Anda di halaman 1dari 31

Jean Paul Sartre

PINTU TERTUTUP
Terjemahan Asrul Sani

Para Pemain :
1. Pelayan
2. Garcin
3. Inez
4. Estelle

Adegan.

Sebuah kamar duduk dengan tiga sofa hijau, biru dan merah. Sebuah patung kecil dari
perunggu masih terletak di atas pinggir perapian.

Garcin : (masuk diantar oleh seorang pelayan, sambil memperhatikan keadaan


sekitarnya) Hm…Jadi di sini ?

Pelayan : Ya, Tuan Garcin.

Garcin : Jadi begini rupanya.

Pelayan : Ya.

Garcin : Ah, tapi ini tidak penting. Aku sudah biasa hidup di antara benda-benda
yang tidak kusenangi.

Pelayan : Tuan akan tahu, tinggal di tempat seperti ini, juga ada gunanya.

Garcin : Oya ? …ya, ya…tapi aku betul-betul tidak menyangka akan begini. Kau
tahu apa cerita-cerita orang di bawah sana ?

Pelayan : Tentang apa ?

Garcin : Tentang (membuat gerakan besar) …ini, tempat ini.

Pelayan : Ah, masak tuan percaya pada cerita-cerita begitu ? cerita orang yang
sekalipun belum pernah ke sini. Sebab, mereka baru ke sini kalau mereka
sudah…

Garcin : Memang. (keduanya tertawa. Tiba-tiba ketawa itu lenyap dari wajah
Garcin) tapi, alat-alat penyiksa mana ?

Pelayan : Alat-alat apa ?

Garcin : Nangku tempat menyiksa, besi rajam yang merah api dan alat-alat lainnya.

Pelayan : Tuan suka bergurau.


Garcin : Bergurau ? O, begitu. Tidak, aku tidak bergurau. (diam sebentar. Ia
berjalan sekitar kamar) Kulihat, tidak ada cermin sama sekali. Tidak ada
jendela. Masuk akal. Tidak ada barang pecah belah. (dengan marah) Tapi,
kenapa sikat gigiku diambil ? Persetan.

Pelayan : Bagus. Jadi Tuan belum dapat melepaskan - apa namanya ? – ah, ya,
martabat manusia. Maaf, aku harus tersenyum.

Garcin : Kuharap kau sedikit lebih sopan. Aku tahu betul dalam keadaan apa aku,
tapi aku tidak sudi.

Pelayan : Maaf, Tuan. Aku tidak bermaksud menghina Tuan. Tapi semua tamu kami
menanyakan pertanyaan yang sama. Pertanyaan-pertanyaan konyol. Mana
kamar penyiksa ? Itu pertanyaan pertama mereka. Mereka tidak
merisaukan keperluan-keperluan kamar mandi. Tapi sesudah beberapa
saat, setelah mereka agak lebih santai, mereka mulai ribut tentang sikat
gigi dan segala macam tetek-bengek. Tuan Garcin. Kalau boleh saya
bertanya, buat apa Tuan menyikat gigi ?

Garcin : (lebih tenang) Ya, kau benar. Dan perlu apa orang memandangi diri dalam
kaca ? tapi barang perunggu itu, itu soal lain lagi. Mungkin nanti akan
datang masa-masanya dimana mataku terbelalak memandangnya. Menatap
dengan mata terbelalak. Kau mengerti maksudku ? (ia berjalan bolak-
balik) Jadi begitu ? tidak ada sikat gigi ? juga tidak ada tempat tidur. Jadi
di sini orang tidak pernah tidur ?

Pelayan : Betul.

Garcin : Memang seperti sudah kukira. Buat apa tidur ? kenapa kau harus tidur ?
kau berbaring di atas sofa dan dalam sekejap tidur, terbang jauh-jauh
berkilometer-kilometer. Lalu kau mengusap mata, bangun dan memulai
dari awal kembali.

Pelayan : Tuan seorang yang suka melamun.

Garcin : Tolong, jangan bicara… aku tidak akan menaruh kasihan pada diriku
sendiri, aku akan menghadapi keadaan ini. Aku tidak akan membiarkannya
menyergapku dari belakang, sebelum aku sempat menaksirnya. Apa itu
yang kau sebut “melamun” …singkatnya begini. Orang tidak perlu
istirahat. Kenapa tidur harus dirisaukan kalau kita tidak mengantuk.
Sebentar, sebentar, ada yang tidak cocok di sini, sesuatu yang tidak
menyenangkan. Tapi kenapa ia tidak akan menyenangkan ? … aku
mengerti. Ini hidup terus-menerus.

Pelayan : Apa maksud Tuan ?

Garcin : Pelupuk matamu. Pelupuk matamu bergerak turun naik. Mengerjap, begitu
namanya. Jangan pura-pura bodoh, kau tahu maksudku. Tanpa pelupuk
mata, kita tidak akan bisa tidur. Aku tidak akan pernah tidur lagi. Lalu,
bagaimana aku bisa tahan sendirian ? coba pahami. Aku suka berkelakar,
ini sudah sifatku. Aku sering memperolok-olokkan diriku sendiri.
Mengganggu diriku sendiri. Tapi aku tidak bisa melakukannya terus-
menerus tanpa istirahat. Di bawah sana ada yang disebut malam. Lalu aku
tidur. Aku punya mimpi-mimpi kecil. Ada lapangan hijau. Lapangan biasa.
Aku sering berjalan-jalan di sana… apa sekarang siang ?

Pelayan : Apa Tuan tidak lihat ? lampu menyala.

Garcin : Ah, aku mengerti. Siang untukmu. Dan di luar ?

Pelayan : Di luar ?

Garcin : Persetan, kau tahu maksudku. Di balik dinding itu.

Pelayan : Ada lorong.

Garcin : Dan di ujung lorong ?

Pelayan : Kamar, lorong lagi dan tangga.

Garcin : Di balik kesemuanya itu, apa ?

Pelayan : Tidak ada apa-apa.

Garcin : Mestinya aku tahu itu. Mana knop lampu ?

Pelayan : Tidak ada.

Garcin : Tidak ada ? Apa lampu ini tidak bisa dimatikan ?

Pelayan : Oh, pimpinan di sini tidak memutuskan arus listrik, kecuali jika mereka
inginkan. Tapi seingatku itu belum pernah mereka lakukan di tingkat ini.
Di sini persediaan listrik cukup.

Garcin : Jadi kita harus hidup selama-lamanya dengan mata terbuka ?

Pelayan : Hidup, kata Tuan.

Garcin : Sudahlah, kita tidak usah berman kata-kata. Dengan mata terbuka. Untuk
selamanya. Cahaya siang terus-menerus di mataku dan di otakku. (diam
sebentar) Kalau barang ini kuambil lalu kulemparkan ke lampu, apa
lampunya akan mati ?

Pelayan : Barang itu tidak bisa diangkat. Teralu berat.

Garcin : (memegang hiasan perunggu itu lalu mencoba mengangkatnya) Kau benar.
Berat sekali. (diam sebentar).

Pelayan : Baiklah. Kalau Tuan tidak memerlukan saya lagi, saya akan pergi.
Garcin : Apa ? Kau mau pergi ? (pelayan itu berjalan ke pintu) Tunggu. Itu lonceng,
kan ? (pelayan mengangguk) Kalau aku membunyikan lonceng itu, kau
akan datang ?

Pelayan : Sebetulnya begitu. Cuma lonceng itu tidak bisa diharapkan. Sambungannya
ada yang salah, hingga dia tidak selalu bisa berbunyi. (Garcin berjalan ke
pintu lalu menekan knop lonceng. Kedengaran bunyi lonceng itu di luar).

Garcin : Ah, bisa kok.

Pelayan : (heran) Ya. (Ia juga menekan knop lonceng itu) Tapi Tuan jangan terlalu
berharap. Lonceng ini banyak tingkah. Sekarang aku harus pergi. (Garcin
membuat gerakan untuk menahan dia) Ya, Tuan ?

Garcin : Tidak, tidak jadi. (Ia berjalan ke pinggiran perapian lalu mengambil sebuah
pisau kertas) Ini apa ?

Pelayan : Pisau kertas biasa.

Garcin : Apa ada buku di sini ?

Pelayan : Tidak.

Garcin : Lalu ini buat apa ? (Pelayan mengangkat bahu) Baiklah. Kau boleh pergi
(Pelayan pergi).

Garcin tinggal sendiri. Ia berjalan mendekati hiasan perunggu itu, lalu mengusap-
usapnya sambil berfikir. Ia duduk. Ia berdiri lagi, lalu berjalan ke pintu dan menekan
knop lonceng. Lonceng itu tidak berbunyi. Ia coba dua tiga kali, tapi tidak ada hasil.
Kemudian ia mencoba membuka pntu, juga tanpa hasil. Ia memanggil Pelayan
beberapa kali, tapi tak seorangpun yang datang. Ia memukul-mukul pintu dengan
kelapanya, juga tanpa hasil. Tiba-tiba ia tenang kembali, lalu kembali ke tepat
duduknya. Pada saat itu pintu terbuka dan Inez masuk diantar oleh Pelayan.

Pelayan : Tuan memenggil saya ?

Garcin : (dia sudah mau menjawab “Ya” tapi waktu itu dia melihat Inez) Tidak.

Pelayan : (pada Inez) Ini kamar Nyonya. (Inez tidak menjawab) Apa ada penjelasan-
penjelasan yang Nyonya perlukan ? (Inez diam) biasanya tamu-tamu kami
menanyakan banyak hal padaku. Tapi saya tidak akan memaksa.
Pokoknya, yang mengenai sika gigi, lonceng listrik dan barang perunggu
itu, Tuan ini dapat menceritakan semuanya. Kami tadi sudah bercakap-
cakap sedikit.

Pelayan pergi. Garcin menghindar untuk memandang pada Inez, sedangkan Inez
memeriksa kamar-kamar. Tiba-tiba ia berbalik menghadapi Garcin.
Inez : Mana Florence ? (Garcin tidak menjawab) Apa kau tidak dengar ? Aku
menanyakan Florence. Dimana dia ?

Garcin : Aku tidak tahu.

Inez : Oh, begitu caranya rupanya. Siksaan dengan pemisahan. Tidak masalah.
Kau tidak akan memperoleh keuntungan apa-apa. Florence adalah seorang
gadis kecil bodoh yang melelahkan. Aku tidak akan merasa kehilangan
dia.

Garcin : Maaf. Kau kira aku siapa ?

Inez : Kau ? Algojo tentu saja.

Garcin : (heran, lalu tertawa) Ah, ini lucu. Terlalu lucu untuk diceritakan. Aku
algojo ? jadi kau masuk, lalu melihatku dan mengira aku salah seorang
pegawai di sini ? ini salah orang itu. Mestinya dia perkenalnakan.
Algojo ?! Aku Joseph Garcin, wartawan dan sastrawan. Dan kita senasib,
Nyonya…

Inez : Aku bukan nyonya. Aku tidak bersuami.

Garcin : Baik. Yang penting kita sudah mulai. Karena kita sudah saling tegur, apa
menurut Nyonya aku mirip algojo ? Oya, bagaimana cara mengenali
seorang algojo kalau kita kebetulan menemuinya. Rupanya kau paham
sekali tentang ini.

Inez : Mereka ketakutan.

Garcin : Ketakutan. Ah, ini keterlaluan. Pada siapa mereka takut ? pada korban-
korban mereka ?

Inez : Kau boleh ketawa. Tapi aku tahu betul apa yang kubicarakan. Aku sering
melihat wajahku di kaca.

Garcin : Di kaca ? (ia melihat ke sekitarnya) kejam sekali mereka. Semua yang
mirip kaca sudah mereka pindahkan. (diam) Pendeknya, aku tidak takut
sama sekali. Bukan karena aku menganggap ringan keadaanku. Aku sadar
betul bagaimana sesungguhnya. Tapi aku tidak takut.

Inez : (mengangkat bahu) Itu urusanmu. (diam) Apa kau selalu harus ada dalam
kama ini ? Apa kau tidak pernah jalan-jalan keluar ?

Garcin : Pintu dikunci.

Inez : Sayang sekali.

Garcin : Aku mengerti. Terus terang aku senang sendirian. Aku ingin merenung dan
membenahi hidupku. Dan ini lebih tepat dilakukan kalau kita sdang
sendiri. Tapi aku yakin kita dapat tinggal bersama-sama. Aku malas bicara
dan tidak suka banyak bergerak. Aku cinta damai. Aku Cuma ingin
mengusulkan, supaya masing-masing kita berlaku sopan. Ini akan
memudahkan kita berdua.

Inez : Aku tidak sopan.

Garcin : Kalau begitu aku harus berlaku sopan untuk dua orang. (lama diam. Garcin
duduk di sofa, sedangkan Inez berjalan bolek-balik).

Inez : Apa yang akan terjadi ?

Garcin : Aku tidak tahu. Aku sendiri sedang menunggu.

Diam Garcin duduk, sedangkan Inez berjalan putar-balik. Mulut Garcin bergerak-
gerak. Setelah memandang sekilas pada Inez ia menutup mukanya dengan
tangan. Masuk Estelle diantar Pelayan. Estelle melihat kepada Garcin yang
masih menutup mukanya dengan tangan.

Estelle : (pada Garcin) Jangan, jangan buka. Aku tahu apa yang kau sembunyikan di
balik tanganmu. Kau tidak punya muka lagi. (Garcin menurunkan
tangannya) Oh ! (diam sebentar, lalu dengan nada orang heran) Kirain
siapa.

Garcin : Aku bukan algojo, Nyonya.

Estelle : Siapa bilang kau algojo ? Jangan GR deeh. Aku kira kau orang yang mau
mempermainkan aku. (pada Pelayan) Ada yang maun datang lagi gak sih ?

Pelayan : Tidak, Nyonya. Tidak ada lagi.

Estelle : Jadi Cuma segini aja nih, yang tinggal di sini. Tuan ini, wanita ini dan aku.
(ia mulai ketawa).

Garcin : (marah) Tidak ada yang lucu, Nyonya.

Estelle : (masih ketawa) ofa itu, please deh… Apa tidak ada yang lebih bagus lagi ?
Apa itu untukku ? (pada Pelayan) Bukannya sombong ya, tapi aku tidak
bisa duduk di situ. Bajuku biru pucat, sofa itu hijau cerah. Capee deeh…

Inez : Barangkali kau mau punyaku ?

Estelle : Yang warna merah anggur itu. Terima kasih, tapi tidak lebih bagus tuh. Ya
sudahlah, mungkin itu sudah nasibku. Biar aku duduk di sofa hijau itu.
(diam) Tapi punya Tuan itu kayaknya cocok untukku.

Inez : Tidak dengar, tuan Garcin ?

Garcin : Oh, sofa ini maksudmu ? Maaf. (ia berdiri) Silahkan.


Estelle : Terima kasih. (ia menanggalkan mantelnya lalu menjatuhkan ke atas sofa.
Diam sebentar) karena kita akan tinggal bersama, boleh dong kita kenalan.
Namaku Rigault, Estelle Rigault. (Garcin membungkuk dan siap untuk
menyebut namanya, tapi Inez berdiri di depannya).

Inez : Aku Inez Serrano. Apa kabar ?

Garcin : (membungkuk) Joseph Garcin.

Pelayan : Apa aku masih diperlukan ?

Estelle : Oya, kau boleh pergi. Nanti aku akan pencet bel kalau kau kuperlukan.
(Pelayan keluar, setelah membungkuk memberi hormat).

Inez : Kau cantik sekali. Sayang tidak ada bunga untuk menyambut
kedatanganmu.

Estelle : Bunga ? Ooh terima kasih, aku suka bunga. Tapi jangan deh. Bunga cepat
mati di tempat pengap. Yang penting sekarang, bagaimana caranya supaya
kita selalu gembira. Iya kan ? Kau juga sudah…

Inez : Suda satu minggu. Kau sendiri ?

Estelle : Baru saja, kemarin. Tuh, upacaranya aja belum selesai. (nadanya biasa saja,
tapi seolah-olah ia melihat apa yang ia ceritakan) Cadar saudaraku
ketiupan angin terus. Ya ampuun. Dia berusaha untuk menangis. Ayo say.
Coba sedikit lagi. Nah, itu bisa. Dua tetes air mata, ya lumayanlah. Nah,
nah, Olga kok kusut amat sih ? Tidak menangis, tidak apa-apa kok. Karena
air mata bisa bikin muka kita kusut, kan ? Olga itu sahabatku.

Inez : Apa kau menderita sekali ?

Estelle : Tidak. Kebetulan aku lagi pingsan.

Inez : Apa yang jadi sebab ?

Estelle : Radang paru-paru. (dengan nada sama) Beres deh. Mereka mulai
meninggalkan pemakamanku. Daaa… Hati-hati di jalan ya. Banyak juga
yang mengantar. Suamiku tidak ikut. Dia lumpuh gara-gara sedih.
Kasihan. (pada Inez) Kau sendiri gimana ?

Inez : Gas.

Estelle : Tuan Garcin ?

Garcin : Dua belas peluru menembus dadaku. (Estelle memperlihatkan gerakan


orang yang merasa ngeri) Maaf. Aku barangkali bukan teman yang
menyenangkan diantara komunitas orang mati.
Estelle : Eeh, jangan bilang begitu. Kasar kan. Tidak bijaksana. Tapi rasanya aku
belum pernah merasa sehidup sekarang ini. Keadaan kita ini, kalau boleh
nih, aku mau menyebutnya…Orang-orang yang absen. Apa sudah lama
Tuan absen ?

Garcin : Kira-kira sebulan.

Estelle : Asal Tuan ?

Garcin : Dari Rio.

Estelle : Aku dari Paris. Ada yang Tuan tinggalkan di sana ?

Garcin : Ya, istriku. (dengan nada Estelle tadi) Setiap hari dia menunggu di pintu
barak. Tapi tidak pernah di ijinkan masuk… Sekarang dia berusaha
mengintip antara terali. Dia belum tahu kalau, aku sudah absen. Kini dai
pergi. Dia pakai baju hitam, baguslah, jadi tak usah ganti baju lagi. Dia
tidak menangis. Itu karena dia memang tidak pernah menangis. Matahari
cerah dan dia seperti bayang-bayang hitam yang merangkak di jalan sunyi.
Matanya besar dan sedih, mata yang menimbulkan kesan tersiksa. Dia
betul-betul menguji sarafku. (diam sebentar. Garcin duduk di atas sofa
tengah dan menyembunyikan mukanya).

Inez : Estelle !

Estelle : Tuan Garcin.

Garcin : Ada apa ?

Estelle : Itu kan sofaku.

Garcin : Oh, maaf. (ia berdiri)

Estelle : Tuan kelihatannya..kelihatannya gimanaaa gitu. Maaf ya kalau aku sudah


mengganggumu.

Garcin : Aku mencoba membenahi hidupku. (Inez ketawa) Kau boleh saja ketawa.
Tapi tidak ada alasannya kalau kau juga meniruku.

Inez : Tidak perlu. Hidupku cukup teratur. Teratur secara otomatis. Jadi tidak
usah merisaukan aku.

Garcin : Panas sekali. Kalian keberatan kalau… (ia mulai membuka jasnya).

Estelle : Tuan tidak sopan. (dengan lebih ramah) Jangan. Aku tidak senang melihat
pria tanpa jas.

Garcin : (memakai jasnya kembali) Baik. (diam sebentar) Malam hari biasanya aku
di kantor surat kabar. Kantor itu tidak lebih dari sebuah lubang hitam,
kami tidak pernah pakai jas. Panasnya bukan main. (diam sebentar dengan
nada seperti tadi) Di sana sudah malam sekarang.

Estelle : Betul. Olga lagi buka pakaian. Bahkan sekarang sudah lewat tengah
malam. Cepat sekali waktu berlalu di bumi.

Inez : Ya, lewat tengah malam. Mereka telah menyegel kamarku. Gelap. Gelap
sekali dan kosong.

Garcin : Mereka menaruh jas di sandaran kursi dan lengan kemeja mereka gulung
sampai ke saku. Udara pengap, bau laki-laki dan cerutu. (diam sebentar)
Aku senang hidup diantara laki-laki yang hanya berkemeja.

Estelle : Kalau begitu selera kita beda. (pada Inez) Gimana ? Kau senang dengan
laki-laki yang hanya berkemeja ?

Inez : Aku tidak peduli laki-laki.

Estelle : (melihat pada kedua orang dengan mata orang yang heran) Kok bisa sih,
kita bertiga dikumpulkan di tempat yang sama. Tidak masuk akal deh.

Inez : (menahan ketawa) Apa katamu ?

Estelle : Pas melihat kalian dan memikirkan kalau kita akan tinggal bersama…
Dann, ini gila. Aku pikir bakal bertemu saudara-saudaraku, teman-
temanku…

Inez : Ya, teman lama yang cantik dengan muka berlubang.

Estelle : Ya, dia juga. Tapi dia itu jago disko. Soalnya dia itu kan hobi clubbing …
tapi kok, kok justru kita sih yang dikumpulkan bareng ?

Garcin : Mingkin kebetulan. Mereka menempatkan orang sesuai jadwal


kedatangannya.

Estelle : Jadi penasaran, waktu masih hidup kita pernah ketemu gak sih ?

Inez : Tidak. Kalau iya, aku tidak akan mungkin melupakanmu.

Estelle : Barangkali kita punya teman yang sama. Kau kenal keluarga Seymour ?

Inez : Tidak.

Estelle : Itu lho, yang suka mengundang orang ke pesta-pesta mereka.

Inez : Aku tidak tahu. Aku pegawai kantor pos.

Estelle : (merasa jijik sedikit) Oh, ya…pantesan…(diam) Tuan Garcin ?

Garcin : Kita belum pernah bertemu. Aku selalu tinggal di Rio.


Estelle : Kalau begitu Tuan benar. Kita berkumpul di sini secara kebetulan.

Inez : Secara kebetulan ? Jadi kebetulan juga kamar ini dihiasi seperti ini ? Sofa
di kanan berwarna hijau cerah dan di kiri warna merah anggur, apa itu juga
kebetulan ? coba geser sofa-sofa itu, kalian pasti akan melihat bedanya.
Dan patung itu, kalian kira dia ada di sana secara kebetulan ? Juga udara
kamar ini yang panas. Bagaimana ? (diam) Percayalah, semua ini sudah
direncanakan. Tidak ada yang diserahkan secara kebetulan. Kamar ini
memang disediakan untuk kita.

Estelle : Semua yang ada di kamar ini mengerikan. Sudutnya tidak menyenangkan.
Aku benci segala yang bersudut. (diam) Jadi semua sudah diatur
sebelumnya.

Inez : Ya. Dan kita dikumpulkan dengan sengaja.

Estelle : Kalau begitu apa maksud semua ini ?

Inez : Yang aku tahu, mereka sedang menunggu.

Estelle : (menghentikan kakinya) Keterlaluan. Jadi ada sesuatu yang kalian berdua
akan lakukan terhadap aku ? (ia memandangi keduanya bergantian) Pasti
sesuatu yang tidak menyenangkan.

Garcin : (berpaling tiba-tiba pada Inez) Kenapa kita bersama ? Kalau sudah cukup
banyak memberi petunjuk, ceritakan saja semuanya.

Inez : Kalau kita masing-masing berani menceritakan…

Garcin : Menceritakan apa ?

Inez : Estelle !

Estelle : Ya.

Inez : Apa yang telah kau lakukan ? Maksudku kenapa kau dikirim kemari ?

Estelle : Sedikitpun aku tidak tahu. Malah aku pikir, ini karena kekhilafan
seseorang. (pada Inez) Jangan senyum. Bayangkan, berapa banyak orang
yang…yang jadi absen setiap hari. Beribu-ribu. Mungkin operasionalnya
dipegang oleh..ya, tahulah..pegawai rendahan. Pegawai-pegawai bodoh
yang tidak paham job deskripsinya. Jadi tidak mustahil kan kalau mereka
melakukan kesalahan…Jangan tersenyum.

Inez : Cuma itu yang dapat kau kemukakan ?

Estelle : Apa lagi ? Aku dan adikku sudah yatim piatu sejak kecil. Sudah yatim
piatu, miskin lagi. Adikku penyakitan dan aku harus merawat dan
membesarkannya. Sampai seorang tua bangka meminangku. Dia kaya dan
adikku memerlukan perawatan yang baik. Lalu aku terima, untungnya tua
bangka itu adalah seorang yang baik. Jadi langkaku itu cepat, kan ?
Suamiku terlalu tua, begitupun untuk jadi ayahku. Tapi selama enam tahun
dan aku jatuh cinta padanya. Pria itu mengajak aku lari, tapi aku menolak.
Terus aku kena paru-paru, lalu mati. Menurut ukuran tertentu, mungkin
aku salah telah mengorbankan masa mudaku pada seorang laki-laki yang
tiga kali lebih tua dariku. (pada Garcin) Menurut Tuan, apa itu dosa ?

Garcin : Tentu saja tidak. (diam sebentar) Apa salahnya mempertahankan pendirian
kita ?

Estelle : Siapapun tidak boleh menyalahkan orang lain karena itu.

Garcin : Aku redaktur surat kabar netral yang cinta damai. Lalu perang pecah.
Wajib militer. Orang memperhatikan aku dan bertanya-tanya “Apa dia
berani ? Apa dia berani ?” Nah, aku berani. Aku tetap berdiri sebagai
seorang cinta damai. Lalu aku mereka tembak. Apa ada yang salah dalam
perbuatanku ?

Estelle : (meletakkan tangan pada lengan Garcin) Salah ? sebaliknya. Tuan adalah…

Inez : (ironis) Seorang pahlawan. Istrimu bagaimana, Tuan Garcin ?

Garcin : Bersahaja sekali. Aku menyelamatkan dia dari..dari lumpur.

Estelle : (pada Inez) Kau mengerti ?

Inez : Ya, aku mengerti. (diam) Kita semua telah dilumuri dengan kotoran yang
sama.

Estelle : Jangan asal ya !

Inez : Ya, kita adalah penjahat-penjahat. Kita adalah pembunuh.

Estelle : Diam !

Inez : Ruh terkutuk..itulah kau. Begitu juga kawan kita ini, pejuang perdamaian.
Mengorbankan orang untuk kepentingan kita. Dan sekarang kita harus
membayarnya.

Garcin : (mengangkat tinjunya) Tutup mulutmu, iblis.

Inez : (menghadapi dia tanpa takut tapi dengan pandangan penuh keheranan) Ya,
ya. (diam) Aku mengerti. Aku tahu kenapa kita bertiga di kumpulkan.

Garcin : Pikir dua kali dulu sebelum kau bicara.

Inez : Tenang ! Ini sederhana sekali. Di sini tidak ada siksaan badan. Iya kan ?
walaupun begitu kita berada di neraka. Dan tidak ada orang lain lagi yang
akan datang. Kita akan tinggal di kamar ini, bersama, bertiga, selamanya…
Yang tidak ada di sini adalah, algojo yang resmi.

Garcin : Aku tahu.

Inez : Ini sama seperti di kafetaria-kafetaria, dimana pengunjung harus melayani


diri sendiri, self service. Kita masing-masing akan bertindak sebagai algojo
bagi yang lainnya. (diam sementara mereka mencoba memahami
penjelasan itu).

Garcin : Tidak, aku tidak akan pernah jadi algojo kalian. Aku tidak ingin menyakiti
kalian. Penjelasannya mudah saja. Duduk di tempat masing-masing dan
jangan hiraukan yang lain. Seperti prajurit yang sedang berjaga. Jangan
bicara sepatah katapun.

Estelle : Apa aku juga harus diam ?

Garcin : Ya. Dengan begitu, kita dapat menyelamatkan diri masing-masing.


Pandang diri sendiri dan jangan angkat kepala. Setuju ?

Inez : Setuju.

Estelle : (setelah ragu-ragu) Aku setuju.

Garcin : Kalau begitu…selamat jalan.

Ia pergi ke sofa, lalu menutup mukanya dengan tangannya. Beberapa saat diam. Lalu
Inez mulai bernyanyi.
Sementara itu Estelle mengeluarkan kotak bedak dan gincu bibirnya. Dia mencari-cari
cermin, membuka tasnya, lalu berkata pada Garcin.

Estelle : Maaf, Tuan punya kaca ? (Garcin tidak menjawab) Kaca apa saja, kaca
kantong juga cukup. (Garcin tidak menjawab) Tuan tidak usah menjawab.
Cukup pinjami aku kaca saja.

Inez : Jangan sedih. Aku punya kaca dalam tasku. (ia membuka tas) Sudah tidak
ada lagi. Rupa-rupanya mereka sudah ambil tadi di pintu masuk.

Estelle : Menyesalkan sekali.

Diam. Dia menutup mata, lalu ia tehuyung-huyung seakan-akan mau jatuh. Inez
berlari menolong dia.

Inez : Kenapa ?

Estelle : (membuka matanya dan tersenyum) Kalau kau tidak dapat melihat diriku
sendiri aku mulai sangsi apa aku betul-betul ada.

Inez : Bagaimana kalau aku mencoba jadi cerminmu ? Ikuti aku sayang. Di sini di
atas sofaku ada tempat untukmu.
Estelle : Tapi (ia menunjuk pada Garcin).

Inez : Ah, dia tidak masuk hitungan. Duduklah. Dekat sedikit. Dekat lagi. Lihat
ke mataku. Apa yang kau lihat ?

Estelle : Oh, aku ada di situ. Tapi kecil sekali. Aku tidak bisa melihat diriku dengan
jelas.

Inez : Tapi aku bisa. Setiap jengkal tubuhmu. Sekarang tanyai aku. Aku adalah
sama bijaknya dengan sebuah cermin.

Estelle kelihatan ragu lalu melihat pada Garcin seolah-olah ia minta ditolong.

Estelle : Tuan, Garcin. Apa percakapan kami mengganggu Tuan ?

Garcin tidak menjawab.

Inez : Jangan hiraukan dia. Anggap di sini hanya kita berdua. Ayo, bertanyalah.

Estelle : Apa polesan bibirku bagus ?

Inez : Coba lihat. Agak belepotan sedikit.

Estelle : Tuh kan. Untung tidak ada yang lihat. (memperbaiki polesan bibir)

Inez : Sudah lumayan. Hei, ikuti garis bibirmu. Tunggu. Biar aku tuntun
tanganmu. Nah sekarang bagus.

Estelle : Sebagus waktu aku masuk ?

Inez : Jauh lebih bagus. Lebih kejam. Sekarang bibirmu kelihatan lebih
membayangkan kekejaman.

Estelle : Nona Serrano, aku serius. Apa polesan bibirku sudah bagus ?

Inez : Panggil aku Inez !

Estelle : Sudah bagus apa belum ?

Inez : Kau cantik Estelle.

Estelle : Apa aku bisa percaya pada seleramu ? Apa selera kita sama ?

Inez : Seleraku seleramu, sayang. Karena aku sayang sekali padamu. Tatap aku.
Tidak, lurus. Sekarang senyum. Apa aku tidak lebih baik dari cerminmu ?

Estelle : Entahlah. Kau menakutkan aku. Bayangkan ku di kaca tidak pernah


berbuat begitu. Kalau aku tersenyum di cerminmu, senyumku akan
tenggelam ke dalam bola matamu dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi
dengan senyumku.

Inez : (kedua wanita itu saling berpandangan) Aku ingin kau memanggilku Inez.
Kita harus bersahabat.

Estelle : Aku tidak gampang bersahabat dengan wanita.

Inez : Maksudmu, tidak dengan pegawai pos. Heii… Ada bintik merah di pipimu.
Jerawat genit yaa ?

Estelle : Jerawat ? yang benar. Mana ?

Inez : (tertawa) Tidak ada jerawat sama sekali, satupun tidak. Jadi bagaimana
kalau cermin mulai berdusta. Atau misalkan aku menutup mataku dan
menolak untuk melihatmu. Segala kecantikanmu akan terbuang dengan
sia-sia. Tapi jangan takut, aku senang sekali melihatmu. Aku tidak akan
memalingkan mataku. (diam sebentar).

Estelle : Apa kau betul-betul tertarik padaku ?

Inez : Sangat (diam).

Estelle : (menunjuk pada Garcin dengan gerakan kepalanya) Tapi aku mau dia juga
melihatku.

Garcin : Tidak sepatah katapun yang luput dari pendengaranku. Pembicaraan omong
kosong. Sekarang, tolong jangan ganggu aku. Aku tidak punya perhatian
pada kalian.

Inez : Padaku mungkin tidak, tapi dia ? Apa kau juga tidak menaruh perhatian
padanya ?

Garcin : Tolong jangan ganggu aku. Ada orang yang membicarakan aku di kantor
surat kabar dan aku ingin mendengarkannya. Oya, kalau ini bisa
membuatmu senang, akan aku katakan padamu, anak itu tidak berguna
sama sekali bagiku.

Estelle : Terima kasih.

Garcin : Aku tidak bermaksud kasar padamu.

Estelle : Bajingan.

Mereka saling berpandangan, diam.

Garcin : Baiklah. Aku sudah bilang supaya kau tidak bicara.

Estelle : Dia yang mulai. Aku tidak minta apa-apa darinya. Tapi dia malah
menawarkan cerminnya padaku.
Inez : Oh, begitu. Jadi dari tadi kau berdandan untuk dia. Kau mencoba segala
macam cara untuk menarik perhatiannya.

Estelle : Memangnya kenapa ?

Garcin : Kalian gila. Apa kalian tidak tahu kemana ujung semua ini ? Tolong tutup
mulut kalian. (diam) Sekarang duduk kembali dengan tenang. Lupakan
bahwa yang lain hadir di kamar ini.

Diam. Garcin duduk, wanita-wanita itu kembali ke tempat mereka masing-masing


dengan ragu-ragu. Tapi tiba-tiba Inez mendekati Garcin.

Inez : Melupakan yang lain ? Mustahil. Aku merasakan kehadiranmu, di setiap


lubang kulitku. Keheninganmu bersorak-sorai di telingaku. Bisa saja kau
berdiam diri di atas sofamu, tapi kau ada di mana-mana. Setiap bunyi yang
sampai padaku sudah kotor karena telah kau jaring terlebih dulu. Kau
sudah mencuri mukaku. Bagaimana dengan dia, Estelle ? Dia juga sudah
kau curi dariku. Biarpun tidak melihatnya, aku merasakannya dalam
tulangku, bahkan dia memperdengarkan suara-suara untuk kepentinganmu.
Desir pakaiannya, aku tidak mau terima. Aku lebih suka menatap matamu
dan berkelahi denganmu.

Garcin : Terserah. Rupanya memang harus begini jadinya. Jika aku sekamar dengan
laki-laki, pasti akan lebih baik. Laki-laki bisa tutup mulut. Tapi apa
gunanya merindukan sesuatu yang mustahil. (ia mendekati Estelle lalu
membalut-balut lehernya) Jadi aku telah menarik perhatiannya, gadis
kecil ?

Estelle : Jangan sentuh aku.

Garcin : Kenapa tidak. Kita bisa…Kau pasti tahu, dulu aku memang penggila
wanita. Diantara mereka ada yang senang padaku. Jadi kita tidak usah
pura-pura. Lupakan kesopanan, budaya dan semacamnya. Kita akan
telanjang bulat bagai bayi baru lahir.

Estelle : Jangan ganggu aku.

Garcin : Telanjang bagai bayi yang baru ahir. Lebih baik begitu. Aku ingin tahu
dengan siapa aku berhadapan.

Inez : Kau sudah tahu. Tidak ada lagi yang perlu kau ketahui.

Garcin : Kau salah. Selama kita masing-masing belum mengakui seluruhnya, kita
belum tahu apa-apa. Kau nona muda, kau mulai. Kalau kau jujur, kalau
mau buka kartu, barangkali kita bisa selamat dari kehancuran. Ayo
ceritakan. Kenapa ?

Estelle : Kan sudah aku bilang, aku tidak tahu. Mereka tidak mau menceritakannya
padaku.
Garcin : Mereka juga tidak mau menceritakannya padaku. Tapi sedikit banyak aku
tahu…barangkali kau malu untuk mulai lebih dulu. Baik. Aku yang mulai.
(diam) Aku seorang yang patut dihargai.

Inez : Tidak perlu kau bilang. Kami tahu kau seorang desertir.

Garcin : Masa bodoh. Itu hanya soal sampingan. Aku ada di sini karena aku
memperlakukan istriku dengan buruk sekali. Cuma itu. Selama lima tahun.
Tapi tentu saja sampai sekarang dia masih menderita. Itu dia ! Begitu
kusebut. Dia muncul. Yang ingin kulihat sebetulnya Gomez, tapi dimana
Gomez ? Nah itu. Mereka telah memberikan milikku kepadanya. Dia
duduk di jendela memandangi jasku. Jas dengan lubang dua belas peluru.
Apa kau tidak bisa menangis sayang ? Peras air matamu barang setetes.
Tidak bisa ? …bermalam-malam aku pulang mabuk, bau anggur busuk dan
perempuan. Dia selalu menungguku. Tidak pernah menangis, tidak pernah
mengeluh biar sepatah katapun. Hanya matanya yang bicara. Mata yang
besar dan menyedihkan. Aku tidak menyesal sedikitpun. Aku harus
membayar harga yang sudah ditentukan tapi aku tidak akan mengeluh…
jalan penuh salju. Apa kau tidak mau menangis, brengsek ? Perempuan itu
seorang martir sejati; seorang yang kerjanya jadi korban.

Inez : Kenapa kau sakiti dia seperti itu ?

Garcin : Aku Cuma mengganggu. Kuperhatikan lalu kutunggu. Tapi, tidak pernah
protes, tidak sebutir air matapun…kini ia lagi menyikat bajuku. Matanya
terkatup dan ia mersa-rasakan lubang peluru itu, dengan jarinya. Apa yang
kau cari ? Apa yang kau harapkan ? kan sudah kukatakan. Aku tidak
menyesal. Soalnya, dia teralu kagum padaku. Apa itu tidak ada artinya
bagimu ?

Inez : Tidak. Tidak ada orang yang mengagumi aku.

Garcin : Nah ini, satu hal yang dapat kau pegang. Aku membawa seorang gadis
peranakan tinggal di rumahku. Istriku tidur di tingkat atas. Dia pasti
mendengar segalanya. Dia biasa bangun pagi. Dan sementara aku dan
gadis itu berbaring telanjang di atas tempat tidur, istriku menyediakan kopi
buat kami.

Inez : Bajingan.

Garcin : Ya. Tapi bajingan yang dicintai. (di matanya kelihatan sinar pandangan
kejauhan) Aku ada di sini ? (pada Inez) Giliranmu.

Inez : Orang di sana menyebutku, “Perempuan Setan”, terkutuk. Jadi tidak


mengherankan kalau aku ada di sini.

Garcin : Apa Cuma itu yang dapat kau ceritakan ?


Inez : Tidak. Aku ada affair dengan Florence. Cerita mengenai orang mati. Ada
tiga bangkai. Mula-mula dia, gadis itu, baru aku. Aku. Tidak ada lagi yang
tinggal. Tidak ada lagi yang kurisaukan. Semuanya disapu bersih. Hanya
kamar itu. Kosong, sedangkan pintunya terkunci… Tidak, kamar itu mau
di sewakan. Itu ada tulisan tergantung di pintu. Kelewatan sekali.

Garcin : Tiga mayat katamu ?

Inez : Tiga.

Garcin : Satu laki-laki dua perempuan.

Inez : Ya.

Garcin : Bukan main. (diam) apa laki-laki itu bunuh diri ?

Inez : Dia ? Mana dia berani. Padahal alasannya sudah cukup. Kami membuat
hidupnya tersiksa. Tapi dia malah mati ditindas trem. Cara mati yang
dungu…aku tinggal bersama mereka. Laki-laki itu saudara sepupuku.

Garcin : Apa Florence cantik ?

Inez : Cantik ? (memandang pada Estelle) Sebenarnya aku tidak begitu senang
menceritakannya.

Garcin : Tidak apa…Jadi kau mau cerita ?

Inez : Ya, sedikit-sedikit. Ada saja hal kecil yang membuat aku jengkel. Kalau
minum ia selalu memperdengarkan suara…bunyi orang kumur-kumur.
Tapi siapapun yang melihatnya, pasti merasa kasihan padanya. Dia rapuh.
Kenapa kau tersenyum ?

Garcin : Karena,, biar bagaimanapu juga, aku bukan seorang yang rapuh.

Inez : Jangan sok yakin…Aku masuk ke bawah kulit gadis itu. Dia melhat dunia
ini lewat mataku. Waktu sepupuku meninggalkannya, ia kukuasai. Kami
menyewa kamar di ujung kota.

Garcin : Lalu ?

Inez : Lalu trem melakukan tugasnya. Setiap hari kuingatkan padanya : “Kita
berdua telah membunuhnya”. (diam) Aku kejam.

Garcin : Aku juga.

Inez : Tidak, kau tidak kejam. Kau lain lagi.

Garcin : Apa ?
Inez : Nanti kuberitahu. Kalau kukatakan aku kejam maka maksudku, aku tidak
usah hidup tanpa menyakiti orang lain. Pada suatu malam ia bangun, kran
gas ia buka, sedangkan aku masih tidur. Sesudah itu ia kembali ke
ranjangku. Sekarang kau paham ?

Garcin : Ya, ya.

Inez : Apa yang kau pikirkan ?

Garcin : Tidak ada. Ceritamu tidak begitu menggembirakan. (pada Estelle)


Giliranmu, apa yang sudah kau perbuat ?

Estelle : Kan sudah aku bilang. Aku tidak tahu. Aku sudah coba mengingat, tapi sia-
sia.

Garcin : Baik. Kalau begitu biar kami bantu. Laki-laki yang hancur mukanya itu,
siapa ?

Estelle : Siapa ? Siapa maksud Tuan ?

Inez : Kau tahu betul siapa. Laki-laki yang takut kau lihat waktu pertama masuk
ke sini.

Estelle : Oh, dia kawanku.

Garcin : Kenapa kau takut padaku ?

Estelle : Itu urusanku, Tuan Garcin.

Inez : Apa dia bunuh diri karena kau ?

Estelle : Tentu saja tidak.

Garcin : Dia menembak kepalanya. Karena itu mukanya ikut hancur.

Estelle : Sudah, sudah cukup. Jangan teruskan.

Garcin : Kau penyebabnya ! Ya, kan ?

Inez : Ia bunuh diri karena kau.

Estelle : Jangan ganggu aku. Kenapa aku dibentak-bentak seperti tu. Aku mau pergi.
Aku mau pergi. (ia berlari ke pintu lalu mengguncang-guncang pintu itu).

Garcin : Pergilah kalau bisa. Secara pribadi aku merasa senang. Sayang sekali pintu
itu terkunci.

Estelle menekan knop lonceng tapi lonceng itu tidak berbunyi. Estelle berbalik lalu
berdiri membelakangi pintu.
Estelle : Aku benci kalian berdua.

Inez : Benci ? Ya, itulah kata yang tepat. Sekarang teruskan. Kau gundik laki-laki
itu kan ?

Garcin : Tentu saja. Dan ia ingin memiliki Estelle sendiri. Begitu, kan ?

Inez : Dia suka datang ke klub kalangan elit tapi dia miskin bagai tikus dapur…
betul kan ? (diam)

Garcin : Dia miskin kan ? Jawab terus terang.

Estelle : Ya, dia miskin.

Garcin : Sementara kau harus menjaga nama baikmu. Dan ketika dia datang
memintamu lari dari suamimu. Kau mentertawainya.

Inez : Ya. Kau menertawai dia. Lalu dia bunuh diri.

Estelle : Apa begitu caramu memandang Florence ?

Inez : Ya. (diam, lalu Estelle tertawa).

Estelle : Kalian salah. Dia ingin aku punya anak.

Garcin : Tapi kau tak mau.

Estelle : Tentu saja tidak. Tapi celakanya, bayi itu datang juga. Aku ingin ke Swiss
selama lima bulan. Tidak ada orang yang tahu. Bayi itu bayi perempuan.
Roger mendampingi aku waktu bayi itu lahir. Ia gembira sekali mendapat
anak perempuan. Tapi aku tidak senang.

Garcin : Lalu ?

Estelle : Di sana ada sebuah balkon yang menjorok ke danau. Aku mengambil
sebuah batu besar. Dia melihatku dan berteriak, “Estelle demi Tuhan,
jangan !” Waktu itu aku benci sekali padanya. Dia menyaksikan
perbuatanku. Dari atas balkon dia melihat lingkaran air berpendar-pendar.

Garcin : Lalu ?

Estelle : Hanya itu. Aku kembali ke Paris…dan ia melakukan apa yang ingin ia
lakukan.

Garcin : Makusdmu, ia menembak kepalanya.

Estelle : Perbuatannya itu bodoh sekali. Sementara suamiku tidak berprasangka apa-
apa. (diam) Oh, aku benci kalian. (ia menangis tapi air matanya tidak
keluar).
Garcin : Percuma. Di sini air mata tidak bisa mengalir.

Estelle : Aku seorang pengecut. Pengecut. (diam) Kalian dengar baik-baik. Aku…
benar-benar..sangat..benci sekali pada kalian.

Inez : (memegang lengannya) Anak malang. (pada Garcin) Pemeriksaan sudah


selesai. Kau tidak usah berlagak seperti hakim yang mau menjatuhkan
hukuman mati.

Garcin : Hakim yang mau menjatuhkan hukuman mati ? (ia memandang di


sekitarnya) Aku ingin sekali melihat di cemin. (diam) Uh, panas sekali.
(tanpa ia sadari membuka jasnya) Oh, maaf. (ia mulai mengenakan
kembali)

Estelle : Tak apa-apa. Buka saja. Lagipula panas di sini.

Garcin : Betul. (Ia menjatuhkan jasnya ke atas sofa) Jangan marah padaku Estelle.

Estelle : Aku tidak marah padamu.

Inez : Aku ? Apa kau marah padaku ?

Estelle : Ya. (diam)

Inez : Nah, Tuan Garcin, Tuan berhasil membuat kami telanjang bulat. Apa
sekarang semuanya lebih jelas bagi Tuan ?

Garcin : Entahlah. Ya. Barangkali sedikit lebih jelas. Bagaimana kalau kita coba
saling membantu ?

Inez : Aku tidak perlu bantuan.

Garcin : Inez, mereka telah menjalin jerat mereka bagai jaring laba-laba. Sedikit
saja kau bergerak, Estelle dan aku akan merasakan denyutannya. Seorang
diri, tidak akan ada yang dapat menyelamatkan diri. Kita saling berpautan.
Jadi kau boleh pilih (diam) Hey, ada apa ?

Inez : Kamar itu sudah ada yang menyewa. Jendela dibuka lebar-lebar. Seorang
laki-laki duduk di atas tempat tidurku. Silahkan masuk. Anggap saja
rumah sendiri. Setan. Ada perempuannya di sana. Dia mendekati lelaki itu
dan meletakkan tangan di atas bahunya. Aaakh…kenapa mereka tidak
nyalakan lampu ? Hari mulai malam di sana. Sekarang ia menciumnya.
Setan, itu rumahku. Kamarku…kenapa gelap sekali. Aku tidak bisa
melihat apa-apa. Tapi aku dengar mereka berbisik-bisik di atas ranjangku.
Apa dia bilang ? Di sana siang hari dan matahari bersinar terik ? Aku
sudah buta rupanya. (diam) Semua gelap. Aku tidak bisa melihat, tidak
bisa mendengar. Rupanya aku sudah selesai dengan bumi (Ia gemetar).
Aku merasa diriku kosong, kering..akhirnya aku betul-betul mati. (diam)
Kau bilang apa tadi ? Kau mau membantuku ? Begitu ?
Garcin : Ya.

Inez : Untuk melakukan apa ?

Garcin : Untuk mengalahkan akal busuk mereka.

Garcin : Mau apa ?

Estelle : (berdiri lalu mendekatinya) Bisa menolongku ?

Garcin : Kalau butuh pertolongan, minta padanya. (Inez datang lalu berdiri di
belakang Estelle, tapi tanpa menyentuhnya. Selama dialog berikut boleh
dikatakan dia bicara ke telinga Estelle. Tapi Estelle terus memandang pada
Garcin, yang memperhatikannya tanpa bicara Estelle mengarahkan
jawabannya pada Garcin, seolah-olah dialah yang menanyai dia).

Estelle : Aku mohon, Garcin- kau kan sudah janji ? Cepat tolong aku. Aku tidak
mau sendiri. Olga membawanya ke barat.

Inez : Membawa siapa ?

Estelle : Peter…oh, mereka disko berpasangan !

Inez : Peter siapa ?

Estelle : Anak brengsek. Ia menyebutku arus kemilaunya. Dia cinta sekali padaku…
Olga telah mengajaknya kencan malam ini.

Inez : Kau cinta padanya ?

Estelle : Tentu saja aku tidak cinta padanya. Umurnya baru delapan belas. Aku
bukan pelahap daun muda.

Inez : Kalau begitu kenapa kau risaukan mereka ? Apa urusanmu ?

Estelle : Dia milikku.

Inez : Di dunia tidak ada lagi milikmu.

Estelle : Dulu dia punyaku.

Inez : Dulu begitu. Tapi sekarang ? Coba sentuh dia, bicara padanya. Tidak bisa
kan ? Olga bisa menyentuhnya dan bicara padanya. Dia dapat meremas-
remas tangannya dan menggosok-gosokkan tubuhnya ke tubuh pemuda itu.

Estelle : Ya. Olga menakankan susunya yang besar itu ke tubuh Peter sambil
terengah-engah. (pada Inez). Apa tidak ada lagi dari diriku yang tersisa di
sana ?
Inez : Tidak ada apapun dari dirimu yang tersisa, bayanganmupun tidak ada.
Semua milikmu ada di sini. Kau ingin pisau kertas itu ? Patung perunggu
itu ? Sofa biru itu punyamu. Dan aku sayang, aku adalah milikmu untuk
selama-lamanya.

Estelle : Kau milikku ? Bagus. Apa diantara kalian ada yang berani menyebut aku
arus kemilaunya, gadis kristalnya ? Kau tahu, aku busuk sampai di
dalam…Peter ! Ingat aku, pusatkan pikiranmu padaku, selamatkan aku.
Selama kau berfikir aku aus kemilaumu, gadis kristalmu, maka hanya
separuh dirku yang jahat, yang ada di sini. Sedangkan seperuh diriku yang
lain ada di sana, bersih dan cerah, bening kristal bagai air yang mengalir…
Apa ? Jangan cerita padanya. Jangan, jangan. Kau boleh ambil dia,
perlakukan dia semaumu, tapi jangan ceritakan padanya. (diam) Baik. Kau
boleh ambil dia. Dia telah menceritakan segala-galanya. Tentang Roger,
tentang perjalananku ke Swiss, tentang bayi itu. Cahaya suram. Mereka
mengecilkan lampu, waktunya melantai lagi. Kenapa gerakan mereka
begitu lambat ? Hey, keraskan sedikit musiknya. Aku tidak bisa dengar
apa-apa. (diam) Habis sudah. Inilah akhirnya. Bumi sudah meninggalkan
aku. (pada Garcin) Jangan tinggalkan aku. Peluk aku.

Di belakang Estelle, Inez memberi tanda pada Garcin supaya menjauh. Garcin
mundur selangkah dan menunjuk pada Inez sambil memandang pada
Estelle.

Estelle : (bergantung padanya) Jangan pergi. Kau laki-laki kan ? Aku pasti tidak
terlalu menakutkan. Di sini pemandangan yang ada Cuma sofa, hiasan
yang buruk itu dan meja. Pasti aku lebih menarik dipandang daripada
perabot-perabot buruk itu. Bagini. Aku seekor anak burung jatuh dari
sangkarnya. Pungutlah aku,masukkan dalam hatimu. Kau nanti akan
merasakan betapa manisnya aku.

Garcin : (membebaskan diri) Jangan aku, katakan padanya.

Estelle : Dia tidak masuk hitungan, dia perempuan.

Inez : Oh, aku tidak masuk hitungan ? Tapi anak burungku yang jatuh, kau telah
lama bernaung dalam hatiku. Aku akan memandangmu selamanya, tanpa
mengerjapkan mata dan kau akan hidup dalam mataku bagai sebutir debu
hidup dalam sinar matahari.

Estelle : Sinar matahari. Tidak usah menggombal deh. Usahamu itu tidak akan
mempan.

Inez : Kemarilah Estelle. Kau bisa jadi apa saja yang kau inginkan. Arus kemilau,
arus keruh. Dan jauh di dalam mataku kau dapat melihat dirimu seperti
yang kau inginkan.

Estelle : (kesal) Ooooh…Apa yang harus kulakukan supaya bebas darimu ? Aku
tahu. (Ia menampar muka Inez).
Inez : Garcin, kau harus bayar.

Diam. Garcin mengangkat bahu, lalu mendatangi Estelle.

Garcin : Ah, jadi kau membutuhkan seorang laki-laki.

Estelle : Bukan sembarang laki-laki, tapi kau.

Garcin : Tidak usah bohong. Siapapun, yang penting laki-laki. Karena kebetulan
aku yang ada di sini, maka kau menginginkan aku. Baik ! (Ia memegang
bahunya) Tapi ingat, kita berbeda. Aku bukan anak muda dan aku tidak
pandai berdisko.

Estelle : Kau kuterima apa adanya. Siapa tahu aku bisa mengubahmu.

Garcin : Aku tidak yakin dan tidak peduli. Banyak yang harus kupikirkan.

Estelle : Apa ?

Garcin : Kau tidak akan tertarik.

Estelle : Aku akan duduk di sofamu dan menunggu sampai kau mau memperhatikan
aku. Aku janji tidak akan menyusahkanmu.

Inez : (ketawa melengking) Jilat saja dia, kucing garong. Telungkup dan
melangkahlah. Cantik juga tidak. Apa yang menarik ?

Estelle : Jangan pedulikan dia. Dia punya mata, tapi tidak punya telinga.

Garcin : Aku akan berikan apa yang bisa kuberikan. Tapi aku tidak akan
mencintaimu.

Estelle : Tapi kau mau kan ?

Garcin : Ya.

Estelle : Aku tidak akan minta lebih dari itu.

Garcin : Kalau begitu…(Ia membungkuk).

Inez : Estelle ! Garcin ! kalian gila. Kalian gila. Kalian gila. Kalian tidak sendiri.
Aku juga ada di sini.

Garcin : Aku tahu, tapi kan tidak apa-apa.

Inez : Di depan mataku ? Tidak bisa, tidak bisa.

Estelle : Kenapa tidak bisa ? Aku sering buka pakaian di depan pelayanku.
Inez : (menahan Garcin) Jangan gerayangi dia dengan tangan laki-lakimu yang
kotor.

Garcin : (menolakkannya dengan kasar) Awas, aku bukan laki-laki terhormat dan
aku tidak segan-segan memukul perempuan.

Inez : Tapi kau sudah janji. Kau sudah janji. Aku Cuma minta supaya kau
memenuhi janjimu.

Garcin : Kenapa ? Kau sendiri yang lebih dulu merusak perjanjian. (Inez
membelakanginya lalu mundur ke ujung kamar).

Inez : Baik, terserah. Tapi jangan lupa, aku di sini dan aku melihat. Aku tidak
akan melepaskan pandanganku. Kalau kau mencium dia, kau akan merasa
pandanganku menikam dirimu.

Selama adegan berikutnya Inez memperhatikan mereka tanpa bicara. Garcin kembali
pada Estelle, lalu memegang bahunya, diam ia membungkuk untuk
menciumnya, lalu tiba-tiba berdiri kembali.

Estelle : Kenapa ? (diam) Sudah kubilang jangan hiraukan dia.

Garcin : Bukan dia, tapi Gomez. Dia kembali ke ruang wartawan. Mereka sudah
menutup jendela. Rupanya sekarang di sana musim dingin. Enam bulan
sejak aku…aku kan sudah bilang, pikiranku kadang-kadang tidak di sini…
Mereka gemetar. Mereka gemetar. Mereka tidak buka jas. Lucu sekali
melihat mereka kedinginan sedangkan aku kepanasan. Ah, kali ini dia
bicara tentang aku.

Estelle : Masih lama ya ? (diam) Boleh aku tahu dia bicara apa ?

Garcin : Bukan apa-apa. Tidak ada yang pantas untuk kau tahu. Dia babi, cuma itu.
(Ia mendengarkan dengan sungguh-sungguh) Babi terkutuk. (Ia kembali
pada Estelle) Kita kembali pada diri kita sendiri. Apa kau akan
mencintaiku ?

Estelle : Entahlah.

Garcin : Kau percaya padaku ?

Estelle : Pertanyaan aneh. Selamanya kau akan ada di depanku dan aku tidak perlu
khawatir lagi dengan Inez.

Garcin : Tentu. (diam. Ia melepaskan tangannya dari bahu Estelle) Maksudku


kepercayaan yang lain. (mendengarkan) Bicaralah, bicaralah bangsat. Aku
tidak ada di sana untuk membela diri. (pada Estelle) Kau harus berikan
kepercayaanmu padaku.

Estelle : Aku mau memberikan bibirku, lenganku, seluruh tubuhku.


Kepercayaanku ? Aku tidak punya kepercayaan yang dapat kuberikan.
Rupanya ada yang mengganggu batinmu, sampai kau mempertanyakan
kepercayaanku.

Garcin : Mereka menembakku.

Estelle : Karena kau menolak untuk berperang. Yah, aku tahu itu.

Garcin : Dia memang pintar bicara, tapi dia tidak pernah mengatakan apa yang
harus kulakukan…apa aku harus pergi pada jendral itu dan berkata,
“Jendral, aku menolak untuk berperang ?” Aku tahu aku akan dipenjara.
Tapi aku ingin menunjukkan sikapku yang sebenarnya. Aku tidak mau
tutup mulut. (pada Estelle) Lalu, lalu aku naik kereta…aku tertangkap di
perbatasan.

Estelle : Mau kemana ?

Garcin : Meksiko. Aku ingin menerbitkan surat kabar cinta damai di sana. (diam)
Kenapa kau diam ?

Estelle : Kau terpaksa lari. Kau tidak lari, kau akan dipenjara.

Garcin : Ya. (diam) Estelle, apa aku seorang pengecut ?

Estelle : Bagaimana aku tahu ? Kau harus putuskan sendiri.

Garcin : Aku tidak bisa.

Estelle : Kau tentu punya alasan untuk berbuat seperti itu kan ?

Garcin : Memang.

Estelle : Nah.

Garcin : Tapi apa alasan itu alasan yang sebenarnya ?

Inez : Tepat. Itu intinya. Apa itu alasan kau yang sebenarnya ? Kau sudah
perdebatkan itu dengan dirimu sendiri dan akhirnya kau menemukan
alasan yang baik untuk apa yang telah kau lakukan. Tapi ketakutan,
kebencian, semua naluri kecil dan kotor yang kita sembunyikan, itu juga
sebuah alasan. Jadi Tuan Garcin, cobalah untuk berlaku jujur pada dirimu
sendiri.

Garcin : Kau tidak perlu mengatakan itu padaku. Siang malam, aku berjalan pulang
balik ke selku, tapi aku selalu kembali pada satu hal yang pasti, aku telah
naik kereta ke perbatasan. Tapi kenapa ? Kenapa ? Akhirnya aku berkata.
Maut yang menentukan. Jika aku dapat menghadapi maut dengan penuh
keberanian, maka aku sudah membuktikan bahwa aku bukan seorang
pengecut.

Inez : Bagaimana kau menghadapi maut ?


Garcin : Dengan cara yang buruk sekali. (Inez ketawa) Aku tahu malu. Cuma
segalanya tetap merupakan ketegangan yang panjang. (pada Estelle)
Kemari Estelle. Lihat aku. Aku ingin merasakan pandangan seseorang,
sementara mereka membicarakan kau di bumi…aku senang mata yang
jernih.

Inez : Mata yang jernih. Estelle, kau suka pada orang-orang pengecut ?

Estelle : Aku tidak peduli pengecut atau pahlawan, yang penting ciumannya nikmat.

Garcin : Itu mereka, terbenam dalam kursi sambil menghisap cerutu. Mereka
kelihatan jenuh. Mereka berfikir, Garcin pengecut. Itulah keputusan
mereka, kawan-kawan baikku itu. Dan seterusnya tiap kali ada orang yang
bersikap seperti aku, mereka akan bilang,”Sama pengecutnya dengan
Garcin”. Kalian beruntung. Tidak seorangpun yang di bumi yang ingat
kalian. Tapi aku. Masa sekaratku panjang sekali.

Inez : Bagaimana istrimu ?

Garcin : Dia sudah mati.

Inez : Mati ?

Garcin : Dua bulan yang lalu.

Inez : Karena sedih ?

Garcin : Apa lagi kalau bukan karena itu ? Perang sudah selesai, istriku sudah
meninggal dan aku telah memikirkan namaku dalam sejarah. (Ia menangis
lalu membarut muka dengan tangannya. Estelle memegang tangannya).

Estelle : ayang. Sini. Lihat aku. Lihat. Sentuh aku. (Ia menarik tangan Garcin ke
lehernya) nah. Biarkan tanganmu di sini. (Garcin bergerak) Jangan
risaukan mereka ? Mereka akan mati seorang demi seorang. Lupakan
mereka. Sekarang, yang ada cuma aku.

Garcin : Mereka akan mati, tapi yang lain akan menggantikan mereka untuk
meneruskan dongeng itu.

Estelle : Kau berfikir terlalu jauh. Itu yang menyusahkanmu.

Garcin : Kalau aku dapat libur sehari dari sini untuk menemui mereka. Akan aku
lumatkan dusta itu ke mulut mereka. Tapi aku sudah tersingkir. Mereka
membuat keputusan tentang hidupku tanpa mengiraukan aku, karena aku
sudah mati. Mati dan habis sudah. (ketawa) Tinggal nomor urut dalam
deretan papan nisan.

Estelle : Garcin.
Garcin : Hadir. Dengar. Aku perlu bantuanmu. Bagimu mungkin aneh ada orang
minta tolong padamu. Tapi kalau kau sungguh-sungguh berusaha.
Mungkin kita dapat saling mencintai. Beribu orang di sana boleh
menyebutku pengecut, tapi asal ada satu orang yang mengatakan dengan
tegas, bahwa aku tidak lari, bahwa aku berani dan jujur, maka aku akan
selamat. Aku akan mencintaimu dan memujamu untuk selamanya. Estelle,
kau mau terima aku ?

Estelle : Kau pikir aku bisa mencintai seorang pengecut ?

Garcin : Tapi tadi kau bilang…

Estelle : Aku Cuma berolok-olok. Kau tidak punya dagu seorang pengecut, mulut
seorang pengecut, suara seorang pengecut atau rambut seorang pengecut.
Dan aku cinta padamu karena dagumu, mulutmu, suaramu dan rambutmu.

Garcin : Apa kau bersungguh-sungguh ?

Estelle : Kau mau aku bersumpah ?

Garcin : Kalau begitu aku tidak peduli pada mereka yang di sana atau yang ada di
sini. Estelle, kita akan memanjat keluar neraka. (Inez ketawa. Ia terdiam
lalu memandang padanya) Kepana ?

Inez : Kau betul-betul bodoh. “Estelle, apa aku seorang pengecut ?” Dia tidak
peduli dengan itu ? Dia Cuma merindukan pelukan laki-laki di
pinggangnya, bau laki-laki yang menyala karena nafsu.

Garcin : Apa betul begitu, Estelle ? Jawab. Betul begitu ?

Esltelle : Kau hanya mempersulit…aku akan tetap cinta padamu, biarpun kau
seorang pengecut. Apa itu belum cukup ?

Garcin : (pada kedua perempuan) Kalian memuakkan. (Ia jalan ke pintu).

Estelle : Mau kemana ?

Garcin : Pergi.

Inez : Pintunya terkunci.

Garcin : Aku akan paksa mereka membukanya. (Ia menekan knop lonceng, tapi
lonceng itu tidak berbunyi).

Estelle : Jangan, jangan.

Inez : (pada Estelle) Jangan kuatir sayang. Lonceng itu tidak berbunyi.
Garcin : Mereka harus membukanya. (memukul pintu) Aku tidak tahan lagi. Aku
muak pada kalian. (Estelle mendekatinya tapi ia dorong jauh-jauh) Pergi.
Kau lebih busuk dari dia. (memukul pintu).

Estelle : Jangan tinggalkan aku. Aku janji tidak akan bicara lagi. Aku tidak akan
menyusahkanmu lagi. Aku takut sama Inez.

Garcin : Selamatkan dirimu sendiri. Siapa suruh datang ke neraka ini.

Estelle : Kau licik, kau pengecut.

Inez : (mendekati Estelle) Burung kecilku, kau puas sekarang ? Kau telah
menamparku demi menarik perhatiannya. Kita bertengkar karena dia. Tapi
sekarang dia akan pergi. Dan tempat ini akan jadi milik kita berdua.

Estelle : Kau tidak akan dapat apa-apa. Kalau pintu itu terbuka, aku juga akan pergi.

Inez : Kemana ?

Estelle : Kemana saja asal jauh darimu (Garciin memukul pintu selama mereka
bicara).

Garcin : Buka. Buka, jahanam ! Aku siap menerima semuanya, jepit panas, timah
lebur, semua yang membakar dan merobek. Apa saja. Aku siap. (ia
mengguncang-guncang kunci pintu) Buka. (tiba-tiba pintu terbuka, hingga
ia hampir jatuh) Ah ! (diam).

Inez : Bagaimana Garcin. Kau bebas untuk pergi.

Garcin : Kenapa pintu ini terbuka ?

Inez : Apa yang kau tunggu ? Pergilah.

Garcin : Aku tidak akan pergi.

Inez : Estelle ? (Estelle tidak bergerak, Inez tertawa) Jadi bagaimana ? Siapa
diantara kalian yang mau pergi ? Halangan sudah tidak ada, tunggu apa
lagi ? (tertawa) Ini luar biasa gila. Hebat sekali. Kita, kita tidak bisa
dipisahkan. (Estelle menerkam dari belakang).

Estelle : Tidak bisa dipisahkan ? Garcin, bantu aku. Cepat. Kita dorong dia keluar.
Lalu kita tutup pintunya.

Inez : (bergulat dengan Estelle) Estelle. Biarkan aku di sini. Aku tidak mau pergi.
Jangan dorong aku ke sana.

Garcin : Lepaskan dia.

Estelle : Aku gila. Dia benci padamu.


Garcin : Justru karena dia aku tinggal di sini. (Estelle dan Inez melihat pada Garcin
dengan penuh keheranan).

Inez : Karena aku ? (diam) Baik. Tutup pintu itu ! Kamar ini sepuluh kali lebih
panas sejak pintu itu terbuka. (Garcin jalan ke pintu lalu menutupnya)
Karena aku, katamu ?

Garcin : Ya, sedikit banyak aku tahu apa artinya jadi seorang pengecut ?

Inez : Ya aku tahu.

Garcin : Kau sama denganku. Kau kira aku betul-betul mau pergi ? Tidak. Aku
tidak akan membiarkan kau puas karena kekalahanku, dengan segala
macam pikiran tentang aku di kepalamu. Aku tidak dapat mendengar
mereka lagi. Mungkin sekali mereka tidak akan ingat lagi padaku. Layar
sudah turun, tidak ada lagi yang tersisa dari diriku di dunia. Bahkan juga
sebutan, pengecut. Kini kita sendiri. Kau yang terpenting. Kau benci
padaku. Tapi kalau kau percaya padaku maka aku akan selamat.

Inez : Tidak akan mudah. Aku seorang wanita yang keras kepala.

Garcin : (meletakkan tangannya ke atas bahu Inez) Inez. Setiap laki-laki punya
tujuan dalam hidupnya. Apakah itu kekayaan atau cinta. Tapi aku ingin
jadi laki-laki sebenarnya. Yang mempertaruhkan semuanya pada satu ekor
kuda saja…Seorang laki-laki adalah apa yang ia ingin jadikan dengan
dirinya.

Inez : Buktikan. Buktikan bahwa itu bukan mimpi.

Garcin : Kau benar-benar perempuan berbisa.

Inez : Ayolah, jangan putus asa. Sebenarnya tidak sulit untuk meyakinkan aku.
(Garcin mengangkat bahu) Ternyata aku benar waktu mengatakan kau
rapuh ? Kau pengecut, karena aku menginginkannya begitu. Aku
menginginkannya ! Kau dengar ! Aku menginginkannya. (Garcin
mendekatinya sambil membuka tangan) Ah, kini tangan itu terbuka.
Tangan yang besar, kasar. Tangan laki-laki. Tapi kau mau apa ? Kau tidak
dapat mencekik pikiran dengan tangan. Jadi bagimu tidak ada jalan lain.
Kau harus meyakinkan aku. Kau berada dalam tanganku.

Estelle : Garcin.

Garcin : Apa ?

Estelle : Balaskan dendammu.

Garcin : Bagaimana ?

Estelle : Cium aku, sayang…Kau akan dengar dia memekik.


Garcin : Betul Inez. Aku dalam tanganmu, tapi kau juga dalam tanganku. (ia
membungkuk depan Estelle, Inez memekik)

Inez : Pengecut, orang lemah. Tidak malu lari pada perempuan.

Estelle : Memekiklah Inez, memekiklah…Peluk aku yang dalam sayang. Lebih


dalam lagi, supaya dia mampus.

Inez : Ya, Garcin, dia benar. Lebih dalam lagi sampai kalian merasa tubuh kalian
lumer dan bercampur jadi satu. Cinta adalah liburan besar, dalam dan
gelap sampai tidur.

Estelle : Jangan hiraukan dia. Tekankan bibirmu ke bibirku. Aku milikmu, milikmu.

Inez : Tunggu apalagi ? Ayo lakukan. Ini adegan percintaan yang bagus sekali.
“Garcin si pengecut memeluk Estelle si pembunuh anak dalam tangan laki-
lakinya”. Ayo taruhan tuan-tuan. Ayo taruhan. Si pengecut Garcin akan
mencium wanita itu atau tidak ? Aku mengawasimu Garcin, semua orang
mengawasimu. Kau dengar itu Garcin ? “Pengecut, pengecut !”. Mereka
meneriakkan itu padamu.

Garcin : Apa hari tidak akan pernah malam ?

Inez : Tidak.

Garcin : Kau akan selalu mengawasiku.

Inez : Selalu.

Garcin melepaskan diri dari Estelle. Ia berjalan ke dekat patung perunggu.

Garcin : (memegangnya sambil merenung) Ya, sekarang saatnya. Memang,


semuanya sudah diatur. Mereka tahu aku akan berdiri di sini, membarut-
barut perunggu itu, sementara semua mata mengawasiku. (tiba-tiba ia
berputar dan tertawa) Jadi ini dia, yang namanya neraka. Aku tidak pernah
mengira seperti ini. Kalian ingat, cerita tentang macam-macam siksaan di
sini ? Buat apa besi rajam yang merah membara ? Api yang berkobar ?
Tidak perlu. Karena neraka adalah orang lain.

Estelle : Sayang.

Garcin : (menjauhkan dia) Biarkan aku. Dia ada di antara kita. Aku tidak dapat
mencintaimu selama dia mengawasiku.

Estelle : Baik. Kalau begitu aku hentikan dia. (ia pungut pisau kertas yang ada di
meja lalu menikam Inez).

Inez : (tertawa) Kau gila ya ? Kau kan tahu aku sudah mati.
Estelle : Mati ? (ia menjatuhkan pisau itu. Diam. Inez memungut pisau itu lalu
menikamkannya ke dirinya sendiri).

Inez : mati, mati, pisau, tali, racun…semuanya tidak mempan. Ini sudah terjadi,
kau mengerti ? Untuk seterusnya, beginilah kita, selamanya.(tertawa)

Estelle : (ketawa) Selamanya. Ya, Tuhan lucu sekali.

Garcin : (memandang pada kedua perempuan itu lalu ikut tertawa) Untuk
seterusnya, selamanya. (mereka duduk di sofa, masing-masing diam, tawa
mereka menghilang lalu mereka saling berpandangan) Ya, mari kita
lanjutkan.

---- selesai ----

Anda mungkin juga menyukai