Anda di halaman 1dari 5

Museum Tekstil adalah sebuah institusi nirlaba atau juga bisa disebut sebagai lembaga edukasi

dengan salah satu fungsinya yaitu melestarikan tekstil tradisional di Indonesia.


Museum ini berlokasi di gedung tua di Jalan K.S. Tubun / Petamburan No. 4 Tanah
Abang, Jakarta Barat, di atas areal seluas 16.410 meter persegi.
Museum Tekstil merupakan sebuah cagar budaya yang secara khusus mengumpulkan,
mengawetkan, serta memamerkan karya-karya seni yang berkaitan dengan pertekstilan
Indonesia.
Gedungnya sendiri pada awalnya merupakan rumah pribadi dari seorang warga negara Perancis
yang dibangun pada abad ke-19.
Setelah mengalami perpindahan kepemilikan beberapa kali, akhirnya pada tahun 1952 gedung ini
dibeli oleh Departemen Sosial.
Kemudian pada tanggal 25 Oktober 1975 gedung ini diserahkan kepada Pemda DKI Jakarta yang
selanjutnya diresmikan penggunaannya oleh Ibu Tien Soeharto sebagai Museum Tekstil pada
tanggal 28 Juni 1976.

Museum Tekstil (tribunnews.com)


Baca: Museum Penerangan
Baca: Taman Mekarsari

 Sejarah
Gedung yang digunakan sebagai museum ini awalnya merupakan gedung rumah pribadi milik
seorang warga Negara Prancis yang dibangun pada abad ke-19.
Kemudian setelah melalui masa yang panjang dibelilah gedung tersebut oleh konsultan Turki di
Jakarta yang bernama Abdul Azis Almussawi Al Katiri yang menetap di Indonesia.
Kemudian pada tahun 1942 gedung tersebut dijualkan kepada Dr. Karel Christian Cruq.
Pada awal tahun 1945, gedung ini sempat digunakan sebagai markas dari “Perintis Front
Pemuda” dan Angkatan Pertahanan Sipil dalam perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan
yang baru diproklamasikan Indonesia.
Kemudian pada tahun 1947 gedung ini dimiliki dan didiami oleh Lie Sion Pin yang selanjutnya
disewakan kepada Departemen Sosial yang diubah menjadi sebuah lembaga untuk orang tua.
Pada tahun 1962, properti diakuisisi oleh Departemen Sosial. Awalnya digunakan sebagai
kantor, kemudian berubah menjadi sebuah asrama karyawan pada tahun 1966.
Kemudian pada tahun 1952, bangunan ini dibeli oleh Departemen Sosial yang akhirnya secara
resmi diserahkan kepada Pemerintah DKI Jakarta Kota oleh Menteri Sosial di tahun 1975.
Gubernur Ali Sadikin memutuskan bahwa kebutuhan untuk dilestarikan tradisi tekstil Indonesia
lebih besar dari kebutuhan kota untuk ruang penyimpanan arsip, yang mana bangunan ini telah
dialokasikan dan lahirlah Museum Tekstil.
Lalu pada tanggal 28 Juni 1976 diresmikan penggunaannya oleh Ibu Tien Soeharto sebagai
Museum Tekstil.

Koleksi tekstil dan songket di Museum Tekstil Indonesia. (Tribunnews.com/ Reynas Abdila)
 Fasilitas
Galeri Batik 
Galeri batik ini dirancang guna menampilkan sejumlah batik kuno dan batik perkembangan
(kontemporer) dari masa ke masa.
Galeri batik sendiri merupakan cikal bakal terbentuknya Museum Batik Nasional yang dikelola
oleh Yayasan Batik Indonesia dan Museum Tekstil Jakarta.
Kebun Pewarna Alam 
Di kebun perwarna alam ini pengunjung dapat menambah pengetahuan tentang tumbuh-
tumbuhan atau tanaman penghasil warna yang bisa digunakan sebagai pewarna kain tradisional.
Kebun pewarna alam ini menempati lahan terbuka seluasa 2.000 m2. 
Perpustakaan 
Di museum ini terdapat perpustakaan yang menyediakan buku-buku tekstil yang bisa menjadi
bahan tambahan untuk ilmu pengetahuan tentang pertekstilan.

Sejumlah siswa sekolah Menengah Atas saat belajar membatik tradisional di Museum Tekstil,
Jakarta Pusat, Selasa (2/10/2018). Mereka ikut memeriahkan Hari Batik Nasional dengan
melakukan praktek membatik yang bertujuan untuk mengenalkan budaya batik kepada generasi
muda saat ini. (Tribunnews/Jeprima)
Laboratorium 
Selain berfungsi sebagai laboratorium, di tempat ini pengunjung juga bisa memperbaiki kain
tradisional karena di laboratorium museum tekstil jakarta, menawarkan jasa perbaikan kain
tradisional.
Ruang Pengenalan Wastra 
Ruang pengenalan Wastra ini bertempat di sebelah perpustakan.
Di ruang ini menyajikan koleksi alat tenun dari berbagai daerah dan juga memberikan informasi
mengenai bahan baku serta proses pembuatan kain tradisional Indonesia.
Selain itu, di ruang ini pengunjung mendapat kesempatan untuk mencoba mengoperasikan alat
tenun. 
Toko oleh-oleh 
Di toko ini pengunjung bisa membeli berbagai macam souvenir dan oleh-oleh sebagai bukti jika
telah berkunjung ke Museum Tekstil Jakarta.
The Jakarta Textile Museum was founded in 1976 as the result of a concerted effort
spearheaded by Ali Sadikin, the Governor of Jakarta at the time. It was established in
honor of Mme. Tien Soeharto, lndonesia’s First Lady, who officiated at the opening
on June 28, 1976.
 
Textiles have always been an important part of life in lndonesia, whether as
components of dress or as ritual and ceremonial objects. Traditional textiles constitute
a rich aspect of lndonesian culture and a testament to the degree of technological
expertise and artistic skill attained by their makers. They also provide a window into
local history.
 
By the mid-1970s, the use of traditional textiles, the understanding of their use, and
the quantity and quality of production were very evidently in decline. Some had even
become extremely rare. This motivated a group of Jakarta’s leading citizens to
establish an organization dedicated to the preservation and study of lndonesian
textiles. The Himpunan Wastraprema (Society of Textile Lovers) donated 500 high-
quality textiles, gleaned from the collections of its members. The city of Jakarta
responded by providing accommodation in a lovely old building in the Tanah Abang
district.
 
The Museum continues to grow and develop to respond to the needs of its visitors.
Periodically throughout the year, it cooperates with private collectors and various
institutions in holding short thematic shows in between its regular displays, such as
the ASEAN Textiles Exhibition and a Festival of lndonesian Textiles in general, each
accompanied by a seminar and a cultural “performance related to the theme of the
show. It also hosts special exhibitions and conferences on various aspects of
traditional lndonesian textiles.
 
In 2010, in commemoration of the inscription of lndonesian batik as an lntangible
Cultural Heritage of Humanity by UNESCO, the Batik Gallery was opened in a
building next to the Museum with collections belonging to the Yayasan Batik
lndonesia (lndonesian Batik Foundation) and its members. On display are numerous
examples of batiks in rooms focused on particular areas of production throughout
lndonesia – West, Central and East Java, as well as Sumatra, and other regions
including Papua – with an additional collection of antique cloths. All this has resulted
in an increasing number of visitors to the museum.
 
Decorated with Tuscan columns and fluted pilasters typical of the architecture of its
time, the high-roofed, one-storey building that houses the Textile Museum at Jalan
Aipda K.S. Tubun dates from the early 19th century. Constructed by a Frenchman, it
was then sold to the Turkish Consul, who added buildings on both sides of the estate;
the Batik Gallery is now located in the one on the right hand side. The consul’s son-
in-law, Sayid Abdullah bin Alwi Alatas, locally known as “Tuan Baghdad” because of
his philanthropy, later purchased the property and resided in the main building. An
extended eave was subsequently added around the structure, which protects the porch
and tall windows from the tropical sun and heavy rains. This eave is trimmed with a
graceful edging in a style today known in lndonesia as renda or lace.*
 
*Text from: Judi Achjadi, The Jakarta Textile Museum (Jakarta: Indonesian Heritage
Society, 2004), 11-13.

Anda mungkin juga menyukai