Anda di halaman 1dari 5

Tantangan Pengelolaan sampah plastik di Pontianak

Tantangan Pontianak dalam Mengelola Kemasan Bekas Pakai Sampah plastik masih


menjadi masalah di kota Pontianak. Padahal, jika dikelola dengan baik, kemasan
plastik pasca pakai memiliki nilai ekonomi tinggi. Tantangan pengolahan kemasan paska
konsumsi dimulai dari pengumpulan serta pemilahan/segregrasi di sampah rumah tangga.
Dalam The 3rd Indonesia Circular Economy Forum (ICEF) 2019, PRAISE mendorong
terciptanya pengelolaan kemasan paska konsumsi di Indonesia yang holistik,
terintegrasi dan berkesinambungan. Dalam diskusi tersebut juga dipaparkan tantangan
Indonesia dalam mengelola sampah atau kemasan pasca pakai.

Ketidakpedulian masyarakat

Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Pontianak, Tinorma Butar Butar
menyatakan, saat ini produksi atau volume sampah di ibu Kota Provinsi Kalimantan
Barat itu mencapai 350-400 ton per hari, sehingga perlu kepedulian semua pihak
dalam menanganinya. "Penanganan sampah di kota ini tidak bisa hanya mengandalkan
pemerintah saja, tetapi perlu kolaborasi dengan masyarakat dan berbagai pemangku
kepentingan lainnya”. Ia menjelaskan bahwa tanpa dukungan dan kerja sama semua
pihak maka akan sulit dalam menyelesaikan masalah sampah. "Sehingga kami sangat
menyambut baik adanya dukungan dari pemerintah pusat dan dari anggota Komisi VII
DPR Katherina Angela Oendoen yang telah memberikan bantuan motor roda tiga
pengangkut sampah bagi Kota Pontianak,". Masyarakat Pontianak tidak peduli akan
sampah sedangkan pertumbuhan infrastruktur dan industri daur ulang tidak sepadan
dengan pertumbuhan konsumsi dan pembangunan ekonomi di Pontianak. "Sehingga
diperlukan kerjasama dari semua pihak dalam Extended Stakeholder Responsibility;
masyarakat, industri dan pemerintah untuk berkolaborasi dalam pengolahan kemasan
paska konsumsi.

Tantangan daur ulang

Perusahaan yang menggunakan kemasan termasuk plastik harus dituntut bertanggungjawab


terhadap sampah yang mereka hasilkan. komitmen penggunaan kemasan plastik dengan
desain layak daur ulang lebih baik, yakni dengan bahan (selain plastik) yang mudah hancur.
“Tidak hanya technically recyclable juga dapat dibuktikan kemasan itu terdaur ulang.” Target
kandungan daur ulang antara 15%-100%, dengan rata-rata 25%. “Saat ini, nilai daur ulang
hanya 2%.” Target ini akan menstimulasi permintaan atas bahan plastik daur ulang. Saat ini,
industri daur ulang plastik mengalami kekurangan bahan baku karena banyak produk tahan
lama, sampah plastik tak dapat didaur ulang. Juga perlu perbaikan pengelolaan sampah untuk
mengumpulkan dan memilah sampah yang bisa di daur ulang.

Lantas apa saja tantangan sektor daur ulang saat ini? Menurut Wilson, keterbatasan investasi
pada perlengkapan canggih untuk daur ulang masih jadi kendala. Selain itu, pasar bahan
plastik daur ulang dinilai produk kualitas relatif rendah hingga tuntutan kualitas jadi rendah.
“Sementara tingkat kontaminasi tinggi dan belum ada ada kriteria kemasan pangan untuk
bahan plastik daur ulang,” katanya, seraya bilang, sektor ini cenderung informal, tingkat
pengetahuan pekerja masih rendah. Praktis, katanya, tak ada sistem manajemen mutu dan
daya telusur. Dari segi harga, karena sampah tak terpilah dari sumber, biaya pemilahan dan
pembersihan jadi mahal, juga bergantung sektor informal yang kurang efisien. Rantai
pasokan panjang dari sumber sampah sampai ke pendaur ulang juga bikin biaya transportasi
tinggi dan melibatkan perantara.

Pemilahan dan pengeloaan yang buruk

Di Pontianak, tantangan pengelolaan kemasan pasca konsumsi dimulai dari


pengumpulan serta pemilahan/ segregrasi di rumah tangga. Sayangnya, langkah itu
tidak dilakukan serempak dari hulu ke hilir. "Pemilahan adalah kunci untuk melihat
kemasan pasca konsumsi sebagai bahan bernilai.

Karakteristik plastik yang kuat, tahan lama, dan tidak cepat terurai alami, sekarang menjadi
bumerang. Akumulasi sampah plastik di lingkungan merupakan bencana baru bagi
lingkungan. Dua sumber utama tantangan pengelolaan sampah plastik di Pontianak yaitu
pertama sampah plastik yang tidak terkelola dan kedua kebiasaan membuang sampah
langsung ke lingkungan.

Kebiasaan membuang sampah sembarangan dan langsung ke lingkungan merupakan


tantangan pengelolaan sampah di Pontianak. Kebiasaan ini memang membutuhkan upaya
peningkatan kesadaran masyarakat dari usia dini, bahwa jenis sampah yang dihasilkan
memiliki karakteristik yang berbeda dengan jenis sampah yang dihasilkan oleh generasi
sebelumnya.

"Bukan berarti bahwa selain plastik bisa dibuang langsung ke lingkungan. Jumlah sumber
penghasil sampah meningkat terus sehingga lingkungan sudah berada pada posisi tidak
seimbang antara kemampuan untuk self purifying untuk menguraikan limbah dengan
jumlah sampah/limbah yang dihasilkan.

Keterbatasan Kemampuan Pemerintah Kota Pontianak dalam mengatasi masalah


sampah

Mengingat keterbatasan kemampuan pemerintah daerah Kota Pontianak dalam melaksanakan


kewajibannya untuk mengatasi masalah sampah, harus dipikirkan oleh pemerintah daerah
Kota Pontianak kemungkinan untuk melakukan kerjasama/kemitraan dengan pihak swasta
atau pelaku usaha dalam mengatasi masalah sampah di Kota Pontianak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2008 yang menyatakan:

(1) Pemerintah daerah kabupaten/kota secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dapat


bermitra dengan badan usaha pengelolaan sampah dalam penyelenggaraan pengelolaan
sampah.

(2) Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam bentuk perjanjian
antara pemerintah daerah kabupaten/kota dan badan usaha yang bersangkutan.

(3) Tata cara pelaksanaan kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam hubungannya dengan hal tersebut dikemukakan beberapa hal sebagai berikut:

1. Pemerintah daerah Kota Pontianak melalui DKP sebenarnya mampu mengatasi masalah
sampah, asalkan didukung dengan peralatan/fasilitas yang memadai dan ditunjang dengan
pendanaan. Kerjasama bisa saja dilakukan, namun pada akhirnya kemampuan keuangan
daerah juga harus dipertimbangkan dan badan yang akan mengelola sampahnya juga harus
ada, karena PAD dari retribusi sampah juga masih belum memadai dan tidak seimbang
dengan pekerjaan/pelayanan dalam pengelolaan sampah.
2. Memberdayakan DKP dengan meningkatkan fasilitas dan pendanaan, serta pemberian
penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan jauh lebih baik dalam mengatasi
masalah sampah, karena diserahkan kepada pihak swasta selain pembebanan masalah
pembiayaan juga belum tentu hasilnya lebih baik dari saat ini.

3. Pengelolaan sampah yang dilakukan oleh DKP Kota Pontianak saat ini dari waktu ke
waktu sudah jauh lebih baik dari sebelumnya, sehingga berbagai kekurangan dari DKP harus
diperbaiki untuk mengatasi sampah ke depan dan perlu didukung oleh kesadaran masyarakat
terutama dalam mematuhi ketentuan jam pembuangan sampah.

4. Pemerintah daerah Kota Pontianak perlu memberdayakan pelaku usaha seperti lapak
barang bekas, pemulung, dan penampung/pembeli barang bekas, salah satunya dengan
memberikan bantuan/pinjaman modal agar mereka bisa berusaha lebih baik dalam membantu
mengatasi masalah sampah di Kota Pontianak.

Berdasarkan uraian di atas berarti bahwa pengelolaan/ penanggulangan masalah sampah di


Kota Pontianak masih cenderung dilakukan oleh instansi yang berwenang atau bidang
tugasnya berkaitan dengan kebersihan dan pengelolaan sampah dalam hal ini Dinas
Kebersihan dan Pertamanan Kota Pontianak dengan cara meningkatkan fasilitas dan
pendanaan, agar dapat melaksanakan tugas di bidang pengelolaan sampah lebih baik ke
depannya.

Pengelolaan sampah yang dilakukan oleh pemerintah daerah melalui Dinas Kebersihan dan
Pemakaman Kota Pontianak selama ini masih belum mampu mengatasi masalah sampah di
Kota Pontianak, hal tersebut dikarenakan:

1. Belum maksimalnya pengelolaan sampah sesuai dengan paradigma baru yang diamanatkan
dalam UU Nomor 18 Tahun 2008.

2. Terbatasnya SDM, dana dan fasilitas yang dimiliki pemerintah daerah khususnya Dinas
Kebersihan dan Pertamanan Kota Pontianak.

3. Kurangnya kesadaran hukum masyarakat dalam membuang sampah sesuai dengan


ketentuan yang berlaku.
Berdasarkan uraian di atas tergambar bahwa permasalahan sampah di Kota Pontianak
minimal dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu sumber daya manusia, masalah fasilitas termasuk
pendanaan yang melekat pada fungsi Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Pontianak, dan
masalah kesadaran hukum masyarakat dalam hal ini masyarakat yang membuang sampah.

Faktor-faktor di atas sejalan dengan pendapat Soerjono Soekanto mengenai efektivitas


peraturan, yang mengatakan agar suatu peraturan atau hukum dapat ditegakkan, harus
dipenuhi faktor-faktor tertentu yang terdiri dari

1. Faktor hukumnya sendiri;

2. Faktor penegakan hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan


hukum;

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan;

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa
manusia di dalam pergaulan hidup.

Faktor terbatasnya sumber daya manusia yang dimiliki berarti terkait dengan faktor
penegakan hukum atau pelaksanaan aturan hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk
maupun menerapkan hukum, dan faktor dana, peralatan atau fasilitas untuk mengangkuta
atau mengelola sampah berarti terkait dengan faktor sarana atau fasilitas yang mendukung
penegakan hukum. Sedangkan faktor karena kurangnya kesadaran hukum masyarakat dalam
membuang sampah berkaitan dengan faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum
tersebut berlaku atau diterapkan. Masalah sampah berkaitan dengan masalah lingkungan
hidup. Lingkungan hidup yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan
bangsa Indonesia merupakan Karunia dan Rahmat-Nya yang wajib dilestarikan dan
dikembangkan kemampuannya agar tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat
dan bangsa Indonesia serta mahkluk hidup lainnya demi kelangsungan dan peningkatan
kualitas Lingkungan itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai