Anda di halaman 1dari 159

PUSAT PEMBINAAN PELATIHAN DAN SERTIFIKASI MANDIRI

Jl. Pluit Raya Kav. 12 Blok A-5, Penjaringan – Jakarta Utara (14440)
Telp. +62-21-6622925 ext. 146
Email: p3s@p3sm.or.id website: https://p3sm.or.id/

PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI

PETUGAS K3 KONSTRUKSI

MODUL PELATIHAN:
1. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN K3
KONSTRUKSI
2. KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG SISTEM Team Penyusun:
MANAJEMEN KESELAMATAN KONSTRUKSI • Ir. Iman Purwoto, ST, MT, IPM
3. DASAR-DASAR K3 KONSTRUKSI • Ir. D. Viby Indrayana, ST, MM, MT,
IPU, ASEAN Eng.
4. RENCANA K3 KONSTRUKSI
• Abdurrachim Rafsanjani, ST
5. PENJAMINAN MUTU DAN PENGENDALIAN
MUTU
6. MANAJEMEN LINGKUNGAN DAN HYGIENE
7. PENANGGULANGAN KEADAAN DARURAT Jakarta, 2021
PADA PEKERJAAN KONSTRUKSI
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN K3 KONSTRUKSI

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 1
A. Pendahuluan 2
B. Peraturan Perundang-Undangan Terkait Penyelenggaraan K3 Konstruksi 2
C. Hirarki Pembentukan Peraturan tentang Keselamatan Konstruksi 4
D. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 6
E. Persetujuan Konvensi ILO No. 120 6
F. Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja 7
G. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan 8
H. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan 10
Sosial
I. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung 11
J. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Jasa Konstruksi dan Undang-Undang 13
Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja
K. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 13
L. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 Tentang Penerapan SMK3 14
M. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan 15
Pemerintah Nomor 22 Tahun 2020 Tentang Peraturan Pelaksana Undang Undang
Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Jasa Konstruksi
N. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Jaminan 17
Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian
O. Peraturan Pemerintah Nomor 88 Tahun 2019 Tentang Kesehatan Kerja 18
P. Keputusan Bersama Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20
KEP.174/MEN/1986 dan Nomor 104/KPTS/1986 Tentang Keselamatan dan
Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan Konstruksi
Q. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER.04/MEN/1987 Tentang Panitia Pembina 20
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Serta Tata Cara Penunjukan Ahli Keselamatan
Kerja
R. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 21 Tahun 2019 21
Tentang Pedoman Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi
S. Instruksi Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 02/IN/M/2020 22
Tentang Protokol Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 Dalam
Penyelenggaraan Konstruksi
T. Peratuan-Peratuan Lainnya 24

1 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
A. PENDAHULUAN

Keselamatan Konstruksi adalah segala kegiatan keteknikan untuk mendukung pekerjaan


konstruksi dalam mewujudkan pemenuhan Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan dan
Keberlajutan yang menjamin keselamatan keteknikan konstruksi, keselamatan dan Kesehatan
kerja, keselamatan publik dan keselamatan lingkungan. Dalam rangka mewujudkan keselamatan
konstruksi tersebut di atas maka penyelenggara konstruksi wajib menerapkan sistem manajemen
keselamatan konstruksi.

Perwujudan penyelenggaraan system manajemen keselamatan konstruksi adalah melalui


pembentukan Unit Keselamatan Konstruksi (UKK) yang merupakan unit pada Penyedia Jasa
Pekerjaan Konstruksi yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan SMKK dalam pekerjaan
konstruksi dan dibawah pimpinan tertinggi penyedia jasa.

Guna melaksanakan tertib penyelenggaraan system manajemen keselamatan konstruksi maka


penyedia jasa harus mematuhi seluruh peraturan perundang-undangan yang mengatur aspek-
aspek keselamatan konstruksi. Peraturan perundang-undangan tersebut berupa Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Lembaga, Standar-
standar yang diakui baik nasional maupun internasional.

Ahli K3 Konstruksi yang ditugaskan dalam penyelenggaraan kegiatan konstruksi harus memiliki
kompetensi dalam mengidentifikasi, mengevaluasi dan menerapkan seluruh peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan penyelenggaraan K3 dilingkungan kerja konstruksi.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PENYELENGGARAAN K3 KONSTRUKSI


Berikut adalah peraturan perundang-undangan yang harus diketahui dan dilaksanakan terutama
dalam penyelenggaraan K3 dibidang konstruksi:
a. Undang-Undang
a. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945
b. Undang-Undang Nomor 3 tahun 1969 tentang Persetujuan Konvensi ILO No. 120
mengenai Hygiene dalam Perniagaan dan Kantor-Kantor
c. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
d. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
e. Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
f. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup

2 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
g. Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
h. Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Jaminan Sosial
i. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi
j. Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja
b. Peraturan Pemerintah
a. Peraturan Pemerintah Nomor 50 tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)
b. Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Jaminan
Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian
c. Peraturan Pemerintah Nomor 88 tahun 2019 tentang Kesehatan Kerja
d. Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksana Undang-
Undang Nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi
e. Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 22 tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor
2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.
c. Peraturan Menteri
a. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.01/MEN/1980 tentang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Konstruksi Bangunan
b. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER.04/MEN/1987 tentang Panitia Pembinaan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja serta Tata Cara Penunjukan Ahli Keselamatan Kerja
c. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.08/MEN/VII/2021 tentang
Alat Pelindung Diri
d. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 5 tahun 2018 tentang Keselamatan dan
Kesehatan Kerja Lingkungan Kerja
e. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 21 tahun 2019
tentang Pedoman Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi
f. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 14 tahun 2020
tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi melalui Penyedia
d. Peraturan-Peraturan Lainnya
a. Keputusan Bersama Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
174/MEN/1986 dan 104/KPTS/1986 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada
Kegiatan Konstruksi.

3 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
b. Surat Edaran Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah No. Um. 03.05-mm/425
tanggan 24 Agustus 2004 perihal Pencegahan Kecelakaan Kerja pada Pelaksanaan
Kegiatan Konstruksi.
c. Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum Nomor 13/SE/M/2012 tentang Program
Penanggulangan HIB dan AIDS pada Sektor Konstruksi di Lingkungan Kementerian
Pekerjaan Umum.
d. Instruksi Menteri Tenaga Kerja Nomor 2/M/BW/BK/1984 tetang Pengesahan Alat
Pelindung Diri
e. Instruksi Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 02/IN/M/2020
tentang Protokol Pencegahan COVID 19 Dalam Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.

C. HIRARKI PEMBENTUKAN PERATURAN TENTANG KESELAMATAN KONSTRUKSI


Undang-Undang Nomor 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja merupakan dasar dalam
penyelenggaraan keselamatan kerja di seluruh bidang pekerjaan di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) sementara itu penyelenggaraan yang berkaitan dengan pengaturan
ketenagakerjaan diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Kedua UU tersebut diatas mengamanatkan penyelenggaraan ketenagakerjaan
harus memperhatikan aspek-aspek perlindungan terhadap potensi bahaya yang dapat berdampak
terhadap keselamatan dan Kesehatan bagi tenaga kerja.
Implementasi terhadap pelaksanaan keselamatan dan Kesehatan kerja (K3) sebagaimana
diamanatkan oleh kedua Undang-Undang tersebut di atas diwujdukan secara lebih detail melalui
Peraturan Pemerintah Nomor 50 tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan
dan Kesehatan Kerja yang merupakan bagian dari sistem manajemen perusahaan secara
keseluruhan dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna
terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif melalui upaya dalam menjamin dan
melindungi keselamatan dan Kesehatan tenaga kerja dengan pencegahan kecelakaan kerja dan
penyakit akibat kerja.
Penyelenggaraan jasa konstruksi nasional harus berlandaskan pada asas kejujuran dan keadilan,
manfaat, kesetaraan, keserasian, keseimbangan, profesionalitas, kemandirian, keterbukaan,
kemitraan, keamanan dan keselamatan, kebebasan, pembangunan berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan sebagaimana tercantum pada Undang-Undang Nomor 2 tahun 2017
tentang Jasa Konstruksi. Keamanan dan Keselamatan menjadi salah satu asas penyelenggaraan
jasa konstruksi, hal ini didasari pada praktek jasa konstruksi baik ditingkat nasional maupun pada
skala internasional, industri jasa konstruksi memberikan kontribusi yang paling besar terhadap

4 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
kecelakaan kerja. Untuk itulah maka pada sektor jasa konstruksi harus memberikan perhatian
yang cukup besar dalam mewujudkan penyelenggaraan jasa konstruksi yang aman, selamat dan
berkelanjutan.
Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang
Nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi menjabarkan secara lebih detail terhadap sasaran
penyelenggaraan konstruksi untuk mewujudkan keselamatan dan Kesehatan kerja pada sektor
konstruksi yaitu melalui penetapan Standar Keselamatan, Kesehatan dan Keberlanjutan (K4) yang
merupakan pedoman teknis dalam pelaksanaan keamanan, keselamatan, Kesehatan di tempat
kerja konstruksi dan perlindungan sosial tenaga kerja serta tata lingkungan setempat dan
pengelolaan lingkungan hidup dalam penyelenggaraan jasa konstruksi.
Upaya untuk menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang terbit
penyelenggaraan jasa konstruksi dan penyelenggaraan Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (SMK3) maka ditetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat Nomor 21 tahun 2019 tentang Pedoman Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi
(SMKK) yang merupakan bagian dari sistem manajemen pelaksanaan pekerjaan konstruksi dalam
rangka menjamin terwujudnya keselamatan konstruksi.
Terbitnya Undang-Undang Nomor 11 tentang Cipta Kerja yang bertujuan untuk memangkas
birokrasi terutama yang terkait dengan perijinan dari berbagai sektor yang diatur oleh masing-
masing peraturan dan terkadang terjadi tumpang tindih, sehingga melalui Undang-Undang Cipta
Kerja ini dapat disederhanakan dan diselaraskan pengaturan pada masing-masing sektor tersebut,
sehingga dapat menghilangkan tumpang tindih antara peraturan perundang-undangan,
terciptanya efisiensi dalam proses perubahan atau pencabutan peraturan perundang-undangan
serta menghilangkan ego sectoral dan menjadi satu kesatuan pengaturan.
Jasa Konstruksi merupakan salah satu sektor yang termasuk di dalam Undang Undang Cipta Kerja
tersebut sehingga Undang-Undang Nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi mengalami
beberapa perubahan sebagaimana tercantum pada Undang-Undang Cipta Kerja tersebut.
Perubahan tersebut tentu membutuhkan penyesuaian terhadap peraturan pelaksana atau
peraturan turunan dari Undang-Undang Nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, termasuk
diantaranya adalah penyelenggaraan Keselamatan Konstruksi sebagaimana diatur pada Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 21 tahun 2019 tentang Pedoman Sistem
Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK).
Peraturan terkait penyelenggaraan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi sebagaimana
tercantum pada Undang-Undang Cipta Kerja adalah diatur dalam Peraturan Pemerintah, untuk
itulah maka penyelenggaraan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi menjadi salah satu

5 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
bagian dari ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 2021 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksana
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.

Gambar 1. Peraturan terkait Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK)

D. UNDANG-UNDANG DASAR 1945


Dalam pembukaan (preambule) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menyatakan bahwa tujuan dari kemerdekaan Negara Republik Indonesia adalah menciptakan
kemajuan dan kesejahteraan Umum. Hal ini mengamanatkan bahwa seluruh rakyat Indonesia
diberikan kesempatan untuk dapat kehidupan dan penghidupan yang layak serta terjaminnya
keselamatan dan kesehatannya.
Sebagaimana tercantum pada Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Hal ini mengamanatkan
kepada Pemerintah Republik Indonesia dalam memberikan kesempatan yang sama kepada
seluruh warga negara untuk dapat mendapatkan pekerjaan dan penghidupan, selain itu tentu saja
harus mampu memberikan rasa aman dan terlindungi keselamatan dan Kesehatan dalam
melaksanakan kegiatan pekerjaannya.
Dalam upaya untuk memberikan rasa aman dan perlindungan bagi warga negara dalam
melaksanakan pekerjaan, maka perlu ditetapkan peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasar dan pedoman bagi seluruh warga negara Indonesia.

E. PERSETUJUAN KONVENSI ILO NO. 120


International Labour Organization (ILO) adalah sebuah wadah yang menampung isu-isu tentang
buruh internasional di bawah naungan Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) telah menyelenggarakan

6 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
konvensi ILO No. 120 tentang Hygiene dalam perniagaan dan kantor-kantor, yang telah diterima
oleh wakil-wakil anggota Organisasi Perburuhan Internasional yang diselenggarakan di Jenewa
pada tahun 1964.
Sebagai anggota dari Organisasi Perburuhan Internasional tersebut maka Indonesia yang telah
menyatakan persetujuan atas hasil Konvensi tersebut perlu melaksanakannya dalam peraturan
yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka untuk itu ditetapkan dalam bentuk
Undang-Undang Nomor 3 tahun 1969 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan
Internasional No. 120 mengenai Hygiene dalam Perniagaan dan Kantor-kantor.
Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional No. 120 ini dalam garis besarnya mengatur
kebersihan, ventilasi, suhu, penerangan, persediaan air minum, kakus, tempat tukar pakaian
dalam tempat kerja.

F. UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1970 TENTANG KESELAMATAN KERJA


Ruang lingkup yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
adalah Keselamatan Kerja dalam segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, dipermukaan
air, di dalam air maupun di udara, yang berada di dalam wilayah kekuasaan hukum Republik
Indonesia, dengan demikian seluruh tempat kerja dengan segala kondisi dan ruang harus
memperhatikan aspek keselamatan kerja.
Pada pasal 1 ayat (1) didefinisikan “Tempat Kerja” ialah tiap ruangan ruangan atau lapangan,
tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap, dimana tenaga kerja bekerja, atau yang sering
dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan di mana terdapat sumber atau sumber-
sumber bahaya sebagaimana diperinci dalam pasal 2, termasuk tempat kerja ialah semua ruangan,
lapangan, halaman dan sekelilingnya yang merupakan bagian-bagian atau yang berhubungan
dengan tempat kerja tersebut;
Sementara pada Pasal 1 ayat (2) mendefinsikan “Pengurus” ialah orang orang yang mempunyai
tugas memimpin langsung sesuatu tempat kerja atau bagiannya yang berdiri sendiri. Pentingnya
terhadap upaya untuk melaksanakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) maka Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1970 ini telah menetapkan “Ahli Keselamatan Kerja” sebagaimana
tercantum pada Pasal 1 ayat (6) yaitu Tenaga Teknis berkeahlian khusus dari luar Departemen
Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja untuk mengawasi ditaatinya Undang-
Undang ini.
Pekerjaan konstruksi termasuk di dalam ruang lingkup yang diatur dalam Undang-Undang
Keselamatan Kerja ini yaitu pada Bab II Ruang Lingkup Pasal 2 ayat (2) huruf c yaitu mengatur
ketentuan tentang tempat kerja konstruksi yaitu “dikerjakan pembangunan, perbaikan,

7 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
perawatan, pembersihan dan pembongkaran rumah, Gedung atau bangunan lainnya, termasuk
bangunan pengairan, saluran atau terowongan di bawah tanah dan sebagainya atau dimana
dilakukan pekerjaan persiapan”
Persyaratan Keselamatan Kerja ditetapkan sebagaimana tercantum pada Bab III Syarat-syarat
Keselamatan Kerja Pasal 3 yaitu persyaratan untuk mencegah berbagai potensi bahaya yang dapat
terjadi di tempat kerja, menyediakan berbagai perlengkapan yang dapat digunakan untuk
melindungi atau untuk pertolongan pada kecelakaan, persyaratan kondisi lingkungan tempat kerja
yang dapat menciptakan kerja aman dan pengendalian berbagai potensi bahaya agar tidak
memberikan dampak risiko kerugian.
Persyaratan keselamatan kerja memuat prinsip-prinsi teknik ilmiah menjadi suatu kumpulan
ketentuan yang disusun secara teratur, jelas dan praktis yang mencakup bidang konstruksi, bahan,
pengolahan dan pembuatan, perlengkapan alat-alat perlindungan, pengujian dan pengesyahan,
pengepakan, atau pembungkusan, pemberian tanda-tanda pengenal atas bahan, barang, produk
teknis dan aparat produksi guna menjamin keselamatan barang-barang itu sendiri, keselamatan
tenaga kerja yang melakukan dan keselamatan umum.
Undang-Undang Keselamatan Kerja juga mengatur tentang kewajiban pengurus terhadap upaya
menciptakan keselamatan tenaga kerja di lingkungan kerja yaitu:
a. Secara tertulis menempatkan dalam tempat kerja yang dipimpinnya, semua syarat
keselamatan kerja yang diwajibkan, berdasarkan UU ini dan semua peraturan pelaksanaannya
yang berlaku bagi tempat kerja yang bersangkutan, pada tempat-tempat yang mudah dilihat
dan terbaca dan menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja.
b. Memasang dalam tempat kerja, semua gambar keselamatan kerja yang diwajibkan dan semua
bahan pembinaan lainnya, pada tempat-tempat kerja yang mudah dilihat dan terbaca
menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja.
c. Menyediakan secara cuma-cuma, semua alat perlindungan diri yang diwajibkan pada tenaga
kerja yang berada di bawah pimpinannya dan menyediakan bagi setiap orang lain yang
memasuki tempat kerja tersebut, disertai dengan petunjuk-petunjuk yang diperlukan
menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja.

G. UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN


Kesehatan didefinisikan sebagai keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial
yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Sementara
upaya Kesehatan merupakan kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara
terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat

8 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
Kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan Kesehatan, pengobatan
penyakit dan pemulihan Kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat, dengan sasaran adalah
terciptanya Kesehatan lingkungan yaitu terwujudnya kualitas lingkungan yang sehat, baik fisik,
kimia, biologi, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang mencapai derajat Kesehatan yang
setinggi-tingginya.
Upaya untuk menciptakan Kesehatan lingkungan tercantum pada Bab XI Kesehatan Lingkungan
yaitu pada Pasal 162 dan 163 yang menyatakan Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat
menjamin ketersediaan lingkungan yang sehat dan tidak mempunyai risiko buruk bagi Kesehatan
yang mencakup lingkungan permukiman, tempat kerja, tempat rekreasi serta tempat dan fasilitas
umum. Lingkungan sehat tersebut harus bebas dari unsur-unsur yang dapat menimbulkan
gangguan Kesehatan antara lain:
a. Limbah baik dalam bentuk cair, padat maupun gas.
b. Sampah yang tidak diproses sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan pemerintah.
c. Binatang pembawa penyakit
d. Zat kimia berbahaya.
e. Kebisingan yang melebihi ambang batas
f. Radiasi sinar pengion dan non pengion.
g. Air dan udara yang tercemar.
h. Makanan yang terkontaminasi.
Terkait dengan upaya untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat tercantum pada Bab XII
Kesehatan Kerja yaitu pada Pasal 164 yang menyatakan:
a. Upaya Kesehatan kerja ditujukan untuk melindungi pekerja agar hidup sehat dan terbebas
dari gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan.
b. Upaya kesehatan kerja meliputi pekerja di sektor formal dan informal.
c. Upaya kesehatan kerja berlaku bagi setiap orang selain pekerja yang berada di lingkungan
tempat kerja.
d. Upaya kesehatan kerja sebagaimana berlaku juga bagi kesehatan pada lingkungan tentara
nasional Indonesia baik darat, laut, maupun udara serta kepolisian Republik Indonesia.
e. Pemerintah menetapkan standar kesehatan kerja
f. Pengelola tempat kerja wajib menaati standar kesehatan kerja dan menjamin lingkungan
kerja yang sehat serta bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan kerja.
g. Pengelola tempat kerja wajib bertanggung jawab atas kecelakaan kerja yang terjadi di
lingkungan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

9 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
Sementara pada Pasal 165 menyatakan bahwa pengelola tempat kerja wajib melakukan segala
bentuk upaya kesehatan melalui upaya pencegahan, peningkatan, pengobatan dan pemulihan
bagi tenaga kerja, menciptakan dan menjaga kesehatan tempat kerja yang sehat dan menaati
peraturan yang berlaku di tempat kerja. Dalam penyeleksian pemilihan calon pegawai pada
perusahaan/instansi, hasil pemeriksaan kesehatan secara fisik dan mental digunakan sebagai
bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Pengusaha atau majikan atau orang yang
memberi kerja memiliki tanggung jawab atas jaminan Kesehatan pekerja melalui upaya
pencegahan, peningkatan, pengobatan dan pemulihan serta wajib menanggung seluruh biaya
pemeliharaan Kesehatan pekerja sebagaimana tercantum pada Pasal 165.

H. UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN


SOSIAL
Sistem Jaminan sosial nasional merupakan program negara yang bertujuan memberikan kepastian
perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, jaminan sosial adalah salah
satu bentuk perlindungan sosial yang diselenggarakan oleh negara guna menjamin wargan
negaranya untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar yang layak, sebagaimana dalam deklarasi
Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) tentang Hak Asasi Manusia (HAM dan Konvensi Organisasi
Perburuhan Internasional (ILO) Nomor 102 tahun 1952.
Dalam upaya untuk mewujudkan tujuan sistem jaminan sosial nasional, maka perlu dibentuk
badan penyelenggara yang berbentuk badan hukum berdasarkan prinsip gotong royong, nirlaba,
keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepersertaan bersifat wajib, dana amanat
dan hasil pengelolaan dana jaminan sosial seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk
sebesar-besarnya kepentingan peserta.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS adalah badan hukum yang
dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial yang merupakan bentuk perlindungan
sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak
sebagaimana tercantum pada Pasal 3.
Fungsi BPJS sebagaimana tercantum pada Pasal 9 ayat (1) dan (2) adalah menyelenggarakan
program jaminan Kesehatan (BPJS Kesehatan) dan menyelenggarakan program jaminan
kecelakaan kerja, program jaminan kematian, program jaminan pension dan jaminan hari tua
(BPJS Ketenagakerjaan).
Penyelenggaraan jaminan sosial bagi tenaga kerja adalah sebagai upaya untuk mengantisipasi
berbagai kemungkinan yang dapat terjadi terhadap diri pekerja, karena setiap orang tidak ada
yang kebal terhadap 4 hal sebagai berikut:

10 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
a. Manusia adalah makhluk hidup yang lahir dan kemudian pasti akan meninggal dunia,
namun manusia tidak akan pernah tahu dan tidak dapat memilih kapan waktunya untuk
meninggal dan bagaimana caranya meninggal.
b. Tubuh manusia memiliki keterbatasan dan suatu saat akan mengalami sakit baik yang
disebabkan oleh keterbatasan fisik maupun oleh serangan dari virus atau bakteri yang
masuk ke dalam tubuh. Kita hanya dapat berusaha untuk tetap sehat dengan menjaga
Kesehatan melalui berbagai macam cara. Namun kita juga tidak dapat memilih kapan kita
akan sakit.
c. Kecelakaan kerja dapat terjadi kapan saja dan hal tersebut dapat menimpa siapa saja yang
disebabkan oleh suatu kegiatan baik di tempat kerja maupun diluar tempat kerja. Upaya
pencegahan terhadap kecelakaan kerja harus dilaksanakan, tetapi banyak sekali factor-
faktor yang dapat mengakibatkan terjadinya kecelakaan kerja dan terjadi secara tiba-tiba
serta terkadang tanpa adan tanda atau peringatan sebelumnya.
d. Manusia tumbuh berkembang mencapai kondisi fisik yang maksimal pada masa atau usia
yang produktif, namun semakin bertambahnya usia maka manusia akan mencapai kondisi
fisik yang menurun pada saat memasuki usia tertentu, dimana produktivitas manusia juga
akan mengalami penurunan. Manusia tidak bisa melawan waktu untuk selalu muda dan
produktif. Untuk itulah maka pada masa dimana produktivitas manusia sudah mulai
menurun perlu jaminan untuk dapat terus bertahan hidup.
Pasal 14 dan 15 mengatur tentang kepesertaan dan tanggung jawab pendaftaran kepesertaan
yaitu setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 bulan di Indonesia wajib
menjadi Peserta Program Jaminan Sosial. Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan diri
dan pekerjanya sebagai peserta kepada BPJS sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti.

I. UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2002 TENTANG BANGUNAN GEDUNG


Bangunan Gedung merupakan salah satu kebutuhan bagi kehidupan manusia yang berfungsi
menjadi tempat manusia untuk melakukan kegiatannya untuk mencapai berbagai sasaran yang
menunjang terwujudnya tujuan pembangunan nasional, untuk itu bangunan Gedung harus
diselenggarakan secara tertib, diwujudkan sesuai fungsinya serta dipenuhinya persyaratan baik
administrative maupun teknis bangunan Gedung.
Bangunan Gedung dapat didefinisikan sebagai wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang
menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagai bagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau
dibawah tanah dan/atau air yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik
untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya

11 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
maupum kegiatan khusus. Penyelenggaraan bangunan Gedung adalah kegiatan pembangunan
yang meliputi proses perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi, serta pemanfaatan,
pelestarian dan pembongkaran. Bangunan gedung diselenggarakan berlandaskan asas
kemanfaatan, keselamatan, keseimbangan, serta keserasian bangunan gedung dengan
lingkungannya.
Undang-Undang Bangunan Gedung ini memiliki tujuan untuk mengatur pembangunan Gedung
dalam rangka mewujudkan bangunan Gedung yang fungsional dan sesuai dengan tata bangunan
Gedung yang serasi dan selaran dengan lingkungannya, menjamin keandalam teknis bangunan
Gedung dari segi keselamatan, Kesehatan, kenyamanan dan kemudahan serta memberikan
kepastian hukum dalam penyelenggaraan bangunan Gedung.
Sebagai upaya untuk menjamin terselenggaranya keselamatan pada bangunan Gedung maka
Undang-undang bangunan Gedung juga mengatur dari aspek persyaratan keselamatan yang
meliputi persyaratan kemampuan Gedung untuk mendukung beban muatan serta kemampuan
Gedung dalam mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran dan bahaya petir.
a. Persyaratan kemampuan bangunan untuk mendukung beban muatannya merupakan
kemampuan struktur bangunan gedung yang stabil dan kokoh dalam mendukung seluruh
beban muatan.
b. Persyaratan kemampuan bangunan gedung dalam mencegah dan menanggulangi bahaya
kebakaran merupakan kemampuan bangunan gedung untuk melakukan pengamanan
terhadap bahaya kebakaran melalui sistem proteksi pasif dan/atau proteksi aktif.
c. Persyaratan kemampuan bangunan gedung dalam mencegah bahaya petir merupakan
kemampuan bangunan gedung dalam melakukan pengamanan terhadap bahaya petir
melalui sistem penangkal petir. Instalasi penangkal petir harus dipasang pada setiap
bangunan gedung yang karena letak, sifat geografis, bentuk dan penggunaannya
mempunyai risiko terkena sambaran petir.
Selain persyaratan keselamatan, bagunan gedung juga wajib memenuhi persyaratan Kesehatan
yang meliputi persyaratan sistem penghawaan, pencahayaan, sanitasi dan penggunaan bahan
bangunan gedung. Bangunan Gedung bertingkat harus menyediakan tangga yang
menghubungkan lantai yang satu dengan yang lainnya dengan mempertimbangkan kemudahan,
keamanan, keselamatan dan Kesehatan pengguna. Memiliki akses evakuasi dalam keadaan
darurat harus disediakan di dalam bangunan gedung meliputi sistem peringatan bahaya bagi
pengguna, pintu keluar darurat dan jalur evakuasi apabila terjadi bencana kebakaran dan/atau
lainnya, kecuali rumah tinggal. Penyediaan akses evakuasi tersebut harus dapat dicapai dengan
mudah dan dilengkapi petunjuk arah yang jelas.

12 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
J. UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG JASA KONSTRUKSI DAN UNDANG-
UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA
Undang-Undang Cipta Kerja merupakan sebuah terobosan baru dalam pengaturan perundang-
undangan di Indonesia dan dikenal dengan istilah “omni bus law” yang merupakan undang-
undang yang menitik beratkan pada penyederhanaan sejumlah regulasi karena sifatnya yang
merevisi dan mencabut banyak undang-undang sekaligus. Konsep ini dinilai sangat tepat untuk
mengatasi permasalahan regulasi yang terlalu banyak dan terdapat disharmonisasi diantara satu
peraturan dengan peraturan lainnya, tumpang tindih, materi muatan yag tidak sesuai serta ego
sectoral dari Lembaga pembentuk peraturan tersebut.
Ditengah kondisi perlemahan ekonomi global yang melanda dan memberikan dampak yang cukup
signifikan terhadap kondisi perekonomian negara, maka perlu upaya terobosan baru guna
meningkatkan investasi dandiharapkan mampu menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-
luasnya ditengah persaingan yang semakin kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi.
Diperlukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan,
perlindungan dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah. Undang-undang
Jasa Konstruksi merupakan salah satu Undang-undang yang termasuk di dalam Undang-undang
Cipta Kerja sehingga terdapat beberapa perubahan substansi di dalam pengaturannya.
Terkait dengan penyelenggaraan Keamanan, Keselamatan, Kesehatan dan Keberlanjutan (K4),
Pemerintah Pusat memiliki tanggung jawab terhadap penyelenggaraannya sebagaimana
tercantum pada Pasal 4 ayat (1) huruf c. yang terdiri dari:
a. Mengembangkan standar keamanan, keselamatan, Kesehatan dan Keberlanjutan dalam
penyelenggaraan jasa konstruksi.
b. Menyelenggarakan pengawasan penerapan standar keamanan, keselamatan, Kesehatan
dankeberlanjutan dalam penyelenggaraan dan pemanfaatan jasa konstruksi oleh Badan
Usaha Jasa Konstruksi.
c. Menyelenggarakan registrasi penilai ahli.
d. Menetapkan penilai ahli yang teregistrasi dalam hal terjadi kegagalan bangunan.

K. UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN


Hak bagi tenaga kerja untuk mendapatkan perlindungan terhadap berbagai potensi bahaya
ditempat kerja tercampun pada Pasal 86 yang mengayatakan bahwa setiap pekerja/buruh
mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan Kesehatan kerja. Untuk
melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal

13 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
diselenggarakan upaya keselamatan dan Kesehatan kerja sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Sementara pada Pasal 87 disebutkan bahwa setiap perusahaan wajib
menerapkan sistem manajemen keselamatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen
perusahaan. Pasal ini merupakan dasar bagi setiap perusahaan untuk menyelenggarakan sistem
manajemen keselamatan kerja yang diatur lebih detail melalui Peraturan Pemerintah Nomor 50
tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
Undang-undang ketenagakerjaan juga mengatur terhadap sanksi yang akan dikenakan terhadap
siapa saja yang melakukan pelanggaran sebagaimana di atur dalam undang ketenaga kerjaan ini
baik sanksi pidana dengan ancaman pidana antara 1 bulan sampai dengan 5 tahun dan denda
sebesar Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah) sampai dengan Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah)
selain itu juga terdapat ancaman sanksi administrasi atas pelanggaran ketentuan dalam Undang-
undang ketenagakerjaan ini berupa:
a. Teguran
b. Peringatan tertulis
c. Pembatasan kegiatan usaha
d. Pembekuan kegiatan usaha
e. Penghentian sementara sebagaiana tau seluruh alat produksi
f. Pencabutan izin

L. PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 50 TAHUN 2012 TENTANG PENERAPAN SISTEM


MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (SMK3)
Peraturan Pemerintah Nomor 50 tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan
dan Kesehatan Kerja (SMK3) ini merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-undang
Ketenagakerjaan dan Undang-undang Keselamatan Kerja. SMK3 merupakan bagian dari sistem
manajemen perusahaan secara keseluruhan dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan
dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif. Melalui
kegiatan yang bertujuan untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan Kesehatan tenaga
kerja melalui upaya pencegahan kecelakaan kerjadan penyakit akibat kerja. Penerapan Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) ini secara bertujuan untuk:
a. Meningkatkan efektifitas perlindungan keselamatan dan Kesehatan kerja yang terencana,
terukur, terstruktur dan terintegrasi.
b. Mencegah dan mengurangi kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja dengan melibatkan
unsur manajemen, pekerja/buruh, dan/atau serikat pekerja atau serikat buruh.

14 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
c. Menciptakan tempat kerja yang aman, nyaman dan efisien untuk mendorong
produktivitas.
Kewajiban penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja berlaku bagi
perusahaan yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Mempekerjakan pekerja/buruh paling sedikit 100 orang, atau
b. Mempunyai tingkat potensi bahaya tinggi.
Peraturan pemerintah tentang penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
ini merupakan peraturan turunan dari Undang-undang Ketenagakerjaan terutama pada Pasal 87
ayat (2) bentuk pengaturan terhadap penyelenggaraan Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja tersebut di atur tanggung jawab dari masing-masing pihak. Kewajiban dalam
mengembangkan pedoman penerapan SMK3 dan pelaksanaan pengawasan terhadap
pelaksanaan SMK3 menjadi tugas dan kewenangan dari Instansi pembina sektor, sementara
Perusahaan wajib menerapkan SMK3 yang terintegrasi dengan sistem manajemen di
perusahaannya.

M. PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 14 TAHUN 2021 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN


PEMERINTAH NOMOR 22 TAHUN 2020 TENTANG PERATURAN PELAKSANA UNDANG-UNDANG
NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG JASA KONSTRUKSI
Substansi yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah ini adalah terselenggaranya salah satu
sasaran dalam penyelenggaraan jasa konstruksi yaitu terselenggaranya keselamatan konstruksi
yang merupakan kegiatan keteknikan untuk mendukung pekerjaan konstruksi dalam mewujudkan
pemenuhan standar keamanan, keselamatan, Kesehatan dan keberlanjutan (K4) yang menjamin
keselamatan keteknikan konstruksi, keselamatan dankesehatan tenaga kerja, keselamatan public
dan keselamatan lingkungan. Produk dari pelaksanaan keselamatan konstruksi adalah kewajiban
bagi penyedia jasa konstruksi dalam penyusunan Rencana Keselamatan Konstruksi (RKK) yang
merupakan dokumen telaah tentang keselamatan konstruksi yang memuat elemen Sistem
Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK) dan merupakan satu kesatuan dengan dokumen
kontrak.
Dalam memenenuhi standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan dan Keberlanjutan, Pengguna
Jasa dan Penyedia Jasa harus memberikan pengesahan atau persetujuan atas:
a. Hasil rancangan, perencanaan dan/atau perancangan
b. Rencana teknis proses pembangunan, pemeliharaan, pembongkaran dan/atau
pembangunan Kembali
c. Penggunaan material, peralatan dan/atau teknologi

15 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
d. Hasil layanan jasa konstruksi.
Standar keamanan merupakan keandalan bangunan berdasarkan perancangan yang ditetapkan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang wajib diterapkan selama tahap
penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Standar keselamatan merupakan standar untuk mengatur
keselamatan keteknikan konstruksi, keselamatan dan Kesehatan kerja, keselamatan lingkungan,
dan keselamatan public. Standar Kesehatan merupakan standar untuk menjamin dan melindungi
Kesehatan tenaga kerja konstruksi dan masyarakat yang terdampak oleh pelaksanaan pekerjaan
konstruksi. Standar keberlanjutan merupakan standar yang digunakan untuk menjamin
keberlanjutan dalam aspek ekonomi, aspek tata lingkungan setempat dan pengelolaan lingkungan
hidup serta aspek sosial. Standar Keamanan, keselamatan, Kesehatan dan keberlanjutan tersebut
paling sedikit meliputi:
a. Standar mutu bahan.
b. Standar mutu peralatan.
c. Standar keselamatan dan Kesehatan kerja
d. Standar prosedur pelaksanaan jasa konstruksi.
e. Standar mutu hasil pelaksanaan jasa konstruksi.
f. Standar operasional pemeliharaan.
g. Pedoman perlindungan sosial tenaga kerja dalam pelaksanaan Jasa Konstruksi.
h. Standar pengelolaan lingkungan hidup.
Produk akhir dari jasa konstruksi yang diharapkan adalah terwujudkan konstruksi berkelanjutan
yang merupakan penyelenggaraan jasa konstruksi untuk mendirikan bangunan gedung dan/atau
bangunan sipil dengan memenuhi prinsip keberlanjutan, sumber daya dan siklus hidup bangunan
gedung dan/atau bangunan sipil, untuk itu dalam penyelenggaraan jada konstruksi harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Konstruksi Berkelanjutan harus mempunyai 3 pilar dasar yang meliputi:
1) Layak secara ekonomi dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat .
2) Menjaga pelestarian lingkungan
3) Mengurangi disparitas sosial masyarakat.
b. Pemenuhan terhadap persyaratan teknik konstruksi yang dimulai dari tahap perencanaan
umum, pemrograman, pelaksanaan konsultansi konstruksi dan pelaksanaan pekerjaan
konstruksi.
c. Dalam penyusunan Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan dan Keberlanjutan untuk
setiap produk jasa konstruksi, Menteri terkait memperhatikan kondisi geografis yang
rawan gempa dan kenyamanan lingkungan terbangun.

16 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
d. Setiap pengguna jasa dan penyedia jasa konstruksi harus menerapkan Sistem Manajemen
Keselamatan Konstruksi (SMKK).

N. PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 44 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN JAMINAN


KECELAKAAN KERJA DAN JAMINAN KEMATIAN
Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian
merupakan peraturan turuan atau salah satu peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Badan
Penyelenggaraan Jaminan Sosial. Jaminan Kecelakaan Kerja atau disingkat JKK adalah manfaat
berupa uang tunai dan/atau pelayanan keseharan yang diberikan pada saat peserta mengalami
kecelakaan kerja atau penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja. Sementara Jaminan
Kematian atau JKM adalah manfaat uang tunai yan diberikan kepada ahli waris Ketika peserta
meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja. Kecelakaan kerja sendiri didefinsikan sebagai
kecelakaan yang terjadi dalam hubungan kerja, termasuk dalam kecelakaan kerja adalah
kecelakaan kerja yang terjadi dalam perjalanan dari rumah menuju tempat kerja atau sebaliknya
dan penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja. Program JKK dan JKM diselenggarakan oleh
BPJS Ketenagakerjaan.
Setiap pemberi kerja selain penyelenggara negara wajib mendafarkan dirinya dan pekerjanya
sebagai peserta dalam program JKK dan JKM kepada BPJS Ketenagakerjaan dan setiap orang yang
bekerja wajib mendaftarkan dirinya dalam program JKK dan JKM kepada BPJS Ketenagakerjaan.
Peserta yang mengalami kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja berhak atas manfaat JKK yang
berupa:
a. Pelayanan Kesehatan sesuai kebutuhan medir yang meliputi:
1) Pemeriksaan dasar dan penunjang
2) Perawatan tingkat pertama dan lanjutan.
3) Rawat inap kelas I rumah sakit pemerintah, rumah sakit pemerintah daerah dan
rumah sakit swasta yang setara.
4) Perawatan intensif.
5) Penunjang diagnostic.
6) Pengobatan
7) Pelayanan khusus.
8) Alat Kesehatan dan implan.
9) Jasa dokter/medis.
10) Operasi.
11) Transfusi darah.

17 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
12) Rehabilitasi medik.
b. Santunan berupa uang yang meliputi:
1) Penggantian biaya pengangkutan peserta yang mengalami kecelakaan kerja atau
penyakit akibat kerja, ke rumah sakit dan/atau ke rumahnya, termasuk biaya
pertolongan pertama pada kecelakaan.
2) santunan sementara tidak mampu bekerja;
3) santunan Cacat sebagian anatomis, Cacat sebagian fungsi, dan Cacat total tetap;
4) santunan kematian dan biaya pemakaman;
5) santunan berkala yang dibayarkan sekaligus apabila Peserta meninggal dunia atau
Cacat total tetap akibat Kecelakaan Kerja atau penyakit akibat kerja;
6) biaya rehabilitasi berupa penggantian alat bantu (orthose) dan/atau alat
pengganti (prothese);
7) penggantian biaya gigi tiruan;
8) beasiswa pendidikan anak bagi setiap Peserta yang meninggal dunia atau Cacat
total tetap akibat kecelakaan kerja

O. PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 88 TAHUN 2019 TENTANG KESEHATAN KERJA


Dalam rangka memberikan perlindungan bagi pekerja agar sehat, selamat dan produktif perlu
dilakukan upaya Kesehatan kerja yang merupakan bagian dari keselamatan dan Kesehatan kerja
secara terpadu, menyeluruh dan berkesinambungan. Kesehatan kerja adalah upaya yang
ditujukan untuk melindungi setiap orang yang berada di Tempat Kerja agar hidup sehat dan
terbebas dari gangguan Kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan dari pekerjaan.
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan Masyarakat bertanggung jawab dalam
penyelenggaraan Kesehatan Kerja secara terpadu, menyeluruh dan berkesinambungan, yang
meliputi upaya:
a. Pencegahan penyakit
b. Peningkatan Kesehatan.
c. Penanganan penyakit.
d. Pemulihan Kesehatan.
Standar Kesehatan Kerja dilaksanakan dengan memperhatikan Sisten Kesehatan Nasional dan
Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Penyelenggaraan Kesehatan Kerja ditujukan kepada setiap orang yang
berada di tempat kerja yang merupakan kewajiban untuk dipenuhi oleh Pengurus atau Pengelola
Tempat Kerja dan pemberi kerja di semua tempat kerja.

18 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
Standar Kesehatan Kerja dalam Upaya Pencegahan Penyakit meliputi:
a. Identifikasi, penilaian dan pengendalian potensi bahaya Kesehatan.
b. Pemenuhan persyaratan keseharan lingkungan kerja.
c. Perlindungan Kesehatan reproduksi.
d. Pemeriksaan Kesehatan.
e. Penilaian kelaikan bekerja.
f. Pemberian imunisasi dan/atau profilaksis bagi Pekerja berisiko tinggi.
g. Pelaksanaan kewaspadaan standar.
h. Surveilans Kesehatan kerja.
Standar Kesehatan kerja dalam upaya peningkatan Kesehatan meliputi:
a. Peningkatan pengetahuan Kesehatan.
b. Pembudayaan perilaku hidup bersih dan sehat.
c. Pembudayaan keselamatan dan Kesehatan kerja di tempat kerja.
d. Penerapan gizi kerja.
e. Peningkatan Kesehatan fisik dan mental.
Standar Kesehatan Kerja dalam upaya penanganan penyakit meliputi:
a. Pertolongan pertama pada cidera atau sakit yang terjadi di tempat kerja dan wajib
dilaksanakan di tempat kerja.
b. Diagnosis dan tata laksana penyakit, dilakukan terhadap penyakit akibat kerja dan bukan
penyakit akibat kerja, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
c. Penanganan kasus kegawar daruratan medik dan/atau rujukan, meliputi penanganan
lanjutan setelah pertolongan pertama terhadap cidera, kasus keracunan dan gangguan
Kesehatan lainnya yang memerlukan tindakan segera, sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Standar Kesehatan Kerja dalam upaya pemulihan Kesehatan meliputi:
a. Pemulihan medis yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan medis.
b. Pemulihan kerja yang dilaksanakan melalui program kembali bekerja.
Perusahaan atau pemeberi kerja dalam penyelenggaraan Kesehatan kerja harus disertakan
dukungan berupa:
a. Sumber daya manusia yang terdiri atas Tenaga Kesehatan dan Tenaga Non Kesehatan.
b. Fasilitas Pelayanan Kesehatan dapat berbentuk Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat
Pertama atau Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat lanjutan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Penyediaan fasilitas Kesehatan dapat dilaksanakan
melalui Kerjasama dengan pihak lain.

19 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
c. Peralatan Kesehatan Kerja berupa peralatan untuk pengukuran, pemeriksaan dan
peralatan lainnya termasuk alat pelindung diri sesuai dengan factor risiko/bahaya
keselamatan dan Kesehatan di tempat kerja.
d. Pencatatan dan Pelaporan yang disampaikan secara berjenjang kepada Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah dalam rangka surveilans Kesehatan Kerja.

P. KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI TENAGA KERJA DAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR:
KEP.174/MEN/1986 DAN NOMOR: 104/KPTS/1986 TENTANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN
KERJA PADA TEMPAT KEGIATAN KONSTRUKSI
Pekerjaan konstruksi merupakan kompleksitas kerja yang melibatkan bahan bangunan, peralatan,
penerapan teknologi dan tenaga kerja, dapat merupakan sumber terjadinya kecelakaan kerja
serta pertimbangan bahwa tenaga kerja dibidang kegiatan konstruksi selaku sumber daya yan
dibutuhkan bagi kelanjutan pembangunan, perlu memperoleh perlindungan keselamatan kerja,
khususnya terhadap ancaman kecelakaan kerja.
Sebagai persyaratan teknik pelaksanaan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.01/MEN/1980 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Konstruksi Bangunan, maka
ditetapkan sebagai petunjuk umum berlakunya Buku Pedoman Pelaksanaan tetang Keselamatan
dan Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan Konstruksi, yang selanjutnya disebut Buku Pedoman.
Setiap Pengurus Kontraktor, Pemimpin Pelaksanaan Pekerjaan atau Bagian Pekerjaan dalam
pelaksanaan kegiatan konstruksi, wajib memenuhi syarat-syarat Keselamatan dan Kesehatan
Kerja seperti ditetapkan dalam Buku Pedoman tersebut.

Q. PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA NOMOR: PER.04/MEN/1987 TENTANG PANITIA PEMBINA


KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA SERTA TATA CARA PENUNJUKAN AHLI KESELAMATAN
KERJA
Untuk mencegah terjadinya gangguan keselamatan dan kesehatan tenaga kerja dalam rangka
peningkatan efisiensi dan produktivitas kerja, perlu penerapan keselamatan kerja, higene
perusahaan dan kesehatan kerja di perusahaan-perusahaan, berkenaan dengan hal tersebut,
perusahan perlu memiliki Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja untuk membantu
pimpinan perusahaan dalam penerapan keselamatan kerja, higene perusahaan dan Kesehatan
Kerja. Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang selanjutnya disebut P2K3 ialah
badan pembantu di tempat kerja yang meruakan wadah kerjasama antara pengusaha dan
pekerja untuk mengembangkan kerjasama saling pengertian dan partisipasi efektif dalam
penerapan keselamatan dan kesehatan kerja.

20 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
Setiap tempat kerja dengan kriteria tertentu, pengusaha atau penguru wajib membentuk P2K3.
Kriteria yang dimaksud adalah:
a. tempat kerja dimana pengusaha atau pengurus mempekerjakan 100 orang atau
lebih.
b. tempat kerja dimana pengusaha atau pengurus mempekerjakan kurang dari 100
orang, akan tetapi menggunakan bahan, proses dan instalasi yang mempunyai
risiko yang besar akan terjadinya peledakan, kebakaran, keracunan dan
penyinaran radioaktif
Keanggotaan P2K3 terdiri dari unsur pengusaha dan pekerja yang susunannya terdiri dari Ketua,
Sekretaris dan Anggota. Sekretaris P2K3 ialah Ahli Keselamatan Kerja dari perusahaan yang
bersangkutan. P2K3 ditetapkan oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuknya atas usul dari
pengusaha atau pengurus yang bersangkutan. P2K3 mempunyai tugas memberikan saran dan
pertimbangan baik diminta maupun tidak kepada pengusaha atau pengurus mengenai masalah
keselamatan dan kesehatan kerja.
Setiap pengusaha atau pengurus yang akan mengangkat Ahli Keselamatan Kerja harus
mengajukan permohonan secara tertulis kepada Menteri. Untuk menunjuk Ahli Keselamatan
Kerja, Menteri membentuk Tim Penilai yang secara fungsional diketuai oleh Direktur Jenderal
Bina Hubungan Ketenagakerjaan dan Pengawasan Norma Kerja dan anggotanya terdiri dari
pejabat Departemen Tenaga Kerja dan Instansi atau Badan atau Lembaga di Luar Departemen
Tenaga Kerja yang dipandang perlu.

R. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT NOMOR 21 TAHUN 2019
TENTANG PEDOMAN SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN KONSTRUKSI
Pedoman sistem manajemen keselamatan konstruksi diperlukan untuk mewujudkan tertib
penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang sesuai dengan standar keamanan, keselamatan, kesehatan,
keberlanjutan dan memenuhi aspek pembinaan serta pengawasan keselamatan konstruksi secara
nasional. Keselamatan Konstruksi adalah segala kegiatan keteknikan untuk mendukung Pekerjaan
Konstruksi dalam mewujudkan pemenuhan standar keamanan, keselamatan, kesehatan dan
keberlanjutan yang menjamin keselamatan keteknikan konstruksi, keselamatan dan kesehatan
tenaga kerja, keselamatan publik dan lingkungan. Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi
yang selanjutnya disebut SMKK adalah bagian dari sistem manajemen pelaksanaan Pekerjaan
Konstruksi dalam rangka menjamin terwujudnya Keselamatan Konstruksi.

21 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
Setiap Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi harus
menerapkan SMKK. Penyedia Jasa yang harus menerapkan SMKK merupakan Penyedia Jasa yang
memberikan layanan:
a. konsultansi manajemen penyelenggaraan konstruksi;
b. Konsultansi Konstruksi pengawasan; dan
c. Pekerjaan Konstruksi.
SMKK harus memenuhi standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan dengan
harus memperhatikan:
a. keselamatan keteknikan konstruksi;
b. keselamatan dan kesehatan kerja;
c. keselamatan publik; dan
d. keselamatan lingkungan
Biaya penerapan SMKK harus dimasukkan pada daftar kuantitas dan harga dengan besaran biaya
sesuai dengan kebutuhan berdasarkan pengendalian dalam RKK dan menjadi bagian dari RKK.
Biaya penerapan SMKK paling sedikit mencakup rincian:
a. penyiapan RKK.
b. sosialisasi, promosi, dan pelatihan.
c. Alat Pelindung Kerja dan Alat Pelindung Diri.
d. asuransi dan perizinan.
e. Personel Keselamatan Konstruksi.
f. fasilitas sarana, prasarana, dan alat Kesehatan.
g. rambu- rambu yang diperlukan.
h. konsultasi dengan ahli terkait Keselamatan Konstruksi.
i. kegiatan dan peralatan terkait dengan pengendalian Risiko Keselamatan Konstruksi.
Rincian kegiatan tersebut di atas merupakan barang habis pakai dan Konsultasi dengan ahli terkait
Keselamatan Konstruksi tidak diharuskan bagi Pekerjaan Konstruksi dengan Risiko Keselamatan
Konstruksi kecil.

S. INSTRUKSI MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT NOMOR 02/IN/M/2020


TENTANG PROTOKOL PENCEGAHAN PENYEBARAN CORONA VIRUS DISEASE 2019 DALAM
PENYELENGGARAAN JASA KONSTRUKSI
upaya pencegahan COVID-19 serta mempertimbangkan adanya penetapan wabah Corona sebagai
Kejadian Luar Biasa (KLB) oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia perlu dilakukan upaya
pencegahan penyebaran dan dampak COVID-19 dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi. protokol

22 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
Pencegahan Penyebaran COVID-19 dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi bagi Pengguna Jasa
dan Penyedia Jasa, yang merupakan bagian dari keseluruhan kebijakan untuk mewujudkan
keselamatan konstruksi termasuk keselamatan dan kesehatan kerja, keselamatan publik, dan
keselamatan lingkungan pada setiap tahapan penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
Pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan Covid-10 yang dibentuk oleh Pejabat Pembuat
Komitmen Proyek yang menjadi bagian dari Unit Keselamatan Konstruksi (UKK), terdiri dari paling
sedikit 5 orang :
a. 1 orang Ketua merangkap anggota
b. 4 orang anggota yang mewakili Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa
Satgas Pencegahan COVID-19 memiliki tugas, tanggung jawab, dan kewenangan untuk melakukan:
a. Sosialisasi.
b. pembelajaran (edukasi)
c. promosi teknik
d. metode/pelaksanaan pencegahan COVID-19 di lapangan
e. berkoordinasi dengan Satgas Penanggulangan COVID-19 Kementerian PUPR melakukan
Identifikasi Potensi Bahaya COVID19 di lapangan
f. pemeriksaan kesehatan terkait potensi terinfeksi COVID-19 kepada semua pekerja dan
tamu proyek
g. pemantauan kondisi kesehatan pekerja dan pengendalian mobilisasi/demobilisasi pekerja
h. pemberian vitamin dan nutrisi tambahanguna peningkatan imunitas pekerja
i. pengadaan Fasilitas Kesehatan di lapangan.
j. melaporkan kepada PPK dalam hal telah ditemukan pekerja yang positif dan/atau
berstatus Pasien Dalam Pengawasan (PDP) dan merekomendasikan dilakukan
penghentian kegiatan sementara.

Gambar 2. Skema Protokol Pemcegahan Covid-19 dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi

23 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
T. PERATURAN-PERATURAN LAINNYA
Selain peraturan perundang-undangan yang telah diuraikan di atas, masih peraturan perundang-
undangan lainnya yang berkaitan dengan penyelenggaraan keselamatan dan Kesehatan kerja yang
mengatur lebih spesifik terhadap beberapa kegiatan yang diselenggarakan. Berikut adalah
beberapa peraturan yang dapat dijadikan pedoman dalam berbagai penyelenggaraan
keselamatan dan Kesehatan kerja di tempat kerja.
Tabel 1. Daftar Peraturan Perundang-undangan lainnya

No. Peraturan Tentang


1 Pemenakertrans No. PER.01/MEN/1980 K3 Pada Konstruksi Bangunan
2 Pemenakertrans No. PER.02/MEN/1980 Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja dalam
Penyelenggaraan Keselamatan Kerja
3 Pemenakertrans No. PER.04/MEN/1980 Syarat-syarat Pemasangan dan
Pemeliharaan Alat Pemadam Api Ringan
4 Pemenakertrans No. PER.01/MEN/1981 Kewajiban Melapor Penyakit Akibat Kerja
5 Pemenakertrans No. PER.03/MEN/1982 Pelayanan Kesehatan Tenaga Kerja
6 Permenaker No.3/Men/1985 K3 Pemakaian Asbes
7 Permenaker No. PER.05/MEN/1985 Pesawat Angkat dan Angkut
8 Permenaker No.3/Men/1986 Syarat K3 di Tempat Kerja Yang Mengelola
Pestisida
9 Permenaker No.4/Men/1987 Panitia Pembina Keselamatan dan
Kesehatan Kerja serta Tata Cara Penunjukan
Ahli Keselamatan Kerja
10 Permenaker No.4/Men/1987 Kwalifikasi dan Syarat-Syarat Operator
Pesawat Uap
11 Permenaker No.2/Men/1992 Tata Cara Penunjukan Kewajiban dan
Wewenang Ahli Keselamatan dan Kesehatan
Kerja
12 SE Menaker No. SE- 1 tahun 1997 Faktor Kimia di Udara Lingkungan Kerja
13 Permenaker No.3/Men/1998 Tata Cara dan Pemeriksaan Kecelakaan
14 Kep. Menkes. Persyaratan Kesehatan Lingkungan
No. 261/MENKES/SK/II/1998
15 Permenaker No.3/Men/1999 Syarat-Syarat Keselamatan dan Kesehatan
Kerja Lift Untuk Pengangkutan Orang dan
Barang
16 Kep. Menaker No. Per. 51/Men/1999 Faktor Fisika di Tempat Kerja
17 Kepmenaker No.187/Men/1999 Pengendalian Bahan Kimia Berbahaya di
Tempat Kerja
18 Permenakertran. Alat Pelindung Diri
No. Per.13/MEN/X/2011
19 Permenakertran. Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor
No. Per.13/MEN/X/2011 Kimia di Tempat Kerja
20 Permen KLH No. 05 tahun 2012 Jenis Rencana Kegiatan Yang Wajib Memiliki
Amdal
21 Lan lain-lain …..
Selain Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia,
penyelenggaraan pekerjaan konstruksi perlu juga mengacu kepada Standar-Standar tertentu baik

24 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
yang berlaku secara Internasional maupun Standar Nasional Indonesia yang berlaku. Beberapa
Standar yang digunakan tersebut diantaranya adalah:

a. SNI: 15-2049-2004, Persyaratan Umum tentang Semen Portland

b. SNI: 04-0225-2000, Persyaratan Umum Instalasi Listrik 2011 (PUIL 2011)

c. SNI: 03-2396-2001, Tata Cara Perancangan Sistem Pencahayaan Alami pada Bangunan
Rumah dan Gedung.

d. SNI: 03-28232-1992, Metode Pengujian Kuat Lentur Beton Memakai Gelagar Sederhana
dengan Sistem Beban Titik di Tengah

e. SNI: 2847: 2013, Persyaratan Beton Struktural untuk Bangunan Gedung

f. SNI: 2833: 2008, Standar Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Jembatan

g. Dan lain sebagainya ….

25 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG SISTEM MANAJEMEN
KESELAMATAN KONSTRUKSI (SMKK)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI
A. Pendahuluan 1
B. Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan dan Keberlanjutan 2
C. Elemen Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi 3
D. Unit Keselamataan Konstruksi (UKK) 4
E. Risiko Keselamatan Konstruksi 5
F. Biaya Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi 7
G. Pembinaan dan Pengawasan 8
A. PENDAHULUAN
Keselamatan Konstruksi merupakan salah satu fokus dalam mewujudkan pembangunan bangsa
serta terwujudnya tertib penyelenggaraan jasa konstruksi yang sesuai dengan standar keamanan,
keselamatan, kesehatan dan keberlanjutan (K4) dan memenuhi aspek pembinaan serta
pengawasan keselamatan konstruksi secara nasional. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut di
atas maka dipandang perlu untuk diatur ke dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum yang akan
menjadi dasar bagi seluruh pemangku kepentingan jasa konstruksi dalam menyelenggarakan
konstruksi.
Definisi dari keselamatan konstruksi adalah segala kegiatan keteknikan yang mendukung
pekerjaan konstruksi dalam mewujudkan pemenuhan standar keamanan, keselamatan,
kesehatan dan keberlanjutan yang menjamin keselamatan keteknikan konstruksi, keselamatan
dan kesematan tenaga kerja, keselamatan public dan lingkungan. Sistem Manajemen
Keselamatan Konstruksi yang selanjutnya disebut SMKK merupakan bagian dari manajemen
pelaksanaan pekerjaan konstruksi dalam rangka mewujudkan Keselamatan Konstruksi.
Dari definisi tersebut dapat diuraikan bahwa kedudukan dari Keselamatan Konstruksi adalah
mencakup berbagai aspek bukan hanya pada ruang lingkup keselamatan dan kesehatan kerja yang
fokus pelaksanaannya adalah sebagai upaya untuk melindungi manusia terhadap berbagai
ancaman risiko atau bahaya yang diakibatkan oleh pekerjaan, tetapi juga mencakup aspek
keselamatan keteknikan dan tanggung jawab terhadap keselamatan hasil produk konstruksi agar
dapat dimanfaatkan secara optimal bagi kesejahteraan manusia. Sebagaimana dapat dilihat pada
diagram vent berikut ini:

Gambar 1, Diagram Ven Kedudukan Keselamatan Konstruksi


Keselamatan Konstruksi tertuang dalam Peraturan Menteri PUPR No. 21/PRT/M/2019 tentang
Pedoman Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi, yang diperuntukkan bagi penyelenggaraan
Sistem Manajemen Kselamatan Konstruksi di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan

1 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
Rakyat. Setiap Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa dalam penyelenggaraan jasa konstruksi wajib
menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi sesuai dengan yang diatur dalam
Peraturan Menteri PUPR tersebut.
Tingginya tingkat kecelakaan kerja di bidang konstruksi dan menempatkan bidang konstruksi
sebagai peringkat pertama dalam angka kecelakaan kerja menjadi dasar pentingnya
mengimplementasikan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi secara luas. Budaya
keselamatan yang belum tertanam pada diri pemangku kepentingan jasa konstruksi perlu
ditingkatkan.

B. STANDAR KEAMANAN, KESELAMATAN, KESEHATAN DAN KEBERLANJUTAN.


Latar belakang dalam penyelenggaran keselamatan konstruksi telah tercantum di dalam UU No. 2
tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi yaitu pada pasal 59 yang menyatakan bahwa setiap
penyelenggaraan jasa konstruksi, yaitu Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa wajib melaksanakan dan
memenuhi standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan dan Keberlanjutan (K4). Dalam
memenuhi standar K4 tersebut Pengguna Jasa dan/atau Penyedia Jasa harus memberikan
pengesahan atau persetujuan atas:
1. Hasil pengkajian, perencanaan dan perancangan.
2. Rencana teknis proses pembangunan, pemeliharaan, pembongkaran, dan/atau
pembangunan kembali.
3. Pelaksanaan suatu proses pembangunan, pemeliharaan, pe pembongkaran, dan/atau
pembangunan kembali.
4. Penggunaan material, peralatan dan/atau teknologi.
5. Hasil layanan jasa konstruksi.
Upaya untuk memenuhi persyaratan K4 paling sedikit meliputi:
1. Mutu bahan.
2. Mutu Peralatan.
3. Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
4. Prosedur pelaksanaan jasa konstruksi.
5. Mutu hasil pelaksanaan jasa konstruksi.
6. Operasional dan pemeliharaan.
7. Perlindungan sosial tenaga kerja.
8. Pengelolaan lingkungan hidup.
Dalam penyusunan standar K4 sebagaimana tersebut diatas, setiap produk jasa konstruksi diatur
oleh Menteri teknis terkait sesuai dengan kewenangannya serta memperhatikan kondisi geografis

2 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
yang rawan gempa dan kenyamanan lingkungan terbangun. Pemenuhan standar K4 harus
dilakukann dengan cara mengendalikan proses untuk menjamin hasil penyelenggaraan usaha jasa
konstruksi.
Pada Peraturan Pemerintah No. 22 tahun 2020 yang merupakan peraturan pelaksana UU No. 2
tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi menegaskan bahwa Pengguna Jasa dan/atau Penyedia Jasa
bertanggung jawab atas kegagalan bangunan akibat dari tidak terpenuhinya standar K4.
Pemerintah pusat memiliki kewenangan dalam pengawasan tertib penyelenggaraan jasa
konstruksi yang dilakukan terhadap penerapan standar K4. Untuk penyelenggaraan pengawasan
tersebut dibentuk Komite yang menangani keselamatan konstruksi.

C. ELEMEN SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN KONSTUKSI


Elemen SMKK meliputi:
a. Kepemimpinan dan partisipasi pekerja dalam Keselamatan Konstruksi
Kepemimpinan dan partisipasi pekerja dalam Keselamatan Konstruksi merupakan
kegiatan penyusunan kebijakan yang paling sedikit meliputi:
1) kepedulian pimpinan terhadap isu eksternal dan internal;
2) organisasi pengelola Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi; dan
3) komitmen Keselamatan Konstruksi dan Partisipasi Pekerja.
b. Perencanaan Keselamatan Konstruksi
Perencanaan Keselamatan Konstruksi merupakan kegiatan yang paling sedikit meliputi:
1) mengidentifikasi bahaya, penilaian risiko, pengendalian, dan peluang;
2) rencana tindakan yang tertuang dalam sasaran dan program; dan
3) pemenuhan standar dan peraturan perundangan Keselamatan Konstruksi
c. Dukungan Keselamatan Konstruksi
Dukungan Keselamatan Konstruksi merupakan komponen pendukung Keselamatan
Konstruksi yang paling sedikit menginformasikan:
1) sumber daya berupa peralatan, material, dan biaya;
2) kompetensi;
3) kepedulian;
4) komunikasi; dan
5) informasi terdokumentasi.
d. Operasi Keselamatan Konstruksi
Operasi Keselamatan Konstruksi sebagaimana merupakan kegiatan dalam mengendalikan
Keselamatan Konstruksi yang paling sedikit meliputi:

3 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
1) perencanaan dan pengendalian operasi; dan
2) kesiapan dan tanggapan terhadap kondisi darurat.
Penyedia Jasa pengkajian, perencanaan, dan perancangan dalam melaksanakan kegiatan
di lapangan harus menerapkan operasi Keselamatan Konstruksi.
e. Evaluasi kinerja Keselamatan Konstruksi.
Evaluasi kinerja Keselamatan Konstruksi merupakan kegiatan yang paling sedikit meliputi:
1) pemantauan dan evaluasi;
2) tinjauan manajemen; dan
3) peningkatan kinerja Keselamatan Konstruksi

D. UNIT KESELAMATAN KONSTRUKSI (UKK)


Salah satu poin penting dalam penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK)
adalah peran dari Petugas Keselamatan Konstruksi dan/atau Ahli Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (K3) Konstruksi. Pentingnya peran dari sumber daya manusia pelaksana konstruksi maka
perlu ditetapkan standar kompetensinya, Petugas Keselamatan Konstruksi adalah orang atau
Petugas K3 Konstruksi yang memiliki sertifikat yang diterbitkan oleh Unit Kerja yang menangani
Keselamatan Konstruksi di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan/atau
diterbitkan oleh Lembaga atau instansi yang berwenang sesuai dengan Standar Kompetensi Kerja
Nasional dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sementara itu Ahli K3 Konstruksi adalah tenaga ahli yang mempunyai kompetensi kerja khusus di
bidang K3 Konstruksi dalam merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi SMKK yang
dibuktikan dengan sertifikat pelatihan yang diterbitkan oleh Lembaga sertifikasi profesi atau
instansi yang berwenang sesuai dengan Standar Kompetensi Kerja Nasional dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Dalam menerapkan SMKK, penyedia jasa pekerjaan konstruksi harus membentuk Unit
Keselamatan Konstruksi (UKK) yang bertanggung jawab kepada unit yang menangani keselamatan
konstruksi di bawah pimpinan tertinggi Penyedia Jasa. Unit Keselamatan Konstruksi (UKK) terdiri
atas pimpinan yang memiliki kompetensi kerja yang dibuktikan dengan sertifikat kompetensi kerja
di bidang K3 Konstruksi dibantu oleh anggota UKK.
Pimpinan UKK berkoordinasi dengan pimpinan tertinggi Pekerjaan Konstruksi. Dalam hal
pekerjaan konstruksi berisiko Keselamatan Konstruksi kecil, Pimpinan tertinggi Pekerjaan
Konstruksi dapat merangkap sebagai pimpinan UKK. Dalam hal pekerjaan konstruksi berisiko
Keselamatan Konstruksi sedang dan besar, Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi harus membentuk
UKK yang terpisah dari struktur organisasi Pekerjaan Konstruksi.

4 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
Kualifikasi kompetensi kerja Pimpinan UKK terdiri atas kualifikasi Ahli K3 Konstruksi atau Petugas
Keselamatan Konstruksi. Persyaratan kualifikasi Ahli K3 Konstruksi atau Petugas Keselamatan
Konstruksi pada Pekerjaan Konstruksi meliputi:

a. untuk Pekerjaan Konstruksi dengan Risiko Keselamatan Konstruksi besar terdiri atas:
1) Ahli Utama K3 Konstruksi; atau
2) Ahli Madya K3 Konstruksi dengan pengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun;

b. untuk Pekerjaan Konstruksi dengan Risiko Keselamatan Konstruksi sedang terdiri atas:
1) Ahli Madya K3 Konstruksi; atau
2) Ahli Muda K3 Konstruksi dengan pengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun;

c. untuk Pekerjaan Konstruksi dengan Risiko Keselamatan Konstruksi kecil terdiri atas:
1) Ahli Muda K3 Konstruksi; atau
2) Petugas Keselamatan Konstruksi.
Untuk menjadi Petugas Keselamatan Konstruksi harus mengikuti bimbingan teknis SMKK untuk
mendapatkan sertifikat kompetensi atau pelatihan Petugas Keselamatan Konstruksi. Anggota UKK
harus memiliki kompetensi kerja yang dibuktikan dengan kepemilikan kompetensi kerja atau
sertifikat pelatihan. Anggota UKK terdiri atas:
a. petugas tanggap darurat;
b. petugas pemadam kebakaran;
c. petugas pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K);
d. petugas pengatur lalu lintas;
e. tenaga kesehatan; dan/atau
f. petugas pengelolaan lingkungan.
Penentuan anggota UKK dilakukan berdasarkan kebutuhan pengendalian risiko pada Pekerjaan
Konstruksi.

E. RISIKO KESELAMATAN KONSTRUKSI


Risiko Keselamatan Konstruksi terdiri kecil, sedang dan besar. Risiko Keselamatan Konstruksi
ditetapkan oleh Pengguna Jasa harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. Risiko Keselamatan Konstruksi kecil harus memenuhi kriteria sebagai berikut:


1) Bersifat berbahaya rendah berdasarkan penilaian Risiko Keselamatan Konstruksi
yang ditetapkan oleh Pengguna Jasa berdasarkan perhitungan risiko keselamatan
konstruksi.

5 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
2) Pekerjaan Konstruksi dengan nilai HPS sampai dengan Rp10.000.000.000,00
(sepuluh milyar rupiah);
3) mempekerjakan tenaga kerja yang berjumlah kurang dari 25 (dua puluh lima)
orang; dan/atau
4) Pekerjaan Konstruksi yang menggunakan teknologi sederhana.

b. Risiko Keselamatan Konstruksi Sedang harus memenuhi kriteria sebagai berikut:


1) bersifat berbahaya sedang berdasarkan penilaian Risiko Keselamatan Konstruksi
yang ditetapkan oleh Pengguna Jasa berdasarkan perhitungan
2) Pekerjaan Konstruksi dengan nilai HPS di atas Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
milyar rupiah) sampai dengan Rp100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah);
3) mempekerjakan tenaga kerja yang berjumlah 25 (dua puluh lima) orang sampai
dengan 100 (seratus) orang; dan/atau
4) Pekerjaan Konstruksi yang menggunakan teknologi madya.

c. Risiko Keselamatan Konstruksi Besar harus memenuhi kriteria sebagai berikut:


1) bersifat berbahaya tinggi berdasarkan penilaian Risiko Keselamatan Konstruksi
yang ditetapkan oleh Pengguna Jasa berdasarkan perhitungan
2) Pekerjaan Konstruksi dengan nilai HPS di atas Rp100.000.000.000,00 (seratus
milyar rupiah);
3) mempekerjakan tenaga kerja yang berjumlah lebih dari 100 (seratus) orang;
4) menggunakan peralatan berupa pesawat angkat;
5) menggunakan metode peledakan dan/atau menyebabkan terjadinya peledakan;
dan/atau
6) Pekerjaan Konstruksi yang menggunakan teknologi tinggi.

Dalam hal suatu Pekerjaan Konstruksi memenuhi lebih dari satu kriteria Risiko Keselamatan
Konstruksi, penentuan Risiko Keselamatan Konstruksi ditentukan dengan memilih Risiko
Keselamatan Konstruksi yang lebih tinggi. Pekerjaan Konstruksi yang memiliki Risiko Keselamatan
Konstruksi besar dengan kriteria mempekerjakan lebih dari 100 (seratus) pekerja harus
mempunyai personel Keselamatan Konstruksi paling sedikit 2 (dua) orang yang terdiri atas:

a. 1 (satu) orang Ahli Utama K3 Konstruksi dan/atau Ahli Madya K3 Konstruksi dengan
pengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun; dan
b. 1 (satu) orang Ahli Muda K3 Konstruksi dengan pengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun.

Pada Pekerjaan Konstruksi yang menggunakan metode padat karya atau menggunakan banyak
tenaga kerja namun sedikit penggunaan peralatan mesin, kebutuhan Personel Keselamatan

6 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
Konstruksi ditentukan oleh penilaian Risiko Keselamatan Konstruksi. Risiko Keselamatan
Konstruksi digunakan untuk menentukan kebutuhan Ahli K3 Konstruksi dan/atau Petugas
Keselamatan Konstruksi. Risiko Keselamatan Konstruksi tidak digunakan untuk menentukan
kompleksitas atau segmentasi pasar Jasa Konstruksi.

F. BIAYA PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN KONSTRUKSI


Biaya penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi harus dimasukkan pada daftar
kuantitas dan harga dengan besaran biaya sesuai dengan kebutuhan berdasarkan pengendalian
dalam Rencana Keselamatan Konstruksi. Biaya penerapan Sistem Manajemen Keselamatan
Konstruksi menjadi bagian dari Rencana Keselamatan Konstruksi. Biaya penerapan Sistem
Manajemen Keselamatan Konstruksi paling sedikit mencakup rincian:
a. penyiapan Rencana Keselamatan Konstruksi;
b. sosialisasi, promosi, dan pelatihan;
c. Alat Pelindung Kerja dan Alat Pelindung Diri;
d. asuransi dan perizinan;
e. Personel Keselamatan Konstruksi;
f. fasilitas sarana, prasarana, dan alat kesehatan;
g. rambu- rambu yang diperlukan;
h. konsultasi dengan ahli terkait Keselamatan Konstruksi; dan
i. kegiatan dan peralatan terkait dengan pengendalian Risiko Keselamatan Konstruksi.

Rincian kegiatan merupakan barang habis pakai. Konsultasi dengan ahli terkait Keselamatan
Konstruksi tidak diharuskan bagi Pekerjaan Konstruksi dengan Risiko Keselamatan Konstruksi kecil.
Pengguna Jasa harus memastikan seluruh komponen biaya penerapan Sistem Manajemen
Keselamatan Konstruksi, dianggarkan dan diterapkan oleh Penyedia Jasa. Biaya penerapan Sistem
Manajemen Keselamatan Konstruksi harus disampaikan oleh Penyedia Jasa dalam dokumen
penawaran. Penyedia Jasa tidak dapat mengusulkan perubahan anggaran biaya penerapan Sistem
Manajemen Keselamatan Konstruksi berdasarkan Rencana Keselamatan Konstruksi yang telah
diperbaharui.
Dalam hal pengadaan pekerjaan konstruksi menggunakan metode sistem harga terendah,
Penyedia Jasa yang tidak menyampaikan perkiraan biaya penerapan Sistem Manajemen
Keselamatan Konstruksidinyatakan gugur. Dalam hal pengadaan pekerjaan konstruksi
menggunakan metode sistem nilai, Penyedia Jasa yang tidak menyampaikan perkiraan biaya
penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi nilai penawaran biayanya dinilai nol.

7 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
G. PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Menteri bertanggung jawab atas pembinaan penerapan Sistem Manajemen Keselamatan
Konstruksi kepada penyelenggara pemerintah daerah provinsi dan masyarakat jasa konstruksi
dapat berupa:
a. penetapan kebijakan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi;
b. penerapan kebijakan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi;
c. pemantauan dan evaluasi penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi; dan
d. pengembangan kerja sama penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi.
Penetapan kebijakan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi diberikan dalam bentuk
penyusunan Norma Standar Prosedur Kriteria sesuai dengan kewenangannya. Penerapan
kebijakan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi diberikan dalam bentuk:
a. fasilitasi;
b. konsultasi; dan
c. pendidikan dan pelatihan.
Pemantauan dan Evaluasi penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi dilakukan
melalui penilaian terhadap pelaksanaan pembinaan dan pengawasan penerapan Sistem
Manajemen Keselamatan Konstruksi. Pengembangan kerja sama penerapan Sistem Manajemen
Keselamatan Konstruksi dilakukan untuk meningkatkan penerapan Sistem Manajemen
Keselamatan Konstruksi dalam mewujudkan Keselamatan Konstruksi.
Menteri melakukan pengawasan tertib penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi
pada Pekerjaan Konstruksi dan Konsultansi Konstruksi yang berasal dari anggaran pendapatan dan
belanja negara dan/atau yang memiliki Risiko Keselamatan Konstruksi besar.
Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah melakukan pengawasan penerapan kebijakan
Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi yang dilakukan oleh gubernur dan bupati/walikota di
wilayah kewenangannya. Gubernur melakukan pengawasan penerapan Sistem Manajemen
Keselamatan Konstruksi pada Pekerjaan Konstruksi dan Konsultansi Konstruksi terhadap
pembiayaan yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi dan/atau yang
memiliki Risiko Keselamatan Konstruksi sedang.
Bupati/walikota melakukan pengawasan penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi
pada Pekerjaan Konstruksi dan Konsultansi Konstruksi terhadap pembiayaan yang berasal dari
anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota dan/atau yang memiliki Risiko
Keselamatan Konstruksi kecil.
Dalam melakukan pengawasan penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi, Menteri
membentuk Komite Keselamatan Konstruksi yang memiliki tugas antara lain:

8 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
a. melaksanakan pemantauan dan evaluasi Pekerjaan Konstruksi yang diperkirakan memiliki
Risiko Keselamatan Konstruksi besar;
b. melaksanakan investigasi kecelakaan konstruksi;
c. memberikan saran, pertimbangan, dan rekomendasi kepada Menteri berdasarkan hasil
pemantauan dan evaluasi Pekerjaan Konstruksi dengan Risiko Keselamatan Konstruksi
besar dan/atau investigasi kecelakaan konstruksi dalam rangka mewujudkan Keselamatan
Konstruksi; dan
d. melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Menteri.
Komite Keselamatan Konstruksi sebagaimana tersebut di atas terdiri dari:
a. ketua;
b. sekretaris;
c. anggota;
d. subkomite, terdiri atas ketua dan anggota sesuai dengan bidangnya; dan
e. secretariat terdiri atas koordinator dan anggota.

9 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
DASAR-DASAR K3 KONSTRUKSI

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI
A. Pendahuluan 1
B. Urgensi Penyelenggaraan Keselamatan dan Kesehatan Kerja di bidang Konstruksi 2
a. Accident Free 2
b. Business Interruption 3
c. Compliance With Law 3
d. Costumer Satisfaction 3
C. Arti dan Makna Keselamatan dan Kesehatan Kerja 4
D. Pendekatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja 7
a. Pendekatan Filosofis 7
b. Pendekatan Kemanusiaan 8
c. Pendekatan Ekonomi 9
d. Pendekatan Hukum 10
e. Pendekatan Keilmuan 11
E. Sasaran Keselamatan Konstruksi 12
F. Potensi Bahaya dan Kecelakaan Kerja 13
a. Potensi Bahaya Faktor Manusia 15
b. Potensi Bahaya Faktor Lingkungan 16
c. Potensi Bahaya Faktor Peralatan 17
G. Dampak Kecelakaan Kerja Konstruksi 18
a. Dampak Kecelakaan Kerja 18
b. Pentingnya Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi 21
H. Lima Masalah Strategis Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Indonesia 24
A. PENDAHULUAN
Penyelenggaraan kegiatan konstruksi merupakan suatu kegiatan membangun sarana maupun
prasarana yang meliputi pembangunan gedung (building construction), pembangunan prasarana
sipil (Infrastructure) dan instalasi mekanikal serta elektrikal dalam satu kesatuan proses produksi.
Pekerjaan konstruksi memiliki sifat yang khusus dan disebut sebagai proyek konstruksi, ciri-ciri
pekerjaan proyek konstruksi adalah sebagai berikut:
a. Lokasi selalu berpindah
b. Lingkungan kerja terbuka dan tertutup
c. Pelaksanaan secara komprehensif
d. Penggunaan peralatan baik yang manual maupun yang modern
Pekerjaan proyek konstruksi di Indonesia pada umum masih bersifat padat karya dimana
kebutuhan akan tenaga kerja konstruksi dalam jumlah besar dengan ciri-ciri tenaga kerja
konstruksi sebagai berikut:
a. Pekerja musiman, hal ini dikarenakan sifat dari pekerjaan proyek yang membutuhkan
jumlah tenaga kerja bervariasi setiap tahapan dengan kompetensi tenaga kerja yang
beragam sesuai dengan jenis pekerjaannya, sehingga hubungan kerja antara pemberi
kerja dengan tenaga kerja. Kebutuhan akan tenaga kerja mengikuti kebutuhan kegiatan
yang dilaksanakan sehingga hubungan antara pemberi kerja dengan tenaga kerja bersifat
hubungan kerja waktu tertentu.
b. Tenaga kerja konstruksi sebagian besar memiliki Pendidikan rendah dan mengandalkan
kekuatan fisik dari tenaga kerja dalam melaksanakan pekerjaan. Penggunaan peralatan
mekanis telah banyak digunakan sebagai pengganti tenaga kerja seperti peralatan angkat
dan angkut maupun peralatan-peralatan lainnya.
c. Dengan rata-rata Pendidikan tenaga kerja konstruksi yang rendah, pengetahuan terhadap
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) juga masih rendah sehingga membutuhkan
pengawasan yang lebih intensif dalam pelaksanaan pekerjaannya.
d. Fasilitas kerja pada umumnya juga masih relatif minim, hal ini dikarenakan lokasi tempat
kerja membutuhkan fasilitas penunjang yang bersifat sementara dan akan dibongkar
setelah pekerjaan konstruksi selesai.
Kondisi di atas mengakibatkan tingkat kecelakaan kerja pada sektor konstruksi lebih tinggi jika
dibandingkan jumlah kecelakaan kerja disektor lainnya. Berdasarkan data International Labour
Organization (Organisasi Perburuhan Internasional) yang merupakan organisasi di bawah
Koordinasi Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) menyatakan bahwa kecelakaan kerja pada sektor

1 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
konstruksi menempati urutan teratas yaitu sebesar 31,9% lebih tinggi dari sektor industry sebesar
31.6% dan sektor-sektor usaha lainnya.

B. URGENSI PENYELENGGARAAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA DI BIDANG KONSTRUKSI


a. Accident Free
Pada dasarnya tidak ada seorangpun maupun badan hukum yang ingin mengalami terjadinya
kecelalaan di tempat kerja. Untuk itulah maka dalam penyelenggaraan usaha perlu dilakukan
dengan memperhatikan factor-faktor yang dapat mencegah terjadinya kecelakaan di tempat
kerja melalui penerapan berbagai metode dan upaya-upaya pencegahan atau pengendalian
risiko yang mungkin dapat terjadi.
Dalam rangka untuk menciptakan lingkungan kerja yang terbebas dari kecelakaan kerja,
Pemerintah menyelenggarakan Program Zero Accident (Kecelakaan Nihil) yaitu pemberian
tanda penghargaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja kepada Manajemen Perusahaan yang
telah berhasil dalam melaksanakan program K3 sehingga tercapai nihil kecelakaan.
Penghargaan ini diberikan kepada perusahaan yang telah berhasil mencegah terjadinya
kecelakaan kerja di tempat kerja dan tanpa menghilangkan waktu kerja. Ketentuan dalam
pemberian penghargaan zero accident adalah sebagai berikut:
a. Perusahaan Besar yang tidak terjadi kecelakaan kerja (insiden) yang menghilangkan
waktu kerja berturut-turut selama 3 tahun atau telah mencapai 6.000.000 (enam juta)
jam kerja tampa kecelakaan kerja yang menghilangkan waktu kerja.
b. Perusahaan menengah yang tidak mengalami kecelakaan kerja yang menghilangkan
waktu kerja berurut-turut selama waktu 3 tahun atau telah mencapai 1.000.000 (satu
juta) jam kerja tanpa terjadi kecelakaan yang menghilangkan waktu kerja.
c. Perusahaan Kecil yang tidak mengalami terjadinya kecelakaan kerja yang
menghilangkan waktu kerja berturut-turut selama waktu 3 tahun atau telah mencapai
300.000 (tiga ratus ribu) jam kerja tanpa kecelakaan kerja yang menghilangkan waktu
kerja.
d. Perusahaan Sektor Konstruksi yaitu Kontraktor Utama yang telah selesai
melaksanakan pekerjaan konstruksi tanpa terjadi kecelakaan kerja yang
menghilangkan waktu kerja dengan waktu pelaksanaan kegiatan minimal 1 tahun.
Perusahaan Sub-Kontraktor merupakan pendukung data bagi perusahaan Kontraktor
Utama. Apabila terjadi kecelakaan kerja yang menhilangkan waktu kerja baik pada
perusahaan Kontraktor Utama maupun pada Perusahaan Sub-Kontraktornya, maka

2 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
seluruh jam kerja tanpa kecelakaan yang dimilikinya akan menjadi 0 (nol) secara
Bersama-sama.

b. Business Interruption
Kecelakaan kerja akan memberikan dampak yang beragam tergantung dari tingkat risiko yang
terjadi dan dapat mengakibatkan kerusakan harta benda, cidera pada tubuh pekerja dan
bahkan dapat mengakibatkan kecacatan atau kematian baik terhadap tenaga kerja maupun
masyarakat di sekitar lokasi pekerjaan. Heinrich mendefinisikan kecelakaan sebagai kejadian
yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan atau yang berpotensi menyebabkan merusak
lingkungan. Selain itu kecelakaan kerja adalah suatu kejadian yang tidak terencana dan tidak
terkendali akibat dari suatu tindakan atau reaksi suatu objek, bahan, orang atau radiasi yang
mengakibatkan cidera atau kemungkinan akibat lainnya.
Kemungkinan yang terjadi sebagai akibat dari kecelakaan kerja adalah terganggunya proses
usaha, baik dikarenakan hilangnya waktu kerja atau kerugian materi akibat kerusakan
peralatan, kerusakan materi atau kerusakan lingkungan yang wajib dipulihkan kembali oleh
perusahaan. Guna menghindari kemungkinan terganggunya usaha akibat dari terjadinya
kecelakaan tersebut, maka Perusahaan harus memastikan bahwa seluruh potensi bahaya dan
risiko yang mungkin terjadi dapat dilakukan pencegahan dan pengendalian.

c. Compliance With Law


Peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan upaya dari Pemerintah dalam
menyelenggarakan seluruh kegiatan usaha dengan memperhatikan dan mentaati peratuan
tentang penyelenggaraan penjaminan dan perlindungan terhadap berbagai kemungkinan
bahaya dan risiko yang dapat terjadi ditempat kerja.
Perusahaan wajib mematuhi dan mentaati peraturan-peraturan yang terkait dengan
penyelenggaraan K3 melalui pelaksanaan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (SMK3) yang merupakan bagian dari sistem manajemen perusahaan.
Pemerintah memiliki tugas dan kewenangan untuk mewajibkan kepada perusahaan untuk
melaksanakan semua ketentuan dalam peraturan perundang-undangan khususnya yang
terkait dengan penyelenggaraan keselamatan dan Kesehatan kerja serta memiliki kwenangan
untuk memberikan sanksi terhadap siapa saja yang tidak melaksanakan peraturan perundang-
undangan tersebut baik sanksi administrative maupun sanksi pidana sesuai dengan ketentuan
yang tercantum pada peraturan perundang-undangan.

d. Constumer Satifaction
Kesadaran akan pentingnya pelaksanaan keselamatan dan Kesehatan kerja juga dapat muncul
dari pengguna jasa atau pemberi kerja. Guna memastikan calon mitra kerja dapat

3 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
menyelenggarakan kegiatan dengan memenuhi persyaratan keselamatan dan Kesehatan
kerja, maka Pengguna Jasa atau pemberi kerja memberikan persyaratan berupa kompetensi
dalam melaksanakan sistem manajemen keselamatan dan Kesehatan kerja.
Salah satu pembuktian terhadap pelaksanaan keselamatan dan Kesehatan kerja di lingkungan
kerja maka perusahaan dapat mengajukan sertifikasi Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (SMK3). Penilaian atas pelaksanaan SMK3 di tempat kerja diselenggarakan
oleh Lembaga penilai yang diberi kewenangan untuk melakukan asesmen terhadap
pemenuhan persyaratan-persyaratan pelaksanaan SMK3 dan memberikan Sertifikat SMK3
kepada Perusahaan yang dinilai telah memenuhi persyaratan. Untuk menjaga keberlanjutan
penyelenggaraan SMK3 tersebut maka secara berkala diselenggarakan Audit, baik Audit
Internal maupun Audit Eksternal.

C. ARTI DAN MAKNA KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA


Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) merupakan instrument dalam upaya untuk melindungi
pekerja, perusahaan, lingkungan hidup serta masyarakat yang ada disekitarnya dari berbagai
ancaman bahaya akibat kecelakaan kerja. Perlindungan terhadap pekerja tersebut merupakan hak
asasi yang wajib dipenuhi oleh tempat kerja atau perusahaan yang memberikan pekerjaan,
Keselamatan dan Kesehatan Kerja merupakan cara untuk mencegah, mengurangi sampai dengan
menghilangkan potensi yang dapat mengakibatkan kecelakaan kerja.
Kesehatan kerja adalah spesialisasi dalam bidang ilmu Kesehatan berserta dengan prakteknya
yang memiliki tujuan agar pekerja dan/atau masyarakat pekerja mampu mencapai derajat
Kesehatan yang setinggi-tingginya, baik dari aspek fisik, mental, spritiual maupun sosial melalui
upaya-upaya pencegahan (preventif) dan pengobatan (kuratif) terhadap berbagai penyakit-
penyakir dan gangguan-gangguan Kesehatan yang diakibatkan oleh factor-faktor pekerjaan dan
lingkungan kerja, serta terhadap penyakit-penyakit umum lainnya. Kesehatan kerja memiliki sifat
sebagai berikut:
a. Sasarannya adalah manusia, yaitu bagaimana agar Kesehatan manusia dapat terlindungi
atau terjaga dari gangguan-gangguan yang dapat mengakibatkan timbulnya penyakit
akibat kerja.
b. Bersifat medis, yaitu digambarkan sebagai suatu kondisi fisik, mental dan sosial seseorang
yang tidak saja bebas dari penyakit atau gangguan Kesehatan lainnya, tetapi juga mampu
menunjukkan kompetensinya dalam berinteraksi dengan lingkungan dan pekerjaannya.
Sehat pada tumbuh sangatlah menjadi sebuah harapan bagi seluruh makhluk hidup, tak
terkecuali para pekerja dan kondisi tubuh yang sehat merupakan hak asasi dari setiap

4 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
orang yang bekerja disuatu lapangan pekerjaan atau tempat kerja, sehingga kondisi
tempat kerja harus mampu mendukung upaya pekerja untuk tetap dapat menjaga
kesehatannya.
Keselamatan kerja adalah kondisi dimana pekerja dapat melaksanakan kegiatan pekerjaannya
tanpa terjadi insiden atau kecelakaan yang dapat mengakibatkan kerugian baik terhadap tubuh
manusia dalam bentuk cidera, catat atau bahkan kematian dan kerugian harta benda yang dapat
terjadi dalam bentuk kerusakan peralatan kerja atau kerusakan material kerja. Keselamatan
berkaitan dengan penggunaan peralatan (mesin, pesawat, alat kerja), bahan (material) dan proses
pengolahannya, landasan tempat kerja dan lingkungannya serta cara-cara melakukan pekerjaan.
Keselamatan kerja memiliki sifat sebagai berikut:
a. Sasarannya adalah lingkungan kerja, yaitu upaya untuk memberikan kondisi lingkungan
kerja yang aman dengan melakukan pengendalian risiko yang dapat mengakibatkan
terjadinya kecelakaan kerja.
b. Bersifat teknis, kecelakaan kerja merupakan suatu kondisi yang terjadi sebagai akibat dari
adanya kontak dengan energi, yang bisa disebabkan oleh peralatan kerja yang tidak
terlindungi, material atau bahan yang berbahaya, kondisi lingkungan kerja yang tidak
aman serta perilaku dari manusia atau pekerja yang tidak aman.
Dalam rangka memasyarakatkan usaha Keselamatan dan Kesehatan Kerja maka perlu diberikan
identitas berupa berdera Keselamatan dan Kesehatan Kerja sebagaimana tertuang dalam
Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP.1135/MEN/1987 tentang Bendera Keselamatan dan
Kesehatan Kerja, yang berisikan:
a. Bendera Keselamatan dan Kesehatan Kerja dengan warna dasar putih dan
berlambangkan Keselamatan dan Kesehatan Kerja serta logo “Utamakan Keselamatan
dan Kesehatan Kerja”.
b. Lambang Keselamatan dan Kesehatan kerja berbentuk palang berwarna hijau dilingkari
dengan roda bergerigi sebelas berwarna hijau.
Ketentuan tentang bendera Keselamatan dan kesehatan kerja adalah sebagai berikut:
a. Bentuk : segi empat
b. Warna : Putih
c. Ukuran : 900 x 1350 mm
d. Lambang dan logo terletak bolak balik pada kedua muka bendera dengan ketentuan
sebagai berikut:
1. Bentuk : palang dilingkari roda bergerigi sebelas berwarna hijau
Letak : titik pusat 390 mm dari pinggir atas

5 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
Ukuran : roda bergerigi R1 = 300 mm
R2 = 235 mm
R3 = 160 mm
Tebal ujung gigi : 55 mm
Tebal pangkal gigi : 85 mm

Jarak gigi : 32073’


Palang hijau : 270 x 279 mm
Tebal Palang hijau : 90 mm
2. Logo : UTAMAKAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA berwarna
hijau dengan ukuran sebagai berikut:
• Tinggi huruf : 45 mm
• Tebal huruf : 6 mm
• Panjang kata “UTAMAKAN” : 360 mm
• Panjang kata “KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA” : 990 mm
• Jarak antara baris atas dan bawah : 72 mm
• Jarak baris bawah dengan pinggir bawah bendera : 75 mm

Gambar 1. Bendera Keselamatan dan Keseharan Kerja


Arti dan makna dari Lambang pada Bendera Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah sebagai
berikut:
• Palang : bebas dari kecelakaan dan sakit akibat kerja
• Roda gigi : bekerja dengan kesegaran jasmani dan rohani
• Warna Putih : bersih dan suci
• Warna Hijau : Selamat, Sehat dan Sejahtera
• Sebelas gerigi roda : 11 (sebelas) Bab dalam Undang Undang Keselamatan Kerja

6 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
Dalam melakukan pemasangan Bendera Keselamatan dan Kesehatan Kerja di tempat kerja
memiliki ketentuan sebagai berikut:
1. Tempat:
1. Apabila berdampingan dengan bendera nasional (bendera Merah Putih) harus
dipasang pada tiang sebelah kiri daripada tiang bendera nasional, atau
2. Dipasang pada gerbang masuk ke halaman perusahaan atau pabrik tempat kerja, atau
3. Dipasang pada pintu utama bangunan kantor dan/atau pabrik, atau
4. Di depan kantor Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) atau Safety
Department jika ada.
2. Tinggi tiang tidak boleh lebih tinggi dari tiang bendera nasional (bendera Merah Putih).
3. Waktu pemasangannya satu tiang penuh selama ada kegiatan di tempat kerja.

D. PENDEKATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA


Menurut International Labour Organization (ILO) Keselamatan dan Kesehatan Kerja atau
Occupational Safety and Health adalah upaya meningkatkan dan memelihara derajat tertinggi
semua pekerjaan baik secara fisik, mental dan kesejahteraan sosial disemua jenis pekerjaan,
mencegah terjadinya gangguan Kesehatan yang diakibatkan oleh pekerjaan.
Melindungi pekerja pada setiap pekerjaan dari tisiko yang timbul dari factor-faktor yang dapat
mengganggu Kesehatan, menempatkan dan memelihara pekerja dilingkungan kerja yang sesuai
dengan kondisi fisiologis dan prikologis pekerja dan untuk menciptakan kesesuaian antara
pekerjaan dan pekerja dan setiap orang dengan tugasnya.
Berbeda dengan ILO, Occupational Safety Health Administration (OSHA) mendefinisikan
Kesehatan dan Keselamatan Kerja adalah aplikasi ilmu dalam mempelajari risiko keselamatan
manusia dan property baik dalam industry maupun dalam kegiatan lainnya. Keselamatan dan
Kesehatan Kerja merupakan multi disiplin ilmu yang terdiri atas ilmu fisika, kimia, biologi dan ilmu
perilaku dengan aplikasinya pada manufaktur, transportasi, penanganan material berbahaya dll.
Berdasarkan kedua definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa Keselamatan dan Kesehatan
Kerja dapat di definisikan sesuai dengan pendekatan tertentu.

1. Pendekatan Filosofis
Merupakan suatu upaya pemikiran dan penerapan yang ditujukan untuk menjamin keutuhan
dan kesempurnaan jasmani dan rohani tenaga kerja dan manusia pada umumnya, termasuk
hasil karya dan budayanya, untuk meningkatkan kesejahteraan kelangsungan pembangunan.
Setiap perusahaan atau organisaasi tentu memiliki visi dan misi yang menjadi landasan
spiritual dan landasan moral untuk mencapai tujuannya. Aspek Keselamatan dan Kesehatan

7 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
Kerja seharusnya menjadi bagian dari nilai-nilai yang dianur oleh suatu peruysahaan yang
peduli terhadap aspek keselamatan. Keberhasilan Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam
perusahaan ditentukan oleh 4 faktor yang disebut 4P yaitu Philosophy, Policy, Procedures dan
Practices.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja harus didasarkan adanya landasan filosofi yang kuat agar
manajemen dan semua unsur yang terkait dengan visi, misi dan nilai-nilai yang dimiliki oleh
perusahaan. Keselamatan dan Kesehatan Kerja harus menadi filosofi dasar perusahaan dalam
menjalankan usahanya, bukan semata untuk mencari keuntungan.
Selanjutnya Keselamatan dan Kesehatan Kerja memerlukan adanya kebijakan (Policy) dari
manajemen puncak untuk memberikan arahan mengenai program Keselamatan dan
Kesehatan Kerja. Kebijakan saja belum menjamin bahwa Keselamatan dan Kesehatan Kerjha
dapat dilaksanakan dengan baik, untuk itu dibutuhkan prosedur yang mengatur lebih detail
tentang tata cara dan Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam melaksanakan pekerjaan
dan menjadi landasan operasional dalam penerapan Keselamatan dan Kesehatan kerja
selanjutnya adalah prosedur tersebut harus dijalan kan secara konsisten dan
berkesinambungan (practices) dan dilakukan tinjuan ulang secara berkala sebagai masukan
dalam pengembanga kebijakan selanjutnya.

2. Pendekatan Kemanusiaan
Kecelakaan kerja pada umumnya akan memiliki dampak langsung terhadap kerugian atau
penderitaan manusia yang menjadi korban dan juga keluarganya. Korban kecelakaan kerja
dapat mengalami cidera baik ringan maupun berat, mengalamai kecacatan dan bahkan
kehilangan nyawa korban. Pada umumnya dari suatu kecelakaan kerja terjadi karena adanya
factor kesalahan manusia atau pekerja. Namun kita tidak bisa hanya berhenti pada
kesimpulan bahwa suatu kecelakaan kerja yang terjadi adalah kesalahan manusia, harus digali
lebih jauh lagi adakah factor-faktor lain yang mungkin menjadikan pekerja tersebut berbuat
salah, sudah adakah prosedur kerja yang baik, sudahkan peralatan kerja yang aman,
bagaimana dengan factor lingkungan kerja dan lain sebagainya.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja memiliki tujuan utama untuk memberikan perlindungan
terhadap manusia baik tenaga kerja maupun masyarakat yang terkena dampak dari kegiatan
usaha yang dilakukan. Keselamatan dan Kesehatan Kerja merupakan bagian dari Hak Asasi
Manusia (HAM) sebagaimana tercantum pada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pada Pasal
27 ayat (2). Setiap perusahaan atau pemberi pekerjaan memiliki tanggung jawab untuk
memberikan perlindungan yang cukup kepada seluruh tenaga kerja dan masyarakat pada
umumnya dari berbagai potensi bahaya yang dapat mencederai pekerja atau manusia pada

8 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
umumnya. Permasalahan Keselamatan dan Kesehatan Kerja dapat dilihat sebagai tanggung
jawab moral untuk melindungi keselamatan dan Kesehatan sesame manusia. Keselamatan
bukan hanya memenuhi persyaratan yang tercantum di dalam peraturan perundang-
undangan semata, tetapi merupakan tanggung jawab moral setiap pelaku usaha untuk
melindungi keselamatan pekerjanya.

3. Pendekatan Ekonomi
Manfaat Keselamatan dan Kesehatan Kerja juga dapat dilihat dari pendekatan ekonomi atau
finansial. Salah satu dampak dari terjadinya kecelakaan kerja adalah timbulnya kerugian yang
bisa menjadi sangat besar bagi perusahaan. Banyak diantara perusahaan yang mengalami
kecelakaan kerja berdampak terhadap kebangkrutan dari perusahaan tersebut. Dampak
ekonomi dari K3 dapat dilihat dari sisi produktivitas dan pengendalian kerugian (loss control).
Kecelakaan mempengaruhi produktivitas suatu perusahaan, karena dalam proses produksi,
produktivitas ditopang oleh 3 pilar utama yaitu kualitas, kuantitas dan keselamatan. Ketiga
pilar tersebut harus berjalan seimbang agar produktivitas dapat dicapai.
Proses dan produk mempunyai persyaratan dari sisi kualitas (mutu) dan kuantitas yang
ditetapkan dalam setiap pekerjaan, hal ini menyangkut spesifikasi teknis, ukuran, volume,
kapasitas produksi atau waktu yang diperlukan untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan.
Produktivitas tidak dapat dianggap berhasil jika pekerja tersebut hanya memperhatikan unsur
kualitasnya saja, tetapi dari sisi kuantitas dari pekerjaan harus diperhatikan. Namun kedua
factor tersebut belum dapat dianggap berhasil dalam memenuhi produktivitas kerja.
Produktivitas kerja tidak akan dapat tercapai jika dalam proses produksi tersebut terjadi atau
timbul kecelakaan kerja atau kerusakan yang dapat mengakibatkan penurunan kualitas hasil
pekerjaan. Pekerjaan harus dilakukan ndengan aman tanpa ada insiden atau kecelakaan kerja
yang dapat menimbulkan biaya dan kehilangan waktu kerja serta potensi kerusakan baik
peralatan maupun material pada proses produksi tersebut.
Konsep tersebut merupakan rumusan dari Sistem Manajemen Mutu yang terdiri dari enam
unsur, yaitu:
• Kualitas produk
• Kualitas penyerahan
• Kualitas biaya
• Kualitas pelayanan
• Kualitas moral
• Kualitas Keselamatan dan Kesehatan kerja

9 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
Berdsasarkan elemen kualitas tersebut di atas, Nampak bahwa tanpa usaha Keselamatan dan
Kesehatan Kerja yang baik, maka proses pencapaian mutu tidak akan dapat dicapai,
Keselamatan dan Kesehatan Kerja berperan dalam memberikan jaminan keamanan proses
produksi sehingga pada akhirnya pencapaian produktivitas kerja dapat terwujud.
Keselamatan dan Kesehatan kerja merupakan instrument yang memproteksi pekerja,
perusahaan, lingkungan hidup dan masyarakat sekitar dari bahaya akibat kecelakaan kerja.
Keselamatan dan Kesehatan kerja bertujuan mencegah, mengurangi bahkan menihilkan risiko
kecelakaan kerja (Zero Accident). Penerapan konsep ini tidak dapat danggap sebagai upaya
pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang menghabiskan banyak biaya
(cost) bagi perusahaan, melainkan harus dianggap sebagai bentuk investasi jangka Panjang
yang memberikan keungungan yang berlimpah dimasa yang akan datang.

4. Pendekatan Hukum
Pemerintah memiliki tugas dan tanggung jawab untuk melindungi segenap bangsa dan negara
termasuk di dalamnya adalah warga negara terhadap berbagai gangguan yang dapat
mengancam keselamatan dan bahkan jiwa atau kehidupannya. Sebagaimana tertuang dalam
UUD 1945 pada Pasal 27 ayat (2) bahwa Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Hal tersebut mengandung arti bahwa Negara
wajib menjungjung tinggi Hak Asasi Manusia utuk dapat bekerja dan menjalani kehidupan
yang layak.
Dalam menjalan amanat UUD tersebut terutama dalam melindungi tiap-tiap warga negara
terkait keselamatannya, maka Pemerintah telah menetapkan berbagai kebijakan dalam
bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hak dan kewajiban baik
kepada tenaga kerja mupun pengusaha dalam menyelenggarakan keselamatan dan
Kesehatan kerja di lingkungan kerja. Peraturan perundang-undangan tersebut merupakan
sebuah perintah yang harus dilaksanakan dan akan memdapatkan kosekuensi hukum bagi
barang siapa saja yang tidak mentaati atau melanggar dari ketentuan-ketentuan yang
terdapat di dalam peraturan tersebut.
Salah satu peraturan yang terkait dengan penyelenggaraan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
adalah Peraturan Pemerintah Nomor 50 tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) yang menjadi pedoman bagi perusahaan dalam
menyelenggarakan dan menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
tersebut sebagai sebuah sistem yang merupakan bagian dari Sistem Manajemen di dalam
Perusahaan tersebut.

10 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
Keselamatan dan Kesehatan Kerja baru menjadi perhatian utama pada tahun 70-an searah
dengan semakin ramainya investasi modal dan pengadopsian teknologi industri nasional
(manufaktur). Perkembangan tersebut mendorong pemerintah melakukan regulasi dalam
bidang ketenagakerjaan, termasuk pengaturan masalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
Hal ini tertuang dalam UU No. 1 Tahun 1070 tentang Keselamatan Kerja, sedangkan peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan sebelumnya seperti UU Nomor 12 Tahun 1948 tentang
Kerja, UU No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja
tidak menyatakan secara eksplisit konsep Keselamatan dan Kesehatan kerja yang
dikelompokkan sebagai norma kerja. Setiap tempat kerja atau perusahaan harus
melaksanakan program Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Tempat kerja dimaksud
berdimensi sangat luas mencakup segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di
permukaan tanah, dalam air, di udara maupun di ruang angkasa.
Pengaturan hukum Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam konteks di atas adalah sesuai
dengan sektor/bidang usaha. Misalnya, UU No. 13 Tahun 1992 tentang Perkerataapian, UU
No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), UU No. 15 Tahun 1992
tentang Penerbangan beserta peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya. Selain sekor
perhubungan di atas, regulasi yang berkaitan dengan Keselamatan dan Kesehatan Kerja juga
dijumpai dalam sektor-sektor lain seperti pertambangan, konstruksi, pertanian, industri
manufaktur (pabrik), perikanan, dan lain-lain.Di era globalisasi saat ini, pembangunan nasional
sangat erat dengan perkembangan isu-isu global seperti hak-hak asasi manusia (HAM),
lingkungan hidup, kemiskinan, dan buruh. Persaingan global tidak hanya sebatas kualitas
barang tetapi juga mencakup kualitas pelayanan dan jasa. Banyak perusahaan multinasional
hanya mau berinvestasi di suatu negara jika negara bersangkutan memiliki kepedulian yang
tinggi terhadap lingkungan hidup. Juga kepekaan terhadap kaum pekerja dan masyarakat
miskin. Karena itu bukan mustahil jika ada perusahaan yang peduli terhadap Keselamatan dan
Kesehatan Kerja, menempatkan ini pada urutan pertama persyaratan investasi

5. Pendekatan Keilmuan
Sejarah ilmu Keselamatan dan Kesehatan kerja diawali dengan munculnya perkembangan
industri dalam skala besar. Pada masa lalu, alat-alat kerja sangat sederhana sehingga
kecelakaan kerja pun relatif lebih kecil. Namun, saat ini alat-alat produksi sudah semakin
canggih dan rumit sehingga memperbesar risiko terjadinya kecelakaan kerja. Hal inilah yang
kemudian mengembangkan keilmuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) hingga seperti
sekarang.

11 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah ilmu dan seni yang terdiri dari serangkaian metoda-
metoda dalam melakukan intervensi terhadap sistem kerja sehingga menjamin keamanan dan
kesehatan setiap sistem kerja yang dijalankan baik bagi pekerja, peralatan, maupun bagi
lingkungan (Modjo,2009). Ilmu K3 bukanlah ilmu dasar, namun ia adalah ilmu campuran yang
meliputi:
• Ilmu Kimia dan fisika, yang akan membantu untuk menjelaskan apakah suatu
substansi/zat berbahaya atau tidak. Misalnya: listrik, ledakan, material yang mudah
terbakar, asam, dan lain-lain
• Ilmu biologi (termasuk toksikologi, hygiene dan kedokteran), yang akan menjelaskan
komposisi dan proses suatu organisme hidup. Misalnya: efek dari organisme
berbahaya, respons tubuh terhadap substansi tertentu, pertolongan pertama, dan
lain-lain
• Teknik, yang akan memberikan dasar untuk membuat lingkungan kerja yang aman.
Misalnya: pemberian tombol emergency pada mesin, desain yang ergonomis, serta
perlindungan terhadap kebakaran
• Psikologi, yang akan menjelaskan perilaku dari individu. Misalnya: dampak stress
pekerjaan, perilaku memakai APD, keterlibatan dalam kegiatan K3, dan lain-lain
• Sosiologi, yang akan menjelaskan perilaku seseorang dalam sebuah kelompok.
Misalnya: proses manajemen, pola bekerja, komunikasi dalam organisasi, dll
• Hukum, yang akan memberikan pengetahuan tentang apa yang harus atau tidak boleh
dilaksanakan. Misalnya: SMK3, OHSAS, Perda lokal, dll

E. SASARAN KESELAMATAN KONSTRUKSI


Keselamatan dan Kesehatan Kerja bertujuan untuk menciptakan kondisi lingkungan kerja yang
aman, sehat dan bebas dari pencemaran lingkungan dengan memelihara kesehatan dan
keselamatan, keamanan dan keselamatan tenaga kerja di dalam perusahaan untuk dapat
mencegah atau mengurangi terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja, dan pada akhirnya
dapat meningkatkan sistem efisiensi dan produktivitas kerja. Jadinya kerja keluarga pekerja
konsumen dan kesejahteraan manusia yang bekerja bisa terjaga. Mereka juga terpengaruh kondisi
lingkungan kerja yang mementingkan keselamatan.
Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, maka dapat ditarik
sebuah kesimpulan bahwa kewajiban dalam menyelenggarakan Keselamatan Kerja di tempat
kerja memiliki suatu sasaran yang ingin dicapai yaitu:
1. Menjamin Keselamatan pekerja dan orang lain

12 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
2. Menjamin keamanan peralatan yang digunakan.
3. Menjamin proses produksi yang aman dan lancar.
Pekerjaan konstruksi merupakan pekerjaan memiliki ciri yang khusus dan berbeda dengan bidang
pekerjaan lainnya untuk itu dalam mewujudkan tertib penyelenggaraan jasa konstruksi harus
mengikuti Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan dan Keberlanjutan (K4) untuk itulah dalam
mengembangkan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi telah ditetapkan sasaran
keselamatan konstruksi yaitu:
1. Menjamin dipenuhinya standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan dan Keberlanjutan
dalam Perencanaan, Perancangan dan Pelaksanaan Konstruksi.
2. Melindungi Keselamatan dan Kesehatan Kerja para pekerja dan orang lain di tempat kerja
konstruksi (formal dan informal).
3. Menjamin setiap material dan alat konstruksi dapat digunakan dengan selamat, sehat,
efisien dan efektif.
4. Menjamin proses konstruksi dapat berjalan dengan lancar.
5. Menjamin produk konstruksi dapat digunakan, dirawat dan dibongkar dengan cara yang
selamat dan efisien.

F. POTENSI BAHAYA DAN KECELAKAAN KERJA


Pemahaman terhadap bahaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja merupakan hal yang paling
mendasar dalam bidang Keselamatan dan Kesehatan Kerja, bahaya perlu diidetifikasi sebagai
langkah awal dalam menentukan tindakan apa yang harus direncanakan atau dilakukan untuk
mengendalikan bahaya yang sesuai di tempat kerja.
ISO 4500 mendefinisikan bahaya adalah sumber yang dapat menyebabkan cidera atau penyakit
akibat kerja (source with a potential to cause injury and ill health) sementara menurut OHSAS
18001 mendefinisikan bahaya sebagai sumber, kondisi atau tindakan yang berpotensi
menimbulkan kecelakaan atau cidera pada manusia, kerusakan atau gangguan lainnya. Bahaya
adalah suatu keadaan yang memungkinkan atau berpotensi terhadap terjadinya kejadian
kecelakaan berupa cedera, penyakit, kematian, kerusakan atau kemampuan melaksanakan fungsi
operasional yang telah ditetapkan (Tarwaka, 2008 ). Menurut Tarwaka (2014 ), potensi bahaya
adalah sesuatu yang berpotensi menyebabkan terjadinya kerugian, kerusakan, cedera, sakit,
kecelakaan, atau bahkan dapat menyebabkan kematian yang berhubungan dengan proses dan
sistem kerja.
Bahaya adalah segala sesuatu termasuk situasi atau tindakan yang berpotensi menimbulkan
kecelakaan atau cidera pada manusia, kerusakan atau gangguan lainnya. Karena hadirnya bahaya

13 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
maka diperlukan upaya pengendalian agar bahaya tersebut tidak menimbulkan akibat yang
merugikan (Soehatman Ramli, 2010 ). Frank Bird-Loss Control Management dalam Ramli (2011 )
mendefinisikan bahwa bahaya merupakan sumber yang berpotensi menciderai manusia, sakit,
kerusakan properti, lingkungan ataupun kombinasinya. Bahaya pekerjaan adalah faktor-faktor
dalam hubungan pekerjaan yang dapat mendatangkan kecelakaan. Bahaya tersebut disebut
potensial, jika faktor-faktor tersebut belum mendatangkan kecelakaan (Suma’mur, 1996). Bahaya
merupakan kondisi yang memiliki potensi terjadinya kecelakaan dan kerusakan, bahaya
melibatkan risiko atau kesempatan yang berkaitan dengan elemen-elemen yang tidak diekatahui.
(Ashfal 1999, dalam Alfatiyah, 2017).
Keselamatan kerja telah menjadi perhatian di kalangan pemerintah dan bisnis sejak lama. Faktor
keselamatan kerja menjadi penting karena sangat terkait dengan kinerja karyawan dan pada
gilirannya pada kinerja perusahaan. Semakin tersedianya fasilitas keselamatan kerja semakin
sedikit kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja.
Kecelakaan adalah suatu kejadian yang tidak diduga semula dan tidak dikehendaki yang
mengacaukan proses yang telah diatur dfari suatu aktivitas dandapat menimbulkan kerugian baik
korban manusia dan atau harta benda (Depnaker, 1999:4). Kecelakaan kerja (accident) adalah
suatu kejadian atau peristiwa yang tidak diinginkan yang merugikan terhadap manusia, merusak
hartabenda atau kerugian terhadap proses (Didi Sugandi, 2003: 171). Kecelakaan Kerja adalah
sesuatu yang tidak terduga dan tidak diharapkan yang dapat mengakibatkan kerugian harta
benda, korban jiwa / luka / cacat maupun pencemaran. Kecelakaan kerja merupakan kecelakaan
yang terjadi akibat adanya hubungan kerja, (terjadi karena suatu pekerjaan atau melaksanakan
pekerjaan). Kecelakaan kerja juga dapat didefinisikan suatu kejadian yang tidak dikehendaki dan
tidak diduga semula yang dapat menimbulkan korban manusia dan atau harta benda tentunya hal
ini dapat mengakibatkan kerugian jiwa serta kerusakan harta benda. Dengan demikian menurut
definisi tersebut ada 3 hal pokok yang perlu diperhatikan :
1. Kecelakaan merupakan peristiwa yang tidak dikehendaki
2. Kecelakaan mengakibatkan kerugian jiwa dan kerusakan harta benda
3. Kecelakaan biasanya terjadi akibat adanya kontak dengan sumber energi yang melebihi
ambang batas tubuh atau struktur.
Faktor penyebab kecelakaan kerja bisa dibagi menjadi tiga, yaitu faktor manusia, faktor
lingkungan, dan faktor peralatan. Oleh karena itu, setiap orang yang terlibat dalam pekerjaan, baik
itu perusahaan yang mempekerjakan, pekerja, hingga orang-orang sekitar perlu memahami
prosedur keselamatan kerja.

14 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
1. Potensi Bahaya Faktor Manusia
Manusia merupakan salah satu sumber potensi bahaya, banyak kecelakaan kerja terjadi
dikarenakan oleh kesalahan manusia atau pekerja yang melakukan pekerjaan dengan tidak
aman (Unsafe Act). Kesalahan manusia tersebut dilatar belakangi oleh berbagai factor
diantaranya adalah:

a. Perilaku manusia
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, perilaku manusia merupakan salah satu faktor
penyebab kecelakaan kerja. Sikap terhadap kondisi kerja, kecelakaan dan praktik kerja
yang aman bisa menjadi hal yang penting karena ternyata lebih banyak persoalan yang
disebabkan oleh pekerja yang ceroboh, dibandingkan dengan mesin-mesin atau karena
ketidakpedulian karyawan.
Pada satu waktu, pekerja yang tidak puas dengan pekerjaannya dianggap memiliki tingkat
kecelakaan kerja yang lebih tinggi. Namun demikian, asumsi ini telah dipertanyakan
selama beberapa tahun terakhir. Meskipun kepribadian, sikap karyawan, dan karakteristik
individual karyawan tampaknya berpengaruh pada kecelakaan kerja, namun hubungan
sebab akibat masih sulit dipastikan.

b. Pelatihan Keselamatan dan Kesehatan Kerja


Pelatihan keselamatan dan kesehatan kerja juga merupakan salah satu faktor penyebab
kecelakaan kerja yang harus diperhatikan. Hal ini biasanya dikarenakan atas kelalaian
pekerja atau perusahaan.
Pelatihan keselamatan dan kesehatan kerja merupakan bagian pendidikan yang
menyangkut proses belajar untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan di luar
sistem pendidikan yang berlaku. Hal ini dilakukan dalam waktu yang relatif singkat, dan
dengan metode yang lebih mengutamakan praktek daripada teori.
Penyelenggaraan pelatihan dimaksudkan agar pemeliharaan terhadap alat-alat kerja
dapat ditingkatkan karena salah satu tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengurangi
timbulnya kecelakaan kerja, kerusakan, dan peningkatan pemeliharaan terhadap alat-alat
kerja.

c. Penggunaan Alat Pelindung Diri


Faktor penyebab kecelakaan kerja dari faktor manusia berikutnya adalah penggunaan alat
pelindung diri. Alat pelindung diri (APD) merupakan seperangkat alat yang digunakan oleh
pekerja untuk melindungi tubuhnya dari potensi bahaya kecelakaan kerja.

15 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
Tidak menggunakan APD dapat memperbesar kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja,
walaupun APD tidak secara sempurna melindungi pekerja, tetapi akan dapat mengurangi
tingkat keparahan yang mungkin terjadi.

d. Prosedur atau SOP


Prosedur kerja yang disusun dengan tidak memperhatikan faktor keselamatan kerja di
dalamnya, dapat menyebabkan kecelakaan kerja terjadi. Oleh karena itu, penting sekali
untuk melakukan evaluasi secara berkala terhadap semua prosedur kerja yang telah
dibuat.

2. Potensi Bahaya Faktor Lingkungan


Faktor penyebab kecelakaan kerja selanjutnya adalah faktor lingkungan. Hal ini berkaitan
dengan lingkungan kerja yang tidak sesuai dengan standar keamanan. Berikut beberapa faktor
penyebab kecelakaan kerja yang dipengaruhi oleh lingkungan:

a. Desain Tempat Kerja


Idealnya, tempat kerja didesain aman sejak awal. Namun, pada kenyataannya tetap saja
ada kelemahan desain yang membuat tempat kerja tidak sepenuhnya aman. Selain itu,
bisa jadi tempat kerja menjadi tidak lebih aman setelah ada perubahan desain atau
modifikasi.

b. Lokasi Kerja
Bekerja pada ketinggian tentu memiliki resiko tinggi. Bekerja di dalam sebuah area yang
terbatas jauh lebih berbahaya daripada bekerja pada ruangan terbuka. Karena itulah
lokasi kerja menjadi salah satu faktor penyebab kecelakaan kerja terjadi.

c. Kebisingan
Kebisingan juga bisa dijadikan salah satu faktor penyebab kecelakaan kerja dari
lingkungan. Kebisingan dapat mengurangi kenyamanan dalam bekerja, mengganggu
komunikasi/percakapan antar pekerja, mengurangi konsentrasi, menurunkan daya
dengar, hingga tuli akibat kebisingan.

d. Suhu Udara
Suhu udara juga bisa menjadi salah satu faktor penyebab kecelakaan kerja. Dari suatu
penyelidikan diperoleh hasil bahwa produktivitas kerja manusia akan mencapai tingkat
yang paling tinggi pada temperatur sekitar 24°C- 27°C.
Suhu dingin mengurangi efisiensi dengan keluhan kaku dan kurangnya koordinasi otot.
Suhu panas berakibat menurunkan prestasi kerja, mengurangi kelincahan,
memperpanjang waktu reaksi dan waktu pengambilan keputusan, mengganggu

16 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
kecermatan kerja otak, mengganggu koordinasi syaraf perasa dan motoris, serta
memudahkan untuk dirangsang.

e. Penerangan
Penerangan di tempat kerja sangat penting untuk menerangi benda-benda di tempat
kerja. Banyak obyek kerja beserta benda atau alat dan kondisi di sekitar yang perlu dilihat
oleh tenaga kerja. Hal ini penting untuk menghindari kecelakaan yang mungkin terjadi.
Penerangan yang baik memungkinkan tenaga kerja melihat obyek yang dikerjakan secara
jelas, cepat dan tanpa upaya-upaya tidak perlu. Penerangan adalah penting sebagai suatu
faktor keselamatan dalam lingkungan fisik pekerja.

f. Lantai licin
Lantai dalam tempat kerja harus terbuat dari bahan yang keras tahan air dan bahan kimia
yang merusak. Hal ini karena lantai licin akibat tumpahan air, tahan minyak atau oli
berpotensi besar terhadap terjadinya kecelakaan, seperti terpeleset.

3. Faktor Peralatan
Selain faktor manusia dan lingkungan, faktor peralatan juga merupakan salah satu faktor
penyebab kecelakaan kerja. Berikut beberapa faktor peralatan yang dapat menjadi faktor
penyebab kecelakaan kerja

a. Kondisi Mesin
Faktor penyebab kecelakaan kerja dari peralatan yang pertama adalah kondisi mesin. Bila
kondisi mesin memang sudah tidak memadai, sebaiknya segera diperbaiki dan tidak
digunakan lagi. Ketersediaan pengaman hingga perlengkapan lainnya juga harus benar-
benar dipastikan terlebih dahulu. Dengan begitu, faktor penyebab kecelakaan kerja dapat
dikurangi dengan memperhatikan kondisi mesin.

b. Rancangan Alat
Desain alat juga dapat menjadi salah satu faktor yang dapat membuat kecelakaan kerja
terjadi. Alat yang telah dirancang dengan pertimbangan keamanan akan mampu
mencegah terjadinya kecelakaan kerja. Contohnya, penggunaan cover pada berbagai
mesin untuk menghindari dampak buruk yang dapat terjadi pada tubuh pekerja. Sehingga
alat-alat yang digunakan aman dari sisi K3.

c. Posisi Mesin
Posisi mesin juga menentukan dalam faktor penyebab kecelakaan kerja. Tergantung posisi
dan jenis mesinnya, hal ini dapat berpengaruh terhadap kenyamanan hingga keamanan

17 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
pekerja. Jadi, posisi mesin harus benar-benar diperhatikan sebagai salah satu faktor
penyebab kecelakaan kerja.
Dalam Keselamatan dan Kesehatan Kerja kita mengenal istilah Insiden yang dalam terminologi
umum artinya sutu kejadian yang tidak diinginkan yang “dapat” menimbulkan kerugian. Dalam
terminologi tersebut terdapat kata “dapat” yang mengandung arti bisa “ya” dan bisa juga “tidak”.
Dalam hal insiden yang terjadi tersebut menyebabkan atau menimbulkan dampak yang
merugikan, maka disebut “Kecelakaan” sementara jika insiden tersebut tidak menimbulkan
kerugian, maka disebut “Hampir Celaka / Near Miss”. Bentuk-bentuk kerugian yang dapat terjadi
akibat adanya kecelakaan adalah:
1. Cidera fisik (Physical Injury)
2. Penyakit akibat kerja (Occupational Illness)
3. Kerusakan harta benda (Property damage)
4. Proses Produksi atau hasil (Process and Product)
5. Kerugian juga dapat berupa kombinasi dari bentuk-bentuk kerugian di atas.

G. DAMPAK KECELAKAAN KERJA KONSTRUKSI


1. Dampak Kecelakaan Kerja
Dihimpun dari beberapa sumber diantaranya Badan Pusat Statistik, Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, maka berikut ini
adalah rangkuman dari kecelakaan kerja yang terjadi pada sektor konstruksi dan juga sektor
lainnya. Sektor Konstruksi menempati urutan tertinggi atau paling banyak terjadi kasus
kecelakaan kerja atau sebesar 32% lebih tinggi dari sektor Industri yang menempati urutan
kedua sebesar 31,60% hal ini tentu menunjukan bahwa tingkat risiko pekerjaan disektor
konstruksi lebih tinggi dibandingkan sektor-sektor usaha lainnya. Untuk itu Kemeterian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat memandang perlu untuk mengatur secara lebih
spesifik penyelenggaraan Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada bidang Konstruksi atau yang
dikenal dengan Keselamatan Konstruksi. Beredasarkan data kecelakaan kerja yang dilaporkan
di Indonesia pada tahun 2018 terdapat 2.215 orang yang kecelakaan kerja di sektor konstruksi
dengan jumlah yang meninggal sebanyak 148 orang atau 6.68%.
Dampak dari kecelakaan kerja dapat dilihat dari beberapa tingkatan sesuai dengan cakupan
terhadap dampak tersebut mulai dari skala Mikro atau pada tingkat proyek, kemudian pada
skala meso atau pada tingkatan perusahaan dan juga pada skala makro atau yang lebih luas
lagi yaitu pengaruhnya terhadap negara.

18 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
a. Dampak Kecelakaan pada Skala Mikro
Kecelakaan secara langsung akan berdampak terhadap kegiatan produksi atau proses
yang sedang diselenggarakan, dampak tersebut dapat berupa hilangnya waktu kerja dan
kemungkinan juga akan berdampak terhadap keterlambatan penyelesaian pekerjaan
akibat adanya hilang waktu kerja tersebut. Selain itu juga akan menyebabkan kerugian
secara finansial yaitu adanya biaya tambahan untuk memperbaiki kerusakan atau biaya
untuk pengobatan dan/atau pemulihan atas cidera yang dialami oleh pekerja bahkan bisa
menyebabkan kecacatan atau kematian terhadap pekerja. Kecelakaan juga kadang
terjadi tidak saja berdampak terhadap internal di dalam proyek tersebut namun juga
terkadang dapat berdampak terhadap lingkungan sekitarnya berupa cidera atau bahkan
korban jiwa masyarakat yang ada disekitar proyek tersebut dan juga kerusakan
lingkungan berupa pencemaran yang berdampak terhadap penurunan kesahatan
masyrakat disekitar atau kerusakan sarana dan prasarana lingkungan. Pimpinan proyek
bertanggung jawab terhadap penyelesaian permasalahan tersebut dan tentu saja akan
mempengaruhi penilaian kinerja dari proyek tersebut.

b. Dampak Kecelakaan pada Skala Meso


Kecelakaan kerja yang terjadi di proyek secara langsung dan juga tidak langsung akan
memberikan dampak terhadap perusahaan terutama terkait dengan penilaian corporate
performance. Dalam skala kecelakaan yang kecil sampai sedang jika sering terjadi pada
perusahaan tersebut maka akan memberikan pengaruh terhadap kredibilitas dan
profesionalisme perusahaan tersebut dan tentu saja akan memberikan penilaian buruk
terhadap perusahaan oleh masyarakat. Hal ini tentu akan merugikan perusahaan karena
akan semakin sulit untuk dapat mendapatkan Kerjasama karena dinilai memiliki kinerja
yang buruk, penilaian negarig suatu perusahaan juga akan mempengaruhi nilai saham
perusahaan tersebut terhadap para investor di bursa saham.
Banyaknya kecelakaan kerja yang terjadi juga akan memberikan dampak dari sisi finansial
perusahaan tersebut dikarenakan harus mengeluarkan biaya tambahan untuk
pengobatan atau perbaikan kerusakan dan hasil produk yang cacat, termasuk juga
terhadap pemenuhan kewajiban waktu penyelesaian pekerjaan yang mungkin dapat
mengalami keterlambatan. Dari semua ini akan bermuara terhadap kepuasan dari
pengguna jasa terhadap produk hasil pekerjaan konstruksi yang dikerjakan oleh
perusahaan tersebut.

19 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
Salah satu faktor yang dapat menentukan daya saing suatu perusahaan adalah
kemampuan dari perusahaan tersebut dalam memberikan produk jasa konstruksi yang
berkualitas dan proses pelaksanaan pekerjaan tidak terkendala oleh terjadinya insinden-
insiden yang merugikan. Perusahaan harus senantiasa mengejar target Zero Accident
(Nihil Kecelakaan). Semakin kecil angka kecelakaan kerja maka penilaian kinerja dari
perusahaan tersebut akan meningkat dan citra perusahaan akan semakin berkembang.

Tabel 1. Dampak Negatif Kecelakaan Konstruksi

c. Dampak Kecelakaan pada Skala Makro


Indeks daya saing suatu bangsa salah satunya dipegaruhi oleh factor tingkat kecelakaan
kerja yang terjadi di negara tersebut, berdasarkan Organisasi Perburuhan Internasional
(International Labour Organization / ILO) menyatakan bahwa biaya kecelakaan kerja rata-
rata adalah 3,94% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Global. Hal ini mengindikasikan
bahwa kecelakaan kerja menghabiskan biaya yang sangat signifikan terhadap
pendapatan yang dihasilkan.
Berdasarkan data publikasi dari Global Competitiveness Indext, WEF, 2019 dan Asian
Construction Outlook, 2019 menempatkan Indonesia sebagai Negara dengan pasar
terbesar no. 4 di tingkat Asia dan bahkan terbesar di tingkat ASEAN dengan Multiplier
Effect 1,8-1,9x dan merupakan generator pembangunan ekonomi sebesar 10,5%
terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia. Namun disisi lain dilihat dari Indeks Daya
Saing Global pada tahun 2019 tersebut Indonesia mengalami penurunan dibandingkan
tahun sebelumnya dimana pada tahun 2018 Indonesia menempati peringkat 36 namun
pada tahun 2019 Indonesia turun ke peringkat 45, selain itu dari Indeks Daya Saing
Infrastruktur Indonesia juga mengalami penurunan dari peringkat 52 pada tahun 2018
menjadi peringkat 71 pada tahun 2019, sementara itu dari sisi kesiapan teknologi

20 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
Indonesia menduduki peringkat ke 80, indeks daya saing Inovasi Indonesia menduduki
peringkat 87 dan Indeks Output Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Indonesia berada di
peringkat 70.
Swiss merupakan Negara yang telah berhasil menunjukkan kinerja dan menunduki
peringkat pertama sebagai Negara yang memiliki daya saing global, daya saing Inovasi
dan daya saing Output Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, sementara untuk peringkat
pertama dalam daya saing kesiapan teknologi diduduki oleh Negara Luxemburg dan
peringkat pertama untuk daya saing infrastruktur adalah Negara Hongkong.
Permasalahan daya saing suatu Negara adalah tanggung jawab bersama dari Pemerintah
sebagai regulator dan para pemangku kepentingan seperti pelaku usaha, tenaga kerja
dan masyarakat pada umumnya untuk bersama-sama dalam upaya membangun iklim
usaha dan budaya kerja yang mencerminkan nilai-nilai keselaman dan Kesehatan kerja
sebagai dasar dalam melaksanakan setiap kegiatan atau pekerjaan.

Gambar 1, Indeks Daya Saing Bangsa

2. Pentingnya Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi


Berbagai studi dan penelitian telah dilakukan guna mengevaluasi dampak dari penerapan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja baik di sektor konstruksi maupun dapa sektor lainnya
menunjukkan bahwa melalui penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja tersebut
menunjukkan adanya peningkatan kinerja dari perusahaan tersebut baik dari sisi efisiensi
biaya dan waktu penyelesaian suatu pekerjaan. Zou dan Sunundijo (2015) telah melakukan
riset terhadap perusahaan dengan membandingkan antara jumlah total rasio biaya

21 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
keselamatan, jumlah total rasio biaya kecelakaan dan rasio investasi keselamatan untuk
mendapatkan nilai minimum untuk kinerja keselamatan.

Gambar 2. Kinerja Keselamatan


Pada Grafik untuk menentukan nilai kinerja keselamatan menunjukan bahwa investasi yang
tinggi dalam keselamatan memberikan hasil kinerja keselamatan yang tinggi, tetapi jika
investasi terhadap keselamatan tersebut dilakukan secara berlebihan dengan biaya yang
sangat tinggi, maka hasilnya nilai investasi tersebut secara ekonomi akan menunjukkan nilai
atau hasil yang tidak layak dan tidak efektif. Namun Ketika tidak ada investasi terhadap
keselamatan sama sekali, Total biaya Keselamatan yang akan timbul secara eksponensial
sebagai akibat dari meningkatnya jumlah kecelakaan kerja yang mungkin terjadi. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa investasi terhadap keselamatan kerja perlu dikaji secara
efektif agar nilai kelayakan investasi masih dapat dipenuhi kelayakannya namun tetap dengan
memperhatikan aspek-aspek keselamatan yang cukup untuk mencegah terjadinya kecelakaan
kerja.
Dari sumber lainnya yaitu dari buku “Safety Management in the construction Industri:
Identifying Risk and Reducing Accident to improve Ste Productivity and Project Return On
Investment (ROI)” yang diterbitkan oleh Mc.Graw Hill (2013) menyimpulkan bahwa
implementasi dalam keselamatan pada proyek-proyek konstruksi menunjukan nilai yang
positif terhadap waktu penyelesaian pekerjaan (jadwal), efisiensi biaya, Return On Investment
(ROI) dan menurunkan angka kecelakaan kerja sebagaimana digambarkan dalam Gambar 3
berikut.
Berdasarkan hasil survey terhadap pelaksanaan Sistem Manajemen Konstruksi (SMKK) bidang
Pekerjaan Umum berdasarkan Permen PUPR No. 21 Tahun 2021 tentang Pedoman Sistem
Manajemen Keselamatan Konstruksi menunjukan kinerja yang positif juga diantaranya adalah
50% responden menyatakan bahwa setelah melaksanakan Sistem Manajemen Keselamatan
Konstruksi, ternyata terdapat percepatan jadwal pelaksanaan proyek selama lebih dari 1

22 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
minggu dan 73% menyatakan terjadi juga penurunan biaya proyek dan meningkatkan Return
On Investment (ROT) disamping itu juga mampu meningkatkan nama baik perusahaan dan
meningkatkan kualitas dari hasil proyek yang dikerjakan.

Gambar 3. Dampak Positif Penerapan Keselamatan Konstruksi dalam Proyek

Sepanjang periode tahun 2019 di Indonesia telah terjadi berbagai macam kecelakaan
konstruksi yang berdampak terhadap kerugian materi maupun cidera dan hilangnya nyawa
manusia baik pekerja maupun masyarakat sebagai pengguna dari hasil pekerjaan konstruksi.
Atas banyaknya kejadian kecelakaan konstruksi tersebut pada awal tahun 2020 Presiden
Republik Indonesia Ir. Joko Widodo mengeluarkan Moratorium atau penghentian proyek-
proyek Infrastruktur terutama untuk proyek-proyek konstruksi jalan layang dan mengevaluasi
standar keselamatan pada proyek-proyek tersebut sebelum diijinkan untuk diteruskan.
Tindakan tegas dengan melakukan moratorium tersebut bertujuan untuk mencari akar
masalah penyebab maraknya kecelakaan konstruksi tersebut dan mengembangkan strategi
pencegahan dimasa yang akan datang.

Gambar 4. Kecelakaan Konstruksi di Indonesia

23 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
H. LIMA MASALAH STRATEGIS KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA DI INDONESIA
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Machfudiyanto, Latif dan Suraji (2018) terhadap tingkat
kedewasaan budaya keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Sektor Konstruksi Indonesia
(Maturity level of Safety Culture in Indonesian Construction Industry) menunjukakan hasil bahwa
dari 5 level kedewasaan dalam budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja di perusahaan konstruksi
di Indonesia berada pada level kedua atau memiliki sifat “Reaktif”. Studi tersebut membagi tingkat
kedewasaan dalam 5 tingkatan yaitu mulai dari yang terendah adalah Basic (Dasar), Reactive
(reaktif), Compliant (Patuh), Proactive (Proaktif) dan Resilient (elastis atau dinamis).
Kedewasaan dalam penerapan budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja di sektor Konstruksi di
Indonesia digolongkan dalam tingkat Reaktif karena penyelenggaraan Keselamatan dan
Kesehatan Kerja dilaksanakan dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Sistem akan berjalan setelah terjadi masalah atau kecelakaan kerja sebelumnya.
2. Fokus terhadap masalah atau kecelakaan kerja.
3. Blame Culture atau budaya saling menyalahkan.
4. Investigasi kecelakaan hanya focus terhadap mencari kesalahan manusia atau pihak yang
bertanggung jawab.
5. Investigasi kecelakaan dengan analisis yang masih terbatas.
6. Kejadian nyaris celaka “Near Miss” mulai diperhatikan.
7. Sudah ada pelatihan bagi pekerja, namun masih belum dilaksanakan secara
berkelanjutan dan kontinyu.
8. Komunikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja mulai terbentuk.
9. Kepatuhan terhadap aturan masih relatif rendah.
10. Identifikasi bahaya, penilaian risiko dan pengendaliannya masih bersifat reaktif.
11. Penerapan Alat Pelindung Diri (APD) untuk mengurangi dampak paparan.
12. Kebersihan Kerja dan Pemeriksaan Kesehatan pekerja masih bersifat reaktif.
13. Audit baru dilaksanakan jika ada masalah atau untuk tujuan tertentu saja.
Permasalahan dalam pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja khususnya disektor
konstruksi di Indonesia dapat diidentifikasikan menjadi 5 masalah strategis yang harus segera
ditangani, permasalahan tersebut adalah:
1. Kegiatan Konstruksi belum memperhatikan keselamatan konstruksi sebagai sebuah
prioritas.
2. Pengawasan Keselamatan Konstruksi pada saat pelaksanaan kegiatan konstruksi masih
belum optimal.

24 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
3. Tenaga Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja secara kuantitas dan kualitas masih kurang
memadai.
4. Petugas Keselamatan dan Kesehatan Kerja Konstrusi/Petugas Keselamatan Konstruksi
atau Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja Konstruksi yang bersertifikat masih belum
memadai
5. Regulasi belum mendukung penyelenggaraan Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada
sektor Konstruksi.
Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
telah berupaya dalam melaksanakan transformasi dalam penyelenggaraan keselamatan
konstruksi melalui transformasi kebijakan/regulasi yang menempatkan upaya keselamatan
konstruksi menjadi salah satu kompeten penting yang harus dipenuhi oleh penyelenggara
konstruksi mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Salah satu wujud dari kebijakan
tersebut adalah menempatkan biaya penyelenggaraan keselamatan konstruksi dalam satuan
biaya yang harus direalisasikan oleh penyedia jasa, meningkatkan kompetensi tenaga kerja
konstruksi khususnya dalam bidang keselamatan konstruksi, melalui pelatihan dan sertifikasi,
mendorong pembentukan organisasi Quality Health Safety and Environmental (QHSE) sebagai
pelaksana Keselamatan dan Kesehatan Kerja di lingkup proyek konstruksi serta pembentukan
Komite Keselamatan Konstruksi yang berfungsi untuk melakukan investigasi kecelakaan konstruksi
dan memberikan rekomendasi kepada para pemangku kepentingan agar terwujud tertib
penyelenggaraan jasa konstruksi di masa yang akan datang.
Sebagai perwujudan dari amanat Undang-Undang Nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi
terkait tanggung jawab pemerintah pusat dalam meningkatkan kemampuan dan kapasitas usaha,
kesetaraan dan iklim usaha yang sehat, penyelenggaraan jasa konstruksi selaras dengan standar
Keamanan, Keselamatan, Kesehatan dan Keberlanjutan (K4), meningkatkan kompetensi,
profesionalisme dan produktivitas tenaga kerja, partisipasi masyarakat jasa konstruksi, maka perlu
ditetapkan arah penyelenggaraan jasa konstruksi untuk pengembangan Industri Konstruksi yang
berfokus kepada:
1. Keselamatan dan Terpadu:
• Penerapan standar K4 dan pengukuran tingkat kepatuhan
• Pengembangan sistem manajemen keselamatan konstruksi yang terintegrasi pada
setiap tahapan penyelenggaraan.
2. Adil dan Setara
• Kesesuaian penggunaan jenis kontrak konstruksi.

25 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
• Kesetaraan pemahaman isi kontrak sekaligus hak dan kewajiban dengan
menghindari adanya multi tafsir
• Musyawarah untuk menyelesaikan sengketa tanpa jalur pengadilan.
3. Efisien dan Berkualitas
• Profesionalitas penyelenggaraan jasa konstruksi.
• Optimalisasi pengendalian dan penjaminan mutu dilakukan sesuai fungsi di setiap
tahapan penyelenggaraan.
• Continuous Improvement berdasarkan data penyelenggaraan jasa konstruksi.
• Kehati-hatian dalam pengelolaan keuangan negara
Undang-undang jasa konstruksi juga mengamanatkan adanya peran serta masyarakat jasa
konstruksi dalam mewujudkan tertib penyelenggaraan jasa konstruksi nasional, salah satu wujud
peran serta masyarakat dalam kegiatan pengembangan jasa konstruksi adalah melalui Asosiasi
Jasa Konstruksi baik Asosiasi Profesi, Asosiasi Badan Usaha dan Asosiasi terkait Rantai pasok
Konstruksi melalui penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pengembangan usaha berkelanjutan dan
pengembangan keprofesian berkelanjutan. Masyarakat jasa konstruksi juga memiliki kewenangan
dalam melaksanakan pengawasan untuk meningkatkan ketertiban penyelenggaraan jasa
konstruksi dan melindungi kepentingan umum.
Salah satu ujung tombak dalam penyelenggaraan tertib jasa konstruksi khususnya di bidang
Keselamatan Konstruksi, maka peran dari Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja Bidang
Konstruksi sangat dibutuhkan untuk memiliki tanggung jawab dalam:
1. Menerapkan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang dan terkait dengan
Keselamatan Konstruksi.
2. MEngkaji dokumen kontrak dan metode pelaksanaan konstruksi.
3. Merencanakan dan Menyusun program keselamatan konstruksi.
4. Membuat prosedur kerja dan instruksi kerja penerapan dan ketentuan keselamatan
konstruksi.
5. Melaksanakan evaluasi dan membuat laporan penerapan Sistem Manajemen
Keselamatan Konstruksi dan pedoman teknis keselamatan konstruksi.
6. Melakukan penanganan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja serta penanggulangan
kondisi darurat.
7. Mengusulkan perbaikan metode kerja pelaksanaan konstruksi berbasis keselamatan
konstruksi, jika diperlukan.
8. Melakukan sosialisasi penerapan dan pengawasan pelaksanaan program, prosedur kerja
dan instruksi kerja keselamatan konstruksi.

26 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
Dalam penyelenggaraan jasa konstruksi melalui penyedia jasa dalam dokumen penawaran harus
mencantumkan dan memenuhi 9 biaya penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi.
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam menetapkan Harga Perkiraan Sendiri harus menghitung
9 komponen biaya penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi tersebut. Perkiraan
biaya penerapan SMKK merujuk kepada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat Nomor 21 tahun 2019 memuat paling sedikit:
1. Penyiapan Rencana Keselamatan Konstruksi (RKK)
2. Sosialisasi, Promosi dan Pelatihan
3. Alat pelindung kerja dan alat pelindung diri.
4. Asuransi dan perijinan.
5. Personel keselamatan konstruksi.
6. Fasilitas sarana, prasarana dan alat Kesehatan.
7. Rambu-rambu yang diperlukan.
8. Konsultansi dengan ahli terkait keselamatan konstruksi.
9. Kegiatan dan peralatan terkait dengan pengendalian risiko keselamatan konstruksi.
Dalam penyiapan rencana keselamatan konstruksi (RKK) yang akan diajukan dalam penawaran
pekerjakan jasa konstruksi tersebut memuat:
1. Elemen Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi, meliputi:
a. Kepemimpinan dan Partisipasi Pekerja dalam keselamatan konstruksi;
b. Perencanaan keselamatan konstruksi, yang memuat:
i. Uraian pekerjaan
ii. Manajemen risiko dan rencana tindakan
• Penjelasan manajemen risiko meliputi mengidentifikasi bahaya, menilai
tingkat risiko dan pengendalian risiko.
• Penjelasan rencana tindakan meliputi sasaran khusus dan program
khusus.
c. Dukungan keselamatan konstruksi
d. Operasi keselamatan konstruksi
e. Evaluasi kinerja keselamatan konstruksi
2. Pakta integritas yang ditanda tangani oleh Pimpinan tertinggi dari perusahaan penyedia
jasa konstruksi

27 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
RENCANA K3 KONSTRUKSI / RENCANA KESELAMATAN KONSTRUKSI
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI
A. Pendahuluan 1
B. Dasar Hukum 1
C. Pekerjaan Konstruksi 1
D. Tahapan Pelaksanaan SMKK dan Standar K4 2
E. Penyusunan RKK 3
F. Identifikasi Bahaya, Penilaian Risiko, Pengendalian dan Peluang 4
G. Identifikasi dan Penetapan Isu Eksternal dan Internal 8
H. Identifikasi dan Penetapan Kebutuhan dan Harapan Pihak yang Berkepentingan 9
I. Identifikasi Bahaya serta Penilaian Risiko Keselamatan Konstruksi terhadap Peluang 11
Keselamatan Kerja
J. Penilaian Risiko dan Peluang Keselamatan Konstruksi 11
K. Perencanaan Pengendalian Risiko 12
L. Rencana Tindakan (Sasaran & Program) 12
M. Identifikasi dan Kepatuhan terhadap Peraturan Perundangan dan Peraturan lainnya 13
A. PENDAHULUAN

Keselamatan Konstruksi adalah segala kegiatan keteknikan untuk mendukung pekerjaan


konstruksi dalam mewujudkan pemenuhan Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan dan
Keberlajutan yang menjamin keselamatan keteknikan konstruksi, keselamatan dan Kesehatan
kerja, keselamatan publik dan keselamatan lingkungan. Dalam rangka mewujudkan keselamatan
konstruksi tersebut di atas maka penyelenggara konstruksi wajib menerapkan sistem manajemen
keselamatan konstruksi.

Perwujudan penyelenggaraan system manajemen keselamatan konstruksi adalah melalui


pembentukan Unit Keselamatan Konstruksi (UKK) yang merupakan unit pada Penyedia Jasa
Pekerjaan Konstruksi yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan SMKK dalam pekerjaan
konstruksi dan dibawah pimpinan tertinggi penyedia jasa.

Guna melaksanakan tertib penyelenggaraan system manajemen keselamatan konstruksi maka


penyedia jasa harus mematuhi seluruh peraturan perundang-undangan yang mengatur aspek-
aspek keselamatan konstruksi. Peraturan perundang-undangan tersebut berupa Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Lembaga, Standar-
standar yang diakui baik nasional maupun internasional.

Ahli K3 Konstruksi yang ditugaskan dalam penyelenggaraan kegiatan konstruksi harus memiliki
kompetensi dalam mengidentifikasi, mengevaluasi dan menerapkan seluruh peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan penyelenggaraan K3 dilingkungan kerja konstruksi.

B. DASAR HUKUM
Berikut adalah peraturan perundang-undangan yang harus diketahui dan dilaksanakan terutama
dalam penyelenggaraan K3 dibidang konstruksi:
• Peraturan Menteri PUPR No. 21/PRT/M/2019 tentang Pedoman Sistem Manajemen
Keselamatan Konstruksi (SMKK)
• Peraturan Menteri PUPR No. 14/PRT/M/2020 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa
Konstruksi Melalui Penyedia
C. PEKERJAAN KONSTRUKSI
Sasaran utama dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi ialah:
• Keselamatan dan Kesehatan Kerja
• Keselamatan Lingkungan
• Biaya Efisien

1 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
• Mutu Produk dan Proses Kerja
• Tepat Waktu
• Produk dapat dimanfaatkan

Karakteristik kegiatan proyek konstruksi


• Melibatkan banyak tenaga kerja kasar berpendidikan rendah, masa kerja terbatas, dan
intensitas kerja yang tinggi
• Tempat kerja (terbuka, tertutup, lembab, kering, panas, berdebu dan kotor)
• Pekerjaan dilaksanakan secara komprehensif (bersifat multi disiplin dan multi crafts)
• Menggunakan peralatan kerja beragam, jenis, teknologi, kapasitas dan kondisinya

D. TAHAPAN PELAKSANAAN SMKK DAN STANDAR K4


Skema urutan tahapan pelaksanaan SMKK yaitu,
1. Tahapan
• Pengkajian dan perencanaan
• Perancangan
• Pembangunan
2. Dokumen
• Rancangan konseptual RKK
• Rancangan konseptual KAK, HPS, Risk Analysis, Biaya SMKK
• Dokumen Penawaran
• RKK
• RMPK
• RKK Pelaksanaan
3. Pelaku
• Pengguna/Konsultan Pengkajian/Konsultan Perencanaan/Konsultan perencana
• Pengguna/Kontraktor Konsultan Pengawas/Konsultan MK

Standar K4 dengan standar keamanan, keselamatan, Kesehatan, dan keberlanjutan K4 yaitu :


1. Keselamatan Keteknikan
• Standar perencanaan
• Standar perancangan
• Standar prosedur dan mutu hasil pelaksanaan jasa konstruksi
• Mutu bahan sesuai standar

2 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
• Kelaiakan peralatan
2. Keselamatan dan Kesehatan Kerja
• Perlindungan sosial tenaga kerja
• Pencegahan kecelakaan kerja dan PAK
• Pencegahan wabah penyakit
• Pencegahan penanggulangan HIV/AIDS
• Pencegahan penggunaan psikotropika
• Pengamanan lingkungan kerja
3. Keselamatan public
• Standar keselamatan public
• Pencegahan kecelakaan kerja yang berdampak pada masyarakat disekitar tempat kerja
• Pemahaman pengetahuan K3 disekitar tempat kegiatan konstruksi
4. Keselamatan lingkungan
• Pencegahan terganggunya derajat Kesehatan pekerja dan masyarakat disekitarnya
• Pencegahan dampak sosial
• Pecegahan kerusakan lingkungan (Pencemaran)

E. PENYUSUNAN RKK
Penerapan system manajemen keselamatan konstruksi/SMKK pada tahapan pelaksanaan
pekerjaan konstruksi dilakukan dengan melaksanakan RKK.
1. Penyedia jasa harus menerapkan analisis keselamatan pekerjaan untuk pekerjaan yang
mempunyai tingkat risiko besar dan/atau sedang dan pekerjaan bersifat khusus sesuai
dengan metode kerja konstruksi yang terdapat dalam RKK.
2. Dalam hal terjadi perubahan metode kerja, situasi, pengammanan, dan sumber daya
manusia, analisisi keselamatan pekerjaan harus ditinjau kembali oleh ahli K3 konstruksi.
3. Penijauan kembali dilakukan untuk melihat pemenuhan persyaratan keselamatan konstruksi,
standar, dan/atau ketentuan peraturan perundang undangan.
4. Hasil peninjauan kembali harus mendapat persetujuan dari pengguna jasa, ahli Teknik sesuai
bidangnya, dan penyedia jasa.

3 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
Elemen Sisten Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK)
1. Kepemimpinan dan partisipasi pekerja dalam keselamatan konstruksi
2. Perencanaan keselamatan konstruksi
3. Dukungan keselamatan konstruksi
4. Operasi keselamatan konstruksi
5. Evaluasi kinerja keselamatan konstruksi

F. IDENTIFIKASI BAHAYA, PENILAIAN RISIKO, PENGENDALIAN DAN RUANG


Identifikasi bahaya, penilaian risiko, pengendalian dan peluang (IBPRP) Perencanaan Keselamatan
Konstruksi meliputi:
• Identifikasi dan penerapan isu-isu eksternal dan internal
• Identifikasi dan penetapan kebutuhan dan harapan pihak yang berkepentingan
• Identifikasi bahaya serta penilaian risiko dan peluang keselamatan konstruksi. Risiko yang
dimaksud adalah Risiko Keselamatan Konstruksi untuk menentukan kebutuhan Ahli K3
Konstruksi dan/atau Petugas Keselamatan Konstruksi, tidak untuk menentukan kompleksitas
atau segmentasi pasar Jasa Konstruksi
• Identifikasi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dan lainnya
• Perencanaan Pengendalian Risiko

Gambar 1. Form Identifikasi Bahaya dan Pengendalian Risiko

4 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
Tabel 1. Form Identifikasi Bahaya, Penilaian Risiko, Pengendalian dan Peluang
IBPRP

Keterangan :
1. PPK mengisi kolom 1, 2, 3.
2. PPK mengisi kolom “uraian pekerjaan” dan “Identifikasi Bahaya” berdasarkan tahapan pekerjaan.
3. Kolom “uraian pekerjaan” dan “Identifikasi Bahaya” yang diisi oleh PPK berdasarkan tahapan
pekerjaan, dimana penyedia jasa dapat menambahkan uraian pekerjaan dan identifikasi bahaya
dari yang sudah dicantumkan oleh PPK berdasarkan analisis ahli konstruksi dan/atau petugas
keselamatan konstruksi.
4. Kolom 12, 13,14, 15, dan 16, diisi berdasarkan kondisi pengendalian dilapangan atas dasar
penilaian ahli K3 Konstruksi dan/atau petugas keselamatan konstruksi, apabila dinilai tidak ada
yang diisikan, maka dapat ditulis “tidak ada” atau “n/a”.

Tabel 2. Penjelasan Tabel Contoh Format IBPRP


Tahapan Kegiatan pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan pekerjaan
Uraian Kegiatan :
rutin dan non rutin
Identifikasi Bahaya/ Tipe Menetapkan karakteristik kondisi bahaya / Tindakan bahaya sesuai
:
Kecelakaan dengan peraturan terkait
Paparan/ konsekuensi yang timbul akibat kondisi bahaya dan
Dampak bahaya :
Tindakan bahaya
Tingkat Frekuensi Terjadinya pristiwa bahaya
Kekerapan :
keselamatankonstruksi (skala 1 – 5)
Tingkat keparahan / kerugian / dampak kerusakan yang
Keparahan :
ditimbulkan oleh bahaya keselamatan konstruksi (skala 1:5)
Tingkat risiko : Perpaduan nilai tingkat kekerapan dan nilai tingkat keparahan
Urutan pelaksanaan pengendalian yang menjadi prioroitas
Skala prioritas :
berdasarkan tingkat risiko (besar,sedang, dan kecil)
Perundangan atau persyaratan lain : Acuan dalam melakukan pengendalian risiko
Kegiatan yang dapat mengendalikan baik mengurangi mauoun
Pengendalian Risiko :
menghilangkan dampak bahaya yang timbul
Nilai positif yang dapat dikembangkan berdasarkan dampak
Peluang perbaikan :
bahaya yang timbul

5 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
Tabel 3. Penjelasan Risk Rating
Tingkat
Deskripsi Definisi
Keparahan
Hampir pasti - Besar kemungkinan terjadi kecelakaan saat melakukan pekerjaan
5
terjadi - Kemungkinan terjadinya kecelakaan lebih dari 2 kali dalam 1 tahun
Sangat - Kemungkinan akan terjadi kecelakaan saat melakukan pekerjaan pada
4 mungkin hamper semua kondisi
terjadi - Kemungkinan terjadinya kecelakaan 1 kali dalam 1 tahun terakhir
- Kemungkinan akan terjadi kecelakaan saat melakukan pekerjaan pada
Mungkin
3 beberapa kondisi tertentu
terjadi
- Kemungkinan terjadinya kecelakaan 2 kali dalam 3 tahun terakhir
Kecil - Kecil kemungkinan terjadi kecelakaan saat melakukan pekerjaan pada
2 kemungkinan beberapa kondisi tertentu
terjadi - Kemungkinan terjadinya kecelakaan 1 kali dalam 3 tahun terakhir
Hampir tidak - Dapat terjadi kecelakaan saat melakukan pekerjaan pada beberapa kondisi
1 pernah tertentu
terjadi - Kemungkinan terjadinya kecelakaan lebih dari 3 tahun terakhir

Tabel 4. Penjelasan Skala Konsekuensi Keselamatan

6 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
Gambar 2. Matriks Tingkat Risiko

7 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
G. IDENTIFIKASI DAN PENETAPAN ISU EKSTERNAL DAN INTERNAL
Penyedia Jasa harus mengidentifikasi bahaya dengan mengacu kepada isu-isu eksternal dan
internal yang dapat mempengaruhi Penyedia Jasa dalam mencapai sasaran atau hasil yang
diharapkan dari SMKK.
1. Isu eksternal seperti:
a. lingkungan budaya, sosial, politik, hukum, keuangan, teknologi, ekonomi dan alam serta
persaingan pasar, baik internasional, nasional, regional maupun lokal;
b. pengenalan pesaing, kontraktor, subkontraktor, pemasok, mitra dan Penyedia Jasa baru;
teknologi baru; undang-undang baru dan pekerjaan baru;
c. pengetahuan baru tentang produk dan pengaruhnya terhadap kesehatan dan keselamatan;
d. dorongan dan kecenderungan utama yang terkait dengan industri atau sektor yang
berdampak pada Penyedia Jasa;
e. hubungan, persepsi, dan nilai pihak eksternal yang berkepentingan;
f. perubahan terkait dengan hal-hal di atas;

2. Isu internal seperti:


a. tata kelola, struktur organisasi, peran dan akuntabilitas;
b. kebijakan, tujuan, dan strategi pencapaiannya;
c. kemampuan dan pemahaman dalam hal sumber daya, pengetahuan, dan kompetensi
(seperti modal, waktu, sumber daya manusia, proses, sistem, dan teknologi);
d. sistem informasi, arus informasi dan proses pengambilan keputusan (baik formal maupun
informal);
e. pengenalan produk, bahan, layanan, peralatan, perangkat lunak, tempat, dan peralatan
baru;
f. hubungan persepsi dan nilai-nilai pekerja;
g. budaya dalam organisasi;
h. standar, pedoman dan model yang diadopsi oleh Penyedia Jasa;
i. bentuk dan tingkat hubungan kontraktual, termasuk, misalnya, kegiatan yang dialihdayakan;
j. pengaturan waktu kerja;
k. kondisi kerja; dan
l. perubahan yang terkait dengan hal-hal di atas.

8 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
H. IDENTIFIKASI DAN PENETAPAN KEBUTUHAN DAN HARAPAN PIHAK YANG BERKEPENTINGAN
Penyedia Jasa harus melakukan identifikasi dan penetapan:
1. pihak-pihak berkepentingan lainnya, selain pekerja, yang dapat mempengaruhi dan/atau
dipengaruhi oleh SMKK;
2. kebutuhan dan harapan dari dari para pekerja maupun pihak-pihak yang berkepentingan,
termasuk di dalamnya ketentuan peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya
yang terkait.
3. Prosedur identifikasi potensi bahaya, penetapan tingkat risiko dan peluang

Pihak yang berkepentingan, antara lain:


1. pemerintah (kementerian/lembaga pemerintah pada berbagai tingkatan dan fungsi,
termasuk pemerintah daerah);
2. pemasok, kontraktor dan subkontraktor;
3. perwakilan pekerja;
4. organisasi pekerja (serikat pekerja) dan organisasi pengusaha;
5. pemilik, pemegang saham, klien, pengunjung, komunitas lokal dan masyarakat sekitar serta
masyarakat umum;
6. pelanggan, layanan medis dan layanan masyarakat lainnya, media massa, akademisi, asosiasi
usaha, asosiasi profesi dan organisasi non-pemerintah (lembaga swadaya masyarakat/LSM);
7. organisasi yang bergerak di bidang keselamatan dan kesehatan kerja profesional di bidang
keselamatan dan kesehatan kerja.
Tabel 5. Contoh Daftar Identifikasi Isu Internal dan Eksternal

9 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
I. IDENTIFIKASI BAHAYA SERTA PENILAIAN RISIKO KESELAMATAN KONSTRUKSI TERHADAP
PELUANG KESELAMATAN KERJA
Identifikasi bahaya dilakukan dengan mempertimbangkan:
a. peraturan dan prosedur kerja, faktor sosial (termasuk beban kerja, jam kerja, pelecehan dan
intimidasi), kepemimpinan dan budaya dalam organisasi;
b. kegiatan rutin dan non-rutin, termasuk bahaya yang timbul dari:
1) kondisi prasarana, peralatan, material, zat berbahaya dan kondisi fisik tempat kerja;
2) desain produk dan layanan, penelitian, pengembangan, pengujian, produksi, perakitan,
pengadaan, pemeliharaan dan pembuangan;
3) faktor manusia;
4) cara pelaksanaan pekerjaan.
c. kejadian yang pernah terjadi pada periode sebelumnya, baik dari internal maupun eksternal
organisasi, termasuk keadaan darurat, dan penyebabnya;
d. potensi keadaan darurat;
e. faktor manusia, termasuk:
1) orang yang memiliki akses ke tempat kerja dan/atau kegiatan Pekerjaan Konstruksi,
termasuk pekerja, pengunjung, dan orang lain;
2) orang di sekitar tempat kerja yang dapat dipengaruhi oleh kegiatan Pekerjaan Konstruksi;
3) pekerja di lokasi yang tidak berada di bawah kendali langsung organisasi;
f. isu lainnya, meliputi:
1) desain dari area kerja, proses, instalasi, mesin/peralatan, prosedur operasi dan organisasi
kerja, termasuk kesesuaiannya dengan kebutuhan dan kemampuan pekerja yang terlibat;
2) situasi yang terjadi di sekitar tempat kerja yang disebabkan oleh kegiatan yang
berhubungan dengan pekerjaan yang berada di bawah kendali organisasi;
3) situasi yang tidak di bawah kendali organisasi dan terjadi di sekitar tempat kerja yang
dapat menyebabkan cedera dan penyakit/kesehatan yang buruk bagi orang-orang di
tempat kerja;
g. perubahan yang terjadi atau perubahan yang diusulkan terkait organisasi, operasi, proses,
kegiatan dan SMKK;
h. perubahan ilmu pengetahuan dan informasi tentang bahaya.

10 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
J. PENILAIAN RISIKO DAN PELUANG KESELAMATAN KONSTRUKSI
Identifikasi bahaya serta penilaian risiko dan peluang keselamatan konstruksi. Risiko yang
dimaksud adalah Risiko Keselamatan Konstruksi untuk menentukan kebutuhan Ahli K3 Konstruksi
dan/atau Petugas Keselamatan Konstruksi, tidak untuk menentukan kompleksitas atau
segmentasi pasar Jasa Konstruksi.
Penilaian risiko dan peluang Keselamatan Konstruksi meliputi:
a. penilaian risiko bahaya yang telah teridentifikasi, dengan mempertimbangkan
keberhasilgunaan pengendalian yang ada;
b. penentuan dan penilaian risiko lain yang terkait dengan penerapan, pengoperasian dan
pemeliharaan SMKK.
c. penilaian peluang Keselamatan Konstruksi untuk meningkatkan kinerja Keselamatan
Konstruksi, dengan mempertimbangkan perubahan yang direncanakan terkait organisasi,
kebijakan, proses atau kegiatan dan:
1) peluang untuk menyesuaikan pekerjaan, organisasi kerja dan lingkungan kerja;
2) peluang untuk menghilangkan bahaya dan mengurangi risiko Keselamatan Konstruksi;
d. penilaian peluang lain guna peningkatan SMKK.

Metodologi dan kriteria untuk penilaian risiko Keselamatan Konstruksi harus ditetapkan dengan
memperhatikan:
a. ruang lingkup, sifat dan jangka waktu untuk memastikan bahwa yang dilakukan adalah lebih
bersifat proaktif dari pada reaktif dan digunakan dengan cara yang sistematis.
b. kemungkinan terjadinya risiko dan peluang lain untuk Penyedia Jasa sebagai akibat
terjadinya risiko Keselamatan Konstruksi dan peluang Keselamatan Konstruksi.

K. PERENCANAAN PENGENDALIAN RISIKO


Perencanaan pengendalian risiko meliputi:
1. jenis tindakan pengendalian risiko:
a. mengatasi risiko dan peluang;
b. mematuhi peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya;
c. mempersiapkan dan menanggapi situasi darurat;
2. cara melaksanakan tindakan pengendalian risiko:
a. mengintegrasikan dan menerapkan tindakan ke dalam penerapan SMKK;
b. mengevaluasi keberhasilgunaan tindakan.

11 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
Perencanaan tindakan dilakukan dengan mempertimbangkan:
1. tingkatan pengendalian dan keluaran dari penerapan SMKK;
2. praktek terbaik yang pernah dilakukan oleh organisasi lainnya;
3. teknologi yang digunakan (peralatan, material, metode);
4. kemampuan keuangan;
5. kebutuhan operasional dan bisnis.

Gambar 3. Contoh Job Safety Analysis

L. RENCANA TINDAKAN (SASARAN & PROGRAM)


Sasaran Keselamatan Konstruksi pada setiap fungsi dan tahapan Pekerjaan Konstruksi
harus:
1. konsisten dengan kebijakan Keselamatan Konstruksi;
2. memiliki indikator kinerja yang dapat diukur;
3. memperhitungkan:
a. persyaratan yang diterapkan;
b. hasil penilaian risiko dan peluang;
c. hasil konsultasi dengan wakil pekerja, Ahli K3 Konstruksi, Panitia Pembina
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3), atau pihak lain yang terkait.
4. dilakukan pemantauan;
5. dikomunikasikan; dan
6. dimutakhirkan bila perlu.

12 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
Perencanaan pencapaian sasaran Keselamatan Konstruksi meliputi:
1. kegiatan yang akan dilakukan;
2. sumber daya yang diperlukan;
3. pihak yang bertanggung jawab;
4. jangka waktu pelaksanaan;
5. cara evaluasi hasil pencapaian, termasuk indikator pemantauan;
6. cara mengintegrasikan pencapaian sasaran Keselamatan Konstruksi dengan kegiatan
bisnis Penyedia Jasa.
Dokumen Sasaran Keselamatan Konstruksi dan Perencanaan Pencapaian Sasaran
Keselamatan Konstruksi harus disimpan dan dipelihara sebagai informasi terdokumentasi.

M. IDENTIFIKASI DAN KEPATUHAN TERHADAP PERATURAN PERUNDANGAN DAN PERATURAN


LAINNYA
Identifikasi dan kepatuhan terhadap peraturan perundangan dan peraturan lainnya meliputi:

1. Identifikasi dan inventarisasi peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya


mencakup:
a. identifikasi dan inventarisasi peraturan perundangan dan peraturan lainnya yang
mengatur kesesuaian proses, operasi, standar Alat Pelindung Diri (APD)/Alat Pelindung
Kerja (APK), kegiatan, dan fasilitas; dan
b. pengkajian terhadap perubahan ketentuan peraturan perundangan yang mempengaruhi
proses, operasi, kegiatan dan fasilitas untuk pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi.
2. kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya mencakup
kegiatan:
a. sosialisasi peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya, kepada seluruh pekerja
serta pihak lain yang terkait untuk menjamin pemahaman dan kepatuhan terhadap
peraturan;
b. pembuatan daftar peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya yang akan
diterapkan oleh organisasi dan yang akan disosialisasikan;
c. pendokumentasian dan pemajangan (apabila diperlukan) surat izin, lisensi dan/atau
sertifikat; dan
d. pembuatan daftar tanggal habis masa berlaku dan perpanjangan surat izin, lisensi dan
sertifikat, yang harus:
1) dilakukan kaji ulang terhadap ketepatan dan keterkaitannya secara berkala;

13 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
2) dilakukan penyesuaian terhadap perubahan peraturan perundangan dan peraturan
lainnya; dan
3) mudah diakses oleh pihak yang berkepentingan.
3. evaluasi dan audit atas kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dan peraturan
lainnya.
4. penyimpanan dan pemeliharaan proses identifikasi dan kepatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan dan peraturan lainnya beserta perubahan dan pembaharuannya
sebagai informasi terdokumentasi.
5. prosedur pemenuhan peraturan perundangan Keselamatan Konstruksi.

Tabel 6. Identifikasi Peraturan Prrundang-undangan dan Persyaratan Lainnya

14 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
PENJAMINAN MUTU DAN PENGENDALIAN MUTU

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI
A. Pendahuluan 1
B. Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan dan Keberlanjutan Konstruksi 2
C. Manajemen Mutu Pekerjaan Konstruksi 5
D. Tanggung Jawab dan Wewenang Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa 5
a. Para Pihak dalam Pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi 5
b. Tanggung Jawab dan Wewenang Pengguna Jasa 7
c. Tanggung Jawab dan Wewenang Penyedia Jaa Pekerjaan Konstruksi 11
E. Kegiatan Penjaminan Mutu dan Pengendalian Mutu 13
a. Umum 13
b. Tahap Persiapan Pelaksanaan Pekerjaan 14
c. Tahap Pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi 18
d. Tahap Penyelesaian Pekerjaan Konstruksi 27
F. Pelaporan 36
a. Bentuk Laporan Pekerjaan Konstruksi 36
b. Laporan Pelaksanaan 36
c. Laporan Pengawasan Pekerjaan 40
d. Laporan Kasatker/PPK kepada Atasan Lansung 43
A. PENDAHULUAN
Amanat yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 2 tahun 2017 terkait dengan kewajiban
untuk melaksanakan penjaminan mutu dan pengendalian mutu pekerjaan konstruksi tercantum
pada Pasal 3 huruf a yang menyatakan penyelenggaraan jasa konstruksi adalah bertujuan untuk
memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan jasa konstruksi untuk mewujudkan struktur
usaha yang kokoh, anda, berdaya saing tinggi, dan hasil Jasa Konstruksi yang berkualitas.
Konstruksi yang berkualitas dapat diwujudkan melalui penerapan sistem Manajemen Mutu dan
Sistem Pengendalian Mutu yang diselenggarakan oleh seluruh pemangku kepentingan yang
terkait dengan penyelenggaraan jasa konstruksi. Pemerintah selaku pembina jasa konstruksi perlu
mengembangkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penerapan
penjaminan mutu dan pengendalian mutu pekerjaan konstruksi yang akan menjadi pedoman bagi
pelaku usaha konstruksi agar terwujud hasil jasa konstruksi yang berkualitas.
Istilah mutu pertama kali muncul dalam bidang manufaktur, sehingga tidak mengherankan jika
bagi kebanyakan orang, arti kata mutu berkaitan erat dengan hasil produk dari sektor manufakur
tersebut. Mutu dapat diartikan sebagai kesesuaian terhadap apa yang konsumen harapkan atas
suatu produk tertentu. Oleh karena itu produk yang bermutu adalah produk yang dapat
memenuhi harapan konsumen. Sebenarnya hampir tidak ada perbedaan yang berarti pada
pengertian mutu dalam bidang jasa maupun bidang manufaktur karena perbedaannya hanya
terletak kepada penggunaan kata produk dan kata jasa atau service.
Seperti halnya istilah mutu, istilah penjaminan mutu juga pertama kali muncul dalam bidang
manufaktur yaitu sebagau suatu sistem manajemen yang dirancang untuk menjamin kegiatan-
kegiatan pada seluruh tahap (desain, produk, penyerahan produk dan pelayanan) agar dapat
berjalan dengan baik, guna mencegah masalah-masalah mutu dan memastikan hanya produk
yang sesuai dengan spesifikasi yang akan sampai ke tangan konsumen.
Penjaminan mutu (Quality Assurance) memiliki berbagai difinisi salah satunya adalah menurun
Damrong (2003) Penjaminan mutu adalah upaya untuk memastikan bahwa sistem, proses dan
prosedur sesuai dengan standar, harapan atau rencana yang dijanjikan. Sementara menurut
Edward Sallis (2006), Penjaminan Mutu berbeda dengan Pengendalian Mutu, baik sebelum
maupun ketika proses tersebut berlangsung. Penekanan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya
kesalahan sejak awal proses produksi. Jaminan mutu didesain sedemikian rupa untuk menjamin
proses produksi yang memenuhi spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Jaminan mutu
adalah pemenuhan spesifikasi produk secara konsisten atau menghasilakn produk yang selalu baik
sejak awal (right first time every time). Jaminan mutu lebih menekankan tanggung jawab tenaga

1 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
kerja dibandingkan inspeksi pengendalian mutu, meskipun sebenarnya inspeksi tersebut juga
memiliki peranan dalam penjaminan mutu. Mutu barang atau jasa yang baik dijamin oleh sistem
yang dikenal sebagai sistem penjaminan mutu yang memposisikan secara tepat bagaimana
produksi seharusnya berperan sesuai dengan standar. Standar-standar mutu diatur oleh prosedur-
prosedur yang ada di dalam sistem penjaminan mutu.
Penjaminan mutu adalah proses yang terus menerus dimana setiap sistem yang terkait selalu
mengandung tiga unsur yang saling independent yaitu Monitoring, Pengukuran (Measurement)
dan Peningkatan (Improvement), artinya dalam hal penjaminan mutu,hal pertama dan utama yang
harus dilakukan adalah monitoring (mulai dari perencanaan sampai dengan hasil evaluasi)
kemudian disusul dengan berbagai pengukuran yang relevan dan hasil penjaminan mutu tersebut
akan tercermin dari adanya peningkatan pada segala aspek, baik input, proses, output dan
outcome dari waktu ke waktu.

Improvement

Gambar 1, Unsur Pada Penjaminan Mutu

B. STANDAR KEAMANAN, KESELAMATAN, KESEHATAN DAN KEBERLANJUTAN KONSTRUKSI


Dalam rangka mewujudkan penjaminan mutu pekerjaan konstruksi, Undang-undang nomor 2
tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi telah mengamanatkan standar penyelenggaraan pekerjaan
konstruksi yaitu Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan dan Keberlanjutan Konstruksi yang
tercantum pada Bab VI Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3). Yang menyatakan dalam setiap
penyelenggaraan jasa konstruksi, Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa wajib memenuhi Standar
Keamanan, Keselamatan, Kesehatan dan Keberlanjutan Konstruksi yang meliputi paling sedikit
meliputi:
a. Standar mutu bahan.
b. Standar mutu peralatan.

2 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
c. Standar keselamatan dan kesehatan kerja.
d. Standar prosedur pelaksanaan jasa konstruksi.
e. Standar mutu hasil pekerjaan konstruksi.
f. Standar operasi dan pemeliharaan.
g. Pedoman perlindungan sosial tenaga kerja dalam pelaksanaan jasa konstruksi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
h. Standar pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 14 tahun 2020 tentang
Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi Melalui Penyedia mengamanatkan
pelaksanaan penjaminan mutu tersebut dengan kewajiban dituangkan dalam dokumen kontrak
pengadaan jasa konstruksi. Sebagaimana tercantum pada Bab VI Rancangan Kontrak Pasal 34
yang menyatakan Standar Dokumen Pengadaan Pekerjaan Konstruksi meliputi:
a. Penyedia berkewajiban untuk mepresentasikan dan menyerahkan Rencana Mutu
Pekerjaan Konstruksi (RMPK) sebagai penjaminan dan pengendalian mutu pelaksanaan
pekerjaan pada rapat persiapan pelaksanaan kontrak, kemudian dibahas dan disetujui
oleh pengguna jasa.
b. Penyedia jasa wajib menerapkan dan mengendalikan pelaksanaan Rencana Mutu
Pekerjaan Konstruksi secara konsisten untuk mencapai mutu yang dipersyaratakan pada
pelaksanaan pekerjaan ini.
c. Rencana Mutu Pekerjaan Konstruksi dapat direvisi sesuai dengan kondisi pekerjaan.
d. Penyedia berkewajiban untuk memutakhirkan RMPK jika terjadi Adendum Kontrak dan
atau Peristiwa Kompensasi.
e. Pemutakhiran RMPK harus menunjukkan perkembangan kemajuan setiap pekerjaan dan
dampaknya terhadap penjadwalan sisa pekerjaan, termasuk perubahan terhadap urutan
pekerjaan. Pemutakhiran RMPK harus mendapat persetujuan dari Pengguna Jasa.
f. Persetujuan Pengguna Jasa terhadap RMKP tidak mengubah kewajiban kontraktual
penyedia jasa.
Kewajiban dalam pemenuhan persyaratan penjaminan mutu juga tercantum pada Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum Nomor 21 tahun 2019 tentang Pedoman Sistem Manajemen
Keselamatan Konstruksi yang menyatakan Keselamatan Keteknikan Konstruksi mencakup
pemenuhan terhadap:
a. Standar perencanaan berupan pemenuhan semua aspek persyaratan keamanan,
keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan dalam hasil perencanaan.

3 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
b. Standar perancangan berupa pemenuhan terhadap pedoman teknis proses
pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan, perawatan, dan pembongkaran yang telah
ditetapkan.
c. Standar prosedur dan mutu hasil pelaksanaan Jasa Konstruksi merupakan persyaratan
dan ketentuan tertulis khususnya aspek Keselamatan Konstruksi yang dibakukan
mengenai berbagai proses dan hasil pelaksanaan Jasa Konstruksi
d. Mutu bahan sesuai Standar Nasional Indonesia dan/atau standar asing yang diakui oleh
Pemerintah, dan telah ditetapkan dalam kerangka acuan kerja.
e. Kelaikan peralatan berdasarkan pedoman teknis peralatan sebagai dasar pemenuhan
kinerja operasi peralatan sesuai peruntukan pekerjaan, baik peralatan yang beroperasi
secara tunggal maupun kombinasi.
Pemenuhan standar Keselamatan Keteknikan Konstruksi dilaksanakan sesuai dengan tata cara
penjaminan mutu dan pengendalian mutu. Penjaminan mutu dan pengendalian mutu merupakan
bagian dari Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi yang menjamin terlaksananya
keselamatan keteknikan konstruksi guna mewujudkan proses dan hasil jasa konstruksi yang
berkualitas. Penjaminan mutu dan pengendalian mutu pekerjaan konstruksi harus dilaksanakan
oleh Petugas Penjamin Mutu dan Pengendali Mutu. Untuk menjadi petugas penjamin dan
pengendali mutu harus mengikuti bimbingan teknis Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi
dan memperoleh sertifikat kompetensi pelatihan.
Implementasi Sistem Pengendalian Intern Pemerintah yang merupakan sistem pengendalian
internal yahg diselenggarakan secara menyeluruh terhadap proses perancangan dan pelaksanaan
kebijakan serta perencanaan dan penganggaran dan pelaksanaan anggaran, dalam pelaksanaan
manajemen mutu pekerjaan konstruksi dapat digambarkan melalui ilustrasi berikut:

Gambar 2. Implementasi SPIP dan Manajemen Mutu Pekerjaan Konstruksi

4 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
C. MANAJEMEN MUTU PEKERJAAN KONSTRUKSI
Poin-poin dalam pengaturan dan penyelenggaraan penjaminan mutu dan pengendalian pekerjaan
konstruksi dapat di uraikan menjadi:
a. Tanggung Jawab dan Wewenang Para Pihak, yang merupakan kelengkapan fungsi pada
struktur organisasi proyek baik pada pengguna jasa dan penyedia jasa konstruksi serta
hubungan koordinasi dan komunikasinya.
b. Kegiatan penjaminan dan Pengendalian Mutu, merupakan poin-poin yang diperlukan
dalam penjaminan mutu dan pengendalian mutu pada setiap tahapan pelaksanaan
kegiatan terdiri dari dokumen dan standar prosedur.
c. Pelaporan, memuat ketentuan terkait pelaporan yang harus disusun oleh masing-masing
pihak yaitu Pejabat Pembuat Komitmen, Pengawas Pekerjaan dan penyedia Jasa.
d. Rencana Mutu Pekerjaan Konstruksi, merupakan tata cara penyusunan format Rencana
Mutu Pekerjaan konstruksi yang akan disusun oleh Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi.
e. Program Mutu, merupakan tata cara penyusunan dan format Program Mutu yang akan
disusun oleh Penyedia Jasa Konsultansi Konstruksi.
Penerapan penjaminan mutu dan pengendalian mutu pekerjaan konstruksi dalam Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 21 tahun 2019 tentang Pedoman Sistem
Manajemen Keselamatan Konstruksi ini meliputi:
a. Seluruh Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa harus menerapkan penjaminan mutu dan
pengendalian mutu pekerjaan konstruksi sesuai dengan ketentuan dan lingkup dalam
Peratutan Menteri ini.
b. Para pihak yang terlibat dalam pekerjaan konstruksi harus menerapkan penjaminan mutu
dan pengendalian mutu pekerjaan konstruksi dalam setiap tahapan pekerjaan konstruksi.
c. Sebagai bentuk penjaminan mutu dan pengendalian mutu, Penyedia Jasa Pekerjaan
Konstruksi harus menyusun RMPK serta Penyedia jasa Konsultansi Konstruksi harus
menyusun Program Mutu.
d. Rincian yang berkaitan dengan teknis/substansi pekerjaan sebagai pelaksanaan Peraturan
Menteri ini diatur oleh Pimpinan Tinggi Madya Penyelenggara Infrastruktur

D. TANGGUNG JAWAB DAN WEWENANG PENGGUNA JASA DAN PENYEDIA JASA

1. Para Pihak dalam Pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi


Dengan menggunakan pendekatan manajemen mutu, prinsip penjaminan mutu dan
pengendalian mutu pekerjaan konstruksi mencakup aspek pengelolaan sumber daya manusia

5 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
yang terlibat dalam penyelenggaraan jasa konstruksi. Pihak-pihak yang terlibat dalam rangka
pelaksanaan pekerjaan konstruksi, terdiri dari:
a. Penyelenggara Infrastruktur;
b. Penyelenggara Proyek.
Penyelenggara Infrastruktur meliputi Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Direktorat
Jenderal Bina Marga, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Direktorat Jenderal Penyediaan
Perumahan, PA dan KPA. Penyelenggara Proyek meliputi Kepala Satuan Kerja, Pejabat
Pembuat Komitmen, Pengendali Pekerjaan (Direksi Lapangan atau Konsultan MK), Pengawas
Pekerjaan (Direksi Teknis atau Konsultan Pengawas), dan Penyedia. Pelaksanaan penjaminan
mutu dan pengendalian mutu selama pelaksanaan pekerjaan konstruksi, meliputi 2 fungsi,
yaitu:
a. Fungsi Penjaminan Mutu, oleh Pengguna Jasa.
b. Fungsi Pengendalian Mutu, oleh Penyedia.
Struktur Organisasi dan pembagian para pihak yang terlibat dalam penjaminan mutu dan
pengendalian mutu pekerjaan konstruksi dapat dilihat pada Gambar berikut ini.

Gambar 3. Struktur Organisasi Para Pihak yang terlibat pada Pekerjaan Konstruksi

6 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
2. Tanggung Jawab dan Wewenang Pengguna Jasa

a. Pengguna Anggaran / Kuasa Pengguna Anggaran (PA/KPA)


Terkait penjaminan mutu dan pengendalian mutu pelaksanaan pekerjaan konstruksi,
PA/KPA sebagai pemilik pekerjaan konstruksi bertanggung jawab:
1) Membentuk dan menetapkan Panitia Peneliti Pelaksanaan Kontrak sebelum
pelaksanaan tahapan pengukuran/pemeriksaan bersama.
2) Menerima hasil pekerjaan dari PPK setelah Berita Acara Serah Terima Akhir
Pekerjaan diterbitkan.
3) Menetapkan PPHP untuk melakukan pemeriksaan administratif terhadap hasil
pekerjaan yang diserahterimakan.
4) Menyerahkan hasil pekerjaan selesai kepada penyelenggara Infrastruktur.

b. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)


Tanggung jawab dan wewenang PPK terkait dengan penjaminan mutu dan pengendalian
mutu meliputi:
1) PPK bertanggung jawab atas keseluruhan pelaksanaan pekerjaan konstruksi
sebagaimana yang tercantum dalam kontrak konstruksi, mencakup aspek
administrasi kontrak dan aspek teknis (engineering).
2) PPK berwenang atas pengendalian dan pengawasan pekerjaan konstruksi.
Kewenangan ini dapat dilimpahkan sebagian atau keseluruhan terhadap pihak/tim
yang ditunjuk oleh PPK.
3) Pengendalian Pekerjaan Konstruksi dilakukan untuk mengendalikan proses dan
hasil pekerjaan Penyedia sesuai dengan ketentuan kontrak. Pengendalian
dilaksanakan baik pada kontrak pekerjaan konstruksi maupun kontrak jasa
konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi.
a. Pengendalian pekerjaan konstruksi meliputi aspek:
i. Penjaminan Mutu (Quality Assurance)
Merencanakan, mereview dan menetapkan serta menjamin
penerapan dari sistem pengendalian mutu yang dilaksanakan oleh
Penyedia dan Pengawas Pekerjaan.
ii. Kuantitas
Memerintahkan pengukuran hasil pekerjaan dan melakukan
persetujuan terkait kuantitas serta sertifikat pembayaran.

7 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
iii. Jadwal
Memastikan jadwal pelaksanaan sesuai dengan rencana jadwal yang
telah ditetapkan dan menyetujui penyesuaian jadwal yang disusun
oleh Penyedia.
iv. Pelaporan
Melaporkan capaian kemajuan pelaksanaan pekerjaan secara berkala,
termasuk permasalahannya kepada Kasatker.
v. Keselamatan Konstruksi
Merencanakan, mereview dan menetapkan serta menjamin
penerapan dari sistem pengendalian aspek keselamatan konstruksi
yang dilaksanakan oleh Penyedia.
vi. Rekayasa Teknis
Mereview dan menyetujui dokumen teknis rencana pelaksanaan
pekerjaan konstruksi yang terdiri dari: gambar kerja, metode kerja,
usulan perubahan pekerjaan.
b. Kegiatan pengendalian pekerjaan konstruksi meliputi:
i. Memeriksa dan memberikan persetujuan atas usulan dokumen
rencana pelaksanaan yang disampaikan oleh Penyedia meliputi:
a) jadwal pelaksanaan pekerjaan.
b) jadwal pengadaan bahan, mobilisasi peralatan dan tenaga
kerja konstruksi.
c) gambar kerja.
d) bahan yang akan digunakan;
e) RMPK
f) RKK.
g) Jenis pekerjaan yang disub-Kontrakkan dan sub-Penyedia
yang akan digunakan (jika ada).
h) perubahan pekerjaan.
ii. Memberikan persetujuan atas hasil pelaksanaan pengujian dan
pemeriksaan mutu serta volume.
iii. Memberikan persetujuan atas laporan pelaksanaan dari Penyedia
setelah diverifikasi oleh Direksi Teknis/Konsultan Pengawas.
iv. Menyampaikan laporan pengendalian pekerjaan kepada PA/KPA.

8 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
4) Pengawasan Pekerjaan Konstruksi dilakukan untuk memastikan proses
pelaksanaan pekerjaan oleh Penyedia sesuai dengan ketentuan kontrak.
a. Pengawasan pekerjaan konstruksi meliputi aspek:
i. Mutu.
ii. Kuantitas.
iii. Jadwal.
iv. Pelaporan.
v. Keselamatan Konstruksi.
vi. Rekayasa Teknis.
b. Kegiatan pengawasan pekerjaan konstruksi meliputi:
i. Memeriksa dan membuat rekomendasi terhadap penyusunan dan
pemutakhiran RMPK Penyedia;
ii. Melakukan pemeriksaan dan pengujian mutu bahan dan hasil
pekerjaan.
iii. Melakukan pemeriksaan dan pengukuran terhadap kuantitas hasil
pekerjaaan.
iv. Melakukan pengawasan terhadap jadwal pekerjaan dan metode
kerja.
v. Menyusun laporan terkait hasil pekerjaan yang tidak memenuhi
syarat.
vi. Memberikan peringatan dan teguran tertulis kepada pihak pelaksana
pekerjaan jika terjadi penyimpangan terhadap dokumen kontrak.
vii. Melakukan pengawasan terhadap penerapan Keselamatan
Konstruksi.
viii. Mengusulkan kepada PPK untuk menghentikan pelaksanaan
pekerjaan sementara jika pelaksana pekerjaan tidak memperhatikan
peringatan yang diberikan.
ix. Merekomendasikan kepada PPK untuk menolak pelaksanaan dan hasil
pekerjaan konstruksi yang tidak sesuai spesifikasi.
x. Melakukan pemeriksaan terhadap laporan Penyedia.
xi. Menyusun dan menyampaikan Laporan Pengawasan secara periodic.
xii. Melakukan pengawasan selama masa pemeliharaan.
5) Kewenangan dan tanggung jawab pengendalian pekerjaan konstruksi dapat
didelegasikan kepada Pengendali Pekerjaan yang dapat dilakukan oleh staf PPK,

9 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
dalam hal ini disebut Direksi Lapangan, atau Penyedia Jasa Konsultansi yaitu
Konsultan Manajemen Konstruksi (MK).
6) Kewenangan dan tanggung jawab pengawasan pekerjaan konstruksi dapat
didelegasikan kepada Pengawas Pekerjaan yang dapat dilakukan oleh staf PPK,
dalam hal ini disebut Direksi Teknis, atau atau Penyedia Jasa Konsultansi yaitu
Konsultan Pengawas.
7) Dalam hal pengendalian dan pengawasan pekerjaan konstruksi dilakukan oleh
Penyedia Jasa Konsultansi, maka Penyedia Jasa Konsultansi wajib menyusun
Program Mutu sebagai bentuk penjaminan mutu. Tanggung jawab dan wewenang
PPK dalam Penjaminan Mutu dan Pengendalian Mutu dapat dilihat pada Gambar
berikut ini.

Gambar 4. Tanggung Jawab dan Wewenang PPK dalam Penjaminan Mutu dan
Pengendalian Mutu
c. Panitia Pemeriksa Hasil Pekerjaan (PPHP)
Tanggung jawab dan wewenang PPHP terkait dengan penjaminan mutu dan
pengendalian mutu meliputi pemeriksaan administratif terhadap hasil pekerjaan
konstruksi yang diserahterimakan dari PPK kepada PA/KPA.

d. Penjamin Mutu pada Unit Organisasi


1. Penjamin Mutu pada Unit Organisasi merupakan unsur pendukung pada struktur
penyelenggara proyek dan tidak terlibat secara langsung dalam pengambilan
keputusan terkait pelaksanaan pekerjaan konstruksi, yang memiliki fungsi:
a. Perumusan kebijakan.

10 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
b. Pembinaan teknis.
c. Pengawasan pelaksanaan kebijakan.
2. Penjamin mutu memiliki tugas sebagai berikut:
a. Menyusun standar dan pedoman teknis yang berlaku pada masingmasing unit
organisasi.
b. Melakukan bimbingan teknis.
c. Melakukan pemantuan dan evaluasi serta pelaporan.
Struktur organisasi penjaminan mutu dan pengendalian mutu pekerjaan konstruksi dapat
dilihat pada Gambar berikut ini:

Gambar 5. Struktur Organisasi Penjaminan Mutu dan Pengendali Mutu Pekerjaan


Konstruksi
3. Tanggung Jawab dan Wewenang Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi.

a. Kepala Proyek
Kepala proyek bertanggung jawab atas seluruh pelaksanaan pekerjaan kontruksi dan
memiliki tugas:
1. Memastikan tercapainya sasaran pekerjaan dari segi mutu, biaya, waktu,
Keselamatan Konstruksi dan lingkungan kerja.
2. Menyelesaikan masalah yang terjadi termasuk merencanakan tindakan
pencegahan terhadap masalah yang mungkin terjadi.

11 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
3. Mengkoordinasikan pelaksanaan pekerjaan yang di perlukan.
4. Melaporkan pelaksanaan pekerjaan.

b. Manajer Pelaksana
Manajer pelaksana memiliki tugas dan tanggung jawab sebagai berikut:
1. Merencanakan metode pelaksanaan, pemeriksaan dan pengujian terkait mutu
pekerjaan
2. Melaksanakan pekerjaan konstruksi sesuai dengan sasaran mutu, biaya, waktu,
dan Keselamatan Konstruksi dan lingkungan kerja.

c. Unit Pengendali Biaya


Unit pengendali biaya berfungsi membantu kepala proyek dalam hal:
1. Mengendalikan biaya, pelaksanaan pekerjaan;
2. Melakukan evaluasi biaya terkait dengan upaya percepatan pelaksanaan
pekerjaan.

d. Unit Penjamin Mutu


Unit penjamin mutu bertugas:
1. Menetapkan Rencana Pemeriksaan dan Pengujian.
2. Mengembangkan dan memantau pelaksanaan prosedur pengendalian mutu.
3. Berkoordinasi dengan Direksi Lapangan/Konsultan MK terkait dengan rencana
pemeriksaan dan pengujian serta prosedur pengendalian mutu.
4. Melakukan audit internal atas kesesuaian pelaksanaan pekerjaan yang
dilaksanakan tim konstruksi dan kesesuaian pelaksanaan pemeriksaan dan
pengujian yang dilakukan tim pengendali mutu.
5. Menyusun Rencana Mutu Pekerjaan Konstruksi (RMPK).

e. Unit Pengendali Mutu


Unit Pengendali mutu bertugas:
1. Melakukan pemeriksaan.
2. Merekomendasikan tindakan perbaikan yang di perlukan.
3. Membuat laporan hasil pemeriksaan.

f. Unit Administrasi
Unit administrasi memberikan dukungan administrasi terhadap kegiatan proyek yang
meliputi:
1. Penata usahaan;
2. Pemeliharaan dokumen proyek.

12 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
Struktur organisasi penyedia jasa pekerjaan konstruksi dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 6. Fungsi-Fungsi Pengendalian dan Penjaminan Mutu pada Struktur Organisasi


Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi

E. KEGIATAN PENJAMINAN MUTU DAN PENGENDALIAN MUTU

1. Umum
Kegiatan penjaminan mutu dan pengendalian mutu dimulai sejak penandatanganan kontrak
sampai tanggal penyerahan akhir pekerjaan dan terbagi dalam 3 tahapan, yaitu:
a. Tahap Persiapan Pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi.
b. Tahap Pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi
c. Tahap Penyelesaian Pekerjaan Konstruksi.
Tahapan dalam pelaksanaan kontrak pekerjaan konstruksi adalah sejak di tanda tanganinya
kontrak dan berakhir sampai dengan tahap penyerahann akhir pekerjaan atau yang dikenal
dengan istilah FHO. Yang meliputi tahapan persiapan kontrak yang terdiri dari kegiatan
penyerahan lokasi pekerjaan, diterbitkannya Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK), Pre
Construction Meeting (PCM) dan mobilisasi kemudian dilanjutkan dengan tahap
pelaksanaan pekerjaan konstruksi. Setelah pekerjaan dinyatakan selesai, maka sebelum
penyerahan pekerjaan (PHO) dilakukan pemerisaan untuk menyatakan bahwa pekerjaan
telah selesai 100%. Setelah dilakukan penyerahan penyelesaian pekerjaan, penyedia jasa
masih memiliki tanggung jawab dalam masa pemeliharaan sesuai dengan jangka waktu yag
ditetapkan dalam kontrak. Setelah masa pemeliharaan berakhir dan penyedia jasa
melaksanakan pemeliharaan sesuai maka dilaksanakan serah terima akhir pekerjaan.
Tahapan pelaksanaan pekerjaan dapat dilihat dalam gambar berikut.

13 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
Gambar 7. Tahapan Pelaksanaan Kontrak Pekerjaan Konstruksi

2. Tahap Persiapan Pelaksanaan Pekerjaan


Tahap persiapan pelaksanaan pekerjaan merupakan tahapan setelah ditetapkannya
pemilihan penyedia jasa dan ditanda tanganinya kontrak. Tahapan persiapan pekerjaan
dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 8. Tahapan Persiapan Pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi

14 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
a. Penyerahan Lokasi Kerja
1. Penyerahan lokasi kerja dilakukan sebelum penerbitan SPMK, dengan terlebih
dahulu melaksanakan Peninjauan Lapangan Bersama.
2. Peninjauan lapangan bersama bertujuan untuk memastikan kesiapan lokasi
kerja yang akan diserahterimakan, serta untuk melakukan inventarisasi seluruh
bangunan yang ada serta seluruh aset milik pengguna jasa.
3. PPK wajib menyerahkan lokasi kerja sesuai dengan kebutuhan Penyedia Jasa
Pekerjaan Konstruksi yang tercantum dalam rencana kerja yang telah
disepakati dalam Rapat Persiapan Penandatanganan Kontrak.
4. Hasil peninjauan dan penyerahan dituangkan dalam Berita Acara Penyerahan
Lokasi Kerja.

b. Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK)


1. Penerbitan SPMK dilakukan paling lambat 14 hari sejak tanggal
penandatanganan kontrak atau 14 (empat belas) hari kerja sejak penyerahan
lokasi kerja pertama kali.
2. Dalam SPMK dicantumkan Tanggal Mulai Kerja;
3. Penetapan Tanggal Mulai Kerja setelah serah terima lapangan dilaksanakan
atau paling cepat dilaksanakan bersamaan dengan tanggal SPMK.

c. Rapat Persiapan Pelaksanaan Kontrak


1. Rapat persiapan pelaksanaan kontrak merupakan rapat awal antara PPK,
Pengendali Pekerjaan (Direksi Lapangan/Konsultan MK), Pengawas Pekerjaan
(Direksi Teknis/Konsultan Pengawas), Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi, tim
perencana serta pihak terkait.
2. Rapat persiapan pelaksanaan kontrak atau Pre Construction Meeting (PCM)
harus sudah dimulai maksimal 7 (tujuh) hari setelah terbitnya SPMK dan
sebelum dimulainya pelaksanaan pekerjaan.
3. Tujuan rapat persiapan pelaksanaan kontrak:
i. Persamaan pandangan dan pemahaman terkait hal-hal yang mendasar
pada pelaksanaan proyek, seperti: jadwal, alur komunikasi dan
koordinasi, alur persetujuan, kebijakan pengendalian mutu dan
Keselamatan Konstruksi serta mekanisme pelaporan dan pembayaran
hasil pekerjaan.
ii. Untuk mendapatkan kesepakatan terhadap pelaksanaan kontrak.

15 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
iii. Penyesuaian seluruh kegiatan dalam RMPK dengan
persyaratanpersyaratan dalam dokumen kontrak.
iv. Pemenuhan terhadap kebutuhan data dan informasi terkait proyek.
v. Untuk melakukan perubaahan kontrak apabila diperlukan.
4. Agenda pembahasan dalam rapat persiapan pelaksanaan kontrak berisikan
seperti yang tercantum pada tabel berikut:
Tabel 1. Agenda Rapat Persiapan Pelaksanaan Kontrak

AGENDA PCM KETERANGAN


a. Struktur Organisasi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
Proyek 1) PPK menyampaikan struktur organisasi dan tim-nya
yang akan terlibat serta tugas dan tanggung jawab
secara umum dari masing – masing pihak.
2) PPK menjelaskan bentuk hubungan antara PPK,
pengawas pekerjaan, dan Penyedia Jasa Pekerjaan
Konstruksi.
Pengawas Pekerjaan
Direksi Teknis atau Konsultan Pengawas, menyampaikan
struktur organisasinya serta tugas dan tanggung jawab
secara umum dari masing – masing pihak.
Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi
1) Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi menyampaikan
struktur organisasinya serta tugas dan tanggung
jawab masing-masing.
2) Perubahan atas personil pelaksana atau sub
Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi harus
diinformasikan pada rapat PCM dan disetujui oleh
PPK
b. Pendelegasian 1) PPK menyampaikan penjelasan mengenai
kewenangan pelimpahan kewenangan Pengendalian Pekerjaan
dari PPK ke Direksi Lapangan atau Konsultan MK
2) PPK menyampaikan penjelasan mengenai
pelimpahan kewenangan pengawasan pekerjaan
dari PPK ke Direksi Teknis/Konsultan Pengawas.
3) Untuk Konsultan Pengawas yang ditunjuk oleh PPK
lain, laporan dan tanggung jawab Konsultan
Pengawas tersebut tetap kepada PPK proyek (PPK
yang menunjuk Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi)
c. Alur komunikasi & PPK menyampaikan alur komunikasi, koordinasi,
persetujuan persetujuan serta pelaporan
d. Mekanisme pengawasan Direksi Teknis/Konsultan Pengawas menyampaikan
mekanisme pengawasan dan pelaporan yang akan
dilakukan.
e. Jadwal pelaksanaan Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi menyampaikan
rencana jadwal pelaksanaan pekerjaan untuk dibahas
dan disepakati bersama.
f. Mobilisasi Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi menyampaikan
secara rinci rencana mobilisasi yang mencakup
mobilisasi personil inti, peralatan dan material.

16 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
AGENDA PCM KETERANGAN
g. Metode pelaksanaan 1) Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi menyampaikan
gambaran umum metode pelaksanaan yang akan
dilaksanakan.
2) Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi menyampaikan
metode pelaksanaan untuk pekerjaan tertentu yang
dianggap penting
h. Pembahasan Rencana 1) Dokumen RMPK diserahkan sebelum PCM untuk
Mutu Pekerjaan dievaluasi oleh Direksi Teknis/Konsultan Pengawas.
Konstruksi (RMPK) 2) Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi
mempresentasikan RMPK yang mencakup
penjelasan terkait hal berikut:
a. Rencana pelaksanaan pekerjaan (method
statement) tiap-tiap pekerjaan
b. Rencana pemeriksaan dan pengujian
(Inspection and Test Plan/ITP)
c. Pengendalian subPenyedia Jasa Pekerjaan
Konstruksi dan pemasok.
3) Hasil pembahasan RMPK dapat berupa persetujuan
atau permintaan untuk perbaikan.
i. Pembahasan Dilakukan pembahasan terhadap dokumen pelaksanaan
pelaksanaan Rencana RKK.
Keselamatan Konstruksi
(RKK)
j. Rencana pemeriksaan Pembahasan rencana pemeriksaan lapangan bersama
lapangan bersama dalam rangka penilaian kesesuaian kontrak dengan
kondisi lapangan
k. Informasi yang Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi menyampaikan
dibutuhkan kebutuhan data dan informasi lainnya yang diperlukan.
l. Dukungan fasilitas Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi menyampaikan
dukungan lainnya yang diperlukan
m. Lain – lain Agenda lain yang relevan.
5. Hasil rapat persiapan pelaksanaan kontrak dituangkan dalam Berita Acara
Rapat Persiapan Pelaksanaan Kontrak.
6. Apabila diperlukan perubahan kontrak, maka diterbitkan adendum kontrak.

d. Pembayaran Uang Muka


1. Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi dapat mengajukan permohonan
pengambilan uang muka secara tertulis kepada PPK disertai dengan rencana
penggunaan uang muka (apabila ditentukan dalam dokumen kontrak).
2. Uang muka digunakan untuk membiayai mobilisasi peralatan, personil,
pembayaran uang tanda jadi kepada pemasok bahan/material dan persiapan
teknis lain;
3. Besaran uang muka ditentukan dalam Syarat-syarat Khusus Kontrak (SSKK) dan
dibayar setelah Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi menyerahkan Jaminan
Uang Muka senilai uang muka yang diterima.

17 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
e. Mobilisasi
1. Mobilisasi paling lambat harus sudah mulai dilaksanakan 30 hari kalender sejak
diterbitkan SPMK, atau terutama untuk sumber daya (material, alat, tenaga
kerja) yang akan digunakan untuk memulai pekerjaan.
2. Untuk mobilisasi sumber daya yang berhubungan dengan pelaksanaan untuk
tiap-tiap pekerjaan, dapat dilakukan sesuai kebutuhan dan rencana kerja,
meliputi:
a) Mobilisasi peralatan.
b) Mobilisasi personil inti dan pendukung.
c) Mempersiapkan fasilitas seperti kantor, rumah, barak, laboratorium,
bengkel, gudang, dan sebagainya.
3. Denda keterlambatan mobilisasi sebagaimana tertuang dalam kontrak.

3. Tahap Pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi


Gambaran tahapan pekerjaan konstruksi adalah seperti pada gambar berikut ini:

Gambar 9. Tahapan Pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi

a. Pemeriksaan Bersama (Mutual Check/MC-0)


1. Pemeriksaan Bersama dilaksanakan dengan cara melakukan pengukuran dan
pemeriksaan detail kondisi lapangan, mencakup:
a) Pemeriksaan terhadap desain awal dilakukan untuk menilai kesesuaian
desain dengan kondisi lapangan;

18 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
b) Jika diperlukan penyesuaian terhadap desain, maka dilakukan review
desain.
c) Penyesuaian terhadap kuantitas (volume) awal berdasarkan review
desain yang dilakukan.
2. Penyesuaian pada gambar desain dan volume awal, harus dicantumkan dalam
berita acara hasil pemeriksaan bersama dan selanjutnya dilakukan
perubahan/adendum kontrak.
3. Prosedur Perubahan di Lapangan mengacu pada Prosedur (P-07) sebagai
berikut.

Gambar 10. P-07 Bagan Alir Perubahan di Lapangan

b. Pengajuan Persyaratan untuk Memulai Kegiatan Setiap Pelaksanaan Pekerjaan


1. Untuk memulai setiap kegiatan pekerjaan, Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi
harus menyampaikan permohonan izin memulai pekerjaan (Request of Work).
2. Prosedur permohonan izin memulai pekerjaan sesuai dengan Prosedur (P-01)
dan mengisi Formulir Pengajuan Memulai Pekerjaan (F-01) dengan paling
sedikit melampirkan:
a) Gambar Kerja Prosedur pengajuan persetujuan dan perubahan gambar
kerja (shop drawing) mengacu pada Prosedur (P-03).
b) Rencana Pelaksanaan Pekerjaan (Method Statement), mencakup:
1) Metode Kerja
2) Tenaga kerja yang dibutuhkan;
3) Peralatan yang dibutuhkan; Material yang digunakan;

19 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
4) Aspek Keselamatan Konstruksi (mengacu pada analisis
Keselamatan dan kesehatan Kerja/K3 per pekerjaan).
5) Jadwal mobilisasi tiap-tiap sumber daya.
Pengajuan persetujuan material sesuai dengan Prosedur (P-02).
point) terkait pengendalian mutu pekerjaan. Titik-titik tunggu ini
perlu dipantau dan diawasi (jika diperlukan dapat pula dilakukan
pengujian).
c) Rencana Pemeriksaan dan Pengujian (Inspection and Test Plan/ ITP)
Jadwal pelaksanaan pemeriksaan bahan, material, serta titik tunggu
(hold point) pada metode kerja.

Gambar 11. P-01 Bagan Alir Kegiatan Memulai Pekerjaan

Gambar 12. P-03 Bagan Alir Persetujuan Gambar Kerja

20 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
Gambar 13. F-01 Contoh Format Pengajuan Mulai Pekerjaan

Gambar 14. P-02 Bagan Alir Persetujuan Material

21 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
3. Pemeriksaan terhadap persyaratan untuk izin memulai pekerjaan dilakukan
oleh Direksi Teknis/Konsultan Pengawas kemudian disampaikan kepada
Pengendali untuk mendapatkan persetujuan, mencakup persyaratan seperti
pada tabel berikut:
Tabel 2, Persyaratan Pengajuan Ijin Kerja
Persyaratan Pengajuan Ijin
No. Kriteria Persetujuan
Kerja
1 Gambar Kerja Kesesuaian gambar kerja terhadap gambar
desain dan kondisi lapangan
2 Rencana Pelaksanaan Kesesuaian dengan spesifikasi dalam
Pekerjaan kontrak dan gambar desain
a. Metode Kerja Kelaikan dan keandalan metode kerja yang
digunakan
b. Tenaga kerja yang Kesesuaian kompetensi tenaga kerja
terlibat dengan rencana pekerjaan yang diajukan
c. Peralatan yang 1) Kesesuaian peralatan dengan rencana
dibutuhkan pekerjaan yang diajukan termasuk
kelaikan peralatan
2) Adanya Surat Izin Laik Operasi (SILO)
juga Surat Izin Operator (SIO) untuk
operator masing-masing alat
d. Material yang Kesesuaian material dengan spesifikasi
digunakan
e. Aspek Keselamatan Kesesuaian analisis K3 yang mengacu pada
Konstruksi Rencana Keselamatan Konstruksi (RKK)
f. Jadwal mobilisasi tiap- Kesesuaian jadwal mobilisasi dengan
tiap sumber daya kebutuhan pengadaan dalam rencana
pekerjaan yang diajukan
3 Rencana Pemeriksaan dan Kesesuaian item-item pemeriksaan dan
Pengujian pengujian dengan pengendalian mutu
yang mencakup pemeriksaan material, dan
hasil pekerjaan
Di dalam hal seluruh kriteria persetujuan telah dipenuhi, Pengendali mengeluarkan
surat persetujuan memulai pekerjaan (Approval of Work).

c. Pengawasan Mutu Pekerjaan


1. Pengawasan mutu pekerjan dilakukan melaui pemeriksaan dan pengujian
terkait hal-hal berikut:
a) Metode Kerja
1) Pelaksanaan Pekerjaan sesuai dengan metode kerja yang telah
disetujui oleh Direksi Lapangan/Konsultan MK;
2) Memperhatikan titik tunggu, dimana pekerjaan dapat
dilanjutkan bila tahap pekerjaan sebelumnya telah disetujui.

22 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
b) Tenaga kerja yang terlibat: Pemeriksaan terkait jumlah tenaga kerja
sesuai dengan rencana.
c) Peralatan yang dibutuhkan: Pemeriksaan terkait keteersediaan SILO
(Surat Izin Laik Operasi) dan SIO (Surat Izin Operator) untuk operator
masing-masing alat
d) Material yang digunakan: Pengawasan terkait spesifikasi dan jumlah
material dasar dan material olahan sesuai dengan dokumen pengajuan
material.
e) Keselamatan Konstruksi (mengacu analisis K3 tiap pekerjaan):
1) Dokumen analisis K3 sudah disetujui oleh Direksi
Lapangan/Konsultan MK.
2) Implementasi keselamatan konstruksi per pekerjaan.
f) Jadwal mobilisasi tiap-tiap sumber daya Pemeriksaan terkait
ketersedian sumber daya tiap pekerjaan sesuai jadwal mobilisasi.
g) Rencana Pemeriksaan dan Pengujian (Inspection and Test Plan/ITP)
Pengawasan terhadap kegiatan pemeriksaan dan pengujian sesuai
dengan rencana pada metode kerja.
h) Hasil Pekerjaan Pengawasan tekait hasil tia-tiap kegiatan pekerjaan
sesuai dengan persyaratan. Jika ditemukan hasil pekerjaan yang tidak
sesuai spesifikasi, Pengawas Pekerjaan dapat memberikan peringatan
dan teguran tertulis kepada pihak pelaksana pekerjaan dan
mengusulkan kepada pengguna jasa untuk menghentikan pelaksanaan
pekerjaan sementara jika pelaksana pekerjaan tidak memperhatikan
peringatan yang diberikan.
2. Pengawasan terhadap proses tiap-tiap kegiatan dilakukan berdasarkan
spesifikasi dan metode kerja yang diajukan.
3. Pengawasan terhadap hasil pekerjaaan dilakukan berdasarkan spesifikasi.
4. Pemeriksaan material pada saat penerimaan dilakukan sesuai Prosedur (P-04).
Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi melakukan pemeriksaan secara visual dan
pengukuran (bila diperlukan), dan disaksikan Pengawas Pekerjaan, untuk
memastikan agar material yang dikirim ke lapangan sesuai dengan material
yang telah distujui.
5. Pemeriksaan dan Pengujian berkala material dilaksanakan sesuai dengan
rencana pengujian pada dokumen Pemeriksaan dan Pengujian (ITP) yang terkait

23 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
dengan material tersebut. Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi harus
memastikan pengujian berkala memenuhi persyaratan pada kontrak dan sesuai
dengan peraturan yang berlaku sesuai dengan prosedur (P-05).

Gambar 15. P-04 Bagan Alir Pemeriksaan Material di Lapangan

Gambar 16. P-05 Bagan Alir Pemeriksaan Ulang Material


6. Pemeriksaan hasil pekerjaan dilakukan pada setiap pekerjaan maupun sub
pekerjaan. Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi harus melakukan pemeriksaan
pekerjaan baik fisik maupun administrasi. Jika hasil pekerjaan sudah sesuai
spesfikasi, maka Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi mengajukan permohonan
pemeriksaan kepada PPK sesuai dengan prosedur (P-06).

24 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
7. Jika dalam pelaksanaan pekerjaan diperlukan adanya penyesuaian atau
perubahan di lapangan, maka perubahan di lapangan dilaksanakan sesuai
Prosedur (P-07).
8. Pengendalian ketidaksesuaian hasil pekerjaan dilakukan oleh Penyedia Jasa
Pekerjaan Konstruksi dan Pengawas Pekerjaan. Jika dalam pelaksanaan
pekerjaan ditemukan ketidaksesuaian dengan spesifikasi, Penyedia Jasa
Pekerjaan Konstruksi dan Pengawas Pekerjaan membuat laporan
ketidaksesuaian sesuai Prosedur (P-08) dan (P-09).

Gambar 17. P-06 Bagan Alir Pelaksanaan Inspeksi

Gambar 18. P-08 Bagan Alir Penyusunan Laporan Ketidak sesuaian


(oleh Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi)

25 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
Gambar 19. P-09 Bagan Alir Penyusunan Pernyataan Ketidak Sesuaian
(Oleh Pengawas Pekerjaan)

d. Penerimaan dan Pembayaran Hasil Pekerjaan


1. Penerimaan hasil pekerjaan dilakukan setelah seluruh ketentuan mutu
pekerjaan dalam kontrak dipenuhi.
2. Persetujuan dokumen penagihan didahului dengan pemeriksaan mutu dan
volume hasil pekerjaan yang telah selesai dikerjakan.
3. Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi menyampaikan dokumen tagihan sesuai
dalam kontrak.
4. Jika hasil pemeriksaan menunjukkan ketidaksesuaian spesifikasi dan volume
yang tertulis dalam dokumen penagihan, maka PPK berhak untuk tidak
menyetujui dokumen tersebut dan Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi wajib
melakukan perbaikan terhadap hasil pekerjaan maupun dokumen
penagihannya.
5. Pembayaran dapat dilakukan setelah hasil pemeriksaan telah disetujui.

e. Kontrak Kritis (penjelasan mengenai Show Cause Meeting)


1. Pemberlakuan ketentuan kontrak kritis dilakukan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana diatur dalam dokumen kontrak.
2. Penanganan kontrak kritis dilakukan melalui rapat pembuktian (Show Cause
Meeting/SCM) sesuai dengan tahapan/skenario sebagaimana diatur dalam
dokumen kontrak.
3. Konsekuensi hasil rapat pembuktian dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
kontrak.
4. Pemutusan kontrak dilakukan sebagai pilihan terakhir jika tidak ada alternatif
penyelesaian lain

26 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
4. Tahapan Penyelesaian Pekerjaan Konstruksi
Proses

atau tahapan dalam pelaksanaan penyelesaian pekerjaan konstruksi dapat digambarkan


sebagai berikut:

Gambar 20. Tahapan Penyelesaian Pekerjaan Konstruksi

a. Serah Terima Pekerjaan Pertama Pekerjaan (Provisional Hand Over /PHO)


1. Serah Terima Pekerjaan adalah kegiatan penyerahan pekerjaan yang telah selesai
100% (seratus perseratus) dari Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi kepada Pengguna
Jasa dalam kondisi dan standar sebagaimana disyaratkan dalam kontrak, tahapan
dalam pelaksanaan serah terima pertama dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 21. Tahapan Serah Terima Pertama Pekerjaan


2. Pernyataan pekerjaan selesai 100% berdasarkan rekomendasi dari Direksi
Lapangan/Konsultan MK yang disampaikan kepada PPK.

27 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
3. Rekomendasi Direksi Lapangan/Konsultan MK dikeluarkan berdasarkan hasil
verifikasi lapangan dari Direksi Teknis/Konsultan Pengawas.
4. Isi surat rekomendasi Direksi Lapangan/Konsultan MK mencakup tanggal tentatif
pekerjaan selesai 100%, daftar cacat mutu dan kekurangan (jika ada).
5. Berdasarkan rekomendasi dari Direksi Lapangan/Konsultan MK, PPK melakukan
Serah terima Pertama Pekerjaan. Hasilnya dituangkan dalam berita acara serah
terima pertama pekerjaan.
6. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam proses Serah Terima Pertama Pekerjaan
adalah:

a) Pengujian Akhir Pekerjaan (Test on Completion):


1) Dalam rangka menerima hasil pekerjaan, PPK memerintahkan Direksi
Teknis/Konsultan Pengawas untuk melakukan pemeriksaan dan
pengujian terhadap hasil pekerjaan.
2) Sebelum pelaksanaan pengujian akhir pekerjaan, Direksi
Teknis/Konsultan Pengawas harus memberitahukan kepada PPK
tentang jadwal pelaksanaan pengujian yang telah disepakati dengan
Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi.
3) Sebelum tanggal pelaksanaan pengujian, Penyedia Jasa Pekerjaan
Konstruksi harus memeriksa dokumentasi pengendalian mutu (quality
control-QC).
4) Kegiatan yang harus dilaksanakan oleh Direksi Teknis/Konsultan
Pengawas dalam pengujian pada akhir pekerjaan adalah sebagai
berikut:
i. Mengecek kesesuaian kinerja secara keseluruhan dari pekerjaan
final yang telah selesai dengan seluruh persyaratan dalam kontrak
maupun kesesuaian maksud dari desain/gambar, sebagai contoh
dimensi, ketinggian, dll.
ii. Pengujian sampel random minimum oleh Direksi Teknis/Konsultan
Pengawas (bila diperlukan).
iii. Evaluasi dari semua dokumen terlaksana (as-built document) yang
menunjukkan bahwa seluruh pekerjaan telah sesuai dengan
persyaratan pekerjaan dan seluruh laporan ketidaksesuaian (Non-
Conformance Reports/NCR) telah diselesaikan.

28 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
iv. Direksi Teknis/Konsultan Pengawas mengevaluasi dokumentasi
dari quality assurance (QA) Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi
untuk menyakinkan bahwa seluruh pekerjaan telah selesai sesuai
dengan persyaratan pekerjaan dan seluruh laporan
ketidaksesuaian telah diselesaikan.
5) Untuk pemeriksaan dan uji fungsi, PPK dan Direksi Teknis/Konsultan
Pengawas dapat mengacu spesifikasi yang ada. Apabila hasil
pemeriksaan terhadap cacat mutu dan uji fungsi belum sesuai dengan
spesifikasi yang ada, maka PPK berhak menunda persetujuan berita
acara serah terima pekerjaan dan Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi
wajib melakukan perbaikan terhadap hasil pekerjaan hingga sesuai
dengan spesifikasi yang sudah tercantum dalam kontrak.
6) Untuk pemeriksaan administratif, PPK dapat membentuk Tim
Pemeriksa yang membantu pemeriksaan terhadap dokumentasi
terlaksana (As-Built Document) pelaksanaan pekerjaan yang mencakup
paling sedikit sebagai berikut:
i. Dokumen terkait dengan mutu:
1. Laporan Uji Mutu dibuat oleh pengendali mutu.
2. Desain mix formula dan job mix formula.
3. Uji mutu material.
4. Dokumen penjaminan mutu dan pengendalian mutu.
5. Dokumen terkait penghitungan kuantitas/volume yang
disiapkan oleh Direksi Teknis/Konsultan Pengawas.
ii. Dokumen administrasi
1. Perjanjian kontrak termasuk adendumnya (jika ada).
2. Dokumen kontrak lainnya.
3. Dokumen terkait dengan pelaksanaan kontrak.
4. Dokumen pembayaran.
5. Dokumen Perhitungan penyesuaian harga.
6. Berita acara pemeriksaan oleh intitusi/lembaga
pemeriksa.
7. Laporan ketidaksesuaian dan tindak lanjut (status harus
diatasi).

29 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
8. Foto-foto pelaksanaan (0% sebelum pelaksanaan, sedang
dilaksanakan dan 100% telah dilaksanakan).
9. Gambar terlaksana (as built drawing).
iii. Dokumen-dokumen lainnya, meliputi:
1. Laporan pengelolaan lingkungan.
2. Laporan pelaksanaan Keselamatan Konstruksi;
iv. Manual/pedoman pengoperasian dan perawatan
/pemeliharaan.
7) Apabila dalam pemeriksaan hasil pekerjaan dan dokumen administratif
telah sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Kontrak maka
PPK dan Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi menandatangani Berita
Acara Serah Terima (BAST) Pertama Pekerjaan (berita Acara PHO).
8) Setelah penandatanganan BAST Pekerjaan (BAST PHO), PPK dapat
menyerahkan hasil pekerjaan kepada PA/KPA. Kemudian PA/KPA
meminta Panitia Serah Terima/Panitia Pemeriksa Hasil Pekerjaan
(PPHP) untuk melakukan pemeriksaan administratif terhadap hasil
pekerjaan yang diserahterimakan. Serah terima pekerjan ini bersifat
laporan ke PA/KPA dan belum memindahkan tanggung jawab hasil
pekerjaan ke PA/KPA. Serah terima ini dimaksudkan untuk
mempermudah pemeriksaan administratif oleh PPHP nantinya pada
saat serah terima akhir pekerjaan (FHO).
9) Apabila hasil pemeriksaan administrasi ditemukan
ketidaksesuaian/kekurangan, Panitia Serah Terima/Panitia Pemeriksa
Hasil Pekerjaan (PPHP) melalui PA/KPA memerintahkan PPK untuk
memperbaiki dan/atau melengkapi kekurangan dokumen administratif.
Hasil pemeriksaan administratif dituangkan dalam Berita Acara

b) Rencana Pemeliharaan
1) Setelah pelaksanaan PHO, Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi harus
menjaga kondisi hasil pekerjaan selama masa pemeliharaan dalam
kurun waktu yang telah ditentukan dalam kontrak.
2) Selama masa pemeliharaan, dibentuk Tim Pemeliharaan yang terdiri
dari Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi dan Direksi Teknis/Konsultan
Pengawas.

30 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
3) Sebelum dimulainya masa pemeliharaan, Penyedia Jasa Pekerjaan
Konstruksi harus menyerahkan program kerja/rencana kegiatan yang
akan dilakukan dalam rangka melaksanakan pemeliharaan, paling
sedikit mencakup kegiatan:
i. Pemeriksaan
Kegiatan/tindakan yang dilakukan untuk memastikan apakah
komponen/item/fungsi hasil pekerjaan masih sesuai dengan
spesifikasi.
ii. Pelaksanaan Pemeliharaan dan Perbaikan
Kegiatan/tindakan yang dilakukan untuk mencegah dan
memperbaiki kerusakan suatu komponen/item/ fungsi hasil
pekerjaan.
4) Komponen-komponen yang harus dipelihara serta mekanisme
pemeliharaannya, disesuaikan dengan yang tercantum dalam Manual
Operasi & Pemeliharaan yang harus diserahkan pada saat PHO.
5) Dokumen rencana pemeliharaan diperiksa dan disetujui oleh Direksi
Lapangan/Konsultan MK.

c) Penerbitan Berita Acara Serah Terima (BAST) Pertama Pekerjaan


1) Pada saat pekerjaan telah selesai 100%, Penyedia Jasa Pekerjaan
Konstruksi mengajukan permohonan Berita Acara Serah Terima
Pekerjaan kepada Direksi Teknis/Konsultan Pengawas.
2) PPK akan memeriksa hasil pekerjaan terlebih dahulu, sebelum
mengeluarkan/menandatangi BAST Pekerjaan.
3) Hasil pemeriksaan akan ditindaklanjuti dengan pemberitahuan kepada
Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi hal-hal yang harus
diselesaikan/diperbaiki oleh Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi agar
hasil pekerjaan sesuai dengan persyaratan dalam kontrak.
4) Sebelum mengeluarkan BAST pekerjaan, Direksi Teknis/Konsultan
Pengawas harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
i. Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi telah menyerahkan
dokumen-dokumen yang dipersyaratkan (antara lain: manual
operasi dan pemeliharaan)

31 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
ii. Telah dilakukan pengujian terhadap hasil pekerjaan sesuai
dengan persyaratan dalam kontrak (baik pengujian terhadap
standard mutu maupun kinerja/fungsi).
5) Setelah Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi menyelesaikan
kewajibannya, Direksi Teknis/Konsultan Pengawas melaporkan hasil
pemeriksaan kepada PPK.
6) Apabila dalam pemeriksaan hasil pekerjaan telah sesuai dengan
ketentuan yang tercantum dalam Kontrak, maka PPK dan Penyedia Jasa
Pekerjaan Konstruksi menandatangani Berita Acara Serah Terima
(BAST) Pertama Pekerjaan.
7) Berita acara serah terima pertama pekerjaan paling sedikit berisi:
i. Tanggal difinitif pekerjaan selesai 100%.
ii. Rencana tanggal serah terima akhir pekerjaan.
iii. Tanggal berita acara serah terima pertama pekerjaan.
iv. Lain-lain yang diperlukan antara lain rencana pemeliharaan
selama masa pemeliharaan.

b. Pemeliharan Hasil Pekerjaan


1. Masa Pemeliharaan paling singkat untuk pekerjaan permanen selama 6 (enam)
bulan, sedangkan untuk pekerjaan semi permanen selama 3 (tiga) bulan dan dapat
melampaui tahun anggaran.
2. Setelah tahap PHO, PPK melakukan pembayaran sebesar 95% (sembilan puluh lima
perseratus) dari harga kontrak, sedangkan yang 5% (lima perseratus) merupakan
retensi selama masa pemeliharaan (jaminan pemeliharaan).
3. Hal-hal yang perlu dilakukan dan diperhatikan selama kurun waktu masa
pemeliharaan sebagai berikut:
a) Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi wajib melakukan kegiatan pemeliharaan
(pemeriksaan, pemeliharaan dan perbaikan) sebagaimana yang disampaikan
dalam dokumen rencana pemeliharaan sehingga kondisi tetap seperti pada
saat penyerahan pertama pekerjaan.
b) Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi wajib melaksanakan pemeriksaan
berkala sesuai rencana yang disampaikan.
c) Jika dalam rentang masa pemeliharaan terdapat kerusakan maka Penyedia
Jasa Pekerjaan Konstruksi wajib memperbaiki dan segala biaya yang

32 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
dibutuhkan untuk perbaikan menjadi tanggungjawab Penyedia Jasa
Pekerjaan Konstruksi.
d) Jika kerusakan yang terjadi disebabkan oleh unsur suatu keadaan yang
terjadi diluar tanggung jawab para pihak dan tidak dapat diperkirakan
sebelumnya (keadaan kahar) maka perbaikan dilakukan atas perintah PPK
dan dilaksanakan oleh Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi serta biaya
perbaikan ditanggung oleh PPK.
e) Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi menyampaikan laporan pemeliharaan
yang mencakup kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan selama masa
pemeliharaan kepada PPK.
f) Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi dapat mengajukan permintaan secara
tertulis kepada PPK untuk penyerahan akhir (FHO) setelah seluruh tanggung
jawab selama masa pemeliharaan telah dilaksanakan sebelum berakhirnya
masa pemeliharaan.
g) Gambar terlaksana harus diserahkan sebelum dilakukan serah terima akhir
pekerjaan.

c. Serah Terima Akhir Pekerjaan (Final Hand Over/FHO)

Gambar 22. Tahapan Serah Terima Akhir Pekerjaan


1. Setelah masa pemeliharaan berakhir, Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi
menyampaikan laporan pemeliharaan serta mengajukan permintaan secara
tertulis kepada PPK untuk penyerahan akhir.
2. Dalam rangka menerima hasil pekerjaan, PPK memerintahkan Direksi
Teknis/Konsultan Pengawas untuk melakukan pemeriksaan terhadap hasil
pekerjaan pemeliharaan.
3. Permohonan pengajuan penerimaan hasil akhir pekerjaan dilaksanakan sesuai
Prosedur (P-10) dan mengisi Form Pemeriksaan Kelayakan (F-09).
4. Apabila dari hasil pemeriksaan, selama masa pemeliharaan Penyedia Jasa
Pekerjaan Konstruksi telah sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam

33 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
Kontrak, maka PPK dan Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi menandatangani Berita
Acara Serah Terima Akhir Pekerjaan.

Gambar 23. P-10 Bagan Alir Penerimaan Hasil Pekerjaan

Gambar 24. F-09 Contoh Format Pemeriksaan untuk Penyerahan Akhir


Pekerjaan

34 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
5. PPK wajib melakukan pembayaran uang retensi atau mengembalikan jaminan
pemeliharaan.
6. Setelah penandatanganan Berita Acara Serah Terima Akhir Pekerjaan, PPK
menyerahkan hasil pekerjaan kepada PA/KPA. Selanjutnya PA/KPA meminta
Panitia Pemeriksa Hasil Pekerjaan (PPHP) untuk melakukan pemeriksaan
administratif terhadap hasil pekerjaan yang diserahterimakan.
7. Apabila hasil pemeriksaan administrasi ditemukan ketidaksesuaian/kekurangan,
PPHP melalui PA/KPA memerintahkan PPK untuk memperbaiki dan/atau
melengkapi kekurangan dokumen administratif. Hasil pemeriksaan administratif
dituangkan dalam Berita Acara.
8. Dalam rangka pelaksanaan FHO, Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi harus
menyerahkan seluruh dokumentasi terlaksana (AsBuilt Document) pelaksanaan
pekerjaan yang mencakup paling sedikit dokumen sebagai berikut:
a) Dokumen terkait dengan mutu:
1) Laporan Uji Mutu dibuat oleh pengendali mutu.
2) Desain mix formula dan job mix formula.
3) Uji mutu material.
4) Dokumen penjaminan mutu dan pengendalian mutu.
5) Dokumen terkait penghitungan kuantitas/volume yang disiapkan oleh
Direksi Teknis/Konsultan Pengawas.
b) Dokumen administrasi:
1) Perjanjian kontrak termasuk adendumnya (jika ada).
2) Dokumen kontrak lainnya.
3) Dokumen terkait dengan pelaksanaan kontrak.
4) Dokumen pembayaran.
5) Dokumen Perhitungan penyesuaian harga.
6) Berita acara pemeriksaan oleh intitusi/lembaga pemeriksa.
7) Laporan ketidaksesuaian dan tindak lanjut (status harus diatasi).
8) Foto-foto pelaksanaan (0% sebelum pelaksanaan, sedang dilaksanakan
dan 100% telah dilaksanakan).
9) Gambar terlaksana (as built drawing).
c) Dokumen-dokumen lainnya, meliputi:
1) Laporan pengelolaan lingkungan;
2) Laporan pelaksanaan Keselamatan Konstruksi;

35 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
3) Laporan pelaksanaan pekerjaan pemeliharaan.
d) Dokumen pengoperasian dan pemeliharaan berupa manual/ pedoman
pengoperasian dan perawatan/pemeliharaan.

F. PELAPORAN

1. Bentuk Laporan Pekerjaan Konstruksi


a. Dalam pengendalian dan pengawasan pelaksanaan pekerjaan konstruksi, seluruh
aktivitas dilaporkan sesuai dengan kemajuan pekerjaan.
b. Untuk kondisi tertentu, tata cara pelaporan ini dapat disesuaikan dengan pertimbangan
peningkatan kinerja proyek secara keseluruhan dengan tetap memastikan tercapainya
pengendalian pekerjaan konstruksi.
c. Penyesuaian tata cara pelaporan harus dibahas pada Rapat Persiapan Pelaksanaan
Kontrak (PCM) dan disampaikan secara tertulis kepada PPK.
d. Jenis laporan pada pekerjaan konstruksi:
1) Laporan Pelaksanaan Pekerjaan (Laporan yang disusun oleh Penyedia Jasa
Pekerjaan Konstruksi kepada PPK), terdiri dari:
a) Laporan Harian.
b) Laporan Mingguan.
c) Laporan Bulanan.
2) Laporan Pengawasan (Laporan yang disusun oleh Direksi Teknis/Konsultan
Pengawas kepada PPK), terdiri dari laporan bulanan, dengan ketentuan sebagai
berikut:
a) Dalam hal tugas pengawasan pekerjaan dilakukan oleh Direksi Teknis,
maka laporan bulanan berupa laporan pelaksanaan pekerjaan konstruksi.
b) Dalam hal tugas pengawasan pekerjaan dilakukan oleh Konsultan
Pengawas, maka laporan bulanan berupa:
i. Laporan pelaksanaan pekerjaan konstruksi;
ii. Laporan pelaksanaan tugas pengawasan.
c) Laporan Pengendalian (Laporan yang disusun oleh Kepala Satuan
Kerja/PPK kepada atasan langsung).

2. Laporan Pelaksanaan
Laporan pelaksanaan disampaikan oleh Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi kepada PPK
setelah mendapat verifikasi dari Direksi Teknis/Konsultan Pengawas. Laporan pelaksanaan
berisi informasi kemajuan pekerjaan sebagaimana yang ditetapkan di dalam rencana

36 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
pelaksanaan pekerjaan beserta uraian kendala dan masalah yang dihadapi Penyedia Jasa
Pekerjaan Konstruksi selama pelaksanaan pekerjaan. Laporan pelaksanaan terdiri dari 3
(tiga) laporan, yaitu:
• Laporan Harian.
• Laporan Mingguan.
• Laporan Bulanan.

a. Laporan Harian
1. Laporan harian disusun berdasarkan buku harian yang berisi catatan mengenai
rencana dan realisasi pekerjaan harian.
2. Buku harian disusun untuk kepentingan pengendalian dan pengawasan
pelaksanaan pekerjaan.
3. Buku harian paling sedikit memuat hal-hal sebagai berikut :
a) Kuantitas dan jenis bahan yang ada di lapangan.
b) Penempatan tenaga kerja untuk setiap macam tugas dan keterampilan yang
diperlukan/
c) Jumlah, jenis dan kondisi peralatan yang tersedia.
d) Jumlah volume cadangan bahan bakar yang tersedia untuk peralatan.
e) Taksiran kuantitas pekerjaan yang dilaksanakan.
f) Jenis dan uraian pekerjaan yang dilaksanakan.
g) Kondisi cuaca antara lain hujan, banjir dan peristiwa-peristiwa alam lainnya
yang berpengaruh terhadap kelancaran pekerjaan.
h) Catatan-catatan yang berkaitan dengan: pelaksanaan, perubahan design,
gambar kerja (shop drawing), spesifikasi teknis, keterlambatan pekerjaan dan
penyebabnya dan lain sebagainya.
4. Laporan harian disusun dan disampaikan setiap hari kepada Kasatker/PPK setelah
mendapat verifikasi dari Direksi Teknis/Konsultan Pengawas.
5. Laporan harian paling sedikit memuat hal-hal sebagai berikut:
a) Capaian pekerjaan untuk setiap jenis pekerjaan dan/atau sub pekerjaan,
pemenuhan kualitas dan kuantitas bahan yang digunakan; daftar peralatan
yang meliputi jenis, jumlah dan kondisi peralatan; serta penempatan tenaga
kerja untuk setiap pekerjaan dan/atau sub pekerjaan.
b) Kondisi cuaca, seperti hujan, banjir dan peristiwa alam lainnya yang
berpengaruh terhadap pelaksanaan pekerjaan.

37 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
c) Hambatan dan kendala yang dihadapi berkenaan dengan pelaksanaan
pekerjaan di lapangan serta kondisi khusus lainnya yang berdampak atau
berpotensi berdampak pada pelaksanaan pekerjaan.
d) Informasi Keselamatan Konstruksi, seperti kejadian kecelakaan kerja, catatan
tentang kejadian nyaris terjadi kecelakaan kerja (nearmiss record), dan lain-
lain sebagaimana yang disyaratkan di dalam peraturan.
e) Informasi terkait Keselamatan Konstruksi harus diperiksa oleh Direksi
Teknis/Konsultan Pengawas. Laporan harian Keselamatan Konstruksi dapat
dapat dijadikan satu dalam format Laporan harian atau dapat juga
menggunakan format terpisah.
f) Rencana pelaksanaan pekerjaan di hari berikutnya.
g) Catatan-catatan yang berkaitan dengan: pelaksanaan, perubahan desain,
gambar kerja (shop drawing), spesifikasi teknis, kelambatan pekerjaan dan
penyebabnya dan lain sebagainya.
6. Dalam laporan harian harus dapat diperoleh informasi terkait sebabsebab
terjadinya keterlambatan pelaksanaan pekerjaan, apakah disebabkan karena
kerusakan peralatan, Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi
personil/bahan/peralatan terlambat, atau disebabkan keadaan cuaca buruk.
7. Dokumen asli laporan harian dipelihara oleh PPK.
8. Laporan Harian tersebut dibuat dalam rangkap 4 (empat), disusun oleh Penyedia
Jasa Pekerjaan Konstruksi, diperiksa oleh Direksi Teknis/Konsultan Pengawas dan
disetujui oleh Direksi Lapangan/Konsultan MK dengan distribusi sebagai berikut:
a) Asli untuk Kasatker/PPK.
b) Lembar ke dua untuk Direksi Lapangan/Konsultan MK.
c) Lembar ke tiga untuk Direksi Teknis/Konsultan Pengawas.
d) Lembar ke empat untuk Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi.

b. Laporan Mingguan
1. Laporan mingguan disusun dan disampaikan di setiap minggu pada hari Senin di
minggu berikutnya kepada Kasatker/PPK setelah mendapat verifikasi Direksi
Teknis/Konsultan Pengawas.
2. Laporan mingguan paling sedikit memuat capaian pelaksanaan pekerjaan selama 1
(satu) minggu dan rencana capaian minggu berikutnya yang disampaikan setiap
minggu.

38 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
3. Dalam hal Kasatker/PPK melakukan rapat mingguan, laporan mingguan yang telah
diverifikasi kepada Direksi Teknis/Konsultan Pengawas harus disampaikan sebelum
pelaksanaan rapat mingguan dan akan dibahas pada saat rapat mingguan.
4. Laporan mingguan paling sedikit memuat hal-hal sebagai berikut:
a) Rangkuman capaian pekerjaan berupa hasil pembandingan capaian dengan
minggu sebelumnya dan capaian pada minggu berjalan dengan rencana
kegiatan dan sasaran capaian pada minggu berikutnya.
b) Hambatan dan kendala yang dihadapi pada kurun waktu 1 (satu) minggu
beserta tindakan penanggulangan yang telah dilakukan dan potensi kendala
pada minggu berikutnya.
c) Dukungan yang diperlukan dari Kasatker/PPK, Direksi Teknis/Konsultan
Pengawas, dan pihak-pihak lain yang terkait.
d) Ringkasan permohonan persetujuan atas usulan dan dokumen yang diajukan
beserta statusnya.
e) Ringkasan kegiatan pemeriksaan dan pengujian yang dilakukan.
f) Ringkasan aktivitas dan hasil pengendalian Keselamatan Konstruksi, termasuk
kejadian kecelakaan kerja, catatan tentang kejadian nyaris terjadi kecelakaan
kerja (nearmiss record), dan lain-lain.
5. Dokumen asli persetujuan laporan mingguan dipelihara oleh PPK. 6. Laporan
mingguan dibuat paling sedikit dalam 3 (tiga) rangkap untuk didistribusikan
kepada:
a) Asli untuk Kasatker/PPK.
b) Lembar ke dua untuk Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi.
c) Lembar ke tiga untuk Direksi Teknis/Konsultan Pengawas.

c. Laporan Bulanan
1. Laporan bulanan disusun dan disampaikan di setiap bulan, pada tanggal 10
(sepuluh) bulan berikutnya kepada Kasatker/PPK setelah mendapat verifikasi
Direksi Teknis/Konsultan Pengawas.
2. Periode pelaporan adalah tanggal 26 sampai dengan tanggal 25 bulan berikutnya.
3. Laporan Bulanan paling sedikit memuat hal – hal sebagai berikut:
a) Capaian pekerjaan fisik, ringkasan status capaian pekerjaan fisik dengan
membandingkan capaian di bulan sebelumnya, capaian pada bulan berjalan
serta target capaian di bulan berikutnya.
b) Foto dokumentasi.

39 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
c) Ringkasan status kondisi keuangan Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi, status
pembayaran dari Pengguna Jasa.
d) Perubahan kontrak dan perubahan pekerjaan.
e) Masalah dan kendala yang dihadapi, termasuk statusnya, tindakan
penanggulangan yang telah dilakukan dan rencana tindakan selanjutnya.
f) Hambatan dan kendala yang berpotensi terjadi di bulan berikutnya, beserta
rencana pencegahan atau penanggulangan yang akan dilakukan.
g) Status persetujuan atas usulan dan permohonan dokumen.
h) Ringkasan aktivitas dan hasil pengendalian Keselamatan Konstruksi, termasuk
kejadian kecelakaan kerja, catatan tentang kejadian nyaris terjadi kecelakaan
kerja (nearmiss record), dan lain-lain.
4. Laporan bulanan dibuat paling sedikit dalam 6 (enam) rangkap untuk
didistribusikan kepada:
a) 4 (empat) dokumen untuk Kasatker/PPK.
b) 1 (satu) dokumen untuk Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi.
c) 1 (satu) dokumen untuk Direksi Teknis/Konsultan Pengawas.

3. Laporan Pengawasan Pekerjaan


Laporan pengawasan pekerjaan merupakan laporan Direksi Teknis/Konsultan Pengawas
kepada Kasatker/PPK. Laporan pengawasan terdiri dari laporan pengawasan terhadap hasil
pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan laporan pelaksanaan pengawasan, jika pengawasan
pekerjaan dilakukan oleh Konsultan Pengawas.

a. Laporan Pengawasan terhadap Hasil Pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi


Laporan pengawasan terhadap hasil pelaksanaan pekerjaan konstruksi meliputi laporan
mingguan, laporan bulanan, laporan khusus dan laporan akhir.
1. Laporan mingguan paling sedikit memuat hal-hal sebagai berikut :
a) Capaian pekerjaan fisik, ringkasan status capaian pekerjaan fisik dengan
membandingkan capaian di bulan sebelumnya, capaian pada bulan berjalan
serta target capaian di bulan berikutnya.
b) Foto dokumentasi.
c) Ringkasan status kondisi keuangan Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi, status
pembayaran dari Pengguna.
d) Perubahan kontrak dan perubahan pekerjaan.
e) Masalah dan kendala yang dihadapi; termasuk statusnya, tindakan
penanggulangan yang telah dilakukan dan rencana tindakan selanjutnya.

40 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
f) Hambatan dan kendala yang berpotensi terjadi di bulan berikutnya, beserta
rencana pencegahan atau penanggulangan yang akan dilakukan.
g) Status persetujuan atas usulan dan permohonan dokumen.
h) Daftar dan status persetujuan dokumen yang yang harus ditindak lanjuti oleh
Direksi Lapangan/Konsultan MK.
i) Ringkasan hasil pelaksanaan kegiatan pekerjaan (daftar pelaksanaan kegiatan
pemeriksaan beserta hasil dan status persetujuannya).
j) Ringkasan aktivitas dan hasil pengendalian Keselamatan Konstruksi, termasuk
kejadian kecelakaan kerja, catatan tentang kejadian nyaris terjadi kecelakaan
kerja (nearmiss record), dan lain-lain.
k) Kendala yang dihadapi Direksi Teknis/Konsultan Pengawas, tindakan yang
telah dan akan dilakukan serta dukungan yang dibutuhkan dari Direksi
Lapangan/Konsultan MK untuk tujuan kelancaran proyek.
2. Laporan bulanan
Laporan bulanan merupakan kompilasi dan updating dari laporan mingguan.
3. Laporan Khusus (apabila diperlukan)
Laporan khusus berisi tentang kejadian, kegiatan, keadaan khusus yang perlu
dilaporkan atau atas permintaan Kasatker/PPK.
4. Laporan Akhir
a) Laporan akhir merupakan hasil keseluruhan dari laporan bulanan sejak awal
hingga akhir pekerjaan konstruksi yang telah dirangkum dan memuat evaluasi
pelaksanaan pekerjaan.
b) Hasil evaluasi dapat digunakan oleh Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi dan
PPK sebagai bahan evaluasi untuk pekerjaan konstruksi selanjutnya yang
mempunyai kareteristik tipikal, sehingga dapat melakukan perbaikan dan
inovasi pada pekerjaan konstruksi selanjutnya

b. Laporan Pelaksanaan Pengawasan


1. Laporan pelaksanaan pengawasan disusun dalam hal pengawasan pekerjaan
dilakukan oleh Konsultan Pengawas dan diserahkan setiap bulan.
2. Laporan pelaksanaan pengawasan meliputi laporan pendahuluan, laporan berkala,
laporan bulanan, laporan khusus (apabila diperlukan), dan laporan akhir.
a) Laporan Pendahuluan
1) Laporan pendahuluan paling sedikit memuat hal-hal sebagai berikut:

41 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
i. Pemahaman terhadap ligkup layanan konsultansi selama masa
kontrak.
ii. Rencana kerja dan pengoragnisasian pekerjaan.
iii. Jadwal pelaskanaan dan penugasan tenaga ahli.
iv. Ringkasan kemajuan pelaksanaan pengawasan (jika sudah ada).
2) Laporan pendahuluan harus diserahkan selambat-lambatnya 30 hari hari
sejak tanggal SPMK.
b) Laporan Berkala (triwulan/antara)
1) Laporan berkala (triwulan/antara) paling sedikit memuat halhal sebagai
berikut:
i. Hasil sementara pelaksanaan kegiatan di dalam proyek.
ii. Kemajuan pelaksanaan pengawasan.
iii. Rencana kerja untuk sisa masa pengawasan termasuk
pemutakhiran sebagai konsekuensi jika hasil kemajuan
pelaksanaan pekerjaan tidak sesuai dengan rencana.
iv. Jadwal pelaksanaan dan penggunaan tenaga ahli.
v. Evaluasi sementara dan saran kepada PPK.
2) Penyerahan laporan berkala (triwulan/antara sesuai dengan yang
tercantum dalam kontrak.
c) Laporan Bulanan Laporan bulanan paling sedikit memuat hal-hal sebagai
berikut:
1) Ringkasan pelaksanaan kegiatan pengawasan pekerjaan (daftar
pelaksanaan kegiatan pemeriksaan beserta hasil dan status
persetujuannya).
2) Laporan sumber daya manusia tim Konsultan Pengawas (personil, time
sheet, dll).
3) Daftar dan status persetujuan yang dikeluarkan oleh Konsultan
Pengawas;
4) Daftar dan status instruksi yang dikeluarkan Konsultan Pengawas kepada
Peyedia.
5) Daftar dan status persetujuan dokumen yang harus ditindaklanuti oleh
Kasatker/PPK.
6) Kendala yang dihadapi Konsultan Pengawas, tindakan yang telah dan
akan dilakukan serta dukungan yang dibutuhkan.

42 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
7) Penyerahan laporan bulanan sesuai dengan yang tercantum dalam
kontrak.
d) Laporan Khusus (jika diperlukan) Laporan khusus berisi tentang kejadian,
kegiatan, keadaan khusus yang perlu dilaporkan atau atas permintaan
Kasatker/PPK.
e) Laporan Akhir
1) Laporan akhir harus mencakup seluruh layanan dalam masa kontrak
Konsultan Pengawas yang paling sedikit memuat halhal sebagai berikut:
i. Rencana kerja awal untuk selama periode pengawasan.
ii. Rencana kerja yang dimutakhirkan selama periode pengawasan.
iii. Realisasi pelaksanaan pengawasan.
iv. Jadwal dan realisasi pelaksanaan dan penggunaan tenaga ahli
selama masa periode pengawasan.
v. Evaluasi pelaksanaan pengawasan secara menyeluruh dan saran
kepada PPK.
2) Penyampaian laporan akhir diserahkan dengan melampirkan salinan
seluruh keluaran yang dipersyaratkan dalam kontrak selama pelaksanaan
periode pengawasan serta salinan dokumentasi lainnya yang dipandang
penting.
3) Penyerahan laporan akhir sesuai dengan yang tercantum dalam kontrak.

4. Laporan Kasatker/PPK kepada Atasan Langsung


a. Laporan Kasatker/PPK kepada atasan langsung paling sedikit dilakukan selama 2 (dua)
kali selama masa kontrak pekerjaan konstruksi.
b. Laporan Kasatker/PPK kepada atasan langsung merupakan laporan pengendalian
pekerjaan konstruksi.
c. Laporan ini paling sedikit memuat hal-hal sebagai berikut:
1. Ringkasan status kemajuan pekerjaan, baik kemajuan fisik maupun
pembayaran/keuangan, serta sisa target berikutnya yang harus dicapai.
2. Penilaian kinerja terhadap para pihak yang terlibat di dalam proyek, seperti
Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi, Sub Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi dan
Direksi Teknis/Konsultan Pengawas.
3. Kendala-kendala yang dihadapi terkait pengendalian pekerjaan konstruksi serta
penanggulangan yang sudah dan/atau yang akan dilakukan.

43 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
4. Potensi masalah yang mungkin terjadi serta rencana pencegahan atau
penanggualanannya.
5. Status perubahan kontrak, bila ada
6. Laporan keterlambatan dan/atau ketidaksesuaian dengan rencana yang
ditetapkan beserta penyebab keterlambatan serta usulan rencana percepatan
dan/atau alternatif solusi lainnya.
7. Hal-hal lain yang perlu untuk dilaporkan

Tabel 3. Matrik Pelaporan dalam Rangka Penjaminan Mutu dan


Pengendalian Pekerjaan Konstruksi

*) Laporan pelaksanaan pekerjaan konstruksi disusun oleh Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi dan diserahkan kepada
Direksi Teknis/Konsultan Pengawas untuk diperiksa.
**) Laporan pelaksanaan pengawasan disusun oleh Konsultan Pengawas dan diserahkan kepada PPK Paket Pengawasan.
***) Ketentuan terkait jumlah, waktu penyerahan dan distribusi disesuaikan dengan klausul dan persyaratan dalam
kontrak

44 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
MANAJEMEN LINGKUNGAN DAN HYGIENE
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI
A. Pendahuluan 1
B. Dasar-Dasar Manajemen Lingkungan Hidup 2
C. Konsep Dasar Higiene Industri 4
D. Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan Kerja 5
a. Pengukuran dan Pengendalian Lingkungan Kerja 6
b. Penerapan Higiene dan Sanitasi 7
E. Pengukuran dan Pengendalian Lingkungan Kerja 7
a. Fakor Fisika 7
b. Faktor Kimia 9
c. Faktor Biologi 10
d. Faktor Ergonomi 12
e. Faktor Psikologi 12
F. Penerapan Higiene dan Sanitasi 14
A. PENDAHULUAN
Perkembangan pesat industri mendorong penggunaan mesin, peralatan kerja dan bahan-bahan
kimia dala proses produksi semakin meningkat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat
memberikan kemudahan dalam proses produksi, meningkatnya produktivitas kerja, dan
meningkatnya jumlah tenaga kerja. Dengan demikian banyak, pada masalah ketenagakerjaan
yang timbul termasuk didalamnya, masalah-masalah kesehatan dan keselamatan kerja (K3).
Seperti meningkatnya jumlah dan ragam sumber bahaya ditempat kerja, peningkatan jumlah
maupun tingkat keseriusan kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja (PAK), pencemaran lingkungan
(Notoatmodjo, 2007:362).
Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan instrumen yang memproteksi pekerja, perusahaan,
lingkungan hidup, dan masyarakat sekitar dari bahaya akibat kecelakaan kerja. K3 bertujuan
mencegah, mengurangi, bahkan menihilkan resiko kecelakaan kerja (zero accident). Penerapan
konsep ini tidak boleh dianggap sebagai upaya pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat
kerja yang menghabiskan banyak biaya (cost) perusahaan, melainkan harus dianggap sebagai
bentuk investasi jangka panjang yang memberikan keuntungan yang berlimpah pada masa yang
akan datang.
Hygiene Perusahaan adalah spesialisasi dalam ilmu hygiene beserta prakteknya yang lingkup
dedikasinya adalah mengenali, mengukur dan melakukan penilaian (evaluasi) terhadap faktor
penyebab gangguan kesehatan atau penyakit dalam lingkungan kerja dan perusahaan. Hasil
pengukuran evaluasi demikian dipergunakan sebagai dasar tindakan korektif serta guna
pengembangan pengendalian yang lebih bersifat preventif terhadap lingkungan kerja atau
perusahaan. Dengan menerapkan hygiene perusahaan kesehatan tenaga kerja atau pekerja yang
dapat dilindungi dan masyarakat sekitar suatu perusahaan terhindar dari bahaya faktor
lingkungan yang mungkin diakibatkan oleh beroperasinya suatu perusahaan. Jelas sifat-sifat
hygiene perusahaan yaitu sasarannya adalah lingkungan kerja dan bersifat teknis-teknologi
(Suma’mur, 2009:1).
Tujuan hygiene perusahaan dalam kesehatan kerja adalah sebagai alat untuk mencapai derajat
kesehatan tenaga kerja seoptimal mungkin (dalam hal tertentu mungkin setinggi-tingginya,
seandainya kondidi yang diperlukan cukup memadai), pada pekerja atau buruh petani, nelayan,
pegawai negeri, pengusaha, manager atau pekerja bebas di semua sektor kegiatan ekonomi dan
non-ekonomi formal, informal serta non-formal dengan demikian dimaksudkan untuk tujuan
menyejahterakan tenaga kerja dalam meningkatkan produktivitas, yang berdasarkan kepada
perbaikan daya kerja dan produktivitas faktor manusia dalam produksi (Sama’mur, 2009 :4).

1 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
Lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang ada disekitar para pekerja dapat mempengaruhi
dirinya dalam menjalankan tugas-tugas. Lingkungan kerja kondusif memberikan rasa aman dan
memungkinkan para pegawai untuk dapat bekerja optimal. Lingkungan kerja dapat
mempengaruhi emosi pegawai. Jika pegawai menyenangi lingkungan kerja dimana dia
bekerja,maka pegawai tersebut akan betah ditempat kerjanya untuk melakukan aktivitas sehingga
waktu kerja digunakan secara efektif dan optimis. Lingkungan kerja tersebut mencakup hubungan
kerja antara bawaha dan atasan serta lingkungan fisik tempat pegawai bekerja.

B. DASAR-DASAR MANAJEMEN LINGKUNGAN HIDUP


Dalam melaksanakan kegiatan usaha dan/atau pembangunan (pekerjaan konstruksi) disuatu
lokasi akan memberikan dampak terhadap lingkungan baik lingkungan di dalam lokasi pekerjaan
maupun terhadap lingkungan disekitar lokasi kegiatan tersebut. Dalam lokasi tempat usaha atau
kegiatan konstruksi tersebut terdapat 3 elemen utama yaitu peralatan atau mesin-mesin produksi,
material dan manusia, interaksi dari ketiga elemen tersebut akan merubah kondisi lingkungan
berupa efek dari operasional yang terjadi diantaranya adalah kebisingan akibat bunyi mesin,
pencemaran udara, air dan tanah, kontaminasi dari bahan-bahan berbahaya, yang akan
memberikan dampak baik terhadap pekerja yang ada di lokasi maupun masyarakat dan
lingkungan disekitarnya.
Pembangunan disatu sisi akan memberikan dampak terhadap perubahan lingkungan hidup
namun disatu sisi pembangunan adalah suatu hal mutlak yang dibutuhkan sebagai upaya untuk
meningkatkan harkat dan martabat serta derajat bangsa, meskipun akan ada dampak yang kurang
baik terhadap lingkungan. Untuk itulah upaya untuk mengendalikan dampak lingkungan perlu
diupayakan agar kerusakan lingkungan tidak semakin parah dan tentu akan merugikan manusia
itu sendiri terutama bagi generasi selanjutnya.
Program pembangunan berkelanjutan merupakan salah satu upaya untuk membuat
keseimbangan dalam memenuhi kebutuhan pembangunan serta upaya untuk tetap menjaga
kelestarian lingkungan. Salah satu upaya dalam pengendalian lingkungan tersebut adalah melalui
kewajiban untuk melaksanakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Tujuan utama
dari Analisis Mengenai Dampak Lingkungan tersebut adalah agar kualitas lingkungan hidup tetap
terjaga atau tidak mengalami kerusakan yang disebabkan oleh kegiatan atau usaha pembangunan
serta terjaganya kesehatan masyarakat serta pengaruh sosial lainnya. AMDAL merupakan
keharusan bagi pelaku usaha khususnya pada proyek-proyek pembangunan dengan skala besar
yang berpotensi menimbulkan dampak penting.
Salah satu poin penting dalam pengelolaan lingkungan hidup tersebut adalah melalui penyusunan
Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) yang merupakan suatu perencanaan tindak langjut

2 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
untuk melaksanakan pengelolaan dampak penting yang akan timbul dari kegiatan usaha atau
pembangunan selanjutnya adalah penyusunan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL)
yang merupakan perencanaan perangkat dalam pelaksanaan pemantauan hasil pengelolaan
lingkungan hidup yang telah dilaksanakan. Penyusunan RKL dan RPL dimaksudkan untuk:
• Menyusun rencana pengelolaan dampak penting agar dampak yang ditimbulkan proyek
dapat memenuhi ketentuan baku mutu lingkungan dan / atau meminimalisasi kerusakan
lingkungan sehingga dapat menghindari kemungkinan timbulnya dampak penting yang
akan dapat berkembang menjadi isu lingkungan atau isu sosial yang merugikan berbagai
pihak yang berkepentingan.
• Menyusun rencana pemantauan dampak penting guna mengetahui efektivitas hasil
pengelolaan lingkungan sehingga dapat menjadi dasar evaluasi dan penyusunan rencana
tindak lanjut untuk menyempurnakan pengelolaan lingkungan secara terus menerus.
Dengan adanya RKL dan RPL ini maka setiap dampak penting yang ditimbulkan oleh kegiatan dapat
terkendali dan teredam hingga tidak berkembang menjadi isu lingkungan regional, nasional atau
bahkan menjadi isu lingkungan internasional.
Pemahaman terkait dengan Manajemen Lingkungan merupakan pemahaman terhadap
pengelolaan sumber daya dengan seluruh upaya dalam menjaga alam sekitarnya dan/atau secara
luas. Pengelolaan sumber daya dengan cara mengidentifikasi aspek-aspek lingkungan terhadap
pencemaran air, udara dan tanah yang akan berdampak terhadap masyarakat dan lingkungan
disekitarnya. Dampak-dampak yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut:
• Dampak terhadap kesehatan individu pekerja;
• Dampak terhadap masyarakat terhadap endemic.
• Dampak terhadap berubahnya tatanan sosial masyarakat, dan
• Dampak terhadap kerusakan lingkungan hidup.

Kesehatan Individu
PenyakitAkibat Kerja
Pekerja

Kesehatan Masyarakat EPIDEMI

Perubahan tatanan
PenyakitAkibat Kerja
Sosial Masyarakat

Kerusakan Kelestarian Perubahan Iklim /


Lingkungan Global arming

Gambar 1, Skema Pengelolaan Lingkungan Hidup

3 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
C. KONSEP DASAR HIGIENE INDUSTRI
Higiene industri, adalah perpanduan ilmu (science) dan seni (art), dalam usaha
mengantisipasi, pengenalan/rekoknisi, evaluasi dan mengontrol faktor-faktor lingkungan yang
timbul dari tempat kerja, yang mungkin mengakibatkan sakit, gangguan kesehatan atau rasa
kenyamanan dan menyebabkan menurunnya efisiensi kerja diantara para pekerja. International
Labour Organization (ILO) dan World Health Organization (WHO) mendefinisikan kesehatan kerja
berisikan hal-hal sebagai berikut:
Hygiene dan sanitasi tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain karena erat kaitannya. Misalnya
hygiene sudah baik karena mau mencuci tangan, tetapi sanitasinya tidak mendukung karena tidak
cukup tersedia air bersih, maka mencuci tangan tidak sempurna. Higiene dan sanitasi merupakan
hal yang penting dalam menentukan kualitas makanan dimana Escherichia coli sebagai salah satu
indikator terjadinya pencemaran makanan yang dapat menyebabkan penyakit akibat makanan
(food borne diseases).
Ruang lingkup Higiene Industri merupakan sebuah sekuen atau urutan langkah atau metode
dalam mengimplementasikan hygiene industri, dimana urutan tersebut tidak dapat di bolak-balik
dan merupakan suatu siklus yang tidak berakhir atau berkelanjutan yang terdiri dari kegiatan
sebagai berikut:
1. Antisipasi, yaitu kegiatan untuk memprediksi potensi bahaya dan risiko yang ada di
tempat kerja, merupakan tahap awal dalam implementasi hygiene industri di tempat
kerja. Adapun tujuan dari kegiatan antisipasi ini adalah:
a. Mengetahui potensi bahaya dan risiko sedini mungkin sebelum muncul menjadi
insiden atau dampak.
b. Mempersiapkan tindakan yang dibutuhkan dalam melaksanakan proses agar
tidak terjadi bahaya atau risiko di tempat kerja.
c. Mereduksi atau meminimalisir potensi yang risiko yang mungkin terjadi dalam
melaksanakan suatu proses produksi.
2. Rekognisi, merupakan serangkaian kegiatan untuk mengenali bahaya lebih detail dan
lebih komprehensif dengan menggunakan metode yang sistematis sehingga dihasilkan
suatu hasil yang objektif dan bisa dipertanggung jawabkan. Dalam rekognisi ini kita
melakukan pengenalan dan pengukuran untuk mendapatkan informasi tentang
konsentrasi, dosis, ukuran (partikel) jenis, kandungan atau struktur, sifat,dll. Tujuan dari
kegiatan rekognisi ini adalah:
a. Mengetahui karakteristik suatu bahaya secara detail (sifat, kandungan, efek,
sevety, pola pajanan, besaran, dll)

4 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
b. Mengetahui sumber bahaya dan area yang berisiko
c. Mengetahui potensi pekerja yang akan terkena dampak atau risiko.
3. Evaluasi, merupakan tahap penilaian dari hasil pengukuran atau pengambilan sampel dan
analisis dari laboratorium. Melalui penilaian lingkungan dapat ditentukan kondisi
lingkungan kerja secara kuantitatif dan terinci serta membandingkan hasil pengukuran
terhadap standar yang berlaku sehingga dapat ditentukan perlu atau tidaknya
pelaksanaan pengendalian atau korelasi kasus kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja
dengan lingkungan serta sekaligus merupakan dokumen data lingkungan di tempat kerja.
Tujuan dari evaluasi adalah:
a. Untuk mengetahui tingkat risiko.
b. Untuk mengetahui tingkat pajanan pada pekerja.
c. Untuk memenuhi aspek legal.
d. Untuk mengevaluasi program pengendalian yang sudah dilaksanakan.
e. Untuk memastikan apakah suatu area kerja aman untuk dimasuki pekerja.
f. Untuk mengetahui jenis dan besaran hazard secara lebih spesifik.
4. Pengontrolan/Pengendalian, merupakan tindakan yang bertujuan untuk menyelamatkan
manusia, pekerja atau harta benda lainnya melalui upaya untuk menghilangkan atau
mengurangi dampak dari risiko yang mungkin dapat terjadi. Pengendalian dilakukan
melalui penerapan hirarki pengendalian risiko, yaitu eliminasi, substitusi, rekaya teknis,
pengendalian administrasi dan penggunaan alat pelindung diri.

Adalah is lah generic yang


mencakup dan
factor factor lingkungan Terhadap di tempat kerja
yang memberikan dampak pada
Kesehatan tenaga kerja
Mencegah dampak buruk lingkungan kerja
terhadap Kesehatan dan keselamatan pekerja

Gambar 2, Konsep Dasar Higiene Industri (Proyek Konstruksi)

D. KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA LINGKUNGAN KERJA


Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan Kerja atau disingkat sebagai K3L merupakan segala
kegiatan untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan tenaga kerja melalui
pengendalian lingkungan kerja dan penerapan hygiene sanitasi di tempat kerja. Lingkungan

5 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
tempat kerja dapat diartikan sebagai aspek higiensi di tempat kerja yang di dalamnya mencakup
faktor fisiko, kimia, biologi, ergonomic dan psikologi yang keberadaannya di tempat kerja dapat
mempengaruhi keselamatan dan kesehatan kerja.
Dalam upaya untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan tenaga kerja dan
bertujuan untuk mewujudkan lingkungan kerja yang aman, sehat dan nyaman serta mencegah
kecelakaan dan penyakit akibat kerja, maka tempat kerja wajib memenuhi persyaratan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan kerja K3L yang meliputi:
1. Pengendalian faktor fisika dan kimia agar berada di bawah Nilai Ambang Batas (NAB).
2. Pengendalian faktor biologi, faktor ergonomic dan faktor psikologi kerja agar memenuhi
standar.
3. Penyediaan fasilitas kebersihan dan sarana higiene di tempat kerja yang bersih dan sehat.
4. Penyediaan personil Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang memiliki kompetensi dan
kewenangan K3 di bidang lingkungan hidup.
Pelaksanaan syarat-syarat Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan Kerja (K3L) dilaksukan
melalui kegiatan sebagai berikut:

1. Pengukuran dan Pengendalian Lingkungan Kerja


Pengkuruan lingkungan kerja dilakukan untuk mengetahui tingkat pajanan factor fisika,
faktor kimia faktor biologi, faktor ergonomic, faktor psikologi terhadap tenaga kerja.
Dalam pelaksanaan pengukuran tersebut dilakukan sesuai dengan metode uji yang
ditetapkan berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) atau menggunakan metode
ujilainnya sesuai dengan standar yang telah divalidasi oleh pihak yang berwenang.
Pengendalian lingkungan kera dilakukan agar tingkat pajanan faktor fisika dan faktor kimia
berada di bawah Nilai Ambang Batas dan dilakukan agar penerapan faktor biologi, faktor
ergonomi dan faktor psikologi memenuhi standar yang berlaku. Pelaksanaan
pengendalian dilakukan sesuai dengan hirarki pengendalian meliputi upaya:
• Eliminasi, merupakan upaya untuk menghilangkan sumber potensi bahaya yang
berasal dari bahan, proses, operasi atau peralatan.
• Substitusi, merupakan upaya untuk mengganti bahan, proses, operasi atau
peralatan dari yang berbahaya menjadi tidak berbahaya.
• Rekaya Teknis, merupakan upaya memisahkan sumber bahaya dari tenaga kerja
dengan memasang sistem pengaman pada alat, mesin dan/atau area kerja.
• Administrasi, merupakan upaya pengendalian dari sisi tenaga kerja agar dapat
melakukan pekerjaan secara aman.

6 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
• Penggunaan alat pelindung diri, merupakan upaya menggunakan alat yang
berfungsi mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh dari sumber bahaya.

2. Penerapan Higiene dan Sanitasi


Penerapan Higiene dan Sanitasi sesuai dengan syarat-syarat keselamatan dan kesehatan
kerja lingkungan kerja yang meliputi:
• Bangunan tempat kerja
• Fasilitas kebersihan
• Kebutuhan udara
• Tata laksana kerumahtanggaan.

Gambar 3, Fasilitas di Tempat Kerja

E. PENGUKURAN DAN PENGENDALIAN LINGKUNGAN KERJA


a. Faktor Fisika
Pengukuran dan pengendalian faktor fisika adalah pengukuran terhadap tingkat pajanan
sebagai berikut:

a) Iklim Kerja
Pengukuran dan pengendalian iklim kerja harus dilakukan pada tempat kerja yang
memiliki sumber bahaya tekanan panas dan tekanan dingin. Pengukuran sumber
bahaya tekanan panas dilakukan pada tempat kerja yang terdapat sumber panas
dan/atau tidak memiliki ventilasi yang memadai. Potensi sumber tekanan dingin
merupakan tempat kerja yang terdapat sumber dingin dan/atau dikarenakan
persyaratan operasi. Proses pengendalian dibutuhkan jika hasil pengukuran terhadap
iklim tersebut menghasilkan nilai yang melebihi NAB atau standar.

7 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
b) Kebisingan
Pengukuran dan pengendalian Kebisingan harus dilakukan pada Tempat Kerja yang
memiliki sumber bahaya Kebisingan dari operasi peralatan kerja. Tempat Kerja yang
memiliki sumber bahaya Kebisingan merupakan Tempat Kerja yang terdapat sumber
Kebisingan terus menerus, terputus-putus, impulsif, dan impulsif berulang. Jika hasil
pengukuran Tempat Kerja melebihi dari NAB harus dilakukan pengendalian.
Pengendalian dilakukan dengan melaksanakan program pencegahan penurunan
pendengaran.

c) Getaran
Pengukuran dan pengendalian getaran dilakukan pada tempat kerja yang memiliki
sumber bahaya getaran dari operasi peralatan kerja yang mengenai atau berpengaruh
pada lengan dan tangan serta getaran seluruh tubuh. Jika hasil pengukuran menunjukan
hasil melebihi NAB, maka perlu dilakukan pengendalian.

d) Gelombang Radio atau Gelombang Mikro


Tempat kerja yang memiliki risiko Gelombang Radio merupakan tempat kerja yang
terdapat radiasi elektromagnetik dengan frekwensi sampai denghan 300 MHz.
Sementara tempat kerja yang memiliki risiko Gelobamg Mikro adalah tempat kerja yang
terdapat radiasi elektromagnetik dengan frekwensi di atas 300 GHz.

e) Radiasi Ultra Ungu (Ultraviolet)


Pengukuran dan pengendalian radiasi ultra ungu terhadap tempat kerja yang memiliki
potensi bahaya radiasi elektromagnetik dengan Panjang gelombang 180 nano meter
sampai 400 nano meter

f) Medan Magnet Statis


Pengukuran dan pengendalian harus dilakukan di Tempat kerja yang memiliki sumber
bahaya medan magnet statis merupakan tempat kerja yang terdapat suatu medan atau
area yang ditimbulkan oleh pergerakan aus listrik.

g) Tekanan Udara Ekstrem


Tempat kerja yang memiliki sumber bahaya tekanan udara ekstrem merupakan tempat
kerja yang kedap air, di perairan yang dalam, dan pekerjaan di bawah tanah atau di
bawah air.

h) Cahaya
Pengukuran dan pengendalian pencahayaan harus dilakukan di tempat kerja yang
meliputi:

8 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
1) Pencahayaan alami yang merupakan pencahayaan yang dihasilkan oleh sinar
matahari;
2) Pencahayaan buatan digunakan jika pencahayaan alami tidak memenuhi standar
intensitas cahaya.
Sarana pencahayaan darurat harus disediakan untuk penyelamatan dan evakuasi dalam
keadaan darurat dan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) Bekerja secara otomatis;
2) Mempunyai intensitas pencahayaan yang cukup untuk melakukan evakuasi
dan/atau penyelamatan yang aman.
3) Dipasang pada jalur evakuasi atau akses jalan keluar
4) Akses jalan keluar harus dilengkapi dengan garis penunjuk jalan keluar dari bahan
yang terbuat dari bahan reflektif dan/atau memancarkan cahaya.
Pengendalian faktor fisika dilakukan dengan program pencegahan dan menurunkan potensi
tingkat risiko dengan cara
1) menghilangkan sumber bahaya dari Tempat Kerja;
2) mengganti alat, bahan, dan proses kerja yang menimbulkan sumber bahaya;
3) mengurangi pajanan dengan memberikan alat pelindung kerja;
4) mengatur atau membatasi pajanan melalui pengaturan waktu kerja;
5) penggunaan alat pelindung diri yang sesuai;
6) melakukan pengendalian lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi.

b. Faktor Kimia
Pengukuran dan pengendalian faktor kimia dilakukan pada tempat kerja yang memiliki
potensi terhadap bahaya bahan kimia. Pengukuran dilakukan terhadap pajanan dan
terhadap pekerja yang terpajan. Pengukuran terhadap pajanan hasilnya dibandingkan
dengan Nilai Ambang Batas harus dilakyukan paling singkat 6 jam.
Nilai Ambang Batas ini digunakan sebagai pedoman rekomendasi pada praktek higiene
perusahaan dalam melakukan penatalaksanaan lingkungan kerja sebagai upaya untuk
mencegah dampaknya terhadap kesehatan. Dengan demikian Nilai Ambang Batas antara
lain dapat pula digunakan:
1. Sebagai kadar standar untuk perbandingan
2. Sebagai pedoman untuk perencanaan proses produksi dan perencanaan teknologi
pengendalian bahaya-bahaya dilingkungan kerja

9 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
3. Menentukan pengendalian bahan proses produksi terhadap bahan yang lebih
beracun dengan bahan yang sangat beracun.
4. Membantu menentukan diagnosis gangguan kesehatan, timbulnya penyakit-
penyakit dan hambatan-hambatan efisiensi kerja akibat faktor kimiawi dengan
bantuan pemeriksaan biologis.

Gambar 4. Kriteria Bahan Kimia Berbahaya


Pengukuran faktor kimia terhadap pekerja yang mengalami pajanan dilakukan melalui
pemeriksaan kesehatan khusus pada specimen tubuh tenaga kerja dan dibandingkan dengan
nilai Indek Pajanan Biologi (IPB). Jika hasil pengukuran terhadap pajanan melebihi Nilai
Ambang Batas dan hasil pengukuran Faktor Kimia terhadap Tenaga kerja yang mengalami
pajanan melebihi Indeks Pajanan Biologi, maka perlu dilakukan pengendalian sebagai
berikut:
1) menghilangkan sumber potensi bahaya kimia dari Tempat Kerja;
2) mengganti bahan kimia dengan bahan kimia lain yang tidak mempunyai potensi
bahaya atau potensi bahaya yang lebih rendah;
3) memodifikasi proses kerja yang menimbulkan sumber potensi bahaya kimia;
4) mengisolasi atau membatasi pajanan sumber potensi bahaya kimia;
5) menyediakan sistem ventilasi;
6) membatasi pajanan sumber potensi bahaya kimia melalui pengaturan waktu kerja;
7) merotasi Tenaga Kerja;
8) ke dalam proses pekerjaan yang tidak terdapat potensi bahaya bahan kimia;
9) penyediaan lembar data keselamatan bahan dan label bahan kimia;
10) penggunaan alat pelindung diri yang sesuai;
11) pengendalian lainnya sesuai dengan tingkat risiko.

c. Faktor Biologi
Pengukuran, pemantauan dan pengendalian faktor biologi dilakukan pada tempat kerja yang
memiliki potensi bahaya faktor biologi yaitu meliputi:

10 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
1) mikro organisma dan/atau toksinnya;
2) arthopoda dan/atau toksinnya;
3) hewan invertebrata dan/atau toksinnya;
4) alergen dan toksin dari tumbuhan;
5) binatang berbisa;
6) binatang buas;
7) produk binatang dan tumbuhan yang berbahaya lainnya
Pengendalian potensi bahaya faktor biologi dilakukan dengan:
1) menghilangkan sumber bahaya Faktor Biologi dari Tempat Kerja;
2) mengganti bahan, dan proses kerja yang menimbulkan sumber bahaya Faktor
Biologi;
3) mengisolasi atau membatasi pajanan sumber bahaya Faktor Biologi;
4) menyediakan sistem ventilasi;
5) mengatur atau membatasi waktu pajanan terhadap sumber bahaya Faktor
Biologi;
6) menggunakan baju kerja yang sesuai;
7) menggunakan alat pelindung diri yang sesuai;
8) memasang rambu-rambu yang sesuai;
9) memberikan vaksinasi apabila memungkinkan;
10) meningkatkan Higiene perorangan;
11) memberikan desinfektan;
12) penyediaan fasilitas Sanitasi berupa air mengalir dan antiseptik;
13) pengendalian lainnya sesuai dengan tingkat risiko.

Gambar 5, Faktor Penyebab Bahaya Biologi

11 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
d. Faktor Ergonomi
Faktor ergonomi merupakan potensi bahaya yang disebabkan oleh beberapa faktor sebagai
berikut:
1) cara kerja, posisi kerja, dan postur tubuh yang tidak sesuai saat melakukan
pekerjaan;
2) desain alat kerja dan Tempat Kerja yang tidak sesuai dengan antropometri Tenaga
Kerja;
3) pengangkatan beban yang melebihi kapasitas kerja.
Jika hasil pengukuran terdapat potensi bahaya faktor ergonomi, maka harus dilakukan
pengendalian sehingga memenuhi standar, pengendalian dapat dilakukan dengan:
1) menghindari posisi kerja yang janggal;
2) memperbaiki cara kerja dan posisi kerja;
3) mendesain kembali atau mengganti Tempat Kerja, objek kerja, bahan, desain
Tempat Kerja, dan peralatan kerja;
4) memodifikasi Tempat Kerja, objek kerja, bahan, desain Tempat Kerja, dan
peralatan kerja;
5) mengatur waktu kerja dan waktu istirahat;
6) melakukan pekerjaan dengan sikap tubuh dalam posisi netral atau baik;
7) menggunakan alat bantu.

Gambar 6. Faktor Ergonomi

e. Faktor Psikologi
Pengukuran dan pengendalian faktor psikologi harus dilakukan pada tempat yang memiliki
potensi bahaya psikologi yang meliputi:
1) ketidakjelasan/ketaksaan peran;

12 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
2) konflik peran;
3) beban kerja berlebih secara kualitatif;
4) beban kerja berlebih secara kuantitatif;
5) pengembangan karir;
6) tanggung jawab terhadap orang lain
Jika hasil pengukuran terdapat potensi bahaya faktor psikologis maka perlu dilakukan
pengendalian sesuai dengan standar. Pengendalian dilakukan setelah penilaian risiko
didapatkan faktor yang berkontribusi, pengendalian dilakukan melalui manajemen stress
yaitu:
1) melakukan pemilihan, penempatan dan pendidikan pelatihan bagi Tenaga Kerja;
2) mengadakan program kebugaran bagi Tenaga Kerja;
3) mengadakan program konseling;
4) mengadakan komunikasi organisasional secara memadai;
5) memberikan kebebasan bagi Tenaga Kerja untuk memberikan masukan dalam
proses pengambilan keputusan;
6) mengubah struktur organisasi, fungsi dan/atau dengan merancang kembali
pekerjaan yang ada;
7) menggunakan sistem pemberian imbalan tertentu;
8) pengendalian lainnya sesuai dengan kebutuhan.

Gambar 7, Faktor Bahaya Psikologi

13 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
F. PENERAPAN HIGIENE DAN SANITASI
Bangunan tempat kerja harus menerapkan prinsip-prinsip higiene dan sanitasi sehingga
memberikan ruang atau lingkungan kerja yang mendukung pekerja untuk dapat bekerja secara
optimal dan produktif. Program higiene proyek merupakan program kegiatan yang meliputi area
di tempat kerja proyek konstruksi. Keuntungan dalam penerapan higiene proyek adalah
meningkatkan kesehatan dan hygiene, mengurangi kompensasi, meningkatkan kepuasan kerja,
mengurangi mangkir kerja, meningkatkan produktivitas dan meningkatkan perilaku pekerja
terhadap manajemen. Penerapan higiene dan sanitasi meliputi:

1. Halaman
Halaman harus bersih, tertata rapi dan tidak becek dan cukup luas untuk lalu lintas orang
dan barang, jika terdapat saluran pembuangan pada halaman, maka saluran air tersebut
harus tertutup dan terbuat dari bahan yang cukup kuat serta air buangan harus mengalir
dan tidak boleh tergenang.

2. Gedung
Penerapan higiene dan sanitasi pada gedung adalah memastikan kondisi bangunan atau
gedung tersebut selalu:
a. Terpelihara dan bersih
b. Kuat dan kokoh strukturnya
c. Cukup luas sehingga memberikan ruang gerak paling sedikit 2 meter persegi per
orang.

3. Bangunan Bawah Tanah


Penerapan higiene dan sanitasi pada bangunan bawah tanah dilakukan untuk memastikan
bangunan bawah tanah:
a. mempunyai struktur yang kuat;
b. mempunyai sistem ventilasi udara;
c. mempunyai sumber Pencahayaan;
d. mempunyai saluran pembuangan air yang mengalir dengan baik;
e. bersih dan terawat dengan baik
Perusahaan wajib menyediakan fasilitas kebersihan yang sesuai dengan standar pada setiap
tempat kerja, paling sedikit meliputi:
1. Toilet dan kelengkapannya
2. Loker dan ruang ganti pakaian
3. Tempat sampah
4. Peralatan kebersihan.

14 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
Toilet merupakan tempat atau fasilitas sanitasi yang berfungsi sebagai tempat untuk buang air
besar, kecil, tempat cuci tangan dan/atau cuci muka bagi semua orang yang berada di tempat
kerja. Standar toilet di tempat kerja adalah:
1. Bersih dan tidak menimbulkan bau
2. Tidak ada lalat, nyamuk atau serangga lainnya
3. Tersedia saluran pembuangan air yang mengalir dengan baik
4. Tersedia air bersih
5. Dilengkapi dengan pintu
6. Memiliki penerangan yang cukup
7. Memiliki sirkulasi udara yang baik
8. Dibersihkan setiap hari secara periodik
9. Dapat digunakan selama jam kerja
Standar kelengkapan fasilitas toilet paling sedikit meliputi:
1. Jamban
2. Air bersih yang cukup
3. Alat pembilas
4. Tempat sampah
5. Tempat cuci tangan
6. Sabun
Penempatan toilet harus terpisah antara laki-laki, perempuan dan penyandang cacat serta
diberikan tanda yang jelas. Untuk menjamin kecukupan atas kebutuhan jamban dengan jumlah
tenaga kerja dalam satu waktu kerja adalah harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1. Untuk 1 – 15 orang pekerja, minimal 1 jamban
2. Untuk 16 – 30 orang pekerja, minimal 2 jamban
3. Untuk 31 – 45 orang pekerja, minimal 3 jamban
4. Untuk 46 – 60 orang pekerja, minimal 4 jamban
5. Untuk 61 – 80 orang pekerja, minimal 5 jamban
6. Untuk 80 – 100 orang pekerja, minimal 6 jamban
7. Untuk penambahan 40 orang pekerja ditambahkan 1 jamban.
Dalam hal tempat kerja termasuk dalam area konstruksi atau tempat kerja sementara, maka
standar kecukupan atas kebutuhan jamban dengan jumlah tenaga kerja dalam satu waktu kerja
harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1. Untuk 1 – 19 orang pekerja, minimal 1 jamban

15 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
2. Untuk 20 – 199 orang, minimal 1 jamban dan 1 peturasan (urinoir) untuk setiap 40 orang
pekerja
3. Untuk 200 orang atau lebih, minimal 1 jamban dan 1 peturasan untuk setiap 50 orang
pekerja.
Dalam upaya menjaga kesehatan tenaga kerja selama bekerja di tempat kerja adalah
terpenuhinya kebutuhan atas udara yang bersih dan sehat, pemenuhan kebutuhan akan udara
tersebut dilakukan melalui:
1. Kebutuhan Udara Dalam Ruangan yang merupakan kualitas udara yang terdapat di dalam
ruangan kerja.
2. Ventilasi
3. Ruang Udara atau Cubic space paling sedikit 10 m3.
Kebutuhan Udara Dalam Ruangan ditentukan oleh suhu, kelembaban, kadar oksigen dan kadar
kontaminan udara. Ketentuan tentang suhu ruangan yang nyaman adalah mempertahankan suhu
udara pada suhu kering 230C sampai dengan 260C dengan kelembaban 40% - 60% dengan
perbedaan suhu antar ruangan tidak melebihi 50C. Kadar oksigen standar tempat kerja adalah
sebesar 19,5% sampai dengan 23,5% dari volume udara. Untuk mengurangi kadar kontaminan di
tempat kerja, maka perlu disediakan sistem ventilasi udara untuk menjamin kebutuhan udara
pekerja di tempat kerja.
Untuk menjamin kelancaran pekerjaan dan tidak menimbulkan bahaya kecelakaan kerja, maka
alat kerja, perkakas dan bahan/material harus disusun atau ditata dan disimpan secara rapi dan
tertib, pelaksanaan kegiatan tersebut disebut juta ketata rumah tanggaan yang meliputi:
1. memisahkan alat, perkakas, dan bahan yang diperlukan atau digunakan;
2. menata alat, perkakas, dan bahan sesuai dengan posisi yang ditetapkan;
3. membersihkan alat, perkakas, dan bahan secara rutin;
4. menetapkan dan melaksanakan prosedur Kebersihan, penempatan dan penataan untuk
alat, perkakas, dan bahan;
5. mengembangkan prosedur Kebersihan, penempatan dan penataan untuk alat, perkakas,
dan bahan.
Salah satu metode kerumahtanggaan yang cukup terkenal adalah Program 5R yaitu:
1. RINGKAS, memisahkan dan menyingkirkan barang-barang yang tidak diperlukan dari
tempat kerja.
2. RAPI, atur dan susun tata letak peralatan dan perlengkapan kerja agar selalu siap pada
saat dibutuhkan.

16 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
3. RESIK, bersihkan tempat kerja dan senantiasa selalu menjaga dan melaksanakan
kebersihan di tempat kerja.
4. RAWAT, periksa setiap peralatan yang akan digunakan harus senantiasa dalam kondisi laik
pakai dan perbaiki jika terdapat kerusakan.
5. RAJIN, jadikan pelaksanaan 4R di atas sebagai suatu kebiasaan
5R pertama kali dikembangkan di Jepang untuk melaksanakan just in time manufacturing. Dalam
Bahasa Jepang 5R menjadi 5S yang merupakan kepanjangan dari Seiri (Ringkas), Seiton (Rapi),
Seiso (Resik), Seiketsu (Rawat) dan Shitsuke (Rajin). 5R atau 5S dimulai sebagai bagian dari Toyota
Production System pada awal dan pertengahan abad ke-20. Sistem ini juga diidentifikasi
sebagai lean manufacturing di dunia barat memiliki tujuan untuk meningkatkan value (nilai) dari
produk atau jasa untuk pembeli.

Gambar 8, Program 5S atau 5R

17 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
PENANGGULANGAN KEADAAN DARURAT PADA
PEKERJAAN KONSTRUKSI

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI
A. Penanggulangan Keadaan Darurat pada Pekerjaan Konstruksi 1
B. Perencanaan Tanggap Darurat (ISO 45001) 5
C. Contoh Rencana Keadaan Darurat pada Bahan Kimia 6
D. Tanggung Jawab Personel 7
E. Pertolongan Pertama Pada Kecalakaan 8
F. Prinsip Dasar Tindakan Pertolongan 9
A. PENDAHULUAN

Keselamatan Konstruksi adalah segala kegiatan keteknikan untuk mendukung pekerjaan


konstruksi dalam mewujudkan pemenuhan Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan dan
Keberlajutan yang menjamin keselamatan keteknikan konstruksi, keselamatan dan Kesehatan
kerja, keselamatan publik dan keselamatan lingkungan. Dalam rangka mewujudkan keselamatan
konstruksi tersebut di atas maka penyelenggara konstruksi wajib menerapkan sistem manajemen
keselamatan konstruksi.

Perwujudan penyelenggaraan system manajemen keselamatan konstruksi adalah melalui


pembentukan Unit Keselamatan Konstruksi (UKK) yang merupakan unit pada Penyedia Jasa
Pekerjaan Konstruksi yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan SMKK dalam pekerjaan
konstruksi dan dibawah pimpinan tertinggi penyedia jasa.

Guna melaksanakan tertib penyelenggaraan system manajemen keselamatan konstruksi maka


penyedia jasa harus mematuhi seluruh peraturan perundang-undangan yang mengatur aspek-
aspek keselamatan konstruksi. Peraturan perundang-undangan tersebut berupa Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Lembaga, Standar-
standar yang diakui baik nasional maupun internasional.

Ahli K3 Konstruksi yang ditugaskan dalam penyelenggaraan kegiatan konstruksi harus memiliki
kompetensi dalam mengidentifikasi, mengevaluasi dan menerapkan seluruh peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan penyelenggaraan K3 dilingkungan kerja konstruksi.

Outline :
1. Jenis-jenis keadaan darurat
2. Kesiapan terhadap kondisi darurat
3. Memahami prosedur tanggap darurat
4. Tanggapan terhadap kondisi darurat
5. Rambu-rambu keselamatan konstruksi
Tujuan Pembelajaran
• Memahami pengertian tanggap darurat dan istilah-istilah terkait
• Memahami penyebab terjadinya keadaan darurat
• Melaksanakan pelatihan dan dimulasi
• Membantu membuat laporan dan mendokumentasikan
• Memahami penggunaan peralatan tanggap darurat

1 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
Tanggap Darurat adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada suatu kejadian
bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan yang meliputi kegiatan penyelamatan
dan evakuasi korban :
• Kecelakaan walaupun sudah diupayakan pencegahannya, namun kemungkinan masih dapat
terjadi.
• Kompleksitas pekerjaan konstruksi, yang melibatkan banyak kelompok kerja dengan
berbagai peralatan dan material yang digunakan
• Upaya menekan jumlah dan tingkat keparahan korban harus dipersiapkan pertolongan awal
terhadap korban
• Pelatihan adalah bagian dari persyaratan pembinaan untuk meningkatkan kompetensi
petugas dan partisipasi tenaga kerja
Tujuan dari tanggap darurat
• Menyelamatkan Sebagian atau seluruh harta benda (investasi vital) Perusahaan,
menyelamatkan tenaga kerja yang berada di tempat kerja akibat dari bahaya akibat suatu
bencana atau kondisi yang membahayakan seperti kebakaran, kebocoran atau tumpahan
bahan kimia, serta sebagai upaya untuk pencegahan terhadap pencemaran lingkungan.
• Tanggap Darurat harus di atas dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dengan cara terpadu
dan hanya diberlakukan pada saat terjadi keadaan darurat.

Gambar 1. Jenis Jenis Keadaan Darurat

2 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
Gambar 2. Kesiapan terhadap Kondisi Darurat

Gambar 3. Kebutuhan Organisasi Tanggap Darurat dan Pembagian Tugas


Komando Tanggap Darurat
• Pusat Komando Pengendali (Emergency Control Center / ECC) yaitu pusat pengendali
keadaan darurat yang berlokasi di Ruang Pusat Pengendali tempat kerja, dimana Emergency
Control Center berada di bawah Koordinator Tanggap Darurat.
• Pusat Komando Penanggulangan (Emergency Scene Command Post / ESCP) yaitu komando
penanggulangan keadaan darurat yang berlokasi di dekat tempat kejadian.
• Regu Pemadam Kebakaran, adalah pasukan Pemadam Kebakaran (Fireman) dari anggota
regu tanggap darurat yang telah terlatih dan terdidik khusus untuk melakukan pemadaman
kebakaran.
Beberapa Istilah penting
• Korban, adalah orang yang segera memerlukan pelayanan medis sebagai akibat dari
kecelakaan dimana keadaan fisik atau mental orang tersebut sedemikian rupa sehingga
dapat mengancam jiwanya atu dapat merugikan kesehatannya;

3 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
• Mobilisasi Umum, yaitu pengerahan karyawan baik terlatih maupun tidak untuk
penanggulangan keadaan darurat besat/disaster (bila diperlukan)
• Tempat Berkumpul (Assembly Point / Muster Area) adalah tempat yang dianggap aman
untuk berkumpul bilamana terjadi suatu keadaan darurat ditandai dengan tulisan yang
mencantumkan tempat personel bekerja.

Gambar 4. Contoh Instruksi/Prosedur Tanggap Darurat

Gambar 5. Contoh Instruksi/Prosedur Tanggap Darurat

4 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
Kesiapan Tanggap Darurat
Kesiapan tanggap darurat (Emergency Plan) adalah kesiapan pada semua fasilitas perusahaan,
daerah perusahaan dan hasil produksi; Kesiapan ini menyangkut PERALATAN, PELATIHAN dan
TENAGA TERAMPIL guna melindungi pekerja, masyarakat, lingkungan dan reputasi perusahaan;
Komitmen dan partisipasi semua pihak sangat diperlukan dalam kesiapan tanggap darurat;
Kata Kuncinya :
• Emergency Plan
• Peralatan
• Orang
• Latihan periodic

B. PERENCANAAN TANGGAP DARURAT (ISO 45001)


i. Identifikasi Keadaan Darurat
1) Identifikasi semua situasi darurat yang mungkin dihadapi organisasi selama jam kerja
atau setelah jam kerja;
2) Pertimbangkan lokasi perusahaan, sifat pekerjaan, mesin atau bahan kimia yang
digunakan, dibuat atau disimpan di dalam lokasi;
3) Buat daftar semua potensi keadaan darurat yang mungkin dihadapi perusahaan
ii. Identifikasi persediaan/sumber daya yang diperlukan untuk menangani keadaan darurat
1) Menilai kemampuan tempat kerja
2) Respon keadaan darurat, termasuk sumber daya internal dan eksternal, persediaan medis
atau lainnya yang diperlukan untuk menanggapi keadaan darurat;
3) Pengendalian beberapa keadaan darurat dengan control proaktif, seperti mengurangi
sumber pengapian;
4) Identifikasi control reaktif seperti saluran komunikasi, bantuan medis, generator,
peralatan pemadam kebakaran, dll yang mungkin diperlukan saat keadaan darurat terjadi
iii. Buat Rencana Tanggap Darurat
Rencana tanggap darurat yang tepat perlu dibuat setelah keadaan darurat dan mekanisme
tanggapan diidentifikasi.
Prosedur mencakup untuk Penanganan Keadaan Darurat, Lokasi dan Instalasi untuk Fasilitas
Darurat, Prosedur Evakuasi, alarm dan fasilitas darurat

5 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
iv. Komunikasi dan Latih Pekerja/Pemangku Kepentingan yang Relevan tentang Tanggap Darurat
Penting untuk mengkomunikasikan Rencana Tanggap Darurat kepada semua
pekerja/pemangku kepentingan yang relevan. Pelatihan Pekerja untuk menangani situasi
darurat, Latihan darurat yang sering dilakukan untuk mendidik pekerja dari waktu ke waktu.
v. Evaluasi dan Revisi Prosedur Tanggap Darurat
Prosedur tanggap darurat harus dievaluasi setelah Latihan atau setelah keadaan darurat
dihadapi. Jika Perlu, prosedur ini harus diubah atau direvisi berdasarkan hasil pengujian atau
Latihan.

C. CONTOH RENCANA KEADAAAN DARURAT PADA BAHAN KIMIA


A. Pertimbangan untuk keadaan darurat
• Kebocoran bahan Kimia
• Tumpahan bahan kimia
• Kebakaran dan ledakan bahan kimia
• Keadaan darurat medis
• Dll
B. Rencana Tanggap Darurat
• Membentuk dan melaksanakan Pre-Emergency Planning
• Tugas dan tanggung jawab personel, garis kewenangan, pelatihan & komunikasi
• Pengenalan keadaan darurat dan pencegahannya
• Jarak aman dan keamanan lingkungan
C. Prosedur Tanggap Darurat
• Prosedur Evakuasi
• Prosedur Dekontaminasi
• Prosedur Perawatan Medis
• Prosedur Pemberitahuan
• Prosedur Alat Pelindung Diri
• Kritik dan Tindak Lanjut
D. Petugas Pelaksana Keadaan Darurat
• Incident Commander diharapkan dapat mengidentifikasi bahaya kimia maupun fisika
dan mengarahkan serta menganalisa lapangan menggunakan engineering control
• Menetapkan batas paparan maksimum yang diijinkan;
• Menetapkan penanggulangan bahan berbahaya
• Memanfaatkan teknologi yang tepat

6 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
D. TANGGUNG JAWAB PERSONNEL
A. Plant Manager
• Meyakinkan prosedur berjalan dengan baik
• Pembuatan keputusan akhir
• Mengadakan konsultasi dan melaporkan pekembangan selama keadaan gawat darurat
berlangsung kepada Pimpinan Tertinggi Perusahaan
B. Department Manager
• Bertanggungjawab atas kelancaran pelaksanaan kegiatan di bawahnya selama keadaan
darurat
C. Incident Commander
• Koordinasi pelaksanaan Rencana Tanggap Darurat
• Melaksanakan administrasi program tanggap darurat
• Koordinasi pemeliharaan peralatan dan fasilitas tanggap darurat
D. Shift Emergency Coordinator
• Mengkoordinir Tindakan tanggap darurat pada jam kerja shift yang telah ditentukan
E. Regu Tanggap Darurat
• Terdiri dari regu penanganan bahan kimia, pemadam kebakaran, security, medical dan
program tanggap darurat lainnya. Bertugas untuk melakukan Tindakan tanggap darurat.
F. Pelayanan Medis
• Melakukan pelayanan medis untuk personil yang luka, sakit atau pingsan karena akibat
keadaan darurat
• Berkonsultasi dan melaporkan kepada Emergency Coordinator tentang pelaksanaan
kegiatan bidangnya berkaitan dengan evakuasi ke klinik atau rumah sakit terdekat
• Menjami tersedianya peralatan dan obat-obatan untuk perawatan dan tersedianya
mobil ambulan di tempat pool untuk keperluan evakuasi personil
G. Koordinasi Mobilisasi Umum
• Bertanggung jawab atas kesiapan pengerahan tenaga personil bila diperlukan
• Berkonsultasi dan melaporkan kepada General Affairs tentang pelaksanaan kegiatan
H. Koordinator Hukum
• Bertanggung jawab atas penyelesaian hukum yang berhubungan dengan keadaan
darurat
• Menyelesaikan persoalan hukum dengan pihak ketiga atau pemeringah dalam kasus
yang mungkin timbul sebagai akibat dari keadaan darurat.

7 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
I. Koordinator Komunikasi
• Bertanggun jawab menjamin kelancaran komunikasi yang diperlukan dalam usaha-
usaha penanggulangan keadaan darurat
• Mengadakan konsultasi dan melaporkan setiap perkembangan selama keadaan
berlangsung kepada Incident Commander dan Plant Manager
• Mengambil Langkah-Langkah perbaikan bila terjadi gangguan komunikasi radio maupun
telepon
J. Koordinator Hubungan Masyarakat
• Bertanggung jawab atas pembuatan dokumentasi yang berhubungan dengan keadaan
darurat
• Bertanggung jawab terhadap data yang diperlukan untuk siaran pers yang akan
disampaikan oleh Pimpinan perusahaan apabila diminta.
• Mengkoordinir masyarakat setempat untuk keperluan evakuasi
• Bilamana diperlukan melakukan Kerjasama (Mutual Aid) dengan Pemerintah setempat
dalam rangka penanggulangan keadaan darurat terutama jika diperlukan evakuasi
masyarakat.
K. Koordinator Keamanan
• Bertanggung jawab atas pengamanan plant, personil, kendaraan dan peralatan selama
dan sesudah keadaan darurat. Mengkoordinir kegiatan yang berhubungan dengan
bantuan pengamanan
• Berkondultasi dan melaporkan kepda Incident Commander dan/atau General Affairs
tentang pelaksanaan kegiatannya.

E. PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN


Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) adalah merupakan pertolongan pertama yang harus
segera diberikan kepada korban yang mendapatkan kecelakaan atau penyakit mendadak dengan
cepat dan tepat sebelum korban dibawa ke tempat rujukan.
1. Maksud dan Tujuan
A. P3K dimaksudkan:
• Memberikan perawatan darurat pada korban, sebelum pertolongan yang lebih
lengkap diberikan oleh dokter atau petugas kesehatan lainnya.
B. P3K diberikan Untuk:
• Menyelamatkan nyawa korban
• Meringankan penderitaan korban

8 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
• Mencegah cedera/penyakit menjadi lebih parah
• Mempertahankan daya tahan korban
• Mencarikan pertolongan yang lebih lanjut.
2. Kondisi Fisiologis Manusia
• Pernafasan.
• Denyut nadi.
• Kesadaran.
• Turgor (elastisitas kulit).
• Reflek.
• Sistem otot, kerangka dan sendi

F. PRINSIP DASAR TINDAKAN PERTOLONGAN


Prinsip dasar Tindakan pertolongan yaitu:
• Penolong mengamankan diri sendiri lebih dahulu sebelum bertindak
• Amankan korban dari gangguan di tempat kejadian, sehingga bebas dari bahaya
• Tandai tempat kejadian sehingga orang lain tahu bahwa di tempat itu ada kecelakaan
• Usahakan menghubungi ambulan, dokter, rumah sakit atau yang berwajib
• Tindakan pertolongan terhadap korban dalam urutan yang paling tepat
Tahapan Pemberian Pertolongan
1. Menilai Situasi
• Mengenali bahaya diri sendiri dan orang lain
• Memperhatikan sumber bahaya
• Memperhatikan jenis pertolongan
• Memperhatikan adanya bahaya susulan
2. Mengamankan tempat kejadian
• Memperhatikan penyebab kecelakaan
• Utamakan keselamatan diri sendiri
• Singkirkan sumber bahaya yang ada (putuskan aliran dan matikan sumber )
• Hilangkan faktor bahaya misal dengan menghidupkan exhaus ventilasi, jauhkan sumber
• Singkirkan korban dengan cara aman dan memperhatikan keselamatan diri sendiri
(dengan alat pelindung ).
3. Memberi Pertolongan
a. Menilai kondisi korban dan tentukan status korban dan prioritas Tindakan
• Periksa kesadaran, pernafasan, sirkulasi darah dan gangguan local

9 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
b. Berikan pertolongan sesuai status korban
• Baringkan korban dengan kepala lebih rendah dari tubuh
• Bila ada tanda henti nafas dan jantung berikan resusitasi Jantung paru
• Selimuti korban
• Bila luka ringan obati seperlunya (luka bakar ringan).
• Bila luka berat carikan pertolongan ke RS/dokter.

Mengenali ciri-ciri gangguan pada korban :


1. Gangguan Umum
• Gangguan pernafasan (sumbatan jalan nafas, menghisap asap/gas beracun,
kelemahan atau kekejangan otot pernafasan).
• Gangguan kesadaran (gegar/memar otak, sengatan matahari langsung,
kekurangan zat asam/oksigen).
• Gangguan peredaran darah (perdarahan hebat, luka bakar yang luas, rasa nyeri
yang hebat, kekuarangan cairan tubuh secara cepat, keadaan allergi atau tidak
tahan obat).
2. Gangguan Lokal
• Perdarahan atau luka yang disebabkan karena adanya pembuluh darah terputus
atau robek.
• Patah tulang yang disebabkan karena adanya benturan atau pukulan.
• Luka bakar yang disebabkan karena panas kering, kontak dengan aliran listrik,
gesekan dari roda yang berputar, asam dan basa kuat, panas yang basah
Kesiapan fasilitas pertolongan
a. Personel
b. Buku petunjuk/ pedoman P3K
c. Kotak P3K & Kotak Khusus Dokter
d. Ruang P3K
e. Alat angkut & transportasi
f. Alat pelindung
g. Peralatan darurat

Tabel 1. Contoh Instruksi/Prosedur Tanggap Darurat

10 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
Tabel 2. Jumlah Kotak Tiap 1 (satu) unit kerja

Tabel 3. Rekomendasi Minimum isi Kotak P3K bentuk 1

11 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
Tabel 4. Rekomendasi Minimum isi Kotak P3K bentuk II

Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam Penyediaan Fasilitas P3K :


• Sifat Pekerjaan
• Jumlah bahan/sumber bahaya
• Pelayanan kesehatan terdekat
• Lokasi tempat kerja
• Jenis industri
• Jumlah pekerja
• Shift kerja
• Ukuran dan lay out perusahaan

12 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
Pengawasan Pelaksanaan P3K di Tempat Kerja :
• Fasilitas :
- Kotak P3K
- Isi kotak P3K
- Buku Pedoman
- Ruang P3k
- Perlengkapan P3K (alat perlindungan, alat darurat, alat angkut dan transportasi
• Personil
- Penanggung Jawab : dokter pimpinan PKK, Ahli K3
- Petugas P3K : Sertifikat pelatihan P3K di tempat kerja

Pembinaan pengawasan pelaksanaan P3K di Tempat Kerja


• Internal Perusahaan
- Pengurus Perusahaan
- Dokter Perusahaan/DPKTK
- Ahli K3, Ahli K3 Kimia
- Auditor Internal
• External Perusahaan
- Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan
- Auditor External

Gambar 6. Kesiapan Terhadap Kondisi Darurat Kebakaran

13 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
Gambar 7. Kesiapan Terhadap Kondisi Darurat Kebakaran

Gambar 8. Kesiapan Terhadap Kondisi Darurat Kebakaran

14 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
Gambar 9. Rambu-Rambu Keselamatan Konstruksi

15 PETUGAS K3 KONSTRUKSI
Gambar 10. Rambu-Rambu Keselamatan Konstruksi

16 PETUGAS K3 KONSTRUKSI

Anda mungkin juga menyukai