nilai PCI Kondisi
86 – 100 Sempurna (Exelent)
71 – 85 Sangat baik (Very good)
56 - 70 Baik (Good)
41 – 55 Sedang (Fair)
26 -40 Buruk (Poor)
11 – 25 Sangat buruk (Very poor)
0 – 10 Gagal (Failed)
Sumber: Hardiyatmo (2015)

a. Kadar Kerusakan / Kerapatan (Density)


Kadar kerusakan atau Kerapatan (Density) merupakan perbandingan
antara nilai persentase dari luasan kerusakan suatu jenis dengan jumlah total
nilai luasan dari beberapa unit segmen yang diukur dalam satuan meter
12

panjang maupun meter persegi.


Nilai dari density pada suatu jenis kerusakan dapat dibagi juga menurut
tingkat atau level kerusakannya yang seberapa parah.
suatu jenis kerusakan dibedakan juga berdasarkan tingkat kerusakannya.
Rumus mencari nilai density:
Density = (Ad/As) x 100% …………………………………………(2.1)
Atau Density = (Ld/As) x 100% ………………………………………….(2.2)
dengan,
Ad = luas total dari satu jenis perkerasan untuk setiap tingkat keparahan
kerusakan (m2)

As = luas total unit sampel (m2)


Ld = panjang total jenis kerusakan untuk tiap tingkat keparahan kerusakan
Luas total (Ad) pada rumus diatas adalah total keseluruhan dari
penjumlahan beberapa dimensi luasan dari kerusakan yang mana kerusakan
tersebut memiliki kerusakan yang sejenis atau sama. Luasan pada suatu jenis
perkerasan dihitung juga menggunakan rumus (2.1) sesuai dengan level
keparahan kerusakan atau tingkatan dari kerusakan tersebut.
b. Nilai Pengurangan (Deduct Value)
Nilai pengurangan (DV) itu sendiri merupakan besaran dari nilai
pengurangan terhadap tiap-tiap macam kerusakan yang terjadi dan dapat
diperoleh dari kurva atau grafik hubungan antara density dan tingkat
keparahan kerusakannya. Nilai pengurangan sendiri memiliki beberapa
perbedaan sesuai dengan jenis jenis kerusakannya. Terdapat beberapa grafik
dan nomogram yang didapat dipakai sesuai dengan jenis atau tipe kerusakan
dari jalan tersebut. Misalnya, kerusakan dengan jenis retak memanjang dan
melintang, yang mana apabila nilai density dari kerusakan tersebut dan
seberapa parah kerusakannya diketahui maka dari itu nilai DV bisa didapatkan
melalui pembacaan menggunakan grafik nilai pengurangan retak melintang
dan memanjang yaitu dengan menghubungkan nilai density dengan kurva
tingkat kerusakan (Low, Medium, atau, Hard). Caranya dengan membuat
sebuah garis vertikal keatas nilai density sampai memotong atau berimpit pada
13

garis lengkung kurva level kerusakan yang diperoleh, kemudian setelah itu
menarik garis secara horizontal ke arah kiri dengan lurus sampai memperoleh
nilai DV, bisa dilihat pada Gambar 2.3.
Besaran nilai DV yang telah didapatkan harus sudah dicocokkan atau
disesuaikan dengan tipikal struktur dari perkerasan jalan yang digunakan
seperti contoh perkerasan menggunakan lapisan dengan aspal maupun
perkerasan menggunakan lapisan beton dan semen. Terdapat perbedaan
mendasar dalam penggunaan nilai DV antara perkerasan menggunakan aspal
dan perkerasan menggunakan beton. Nilai DV yang digunakan untuk
perkerasan aspal ialah lebih besar atau sama dengan 2 (q>2 atau q=2) yang
berarti nilai minimum atau nilai yang boleh dipakai wajib lebih besar dari
angka 2. Sementara, nilai DV yang akan digunakan oleh perkerasan
menggunakan beton ialah lebih besar atau sama dengan 5 (q>5 atau q=5) yang
memiliki arti bahwa nilai minimum atau nilai yang boleh dipakai ialah harus
atau wajib lebih besar dari angka 5. Dan juga, bisa terjadi kemungkinan
bahwa hanya terdapat 1 nilai DV maka dapat secara langsung memakai nilai
TDV sebagai nilai pengurangan. Namun sebaliknya, Jika terdapat nilai DV
yang lebih dari satu maka yang dilakukan adalah dengan mencari nilai CDV
maksimum.

Gambar 2.3 Grafik Nilai Pengurang Retak Buaya (Hardiyatmo, 2015)


14

Besaran nilai DV yang telah didapatkan harus sudah dicocokkan atau


disesuaikan dengan tipikal struktur dari perkerasan jalan yang digunakan
seperti contoh perkerasan menggunakan lapisan dengan aspal maupun
perkerasan menggunakan lapisan beton dan semen. Terdapat perbedaan
mendasar dalam penggunaan nilai DV antara perkerasan menggunakan aspal
dan perkerasan menggunakan beton. Nilai DV yang digunakan untuk
perkerasan aspal ialah lebih besar atau sama dengan 2 (q>2 atau q=2) yang
berarti nilai minimum atau nilai yang boleh dipakai wajib lebih besar dari
angka 2. Sementara, nilai DV yang akan digunakan oleh perkerasan
menggunakan beton ialah lebih besar atau sama dengan 5 (q>5 atau q=5) yang
memiliki arti bahwa nilai minimum atau nilai yang boleh dipakai ialah harus
atau wajib lebih besar dari angka 5. Dan juga, bisa terjadi kemungkinan
bahwa hanya terdapat 1 nilai DV maka dapat secara langsung memakai nilai
TDV sebagai nilai pengurangan. Namun sebaliknya, Jika terdapat nilai DV
yang lebih dari satu maka yang dilakukan adalah dengan mencari nilai CDV
maksimum.

c. Nilai Pengurang Total (Total Deduct Value)


Nilai pengurangan total atau TDV merupakan jumlah total nilai dari masing
masing nilai DV untuk tiap-tiap jenis dan tipe kerusakan serta tingkat
keparahan dari kerusakan yang terjadi atau terdapat pada suatu segmen dari
penelitian tersebut.
d. Nilai Pengurang Terkoreksi (Corrected Deduct Value)
Nilai Pengurangan Terkoreksi atau CVD didapatkan melalui kurva grafik dari
hubungan nilai pengurangan terkoreksi atau TDV dengan nilai deduct value
atau DV. Penggunaan Nilai DV adalah dengan memakai nilai yang mana
harus melebihi atau sama dengan 2 (q=2) dan langsung dikoreksi dengan
meninjau dari nilai pengurangan yang diizinkan (mi),
9
mi = 1 + ( )(100 – HDVi) ………………………………………………..(2.3)
98

dengan,
mi = nilai pengurang ijin
15

HDVi = nilai pengurang DV tertinggi (Highest Deduct Value)


Nilai mi merupakan nilai acuan dalam menggunakan nilai DV, Langkah
mencari nilai DV:
1. Gunakan nilai DV yang lebih besar dari 2 (q = 2), andaikan ada 4 nilai
DV.
2. Hitung nilai mi.
3. Bandingkan nilai mi dengan jumlah nilai DV pada poin 1 (satu), apabila
nilai mi yang dihitung adalah 5, maka mi > nilai DV, atau nilai mi = 5 >
nilai DV = 4, artinya semua data nilai DV harus digunakan dalam
perhitungan selanjutnya. Apabila nilai mi < nilai DV maka nilai yang
dipakai adalah nilai DV yang lebih besar dari 2 (dua), yaitu q = 2.
Untuk memperoleh nilai pengurangan yang terkoreksi atau TDV dari
total penjumlahan beberapa nilai deduct value atau DV, maka perlu
dilakukannya beberapa percobaan iterasi sampai didapatkannya nilai q sama
dengan 1 dimana itu merupakan nilai TDV yang sama dengan nilai CDV.
Contohnya sebagai berikut:
1. Terdapat 4 buah Nilai DV yang dimiliki.
2. Nilai DV yang dimiliki 4 maka dari itu nilai q = 4, setelah itu lakukan
penjumlahan dari semua total nilai tersebut sehingga menghasilkan nilai
TDV, lalu menggunakan nomogram grafik hubungan nilai TDV dengan
nilai CDV (q=4) seperti yang terlihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Nilai Pengurang Terkoreksi (CDV) (Hardiyatmo, 2015)


16

3. Kemudian melanjutkan iterasi-iterasi tersebut dengan menggantikan salah satu


angka dari keempat nilai DV tersebut dimana yang digantikan adalah nilai DV
terkecil menjadi q=2, lalu menjumlahkan semua total nilai DV sehingga
menghasilkan nilai DV. Setelah itu, baru menggunakan Gambar 2.4 yaitu
grafik untuk mendapatkan nilai CDV dengan nilai q=3.
4. Iterasi berikutnya ialah dengan menggantikan 2 angka dari keempat nilai DV
tersebut dimana yang digantikan adalah nilai DV terkecil menjadi q=2, lalu
menjumlahkan semua total nilai DV sehingga menghasilkan nilai DV. Setelah
itu, baru menggunakan Gambar 2.4 yaitu grafik untuk mendapatkan nilai CDV
dengan nilai q=2.
5. Iterasi berikutnya ialah dengan menggantikan 3 angka dari keempat nilai DV
tersebut dimana yang digantikan adalah nilai DV terkecil menjadi q=3, lalu
menjumlahkan semua total nilai DV sehingga menghasilkan nilai DV. Setelah
itu, baru menggunakan Gambar 2.4 yaitu grafik untuk mendapatkan nilai CDV
dengan nilai q=1.
Setelah mendapatkan nilai CDV sesuai perhitungan dari langkah 1
sampai langkah ke 4 seperti contoh iterasi di atas, maka dipakailah nilai CDV
maksimum atau nilai yang paling besar agar mendapatkan nilai PCI sesuai
dengan rumus yang di bawah ini,
PCI(s) = 100 – CDV …………………...............................................................(2.4)
dengan,
PCI(s) = Pavement Condition Index untuk tiap unit
CDV = Corrected Deduct Value untuk tiap unit
Untuk nilai PCI secara keseluruhan:
PCI = (∑PCI(s) / N) ……………....................................................................(2.5)
dengan,
PCI = Nilai PCI perkerasan keseluruhan
PCI(s) = Nilai PCI untuk tiap unit
N = Jumlah unit
17

2.2.4 Jenis-jenis Kerusakan yang Terjadi pada Perkerasan Lentur


Jenis-jenis kerusakan jalan yang terjadi pada perkerasan lentur mengacu
pada Manual Pemeliharaan Jalan Nomor; 03/MN/B//1983 dibedakan menjadi
beberapa jenis antara lain sebagai berikut:
• Retak (Cracking)
Pengelompokan jenis retakan yang mana terdapat pada lapisan permukaan
tersusun atas beberapa jenis, sebagai berikut:
Retak halus (hair cracking) dapat dilihat pada Gambar 2.5, memiliki lebar
celah yang tidak melebihi atau sama dengan 3 mm. contoh dari penyebab
terjadinya retak yang halus biasanya adalah material konstruksi penyusun
perkerasan yang kurang baik, atau bisa juga disebabkan oleh tanah dasar dan
perkerasan bagian bawah yang tidak memiliki kestabilan. Pada retak ini sendiri
dapat menyebabkan terserapnya air ke dalam struktur lapisan permukaan. Upaya
rehabilitasi atau pemeliharaan serta penanganan dari retak halus ialah penggunaan
lapis latasir atau buras. Retak ini juga jika dibiarkan terus menerus dapat
menyebabkan retak tersebut berkembang dan meluas menjadi retak kulit buaya.

Gambar 2.5 Retak Halus (Sukirman, 1999)


Retak kulit buaya (alligator crack) dapat dilihat pada Gambar 2.6, memiliki
lebar retakan yang melebihi atau sama dengan 3 mm. retak ini biasanya retak-retak
kecil maupun halus yang terjadi dan berkembang dan saling merangkai satu sama lain
membentuk rangkaian kotak-kotak kecil mirip dengan punggung kulit buaya.
Penyebab terjadinya retak ini biasanya akibat dari struktur perkerasan yang kurang
optimal seperti retak halus, pelapukan yang terdapat permukaan, serta bahan lapisan
pondasi yang sedang dalam keadaan jenuh (air tanah naik). Seperti yang sudah
18

diketahui bahwa luasan retak kulit buaya tidak cukup luas. Namun, bila terdapat area
dengan luasan yang luas, maka hal itu bisa disebabkan oleh beban yang dapat dipikul
oleh jalan tersebut sudah tidak mampu menahan atau menerima repetisi beban lalu
lintas yang semakin meningkat pada kawasan tersebut. Biasanya penanganan pada
kasus seperti ini adalah dengan penggunaan lapisan burda, burtu, atau pun laston jika
celah yang dimiliki kurang dari atau sama dengan 3 mm. Retak buaya akibat repitisi
beban dapat ditangani dengan cara memberi lapis tambahan. Karena jika tidak
ditangani lama kelamaan air yang meresap dapat menyebabkan lubang-lubang
sehingga terjadinya pelepasan butiran-butiran aspal permukaan.

Gambar 2.6 Retak Buaya (Sukirman, 1999)

Retak susut dapat dilihat pada Gambar 2.7 merupakan retakan yang terjadi
tunggal atau single tidak dapat bersambung satu sama lain yang dapat menyebar
secara melintang dan memanjang pada perkerasan jalan tersebut. Biasanya retak
ini dapat disebabkan oleh beban-beban kerja lalu lintas yang dapat menimbulkan
batas kuat Tarik telah terlampaui oleh besarnya tegangan dan regangan, dan juga
dapat terjadi juga akibat gerakan perkerasan, perubahan temperatur, dan penuaan
akibat bahan pengikat aspal yang telah menyusut. Retak ini dapat ditangani
dengan cara mengisi retakan sehingga mereduksi air yang masuk ke dalam
perkerasan.
19

Gambar 2.7 Retak Susut (Sukirman, 1999)


Retak selip (slippage cracks) dapat dilihat pada Gambar 2.8, dimana retak
tersebut berbentuk menyerupai bulan sabit. Biasanya penyebab utama dari retak
ini adalah akibat dari gaya-gaya horizontal yang bekerja pada kendaraan yang
melintasi retak tersebut. Selain itu, retak ini juga dapat disebabkan oleh debu,
minyak, dan lain-lainnya yang menyebabkan lapisan permukaan aspal dan lapisan
di bawahnya mengalami kekurangan ikatan yang kuat. Retak ini dapat ditangani
dengan melakukan pembongkaran pada bagian lapisan aspal yang mengalami
kerusakan, lalu dilakukan penambalan permukaan.

Gambar 2.8 Retak Selip (Sukirman, 1999)


• Distorsi (Distortion)
Kekuatan dari tanah dasar yang lemah, proses pelaksanaan pemadatan yang
tidak sempurna pada struktur lapis pondasi ialah yang menyebabkan terjadinya
distorsi.
Distorsi itu sendiri dibedakan menjadi beberapa jenis, antara lain sebagai berikut:
1) Alur dapat dilihat pada Gambar 2.9. biasanya disebabkan oleh penurunan
permukaan jalan. Penurunan tersebut dapat terjadi akibat dari beban kerja lalu
lintas yang berulang-ulang secara terus menerus pada lintasan roda yang
20

sejajar dengan as jalannya. Alur dapat terlihat secara jelas ketika terjadi hujan
dan terdapat genangan air pada permukaan jalan setelah hujan. Alur juga
dapat disebabkan oleh hal-hal lain contohnya proses pemadatan yang kurang
sempurna, campuran bahan aspal yang memiliki stabilitas bahan yang rendah.
Proses penanganannya adalah dengan pemberian lapis tambahan sesuai
dengan lapisan permukaan.

Gambar 2.9 Alur (Sukirman, 1999)

2) Bergelombang atau keriting dapat dilihat pada Gambar 2.10 terjadi pada
melintang jalan. Akibat adanya deformasi plastis yang menyebabkan
gelombang gelombang melintang pada perkerasan jalan. Pada saat keriting
muncul pada lapisan permukaan maka jalan tersebut sudah tidak optimal atau
maksimal dalam memberikan pelayanan karena memberikan rasa yang tidak
aman dan nyaman kepada pengemudi jalan itu sendiri keriting biasanya
terjadi karena persentase campuran yang tidak seimbang atau kelebihan dan
kekurangan dalam kadar aspalnya, penggunaan agregat halus yang
berlebihan, serta stabilitas campuran yang rendah. Ada pula upaya
penanganan yang dapat dilakukan untuk menangani kerusakan berjenis
keriting adalah sebagai berikut:
a. Perbaikan yang paling baik dilakukan ialah menambal diseluruh
kedalaman.
b. Pemberian lapis ulang jalan atau lapisan tambahan untuk keriting dangkal
yang telah di bongkar.
21

Gambar 2.10 Keriting (Sukirman, 1999)

3) Sungkur (shoving) dapat dilihat pada Gambar 2.11 yaitu terjadinya


perpindahan permukaan perkerasan jalan dalam bentuk permanen secara
memanjang dan melintang yang diakibatkan oleh beban lalu lintas yang selalu
meningkat. Biasanya juga dapat disebabkan sama seperti kerusakan keriting.
Retak ini dapat ditangani dengan cara sama seperti cara penanganan pada
kerusakan keriting.

Gambar 2.11 Shoving (Sukirman, 1999)


4) Amblas dapat dilihat pada Gambar 2.12 yaitu terjadinya penurunan struktur
perkerasan jalan yang dapat terjadi pada kawasan atau area yang terbatas dan
juga memungkinkan diikuti dengan beberapa retakan yang terdapat di
kawasan tersebut. Proses penurunan itu sendiri terjadi dengan beberapa tanda
atau indikasi antara lain dengan terdapatnya beberapa genangan air pada
lapisan permukaan perkerasan. Beban lalu lintas yang tinggi dan telah
melampaui batas maksimal dari beban yang dapat ditahan oleh struktur
22

lapisan perkerasan menjadi faktor penyebab terjadinya penurunan dan jika


dibiarkan terus menerus akan menyebabkan amblas pada jalan tersebut.
Amblas dapat ditangani dengan cara perawatan permukaan dan penambalan
kulitnya atau penambalan pada seluruh kedalaman.

Gambar 2.12 Amblas (Sukirman, 1999)


• Cacat Permukaan (Disintegration)
Cacat permukaan adalah kerusakan yang terjadi pada lapisan permukaan. Cacat
permukaan kurang lebih masuk kedalam kerusakan fungsional jalan. Cacat
permukaan dibagi menjadi beberapa bagian yaitu:
a) Lubang yang dapat dilihat pada Gambar 2.13 berbentuk menyerupai sebuah
mangkuk dengan memiliki variasi ukuran dan kedalaman dari yang terkecil
sampai terbesar. Kerusakan berjenis lubang sendiri jika dibiarkan akan
menyerap air langsung ke dalam lapisan permukaan dan dalam waktu yang
tertentu akan mengalami kerusakan yang semakin parah.
b) Material campuran penyusun struktur perkerasan permukaan yang jelek,
contohnya:
- Material tersebut memiliki kadar aspal yang sangat rendah sehingga untuk
perkerasan dengan aspal tipis dapat dengan mudah terlepas.
- Ikatan atau bahan pengikat antara aspal dengan agregat jelek karena
agregatnya kotor.
- Temperature yang tidak baik dan tidak mampu memenuhi persyaratan
dalam campuran.
c) Jeleknya sistem drainase jalan sehingga banyaknya air yang meresap dan
23

menggenang di atas lapis permukaan.


d) Lapis struktur permukaan yang terlalu tipis yang menyebabkan ikatan antara
aspal dengan agregat mudah terlepas karena cuaca yang dapat berubah
sewaktu-waktu.
e) Retak-retak kecil dan sedang yang biarkan terus menerus atau tidak ditangani
secepat mungkin akan membuat air meresap ke seluruh lapisan permukaan
aspal dan mengakibatkan lubang kecil pada permukaan itu sendiri. Adapun
upaya penanganan yang dapat dilakukan ialah dengan cara membongkar
lapisan tersebut dan melapisinya kembali dengan sistem yang biasa disebut
tambalan dalam dapat bersifat secara permanen., yang dilakukan dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
• Air yang terdapat pada lubang tersebut dikuras sampai kering, begitu juga
dengan material yang terlepas dibersihkan dari lobang tersebut.
• Melakukan pembongkaran pada bagian lapisan permukaan serta lapisan
pondasi yang paling dalam sampai mencapai lapisan struktur yang terkuat
atau paling kokoh.
• Pemberian lapis pengikat berupa lapis tack coat.
• Pengisian serta pencampuran aspal secara teliti dan hati-hati agar tidak
menyebabkan segregasi.
• Melakukan pemadatan lapisan campuran sesuai dengan kawasannya.

Gambar 2.13 Lubang (Sukirman, 1999)


f) Pelepasan butir dapat dilihat pada Gambar 2.14, disebabkan kurang lebih
dengan hal yang sama seperti lubang. Pelepasan butir dapat menyebar secara
luas dan jika biarkan akan memberikan efek yang cukup signifikan bagi jalan
tersebut. Upaya penanganannya adalah dengan cara memberikan lapisan
24

tambahan atau lapis ulang pada lapisan yang terjadi pelepasan butir kemudian
dibersihkan dan dikeringkanlah lapisan tersebut.

Gambar 2.14 Pelepasan Butir (Sukirman, 1999)


g) Pengelupasan yang terjadi pada lapis permukaan aspal, penyebab utama dari
pengelupasan adalah lapisan permukaan yang terlalu tipis sehingga tidak
terjadinya atau tidak memiliki ikatan yang kuat antara lapisan permukaan dan
lapisan dibawahnya. Upaya penanganannya ialah dengan cara melakukan
penggarukan, perataan, dan pemadatan lalu memberi pelapisan dengan buras.

2.3 Upaya Penanganan Kerusakan Jalan


2.3.1 Perbaikan Jalan dengan Overlay
Perbaikan jalan menggunakan overlay mengacu pada pedoman
departemen permukiman dan prasarana yang dimuat dalam bentuk Pt T-01-2002-
B. Perbaikan ini sendiri dilakukan dengan cara memberi lapisan tambahan agar
dapat mengembalikan nilai kekuatan dan memberi tingkat kenyamanan dan
keamanan bagi pengemudi serta mengembalikan fungsi jalan dalam memberi
pelayanan kepada pengguna jalan. Perbaikan overlay sendiri memiliki tahapan –
tahapan pengerjaannya. Upaya perbaikan dengan overlay memiliki beberapa
tahapan-tahapan yaitu sebagai berikut:
1. Lalu-Lintas Harian Rata-Rata (LHR)
Untuk perhitungan lalu lintas harian (LHR) adalah dengan cara melakukan survey
pengamatan langsung serta peninjauan pada lokasi, kemudian dikelompokkan lah
beragam-ragam kendaraan sesuai dengan jenis dan beban sumbu kendaraan
tersebut dan dilakukan survey dalam 1 hari nonstop (24 jam full) dan dibagi per
15 menitan.
25

2. Koefisien Kekuatan Relatif (a) dari Tiap Jenis Lapisan


Nilai dari koefisien kekuatan relatif (a) yang sesuai dengan setiap jenis lapisan
perkerasan diperoleh dari Tabel 2.3. dan nilai dari kekuatan struktural perkerasan
jalan lama diperoleh dari Tabel 2.4.

3. Tebal Lapisan Jalan Lama


Pada umumnya struktur perkerasan lentur tersusun atas 3 lapisan penyusun, yaitu
lapisan permukaan aspal, lapisan pondasi, dan lapisan pondasi bawah. untuk
mendapatkan nilai ketebalan struktur lapisan jalan lama dapat diminta pada
Departemen Pekerjaan Umum tempat pelaksanaan atau setempat.
Tabel 2.3 Koefisien Kekuatan Relatif (a)
Koefisien kekautan relative Kekuatan bahan
a1 a2 a3 MS Kt CBR Jenis bahan
(kg) (kg/cm2) (%)
0.40 744
0.35 590
0.32 454 LASTON
0.30 340
0.35 744
0.31 590
0.28 454 Asbuton
0.26 340
0.30 340 Hot Rolled Asphalt
0.26 340 Aspal macadam
0.25 LAPEN (mekanis)
0.20 LAPEN (manual)
0.28 590
0.26 454 LASTON ATAS
0.24 340
0.23 LAPEN (mekanis)
0.19 LAPEN (manual)
0.15 22 Stabilitas tanah dengan semen
0.13 18
0.15 22 Stabilitas tanah dengan kapur
0.13 18
0.14 100 Pondasi macadam (basah)
0.12 60 Pondasi macadam (kering)
0.14 100 Batu pecah (kelas A)
0.13 80 Batu pecah (kelas B)
0.12 60 Batu pecah (kelas C)
0.13 70 Sirtu/pitrun (kelas A)
0.12 50 Sirtu/pitrun (kelas B)
0.11 30 Sirtu/pitrun (kelas C)
0.10 20 Tanah/lempung kapasiran
Sumber: Sukirman (1999)
26

Tabel 2.4 Koefisien Kekuatan Relatif (a)


Koefisien
BAHAN KONDISI PERMUKAAN kekuatan
relatif (a)

Lapis Terdapat sedikit atau sama sekali tidak terdapat retak kulit buaya dan/atau 0.35 – 0.40
permuk hanya
aan terdapat retak melintang dengan tingkat keparahan rendah
Beton
aspal <10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan rendah dan/atau
<5% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi 0.25 – 0.35

>10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan rendah dan/atau


<10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan sedang 0.20 – 0.30
dan/atau 5-10% retak melintang dengan tingkat keparahan
sedang dan tinggi
0.14 – 0.20
>10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan sedang dan/atau
<10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan tinggi dan/atau
>10% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi

>10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan tinggi dan/atau 0.08 – 0.15
>10% retak melintang dengan tingkat keparahan tinggi
Lapis Terdapat sedikit atau sama sekali tidak terdapat retak kulit buaya dan/atau 0.20 – 0.35
pondasi hanya
yang terdapat retak melintang dengan tingkat keparahan rendah
distabilisasi
<10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan rendah dan/atau 0.15 – 0.25
<5% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi

>10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan rendah dan/atau


<10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan sedang dan/atau 0.15 – 0.20
>5-10% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi

>10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan sedang dan/atau


<10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan tinggi dan/atau 0.10 – 0.20
>10% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi

>10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan tinggi dan/atau


>10% retak melintang dengan tingkat keparahan tinggi 0.08 – 0.15

Lapis Tidak ditemukan adanya pumping, degradation, or contamination by 0.10 – 0.14


pondasi atau fines.
Lapis
pondasi Terdapat pumping, degradation, or contamination by fines 0.00 – 0.10
bawah
granular
Sumber: Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2002)
28

4. Indeks Tebal Perkerasan Ada (ITPada)


Nilai Indeks tebal perkerasan ada didapat dengan cara melakukan perkalian antara
3 lapisan penyusun struktur perkerasan jalan dengan nilai koefisien kekuatan
relatif (a) yang telah didapat pada uraian di atasnya.
5. Angka Ekivalen Beban Gandar Sumbu Kendaraan (E)
Berdasarkan pada tabel bagian lampiran D tentang perencanaan Tebal Perkerasan
Lentur 2002 dapat ditentukan angka ekivalen (E) dari jenis-jenis golongan beban
gandar sumbu pada setiap kendaraan (hanya berlaku pada roda ganda) untuk roda
tunggal atau single agak berbeda dengan roda ganda. Rumus perhitungan untuk
roda tunggal ialah
𝐵𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑔𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑠𝑢𝑚𝑏𝑢 𝑡𝑢𝑛𝑔𝑔𝑎𝑙 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝐾𝑁 4……………….…..
Angka Ekuivalen = ( ) (2.6)
53 𝐾𝑁

6. Lalu-Lintas Pada Lajur Rencana


Lalu lintas yang direncanakan pada lajur rencana dalam bentuk nilai
kumulatif beban gandar standar merupakan bagian dari lalu lintas pada lajur
rencana (W18). Adapun untuk rumus perhitungan W18 atau lalu lintas pada lajur
rencana adalah sebagai berikut:
W18 = DD × DL × ŵ18 ………………………………………….....(2.7)
Dimana:
W18 = Beban gandar standar kumulatif untuk dua arah.
DD = Faktor distribusi arah = 0,5 (Pt T-01 2002-B)
DL = Faktor Distribusi Lajur (dari Tabel 2.5)
Biasanya nilai DD digunakan adalah 0,5 namun, ada beberapa penelitian yang
menggunakan nilai DD dengan variasi kisaran 0,3-0,7. Lalu lintas kumulatif pada
lajur selama umur rencana atau W18 merupakan atau menjadi nilai lalu lintas
yang akan dipakai untuk perhitungan perencanaan tebal perkerasan lentur.
Kemudian, besaran dari nilai lalu lintas tersebut diperoleh dengan cara
mengalikan nilai kumulatif beban gandar standar pada lajur umur rencana dengan
persentase dari nilai kenaikan lalu lintas atau pertumbuhan lalu lintas setiap
tahunnya pada daerah setempat. Secara keseluruhan rumus perhitungan lalu lintas
kumulatif dapat dilihat pada rumus di bawah ini:
29

(1+𝑔)𝑛 −1
W18 = W18pertahun x …………………………….……….(2.8)
𝑔

Dimana:
W18 = jumlah beban gandar tunggal standar komulatif
W18 pertahun = beban gandar standar komulatif selama 1 tahun
n = umur pelayanan (tahun)
g = perkembangan lalu lintas (%)
Tabel 2.5 Faktor Distribusi Lajur (DL)

Jumlah lajur % beban gandar standar


per arah dalam lajur rencana
1 100
2 80 – 100
3 60 – 80
4 50 – 75
Sumber: Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2002 )

7. Modulus Resilien
Modulus resilien merupakan parameter atau batasan-batasan dari tanah
dasar yang dipakai untuk perencanaan tebal perkerasan lentur berdasarkan
pedoman perencanaan ini. Nilai modulus resilien sendiri dapat diperoleh dari CBR
standar dikalikan dengan nilai koefisien 1500. Dimana nilai tersebut merupakan
hasil dari tes soil index. Rumus perhitungan modulus resilien dapat dilihat
dibawah ini
MR (psi) = 1.500 x CBR ………………......................................(2.9)
8. Reliabilitas
Reliabilitas merupakan konsep yang mengupayakan untuk menyertai suatu
nilai pasti dari derajat kepastian dan dimasukkan ke dalam proses perencanan
agar dapat menjamin beragam-ragam alternatif perencanaan yang dapat bertahan
sesuai dengan umur rencana yang direncanakan pada perencanaan. Reliabilitas
sendiri memiliki faktor-faktor perencanaan yang harus diperhitungkan yaitu
perkiraan kumulatif lalu lintas (W18) dan perkiraan dari kinerja (W18) itu
sendiri. Dan oleh karena itu jika mampu memberikan tingkat pelayanan
30

reliabilitas (R) maka struktur perkerasan akan dapat bertahan atau mampu
menjaga kondisinya sampai dengan waktu dan umur yang direncanakan.
Pemilihan tingkat reliabilitas yang lebih tinggi dapat menekan kinerja dari
volume lalu lintas dan kesukaraan dalam mengalihkan lalu lintas yang
diharapkan resikonya dapat ditekan. Berdasarkan pada Tabel 2.6 dapat dilihat
bahwa terdapatnya beberapa rekomendasi tingkat reliabilitas untuk masing-
masing klasifikasi jalan. Perlunya diketahui bahwa jalan yang melayani lalu
lintas yang banyak memiliki tingkat reliabilitas yang tinggi pula, sebaliknya jalan
yang melayani lalu lintas yang lebih rendah maka tingkat reliabilitasnya juga
rendah contohnya seperti jalan lokal.
Tabel 2.6 Rekomendasi Tingkat Reliabilitas Untuk Bermacam - macam
Klasifikasi Jalan.
Klasifikasi Jalan Rekomendasi tingkat reliabilitas
Perkotaan Antar Kota
Bebas Hambatan 85 – 99.9 80 – 99,9
Arteri 80 – 99 75 – 95
Kolektor 80 – 95 75 – 95
Lokal 50 – 80 50 – 80
Sumber: Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2002 .

9. Deviasi standar (So)


Nilai dari deviasi standar sendiri didapatkan dengan memilih klasifikasi
yang mampu mewakili kondisi sekitarnya atau setempat. Adapun rentang dari
nilai So itu sendiri adalah kisaran 0.40-0.50
10. Indeks Permukaan (IP)
Indeks permukaan merupakan besaran nilai dari kekuatan perkerasan
serta nilai dari ketidakrataan yang berhubungan langsung dengan tingkat
pelayanan dari beban lalu lintas yang melewati jalan tersebut. Adapun
klasifikasi dari nilai IP dijelaskan singkat dibawah ini:
IP = 2,5: menyatakan bahwa kondisi dari lapisan permukaan jalan masih baik dan
stabil.
IP = 2,0: menyatakan bahwa pelayanan minimum dari jalan tersebut masih
bisa dikatakan aman.
31

IP = 1,5: menyatakan bahwa pelayanan minimum dari jalan tersebut


masih memungkin untuk aman.
IP = 1,0: menyatakan bahwa lapisan permukaan jalan tersebut dalam kondisi
rusak berat sehingga menyebabkan lalu lintas pada jalan tersebut
terganggu.
Berdasarkan pada Tabel 2.7. dapat dilihat bahwa untuk bisa
menentukan nilai indeks permukaan atau IP sesuai dengan akhir umur rencana
maka harus perlunya mepertimbangkan faktor dari klasifikasi dari fungsional
jalan tersebut.
Tabel 2.7 Indeks Permukaan pada Akhir Umur Rencana (IPT)
Kualifikasi Jalan
Lokal Kolektor Arteri Bebas hambatan
1,0 – 1,5 1,5 1,5 – 2,0 -
1,5 1,5 – 2,0 2,0 -
1,5 – 2,0 2,0 2,0 – 2,5 -
- 2,0 – 2,5 2,5 2,5
Sumber: Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2002.
Selanjutnya berdasarkan dengan Tabel 2.8. tentang indeks permukaan awal
perencanaan atau IP0 maka diperoleh nilai dari indeks permukaan awal sesuai
umur rencana dengan mempertimbangkan atau memperhatikan material dari
lapisan permukaan perkerasan tersebut.
Tabel 2.8 Indeks Permukaan pada Awal Umur Rencana (IP0)
Jenis Lapis Perkerasan IP0 Ketidakrataan *) (IRI,
m/km)
LASTON ≥4 ≤ 1,0
3,9 – 3,5 > 1,0
LASBUTAG 3,9 – 3,5 ≤ 2,0
3,4 – 3,0 > 2,0
LAPEN 3,4 – 3,0 ≤ 3,0
2,9 – 2,5 > 3,0
Sumber: Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2002.
11. Indeks Tebal Perkerasan Perlu (ITP perlu)
Agar dapat memperoleh nilai indeks tebal perkerasan perlu atau ITP perlu
yang dipakai dalam perencanaan maka dapat dilihat pada Gambar 2.15 dibawah
ini.
32

Departemen Permukiman dan Prasarana wilayah, 2002

Gambar 2.15 Nomogram Untuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur


33

2.3.2 Perbaikan Jalan dengan Rigid Pavement


Perkerasan kaku (rigid pavement) merupakan jenis struktur perkerasan
jalan yang menggunakan plat beton semen sebagai pengganti aspal pada lapisan
permukaan. Plat beton tersebut terdiri dari plat beton semen tidak menerus tanpa
tulangan, tidak menerus dengan tulangan, menerus dengan tulangan, semen
prategang. Dimana, plat beton tersebut terletak di atas lapis pondasi bawah atau
tanah dasar. Untuk perencanaan perkerasan kaku mengacu pada pedoman
perencanaan dan pelaksanaan perkerasan jalan beton semen 2003 (Pd T-14-2003).
Kekuatan daya dukung yang utama pada perkerasan kaku biasanya terletak
pada plat beton itu sendiri. Selain itu, kekuatan perkerasan kaku (beton semen)
sangat dipengaruhi oleh tanah dasar baik sifatnya, daya dukung, maupun
keseragaman dari tanah itu sendiri. Kadar air pemadatan, kepadatan dan
perubahan kadar air selama masa pelayanan merupakan salah satu faktor yang
harus diperhatikan juga. Pada perkerasan kaku juga lapis pondasi bawahnya tidak
menjadi bagian utama dalam memikul beban, tetapi memiliki fungsi yang lain
antara lain sebagai berikut:
- Sebagai tempat pengendalian kembang susut tanah dasar.
- Sebagai tempat mencegahnya intrusi dan retakan pada tepi-tepi plat.
- Mampu memberi dukungan secara seragam pada plat.
- Selama masa pelaksanaan dapat menjadi lantai kerja
Plat beton sendiri memiliki sifat yang kaku dan mengikat serta dapat
menyebarkan beban yang bekerja secara merata ke seluruh bidang yang luas dan
memberi tegangan yang rendah pada lapisan di bawahnya. Pada perkerasan kaku
(beton semen) dapat dilapisi dengan lapisan campuran aspal dengan tebal 5 cm
agar dapat diantisipasi tingkat kenyamanan dan keamanannya.
1. Lalu-Lintas Rencana
Lalu lintas rencana merupakan proporsi sumbu serta distribusi beban
setiap jenis sumbu kendaraan yang dihitung berdasarkan jumlah kumulatif
sumbu kendaraan niaga yang berada pada lajur jalur rencana selama umur
rencana yang direncanakan. Pada suatu jenis sumbu beban yang bekerja
dikelompokkan dalam interval 10 kN (1 ton) sesuai dengan survei beban.
34

Untuk perhitungan jumlah sumbu kendaraan selama umur rencana


menggunakan rumus berikut:
JSKN = JSKNH x 365 x R x C ………………………..……..(2.10)
Dengan pengertian:
JSKN : Jumlah total sumbu kendaraan niaga selama umur rencana.
JSKNH : Jumlah total sumbu kendaraan niaga per hari pada
saat jalan dibuka.
R : Faktor pertumbuhan lalu-lintas.
C : Koefisien distribusi kendaraan.

Dimana nilai R atau faktor pertumbuhan lalu-lintas dihitung menggunakan rumus


dibawah ini
(1+𝑖)𝑈𝑅 −1
R= …………………………………………………...(2.11)
𝑖

Dengan pengertian:
R : Faktor pertumbuhan lalu lintas.
i : Laju pertumbuhan lalu lintas per tahun dalam %.
UR : Umur rencana (tahun).
2. Repetisi Sumbu Yang Terjadi
Dalam menghitung repetisi sumbu yang terjadi memiliki beberapa langkah-
langkah antara lain sebagai berikut:
a) Menghitung jumlah sumbu dan beban sumbu, serta proporsi beban kendaraan
b) Menghitung jumlah repetisi yang terjadi dengan mengalikan proporsi beban
dengan proporsi sumbu dengan lalu lintas rencana
c) Menghitung total kumulatif yang terjadi sesuai umur rencana.
3. Faktor Keamanan Beban
Faktor keamanan beban didapatkan dengan cara mengalikan beban sumbu
dengan faktor keamanan beban itu sendiri (FKB) pada penentuan beban rencana.
Pada Tabel 2.9. Didapatkan nilai (FKB) yang bisa digunakan untuk tingkat
reliabilitas perencanaan
35

Tabel 2.9 Faktor Keamanan Beban (FKB)


No. Penggunaan Nilai
1 Jalan bebas hambatan utama (major freeway) dan jalan berlajur banyak, yang FKB
aliran lalu-lintasnya tidak terhambat serta volume kendaraan niaga yang tinggi.
Bila menggunakan data lalu-lintas dari hasil survai beban (weight-in- motion) 1,2
dan adanya kemungkinan route alternative, maka nilai faktor keamanan beban
dapat dikurangi menjadi 1,15.
2 Jalan bebas hambatan (freeway) dan jalan arteri dengan volume kendaraan niaga 1,1
menengah.
3 Jalan dengan volume kendaraan niaga menengah 1,0
Sumber: Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2003.

4. CBR Efektif
Penentuan nilai CBR efektif didapatkan dari Gambar 2.16.

5. Tebal Taksiran Pelat Beton


Tebal plat beton yang direncanakan untuk menentukan tebal perkerasan
kaku ialah tebal taksiran plat beton. Dimana nilai tersebut didapat menggunakan
grafik yang dapat dilihat pada Gambar 2.17.
36

6. Analisa Fatik dan Erosi


Untuk mengontrol aman atau tidaknya taksiran tebal pelat beton yang
direncananakan maka dikontrol melalui perhitungan analisa fatik dan erosi.
7. Perencanaan Tulangan
Pada pelat beton tersebut harus adanya perencanaan tulangan. Pemasangan
tulangan tersebut bertujuan untuk:
- Dapat mengurangi penggunaan sambungan melintang karena dapat memakai
pelat yang lebih panjang.
- Mempertahankan kekuatan plat agar retakan tidak menyebar luas
- Lebih murah karena dapat mengurangi biaya rutin pemeliharaan
Perhitungan jumlah tulangan yang akan digunakan dapat dipengaruhi
oleh jarak antara sambungan susut. Untuk perkerasan dengan beton bertulang
menerus sambungan susut dapat dikurangi dengan penggunaan tulangan yang
secukupnya. Dalam hal pengendalian retak agar tidak menyebar perlu
dipasangnya tulangan. Penerapan tulangan sendiri pada pelat dapat dilaksanakan
ketika adanya bagian pelat yang mengalami keretakan akibat tidak dapat lagi
menahan tegangan atau beban yang bekerja. Maka dari itu penerapan tulangan
dapat dipakai pada saat:
- Pelat beton berbentuk tak lazim
37

- Pelat beton menggunakan sambungan non sejalur


- Pelat beton dengan lubang

2.4 Analisis Biaya


Analisa biaya disini ialah menghitung dan menganalisa biaya atau
anggaran dari harga satuan dasar upah tenaga kerja, harga sewa alat dan peralatan,
dan harga bahan atau material serta menganalisa harga satuan pekerjaan setempat
berdasarkan harga–harga yang terdapat pada lokasi pekerjaan. Untuk pekerjaan
yang dilakukan secara manual maka telah disediakannya tabel koefisien untuk
tenaga kerja, dan untuk pekerjaan yang dilakukan secara mekanis maka telah
tersedia pula koefisien dari alat berat, peralatan serta bahan berdasarkan dengan
analisa produktivitas.
Untuk analisa biaya sendiri memiliki beberapa komponen penting yaitu
tenaga kerja, bahan, dan biaya alat serta biaya lain -lain yang dihitung menjadi
overhead serta persentase dari pajak yang harus dibayar oleh penanggung jawab
proyek pada saat pelaksanaan proyek. Agar lebih memudahkan dalam
perhitungan anggaran biaya tersebut maka perlu dianalisa penggunaannya dari
komponen tenaga kerja, alat, dan bahan.
1. Analisa harga satuan dari peralatan
Analisa harga satuan peralatan berdasarkan biaya alat, biaya operator atau
sopir, tenaga mesin, kapasitas kerja alat, jam kerja, dan harga alat. Untuk
menghitung harga satuan peralatan maka perlu diketahui dulu biaya sewa masing-
masing peralatan yang akan digunakan. Lalu dikelompokkan semua peralatan
tersebut dari produksi terkecil sampai ke produksi terbesar. Untuk penggunaan
alat-alat yang produksinya lebih besar mengalami efisiensi yang minim sehingga
harus menunggu alat lain dengan produksi yang lebih kecil.
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑎𝑙𝑎𝑡
Harga satuan alat (Rp/Sat.Pek) = 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖 𝑝𝑒𝑘𝑒𝑟𝑗𝑎𝑎𝑛 ……………………..(2.12)

2. Analisa harga satuan dari tenaga kerja


Analisa harga satuan tenaga kerja berdasarkan keterampilan para pekerja
sesuai dengan jenis pekerjaannya dan sudah teruji. Untuk pekerjaan jalan sendiri
umumnya tenaga kerja yang dibutuhkan ialah sebagai pembantu pekerja dan
38

mandor atau kepala tukang. Maka dari itu untuk menghitung harga satuan tenaga
kerja dapat dilihat pada rumus dibawah ini
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑢𝑝𝑎ℎ 𝑡𝑒𝑛𝑎𝑔𝑎
Harga satuan tenaga (Rp/Sat.Pek) = ………....................(2.13)
𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖 𝑝𝑒𝑘𝑒𝑟𝑗𝑎𝑎𝑛

3. Analisa harga satuan dari bahan


Analisa harga satuan dari bahan ditentukan berdasarkan harga bahan pada
lokasi pengerjaan dan juga kuantitas serta kualitas dari bahan itu sendiri. Untuk
kualitas dan kuantitas dari bahan tersebut berdasarkan spesifikasi dari bahan yang
berlaku pada lokasi tersebut. Untuk perhitungan volume pekerjaan sendiri perlu
dianalisa juga kebutuhan bahan karena biasanya pada contoh perhitungan volume
pekerjaan dalam kondisi yang padat, sedangkan bahan yang dijual biasanya dalam
kondisi yang tidak padat. Maka, diperlukannya penyesuaian satuan dari volume
pekerjaan dengan satuan bahan yang dijual sehingga jika satuan nya sudah sesuai
bisa di kalikan.
Harga satuan tenaga (Rp/Sat.Pek) = Jumlah harga satuan bahan penyusun x
Kuantitas ……………………...(2.14)
4. Analisis biaya-biaya yang lainnya
Anggaran biaya lainya disini yang dimaksud adalah anggaran biaya alat
komunikasi, biaya transportasi kantor, administrasi yang ada pada kantor,
asuransi, pajak, dan lain – lain. Biaya ini sering digunakan dalam menghitung
AHSP dengan overhead yang biasanya berkisar dari 10% - 15% (tidak termasuk
PPN) sesuai lokasi pengerjaan.
5. Analisis harga satuan pekerjaan
Dalam menyusun AHSP diperlukannya harga satuan dasar upah, alat dan bahan
sesuai lokasi atau daerah pengerjaannya
Harga satuan pekerjaan = Biaya (alat+tenaga kerja+bahan) + Biaya lain…....(2.15)

2.5 Pemilihan Teknik Perbaikan


Proses Pemilihan teknik perbaikan pada ruas jalan Raya Surabaya –
Malang, Gempol adalah dengan menggunakan atau memberikan nilai dan poin
kepada teknik perbaikan overlay dan rigid pavement menyesuaikan dengan
beberapa pertimbangan. Dari hal – hal yang perlu dipertimbangi akan diberi
39

peringkat atau skor mulai dari 1 dengan penilaian klasifikasi sulit dan mahal, 2
dengan sedang, 3 dengan mudah dan murah. Setelah itu dijumlahkan semua skor
dari berbagai pertimbangan dan didapat lah perbaikan dengan skor atau nilai
tertinggi. Metode perbaikan dengan skor tertinggi lah yang akan digunakan
untuk perbaikan jalan pada ruas jalan Surabaya – Malang (khususnya Kecamatan
Gempol).

Anda mungkin juga menyukai