Disusun Oleh :
Annisa (2005007)
Eva Ristyowati (2005021)
Mohammad Sugiono (2005031)
Rosyita Lutfiani (2005047)
Virginia Anggita Rahayu (2005060)
Tingkah Enggaring Tyas (2005076)
A. Latar Belakang
dalam darah. Bilirubin merupakan hasil pemecahan hemoglobin akibat sel darah
merah yang rusak. Hiperbilirubin dapat terjadi secara fisiologis dan patologis.
Secara fisiologis bayi mengalami kuning pada bagian wajah dan leher, atau pada
derajat satu dan dua (<12mg/dl), dapat diatasi dengan pemberian intake ASI yang
adekuat dan sinar matahari pagi kisaran jam 7.00-9.00 selama 15menit. Secara
patologis bayi akan mengalami kining diseluruh tubuh atau derajat tiga sampai
intensitas tinggi yang dapat berisiko cedera bagi bayi yaitu pada mata dan
genitalia, juga bayi dapat berisiko mengalami kerusakan intensitas kulit, dan
terjadinya dampak fototerapi pada bayi, yaitu monitor intake ASI yang adekuat,
hiperbilirrubinemia yaitu kern ikterus, dimana kern ikterus adalah suatu sindrom
neurologi yang timbul sebagai akibat penimbunan efek terkonjugasi dalam sel-sel
otak sehingga otak mengalami kerusakan, hal ini dapat menyebabkan kejang-
kejang dan penurunan kesadaran serta bisa berakhir dengan kematian. (Prasitnok
et al., 2017)
WHO (2015), menjelaskan bahwa sebanyak 4,5 juta (75%) dari semua
kematian bayi dan balita terjadi pada tahun pertama kehidupan. Data kematian
10/1000 dari kelahiran. Hal ini menunjukkan bahwa di wilayah afrika merupakan
Indonesia (SDKI) pada tahun 2007 sebesar 34 per 1.000 kelahiran. Sebagian besar
bayi baru lahir, terutama bayi yang kecil (bayi yang berat lahir < 2.500 gr atau
usia gestasi < 37 minggu) mengalami ikterus pada minggu awal kehidupannya.
(SDKI) tahun 2012 sebesar 32 per 1.000 kelahiran hidup. Kematian neonatus
(Depkes, 2014)
Kabupaten Probolinggo yaitu sebesar 61,48 per 1.000 kelahiran hidup sedangkan
AKB terendah terjadi di Kota Blitar yaitu 17,99 per 1.000 kelahiran hidup dan
untuk AKB di Kabupaten Malang sebesar 21,28 per 1.000 kelahiran hidup.
Penyebab kematian neonatal terbanyak adalah BBLR, asfiksia dan kasus Ikterus
merupakan individu yang sedang bertumbuh dan baru saja mengalami trauma
kelahiran serta harus dapat melakukan penyesuaian diri dari kehidupan intraurine
penyakit hemolitik, kelainan metabolisme dan endokrin, kelainan hati dan infeksi.
Pada kadar lebih dari 20 mg/dL, bilirubin dapat menembus sawar otak sehingga
bersifat toksik terhadap sel otak. Kondisi hiperbilirubinemia yang tak terkontrol
dan kurang penanganan yang baik dapat menimbulkan komplikasi yang berat
seperti kern ikterus akibat efek toksik bilirubin pada sistem saraf pusat (Kosim,
2012).
dapat dilakukan dengan Monitor ikterik pada sclera dan kulit bayi, identifikasi
kebutuhan cairan sesuai dengan usia gentasi dan berat badan, monitor suhu dan
tanda vital setiap 4 jam sekali, monitor efek samping fototerapi (mis. hipertermi,
diare, rush pada kulit, penurunan berat badan lebih dari 8-10%), siapkan lampu
fototerapi dan ikubator atau kotak bayi, lepaskan pakian bayi kecuali popok,
berian penutup mata (eye protector/biliband), ukur jarak antara lampu dan
permukaan kulit bayi (30cm atau tergantung spesifikasi lampu fototerapi), biaran
tubuh bayi terpapar sinar fototerapi secara berkelanjutan, ganti segera alas dan
popok bayi jika BAB/BAK, gunakan linen berwarna putih agar memantulkan
cahaya sebanyak mungkin, anjurkan ibu menyusui sekitar 20-30 menit, anjurkan
ibu menyusui sesering mungkin, kolaborasi pemeriksaan darah bilirubin direk dan
A. Pengertian
Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir merupakan sebuah keadaan
dimana kadar bilirubin serum total di dalam jaringan ekstravaskuler
meningkat lebih dari 10mg%. Keadaan ini mengakibatkan mukosa, kulit
dan sklera berwarna kuning pada minggu pertama. (Dewi, 2013).
Hiperbilirubin merupakan salah satu fenomena klinis yang paling
sering ditemukan pada bayi baru lahir. Sekitar 20-30% bayi baru lahir
menderita ikterus pada minggu pertama (Kuncara, 2008 dalam Waluyo,
2015). Sedangkan di Indonesia angka kematian bayi masih cukup tinggi
apabila dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN (Association of
South East Asia Nations) lainnya. Angka kematian bayi di negara-negara
ASEAN seperti Singapura 3/1000 per kelahiran hidup, Malaysia 5,5/1000
per kelahiran hidup, Thailand 17/1000 per kelahiran hidup, Vietnam
18/1000 per kelahiran hidup, Philipina 26/1000 per kelahiran hidup, dan di
Indonesia yakni 26,9/2000 per kelahiran hidup (Septiani, Farid &
Handayani, 2017). Hasil Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa 78,5% dari
kematian neonatal terjadi pada umur 0-6 hari (Kemenkes RI, 2015).
B. Etiologi
1. Peningkatan produksi :
a. Hemolisis, misal pada Inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat
ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada penggolongan
Rhesus dan ABO.
b. Pendarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran.
c. Ikatan Bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan
metabolik yang terdapat pada bayi Hipoksia atau Asidosis .
d. Defisiensi G6PD/ Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase.
e. Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa),
20 (beta) , diol (steroid).
f. Kurangnya Enzim Glukoronil Transeferase, sehingga kadar
Bilirubin Indirek meningkat misalnya pada berat lahir rendah
g. Kelainan kongenital (Rotor Sindrome) dan Dubin
Hiperbilirubinemia
2. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan
misalnya pada Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat
tertentu misalnya Sulfadiasine.
3. Gangguan fungsi Hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme
atau toksion yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah
seperti Infeksi, Toksoplasmosis, Siphilis.
4. Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra Hepatik.
5. Peningkatan sirkulasi Enterohepatik misalnya pada Ileus Obstruktif
C. Klasifikasi
a. Ikterus prehepatik
Disebabkan oleh produksi bilirubin yang berlebihan akibat
hemolisis sel darah merah. Kemampuan hati untuk melaksanakan
konjugasi terbatas terutama pada disfungsi hati sehingga menyebabkan
kenaikan bilirubin yang tidak terkonjugasi.
b. Ikterus hepatik
Disebabkan karena adanya kerusakan sel parenkim hati. Akibat
kerusakan hati maka terjadi gangguan bilirubin tidak terkonjugasi
masuk ke dalam hati serta gangguan akibat konjugasi bilirubin yang
tidak sempurna dikeluarkan ke dalam doktus hepatikus karena terjadi
retensi dan regurgitasi.
c. Ikterus kolestatik
Disebabkan oleh bendungan dalam saluran empedu sehingga
empedu dan bilirubin terkonjugasi tidak dapat dialirkan ke dalam usus
halus. Akibatnya adalah peningkatan bilirubin terkonjugasi dalam
serum dan bilirubin dalam urin, tetapi tidak didaptkan urobilirubin
dalam tinja dan urin.
d. Ikterus neonatus fisiologi
Terjadi pada 2-4 hari setelah bayi baru lahir dan akan sembuh
pada hari ke-7. penyebabnya organ hati yang belum matang dalam
memproses bilirubin.
e. Ikterus neonatus patologis
Terjadi karena factor penyakit atau infeksi. Biasanya disertai suhu
badan yang tinggi dan berat badan tidak bertambah.
f. Kern Ikterus
Suatu kerusakan otak akibat perlengketan Bilirubin Indirek pada
otak terutama pada Korpus Striatum, Talamus, Nukleus Subtalamus,
Hipokampus, Nukleus merah , dan Nukleus pada dasar Ventrikulus IV.
D. Patofisiologi
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa
keadaan. Keadaan yang sering ditemukan adalah apabila terdapat
penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang berlebihan. Hal ini dapat
ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia.
Gangguan pemecahan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan
peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar
protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi hipoksia, asidosis. Keadaan lain
yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila
ditemukan gangguan konjugasi hepar atau neonatus yang mengalami
gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu.
Pada derajat tertentu bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak
jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan ada bilirubin indirek yang
bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini
memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila bilirubin
tadi dapat menembus darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut
Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada syaraf pusat
tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20
mg/dl. Mudah tidaknya kadar bilirubin melewati darah otak ternyata tidak
hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin indirek akan mudah
melewati darah otak apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan Lahir
Rendah, dan hipoksia.
E. Manifestasi klinik
Tanda dan gejala yang pada penderita hiperbilirubin adalah;
1. Tampak ikterus pada sklera, kuku atau kulit dan membran mukosa.
2. Jaundice yang tampak dalam 24 jam pertama disebabkan oleh
penyakit hemolitik pada bayi baru lahir, sepsis, atau ibu dengan
diabetik atau infeksi.
3. Jaundice yang tampak pada hari ke dua atau hari ke tiga, dan
mencapai puncak pada hari ke tiga sampai hari ke empat dan menurun
pada hari ke lima sampai hari ke tujuh yang biasanya merupakan
jaundice fisiologis.
4. Ikterus adalah akibat pengendapan bilirubin indirek pada kulit yang
cenderung tampak kuning terang atau orange, ikterus pada tipe
obstruksi (bilirubin direk) kulit tampak berwarna kuning kehijauan
atau keruh. Perbedaan ini hanya dapat dilihat pada ikterus yang berat.
5. Muntah, anoksia, fatigue, warna urin gelap dan warna tinja pucat,
seperti dempul
6. Perut membuncit dan pembesaran pada hati
7. Pada permulaan tidak jelas, yang tampak mata berputar-putar
8. Letargik (lemas), kejang, tidak mau menghisap
9. Dapat tuli, gangguan bicara dan retardasi mental
10. Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat disertai spasme otot,
epistotonus, kejang, stenosis yang disertai ketegangan otot.
F. Komplikasi
1. Bilirubin enchepalopathy (komplikasi serius)
2. Kernikterus; kerusakan neurologis, cerebral palsy, retardasi mental,
hiperaktif, bicara lambat, tidak ada koordinasi otot dan tangisan yang
melengking
G. Penatalaksanaan
1. Pengawasan antenatal dengan baik dan pemberian makanan sejak dini
(pemberian ASI).
2. Menghindari obat yang meningkatakan ikterus pada masa kelahiran,
misalnya sulfa furokolin.
3. Pencegahan dan pengobatan hipoksin pada neonatus dan janin.
4. Fenobarbital
Fenobarbital dapat mengeksresi billirubin dalam hati dan memperbesar
konjugasi. Meningkatkan sintesis hepatik glukoronil transferase yang
mana dapat meningkatkan billirubin konjugasi dan clereance hepatik
pigmen dalam empedu. Fenobarbital tidak begitu sering digunakan.
5. Antibiotik, bila terkait dengan infeksi.
6. Fototerapi
Fototerapi dilakukan apabila telah ditegakkan hiperbillirubin patologis
dan berfungsi untuk menurunkan billirubin dikulit melalui tinja dan
urine dengan oksidasi foto pada billirubin dari billiverdin.
7. Transfusi tukar.
Transfusi tukar dilakukan bila sudah tidak dapat ditangani dengan foto
terapi.
H. Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium (Pemeriksan Darah)
a. Pemeriksaan billirubin serum. Pada bayi prematur kadar billirubin
lebih dari 10 mg/dl dan bayi cukup bulan kadar billirubin 12 mg/dl
merupakan keadaan yang tidak fisiologis.
b. Hb, HCT, Hitung Darah Lengkap.
2. USG, untuk mengevaluasi anatomi cabang kantong empedu.
3. Radioisotop Scan, dapat digunakan untuk membantu membedakan
hapatitis dan atresia billiari.
I. Pengkajian Fokus
1. Riwayat Penyakit
Terdapat riwayat gangguan hemolisis darah (ketidaksesuaian
golongan Rh atau golongan darah A,B,O). Polisistemia, infeksi,
hematoma, gangguan metabolisme hepar obstruksi saluran
pencernaan ibu menderita DM.
2. Riwayat Kehamilan
Kurangnya antenatal care yang baik. Penggunaan obat-obat yang
meningkatkan ikterus. Contoh: salisilat sulkaturosic oxitosin yang
dapat mempercepat proses kon jungasi sebelum ibu partus.
3. Riwayat Persalinan
Lahir prematur / kurang bulan, riwayat trauma persalinan.
4. Riwayat Postnatal
Adanya kelainan darah tapi kadar bilirubin meningkat, sehingga kulit
bayi tampak kuning.
5. Riwayat Kesehatan Keluarga
Seperti ketidak cocokan darah ibu dan anak Polycythenia, gangguan
saluran cerna dan hati (hepatitis)
6. Riwayat Pikososial
Kurangnya kasih sayang karena perpisahan, perubahan peran orang
tua
7. Pengetahuan Keluarga
Penyebab perawatan pengobatan dan pemahaman orang tua pada
bayi yang ikterus
8. Pemeriksaan Fisik
Ikterus terlihat pada sklera selaput lendir,urin pekat seperti teh, letargi,
hipotonus, refleks menghisap kurang, peka rangsang, tremor, kejang,
tangisan melengking. Selain itu, keadaan umum lemah, TTV tidak
stabil terutama suhu tubuh. Reflek hisap pada bayi menurun, BB
turun, pemeriksaan tonus otot ( kejang /tremor ). Hidrasi bayi
mengalami penurunan. Kulit tampak kuning dan mengelupas, sclera
mata kuning (kadang – kadang terjadi kerusakan pada retina)
perubahan warna urine dan feses.
J. Diagnosa dan intervensi keperawatan
1. Hipotermia b.d terpapar suhu lingkungan rendah ( D.0132 )
1. Observasi
2. Terapeutik
3. Edukasi
1. Observasi
3. Edukasi
1. Observasi
2. Terapeutik
Hemoglobin
Hem
globin
Biliverdin Fe co
Indikasi fototerapi
A. DATA BAYI
Nama bayi :By.A
Tanggal dirawat : 21-10-2017
Panjang badan = 40 cm
a. Aspirasi mekoneum ( - )
b. Denyut jantung janin abnormal ( - )
c. Masalah lain
d. Prolaps tali pusat/lilitan tali pusat ( - )
e. Ketuban pecah dini ( - ) berapa jam : -
C. RIWAYAT IBU
Usia Gravida Partus Abnormal
32 0 0 0
1. Jenis Persalinan
Pervaginam ( - )
Sectio Caesarea ( √ ) alasan : Curiga bayi besar
Komplikasi kehamilan : Tidak ada ( √ ) ada ( - )
Ruptur plasenta/plasenta previa ( - )
Preeklamsia ( - )
Suspect Sepsis ( - )
Persalinan prematur/postmatus ( - )
Masalah lain :
Perawatan antenatal ( √ )
2. Perawatan Antenatal : -
2. Tonus/aktivitas
a. Aktif ( √ ) tenang ( - ) Letargi ( √ ) kejang
( - )
b. Menangis keras ( √ ) melengking ( - ) Lemah ( - )
sulit menangis ( - )
3. Kepala/leher
a. Fontanel anetrior : Lunak ( √ ) tegas ( - ) datar
( - ) menonjol ( - ) Cekung ( - )
b. Sutura segitalis : Tepat ( √ ) menjauh ( - ) terpisah
( - ) tumpang tindih ( - )
c. Gambaran wajah : Simetris ( √ ) asimetris ( - )
d. Molding ( - ) caput succedanium ( - )
Cephalhematom ( - )
5. THT
a. Telinga : normal ( √ ) abnormal ( - )
b. Hidung : simetris ( √ ) asimetris ( - ) Sekresi ( - )
napas cupinhg hidung ( - )
6. Wajah
a. Bibir sumbing ( - )
b. Sumbing palatum ( - )
7. Abdomen
a. Lunak ( - ) tegas ( √ ) datar ( - ) kembung ( - )
b. Lingkar perut 30 cm
c. Liver : teraba ( √ ) kurang dari 2 cm ( - ) lebih dari
2cm
( √ ) tidak teraba ( - )
8. Toraks
a. Simetris ( √ )
b. Retraksi derajat 0 ( √ ) derajat 1 ( - ) derajat 2 ( - )
c. Klavikula normal ( √ ) abnormal ( - )
9. Paru-paru
a. Suara napas kanan kiri sama ( √ ) tidak sama ( - )
b. Suara napas bersih ( √ ) ronch ( - ) Sekresi ( - )
whezing ( - ) vesikuler ( - )
c. Respirasi spontan ( √ ) tidak spontasn ( - )
Alat bantu pernafasan
( - ) Oxihood
( - ) nasal kanul
( - ) O2 inkubatur
Konsentrasi O2 - 1t/menit
10. Jantung
a. Bunyi normak synus rhythm (NSR) ( √ )
b. Mur mur ( - )
Lokasi :
c. Waktu pengisian kapiler : Kurang dari 2 detik
d. Denyut nadi : 125x/menit
Brakhial √ - -
kanan
Brakhial kiri √ - -
Femoral √ - -
kanan
Femoral kiri √ - -
11. Ekstremitas
a. Gerakan bebas ( √ ) ROM terbatas ( - ) tidak ada ( -
)
b. Ekstremitas atas : normal ( √ ) abnormal ( - )
Sebutkan :
c. Ekstremitas bawah : normal ( √ ) abnormal ( - )
Sebutkan :
d. Panggul : normal ( √ ) abnormal ( - )
Sebutkan :
12. Umbilikus : normal ( √ ) abnormal ( - )
Inflamasi ( - )drainase ( - )
13. Genital : Perempuan normak ( - ) laki-laki normal ( √ )
Abnormal ( - )
14. Anus : Paten ( √ ) Imperforata ( - )
15. Spinal : Normal ( √ ) Abnormal ( - ) sebutkan :
16. Kulit
√ Memeluk
√ Berbicara
√ Berkunjung √
√ Memanggil nama
√ Kontak nama
E. ANALISA DATA
3 - Suhu : 35,9 C
- Nadi : 124x/menit
- RR : 40x/menit Terpapar agen
Resiko cidera
( D.0136 ) nosokomial
Ds : Ibu bayi mengatakan anaknya
bergerak dengan aktif
Observasi : 1. Untuk
1. Identifikasi mengetah
penyebab ui adanya
gangguan kerusakan
intregitas kulit
kulit 2. Untuk
Teraupetik mencegah
1. Ubah kemeraha
posisi n
setiap 2 3. Untuk
tirah pat
2 II
baring penyembu
Setelah dilakukan
2. Bersihka han
tindakan
keperawatan n
selama 3x24 jam parineal
diharapkan dengan
gangguan air
intregitas kulit hangat
pasien dapat Edukasi
teratasi dengan 1. Anjurkan
kriteria hasil : menggun
- Kerusakan akan
jaringan pelemba
kulit b
teratasi 2. Anjurkan
- Suhu meningk
tubuh atkan
normal asupan
- Hidrasi nutrisi
normal ( I.11353 )
- Pigmentas
i normal
( L.14125 )
III
1. Untuk
Setelah dilakukan
mencegah
tindakan
Observasi kemeraha
keperawatan
1. Identifikasi n
selama 3x24 jam
kebutuhan 2. Untuk
diharapkan resiko
keselamata mencegah
cidera pada
n luka/ceder
pasien
Teraupetik a
dapatteratasi
1. Hilangkan 3. Untuk
dengan kriteria
bahaya mencegah
hasil :
keselamata kerusakan
- Tidak ada
tanda- n kulit
tanda lingkkunga 4. Untuk
dehidrasi n memperce
- Tekanan 2. Modifikasi pat
darah lingkungan penyembu
membaik untuk han
- Nadi meminimal
membaik kan bahaya
- Frekuensi dan resiko
nafas 3. Sediakan
membaik alat bantu
- Tidak keamanan
terjadi lingkungan
cedera 4. Gunakan
- Tidak ada perangkat
luka/lecet pelindung
( L.1436 ) 5. Hubungi
pihak
berwenang
sesuai
masalah
komunitas
6. Fasilitas
relokasi ke
lingkungan
yang aman
7. Lakukan
program
skrining
bahaya
Edukasi
1. Ajarkan
individu,
keluarga
dan
kelompok
resiko
tinggi
bahaya
lingkungan
( I.14513 )
N = 120x/menit
RR=38x/menit
2. Memonitor
tanda-tanda Ds : ibu bayi
hipotermia mengatakan bersedia
di ttv
3. Meningkat Do : S= 36,4C
kan
sirkulasi Ds : Ibu bayi
udara mengatakan bersedia
Do : bayi terlihat
diberikan posisi
4. Mengkolab yang nyaman
orasi
dengan tim Ds : Ibu pasien
medis mengatakan bersedia
II
Do : Bayi diberikan
perawatan
1. Memonitor
adanya Ds : Ibu bayi
kemerahan mengatakan bayi
berwarna kemerahab
Do : Kemerahan
2. Menjaga
ditubuh bayi
kebersihan
kulit agar Ds : ibu bayi
tetap mmengatakan
bersih bersedia menjaga
kebersihan
27
Do : terlihat menjaga
3. Mobilisasi
kebersihan
bayi setiap 2
jam
Ds : ibu pasien
mengatakan bersedia
Do : bayi terlihat
4. Kolaboras
III dimobilisasi setiap 2
i dengan tim
jam
medis lainnya
Ds : Ibu pasien
mengatakan bersedia
1. Memonitor
Do : bayi diberikan
kulit
adanya perawatan
kemerahan
Ds : Ibu bayi
mengatakan kulitnya
2. Mobilisasi bayinya berwarna
pasien setiap kemarahan
2 jam Do : ada kemerahan
Ds : ibu bayi
mengatakan bersedia
1. Memonitor Do : bayi diberikan
adanya perawatan
kemerahan 27
2. Menjaga
kebersihan Ds : -
kulit agar Do : Kemerahan
tetap bersih ditubuh bayi
Ds : ibu bayi
mengatakan bersedia
Do : bayi diberikan
perawatan
I. EVALUASI
1 23 oktober I S:-
2017 O : S =36,4C
N = 120x/menit
RR =38 x/menit
BB =4600 gram
A = masalah teratasi
P = Lanjutkan Intervensi
II
S = Ibu bayi mengatakan
kulit bayi berwarna
kemerahan
O = terlihat kemerahan
pada kulit bayi
III A = masalah belum
teratasi
P = Lanjutkan intervensi
A. Kesimpulan
Hiperbilirubinemia merupakan peningkatan kadar bilirubin yang terjadi pada
bayi baru lahir dimana kadar bilirubin serum total lebih dari 10 mg % pada minggu
pertama yang ditandai dengan adanya ikterus yaitu menguningnya pada sklera kulit
atau jaringan lain akibat adanya penimbunan kadar bilirubin berlebih dalam darah.
Indikasi yang dilakukan dalam penatalaksanaan hiperbelirubinemia adalah dengan
cara fototerapi indikasi dari fototerapi dengan sinar intensitas tinggi mengakibatkan
bayi mengalami masalah resiko kekurangan nutrisi ditandai dengan bayi tidak dapat
mempertahankan menyusu, refleks hisapnya lemah, dan pada bayi terapasang OGT
(orogastric tube). Keadaan ini dapat membahayankan apabaila tidak diatasi dengan
cepat, karena itulah perawat dituntut untuk mengawasi.
B. Saran
1. Bagi Pasien/Keluarga Pasien Keluarga Pasien diharapkan dapat mengetahui tujuan
dan manfaat dilakukan fototerapi pada neonatus dengan hiperbilirubinemia serta
mengetahui cara perawatan neonatus dengan hiperbilirubinemia.
2. Bagi Perawat di Ruang Perinatologi Perawat dapat melakukan fototerapi pada
neonatus dengan hiperbilirubinemia sesuai dengan SOP (Standar Operasional
Prosedur).
3. Bagi Peneliti Peneliti dapat mengembangkan penerapan fototerapi untuk mengatasi
hiperbilirubinemia pada neonatus dengan melibatkan peran aktif perawat dan
petugas kesehatan lainnya
DAFTAR PUSTAKA
Suriadi, dan Rita Y. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak . Edisi I. Fajar Inter
Pratama. Jakarta.
Maryunani Anik. 2013. Asuhan Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
Prasitnok, K., Bulacu, M., Shen, Z., Ye, H., Zhou, C., Kröger, M., … Cho, K. 2017.
Title. Journal of Physical Chemistry B, 8(1), 28–48.
Wawan & Dewi. 2010. Teori dan Pengukuran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku
Manusia. Yogyakarta: Nuha Medika.
PPNI, Tim Pokja SDKI DPP. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. DPP
PPNI. Jakarta Selatan.
PPNI, Tim Pokja SIKI DPP . 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. DPP
PPNI. Jakarta Selatan.
PPNI, Tim Pokja SLKI DPP. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. DPP PPNI.
Jakarta Selatan.