Anda di halaman 1dari 83

i

PENGARUH APLIKASI BIOCHAR YANG DIPERKAYA NUTRISI


TERHADAP PERTUMBUHAN Anthocephalus cadamba PADA
TANAH SPODOSOLS KALIMANTAN TIMUR

Oleh:

MUHAMMAD OKY PRATAMA SEPTIAJI PUTRA


NIM 1604015116

FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2022
ii

PENGARUH APLIKASI BIOCHAR YANG DIPERKAYA NUTRISI


TERHADAP PERTUMBUHAN Anthocephalus cadamba PADA
TANAH SPODOSOLS KALIMANTAN TIMUR

Oleh:

MUHAMMAD OKY PRATAMA SEPTIAJI PUTRA


NIM 1604015116

Skrispi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh


Gelar Sarjana PadaFakultas Kehutanan
Universitas Mulawarman

FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2022
iii

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Skripsi : Pengaruh Aplikasi Biochar Yang Diperkaya Nutrisi


Terhadap Pertumbuhan Anthocephalus Cadamba Pada Tanah
Spodosols Kalimantan Timur
Nama Mahasiswa : Muhammad Oky Pratama Septiaji Putra
NIM : 1604015116
Program Studi : Kehutanan
Fakultas : Kehutanan

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Syahrinudin, M.Sc Dr. Ir. Wahjuni Hartati, M.P


NIP. 196705251992031014 NIP. 196102151994032001

Mengetahui,
Dekan Fakultas Kehutanan
Universitas Mulawarman

Prof. Dr. Rudianto Amirta, S.Hut.,MP.


NIP. 197210251997021001

Lulus Ujian Tanggal :


iv

HALAMAN PERNYATAAN

Nama : Muhammad Oky Pratama Septiaji Putra


NIM : 1604015116
Program Studi : Kehutanan
Fakultas : Kehutanan

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar hasil karya sendiri

dengan arahan Pembimbing dan belum pernah diajukan sebagai skripsi atau karya

ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Semua data dan pernyataan

ilmiah dalam tulisan ini adalah gagasan dan karya saya sendiri, bukan dari sumber

lain, sehingga kebenarannya menjadi tanggung jawab saya pribadi, kecuali data atau

pernyataan ilmiah yang sumber rujukan/pustakanya saya cantumkan. Apabila di

kemudian hari terbukti bahwa pernyataan saya ini secara akademis ternyata tidak

benar atau skripsi ini hasil plagiasi, maka saya bersedia menerima sanksi berupa

pencabutan gelar ilmiah yang saya peroleh dari karya ilmiah ini sesuai peraturan

Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman.

Samarinda, 24 Februari 2022


Yang menyatakan

Muhammad Oky Pratama


Septiaji Putra
v

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI


SKRIPSI UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, saya yang

bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Muhammad Oky Pratama Septiaji Putra


NIM : 1604015116
Program Studi : Kehutanan
Fakultas : Kehutanan

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, dengan ini menyetujui untuk memberikan

izin kepada Pihak Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman Hak Bebas Royalti

Non Eksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas skripsi saya yang berjudul

“Pengaruh Aplikasi Biochar Yang Diperkaya Nutrisi Terhadap Pertumbuhan

Anthocephalus Cadamba Pada Tanah Spodosols Kalimantan Timur” beserta

perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Nonekslusif ini

Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman berhak menyimpan, mengkonversi atau

format, mengelola, memelihara dan mempublikasikan karya tulis saya selama tetap

mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Samarinda, 24 Februari 2022


Yang menyatakan

Muhammad Oky Pratama


Septiaji Putra
vi

ABSTRAK
vii

RIWAYAT HIDUP
viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat, hidayah serta kasih

sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh

Aplikasi Biochar Yang Diperkaya Nutrisi Terhadap Pertumbuhan

Anthocephalus Cadamba Pada Tanah Spodosols Kalimantan Timur” sebagai salah

satu syarat untuk dapat menyelesaikan program studi sarjana kehutanan pada Fakultas

Kehutanan Universitas Mulawarman.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Syahrinudin, M.Sc. dan Ibu Dr. Ir. Wahjuni Hartati M.P. selaku

Pembimbing I dan Pembimbing II, yang telah bersedia meluangkan banyak waktu

dalam memberikan bimbingan dan pengarahan dalam pelaksanaan penelitian

hingga penulisan skripsi;

2. Bapak Dr. Ir. Triyono Sudarmadji, M. Agr dan Bapak Kiswanto, S. Hut., M.P.,

Ph.D. selaku penguji yang telah memberikan saran dan arahan untuk perbaikan

skripsi;

3. Bapak Zainul Arifin,S.Hut. M.P. Selaku dosan wali yang memberi arahan dan

motivasi selama masa perkuliahan

4. Bapak Prof. Dr. Rudianto Amirta, S.Hut, M.P. selaku Dekan Fakultas Kehutanan

Universitas Mulawarman dan Bapak Dr. Ali Suhardiman, S.Hut, M.P. yang telah

memberikan fasilitas dan pelayanan yang baik kepada penulis selama belajar di

Fakultas Kehutanan sampai akhir dari penyelesaian skripsi;

5. Seluruh Tenaga Pendidik (Dosen) dan Tenaga Kependidikan yang telah

memberikan ilmu dan pengetahuan kepada penulis;


ix

6. Khusus Ayahanda Wagiyo dan Ibunda Henik Hartini yang selalu mendukung,

memotivasi, dan mendo’akan serta saudaraku Niko Putra Firmansyah yang selalu

memeberian hiburan penyemangat sehingga dapat menyelesaikan penelitian ini;

7. Mbak Fenny Putri, S.Hut., dan Bapak Samsul selaku Laboran Lab. Budidaya

Hutan yang telah berkenan membantu dan memberi motivasi dalam mengerjakan

penelitian ini;

8. Teman-teman dari Laboratorium Budidaya Hutan kelompok riset (Ilmu Tanah dan

Nutrisi Hutan) Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Dian Ekayanti,

Caca Chornia, Reviyal, bayu, ka Stella, ka Nia, ka Nonik, ka Corina, ka Jena, ka

Rusni, bang Herwan, bang Sunari, bang Arsyad, bang Marshell, juga teman-teman

dari angkatan 2016 dan 2017 yang tidak bisa saya tuliskan satu-satu, yang telah

banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian ini;

Semoga semua bantuan yang telah diberikan kepada penulis dalam penyelesaian

skripsi ini mendapatkan kebaikan dan balasan dari Allah SWT.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini jauh dari sempurna namun

demikian penulis berharap semoga hasil-hasil yang dituangkan dalam skripsi ini

bermanfaat untuk penulis maupun bagi semua pihak yang memerlukannya.

Samarinda, 24 Februari 2022


Yang menyatakan

Muhammad Oky Pratama


Septiaji Putra
x

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN PENGESAHAN..............................................................................iii
PERNYATAAN ORISINALITAS......................................................................iv
PERNYATAAN PUBLIKASI...............................................................................v
ABSTRAK.............................................................................................................vi
RIWAYAT HIDUP..............................................................................................vii
KATA PENGANTAR........................................................................................viii
DAFTAR ISI...........................................................................................................x
DAFTAR TABEL................................................................................................xii
DAFTAR GAMBAR..........................................................................................xiii

I. PENDAHULUAN.............................................................................................14
1.1. Latar Belakang.........................................................................................14
1.2. Tujuan Penelitian.....................................................................................18
1.3. Hasil yang Diharapkan............................................................................18
1.4. Manfaat Penelitian...................................................................................19

II. TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................20


2.1. Spodosols, Karakteristik, Produktivitas dan Potensinya.........................20
2.2. Biochar sebagai salah satu alternatif pembenah tanah............................23
2.3. Penggunaan biochar terhadap pertumbuhan tanaman.............................28
2.4. Pupuk Organik Cair.................................................................................29
2.5. Pembangunan Hutan Tanaman Jabon (Anthocepalus cadamba)............31
2.6. Biomassa Tanaman..................................................................................34

III. METODE PENELITIAN.............................................................................37


3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian...................................................................37
3.2. Bahan dan Alat Penelitian.......................................................................37
3.3. Rancangan Penelitian..............................................................................38
3.3. Prosedur Penelitian..................................................................................43

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN......................................................................55


4.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian...........................................................55
4.2. Persen Hidup Tanaman Tanaman Jabon.................................................57
4.3. Pertumbuhan Tinggi Tanaman Jabon Antar Faktor................................59
4.4. Pertumbuhan Diameter Tanaman Jabon Antar Faktor............................61
4.5. Pertumbuhan Tinggi Tanaman Jabon Antar Perlakuan..........................65
4.6. Pertumbuhan Tinggi Tanaman Jabon Antar Perlakuan...........................67
4.7. Potensi Biomassa Tanaman Jabon ..........................................................68

V. KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................................71


5.1. Kesimpulan..............................................................................................71
xi

5.2. Saran........................................................................................................71

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................72
LAMPIRAN..........................................................................................................75
xii

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

4. 1. Analisis Keragaman Respon Pertumbuhan Tinggi Jabon


(Anthocephalus cadamba) terhadap Jenis Tanah Spodosols............
4. 2. Hasil Pengujian LSD Pemberian Biochar Terhadap Pertumbuhan
Tinggi Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba)..........................
4. 3. Hasil Pengujian LSD pada Pemberian Biochar dengan Pupuk
Organik Cair Terhadap Pertumbuhan Tinggi Tanaman Jabon
(Anthocephalus cadamba)................................................................
4. 4. Analisis Sidik Ragam Pertumbuhan Tinggi Tanaman Jabon
(Anthocephalus cadamba) Antar Perlakuan.....................................
4. 5. Hasil Pengujian LSD Antar Perlakuan Terhadap Pertumbuhan
Tinggi Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba)..........................
4. 6. Analisis Keragaman Respon Pertumbuhan Diameter Jabon
(Anthocephalus cadamba) terhadap Jenis Tanah Spodosols............
4. 7. Hasil Pengujian LSD Pemberian Biochar Terhadap Pertumbuhan
Diameter Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba)......................
4. 8. Hasil Pengujian LSD pada Pemberian Biochar dengan Pupuk
Organik Cair Terhadap Pertumbuhan Diameter Tanaman Jabon
(Anthocephalus cadamba)................................................................
4. 9. Analisis Sidik Ragam Pertumbuhan diameter Tanaman Jabon
(Anthocephalus cadamba) Antar Perlakuan.....................................
4. 10. Hasil Pengujian LSD Antar Perlakuan Terhadap
PertumbuhanDiameter Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba).
4. 11. Kandungan Biomassa Tiap Organ Pohon dan Potensi Biomassa
Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba)......................................
xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

4. 1. Persen Hidup (%) Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba) 50

4. 2. Pertumbuhan Tinggi Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba)


pada Pengukuran Terakhir...............................................................
4. 3. Pengukuran Pertumbuhan Tinggi Tanaman Jabon (Anthocephalus
cadamba)..........................................................................................
4. 4. Pertumbuhan Diameter Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba)
pada Pengukuran Terakhir...............................................................
4. 5. Pengukuran Pertumbuhan diameter Tanaman Jabon
(Anthocephalus cadamba)................................................................
14

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Spodosols adalah tanah yang tersusun dari bahan pasir atau lempung kasar,

masam dan miskin unsur hara yang dicirikan oleh horizon Albik dan Spodik atau

bahan amorf organika dan aluminium. Adanya lapisan padas (fragipan atau

duripan) menyebabkan pertumbuhan tanaman terganggu (Suharta dan Yatno,

2009; Anam, 2016; Hartati dkk, 2021). Spodosols dapat dijumpai di daerah

beriklim dingin maupun tropika basah dengan curah hujan yang tinggi (Suharta

dan Prasetyo 2009). Di Indonesia, Spodosols dijumpai cukup luas di beberapa

wilayah Kalimantan. Subagyo, dkk (2004) menyatakan luas Spodosols di

Kalimantan mencapai 2,16 juta ha dengan sebaran luas di Kalimantan Tengah

1,51 juta ha, Kalimantan Barat 0, 42 juta ha dan Kalimantan Timur 0,15 juta ha.

Lahan Spodosols yang terlanjur terbuka baik disengaja maupun tidak

sengaja misalnya karena kebakaran hutan dan lahan biasanya dimanfaatkan untuk

lahan pertanian dan perkebunan. Namun seringkali dengan produktivitas lahan

yang rendah. Tanah bertekstur pasir seperti Spodosols sangat rendah meretensi air

dan hara. Hal ini ditunjukkan oleh nilai kapasitas tukar kation nya yang rendah.

Menurut Hartati dkk (2021) nilai kapasitas tukar kation Spodosols di Kalimantan

Timur tergolong rendah hingga sangat rendah yaitu 1,96 hingga 7,52 cmol kg-1

pada spodosol yang ditumbuhi akasia auriculiformis dan 2,60 hingga 4,32 c mol

kg-1 pada hutan sekunder.

.
15

Berdasarkan karakteristik Spodosols yang kurang menguntungkan, menurut

Syahrinudin, dkk. (2021) sifat kimia tanah spodosols memiliki reaksi pH tanah

agak asam sampai sangat asam, kandungan haranya pada kelas sedang sampai

rendah, dengan cadangan kadar hara yang rendah sampai kekurangan dan

Kapasitas Tukar Kation sangat rendah,secara fisik didominasi oleh pecahan pasir

yang mengindikasikan kurang potensial sebagai lahan pertanian maupun

kehutanan, sedangkan para ahli lainnya berpendapat tanah ini secara selektif

masih dapat digunakan untuk lahan kehutanan dengan pengelolaan pembenah

tanah.

Pembenah tanah adalah bahan - bahan sintetis atau alami, organik atau

mineral yang berbentuk padat atau cair yang mampu memperbaiki sifat fisik,

kimia, dan biologi, serta dapat memperbaiki kemampuan tanah dalam memegang

hara, sehingga hara tidak mudah hilang, dan dapat dimanfaatkan tanaman

(Permentan No. 02/Pert/Hk.060/2. 2006). Dari berbgai jenis pembenah tanah,

Salah satu pembenah tanah yang dapat digunakan adalah Biochar.

Biochar adalah bahan pembenah tanah yang dapat digunakan

meningkatkan kesuburan tanah, biochar memberikan pengaruh yang nyata bila

diaplikasikan pada tanah - tanah yang mengalami kerusakan seperti lahan pasca

tambang (Syamsinar, 2015). Biochar merupakan bahan padatan karbon yang

terbentuk melalui proses pembakaran bahan organik atau biomassa tanpa atau

dengan sedikit oksigen (pyrolysis) pada temperature 250 oC – 500 oC (Nurida,

2014). berbeda dengan bahan organik pembenah tanah lainnya, kelebihan dari

biochar stabil selama ratusan tahun bila dicampur kedalam tanah dan mampu

mensekuestrasi karbon dalam tanah (Lehmann, 2007). Biochar diketahui lebih


16

efesien dalam memperbaiki kualitas tanah dibandingkan dengan bahan organik

pembenah tanah lainnya (Lehmann dan Joseph, 2009). Kebanyakan orang

terbiasa dengan arang yang diproduksi dengan membakar kayu di lingkungan

yang kekurangan oksigen dan kemudian digunakan sebagai bahan bakar pemanas,

istilah biochar sendiri digunakan ketika sebagai bahan pembenah tanah seperti

halnya arang, biochar adalah produk hitam dengan kandungan karbon tinggi.

Dalam beberapa penelitian mengenai biochar sebagai pembenah tanah

menyebutkan bahwa mampu meningkatkan pH tanah dan kapasitas tukar kation

(KTK) tanah. Peningkatan KTK tanah dengan penambahan biochar akan

meminimalkan resiko pencucian kation seperti K+ dan NH4+ (Yamato dkk.,

2006). Selain itu unsur hara lainnya pada tanah ketika diberi biochar juga

mengalami peningkatan seperti C-Organik, P-Tersedia, dan N-Total (Nurida,

2014). Biochar memiliki sifat hidrofobik atau tidak larut dalam air dan secara fisik

biochar memiliki pori-pori yang mampu menyerap unsur hara (Syahrinudin dkk.

2014). Namun pada dasarnya biochar hanya sebagai pembenah tanah sehingga

kandungan hara yang tersedia di dalam biochar tidak akan mencukupi kebutuhan

hara yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman, bahkan tidak akan dapat sama

atau melebihi kandungan hara yang dimiliki pupuk, hal ini menjadi kekurangan

dibandingkan dengan pupuk. Kekurungan biochar memiliki kandungan hara yang

rendah dapat diatasi dengan pengayaan nutrisi. Pengayaan nutrisi adalah proses

atau cara memperbanyak kandungan hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan

tanaman.

Penelitian tentang aplikasi biochar yang berkaitan dengan pertumbuhan tanaman

telah banyak dilakukan. Menurut Syahrinudin dkk. (2019) aplikasi biochar pada
17

jenis tanah spodosols sangat diminati karena biochar mampu mendrong potensi

penyerapan karbon organik tanah, selain itu juga peningkatan dosis biochar dapat

meningkatkan kesuburan tanah serta memfasilitasi kondisi zona perakaran yang

menguntungkan untuk pemanfaatan pertumbuhan optimal oleh tanaman.

Penggunaan biochar dengan pengayaan pupuk organik dapat meningkatkan

pertumbuhan tanaman Selain itu, aplikasi biochar meningkatkan kelangsungan

hidup dan laju pertumbuhan biomassa tanaman. tidak hanya meningkatkan laju

pertumbuhan tanaman tetapi juga dapat meningkatkan daya dukung spodosols

sebagai media tumbuh. Menurut Saidillah, M. (2019) aplikasi bochar yang

direndam dengan pupuk organik cair selama 24 jam pada media tanam tanah

spodosols memiliki respon pertumbuhan semai Anthocephalus cadamba yang

sangat baik dengan persentase hidupnya > 75%, dalam penelitian tersebut aplikasi

biochar dengan perendaman pupuk organik cair sebagai pengayaan nutrisinya

pada media tanah spodosols dengan melihat respon pertumbuhan tanaman

Anthocephalus cadamba hanya sampai tingkat persemaian, oleh karena itu dalam

penelitian ini melanjutkan penelitian sebelumnya pada tingkat lapangan.

Anthocephalus cadamba merupakan salah satu jenis tanaman yang tahan

hidup di lahan kritis, Menurut Krisnawati. Dkk, (2011), Anthocephalus cadamba

memiliki beberapa kelebihan antara lain; cepat tumbuh, mudah beradaptasi pada

berbagai tempat, memiliki perlakuan silvikultur relatif mudah, serta relatif tahan

terhadap hama dan penyakit. Produktivitas Anthocephalus cadamba termasuk

tinggi dengan pertambahan tinggi mencapai 3 m/tahun dan diameter 7 cm/tahun

(Halawane dkk., 2011), dikarenakan hal tersebut pertumbuhan anthocephalus

cadamba digunakan sebagai tolok ukur keberhasilan dalam penelitian.


18

Penelitian ini dilakukan pada areal hutan tanaman industri PT. Surya Hutani

Jaya di Kecamatan Sebulu, Kabupaten Kutai Kertanegara Kalimantan Timur. PT.

Surya Hutani jaya merupakan salah satu perusahaan bidang pengusahaan hutan

tanaman industri yang berencana mengembangkan tanaman Anthocephalus

cadamba untuk pengusahaan hutan, 30 % dari total area diduduki oleh tanah

Spodosols dan telah dilakukan percobaan penanaman mengunakan tanaman

Eucalyptus pellita di tanah spodosols tersebut, namun pertumbuhan tanaman

tersebut gagal untuk diterapkan. Sehingga perlu adanya percobaan agar tanah

spodosols dapat dimanfaatkan secara optimal, untuk itu penelitian ini dilakukan di

wilayah ini.

1.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui pengaruh aplikasi berbagai dosis biochar dengan dan tanpa

pengayaan pupuk organik cair terhadap riap tinggi, riap diameter dan

biomassa komponen tegakan jabon (Anthocephalus cadamba) di lahan

spodosols;

2. Mengetahui perbandingan pengaruh aplikasi perlakuan biochar dengan

pengayaan pupuk organik cair dan perlakuan kontrol perusahaan PT.

Surya Hutani Jaya terhadap riap tinggi, riap diameter dan biomassa

komponen tegakan jabon (Anthocephalus cadamba) di lahan spodosols.

I.3. Hasil yang Diharapkan

Hasil yang diharapkan dari penelitian adalah

1. Diketahui pengaruh aplikasi berbagai dosis biochar dengan dan tanpa

pengayaan pupuk organik cair terhadap riap pertumbuhan tinggi, riap


19

diameter dan biomassa komponen tegakan jabon (Anthocephalus

cadamba) di lahan spodosols;

2. Diketahui perbandingan pengaruh aplikasi perlakuan biochar dengan

pengayaan pupuk organik cair dan perlakuan kontrol perusahaan PT.

Surya Hutani Jaya terhadap riap tinggi, riap diameter dan biomassa

komponen tegakan jabon (Anthocephalus cadamba) di lahan spodosols

I.4. Manfaat Penelitian

Manfaat dilakukannya penelitian untuk :

1. Memberi manfaat berupa informasi mengenai budidaya tanaman jabon

(Anthocephalus cadamba) pada lahan spodosols yang diberi perlakuan

biochar dengan pengayaan pupuk organik cair;

2. Memberikan saran perbaikan kualitas dan produktivitas lahan spodosols

untuk budidaya tanaman jabon (Anthocephalus cadamba) yang dilakukan

PT Surya Hutani Jaya.


20

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Spodosols, Karakteristik, Produktivitas dan Potensinya

Spodosols adalah tanah yanag terbentuk dari bahan kasar dan masam. Tanah

ini dicirikan oleh adanya horizon B spodik atau horizon akumulasi daari bahan-

bahan amorf organik dan aluminium, dengan atau tanpa besi (Mokma dan

Burmann, 1982). Oleh karena itu, kriteria horizon B spodik spodosols, sebagian

didasarkan pada jumlah C-organik, aluminium, dan besi yang dapat diekstrak oleh

pelarut tertentu dari horizon tersebut. Spodosol tersebar luas di daerah beriklim

dingin, sedang, atau beriklim basah. Penyebaran dijumpai di Rusia, Eropa bagian

Utara dan Canada (McKeague dkk., 1983). Di Indonesia, luas Spodosols

seluruhnya diperkirakan 2,16 juta ha atau 1,1% dari wilayah daratan Indonesia

(Subagjo dkk., 2004).

Pembentukan tanah spodosols secara garis besar diawali denga akumulasi

bahan organik, kemudian diikuti oleh proses-proses pencucian dan pemasaman,

pelapukan, pemindahan Fe dan Al dari horizon A ke horizon B, terhentinya

(immobilization) asam humik, fluvik, dn liat di horizon B, pengurangan berat isi

dan sementasi (Calvert dkk., 1980). Spodosols tersususn atas dua macam horizon

utama, yaitu horizon albik atas dan horizon spodik dibagian bawah. Horizon albik

terbentuk karena proses pencucian (elluviasi) yang intensif oleh organik sehingga

semua bahan-bahan mudah lapuk tercuci dan yang tertinggal hanyaah butir-butir

pasir kuarsa (Driessen PM dan Dudal R, 1998).

Horizon ini merupakan tempat terakumulasinya mineral-mineral yang tahan

terhadap pelapukan (resisten) dan bahan-bahan lainnya yang susah larut. Horizon
21

spodik terbentuk karena proses podsolisasi, yang merupakan pergerakan larutan

kompleks meta- humus (chelate) dari lapisan permukaan ke lapisan yang lebih

dalam (cheluviation), kemudian disusun oleh akumulasi (illuviasi ) dari kelat Al

dan Fe di horizon spodik (Driessen dan Dudal, 1989).

Karakteristik Secara morfologi, podosols mudah dikenali di lapangan karena

bertekstur kasar (pasir hingga pasir berlempung) dan adanya penciri berupa

horison eluviasi atau horison E albik yang berwarna terang/pucat, dan horison

iluviasi atau horison B spodik di bawahnya yang berwarna gelap. Spodosols

tipikal dicirikan oleh adanya empat horison utama yaitu: (i) horizon organik

permukaan yang berwarna gelap atau horison A, (ii) horison eluvial atau horison

E albik yang berwarna pucat, (iii) horison iluvial atau horizon B spodik yang

berwarna gelap kemerahan, kecoklatan atau kehitaman yang diperkaya oleh

bahan-bahan amorf, dan (iv) horison C berpasir di bawahnya (Mc Keague et al.,

1983).

potensi lahan spodosols jika akan digunakan sebagai lahan produksi

pertanian dan kehutanan berpotensi rendah sehingga jka ingin menjadikan lahan

spodosol produktf perlu diperhatikan sifat fisik dan kimia tanahnya,dengan

ketersediaan hara dan cadangan mineral yang rendah mensyaratkan perlunya

penambahan hara sebagai kebutuhan pertumbuhan tanaman melalui pemupukan,

Pemilihan jenis pupuk yang digunakan perlu disesuaikan dengan karakteristik

fisik dan kimia- nya yaitu bertekstur kasar dengan daya meretensi hara rendah,

spodosols terbentuk di daerah beriklim dingin dan tropika basah dari bahan pasir

atau pasir berlempung, masam. Secara fisiografis penyebarannya dijumpai di

dataran pasir pantai, sand dune, dataran aluvial, koluvial, dataran tektonik dan
22

plateau. Di Indonesia tanah ini dijumpai dalam tiga subordo, 15 greatgrup, dan 77

subgrup. Sifat fisik penting Spodosols adalah tekstur kasar (pasir atau pasir

berlempung), yang berdampak pada rendahnya kemampuan tanah meretensi air

(rawan kekeringan), dan rendahnya meretensi hara (mudah tercuci bersama air

perkolasi). Sifat kimia tanah dicirikan oleh reaksi tanah masam, kandungan basa-

basa dapat tukar dan kejenuhan basa rendah. Hara P dan K serta cadangan mineral

sangat rendah. KTK tanah rendah dan sangat tergantung pada kandungan bahan

organik. Spodosols tergolong tanah berpotensi rendah baik untuk pertanian

maupun kehutanan. Oleh karena itu, pemanfaatan Spodosols harus diarahkan

bukan hanya untuk 13 peningkatan produksi, akan tetapi juga harus diarahkan

pada penyehatan lingkungan dan perawatan tanah (soil care). Lahan Spodosols

yang telah dibuka perlu dimanfaatkan secara optimal dalam rangka peningkatan

kualitas tanah melalui pengelolaan tanah dan tanaman yang sesuai. Perlu kehati-

hatian dalam rangka pembukaan lahan untuk pertanian ataupun hutan tanaman

industri dengan melokalisir penyebaran Spodosols agar tetap dipertahankan

sebagai hutan konservasi atau hutan wisata (Suharta dan Yatno, 2009).

Komposisi mineral pada Spodosols menunjukkan perkembangan tanah yang

lanjut. Dalam fraksi liat (<2 μm) yang ditetapkan dengan X-ray difraktometer,

susunan mineral didominasi oleh kuarsa dan feldpars (Mc Keague dkk., 1983).

Mineral phylosilikat pada horison B dan C umumnya sangat lemah hingga tidak

ada. Hasil penelitian Prasetyo dkk., (2006) pada Arenic Alorthods menunjukkan

walaupun susunan mineral fraksi pasir didominasi oleh kuarsa dengan kandungan

mendekati 100%, dalam fraksi liat horison eluviasi masih dijumpai adanya

mineral phylosilikat seperti kaolinit, illit, dan vermikulit, sedangkan pada horison
23

iluviasi, kaolinit dijumpai dalam jumlah lebih tinggi. Perbedaan susunan tersebut

terjadi sebagai akibat adanya perbedaan bahan induk tanah dan atau tingkat

perkembangan/derajat pelapukannya. Adanya bahan-bahan amorf pada horison B

spodik, diperlihatkan oleh hasil penelitian Balai Besar Penelitian dan

Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (2008) pada Spodosols dataran

tinggi plateau Toba. Jumlah persentase Al+½Fe yang diekstrak dengan NH4-

oksalat pada horizon B spodik mencapai nilai 13,01 atau >2,0, sebagai kriteria

untuk tanah yang mempunyai sifat andik atau \ mengandung bahan-bahan amorf.

Hasil serupa dikemukakan oleh Prasetyo dkk. (2006) yang mengemukakan tidak

tajamnya pola difraksi pada Spodosols Kutai Kertanagara disebabkan oleh adanya

bahan amorf pada horison spodik tersebut.

2.2. Biochar sebagai salah satu alternatif pembenah tanah

Biochar merupakan bahan padatan karbon yang terbentuk melalui proses

pembakaran bahan organik atau biomassa tanpa atau dengan sedikit oksigen

(pyrolysis) pada temperatur 250-500oC (Nurida, 2014). Berbeda dengan bahan

organik, kelebihan dari biochar stabil selama ratusan tahun bila dicampur ke

dalam tanah dan mampu mensekuestrasi karbon dalam tanah (Lehmann, 2007).

Menurut (Maguire dan Agblevor, 2010), biochar baru-baru ini sudah

banyak digunakan sebagai bahan pembenah tanah untuk meningkatkan

produktivitas tanaman. Kebanyakan orang membuat arang dengan cara membakar

kayu di lingkungan yang kekurangan oksigen kemudian hasil arang tersebut

digunakan untuk bahan bakar untuk memasak, hal tersebut serupa dengan cara

membuat biochar, istilah biochar digunakan karena fungsi dan kegunaaanya

sebagai pembenah tanah, seperti halnya arang pada umumnya, biochar adalah
24

rendemen hitam dari hasil pembakaran bahan organik dengan kandungan karbon

yang tinggi, biochar dapat diproduksi dengan berbagai cara dan teknik contohnya

dengan proses pirolisis cepat atau proses pirolisis lambat dan gasifikasi. Produksi

dengan proses pirolisis cepat menghasilkan bio-oil yang dapat digunakan untuk

energi dan biochar yang dihasilkan cenderung sedikit, berbeda dengan produksi

biochar dengan proses pirolisis lambat dan gasifikasi tidak menghasilkan bio-oil,

dengan begitu biochar yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan proses

pirolisis cepat. Umumnya hasil biochar tidak melebihi 40% dari berat bahan baku,

karena sebgaian besar biomassa hilang, Menurut Syahrinudin (2018) di dalam

penelitiannya yang membandingkan 3 teknik pembuatan biochar yaitu pembuatan

biochar dengan drum tertutup (retort), drum terbuka, dan tungku pembakaran,

teknik pembuatan biochar dengan drum tertutup lebih prospektif untuk

dikembangkan lebih lanjut karena tidaak hanya menghasilkan biochar yang

memiliki sifat dan daya benah yang lebih tinggi, melainkan juga rendemen lebih

tinggi dan penanganan saat pembuatan biochar lebih mudah.

pemanfaatan biochar sebagai soil conditioner terutama dalam praktek-

praktek pengelolaan lahan hutan masih sangat jarang dilakukan. Sementara

potensi jumlah limbah pertanian dan hutan sedemikian berlimpah, antara lain dari

hasil pembukaan lahan maupun aktivitas pemanenan yang meninggalkan limbah

berupa daun, ranting, termasuk pohon rusak. Melalui proses karbonisasi/pirolisis,

seyogianya limbah tersebut dapat dikonversi menjadi biochar untuk selanjutnya

difungsikan sebagai soil conditioner. Di sisi lain, lahan kritis di Indonesia telah

mencapai luasan sekitar 50 juta ha (Harun, 2008). Di Indonesia sendiri

sebenarnya penggunaan biochar sudah lama digunakan pada lahan pertanian yang
25

menggunakan teknik membuka lahan dengan slash and burn sehingga

mengasilkan arang bekar pembakaran pada lahan tersebut. Menurut Lehmann

(2007), dalam proses pembuatan biochar kira-kira 50% dari C awal yang

terkandung dalam biochar, dekomposisi biologi biasanya meninggalkan kurang

dari 20% C setelah 5-10 tahun kemudian, sedangkan melalui proses pembakaran

hanya meninggalkan 3% C. karena itu sistem slash and burn yang sampai

sekarang masih berjalan, menyebabkan degradasi tanah dan mengeluarkan gas

rumah kaca, bisa ditingkatkan menjadi slash and char untuk lebih memperbanyak

C yang bisa diikat dalam tanah.

Menurut Lehmaan dan Randon (2006), menyatakan bahwa manfaat slash and

char akan tinggal dalam tanah dalam jangka waktu yang lenih lama, sebaliknya

aplikasi mulsa, pupuk kandang atau kompos akan mengalami mineralisasi

menjadi CO2 (dan gas rumah kaca lainnya) dalam beberapa bulan atau tahun

kedepan, karena cepatnya dekomposisi bahan organik dalam ekosistem tanah

tropis.

Menurut Herman (2011), di dalam jurnalnya menyebutkan bahwa selama

enam bulan melakukan penelitian mengenai biochar sebagai pembenah tanah

sudah cukup meningkatkan laju pertumbuhan awal, selain itu biochar juga mampu

memperbaiki sebagian besar kondisi kritikal parameter-parameter sifat kesuburan

tanahnya, yaitu dengan meningkatnya pH, Ca2+, KTK, KB, Mg2+, P2O5, K2O

tanah serta dapat menurunkan kemasaman H+-dd dan Al3+-dd tanah.

Aplikasi biochar sebagai salah satu pembenah tanah berdampak positif

terhadap sifat kimia, fisika, dan biologi tanah. Berdasarkan beberapa hasil

penelitian, efek positif biochar diuraikan sebagai berikut :


26

1. Pemberian biochar terhadap Sifat Kimia Tanah

Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa biochar

yang diaplikasikan kedalam tanah secara nyata meningkatkan ketersedian hara

pada tanah yang dibutuhkan oleh tanaman berupa N, P, K Ca, dan Mg, selain itu

Penggunaan biochar lebih efektif dalam meretensi hara dan membuat hara

menjadi tersedia untuk tanaman. Biochar lebih persisten di dalam tanah

dibandingkan dengan bahan organik lain sehingga manfaat dari biochar dalam

meretensi hara dapat berjalan lebih lama (Herman, 2018). Namun agar biochar

yang dapat memberikan hasil yang maksimal sebagai pembenah tanah perlu

adanya kombinasi dengan pupuk organik sebagai sumber penyedia unsur hara

tanaman. Kapasitas tukar kation merupakan sa-lah satu dari banyak faktor yang

terkait dalam hal kesuburan tanah dan indikator yang baik untuk mengetahui

kualitas dan produktivitas tanah. Semakin tinggi KTK tanah semakin banyak

kation-kation basa yang dapat ditahan oleh tanah, sehingga semakin besar

kemungkinan tanah akan memiliki tingkat kesuburan yang lebih tinggi, sebaliknya

jika KTK dalam tanah rendah, maka tanah tidak dapat menahan unsur-unsur hara

dengan baik, sehingga unsur-unsur hara dengan mudah tercuci oleh air (Major et

al., 2010). Hal tersebut merupakan peran biochar sebagai pembenah tanah,

sehingga apabila diaplikasikan pada tanah maka KTK akan naik secara nyata dan

linier sesuai dengan jumlah biochar yang diberikan (Herman, 2018).

Menurut Endriani dkk., (2013) pengaplikasian biochar yang berbahan

dasar cangkang kelapa sawit dapat memberikan peningkatan pada pH tanah

dibandingkan dengan tidak diberi biochar, Hal ini kemungkinan disebabkan

karena biochar yang diberikan ke dalam tanah memiliki pH mendekati netral,


27

dengan demikian juga akan meningkatkan pH tanah. Pemberian biochar dengan

takaran 1 ton/ha mampu meningkatkan pH tanah secara signifikan. Semakin

tinggi takaran biochar yang diberikan kedalam tanah menyebabkan pH tanah

semakin meningkat. Aplikasi biochar 1 ton/ha dapat menurunkan konsentrasi Al-

dd secara signifikan dibandingkan dengan tanpa biochar, semakin tinggi takaran

biochar yang diaplikasikan ke dalam tanah menyebabkan semakin rendah Al-dd

tanah. Namun peningkatan takaran biochar dari 2 ton/ha menjadi 2,5 ton/ha tidak

menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap penurunan Al-dd tanah. Novak

dkk,. (2009) menjelaskan, tergantung pada biomassa biochar yang digunakan,

kation seperti Ca, K, Mg, dan silikon (Si) dapat membentuk oksida alkali atau

karbonat selama proses pirolisis. Setelah pelepasan oksida ke lingkungan, mereka

dapat bereaksi dengan H+ dan monomer Al, meningkatkan pH tanah, dan

mengurangi keasaman dapat ditukar.

2. Pemberian biochar terhadap Sifat Fisika Tanah

Penambahan biochar mempengaruhi sifat fisika tanah melalui peningkatan

kapasitas menahan air, sehingga dapat mengurangi run-off dan pencucian unsur

hara. Selain itu, amandemen biochar juga dapat memperbaiki struktur, porositas,

dan formasi agregat tanah. Biochar berpengaruh langsung terhadap tanaman.

Perbaikan sifat fisika menyebabkan jangkauan perakaran tanaman semakin luas

sehingga memudahkan tanaman untuk mendapatkan nutrisi dan air yang

dibutuhkan dalam pertumbuhannya (Dou dkk., 2012)

3. Pemberian biochar terhadap Sifat Biologi Tanah

Biochar juga dapat mempengaruhi populasi dan aktivitas mikroorganisme

tanah. Menurut hasil penelitian (Greber dkk., 2010) kehadiran biochar dapat
28

merangsang populasi rhizhobakteria dan fungi yang menguntungkan bagi

pertumbuhan tanaman. Ini diakibatkan oleh perubahan komposisi dan aktivitas

enzim didaerah sekitar perakaran yang meningkat dengan penambhan biochar.

Menurut Santi dan Goenadi, (2012), hal ini disebabkan karena pH biochar asal

cangkang kelapa sawit sesuai dengan pH untuk pertumbuhan optimal bakteri,

sehingga populasi bakteri dapat dipertahankan. Hal ini sesuai dengan penelitian

(Randon dkk., 2007), yang menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam

memperbaiki fiksasi N secara biologi (BNF) pada tanaman kacang-kacangan. Ini

ditunjukkan dengan semakin menigkatnya koloni bakteri pada akar tanaman.

2.3. Penggunaan biochar terhadap pertumbuhan tanaman

Biochar umumnya digunakan sebagai bahan pembenah tanah pada lahan

yang akan digunakan untuk lahan produksi pertanian atau kehutanan, menurut

Sukartono, (2011) biochar efektif dapat memperbaiki kesuburan tanah terbukti

dengan meningkatnya kandungan C-Organik tanah khususnya pada kedalaman 0-

10 cm, selain itu biochar juga mampu mengikat kation utama, P, N-total, KTK,

dan pH. Sehingga dapat meningkatkan unsur hara tanah, dengan peningkatan

KTK mengakibatkan pencucian unsur hara bermuatan positif berkurang. Pada

penelitian yang dilakukan Saidillah, (2019) yang menggunakan biochar yang

direndam pupuk organic cair sebagai campuran media tanam pada tanah

spodosols pada tingkat semai tanaman jabon, menyimpulkan bahwa respon

pertumbuhan semai jabon memiliki persentase hidup hingga >75%, kemudian

pertambahan tinggi dan diameter memiliki respon yang signifikan dibandingkan

dengan media tanam ang hanya menggunakan tanah spodosols. Lehmann dkk.
29

(2003) dengan penelitian pot menggunakan tanaman kacang tunggak (Vigna

unguiculata (L.) Walp.) dan padi (Oryza sativa L.) menyimpulkan bahwa

penambahan biochar nyata meningkatkan pertumbuhan dan nutrisi tanaman.

Walau konsentrasi N daun berkurang, serapan P, K, Ca, Zn, dan Cu oleh tanaman

bertambah dengan makin tingginya penambahan biochar. Pencucian dari pupuk N

yang diberikan berkurang nyata dengan pemberian biochar, sedangkan pencucian

Ca dan Mg diperlambat.

Penggunaan biochar umumnya diaplikasikan langsung pada lahan pertanian

dan kehutanan namun diaplikasikan juga sebagai media semai atau anakan,

menurut Komarayati dan Pari, (2012) pada penelitian yang berjudul “kombinasi

pemberian arang hayati dan cuka kayu terhadap pertumbuhan jabon dan sengon”

pada tingkat semai dapat memberikan penigkatan pertambahan tinggi dan

diameter jabon dan sengon. Selain itu juga dalam sektor perkebunan biochar dapat

digunakan sebagai media tumbuh bibit kelapa sawit, hal ini dilakukan oleh Basri

dkk, (2016) menyimpulkan bahwa Jenis media tumbuh yang diuji mempengaruhi

pertumbuhan bibit kelapa sawit, dan berbeda menurut karakter pertumbuhan yang

diamati. Pengaruh nyata jenis media ini terhadap tinggi bibit pada umur 60, 90

dan 120 hari, jumlah daun pada bibit berumur 90 dan 120 hari, dan bobot basah

dan bobot kering pada umur 120 hari. Dari 10 jenis media tumbuh yang diuji,

ternyata media tumbuh yang sesuai untuk bibit kelapa sawit adalah campuran

topsoil 40% + biochar 40% + kompos 20%.


30

2.4. Pupuk Organik Cair

Pupuk organik cair adalah pupuk yang berasal dari hewan atau tumbuhan

sudah mengalami fermentasi, kandungan bahan kimia di dalamnya maksimum 5%

(Sundari dkk., 2012), menurut Hadisuwito (2007) mengatakan bahwa pupuk

organik cair adalah larutan dari pembusukan bahan-bahan organik yang berasal

dari sisa tanaman, kotoran hewan, dan manusia yang kandungan unsur haranya

lebih dari satu unsur. Adapun beberapa jenis sampah organik yang umumnya

digunakan menjadi bahan pupuk organik cair yaitu, sampah sayur baru, sisa

sayuran basi, tetapi harus dicuci dulu peras lalu buang airnya, sisa nasi, sisa ikan,

ayam, kulit telur dan sampah buah-buahan (Sundari dkk., 2012). Proses

pembuatan pupuk cair alami memakan waktu enam bulan hingga setahun

(tergantung bahan yang digunakan). Oleh karena itulah saat ini telah banyak

dikembangkan produk bioaktifaktor/agen dekomposer yang diproduksi secara

komersial untuk meningkatkan kecepata dekomposisi, meningkatkan penguraian

materi organik, dan dapat meningkatkan kualitas produk akhir (Nuryani dkk.,

2002).

Menurut (Supriyanto dkk., 2014), menyatakan bahwa pemberian Pupuk

organik cair urin sapi, pada semai jabon merah, berpengaruh sangat nyata

terhadap semua parameter pengamatan, dengan bertambahnya tinggi tanaman,

jumlah daun, diameter batang, berat basah pucuk dan berat kering pucuk semai

jabon, hal ini diduga terjadi karena pada pemberian beberapa konsentrasi pupuk

organik cair urin sapi mampu menyediakan unsur hara esensial bagi pertumbuhan

tanaman, terutama unsur N. pemeberian pupuk dengan kadar nitrogen yang tinggi

dapat mempercepat pertumbuhan dan perkembangan organ tanaman sehingga


31

lebih cepat mengalami pertambahan jumlah daun dan ukuran luas daun. Dari hasil

penelitian Supriyanto dkk., (2014), pengamatan tinggi pada semai jabon merah

dengan pemerian dosis pupuk organik cair urin sapi sebanyak 150 ml/1 liter air,

memberikan respon pertumbuhan yag terbaik dari semua perlakuan yang

dicobakan. Selain itu juga pada dosis pupuk organik cair urin sapi sebanyak 150

ml/1 liter air, diameter yang diukur memberikan respon pertambahan diameter

terbaik dari semua perlakuan yang dilakukan.

Berikut merupakan analisis kandungan unsur hara pupuk organik cair yang

berasal dari limbah rumah tangga;

Tabel 2. 1.Analisis Kandungan Unsur Hara Pupuk Organik Cair dari Limbah
Rumah Tangga
C- N-
pH P2O5 K2O Ca Mg Fe Mn Na Zn
Organik Total
% Ppm
0,85
4,54 7,58 0,33 2,98 3,28 1,98 2,66 212 118 169
2
Sumber : Wahida dan Suryaningsih (2015).

2.5. Pembangunan Hutan Tanaman Jabon (Anthocepalus cadamba)

Jabon merupakan salah satu jenis pohon yang memiliki prospek tinggi untuk

hutan tanaman industri dan tanaman reboisasi (penghijauan) di Indonesia, karena

pertumbuhannya yang sangat cepat, kemampuan beradaptasinya pada berbagai

kondisi tempat tumbuh, perlakuan silvikulturnya yang relatif mudah, serta relatif

bebas dari serangan hama dan penyakit yang serius. Jenis ini juga diharapkan

menjadi semakin penting bagi industri perkayuan di masa mendatang, terutama

ketika bahan baku kayu pertukangan dari hutan alam diperkirakan akan semakin

berkurang. Hutan tanaman jabon dalam skala besar dapat dijumpai di Provinsi
32

Sumatera Utara, Riau dan Kalimantan Tengah. Pada saat ini jabon juga banyak

dibudidayakan oleh petani, terutama di Kalimantan dan Jawa. Di beberapa daerah

di Jawa, jabon pada umumnya ditanam untuk menggantikan tanaman jati yang

miskin riap setelah pemanenan (Nair dan Sumardi 2000).

1. Taksonomi

Nama botani : Anthocephalus cadamba (Roxb),Miq.

Marga : Rubiaceae

Submarga : Cinehonoideae

Sinonim : Anthocephalus chinensis

(Lamk.) A. Rich. Ex.

Walp., Anthocephalus

macrophyllus (Roxb.) Havil.

Nama lokal : galupai, galupai bengkal, harapean, johan, kalampain, kelampai,

kelempi, kiuna, lampaian, pelapaian, selapaian, serebunaik

(Sumatera); jabon, jabun, hanja, kelampeyan, kelampaian (Jawa);

ilan, kelampayan, taloh, tawatelan, tuak, tuneh, tuwak

(Kalimantan); bance, pute,loeraa, pontua, suge manai, sugi manai,

pekaung,toa (Sulawesi); gumpayan, kelapan, mugawe, sencari

(Nusa Tenggara); aparabire, masarambi (Papua) (Martawijaya

dkk., 1989).

2. Botani

Jabon termasuk pohon berukuran besar dengan batang lurus dan silindris

serta memiliki tajuk tinggi seperti payung dengan sistem percabangan yang khas.

Tinggi pohon dapat mencapai 45 m dengan diameter batang 100–160 cm dan


33

kadang-kadang berbanir hingga ketinggian 2 m. Kulit pohon muda berwarna abu-

abu dan mulus sedangkan kulit pohon tua kasar dan sedikit beralur. Daun

menempel pada batang utama, berwarna hijau mengilap, berpasangan dan

berbentuk oval-lonjong (berukuran 15–50 cm x 8–25 cm). Daun pada pohon muda

yang diberi pupuk umumnya lebih lebar, dengan posisi lebih rendah di bagian

pangkal dan meruncing dibagian puncak.

Bunga terdiri dari kepala-kepala terminal bulat tanpa brakteol, bertangkai

harum, berwarna oranye atau kuning. Bunganya biseksual, terdiri dari lima

bagian, kelopak bunga berbentuk corong. Mahkota bunganya gamopetal

berbentuk seperti cawan. Benang sarinya ada lima, melekat pada tabung mahkota

dengan filamen pendek. Buahnya merupakan buah majemuk, berbentuk bulat dan

lunak, dengan bagian atas terdiri dari empat struktur berongga atau padat. Buah

jabon mengandung biji yang sangat kecil, berbentuk kapsul berdaging yang

berkelompok rapat bersama untuk membentuk daging buah yang berisi sekitar

8.000 biji. Biji kadang berbentuk trigonal atau tidak teratur dan tidak bersayap

(Soerianegara dan Lemmens 1993).

3. Penyebaran

Jabon tumbuh secara alami di Australia, Cina, India, Indonesia, Malaysia,

Papua Nugini, Filipina, Singapura dan Vietnam. Jabon merupakan jenis tanaman

yang disukai tidak hanya di habitat alaminya, tetapi juga di luar habitat alaminya.

Jabon Anthocephalus cadamba Miq, juga telah berhasil diintroduksikan di Kosta

Rika, Puerto Riko, Afrika Selatan, Suriname, Taiwan, Venezuela dan negara-

negara subtropis dan tropislainnya (Orwa dkk., 2009).

4. Tempat Tumbuh
34

Jabon merupakan tanaman pionir yang dapat tumbuh baik pada tanah-tanah

aluvial yang lembab dan umumnya dijumpai di hutan sekunder di sepanjang

bantaran sungai dan daerah transisi antara daerah berawa, daerah yang tergenang

air secara permanen maupun secara periodik. Beberapa pohon jabon terkadang

juga ditemukan di areal hutan primer. Jenis ini tumbuh baik pada berbagai jenis

tanah, terutama pada tanah-tanah yang subur dan beraerasi baik (Soerianegara

dan Lemmens 1993).

Cahaya merupakan faktor yang sangat penting bagi pertumbuhan jabon.

Pada habitat alaminya, suhu maksimum untuk pertumbuhan jabon berkisar 32–42º

C dan suhu minimum berkisar 3–15,5º C. Jabon tidak toleran terhadap cuaca

dingin, rata-rata curah hujan tahunan di habitat alaminya berkisar1500–5000 mm.

Jabon dapat pula tumbuh pada daerah kering dengan curah hujan tahunan

sedikitnya 200 mm (misalnya di bagian tengah Sulawesi Selatan). Jenis ini

tumbuh baik pada ketinggian 300–800 m diatas permukaan laut. Di daerah

khatulistiwa, jenis ini tumbuh pada ketinggian 0-1000 mdpl (Martawijaya dkk.,

1989).

2.6. Biomassa Tanaman

Biomassa adalah total berat / massa volume organisme di dalam suatu area

atau volume tertentu (a glossary by the IPCC,1995). Biomassa juga didefinisikan

sebagai total jumlah materi hidup di atas permukaan pada suatu pohon dan

dinyatakan dengan satuan ton berat kering per satuan luas (Brown, 1997).

Biomassa merupakan masa dari bagian vegetasi yang masih hidup yaitu tajuk
35

pohon, tumbuhan bawah atau gulma dan tanaman semusim (Hairiah dan

Rahayu, 2007).

Hutan memainkan peranan yang penting dalam menurunkan emisi Gas

Rumah Kaca (GRK),penyeimbang ekosistem dan meningkatkan penyerapan

CO2dari atmosfer melalui fotosintesis yang kemudian dirubah menjadi karbohidrat

dan tersebar serta tertimbun di dalam tubuh tanaman (Sequestration) berupa

batang, ranting, daun, bunga dan buah (Hairiah dan Rahayu, 2007), oleh karena

itu biomassa pohon di hutan merupakan tempat penyimpanan cadangan karbon

terbesar di daratan, yang terdapat pada komponen pohon berupa batang, cabang,

ranting, daun dan akar (Hardjana and Fajri , 2011).

Makin bertambahnya tekanan terhadap sumberdaya hutan akan memberikan

dorongan yang kuat terhadap keperluan studi tentang biomassa hutan (Ruhiyat,

1996).

Pendugaan biomassa atas permukaan sangat penting untuk mengetahui

cadangan karbon dan pengaruh deforestrasi serta C-sequestration (Ketterings

dkk., 2001). Estimasi biomassa menyatakan hubungan antara komponen pohon

(Parresol, 1999), yang dilakukan dengan persamaan allometrik untuk

menghubungkan antara diameter batang pohon setinggi dada dengan variabel

yang lain seperti kandungan karbon pada tegakan hutan yang masih berdiri,

volume kayu, biomassa pohon dalam inventarisasi hutan dan studi ekologi

(Martin dkk., 1998).


36
37
38

III. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di areal PT Surya Hutani Jaya pada jenis tanah

Spodosols, Kecamatan Sebulu, Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur.

Penelitian dilakukan pada bulan November 2019 – Maret 2020. Dengan susunan

waktu sebagai berikut, sebagaimana tertera pada Tabel 3.1. di bawah ini.

Tabel 3. 1. Susunan Waktu Kegiatan Penelitian


No Kegiatan Bulan ke-
Nov Des Jan Feb Maret
2019 2019 2020 2020 2020
1 Studi pustaka 
2 Penyiapan alat dan bahan penelitian 
3 Pembuatan biochar dan Pupuk Organik 
Cair
4 Penanaman 
5 Perawatan dan pengamatan   
6 Pengolahan data dan Penulisan skipsi  

3.2. Bahan dan Alat Penelitian

Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Biochar

2. Pupuk Organik Cair

3. Bibit jabon (Anthocephalus cadamba)

4. Media Tanam Tanah Spodosols

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Cangkul untuk menggali lubang tanam ukuran kedalaman 30 cm dengan

diameter 45 cm dengan jarak tanam 3 m × 2,5 m

2. Parang untuk mencincang bahan biochar


39

3. Kacamata untuk melindungi mata dari debu biochar yang dihaluskan

4. Masker agar tidak terhirup debu biochar

5. Meteran untuk mengukur ketinggian tanaman

6. Microcaliper untuk mengukur diameter tanaman

7. Tally sheet untuk pencatatan data

8. Label tanaman

9. Alat tulis menulis

10. Kamera untuk mendokumentasikan kegiatan penelitian

11. Komputer/laptop untuk analisis data dan penulisan skripsi

3.3. Rancangan Penelitian

1. Rancangan Penelitian, Jumlah Perlakuan dan Unit Percobaan

Penelitian ini dirancang mengikuti kaidah Rancangan Acak Lengkap

Faktorial (RAL Faktorial) dengan dua faktor (dosis pemberian biochar) dan

(pengayaan nutrisi dengan pupuk organik cair), selain itu juga ditambahkan 1

perlakuan dari perusahaan PT Surya Hutani Jaya.

Dosis pemberian biochar (A) terdiri dari 3 sub faktor yaitu :

1. A0 = Tanpa biochar;

2. A1 = Dosis biochar 2%;

3. A2 = Dosis biochar 5%.

Untuk pengayaan nutrisi pupuk organik cair (B), dengan teknik perendaman

biochar kedalam pupuk organik cair dan kemudian diaplikasikan ke dalam media

tanam, terdiri dari 2 sub faktor yaitu :

1. Tanpa pengayaan nutrisi pupuk organik cair;

2. Dengan pengayaan nutrisi pupuk organik cair selama 24 jam.


40

Berikut 6 kombinasi perlakuan biochar dengan pengayaan nutrisi pupuk

organik cair, dan 1 perlakuan perusahaan PT Surya Hutani Jaya, mengikuti kaidah

Rancangan Acak Lengkap Faktorial (RAL Faktorial).

1. Perlakuan A0B0 = tanpa biochar (100 % tanah spodosols)

2. Perlakuan A0B1 = tanpa biochar (100 % tanah spodosols)

3. Perlakuan A1B0= biochar 2% tanpa pengayaan pupuk organik

4. Perlakuan A1B1 = biochar 2% dengan pengayaan pupuk organik

5. Perlakuan A2B0 = biochar 5% tanpa pengayaan pupuk organik

6. Perlakuan A2B1 = biochar 5% dengan pengayaan pupuk organik

7. Perlakuan Kontrol = Pupuk Kompos 20 %, Pupuk Zincof 20 %, Dolomit 10

%, Pupuk NPK 20 %

Dari dua faktor tersebut dihasilkan 6 kombinasi perlakuan dan 1 perlakuan

dengan nama kontrol dari perlakuan yang diberikan oleh PT. Surya Hutani Jaya,

dengan masing-masing perlakuan mengalami 3 kali pengulangan. Unit percobaan

untuk masing-masing kombinasi perlakuan adalah sebanyak 28 unit. Sehingga

total jumlah seluruh unit percobaan ialah banyak kombinasi perlakuan dikalikan

dengan jumlah ulangan dan jumlah unit percobaan, 7 × 3 × 28 sebanyak 588 unit.

1. Jumlah ulangan : 3 kali pengulangan

2. Jumlah perlakuan : 6 kombinasi perlakuan biochar dan 1 perlakuan

perusahaan

3. Jumlah unit percobaan : 28 unit

Model matematis untuk RAL faktorial 2 faktor adalah sebagai berikut :

Yijk=μ+ αi+ βj+ ( αβ ) ij +εijk (1)

Keterangan: i=1,2…,a;1,2…,b; c=1,2…,r


41

Yijk = pengamatan pada satuan percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi


perlakuan taraf ke-1 dari factor Adan taraf ke-j dari factor B
μ = mean populasi
αi = pengaruh taraf ke-i dari factor A
βj = pengaruh taraf ke-j dari factor B
( αβ ) ij = pengaruh taraf ke-i dari factor A dan pengaruh taraf ke-j dari factor B
εijk = pengaruh acak dari satuan percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi
perlakuan ij. ijN (0,2).
Tabel 3. 2. Kombinasi Perlakuan Biochar dan Pupuk Organik Cair.
Perendaman Ulangan Dosis Biochar (B) Total
(A) B0 B1 B2 (T.i.)
A0 1 A0B0 A0B1 A0B2 T.0.
1 1 1
2 A0B0 A0B1 A0B2
2 2 2
3 A0B0 A0B1 A0B2
3 3 3
A1 1 A1B0 A1B1 A1B2 T.i.
1 1 1
2 A1B0 A1B1 A1B2
2 2 2
3 A1B0 A1B1 A1B2
3 3 3
Total (Ti…) T0.. T2.. T5.. T…
Keterangan : Tijk i= Perlakuan ke-i (0%, 2%, 5%)
J= Perlakuan ke-j (0, dan 24 jam)
k= Ulangan (1,2,3)
Setelah penelitian selesai dilaksankan dan didapatkan data yang kredibel,
maka langkah selanjutnya yaitu menghitung factor koreksi, menghitung factor
koreksi dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
2
T⋯
FK = (2)
rAB
Keterangan:
T = Total
FK = Faktor Koreksi
r = Jumlah Pengulangan
A = Jumlah Pemberian biochar
B = Jumlah Perendaman biochar

Selanjutnya kita dapat menghitung Jumlah Kuadrat Total (JKT) menggunakan

rumus sebagai berikut :


42

2
JKT=T ijk – FK (3)

Setelah menghitung JKT kita akan menghitung Jumlah Kuadrat Perlakuan dengan

Rumus sebagai berikut :

Ti ..2
JKA= – FK (4)
rB

2
T . j.
JKB= – FK (5)
rA

T ⋯2
JK ( AB)= – FK (6)
r

Dilanjutkan dengan perhitungan Jumlah Kuadrat Galat (JKG) dengan rumus

sebagai berikut :

JKG=JKT −JKA−JKB−JK ( AB) (7)

Hasil penghitungan jumlah kuadrat seluruh sumber keragaman tersebut kemudian

disusun kedalam tabel analisis keragaman seperti berikut :

Tabel 3. 3. Model Sidik Ragam Kombinasi Biochar dan Pupuk Organik Cair
Terhadap Pengukuran Pertumbuhan Jabon (Anthocephalus
cadamba).
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat
F-Hitung F-Tabel
Keragaman Bebas Kuadrat Tengah

Perlakuan AB-1 JKP KTP KTP/KTG F(a,db-P,db-G)

A A-1 JK(A) KT(A) KT(A)/KTG F(a,db-A,db-G)

B B-1 JK(B) KT(B) KT(B)/KTG F(a,db-B,db-G)

(A-1) KT(AB)KT
AB JK(AB) KT(AB) F(a,db-AB,db-G)
(B-1) G
43

AB(r-1) JK(G)
Galat Total KT(G)
ABr1 JKT

Berdasarkan tabel sidik ragam tersebut, maka disusun pengujian sebagai berikut :

1. Jika Fhitung  Ftabel 0,05


Efek antara tingkat factor atau efek interaksi tingkat factor tidak
berbeda nyata;
2. Jika Fhitung  Ftabel 0,05
Efek antar tingkat factor atau efek interaksi tingkat factor berbeda
nyata;
3. Jika Fhitung  Ftabel 0,01
Efek antara tingkat factor atau efek interaksi tingkat factor sangat
berbeda nyata.

Jika Fhitung menunjukkan perbedaan yang signifikan atau sangat signifikan

maka diadakan uji lanjutan untuk membandingkan masing – masing perlakuan.

Uji lanjutan yang digunakan adalah uji coba beda nyata terkecil (Least Significant

Difference, LSD), dengan bentuk persamaan :

LSD=t ¿ (8)

Keterangan :
LSD : Uji beda nyata terkecil
t : Nilai tabel menurut Distribution of Probability tingkat 0,05 dan 0,01
KRG: Kuadrat Rataan Galat
r : Jumlah ulangan
44

2. Tata Letak Unit Percobaan

Berikut merupakan tata letak atau posisi setiap unit percobaan di jalur

tanam.

Gambar 3. 1. Letak Masing-masing Sub-Plot Berdasarkan Hasil Pengacakan

1 5 9 13 17 21 25

2 6 10 14 18 22 26

3 7 11 15 19 23 27

4 8 12 16 20 24 28
Gambar 3. 2. Contoh Sub-Plot A0B01

3.3. Prosedur Penelitian

1. Studi pustaka

Studi pustaka merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk

mengumpulkan sebanyak-banyaknya informasi dan literatur yang berhubungan


45

dan akan mendukung proses penelitian. Informasi dan literatur dapat diperoleh

dari perpustakaan Fakultas Kuhutanan Universitas Mulawarman atau melalui

internet, dapat berupa jurnal, buku-buku kehutanan maupun skripsi terdahulu.

2. Penyiapan bahan dan alat penelitian

Penelitian ini diawali dengan penyiapan alat dan selanjutnya penyiapan

bahan, penyiapan alat berupa alat untuk mencincang biochar dan alat pelengkap

penelitian yang lain. Penyiapan bahan berupa biochar, lahan tanam, dan bibit

jabon siap tanam.

Kegiatan penyiapan alat dan bahan merupakan salah satu kegitan utama

yang mengawali proses kegiatan penelitian, Kegiatan ini biasanya memerlukan

biaya, besar kecil jumlah biaya yang digunakan tergantung dari jenis penelitian

yang dilakukan.

3. Pembuatan biochar

Langkah-langkah pembuatan biochar dengan menggunakan drum tertutup

(Syahrinudin dkk., 2018):

a. Memasukan potongan-potongan kayu kedalam drum hingga terisi dengan

penuh.

b. Menutup drum dengan rapat menggunakan klem yang ada diseluruh lingkaran

drum.

c. Menyalakan api pada pipa yang ada dibawah drum pembakaran pastikan pipa

terpasang dengan tabung gas.

d. Apabila keluar api dari lubang-lubang pipa yang terhubung dengan drum

pembakaran, maka padamkan api yang terhubung dengan tabung gas dengan

cara menutup aliran gas.


46

e. Membiarkan api menyala di dalam drum pembakaran dengan stabil hingga

waktu yang di tentukan atau hingga potongan kayu telah menjadi biochar.

f. Apabila pembakaran sudah selesai, buka klem penutup drum dan keluarkan

seluruh potongan kayu yang telah menjadi biochar.

g. Hancurkan biochar hingga menjadi butiran halus.

h. Menyaring butiran biochar menggunakan ayakan.

4. Pembuatan Pupuk Organik Cair

Langkah-langkah yang dilakukan dalam pembuatan Pupuk Organik Cair

diantaranya sebagai berikut (Nurman K, 2019) :

a. Bahan utama yang digunakan untuk pembuatan Pupuk Organik Cair berupa

Limbah Sayuran Yang telah dicacah atau dirajang. Fungsi pencacahan atau

perajangan sayuran agar proses pembusukan berlansung secara sempurna dan

menyeluruh, kemudian bahan yang telah dirajang dimasukkan kedalam karung

goni;

b. Siapkan cairan bioaktivator EM4 (Effective Microorganisms) yang berfungsi

sebagai memepercepat proses pembusukan;

c. Siapkan gula merah yang sudah dirajang halus kemudian dicairkan yang

berfungsi sebagai pengaktif bioaktivator EM4 dalam pembuatan Pupuk

Organik Cair;

d. Limbah sayuran dalam karung goni dimaksukkan kedalam drum yang telah

disediakan;

e. Tambahkan air, EM4, dan gula merah kedalam drum dengan takaran masing-

masing 15 liter : 1 Liter : ½ kg per 5 kg limbah sayuran;


47

f. Setelah semua bahan dimasukkan ke dalam wadah drum, kemudian aduk

hingga merata;

g. Pastikan karung goni terendam oleh larutan dan tutup hingga rapat drum;

h. Pupuk Organik Cair selesai dibuat dan setelah 21 hari Pupuk Organik Cair

dapat digunakan.

5. Penyiapan Lahan Tanam

Penyiapan lahan tanam pada penelitian ini berupa lahan yang berukuran 250

m × 40 m, dengan lahan tanam jenis tanah spodosols di areal PT Surya Hutani

Jaya Kecamatan Sebulu, Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur.

a. Lahan tanam tersebut dibagi menjadi tiga bagian plot, masing-masing bagian

plot berukuran 250 m × 12 m dengan jarak antar bagian 1 meter, berikut layout

lahan tanam dapat dilihat pada gambar 3.3.;

b. Setelah layout plot tanam dibuat, berikutnya pembuatan sub-plot penelitian

yang memiliki panjang 20 m dan lebar 12 m, sehingga jumlah seluruh sub-plot

yang dibuat adalah 24 sub-plot, dengan ukuran jarak tanam 3 m × 2,5 m

dengan begitu jumlah tanaman setiap sub-plot berisi 28 bibit, adapun tata letak

sub-plot dan pengacakannya dapat dilihat pada lampiran 1.;

c. Sebelum tahap penanaman media tanam terlebih dahulu mendapat beberapa

perlakuan yang diberi pada setiap lubang tanam, dengan biochar yang telah

mengalami pengayaan nutrisi tanaman berupa perendaman dengan pupuk

organik cair;

d. Biochar terlebih dahulu dihaluskan menggunkan mesin penepung dan di saring

kemudian dimasukkan kedalam karung;


48

e. Berikutnya disiapkan kolam terpal (ukuran terpal disesuaikan dengan

kebutuhan biochar yang dibutuhkan) sebagai tempat perendaman biochar

menggunkan pupuk organik cair, lalu biochar yang telah dimasukkan kedalam

karung dimasukkan kedalam terpal, kemudian dimasukkan pupuk organik cair

kedalam kolam terpal tersebut hingga karung terendam sepenuhnya;

f. Biochar direndam selama 24 jam; (Saidilah M, 2019)

g. Setelah 24 jam biochar yang telah direndam dikeluarkan dan didiamkan hingga

pupuk organik cair tidak lagi mengalir atau merembes dari dalam karung dan

biochar siap digunakan;

h. Setelah proses perendaman dan penirisan, biochar langsung di aplikasikan

kedalam setiap lubang tanam, sesuai dengan takaran dosis biochar yang telah

ditentukan. Begitu juga pada biochar yang tidak mengalami perendaman juga

langsung diaplikasikan pada lubang tanam.


49
50

6. Penanaman pada Lahan Tanam

Bibit jabon yang telah disiapkan di bawa ke area yang telah ditentukan

untuk bisa dipindahkan ke lubang tanam, berikut langkah-langkahnya:

a. Dibuat lubang tanam dengan ukuran kedalaman 30 cm dengan diameter 45 cm

b. Siapkan bibit dengan cara melepas polybagnya

c. Diletakan bibit jabon pada lubang yang telah disiapkan

d. Ditutup kembali lubang dengan tanah yang telah dicampur biochar sesuai

dengan dosis penelitian dan pupuk sesuai ketentuan standar perusahaan

kemudian padatkan.

Selain itu untuk mengetahui berapa volume lubang tanam dan juga volume

pemberian biochar yang diberikan berdasarkan dosisnya dapat dilihat sebagai

berikut. Tanah yang di angkat pada saat menggali lubang tanam kedalaman 30 cm

dengan diameter 45 cm jika dirubah ke satuan liter maka tanah yang di angkat

adalah :

30 cm × 30 cm × 45 cm = 47688 cm3

47688 cm3 : 1000 = 47.68 liter

Jadi volume lubang tanam adalah 47.68 liter., maka pemberian biochar

berdasarkan dosisnya adalah :

B0 : 47.68 Lt x 0% = 0 liter

B1 : 47.68 Lt x 2% = 0,94 liter


51

B2 : 47.68 Lt x 5% = 2,35 liter

7. Pengamatan dan Perawatan

Pengamatan (pengambilan data, riap pertumbuan tinggi, riap pertumbuhan

diameter dan biomassa tegakan) dilakukan dalam 15 hari sekali untuk mengontrol

pertumbuhan jabon (Anthocephalus cadamba) selama kurun waktu 3 bulan

pengamatan dan pengambilan sampel biomassa tegakan pada 1 tahun setelah

penanaman, serta untuk mengetahui kondisi tanaman tersebut. Sedangkan

Perawatan atau pemeliharaan dilakukan beriringan dengan pengamatan

(pengambilan data), dengan cara penyiraman, penyiangan serta pengontrolan bibit

dari serangan hama dan penyakit.

a. Penyiangan dilakukan dengan membuang gulma yang tumbuh di sekitar,

penyiangan dilakukan melihat kondisi tanaman.

b. Pengontrolan bibit jabon dari serangan hama dan penyakit dilakukan beriringan

dengan pengamatan (pengambilan data).

8. Pengolahan dan Analisis Data

a. Persentase Hidup

Persentase hidup (PH, %), untuk menghitung PH tanaman terlebih dahulu

harus menyelesaikan pengamatan tanaman, data persentase hidup diperoleh pada

akhir pengamatan penelitian yaitu setelah tanaman berumur 3 bulan. Persentase

hidup dihitung mengikuti formula berikut (Sutisno dan Sugama, 1999) :

jumlah bibit hidup


PH ( % )= x 100
jumlah bibit yang ditanam

Penentuan keberhasilan penanaman dapat dilihat melalui persentase hidup

yang kita dapatkan dari jumlah individu tanaman hidup (Sutisno dan Sugama,
52

1999) yang terdiri atas, sangat baik > 75%, baik 50% - 75%, Sedang 36% - 49%,

Gagal < 35%. Selain menghitung persen hidup tanaman, sangat perlu untuk

diamati dan dihitung pertumbuhan tanaman sebagai tolok ukur keberhasilan

penelitian. Pertumbuhan tanaman yang diamati berupa pertumbuhan tinggi dan

pertambahan diameter.

b. Pengukuran Tinggi

Pengukuran tinggi tanaman dilakukan 1 bulan sekali selama 3 bulan setelah

berturut - turut. Pertumbahan tinggi dapat diketahui dengan melihat selisih

pertambahan tinggi akhir dengan pertambahan tinggi awal tanaman.

c. Pengukuran Diameter

Pengukuran diameter tanaman dilakukan dilakukan 1 bulan sekali selama 3

bulan secara berselang.pertambahan diameter diketahui dengan melihat selisih

pertambahan diameter akhir dengan pertambahan tinggi awal setelah penanaman.

d. Biomassa Tanaman

Pengambilan sampel biomassa tegakan jabon (Anthocephalus cadamba)

pada saat 1 tahun setelah penanaman dengan menggunakan metode Destructive

Sampling atau dipanen. Biomassa pohon ditetapkan dengan cara menjumlahkan

biomassa komponen-komponen penyusun pohon yang bersangkutan.

Pengukuran biomassa menggunakan teknik destructive sampling atau teknik

sampling yang dilakukan dengan menebang pohon kemudian memisahkan bagian

pohon berdasarkan organnya yaitu akar, batang, cabang, dan daun dengan 3
53

ulangan berdasarkan umurnya. Tiap organ ditimbang berat basah totalnya,

kemudian diambil sampel pada setiap organ untuk dikering ovenkan dan

berdasarkan rasio berat kering dan berat basahnya. Biomassa untuk tiap organ

pohon diketahui dengan rumus :

dimana BOP adalah biomassa organ pohon yang meliputi batang, cabang,

daun dan akar dalam satuan gram. BOP merupakan hasil dari perbandingan BKS

(berat kering sampel tiap organ) dengan BBS (berat basah sampel tiap organ)

kemudian dikonversi dengan BBT (berat basah total tiap organ pohon). Kemudian

biomassa total dihitung dan dikonversi kerapatan tegakan per hektarnya, maka

akumulasi biomassa per hektarnya dapat diketahui.

Dalam setiap plot ulangan diambil 3 pohon contoh, masing – masing

diambil dari diameter yang terkecil, diameter sedang, dan diameter yang terbesar.

Adapun penarikan contoh dan penetapan biomassa dari masing-masing komponen

pohon dilakukan dengan cara berikut ini (Syahrinudin, 2005):

1. Komponen batang

Batang pohon diambil dari ujung pangkal bawah hingga ujung pangkal atas,

dihilangkan semua cabang dan rantingnya, kemudian ditimbang untuk

mendapatkan berat basah dari batang pohon yang bersangkutan (BBB). Biomassa

batang pohon ditetapkan berdasarkan biomassa contoh komponen batang,

sedangkan biomassa contoh komponen batang ditetapkan dengan cara penarikan

contoh komponen batang setebal 5 cm pada pangkal, tengah dan ujung batang,

yaitu pada posisi 20%, 50% dan 80% panjang batang dari pangkal batang. Ketiga
54

contoh komponen batang ini kemudian dikuliti dan ditimbang untuk mendapatkan

berat basah kayu dan kulit contoh komponen batang (BBCBkayu) dan

(BBCBkulit).Selanjutnya contoh kayu dan kulit dibawa ke laboratorium dijadikan

potongan – potongan kecil dan dikeringkan pada temperatur 60 0C hingga

beratnya konstan untuk mendapatkan biomassa kayu dan kulit contoh komponen

batang yang bersangkutan (BKCBkayu dan BKCBkulit). Kemudian contoh

komponen kayu dan kulit batang ini dihaluskan hingga melewati saringan 60

mesh untuk selanjutnya dilakukan uji laboratorium.

2. Komponen cabang dan ranting,

seluruh komponen cabang dan ranting dikumpulkan sedemikian rupa sesuai

dengan ukuran dan peletakannya kemudian disusun dan ditimbang untuk

mendapatkan berat basah cabang dan ranting (BBC dan BBR). Dalam penelitian

ini semua percabangan yang berukuran < 2 cm dikategorikan sebagai ranting.

Contoh komponen cabang dan ranting ditarik mengikuti prosedur penarikan contoh

batang.

3. Komponen daun,

seluruh komponen daun dikumpulkan dan ditimbang untuk mendapatkan berat

basah daun dari contoh pohon yang bersangkutan (BBD). Kemudian sejumlah

komponen daun ditarik sedemikian rupa sehingga mewakili daun dari pohon yang

bersangkutan, yaitu dengan memperhatikan posisi daun secara vertikal (sepanjang

tajuk pohon) dan peletakkannya sepanjang ranting dan ditimbang untuk

mendapatkan berat basah contoh komponen daun (BBCD). Selanjutnya contoh

daun dibawa ke laboratorium dan dikeringkan pada temperatur 60 0C hingga


55

beratnya konstan untuk mendapatkan biomassa contoh komponen daun yang

bersangkutan (BKCD).

4. Komponen Akar

seluruh komponen Akar dikumpulkan dan ditimbang untuk mendapatkan berat

basah akar dari contoh pohon yang bersangkutan (BBA). Kemudian sejumlah

komponen akar ditarik sedemikian rupa sehingga mewakili akar dari pohon yang

bersangkutan, yaitu dengan memperhatikan posisi akar secara vertikal dan

peletakkannya pada pangkal batang hingga ke ujung. Ditimbang untuk

mendapatkan berat basah contoh komponen akar (BBCA). Selanjutnya contoh

akar dibawa ke laboratorium dan dikeringkan pada temperatur 60 0C hingga

beratnya konstan untuk mendapatkan biomassa contoh komponen akar yang

bersangkutan (BKCA).
56

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

1. Letak Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan pada areal konsesi izin Usaha Pemanfaatan Hasil

Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HT) PT. Surya Hutani

Jaya yang terletak di wilayah kerja distrik Sebulu, Kecamatan Sebulu, Kabupaten

Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. Secara geografis areal tersebut terletak di

antara 00o32’ Lintang Utara sampai 00o17’ Lintang Selatan dan 116o67 sampai

117o14’ Bujur Timur, dapat dilihat pada


57

Gambar 4. 1 Peta Lokasi Penelitian


58

2. Kondisi Iklim

Data iklim yang digunakan pada areal penelitian diperoleh dari Badan

Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Temindung Samarinda

yang dapat mewakili kondisi iklim di areal penelitian. Berdasarkan Sistem

Klasifikasi Iklim (SKI) Schmidt dan Ferguson (1951) diketahui bahwa di areal

penelitian Curah hujan tahunan rata-rata selama 30 tahun (1990-2019) di 2101

mm dan temperatur bulanan rata-rata 28.64 oC. Berdasarkan data curah hujan dan

temperatur termasuk dalam tipe iklim A.

4.2. Persen Hidup Tanaman Tanaman Jabon

Persentase hidup tanaman jabon setelah 1 tahun penelitian di areal PT.Surya

Hutani Jaya distrik Sebulu dengan 2 faktor yang dikombinasikan yaitu persentase

biochar (A) dan lama perendaman (B). Dan 1 perlakuan perusahaan PT. Surya

Hutani Jaya yang berkomposisi Pupuk Kompos, Pupuk Zincof, Dolomit, Pupuk

NPK, dapat dilihat pada gambar dibawah ini:


59

Berdasarkan data hasil pengamatan yang dilakukan pada pertumbuhan

tanaman Jabon terhadap kombinasi konsentrasi biochar dengan dan tanpa

pengayaan pupuk organik cair, menunjukkan bahwa persen hidup tertinggi pada

pada persentase biochar konsentrasi 5% (A2B1) dengan dan tanpa pengayaan

pupuk organik cair dengan nilai 84,52%, hal ini menunjukkan bahwa persen hidup

pada kedua perlakuan memiliki tingkat keberhasilan tumbuh sangat baik (Sutisno

dan Sugama, 1999; Kiswanto, 2008). Persen hidup terendah adalah konsentrasi

konsentrasi biochar 0% dengan dan tanpa pengayaan pupuk organik cair (A0B0 &

A0B1) dengan nilai 65,48%, tingkat keberhasilan tumbuh baik (Sutisno dan

Sugama, 1999; Kiswanto, 2008). Pada perlakuan kontrol PT. Surya Hutani Jaya

nilai persen hidup berada pada nilai 71,43% dengan tingkat keberhasilan tumbuh

baik (Sutisno dan Sugama, 1999; Kiswanto, 2008). Menurut Saidillah (2019)

pada penelitiannya pada tanaman jabon pada tingkat semai perlakuan kombinasi

antara persentase bichar dan direndam/tidak direndam memiliki respon

pertumbuhan yang sangat baik.


60

4.3. Pertumbuhan Tinggi Tanaman Jabon Antar Faktor

Hasil pengukuran pertumbuhan tinggi tanaman jabon (Anthocephalus

cadamba) data dilihat pada gambar berikut:

Tinggi Tanaman
500.00 472.23
450.00 423.11
Petumbuhan Tinggi (cm)

400.00 378.87
354.32
350.00
300.00
250.00 230.56 232.26
200.00
150.00
100.00
50.00
0.00
A0 A1 A2

Pesentase Biochar (%)

B0 B1

Gambar 4. 3 Pertumbuhan Tinggi Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba)


pada Pengukuran Terakhir.

Dapat dilihat rataan pertumbuhan tinggi tanaman Jabon (Anthocephalus

cadamba) meningkat dari awal setelah ditanam hingga pada pengukuran akhir (12

bulan setelah penanaman) hal ini sejalan dengan umur tanaman. Perbedaan antara

tinggi tanaman yang diberi perlakuan biochar dengan tinggi tanaman pada media

(tanah spodosols tanpa biochar) juga mengalami peningkatan seiring dengan

pertambahan umur tanaman. Pada gambar 4.1 pertumbuhan tinggi tanaman jabon

dengan perlakuan tanpa biochar pada kondisi tanpa pengayaan pupuk organik cair

(A0B0) dan tanpa biochar pada kondisi dengan pengayaan pupuk organik cair

(A0B1) nilai rataan pertumbuhan tinggi sebesar 230,56 cm, dan 232,26 cm. Pada

perlakuan biochar 2% dan tanpa pengayaan pupuk organik cair (A 1B0) nilai rataan

pertumbuhan tinggi sebesar 354,32 cm, pada persentase jumlah pemberian biochar
61

yang sama dengan biochar 2% dengan pengayaan pupuk organik cair (A1B1)

dengan nilai rataan pertumbuhan tinggi sebesar 378,87 cm. pada perlakuan

biochar 5% tanpa pengayaan pupuk organik cair (A 2B0) nilai rataan pertumbuhan

tinggi sebesar 423,11 cm, pada jumlah perlakuan persentase yang sama yaitu

biochar 5% dengan pengayaan pupuk organik cair (A 2B1) dengan nilai rataan

pertumbuhan tinggi sebesar 472,23 cm.

Nilai rataan pertumbuhan tinggi tanaman jabon yang terendah adalah

perlakuan A0B0 dengan nilai 230,56 cm, dan nilai pertambahan tinggi tanaman

jabon yang tertinggi adalah perlakuan A2B1 dengan nilai 472,23 cm. hal ini

membuktikan bahwa pemberian biochar dengan pengayaan pupuk organik cair

pada tanaman jabon yang ditanam pada jenis tanah spodosols memiliki pengaruh

terhadap pertumbuhan tanaman jabon. Pada prinsip dasarnya hal ini sejalan

dengan penelitian Krisdianto N, (2019) menyebutkan bahwa pemberian biochar

yang mengalami pengayaan pada tanaman jabon di tingkat semai dapat

menigkatkan pertumbuhan tinggi secara signifikan. Untuk mengetahui lebih lanjut

mengenai pengaruh pemberian biochar dengan perendaman maupun tanpa

perendaman pada penelitian ini maka dilakukan analisis sidik ragam pertumbuhan

tinggi jabon, berikut hasil analisis sidik ragam pertumbuhan tinggi jabon pada

Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Analisis Keragaman Respon Pertumbuhan Tinggi Jabon


(Anthocephalus cadamba) terhadap Jenis Tanah Spodosols
Deraja F-tabel
Sumber
t JK KT F-Hitung
Keragaman 0,05 0,01
Bebas
Persentase 182,88*
2 143233,055 71616,527 3,89 6,93
Biochar (A) *
Pengayaan POC
1 2839,816 2839,816 7,25* 4,75 8,40
(B)
62

AxB 2 1688,192 844,096 2,16 3,89 6,93


Galat 12 4699,221 391,602
Total 17
Keterangan : A = Persentase Biochar, B = Perendaman/tanpa Perendaman

Hasil uji sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pemberian biochar

pada tanaman jabon berpengaruh sangat signifikan terhadap pertumbuhan tinggi

tanaman jabon, kemudian hasil uji keragaman untuk perlakuan dengan dan tanpa

pengayaan pupuk organik cair memberikan pengaruh yang signifikan. Dengan

begitu perlu diuji lanjutan dengan uji LSD (beda nyata terkecil), berikut hasil dari

uji LSD (beda nyata terkecil) pemberian biochar dengan pengayaan nutrisi

tanaman berupa perendaman mengguanakan pupuk organik cair terhadap

pertumbuhan tinggi tanaman jabon pada Tabel 4.2. dan Tabel 4.3.

Tabel 4. 2 Hasil Pengujian LSD Pemberian Biochar Terhadap Pertumbuhan


Tinggi Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba)
Perlakuan Nilai Tinggi (cm) Notasi
A0 231,41 a
A1 366,60 b
A2 447,67 c
Nilai LSD 35,20
Keterangan : A =Persentase Biochar (A0=Tanpa Biochar, A1=Biochar 2%, A2=Biochar 5%)

Hasil uji LSD (beda nyata terkecil) menunjukkan bahwa semua perlakuan

berbeda nyata antara control A0. Pada akhirnya pengaruh yang diberikan bersifat

positif karena nilai pertumbuhan tinggi semua perlakuan lebih tinggi apabila

dibandingkan dengan tanpa biochar. Pengaruh pemberian biochar terbaik terdapat

pada perlakuan A2 dengan nilai tinggi pertumbuhan sebesar 447,67 cm, menurut

Syarinudin, (2020) dalam jurnalmya menyebutkan bahwa pemberian biochar

sebagai bahan pembenah tanah yang diperkaya oleh nutrisi dapat memberikan

efek pertumbuhan yang signifikan terhadap tanaman dan bersifat berkelanjutan.


63

4.4. Pertumbuhan Diameter Tanaman Jabon Antar Faktor


Hasil pengukuran pertumbuhan diameter tanaman jabon (Anthocephalus

cadamba) data dilihat pada gambar berikut:

Diameter Tanaman
9.00
7.94
Pertumuhan Diameter (cm)

8.00 7.63
6.94 7.09
7.00
6.00 5.12
5.00 4.67
4.00
3.00
2.00
1.00
0.00
A0 A1 A2

Persentase Biochar (%)

B0 B1

Gambar 4. 5 Pertumbuhan Diameter Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba)


pada Pengukuran Terakhir.

Dapat dilihat rataan pertumbuhan diameter tanaman Jabon (Anthocephalus

cadamba) meningkat dari awal setelah ditanam hingga pada pengukuran akhir (12

bulan setelah penanaman) hal ini sejalan dengan umur tanaman. Perbedaan antara

diameter tanaman yang diberi perlakuan biochar dengan diameter tanaman pada

media tanah spodosols tanpa biochar juga mengalami peningkatan seiring dengan

pertambahan umur tanaman. Pada gambar 4.4 pertumbuhan diameter tanaman

jabon dengan perlakuan tanpa biochar dan tanpa pengayaan pupuk organik cair

(A0B0) dan tanpa biochar dengan pengayaan pupuk organik cair (A0B1) nilai rataan

pertumbuhan diameter sebesar 4,67 cm, dan 5,12 cm. Pada perlakuan biochar 2%

dan tanpa pengayaan pupuk organik cair (A1B0) nilai rataan pertumbuhan diameter

sebesar 6,94 cm, pada persentase jumlah pemberian biochar yang sama dengan

biochar 2% dengan pengayaan pupuk organik cair (A 1B1) dengan nilai rataan
64

pertumbuhan diameter sebesar 7,09 cm. pada perlakuan biochar 5% tanpa

pengayaan pupuk organik cair (A2B0) nilai rataan pertumbuhan diameter sebesar

7,63 cm, pada jumlah perlakuan persentase yang sama yaitu biochar 5% dengan

pengayaan pupuk organik cair (A2B1) dengan nilai rataan pertumbuhan diameter

sebesar 7,94 cm.

Nilai rataan pertumbuhan diameter tanaman jabon yang terendah adalah

perlakuan A0B0 dengan nilai 4,67 cm, dan nilai pertambahan tanaman jabon yang

tertinggi adalah perlakuan A2B1 dengan nilai 7,94 cm. hal ini membuktikan bahwa

pemberian biochar dengan pengayaan pupuk organik cair pada tanaman jabon

yang ditanam pada jenis tanah spodosols memiliki pengaruh terhadap

pertumbuhan tanaman jabon. Pada prinsip dasarnya hal ini sejalan dengan

penelitian Saidillah M, (2019) menyebutkan bahwa pemberian biochar yang

mengalami pengayaan pada tanaman jabon di tingkat semai dapat menigkatkan

pertumbuhan diameter secara signifikan. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai

pengaruh pemberian biochar dengan perendaman maupun tanpa perendaman pada

penelitian ini maka dilakukan analisis sidik ragam pertumbuhan diameter jabon,

berikut hasil analisis sidik ragam pertumbuhan diameter jabon pada Tabel 4.6.

Tabel 4.3 Analisis Keragaman Respon Pertumbuhan Diameter Jabon


(Anthocephalus cadamba) terhadap Jenis Tanah Spodosols.
Sumber Derajat F-tabel
JK KT F-Hitung
Keragaman Bebas 0,05 0,01
Persentase 401,11*
2 27,004 13,502 3,89 6,93
Biochar (A) *
Lama
1 0,411 0,411 12,21** 4,75 8,40
Perendaman (B)
AxB 2 0,069 0,035 1,03 3,89 6,93
Galat 12 0,404 0,034
Total 17 27,888
Keterangan : A = Persentase Biochar, B = Perendaman/tanpa Perendaman
65

Hasil uji sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pemberian biochar

pada tanaman jabon berpengaruh sangat signifikan terhadap pertumbuhan

diameter tanaman jabon, kemudian hasil uji keragaman untuk perlakuan dengan

dan tanpa pengayaan pupuk organik cair juga memberikan pengaruh yang sangat

signifikan. Dengan begitu perlu diuji lanjutan dengan uji LSD (beda nyata

terkecil), berikut hasil dari uji LSD (beda nyata terkecil) pemberian biochar

dengan pengayaan nutrisi tanaman berupa perendaman menggunakan pupuk

organik cair terhadap pertumbuhan diameter tanaman jabon pada Tabel 4.7. dan

Tabel 4.8.

Tabel 4. 4 Hasil Pengujian LSD Pemberian Biochar Terhadap Pertumbuhan


Diameter Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba).
Perlakuan Nilai Diameter (cm) Notasi
A0 4,89 a
A1 7,02 c
A2 7,79 c
Nilai LSD 0,33
Keterangan : A =Persentase Biochar (A0=Tanpa Biochar, A1=Biochar 2%, A2=Biochar 5%)

Hasil uji LSD (beda nyata terkecil) menunjukkan bahwa semua perlakuan

berbeda nyata antara control A0. Pada akhirnya pengaruh yang diberikan bersifat

positif karena nilai pertumbuhan diameter semua perlakuan lebih tinggi apabila

dibandingkan dengan kontrol. Pengaruh pemberian biochar terbaik terdapat pada

perlakuan A2 dengan nilai diameter pertumbuhan sebesar 7,79 cm, menurut

Syahrinudin, (2020) dalam jurnalmya menyebutkan bahwa pemberian biochar

sebagai bahan pembenah tanah yang diperkaya oleh nutrisi dapat memberikan

efek pertumbuhan yang signifikan terhadap tanaman dan bersifat berkelanjutan.


66

4.5. Pertumbuhan Tinggi Tanaman Jabon Antar Perlakuan

Pertumbuhan Tinggi Tanaman Jabon


(Anthocephalus cadamba)
500.0 472.2
Tinggi Tanaman (cm)

450.0 423.1
400.0 378.9
354.3 344.3
350.0
300.0
250.0 230.6 232.3
200.0
150.0
100.0
50.0
0.0
A0B0 A1B0 A2B0 A0B1 A1B1 A2B1 KONTROL

Perlakuan

Gambar 4. 4 Pengukuran Pertumbuhan Tinggi Tanaman Jabon (Anthocephalus


cadamba).

Dapat dilihat pada gambar 4.4 merupakan hasil pengukuran terakhir

tanaman jabon (Anthocephalus cadamba) tinggi tanaman perlakuan perusahaan

dengan nilai 344,3 cm lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan tinggi perlakuan

A0B1 dengan nilai 232,2 cm, namun tidak lebih tinggi dibandingkan dengan

perlakuan A1B0 dengan nilai 354,3 cm. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai

pengaruh antar perlakuan pada penelitian ini maka dilakukan analisis sidik ragam

Rancangan Acak Lengkap (One-Way Anova) pertumbuhan tinggi jabon, berikut

hasil analisis sidik ragam pertumbuhan tinggi jabon pada Tabel 4.4.
67

Tabel 4.5 Analisis Sidik Ragam Pertumbuhan Tinggi Tanaman Jabon


(Anthocephalus cadamba) Antar Perlakuan
Sumber Deraja F-tabel
F-
Keragama t JK KT
Hitung 0,05 0,01
n Bebas
Antar 147806,82 24634,47 67,772* 2,84772599 4,4558
6
Perlakuan 0 0 * 6 2
Galat 14 5088,838 363,488
Total 152895,65
20
8

Hasil uji sidik ragam menunjukkan bahwa antar perlakuan tanaman jabon

berpengaruh sangat signifikan terhadap pertumbuhan tinggi tanama jabon, maka

perlu diuji lanjutan dengan uji LSD (beda nyata terkecil), berikut hasil dari uji

LSD (beda nyata terkecil) untuk mengetahui pengaruh antar perlakuan terhadap

pertumbuhan tinggi tanaman jabon pada Tabel 4.5.

Tabel 4.6 Hasil Pengujian LSD Antar Perlakuan Terhadap Pertumbuhan Tinggi
Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba)
Perlakuan Nilai tinggi (cm) Notasi
A0B0 230,6 a
A0B1 232,3 a
A1B0 354,3 b
A1B1 378,9 bc
A2B0 423,1 c
A2B1 472,2 d
Kontrol 344,3 b
Nilai LSD 35,2
Keterangan : A =Persentase Biochar (A0=Tanpa Biochar, A1=Biochar 2%, A2=Biochar 5%),
B = Dengan Dan Tanpa Pengayaan Pupuk Organik Cair (B0=Tanpa
Perendaman, B1=Dengan Perendaman), Kontrol =Perlakuan Perusahaan PT
Surya Hutani Jaya.

Pada tabel 4.5 hasil Uji Beda Nyata Terkecil (LSD) antar perlakuan

terhadap pertumbuhan tinggi tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba) bahwa

perlakuan kontrol memiliki pengaruh yang nyata dan positif terhadap antar

perlakuan lainnya, perlakuan perusahaan memiliki nilai tinggi sebesar 344,3 cm.

lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan tinggi perlakuan A0B1 dengan nilai 232,2
68

cm, namun tidak lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan A1B0 dengan nilai

354,3 cm.

4.6. Pertumbuhan Tinggi Tanaman Jabon Antar Perlakuan

Pertumbuhan Diameter Tanaman Jabon


(Anthocephalus cadamba)
9.00
7.63 7.94
8.00 7.09
6.94
Diameter Tanaman (cm)

7.00 6.54
6.00 5.12
5.00 4.67
4.00
3.00
2.00
1.00
0.00
A0B0 A0B1 A1B0 A1B1 A2B0 A2B1 KONTROL

Perlakuan

Gambar 4. 6 Pengukuran Pertumbuhan diameter Tanaman Jabon


(Anthocephalus cadamba).

Dapat dilihat pada gambar 4.5 merupakan hasil pengukuran terakhir

tanaman jabon (Anthocephalus cadamba) diameter tanaman perlakuan perusahaan

dengan nilai 6,54 cm lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan diameter perlakuan

A0B1 dengan nilai 5,12 cm, namun tidak lebih tinggi dibandingkan dengan

perlakuan A1B0 dengan nilai 6,94 cm. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai

pengaruh antar perlakuan pada penelitian ini maka dilakukan analisis sidik ragam

Rancangan Acak Lengkap (One-Way Anova) pertumbuhan diameter jabon,

berikut hasil analisis sidik ragam dapat dilihat pada Tabel 4.9.

Tabel 4. 7Analisis Sidik Ragam Pertumbuhan diameter Tanaman Jabon


(Anthocephalus cadamba) Antar Perlakuan
Sumber Derajat F-tabel
JK KT F-Hitung
Keragaman Bebas 0,05 0,01
69

Antar 138,715*
6 27,485 4,581 2,847725996 4,45582
Perlakuan *
Galat 14 0,462 0,33
Total 20 27,948
Hasil uji sidik ragam menunjukkan bahwa antar perlakuan tanaman jabon

berpengaruh sangat signifikan terhadap pertumbuhan diameter tanaman jabon,

maka perlu diuji lanjutan dengan uji LSD (beda nyata terkecil), berikut hasil dari

uji LSD (beda nyata terkecil) untuk mengetahui pengaruh antar perlakuan

terhadap pertumbuhan diameter tanaman jabon pada Tabel 4.10.

Tabel 4.8 Hasil Pengujian LSD Antar Perlakuan Terhadap Pertumbuhan


Diameter Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba)
Perlakuan Nilai tinggi (cm) Notasi
A0B0 4,67 a
A0B1 5,12 b
A1B0 6,94 c
A1B1 7,09 c
A2B0 7,63 d
A2B1 7,94 d
Perl. Perusahaan 6,54 c
Nilai LSD 0,34
Keterangan : A =Persentase Biochar (A0=Tanpa Biochar, A1=Biochar 2%, A2=Biochar 5%),
B =Dengan Dan Tanpa Pengayaan Pupuk Organik Cair (B0=Tanpa Perendaman,
B1=Dengan Perendaman), Konrol =Perlakuan Perusahaan.

Pada tabel 4.10 hasil Uji Beda Nyata Terkecil (LSD) antar perlakuan

terhadap pertumbuhan diameter tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba) bahwa

perlakuan perusahaan memiliki pengaruh yang nyata dan positif terhadap antar

perlakuan lainnya, perlakuan perusahaan memiliki nilai diameter sebesar 6,54 cm.

lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan diameter perlakuan A0B1 dengan nilai

5,12 cm, namun tidak lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan A1B0 dengan

nilai 6,94 cm, hal ini menunjukkan bahwa perlakuan perusahaan lebih baik

dibandingkan dengan perlakuan A0B0 dan A0B1.


70

4.7. Potensi Biomassa Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba)

Kandungan biomassa pohon merupakan penjumlahan dari kandungan

biomassa tiap komponen pohon yang merupakan gambaran total material organik

hasil dari fotosintesis. Melalui proses fotosintesis, CO 2 di udara diserap oleh

tanaman dengan bantuan sinar matahari, kemudian diubah menjadi karbohidrat,

selanjutnya didistribusikan ke seluruh tubuh tanaman dan ditimbun dalam bentuk

daun, batang, cabang, buah dan bunga (Hairiah dan Rahayu, 2007). Dalam

penelitian ini, perhitungan biomassa meliputi komponen pohon yang masih hijau

(hidup), yaitu: akar, batang, daun, pada tabel 4.11.

Tabel 4.9 Kandungan Biomassa Tiap Komponen Pohon dan Potensi Biomassa
Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba)
Kandungan Biomassa per Komponen Pohon
Potensi
(kg)
Perlakuan N/ha Biomassa
Akar Batang Daun Jumlah (ton/ha)
A0B0 0,34 0,42 0,42 1,19 1008 1,20
A0B1 0,71 0,88 0,88 2,46 1008 2,48
A1B0 1,17 1,15 1,15 3,48 1008 3,51
A1B1 1,20 1,23 1,23 3,66 1008 3,69
A2B0 1,59 1,62 1,62 4,84 1008 4,88
A2B1 1,69 2,55 2,55 6,79 1008 6,85
Perl. Perusahaan 0,73 0,60 0,60 1,93 1008 1,94
Rata-rata 1,06 1,21 1,21 3,48 1008 3,51
Dari Tabel 4.11 dapat diketahui potensi biomassa tanaman jabon

(Anthocephalus cadamba) pada setiap masing - masing perlakuan berkisar antara

1,20 ton/ha - 6,85 ton/ha, dengan rata-rata 3,51 ton/ha. Kandungan biomassa

tertinggi terdapat pada perlakuan A2B1 dengan jumlah total 6,79 kg dengan

potensi biomassa sebesar 6,8 ton/ha dan kandungan biomassa terendah tedapat

pada perlakuan A0B0 sebesar 1,19 kg dengan potensi biomassa sebesar 1,20

ton/ha, hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Basuki, Dkk (2011)
71

menyimpulkan bahwa pemberian nutrisi pada tanah yang ditanami jabon

(Anthocephalus cadamba) dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman terutama

pada jumlah biomassa tanaman jabon (Anthocephalus cadamba).


72

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Respon pertumbuhan awal tanaman Anthocephalus cadamba yang

ditanam di tanah spodosols dengan berbagai dosis biochar yang

mengalami pengayaan berupa direndam pupuk organik cair selama 24 jam

dapat meningkatkan dan mempengaruhi pertumbuhan tinggi, diameter,

dan biomassa tanaman jabon (Anthocephalus cadamba) secara signifikan.

2. Dosis optimal biochar dan pengayaan nutrisi tanaman dengan pupuk

organik cair bagi pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman jabon

(Anthocephalus cadamba) yang ditanam di tanah spodosols terdapat pada

perlakuan biochar 5% dengan perendaman pupuk organk cair selama 24

jam, dan diikuti dengan perlakuan biochar 5% tanpa perendaman.

5.2. Saran

Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai studi kandungan unsur hara

dari sebelum penanaman dan sesudah penanaman, agar lebih mendalam

bahwa factor pengayaan juga memebrikan efek pertumbuhan tanaman jabon

(Anthocephalus cadamba).
73

DAFTAR PUSTAKA

Abdulah, L., Mindawati, N., Kosasih, A. S., & Darwo. (2013). Evaluasi
pertumbuhan awal jabon (Neolamarckia cadamba Roxb at Private Forest ).
Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 10(3), 119–128.

Addo-danso, S. D., Prescott, C. E., & Smith, A. R. (2015). Forest Ecology and
Management Methods for estimating root biomass and production in forest
and woodland ecosystem carbon studies : A review. FOREST ECOLOGY
AND MANAGEMENT. https://doi.org/10.1016/j.foreco.2015.08.015

B, B. A., CHAIRUNNAS, ., & AZIS, A. (2016). Pengaruh Media Tumbuh


Biochar Sekam Padi Terhadap Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit. Buletin
Palma, 16(2), 195. https://doi.org/10.21082/bp.v16n2.2015.195-202

Calvert, C. S., Buol, S. W., & Weed, S. B. (1980). Mineralogical Characteristics


and Transformations of a Vertical Rock‐Saprolite‐Soil Sequence in the North
Carolina Piedmont: I. Profile Morphology, Chemical Composition, and
Mineralogy. May, 1096–1103.

Chrom, B.-, Dyst, B.-, Eut, B.-, Cam, B.-F., Cam, B.-G., Vert, B.-, Nas, E.-R.,
Chernozems, C.-, & Stosols, O.-H. I. (2007). Digit al Soil Map of t he World.
2007.

Dilday, R. H., Lin, J., & Yan, W. (1994). Identification of allelopathy in the usda-
ars rice germplasm collection. Australian Journal of Experimental
Agriculture, 34(7), 907–910. https://doi.org/10.1071/EA9940907

Endriani;, Sunarti;, & Ajidirman. (2013). Pemanfaatan Biochar Cangkang Kelapa


Sawit Sebagai Soil Amandement Ultisol Sungai Bahar Jambi. Jurnal
Penelitian Universitas Jambi Seri Sains, 15, 39–43.

Herman, W. (2018). KETERSEDIAAN HARA TANAH ORDO ULTISOL


Biochar Formulation and Titanium Compost on The Availability of Soil
Nutrients Ultisol Order. Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian,
Universitas Tamansiswa Jalan Tamansiswa No. 09, Padang, 25138,
7(April), 56–63.

Kenzo, T., Himmapan, W., Yoneda, R., & Tedsorn, N. (2020). Forest Ecology
and Management General estimation models for above- and below-ground
biomass of teak ( Tectona grandis ) plantations in Thailand. Forest Ecology
and Management, 457(August 2019), 117701.
https://doi.org/10.1016/j.foreco.2019.117701

Lehmann, J. (2007). A handful of carbon. Nature, 447(7141), 143–144.


https://doi.org/10.1038/447143a
74

Maguire, R. O., & Agblevor, F. A. (2010). Biochar in Agricultural Systems What


Is Biochar and How Is It Will Biochar Always Increase Soil Feedstock
Material for Biochar. Virginia Cooperative Extension, 442–311, 1–2.

Major, J., Rondon, M., Molina, D., Riha, S. J., & Lehmann, J. (2010). Maize yield
and nutrition during 4 years after biochar application to a Colombian savanna
oxisol. Department of Crop and Soils Sciences, Cornell University, Ithaca,
NY 14853,USA, 333(1), 117–128. https://doi.org/10.1007/s11104-010-0327-0

McKeague, J. A., DeConinck, F., & Franzmeier, D. P. (1983). Chapter 6


Spodosols. Developments in Soil Science, 11(PART B), 217–252.
https://doi.org/10.1016/S0166-2481(08)70617-2

Mokma, D. L. (1982). Podzols and podzolization in temperate regions. 134.

Muhajir, Muslimin, & Umar, H. (2015). Pertumbuhan Semai Jati (Tectona grandis
L.f) pada Perbandingan Media Tanah dan Pupuk Organik Limbah Kulit
Kakao. Jurnal Warta Rimba, 3(2), 80–87.
http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/WartaRimba/article/view/6353

Nelson, N. O., Agudelo, S. C., Yuan, W., & Gan, J. (2011). Nitrogen and
phosphorus availability in biochar-amended soils. Department of Agronomy,
Kansas States University, Manhattan, KS 66506, 176(5), 218–226.
https://doi.org/10.1097/SS.0b013e3182171eac

Nurida, N. L. (2014). Potensi Pemanfaatan Biochar Untuk Rehabilitasi Lahan


Kering Di Indonesia. Jurnal Sumberdaya Lahan, 8(3), 57–68.
https://doi.org/10.2018/jsdl.v8i3.6503

Pari, S. K. G. (2012). Pertumbuhan Jabon Dan Sengon. 12(1), 1–6.

Riyanto, D., Widodo, S., & Sukristiyonubowo, S. (2019). The Application of


Biochar and Biofertilizer for Improving Rainfed Lowland and Rice
Productivity on Gunungkidul Regency. Prosiding Seminar Nasional Lahan
Suboptimal, 978–979.

Santi, L. ., & Goenadi, D. . (2012). Pemanfaatan Biochar Asal Cangkang Kelapa


Sawit Sebagai Bahan Pembawa Mikroba Pemantap Agregat. Jurnal Buana
Sains, 12(1), 7–14.

Suharta, N., & Yatno, E. (2009). Karakteristik spodosols, kendala dan potensi
penggunaannya. Jurnal Sumberdaya Lahan, 3(1), 1–14.

Syahrinudin, Wijaya, A., Butarbutar, T., & Hartati, W. (2018). Biochar Yang
Diproduksi Dengan Tungku Drum Tertutup Retort. Jurnal Hutan Tropis
Ulin, Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda, 2(1), 49–
58.

Syarovy, M., Ginting, E. N., Wiratmoko, D., & Santoso, H. (1970). Optimalisasi
Pertumbuhan Tanaman Kelapa Sawit Di Tanah Spodosol. Jurnal Pertanian
75

Tropik, 2(3), 340–347. https://doi.org/10.32734/jpt.v2i3.2942

Tomasz, G., Palmowska, J., Zaleski, T., & Gondek, K. (2016). Geoderma Effect
of biochar application on soil hydrological properties and physical quality
of sandy soil. 281, 11–20. https://doi.org/10.1016/j.geoderma.2016.06.028

Vinet, L., & Zhedanov, A. (2011). A “missing” family of classical orthogonal


polynomials. Journal of Physics A: Mathematical and Theoretical, 44(8),
1689–1699. https://doi.org/10.1088/1751-8113/44/8/085201

Yamato, M., Okimori, Y., Wibowo, I. F., Anshori, S., & Ogawa, M. (2006).
Effects of the application of charred bark of Acacia mangium on the yield of
maize, cowpea and peanut, and soil chemical properties in South Sumatra,
Indonesia. Soil Science and Plant Nutrition, 52(4), 489–495.
https://doi.org/10.1111/j.1747-0765.2006.00065.x

Yuni Aulia Agustina, Nopi Stiyati Prihatni, B. J. P. (2016). Pengaruh Biochar


Dari Limbah Sekam Padi Dan Tandan Kelapa Sawit Terhadap Sifat Kimia
Tanah Sulfat Masam. Jurnal Pertanian, Studi Ilmu Tanah, Fakultas
Pertanian, ULM JL. A. Yani Km 36, Banjarbaru, Kalimantan Selatan,
70714, Indonesia, 1–15.

Zhang, C., Liu, L., Zhao, M., Rong, H., & Xu, Y. (2018). The environmental
characteristics and applications of biochar.
76
77

LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Suhu Bulanan (0C) Tahun 1990-2019


TAHUN JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGU SEP OKT NOV DES
1990 26,42 27,07 26,73 27,16 26,76 26,53 25,87 26,22 26,29 26,69 26,48 26,56
1991 26,57 26,49 26,89 26,98 26,56 26,94 25,91 26,58 26,63 26,82 26,61 27,03
1992 26,87 27,26 27,99 27,68 26,98 26,45 26,29 26,48 26,28 27,7 26,14 26,21
1993 26,94 26,43 27,14 26,81 26,7 26,56 26,32 26,22 26,23 26,3 26,62 26,97
1994 26,22 - 26,34 26,34 26,55 26,36 26,47 26,45 26,84 26,3 27,05 26,62
1995 27,39 - 27,13 27,16 27,25 26,95 26,32 26,45 26,71 27,26 26,94 -
1996 26,07 26,37 27,3 27,31 27,3 26,28 26,63 26,37 26,93 26,83 - -
1997 26,77 26,42 26,97 27,15 27,61 27,38 27,26 27,33 27,57 27,54 27,49 28,54
1998 28,86 29,34 29,79 30,29 28,13 27,64 27,34 27,1 27,65 27,6 27,45 26,78
1999 27,23 27,02 27,11 27,31 26,57 26,49 26,63 26,71 26,56 26,87 26,9 27,36
2000 26,83 26,64 26,91 26,96 27,23 26,44 26,79 27,23 - - - 27,51
2001 26,84 27,08 26,92 27,37 27,18 27,44 26,78 27,42 26,86 27,57 - 27,36
2002 27,52 27,53 27,06 27,67 27,62 27,01 27,25 27,18 27,42 27,82 27,35 28,13
2003 27,38 27,68 27,01 27,28 - 27,33 - 27,01 - - - -
2004 27,5 26,91 27,44 27,37 27,36 27,53 26,48 26,99 26,99 28,24 27,61 27,02
2005 27,17 28 27,96 26,44 27,28 27,04 27,25 27,4 27,68 27,32 26,9 26,85
2006 26,98 27,54 27,56 27,37 27,2 26,68 27,75 27,02 27,14 27,59 27,34 27,86
2007 27,04 27,31 27,55 27,69 27,27 27,28 26,65 27,01 27,4 27,28 27,25 27,4
2008 26,97 27,6 26,1 26,89 27,19 26,59 26,3 26,35 27,01 27,23 27,21 26,91
2009 26,9 27,55 27,02 27,34 27,59 27,52 27,07 27,72 28,46 27,38 27,69 27,74
2010 27,47 28,68 28,5 28,09 28,11 27,39 27,15 27,17 27,26 27,56 27,23 27,21
78

2011 27,05 26,85 27,08 27,42 27,52 27,46 26,94 27,73 27,3 27,29 27,7 27,17
2012 27,04 27,33 27,64 27,35 27,69 27,28 27,03 27,26 27,92 27,87 27,61 27,77
2014 27,27 27,67 27,73 27,9 27,69 27,46 27,85 27,1 27,96 28,51 27,69 27,49
2015 26,99 27,02 27,49 27,88 27,86 27,48 27,56 28,06 28,55 28,9 28,4 28,61
2016 28,76 29,06 28,99 29,01 28,76 27,62 27,76 27,92 27,42 27,58 27,67 27,51
2017 27,4 27,91 27,62 27,28 27,68 27,4 27,75 27,25 27,73 28,32 28,14 28,04
2018 27,48 27,58 27,91 27,78 27,91 27,81 27,87 28,01 28,13 27,84 27,9 28,24
2019 27,77 28,47 28,4 28,56 28,28 27,67 27,75 27,9 28,5 27,99 28,15 27,81
RATA-
27,16 25,55 27,56 27,51 26,48 27,10 26,04 27,09 25,43 25,59 23,57 24,58
RATA
Keterangan : (-) tidak ada data

Lampiran 2. Data Curah Hujan Bulanan (mm) Tahun 1990-2019


TAHUN JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGU SEP OKT NOV DES
121,
1990 254 264 115,4 74 437,6 156,4 149,3 221 214,2 145 167
7
1991 151 161 239 130 379 113 17 48 29 82 278 194
1992 42 43 22 130 217 172 152 84 221 166 149 133
1993 88 188 165 125 229 194 88 117 102 125 132 221
1994 319 0 243 380 230 249 75 45 42 144 96 318
1995 194,8 0 89,9 296 178 330 335,5 201 217,5 0 406,8 0
1996 264,6 335 250 152,8 254 228 79 269 159 254 0 0
1997 283,2 413,4 157,4 147,4 105,4 82,6 46,6 8 4 56,5 127,7 187
187,
1998 15,3 2,5 0 110,8 176,2 363,3 147,9 121,3 241,2 220,8 339
9
203,
1999 184,6 286,8 217,4 180,4 170,5 121,3 129,8 226,5 281,6 0 264,2
7
79

2000 163,1 267,2 275,8 147,5 249,4 279,4 116,2 101 0 0 0 168,7
2001 158,4 0 288,3 157,5 220,1 109,7 86,7 26,4 167,7 134,1 0 112,1
2002 169,4 63,6 284,4 0 130 165,3 77,4 32,7 73,5 138,1 101,7 181,9
2003 250,1 157,9 417,3 135,7 0 0 0 95,6 0 0 0 0
2004 339,7 224,3 401,6 384,8 367,6 55,4 100,1 0 171,7 2,1 280,9 245,6
145,
2005 200,7 83,9 215,4 345,3 199,4 98,6 271 94,1 345,6 284,4 347,9
4
2006 212,8 207,4 234 148,1 220,7 180,8 13,1 97,5 109 69,6 138,5 110
133,
2007 306,8 220,4 260,3 339,7 112,3 213,4 278,5 208,3 181,4 188,7 141,2
5
147,
2008 207,6 194,4 206,7 259,4 50,9 205,2 268,6 153,4 215,4 501,2 349,7
7
123,
2009 166,1 58,9 283,9 314,8 186,5 42,9 157,8 98,5 232,3 201,6 205
5
2010 176,7 157,2 150,9 222 210,3 340,4 258,3 164 230,6 235,9 206,8 224
124,
2011 261,9 173,2 233,9 331,6 287,4 95,2 238,1 131,9 218,4 196,7 244,3
2
2012 326,9 213,6 258,1 370,5 152 171,1 138,6 140 109,9 116,6 293,4 220,3
2014 257,2 197,2 315,2 126,1 277,2 169,1 83,5 81,3 53 97 307,1 467,5
2015 346,3 146,6 198,8 380,3 229,2 258,3 154,5 57,6 0 76,5 70,4 198,4
101,
2016 157,8 102,8 117,5 382,7 243,7 157,8 170,8 266,8 184,9 292,4 355,6
1
237,
2017 162,5 140,8 88,1 341,6 310,8 315,3 164 106,5 151,6 219,8 222,3
4
2018 217,7 97,8 155,5 182,1 508,4 198,4 125,2 50,7 127,4 152,9 126,9 58,6
2019 107,1 20,1 198,6 142,7 198,7 264,6 52,7 63,4 47,5 197,4 131,5 401,7
RATA- 110,
206,4 152,4 209,8 222,0 225,2 183,8 137,1 120,5 148,8 175,8 209,6
RATA 6
Keterangan : (0) tidak ada hujan
80
81

Lampiran 3. Data Pertumbuhan Rataan Diameter (cm) Tanaman Jabon (Anthocephalus


cadamba).
kode DIAMETER
sampel Pengukuran 0 Pengukuran 1 Pengukuran 2 Pengukuran 3
A0B0 - 1 0,27 0,34 0,71 4,84
A0B0 - 2 0,25 0,33 1,06 4,63
A0B0 - 3 0,27 0,33 1,03 4,53
Rataan 0,26 0,33 0,93 4,67
A1B0 - 1 0,27 0,33 0,81 4,97
A1B0 - 2 0,24 0,34 0,89 5,23
A1B0 - 3 0,23 0,33 1,12 5,15
Rataan 0,25 0,33 0,94 5,12
A0B1 - 1 0,26 0,34 1,20 6,95
A0B1 - 2 0,25 0,34 1,14 6,73
A0B1 - 3 0,25 0,33 1,27 7,15
Rataan 0,25 0,34 1,20 6,94
A1B1 - 1 0,28 0,34 1,26 7,01
A1B1 - 2 0,25 0,33 1,23 7,23
A1B1 - 3 0,27 0,33 1,12 7,03
Rataan 0,27 0,33 1,20 7,09
A0B2 - 1 0,25 0,34 1,47 7,82
A0B2 - 2 0,24 0,33 1,35 7,43
A0B2 - 3 0,27 0,35 0,97 7,65
Rataan 0,25 0,34 1,26 7,63
A1B2 - 1 0,26 0,34 1,75 8,12
A1B2 - 2 0,28 0,33 1,14 8,23
A1B2 - 3 0,26 0,34 1,79 8,08
Rataan 0,27 0,33 1,56 8,14
K1 - 1 0,25 0,40 1,56 6,52
K1 - 2 0,27 0,39 1,57 6,38
K1 - 3 0,26 0,36 1,35 6,72
Rataan 0,26 0,38 1,49 6,54
82

Lampiran 4. Data Pertumbuhan Rataan Tinggi (cm) Tanaman Jabon (Anthocephalus


cadamba).
kode TINGGI
sampel Pengukuran 0 Pengukuran 1 Pengukuran 2 Pengukuran 3
A0B0 - 1 27,34 31,35 47,67 250,59
A0B0 - 2 27,34 31,57 45,88 212,45
A0B0 - 3 28,43 31,40 43,94 228,65
Rataan 27,70 31,44 45,83 230,56
A1B0 - 1 28,81 30,87 40,75 258,89
A1B0 - 2 28,31 31,45 46,82 210,67
A1B0 - 3 27,33 31,33 53,88 227,21
Rataan 28,15 31,21 47,15 232,26
A0B1 - 1 27,33 31,49 50,91 358,29
A0B1 - 2 27,56 31,20 51,35 377,47
A0B1 - 3 27,34 31,26 57,35 327,21
Rataan 27,41 31,32 53,21 354,32
A1B1 - 1 27,56 31,23 61,08 371,39
A1B1 - 2 27,34 31,35 55,69 363,56
A1B1 - 3 28,55 31,66 46,00 401,65
Rataan 27,82 31,41 54,26 378,87
A0B2 - 1 27,56 31,46 40,43 431,89
A0B2 - 2 27,34 31,20 74,06 423,87
A0B2 - 3 28,55 31,44 54,19 413,56
Rataan 27,82 31,36 56,22 423,11
A1B2 - 1 28,55 31,20 73,32 481,87
A1B2 - 2 27,84 31,58 50,00 453,97
A1B2 - 3 28,45 31,13 74,15 480,86
Rataan 28,28 31,30 65,82 472,23
K1 - 1 28,28 33,87 50,91 351,44
K1 - 2 28,55 31,96 51,43 353,32
K1 - 3 28,41 34,26 57,48 328,26
Rataan 28,41 33,36 53,27 344,34
83

Lampiran 5. Peta Area Studi PT Surya Hutani Jaya, Kecamatan Sebulu, Kabupaten
Kutai Kertanegara Kalimantan Timur

Anda mungkin juga menyukai