Jurnal Kel 2
Jurnal Kel 2
Dosen Pengampu :
DISUSUN OLEH
Dosen Pengampu :
Sri Martini, S.Pd, S.Kp, M.Kes
Dr. Ira Kusumawaty, S.Kp, M.Kep, MPH
Sri Endriyani, S.Kep, Ns, M.Kep
Marta Pastari, S.Kep, Ns, M.Kes
DISUSUN OLEH
Febriani Suci Priadi (PO7120119034)
ABSTRAK
Perilaku kekerasan merupakan salah satu jenis gangguan jiwa.WHO (2015) menyatakan, paling tidak
ada satu dari empat orang di dunia mengalami masalah mental.Perilaku kekerasan merupakan salah
satu penyakit jiwa yang ada di Indonesia, dan hingga saat ini diperkirakan jumlah penderitanya
mencapai 2 juta orang, terutama dengan gejala perilaku agresif dan bila tidak tertangani dengan baik
maka akan menimbulkan dampak yang buruk kepada klien serta lingkungannya, sehingga perlunya
suatu tindakan keperawatan yang secara mandiri diberikan untuk menangani perilaku agresif itu
sendiri yaitu dengan Terapi Ration Emotive Behavior. Jenis penelitian adalah dengan pendekatan
studi kasu (Studi kasus).Pengumpulan data melalui observasi, wawancara mendalam, dokumentasi,
dan bahan audio visual.Pengambilan sampel dengan menggunakan purposive sampling, dengan 6
klien perilaku kekerasan di RSKD Maluku.Penelitian dilakukan bulan Maret sampai dengan Oktober
2019.Jenis pengumpulan data yang dilakukan dengan wawancara dan lembar observasi klien.Lokasi
penelitian RSKD Maluku.Sesuai dengan masalah yang peneliti angkat yaitu untuk mengontrol
perilaku agresif dengan penerapan rational emotive behavior therapy dan SP yang telah diterapka,
peneliti hanya menyusun intervensi terfokus pada masalah halusinasi pendengaran karena semua
tindakan untuk mengontrol perilaku kekerasan juga dapat meminimalkan semua masalah keperawatan
yang ada pada klien perilaku kekerasan.
ABSTRACT
One type of mental disorder WHO states, at least one in four people in the world who fix mental
problems. In Indonesia, and to date it is estimated that the number of sufferers reaches 2 million, most
of the above mentioned are complex challenges and if not handled properly will cause problems for
the client and his environment, so action is needed. Independent care is provided for Rational Therapy
itself, namely Ration Emotive Behavior Therapy. This type of research is a case study study (case
study). Data collection through collection, interview, collection, and audio-visual material.Sampling
using purposive sampling, with 6 clients practicing violence in Maluku Regional General Hospital.
This research was conducted from March to October 2019. Types of data collection were done by
interview and client observation sheets. Research location of Maluku Regional Public Hospital. In
accordance with the issues raised by researchers, namely for those who are related to therapy using
emotive rational behavior therapy and SP that has been applied, researchers can only focus on
interventions on the issue of delegation hallucinations to help change existing clients to overcome
these problems.
PENDAHULUAN
Perilaku kekerasan merupakan salah satu jenis gangguan jiwa.WHO (2015) menyatakan, paling tidak
ada satu dari empat orang di dunia mengalami masalah mental.WHO memperkirakan ada
sekitar 450 juta orang di dunia mengalami gangguan kesehatan jiwa. Pada masyarakat umum terdapat
0,2 – 0,8 % penderita skizofrenia dan dari 120 juta penduduk di Negara Indonesia terdapat kira- kira
2.400.000 orang anak yang mengalami gangguan jiwa (Maramis, 2014 dalam Carolina, 2015). Data
WHO tahun 2006 mengungkapkan bahwa 26 juta penduduk Indonesia atau kira-kira 12-16 persen
mengalami gangguan jiwa. Berdasarkan data Departemen Kesehatan, jumlah penderita gangguan jiwa
di Indonesia mencapai 2,5 juta orang (WHO, 2016).
Menurut hasil survey Kesehatan Mental 2016 ditemukan 185 per 1000 penduduk di Indonesia
menunjukan adanya gejala gangguan jiwa. Hal ini didukung data dari Depkes RI yang melaporkan
bahwa di Indonesia jumlah penderita penyakit jiwa berat sekitar 6 juta orang atau sekitar 2,5% dari
total penduduk Indonesia. Perilaku kekerasan merupakan salah satu penyakit jiwa yang ada di
Indonesia, dan hingga saat ini diperkirakan jumlah penderitanya mencapai 2 juta orang.Prevalensi
pada pasien Perilaku Kekerasan di RSKD Maluku, selama 3 tahun terakhir yaitu tahun 2015
(43,75%),
2016 (43,75%), 2017 (12,5%). Hal ini
menunjukkan adanya penurunan angka kejadin perilaku kekerasan. Secara umum seseorang akan
marah jika dirinya merasa terancam, baik berupa injury secara fisik, psikis, atau ancaman. Beberapa
faktor pencetus perilaku kekerasan adalah sebagai berikut, rasa frustasi, kekerasan dalam rumah
tangga, masa lalu yang tidak menyenangkan, kehilangan orang yang berarti, kehidupan yang penuh
dengan agresif (Kusumawati et al, 2013).Berikut ini yang merupakan tanda dan gejala perilaku
kekerasan diantarnya mata melotot, pandangan tajam, berbicara dengan nada keras, menyerang orang
lain, wajah memerah dan tegang (Fitria, 2012).
Istilah marah (anger), agresif (aggression), dan perilaku kekerasan (violence) sering digunakan
bergantian dalam menguraikan perilaku yang terkait dengan kekerasan (Rawlins, et, al 1993).Perilaku
kekerasan merupakan suatu bentuk perilaku untuk
melukai atau mencederai diri sendiri, orang lain, lingkungan secara verbal atau fisik (Stuart & Laraia,
2015). Perilaku kekerasan berfluktuasi dari tingkat rendah sampai tinggi yaitu dari memperlihatkan
permusuhan pada tingkat rendah sampai pada melukai dalam tingkat serius dan membahayakan
(Stuart & Laraia, 2001;2005; 2009). Proses perkembangan perilaku kekerasan, masih menjadi
perdebatan antara nature vs nurture , dibawa sejak lahir atau diperoleh selama perkembangan.
Menurut teori biopsikososial disebabkan oleh interaksi yang kompleks antara faktor biologik,
psikologik dan sosiokultural (Kneisl; Wilson & Trigoboff, 2014). Dari uraian diatas dapat dikatakan
bahwa perilaku kekerasan adalah respon kemarahan yang maladaptif dalam bentuk perilaku
menciderai diri sendiri, orang lain dan lingkungan sekitarnya secara verbal maupun nonverbal mulai
dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi.
Klien dengan perilaku kekerasan, individu merupakan orang yang ambigue, selalu dalam kecemasan,
mempunyai penilaian yang negatif terhadap diri dan orang lain, ketidakmampuan untuk
menyelesaikan masalah dengan baik sehingga perilaku kekerasan merupakan salah satu cara yang
digunakan untuk menyelesaikan masalah. Perilaku kekerasan merupakan salah satu gejala yang
menjadi alasan bagi keluarga untuk merawat klien di rumah sakit jiwa karena berisiko membahayakan
dirinya dan orang lain (Keliat, 2013). Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa perilaku
kekerasan adalah perilaku yang menakutkan dan membahayakan bagi dirinya, keluarga dan
masyarakat sehingga mereka berusaha mencari pertolongan dengan membawa klien ke rumah sakit
dan berharap selama mendapat pengobatan dan perawatan di rumah sakit perilaku klien berkurang
atau berubah.
Intervensi secara umum yang dilakukan pada pasien dengan perilaku agresif / perilaku kekerasan
bervariasi yang berada dalam rentang preventive strategies, Anticipatory Strategies, dan Containment
Strategies (Stuart & Laraia, 2015). Strategi pencegahan (preventive strategies), meliputi kesadaran
diri, psikoedukasi pada klien, dan latihan asertif. Strategi antisipasi (Anticipatory Strategies) meliputi
komunikasi, perubahan lingkungan, perilaku dan psikofarmaka. Kemarahan yang dapat mengancam
keselamatan diri sendiri, orang lain dan lingkungan (kegawat daruratan psikiatri) yang tidak dapat
dikontrol dengan terapi psikofarmaka maka perlu dilakukan strategi penahanan (containment
Strategies) yang meliputi manajemen krisis, pembatasan gerak, dan pengikatan.
Klien dengan perilaku kekerasan mengalami perubahan respon kognitif berupa gangguan proses pikir
yaitu gangguan dalam mempersepsikan sesuatu serta tidak mampu membuat alasan (Boyd & Nihart,
1996). Respon kognitif merupakan hasil penilaian terhadap kejadian yang menekan, pilihan koping
yang digunakan, reaksi emosional, fisiologis, perilaku dan sosial individu (Stuart & Laraia, 2005).
Setelah terjadi penilaian kognitif terhadap situasi , individu akan menampilkan respon afektif yang
dimunculkan dengan emosi berupa marah, gembira, sedih, menerima, antisipasi atau respon emosi
lainnya (Stuart & Laraia, 2005). Pernyataan-pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa pada klien
dengan perilaku kekerasan mengalami perubahan pada respon kognitif yang nantinya akan
berpengaruh terhadap respon afektif yang dimunculkan dalam bentuk emosi seperti kemarahan. Hal
ini menunjukkan bahwa intervensi yang diberikan pada klien dengan perilaku kekerasan juga perlu
mengacu kepada emosi selain kognitif dan perilaku.
Berdasarkan teori tersebut maka perlu adanya intervensi pada klien dengan perilaku kekerasan yang
mengarah kepada fisik, afektif (emosi), kognitif,fisiologis, perilaku, dan sosial. Terapi Asssertiveness
Trainning, terapi Musik dan terapi Perilaku Kognitif belum mengarahkan intervensinya secara
langsung kepada emosi klien dengan perilaku kekerasan. Untuk itu agar intervensi untuk klien dengan
perilaku kekerasan lebih optimal maka perlu adanya suatu terapi yang juga mengarah pada emosi.
Adapun terapi yang dapat dilakukan untuk itu adalah Rational Emotive Behaviour Therapy( REBT).
Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) ditemukan oleh Albert Ellis, merupakan suatu
pendekatan pemecahan masalah yang rasional, yang diarahkan untuk masalah perilaku individu. Elis
berkeyakinan bahwa mempelajari kecemasan yang irrasional lebih awal akan bertahan di dalam
memori manusia dari pada dihilangkan. Oleh karena itu beliau
memutuskan untuk mengajarkan kliennya merubah pikiran yang tidak rasional (irrasional) dan
memberikan penjelasan rasional untuk masalah perilakunya (Ellis, 1962 dalam Adomeh, 2006).
Berdasarkan teori REBT memodifikasi keyakinan yang irrasional secara spesifik dapat menurunkan
perilaku agresif. REBT dan treatmen lain bertujuan untuk mengurangi keyakinan irrasional dan
menguatkan keyakinan rasional yang dapat efektif untuk anak dan dewasa yang marah dan agresif.
Hasil wawancara yang didapatkan di RSKD bahwa intervensi yang diberikan kepada pasien dengan
perilaku kekerasannya hanya sebatas mengontrol amarah dengan melakukan kegiatan sehari-hari,
untuk Rational Emotive Behavior Therapy tidak perna dilakukan oleh perawat. Rational Emotive
Behavior Therapy (REBT) ditemukan oleh Albert Ellis, merupakan suatu pendekatan pemecahan
masalah yang rasional, yang diarahkan untuk masalah perilaku individu. Elis berkeyakinan bahwa
mempelajari kecemasan yang irrasional lebih awal akan bertahan di dalam memori manusia dari pada
dihilangkan. Oleh karena itu beliau memutuskan untuk mengajarkan kliennya merubah pikiran yang
tidak rasional (irrasional) dan memberikan penjelasan rasional untuk masalah perilakunya (Ellis, 1962
dalam Adomeh, 2006). Berdasarkan teori REBT memodifikasi keyakinan yang irrasional secara
spesifik dapat menurunkan perilaku agresif. REBT dan treatmen lain bertujuan untuk mengurangi
keyakinan irrasional dan menguatkan keyakinan rasional yang dapat efektif untuk anak dan dewasa
yang marah dan agresif.
METODE
Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini hanya menggunakan pendekatan studi kasus.Metode
pengumpulan datanya memakai observasi, wawancara mendalam, dokumentasi, dan bahan
dokumentasi perilaku (lembar obesrvasi) yang dilakukan pada bulan maret sampai dengan oktober
2019. Teknik samplingnya menggunakan purposive sampling, dengan subyek pnelitiannya 6 pasien
dengan perilaku kekerasanyang dirawat di RSKD Maluku.
HASIL
Hasil asuhan keperawatan yang telah dilakukan pada klien dengan perilaku
kekerasan dengan resiko perilaku kekerasan pendengaran dalam upaya mengontrol perilaku agresif
dengan pemberian terapi rational emotive behavior therapy berfokus pada masalah perilaku kekerasan
yang diderita klien, semua tindakan dalam penatalaksanaan yang sudah dibahas pada konsep teori
dasar keperawatan jiwa Keliat, 2013 mengarah pada masalah halusinasi. Maka bagian ini peneliti akan
membahas tentang kesenjangan antara teori yang ada dan kenyataan yang diperoleh sebagai hasil
pelaksanaan studi kasus yang mengacuh pada tahap-tahap prosese keperawatan. Beberapa
kesenjangan tersebut adalah sebagai berikut :
Sumber data yang diperoleh pada pengkajian yaitu didapat dari klien dan juga tambahan dari tim
medis yaitu perawat. Peneliti tidak mendapatkan masalah yang berarti dalam hal pengkajian dalam
mendapatkan data tentang masalah perilaku kekerasan. Pada pengkajian, data-data yang diperoleh
khusus menyangkut masalah perilaku kekerasan adalah data hasil wawancar dan informasi dari status
klien, informasi dari tim medis yang mendukung peneliti dalam pelaksanaan penelitian. Dilihat dari
teori dan hasil pengkajian, semua tanda dan gejala dari masalah perilaku kekerasan yang ada pada
teori ditemukan pada Klien perilaku kekerasan.Jadi temukan adannya kesenjangan antara teori dan
kondisi klien pada saat pengkajian.
Diagnosa keperawatan yang muncul yaitu : Resiko perilaku kekerasan, Gangguan konsep diri : Harga
Diri Rendah, Mekanisme koping individu dan keluarga inefektif. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan, peneliti hanya memfokuskan pada satu masalah yaitu perilaku kekerasan. Karena sesuai
dengan masalah yang peneliti angkat yaitu mengenai bagaimana terapi okupaasi pemberian rational
emotive behavior therapy untuk mengontrol perilaku agresif dan juga tidak mengabaikan diagnose
yang lain terkait dengan kondisi klien saat pengkajian, semua tindakan dalam upaya mengatasi
perilaku kekerasan klien ada pada tindakan keperawatan (SP klien dan SP Terapi) dalam diagnose
halusinasi, sehingga peneliti hanya memfokuskan pada masalah (diagnose keperawatan) halusinasi
pendengaran.
PEMBAHASAN
Sesuai dengan masalah yang peneliti angkat yaitu untuk bagaimana klien dapat mengontrol halusinasi
yang dirasakan dengan penerapan terapi rational emotive behavior therapy, maka sesuai dengan hasil
penelitian, peneliti hanya menysusun intervensi terfokuskan pada masalah perilaku kekerasan karena
semua tindakan untuk meningkatkan akitivitas klien agar perilaku kekerasan yang dirasakan dapat
diminimalkan, bahkan perilaku agresifnya menghilang ada pada teori dan tindakan keperawatan
dalam diagnose perilaku kekerasan namun peneliti juga tidak mengabaikan perencanaan tindakan
keperawatan untuk masalah (diagnose keperawatan) lain yang ada pada klien.
Penelitian lain terkait efektifitas rational emotive behavior therapy yaitu penelitian yang pernah
dilakukan David, Szentagotai, Lupu, Cosman (2008) menyatakan bahwa rational emotive behavior
therapy mampu menurunkan tingkat depresi pasien. Penelitian Warren (2010) juga menjelaskan
bahwa rational emotive behavior therapy tampaknya memberikan kerangka kerja yang mendukung
untuk meningkatkan kemanjuran guru dan potensi prestasi siswa.
SIMPULAN
Sesuai dengan masalah yang peneliti angkat yaitu untuk mengontrol perilaku agresif dengan
penerapan terapi rational emotive behavior therapy dan SP yang telah diterapka, peneliti hanya
menyusun intervensi terfokus pada masalah halusinasi pendengaran karena semua tindakan untuk
mengontrol perilaku kekerasan juga dapat meminimalkan semua masalah keperawatan yang ada pada
klien perilaku kekerasan
Sesuai dengan hasil evaluasi yang didapatkan adanya hasil yaitu dengan di masukkan jadwal
meminum obat pada klien sesuai dengan ketentuan yang telah di tentukan, dan adanya peningkatan
interaksi klien dengan orang lain. Dengan demikikan klien dengan perilaku kekerasan menunjukan
tercapainya criteria intrevensi yang diaharapkan, yaitu berkurangnya dan dapat dikontrolnya perilaku
kekerasan yang dirasakan klien.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Rameez. (2007). Application of REBT with Muslim clients.The Rational EmotiveBehaviour
Therapist.Vol 12 No. 1. 3-8
Andrews, Bonta & Wormith.(2004). Resilience and youth criminality.(Online). Tersedia: http:
//www.p publicsafety.gc.ca (diakses: 24-10-
2019).
Baron, A.E. Byrne D., & Brascombe, R.N. 2006.Social Psychology (7thed). USA: Reason Education
Inc.
Campbell, J. D. (1953). Manic Depressive Disease: Clinical and Psychiatric Significance. Oxford,
England: Lippincott
Cresweell, John W. 2012. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed (edisi
ketiga). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
David, D., Szentagotai, A., Lupu, V., & Cosman, D. (2008). Rational emotive behavior therapy,
cognitive therapy, and medication in the treatment of major depressive disorder: a randomized clinical
trial, posttreatment outcomes, and six‐month follow‐up. Journal of clinical psychology, 64(6), 728-
746.
Davidof, Linda, L. 1991. Psikologi Suatu Pengantar. Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga
Davison, Gerald C, John M. Neale, dan Ann
M. Kring. 2012. Psikologi Abnormal Edisi ke-9. Depok: PT Rajagrafindo Persada
Dryden, W. & Branch, R. (2008). The Fundamentals of Rational Emotive Behaviour Therapy: A
Training Handbook. 2nd Ed. West Sussex: John Wiley & Sons Inc.
Ellis, Albert & Dryden, Windy. 1973. The Practice of Rational Emotive Behavior Therapy. New York
:Springer Publishing
Ellis, Albert Ph.D. 2007. Terapi REB: Agar Hidup Bebas Derita. Terjemahan Ikramullah Mahyuddin.
Yogyakarta: Penerbit B-First
Faizal, E.B. (2012).Psychiatrist links depression and heart disease.
(http://www.thejakartapost.com/news/ 2012/10/06/psychiatrist-links-
depression-andheart-disease.html, diakses 20 Oktober 2019)
Gilbert, P. (2001). Overcoming Depression: A Step-By-Step Approach To Gaining Control Over
Depression. 2 nd Edition.Oxford University Press.
Hakim, M Arief. 2009. Bahaya Narkoba Alkohol: Cara Islam Mencegah, Mengatasi dan Melawan.
Bandung: Nuansa
Saleebey, Dennis 2005. The Strengths Perspective in Social Work Practice.
*E-mail: msubuo61@uottawa.ca
Abstrak
Salah satu efek stigmatisasi gangguan jiwa adalah perilaku kekerasan yang dilakukan oleh penderita terhadap orang-
orang di sekitarnya termasuk keluarga, perawat dan masyarakat. Sebaliknya, penderita mengalami kekerasan dari
keluarga, masyarakat dan profesional keperawatan. Penelitian ini bertujuan memahami dampak stigmatisasi dalam
hubungannya dengan perilaku kekerasan terhadap penderita; serta untuk mengetahui perilaku kekerasan yang dilakukan
oleh penderita terhadap orang lain. Penelitian ini menggunakan Constructivist Grounded Theory. Metode pengumpulan
data termasuk wawancara semi-terstruktur, dokumen reviu, catatan lapangan, dan memo. Analisis data menggunakan
metode Paillé. Perilaku kekerasan adalah efek stigmatisasi termasuk kekerasan diri sendiri dan kekerasan terhadap
keluarga, masyarakat dan tenaga kesehatan. Kekerasan fisik juga dialami penderita dari orang lain. Dampak stigmatisasi
dimanifestasikan dengan perilaku kekerasan yang dilakukan oleh penderita, keluarga, staf rumah sakit, masyarakat, dan
aparat. Hasil temuan ini relevan untuk para perawat jiwa yang memberikan asuhan keperawatan terhadap pasien perilaku
kekerasan. Penelitian lanjut diperlukan untuk melihat perspektif keluarga, masyarakat dan staf pemerintah terkait stigma
dengan perilaku kekerasan.
Abstract
Stigmatization and Violent Behavior on Mental Illness Patient in Indonesia. An effect of stigmatization of mental
illness is violent behavior conducted by patients toward other people around them including families, nurses and
communities. Conversely, patients experienced violence conducted by families, communities and nursing professionals.
This study aims to understand the effects of stigmatization on violent behavior towards sufferers; and to investigate
violent behavior committed by sufferers against other people. This study used Constructivist Grounded Theory. Methods
of data collection are semi-structured interviews, document review, field notes, and memos. Data analysis used Paillé.
Violent behavior is the effect of stigmatization including self-harm and violence against families, communities and health
professionals. Physical abuse is experienced by sufferers from others. The impact of stigmatization is manifested by
violent behavior committed by patients, families, staff, community and authorities. Findings are relevant to psychiatric
nurses who provide care to the patients with violent behavior. Further research is needed to see the perspective of
families, communities and government to understand stigma in relation to violent behavior.
Penelitian lanjut diperlukan untuk melihat Harkavy-Friedman, J.M., Kimhy, D., Nelson, E.A.,
bagaimana keluarga, masyarakat, dan aparat Venarde, D.F., Malaspina, D., & Mann. J.J.(2003).
Suicide attempts in schizophrenia: The roleof
pemerintah memandang stigma terkait perilaku
command auditory hallucinations for suicide.
kekerasan pada ODGJ. Program kampanye anti- Journal of Clinical Psychiatry, 64, 871–874.
stigma akan mengurangi konsekuensi ne- gatif
stigmatisasi ODGJ terhadap perilaku ke- Harpham, T., Reichenheim, M., Oser, R., Thomas,
kerasan di Indonesia. Program ini perlu di- E., Hamid, N., Jaswal, S., ... Aidoo, M. (2003).
sesuaikan dengan kelompok khusus sehingga Measuring health in cost effective manner. Health
dapat mengurangi akibat negatif dari stigma Policy and Planning, 18 (3), 344.
gangguan jiwa (SH, INR, PN).
Heath, H., & Cowley, S. (2004). Developing a Landy, H. (2005). Violence and aggression: How
grounded theory approach: A comparison of Glaser nurses perceive their own and their colleagues risk.
and Strauss. International Journal of Nursing Emergency Nurse, 13, 12–15.
Studies, 41 (2), 141–150.
McFarlane, A.C., Schrader, G.D., & Bookless, C.
Holmes, D., Rudge, T., Perron, A., & St-Pierre, I. (2004). The prevalence ofvictimization and violent
(2012). Introduction (re) thinking violence in health behaviour in the seriously mentally ill (Theses,
care settings: A critical approach. In Holmes, D., University of Adelaide). Department of Psychiatry,
Rudge, T., Perron, A. (Eds). (Re) Thinking violence University of Adelaide, Adelaide, Australia.
in health care settings: A critical approach. Surrey:
Ashgate Publishing, Ltd.
Paillé, P. (1994). L’analyse par théorisation ancrée.
Hsu, C.C., Sheu, C.J., Liu SI, Sun, Y.W., Wu, S.I., Cahiers de recherche sociologique, 23, 147–
& Lin, Y. (2009). Crime victimization of persons 181.
with severe mental illness in Taiwan. Aealand
Journal of Psychiatry, 460–466. Sandelowski, M. (1986). The problem of rigor in
qualitative research. Advances in Nursing Science, 8
Inoue, M., Tsukano, K., Muraoka, M., Kaneko, F., (3), 27–37.
& Okamura, H. (2006). Psychological impact of
verbal abuse and violence by patients on nurses Schomerus, G., Heider, D., Angermeyer, M.C.,
working in psychiatric departments. Psychiatry and Bebbington, P.E., Azorin, J.M., Brugha, T.,
Clinical Neurosciences, 60(1), 29–36. &Toumi, M. (2008). Urban residence, victimhood
and the appraisal of personal safety in people with
Jacob, J.D. (2010). Fear and power in forensic schizophrenia: Results from the European
psychiatry: nurse-patient interactions in a secure Schizophrenia Cohort (EuroSC). Psychological
environment. Doctoral Dissertation School of Medicine, 38 (4), 591–597.
Nursing University of Ottawa, Canada:
Solomon, P.L., Cavanaugh, M.M., & Gelles, R.J.
Jorm, A.F., & Griffiths, K.M. (2008). The public’s (2005). Family violence amongadults with severe
stigmatizing attitudes towards people with mental mental illnesses. Trauma, Violence and Abuse, 6 (1),
disorders: how important are biomedical 40–54.
conceptualizations? Acta Psychiatrica
Scandinavica, 118 (4), 315–321. Spector, P.E., Allen, T.D., Poelmans, S., Lapierre,
L.M., Cooper, C.L., ... O’Driscoll, M. (2007). Cross-
Kapungwe, A., Cooper, S., Mwanza, J., Mwape, national differences in relationships of work
Sikwese, L.A., ... Flisher, A.J. (2010). Mental illness demands, job satisfaction and turnover intentions
- stigma anddiscrimination in Zambia. African with work–family conflict. Personnel Psychology,
Journal of Psychiatry, 13, 192–203. 60, 805–835.
Katsikidou, M., Samakouri, M., Fotiadou, M., Stuart, H. (2004). Stigma and work. Healthcare
Arvaniti, A., Vorvolakos, T., Xenitidis, K ., papers, 5(2), 100–111.
&Livaditis, M. (2012). Victimization of the severely
mentally ill in Greece: The extent of the problem. Tarrier, N., Barrowclough, C., Andrews, B., &
International Journal of Social Psychiatry, 59 (7), Gregg, L. (2004). Risk of non-fatal suicide ideation
706–715. and behaviour in recent onset schizophrenia. Social
Psychiatry and Psychiatric Epidemiology, 39, 927–
Kementerian Kesehatan RI. (2013). Riset kesehatan 937.
dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta: Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Teplin, L.A., McClelland, G.M., Abram, K.M., &
Kesehatan RI. Weiner, D.A. (2005). Crime victimization in adults
with severe mental illness. Archives of general
psychiatry, 62, 911–921.
1
Ju
rn
2
Nofrida Saswati
Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES Harapan Ibu Jambi E-mail:
nofridasaswati@gmail.com
Abstrak
Tujuan: Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk Mengetahui pengaruh penerapan standar asuhan
keperawatan klien skizofrenia dalam meningkatkan kemampuan mengontrol perilaku kekerasan.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain penelitian pre experimental, pretest
dan posttest. Populasi penelitian ini sebanyak 53 orang dengan jumlah sampel sebanyak 34 responden
yang dibagi menjadi 2 kelompok yaitu 17 responden kelompok intervensi dan 17 kelompok kontrol.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan pada kelompok intervensi setelah perlakuan rata-rata mengontrol
perilaku kekerasan sebesar 6,88 dan pada kelompok kontrol 3,55 dengan nilai p-value 0.000.
Simpulan: Hasil penelitian menunjukan bahwa penerapan standar asuhan keperawatan perilaku
kekerasan berpengaruh terhadap kemampuan mengontrol perilaku kekerasan. Untuk itu diharapkan bagi
perawat ruangan dapat lebih meningkatkan lagi penerapan standar asuhan keperawatan pada klien
dengan perilaku kekerasan.
Abstract
Aim: The purpose of this study is to know the effect of the application of nursing care standards
schizophrenia clients in improving the ability to control violent behavior.
Method: This study is a quantitative research design pre-experimental pre-test and post test. Population of
this study were 53 people, with a total sample of 34 respondents were divided into 2 groups: 17
respondents intervention group and 17 control group.
Result: The results showed the treatment group average intervention group after control the violent
behavior of 6.88 and 3.55 in the control group, with p-value 0.000.
Conclusion: Based on the results of the study showed that the application of standards of nursing care
violent behavior affect the ability to control violent behavior. For nurses can further enhance the
implementation of standards of nursing care in the client's violent behavior.
Ju
rn
3
Ju
rn
5
tersebut menunjukan bahwa terdapat Adapun tanda dan gejala yang ditemui pada
perbedaan sebelum dan sesudah intervensi, klien melalui observasi atau wawancara tentang
dan pada kelompok kontrol terjadi sedikit perilaku kekerasan selama pretest adalah
perubahan nilai rata-rata kemampuan sebagai berikut: muka merah dan tegang,
mengontrol perilaku kekerasan antara pre dan pandangan tajam, mengatupkan rahang dengan
post. Nilai selisih rata-rata0,29 hal itu kuat, mengepal tangan, jalan mondar mandir,
menunjukan bahwa ada peningkatan bicara kasar, suara tinggi menjerit atau
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan berteriak, dan tidak memiliki kemampuan
pada kelompok kontrol. Dimana p-value mencegah atau mengendalikan perilaku
0,136 hasil tersebut menunjukkan tidak ada kekerasan.
perbedaan yang signifikan.
Perbedaan Kemampuan mengontrol
perilaku kekerasan sebelum Intervensi
Perbedaan Kemampuan Mengontrol
Perilaku Kekerasan Sesudah Intervensi Berdasarkan hasil penelitian pada klien
Skizofrenia sebelum dilakukan penerapan
Rata-rata hasil Kemampuan Mengontrol standar asuhan keperawatan perilaku kekerasan
Perilaku Kekerasan Sesudah Intervensi dari pada kelompok intervensi memiliki kemampuan
34 responden ada perbedaan yang signifikan mengontrol perilaku kekerasan yang masih
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan rendah bahkan ada yang tidak mampu
pada kelompok intervensi dengan rata- rata mengontrol perilaku
6,88 dan kelompok kontrol dengan rata- rata kekerasannya, dengan demikian dapat membuat
3,35 dengan nilai p-value 0,000 maka dapat klien tetap pada kondisi perilaku kekerasan, hal
disimpulkan adanya peningkatan yang ini banyak terjadi pada klien yang baru
signifikan rata- rata mengontrol perilaku mengalami perawatan.
kekerasan sesudah penerapan asuhan
keperawatan perilaku kekerasan. Dari hasil penelitian pada klien intervensi 17
responden pada kelompok intervensi sebelum
diberikan perlakuan terdapat 76,5% yang masih
PEMBAHASAN kurang mampu mengontrol perilaku
kekerasannya dan 23,6% yang mampu
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan mengontrol perilaku kekerasannya, sedangkan
emosi yang merupakan campuran perasaan pada 17 responden pada kelompok kontrol
frustasi dan benci atau marah.Hal ini didasari terdapat 82,3% yang kurang mampu dan 17,7%
keadaan emosi secara mendalam dari setiap yang mampu mengontrol perilaku kekerasanya.
orang sebagai bagian penting dari keadaan
emosional kita yang dapatdiproyeksikan Penelitian yang dilakukan oleh Hasmiati 4, yang
kelingkungan, kedalam diri atau secara dilakukan di RSJD Provinsi Sulawesi Selatan
destruktif.5 mengenai
Ju
rn
6
kemampuan klien dalam mengontrol perilaku dapat dilihat bahwa tingginya persentase klien
kekerasan dengan penerapan asuhan yang tidak mampu.
keperawatan terhadap 18 responden, secara
keseluruhan (100%) klien tidak mampu untuk Perbedaan Kemampuan Klien Mengontrol
mengontrol perilaku kekerasan6. Perilaku Kekerasan Sesudah Intervensi
Adapun tanda dan gejala yang ditemui pada Berdasarkan hasil penelitian pada klien
klien melalui observasi atau wawancara Skizofrenia sesudah dilakukan penerapan standar
tentang perilaku kekerasan selama pre test asuhan keperawatan perilaku kekerasan pada
adalah sebagai berikut : muka merah dan kelompok intervensi mengalami peningkatan
tegang, pandangan tajam, mengatupkan yang signifikan dalam mengontrol perilaku
rahang dengan kuat, mengepal tangan, jalan kekerasan. Dengan demikian dapat membuat
mondar mandir, bicara kasar, suara tinggi klien tetap pada keadaan tenang dan rilek disaat
menjerit atau berteriak, dan tidak memiliki klien kambuh ulang. Pada kelompok kontrol
kemampuan mencegah atau mengendalikan mengalami sedikit peningkatan setelah
perilaku kekerasan. Untuk mencegah mendapatkan terapi obat dari ruangan namun
timbulnya gejala perilaku kekerasan atau belum optimal dalam mengontrol perilaku
mencegah terjadinya perilaku kekerasan pada kekerasannya.
seseorang maka harus diperhatikan, diberikan
asuhan keperawatan dan diterapi sehingga Penelitian yang dilakukan oleh Hasmiati4, yang
mengurangi terjadinya tindakan perilaku dilakukan di RSJD Provinsi Sulawesi Selatan
kekerasan. mengenai kemampuan klien dalam mengontrol
perilaku kekerasan dengan penerapan asuhan
Tindakan yang diberikan Pada klien perilaku keperawatan terhadap 18 responden, terdapat
kekerasan berupa 83,3% responden mampu mengontrol perilaku
Psikofarmakologi, dan Standar asuhan kekerasan setelah mendapatkan standar asuhan
keperawatan, asuhan keperawatan yang dapat keperawatan dan 16,7% respon den tidak mampu
diberikan kepada klien perilaku kekerasan mengontrol perilaku kekerasan.
dapat berupa strategi pelaksanaan perilaku
kekerasan(Azizah. 2011). Gejala yang muncul pada klien dengan
Skizofrenia diantaranya prilaku kekerasan,
Asumsi peneliti sebelum penerapan standar Halusinasi, Waham, Ekopraksia, Flight of ideas,
asuhan keperawatan pada klien skizofrenia Perseverasi, Asosiasi longgar, Gagasan rujukan,
klien belum mampu untuk mengontol Ambivalensi. Untuk
perilaku kekerasannya dimana pada klien penatalaksanaan dapat menggunakan
skizofrenia terjadi gangguan pada system Hospitalisasi, Antipsikotik, Psikososial (Terapi
saraf diotak yang mempengaruhi daya fikir Perilaku, Terapi Keluarga, Terapi Suportif).
klien. Selain itu juga klien belum mengerti Dengan demikian klien dapat belajar untuk
tentang bagaimana cara mengontrol perilaku memahami
kekerasan terhadap pengaruh penerapan
standar asuhan keperawatan hal ini
Ju
rn
7
mengontrol penyakit dan untuk minum obat kekerasan dengan P-value 0,136 namun
secara teratur serta mengatur stress yang hasilnya belum optimal.
dapat memperburuk penyakit. Selain terapi
diatas pada klien gangguan jiwa dapat juga Penelitian yang dilakukan oleh Elyani6,
digunakan penerapan asuhan keperawatan. yang dilakukan di RSJD Provinsi Sumatra
Standar asuhan keperawatan berhubungan utara mengenai kemampuan klien dalam
dengan aktivitas keperawatan profesional mengontrol perilaku kekerasan dengan
yang dapat dilakukan oleh perawat melalui penerapan asuhan keperawatan didapatkan
proses keperawatan.5 hasil p value= 0,000 maka dapat
disimpulkan adanya pengaruh
Asumsi peneliti tentang pengaruh penerapan penerapan asuhan
standar asuhan keperawatan pada klien keperawatan dengan kemampuan
skizofrenia kelompok intervensi sudah mengontrol perilaku kekerasan.6
optimal hal ini dikarenakan klien berperan
aktif untuk mempelajari bagaimana cara Strategi pelaksanaan merupakan proses
mengontrol perilaku kekerasan hal ini dapat yang sangat khusus dan berarti dalam
dilihat dari tingginya persentase klien yang hubungan antar manusia. Kemampuan
mampu mengontrol perilaku kekerasan yaitu penerapan strategi pelaksanaan tidak
(82,3%) dan pada kelompok kontrol dilihat dapat dipisahkan dari tingkah laku
dari mean mengalami sedikit peningkatan hal seseorang yang melibatkan aktivitas fisik,
itu dipengaruhi oleh pemberian terapi obat, mental, disamping itu juga dipengaruhi
namun hasil yang diperoleh belum optimal latar belakang sosial, pengalaman, usia,
karna pemberian obat hanya mampu pendidikan dan tujuan yang akan dicapai.
memberikan efek tenang pada klien Kegagalan sering terjadi pada seorang
skizofrenia. perawat dalam mendapatkan data
khususnya pada klien gangguan jiwa, Hal
Perbedaan Kemampuan Klien Mengontrol ini disebabkan karena seorang perawat
Perilaku Kekerasan sebelum dan Sesudah belum mampu atau kurang dalam
Intervensi menjalankan strategi pelaksanaan
sehingga tidak
Berdasarkan hasil penelitian terlihat masing- terbentuknya hubungan saling percaya
masing responden mengalami peningkatan antar klien dengan perawat, dan akhirnya
kemampuan mengontrol perilakukekerasan asuhan keperawatan yang diharapkan
sesudah dilakukan penerapan asuhan tidaklah efektif dan kurang terbentuknya
keperawatan perilaku kekerasan pada hubungan interpersonal antar perawat dan
kelompok intervensi, hal ini dapat dilihat dari klien.
P-value= 0,000 maka dapat disimpulkan
adanya peningkatan yang signifikan rata-rata Asumsi peneliti tentang pengaruh
mengontrol perilaku kekerasan sebelum dan penerapan standar asuhan keperawatan
sesudah penerapan dan pada kelompok pada kelompok intervensi dan control
kontrol mengalami sedikit peningkatan dalam sebelum dilakukan asuhan keperawatan
mengontrol perilaku hasil yang diperoleh belum optimal,
Namun setelah dilakukannya asuhan
keperawatan pada kelompok intervensi
mengalami peningkatan yang signifikan
dan memperoleh hasil yang optimal dan
pada kelompok kontrol mengalami sedikit perubahan hal itu dipengaruhi oleh pemberian terapi
Ju
rn
8
Setelah dilaksanakan standar asuhan keperawatan pada klien perilaku kekerasan terdapat
perubahan, maka dari itu diharapkan pihak manajemen rumah sakit jiwa dapat menetapkan
peraturan untuk menerapkan standar asuhan keperawatan yang telah ditetapkan dengan baik
disemua ruangan rawat inap dan nmengadakan pelatihan kepada perawat sehingga perawat
semakin baik dalam memberikan asuhan keperawatan.
Simpulan
Tidak terdapatnya kemampuanklien mengontrol perilaku kekerasansebelum Intervensi Penerapan
Standar Asuhan Keperawatan Perilaku Kekerasan Pada Klien Skizofrenia Pada Kelompok
Intervensi dan Kontrol di ruang PICU Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi Tahun 2016.
Kemampuan mengontrol perilaku kekerasan pada klien skizofrenia mengalami peningkatan sesudah
mendapatkan penerapan standar asuhan keperawatan dari pada yang tidak mendapatkan standar
asuhan keperawatan.
Ada perbedaan kemampuan mengontrol perilaku kekerasan pada klien skizofrenia sebelum dan
sesudah diberikan intervensi pada kelompok intervensi.
Saran
Peneliti mengharapkan bagi pihak Rumah
Ju
rn
9
Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi supaya melakukan kebijakan dalam pembuatan prosedur dalam
merawat klien perilaku kekerasan dengan menggunakan standar asuhan keperawatan perilaku
kekerasan agar klien mampu dalam mengontrol dalam mengatasi masalahnya, dan bagi perawat
ruangan agar lebih meningkatkan lagi dalam melaksanakan standar asuhan keperawatan pada klien
perilaku kekerasan.
REFERENSI
Videbeck, S. L. (2008), Psychiatric Mental Health. Jakarta: EGC.
Stuart G. W.,& Sandra J. Sundeen., Alih bahasa. Akhir Yani Hamid (2013). Buku saku
keperawatan jiwa. Jakarta: EGC.
Badan penelitian dan pengembangan kesehatan kementrian kesehatan RI. Azizah. (2011).
Aplikasi Praktik Klinik Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Hasmiati. (2013). Kemampuan klien dalam mengontrol prilaku kekerasan dengan penerapan
asuhan keperawatan dilakukan di RSJD Provinsi Sulawesi Selatan.
Stuart and Sundeen, Alih bahasa. Ramona, Kapoh, Egi (2006).
Sembiring, E. (2011), Kemampuan klien dalam mengontrol perilaku kekerasan dengan penerapan
asuhan keperawatan dilakukan di RSJD Provinsi Sumatra utara.
Kusumawati. (2010). Keperawatan kesehatan jiwa. Surabaya: Airlangga.
Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi. (2013-2015). Laporan tahunan rumah sakit jiwa
daerah provinsi jambi. Jambi.
Yosep, I. (2009). Buku AjarKeperawatan Jiwa. Bandun: PT Refika Aditama.
Ju
rn
10
Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Diploma III pada
jurusan Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan
Oleh:
Ju
rn
11
Ju
rn
12
Ju
rn
13
Ju
rn
1
Abstrak
mempraktikkan teknik nafas dalam dan memukul-mukul bantal. Klien juga dapat
2
menyebutkan obat apa saja yang dikonsumsi dan akibat jika tidak meminumnya
secara teratur. Klien juga mampu ngontrol marah dengan mengungkapkan,
meminta, menolak yang baik, dan mengontrol marah dengan spiritual, klien rutin
melakukan sholat 5 waktu, berdzkir, dan berdoa.
Ju
rn
3
Abstract
The background : Health is a point in human life and to get it requires more
effort for example with regular exercise,always take care himself,environment,eat
and drink nutritious. The human said to be healthy if the soul and physique is not
impaired or injury resulting in health declined.The research health (RISKESDAS)
the prevalence of severe mental disorders in Indonesia’s population 1,7 per
mile,and mental impaired emotional on Indonesia’s populations of 6 percent.The
disturbance of severe mental in Yogyakarta, Aceh,South Sulawesi, and Centre
java. Proportion the home which had the members of the household severe
mental disorders,3 percent and most in people who live in rural areas
(18,2%),and at the group of the populations with kuintil the ownership of the
lowest (19,5%). Behavior the violence is a state where a person who doing an act
of violence,physical or verbal instructionthat it can harm yourself or
others.Assertive training is a therapeutic modality the nurse in the form of therapy
to behaviour,clients learn to express feelings of anger is appropriate or assertive
as to be able to get in touch with other people, were able to declare : what you
want, what you likes, what are you trying to do, and the ability to make a person
feel uncomfortable talking about himself.
Objectives :In order to reduce the risk of behavioral violence after a series of
assertive verbally.
Methods : The writer used descriptive methods with a case study for 3 x 24 hours
Results : The client is able to know and can practice efforts the decrease the risk
of behavioural violence after a series of assertive verbally.
Conclusion : The client are able to build a trusting relationship to mention the
cause ,a sign of symptoms due to what happens when angry,practice the
techniques of breath in and hit the pillow. Client can also mention medicine are
consumed and if don’t drink it on a regular basis. Client also able to control
anger by expressing,asked,refused to be a good,and control the angry with
spiritual, client to routinely prayers five times, remembrance and pray.
Ju
rn
Keyword : Mental Disorder, Violence, Assertive Train.
4
1. PENDAHULUAN
Kesehatan merupakan point utama dalam kehidupan manusia dan untuk
mendapatkannya membutuhkan usaha yang lebih misalnya dengan olahraga
teratur, selalu menjaga keberihan diri, lingkungan, makan dan minum yang
bergizi. Manusia dikatakan sehat apabila jiwa dan fisiknya tidak mengalami
gangguan atau cidera yang mengakibatkan kesehatan menurun. Menurut undang-
udang kesehatan jiwa Nomor 18 Tahun 2014 Bab 1 pasal 1 ayat 1 kesehatan jiwa
adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental,
spiritual dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampiannya sendiri,
dapt mengatasi tekenan, bekerja secara produktif, dan mampu memberikan
kontribusi untuk kelompoknya.
Menurut Purnama, Yani, & Titin (2016) mengatakan gangguan jiwa adalah
seseorang yang terganggu dari segi mental dan tidak bisa menggunakan
pikirannya secara normal. Skizofrenia adalah kerusakan otak yang mengakibatkan
gangguan fungsi kognitif, aktif, bahasa, gangguan memandang terhadap realitas,
dan hubungan interpersonal, dan mempunyai perubahan perilaku seperti perilaku
agisitas dan agresif atau disebut dengan perilaku kekerasan (Erwina, 2012).
Ju
rn
6
terdiagnosa resiko perilaku kekrasan ada 9.984 klien, harga diri rendah 664 klien,
isolasi sosial 3016 klien, halusinasi 18.305 klien, dan defisit perawaan diri 2.385
klien. Resiko perilaku kekerasan berada pada urutan nomor dua terbanyak dari
semua kasus di rawat inap rumah sakit kelolaan (Rekam Medik, 2017)
Sebagian besar pasien dengan skizofrenia dan gangguan mental tidak dengan
kekerasan. Meskipun demikian, risiko kekerasan pada pasien dengan gangguan ini
lebih besar dari pada populasi umum. Risiko ini sangat tinggi di skizofrenia dan
gangguan mental dengan gangguan penggunaan zat adiktif, ketergantungan
alkohol, depresi, dan gangguan kepribadian, bahkan tanpa hal tersebut (Volavka,
2013). Permasalahan utama yang sering terjadi pada pasien skizofrenia adalah
perilaku kekerasan. Kondisi ini harus segera ditangani karena perilaku kekerasan
yang terjadi dapat membahayakan diri pasien, orang lain dan lingkungan (Saseno
& Kriswoyo, 2013).
Assertives training menurut Stuart dan Laraia dalam Suryanta & Murti W
(2015) adalah intervensi tindakan keperawatan pasien perilaku kekerasan dalam
tahap preventif. Latihan asertif bertujuan agar pasien mampu berperilaku asertif
dalam mengekspresikan kemarahannya. Assertives training adalah suatu terapi
modalitas keperawatan dalam bentuk terapi tingkah laku, klien belajar
mengungkapkan perasaan marah secara tepat atau asertif sehingga mampu
berhubungan dengan orang lain, mampu menyatakan : apa yang diinginkan, apa
yang disukai, apa yang ingin dikerjakan, dan kemampuan untuk membuat
seseorang merasa tidak risih berbicara tentang dirinya sendiri. (Suryanta & Murti
W, 2015)
Ju
rn
Ju
rn
9
kekerasan menjadi masalah utama dalam penulisan publikasi ilmiah ini, dengan
judul “Upaya Penurunan Risiko Perilaku Kekerasan Pada Klien dengan Melatih
Asertif Secara Verbal”.
2. METODE
Merode yang digunakan pada karya ilmiah ini adalah metode deskriptif
dengan study kasus. Pengambilan kasus dilakukan selama 3 x 24 jam kepada
salah satu klien di rumah sakit klolaan melalui wawancara dan observasi secara
langsung. Pelaksanaannya penulis membina hubungan saling percaya kepada
klien untuk mendapatkan informasi, setelah mendapatkan informasi yang
diperlukan kemudian penulis melakukan perencanaan tindakan yang akan
dilakukan, melakukan rencana tindakan yang telah dibuat, dan mengevaluasi
tindakan yang telah dilakukan. Proses keperawatan adalah motode
pengorganisasian yang sistematis dalam melakukan asuhan keperawatan pada
individu, kelompok, dan masyarakat yang berfokus pada identifikasi dan
pemecahan masalah dari respons pasien terhadap penyakitnya (Tarwoto &
Wartonah, 2015).
lain. Perilaku kekerasan adalah salah satu bentuk perilaku yang bertujuan untuk
10
melukai seseorang secara fisik maupun psikologi (Keliat et al., 2011). Teori
Hermawan & Direja (2011) mengatakan tanda gejala perilaku kekerasan
Ju
rn
11
Data psikososial geneogram klien anak terakhir dari 5 bersaudara, dari semua
keluarganya tidak ada yang mempunyai penyakit jiwa. Konsep diri pada citra
tubuh didapatkan hasil klien mengatakan menyukai semua angota tubuhnya dan
mensyukurinya, karena semua itu pemberian dari Alah AWT. Identitas, klien
mengatakan bahwa klien adalah seorang kepala rumah tangga dan seorang bapak
dari ketiga anaknya. Harga diri, klien mengatakan bahwa seorang laki-laki lebih
tinggi derajadnya dari seorang perempuan, maka istrinya harus selalu menuruti
keinginannya. Hubungan sosial, klien mengatakan orang yang dekat dengannya
adalah ibunya, klien mengatakan jarang mengikuti kegiatan masyarakat, dan klien
mengatakan tidak suka berhubungan dengan orang lain yang belum akrab.
menggunakan baju rumah sakit, memakai celana panjang milik sendiri, dan
memakai kopyah. Pembicaraan, klien saat berbicara biasa namun berbelit-belit.
Pada data pembicaraan tidak sesuai dengan teori dari Yosep (2010) yang
Ju
rn
13
mengatakan pada data verbal klen bicara kasar, suara tinggi, membentak,
berteriak, mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, dan ketus. Aktivitas
motorik, ketika berbincang-bincang klien tidak mendengar suara perawat, klein
akan mendekatkan diri. Afek, terjadi perubahan emosi dari klien ketika diberikan
banyak pertanyaan, terkadang klien pergi menjauh dan menggerutu, hal tersebut
sesuai yang diutrakn oleh (Yusuf, Fitryasari, & Nihatati, 2014) respons marah
dapat diungkapkan melalui tiga cara yaitu (1) mengungkapkan secara verbal, (2)
menekan, dan (3) menantang. Namun pada teori Yosep (2010) data tersebut tidak
sesuai, yang dimana pada data afek klien marah, permusuhan, kecemasan yang
ekstrim, mudah terangsang, dan afek labil.
Analisa data yang pertama pada hasil pengkajian diatas adalah data subjektif
klien mengatakan jegkel karena tidak boleh pulang, klien pernah memukul istri
dan tetangga yang menuduhnya mencuri. Data objektif klien terjadi perubahan
Ju
rn
15
emosi ketika diberikan banyak pertanyan, terkadang menjauh, dan pasien sering
menggerutu, gelisah, dan meminta pulang. Data tersebut penulis mengangkat
diagnosa risiko perilaku kekerasan. Analisa data yang kedua, data subjektif pasien
mengatakan jarang mengikuti kegiatan masyarakat, tidak suka berbicara kepada
orang lain yang belum akrab. Data objektif, klien jarang berkomunikasi dengan
teman-teman di ruangan, dan lebih suka menyendiri dan tidur. Dari data tersebut
didapatkan diagnosa isolasi sosial : menarik diri. Data yang didapat sesuai dengan
teori Hermawan & Direja (2011) mengatak tanda gejala perilaku kekerasan
diantaranya perasaan jengkel, merasa terganggu, tatapan mata tajam, menyerang
orang lain, menarik diri, dan melarikan diri.
Ju
rn
17
(SP4) evaluasi kegiatan yang lalu (SP1, SP2, SP3), latih secara spiritual berdoa,
berdzikir, dan sholat untuk mengurangi rasa marah, kemudian masukkan kedalam
jadwal harian.
Pada tanggal 21 Februari 2017 pukul 09.30 WIB tindakan yang diberikan
kepada klien evaluasi tindakan sebelumnya (SP1) dan memantapkan SP1,
kemudian melakukan strategi pelaksanaan yang kedua melatih mengontrol marah
dengan cara meminum obat dengan benar. Tindakan tersebut didapatkan data
subjektif pasien mengatakan masih jengkel, dan lupa dengan apa yang telah
diajarkan kemarin. Data objektif tatapan mata pasien masih tajam, dan masih
gelisah. Evaluasi tindakan pada tanggal 21 Februari 2017 subjektif klien
mengatak lupa cara melakuka teknik nafas dalam, dan memukul-mukul bantal.
Objektif klien kooperatif, mampu melakukan kembali teknik nafas dalam, dan Ju
rn
18
Ju
rn
19
Plan evaluasi kegiatan, mantapkan SP1 dan SP2, lakukan strategi pelaksanaan
ketiga latih klien melatih mengontrol marah dengan bercakap-cakap
mengungkapkan, meminta dan menolak dengan baik.
Pada tanggal yang sama pukul 11.00 WIB tindakan yang diberikan kepada
klien mengevaluasi tindakan yang sebelumnya (SP1, dan SP2), dilanjutkan
dengan strategi pelaksanaan yang ketiga melatih mengontrol marah dengan
bercakap-cakap mengungkapkan, meminta dan menolak dengan baik, didapatkan
data klien mengatakan ingin cepat pulang. Data objektif tatapan mata klien sudah
lebih rileks namun pasien masih gelisah. Evaluasi tindakan pada tanggal 21
Februari 2017 subjektif klien mengatak klein sudah melakuka teknik nafas dalam,
dan memukul-mukul bantal, kemudian teratur minum obat. Objektif klien
kooperatif, tatapan mata rileks, masih gelisah, dan mampu mempraktikkan
mengungkapkan, meminta dan menolak rasa marah. Assesment RPK -. Plan
evaluas kegiatan, mantapkan SP1, SP2 dan SP3, lakukan strategi pelaksanaan
keempat latih klien melatih mengontrol marah dengan spiritual : berdzkir, berdoa,
dan sholat.
4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang di dapat pada kasus tersebut, pengkajian dilakukan pada
tanggal 20 Februari 2016 jam 10.00 WIB di bangsal rumah sakit diperoleh data
pasien bernama Tn. S berumur 48 tahun, penanggung jawab klien adalah istrinya.
Alasan masuk klien mengamuk dan mencekik orang lain, keluhan utama klien
mengatakan jengkel karena tidak boleh pulang.
4.2 Saran
Bagi penulis, meskipun karya tulis ilmiah ini masih jauh dari kata sempurna,
kedepannya penulis akan lebih fokus dan teliti dan dapat memanfaatkan waktu Ju
seoptimal mungkin dalam memberikan asuhan keperawtan kepada klien. rn
21
Bagi klien, lebih ditekankan lagi dan lebih giat lagi dalam melakukan strategi
pelaksanaan yang telah diajarkan, sehingga klien dapat segera pulang kerumah.
Ju
rn
22
PERSANT UN AN
Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
segala hidayah, dan kemudahan kepada penulis sehingga Publikasi Ilmiah yang
penulis tulis dengan judul “UPAYA PENURUNAN RISIKO PERILAKU
KEKERASAN PADA KIEN DENGAN MELATIH ASERTIF SECARA
Penulis menyadari bahwa Publikasi Ilmiah ini tidak dapat terselesaikan tanpa
bantuan dan bimbingan dari pihak-pihak yang terkait. Sehingga penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepeda :
DAFTAR PUSTAKA
Dinkes, Jateng. (2013). Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Jawa Tengah, 74.
Erwina, I. (2012). Aplikasi Model Adaptasi Roy pada Klien Resiko Perilaku
Kekerasan dengan Penerapan Asertiveness Training di RS Dr. H. Marzoeki
Hermawan, A., & Direja, S. (2011). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa.
Negi, S., Kaur, H., Singh, G., & Pugazhendi, S. (2017). Quality of nurse patient
therapeutic communication and overall patient satisfaction during their
hospitalization stay. International Journal of Medical Science and Public
Health, 6(4), 679. https://doi.org/10.5455/ijmsph.2017.0211522112016
Ju
rn
25
Purnama, G., Yani, D. I., & Titin, S. (2016). Gambaran Stigma Masyarakat
Terhadap Klien Gangguan Jiwa di RW 09 Desa Cileles Sumedang. Jurnal
Pendidikan Keperawatan Indonesia, 2(1), 30. Retrieved from
http://ejournal.upi.edu/index.php/JPKI
Surakarta.
nhttp://www.hdbp.org/psychiatria_danubina/pdf/dnb_vol2
5_no1/dnb_vol25_no1_24.pdf\nhttp://sfx.library.uu.nl/utrecht?sid=EMBASE
&issn=03535053&id=doi:&atitle=Violence+in+schi
Ju
rn
Yusuf, A., Fitryasari, R., & Nihatati, H. E. (2014). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan
Jiwa. Jakarta Selatan: Salemba Medika.
PENELITIAN
PENGARUH TERAPI TOKEN TERHADAP KEMAMPUAN
MENGONTROL PERILAKU KEKERASAN PADA PASIEN
GANGGUAN JIWA
Sunarsih*, Idawati Manurung*, Holidy*
*Dosen Jurusan Keperawatan Poltekkes Tanjungkarang
Email: sunarsihkarim@gmail.com, idawatimanurung@yahoo.com, holidyilyas@yahoo.co.id
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun
psikologis bisa dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Token
Ekonomi adalah suatu wujud modifikasi yang dirancang untuk meningkatkan perilaku yang diinginkan dan
pengurangan perilaku yang tidak diinginkan dengan pemakaian token (hadiah-hadiah). Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui nilai rata-rata kemampuan mengontrol diri pasien rawat inap di LKS-ODK Kemiling Bandar
Lampung sebelum dan setelah dilakukan terapi token. Jenis penelitian ini adalah quasy experimental dengan
rancangan pretest-posttest one group design. Jumlah sampel sebanyak 20 orang, dipilih dengan purposive
sampling. Instrumen yang digunakan berupa lembar observasi. Hasil yang didapat adalah rata-rata nilai
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan sebelum dilakukan terapi token adalah 20,05, dan rata-rata nilai
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan setelah mendapat terapi token adalah 36,20. Hasil uji dependen
sample t-test didapat bahwa ada pengaruh kemampuan mengontrol perilaku kekerasan sebelum dan setelah
dilakukan terapi token (p value 0,00<0,05). Diharapkan petugas kesehatan dapat lebih meningkatkan intervensi
pada asuhan keperawatan untuk pasien-pasien gangguan jiwa, khususnya perilaku kekerasan dengan
menerapkan terapi aktivitas kelompok dan terapi token secara terprogram dan terstruktur.
Kata Kunci: Perilaku kekerasan, token ekonomi gangguan jiwa (WHO, 2015). Gangguan
jiwa ditemukan di semua negara, terjadi
LATAR BELAKANG pada semua tahap kehidupan, termasuk
orang dewasa dan
Gangguan jiwa menurut American
Psychiatric Assosiation dalam Diagnostic
and Statistic Manual of Mental (DSM) IV-
TR (2000 dalam Townsend, 2009) adalah
sindroma perilaku yang secara klinik
bermakna atau sindroma psikologis atau
pola yang dihubungkan dengan kejadian
distres pada seseorang atau
ketidakmampuan atau peningkatan secara
signifikan resiko untuk kematian, sakit,
ketidakmampuan atau hilang rasa bebas.
Gangguan jiwa mencapai 13% dari penyakit
secara keseluruhan dan ke kemungkinan
akan berkembang menjadi 25% di tahun
2030, gangguan jiwa juga berhubungan
dengan bunuh diri, lebih dari 90% dari satu
juta kasus bunuh diri setiap tahunnya akibat
cenderung terjadi peningkatan gangguan jiwa.
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk
perilaku yang bertujuan untuk melukai
seseorang secara fisik maupun psikologis bisa
dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri
sendiri, orang lain dan lingkungan.
Ketidakmampuan yang terjadi pada klien
gangguan jiwa dikaitkan dengan disabilitas
akibat gangguan jiwa berat yang dialami.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar
Tahun 2013 yang menyebutkan bahwa
gangguan jiwa mencapai 1,7% meningkat
dari tahun 2007 sebesar 0,46%. Wilayah
paling banyak dengan kasus gangguan jiwa
adalah Daerah Istimewa Yogyakarta, Aceh,
Sulawesi Selatan, Bali, dan Jawa Tengah
(Kemenkes RI. 2014). Berdasarkan
wawancara dengan perawat ruangan pada
tanggal 7 Mei 2016, didapatkan data bahwa
jumlah pasien rawat inap ada 70 pasien
gangguan jiwa dan didapatkan 80%
mempunyai riwayat
perilaku kekerasan atau sekitar 56 pasien Variabel independen dalam penelitian ini
yang memiliki riwayat perilaku kekerasan. adalah penelitian ini adalah kemampuan
Salah satu terapi yang dapat dilakukan mengontrol perilaku terapi token. Variabel
perawat untuk mengontrol perilaku dependen dalam kekerasan. Analisis
kekerasan adalah dengan diberikan terapi univariat dilakukan untuk mengetahui
kognitif, terapi keluarga, terapi perilaku : kemampuan mengontrol perilaku kekerasan
token ekonomi (Susana, 2012). Perilaku ini klien menggunakan analisis yaitu mean,
dipilih peneliti sebagai pendamping terapi median, standar deviasi. Analisa bivariat
psikofarmaka untuk meningkatkan perilaku dilakukan untuk membuktikan hipotesis
dalam mengontrol perilaku kekerasan. penelitian menggunakan uji dependen
Terapi token ekonomi dianggap efektif sample t-test.
dalam merubah tingkah laku klien, terapi ini
dengan memberikan klien imbalan atas
perilaku yang diharapkan dari klien dan HASIL
mampu dilakukannya. Kegiatan ini dapat
dilakukan dengan memberi token (permen, Analisis Univariat
uang, atau makanan) bila klien sukses
mengubah perilakunya. Responden dalam penelitian ini berjumlah
Berdasarkan uraian diatas, maka perilaku 20 orang dengan karakteristik usia sebagian
kekerasan merupakan gangguan jiwa yang besar berusia 31-40 tahun (65%) dan berusia
membutuhkan perawatan intensif karena 19-30 tahun (35%). Berdasaekan jenis
dapat menciderai diri, oranglain dan kelamin sebagian besar responden berjenis
lingkungan. Salah satu terapi yang dapat kelamin laki-laki (70%). Sedangkan
digunakan adalah terapi perilaku token berdasarkan lama rawat responden sebagian
ekonomi yang dianggap efektif dalam besar dirawat dalam kurun waktu 11-25
merubah tingkah laku klien, terapi ini tahun (60%).
dengan memberikan klien imbalan atas
perilaku yang diharapkan dari klien dan Tabel 1: Distribusi Responden Berdasar-
mampu dilakukannya. kan Kemampuan Mengontrol Perilaku
Kekerasan Sebelum dan Sesudah Terapi
Token
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Nasir, A. M. (2011). Dasar-Dasar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
Kemenkes RI. 2014. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. Jakarta: Balitbang
Kemenkes RI.
LKS-ODK. (2016). Laporan Kesehatan Jiwa Yayasan Aulia Rahma.Rekam Medik LKS-
ODK Ekspsikotik. Kemiling: Lampung.Tidak dipublikasikan.
Muhith, A. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: CV ANDI OFFSET.
Stuart, G. W. (2009). Buku Saku Keperawatan Jiwa . Jakarta: EGC.
Susana, S. A. (2012). Terapi Modalitas Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
TANDA GEJALA DAN KEMAMPUAN MENGONTROL PERILAKU KEKERASAN
DENGAN TERAPI MUSIK DAN RATIONAL EMOTIVE COGNITIF BEHAVIOR THERAPY
(Sign and Symptom and Ability to Control Violent Behaviour with Music Therapy and Rational
Emotive Cognitive Behaviour Therapy)
*Mahasiswa Magister Ilmu Keperawatan Kekhusussan Keperawatan Jiwa Kampus FIK UI, Jl.
Prof. Dr. Bahder Djohan, Depok, Jawa Barat-16424
**Kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
Email: herirsjs09@yahoo.com
ABSTRAK
Pendahuluan: Angka perilaku kekerasan cukup tinggi pada klien gangguan jiwa yang dirawat di rumah sakit jiwa.
Dampak perilaku kekerasan dapat berakibat mencederai orang lain. Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas terapi
musik dan rational emotive cognitive behaviour therapy (RECBT) terhadap perubahan tanda gejala dan kemampuan klien
mengontrol perilaku kekerasan. Metode: Desain penelitian quasi eksperimental, jumlah sampel 64 responden dengan
purposive sampling. Hasil: penelitian menunjukkan penurunan tanda gejala perilaku kekerasan dan peningkatan
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan lebih besar pada kelompok yang mendapatkan terapi daripada yang tidak
mendapatkan. Diskusi: Terapi Musik dan RECBT direkomendasikan sebagai terapi keperawatan pada klien perilaku
kekerasan.
Kata kunci: kemampuan, perilaku kekerasan, tanda gejala, terapi musik, RECBT
ABSTRACT
Introduction: Prevalence of violence is highly occur in mental disorders clients at psychiatric hospitals. The impact is
injure to others. This research aims to examine the effectiveness of music therapy and RECBT to sign and symptom and
ability to control violent behaviour. Methods: Quasi-experimental research design with a sample of 64 respondents.
Results: The study found a decrease symptoms of violent behaviour, ability to control violent behavior include relaxation,
change negative thingking, irational belief, and negative behavior have increased significantly than the clients that did not
receiving therapy. Discussions: Music therapy and RECBT is recommended as a therapeutic nursing at the client’s violent
behaviour.
234
Tanda Gejala dan Kemampuan Mengontrol Perilaku Kekerasan (Heri
235
Jurnal Ners Vol. 10 No. 2 Oktober 2015:
pikiran dan perilaku negatif. Latihan melawan Karakteristik klien berdasarkan riwayat putus
keyakinan irasional terhadap kejadian yang obat menunjukkan sebagian besar
pertama. Pertemuan kedua: Terapi musik, mengalami putus obat yaitu sebanyak 48 orang
diskusi dan latihan melawan keyakinan (75%). Berdasarkan usia rata-rata klien berusia
irasional terhadap kejadian yang kedua. 32,26 tahun, Analisis mengenai frekuensi
Pertemuan ketiga: Terapi musik, diskusi dan dirawat klien dengan perilaku kekerasan rata-
latihan melawan pikiran negatif yang pertama. rata klien dirawat sebanyak 3,21 kali, rata-
Pertemuan keempat: Terapi Musik, diskusi dan rata klien mengalami gangguan jiwa selama
latihan melawan pikiran negatif yang kedua. 2,53 tahun.
Pertemuan kelima: terapi musik, diskusi dan Perubahan tanda gejala perilaku kekerasan
mengubah perilaku negatif yang pertama. pada kelompok intervensi yang mendapat
Pertemuan keenam: terapi musik, diskusi dan Terapi Musik dan RECBT yang mendapat
mengubah perilaku negatif yang kedua. terapi musik dan RECBT dengan kelompok
Analisis data menggunakan komputer, analisis kontrol yang tidak mendapat terapi musik dan
univariat digunakan untuk menganalisis RECBT dapat dilihat dari tabel 1.
variabel-variabel yang ada secara deskriptif Hasil penelitian menunjukkan bahwa total
dengan menghitung distribusi frekuensinya rata-rata komposit tanda gejala perilaku
untuk data kategori dan tendensi sentral untuk kekerasan pada kelompok intervensi yang
data numerik. Analisis bivariat adalah analisis mendapat Terapi Musik dan RECBT sebelum
untuk menguji hubungan antara dua variabel. dilakukan terapi Musik dan RECBT adalah
Uji yang digunakan adalah chi square untuk 100,84 (67,32%) dan setelah dilakukan sebesar
analisis kesetaraan pada data kategori dan 46,06 (30,71%) sehingga diketahui selisih
data kategori, independent t test pada data komposit tanda gejala perilaku kekerasan
numerik dan data numerik, independent t test sebesar 54,78 (36,52%). Hasil uji statistik
pada uji hipotesis skala numerik dan korelasi menunjukkan ada perubahan yang bermakna
pearson untuk mengetahui hubungan antara tanda gejala kognitif sebelum dan sesudah
skala numerik. diberikan Terapi Musik dan RECBT (p value
< 0,05). Sedangkan pada kelompok kontrol
HASIL diketahui bahwa total rata-rata komposit
tanda gejala klien perilaku kekerasan pada
Karakteristik klien dengan perilaku kelompok kontrol sebelum dilakukan terapi
kekerasan dalam penelitian ini lebih musik dan RECBT pada kelompok intervensi
banyak laki-laki 49 orang (76,6%). Pada yang mendapat terapi musik dan RECBT
jenjang pendidikan, sebagian besar jenjang adalah 98,72 (65,81%) dan setelah dilakukan
pendidikannya adalah SMA 38 orang (59,4%). sebesar 70,75 (47,17%) sehingga diketahui
Pada status pekerjaan, sebagian besar tidak selisih komposit tanda gejala sebesar 27,97
bekerja 44 orang (68,8%). Pada status (18,14%). Hasil uji statistik menunjukkan ada
pernikahan klien menunjukkan sebagian perubahan yang bermakna komposit tanda
besar sudah menikah 30 orang (46,9%). Pada gejala pada kelompok kontrol sebelum dan
pemberian terapi medis yang diberikan saat sesudah kelompok intervensi yang mendapat
ini, sebagian besar adalah golongan typikal 25 terapi musik dan RECBT diberikan terapi
orang (39,1%). musik dan RECBT (p value < 0,05).
Berdasarkan riwayat anggota keluarga yang Perubahan kemampuan mengontrol perilaku
mengalami gangguan jiwa sebagian besar 56 kekerasan pada kelompok intervensi dan
(87,5%) orang tidak ada riwayat anggota kelompok kontrol yang mendapat terapi
keluarga yang mengalami gangguan jiwa 56 musik dan RECBT2, didapatkan data bahwa
orang (87,5%). Karakteristik berdasarkan total rata-rata komposit kemampuan
keberhasilan pengobatan sebelumnya sebagian mengontrol perilaku kekerasan sebelum
besar tidak berhasil yaitu sebesar 41 orang dilakukan terapi musik dan RECBT adalah
(64,1%). 53,20 (28,91%) dan setelah dilakukan sebesar
236
Tanda Gejala dan Kemampuan Mengontrol Perilaku Kekerasan (Heri
139,94 (73,33%) sehingga diketahui selisih hanya pemberian terapi musik atau RECBT.
komposit kemampuan mengontrol perilaku Terdapat perbedaan dalam tindakan pada
kekerasan sebesar 86,84 (44,42%). Hasil uji penelitian pemberian terapi musik yang
statistik menunjukkan ada perubahan yang dilakukan di RSJD Soerakarta di mana terapi
bermakna komposit kemampuan mengontrol musik yang dilakukan terdiri dari 4 sesi,
perilaku kekerasan sebelum dan sesudah perubahan tanda gejala yang diukur yaitu
diberikan terapi musik dan RECBT (p value kognitif, perilaku, sosial dan fisik, penelitian
< 0,05). Total rata-rata komposit kemampuan dilakukan di ruang akut sampai dengan
mengontrol perilaku kekerasan pada kelompok maintenance (Sulistyowati, Keliat, Hastono,
kontrol sebelum dilakukan terapi musik dan 2009). Pada penelitian tersebut belum ada suatu
RECBT pada kelompok intervensi yang proses untuk melatih klien mengubah pikiran
mendapat terapi musik dan RECBT adalah negatif, dan keyakinan irasional pada klien
52,33 (34,89%) dan setelah dilakukan sebesar yang terjadi pada klien. Sedangkan penelitian
80,06 (53.37%) sehingga diketahui selisih yang dilakukan mengenai efektivitas CBT
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan dan REBT di RSJ Marzoeki Mahdi Bogor,
sebesar 27,78 (18,48%). Hasil uji statistik diberikan latihan untuk mengubah pikiran
menunjukkan ada perubahan yang bermakna negatif, keyakinan irasional dan perilaku
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan negatif, penelitian dilakukan di ruangan
pada kelompok kontrol sebelum dan sesudah maintenance (Lelono, Keliat, & Besral, 2011).
diberikan Terapi Musik dan RECBT pada Pada penelitian tersebut tidak diberikan
kelompok intervensi yang mendapat Terapi terapi musik yang dapat memberikan manfaat
Musik dan RECBT (p value < 0,05). terutama pada tanda gejala fisiologis klien
Hubu ngan ant a ra kemam pua n perilaku kekerasan.
mengontrol perilaku kekerasan dengan tanda Pada penelitian ini pemberian terapi
gejala perilaku kekerasan di RSJ Prof Dr musik dilakukan terlebih dahulu kemudian
Soerojo Magelang tahun 2015 menunjukkan dilanjutkan dengan RECBT. Kombinasi
bahwa ada hubungan yang kuat antara terapi musik dan RECBT akan memberikan
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan dampak yang lebih luas pada tanda gejala yang
dengan tanda gejala perilaku (p value < 0,05) dialami oleh klien perilaku kekerasan. Terapi
semakin tinggi kemampuan maka tanda gejala musik memberikan kenyamanan pada klien
perilaku kekerasan semakin menurun tanda ketika dilakukan RECBT, klien mengalami
gejala perilaku kekerasan (r= –0,908). proses relaksasi selama pemberian RECBT.
Terapi musik juga dapat menurunkan stimulus
PEMBAHASAN yang mengakibatkan tanda gejala perilaku
kekerasan masih muncul (Dunn, 2010).
Hasil penelitian yang dilakukan untuk Terapi musik yang dikombinasikan dengan
mengetahui efektivitas terapi musik psikoterapi efektif untuk meningkatkan hasil
berpengaruh terhadap tanda gejala perilaku dari psikoterapi yang dilakukan.
kekerasan, terjadi penurunan tanda gejala Terapi musik dan RECBT memberikan efek
kognitif 34,15%, perilaku 13,5%, sosial yang saling mendukung untuk menurunkan
13,5%, fisiologis 25,8% (Sulistyowati, Keliat, tanda gejala kognitif, afektif, fisiologis dan
Hastono, 2009). Sedangkan hasil penelitian perilaku. Dampak pada tanda gejala sosial
yang dilakukan untuk mengetahui efektifitas adalah dampak sekunder dari pemberian terapi
RECBT terhadap tanda gejala perilaku musik dan RECBT, apabila klien mempunyai
kekerasan, terjadi penurunan tanda gejala kemampuan menurunkan tanda gejala dengan
tanda gejala kognitif: 30,00% emosi 28,12%, relaksasi, mengubah pikiran negatif, keyakinan
perilaku 28,33%, sosial 34,28%, fisiologis. irasional dan perilaku negatif, maka akan
30,00% (Lelono, Keliat, & Besral, 2011). Hasil berdampak pula pada kemampuan dalam
penelitian menunjukkan pengaruh terapi musik hal sosialisasi dengan orang lain dengan
dan RECBT lebih besar dibandingkan dengan menunjukkan perilaku yang positif.
237
Jurnal Ners Vol. 10 No. 2 Oktober 2015:
238
Tanda Gejala dan Kemampuan Mengontrol Perilaku Kekerasan (Heri
irasional diawali dengan menuliskan peristiwa sesuai dengan pikiran negatif yang muncul
yang tidak menyenangkan dan perasaan yang atau perasaan negatif yang muncul, sehingga
muncul. Terdapat satu klien menolak untuk muncul perilaku yang negatif pada individu.
menuliskan mengenai peristiwa yang tidak Dalam meningkatkan kemampuan
menyenangkan dan terjadi perubahan emosi mengubah perilaku negatif, peneliti
pada klien. menerapkan prinsip-prinsip teori perilaku
Kemampuan klien dalam mengubah dengan memberikan penguatan (reinforcement)
keyakinan irasional menggunakan prinsip positif terhadap perilaku positif yang
ABC, A-Activating Event: persepsi individu dilakukan klien dan memberikan umpan
dan membuat kesimpulan dari peristiwa yang balik negatif terhadap perilaku yang tidak
berdampak pada individu. B-Beliefs: keyakinan diinginkan. Videbeck (2008) menyatakan
rasional dan irasional pada individu yang modifikasi perilaku merupakan suatu metode
yang menunjang pada peristiwa yang aktif, C- yang dapat digunakan untuk menguatkan
Consequence, Emotional and behavior perilaku atau respons yang diinginkan
consequence, konsekuensi emosi dan perilaku melalui pemberian umpan balik baik positif
yang diakibatkan oleh peristiwa yang terjadi maupun negatif. Peneliti juga menerapkan
(Ellis, 2000). prinsip tocen economy berupa memberikan
Kemampuan mengubah pikiran negatif, hadiah sesuai dengan keinginan klien, jika
tindakan keperawatan untuk meningkatkan perilaku yang diinginkan dilakukan oleh
kemampuan berfokus pada masalah klien, klien setelah mengumpulkan minimal 50%
berorientasi pada tujuan dan aktual saat ini. poin bintang selama 3 hari. Hal tersebut dapat
Fokus dari tindakan untuk memberikan meningkatkan motivasi klien untuk mengubah
kemampuan berpikir adalah pendidikan dan perilaku yang negatif, dan pada kontrak awal
membangun keterampilan klien. Hubungan klien dan perawat membuat kesepakatan
yang terapeutik klien dan perawat sangat bahwa reinforcement yang diberikan tidak
penting untuk meningkatkan efektivitas dari selamanya didapatkan oleh klien. Klien akan
tindakan keperawatan yang dilakukan (Stuart, tetap mengubah perilaku negatif walaupun
2013). sudah tidak diberikan reinforcement.
Klien menuliskan pikiran otomatis negatif Analisis hubungan antara kemampuan
yang muncul. Klien juga menuliskan latihan mengontrol perilaku kekerasan dengan tanda
mengubah pikiran dan perilaku negatif gejala perilaku kekerasan menunjukkan
menjadi pikiran dan perilaku positif. Latihan bahwa koefisien korelasi antara kemampuan
mandiri yang dilakukan oleh klien dan mengontrol perilaku kekerasan dengan tanda
dituliskan dalam buku kerja akan gejala perilaku kekerasan adalah – 0,908
meningkatkan kemampuan mengontrol Uji statistik menggunakan korelasi Pearson
perilaku kekerasan. Dengan mengubah status menghasilkan nilai sebesar 0,003 (p value
pikiran dan perasaannya, klien diharapkan < 0,05) yang menunjukkan adanya hubungan
dapat mengubah perilaku negatif menjadi yang bermakna dan negatif antara kemampuan
positif (Oemarjoedi, 2003). Buku kerja mengontrol perilaku kekerasan dengan tanda
dijadikan sebagai alat untuk melatih klien gejala perilaku kekerasan. Nilai r menunjukkan
dalam kemampuan mengubah pikiran negatif negatif artinya semakin tinggi kemampuan
klien menjadi sebuah pembudayaan atau maka tanda gejala perilaku kekerasan semakin
kebiasaan. menurun, dengan keeratan hubungan yang
Kemampuan yang keempat adalah kuat (r > 0,5).
kemampuan dalam mengubah perilaku negatif, Hasil penelitian menunjukkan adanya
banyak perilaku yang digunakan sebagai perubahan tanda gejala komposit yang lebih
koping pada saat muncul perasaan atau pikiran tinggi pada kelompok intervensi yang mendapat
yang negatif yang membuat individu merasa terapi musik dan RECBT dibandingkan
lebih baik dalam waktu jangka pendek (Stuart, dengan kelompok kontrol, di mana rata rata
2013). Perilaku yang ditunjukan seringkali kemampuan dalam mengontrol perilaku
239
kekerasan yang dimiliki oleh kelompok yang SIMPULAN DAN SARAN
diberikan terapi musik dan RECBT lebih
Simpulan
tinggi dibandingkan dengan kelompok yang
tidak diberikan terapi musik dan RECBT. Terapi Musik dan RECBT efektif
Ketika klien mempunyai kemampuan yang meningkatkan kemampuan mengontrol
lebih tinggi dalam mengontrol perilaku perilaku kekerasan (relaksasi, mengubah
kekerasan, tanda gejala perilaku kekerasan pikiran negatif, keyakinan irasional dan
lebih minimal. perilaku negatif) sebesar 73,33%.
Terapi musik dan RECBT merupakan suatu Analisis hubungan antara kemampuan
bentuk psikoterapi. Psikoterapi adalah mengontrol perilaku kekerasan dengan tanda
interaksi yang sistemik antara klien dan terapis gejala perilaku kekerasan menunjukkan bahwa
yang menerapkan prinsip untuk membantu adanya hubungan yang bermakna dan negatif
klien ketika mengalami perubahan pada antara kemampuan mengontrol perilaku
perilaku, perasaan dan pikiran. Teknik yang kekerasan dengan tanda gejala perilaku
digunakan pada RECBT dengan memberikan kekerasan. Nilai r menunjukkan negatif artinya
homework tujuannya adalah memampukan semakin tinggi kemampuan maka tanda gejala
klien dalam kemampuan mengontrol perilaku perilaku kekerasan semakin menurun, dengan
kekerasan (Stuart, 2013). Dalam proses keeratan hubungan yang kuat (r > 0,5).
psikoterapi terdapat proses pembelajaran
terhadap keterampilan yang baru dalam hal
SARAN
ini relaksasi, mengubah pikiran negatif,
keyakinan irasional dan perilaku negatif. Perawat jiwa di rumah sakit diharapkan selalu
Tujuan dari tindakan terapi musik dan RECBT memotivasi klien dan mengevaluasi
adalah terciptanya perilaku yang baru dalam kemampuan-kemampuan yang telah dipelajari
hal mengontrol perilaku kekerasan. dan dimiliki oleh klien sehingga latihan
Perbedaan pemberian psikofarmaka yang diberikan membudaya. Apabila terjadi
dan psikoterapi adalah pada psikofarmaka kemunduran pada klien hendaknya perawat
berfokus pada penurunan tanda gejala saja, ruangan mengkonsultasikan perkembangan
tanpa memperhatikan mengenai kemampuan kliennya yang telah mendapat terapi spesialis
yang dimiliki oleh klien ketika muncul stressor kepada perawat spesialis yang dimiliki rumah
yang dihadapi yang mengakibatkan perubahan sakit.
dalam pikiran, perasaan, perilaku, sosial dan Hasil penelitian ini hendaknya
fisiologis. digunakan sebagai evidence based dalam
Fokus tindakan pada terapi musik dan RECBT mengembangkan Terapi Musik dan RECBT
adalah self control di mana klien baik pada individu maupun kelompok,
membangun sendiri keterampilan dalam sehingga menjadi modalitas terapi keperawatan
mengontrol perilaku kekerasan. Respons jiwa yang efektif dalam mengatasi masalah
maladaptif yang muncul disebabkan karena kesehatan jiwa dan meningkatkan derajat
terjadinya perubahan dalam pikiran, perasaan kesehatan jiwa.
dan perilaku (Stuart, 2013). Ketika pikiran Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan pada
yang negatif, perasaan yang irasional dan klien dengan perilaku kekerasan dengan
perilaku negatif dapat dikontrol secara mandiri cohort untuk melihat pencapaian kemampuan
oleh klien maka perilaku kekerasan akan dapat dalam menurunkan gejala dan meningkatkan
terkontrol dan tidak muncul lagi. kemampuan mengontrol perilaku kekerasan
(relaksasi, mengubah pikiran negatif,
keyakinan irasional dan perilaku negatif).
Perlunya dilak ukan penelitian lanjutan yang melihat pengaruh peningkatan kemampuan klien setelah
terapi Musik dan RECBT terhadap penurunan tanda gejala perilaku kekerasan pada klien skizofrenia.
Perlu dilakukan penelitian mengenai kombinasi psikoterapi individu dengan psikoterapi yang diberikan
pada keluarga.
KEPUSTAKAAN
Ahmed, AO. et al. 2014. Cognition and Other Targets for the Treatment of Aggression in People with
Schizophrenia. Scimed central.
Balitbang Depkes R.I 2008. Hasil Riset Kesehatan Dasar 2007, Jakarta: Depkes RI.
Balitbang Depkes RI. 2013. Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013, Jakarta: Depkes RI.
Chanda, ML and Levitin, DJ. 2013. The neurochemistry of music. Trends in Cognitive Sciences
April 2013, Vol. 17,
No. 4.
Chlan, L, 2011. Music helps reduce stress and anxiety. Ventilator living assisted journal vol. 25.
Dunn, B. 2010. Psychotherapy and music therapy. Reprinted from victory review magazine.
Ellaine, JS, et al, 2005. Schizophrenia: etiology and course. A journal annualreviews. org.
Ellis, A. 2000. Rational emotive behavioral approaches to childhood disorders theory, practice and
research. Springer Science+Business Media, Inc.
Fazel, S, et al. 2009. Schizophrenia and Violence: Systematic Review and Meta- Analysis. Plos
Medicine.
Fontaine, Kareen Lee. 2009. Mental Health Nursing 6th edition. New Jersey: Pearson Education, Inc.
Jensen, 2010. Evaluating the ABC models of rational emotive behaviour therapy
theory: an analysis of the relationship between irrational thinking an guilt, Thesis of Science in
Psychology. The Faculty of Department Psychology Villanova University. United State. ProQuest LLC.
Lelono, SK, Keliat, BA dan Besral. 2011. Pengaruh cognitif behaviour therapy dan rational
emotive behaviour therapy terhadap klien dengan perilaku kekerasan, halusinasi dan isolasi sosial
di Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor, Tesis tidak dipublikasikan, Tahun 2011.
Mozzler K, et al. 2013. Music therapy for people with schizophrenia and schizophrenia-like disorders
(Review). Wiley.
Oemarjoedi, A,K,. 2003. Pendekatan Cognitive Behavioral dalam Psikoterapi. Jakarta: Kreativ Media.
Sulistyowati, Keliat, Hastono dan Susanti. 2011. Pengaruh terapi musik terhadap klien perilaku
kekerasan di RSJD Surakarta. Tesis tidak dipublikasikan. FIK. UI.
Swanson, et al., 2006. A National Study of Violent Behavior in Persons With Schizophrenia. Arch
Gen Psychiatry/ Vol. 63, May 2006.
Stuart, GW. 2013. Principles and practice of psychiatric nursing. (9th edition). St Louis: Mosby.
Videback, SL. 2008. Buku Saku Keperawatan Jiwa. EGC: Jakarta.
Volavka, J., 2012. Violence in schizophrenia and bipolar disorder. Psychiatria danubina, 2013; vol. 25,
no. 1, pp. 2
4–33.
Volavka, J & Citrome, L. 2011. Pathways to Aggression in Schizophrenia Affect Results of Treatment.
Oxford Journal.
World Health Organization. 2015. Improving health systems and services for mental health (Mental
health policy and service guidance package), Geneva 27, Switzerland: WHO Press.
Jurnal Ners dan Kebidanan, Muhith,
Volume 5, No. 2, Agustus
Fardiansyah, © 2018
Mawaddah, Mulyatin, Hubungan Perilaku Jurnal Ners
Kekerasan dan Kebidanan
Pasien... 137
2018 DOI: 10.26699/jnk.v5i2.ART.p137–143
This is an Open Access article under the CC BY-SA license
(http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/)
Abstract: Psychiatric intensive care unit nurses are in a limited environment that allows nurses close to
patients to be able to observe the client’s condition and evaluate the treatment and medical actions taken. If
the nurse is not prepared with this condition, it can cause tension to the nurse which results in stress. One of
the tasks of mental nurses is the handling of violent behavior (aggressive), the poor perception of nurses
makes work stress (Muhith, 2015) This study aims to the relationship between Patient Violence Behavior with
Stress on nurses in Intensive Psychiatry Care Unit (IPCU) RS Dr.Radjiman Wediodiningrat Lawang. This
research design use cross sectional approach. The population of this study is 40 people, with a sample of 28
people, is simple random sampling. The independent variable is Patient’s Violence Behavior, while the
dependent variable is Stress the questioner. Data analysis using Spearman correlation test. Spearman
correlation test results obtained r= 0.738 p = 0.000 (p <0,05), it can be concluded that there is a significant
relationship between the behavior of patient’s hardness with stress on the nurses in Intensive Psychiatry Care
Unit (IPCU) RS Dr.Radjiman Wediodiningrat Lawang. Based on these results it is concluded that patient’s
violence behavior in Intensive Psychiatry Care Unit (IPCU) RS Dr.Radjiman Wediodiningrat Lawang most of
is high category, whereas most nurses experi- ence moderate stress.Thus the hospital can create a
comfortable and safe atmosphere for patients and nurses who work, so that stressful events can be minimized
and well managed.
Abstrak: Perawat psikiatri intensive care unit berada dalam lingkungan yang terbatas yang memungkinkan
perawat dekat dengan pasien untuk dapat mengobservasi kondisi klien dan mengevaluasi tindakan perawatan
maupun tindakan medis yang dilakukan. Jika perawat tidak siap dengan kondisi tersebut akan dapat
menimbulkan ketegangan pada perawat yang berakibat stres. Salah satu tugas perawat jiwa adalah
penanganan perilaku kekerasan (agresif), persepsi yang buruk perawat menjadikan stres kerja (Muhith,
2015). Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan antara Perilaku Kekerasan Pasien dengan Stres pada
perawat di Intensive Psychiatry Care Unit (IPCU) RS Dr.Radjiman Wediodiningrat Lawang. Desain
penelitian cross sectional. Populasi sejumlah 40 orang dengan sampel sebanyak 28 orang. Teknik
pengambilan sampel simple random sampling. Variabel bebasnya adalah Perilaku Kekerasan Pasien,
sedangkan variabel tergantungnya adalah Stres. Alat ukur menggunakan kuesoner. Penelitian dilaksanakan pada
bulan Mei – Juni 2018. Analisis data menggunakan uji korelasi Spearman. hasil uji Korelasi Spearman
didapatkan hasil r = 0,738 p = 0,000 (p < 0,05), maka dapat diperoleh hasil bahwa ada hubungan yang
bermakna antara Perilaku Kekerasan Pasien dengan Stres pada perawat di Intensive Psychiatry Care Unit
137
(IPCU) RS Dr.Radjiman Wediodiningrat Lawang. Berdasarkan hasil penelitian bahwa Perilaku kekerasan
pasien di Intensive Psychiatry Care Unit (IPCU) RS Dr.Radjiman Wediodiningrat Lawang sebagian besar
dalam kategori tinggi, sedangkan sebagian besar Perawat mengalami stress yang sedang. Dengan demikian
diharapkan pihak rumah sakit dapat menciptakan suasana yang nyaman dan aman baik bagi pasien maupun
perawat yang bekerja, sehingga kejadian stres bisa diminimalkan dan dikelola dengan baik.
176
Aggression Scale (POPAS) Questionnaire. https:/
/www.researchgate. net/profile/Nico_ Oud/ p u b l i c a t i o n / 2 7 0 1 5 9 8 4 9 _ T h e _ P e r c e p
t i o n _ o f _ P r e v a l e n c e _ o f _ Aggression_Scale_POPAS_Questionnaire/links/
54a177900cf256bf8baf71c1/The-Perception-of- Prevalence- of- Aggression- Scale- POPAS-
Questionnaire.pdf, diunduh pada 2 Februari 2018.
Psychology Foundation of Australia . (2014). Depression Anxiety Stress Scales (DASS). HYPERLINK http:/
/www2.psy.unsw.edu.au/dass/http://www2. psy.unsw.edu.au/dass/ diunduh pada 2 Februari 2018.
Yosep, Iyus dan Titin Sutini. 2014. Baku Ajar Kepera- watan Jiwa Dan Advance Mental Health Nursing.
Bandung: PT Refika Aditama.
177
PENGARUH RELAKSASI OTOT PROGRESIF TERHADAP KEMAMPUAN
MENGONTROL MARAH PADA PASIEN RISIKO PERILAKU KEKERASAN DI RSJD
DR. AMINO GONDOHUTOMO PROVINSI JAWA TENGAH
ABSTRAK
Gangguan jiwa adalah pola perilaku atau psikologis yang ditunjukkan oleh pasien yang menyebabkan
distress, disfungsi, dan menurunkan kualitas kehidupan. Hal ini mencerminkan disfungsi psikologis dan
bukan sebagai akibat dari penyimpangan social atau konflik dengan masyarakat. Perilaku kekerasan
merupakan respon maladaptif dari marah. Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan pasien untuk
mengontrol marah salah satunya adalah relaksasi otot progresif. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh relaksasi otot progresif terhadap kemampuan mengontrol marah pada pasien
RPK di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah. Rancangan penelitian ini menggunakan
Quasi Eksperiment dengan metode penelitian One Group Pre Post test design. Jumlah sampel dalam
penelitian ini sebanyak 53 responden dengan teknik pengambilan sampel purpose sampling. Uji
statistik yang digunakan adalah Paired T–Test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh
relaksasi otot progresif terhadap kemampuan mengontrol marah pada
pasien RPK dengan 0.000 sedangkan nilai thitung 10.90 dan ttabel 1.67 (thitung > ttabel). Hal ini
dikarenakan relaksasi otot progresif dapat meningkatkan keterampilan dasar relaksasi untuk mengontrol
marah dan memperbaiki kemampuan untuk mengatasi stres. Rekomendasi dari penelitian ini adalah
perawat dapat menggunakan relaksasi otot progresif sebagai alternatif untuk membantu mengontrol
marah pada pasien resiko perilaku kekerasan.
ABSTRACT
Mental disturbance is a psychological behavior pattern that cause distress, dysfunction, and life
quality decline. Mental disturbance reflects psychological dysfunction. It is not a result of social
distortion or conflict with society. Violent behavior is a maladaptive respond of anger. Nursing
treatment for anger management that can be given to the patients is progressive muscle relaxation. The
research is intended to determine the influence of progressive muscle relaxation toward anger
management in patients with risk of violent behavior at Amino Gondohutomo Mental Hospital Central
Java Province. The research is designed using quasi experiment with One Group Pre Post test design
as its research method. The sample is collected by purpose sampling technique. There are 53
respondents in this research. It uses Paired T – Test as statistic test. The result shows that there is the
influence of progressive muscle relaxation toward anger management in patients with risk of
violent behavior with 0.000. While tvalue 10.90 and ttable 1.67 (tvalue > ttable). It is because progressive
muscle relaxation can increase the basic skill of relaxation in anger management and improve the ability in
handling stress. The research recommends that the nurse can use progressive muscle relaxation as an
alternative to help patients with risk of violent behavior in controlling their anger.
178
PENDAHULUAN Pontoh (2013, hlm.1) menyatakan perilaku
kekerasan merupakan respon maladaptif dari
Gangguan jiwa adalah pola perilaku atau psikologis marah. Apabila diungkapkan secara tidak tepat
yang ditunjukkan oleh pasien yang menyebabkan dapat menimbulkan permusuhan dan agresi yang
distress, disfungsi, dan menurunkan kualitas tidak mampu diungkapkan secara asertif, dapat
kehidupan. Hal ini mencerminkan disfungsi memanjang hingga respon yang paling
psikologis dan bukan sebagai akibat dari maladaptif. Bila kondisi tersebut tidak diatasi,
penyimpangan social atau konflik dengan masyarakat maka dapat menyebabkan seseorang rendah diri
(Keliat & Pasaribu, 2013, hlm.45). Faktor yang sehingga sulit untuk bergaul dengan orang lain.
berhubungan dengan kejadian gangguan jiwa antara Bila kemampuan bergaul dengan orang lain
lain: faktor genetik dan kepribadian dan konsep diri, terganggu akibatnya memunculkan
sedangkan tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, halusinasi yang
nominal penghasilan, dan dukungan keluarga membahayakan secara fisik, baik pada dirinya
terhadap pasien yang mengalami gangguan jiwa tidak sendiri maupun orang lain (Fitria, 2009,
menjadi penyebab terjadinya gangguan jiwa (Yanuar, hlm.145).
2011, hlm.12).
Mengekspresikan perasaan marah dengan
Data dari WHO dalam Yosep dan Sutini (2014, perilaku agresif dan menentang dapat
hlm.34), ada sekitar 450 juta orang di dunia yang menimbulkan tingkah laku yang destruktif.
mengalami gangguan jiwa. Data dari Balitbangkes Apabila pasien
(2008) data dari 33 Rumah Sakit Jiwa (RSJ) yang ada mengekspresikan marah dengan cara asertif akan
di seluruh Indonesia menyebutkan hingga kini memberikan ketenangan pada pasien. Tindakan
keperawatan yang dapat dilakukan pasien untuk
jumlah penderita gangguan jiwa berat mencapai 2,5
mengontrol marah antara lain: berbicara positif
juta orang. Menurut data Departemen Kesehatan
tentang diri sendiri, merubah lingkungan,
tahun 2009, jumlah penderita gangguan jiwa di
menuliskan perasaan klien, mendengarkan
Indonesia saat ini, mencapai lebih dari 28 juta orang,
musik, medikasi dan latihan relaksasi (Keliat &
dengan kategori gangguan jiwa ringan 11,6 % dan
Pasaribu, 2013, hlm.489).
0,46 % menderita gangguan jiwa berat. Menurut Data
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2013) jumlah
Relaksasi otot progresif merupakan teknik
Prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk
relaksasi yang dilakukan dengan cara pasien
Indonesia 1,7 permil. Gangguan jiwa berat terbanyak
menegangkan dan melemaskan otot secara
di DI Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, dan
berurutan dan memfokuskan perhatian pada
Jawa Tengah. Prevalensi gangguan mental emosional
perbedaan perasaan yang dialami antara saat otot
pada penduduk Indonesia 6,0 persen. Provinsi
rileks dan saat otot tersebut tegang (Kozier, et
dengan prevalensi ganguan mental emosional
al., 2010, hlm.314). Perubahan yang diakibatkan
tertinggi adalah Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan,
oleh relaksasi otot progresif yaitu dapat
Jawa Barat, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara
mengurangi ketegangan otot, menurunkan laju
Timur.
metabolisme, meningkatkan rasa kebugaran, dan
konsentrasi, serta memperbaiki kemampan untuk
mengatasi stressor (Potter & Perry, 2005,
hlm.491).
179
Alat pengumpulan data yang digunakan pada
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di
penelitian ini adalah lembar kuesioner. Pasien
atas, maka dapat dirumuskan masalah
yang melakukan relaksasi otot progresif dapat
penelitian “Apakah Ada
dinilai dengan melihat lembar prosedur relaksasi
Pengaruh Relaksasi Otot Progresif
otot progresif yang telah dibakukan oleh Setyoadi
Terhadap Kemampuan Mengontrol Marah Pasien
dan Kushariyadi (2011,
RPK di RSJD Dr. Amino
hlm.108). Sedangkan kemampuan
Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah?”.
mengontrol marah pada pasien dinilai dengan cara
kuesioner dan sesuai check list. Kuesioner
METODE PENELITIAN ini merupakan skala
Metode penelitian ini menggunakan Quasi pengungkapan marah yang digunakan oleh
Eksperiment yaitu jenis penelitian yang Sudiatmika (2011).
menggunakan satu kelompok dilakukan intervensi
sedangkan kelompok lainnya dilakukan seperti Sebelum dilakukan uji hipotesis terlebih dahulu
biasanya (Nursalam, 2014, hlm.160). Penelitian ini dilakukan uji statistik dengan menggunakan uji
menilai pengaruh terapi relaksasi otot progresif Kolmogorov-Smirnov karena jumlah responden
terhadap kemampuan mengontrol marah pasien risiko 53 orang (>50orang). kemudian didapatkan data
perilaku kekerasan (RPK) dengan menggunakan berdistribusi normal dengan ρ-value 0.2 maka
metode One Group Pre Post test design dilakukan uji beda sampel berpasangan (Paired
(Notoatmodjo, 2012, hlm.57). Untuk mengetahui T–Test (Dependent T-Test)).
kemampuan mengontrol marah pasien RPK sebelum
dan sesudah diberikan intervensi keperawatan HASIL PENELITIAN
relaksasi otot progresif. 1. Data Karakteristik Responden
Tabel 5.1
Data yang diperoleh dari RSJD Dr. Amino Gambaran Karakteristik Responden Pada Pasien
Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah pada bulan RPK di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Provinsi
Januari sampai September 2015 populasi pasien yang Jawa Tengah
mengalami RPK sebanyak 2258 pasien, sehingga
rata-rata tiap bulan sebanyak 251 pasien. Jumlah Karakteristik Jumlah
sampel pada penelitian ini menggunakan rumus Responden N
pengambilan sampel menurut Nursalam (2014, %
hlm.171) dengan hasil yang didapatkan adalah 53 Usia/Umur
responden. Remaja 3 5.7
Dewasa Awal 43 81.1
Dewasa Madya 7 13.2
Penelitian dilakukan di RSJD Dr. Amino
Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah. Penelitian Jenis Kelamin
dilakukan pada bulan November 2015 sampai bulan
Laki-laki 32 60.4
Juni 2016. Sedangkan untuk pengambilan data
Perempuan 21 39.6
penelitian dilakukan pada tanggal 11 April sampai 1
Mei 2016. Penelitian dilakukan di beberapa ruang
Pekerjaan
rawat inap, yaitu ruang
180
Bekerja 51 96.2
Tidak Bekerja 2 3.8
Arimbi, Brotojoyo, Citroanggodo,
Gatutkaca, dan Srikandi.
181
Berdasarkan tabel 5.1 menggambarkan karakteristik 3. Uji normalitas
responden berdasarkan jenis kelamin, umur/usia, dan
pekerjaan pasien RPK. Didapatkan
Tabel 5.3
Uji Normalitas Responden
bahwa dari 53 pasien sebagian pasien berjenis Uji Standa p-
kelamin laki-laki sebanyak 32 Normalitas Statistik r Eror value
responden (60.4%). Pada variabel
umur/usia diketahui bahwa responden terbanyak Skor 0.2
berada pada kategori dewasa awal yaitu 43 sebelum intervensi
responden (81.1%). Sedangkan pada variabel Mean 52.00 1.45
pekerjaan responden yang bekerja sebanyak 51 Skewness 0.36 0.33
responden (96.2%).
Skor 0.2
2. Gambaran skor kemampuan mengontrol setelah intervensi
marah pada responden sebelum dan setelah Mean 60.23 1.71
diberikan relaksasi otot progresif Skewness -0.28 0.33
Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Skor Kemampuan
Mengontrol Marah Sebelum Dan Setelah Diberikan Hasil uji normalitas yang dilakukan oleh peneliti,
Terapi Relaksasi Otot Progresif Pada Pasien RPK di didapatkan nilai statistik mean sebelum
RSJD Dr. Amino Gondohutomo Provinsi Jawa intervensi adalah 52.00 dan mean setelah
Tengah bulan April 2016 (n=53 responden) intervensi adalah
60.23. Nilai skewness pada saat sebelum
Variabel Mean SD intervensi adalah 0.36
sedangkan nilai skewness setelah intervensi -
0.28. Untuk nilai p-value sebelum dan setelah
intervesi adalah ρ:
Skor sebelum intervensi 52.00 10.5 0.2 (ρ > 0.05) sehingga dapat disimpulkan bahwa
Berdasarkan Skor
tabel setelah
5.2 menunjukkan
intervensi bahwa skor rata-
60.23 12.5 data berdistribusi normal.
rata (mean) kemampuan mengontrol marah
responden sebelum diberikan terapi relaksasi otot
progresif adalah 52.0 (rendah), setelah diberikan
intervensi rata-rata menjadi 60.23 (sedang)
sedangkan standar deviasi sebelum intervensi adalah
10.5 dan standar deviasi setelah intervensi menjadi
12.5
182
4. Analisis pengaruh relaksasi otot progresif terhadap PEMBAHASAN
kemampuan mengontrol marah pada pasien RPK. Usia
Tabel 5.4 Hasil penelitian ini diperoleh jumlah
Analisis Skor Kemampuan Mengontrol Marah Sebelum responden terbanyak adalah kelompok usia
Dan Setelah Diberikan Terapi Relaksasi Otot Progresif 22-40 tahun. Rentang usia tersebut dapat
Pada Pasien RPK di RPK di RSJD dr. Amino dikategorikan pada kelompok usia dewasa
Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah bulan April 2016 awal. Jumlah responden pada kelompok
(n=53) dewasa dalam penelitian ini sebesar 43
ρ- responden (81.1%).
Variabel df t Mean SD
value
Skor Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian
52.0 10.6 0.000 yang dilakukan oleh
pre test Wibowo (2012) yang berjudul
Skor 52 10.90
60.2 12.5 Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok:
post test
Stimulasi Persepsi Sesi I-III Terhadap
Kemampuan Mengenal dan
Hasil uji statistik dengan menggunakan Paired T–Test
Mengontrol Perilaku Kekerasan Pada Pasien
(Dependent T-Test) pada tabel 5.4 didapatkan bahwa
Perilaku Kekerasan yang
dengan responden sebanyak 53 orang, terlihat ada
menyatakan bahwa responden usia 22- 40
perubahan dari kemampuan mengontrol marah pada
tahun sebanyak 31 orang (77.5%).
pasien RPK di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Provinsi
Jawa Tengah. Terbukti dari
Pasien di usia dewasa muda mudah
nilai thitung 10.90 lebih besar dari ttabel pada tingkat
mengalami gangguan mengontrol marah yang
signifikansi 5% yaitu 1.67 sehingga 10.90 > 1.67 berhubungan dengan persoalan-persoalan
(thitung > ttabel) dan nilai signifikansi (ρ-value ) = yang dialaminya seperti persoalan jabatan,
0.000 perkawinan, keuangan dan sebagainya.
< 0.05. Hal ini membuktikan bahwa ada Ketegangan emosional seringkali
pengaruh relaksasi otot progresif terhadap kemampuan dinampakkan dalam ketakutan-ketakutan atau
mengontrol marah pada pasien RPK di RSJD Dr. kekhawatiran-kekhawatiran melalui marah
Amino Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah. Dari nilai dan ketidakmampuan mengontrol marah.
mean dan standar deviasi terlihat bahwa terjadi Pengendalian marah seharusnya dapat
peningkatan kemampuan mengontrol marah, dimana dikelola dengan baik seiring dengan
mean dan standar deviasi sebelum dilakukan bertambahnya usia karena dengan
intervensi adalah bertambahnya usia kematangan emosional
52.00 dan 10.6 menjadi 6.2 dan 12.5. Hal ini seseorangpun berubah ke arah yang lebih baik
menunjukkan adanya atau sempurna. Pada masa dewasa awal
seharusnya bisa mengendalikan marah dengan
peningkatan kemampuan mengontrol
lebih baik karena mereka semestinya sudah
marah setelah dilakukan relaksasi otot progresif.
lebih dewasa dan matang dalam bertindak.
183
Jenis kelamin Seorang laki-laki yang kehilangan pekerjaannya
Hasil penelitian ini jumlah responden laki-laki lebih banyak mengalami perubahan peran sebagai laki-
banyak yaitu 32 responden (60.4%), sedangkan laki dan bisa membuat seseorang kehilangan
responden perempuan 21 responden (39.6%). harga dirinya di dalam kehidupan,
perekonomian, pergaulan, perasaan malu dan
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh rasa bersalah karena tidak dapat memenuhi
Yuhanda (2014) tentang efektifitas terapi relaksasi kebutuhan ekonomi hidup, sehingga laki-laki
nafas dalam dan tertawa dalam mengotrol perilaku akan mudah marah karena dirinya mempunyai
kekerasan pada pasien resiko perilaku kekerasan di tanggng jawab yang besar untuk menghidupi
RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang yang keluarga dan dirinya sendiri. Sehingga jika itu
menyatakan bahwa responden laki-laki lebih banyak tidak terpenuh laki-laki akan merasa dirinya tdak
dari responden perempuan, responden laki- laki sempurna sebagai laki-laki (Saputri, 2015,
dengan jumlah 62 responden atau (79,5%). hlm.60).
Pekerjaan
Hasil penelitian rata-rata (mean) skor
Hasil penelitian diperoleh sebagian besar responden
kemampuan mengontrol marah sebelum
memiliki pekerjaan dengan presentase 96.2%. Hasil
dilakukan intervensi adalah
penelitian ini sesuai dengan penelitian yang
52.0 (rendah), setelah diberikan intervensi rata-
dilakukan oleh Kholid (2015) yang berjudul
rata menjadi 60.23 (sedang) sedangkan standar
Pengaruh terapi musik tradisional terhadap
deviasi sebelum intervensi adalah 10.5 dan
kemampuan mengontrol marah pada pasien RPK.
standar deviasi setelah intervensi menjadi 12.5.
Responden terbanyak dari penelitian tersebut adalah
bekerja, sebanyak 10 responden (66.7%).
Berdasarkan hasil wawancara selama penelitian
didapatkan data bahwa pasien yang mengalami
RPK merasa dalam situasi yang tidak nyaman
dan sering tidak menyenangkan akibat stresor
eksternal yaitu lingkungan sekitar. Hal ini sesuai
dengan faktor presipitasi yang dikemukakan oleh
184
Yosep, I. dan Sutini T (2014, hlm. Setelah dilakukan intervensi relaksasi otot
154) bahwa pasien akan berespon dengan marah progresif pada pasien RPK, terlihat ada
apabila terancam. Ancaman (stresor) dapat berasal perubahan dari kemampuan mengontrol marah
dari eksternal (lingkungan). Stimulus yang pada pasien RPK di RSJD Dr. Amino
menimbulkan ketegangan diterima oleh organ Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah.
sensorik, amigdala dan prefrontal cortex Terbukti dari nilai thitung dan ttabel yaitu 10.90
mengirimkan sinyal bahaya ke divisi simpatetik dari
> 1.67 (thitung > ttabel) dan nilai signifikansi ( -
saraf otonom yang selanjutnya memberi perintah
value ) = 0.000 <
kepada kelenjar adrenalin untuk menghasilkan
Ini membuktikan bahwa ada
neurotransmitter, salah satu yang berperan dalam
pengaruh relaksasi otot progresif terhadap
marah adalah serotonin. Ketika seseorang
kemampuan mengontrol marah pada pasien
kekurangan serotonin, maka akan terjadi
RPK di RSJD Dr. Amino Gondohutomo
ketidakseimbangan
Provinsi Jawa Tengah. Hal ini sesuai dengan
neurotransmiter, yang kemudian akan mengganggu
penelitian yang dilakukan oleh Resti (2014)
pengontrolan emosi. Kekurangan serotonin ini
menyebutkan bahwa relaksasi otot progresif
mengakibatkan perilaku cepat marah, mudah
juga dapat memberikan efek psikologis.
tersinggung, dan kesal (Videbeck, 2008, hlm.24).
Setelah melaksanakan relaksasi otot progresif
responden menjadi lebih tenang dalam berfikir
Analisis Bivariat dan dapat mengelola rasa marah dan
Hasil penelitian skor kemampuan marah sebelum pernafasannya. Responden yang telah
dilakukan intervensi adalah 52.0 (sedang), sedangkan melakukan relaksasi otot progresif tubuh
setelah intervensi menjadi 60.2 (sedang). menjadi rileks dan pikiran menjadi tenang.
Selain itu setelah relaksasi otot progresif gejala
RPK adalah suatu keadaan dimana seseorang emosi seperti mudah marah dan tersinggung
melakukan tindakan yang dapat membahayakan dapat berkurang.
secara fisik, baik pada dirinya sendiri maupun orang
lain, disertai dengan amuk dan gaduh gelisah Relaksasi otot progresif dapat meningkatkan
yang tak terkontrol kemampuan
(Kusumawati & Hartono, 2010, mengontrol marah, hal ini dinyatakan oleh
hlm.78). Pengendalian marah adalah suatu tindakan Purwanto (2013, hlm.35) bahwa manfaat
untuk mengatur pikiran, perasaan, nafsu amarah relaksasi otot progresif antara lain
dengan cara yang tepat dan positif serta dapat meningkatkan keterampilan dasar relaksasi
diterima secara sosial, sehingga dapat mencegah untuk mengontrol marah dan memperbaiki
sesuatu yang buruk atau merugikan diri sendiri dan kemampuan untuk mengatasi stres. Selain itu
orang lain. Apabila pasien memberikan makna positif relaksasi otot progresif bermanfaat untuk
saat marah maka pasien dapat melakukan kegiatan meningkatkan produksi serotonin. Serotonin
secara positif dan terapai perasaan lega. Selain itu ini berkaitan dengan mood. Bersantai
kemarahan yang diekspresikan secara konstruktif melakukan relaksasi otot progresif dapat
dapat menyelesaikan membantu tubuh mengurangi ketegangan otot
masalah. dan saraf dan meningkatkan kemampuan
dasar relaksasi (Alam & Hadibroto, 2007,
hlm.102).
Pengendalian marah yang cukup baik berarti pasien
(thitung>ttabel). Maka dapat diartikan bahwa Ha
dapat mengendalikan atau mengurangi marah dengan
diterima. Hal ini menunjukkan bahwa ada
melakukan relaksasi. Pemberian relaksasi otot
pengaruh relaksasi otot rogresif terhadap
progresif memiliki manfaat untuk meningkatkan
kemampuan mengontrol marah pada pasien RPK
teknik relaksasi yang harus dimiliki oleh pasien RPK.
Dengan memperhatikan manfaat tersebut didukung
dengan lingkungan yang tenang, posisi yang nyaman, SARAN
dan keadaan responden yang kooperatif dapat
Bagi Rumah Sakit
memaksimalkan manfaat dari intervensi tersebut.
Pihak RSJD Dr. Amino Gondohutomo Provinsi
Sehingga relaksasi otot progresif dapat dijadikan
Jawa Tengah dapat memberikan pelatihan
pilihan dalam memberikan terapi modalitas yang
relaksasi otot progresif kepada perawat yang
digunakan oleh pasien RPK sebagai salah satu
intervensi untuk mengontrol marah. belum memiliki spesialisasi dalam hal tersebut
sehingga perawat mampu dan layak untuk
melakukan relaksasi otot progresif. Sedangkan
SIMPULAN
untuk perawat RSJD Dr. Amino Gondohutomo
Berdasarkan hasil penelitian yang Provinsi Jawa Tengah dapat menggunakan hasil
dilakukan tentang pengaruh relaksasi otot progresif penelitian ini sebagai salah satu intervensi
terhadap kemampuan alternatif untuk membantu mengontrol marah
mengontrol marah pada pasien RPK di RSJD Dr. pada pasien RPK
Amino Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah Bagi Institusi
sehingga dapat disimpulkan sebagai berikut: Sebagai pembelajaran pentingnya mengontrol
Karakteristik responden kategori jenis kelamin paling emosi dan melakukan intervensi relaksasi otot
banyak laki-laki 32 responden 60.4%, kategori usia progresif pada pasien RPK, serta menjadi bukti
paling banyak usia dewasa awal (22 - 40) sebanyak ilmiah dalam pendidikan khususnya untuk
43 responden 81.1%, kategori pekerjaan yang paling profesi keperawatan jiwa.
Bagi Peneliti Selanjutnya
banyak responden yang bekerja sebanyak 51
responden (96.2%). Pada penelitian selanjutnya intervensi dapat
digunakan pada pasien lain di komunitas
Tingkat kemampuan mengontrol marah sebelum
ataupun panti dan
diberikan intervensi relaksasi otot progresif pada
menambahkan variabel-variabel yang banyak
responden yang mengalami RPK dengan skor rata-
berpengaruh terhadap
rata 52.0 (rendah) dan standar deviasi 10.5
kemampuan mengontrol marah pada RPK.
Tingkat kemampuan mengontrol marah setelah
Peneliti selanjutnya dapat
diberikan intervensi relaksasi otot progresif pada
menggunakan kelompok kontrol agar hasilnya
responden yang mengalami RPK dengan skor rata-
lebih akurat.
rata 60.23 (sedang) dan standar deviasi 10.5
Berdasarkan uji statistik Paired T- Test diperoleh
hasil ρ-value
sebesar 0.000 dan nilai thitung 10.90
dan ttabel 1.67 sehingga 10.90 > 1.67
DAFTAR PUSTAKA Potter & Perry. (2005). Buku fundamental
keperawatan, konsep, proses dan praktik edisi 4.
Alam, S. & Hadibroto, I. (2007). Gagal ginjal. Jakarta: EGC
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Purwanto. (2013). Herbal dan keperawatan
Fitria, N. (2009). Prinsip dan aplikasi penulisan komplementer teori, praktik, hukum dalam
laporan pendahuluan dan strategi asuhan keperawatan. Jakarta: Nuha Medika
pelaksanaan tindakan
keperawatan (LP dan SP) untuk tujuh Resti, I.B. (2014). Teknik relaksasi otot progresif
diagnosa keperawatan untuk mengurangi stres pada penderita asma.
jiwa berat bagi Malang: Universitas
Program S! Keperawatan. Muhammadiyah Malang
Jakarta: Salemba Medika
Saputri, L.D. (2015). Pengaruh terapi spiritual
Keliat, B.A.. & Pasaribu, J. (2013). Prinsip dan mendengarkan ayat suci al quran terhadap
praktik keperawatan kesehatan jiwa stuart kemampuan mengontrol emosi pada pasien
resiko perilaku kekerasan. Semarang: STIKES
edisi Indonesia. Singapore: Elsevier TELOGOREJO
Kholid. B. (2015). Pengaruh terapi musik Sudiatmika, I.K. (2011). Efektivitas cognitive
tradisional terhadap kemampuan mengontrol marah behaviour therapy dan rational emotive
pada pasien resiko perilaku Kekerasan. Semarang: behaviour terhadap klien dengan perilaku
Universitas Islam Sultan Agung kekerasan dan halusinasi di Rumah Sakit Dr. H.
Marzoeki Mahdi Bogor. Depok: FKUI
Kozier, et al., (2010). Buku fundamental
keperawatan konsep, proses dan praktik volume 1. Videbeck, S.L. (2008). Buku
Jakarta: EGC ajar keperawatan jiwa.
Jakarta: EGC
Kusumawati, F., & Hartono, Y. (2010). Buku ajar
keperawatan jiwa. Jakarta: Salemba Medika Wibowo, F. (2012). Pengaruh terapi aktivitas
kelompok: stimulasi
Notoatmodjo, S. (2012). Metodologi penelitian persepsi sesi I-III terhadap
kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta kemampuan mengenal dan
mengontrol perilaku kekerasan pada pasien
Nursalam. (2014). Metodologi penelitian ilmu perilaku kekerasan. Semarang:
keperawatan pendekatan praktis edisi 3. Jakarta: STIKES
Salemba Medika TELOGOREJO
Pontoh, D.D., Bawong, J. & Rottie, J. (2013). Yanuar, R. (2011). Analisis faktor yang
Gambaran ungkapan marah terhadap kemampuan berhubungan dengan kejadian gangguan jiwa di
mengontrol perilaku kekerasan pada pasien Desa Paringan Kecamatan Jenangan Kabupaten
skizofrenia di ruangan Warane Rumah Sakit Jiwa Ponorogo. http://journal.unair.ac. id/ diunduh
Prof. Dr. V.lratumbuysang Propinsi Sulawesi pada tanggal 4 Januari 2016 pukul 20.50 WIB
Utara. http:
//ejournal.unsrat.ac.id/, diperoleh pada tanggal 5 Yosep, I.,& Sutini, T. (2014). Buku ajar
Januari 2015 pukul keperawatan jiwa. Bandung: PT.Refika Aditama
11.50 WIB
Yuhanda, D. (2014). Tentang efektifitas terapi relaksasi nafas
dalam dan tertawa dalam mengotrol perilaku kekerasan pada
pasien resiko perilaku kekerasan. Semarang: STIKES
TELOGOREJO
185 Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan (JIKK), Vol. III No. 3, Juni 2018 117-196
Tand
a
HUBUNGAN ANTARA BEBAN KELUARGA DENGAN KEMAMPUAN KELUARGA
MERAWAT PASIEN PERILAKU KEKERASAN DI POLIKLINIK RUMAH SAKIT
MARZOEKI MAHDI BOGOR
ABSTRAK
Skizofrenia menduduki peringkat keempat sebagai penyakit yang membebankan di seluruh dunia. Salah satu
manifestasi klinik dari skizofrenia adalah perilaku kekerasan. Beban berat yang dirasakan keluarga dapat
menurunkan kemampuan keluarga merawat pasien dengan perilaku kekerasan. Tujuan penelitian adalah
mengidentifikasi hubungan beban dengan kemampuan keluarga merawat pasien perilaku kekerasan di Poliklinik
Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor. Desain penelitian adalah analitikdengan tehnik purposive sampling terhadap
103 responden. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan signifikan antara beban dengan kemampuan
keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan (P value<0,05). Peningkatan kemampuan keluarga merawat
pasien perilaku kekerasan perlu dilakukan agar beban yang dirasakan keluarga menjadi berkurang.
ABSTRACT
Schizophrenia is the fourth most burdening health problem in the world. One of the clinical manifestation of
schizophrenia is violent behavior. Strenous burden perceived by the family could lower the ability of family to care
for patient. The purpose of this study is to indentify the relationship of family’s burden and the family ability to
care for patient with violent behavior at the Psychiatric Clinic of Marzoeki Mahdi Hospital of Bogor. This study
used analitical design and collected 103 samples using the purposive sampling technique. This study result
indicated a significant relationship between family’s burden and family ability to care for patient with violent
behavior (p value < 0,05). Study showed it is necessary to increase family capability in caring for patient with
abusive behavior in order to lower the burden perceived by the family.
Tand
a
PENDAHULUAN dalam menghadapi perilaku pasien, dan beban
sosial terutama menghadapi stigma dari
Skizofrenia menduduki peringkat 4 dari 10 masyarakat tentang anggota keluarganya yang
penyakit terbesaryang membebankan di seluruh mengalami gangguan jiwa. Dampak dari beban
dunia. Biaya yang dikeluarkan untuk perawatan yang dirasakan keluarga akan mempengaruhi
yang diberikan keluarga dan terkait kejahatan kemampuan keluarga dalam merawat pasien.
serta terkait kesejahteraan akibat skizofrenia Jika keluarga terbebani kemungkinan keluarga
sebesar 33 miliar dolar setiap tahunnya di tidak mampu merawat pasien dengan baik.
Amerika Serikat (Stuart, 2007). Berdasarkan latar belakang tersebut maka
Hasil Riskesdas (2007) menjelaskan bahwa dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu
prevalensi gangguan jiwa di Indonesia adalah “Apakah ada hubungan antara beban keluarga
4,6 0/00. Prevalensi tertinggi terdapat di Provinsi dengan kemampuan keluarga dalam merawat
DKI Jakarta (20,3 0/00) yang kemudian secara pasien perilaku kekerasan di Poliklinik RS
berturut-turut diikuti oleh Provinsi Nangro Aceh Marzoeki Mahdi Bogor?”
Darussalam (18,5 0/00), Sumatera Barat (16,7
0
/00), Nusa Tenggara Barat (9,9 0/00), Sumatera METODE
Selatan (9,2 0/00). Prevalensi terendah terdapat di
Maluku (0,9 0/00). Desain penelitian ini adalah desain analitik
Di RS Marzoeki Mahdi Bogor data yang di dapat kategorik berpasangan, yaitu metode untuk
dari bagian rekam medis pada tahun 2010 pasien mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara
skizofrenia yang dirawat inap berjumlah 9952 orang beban keluarga dengan kemampuan keluarga
dan pasien rawat jalan berjumlah 1217 orang, merawat pasien perilaku kekerasan.
sedangkan tahun 2011 pasien yang dirawat inap
berjumlah 1549 orang dan yang rawat jalan Sampel yang diambil dalam penelitian ini
berjumlah 15770 orang. Hal ini menunjukkan bahwa ditentukan dengan menggunakan teknik
terjadi peningkatan jumlah pasien skizofrenia yang pengambilan sampel purposive sampling, yaitu
menjalani pengobatan rawat inap dan rawat jalan di dengan terlebih dahulu menentukan kriteria.
RS Marzoeki Mahdi Bogor dalam satu tahun Kriteria yang dipakai adalah inklusi. Kriteria
terakhir. inklusi dalam penelitian ini yaitu keluarga pasien
yang anggota keluarganya mengalami skizofrenia
Pasien skizofrenia terutama yang mengalami dengan perilaku kekerasan dan pernah dirawat
perilaku kekerasan membutuhkan dukungan lebih dari 1 kali, keluarga bersedia dan mampu
keluarga yang mampu memberikan perawatan berpartisipasi dalam penelitian, serta tinggal
secara optimal. Tetapi keluarga sebagai sistem serumah dengan pasien
pendukung utama sering mengalami beban yang
Alat pengumpulan data ini adalah kuesioner The
tidak ringan dalam memberikan perawatan Zarith Burden Interview versi bahasa indonesia,
selama pasien dirawat di rumah sakit maupun merupakan instrumen untuk variabel independen
setelah kembali ke rumah. yaitu beban yang dirasakan keluarga. Kuesioner
pengetahuan dan sikap keluarga dalam merawat
Beban tersebut yaitu beban finansial dalam pasien perilaku kekerasan merupakan instrument
biaya perawatan, beban mental untuk variable dependen. Pengolahan data sesuai
dengan langkah-langkah edit data (editing),
memberikan kode (coding),
Tand
a
memasukkan data dalam tabel (entry),dan signifikan. Pada variabel pengetahuan keluarga
membersihkan data (cleaning). menunjukkan mayoritas responden memiliki
pengetahuan sedang 69 responden dan tinggi 34
Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini responden. Variabel sikap keluarga menunjukkan
adalah analisis univariat dan bivariat. Analisis 75 responden memiliki sikap tidak baik. Sedangkan
univariat dalam melakukan uji statistik variabel kemampuan keluarga terdapat 51
menggunakan uji distribusi dan proporsi. Analisis responden memiliki kemampuan tidak baik.
bivariat pada penelitian ini menggunakan uji Chi
Square karena variabel yang diteliti berjenis Tabel 2
kategorik dan kategorik. Hubungan antara Beban dengan Pengetahuan
Keluarga dalam Merawat Pasien Perilaku Kekerasan
Etika pengambilan data pada penelitian ini di Poliklinik RS Marzoeki Mahdi Bogor Tahun 2013
menggunakan prinsip manfaat, prinsip menghargai (n=103)
martabat manusia, prinsip Pengetahuan OR
keadilan dan prisip anonymity Beban Keluarga P
&
Confidentiality. Keluarga value
(95%
Sedang Tinggi CI)
HASIL n % n %
Tabel 1 Beban Berat 13 72,2 5 27,8 0,385
Distribusi Responden Berdasarkan Beban, Beban Sedang 26 74,3 9 25,7
Pengetahuan, Sikap dan Kemampuan Keluarga Beban Ringan 23 63,9 13 36,1 0,38 0,346
Dalam Merawat Pasien Perilaku Kekerasan di Tanpa Beban 7 50 7 50 0,565
Poliklinik RS Marzoeki Mahdi Bogor, Tahun 2013 Jumlah 69 67 34 33
(n=103)
Peresentase Tabel 2. Menjelaskan bahwa terdapat 13
Variabel Independen Jumlah responden yang sudah memiliki
(%)
Beban Keluarga pengetahuan tinggi tetapi masih mengalami
Beban Berat 18 17,5 beban yang berat dalam merawat pasien perilaku
Beban Sedang 35 34,0 kekerasan. Hasil uji analisis menunjukkan tidak
Beban Ringan 36 35,0 ada hubungan antara beban dengan pengetahuan
Tanpa Beban 14 13,6 keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan
Jumlah 103 100 P value>0,05.
Variabel Dependen
Pengetahuan Tabel3
Keluarga Distribusi Hubungan Antara Beban Dengan Sikap
Sedang 69 67,0 KeluargaDalam MerawatPasien Perilaku
Tinggi 34 33,0 Kekerasan di Poliklinik RS Marzoeki Mahdi Bogor
Jumlah 103 100 Tahun 2013 (n=103)
Sikap Keluarga
Tidak Baik 75 27,2
Baik 28 72,8 Sikap Keluarga
OR (95%
Jumlah 103 100 Beban
P
Kemampuan Keluarga Tidak Baik value CI)
Keluarga Merawat Baik
Tidak Baik 51 49,5 N % N %
Baik 52 50,5 Beban Berat 16 88,9 2 11,1 0,188
Jumlah 103 100 Beban Sedang 29 82,9 6 17,1 0,310 0,016
Beban Ringan 30 60 20 40
Tabel 1. Menjelaskan bahwa pada variabel beban
keluarga terdapat 18 responden dengan beban berat, Jumlah 75 72,8 28 27,2
jumlah tersebut cukup
Tand
a
Tabel 3. Menunjukkan bahwa terdapat 16 responden 000,- dan rata-rata penghasilan responden adalah
mengalami beban berat dan memiliki sikap tidak Rp 1.178.640,-. Jumlah tersebut merupakan
baik dalam merawat pasien perilaku kekerasan. Uji nominal yang sangat jauh
analisis menunjukkan adanya hubungan antara dibawah standar UMR Bogor tahun 2013 yaitu Rp
beban dengan sikap keluarga dalam merawat pasien 2.002.000,-. Hal ini sesuai dengan penelitian
perilaku kekerasan P Value<0,05. Gururaj, Bada, Reddy dan
Chandrashkar (2008) menemukan bahwa dari enam
Tabel 4 dimensi beban keluarga dengan skizofrenia, skor
Distribusi Hubungan Antara Beban Dengan finansial memiliki rata- rata yang paling tinggi.
Kemampuan Keluarga Dalam Merawat Pasien
Perilaku Kekerasan di Poliklinik RS Marzoeki Mahdi
Oleh karena itu apabila keluarga tidak memiliki
Bogor Tahun 2013 (n=103) sumber dana yang cukup atau jaminan kesehatan,
maka akan menjadi beban yang sangat berat bagi
keluarga.
Kemampuan Keluarga
OR (95% Pengetahuan Keluarga dalam merawat pasien
Beban Perilaku Kekerasan.
P
Keluarga value CI) Pada hasil penelitian ini didapatkan bahwa
Sedang Tinggi mayoritas responden memiliki pengetahuan
n % N % sedang yaitu 67,0% atau 69 orang dan
Beban Berat 13 72,2 5 27,8 0,105
Beban Sedang 21 60,0 14 40,0 0,182 tinggi 33,0% atau 34 orang. Riyandini (2011)
Beban Ringan 14 38,9 22 61,1 0,010 0,429 mendukung penelitian ini yang
Tanpa Beban 3 21,4 11 78,6 menyebutkan bahwa tingkat pengetahuan
Jumlah 69 67 34 33 pada keluarga pasien skizofrenia sebagian
besar adalah tinggi (55,6%). Hal ini
Tabel 4. Menunjukkan bahwa terdapat 13 responden dimungkinkan dari kriteria keluarga yang
yang mengalami beban berat dan memiliki ambil dalam penelitian ini adalah keluarga
kemampuan tidak baik dalam merawat pasien pasien yang pernah dirawat minimal satu
perilaku kekerasan. Hasil uji analisis menunjukkan kali, yang sering mendapatkan informasi
adanya hubungan yang signifikan antara beban maupun pendidikan kesehatan tentang cara
dengan kemampuan keluarga dalam merawat pasien merawat pasien perilaku kekerasan dari
perilaku kekerasan P value <0,05. petugas kesehatan.
Menurut Notoatmojo (2010) informasi yang
PEMBAHASAN diperoleh baik dari pendidikan formal
maupun non formal dapat memberikan
Beban Keluarga dalam Merawat Pasien Perilaku pengaruh jangka pendek sehingga
Kekerasan menghasilkan perubahan atau peningkatan
Pada analisis beban keluarga terdapat 17,5% atau 18 pengetahuan. Pendidikan non formal tersebut
responden yang memiliki beban berat. Nuraenah, dapat mempengaruhi pengetahuan keluarga
Mustikasari, & Putri (2012) mendukung penelitian tentang cara merawat pasien perilaku
ini bahwa beban keluarga dalam merawat anggota kekerasan menjadi tinggi. Dapat disimpulkan
dengan riwayat perilaku kekerasan yaitu 95%. bahwa jika pengetahuan keluarga tinggi
Beban berat yang dialami keluarga bisa dipengaruhi maka akan meningkatkan kemampuan
oleh berbagai hal diantaranya adalah faktor sosial keluarga dalam memberikan perawatan pada
ekonomi. Dalam hasil penelitian ini masih banyak pasien perilaku kekerasan yang hasilnya pun
keluarga yang merawat anggota keluarganya yang akan menjadi optimal.
mengalami perilaku kekerasan memiliki penghasilan
rendah, yaitu penghasilan terendah adalah Rp 150 Sikap Keluarga dalam Merawat Pasien
Perilaku Kekerasan.
Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan
bahwa mayoritas responden memiliki sikap
tidak baik terhadap pasien sebanyak 75
Tand
a
orang. Penelitian ini didukung oleh Sonatha & gangguan jiwa sering melanda keluarga karena
Gayatri (2012) didapatkan hasil responden dengan berkurangnya stress tolerance.
sikap negative lebih banyak yaitu sebesar 53,6%.
Bagi pasien jiwa yang mengalami perilaku Peneliti berpendapat bahwa
kekerasan dan kronis membutuhkan waktu ketidakmampuan keluarga bisa disebabkan karena
perawatan bertahun-tahu, yang dapat menjadikan keluarga mengalami kelelahan secara fisik maupun
keluarga mengalami kejenuhan dalam memberikan mental selama merawat anggota keluarganya yang
perawatan pada pasien sehingga bersikap tidak baik. mengalami perilaku kekerasan. Dampak yang di
Faktor lain adalah perilaku kekerasan yang rasakan keluarga akibat perilaku kekerasan yang
dilakukan pasien terhadap keluarga.Menurut Keliat dilakukan pasien sangat mempengaruhi sikap
(2003) Perilaku kekerasan adalah tindakan keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan,
menciderai orang lain, diri sendiri, merusak harta sehingga kemampuan keluarga menjadi tidak baik.
benda (lingkungan), dan ancaman secara
verbal.Muesser & Gingerich (2006) juga Hubungan Antara Beban dengan Pengetahuan
menjelaskanbahwa anggota keluarga sering menjadi Keluarga Dalam Merawat Pasien Perilaku
korban tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Kekerasan
penderita skizofrenia. Hasil penelitian didapatkan bahwa keluarga dengan
beban berat memiliki pengetahuan sedang
Hal ini dapat diartikan bahwa Perilaku kekerasan sebanyak 26 orang dan pengetahuan tinggi
yang dilakukan pasien terhadap keluarga sangat sebanyak 5 orang. Simatupang (2010) mendukung
merugikan keluarga dan mempengaruhi sikap penelitian ini yang menyebutkan bahwa mayoritas
keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan. responden (90%) memiliki pengetahuan yang baik
Perilaku tersebut yaitu pasien sering kasar bahkan tentang perilaku kekerasan termasuk definisi,
sampai memukul terhadap keluarga, berkata-kata tanda, dan gejala pasien dengan perilaku kekerasan.
yang menyakitkan, merusak barang-barang keluarga,
merusak dan mengganggu lingkungan. Dampak dari Peneliti berpendapat bahwa pengetahuan dalam
perilaku tersebut memungkinkan keluarga menjadi merawat pasien perilaku kekerasan sudah dipahami
bersikap tidak baik terhadap anggota keluarganya oleh keluarga. Hal ini dikarenakan bahwa keluarga
yang mengalami perilaku kekerasan. pasien yang pernah di rawat di Rumah Sakit
Marzoeki Mahdi Bogor telah mendapatkan
Kemampuan Keluarga Dalam Merawat Pasien pendidikan kesehatan dari petugas kesehatan. Yang
Perilaku Kekerasan. menarik dari hasil penelitian ini adalah keluarga
Kemampuan keluarga merupakan gabungan dari mengalami beban berat meskipun memiliki
pengetahuan dan sikap keluarga dalam merawat pengetahuan yang tinggi. Hal ini bisa dikarenakan
pasien perilaku kekerasan. Hasil penelitian ini beberapa faktor yang mempengaruhi antara lain
didapatkan bahwa responden yang memiliki faktor sosial ekonomi yaitu pendapatan yang tidak
kemampuan tidak baik sebanyak 51 orang. memadai, keluarga yang tidak bekerja, dan
Penelitian ini didukung oleh Hernawaty (2009) keluarga dengan pendidikan yang rendah. Hal ini
bahwa rerata kemampuan kognitif keluarga dalam Sesuai dengan penelitian Gururaj, Bada, Reddy dan
merawat klien gangguan jiwa sebesar 32,15, dan Chandrashkar (2008) menemukan bahwa dari enam
kemampuan psikomotor 32,55. Fontaine (2003) dimensi beban keluarga dengan skizofrenia, skor
menyatakan bahwa kemampuan keluarga ditentukan finansial memiliki rata-rata yang paling tinggi.
oleh kemampuan untuk manajemen stres yang Oleh karena itu meskipun
produktif. Kelelahan fisik dan emosi selama
merawat anggota keluarga dengan
Tand
a
pengetahuan keluarga tinggi tetapi jika kondisi keluarga tidak bekerja, dan pendidikan yang
finansial rendah maka beban keluarga akan menjadi rendah. Beban tersebut termasuk dalam kategori
berat. beban obyektif. Nadya (2009) menjelaskan beban
obyektif adalah berbagai beban dan hambatan yang
Hubungan Antara Beban Dengan Sikap dijumpai dalam kehidupan keluarga yang berkaitan
Keluarga Dalam merawat Pasien Perilaku dengan perawatan penderita gangguan jiwa,
Kekerasan diataranya adalah beban biaya finansial yang
Hasil penelitian ini terdapat responden yang dikeluarkan untuk merawat penderita. Sesuai
mengalami beban ringan memiliki sikap tidak baik dengan penelitian Gururaj, Bada, Reddy dan
sebanyak 30 orang. Keluarga yang mengalami beban Chandrashkar (2008) menemukan bahwa dari enam
ringan dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu sosial dimensi beban keluarga dengan skizofrenia, skor
ekonomi yang memadai, adanya sistem pendukung finansial memiliki rata- rata yang paling tinggi.
yang cukup dan keluarga memiliki konsep spiritual Peneliti berpendapat jika kondisi sosial ekonomi
yang tinggi sehingga mampu beradaptasi untuk tidak memadai maka beban yang dirasakan
menerima penyakit yang diderita anggota keluarga menjadi berat.
keluarganya. Sesuai dengan konsep Potter & Perry
(2005) yang menjelaskan bahwa spiritualitas secara Fontaine (2003) menjelaskan bahwa kemampuan
signifikan membantu klien dan pemberi layanan keluarga ditentukan oleh kemampuan untuk
untuk beradaptasi terhadap perubahan yang manajemen stres yang produktif. Kelelahan fisik
diakibatkan oleh penyakit kronis. dan emosi selama merawat anggota keluarga
dengan gangguan jiwa sering melanda keluarga
Jika keluarga mengalami beban ringan maka sikap karena berkurangnya stress tolerance. Teschinsky
keluarga terhadap pasien perilaku kekerasan (2000) juga menjelaskan bahwa keluarga yang
seyogyanya akan menjadi baik. Yang menarik dari merawat anggota keluarga dengan perilaku
penelitian ini adalah terdapat 30 responden kekerasan akan mengalami reaksi emosi terhadap
mengalami beban ringan namun memiliki sikap gangguan dan stigma sosial yang ditimbulkan
yang tidak baik terhadap anggota keluarganya. Hal karena perilaku kekerasan dengan dampak lainnya.
ini dimungkinkan karena dampak yang diterima oleh Dapat dimungkinkan hal inilah yang menyebabkan
keluarga dari sikap pasien perilaku kekerasan. keluarga memiliki kemampuan tidak baik dalam
Sesuai dengan konsep Muesser & Gingerich (2006) merawat pasien perilaku kekerasan
bahwa anggota keluarga sering menjadi korban
tindakan kekerasan yang dilakukan oleh penderita Keliat (2003) menjelaskan bahwa perilaku
skizofrenia. Pasien yang mengalami perilaku kekerasan adalah tindakan menciderai orang lain,
kekerasan memberi dampak yang merugikan bagi diri sendiri, merusak harta benda (lingkungan), dan
keluarga sehingga keluarga bersikap tidak baik ancaman secara verbal. Muesser & Gingerich
terhadap dirinya. (2006) juga menjelaskan bahwa anggota keluarga
sering menjadi korban tindakan kekerasan yang
Hubungan Antara Beban dengan Kemampuan dilakukan oleh penderita skizofrenia. Hal ini dapat
Keluarga Dalam Merawat Pasien Perilaku diartikan bahwa Perilaku kekerasan yang dilakukan
Kekerasan. pasien terhadap keluarga sangat merugikan
keluarga dan mempengaruhi sikap keluarga dalam
Pada hasil penelitian didapatkan bahwa keluarga merawat pasien perilaku kekerasan menjadi tidak
dengan beban berat memiliki kemampuan tidak baik baik.
yaitu 13 orang. Hal ini bisa disebabkan oleh faktor
sosial ekonomi antara lain kesulitan finansial,
Tand
a
Hasil uji analisis penelitian menunjukkan adanya dalam merawat pasien perilaku kekerasan P value >
hubungan yang signifikan antara beban dengan 0,05.
kemampuan keluarga dalam merawat pasien perilaku
kekerasan (P Value<0,05). Hal ini dimungkinkan DAFTAR PUSTAKA
bahwa beban keluarga sangat mempengaruhi
kemampuan keluarga dalam merawat pasien Depkes.(2007).Riset kesehatan
perilaku kekerasan. Jika keluarga terbebani maka dasar.Jakarta: Balitbangkes Depkes.RI.
keluarga tidak mampu merawat pasien perilaku Fontaine,K.L.(2003) Mental health nursing.New
kekerasan secara baik. jersey.Pearson
Education.Inc.
KESIMPULAN Gururaj,G.P.,Bada,M.S.,Reddy,J.Y.C.,&Ch
Berdasarkan data demografi di Poliklinik RS andrashekar.,C.R.(2008) Family burden, quality of
Marzoeki Mahdi Bogor yaitu responden penelitian life and disabilityin obsesive compulsive
sebanyak 103 orang dengan kelompok usia rata-rata disorder;in Indian perspective.J Postgradmed, 91-
responden adalah 50,46 tahun. Jenis kelamin 97.
responden mayoritas Perempuan. Tingkat Hernawati.T.(2009) pengaruh terapi suportif
pendidikan responden mayoritas Sekolah. Pekerjaan keluarga terhadap kemampuan keluarga merawat
responden mayoritas tidak bekerja. klien gangguan jiwa di kelurahan Bubulak Bogor
Penghasilan responden rata-rata Rp 1.178.640,-. Barat. Depok. Tesis. FIK UI
Hubungan dengan pasien mayoritas adalah ibu. Keliat, B.A.(2003) Pemberdayaan klien dan
Karakteristik pasien berdasarkan usia didapatkan keluarga dalam perawatan klien skizofrenia
hasil bahwa rata-rata usia pasien adalah 34 tahun. dengan perilaku kekerasan di RSJP Bogor.
Jenis kelamin pasien mayoritas laki-laki. Pendidikan Disertasi. Jakarta.
pasien mayoritas SD dan SMU. Jenis pekerjaan Mueser, K.T& Gingerich,S.(2006) The complete
pasien mayoritas tidak bekerja atau IRT. family guide to schizophrenia. New York: Guilford
Berdasarkan hasil penelitian bahwa responden press.
mayoritas dengan beban keluarga ringan dan sedang. Nadya.R.(2009) Gambaran kebahagiaan dan
Responden mayoritas memiliki pengetahuan sedang karakteristik positif wanita dewasa madya yang
dan sikap tidak baik.Kemampuan responden dalam menjadi caregiver informal penderita skizofrenia.
merawat pasien perilaku kekerasan di Poliklinik RS Depok: Fakultas psikologi UI.
Marzoeki Mahdi Bogormemiliki kemampuan baik Notoatmodjo.(2010)Ilmu perilaku
lebih tinggi dari pada kemampuan tidak baik, tetapi kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
jumlah kemampuan tidak baik cukup signifikan. Nuraenah, Mustikasari, Putri.Y.S.E (2012)
Berdasarkan uji analisis didapatkan bahwa tidak ada Hubungan dukungan keluarga dan beban keluarga
hubungan yang bermakna antara beban dengan dalam merawat anggota dengan riwayat perilaku
tingkat pengetahuan keluarga dalam merawat pasien kekerasan di RS Jiwa Islam klender jakarta Timur.
perilaku kekerasan, nilai P value > 0.05. Ada Depok.FIK.UI .Tesis.
hubungan yang signifikan antara beban dengan sikap Potter & Perry (2005) Fundamental of nursing;
keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan P Concept process and practice four edition.
value < 0,05, dan ada hubungan yang signifikan Philadelphia: Mosby Year Book. Inc.
antara beban keluarga dengan kemampuan keluarga Riyandini.R..F.,Saraswati.H.R.,&Meikawat i.W.
(2011).Faktor-faktoryang berhubungan dengan
kekambuhan pada pasien skizofrenia di Rumah
Sakit Jiwa Amino Gondoutomo Semarang.
Simatupang.(2010). Hubungan tingkat pengetahuan
keluarga tentang perilaku kekerasan dengan
kesiapan keluarga
Tand
a
merawat pasien di rumah.Respiratory usu ac.id/handle/123456789/20141. Diperoleh 7 Mei 2013.
Sonatha.B.,Gayatri.D (2012) Hubungan tingkat pengetahuan dengan sikap keluarga dalam pemberian
perawatan pasien pasca stroke. Depok: FIK UI Skripsi
1
Stuart.G.W. (2007) Buku saku keperawatan jiwa edisi 5. Alih bahasa Kapoh.R.P
&Komarayuda.E.Jakarta: EGC.
Teschinky, U. (2000). Living with schizophrenia: the family illness experience.Online J Issues
Nurs. Diakses 8 mei 2013.
2
EFEKTIVITAS COGNITIVE BEHAVIOUR THERAPY DAN RATIONAL
EMOTIVE BEHAVIOUR THERAPY TERHADAP GEJALA
DAN KEMAMPUAN MENGONTROL EMOSI PADA
KLIEN PERILAKU KEKERASAN
*) Perawat Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor, Jl Dr. Sumeru No 114 Bogor, Bogor 16111, Indonesia
**) Kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Kampus UI
Depok, Jakarta 10430, Indonesia
***) Kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Kampus UI
Depok, Jakarta 10430, Indonesia
Email : ikt.mika@yahoo.com
Abstrak
Perilaku kekerasan merupakan keadaan dimana seseorang tidak dapat mengontrol perilaku marahnya sehingga
dieksprresikan dalam bentuk perilaku agresif fisik dan atau verbal yang dapat mencederai diri sendiri, orang lain
dan merusak lingkungan sehingga membutuhkan tindakan keperawatan yang efektif dan tepat. Tindakan
keperawatan spesialis yang dapat diberikan pada klien perilaku kekerasan adalah cognitive behaviour therapy dan
rational emotive behaviour therapy. Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas cognitive behaviour therapy
(CBT) dan rational emotive behaviour therapy (REBT) terhadap perubahan gejala dan kemampuan klien perilaku
kekerasan di Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Desain penelitian quasi eksperimental dengan jumlah
sampel 60 responden. Hasil penelitian ditemukan penurunan gejala perilaku kekerasan lebih besar pada klien yang
mendapatkan daripada yang tidak mendapatkan CBT dan REBT (p value < 0.05). Kemampuan kognitif, afektif
dan perilaku klien yang mendapatkan CBT dan REBT meningkat secara bermakna (p value < 0.05). CBT dan
REBT direkomendasikan sebagai terapi keperawatan pada klien perilaku kekerasan dan halusinasi.
Kata kunci: perilaku kekerasan, kemampuan kognitif, afektif dan perilaku, cognitive behaviour therapy, rational
emotive behaviour therapy.
3
PENDAHULUAN mengalami skizofrenia. Departemen
Penduduk di seluruh dunia diperkirakan Kesehatan Republik Indonesia (2003)
mengalami gangguan mental sekitar 450 juta mencatat bahwa 70% gangguan jiwa terbesar
orang, sekitar 10% orang dewasa mengalami di Indonesia adalah Skizofrenia. Kelompok
gangguan jiwa saat ini dan 25% penduduk American Association
diperkirakan akan mengalami gangguan jiwa Psychiatric (APA) menyebutkan beberapa
pada usia tertentu selama hidupnya (WHO, penelitian telah melaporkan bahwa skizofrenia
2009). Gangguan jiwa mencapai 13% dari mempunyai insiden lebih tinggi untuk
penyakit secara keseluruhan dan kemungkinan mengalami perilaku kekerasan (APA, 2000
akan berkembang menjadi 25% di tahun 2030. dalam Sadino, 2007). Wahyuningsih (2009)
National Institute of Mental Health (NIMH) menyatakan bahwa klien skizofrenia memiliki
berdasarkan hasil sensus penduduk Amerika riwayat kekerasan baik sebagai pelaku,
Serikat tahun 2004, memperkirakan 26,2 % korban, atau saksi sebanyak 62,5%.
penduduk yang berusia 18 tahun atau lebih
mengalami gangguan jiwa (NIMH, 2011). Fauziah (2009) meneliti 13 orang klien
Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan kasus skizofrenia yang mengalami perilaku
gangguan jiwa yang ada di negara- negara kekerasan dan didapatkan kemampuan
berkembang. Indonesia sebagai salah satu kognitif dan perilaku klien meningkat setelah
negara berkembang berdasarkan hasil riset diberikan cognitive behaviour therapy.
kesehatan dasar (Ris.Kes.Das, 2008) yang Kemampuan kognitif klien meningkat secara
dilakukan oleh Badan Penelitian bermakna sebesar 66% dan perilaku 66%.
Pengembangan Kesehatan Departemen Putri (2010) dalam penelitiannya terhadap 28
Kesehatan, menunjukkan prevalensi gangguan klien skizofrenia yang mengalami perilaku
jiwa berat di Indonesia sebesar 4.6 permil, kekerasan menyatakan bahwa terapi Rational
artinya dari 1000 penduduk Indonesia, maka Emotif Behaviour Therapy (REBT) mampu
empat sampai lima orang diantaranya meningkatkan kemampuan kognitif sebesar
menderita gangguan jiwa berat. 9.6% dan sosial 47%. REBT juga mampu
menurunkan respon emosi 43%, fisiologis
Skizofrenia merupakan salah satu jenis 76%, dan perilaku 47%. Penurunan gejala
gangguan jiwa berat yang paling banyak perilaku kekerasan masih bisa dioptimalkan
ditemukan. Stuart (2009) menyebutkan di jika dipadukan dengan tindakan keperawatan
Amerika Serikat sekitar 1 dari 100 orang spesialis.
4
METODOLOGI sebagian besar tidak kawin 45 orang (75.0%),
Penelitian ini adalah penelitian quasi adanya riwayat gangguan jiwa 35 orang
experimental dengan metode kuantitatif (58.3%) dan frekuensi dirawat di rumah sakit
dengan menggunakan desain penelitian 2 kali atau lebih 45 orang (75.0%).
“Quasi Experimental Pre-Post Test with Perubahan gejala perilaku kekerasan sebelum
Control Group” dengan intervensi Cognitive dan sesudah pelaksanaan cognitive behaviour
Behaviour Therapy (CBT) dan Rational therapy dan rational emotive behaviour
Emotive Behaviour Therapy (REBT). Teknik therapy.
pengambilan sampel menggunakan Purposive
8070,97
Sampling. Penelitian ini dilakukan untuk 70
60 59,03
mengetahui efektivitas Cognitive Behaviour 71,5
50
Therapy dan Rational Emotive Behaviour 40 50
30 Intervensi
Therapy terhadap perubahan gejala dan 20 Kontrol
kemampuan kognitif, afektif dan perilaku 10
0
klien dengan perilaku kekerasan yang dirawat
Sebelum Sesudah
di ruang rawat inap Rumah Sakit Dr. H.
Marzoeki Mahdi Bogor. Penurunan gejala perilaku kekerasan pada
Responden berjumlah 60 orang yang terdiri klien yang mendapatkan CBT dan REBT lebih
atas 30 orang menjadi kelompok kontrol dan besar mencapai rata-rata 50.00 (77%) dalam
30 orang kelompok intervensi. Analisis katagori rendah daripada klien yang tidak
statistik yang digunakan adalah univariat, mendapatkan CBT dan REBT mencapai 59.03
bivariat dan multivariat dengan analisis (66%) dalam katagori sedang.
dependen dan independent sample t-Test, Chi- Efektifitas CBT dan REBT dalam
square serta regresi linier ganda dengan menurunkan gejala perilaku kekerasan adalah:
tampilan dalam bentuk tabel dan distribusi
frekuensi.
HASIL PENELITIAN
Berikut akan dijabarkan hasil penelitian :
5
sesudah pelaksanaan cognitive behaviour terutama klien yang menikah. Penelitian tidak
therapy dan rational emotive behaviour menemukan karakteristik yang berpengaruh
therapy. terhadap peningkatan kemampuan kognitif dan
250 afektif klien.
Kognitif
200 198,8
150
Afektif
PEMBAHASAN
100101,5
50
Cognitive behaviour therapy dan rational
Perilaku
6
dalam hidupnya disebabkan cara mereka Perbedaan terlihat signifikan dimana klien
menginterpretasikan berbagai peristiwa yang yang mendapatkan CBT dan REBT gejalanya
dialami. turun pada tingkat rendah, sedangkan klien
yang tidak mendapatkan CBT dan REBT
Gejala perilaku kekerasan secara emosi gejala perilaku turun masih dalam tingkat
menurun lebih baik pada klien yang sedang. Putri (2010) juga menemukan bahwa
mendapatkan terapi CBT dan REBT mencapai klien dengan perilaku kekerasan setelah
82%. Penelitian sebelumnya yang dilakukan diberikan terapi REBT maka respon
oleh Putri (2010) yang memberikan terapi perilakunya menurun mencapai 47%.
REBT kepada 28 klien dengan perilaku Penurunan gejala perilaku terjadi secara
kekerasan didapatkan respon emosi klien signifikan karena klien selama terapi telah
menurun secara bermakna mencapai 43%. diajarkan mengubah keyakinan irasional yang
Penurunan gejala perilaku kekerasan secara selama ini dipertahankan klien sehingga
emosi pada penelitian ini mencapai hasil yang mencetuskan perilaku marah menjadi pikiran
lebih tinggi daripada penelitian sebelumnya yang sesuai dengan kenyataan. Albert Ellis
karena dilakukan dengan memadukan dua (Corsini & Wedding, 1989 dalam Dominic,
terapi yang sebelumnya hanya dilakukan satu 2003) juga mengemukakan bahwa yang perlu
terapi. Penurunan gejala perilaku kekerasan dirubah oleh individu untuk mengatasi
secara emosi setelah diberikan CBT dan masalah emosi maupun perilakunya adalah
REBT pada kelompok yang mendapatkan adanya keyakinan irasional yang
dengan kelompok yang tidak mendapatkan dikembangkan oleh dirinya.
CBT dan REBT menunjukkan perbedaan yang
bermakna dimana pada kelompok yang Penurunan gejala perilaku kekerasan secara
mendapatkan CBT dan REBT mengalami sosial pada klien yang diberikan CBT dan
penurunan respon emosi lebih tinggi (berada REBT mencapai 73% lebih tinggi daripada
dalam tingkat yang rendah). klien yang tidak mendapatkan terapi CBT dan
REBT yang mencapai 63%. Putri (2010)
Penurunan gejala perilaku kekerasan secara menemukan respon sosial klien meningkat
perilaku lebih tinggi pada kelompok yang mencapai 47% setelah diberikan terapi REBT.
mendapatkan CBT dan REBT mencapai 77%. Penelitian ini menitik beratkan pada gejala
Klien yang tidak mendapat CBT dan REBT sosial yang terganggu ketika klien mengalami
juga mengalami penurunan gejala perilaku kemarahan. Gejala sosial pada klien perilaku
mencapai 64% . kekerasan adalah menarik
7
diri dari hubungan sosial, mengasingkan diri, perubahan interpretasi klien terhadap kejadian
menolak kehadiran orang lain, melakukan atau peristiwa. Interpretasi yang tidak sesuai
kekerasan kepada orang lain, mengejek, dengan kenyataan akan menyebabkan
humor, serta mengabaikan hak orang lain perubahan emosi dan perilaku seseorang ke
(Keliat, 1996; Nihart, 1998; Stuart, 2009). arah maladaptif. Frogatt (2005) juga
Pemberian CBT dan REBT dapat menegaskan bahwa REBT berdasar pada
mengajarkan klien berpikir positif terhadap konsep bahwa emosi dan perilaku merupakan
lingkungan sosialnya sehingga hubungan hasil dari proses pikir.
interpersonalnya dengan orang lain
meningkat. Cognitive behaviour therapy dan rational
emotive behaviour therapy meningkatkan
Gejala fisik menurun mencapai 85%, kemampuan kognitif, afektif, dan perilaku
sedangkan klien yang tidak mendapatkan CBT klien secara bermakna dari tingkat yang
dan REBT penurunan gejala fisik mencapai rendah ke tinggi. Kemampuan kognitif klien
71%. Penelitian Putri (2010) juga meningkat mencapai 74%, afektif 76%, dan
menemukan penurunan gejala fisik setelah perilaku 77%. Penelitian yang
klien diberikan terapi REBT mencapai 76%. dilakukan Fauziah (2009) terhadap 13 klien
Penurunan gejala fisik terjadi paling besar dengan perilaku kekerasan yang menunjukkan
dibandingkan gejala yang lainnya karena bahwa CBT dapat meningkatkan kemampuan
seluruh klien mendapatkan terapi kognitif dan perilaku masing-masing
psikofarmaka berupa obat antipsikotik yang mencapai 66%. Penelitian Putri (2010)
bekerja efektif terhadap penurunan gejala fisik terhadap 28 klien dengan perilaku kekerasan
klien. Stuart (2009) menyatakan perilaku juga menunjukkan dengan pemberian REBT
kekerasan dapat dilihat dari wajah tegang, respon kognitif klien meningkat 9.6% dan
tidak bisa diam, mengepalkan atau kemampuan sosial 47%.
memukulkan tangan, rahang mengencang,
peningkatan pernafasan, dan kadang tiba- tiba Bloom (1956 dalam Kasan, 2005)
seperti kataton. mengklasifikasikan tujuan pemberian
pendidikan kedalam tiga domain, yaitu
Stuart (2009) menyatakan terapi CBT kognitif, afektif dan psikomotor. Teori bloom
bertujuan mengubah keyakinan yang tidak melandasi penilain terhadap kemampuan klien
rasional, kesalahan penalaran dan pernyataan dalam penelitian ini. Kemampuan kognitif
negatif tentang keberadaan individu. REBT mencakup aspek
lebih memfokuskan pada
8
intelektual seperti pengetahuan dan dengan perilaku kekerasan salah satunya
ketrampilan berpikir, kemampuan afektif adalah dengan token economy.
menekankan pada aspek perasaan dan emosi.
Kemampuan yang terakhir yaitu perilaku Token economy dalam proses pelaksanaan
menekankan pada aspek motorik yang dilihat CBT dan REBT merupakan salah satu tipe
dari kemampuan klien melaksanakan CBT dari contingency contracting dimana
dan REBT seperti menuliskannya di buku penguatan diberikan sesuai dengan perilaku
kerja dan jadwal kegiatan sehari-hari. yang diinginkan (Townsend, 2009).
Pemberian token economy dan reinforcement
Peningkatan kemampuan yang signifikan pada ini memotivasi klien dalam melaksanakan
kelompok klien yang diberikan terapi CBT perilaku positif yang diinginkan sehingga
dan REBT karena selama proses pelaksanaan akhirnya kemampuan kognitif, afektif dan
terapi klien selalu dimotivasi untuk perilaku klien setelah diberikan terapi CBT
melakukan latihan secara mandiri yang dan REBT meningkat yang nantinya
menjadi tugas rumah (home work) yang diharapkan membudaya pada kehidupan klien
dievaluasi secara terus menerus dengan walaupun token sudah tidak diberikan.
menggunakan jadwal kegiatan harian, buku
kerja, dan raport perkembangan klien. Peneliti Hasil penelitian menunjukkan tidak ada
menerapkan prinsip-prinsip teori perilaku kontribusi karakteristik klien seperti usia, jenis
dengan memberikan penguatan kelamin, pendidikan, pekerjaan, status
(reinforcement) positif terhadap perilaku perkawinan, frekuensi dirawat, dan riwayat
positif yang dilakukan klien dan memberikan gangguan jiwa terhadap penurunan gejala
umpan balik negatif terhadap perilaku yang perilaku kekerasan dan halusinasi. Penelitian
tidak diinginkan. Videbeck (2008) yang dilakukan Putri (2010) juga tidak
menyatakan modifikasi perilaku merupakan ditemukan adanya kontribusi karakteristik
suatu metode yang dapat digunakan untuk klien dalam perubahan respon perilaku
menguatkan perilaku yang diinginkan melalui kekerasan klien dengan skizofrenia.
pemberian umpan balik baik positif maupun
negatif. Peneliti menerapkan prinsip token Karakteristik klien perilaku kekerasan tidak
economy sesuai yang dikemukakan Stuart dan berhubungan dengan peningkatan kemampuan
Laraia (2005) bahwa tindakan keperawatan kognitif dan afektif klien. Usia klien
spesialis yang dapat diberikan pada klien berhubungan dengan peningkatan kemampuan
perilaku klien.
9
Rata-rata klien berusia 32 tahun dengan usia Status perkawinan berkontribusi dalam
termuda 18 tahun dan usia tertua 55 tahun. peningkatan kemampuan perilaku klien. Klien
Hasil ini menunjukkan bahwa klien yang yang menikah peningkatan kemampuan
berusia 32 tahun memiliki kontribusi dalam perilaku terhadap cognitive behaviour therapy
peningkatan kemampuan perilaku terhadap dan rational emotive behaviour therapy lebih
cognitive behaviour therapy dan rational besar daripada yang tidak menikah setelah
emotive behaviour therapy. Usia dikontrol oleh usia. Individu yang sudah
32 tahun tergolong usia dewasa yang memiliki menikah memiliki tuntutan untuk bertanggung
tugas-tugas perkembangan yang spesifik. terhadap keluarganya. Tanggung jawab
tersebut dapat memotivasi mereka untuk
Jean Peaget (1980 dalam Fontaine, 2003) meningkatkan hubungan dengan orang lain
dengan teori kognitifnya menyatakan bahwa termasuk mengerjakan sesuatu untuk
individu membangun kemampuan kognitif mencapai kesejahteraan keluarga. Terapi CBT
melalui tindakan yang termotivasi dengan dan REBT salah satu cara bagi mereka untuk
sendirinya terhadap lingkungan. Usia dewasa kembali melaksanakan perannya dalam
dalam perkembangannya termasuk periode keluarga sehingga kewajiban tersebut dapat
operasional formal. Karakteristik periode ini dilaksanakan kembali.
adalah diperolehnya kemampuan untuk
berpikir secara abstrak, menalar secara logis, SIMPULAN
dan menarik kesimpulan dari informasi yang Karakterisitik klien yang menjadi responden
tersedia. Kemampuan pada periode dalam penelitian ini rata-rata berusia 32 tahun
perkembangan ini yang membuat klien lebih dengan usia termuda 18 tahun dan tertua 55
memahami dan termotivasi dalam tahun, jenis kelamin lebih banyak laki-laki
melaksanakan terapi CBT dan REBT. Klien (85.9%), sebagian besar tidak bekerja
pada tahap perkembangan tersebut mampu (53.3%), memiliki jenjang pendidikan SMA
menganalisis bahwa terapi CBT dan REBT dan Perguruan Tinggi (60.0%), sebagian besar
yang diberikan jika dilaksanakan dengan baik tidak kawin (75.0%), adanya riwayat
dalam kehidupan sehari-hari akan membantu gangguan jiwa (58.3%) dan frekuensi dirawat
dirinya dalam menghadapi setiap stresor yang di rumah sakit 2 kali atau lebih (75.0%) .
dialami. Cognitive behaviour therapy dan rational
behaviour therapy efektif dalam menurunkan
gejala perilaku kekerasan dari
10
tingkat sedang ke rendah. Cognitive kekerasan setelah dilakukan terapi CBT dan
behaviour therapy dan rational emotive REBT.
behaviour therapy efektif dalam
meningkatkan kemampuan kognitif, afektif DAFTAR PUSTAKA
dan perilaku klien dari tingkat rendah ke Fauziah (2009). Pengaruh terapi perilaku
kognitif pada klien skizoprenia dengan
tingkat yang tinggi. Usia 32 tahun dan
perilaku kekerasan, Tesis. Jakarta. FIK UI.
menikah berpengaruh terhadap Tidak dipublikasikan.
peningkatan kemampuan perilaku klien Fontaine, K.L. (2003). Mental health nursing.
dengan perilaku kekerasan dan halusinasi. new jersey. Pearson Education. Inc.
11
Stuart, G.WT (2009). Principles and practice of
psychiatric nursing. (9th edition). St Louis: Mosby.
12
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 19 No.3, November 2016, hal 191-199 pISSN 1410-4490,
eISSN 2354-9203
DOI : 10.7454/jki.v19i3.481
*E-mail: msubuo61@uottawa.ca
Abstrak
Salah satu efek stigmatisasi gangguan jiwa adalah perilaku kekerasan yang dilakukan oleh penderita terhadap orang-
orang di sekitarnya termasuk keluarga, perawat dan masyarakat. Sebaliknya, penderita mengalami kekerasan dari
keluarga, masyarakat dan profesional keperawatan. Penelitian ini bertujuan memahami dampak stigmatisasi dalam
hubungannya dengan perilaku kekerasan terhadap penderita; serta untuk mengetahui perilaku kekerasan yang dilakukan
oleh penderita terhadap orang lain. Penelitian ini menggunakan Constructivist Grounded Theory. Metode pengumpulan
data termasuk wawancara semi-terstruktur, dokumen reviu, catatan lapangan, dan memo. Analisis data menggunakan
metode Paillé. Perilaku kekerasan adalah efek stigmatisasi termasuk kekerasan diri sendiri dan kekerasan terhadap
keluarga, masyarakat dan tenaga kesehatan. Kekerasan fisik juga dialami penderita dari orang lain. Dampak stigmatisasi
dimanifestasikan dengan perilaku kekerasan yang dilakukan oleh penderita, keluarga, staf rumah sakit, masyarakat, dan
aparat. Hasil temuan ini relevan untuk para perawat jiwa yang memberikan asuhan keperawatan terhadap pasien perilaku
kekerasan. Penelitian lanjut diperlukan untuk melihat perspektif keluarga, masyarakat dan staf pemerintah terkait stigma
dengan perilaku kekerasan.
Abstract
Stigmatization and Violent Behavior on Mental Illness Patient in Indonesia. An effect of stigmatization of mental
illness is violent behavior conducted by patients toward other people around them including families, nurses and
communities. Conversely, patients experienced violence conducted by families, communities and nursing professionals.
This study aims to understand the effects of stigmatization on violent behavior towards sufferers; and to investigate
violent behavior committed by sufferers against other people. This study used Constructivist Grounded Theory. Methods
of data collection are semi-structured interviews, document review, field notes, and memos. Data analysis used Paillé.
Violent behavior is the effect of stigmatization including self-harm and violence against families, communities and health
professionals. Physical abuse is experienced by sufferers from others. The impact of stigmatization is manifested by
violent behavior committed by patients, families, staff, community and authorities. Findings are relevant to psychiatric
nurses who provide care to the patients with violent behavior. Further research is needed to see the perspective of
families, communities and government to understand stigma in relation to violent behavior.
19
4
orang lain, ‘Saya berkelahi dengan beberapa perawat.
orang. Saya dipukuli oleh orang-orang di “Saya ngamuk. Saya dipukulin di K [bangsal).
masyarakat. Saya berkelahi dengan 100 orang. Kepalaku dipukul kursi lipat. Ya, tangan dan
Karena mereka berpikir saya berbahaya bagi kaki diikat karena melakukan kekerasan. Saya
anggota masyarakat. Ya, saya punya masalah tidak melakukan kesalahan tapi diborgol.
penyakit jiwa (P1). Ketika saya datang lagi ke sini, saya juga
diborgol oleh staf bangsal K.” (P2).
Pasien sadar bahwa pasung adalah bentuk
penganiayaan atau kejahatan terhadap ODGJ, Pasien dengan perilaku kekerasan yang
melanggar hak-hak seseorang. membahayakan akan diisolasi sebagai metode
“ODGJ tidak jahat sama sekali. Pada pengendalian.
dasarnya, mereka tidak jahat. Namun, orang- “Staf (RSJ) menganggap orang gila itu sumber
orang melakukan kejahatan terha- dap mereka, bahaya… mereka nganggap orang gila itu
seperti pasung. Mereka mengambil hak saya. benar-benar gila, bukan manusia; harus
Saya dipasung karena apa? Saya dipasung dihapuskan, harus diba- kar, harus ditendang,
bukan untuk pemulihan. Tapi, saya dipasung dan ditekan, dan harus ditempatkan di ruangan
untuk membuat saya "gila." Hal ini lebih gelap seperti di U (bangsal). Ya, itu terjadi,
menyakitkan benar.” (P14). saya seperti babi diseret.” (P9).
19
5
Ketakutan Pasien terkait dengan Tindakan kali lebih banyak dari populasi umum (Corrigan
dan Pengobatan. Pasien sering ketakutan & Watson, 2005). Seringkali, kekerasan yang
akibat kekerasan dari terapi dan pengobatan dilakukan ODGJ diarahkan pada orang yang
alternatif atau tradisional. Satu partisipan yang mereka kenal, terutama anggota keluarga
telah dibawa ke dukun mengungkapkan: (Wehring & Carpenter, 2011).
“...di Ngawi, terjadi hal menakutkan, di daerah
terpencil di Jawa, dan tempatnya sangat gelap. Percobaan bunuh diri atau melukai diri sendiri
Saya takut. Dia itu mantan pasien sakit jiwa. sering dilakukan oleh ODGJ sebagai upaya
Dia mengatakan: "Ini penyakit gila. Ini untuk menyelesaikan masalah mereka. Keke-
psikopat". Saya ingin melarikan diri. Saya takut rasan mandiri meliputi ide atau percobaan
benar melihat kapaknya. Saya sangat stres, itu bunuh diri, sengaja melukai diri, serta bunuh
pengo- batan yang aneh.” (P3). diri. Sebanyak 18–55% kelompok ODGJ
melakukan percobaan bunuh diri (Harkavy-
Ketakutan Keluarga. Hidup dengan anggota Friedman, et al., 2003; Tarrier, et al., 2004).
keluarga yang mengalami gangguan jiwa Risiko menyakiti diri sendiri meningkat
merupakan masalah bagi keluarga. Ketakutan terutama pada ODGJ dengan skizofrenia.
akan perilaku kekerasan berulang menyebab-
kan keluarga merasa tidak nyaman jika Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ODGJ
penderita di rumah, juga melakukan kekerasan terhadap perawat.
“Ya, karena malu juga, karena sebagian besar Hasil ini didukung oleh beberapa studi. Perawat
penderita mengganggu masyarakat. Umumnya, adalah profesi yang paling rentan menjadi target
pasien laki-laki mengganggu komunitas dan kekerasan (Holmes, et al., 2004; Inoue, et al.,
anggota keluarga merasa ga nyaman dengan 2006), sebagian besar perawat mengalami
tetangga. Mereka takut jika pasien melakukan kekerasan selama karir mereka (Inoue, et al.,
kekerasan lagi” (P11). 2006; Landy, 2005).
Ketakutan Anggota Masyarakat. ODGJ Penelitian ini mengungkapkan, selain berperi-
dengan riwayat perilaku kekerasan membuat laku kekerasan, ODGJ juga menjadi korban
takut masyarakat. Pasien merasa dijauhi dan kekerasan. Di Yunani, ODGJ lebih sering
diisolasi oleh teman dan masyarakat. menjadi korban kejahatan (Katsikidou et al.,
“Teman-teman merasa takut. Mereka 2012). Di Taiwan, abuse terhadap pasien ODGJ
takut pada saya. Mereka takut berdebat dengan lebih tinggi dari pada populasi (Hsu dkk.,
saya karena saya orang sakit jiwa. Ya, 2009). Interaksi antara polisi dan ODGJ
argumen saya tidak diterima; tidak dipahami kadang-kadang terkait dengan perilaku keke-
oleh mereka. Misalnya, jika saya berbicara rasan (Cotton & Coleman, 2010).
benar, mereka harus nurutin saya ” (P5).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga
Pembahasan takut menghadapi anggota keluarga ODGJ,
terutama karena risiko perilaku kekerasan. Hal
Hubungan antara gangguan jiwa dengan ini sesuai dengan studi yang menyatakan ada
perilaku kekerasan adalah penyebab utama hubungan erat antara perilaku kekerasan yang
stigmatisasi bagi ODGJ. Hasil penelitian ini dialami oleh ODGJ dengan ketakutan mereka.
menunjukkan bahwa akibat stigmatisasi, pa- Stigmatisasi gangguan kesehatan mental men-
sien melakukan kekerasan di keluarga dan ciptakan rasa takut dan ODGJ mendapat label
komunitas. ODGJ melakukan kekerasan 2,5 berbahaya (Araujo & Borrell, 2012; Bathje &
Pryor, 2011). Satu dari empat orang Kanada
takut berada di sekitar ODGJ (Canadian
19
6
Medical Association, 2008). Banyak yang Referensi
menganggap bahwa ODGJ menimbulkan an-
caman bagi keselamatan umum (Jorm & Araujo, B., & Borrell, L. (2012). Understanding the
Griffiths, 2008). Rasa takut yang dialami link between discrimination, mental health
perawat dapat memengaruhi hubungan pera- outcomes, and life chances among Latinos.
wat dengan pasien, yang menghambat pem- Hispanic Journal of Behavior Sciences, 28 (2), 245–
berian asuhan keperawatan (Jacob, 2010). 266.
19
9
JURNAL KEPERAWATAN JIWA
PADA PASIEN PERILAKU KEKERASAN
Dosen Pengampu :
Sri Martini, S.Pd, S.Kp, M.Kes
Dr. Ira Kusumawaty, S.Kp, M.Kep, MPH
Sri Endriyani, S.Kep, Ns, M.Kep
Marta Pastari, S.Kep, Ns, M.Kes
DISUSUN OLEH
Fholsen Frohansen (PO7120119036)
20
0
JURNAL KEPERAWATAN JIWA
PADA PASIEN PERILAKU KEKERASAN
Dosen Pengampu :
Sri Martini, S.Pd, S.Kp, M.Kes
Dr. Ira Kusumawaty, S.Kp, M.Kep, MPH
Sri Endriyani, S.Kep, Ns, M.Kep
Marta Pastari, S.Kep, Ns, M.Kes
DISUSUN OLEH
Fitria Oktaviani (PO7120119037)
20
1
72 Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan, Volume 4, Nomor 1, Mei
2015, hlm. 72–77
Keywords: psikoreligius therapy, violent behavior in patients with schizophrenia, decline in violent
behavior
Kata Kunci: terapi psikoreligius, perilaku kekerasan pada pasien schizofrenia, penurunan perilaku kekerasan
Untuk mendapatkan kesehatan mental yang untuk pengembangan potensi, dari individu
prima, tidaklah mungkin terjadi begitu saja. sendiri dituntut untuk melakukan berbagai
Selain menye- diakan lingkungan yang baik 20
2
usaha menggunakan berbagai kesempatan Nurjanah (2004). Selanjutnya kondisi ini
yang ada untuk mengembangkan dirinya. dapat me- nyebabkan timbulnya gangguan
Kondisi kritis ini membawa dampak jiwa dalam tingkat ringan maupun berat yang
terhadap peningkatan kualitas maupun memerlukan penanganan di rumah sakit baik
kuantitas penyakit mental-emosional manusia di rumah sakit jiwa atau di unit perawatan
Hidayati (2000) dalam jiwa di rumah sakit umum, salah satunya
adalah penderita schizophrenia (Nurjanah,
2004).
Schizofrenia merupakan suatu sindrome
klinis atau proses penyakit yang
mempengaruhi kognisi, persepsi, emosi,
perilaku, dan fungsi sosial, tetapi
72
20
3
schizofrenia mempengaruhi setiap individu Perilaku kekerasan dianggap sebagai
dengan cara yang berbeda. Derajat gangguan suatu akibat yang ekstrim dari rasa marah
pada fase akut atau fase psikotik dan fase atau ketakutan yang mal adaptif (panik).
kronis atau fase jangka panjang sangat Perilaku agresif dan peri- laku kekerasan itu
bervariasi diantara individu (Videbeck, 2008). sendiri sering dipandang sebagai suatu dimana
agresif verbal di suatu sisi dan perilaku
Menurut Isaac (2004), 1% populasi
kekerasan (violence) di sisi yang lain.
penduduk dunia mengalami schizofrenia dalam
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan di
hidupnya, 95% penderita schizofrenia
mana seseorang melakukan tindakan yang
mengidap penyakit ini seumur hidup, penderita
dapat membahayakan
schizofrenia menempati 25% tem- pat tidur
rawat inap rumah sakit. Kurang lebih 33%–
50% tunawisma di Amerika serikat
menderita Schizofrenia. Lebih dari 50%
penderita schizofrenia bermasalah dengan
alkohol atau obat-obatan yang mungkin
berusaha mengatasi sendiri gejala-gejala
stressnya. Di seluruh Asia, diperkirakan 2–10
dari setiap 1000 penduduk mengalami
schizofrenia, dan 10% diantaranya perlu
diobati dan dirawat intensif karena telah
sampai pada taraf yang mengkhawatir- kan.
Prevalensi penderita schizofrenia di
Indonesia adalah 0,3–1%. Apabila penduduk
Indonesia sekitar 200 juta jiwa, maka
diperkirakan sekitar 2 juta jiwa menderita
schizofrenia. Schizofrenia adalah gang- guan
mental yang sangat luas dialami di Indonesia,
dimana sekitar 99% Rumah Sakit Jiwa di
Indonesia adalah penderita schizofrenia
(Sosrosumihardjo, 2007).
Permasalahan utama yang sering terjadi
pada pasien Schizofrenia adalah perilaku
kekerasan. Hal ini sesuai dengan diagnosa
keperawatan NANDA yang biasa ditegakkan
berdasarkan pengkajian gejala psikotik atau
tanda positif. Kondisi ini harus segera
ditangani karena perilaku kekerasan yang
terjadi akan membahayakan diri pasien, orang
lain, dan lingkungan. Hal ini yang menjadi
alasan utama pasien Schizofrenia dibawa ke
rumah sakit.
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan
di mana seseorang melakukan tindakan yang
dapat membahayakan secara fisik baik
terhadap diri sen- diri, orang lain, maupun
lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk 73
mengungkapkan perasaan kesal atau marah
yang tidak konstruktif (Stuart dan Sundeen,
2006).
secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun terapi ini sudah dilaksanakan, hanya
orang lain, sering disebut juga gaduh gelisah pelaksanaannya belum optimal. Dengan
atau amuk dimana seseorang marah berespon demikian dampak dari psikoreligi terhadap
terhadap suatu stressor dengan gerakan penurunan perilaku kekerasan belum terlihat
motorik yang tidak terkon- trol (Stuart dan secara nyata. Berdasarkan latar belakang
Laraia, 2005), sedangkan kema- rahan diatas penulis tertarik untuk meneliti tentang
adalah perasaan jengkel yang muncul sebagai Pengaruh penggunaan psikoreligius terhadap
respon terhadap kecemasan yang dirasakan penurunan perilaku kekerasan
sebagai ancaman (Keliat, 1996).
Penelitian psikiatrik membuktikan bahwa
terda- pat hubungan yang sangat signifikan
antara komit- men agama dan kesehatan.
Orang yang sangat reli- gius dan taat
menjalankan ajaran agamanya relatif lebih
sehat dan atau mampu mengatasi penderitaan
penyakitnya sehingga proses penyembuhan
penyakit lebih cepat (Zainul Z, 2007). Saat
ini perkembangan terapi di dunia kesehatan
sudah berkembang ke arah pendekatan
keagamaan (psikoreligius). Dari berba- gai
penelitian yang telah dilakukan ternyata
tingkat keimanan seseorang erat hubungannya
dengan ke- kebalan dan daya tahan dalam
menghadapi berbagai problem kehidupan
yang merupakan stresor psiko- sosial.
Pada tahun 1946, WHO mendefinisikan
kese- hatan sebagai keadaan lengkap dari
kesejahteraan fisik, mental, sosial dan bukan
semata-mata katiada- an penyakit atau
kesakitan. Definisi kesehatan ini merupakan
pemicu dan pemacu penelitian dan prak- tik
di bidang psikoreligi kesehatan. Psikoreligi
kese- hatan mulai berkembang pesat sejak
saat itu, jika dikaitkan dengan faktor-faktor
psikologis yang mem- pengaruhi kesehatan
seseorang yang bertujuan untuk memperoleh
kesehatan dalam arti yang sesuai dengan
pengertian WHO di atas (Hasan, 2008).
Berdasarkan studi pendahuluan yang
dilakukan pada tanggal 4 Februari 2014,
dengan melihat catatan medik Rumah Sakit
Jiwa daerah Surakarta, jumlah pasien rawat
inap adalah sebanyak 116 pasien, dari jumlah
tersebut 90 pasien (77,5%) dirawat dengan
diagnosa Schizofrenia. Dari 90 pasien
schizofrenia yang masuk rawat inap dengan
riwayat perilaku kekerasan adalah sebanyak
98,8% atau 89 pasien (sumber: Instalasi
Rekam Medis RSJD Surakart, 2011). Rumah 74
Sakit Jiwa daerah Surakarta belum
mempunyai Standar Asuhan Keperawatan
(SAP) tentang terai psikoreligius, tetapi
pada pasien Skizofrenia di UGD dan ruang ada perbedaan respon perilaku setelah
rawat Intensif di RSJD Surakarta. dilakukan intervensi antara kelompok
perlakuan dengan ke- lompok kontrol berarti
pemberian psikoreligi berpe- ngaruh terhadap
METODE PENELITIAN penurunan respon perilaku. Seperti yang
disajikan dalam tabel 2 berikut ini:
Jenis penelitian ini adalah Quasi eksperimen
dengan design penelitian menggunakan Pre and Tabel 2. Perbandingan Rerata Nilai Respon
Post test Control Group Design. Pengambilan Perilaku pada Pretest dan Posttest dalam
sampel dengan menggunakan teknik non Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol
pada Pasien Skizofrennia di RSJD Surakarta
probability sampling dengan cara purposive
sampling untuk mencari pengaruh pemberian
Kelompok
psikoreligi terhadap penurunan perilaku kekerasan Variabel Nilai p
pada pasien skizofrenia di RSJD Surakarta. Perlakuan Kontrol
Pretest 3,95 3 ,9 0,901
Analisa dengan uji t test untuk membedakan nilai Posttest 0,15 2 ,55 0,000
pretest - postest antara kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol.
Sedangkan penurunan respon perilaku
antara pretest dan postest pada kelompok
HASIL PENELITIAN
perlakuan dan kelompok kontrol menunjukan
Responden penelitian ini adalah adanya penurunan yang lebih signifikan pada
pasien Skizofrennia yang dirawat di RSJD kelompok perlakuan. Seperti yang terlihat
Surakarta tahun 2014. Jumlah responden pada tabel 3 berikut ini:
dalam penelitian ini sebanyak 40 responden, Tabel 3. Perbandingan Penurunan Respon Perilaku
dengan pembagian 20 res- ponden menjadi Pretest dan Postest Kelompok Perlakuan
kelompok perlakuan, dimana pada responden dan Kelompok Kontrol pada Pasien
diberikan terapi psikoreligi, sedangkan 20 Skizofrennia di RSJD Surakarta
responden menjadi kelompok kontrol yang
tidak diberikan terapi psikoreligi. Kelompok
Rerata Nilai Respon Perilaku
Pretest Postest Nilai p
Kondisi awal rerata respon perilaku Perlakuan 3,95 0,15
adalah 3,95. Rerata nilai respon verbal adalah 0,000
Kontrol 3,90 2,55
3,35. Rerata nilai respon emosi adalah 4,15 0,01
dan rerata nilai respon fisik adalah 2,42.
Dari hasil analisis statistik untuk pretest,
dapat diketahui bahwa respon perilaku, Hasil uji t test nilai rerata respon verbal
respon verbal, respon emosi, dan respon fisik antara pretest dan post test dalam kelompok
antara kelompok perlakuan dan kelompok perlakuan dan kelompok kontrol menunjukan
kontrol menunjukan bahwa tidak ada ada perbedaan yang bermakna (p < 0,05).
perbedaan yang bermakna ( p > 0,05 ), Keadan ini menunjukan bahwa ada perbedaan
sehingga dapat dikatakan bahwa antara respon verbal setelah dilakukan inter- vensi
kedua kelompok homogen . Seperti dalam antara kelompok perlakuan dengan kelompok
tabel berikut ini 1: kontrol. Seperti yang disajikan dalam tabel 4
Tabel 1.Rerata Nilai Respon Responden menurut berikut ini:
Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol
pada Pasien Skizofrennia di RSJD Surakarta
Tabel 4. Perbandingan Rerata Nilai Respon
Perilaku pada Pretest dan Posttest dalam 75
Kelompok Perlakuan dan Kelompok Control
pada Pasien Skizofrennia di RSJD
Surakarta
Variabel Rerata Kelompok Nilai
Nilai
Kelompok Nilai
p
Perlakuan Kontrol Perlakuan Kontrol p
Variabel
Respon perilaku 3,925 3,95 3,9 0,901 Pretest 3,4 3,3 0,714
Respon verbal 3,35 3,4 3,3 0,714 Post test 0,9 2,25 0,001
Respon fisik 2,425 2,45 2,4 0,711 Sedangkan penurunan respon perilaku
antara pretest dan postest pada kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol menunjukan
adanya penurunan yang lebih signifikan pada
kelompok perlakuan. Seperti yang terlihat
Hasil uji t test nilai rerata respon perilaku
pada tabel 5 berikut ini:
antara pretest dan post test dalam kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol menunjukkan
ada yang ber- makna (p < 0,05). Keadan ini
menunjukan bahwa
76
Tabel 5. Perbandingan Penurunan Respon Verbal Tabel 8. Perbandingan Rerata Nilai Respon Fisik
Pre- test dan Posttest Kelompok Perlakuan pada Pretest dan Posttest dalam Kelompok
dan Kelompok Kontrol pada Pasien Perlakuan dan Kelompok Kontrol pada Pasien
Skizofrennia di RSJD Surakarta Skizofrennia di RSJD Surakarta
78
Penelitian tentang pengaruh psikoreligi meng- ikuti perubahan kognitif pada klien
terhadap penurunan perilaku kekerasan di perilaku keke- rasan (Boyd & Nihart, 1998).
RSJD Surakarta 2014. Hasil penelitian dan Berdasarkan model adaptasi Stuart
interprestasinya adalah sebagai berikut: menjelaskan bahwa penilaian sese- orang
terhadap stressor memberikan makna dan
dampak dari suartu situasi yang menekan dan
Pengaruh Psikoreligi terhadap ditun- jukkan dengan respon kognitif, afektif,
respon fisik, respon perilaku dan social (Stuart
Penurunan Perilaku Kekerasan
& laraia, 2005). Pendekatan keagamaan dalam
Respon perilaku kekerasan yang praktek kedokteran dan keperawatan dalam
dilakukan observasi meliputi respon perilaku, dunia kesehatan, bukan
respon fisik, respon emosi dan respon verbal.
Menurut tabel 4. 9 bahwa terapi psikoreligi
berpengaruh menurunkan perilaku kekerasan
pada pasien Skizofrenia di RSJD Surakarta.
Penurunan ini meliputi penurunan pada
respon fisik. Didalam ajaran agama manapun
bahwa sesorang yang akan melakukan Doa,
Dzikir dan mengikuti ceramah agama
disunahkan untuk men- sucikan diri, khusus
dalam ajaran islam (berwudhlu). Menurut H.R
Buchori Muslim bahwa air wudhlu dapat
merangsang syaraf yang ada pada tubuh kita.
Dengan demikian aliran darah yang ada pada
tubuh kita menjadi lancar, sehingga tubuh kita
akan menjadi rilek dan akan menurunkan
ketegangan. Dimana kalau kondisi tegang
tidak segera dinetralisir akan berdampak
kemarahan. Kemarahan merupakan salah
satu tanda dari perilaku kekerasan. Hal ini
juga didukung oleh pendapat Ilham 2008,
bahwa terapi psikoreligi yang meliputi doa-
doa, dzikir, cera- mah keagamaan, dan lain-
lain dapat meningkatkan kekebalan dan daya
tahan dalam menghadapi berba- gai problem
kehidupan yang merupakan stressor
psikososial guna peningkatan integrasi
kesehatan jiwa. Dari sudut ilmu kedokteran
jiwa atau kepera- watan jiwa atau kesehatan
jiwa, doa dan dzikir (psikoreligius terapi)
merupakan terapi psikiatrik setingkat lebih
tinggi daripada psikoterapi biasa (Ilham,
2008)
Dengan demikian orang yang mengikuti
terapi psikoreligi akan membatasi geraknya
karena dia ber- fokus pada kegiatanya
sehingga dapat mengurangi agresif fisik klien 79
(Videbecck, 2008). Respon fisik akan
mempengaruhi respon emosi (Boyd & Nihart,
1998). Respon fisik merupakan respon yang
untuk tujuan mengubah keimanan seseorang bahasa: Dean Praty Rahayuningsih, Editor edisi
terha- dap agama yang sudah diyakininya, Bahasa indonesia : Sari Kurnianingsih, S.Kp,
Copy Edi- tor: Lia astika Sari. Jakarta: EGC.
melainkan untuk membangkitkan kekuatan Keliat, B.A., dan Akemat. 1996. Proses Keperawatan
spiritual dalam mengha- dapi penyakit Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.
merupakan terapi psikoreligius (Yosep, 2009). Marlindawani, J. 2009. Penggunaan Restrain pada
Dengan terapi psikoreligi akan melakukan Pasien Amuk/Perilaku Kekerasan Ditinjau dari
kontrol terhadap emosi yang mempengaruhi Sudut Pandang Etik. http://www.library. upnvj.
ac.id/pdf/2s1keperawatan, diunduh tanggal 26
proses fikir serta ketegangan otot (Stuart& Juni 2012.
Laraia, 2005) Hal ini dibuktikan oleh hasil
penelitian, bahwa setelah diberi terapi
psikoreligi ada perubahan signifikan
dibandingkan pasien yang tidak diberi terapi
psiko- religi, hal ini bisa dilihat pada table 3,
5, 7 dan 9 di atas. Dengan demikian terapi
Psikoreligi mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap penurunan perila- ku
kekerasan pada pasien Skizofrenia di Rumah
Sakit Jiwa Surakarta (Videbecck, 2008).
DAFTAR RUJUKAN 80
ABSTRAK
Skizofrenia menduduki peringkat keempat sebagai penyakit yang membebankan di seluruh dunia. Salah
satu manifestasi klinik dari skizofrenia adalah perilaku kekerasan. Beban berat yang dirasakan keluarga
dapat menurunkan kemampuan keluarga merawat pasien dengan perilaku kekerasan. Tujuan penelitian
adalah mengidentifikasi hubungan beban dengan kemampuan keluarga merawat pasien perilaku
kekerasan di Poliklinik Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor. Desain penelitian adalah analitikdengan
tehnik purposive sampling terhadap 103 responden. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan
signifikan antara beban dengan kemampuan keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan (P
value<0,05). Peningkatan kemampuan keluarga merawat pasien perilaku kekerasan perlu dilakukan agar
beban yang dirasakan keluarga menjadi berkurang.
ABSTRACT
Schizophrenia is the fourth most burdening health problem in the world. One of the clinical manifestation
of schizophrenia is violent behavior. Strenous burden perceived by the family could lower the ability of
family to care for patient. The purpose of this study is to indentify the relationship of family’s burden and
the family ability to care for patient with violent behavior at the Psychiatric Clinic of Marzoeki Mahdi
Hospital of Bogor. This study used analitical design and collected 103 samples using the purposive
sampling technique. This study result indicated a significant relationship between family’s burden and
family ability to care for patient with violent behavior (p value < 0,05). Study showed it is necessary to
increase family capability in caring for patient with abusive behavior in order to lower the burden
perceived by the family.
148
PENDAHULUAN dalam menghadapi perilaku pasien, dan
beban sosial terutama menghadapi
Skizofrenia menduduki peringkat 4 dari stigma dari masyarakat tentang anggota
10 penyakit terbesaryang membebankan keluarganya yang mengalami gangguan
di seluruh dunia. Biaya yang jiwa. Dampak dari beban yang
dikeluarkan untuk perawatan yang dirasakan keluarga akan mempengaruhi
diberikan keluarga dan terkait kejahatan kemampuan keluarga dalam merawat
serta terkait kesejahteraan akibat pasien. Jika keluarga terbebani
skizofrenia sebesar 33 miliar dolar kemungkinan keluarga tidak mampu
setiap tahunnya di Amerika Serikat merawat pasien dengan baik.
(Stuart, 2007). Berdasarkan latar belakang tersebut
Hasil Riskesdas (2007) menjelaskan maka dapat dirumuskan masalah
bahwa prevalensi gangguan jiwa di penelitian yaitu “Apakah ada hubungan
Indonesia adalah 4,6 0/00. Prevalensi antara beban keluarga dengan
tertinggi terdapat di Provinsi DKI kemampuan keluarga dalam merawat
Jakarta (20,3 0/00) yang kemudian secara pasien perilaku kekerasan di Poliklinik
berturut-turut diikuti oleh Provinsi RS Marzoeki Mahdi Bogor?”
Nangro Aceh Darussalam (18,5 0/00),
Sumatera Barat (16,7 0/00), Nusa METODE
Tenggara Barat (9,9 0/00), Sumatera
Selatan (9,2 0/00). Prevalensi terendah Desain penelitian ini adalah desain analitik
terdapat di Maluku (0,9 0/00). kategorik berpasangan, yaitu metode untuk
Di RS Marzoeki Mahdi Bogor data yang di mengetahui ada atau tidaknya hubungan
dapat dari bagian rekam medis pada tahun antara beban keluarga dengan kemampuan
2010 pasien skizofrenia yang dirawat inap keluarga merawat pasien perilaku
berjumlah 9952 orang dan pasien rawat kekerasan.
jalan berjumlah 1217 orang, sedangkan
tahun 2011 pasien yang dirawat inap Sampel yang diambil dalam penelitian ini
berjumlah 1549 orang dan yang rawat jalan ditentukan dengan menggunakan teknik
berjumlah 15770 orang. Hal ini pengambilan sampel purposive sampling,
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan yaitu dengan terlebih dahulu menentukan
jumlah pasien skizofrenia yang menjalani kriteria. Kriteria yang dipakai adalah
pengobatan rawat inap dan rawat jalan di inklusi. Kriteria inklusi dalam penelitian ini
RS Marzoeki Mahdi Bogor dalam satu yaitu keluarga pasien yang anggota
tahun terakhir. keluarganya mengalami skizofrenia dengan
perilaku kekerasan dan pernah dirawat lebih
Pasien skizofrenia terutama yang dari 1 kali, keluarga bersedia dan mampu
mengalami perilaku kekerasan berpartisipasi dalam penelitian, serta tinggal
membutuhkan dukungan keluarga yang serumah dengan pasien
mampu memberikan perawatan secara
Alat pengumpulan data ini adalah kuesioner
optimal. Tetapi keluarga sebagai sistem The Zarith Burden Interview versi bahasa
pendukung utama sering mengalami indonesia, merupakan instrumen untuk
beban yang tidak ringan dalam variabel independen yaitu beban yang
memberikan perawatan selama pasien dirasakan keluarga. Kuesioner pengetahuan
dirawat di rumah sakit maupun setelah dan sikap keluarga dalam merawat pasien
kembali ke rumah. perilaku kekerasan merupakan instrument
untuk variable dependen. Pengolahan data
Beban tersebut yaitu beban finansial sesuai dengan langkah-langkah edit data
dalam biaya perawatan, beban mental (editing), memberikan kode (coding),
149
memasukkan data dalam tabel (entry), dan signifikan. Pada variabel pengetahuan
membersihkan data (cleaning). keluarga menunjukkan mayoritas responden
memiliki pengetahuan sedang 69 responden
Analisa data yang digunakan dalam dan tinggi 34 responden. Variabel sikap
penelitian ini adalah analisis univariat dan keluarga menunjukkan 75 responden
bivariat. Analisis univariat dalam memiliki sikap tidak baik. Sedangkan
melakukan uji statistik menggunakan uji variabel kemampuan keluarga terdapat 51
distribusi dan proporsi. Analisis bivariat responden memiliki kemampuan tidak baik.
pada penelitian ini menggunakan uji Chi
Square karena variabel yang diteliti berjenis Tabel 2
kategorik dan kategorik. Hubungan antara Beban dengan
Pengetahuan Keluarga dalam Merawat
Etika pengambilan data pada penelitian ini Pasien Perilaku Kekerasan di Poliklinik RS
menggunakan prinsip manfaat, prinsip Marzoeki Mahdi Bogor Tahun 2013 (n=103)
menghargai martabat manusia, prinsip Pengetahuan OR
keadilan dan prisip anonymity Beban Keluarga P
&
Confidentiality. Keluarga valu
(95%
Sedang Tinggi CI)
e
HASIL n % n %
Tabel 1 Beban Berat 13 72,2 5 27,8 0,385
Distribusi Responden Berdasarkan Beban, Beban Sedang 26 74,3 9 25,7
Pengetahuan, Sikap dan Kemampuan Beban Ringan 23 63,9 13 36,1 0,38 0,346
Keluarga Dalam Merawat Pasien Perilaku Tanpa Beban 7 50 7 50 0,565
Kekerasan di Poliklinik RS Marzoeki Mahdi Jumlah 69 67 34 33
Bogor, Tahun 2013 (n=103)
Peresentase Tabel 2. Menjelaskan bahwa terdapat 13
Variabel Independen Jumlah responden yang sudah memiliki
(%)
Beban Keluarga pengetahuan tinggi tetapi masih mengalami
Beban Berat 18 17,5 beban yang berat dalam merawat pasien
Beban Sedang 35 34,0 perilaku kekerasan. Hasil uji analisis
Beban Ringan 36 35,0 menunjukkan tidak ada hubungan antara
Tanpa Beban 14 13,6 beban dengan pengetahuan keluarga dalam
Jumlah 103 100 merawat pasien perilaku kekerasan P
Variabel Dependen value>0,05.
Pengetahuan
Keluarga Tabel3
Sedang 69 67,0 Distribusi Hubungan Antara Beban Dengan
Tinggi 34 33,0 Sikap KeluargaDalam MerawatPasien
Jumlah 103 100 Perilaku Kekerasan di Poliklinik RS
Sikap Keluarga Marzoeki Mahdi Bogor
Tahun 2013 (n=103)
Tidak Baik 75 27,2
Baik 28 72,8 Sikap Keluarga
OR
Jumlah 103 100 Beban
(95%
P
Kemampuan Keluarga Tidak Baik valu CI)
e
Keluarga Merawat Baik
Tidak Baik 51 49,5 N % N %
Baik 52 50,5 jumlah tersebut cukup Beban Berat
Jumlah 103 100 Beban Sedang 29 82,9 6 17,1 16
0,016
Beban Ringan 30 60 20 40 88,9
Tabel 1. Menjelaskan bahwa pada variabel beban 2
11,1
keluarga terdapat 18 responden dengan beban berat,
150
Jumlah 75 72,8 28 27,2 0,188
0,310
151
Tabel 3. Menunjukkan bahwa terdapat 16 000,- dan rata-rata penghasilan responden
responden mengalami beban berat dan adalah Rp 1.178.640,-. Jumlah tersebut
memiliki sikap tidak baik dalam merawat merupakan nominal yang sangat jauh
pasien perilaku kekerasan. Uji analisis dibawah standar UMR Bogor tahun 2013
menunjukkan adanya hubungan antara yaitu Rp 2.002.000,-. Hal ini sesuai dengan
beban dengan sikap keluarga dalam penelitian Gururaj, Bada, Reddy dan
merawat pasien perilaku kekerasan P Chandrashkar (2008) menemukan bahwa
Value<0,05. dari enam dimensi beban keluarga dengan
skizofrenia, skor finansial memiliki rata-
Tabel 4 rata yang paling tinggi. Oleh karena itu
Distribusi Hubungan Antara Beban Dengan apabila keluarga tidak memiliki sumber
Kemampuan Keluarga Dalam Merawat
Pasien Perilaku Kekerasan di Poliklinik RS
dana yang cukup atau jaminan kesehatan,
Marzoeki Mahdi Bogor Tahun 2013 (n=103) maka akan menjadi beban yang sangat berat
bagi keluarga.
PEMBAHASAN
153
orang. Penelitian ini didukung oleh Sonatha gangguan jiwa sering melanda keluarga
& Gayatri (2012) didapatkan hasil karena berkurangnya stress tolerance.
responden dengan sikap negative lebih
banyak yaitu sebesar 53,6%. Bagi pasien Peneliti berpendapat bahwa
jiwa yang mengalami perilaku kekerasan ketidakmampuan keluarga bisa disebabkan
dan kronis membutuhkan waktu perawatan karena keluarga mengalami kelelahan
bertahun-tahu, yang dapat menjadikan secara fisik maupun mental selama merawat
keluarga mengalami kejenuhan dalam anggota keluarganya yang mengalami
memberikan perawatan pada pasien perilaku kekerasan. Dampak yang di
sehingga bersikap tidak baik. Faktor lain rasakan keluarga akibat perilaku kekerasan
adalah perilaku kekerasan yang dilakukan yang dilakukan pasien sangat
pasien terhadap keluarga.Menurut Keliat mempengaruhi sikap keluarga dalam
(2003) Perilaku kekerasan adalah tindakan merawat pasien perilaku kekerasan,
menciderai orang lain, diri sendiri, merusak sehingga kemampuan keluarga menjadi
harta benda (lingkungan), dan ancaman tidak baik.
secara verbal.Muesser & Gingerich (2006)
juga menjelaskanbahwa anggota keluarga Hubungan Antara Beban dengan
sering menjadi korban tindakan kekerasan Pengetahuan Keluarga Dalam Merawat
yang dilakukan oleh penderita skizofrenia. Pasien Perilaku Kekerasan
Hasil penelitian didapatkan bahwa keluarga
Hal ini dapat diartikan bahwa Perilaku dengan beban berat memiliki pengetahuan
kekerasan yang dilakukan pasien terhadap sedang sebanyak 26 orang dan pengetahuan
keluarga sangat merugikan keluarga dan tinggi sebanyak 5 orang. Simatupang
mempengaruhi sikap keluarga dalam (2010) mendukung penelitian ini yang
merawat pasien perilaku kekerasan. menyebutkan bahwa mayoritas responden
Perilaku tersebut yaitu pasien sering kasar (90%) memiliki pengetahuan yang baik
bahkan sampai memukul terhadap keluarga, tentang perilaku kekerasan termasuk
berkata-kata yang menyakitkan, merusak definisi, tanda, dan gejala pasien dengan
barang-barang keluarga, merusak dan perilaku kekerasan.
mengganggu lingkungan. Dampak dari
perilaku tersebut memungkinkan keluarga Peneliti berpendapat bahwa pengetahuan
menjadi bersikap tidak baik terhadap dalam merawat pasien perilaku kekerasan
anggota keluarganya yang mengalami sudah dipahami oleh keluarga. Hal ini
perilaku kekerasan. dikarenakan bahwa keluarga pasien yang
pernah di rawat di Rumah Sakit Marzoeki
Kemampuan Keluarga Dalam Merawat Mahdi Bogor telah mendapatkan
Pasien Perilaku Kekerasan. pendidikan kesehatan dari petugas
Kemampuan keluarga merupakan gabungan kesehatan. Yang menarik dari hasil
dari pengetahuan dan sikap keluarga dalam penelitian ini adalah keluarga mengalami
merawat pasien perilaku kekerasan. Hasil beban berat meskipun memiliki
penelitian ini didapatkan bahwa responden pengetahuan yang tinggi. Hal ini bisa
yang memiliki kemampuan tidak baik dikarenakan beberapa faktor yang
sebanyak 51 orang. Penelitian ini didukung mempengaruhi antara lain faktor sosial
oleh Hernawaty (2009) bahwa rerata ekonomi yaitu pendapatan yang tidak
kemampuan kognitif keluarga dalam memadai, keluarga yang tidak bekerja, dan
merawat klien gangguan jiwa sebesar keluarga dengan pendidikan yang rendah.
32,15, dan kemampuan psikomotor 32,55. Hal ini Sesuai dengan penelitian Gururaj,
Fontaine (2003) menyatakan bahwa Bada, Reddy dan Chandrashkar (2008)
kemampuan keluarga ditentukan oleh menemukan bahwa dari enam dimensi
kemampuan untuk manajemen stres yang beban keluarga dengan skizofrenia, skor
produktif. Kelelahan fisik dan emosi selama finansial memiliki rata-rata yang paling
merawat anggota keluarga dengan tinggi. Oleh karena itu meskipun
154
pengetahuan keluarga tinggi tetapi jika keluarga tidak bekerja, dan pendidikan
kondisi finansial rendah maka beban yang rendah. Beban tersebut termasuk
keluarga akan menjadi berat. dalam kategori beban obyektif. Nadya
(2009) menjelaskan beban obyektif adalah
Hubungan Antara Beban Dengan Sikap berbagai beban dan hambatan yang
Keluarga Dalam merawat Pasien dijumpai dalam kehidupan keluarga yang
Perilaku Kekerasan berkaitan dengan perawatan penderita
Hasil penelitian ini terdapat responden yang gangguan jiwa, diataranya adalah beban
mengalami beban ringan memiliki sikap biaya finansial yang dikeluarkan untuk
tidak baik sebanyak 30 orang. Keluarga merawat penderita. Sesuai dengan
yang mengalami beban ringan dipengaruhi penelitian Gururaj, Bada, Reddy dan
oleh beberapa hal yaitu sosial ekonomi Chandrashkar (2008) menemukan bahwa
yang memadai, adanya sistem pendukung dari enam dimensi beban keluarga dengan
yang cukup dan keluarga memiliki konsep skizofrenia, skor finansial memiliki rata-
spiritual yang tinggi sehingga mampu rata yang paling tinggi. Peneliti
beradaptasi untuk menerima penyakit yang berpendapat jika kondisi sosial ekonomi
diderita anggota keluarganya. Sesuai tidak memadai maka beban yang dirasakan
dengan konsep Potter & Perry (2005) yang keluarga menjadi berat.
menjelaskan bahwa spiritualitas secara
signifikan membantu klien dan pemberi Fontaine (2003) menjelaskan bahwa
layanan untuk beradaptasi terhadap kemampuan keluarga ditentukan oleh
perubahan yang diakibatkan oleh penyakit kemampuan untuk manajemen stres yang
kronis. produktif. Kelelahan fisik dan emosi selama
merawat anggota keluarga dengan
Jika keluarga mengalami beban ringan gangguan jiwa sering melanda keluarga
maka sikap keluarga terhadap pasien karena berkurangnya stress tolerance.
perilaku kekerasan seyogyanya akan Teschinsky (2000) juga menjelaskan bahwa
menjadi baik. Yang menarik dari penelitian keluarga yang merawat anggota keluarga
ini adalah terdapat 30 responden mengalami dengan perilaku kekerasan akan mengalami
beban ringan namun memiliki sikap yang reaksi emosi terhadap gangguan dan stigma
tidak baik terhadap anggota keluarganya. sosial yang ditimbulkan karena perilaku
Hal ini dimungkinkan karena dampak yang kekerasan dengan dampak lainnya. Dapat
diterima oleh keluarga dari sikap pasien dimungkinkan hal inilah yang
perilaku kekerasan. Sesuai dengan konsep menyebabkan keluarga memiliki
Muesser & Gingerich (2006) bahwa kemampuan tidak baik dalam merawat
anggota keluarga sering menjadi korban pasien perilaku kekerasan
tindakan kekerasan yang dilakukan oleh
penderita skizofrenia. Pasien yang Keliat (2003) menjelaskan bahwa perilaku
mengalami perilaku kekerasan memberi kekerasan adalah tindakan menciderai
dampak yang merugikan bagi keluarga orang lain, diri sendiri, merusak harta benda
sehingga keluarga bersikap tidak baik (lingkungan), dan ancaman secara verbal.
terhadap dirinya. Muesser & Gingerich (2006) juga
menjelaskan bahwa anggota keluarga sering
Hubungan Antara Beban dengan menjadi korban tindakan kekerasan yang
Kemampuan Keluarga Dalam Merawat dilakukan oleh penderita skizofrenia. Hal
Pasien Perilaku Kekerasan. ini dapat diartikan bahwa Perilaku
kekerasan yang dilakukan pasien terhadap
Pada hasil penelitian didapatkan bahwa keluarga sangat merugikan keluarga dan
keluarga dengan beban berat memiliki mempengaruhi sikap keluarga dalam
kemampuan tidak baik yaitu 13 orang. Hal merawat pasien perilaku kekerasan menjadi
ini bisa disebabkan oleh faktor sosial tidak baik.
ekonomi antara lain kesulitan finansial,
155
Hasil uji analisis penelitian menunjukkan dalam merawat pasien perilaku kekerasan P
adanya hubungan yang signifikan antara value > 0,05.
beban dengan kemampuan keluarga dalam
merawat pasien perilaku kekerasan (P DAFTAR PUSTAKA
Value<0,05). Hal ini dimungkinkan bahwa
beban keluarga sangat mempengaruhi Depkes.(2007).Riset kesehatan
kemampuan keluarga dalam merawat dasar.Jakarta: Balitbangkes Depkes.RI.
pasien perilaku kekerasan. Jika keluarga Fontaine,K.L.(2003) Mental health
terbebani maka keluarga tidak mampu nursing.New jersey.Pearson
merawat pasien perilaku kekerasan secara Education.Inc.
baik. Gururaj,G.P.,Bada,M.S.,Reddy,J.Y.C.,&Ch
andrashekar.,C.R.(2008) Family burden,
KESIMPULAN quality of life and disabilityin obsesive
Berdasarkan data demografi di Poliklinik compulsive disorder;in Indian
RS Marzoeki Mahdi Bogor yaitu responden perspective.J Postgradmed, 91-97.
penelitian sebanyak 103 orang dengan Hernawati.T.(2009) pengaruh terapi
kelompok usia rata-rata responden adalah suportif keluarga terhadap kemampuan
50,46 tahun. Jenis kelamin responden keluarga merawat klien gangguan jiwa
mayoritas Perempuan. Tingkat pendidikan di kelurahan Bubulak Bogor Barat.
responden mayoritas Sekolah. Pekerjaan Depok. Tesis. FIK UI
responden mayoritas tidak bekerja. Keliat, B.A.(2003) Pemberdayaan klien
Penghasilan responden rata-rata Rp dan keluarga dalam perawatan klien
1.178.640,-. Hubungan dengan pasien skizofrenia dengan perilaku kekerasan
mayoritas adalah ibu. Karakteristik pasien di RSJP Bogor. Disertasi. Jakarta.
berdasarkan usia didapatkan hasil bahwa Mueser, K.T& Gingerich,S.(2006) The
rata-rata usia pasien adalah 34 tahun. Jenis complete family guide to schizophrenia.
kelamin pasien mayoritas laki-laki. New York: Guilford press.
Pendidikan pasien mayoritas SD dan SMU. Nadya.R.(2009) Gambaran kebahagiaan
Jenis pekerjaan pasien mayoritas tidak dan karakteristik positif wanita dewasa
bekerja atau IRT. madya yang menjadi caregiver informal
Berdasarkan hasil penelitian bahwa penderita skizofrenia. Depok: Fakultas
responden mayoritas dengan beban psikologi UI.
keluarga ringan dan sedang. Responden Notoatmodjo.(2010)Ilmu perilaku
mayoritas memiliki pengetahuan sedang kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
dan sikap tidak baik.Kemampuan Nuraenah, Mustikasari, Putri.Y.S.E (2012)
responden dalam merawat pasien perilaku Hubungan dukungan keluarga dan
kekerasan di Poliklinik RS Marzoeki Mahdi beban keluarga dalam merawat anggota
Bogormemiliki kemampuan baik lebih dengan riwayat perilaku kekerasan di
tinggi dari pada kemampuan tidak baik, RS Jiwa Islam klender jakarta Timur.
tetapi jumlah kemampuan tidak baik cukup Depok.FIK.UI .Tesis.
signifikan. Potter & Perry (2005) Fundamental of
Berdasarkan uji analisis didapatkan bahwa nursing; Concept process and practice
tidak ada hubungan yang bermakna antara four edition. Philadelphia: Mosby Year
beban dengan tingkat pengetahuan keluarga Book. Inc.
dalam merawat pasien perilaku kekerasan, Riyandini.R..F.,Saraswati.H.R.,&Meikawat
nilai P value > 0.05. Ada hubungan yang i.W.(2011).Faktor-faktoryang
signifikan antara beban dengan sikap berhubungan dengan kekambuhan pada
keluarga dalam merawat pasien perilaku pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa
kekerasan P value < 0,05, dan ada Amino Gondoutomo Semarang.
hubungan yang signifikan antara beban Simatupang.(2010). Hubungan tingkat
keluarga dengan kemampuan keluarga pengetahuan keluarga tentang perilaku
kekerasan dengan kesiapan keluarga
156
merawat pasien di rumah.Respiratory usu ac.id/handle/123456789/20141. Diperoleh 7 Mei
2013.
Sonatha.B.,Gayatri.D (2012) Hubungan tingkat pengetahuan dengan sikap keluarga dalam
pemberian perawatan pasien pasca stroke. Depok: FIK UI Skripsi
157
JURNAL KEPERAWATAN JIWA
PADA PASIEN PERILAKU KEKERASAN
Dosen Pengampu :
Sri Martini, S.Pd, S.Kp, M.Kes
Dr. Ira Kusumawaty, S.Kp, M.Kep, MPH
Sri Endriyani, S.Kep, Ns, M.Kep
Marta Pastari, S.Kep, Ns, M.Kes
DISUSUN OLEH
Indah Wahyuni (PO7120119043)
158
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU ORANG
TUA DALAM MELAKUKAN KEKERASAN VERBAL TERHADAP ANAK
USIA PRA-SEKOLAH
yufina_lucky@ymail.com
Abstract
Verbal abuse in children is all forms of greeting parents to children who are threatening, scaring, and insulting.
This happens every day at home should be the safest place and refuge for children. Economic, social, employment,
lack of knowledge to educate children and parents lack understanding of religion contributing cause parents do
violence on their children. Parents commit verbal violence as a way to educate children is naughty and not
obedient, so it is necessary to study in order to know the factors related to the behavior of parents in verbal
violence against children pre-school age. Quantitative research methods with descriptive analytic approach. The
research sample 76 people, with a proportionate random sampling technique. Instrument questionnaire. The
research variables include variables such as age, education, economics, attitudes, knowledge, experience,
environment, and the dependent variable is the verbal violent behavior. The analysis of univariate and bivariate
data using chi square test. Results of this study there was no correlation with the behavior of a parent education
did verbally abuse her son (p = .767), there is no economic relationship with the parents' behavior on their verbal
violence (p = .248), there is a correlation between age of knowledge, attitude, experience and the environment
there is a relationship with the parents' behavior on their verbal violence (p < 0,001).
Abstrak
Kekerasan verbal pada anak merupakan semua bentuk ucapan orang tua kepada anak yang bersifat mengancam,
menakuti, dan menghina. Hal ini terjadi setiap harinya di rumah yang seharusnya menjadi tempat teraman dan
berlindung bagi anak. Ekonomi, lingkungan sosial, pekerjaan, kurangnya pengetahuan mendidik anak serta
pemahaman agama orang tua kurang yang turut berperan menjadi penyebab orang tua melakukan kekerasan pada
anaknya. Orang tua melakukan kekerasan verbal sebagai cara mendidik anak yang nakal dan tidak manut,
sehingga perlu dilakukan penelitian dengan tujuan mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku
orang tua dalam melakukan kekerasan verbal terhadap anak usia pra-sekolah. Metode penelitian kuantitatif dengan
pendekatan deskriptif analitik. Sampel penelitian 76 orang, dengan tekhnik proportionate random sampling. Alat
instrumen kuesioner. Variabel penelitian meliputi variabel bebas yaitu umur, pendidikan, ekonomi, sikap,
pengetahuan, pengalaman, lingkungan, dan variabel terikat yaitu perilaku kekerasan verbal. Analisa data secara
univariat dan bivariat menggunakan uji chi square. Hasil penelitian ini tidak terdapat hubungan pendidikan
dengan perilaku orang tua melakukan kekerasan verbal pada anaknya (p = 0,767), tidak terdapat hubungan
ekonomi dengan perilaku orang tua melakukan kekerasan verbal pada anaknya (p = 0,248), terdapat hubungan
umur pengetahuan, sikap, pengalaman dan lingkungan terdapat hubungan dengan perilaku orang tua melakukan
kekerasan verbal pada anaknya (p < 0,001).
159
82 Fitriana, Pratiwi, & Sutanto
peka dengan perasaan orang lain, anak-anak yang agresif, yang pada
menganggu perkembangan, anak menjadi gilirannya akan menjadi orang dewasa
agresif, gangguan emosi, hubungan sosial yang agresif pula. Gangguan mental
terganggu, kepribadian sociopath atau (mental disorder) ada hubungannya
antisocial personality disosder, dengan perlakuan buruk yang diterima
menciptakan lingkaran setan dalam manusia ketika dia masih kecil.
keluarga, dan bunuh diri Faktor Ekstern
Faktor ekonomi
Beberapa faktor yang mempengaruhi orang Sebagian besar kekerasan rumah tangga
tua melakukan verbal abuse, diantaranya dipicu faktor kemiskinan, dan tekanan
(Soetjiningsih, 2002) : hidup atau ekonomi. Pengangguran,
Faktor Intern PHK, dan beban hidup lain kian
Faktor pengetahuan orang tua Kebanyakan memperparah kondisi itu. Faktor
orang tua tidak begitu mengetahui atau kemiskinan dan tekanan hidup yang
mengenal informasi mengenai kebutuhan selalu meningkat, disertai dengan
perkembangan anak, misalnya anak kemarahan atau kekecewaan pada
belum memungkinkanuntuk pasangan karena ketidakberda- yaan
melakukan sesuatu tetapi karena dalam mengatasi masalah ekonomi
sempitnya pengetahuan menyebabkan orang tua mudah sekali
orang tua anak dipaksa melakukan dan melimpahkan emosi kepada orang
ketika memang belum sekitarnya. Anak sebagai makhluk lemah,
bisa dilakukan orang tua rentan, dan dianggap sepenuhnya milik
menjadi marah, membentak dan orang tua, sehingga menjadikan anak
mencaci anak. Orang tua yang paling mudah menjadi sasaran dalam
mempunyai harapan-harapan yang meluapkan kema- rahannya. Kemiskinan
tidak realistik terhadap perilaku anak sangat berhubungan dengan penyebab
berperan memperbesar tindakan kekerasan pada anak karena
kekerasan pada anak. Serta bertambahnya jumlah krisis dalam
kurangnya pengetahuan orang tua tentang hidupnya dan disebabkan mereka
pendidikan anak dan mempunyai jalan yang terbatas dalam
minimnya pengetahuan agama orang tua mencari sumber ekonomi.
melatarbelakangi kekerasan pada anak. Faktor lingkungan
Faktor pengalaman orang tua Faktor lingkungan juga mem- pengaruhi
Orang tua yang sewaktu kecilnya mendapat tindakan kekerasan pada anak.
perlakuan salah merupakan situasi pencetus Lingkungan hidup dapat meningkatkan
terjadinya kekerasan pada anak. Semua beban pera- watan pada anak. Dan juga
tindakan kepada anak akan direkam dalam munculnya masalah lingkungan yang
alam bawah sadar mereka dan akan dibawa mendadak juga turut ber- peran untuk
sampai kepada masa dewasa. Anak yang timbulnya kekerasan verbal. Telivisi
mendapat perilaku kejam dari orang tuanya sebagai suatu media yang paling efektif
akan menjadi agresif dan setelah menjadi dalam menyampaikan berbagai pesan-
orang tua akan berlaku kejam pada anaknya.
Orang tua yang agresif akan melahirkan
161
84 Fitriana, Pratiwi, & Sutanto
162
Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku orang tua 85
dalam melakukan kekerasan verbal terhadap anak usia pra-sekolah
127 kasus. Peringkat kedua berada di Tujuan umum penelitian ini yaitu untuk
Kabupaten Sleman (123 kasus), disusul mengetahui faktor-faktor yang ber-
Kabupaten Bantul (60 kasus), lalu hubungan dengan perilaku orang tua
Kabupaten Gunungkidul (48 kasus) dan melakukan kekerasan verbal pada anak usia
terakhir Kabupaten Kulonprogo (36 kasus). pra sekolah, maka tujuan khusus penelitian
Jumlah tersebut menurun dibanding 2010 ini adalah hubungan umur, pendidikan,
dengan 191 kasus di Kota Yogyakarta, pendapatan, pengalaman, lingkungan dan
Kabupaten Sleman (184 kasus), Bantul (92 sikap orang tua dengan perilaku orang tua
kasus), Gunungkidul (87 kasus) dan terakhir melakukan kekerasan verbal pada anak usia
Kulonprogo (60 kasus). Meski terjadi pra sekolah. Hipotesis dalam penelitian ini
penurunan angka, tidak berarti kasus yaitu terdapat hubungan umur, pendidikan,
kekerasan terhadap anak juga telah ekonomi, pengalaman, lingkungan dan sikap
berkurang (Sujatmiko, 2013). orang tua dengan perilaku orang tua
melakukan kekerasan verbal pada anak usia
Penelitian ini akan dilakukan di Dusun pra sekolah.
Sawahan Kelurahan Pendowoharjo
Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul
METODE PENELITIAN
karena berdasarkan wawancara langsung
yang dilakukan oleh peneliti menunjukkan Penelitian ini merupakan jenis penelitian
bahwa 16 dari 25 anak di daerah ini setiap kuantitatif dengan menggunakan metode
harinya medapatkan kata-kata yang tidak pendekatan deskriptif analitik. Populasi
pantas dari orang tua mereka maupun dalam penelitian ini adalah seluruh orang
kalimat yang bersifat mengancam dari orang tua yang memiliki anak usia prasekolah
tua. Orang tua menganggap hal yang biasa yaitu anak usia 3 sampai 6 tahun di Dusun
jika memarahi anak-anaknya dengan kata- Sawahan Kelurahan Pendowoharjo
kata yang tidak pantas. Selain alasan Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul yaitu
tersebut diatas, peneliti juga sebanyak 93 responden. Cara pengambilan
mempertimbangkan keadaan masyarakat di sampel yang telah dilakukan dalam
dusun Sawahan dimana orang tua terutama penelitian ini adalah proportionate random
ibu yang mayoritas memiliki latar belakang sampling, yaitu 76 responden. yaitu teknik
pendidikan yang masih rendah yaitu tamat pengambilan sampel tiap RT di Dusun
SMP dan 50 % sebagai ibu rumah tangga. Sawahan, Kelurahan Pendowoharjo,
Hal itu mengakibatkan stress yang Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul.
disebabkan himpitan ekonomi yang akan Selanjutnya jumlah responden tiap RT di
membuat orang tua mudah sekali Dusun Sawahan dipilih secara simple
meluapkan emosi, kekecewaan, kemarahan, random.
dan ketidakmampuannya kepada orang
terdekatnya, yaitu anak mereka. Variabel terikat dalam penelitian ini yaitu
perilaku orang tua terhadap kekerasan
Berdasarkan latar belakang, maka verbal pada anak pra sekolah, sedangkan
perumusan masalah dalam penelitian ini variabel bebasnya adalah umur, pendidikan,
adalah “bagaimanakah faktor-faktor yang pendapatan, pengetahuan, sikap, lingkungan
berhubungan dengan perilaku orang tua dan pengalaman. Penelitian ini
melakukan kekerasan verbal pada anak usia menggunakan kuesioner sebagai alat
pra sekolah”. pengumpulan data. Instrumen penelitian
dikatakan berkualitas dan dapat
164
Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku orang tua 87
dalam melakukan kekerasan verbal terhadap anak usia pra-sekolah
Umur adalah lama hidup individu terhitung Tingkat pendidikan merupakan jenjang
saat mulai dilahirkan sampai berulang tahun pendidikan terakhir yang ditempuh
(Notoatmojo, 2003). Hasil penelitian ini seseorang tingkat pendidikan merupakan
berbeda dengan teori (Notoatmojo, 2003) suatu wahana untuk mendasari seseorang
dimana semakin cukup umur, tingkat berprilaku secara ilmiah. Tingkat
kematangan seseorang akan lebih matang pendidikan yang rendah akan susah
dalam berfikir dan bekerja. Dari hasil mencerna pesan atau informasi yang
penelitian mengindikasikan bahwa dengan disampaikan (Notoatmodjo, 2003).
bertambahnya umur seseorang belum tentu
kematangan dalam berpikir semakin baik, Pendidikan diperoleh melalui proses belajar
dimana umur seseorang akan termotivasi yang khusus diselenggarakan dalam waktu
untuk tidak melakukan kekerasan verbal tertentu, tempat tertentu dan kurikulum
pada anak pra-sekolah. tertentu, namun dapat diperoleh dari
bimbingan yang diselenggarakan sewaktu-
Umur mempengaruhi terhadap daya tangkap waktu dengan maksud memper- tinggi
dan pola pikir seseorang, semakin kemampuan atau ketrampilan khusus.
bertambah usia akan semakin berkembang Dalam garis besar ada tiga tingkatan
pula daya tangkap dan pola pikirnya, pendidikan yaitu pendidikan rendah,
sehingga pengetahuan yang diperolehnya pendidikan menengah, dan tinggi.
Masing-masing tingkat pendidikan tersebut seseorang mencerna apa yang menjadi isi
memberikan tingkat pengetahuan tertentu pesan dari informasi khususnya dalam hal
yang sesuai dengan tingkat pendidikan. kerasan yang dilakukan orang tua terhadap
anak pra sekolah.
Pendidikan tentang perilaku orangtua dalam
melakukan kekerasan verbal terhadap anak Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak
pra sekolah yang positif merupakan suatu ada hubungan antara pendapatan responden
proses mengubah kepribadian, sikap, dan dengan perilaku orang tua melakukan
pengertian tentang perilaku yang selama ini kekerasan verbal pada anak usia pra-sekolah
negatif sehingga tercipta pola perilaku yang di Dusun Pendowoharjo Kecamatan Sewon
baik tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Kabupaten Bantul. Pendapatan keluarga
Berpedoman pada tujuan pendidikan seringkali dikaitkan dengan status
diperkirakan bahwa semakin meningkatnya kemapanan ekonomi suatu keluarga.
pendidikan yang dicapai sebagian besar
penduduk, semakin membantu kemudahan Masalah keuangan seringkali mendorong
pembinaan akan pentingnya perilaku yang timbulnya stress pada orangtua. Aspek
positif dalam menghadapi kekerasan verbal keuangan dapat berupa tingkat penghasilan
pada anak pra sekolah. Dengan demikian keluarga yang rendah dandhadapkan pada
pendidikan pada dasarnya merupakan usaha tuntutan kebutuhan yang tinggi (Munawati,
dan tindakan yang bertujuan untuk 2011). Status ekonomi sangat berpengaruh
mengubah pengetahuan, sikap dan pada perkembangan hubungan orang tua
keterampilan manusia. Tingkat pendidikan dengan anak. Penelitian yang dilakukan
yang cukup merupakan dasar dalam Nugroho Akbar (2009) menyebutkan bahwa
pengembangan daya nalar serta sarana income yang diperoleh orangtua
untuk menerima pengetahuan. Kemam- berpengaruh terhadap tingkat perilaku
puan menerima seseorang akan lebih cepat pengasuhan orangtua. Orangtua dengan
jika orang tersebut memiliki latar belakang penghasilan rendah memiliki tingkat
pendidikan yang cukup. Pengertian tersebut perilaku yang lebih tinggi dalam melakukan
menggambarkan pendidikan bukan hanya kekerasan kepada anak dibandingkan
mempersiapkan masa depan agar lebih dengan orangtua yang memiliki penghasilan
cerah saja, melainkan untuk membantu tinggi.
setiap individu mengem- bangkan faktor
psikisnya menuju tingkat kedewasaan. Sejak Tingkat kepuasan orangtua terletak pada
dini pendidikan harus sudah diberlakukan seberapa baik orangtua mereka merasa
pada setiap individu agar menjadikan mampu memenuhi kebutuhan anak-
manusia berkualitas dan tidak menimbulkan anaknya. Orangtua yang kekurangan sumber
dampak yang negatif pada dirinya sendiri daya untuk merawat anak akan mengalami
atau orang lain khususnya. peningkatan perilaku negatif dalam
memenuhi tantangan kehidupan sehari-hari.
Diasumsikan bahwa semakin tinggi tingkat Ketika mengalami kesulitan ekonomi,
pendidikan seseorang maka semakin mampu orangtua akan menjadi mudah marah,
mengetahui, memahami ataupun tertekan dan frustasi, serta tekanan
menganalisis apa yang disampaikan psikologis mereka akan menurunkan
demikian sebaliknya semakin rendah tingkat kemampuan pengasuhan yang akan
pendidikan yang dimiliki maka semakin berpengaruh pada kekerasan (Stuart &
rendah atau tidak tahu pula Sundeen, 2006).
Humanika, Solihin, Lianny (2004) dari pengalaman yang berasal dari berbagai
berpendapat bahwa orangtua yang memiliki macam sumber seperti, media poster,
ketidakmatangan emosi berisiko melakukan kerabat dekat, media massa, media
kekerasan terhadap anak. Berdasarkan elektronik, buku petunjuk, petugas
analisis tambahan, kesehatan, dan sebagainya. Pengetahuan
kemampuan mengendalikan frrustasi yang dapat membentuk keyakinan tertentu,
menjadi salah satu aspek kematangan emosi sehingga seseorang berperilaku sesuai
berkorelasi positif dengan perilaku dengan keyakinannya tersebut (Nugroho,
kekerasan pada anak yang dilakukan 2009).
orangtua. Didukung oleh penelitian
Khusmas, Asniar. Hastarjo, Wimbarti. Menurut Notoatmodjo (2003), bahwa
(1997) yang menyatakan bahwa orangtua pengetahuan atau kognitif merupakan
yang melakukan kekerasan fisik dilaporkan domain yang sangat penting untuk
mempunyai perasaan negatif yang lebih terbentuknya tindakan seseorang (overt
besar (seperti marah, depresi, bingung dan behavior), dan Rogers (dalam Notoatmodjo,
jengkel) dibandingkan dengan orangtua 2003) menyimpulkan bahwa pengadopsian
yang tidak melakukan kekerasan fisik pada perilaku didasari oleh pengetahuan,
anaknya. kesadaran yang positif, maka perilaku
tersebut akan bersifat langgeng (long
Dari hasil penelitian diasumsikan bahwa lasting) namun sebaliknya jika perilaku itu
pendapatan yang rendah seorang orangtua tidak didasari oleh pengetahuan dan
akan mengalami peningkatan perilaku yang kesadaran, maka perilaku tersebut bersifat
negatif dimana orangtua akan mudah marah, sementara atau tidak akan berlangsung lama
tertekan dan frustasi yang akan berujung (Notoatmodjo, 2003).
pada kekerasan verbal pada anak pra
sekolah. Kebanyakan orang tua tidak begitu
mengetahui atau mengenal informasi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada mengenai kebutuhan perkembangan anak,
hubungan antara pengetahuan responden misalnya anak belum memungkinkan untuk
dengan perilaku orang tua melakukan melakukan sesuatu tetapi karena sempitnya
kekerasan verbal pada anak usia pra- pengetahuan orang tua anak dipaksa
sekolah di Dusun Pendowoharjo Kecamatan melakukan dan ketika memang belum bisa
Sewon Kabupaten Bantul. Pengetahuan dilakukan orang tua menjadi marah,
adalah segala sesuatu yang ada dikepala membentak dan mencaci anak. Orang tua
kita. Kita dapat mengetahui sesuatu yang mempunyai harapan- harapan yang
berdasarkan pengalaman yang kita miliki. tidak realistik terhadap perilaku anak
Selain pengalaman, kita juga menjadi tahu berperan memperbesar tindakan kekerasan
karena kita diberitahu oleh orang lain. pada anak. Serta kurangnya pengetahuan
Pengetahuan juga didapatkan dari tradisi orang tua tentang pendidikan anak dan
(Nugroho, 2009). minimnya pengetahuan agama orang tua
melatarbelakangi kekerasan pada anak.
Pengetahuan (knowledge) adalah suatu
proses dengan menggunakan pancaindra Pandangan yang keliru tentang posisi anak
yang dilakukan seseorang terhadap objek dalam keluarga. Orang tua menganggap
tertentu dapat menghasilkan pengetahuan bahwa anak adalah seseorang yang tidak
dan keterampilan (Notoatmojo, 2003). tahu apa-apa. Dengan demikian pola asuh
Pengetahuan seseorang biasanya diperoleh
apapun berhak dilakukan oleh orang tua setuju dengan sikap yang di ekspresikan
(Shocib, 2000). mereka. Oleh karena itu, peneguhan yang
dilakukan orangtua sejak dini bisa
Dari hasil penelitian diasumsikan bahwa membentuk sikap yang di baca sampai besar
pengetahuan sangat berpengaruh kepada nanti, termasuk di antaranya tindak
perilaku seseorang, dimana bila seseorang kekerasan verbal yang dilakukan orangtua
mempunyai pengetahuan yang baik tidak terhadap anaknya.
menutup kemungkinan mempunyai peri-
laku yang positif yaitu orang tua tidak akan Semakin kuat satu sikap dalam pemikiran
melakukan kekerasan verbal pada anaknya, seseorang maka makin besar pengaruhnya
begitu pula sebaliknya apabila seseorang terhadap perilaku. Penelitian yang telah
mempunyai pengetahuan yang kurang tidak dilakukan menunjukkan bahwa sikap yang
menutup kemungkinan mempunyai perilaku dibentuk melalui pengalaman pribadi akan
yang negatif yaitu orang tua akan semakin kuat daripada sikap yang dibentuk
melakukan kekerasan verbal pada anaknya. berdasarkan informasi kedua atau sumber
Hasil penelitian yang dilakukan pada yang tidak langsung. Secara spesifik,
orangtua di dusun Sawahan Kelurahan sepertinya orang tidak hanya bisa
Pendowoharjo Kecamatan Sewon Bantul, menggunakan sikap sebagai dasar perilaku,
bahwa orangtua yang mempunyai penge- kita juga bisa membentuk sikap berdasarkan
tahuan baik sebagian besar mempunyai perilaku kita. Menurut Sarwono karena
perilaku yang positif, sedangkan orangtua pembentukan sikap yang paling efektif
yang mempunyai pengetahuan kurang adalah melalui pengalaman sendiri maka
sebagian besar mempunyai perilaku yang para pakar berusaha mengetahui sampai
negatif. seberapa jauh perilaku dapat mempengaruhi
terbentuknya sikap. Sebagaimana sikap
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan dapat berpengaruh pada perilaku, sebaliknya
bahwa Ada hubungan antara sikap perilaku pun juga dapat membentuk sikap
responden dengan perilaku orang tua karena perilaku adalah pengalaman yang
melakukan kekerasan verbal pada anak usia paling langsung pada diri seseorang
pra-sekolah di Dusun Pendowoharjo (Nugroho, 2009).
Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul.
Menurut Notoatmodjo (2003), sikap Dari hasil penelitian diasumsikan bahwa
merupakan reaksi atau respon yang masih hubungan antara sikap orangtua yang positif
tertutup dari seseorang terhadap suatu akan membawa perilaku orangtua untuk
stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak melakukan kekerasan verbal terhadap
tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya anaknya, begitu pula sebaliknya apabila
dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari orangtua mempunyai sikap yang negatif
perilaku yang tertutup. Sikap merupakan akan mempengaruhi perilakunya dalam
kesiapan untuk bereaksi terhadap objek melakukan kekerasan verbal pada anaknya.
dilingkungan tertentu sebagai suatu
penghayatan terhadap objek. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan
bahwa Ada hubungan antara lingkungan
Orang tua dan anggota keluarga adalah responden dengan perilaku orang tua
orang pertama yang memberikan peneguhan melakukan kekerasan verbal pada anak usia
terhadap sikap seseorang. Kita biasanya pra-sekolah. Lingkungan juga
akan cenderung untuk menerima mempengaruhi tindakan kekerasan pada
penghargaan, seperti pujian, hadiah, dan
pengauan dari anggota keluarga kalau kita
168
Jurnal Psikologi Undip Vol.14 No.1 April 2015, 81-93
Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku orang tua 91
dalam melakukan kekerasan verbal terhadap anak usia pra-sekolah
anak. Lingkungan hidup dapat mening- tersebut bisa diartikan bahwa pengalaman
katkan beban perawatan pada anak. Dan merupakan sumber pengetahuan, atau
juga munculnya masalah lingkungan yang pengalaman itu merupakan suatu cara untuk
mendadak juga turut berperan untuk memperoleh suatu kebenaran pengetahuan.
timbulnya kekerasan verbal. Televisi Oleh sebab itu pengalaman pribadi dapat
sebagai suatu media yang paling efektif pula dijadikan sebagai upaya untuk
dalam menyampaikan berbagai pesan- pesan memperoleh pengetahuan. Hal ini dilakukan
pada masyarakat luas yang merupakan dengan cara mengulang kembali
berpotensial paling tinggi untuk pengetahuan yang diperoleh dalam
mempengaruhi perilaku kekerasan orang tua memecahkan persoalan yang dihadapi pada
pada anak. masa lalu (Notoatmodjo, 2003).
Orang tua menjadi memiliki masalah berat Perilaku yang didasari oleh pengetahuan
dalam hubungannya dengan anak-anak akan lebih baik dibandingkan perilaku yang
mereka. Orang tua menjadi memiliki tidak didasari oleh pengetahuan karena
konsep-konsep yang kuat dan kaku didasari oleh kesadaran, rasa tertarik, dan
mengenai apa yang benar dan apa yang adanya pertimbangan dan sikap positif.
salah bagi anak-anak mereka. Semakin Orang tua yang sewaktu kecilnya mendapat
yakin orang tua atas kebenaran dan nilai- perlakuan salah merupakan situasi pencetus
nilai keyakinannya, semakin cenderung terjadinya kekerasan pada anak. Semua
orang tuamemaksakan kepada anaknya tindakan kepada anak akan direkam dalam
(Stuart dan Sundeen, 2006). alam bawah sdar mereka dan akan dibawa
sampai kepada masa dewasa. Anak yang
Dari hasil penelitian diasumsikan bahwa mendapat perilaku kejam dari orangtuanya
lingkungan berpengaruh besar terhadap akan menjadi agresif dan setelah menjadi
perilaku orangtua dalam melakukan orang tua akan berlaku ejam pada anaknya.
kekerasan verbal terhadap anak pra sekolah, Orangtua yang agresif akan melahirkan
hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang anak-anak yang agresif, yang pada
dilakukan di dusun Sawahan Kelurahan gilirannya akan menjadi orang dewasa yang
Pendowoharjo Kecamatan Sewon Bantul, agresif pula. Khusmas, Asniar, Hastarjo, &
yang diketahui orang tua yang mempunyai Wimbarti (1997).
lingkungan baik mempunyai perilaku yang
cenderung tidak melakukan kekerasan Dari hasil penelitian diketahui bahwa
verbal pada anaknya, tetapi sebaliknya pengalaman orangtua berpengaruh besar
orang tua yang mempunyai lingkungan terhadap perilaku orangtua dalam mela-
buruk cenderung melakukan kekerasan kukan kekerasan verbal terhadap anak pra-
verbal terhadap anaknya. Berdasarkan hasil sekolah. Orang tua yang mempunyai
penelitian didapatkan bahwa ada hubungan pengalaman baik mempunyai perilaku yang
antara lingkungan responden dengan cenderung tidak melakukan kekerasan
perilaku orang tua melakukan kekerasan verbal pada anaknya, tetapi sebaliknya
verbal pada anak usia pra-sekolah di Dusun orang tua yang mempunyai pengalaman
Pendowoharjo Kecamatan Sewon buruk cenderung melakukan kekerasan
Kabupaten Bantul. verbal terhadap anaknya.
KESIMPULAN http://www.yogyakarta.bpk.go.id/wp.
content/upload/20114/08/pergub-34- th-
Pada akhir penelitian ini, maka dapat
2013-pdf
disimpulkan sebagai berikut :
Terdapat hubungan antara umur dengan
Choirunnisa. (18 Maret 2008). Dampak
perilaku orang tua melakukan kekerasan
kekerasan verbal pada anak. Diambil dari
verbal pada anaknya (x2 = 8,330, p = 0,016).
okezone online. Diakses dari
Tidak terdapat hubungan antara pendidikan
http://m.okezone.com
dengan perilaku orang tua melakukan
kekerasan verbal pada anaknya (x2 = 2,532,
Humanika, Solihin, Lianny. (2004).
p = 0,767).
Tindakan Kekerasan pada Anak dalam
Tidak terdapat hubungan antara pendapatan
Keluarga..Jurnal Pendidikan Penabur -
dengan perilaku orang tua melakukan
No.03 / Th.III / Desember 2004
kekerasan verbal pada anaknya (x2 = 2,792,
p = 0,248).
Irwanto.(2000). Tindak kekerasan terhadap
Terdapat hubungan antara
anak. Surabaya: PT Lutftansa Mediatama.
pengetahuan dengan perilaku orang tua
melakukan kekerasan verbal pada anaknya
Khusmas, Asniar, Hastarjo, T. D, Wimbarti,
(x2 = 44,239, p = 0,000).
S. (1997). Peran Fantasi agresif tentang
Terdapat hubungan sikap dengan perilaku
perilaku agresif anak- anak. Jurnal
orang tua melakukan kekerasan verbal pada
Psikologi. No 1 , 21-29
anaknya (x2 = 18,698, p = 0,000).
Terdapat hubungan pengalaman dengan
Munawati. (2011). Hubungan Verbal Abuse
perilaku orang tua melakukan kekerasan
dengan Perkembangan Kognitif pada Anak
verbal pada anaknya. (x2 = 20,476, p =
Usia Prasekolah di RW 04 Kelurahan
0,000)
Rangkapan Jaya Baru Depok .Jakarta:
Terdapat hubungan lingkungan dengan
Skripsi. Jakarta. Fakultas Ilmu-ilmu
perilaku orang tua melakukan kekerasan
Kesehatan Program Studi Ilmu
verbal pada anaknya (x2 = 16,631, p =
Keperawatan: Universitas Pembangunan
0,000)
Nasional “Veteran”
DAFTAR PUSTAKA
Nugroho, A (2009). Faktor-faktor yang
Undang-undang Republik Indonesia mempengaruhi orang tua melakukan verbal
Nomor 23 Tahun 2002. Diambil online. abuse pada anak usia prasekolah. Skripsi.
Retrieved from (tidak diterbitkan). Semarang. Universitas
http://www.kpai.go.id?hukum/Undan g- Muhammadiyah Semarang
undang-UU-RI-no-23-tahun-2002- tentang-
perlindungan- anak/ditayangkan oleh admin Notoatmodjo, S. (2003). Metodologi
KPAI- 10-09-2013 penelitian kesehatan. Edisi revisi.
Jakarta: Rineka Cipta
Peraturan Gubernur DIY Nomor 34 Tahun
2013 tentang Rencana Aksi Daerah Notoatmojo, S. (2003). Ilmu kesehatan
Perlindungan Perempuan dan Anak Korban masyarakat: prinsip-prinsip dasar.
Kekerasan Tahun 2013-2017. Diambil Jakarta: Rineka Cipta. 2003
online. Diakses dari
170
dalam melakukan kekerasan verbal terhadap anak usia pra-sekolah
171
72 Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan, Volume 4, Nomor 1, Mei 2015, hlm. 72–77
Abstract: Psikoreligius Therapy, Violent Behavior in Patients with Schizophrenia, Decline in Violent
Behavior. Schizophrenia is a clinical syndrome or disease processes that affect, perception, emotion,
behavior, and social functioning. The main problem that often occurs in patients with schizophrenia are
violent behavior. Violent behavior is a condition where a person perform actions that can physically harm
either to yourself, others, and the environment. In the management of violent behavior are three strategies,
namely: strategy deep breath, hit the pillow, chatting with others, Spiritual and psikoreligius obat.Sedangkan
utilization is part of the spiritual strategy. The purpose of this study was to determine the effect Psikoreligius
to decrease violent behavior in patients with schizophrenia. Research Methods. The research is a Quasi-
experimental, research design using One Group Pre and Post Test Design. Sampling using non-probability
sampling technique with purposive sampling. Analysis of the data used is paired t test.
Keywords: psikoreligius therapy, violent behavior in patients with schizophrenia, decline in violent behavior
Abstrak: Terapi Psikoreligius, Perilaku Kekerasan pada Pasien Schizofrenia, Penurunan Perilaku
Kekerasan. Schizofrenia merupakan suatu syndrome klinis atau proses penyakit yang mempengaruh,
persepsi, emosi, perilaku, dan fungsi sosial. Permasalahan utama yang sering terjadi pada pasien Schizofrenia
adalah perilaku kekerasan. Perilaku kekerasan adalah keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang
dapat membahayakan secara fisik baik kepada diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan. Dalam manajemen
perilaku kekerasan terdapat 3 strategi yaitu: strategi nafas dalam, pukul bantal, bercakap-cakap dengan orang
lain, spiritual dan pemanfaatan obat. Sedangkan psikoreligius merupakan bagian dari strategi spiri- tual.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh Psikoreligius terhadap penurunan perilaku
kekerasan pada pasien Schizofrenia. Metode Penelitian. Jenis penelitian ini adalah Quasi eksperimen, desain
penelitian menggunakan One Group Pre and Post test Design. Pengambilan sampel dengan meng- gunakan
teknik non probability sampling dengan cara purposive sampling. Analisa data yang digunakan adalah uji
paired t test.
Kata Kunci: terapi psikoreligius, perilaku kekerasan pada pasien schizofrenia, penurunan perilaku kekerasan
Untuk mendapatkan kesehatan mental yang prima, Nurjanah (2004). Selanjutnya kondisi ini dapat me-
tidaklah mungkin terjadi begitu saja. Selain menye- nyebabkan timbulnya gangguan jiwa dalam tingkat
diakan lingkungan yang baik untuk pengembangan ringan maupun berat yang memerlukan penanganan
potensi, dari individu sendiri dituntut untuk di rumah sakit baik di rumah sakit jiwa atau di unit
melakukan berbagai usaha menggunakan berbagai perawatan jiwa di rumah sakit umum, salah
kesempatan yang ada untuk mengembangkan satunya adalah penderita schizophrenia (Nurjanah,
dirinya. 2004).
Kondisi kritis ini membawa dampak terhadap Schizofrenia merupakan suatu sindrome klinis atau
peningkatan kualitas maupun kuantitas penyakit proses penyakit yang mempengaruhi kognisi,
mental-emosional manusia Hidayati (2000) dalam persepsi, emosi, perilaku, dan fungsi sosial, tetapi
72
172
schizofrenia mempengaruhi setiap individu dengan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang
cara yang berbeda. Derajat gangguan pada fase lain, sering disebut juga gaduh gelisah atau amuk
akut atau fase psikotik dan fase kronis atau fase dimana seseorang marah berespon terhadap suatu
jangka panjang sangat bervariasi diantara individu stressor dengan gerakan motorik yang tidak terkon-
(Videbeck, 2008). trol (Stuart dan Laraia, 2005), sedangkan kema-
Menurut Isaac (2004), 1% populasi penduduk rahan adalah perasaan jengkel yang muncul sebagai
dunia mengalami schizofrenia dalam hidupnya, 95% respon terhadap kecemasan yang dirasakan sebagai
penderita schizofrenia mengidap penyakit ini seumur ancaman (Keliat, 1996).
hidup, penderita schizofrenia menempati 25% tem- Penelitian psikiatrik membuktikan bahwa terda- pat
pat tidur rawat inap rumah sakit. Kurang lebih hubungan yang sangat signifikan antara komit- men
33%– 50% tunawisma di Amerika serikat agama dan kesehatan. Orang yang sangat reli- gius
menderita Schizofrenia. Lebih dari 50% penderita dan taat menjalankan ajaran agamanya relatif lebih
schizofrenia bermasalah dengan alkohol atau obat- sehat dan atau mampu mengatasi penderitaan
obatan yang mungkin berusaha mengatasi sendiri penyakitnya sehingga proses penyembuhan penyakit
gejala-gejala stressnya. Di seluruh Asia, lebih cepat (Zainul Z, 2007). Saat ini perkembangan
diperkirakan 2–10 dari setiap 1000 penduduk terapi di dunia kesehatan sudah berkembang ke arah
mengalami schizofrenia, dan 10% diantaranya perlu pendekatan keagamaan (psikoreligius). Dari berba-
diobati dan dirawat intensif karena telah sampai gai penelitian yang telah dilakukan ternyata tingkat
pada taraf yang mengkhawatir- kan. keimanan seseorang erat hubungannya dengan ke-
Prevalensi penderita schizofrenia di Indonesia kebalan dan daya tahan dalam menghadapi
adalah 0,3–1%. Apabila penduduk Indonesia sekitar berbagai problem kehidupan yang merupakan
200 juta jiwa, maka diperkirakan sekitar 2 juta jiwa stresor psiko- sosial.
menderita schizofrenia. Schizofrenia adalah gang- Pada tahun 1946, WHO mendefinisikan kese- hatan
guan mental yang sangat luas dialami di Indonesia, sebagai keadaan lengkap dari kesejahteraan fisik,
dimana sekitar 99% Rumah Sakit Jiwa di Indonesia mental, sosial dan bukan semata-mata katiada- an
adalah penderita schizofrenia (Sosrosumihardjo, penyakit atau kesakitan. Definisi kesehatan ini
2007). merupakan pemicu dan pemacu penelitian dan prak-
Permasalahan utama yang sering terjadi pada tik di bidang psikoreligi kesehatan. Psikoreligi kese-
pasien Schizofrenia adalah perilaku kekerasan. Hal hatan mulai berkembang pesat sejak saat itu, jika
ini sesuai dengan diagnosa keperawatan NANDA dikaitkan dengan faktor-faktor psikologis yang mem-
yang biasa ditegakkan berdasarkan pengkajian pengaruhi kesehatan seseorang yang bertujuan
gejala psikotik atau tanda positif. Kondisi ini harus untuk memperoleh kesehatan dalam arti yang sesuai
segera ditangani karena perilaku kekerasan yang dengan pengertian WHO di atas (Hasan, 2008).
terjadi akan membahayakan diri pasien, orang lain, Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada
dan lingkungan. Hal ini yang menjadi alasan utama tanggal 4 Februari 2014, dengan melihat catatan
pasien Schizofrenia dibawa ke rumah sakit. medik Rumah Sakit Jiwa daerah Surakarta, jumlah
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan di mana pasien rawat inap adalah sebanyak 116 pasien, dari
seseorang melakukan tindakan yang dapat jumlah tersebut 90 pasien (77,5%) dirawat dengan
membahayakan secara fisik baik terhadap diri sen- diagnosa Schizofrenia. Dari 90 pasien schizofrenia
diri, orang lain, maupun lingkungan. Hal tersebut yang masuk rawat inap dengan riwayat perilaku
dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal kekerasan adalah sebanyak 98,8% atau 89 pasien
atau marah yang tidak konstruktif (Stuart dan (sumber: Instalasi Rekam Medis RSJD Surakart,
Sundeen, 2006). 2011). Rumah Sakit Jiwa daerah Surakarta belum
Perilaku kekerasan dianggap sebagai suatu akibat mempunyai Standar Asuhan Keperawatan (SAP)
yang ekstrim dari rasa marah atau ketakutan yang tentang terai psikoreligius, tetapi terapi ini sudah
mal adaptif (panik). Perilaku agresif dan peri- laku dilaksanakan, hanya pelaksanaannya belum optimal.
kekerasan itu sendiri sering dipandang sebagai Dengan demikian dampak dari psikoreligi terhadap
suatu dimana agresif verbal di suatu sisi dan penurunan perilaku kekerasan belum terlihat secara
perilaku kekerasan (violence) di sisi yang lain. nyata. Berdasarkan latar belakang diatas penulis
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan di mana tertarik untuk meneliti tentang Pengaruh penggunaan
seseorang melakukan tindakan yang dapat psikoreligius terhadap penurunan perilaku kekerasan
membahayakan
73
pada pasien Skizofrenia di UGD dan ruang rawat ada perbedaan respon perilaku setelah dilakukan
Intensif di RSJD Surakarta. intervensi antara kelompok perlakuan dengan ke-
lompok kontrol berarti pemberian psikoreligi berpe-
METODE PENELITIAN ngaruh terhadap penurunan respon perilaku. Seperti
Jenis penelitian ini adalah Quasi eksperimen dengan yang disajikan dalam tabel 2 berikut ini:
design penelitian menggunakan Pre and Post test
Control Group Design. Pengambilan sampel Tabel 2. Perbandingan Rerata Nilai Respon Perilaku
pada Pretest dan Posttest dalam Kelompok Perlakuan
dengan menggunakan teknik non probability
dan Kelompok Kontrol pada Pasien Skizofrennia di
sampling dengan cara purposive sampling untuk RSJD Surakarta
mencari pengaruh pemberian psikoreligi terhadap Kelompok
penurunan perilaku kekerasan pada pasien skizofrenia Variabel Nilai p
Perlakuan Kontrol
di RSJD Surakarta. Analisa dengan uji t test untuk Pretest 3,95 3 ,9 0,901
membedakan nilai pretest - postest antara kelompok Posttest 0,15 2 ,55 0,000
perlakuan dan kelompok kontrol.
Sedangkan penurunan respon perilaku antara
HASIL PENELITIAN pretest dan postest pada kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol menunjukan adanya penurunan
Responden penelitian ini adalah pasien
yang lebih signifikan pada kelompok perlakuan.
Skizofrennia yang dirawat di RSJD Surakarta
Seperti yang terlihat pada tabel 3 berikut ini:
tahun 2014. Jumlah responden dalam penelitian ini
sebanyak 40 responden, dengan pembagian 20 res- Tabel 3. Perbandingan Penurunan Respon Perilaku
ponden menjadi kelompok perlakuan, dimana pada Pretest dan Postest Kelompok Perlakuan dan
responden diberikan terapi psikoreligi, sedangkan Kelompok Kontrol pada Pasien Skizofrennia di RSJD
20 responden menjadi kelompok kontrol yang tidak Surakarta
diberikan terapi psikoreligi. Rerata Nilai Respon Perilaku Pretest
Kelompok PostestNilai p
Kondisi awal rerata respon perilaku adalah 3,95.
Perlakuan 3,95 0,15 0,000
Rerata nilai respon verbal adalah 3,35. Rerata nilai Kontrol 3,90 2,55 0,01
respon emosi adalah 4,15 dan rerata nilai respon
fisik adalah 2,42. Hasil uji t test nilai rerata respon verbal antara
Dari hasil analisis statistik untuk pretest, dapat pretest dan post test dalam kelompok perlakuan
diketahui bahwa respon perilaku, respon verbal, dan kelompok kontrol menunjukan ada perbedaan
respon emosi, dan respon fisik antara kelompok yang bermakna (p < 0,05). Keadan ini menunjukan
perlakuan dan kelompok kontrol menunjukan bahwa bahwa ada perbedaan respon verbal setelah
tidak ada perbedaan yang bermakna ( p > 0,05 ), dilakukan inter- vensi antara kelompok perlakuan
sehingga dapat dikatakan bahwa antara kedua dengan kelompok kontrol. Seperti yang disajikan
kelompok homogen . Seperti dalam tabel berikut ini dalam tabel 4 berikut ini:
1:
Tabel 1.Rerata Nilai Respon Responden menurut Tabel 4. Perbandingan Rerata Nilai Respon Perilaku
Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol pada pada Pretest dan Posttest dalam Kelompok Perlakuan
Pasien Skizofrennia di RSJD Surakarta dan Kelompok Control pada Pasien Skizofrennia di
RSJD Surakarta
Variabel Rerata Kelompok Nilai Perlakuan
Nilai
Kelompok Nilai Perlakuan
p Variabel
Kontrol Kontrol p
Respon perilaku 3,925 3,95 3,9 0,901 Pretest 3,4 3,3 0,714
Respon verbal 3,35 3,4 3,3 0,714 Post test 0,9 2,25 0,001
Respon eEmosi 4,15 4,3 4 0,138
Sedangkan penurunan respon perilaku antara
Respon fisik 2,425 2,45 2,4 0,711pretest dan postest pada kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol menunjukan adanya penurunan
Hasil uji t test nilai rerata respon perilaku antara yang lebih signifikan pada kelompok perlakuan.
pretest dan post test dalam kelompok perlakuan Seperti yang terlihat pada tabel 5 berikut ini:
dan kelompok kontrol menunjukkan ada yang ber-
makna (p < 0,05). Keadan ini menunjukan bahwa 74
Tabel 5. Perbandingan Penurunan Respon Verbal Pre- Tabel 8. Perbandingan Rerata Nilai Respon Fisik pada
test dan Posttest Kelompok Perlakuan dan Kelompok Pretest dan Posttest dalam Kelompok Perlakuan dan
Kontrol pada Pasien Skizofrennia di RSJD Surakarta Kelompok Kontrol pada Pasien Skizofrennia di RSJD
Surakarta
Rerata Nilai Respon Perilaku
Pretest Postest Nilai Kelompo k
Kelompok Variabel Perlakuan Kontrol Nilai p
p
Perlakuan 3,4 0,9 0,000 Pretest Posttest 2,45 2,4 0,7 11
Kontrol 3,3 2,25 0,037 0,15 1,2 0,0 00
75
Penelitian tentang pengaruh psikoreligi terhadap untuk tujuan mengubah keimanan seseorang terha-
penurunan perilaku kekerasan di RSJD Surakarta dap agama yang sudah diyakininya, melainkan untuk
2014. Hasil penelitian dan interprestasinya adalah membangkitkan kekuatan spiritual dalam mengha-
sebagai berikut: dapi penyakit merupakan terapi psikoreligius (Yosep,
2009). Dengan terapi psikoreligi akan melakukan
Pengaruh Psikoreligi terhadap Penurunan kontrol terhadap emosi yang mempengaruhi proses
Perilaku Kekerasan fikir serta ketegangan otot (Stuart& Laraia, 2005)
Respon perilaku kekerasan yang dilakukan Hal ini dibuktikan oleh hasil penelitian, bahwa
observasi meliputi respon perilaku, respon fisik, setelah diberi terapi psikoreligi ada perubahan
respon emosi dan respon verbal. Menurut tabel 4. 9 signifikan dibandingkan pasien yang tidak diberi
bahwa terapi psikoreligi berpengaruh menurunkan terapi psiko- religi, hal ini bisa dilihat pada table 3,
perilaku kekerasan pada pasien Skizofrenia di RSJD 5, 7 dan 9 di atas. Dengan demikian terapi
Surakarta. Penurunan ini meliputi penurunan pada Psikoreligi mempunyai pengaruh yang signifikan
respon fisik. Didalam ajaran agama manapun bahwa terhadap penurunan perila- ku kekerasan pada
sesorang yang akan melakukan Doa, Dzikir dan pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Surakarta
mengikuti ceramah agama disunahkan untuk men- (Videbecck, 2008).
sucikan diri, khusus dalam ajaran islam (berwudhlu).
Menurut H.R Buchori Muslim bahwa air wudhlu KESIMPULAN DAN SARAN
dapat merangsang syaraf yang ada pada tubuh kita. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Terapi
Dengan demikian aliran darah yang ada pada tubuh Psikoreligius berpengaruh terhadap penurunan
kita menjadi lancar, sehingga tubuh kita akan perilaku kekerasan pada pasien Skizofrenia di RSJD
menjadi rilek dan akan menurunkan ketegangan. Surakarta, Ada perbedaan penurunan perilaku keke-
Dimana kalau kondisi tegang tidak segera rasan pada respon perilaku pada pasien yang diberi
dinetralisir akan berdampak kemarahan. terapi psikoreligius dan yang tidak diberi terapi
Kemarahan merupakan salah satu tanda dari psiko- religius, Ada perbedaan penurunan perilaku
perilaku kekerasan. Hal ini juga didukung oleh keke- rasan pada respon verbal pada pasien yang
pendapat Ilham 2008, bahwa terapi psikoreligi yang diberi terapi psikoreligi dan yang tidak diberi terapi
meliputi doa-doa, dzikir, cera- mah keagamaan, dan psiko- religius, Ada perbedaan penurunan perilaku
lain-lain dapat meningkatkan kekebalan dan daya keke- rasan pada respon emosi pada pasien yang
tahan dalam menghadapi berba- gai problem diberi terapi psikoreligius dan yang tidak diberi
kehidupan yang merupakan stressor psikososial terapi psikoreligius, Ada perbedaan penurunan
guna peningkatan integrasi kesehatan jiwa. Dari perilaku kekerasan pada respon fisik pada pasien
sudut ilmu kedokteran jiwa atau kepera- watan jiwa yang diberi terapi psikoreligius dan yang tidak diberi
atau kesehatan jiwa, doa dan dzikir (psikoreligius terapi psiko- religius. Saran hasil penelitian adalah
terapi) merupakan terapi psikiatrik setingkat lebih hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan
tinggi daripada psikoterapi biasa (Ilham, 2008) masukan bidang perawatan agar lebih efektif
Dengan demikian orang yang mengikuti terapi membimbing/melaku- kan terapi psikoreligius
psikoreligi akan membatasi geraknya karena dia ber- dalam merawat pasien schizofrenia dengan
fokus pada kegiatanya sehingga dapat mengurangi perilaku kekerasan.
agresif fisik klien (Videbecck, 2008). Respon fisik
akan mempengaruhi respon emosi (Boyd & Nihart, DAFTAR RUJUKAN
1998). Respon fisik merupakan respon yang meng-
ikuti perubahan kognitif pada klien perilaku keke- Isaac, A. 2006. Panduan Belajar: Keperawatan
Kesehatan Jiwa dan Psikiatrik, E/3. Alih bahasa: Dean
rasan (Boyd & Nihart, 1998). Berdasarkan model
Praty Rahayuningsih, Editor edisi Bahasa indonesia :
adaptasi Stuart menjelaskan bahwa penilaian sese- Sari Kurnianingsih, S.Kp, Copy Edi- tor: Lia astika Sari.
orang terhadap stressor memberikan makna dan Jakarta: EGC.
dampak dari suartu situasi yang menekan dan ditun- Keliat, B.A., dan Akemat. 1996. Proses Keperawatan
jukkan dengan respon kognitif, afektif, respon fisik, Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.
respon perilaku dan social (Stuart & laraia, 2005). Marlindawani, J. 2009. Penggunaan Restrain pada
Pendekatan keagamaan dalam praktek kedokteran Pasien Amuk/Perilaku Kekerasan Ditinjau dari Sudut
dan keperawatan dalam dunia kesehatan, bukan Pandang Etik. http://www.library. upnvj.
ac.id/pdf/2s1keperawatan, diunduh tanggal 26 Juni 20176
disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan
antara pendidikan seks terhadap perilaku kekerasan
seksual.
ABSTRACT
Pengaruh Pendidikan Seksual
dalam PembelajaranIPA
Terhadap Perilaku Kekerasan This study aims to determine whether there is an
influence of sex education in learning to the sexual
Seksual violence behavior of students in 6th grade at SDN Utan
Kayu Selatan 23 Pagi, East Jakarta. This research
includes quantitative research. The population of this
research is 30 students of 6th grade. The sample of this
study were taken using a saturated sampling technique.
1,2,Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA Data collected by questionnaire. The data were
analyzed using product moment correlation test and
significance test. Through product moment correlation
test obtained r value of 0.29. It can be stated that the
ARTICLEINFO relationship between sex education and the sexual
violence behavior of students has a positive but low
Article history: relation. The coefficient of determination obtained from
Article history: the calculation is r2 = 29%. This shows that sex
Received 15 February 2018 Received in revised form education variable contributes 29% to sexual violence
6 March 2018 behavior in 6th grade students of SDN Utan Kayu
Accepted 19 April 2018 Available online 29 May 2018 Selatan 23 East Jakarta, while 71% is contribution from
other factors such as home environment. From the
Kata Kunci: calculation of significance test coefficient obtained
Pendidikan seksual, perilaku kekerasan seksual, tcount> ttable (1.759 > 1.697), it can be concluded that
sekolah dasar there is a significant influence between sex education
on sexual violence behavior..
Keywords:
Sex education, sexual violence behavior, elementary Copyright © Universitas Pendidikan Ganesha. All
school rights reserved.
ABSTRAK
ABSTRAK
Perilaku kekerasan pada penderita Skizofrenia merupakan salah satu proses marah yang diekspresikan
dengan melakukan ancaman, mencederai orang lain, dan merusak lingkungan. Pengalaman keluarga
mengenai perilaku kekerasan digunakan sebagai arah dalam memberikan bimbingan dalam
meningkatkan kemampuan keluarga dalam perawatan penderita Skizofrenia dirumah. Penelitian
bertujuan menguraikan pengalaman keluarga dalam merawat penderita skizofrenia dengan masalah
utama perilaku kekerasan. Desain penelitian dengan metode penelitian kualitatif melalui pendekatan
fenomenologi deskriptif. Partisipan penelitian ini adalah keluarga yang memiliki anggota keluarga
yang menderita perilaku kekerasan yang sedang dirawat di RSJ Jakarta, sejumlah 6 orang. Data
didapatkan dengan teknik wawancara mendalam dilengkapi catatan lapangan. Wawancara direkam
selanjutnya dibuat transkrip wawancara. Selanjutnya hasil wawancara dianalisa menggunakan teknik
analisa data Collaizi. Hasil penelitian menemukan lima tema yang berhubungan dengan pengalaman
keluarga yang merawat penderita perilaku kekerasan yakni : pengetahuan keluarga mengenai penyakit,
upaya pengobatan, fungsi keluarga, dukungan sosial, dan penerimaan keluarga mengenai kesiapan
merawat. Hasil penelitian memberikan informasi paparan tentang kondisi yang dialami keluarga
tentang pengalaman keluarga dalam merawat penderita Skizofrenia, khususnya dengan masalah utama
perilaku kekerasan. Paparan tersebut dapat dipergunakan sebagai landasan dalam merancang
intervensi keperawatan pada keluarga yang sesuai. Diharapkan adanya peningkatan program
pelayanan kesehatan jiwa keluarga dan masyarakat untuk meningkatkan kemampuan keluarga dalam
memaksimalkan fungsi perawatan dirumah.
ABSTRACT
Violent behavior in schizophrenics is one of the angry processes expressed by carrying out threats,
injuring others, and damaging the environment. Family experience regarding violent behavior is used
as a direction in providing guidance in improving the family's ability to care for schizophrenics at
home. The study aims to describe family experience in treating schizophrenics with the main problem
of violent behavior. Research design with qualitative research methods through descriptive
phenomenological approach. The participants of this study were families who had family members
who were suffering from violent behavior who were being treated in Jakarta Hospital, a total of 6
people. Data obtained by in-depth interview techniques equipped with field notes. Recorded
interviews are then made interview transcripts. Furthermore, the results of the interviews were
analyzed using Collaizi data analysis techniques. The results of the study found five themes related to
family experiences that care for sufferers of violent behavior, namely: family knowledge about illness,
treatment efforts, family functions, social support, and family acceptance regarding caring readiness.
The results of the study provide exposure information about conditions experienced by families about
family experiences in treating schizophrenia sufferers, especially with the main problem of violent
behavior. The exposure can be used as a basis for designing nursing interventions in the appropriate
family. It is expected that there will be an increase in family and community mental health service
programs to improve the ability of families to maximize the function of home care.
106
PENDAHULUAN
Perilaku kekerasan-salah satu gejala positif Jakarta pada tahun 2016. Partisipan penelitian
Skizofrenia, merupakan masalah utama ini berjumlah 6 orang yang merupakan
penyebab penderita dibawa ke RS untuk keluarga yang memiliki hubungan darah yang
mendapat penanganan medis, baik pada onset merawat pasien secara penuh (caregiver) yang
pertama maupun pada kondisi awitan akibat memiliki anggota keluarga penderita
kekambuhan. Gejala ini berpotensi besar untuk Skizofrenia dengan perilaku kekerasan yang
melukai diri sendiri, lingkungan dan dan orang sedang dirawat. Partisipan dipilih berdasarkan
lain. Individu dengan skizofrenia biasanya kriteria yang ada dengan cara Purposive
memiliki masalah emosi. Emosi yang Sampling. Alat pengumpulan data pada
dihasilkan adalah dari interaksi aktivitas saraf penelitian ini yaitu peneliti sendiri dengan
antara hipotalamus, struktur limbik (amygdala menggunakan pedoman wawancara semi –
dan hyppocampus), dan pusat – pusat korteks structured interviews yang menyiapkan
yang lebih tinggi. Kerusakan atau tidak pertanyaan-pertanyaan penuntun untuk
berfungsi dengan baiknya amygdala dijadikan panduan utama ketika melakukan
tersebutlah yang dapat mengakibatkan wawancara serta dan menggunakan catatan
terjadinya perilaku kekerasan (Stuart, 2016). lapangan. Peneliti mewawancarai partisipan
Selain itu peningkatan aktivitas dopamin juga rata-rata selama 30 menit dan didapatkan telah
berkaitan dengan peningkatan perilaku didapatkan saturasi data pada ke-6 partisipan.
kekerasan. Semakin tingginya kejadian Penelitian dimulai dengan menjelaskan tujuan
skizofrenia kemungkinan akan meningkatkan penelitian lalu membuat kontrak terlebih
kejadian perilaku kekerasan. dahulu dengan calon partisipan yang setuju.
DSM V mengkategorikan bahwa perilaku Data dianalisis menggunakan model Collaizi
kekerasan ini merupakan salah satu tindakan dengan menggunakan aplikasi NVivo untuk
gawat darurat psikiatri yang harus segera membantu proses analisis data dengan cara
ditangani. Keluarga, merupakan kelompok berikut : Peneliti membaca seluruh deskripsi
orang terdekat yang terkena dampak saat fenomena yang telah disampaikan oleh semua
pasien perilaku kekerasan sedang berlangsung. partisipan, membaca berulang kali transkrip
Keluarga memiliki peran penting dalam hasil wawancara dan mengutip pernyataan
pencegahan tindak kekerasan penderita yang dinilai bermakna. Selanjutnya memilih
selanjutnya dan juga peran dalam perawatan pernyataan dalam tranksrip sesuai dengan
pasien. Semakin tinggi pengetahuan keluarga tujuan khusus penelitian. Langkah selanjutnya
tentang kesehatan jiwa akan menilai menentukan kata kunci untuk membentuk
kesanggupan atau kesiapan keluarga dalam kategori dan dirumuskan ke dalam kelompok
melaksanakan perawatan kesehatan penderita sub tema dan tema. Peneliti merangkai tema
perilaku kekerasan. Keluarga merupakan orang yang dirumuskan dari proses analisis data.
yang sangat dekat dengan penderita sehingga Member check/validitas dilakukan dengan
dianggap paling banyak memberikan pengaruh menunjukkan kembali transkrip dan deskripsi
pada kehidupan individu penderita. Sesuai tema yang telah disusun kepada para partisipan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Stover, untuk memastikan bahwa transkrip sesuai
Dahrianis, & Sri (2014) mengatakan bahwa dengan pengalaman keluarga (Polit & Beck,
adanya hubungan antara pengetahuan dan 2012). Peneliti lembali menggabungkan data
kesiapan keluarga dalam merawat penderita hasil validasi ke dalam deskripsi hasil analisis.
perilaku kekerasan di wilayah kerja Peskesmas
Tamanlarea Makasar. Penelitian ini bertujuan Wawancara dilakukan di tempat yang
untuk menguraikan pengalaman keluarga disediakan di RSJ saat keluarga sedang datang
dalam merawat penderita skizofrenia dengan membesuk. Wawancara direkam atas seizin
masalah utama perilaku kekerasan berdasarkan dan sepengetahuan partisipan dengan
di RSJ. Dr. Soeharto Heerdjan. menggunakan alat perekam suara, yakni tape
recorder dan aplikasi perekam. Tidak ada
METODE keluarga yang menolak menjadi informan.
Penelitian ini menggunakan desain penelitian Peneliti menerapkan etika penelitian yakni
metode penelitian kualitatif melalui kemanfaatan, menghargai martabat manusia,
pendekatan fenomenologi deskriptif. Penelitian keadilan, kerahasiaan, tanpa nama.
ini dilakukan di RSJ Dr. Soeharto Heerdjan-
107
HASIL Tema 2 : Upaya Pengobatan
Latar Belakang Partisipan. Usia partisipan Peneliti menemukan 2 (dua) upaya pengobatan
berada pada rentang 55-65 tahun, sedangkan yang sudah dilakukan keluarga dalam
usia anggota keluarga yang sedang dirawat mencapai kesembuhan. Keluarga sudah
berkisar antara 21-37 tahun. Anggota keluarga berupaya untuk mencoba pengobatan alternatif
yang dirawat sudah pernah dirawat dan pelayanan kesehatan. Semua partisipan
sebelumnya di RSJ, 1 orang baru dirawat 1 menjelaskan bahwa mereka telah mencoba
kali, sementara yang lain berkisar 3-10 kali. pergi ke dukun untuk mendapatkan
Hanya 1 orang partisipan yang berperan kesembuhan. “.....hmm dibawalah kami ke
sebagai ayah sedang 5 partisipan lainnya dukun mana itu di Karawang. ” (K1)
merupakan ibu dari pasien. Peneliti mendapat “Saya sebagai ayah saya sampai 28 orang-
lima tema untuk memaparkan berbagai orang pintar saya sudah kunjungi, benar mbak
berbagai pengalaman keluarga dalam merawat serius. Karena anak saya ini dari pondok
penderita skizofrenia dengan masalah utama pesantren.” (K2)
perilaku kekerasan. Tema-tema tersebut “Bawa ke orang pintar, kemarin di Bogor ada
dihasilkan berdasarkan identifikasi hasil teman yang kasihan sama saya” (K6)
wawancara serta catatan lapangan yang
dilakukan saat wawancara. Setelah keluarga merasa tidak mendapatkan
kesembuhan dari pelayanan alternatif, barulah
Tema 1: Pengetahuan Keluarga mengenai keluarga menempuh cara lain dalam
Penyakit pengobatan yaitu memanfaatkan pelayanan
Peneliti mendapatkan dua sub tema yaitu tanda kesehatan. Keluarga mengambil keputusan
dan gejala sesudah terjadinya perilaku untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan.
kekerasan atau selama berlangsungnya “Sudah kita tau didekat sini diteleponlah,
perilaku kekerasan dan tanda dan gejalanya kebetulan dekat rumah, dia lah yang terus
sebelum terjadinya perilaku kekerasan atau menjemput ini, kita telepon “jemput pak”
perubahan perilaku yang disadari oleh dijemput, bayar berapa aja yang penting
keluarga.Tanda dan gejala sesudah terjadinya dibawa, (K1)
perilaku kekerasan atau selama “Saya berusaha gimana caranya biar anak
berlangsungnya perilaku kekerasan saya sembuh, jadi ini di luar kemampuan
diungkapkan oleh partisipan sebagai berikut: saya, karena saya waktu itu mencari kemana –
“Terakhir- terakhir kita pelajari yah kalo mana,” (K2) –K2 mengatakan dengan
wajahnya itu udah mulai sangar diam aja gitu menangis
kan, tangannya suka gini aja enggak mengepal
itu tiba- tiba dia” (K1) - sambil mengepalkan Tema 3 : Pelaksanaan Fungsi Keluarga
tangan. “Yah gitu kalo dia mau marah tuh Seluruh partisipan berusaha memenuhi
matanya merah, udah ketauan. Pandangannya melaksanakan fungsi sebagai keluarga dalam
laen, kalo dia mau kumat” (K4) memenuhi kebutuhan keluarga dalam bidang
kesehatan. Menurut hasil wawancara, partispan
Keluarga juga menyebutkan tanda dan gejala sudah menjalankan fungsi afektif dan fungsi
sebelum terjadinya perilaku kekerasan dilihat perawatan keluarga seperti berikut ini:
dari perubahan perilaku pada pasien perilaku “Jadi pokoknya dia kalo merasa tersinggung
kekerasan, hal ini diungkapkan oleh partisipan apalagi dicela apalagi dikasarin, nah udah.
sebagai berikut : “dia kan rajin ibadah, “ayok Jadi intinya dia dalam posisi standar, jangan
ibadah ayok mak” ambil Alkitab dikasih satu sampai dicela, dihina. ” (K2)
saya satu dia, trus pertama berdoa udah
berdoa mari kita mulai ibadah kita udah gitu Keluarga juga mempertahankan suasana rumah
nyanyi udah nyanyi saya disuruh bikin doa” yang menyenangkan dan menguntungkan
(K1)“awalnya P itu anaknya kalem, untuk menjaga perkembangan kesehatan
alim , kenapa saya juga bingung gitu penderita perilaku kekerasan dengan
loh memberikan motivasi kepada anggota keluarga
mbak kan gak biasanya anak saya kan biasa yang menderita perilaku kekerasan. Fungsi ini
nya kalem alim, rajin ibadah..taat ibadah, masuk ke dalam fungsi afektif keluarga.
tiba “Kasih nasehat dikasih duit sama abang-
– tiba error luar biasa” (K2) abangnya, semua, mpoknya. “udah bae
108
jangan
109
main sama temen-temen R lagi yah, he eh yah, kesembuhan, yang ketiga adanya kita tetap
disini diobatin yah, disuntik yah, makannya tabah dan mencari solusi ikhtiar” (K2)
enak, ya? Besok emak dateng yah, emak “Minta sama yang kuasa ini jalannya dari
bawain kue yah, udah yah. Udah disini yah, Dia kan, kan Dia semua yang ngatur kita kan
pokoknya emak nanti dateng yah” (K3) – K3 minta sama yang kuasa.” (K6)
mengatakan dengan suara terbata-bata hampir
menangis. Tema 5 : Penerimaan Keluarga Mengenai
Kesiapan
Tema 4 : Dukungan Sosial Kesiapan keluarga dalam merawat anggota
Partisipan dalam penelitian ini mendapat peran keluarga dengan perilaku kekerasan
masyarakat (dukungan lingkungan) sekitar dinyatakan oleh seluruh partisipan bahwa
yang menciptakan lingkungan yang penuh mereka memiliki kesiapan dalam merawat
dengan kekeluargaan dan adanya peran perilaku kekerasan di rumah jika dokter telah
masyarakat yang merangkul keluarga dalam mengizinkan anggota keluarga pulang.
merawat penderita perilaku kekerasan sebagai “Jadi begini mbak memang tentunya kita
berikut: apapun harus siap. Yang namanya anak
“Pada kasihan lingkungan saya mah sama apapun itu harus kita rawat. Itu kan amanah”
dia, pada kasih nasihat dia “R lo jangan galak (K2)
sama emak lu, emak lu cape cuci gosok, buat Dalam menghadapi persoalan dan kesulitan
jajan elu kok lu galak sama emak lu” (K3). dalam merawat penderita perilaku kekerasan,
“baik sih, udah tau semua anak saya begini. pada umumnya keluarga akan berserah pada
Udah ngerti semua, kalo dia marah – marah Sang Pencipta. Hubungan dengan Sang
sudah pada tau pada diem.” (K4) Pencipta ini akan memberikan kekuatan pada
keluarga dan kepasrahan kepada Tuhan.
Dukungan informasi sangat penting bagi “Tuhan itu akhirnya menguatkan iman kita
keluarga dalam mempersiapkan keluarga untuk juga, lama-lama kita jadi sabar, sabar berdoa
merawat dan membantu keluarga. Dukungan doa kita didengar Tuhan” (K1)
informasi diungkapkan partisipan sebagai
berikut: Pada penelitian ini ditemukan bahwa partisipan
“Jadi kan saya punya banyak teman, saya mengalami kelelahan fisik selama merawat
punya banyak sodara, jadi karena apa karena anggota keluarga yang menderita perilaku
saya juga minta ini, kan saya ingin gimana sih kekerasan. Hal ini terlihat dari hasil
supaya anak saya bisa sembuh.” (K2) wawancara, sebagai berikut: “..Ini bocahnya
“Tetangga saya juga bilang “bawa aja ke jalan terus, waduh jujur saya suka nyari, kalo
Grogol situ kan pusatnya” tapi bagusnya malam orang tua was-was sampai jam 4 pagi
memang disini, cocok.” (K4) di pinggir jalan, saya tungguin kemana anak
saya kan HP dia gak pegang,” (K2)
Dukungan spiritual dengan kepercayaan
terhadap Tuhan dan berdoa diidentifikasikan
PEMBAHASAN
oleh anggota keluarga sebagai cara yang paling
Pengetahuan Keluarga mengenai Penyakit
penting bagi keluarga untuk mengatasi stresor
Partisipan mengenal beberapa tanda dan gejala
yang berkaitan dengan kesehatan.
karena partisipan mengakui bahwa mereka
“Kadang aku nyari tempat beribadah itu yah
sering memperhatikan tanda dan gejala
kharismatik Katolik kemana kalo ada yang
penderita perilaku kekerasan seperti wajah
ajak kita doa disana yok, tempat mana yang
memerah, tangan mengepal, dan mata melotot.
diberkati Tuhan nanti, dimanalah yang
Sejalan dengan penelitian Wuryaningsih,
dijawab Tuhan doaku ini gitu paling tidak
Hamid, & Helena (2013) yang mengatakan
banyak untungnya kan, lama-lama kita dengar
bahwa partisipan pada penelitian ini mengingat
firman Tuhan itu orang-orang yang percaya
dengan rinci perilaku kekerasan yang
Tuhan” (K1) – K1 mengatakan dengan
dilakukan pasien sebelumnya. Namun bukan
menangis.
berarti mutlak bahwa keluarga cukup mengerti
“Pertama saya istigfar itu agama saya, kedua
tentang kondisi yang dialami pasien. Penelitian
saya bermohon sama Alloh semoga dapat
Marimbe, Cowan, Kajawu, Muchirahondo &
pertolongan agar anak saya dapat
Lund (2016) menemukan tema kebutuhan
keluarga dalam perawatan anggota keluarga
110
dengan Skizofrenia, salah satunya adalah membawa ke pelayanan medis. Pengikut
pelatihan. Pelatihan yang dimaksud sistem kepercayaan akan kesehatan mistis
dimaksudkan agar keluarga mengetahui religius percaya bahwa daya supranatural
kondisi yang dialami pasien melalui pemberian mempengaruhi kesehatan dan penyakit (Young
informasi secara lisan atau tertulis. Pemberian & Koopsen, 2007). Pengetahuan keluarga yang
pengetahuan ini diharapkan meningkatkan terbatas tentang penyakit pasien dan keyakinan
kemampuan keluarga dalam pengasuhan tertentu membuat keluarga membawa pasien
anggota keluarga dirumah. ke pengobatan alternatif.
Peningkatan kemampuan keluarga dapat Disaat kondisi tidak kunjung membaik,
membantu keluarga dalam memperbaiki serta keluarga akhirnya berupaya mencari informasi
mempertahankan cara perawatan yang baik mengenai pelayanan kesehatan. Proses
dalam pencegahan kekambuhan pada anggota pengambilan keputusan untuk memilih
keluarga yang menderita perilaku kekerasan. sumber pengobatan dimulai dengan
Salah satu cara dalam mencegah kekambuhan menerima informasi, memproses berbagai
dengan cara minum obat teratur sesuai dosis kemungkinan dan dampaknya, kemudian
yang diberikan. Menurut penelitian Suwarsi mengambil keputusan (Supardi dan Susyanty,
(2010), ketika pasien menunjukkan tanda- 2010). Keluarga menempuh berbagai cara
tanda kekambuhan maka keluarga hanya untuk meningkatkan kesehatan mental anggota
menyuruh pasien untuk minum obat. Kepekaan keluarga yang menderita perilaku kekerasan.
mengenai tanda dan gejala tersebut dapat Keluarga mulai memanfaatkan pelayanan
membantu keluarga dalam mencegah fasilitas kesehatan.
terjadinya perilaku kekerasan dan dampak
perilaku kekerasan selanjutnya.
Pelaksanaan Fungsi Keluarga
Keluarga diharapkan dapat lebih mengerti, Keluarga dapat meningkatkan atau
mengetahui dan memahami yang pada mempertahankan suasana rumah yang
akhirnya dapat berperan secara aktif sebagai menyenangkan demi untuk menjaga
pendukung utama bagi penderita yang juga perkembangan kesehatan keluarga yang
akan meningkatkan kemampuan penyesuaian merupakan salah satu dari tugas keluarga.
dirinya serta tidak rentan lagi terhadap Penelitian Perera, Short, dan Fernbacher
pengaruh stresor psikososial (Wulansih & (2014) diperoleh data bahwa posisi sebagai
Widodo, 2008). Keluarga dapat beperan aktif seorang ibu merupakan peran yang sangat
dalam memberikan obat kepada penderita sentral dan membawa dampak yang berarti
perilaku kekerasan dengan mengenal tanda dan pada kehidupan pasien. Ungkapan para ibu
gejala dari perilaku kekerasan tersebut. yang menyatakan bahwa menjadi ibu seorang
Keluarga yang memahami tanda dan gejala penderita Skizofrenia merupakan tantangan
perilaku kekerasan dapat mengontrol obat yang pada hubungan ibu dan anak. Namun kondisi
sudah bekerja dengan baik pada penderita tersebut tidak membuat seorang ibu menyerah
perilaku kekerasan. Keluarga dapat melihat yang tetap bertahan dalam setiap perasaan
kemajuan dari obat yang diberikan dokter dan bersalah dan rasa sayang yang muncul silih
dapat mendiskusikan tentang dosis obat berganti. Sejalan dengan penelitian
dengan dokter pada saat kontrol rutin yang Wuryaningsih, Hamid, & Helena (2013)
juga merupakan salah satu cara mencegah bahwa kepedulian keluarga dilakukan dengan
kekambuhan dan membuat keluarga semakin memotivasi, menjadi pendengar yang baik,
siap dalam merawat. membuat senang, memberi kesempatan
rekreasi, memberikan tanggung jawab, dan
Upaya Pengobatan. kewajiban peran dari keluarga sebagai pemberi
Penelitian ini menemukan fakta unik pada asuhan.
keluarga dimana keluarga membawa anggota
keluarga yang sakit ke dukun (pengobatan Temuan menarik selanjutnya dari studi
alternatif). Namun, saat anggota keluarga yang Aldersey dan Whitley (2015) yang melakukan
tak kunjung mendapatkan perbaikan, maka penelitian pada penderita Skizofrenia yang
keluarga berusaha mencari cara lain untuk yang tidak sedang menjadi pasien. Diketahui
mendapatkan kesembuhan yakni dengan bahwa pasien menganggap sikap mencintai
111
dan mendukung dari keluarga menjadi menekan stressor yang dialami oleh keluarga
motivasi mereka dalam proses pemulihan. dalam merawat perilaku kekerasan karena
Namun sebaliknya, responden juga informasi yang diberikan dapat mengurangi
mengungkapkan proses penyembuhan menjadi ketakutan keluarga dan menambah
lambat saat keluarga menjadi sumber stres, pengetahuan keluarga dalam merawat.
adanya stigma dan pemaksaan untuk dirawat.
Motivasi dan semangat dari keluarga dapat Dukungan spiritual yang juga menjadi faktor
membantu perilaku kekerasan dalam kesiapan keluarga dalam merawat anggota
meningkatkan status kesehatannya dan keluarganya yang menderita perilaku
diharapkan dapat memberikan perubahan pada kekerasan untuk mengatasi stressor sebagai
perilakunya karena dapat membuat penderita sumber koping yang dihadapi oleh keluarga.
merasa dicintai, tidak dikucilkan dan Sejalan dengan penelitian Hernandez dan
diperhatikan oleh keluarganya. Dukungan Barrio (2015) yang menyatakan ada kala
moral dari keluarga, keluarga yang selalu ada keluarga merasa khawatir namun kepercayaan
membawa dampak positif dalam pemulihan. dan keyakinan spiritual membantu bertahan
dalam menghadapi menghadapi penyakit
Keluarga dapat menjalankan fungsi perawatan anggota keluarga yang dicintai. Dukungan
keluarga karena keluarga mengetahui spiritual yang dialami keluarga mencerminkan
bagaimana cara perawatan perilaku kekerasan penerimaan positif yang berarti kesiapan
di rumah. Pengetahuan keluarga didapatkan merawat kembali di rumah meskipun keluarga
dari pendidikan kesehatan atau psikoedukasi memiliki kelelahan fisik dan perasaan yang
yang diberikan oleh tim medis. Sesuai dengan kurang menyenangkan dalam merawat anggota
yang dikatakan Stuart (2016), bahwa keluarganya yang menderita perilaku
psikoedukasi dirancang terutama untuk kekerasan. Penelitian ini sejalan dengan
pendidikan dan dukungan. Sejalan dengan penelitian Gitasari & Savira (2015), bahwa
penelitian Suryaningrum dan Wardani (2013) faktor yang membuat caregiver tetap mau
yang menyatakan keluarga memiliki merawat yaitu kepasrahan pada Tuhan yang
pengetahuan yang baik karena sering diwujudkan dengan meminta pertolongan pada
mendapatkan informasi maupun pendidikan Tuhan agar mendapat kemudahan dalam
kesehatan tentang cara merawat pasien merawat anak penderita Skizofrenia.
perilaku kekerasan dari petugas kesehatan.
Penerimaan Keluarga Mengenai Kesiapan
Dukungan Sosial Merawat anggota keluarga dengan perilaku
Keluarga mendapatkan dukungan informasi, kekerasan merupakan hal yang tidak mudah
dukungan spiritual, dan dukungan lingkungan dan perjalanan yang panjang terutama bagi
untuk memenuhi kebutuhan dalam mencapai mereka yang menjadi caregiver, walaupun
tujuan. Sesuai dengan penelitian Ngadiran demikian seluruh partisipan menjelaskan
(2010) kebutuhan yang dibutuhkan keluarga bahwa mereka siap merawat kembali anggota
untuk mencapai tujuan dalam merawat keluarga dengan perilaku kekerasan jika sudah
penderita gangguan jiwa adalah dukungan dibolehkan pulang kerumah. Partisipan
keluarga, dukungan informasi, dan dukungan menerima perannya sebagai caregiver karena
lingkungan. Dukungan lingkungan sangat ada ikatan keluarga yaitu orang tua dan anak
diperlukan keluarga dalam merawat anggota menjadikan keluarga siap dalam merawat
keluarga dengan perilaku kekerasan. Perhatian anggota keluarganya kembali. Sirait (2008)
dan dukungan dari lingkungan dapat mengatakan, ikatan keluarga yang kuat
mengurangi stres keluarga dan membuat seseorang mau membantu ketika
mengembangkan strategi koping yang efektif. anggota keluarganya mengalami masalah,
karena ia tahu bahwa anggota keluarganya
Dukungan informasi juga merupakan tersebut sangat membutuhkan pertolongan.
dukungan yang penting dalam mempersiapkan
keluarga untuk merawat penderita perilaku Penelitian ini sejalan dengan penelitian
kekerasan. Pada penelitian ini, dukungan Gitasari & Savira (2015) yang mengatakan
informasi yang diterima memberikan informasi bahwa partisipan menerima perannya sebagai
mengenai pelayanan kesehatan, dan cara caregiver bagi anggota keluarga mereka
merawat. Dukungan informasi juga dapat dengan skizofrenia. Proses penerimaan yang
112
dialami oleh keluarga mengenai penyakit Saran
skizofrenia bukanlah hal yang mudah. Pada Pengetahuan kelaurga tentang cara perawatan
penelitian ini seluruh partisipan sudah dirumah seperti pengenalan tanda dan gejala
menerima anggota keluarga dengan perilaku perilaku marah dan gejala kekambuhan perlu
kekerasan dengan utuh, hal ini terlihat dari ditingkatkan melalui kegiatan edukasi keluarga
keluarga yang menerima semua sebagai yang berkelanjutan.
amanah atau ujian yang diberikan Tuhan
kepada mereka dan tetap menjalankan
DAFTAR PUSTAKA
perawatan untuk memperoleh kesembuhan.
Aldersey, H. M., & Whitley, R. (2015). Family
Penelitian Richardson, Cobham, Mcdermott,
influence in recovery from severe
dan Murray (2013) memengungkapkan
mental illness. Community Mental
tantangan pada keluarga seperti kehilangan
Health Journal, 51(4), 467-476.
kepercayaan dari orang lain, kehilangan
http://dx.doi.org/10.1007/s10597-014-
keluarga dan mengalami proses berduka
9783-y Retrieved from
keluarga. Penderitaan yang dialami keluarga
https://search.proquest.com/docview/16
tidak menyurutkan kesiapan keluarga dalam
80392703?accountid=25704
merawat. Keluarga tetap memenuhi kebutuhan
atas pengobatan dan kebutuhan lainnya.
Gitasari, N., & Savira, S. I. (2015).
Pengalaman Family Caregiver Orang
Seirama dengan penelitian Wardhani &
Dengan Skizofrenia. Jurnal Psikologi,
Asyanti (2015) bahwa keluarga yang mempu
Fakultas Ilmu Pendidikan, 1 - 8.
menerima pasien skizofrenia seutuhnya
tercermin dari sikap tindakan memasrahkan
Hernandez, M., & Barrio, C. (2015).
kepada Alloh SWT dan mengupayakan
Perceptions of subjective burden among
perawatan pasien agar mencapai kesembuhan.
latino families caring for a loved one
Dukungan orang tua dan anggota keluarga juga
with schizophrenia. Community Mental
diharapkan diberikan kepada pasien. Penelitian
Health Journal, 51(8), 939-948.
Seeman (2013) menunjukkan bukti bahwa
http://dx.doi.org/10.1007/s10597-015-
saudara(sibling) juga menyatakan kesediaan
9881-5 Retrieved from
dalam merawat pasien, terutama saat orang
https://search.proquest.com/docview/17
tuanya sudah tidak dapat lagi merawat pasien.
25368266?accountid=25704
Penerimaan positif seluruh anggota keluarga
dengan kesiapan merawat pasien akan Marimbe, B. D., Cowan, F., Kajawu, L.,
membantu keluarga menghadapi masalah Muchirahondo, F., & Lund, C. (2016).
dengan lebih konstruktif dan mempercepat Perceived burden of care and reported
pemulihan pasien. coping strategies and needs for family
caregivers of people with mental
SIMPULAN DAN SARAN disorders in zimbabwe. African Journal
Simpulan of Disability, 5(1), 1-9.
Berdasarkan hasil analisis diperoleh lima tema http://dx.doi.org/10.4102/ajod.v5i1.209
yang mengungkapkan pengalaman keluarga, Retrieved from
antara lain pengetahuan keluarga mengenai https://search.proquest.com/docview/18
penyakit,upaya pengobatan, fungsi keluarga, 22085514?accountid=25704
dukungan sosial dan penerimaan keluarga Ngadiran, A. (2010). Pengalaman Keluarga
mengenai kesiapan merawat. Penelitian ini Tentang Beban Dan Sumber Dukungan
memberikan pemahaman tentang pengalaman Dalam Merawat Pasien Dengan
keluarga dalam merawat penderita skizofrenia Halusinasi. Thesis Universitas
dengan masalah utama perilaku kekerasan. Indonesia. Tidak dipublikasikan.
Penerimaan keluarga untuk menghadapi Perera, D. N., Short, L., & Fernbacher, S.
kesiapan merawat kembali di rumah (2014). There is a lot to it: Being a
dipengaruhi oleh pengetahuan dan dukungan- mother and living with a mental
dukungan sosial yang diterima. illness. Advances in Mental
Health, 12(3), 167-181. Retrieved from
https://search.proquest.com/docview/16
44454849?accountid=25704
113
Polit, D. F., & Beck, C. T. (2012). Nursing Reasearch; Generating And Assesing Evidence For Nursing
Practice. China:
J.B. Lippincott Company.
Richardson, M., Cobham, V., Mcdermott, B., & Murray, J. (2013). Youth mental illness and the
family: Parents' loss and grief. Journal of Child and Family Studies, 22(5), 719-736.
http://dx.doi.org/10.1007/s10826-012- 9625-x Retrieved from
https://search.proquest.com/docview/13 66514129?accountid=25704
Seeman, M. V. (2013). Spotlight on sibling involvement in schizophrenia treatment. Psychiatry,
76(4), 311-22.
http://dx.doi.org/101521psyc201376431
1 Retrieved from https://search.proquest.com/docview/14 66279931?
accountid=25704
Sirait, A. (2008). Pengaruh Koping Keluarga terhadap Kejadian Relaps Pada Skizofrenia Remisi
Sempurna di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara. Tesis Universitas Sumatera
Utara, 82 - 100.
Stover, E. Y., Dahrianis, & Sri , P. R. (2014). Hubungan Pengetahuan Terhadap Kesiapan Keluarga
Dalam Merawat Pasien Perilaku Kekerasan Di Wilayah Kerja Puskesmas Tamanlarea Makasar.
Jurnal Stikes Nani Hasanuddin Makasar, 1 - 5.
Stuart, G. W. (2016). Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa Stuart. Elsevier: Singapura.
Editor : Budi Anna Keliat dan Jesika Pasaribu
Supardi, S., & Susyanty, A. L. (2010). Penggunaan Obat Tradisional Dalam Upaya Pengobatan Sendiri
Dl Indonesia
114
(Analisis Data Susenas Tahun 2007) . Pusat Penelitian Dan Pengembangan Sistem Dan
Kebijakan Kesehatan Jakarta, 1 - 10.
Suryaningrum, S., & Wardani, I. Y. (2013). Hubungan Antara Beban Keluarga Dengan Kemampuan
Keluarga Merawat Pasien Perilaku Kekerasan Di Poliklinik Rumah Sakit Marzoeki Mahdi
Bogor. Jurnal Keperawatan Jiwa, 1 - 8.
Suwarsi. (2010). Hubungan Peran Serta Keluarga Dengan Frekuensi Kekambuhan Pasien
Skizofrenia Di Wilayah Kerja Puskesmas Kasihan I Bantul. 1 - 12.
Wardhani, R. S., & Asyanti , S. (2015). Penerimaan Keluarga Pasien Skizofrenia Yang Menjalani
Rawat Inap Di Rsj . Jurnal Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta , 1 - 9.
Wulansih, S., & Widodo, A. (2008). Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Dan Sikap Keluarga
Dengan Kekambuhan Pada Pasien Skizofrenia Di RSJ di Surakarta. Berita Ilmu Keperawatan, 3
- 6.
Wuryaningsih, E. W., Hamid, A. Y., & Helena, N. (2013). Studi Fenomenologi: Pengalaman
Keluarga Mencegah Kekambuhan Perilaku Kekerasan Pasien Pasca Hospitalisasi RSJ. Jurnal
Keperawatan Jiwa, 6 - 8.
Young, C., & Koopsen, C. (2007). Spiritual, Kesehatan, Dan Penyembuhan. Medan: Bina Media
Perintis.
115
PERILAKU KEKERASAN VERBAL SEBAGAI DAMPAK PAJANAN TAYANGAN
KEKERASAN DALAM SINETRON STUDI KASUS TERHADAP SISWA SMPN 3 KOTA
SERANG
Odien Rosidin
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa odienrosidin@untirta.ac.id
John Pahamzah
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa jpahamzah@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini merupakan studi mendalam tentang dampak pajanan sinetron remaja di televisi swasta
nasional terhadap perilaku kekerasan verbal oleh siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri 3 Kota
Serang. Penelitian ini memiliki karakteristik yang relevan dengan penelitian kualitatif. Berdasarkan
tujuan dan data yang diperoleh, penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Penyediaan data
dilakukan dengan menerapkan metode simak. Peneliti menyimak tuturan-tuturan dalam dialog
sinetron remaja yang ditayangkan SCTV, RCTI, MNC TV, dan Indosiar. Metode simak dilakukan
dengan menerapkan teknik dasar berupa teknik sadap. Teknik lanjutan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teknik catat. Responden penelitian ini sebanyak 30 orang siswa Sekolah
Menengah Pertama Negeri 3 Kota Serang. Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode
analisis kontekstual. Bentuk-bentuk kekerasan verbal yang ditemukan dalam sinetron remaja di
televisi swasta nasional yang ditonton oleh para siswa adalah kutukan, menghina, memarahi,
menampar, berteriak, memaksa, mengancam, dan menuduh. Sebagian besar responden menyadari
bahwa pertunjukan sinetron mengandung konten kekerasan, termasuk kekerasan verbal. Sebagian
besar responden mengakui bahwa mereka suka meniru adegan kekerasan verbal, baik ketika di
lingkungan sekolah maupun di rumah.
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan kita, kehadiran media massa sudah bukan hal yang asing. Alat komunikasi, seperti
televisi, radio, koran, dan film adalah hal yang biasa (Tulasi, 2012:137). Hari ini nyaris tidak ada anak
yang tidak dapat mengakses media, baik media cetak, elektro- nik, maupun internet. Semua jenis
media tersedia dengan bebasnya. Penekanan khusus di sini dapat diberikan kepada media elektro- nik
televisi karena anak-anak lebih mengge- marinya. Ditambah kenyataan hampir tidak ada rumah di
Indonesia hari ini yang tidak memiliki televisi kecuali karena sebab khusus (Muzayyad, 2011:5).
Menurut Andina (2014:119), kekerasan seakan menjadi bagian keseharian kita. Masya- rakat diberi
tayangan dan informasi kekerasan dari berbagai penjuru: televisi, media sosial, tempat kerja, sekolah,
Jurna
l
jalanan, bahkan orang- orang terdekat. Selanjutnya, Sitompul (2016:
31) menyatakan bahwa hampir semua tayang- an di televisi memuat adegan kekerasan di dalamnya,
mulai dari program informasi kri- minal, berita, film, sinetron, reality show, iklan, dan bahkan film
kartun pun yang merupakan tayangan anak-anak memuat adegan kekerasan. Kekerasan adalah hal
yang paling banyak mewarnai acara-acara televisi saat ini, baik lokal maupun impor. Kekerasan
terdapat dalam tayangan berita ataupun hiburan, seperti sinetron, movie, sinema, kartun bahkan dalam
tayangan acara anak-anak. Kekerasan telah menjadi fenomona umum yang tersaji mulai dalam acara
berita hingga humor sebagai tontonan hiburan (Amelia dan Fitriyani, 2016: 194). Menurut Bushman
dan Anderson (2012), keterpaparan terhadap kekerasan media menyebabkan peningkatan agresi yang
signifikan. Dalam konteks itu, dampak dari menonton tayangan televisi adalah adanya kecenderungan
perilaku meniru setiap adegan. Berkait dengan paparan tersebut, Har- yatmoko (2007:110)
menyatakan bahwa dalam kekerasan terkandung dominasi terhadap pihak lain dalam pelbagai
bentuknya: fisik, verbal,
moral, atau melalui gambar. Penggunaan ke- kuatan, manipulasi, fitnah, pemberitaan yang tidak
benar, pengondisian yang merugikan, kata-kata yang memojokkan, dan penghinaan merupakan
ungkapan nyata kekerasan. Selan- jutnya, Poerwandari (2004:13) berpendapat bahwa kekerasan dapat
dibatasi sebagai tin- dakan yang sengaja (intensional) untuk me- maksa, menaklukkan, mendominasi,
mengen- dalikan, menguasai, menghancurkan, melalui cara-cara fisik, psikologis, deprivasi, ataupun
gabungan-gabungannya dalam beragam bentuknya. Atau, tindakan yang mungkin tidak disengaja,
bukan intensional, tetapi didasari oleh ketidaktahuan (ignorancy), kekurang- pedulian, atau alasan-
alasan lain, yang menye- babkan subjek secara langsung atau tidak lang- sung terlibat dalam upaya
pemaksaan, penak- lukan, penghancuran, dominasi, dan peren- dahan manusia lain.
Simpen (2011:450) menguraikan bahwa
selama ini istilah kekerasan hanya dimaksudkan sebagai kekerasan fisik. Misalnya, pemukulan,
penganiayaan, atau pembunuhan. Dengan demikian, tindakan seseorang atau kelompok yang
dianggap melakukan kekerasan hanyalah mencakup: pemukulan, penganiayaan, pem- bunuhan, dan
atau perusakan terhadap barang atau bangunan orang lain. Kekerasan tidak di- sangkutpautkan dengan
dampak mental, seperti penghinaan, fitnah, menyindir, meng- ancam, membentak, menghardik, dan
mencaci maki.
Penelitian yang berkaitan dengan feno- mena kekerasan verbal dengan segala bentuk perwujudannya
telah banyak dilakukan oleh para peneliti terdahulu dengan tujuan dan metode yang berbeda-beda,
antara lain (1) Elga Andina (2014) yang melakukan penelitian berjudul “Anime dan Persepsi Budaya
Keke- rasan pada Anak Usia Sekolah”; (2) Rahim Sitompul (2016) yang melakukan penelitian
berjudul “Pengaruh Tayangan Kekerasan di Televisi terhadap Perilaku Agresif Siswa Kelas IV SD
Negeri 020275 Binjai Timur”; dan (3) Riski Amelia dan Ruri Fitriyani (2016) yang
bungan intensitas menonton tayangan keke- rasan di televisi dengan perilaku agresif yang dilakukan
anak usia sekolah di Madrasah Diniyah Nurul Huda Pajar Bulan. Semakin tinggi intensitas menonton
tayangan kekerasan di televisi, semakin tinggi perilaku agresif. Subjek yang diteliti sebanyak 70 orang
siswa kelas III dan IV yang berumur 10—12 tahun. Pengumpulan data dilakukan dengan meng-
gunakan dua skala, yaitu skala intensitas menonton tayangan kekerasan di televisi dan skala perilaku
agresif. Metode analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah dengan analisis regresi
sederhana. Hasil analisis yang diperoleh adalah koefisien korelasi sebesar R=0,807 dengan p = 0,000
(p< 0, 01), artinya hipotesis diterima.
Dari hasil peninjauan terhadap penelitian tersebut, diperoleh gambaran bahwa peneliti- an tentang
kekerasan verbal yang terdapat di dalam tayangan sinetron remaja di televisi swasta nasional dan
dampaknya terhadap perilaku kekerasan verbal siswa sekolah me- nengah pertama belum dilakukan
oleh peneliti lain. Selain itu, penelitian-penelitian tersebut tidak ada yang menghasilkan temuan
terkait dengan rumusan perilaku kekerasan verbal di lingkungan sekolah yang terjadi sebagai dam-
pak pajanan tayangan kekerasan di televisi. Dengan demikian, temuan dan hasil yang di- capai
penelitian ini berbeda dengan penelitian- penelitian sebelumnya.
Berdasarkan latar belakang masalah ter- sebut, penelitian ini merupakan studi men- dalam terhadap
dampak sinetron remaja di televisi swasta nasional terhadap perilaku keke- rasan verbal yang
dilakukan siswa Sekolah Menengah Negeri 3 Kota Serang. Sinetron remaja di televisi nasional
dibatasi dalam pe- nelitian ini sebagai sinetron yang mengangkat tema seputar kisah kehidupan anak
muda atau remaja dengan segala problematikanya yang ditayangkan di stasiun televisi swasta serta
populer di masyarakat sehingga memiliki ra- ting tinggi. Stasiun televisi swasta tersebut dipilih karena
memiliki program tayangan
sinetron yang cukup banyak dan variatif. Si- netron yang dipilih untuk diteliti adalah sinet- ron yang
tayang sore hari sampai malam hari dengan pertimbangan ditonton oleh anak sekolah, termasuk siswa
sekolah menengah pertama (SMP) karena mereka sudah pulang dari sekolah.
Penelitian ini dianggap memiliki relevansi dengan kajian semantik dan pragmatik, khu- susnya telaah
dengan objek sinetron remaja yang selama ini jarang dibicarakan dalam kon- teks pembahasan
Jurna
l
semantik atau pragmatik. Pemahaman secara menyeluruh dan men- dalam terhadap kekerasan verbal
diharapkan dapat memperkaya wawasan sekaligus me- mecahkan permasalahan yang terkait dengan
perilaku kekerasan verbal, khususnya yang dilakukan siswa di lingkungan sekolah.
KAJIAN PUSTAKA
Kekerasan verbal adalah kekerasan yang menggunakan bahasa, yaitu kekerasan yang menggunakan
kata-kata, kalimat, dan unsur- unsur bahasa lainnya. Diungkapkan oleh Bar- yadi (2012:36) bahwa
kekerasan verbal ter- wujud dalam tindak tutur yang dapat disebut sebagai tindak tutur kekerasan.
Tindak tutur kekerasan, selain ditandai oleh intonasi yang tinggi, juga ditandai kelugasan
pengungkapan serta kata-kata yang menyakitkan hati, misal- nya kata-kata jorok atau kata-kata
makian yang merendahkan pihak lain.
Menurut Simpen (2011:454), kekerasan verbal merupakan tindakan berbahasa yang menyebabkan
tidak nyamannya orang lain, tertekannya orang lain, kecemasan orang lain, kekhawatiran orang lain,
dan terancamnya orang lain. Dalam penjelasan berikutnya, Simpen (2011:465) menyatakan bahwa
ber- tolak dari pengertian kekerasan, dapat dibuat klasifikasi mengenai jenis-jenis tindakan ber-
bahasa yang dianggap merupakan kekerasan verbal. Kekerasan verbal, antara lain menyin- dir,
memfitnah, menuduh, mengejek, me- nakut-nakuti, mencaci maki, dan mengancam.
Baryadi (2012:37—38) memaparkan bahwa tindak tutur kekerasan dapat dibeda- kan menjadi empat
jenis, yaitu (a) tindak tutur kekerasan tidak langsung; (b) tindak tutur kekerasan langsung; (c) tindak
tutur kekerasan represif; dan (d) tindak tutur kekerasan alie- natif. Tindak tutur kekerasan tidak
langsung adalah kekerasan verbal yang tidak seketika itu juga mengenai korban, tetapi melalui me-
dia atau proses berantai. Tindak tutur keke- rasan tidak langsung, misalnya terwujud dalam fitnah,
stigmasi, dan penstereotipan (stereotyp- ing). Tindak tutur kekerasan langsung adalah tindak
kekerasan yang langsung menimpa pada korban pada saat komunikasi verbal berlangsung. Tindak
tutur kekerasan alienatif adalah tindak tutur yang bermaksud men- jauhkan, mengasingkan, atau
bahkan mele- nyapkan korban, dari komunitas atau masya- rakatnya.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini memiliki karakteristik yang relevan dengan penelitian kualitatif, yakni prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang
yang dapat diamati (Moleong, 2000:3). Sejalan dengan itu, Miles dan Huberman (1992:15)
menyatakan bahwa salah satu hal yang terdapat di dalam penelitian kualitatif adalah data yang muncul
berwujud kata-kata dan bukan rangkaian angka. Ber- dasarkan tujuan dan data yang diperoleh, pe-
nelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yakni bertujuan membuat gambaran, lukisan secara
sistematis, faktual, dan akurat mengenai data sifat-sifat, serta hubungan fenomena- fenomena yang
diteliti untuk mencapai kepa- daan eksplanatif (explanative adequacy).
Penyediaan data penelitian ini dilakukan dengan mengimplementasikan metode simak. Peneliti
menyimak seluruh tuturan di dalam sinetron remaja yang ditayangkan oleh SCTV, RCTI, Indosiar,
dan MNC setiap hari dari pukul 16.00 s.d. 23.00 masing-masing selama
satu Minggu, yakni Minggu ke-2 Oktober 2019. Penyimakan dilakukan untuk menemu- kan tuturan
yang mengekspresikan kekerasan verbal. Jenis metode simak yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah simak bebas libat cakap (SBLC) sebab peneliti hanya menyimak tuturan di dalam sinetron
Jurna
l
remaja yang dita- yangkan oleh SCTV, RCTI, Indosiar, dan MNC. Metode simak dilakukan dengan
me- nerapkan teknik dasar berupa teknik sadap. Teknik itu dilakukan terhadap tuturan di dalam
sinetron remaja yang ditayangkan oleh SCTV, RCTI, Indosiar, dan MNC yang me- representasikan
kekerasan verbal.
Teknik lanjutan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik catat. Teknik ini digunakan untuk
menjaring data dengan cara mencatat hasil penyimakan dan penyadapan. Pencatatan data disesuaikan
dengan identifi- kasi masalah penelitian dan disertai interpretasi yang diperlukan, yakni penafsiran
dan argu- mentasi terhadap semua data yang ditemu- kan dari sumber data.
Untuk mengumpulkan data tindak tutur yang merepresentasikan kekerasan verbal dalam tayangan
sinetron digunakan perekam- an atau pencatatan dengan menggunakan lembar pengamatan. Adapun
data kekerasan verbal yang dilakukan oleh siswa yang dipe- ngaruhi intensitas menonton tayangan
sinetron dijaring dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner, yang disusun dan dibagikan
kepada responden untuk mendapatkan data terpancing.
Responden penelitian ini adalah siswa SMPN 3 Kota Serang. Peneliti ini menetapkan jumlah
responden dengan menggunakan tek- nik pengambilan sampel atau contoh dengan teknik purposive
sampling. Dalam hal ini, siswa yang dipilih sebagai responden adalah siswa kelas VII, VIII, dan IX
sebanyak 30 orang. Hal itu dilakukan dengan pertimbangan bahwa setiap jenjang kelas akan terwakili
se- hingga sifat atau karakter siswa sekolah me- nengah pertama dapat tergambarkan secara
representatif.
Dalam penelitian ini, analisis data dilaku- kan dengan menggunakan metode analisis kontekstual,
yakni analisis yang diterapkan pada data dengan mendasarkan, memperhi- tungkan, dan mengaitkan
identitas konteks- konteks yang ada. Pada tahap analisis, data yang sudah terkumpul melalui
kuesioner se- lanjutnya dipilah-pilah dengan teknik iden- tifikasi. Dengan teknik ini, data dapat
diklasi- fikasi berdasarkan jenis data. Setelah data dikla- sifikasikan, data yang tersedia
dideskripsikan, dinterpretasikan, dan dianalisis sesuai dengan kerangka teori yang dijadikan landasan.
Data intensitas menonton sinetron remaja dan keke- rasan verbal yang diperoleh melalui jawaban
kuesioner, selanjutnya dianalisis secara kualita- tif untuk memperoleh temuan bentuk keke- rasan
verbal yang dipengaruhi oleh tayangan kekerasan dalam sinetron yang ditonton. Data yang telah
diklasifikasikan oleh peneliti se- lanjutnya dideskripsikan sesuai dengan teori yang dijadikan acuan
dalam penelitian ini.
ANALISIS DATA
DAN HASIL PENELITIAN
Berdasarkan tanyaan kuesioner terhadap 30 orang responden, diperoleh jawaban bahwa siswa
memiliki kebiasaan menonton televisi dengan durasi dan frekuensi yang ber- beda-beda. Namun,
temuan yang menarik adalah terdapat dua orang responden yang menjawab bahwa mereka menonton
televisi lebih dari dua jam setiap hari. Jawaban res- ponden tersebut menggambarkan fakta bahwa
setiap hari, siswa tidak pernah luput atau tertinggal menonton acara-acara di televisi.
Berdasarkan jawaban responden, tam- pak bahwa acara yang paling banyak digemari adalah sinetron
dan film. Hal ini menunjukkan kedua jenis tayangan televisi tersebut merupa- kan acara yang
digandrungi oleh sebagian anak sekolah atau remaja. Beberapa alasan yang di- kemukakan oleh
responden terkait dengan sinetron sebagai acara yang digemari adalah
(1) sinetron menghibur dan tidak membosan-
Jurna
l
kan; (2) sinetron itu menarik dan mengasyik- kan; (3) sinetron itu menampilkan pemain atau bintang
yang menarik; (4) sinetron itu seru untuk ditonton; (5) sinetron ada pelajarannya atau hikmahnya
untuk remaja; (6) menonton sinetron itu sangat cocok dengan jiwa remaja; dan (7) sinetron
menceritakan hal yang me- narik sehingga tidak membosankan.
Judul sinetron yang paling banyak dipilih sebagai sinetron yang digemari oleh respon- den adalah (1)
Cinta Karena Cinta, (2) Cinta Anak Muda, (3) Anak Langit, dan (3) Azab. Dari keempat judul yang
paling banyak dipilih oleh responden, terdapat satu sinetron, yakni Azab yang segmentasinya tidak
secara khusus membidik kaum remaja. Artinya, sinetron ini adalah sinetron yang ditujukan kepada
umum. Hal itu berbeda dengan judul-judul sinetron lainnya yang langsung membidik segmentasi
penonton anak muda, termasuk remaja. Dalam konteks itu, sinetron-sinetron tersebut secara spesifik
bertema percintaan dengan segala pernak-perniknya.
Stasiun televisi SCTV merupakan stasiun televisi yang dipilih oleh 20 responden. Hal itu
menunjukkan bahwa stasiun ini memiliki tayangan sinetron yang lebih banyak atau do- minan
dibandingkan stasiun televisi lain. Dengan demikian, tidak mengherankan bila SCTV banyak disukai
kalangan penonton remaja, termasuk siswa sekolah menengah pertama (SMP). Sinetron di stasiun
televisi ini memiliki jam tayang yang cukup banyak di- bandingkan mata acara lainnya.
Berdasarkan jawaban responden, diketa- hui bahwa hampir setiap hari, di televisi dita- yangkan acara
sinetron dengan jam tayang yang berbeda-beda. Selain itu, berdasarkan jawaban responden, diketahui
bahwa siswa menonton sinetron hampir setiap hari, yakni ada yang menonton siang hari, sore hari,
atau- pun malam hari. Hal itu sejalan dengan waktu luang yang mereka miliki, yakni sepulang sekolah
sampai sebelum tidur bila tidak ada aktivitas lain. Responden menganggap sinet- ron remaja di
televisi memberi manfaat selain
hanya bersifat hiburan. Dalam konteks itu, responden beralasan bahwa sinetron tidak selamanya
menampilkan atau menyajikan hal- hal yang tidak berguna. Dengan demikian, bagi mereka, kesukaan
menonton sinetron tidak berdampak kerugian.
Sebagian besar responden tahu dan me- nyadari bahwa dalam tayangan sinetron di televisi terdapat
konten kekerasan, termasuk kekerasan verbal. Untuk mengetahui jenis tindak kekerasan verbal yang
dilihat responden ketika menonton tayangan sinetron, respon- den diminta untuk menyebutkan
contoh- contoh kekerasan verbal yang mereka ketahui. Berikut ini adalah jawaban yang dikemukakan
oleh responden.
Jawaban responden tersebut menunjuk- kan bahwa sebenarnya mereka menyadari bahwa dalam
tayangan televisi terdapat ujaran yang merepresentasikan tindakan kekerasan verbal. Tindakan
tersebut menjadi bagian dari dialog yang dilakukan oleh para tokoh peme- ran. Meskipun tayangan
sinetron remaja yang ditonton oleh responden bermuatan konten kekerasan verbal, ternyata
berdasarkan jawab- an responden, sebagian besar menyatakan bahwa mereka menonton sinetron tanpa
di- dampingi oleh orang dewasa, baik orang tua maupun saudara. Alasan yang dikemukakan
oleh responden yang menjawab tidak didam- pingi oleh orang tua saat menonton sinetron adalah
sebagai berikut: (1) orang tua mereka sibuk kerja/berwira usaha; (2) malu; (3) me- rasa lebih nyaman
atau enak menonton sendiri;
(4) orang tua tidak mengharuskan; dan (5) sinet- ron yang ditonton bukan acara yang mencon- tohkan
bahaya atau hal yang tidak pantas.
Sebenarnya, risiko bahaya yang akan muncul sebagai dampak menonton sajian konten kekerasan di
dalam sinetron diketahui oleh para responden. Hal itu tampak dari jawaban responden yang sebagian
besar mengungkapkan bahwa mereka menyadari risiko atau bahaya terlalu banyak menonton
tayangan sinetron yang mengandung konten kekerasan, termasuk kekerasan verbal. Meski- pun
demikian, terdapat responden yang men- jawab bahwa mereka tidak mengetahui risiko atau bahaya
menonton sinetron. Bahkan, ter- dapat satu orang responden yang menjawab tidak memedulikannya.
Dampak yang secara riil terjadi sebagai
akibat paparan tayangan kekerasan verbal dari sinetron yang ditonton tampak terjadi se- bagaimana
diakui responden. Hal itu tampak dari jawaban sebagai berikut.
Berdasarkan jawaban tersebut, diketahui bahwa perilaku dan ucapan tokoh dalam sinetron banyak
ditiru untuk diperagakan, baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan rumah. Peniruan itu
dilakukan, baik untuk
sekadar bercanda atau main-main maupun untuk tujuan menyakiti orang lain.
PENUTUP
Intensitas siswa Sekolah Menengah Negeri 3 Kota Serang dalam menonton sinetron remaja di televisi
swasta nasional diketahui dengan menganalisis jawaban responden. Ber- dasarkan jawaban
responden, diketahui bahwa sebagian besar menonton televisi setiap hari dengan durasi tidak tentu;
sebagian menjawab kurang dari dua jam; dan sebagian menjawab lebih dari dua jam. Program yang
paling banyak digemari oleh responden adalah sinet- ron dan film. Bentuk kekerasan verbal yang
ditemukan di dalam tayangan sinetron remaja di televisi swasta nasional yang ditonton siswa Sekolah
Menengah Negeri 3 Kota Serang yang menjadi responden penelitian adalah memaki, menghina,
memarahi, mengusir, membentak, memaksa, mengancam, dan menuduh.
Dampak menonton sinetron remaja di televisi swasta nasional terhadap perilaku ke- kerasan verbal
yang dilakukan siswa Sekolah Menengah Negeri 3 Kota Serang diketahui dengan menganalisis
jawaban responden. Se- bagian besar responden menyadari bahwa tayangan sinetron mengandung
konten keke- rasan, termasuk kekerasan verbal. Sejalan dengan itu, sebagian besar responden juga
menyadari bahaya atau risiko terpapar tayang- an kekerasan. Sebagian besar responden mengakui
suka meniru adegan kekerasan ver- bal dari tayangan sinetron, baik ketika di ling- kungan sekolah
maupun lingkungan rumah. Meskipun tayangan sinetron mengandung ke- kerasan, responden
sebagian besar mengakui bahwa mereka tidak didampingi orang de- wasa atau orang tua saat
menonton sinetron dengan pelbagai alasan.
DAFTAR PUSTAKA
Andina, Elga. 2014. “Anime dan Persepsi Budaya Kekerasan pada Anak Usia Sekolah”. Aspirasi
Volume 5, Nomor 2, Desember
2014, 119—130.
Jurna
l
Amelia, Riski dan Fitriyani, Ruri. 2016. “Hu- bungan Intensitas Menonton Tayangan Kekerasan di
Televisi dengan Perilaku Agresif yang Dilakukan Anak Usia Seko- lah di Madrasah Diniyah
Awaliyah Nurul Huda Pjar Bulan”. PSIKIS-Junal Psikologi Islam Volume 2, Nomor 2, 195—202.
Baryadi, I. Praptomo. 2012. Bahasa, Kekuasaan, dan Kekerasan. Yogyakarta: Universitas Sanata
Dharma.
Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda- karya.
Muzayyad, Idy. 2011. “Literasi Media Mulai dari Kita” Dalam Dadang Rahmat Hida- yat dkk. (eds.),
Panduan Sosialisasi Literasi Media Televisi.Jakarta: KPI:, 1—22.
Poerwandari, E. Kristi. 2004. Mengungkap Selubung Kekerasan Telaah Filsafat Manusia. Bandung:
Yayasan Eja Insani.
Simpen, I Wayan. 2011. “Fungsi Bahasa dan Kekerasan Verbal dalam Masyarakat”. Dalam Wayan
Windia dkk. (eds.), Pemi- kiran Kritis Guru Besar Udayana Bidang Sastra dan Budaya. Bali: Udayana
Univer- sity Press, 449—481.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar Penelitian Wahana
Kebudayaan Secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Tulasi, Dominikus. 2012. “Terpaan Media Massa dan Turbulensi Budaya Lokal”. Humaniora Volume
3, Nomor 1 April
2012, 135—144.
Jurna
l
HUBUNGAN ANTARA BEBAN KELUARGA DENGAN KEMAMPUAN
KELUARGA MERAWAT PASIEN PERILAKU KEKERASAN DI POLIKLINIK
RUMAH SAKIT MARZOEKI MAHDI BOGOR
ABSTRAK
Skizofrenia menduduki peringkat keempat sebagai penyakit yang membebankan di seluruh dunia. Salah
satu manifestasi klinik dari skizofrenia adalah perilaku kekerasan. Beban berat yang dirasakan keluarga
dapat menurunkan kemampuan keluarga merawat pasien dengan perilaku kekerasan. Tujuan penelitian
adalah mengidentifikasi hubungan beban dengan kemampuan keluarga merawat pasien perilaku
kekerasan di Poliklinik Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor. Desain penelitian adalah analitikdengan
tehnik purposive sampling terhadap 103 responden. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan
signifikan antara beban dengan kemampuan keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan (P
value<0,05). Peningkatan kemampuan keluarga merawat pasien perilaku kekerasan perlu dilakukan agar
beban yang dirasakan keluarga menjadi berkurang.
ABSTRACT
Schizophrenia is the fourth most burdening health problem in the world. One of the clinical manifestation
of schizophrenia is violent behavior. Strenous burden perceived by the family could lower the ability of
family to care for patient. The purpose of this study is to indentify the relationship of family’s burden and
the family ability to care for patient with violent behavior at the Psychiatric Clinic of Marzoeki Mahdi
Hospital of Bogor. This study used analitical design and collected 103 samples using the purposive
sampling technique. This study result indicated a significant relationship between family’s burden and
family ability to care for patient with violent behavior (p value < 0,05). Study showed it is necessary to
increase family capability in caring for patient with abusive behavior in order to lower the burden
perceived by the family.
Jurna
l
PENDAHULUAN dalam menghadapi perilaku pasien, dan
beban sosial terutama menghadapi
Skizofrenia menduduki peringkat 4 dari stigma dari masyarakat tentang anggota
10 penyakit terbesaryang membebankan keluarganya yang mengalami gangguan
di seluruh dunia. Biaya yang jiwa. Dampak dari beban yang
dikeluarkan untuk perawatan yang dirasakan keluarga akan mempengaruhi
diberikan keluarga dan terkait kejahatan kemampuan keluarga dalam merawat
serta terkait kesejahteraan akibat pasien. Jika keluarga terbebani
skizofrenia sebesar 33 miliar dolar kemungkinan keluarga tidak mampu
setiap tahunnya di Amerika Serikat merawat pasien dengan baik.
(Stuart, 2007). Berdasarkan latar belakang tersebut
Hasil Riskesdas (2007) menjelaskan maka dapat dirumuskan masalah
bahwa prevalensi gangguan jiwa di penelitian yaitu “Apakah ada hubungan
Indonesia adalah 4,6 0/00. Prevalensi antara beban keluarga dengan
tertinggi terdapat di Provinsi DKI kemampuan keluarga dalam merawat
Jakarta (20,3 0/00) yang kemudian secara pasien perilaku kekerasan di Poliklinik
berturut-turut diikuti oleh Provinsi RS Marzoeki Mahdi Bogor?”
Nangro Aceh Darussalam (18,5 0/00),
Sumatera Barat (16,7 0/00), Nusa METODE
Tenggara Barat (9,9 0/00), Sumatera
Selatan (9,2 0/00). Prevalensi terendah Desain penelitian ini adalah desain analitik
terdapat di Maluku (0,9 0/00). kategorik berpasangan, yaitu metode untuk
Di RS Marzoeki Mahdi Bogor data yang di mengetahui ada atau tidaknya hubungan
dapat dari bagian rekam medis pada tahun antara beban keluarga dengan kemampuan
2010 pasien skizofrenia yang dirawat inap keluarga merawat pasien perilaku
berjumlah 9952 orang dan pasien rawat kekerasan.
jalan berjumlah 1217 orang, sedangkan
tahun 2011 pasien yang dirawat inap Sampel yang diambil dalam penelitian ini
berjumlah 1549 orang dan yang rawat jalan ditentukan dengan menggunakan teknik
berjumlah 15770 orang. Hal ini pengambilan sampel purposive sampling,
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan yaitu dengan terlebih dahulu menentukan
jumlah pasien skizofrenia yang menjalani kriteria. Kriteria yang dipakai adalah
pengobatan rawat inap dan rawat jalan di inklusi. Kriteria inklusi dalam penelitian ini
RS Marzoeki Mahdi Bogor dalam satu yaitu keluarga pasien yang anggota
tahun terakhir. keluarganya mengalami skizofrenia dengan
perilaku kekerasan dan pernah dirawat lebih
Pasien skizofrenia terutama yang dari 1 kali, keluarga bersedia dan mampu
mengalami perilaku kekerasan berpartisipasi dalam penelitian, serta tinggal
membutuhkan dukungan keluarga yang serumah dengan pasien
mampu memberikan perawatan secara
Alat pengumpulan data ini adalah kuesioner
optimal. Tetapi keluarga sebagai sistem The Zarith Burden Interview versi bahasa
pendukung utama sering mengalami indonesia, merupakan instrumen untuk
beban yang tidak ringan dalam variabel independen yaitu beban yang
memberikan perawatan selama pasien dirasakan keluarga. Kuesioner pengetahuan
dirawat di rumah sakit maupun setelah dan sikap keluarga dalam merawat pasien
kembali ke rumah. perilaku kekerasan merupakan instrument
untuk variable dependen. Pengolahan data
Beban tersebut yaitu beban finansial sesuai dengan langkah-langkah edit data
dalam biaya perawatan, beban mental (editing), memberikan kode (coding),
Jurna
l
memasukkan data dalam tabel (entry), dan signifikan. Pada variabel pengetahuan
membersihkan data (cleaning). keluarga menunjukkan mayoritas responden
memiliki pengetahuan sedang 69 responden
Analisa data yang digunakan dalam dan tinggi 34 responden. Variabel sikap
penelitian ini adalah analisis univariat dan keluarga menunjukkan 75 responden
bivariat. Analisis univariat dalam memiliki sikap tidak baik. Sedangkan
melakukan uji statistik menggunakan uji variabel kemampuan keluarga terdapat 51
distribusi dan proporsi. Analisis bivariat responden memiliki kemampuan tidak baik.
pada penelitian ini menggunakan uji Chi
Square karena variabel yang diteliti berjenis Tabel 2
kategorik dan kategorik. Hubungan antara Beban dengan
Pengetahuan Keluarga dalam Merawat
Etika pengambilan data pada penelitian ini Pasien Perilaku Kekerasan di Poliklinik RS
menggunakan prinsip manfaat, prinsip Marzoeki Mahdi Bogor Tahun 2013 (n=103)
menghargai martabat manusia, prinsip Pengetahuan OR
keadilan dan prisip anonymity Beban Keluarga P
&
Confidentiality. Keluarga valu
(95%
Sedang Tinggi CI)
e
HASIL n % n %
Tabel 1 Beban Berat 13 72,2 5 27,8 0,385
Distribusi Responden Berdasarkan Beban, Beban Sedang 26 74,3 9 25,7
Pengetahuan, Sikap dan Kemampuan Beban Ringan 23 63,9 13 36,1 0,38 0,346
Keluarga Dalam Merawat Pasien Perilaku Tanpa Beban 7 50 7 50 0,565
Kekerasan di Poliklinik RS Marzoeki Mahdi Jumlah 69 67 34 33
Bogor, Tahun 2013 (n=103)
Peresentase Tabel 2. Menjelaskan bahwa terdapat 13
Variabel Independen Jumlah responden yang sudah memiliki
(%)
Beban Keluarga pengetahuan tinggi tetapi masih mengalami
Beban Berat 18 17,5 beban yang berat dalam merawat pasien
Beban Sedang 35 34,0 perilaku kekerasan. Hasil uji analisis
Beban Ringan 36 35,0 menunjukkan tidak ada hubungan antara
Tanpa Beban 14 13,6 beban dengan pengetahuan keluarga dalam
Jumlah 103 100 merawat pasien perilaku kekerasan P
Variabel Dependen value>0,05.
Pengetahuan
Keluarga Tabel3
Sedang 69 67,0 Distribusi Hubungan Antara Beban Dengan
Tinggi 34 33,0 Sikap KeluargaDalam MerawatPasien
Jumlah 103 100 Perilaku Kekerasan di Poliklinik RS
Sikap Keluarga Marzoeki Mahdi Bogor
Tahun 2013 (n=103)
Tidak Baik 75 27,2
Baik 28 72,8 Sikap Keluarga
OR
Jumlah 103 100 Beban
(95%
P
Kemampuan Keluarga Tidak Baik valu CI)
e
Keluarga Merawat Baik
Tidak Baik 51 49,5 N % N %
Baik 52 50,5 jumlah tersebut cukup Beban Berat
Jumlah 103 100 Beban Sedang 29 82,9 6 17,1 16
0,016
Beban Ringan 30 60 20 40 88,9
Tabel 1. Menjelaskan bahwa pada variabel beban 2
11,1
keluarga terdapat 18 responden dengan beban berat,
Jurna
l
Jumlah 75 72,8 28 27,2 0,188
0,310
Jurna
l
Tabel 3. Menunjukkan bahwa terdapat 16 000,- dan rata-rata penghasilan responden
responden mengalami beban berat dan adalah Rp 1.178.640,-. Jumlah tersebut
memiliki sikap tidak baik dalam merawat merupakan nominal yang sangat jauh
pasien perilaku kekerasan. Uji analisis dibawah standar UMR Bogor tahun 2013
menunjukkan adanya hubungan antara yaitu Rp 2.002.000,-. Hal ini sesuai dengan
beban dengan sikap keluarga dalam penelitian Gururaj, Bada, Reddy dan
merawat pasien perilaku kekerasan P Chandrashkar (2008) menemukan bahwa
Value<0,05. dari enam dimensi beban keluarga dengan
skizofrenia, skor finansial memiliki rata-
Tabel 4 rata yang paling tinggi. Oleh karena itu
Distribusi Hubungan Antara Beban Dengan apabila keluarga tidak memiliki sumber
Kemampuan Keluarga Dalam Merawat
Pasien Perilaku Kekerasan di Poliklinik RS
dana yang cukup atau jaminan kesehatan,
Marzoeki Mahdi Bogor Tahun 2013 (n=103) maka akan menjadi beban yang sangat berat
bagi keluarga.
PEMBAHASAN
Jurna
l
orang. Penelitian ini didukung oleh Sonatha gangguan jiwa sering melanda keluarga
& Gayatri (2012) didapatkan hasil karena berkurangnya stress tolerance.
responden dengan sikap negative lebih
banyak yaitu sebesar 53,6%. Bagi pasien Peneliti berpendapat bahwa
jiwa yang mengalami perilaku kekerasan ketidakmampuan keluarga bisa disebabkan
dan kronis membutuhkan waktu perawatan karena keluarga mengalami kelelahan
bertahun-tahu, yang dapat menjadikan secara fisik maupun mental selama merawat
keluarga mengalami kejenuhan dalam anggota keluarganya yang mengalami
memberikan perawatan pada pasien perilaku kekerasan. Dampak yang di
sehingga bersikap tidak baik. Faktor lain rasakan keluarga akibat perilaku kekerasan
adalah perilaku kekerasan yang dilakukan yang dilakukan pasien sangat
pasien terhadap keluarga.Menurut Keliat mempengaruhi sikap keluarga dalam
(2003) Perilaku kekerasan adalah tindakan merawat pasien perilaku kekerasan,
menciderai orang lain, diri sendiri, merusak sehingga kemampuan keluarga menjadi
harta benda (lingkungan), dan ancaman tidak baik.
secara verbal.Muesser & Gingerich (2006)
juga menjelaskanbahwa anggota keluarga Hubungan Antara Beban dengan
sering menjadi korban tindakan kekerasan Pengetahuan Keluarga Dalam Merawat
yang dilakukan oleh penderita skizofrenia. Pasien Perilaku Kekerasan
Hasil penelitian didapatkan bahwa keluarga
Hal ini dapat diartikan bahwa Perilaku dengan beban berat memiliki pengetahuan
kekerasan yang dilakukan pasien terhadap sedang sebanyak 26 orang dan pengetahuan
keluarga sangat merugikan keluarga dan tinggi sebanyak 5 orang. Simatupang
mempengaruhi sikap keluarga dalam (2010) mendukung penelitian ini yang
merawat pasien perilaku kekerasan. menyebutkan bahwa mayoritas responden
Perilaku tersebut yaitu pasien sering kasar (90%) memiliki pengetahuan yang baik
bahkan sampai memukul terhadap keluarga, tentang perilaku kekerasan termasuk
berkata-kata yang menyakitkan, merusak definisi, tanda, dan gejala pasien dengan
barang-barang keluarga, merusak dan perilaku kekerasan.
mengganggu lingkungan. Dampak dari
perilaku tersebut memungkinkan keluarga Peneliti berpendapat bahwa pengetahuan
menjadi bersikap tidak baik terhadap dalam merawat pasien perilaku kekerasan
anggota keluarganya yang mengalami sudah dipahami oleh keluarga. Hal ini
perilaku kekerasan. dikarenakan bahwa keluarga pasien yang
pernah di rawat di Rumah Sakit Marzoeki
Kemampuan Keluarga Dalam Merawat Mahdi Bogor telah mendapatkan
Pasien Perilaku Kekerasan. pendidikan kesehatan dari petugas
Kemampuan keluarga merupakan gabungan kesehatan. Yang menarik dari hasil
dari pengetahuan dan sikap keluarga dalam penelitian ini adalah keluarga mengalami
merawat pasien perilaku kekerasan. Hasil beban berat meskipun memiliki
penelitian ini didapatkan bahwa responden pengetahuan yang tinggi. Hal ini bisa
yang memiliki kemampuan tidak baik dikarenakan beberapa faktor yang
sebanyak 51 orang. Penelitian ini didukung mempengaruhi antara lain faktor sosial
oleh Hernawaty (2009) bahwa rerata ekonomi yaitu pendapatan yang tidak
kemampuan kognitif keluarga dalam memadai, keluarga yang tidak bekerja, dan
merawat klien gangguan jiwa sebesar keluarga dengan pendidikan yang rendah.
32,15, dan kemampuan psikomotor 32,55. Hal ini Sesuai dengan penelitian Gururaj,
Fontaine (2003) menyatakan bahwa Bada, Reddy dan Chandrashkar (2008)
kemampuan keluarga ditentukan oleh menemukan bahwa dari enam dimensi
kemampuan untuk manajemen stres yang beban keluarga dengan skizofrenia, skor
produktif. Kelelahan fisik dan emosi selama finansial memiliki rata-rata yang paling
merawat anggota keluarga dengan tinggi. Oleh karena itu meskipun
Jurna
l
pengetahuan keluarga tinggi tetapi jika keluarga tidak bekerja, dan pendidikan
kondisi finansial rendah maka beban yang rendah. Beban tersebut termasuk
keluarga akan menjadi berat. dalam kategori beban obyektif. Nadya
(2009) menjelaskan beban obyektif adalah
Hubungan Antara Beban Dengan Sikap berbagai beban dan hambatan yang
Keluarga Dalam merawat Pasien dijumpai dalam kehidupan keluarga yang
Perilaku Kekerasan berkaitan dengan perawatan penderita
Hasil penelitian ini terdapat responden yang gangguan jiwa, diataranya adalah beban
mengalami beban ringan memiliki sikap biaya finansial yang dikeluarkan untuk
tidak baik sebanyak 30 orang. Keluarga merawat penderita. Sesuai dengan
yang mengalami beban ringan dipengaruhi penelitian Gururaj, Bada, Reddy dan
oleh beberapa hal yaitu sosial ekonomi Chandrashkar (2008) menemukan bahwa
yang memadai, adanya sistem pendukung dari enam dimensi beban keluarga dengan
yang cukup dan keluarga memiliki konsep skizofrenia, skor finansial memiliki rata-
spiritual yang tinggi sehingga mampu rata yang paling tinggi. Peneliti
beradaptasi untuk menerima penyakit yang berpendapat jika kondisi sosial ekonomi
diderita anggota keluarganya. Sesuai tidak memadai maka beban yang dirasakan
dengan konsep Potter & Perry (2005) yang keluarga menjadi berat.
menjelaskan bahwa spiritualitas secara
signifikan membantu klien dan pemberi Fontaine (2003) menjelaskan bahwa
layanan untuk beradaptasi terhadap kemampuan keluarga ditentukan oleh
perubahan yang diakibatkan oleh penyakit kemampuan untuk manajemen stres yang
kronis. produktif. Kelelahan fisik dan emosi selama
merawat anggota keluarga dengan
Jika keluarga mengalami beban ringan gangguan jiwa sering melanda keluarga
maka sikap keluarga terhadap pasien karena berkurangnya stress tolerance.
perilaku kekerasan seyogyanya akan Teschinsky (2000) juga menjelaskan bahwa
menjadi baik. Yang menarik dari penelitian keluarga yang merawat anggota keluarga
ini adalah terdapat 30 responden mengalami dengan perilaku kekerasan akan mengalami
beban ringan namun memiliki sikap yang reaksi emosi terhadap gangguan dan stigma
tidak baik terhadap anggota keluarganya. sosial yang ditimbulkan karena perilaku
Hal ini dimungkinkan karena dampak yang kekerasan dengan dampak lainnya. Dapat
diterima oleh keluarga dari sikap pasien dimungkinkan hal inilah yang
perilaku kekerasan. Sesuai dengan konsep menyebabkan keluarga memiliki
Muesser & Gingerich (2006) bahwa kemampuan tidak baik dalam merawat
anggota keluarga sering menjadi korban pasien perilaku kekerasan
tindakan kekerasan yang dilakukan oleh
penderita skizofrenia. Pasien yang Keliat (2003) menjelaskan bahwa perilaku
mengalami perilaku kekerasan memberi kekerasan adalah tindakan menciderai
dampak yang merugikan bagi keluarga orang lain, diri sendiri, merusak harta benda
sehingga keluarga bersikap tidak baik (lingkungan), dan ancaman secara verbal.
terhadap dirinya. Muesser & Gingerich (2006) juga
menjelaskan bahwa anggota keluarga sering
Hubungan Antara Beban dengan menjadi korban tindakan kekerasan yang
Kemampuan Keluarga Dalam Merawat dilakukan oleh penderita skizofrenia. Hal
Pasien Perilaku Kekerasan. ini dapat diartikan bahwa Perilaku
kekerasan yang dilakukan pasien terhadap
Pada hasil penelitian didapatkan bahwa keluarga sangat merugikan keluarga dan
keluarga dengan beban berat memiliki mempengaruhi sikap keluarga dalam
kemampuan tidak baik yaitu 13 orang. Hal merawat pasien perilaku kekerasan menjadi
ini bisa disebabkan oleh faktor sosial tidak baik.
ekonomi antara lain kesulitan finansial,
Jurna
l
Hasil uji analisis penelitian menunjukkan dalam merawat pasien perilaku kekerasan P
adanya hubungan yang signifikan antara value > 0,05.
beban dengan kemampuan keluarga dalam
merawat pasien perilaku kekerasan (P DAFTAR PUSTAKA
Value<0,05). Hal ini dimungkinkan bahwa
beban keluarga sangat mempengaruhi Depkes.(2007).Riset kesehatan
kemampuan keluarga dalam merawat dasar.Jakarta: Balitbangkes Depkes.RI.
pasien perilaku kekerasan. Jika keluarga Fontaine,K.L.(2003) Mental health
terbebani maka keluarga tidak mampu nursing.New jersey.Pearson
merawat pasien perilaku kekerasan secara Education.Inc.
baik. Gururaj,G.P.,Bada,M.S.,Reddy,J.Y.C.,&Ch
andrashekar.,C.R.(2008) Family burden,
KESIMPULAN quality of life and disabilityin obsesive
Berdasarkan data demografi di Poliklinik compulsive disorder;in Indian
RS Marzoeki Mahdi Bogor yaitu responden perspective.J Postgradmed, 91-97.
penelitian sebanyak 103 orang dengan Hernawati.T.(2009) pengaruh terapi
kelompok usia rata-rata responden adalah suportif keluarga terhadap kemampuan
50,46 tahun. Jenis kelamin responden keluarga merawat klien gangguan jiwa
mayoritas Perempuan. Tingkat pendidikan di kelurahan Bubulak Bogor Barat.
responden mayoritas Sekolah. Pekerjaan Depok. Tesis. FIK UI
responden mayoritas tidak bekerja. Keliat, B.A.(2003) Pemberdayaan klien
Penghasilan responden rata-rata Rp dan keluarga dalam perawatan klien
1.178.640,-. Hubungan dengan pasien skizofrenia dengan perilaku kekerasan
mayoritas adalah ibu. Karakteristik pasien di RSJP Bogor. Disertasi. Jakarta.
berdasarkan usia didapatkan hasil bahwa Mueser, K.T& Gingerich,S.(2006) The
rata-rata usia pasien adalah 34 tahun. Jenis complete family guide to schizophrenia.
kelamin pasien mayoritas laki-laki. New York: Guilford press.
Pendidikan pasien mayoritas SD dan SMU. Nadya.R.(2009) Gambaran kebahagiaan
Jenis pekerjaan pasien mayoritas tidak dan karakteristik positif wanita dewasa
bekerja atau IRT. madya yang menjadi caregiver informal
Berdasarkan hasil penelitian bahwa penderita skizofrenia. Depok: Fakultas
responden mayoritas dengan beban psikologi UI.
keluarga ringan dan sedang. Responden Notoatmodjo.(2010)Ilmu perilaku
mayoritas memiliki pengetahuan sedang kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
dan sikap tidak baik.Kemampuan Nuraenah, Mustikasari, Putri.Y.S.E (2012)
responden dalam merawat pasien perilaku Hubungan dukungan keluarga dan
kekerasan di Poliklinik RS Marzoeki Mahdi beban keluarga dalam merawat anggota
Bogormemiliki kemampuan baik lebih dengan riwayat perilaku kekerasan di
tinggi dari pada kemampuan tidak baik, RS Jiwa Islam klender jakarta Timur.
tetapi jumlah kemampuan tidak baik cukup Depok.FIK.UI .Tesis.
signifikan. Potter & Perry (2005) Fundamental of
Berdasarkan uji analisis didapatkan bahwa nursing; Concept process and practice
tidak ada hubungan yang bermakna antara four edition. Philadelphia: Mosby Year
beban dengan tingkat pengetahuan keluarga Book. Inc.
dalam merawat pasien perilaku kekerasan, Riyandini.R..F.,Saraswati.H.R.,&Meikawat
nilai P value > 0.05. Ada hubungan yang i.W.(2011).Faktor-faktoryang
signifikan antara beban dengan sikap berhubungan dengan kekambuhan pada
keluarga dalam merawat pasien perilaku pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa
kekerasan P value < 0,05, dan ada Amino Gondoutomo Semarang.
hubungan yang signifikan antara beban Simatupang.(2010). Hubungan tingkat
keluarga dengan kemampuan keluarga pengetahuan keluarga tentang perilaku
kekerasan dengan kesiapan keluarga
merawat pasien di rumah.Respiratory usu ac.id/handle/123456789/20141. Diperoleh 7 Mei 2013.
Jurna
l
Sonatha.B.,Gayatri.D (2012) Hubungan tingkat pengetahuan dengan sikap keluarga dalam pemberian
perawatan pasien pasca stroke. Depok: FIK UI Skripsi
Jurna
l
Stuart.G.W. (2007) Buku saku keperawatan jiwa edisi 5. Alih bahasa Kapoh.R.P
&Komarayuda.E.Jakarta: EGC.
Teschinky, U. (2000). Living with schizophrenia: the family illness experience.Online J Issues
Nurs. Diakses 8 mei 2013.
Jurna
l
Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi Pada Pasien
Risiko Perilaku Kekerasan
Meri Natalia Simare Mare1, Dirman Laia2, Hikmah Sukitiro3, Fanny Fadillah4, Icca Cerahwati5 ,
Reynhad Daniel Manurung6
Merrysimaremare122@gmail.com
Abstrak
Pasien skizoprenia sering dikaitkan dengan perilaku kekerasan yang dapat membahayakan
diri sendiri maupun orang lain ataupun berisiko juga dengan lingkungan sekitarnya, baik
secara fisik, emosional, seksual, dan verbal. Risiko perilaku kekerasan merupakan gejala dari
pasien skizofrenia yang dapat dikontrol melalui terapi Aktivitas Kelompok.Terapi kelompok
merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan sekelompok pasien bersama-sama dengan
berdiskusi satu sama lain yang dipimpin atau arahkan oleh perawat spesialis jiwa atau
perawat jiwa yang telah terlatih. Dalam pelaksanaan TAK jumlah Pasien terdiri dari 6 orang,
dimana pesertanya 2 Laki-laki dan 4 Perempuan. Hasil dari kegiatan TAK Pasien mampu
memperagakan/ mengekspresikan SP Risiko Perilaku Kekerasan, dan mampu mengamati
dengan baik jalan nya kegiatan TAK. Setelah mendapatkan terapi aktivitas kelompok
stimulasi persepsi, pasien di Yayasan pemenang jiwa sumatera terjadi peningkatan
pengetahuan, pemahaman tentang cara mengontrol emosi
Jurna
l
BAB 1
PENDAHULUAN
Terapi modalitas yang tepat untuk mengatasi Risiko prilaku kekerasan yaitu
terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi yang bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan sensori, untuk memusatkan perhatian, kesegaran
jasmani dan mengespresikan perasaan.Terapi ini dilakukan menggunakan
aktivitas sebagai stimulus dan terkait dengan pengalaman dalam kehidupan
untuk mendiskusikan dalam kelompok. Dengan aktifitas kelompok ini, maka
Jurna
l
akan memberikan dampak positif dalam upaya pencegahan, meningkatkan
pengobatan, dan pemulihan kesehatan (Pratiwi., 2020).
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Setelah mengikuti kegiatan ini Pasien dapat lebih menerapkan stategi
pelaksanaan Risiko Perilaku Kekerasan secara fisik dan sosial dalam
mengontrol Risiko Perilaku Kekerasan.
Jurna
l
BAB 2
STANDAR PELAKSANAAN TERAPI AKTIFITAS KELOMPOK
STIMULASI PERSEPSI
1. Ny. Tiurma
2. Ny. Rebecca
3. Ny. Juli
4. Tn.Budi Harsono
5. Tn.Aseng
6. Tn. Acong
Observer
P P
Fasilitator Fasilitator
P P
P P
Fasilitator
Keterangan Gambar:
L :Leader
CL :Co Leader
F :Fasilitator
O : Observer
2.7.2 Co.Leader :
1. Mendampingi Leader
2. Menjelaskan aturan permaian
3. Menyampaikan informasi dari fasilitator ke leader tentang aktivitas
Pasien
4. Mengingatkan leader jika kegiatan menyimpang dari perencanaan
yang telah di buat
5. Mengambil alih posisi leader jika leader mengalami blocking
dalam proses terapi
2.7.3 Fasilitator :
1. Menyediakan fasilitas selama kegiatan berlangsung ikut serta Jurna
l
dalam kegiatan kelompok
Jurna
l
2. Memfasilitasi dan memberikan stimulus dan motivator pada
anggota kelompok untuk aktif mengikuti jalannya terapi
2.7.4 Observer :
1. Mengobservasi jalannya proses kegitan
2. Mengamati serta mencatat perilaku verbal dan non verbal pasien
selama kegiatanberlangsung (dicatat pada format yang tersedia)
3. Mengawasi jalannya aktivitas kelompok dari mulai persiapan,
proses , hingga penutupan
4. Memberikan hadiah (reward) bagi pasien yang menang dalam
permainan.
2. Evaluasi/Vasilidasi
Leader menanyakan perasaan dan keadaan Pasien saat ini.
3. Kontrak
a. Menjelaskan tujuan kegiatan
b. Menjelaskan aturan main yaitu :
1) Berkenalan dengan anggota kelompok
2) Jika ada peserta yang akan meninggalkan kelompok, harus
minta izin pada pemimpin TAK
3) Lama Kegiatan 45 menit
4) Setiap pasien mengikuti kegiatan dari awal sampai akhir
2.10.5 Evaluasi
1. Pasien mengikuti kegiatan dari awal hingga akhir kegiatan
2. Kerja sama Pasien dalam kegiatan
3. Pasien merasa senang selama mengikuti kegiatan
Jurna
l
BAB 3
EVALUASI
Jurna
l
3.1.1 Evaluasi Kemampuan Verbal
Jurna
l
4 Dapat
meningkatkan
Jurna
l
kemampuan akan
kegiatan kelompok,
mengikuti kegiatan
dari awal sampai
akhir
5 Mampu melakukan
hubungan social
dengan
lingkungannya
(mau berinteraksi
dengan
perawat/Pasien
lain).
Jurna
l
3.2 Respon Pasien
Respon pasien saat diberikan terapi aktivitas kelompok yaitu :
d. Kemampuan Spritual
Pasien mengatakan setiap bangun tidur atau melakukan kegiatan selalu
diawali dengan doa. Pasien selalu mengikuti kegiatan ibadah di
Yayasan pemenang jiwa sumatera.
Jurna
l
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Jurna
l
4.2 Saran
Diharapkan bagi tenaga perawat menjadikan Terapi Aktivitas Kelompok
stimulasi persepsi sebagai tindakan keperawatan untuk setiap pasien dengan
masalah gangguan jiwa khusunya pasien Risiko Prilaku Kekerasan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sepalanita & Khairani
(2019), Stimulasi persepsi yang diberikan pada Pasien Risiko Perilaku
Kekerasan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan
mengenal dan mengontrol prilaku kekerasan baik secara fisik maupun secara
sosial.
Jurna
l
DAFTAR PUSTAKA
Dwijayanti, D. A., Lestari, R. T. R., Lestari, N. K. Y., Wati, N. M. N., & Masta, I.
Makhruzah, S., Putri, V. S., & Yanti, R. D. (2021). Pengaruh Penerapan Strategi
Pelaksanaan Perilaku Kekerasan terhadap Tanda Gejala Pasien
Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi. Jurnal
Akademika Baiturrahim Jambi, 10(1), 39-46.
http://dx.doi.org/10.36565/jab.v10i1.268
Pardede, J. A., & Ramadia, A. (2021). The Ability to Interact With Schizophrenic
Patients through Socialization Group Activity Therapy. International
Journal of Health Science and Medical Research, 1(1), 06-10.
http://ijhsmr.com/index.php/ijhsmr/article/view/6
14.http://114.7.97.221/index.php/NERS/article/view/1005
Jurna
l
Pardede, J. A., & Laia, B. (2020). Decreasing Symptoms of Risk of Violent
Behavior in Schizophrenia Patients Through Group Activity
Therapy. Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa, 3(3), 291-
300.http://journal.ppnijateng.org/index.php/jikj/article/view/621/338
431.http://dx.doi.org/10.33087/jiubj.v19i2.690
Jurna
l
KONSELING BAGI ANAK
YANG MENGALAMI PERILAKU KEKERASAN
Hesty Nurrahmi
Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Pontianak Email: es4ty@yahoo.com
ABSTRACT
The violence behavior on children is often performed by the closest people of them, such as parents, family, and
school environment. There are four categories of violence acts on children: negligence, physical assault,
psychological and emotional harassment, and sexual harassment. This paper explores the counseling or the
supporting towards the children experiencing the violence behaviors. Furthermore, those behaviors include the
types of abuse acts, the causes of violence acts, and the counseling given to the children and family that
encounter the violence behaviors.
PENDAHULUAN
Anak merupakan dambaan setiap pasangan yang telah menikah. Bagi pasangan yang tidak bisa
atau belum dikarunia anak, pasti akan sangat berharap hadirnya seorang anak dalam kehidupan
mereka. Melalui berbagai cara dan usaha dilakukan untuk memperoleh anak. Berbeda dengan
pasangan yang telah memiliki anak, berbagai cara memperlakukan anak, ada yang otoriter
dengan alasan sangat menyanyangi anak-anak mereka, ada yang tipe otoritatif anak
diperlakukan bebas, terbatas dan bertanggungjawab, ada lagi tipe yang selain kedua di atas
yaitu tipe permisif. Tipe ini biasanya membiarkan anak-anak mereka mengatur hidup mereka
sendiri, mungkin karena kesibukan orangtua atau tidak mengetahui cara mengasuh anak. Anak
adalah amanah atau titipan Allah SWT kepada kita. Untuk itu diperlukan ilmu dan kesabaran
dalam mengasuh, mendidik dan merawat anak.
Keluarga merupakan pendidikan pertama dan utama bagi anak (Mansur: 2005). Berawal dari
keluarga, anak belajar berbagai hal. Namun, terkadang melalui keluarga dan orang-orang
terdekat, anak memperoleh perilaku kekerasan. Kekerasan terhadap anak(menurut
Wikipedia:2015) adalah tindak kekerasan secara fisik, seksual, penganiyaan emosional, atau
pengabaian terhadap anak. Di Amerika Serikat, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit
(CDC) mendefinisikan penganiayaan anak sebagai setiap tindakan atau serangkaian tindakan
wali atau kelalaian oleh orang tua atau pengasuh lainnya yang dihasilkan dapat
membahayakan, atau berpotensi bahaya, atau memberikan ancaman yang berbahaya kepada
anak. Sebagian besar terjadi kekerasan terhadap anak di rumah anak itu sendiri dengan jumlah
yang lebih kecil terjadi di sekolah, di lingkungan atau organisasi tempat anak berinteraksi. Ada
empat kategori utama tindak kekerasan terhadap anak yaitu: pengabaian, kekerasan fisik,
pelecehan emosional/psikologis, dan pelecehan seksual anak.Beberapa kasus yang memiliki
kategori kekerasanpada anak antara lain: kasus yang dialami DA (10) anak yang disetrika oleh
ibu tirinya berinisial S (33) hingga mengakibatkan luka melepuh di bagian pipi. (23 Maret
2015); Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menganggap kalau sekolah kini bukan
tempat yang aman bagi anak. Sekolah yang seharusnya memberikan perlindungan dan
pengetahuan berganti menjadi tempat yang menakutkan bagi anak."Fenomena punishment
bermuatan kekerasan masih terjadi. Masa orientasi
159 159
siswa baru belum steril dari kekerasan," kata Susanto komisioner KPAI bidang pendidikan
kepada wartawan. Masalah bullying, lanjut Susanto masih jadi tradisi dibeberapa sekolah.
Perbuatan senior yang melakukan penindasan kepada junior dianggap biasa. "Ini diabaikan oleh
sekolah. Seolah ada pembenaran terkait muatan kekerasan itu," tambahnya. Titik-titik rawan
kejahatan seksual, lanjut Susanto di sekolah antara lain laboratorium komputer, toilet, lokasi
sekolah yang tak terekam oleh CCTV, kolam renang. "Jadi tetap harus berhati-hati saat berada
di sekolah. Bagi sekolah harus selalu evaluasi sejauh mana bisa bertindak tanpa kekerasan
dalam proses belajar mengajar," tutup Susanto. (Metro sindonws: 2015)
Selain itu, pengaduan tindak kriminal anak dan perempuan Kota Depok meningkat dibanding
tahun lalu. Pada tahun 2014 tercatat ada 113 kasus, tahun ini bertambah menjadi 204 kasus.
Anggota Komisi D DPRD Kota Depok Rezky M. Noor mengaku miris dengan meningkatnya
kasus kekerasan anak dan perempuan. Peningkatan tersebut dipicu pula oleh tingginya
kesadaran masyarakat untuk melapor ketika menjadi korban kekerasan. "Adanya peningkatan
laporan kasus ini kami rasa bukan karena tindakan kriminal melainkan karena para korban dan
warga berani melaporkan kejadian kepada pihak kepolisian," kata Rezky usai pertemuan
dengan pihak kepolisian Unit Pelayanan Perempuan dan Anak di Polresta Kota Depok. (Metro
Sindonews:2015)
Data pengaduan kejahatan terhadap anak yang diterima oleh Polresta Depok kekerasan
terhadap anak mencapai 36 kasus, persetubuhan terhadap anak 40 kasus, pencabulan terhadap
anak 32 kasus. "Dari temu wicara kami dengan aparat Kepolisian setiap harinya mendapatkan
sekitar 15 kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan," katanya. Sebelumnya, seorang anak
tunarungu menjadi korban perkosaan tetangganya sendiri. DR, siswi kelas V sebuah SLB di
Depok diduga diperkosa ketika pulang sekolah. Saat itu korban baru saja turun dari jemputan
dan jalan kaki menuju rumahnya seorang diri. Korban kemudian ditarik pelaku ke lahan kosong
dan diduga disetubuhi.
Demikianlah beberapa kasus perilaku kekerasan pada anak yang secara kuantitas tiap tahun
menunjukkan peningkatan dan secara kualitas menunjukkan kekerasan yang parah dan
memberikan luka yang mendalam baik secara fisik maupun psikis. Masalah ini tidak dapat
dipungkiri akan berdampak yang luar biasa bagi anak baik dimasa sekarang maupun masa akan
datang. Tulisan selanjutnya akan menguraikan jenis-jenis perilaku kekerasan, penyebab
perilaku kekerasan dan bantuan konseling yang dapat diberikan bagi anak dan keluarga yang
mengalami perilaku kekerasan.
160 160
Pengabaian bermakna membiarkan anak tanpa memberikan pengasuhan, penjagaan dan
perhatian secara baik dan benar. Pengabaian terhadap anak termasuk penyiksaan secara
pasif, yaitu segala ketiadaan perhatian yang memadai, baik fisik, emosi maupun sosial.
Pengabaian anak banyak dilaporkan sebagai kasus terbesar dalam kasus penganiayaan
terhadap anak dalam keluarga. Dampak fisik yang dapat dirasakan anak seperti kurangnya
asupan gizi, tidak terurusnya anak dalam segi kebersihan pakaian, dan kebersihan badan.
Sedangkan dampak emosi seperti mudah cemas, depresi, sulit percaya pada orang lain dan
merasa tidak aman; penelitian Dante Cicchetti, ahli psikopatologi dari University of Minessota
(AS) menyebut, 80% bayi yang ditelantarkan menunjukkan perilaku kelekatan yang tidak
jelas; di usia muda anak menolak dan melawan pengasuhnya, bingung, gelisah, atau cemas.
Di usia 6 tahun, anak tidak bertingkah laku layaknya anak, ia ingin mendapat perhatian
dengan cara melayani orangtuanya. Secara rinci jenis-jenis pengabaian anak:
a. Pengabaian fisik, misalnya keterlambatan mencari bantuan medis, pengawasan yang
kurang memadai, serta tidak tersedianya kebutuhan akan rasa aman dalam keluarga.
b. Pengabaian pendidikan terjadi ketika anak seakan-akan mendapat pendidikan yang
sesuai padahal anak tidak dapat berprestasi secara optimal. Lama kelamaan hal ini
dapat mengakibatkan prestasi sekolah yang semakin menurun.
c. Pengabaian secara emosi dapat terjadi misalnya ketika orangtua tidak menyadari
kehadiran anak ketika ´ribut´ dengan pasangannya. Atau orangtua memberikan
perlakuan dan kasih sayang yang berbeda diantara anak-anaknya.
d. Pengabaian fasilitas medis. Hal ini terjadi ketika orangtua gagal menyediakan layanan
medis untuk anak meskipun secara finansial memadai. Dalam beberapa kasus orangtua
memberi pengobatan tradisional terlebih dahulu, jika belum sembuh barulah kembali
ke layanan dokter.
161 161
f. Tingkatan sosial ekonomi. Anak pada keluarga dengan status sosial ekonomi rendah
cenderung lebih merasakan dampak negatif dari penganiayaan anak.
2. Penyiksaan Fisik, Segala bentuk penyiksaan fisik terjadi ketika orangtua frustrasi atau
marah, kemudian melakukan tindakan-tindakan agresif secara fisik, dapat berupa cubitan,
pukulan, tendangan, menyulut dengan rokok, membakar, dan tindakan-tindakan lain yang
dapat membahayakan anak. Sangat sulit dibayangkan bagaimana orangtua dapat melukai
anaknya. Sering kali penyiksaan fisik adalah hasil dari hukuman fisik yang bertujuan
menegakkan disiplin, yang tidak sesuai dengan usia anak. Banyak orangtua ingin menjadi
orangtua yang baik, tapi lepas kendali dalam mengatasi perilaku sang anak. Efek dari
penyiksaan fisik:Penyiksaan yang berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu lama akan
menimbulkan cedera serius terhadap anak, dan meninggalkan bekas baik fisik maupun
psikis, anak menjadi menarik diri, merasa tidak aman, sukar mengembangkan trust
kepada orang lain, perilaku merusak, dan lain-lain. Dan bila kejadian berulang ini terjadi
maka proses recoverynya membutuhkan waktu yang lebih lama pula.
3. Penyiksaan Emosi, adalah semua tindakan merendahkan atau meremehkan orang lain.
Jika
hal ini menjadi pola perilaku maka akan mengganggu proses perkembangan anak selanjutnya.
Hal ini dikarenakan konsep diri anak terganggu, selanjutnya anak merasa tidak berharga untuk
dicintai dan dikasihi. Anak yang terus menerus dipermalukan, dihina, diancam atau ditolak
akan menimbulkan penderitaan yang tidak kalah hebatnya dari penderitaan fisik. Bayi yang
menderita deprivasi (kekurangan) kebutuhan dasar emosional, meskipun secara fisik terpelihara
dengan baik, biasanya tidak bisa bertahan hidup. Deprivasi emosional tahap awal akan
menjadikan bayi tumbuh dalam kecemasan dan rasa tidak aman, dimana bayi lambat
perkembangannya, atau akhirnya mempunyai rasa percaya diri yang rendah.
Jenis-jenis penyiksaan emosi adalah:
a. Penolakan, Orangtua mengatakan kepada anak bahwa dia tidak diinginkan, mengusir
anak, atau memanggil anak dengan sebutan yang kurang menyenangkan. Kadang anak
menjadi kambing hitam segala problem yang ada dalam keluarga.
b. Tidak diperhatikan, Orangtua yang mempunyai masalah emosional biasanya tidak
dapat merespon kebutuhan anak-anak mereka. Orangtua jenis ini mengalami problem
kelekatan dengan anak. Mereka menunjukkan sikap tidak tertarik pada anak, sukar
memberi kasih sayang, atau bahkan tidak menyadari akan kehadiran anaknya. Banyak
orangtua yang secara fisik selalu ada disamping anak, tetapi secara emosi sama sekali
tidak memenuhi kebutuhan emosional anak.
c. Ancaman, Orangtua mengkritik, menghukum atau bahkan mengancam anak. Dalam
jangka panjang keadaan ini mengakibatkan anak terlambat perkembangannya, atau
bahkan terancam kematian.
d. Isolasi, Bentuknya dapat berupa orangtua tidak mengijinkan anak mengikuti kegiatan
bersama teman sebayanya, atau bayi dibiarkan dalam kamarnya sehingga kurang
mendapat stimulasi dari lingkungan, anak dikurung atau dilarang makan sesuatu
sampai waktu tertentu.
e. Pembiaran, Membiarkan anak terlibat penyalahgunaan obat dan alkohol, berlaku
kejam terhadap binatang, melihat tayangan porno, atau terlibat dalam tindak kejahatan
seperti mencuri, berjudi, berbohong, dan sebagainya. Untuk anak yang lebih kecil,
162 162
membiarkannya menonton adegan-adegan kekerasan dan tidak masuk akal di televisi termasuk
juga dalam kategori penyiksaan emosi.
163 163
alkohol. Ada juga orangtua yang tidak menyukai peran sebagai orangtua sehingga terlibat
164 164
pertentangan dengan pasangan dan tanpa menyadari bayi/anak menjadi sasaran amarah dan
kebencian.
Menurut Gelles Richard J. (1982) mengemukakan bahwa kekerasan terhadap anak (child
abuse) terjadi akibat kombinasi dari berbagai faktor, yaitu:
a. Pewarisan Kekerasan Antar Generasi (intergenerational transmission of violence).
Banyak anak belajar perilaku kekerasan dari oran tuanya dan ketika tumbuh menjadi dewasa
mereka melakuakan tindakan kekerasan kepada anaknya. Dengan demikian, perilaku kekerasan
diwarisi (transmitted) dari generasi ke generasi. Studi studi menunjukkan bahwa lebih kurang 30%
anak-anak yang diperlakukan dengan kekerasan menjadi orangtua yang bertindak keras kepada
anak anaknya.
Sementara itu, hanya 2 sampai 3 persen dari semua individu menjadi orangtua yang
memperlakukan kekerasan kepada anak-anaknya. Anak-anak yang mengalami perlakuan salah dan
kekerasan mungkin menerima perilaku ini sebagai model perilaku mereka sendiri sebagai orang
tua. Tetapi, sebagian besar anak-anak yang diperlakukan dengan kekerasan tidak menjadi orang
dewasa yang memperlakukan kekerasan kepada anak-anaknya.
b. Stres Sosial (social stress)
Stres yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan risiko kekerasan terhadap
anak dalam keluarga. Kondisi-kondisi sosial ini mencakup: pengangguran (unemployment),
penyakit (illness), kondisi perumahan buruk (poor housing conditions), ukuran keluarga besar dari
rata-rata (a larger than average family size), kelahiran bayi baru (the presence of a new baby), orang
cacat (disabled person) di rumah, dan kematian (the death) seorang anggota keluarga. Sebagian
besar kasus dilaporkan tentang tindakan kekerasan terhadap anak berasal dari keluarga yang
hidup dalam kemiskinan.
Tindakan kekerasan terhadap anak juga terjadi dalam keluarga kelas menengah dan kaya, tetapi
tindakan yang dilaporkan lebih banyak di antara keluarga miskin karena beberapa alasan.
c. Isolasi Sosial dan Keterlibatan Masyarakat Bawah
Orangtua dan pengganti orangtua yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak cenderung
terisolasi secara sosial. Sedikit sekali orangtua yang bertindak keras ikut serta dalam suatu
organisasi masyarakat dan kebanyakan mempunyai hubungan yang sedikit dengan teman atau
kerabat.
d. Struktur Keluarga
Tipe-tipe keluarga tertentu memiliki risiko yang meningkat untuk melakukan tindakan
kekerasan dan pengabaian kepada anak. Misalnya, orang tua tunggal lebih memungkinkan
melakukan tindakan kekerasan terhadap anak dibandingkan dengan orangtua utuh. Selain itu,
keluarga keluarga di mana baik suami atau istri mendominasi di dalam membuat keputusan
penting, seperti : di mana bertempat tinggal, pekerjaan apa yang mau diambil, bilamana
mempunyai anak, dan beberapa keputusan lainnya, mempunyai tingkat kekerasan terhadap
anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga keluarga yang suami istri sama sama
bertanggungjawab atas keputusan keputusan tersebut.
165 165
2. Penuhi kebutuhan anak untuk menumbuhkan rasa percaya dan rasa aman.
3. Ajak anak bermain dan penuhi kebutuhan emosinya seperti diajak bicara atau dibelai,
namun tetap mempertahankan sikap konsisten, tidak cepat marah dan tidak memberi
penilaian negatif pada sikap anak.
4. Untuk kasus tertentu, perlu penanganan mendalam, misalnya anak yang mengalami trauma
fisik dan psikis. Berbagai terapi atau treatment yang dapat digunakan sesuai perilaku
kekerasan yang di alami anak.
5. Untuk kasus pengabaian anak dan penyiksaan emosi, konseling yang diberikan antara lain
memberikan perhatian dan kasih sayang yang ekstra, memperbaiki komunikasi orangtua-
anak. Untuk kasus ini peran orang tua sangat penting. Konselor atau terapis hanya bersifat
mengarahkan.
6. Untuk kasus penyiksaan fisik dan pelecehan seksual, konseling yang diberikan perlu
beberapa kali konseling atau treatment, tergantung tingkat keparahan yang dialami anak.
Bagi anak-anak teknik konseling yang dapat digunakan, dapat berupa terapi bermain,
menggambar atau bercerita tergantung identifikasi kasus dan kebutuhan anak. Metode yang
dapat digunakan dapat melalui konseling kelompok maupun individual.
7. Tujuan dari teknik yang digunakan: membantu anak mengembangkan kekuatan yang
berpusat dan mengaktualisasikan diri mereka sehingga mereka dapat menghadapi dengan
lebih sukses dengan diri mereka dan lingkungannya.
Contoh kasus, dengan bantuan konseling individual:
Latar belakang informasi. St umur 10 tahun, anak tengah dari 5 bersaudara, memiliki 2 saudara
perempuan dan 2 saudara laki-laki. Kedua orang tuanya sibuk bekerja dan aktif dalam kegiatan
masyarakat. Ibu St mempunyai sifat yang otoriter dan disiplin yang percaya bahwa orangtua
harus “keras” dengan anak-anaknya. Orangtua St mengalami kesulitan berhubungan dengan
anak-anak mereka dan memilih untuk memperlakukan mereka sebagai miniature orang dewasa.
Semua anak mengalami masalah dalam hubungan pribadi. Anak yang besar mempunyai
masalah emosi dan sedang dalam proses penyembuhan.
Penyampaian masalah. St dikirim ke konseling karena dia berjalan kaku, gerak tubuh dan bicaranya
seperti robot, dan mengatakan bahwa teman sekelasnya adalah anak-anak dari luar angkasa.
Tingkahlakunya menjadikan St menjadi bahan tertawaan teman-teman sebayanya. St sangat
pendiam dan mengasingkan diri, dan menurut hasil sosiogram dia tidak mempunyai teman
dalam kelasnya. Gurunya hari ini menyampaikan: Hari ini St bersembunyi di belakang selama
40 menit meskipun dia harus ke kelas matematika. Tidak ada penjelasan-hanya menangis.
166 166
kerjasama
dengan anak, pertemuan awal konselor memberikan kesempatan kepada orangtua untuk
mengungkapkan masalah mereka dan mereka merasa dihargai dan dimengerti. Pada pertemuan
awal ini, konselor mendapatkan informasi tentang gaya hidup orangtua dan interaksi orangtua
dan anak. Dalam mengeksplorasi hubungan orangtua anak, konselor menemukan sebagian
besar gangguan hubungan antara orang tua dan anak.
Pertemuan ke 2 dan seterusnya dilakukan konselor sebagai proses konseling yang terdiri,
pengungkapan masalah dari anak dan keluarga, melakukan proses treatment, penyadaran diri
anak, aktualisasi diri dan sampai akhirnya St perlahan-lahan mengubah perilakunya yang kaku
seperti robot. Dia berhenti sakit dan sering menangis. Akhirnya, dia diterima oleh anak-anak
teman sebayanya dalam kelas dan mereka mulai bermain catur bersama-sama. Pada puncak
kesembuhannya, St menemukan bahwa lebih nyaman menjadi anak laki-laki daripada tetap
menjadi makhluk planet/robot.
PENUTUP
Demikianlah uraian tentang konseling terhadap perilaku kekersan pada anak dan salah satu
contoh kasus anak dengan perilaku keras atau sikap otoriter orangtua. Melalui proses konseling
yang berkali-kali dan cukup lama, serta peran serta orangtua dan keluarga, anak dapat
mengalami perubahan dan penyembuhan. Namun kesembuhan anak yang terjadi tidak berarti
anak sehat 100%, akan tetapi harus terus dibarengi dengan mengkondisikan hubungan dan
lingkungan yang sehat, tetap memberikan perhatian dan kasih sayang yang optimal. (*)
REFERENSI
167 167
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 19 No.3, November 2016, hal 191-199 pISSN 1410-
4490, eISSN 2354-9203
DOI : 10.7454/jki.v19i3.481
*E-mail: msubuo61@uottawa.ca
Abstrak
Salah satu efek stigmatisasi gangguan jiwa adalah perilaku kekerasan yang dilakukan oleh
penderita terhadap orang- orang di sekitarnya termasuk keluarga, perawat dan masyarakat.
Sebaliknya, penderita mengalami kekerasan dari keluarga, masyarakat dan profesional
keperawatan. Penelitian ini bertujuan memahami dampak stigmatisasi dalam hubungannya
dengan perilaku kekerasan terhadap penderita; serta untuk mengetahui perilaku kekerasan
yang dilakukan oleh penderita terhadap orang lain. Penelitian ini menggunakan Constructivist
Grounded Theory. Metode pengumpulan data termasuk wawancara semi-terstruktur, dokumen
reviu, catatan lapangan, dan memo. Analisis data menggunakan metode Paillé. Perilaku
kekerasan adalah efek stigmatisasi termasuk kekerasan diri sendiri dan kekerasan terhadap
keluarga, masyarakat dan tenaga kesehatan. Kekerasan fisik juga dialami penderita dari orang
lain. Dampak stigmatisasi dimanifestasikan dengan perilaku kekerasan yang dilakukan oleh
penderita, keluarga, staf rumah sakit, masyarakat, dan aparat. Hasil temuan ini relevan untuk
para perawat jiwa yang memberikan asuhan keperawatan terhadap pasien perilaku kekerasan.
Penelitian lanjut diperlukan untuk melihat perspektif keluarga, masyarakat dan staf
pemerintah terkait stigma dengan perilaku kekerasan.
Pendahuluan
Para ahli memperkirakan 15% populasi global akan memiliki masalah gangguan jiwa tahun
2020 (Harpham, et al., 2003). Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) tidak hanya mengala- mi
dampak akibat gejala dan penyakit, tetapi juga stigmatisasi (Kapungwe, 2010). Prevalen-
si ODGJ berat di Indonesia adalah 1,7 per 1000 dan ODGJ ringan sekitar 6% dari total
populasi (Kemenkes, 2013). Tujuh puluh lima persen ODGJ mengalami stigma dari masyara-
kat, pemerintah, petugas kesehatan dan media (Hawari, 2001). Perilaku kekerasan ODGJ
menjadi penyebab utama stigmatisasi di ma- syarakat dan tenaga kesehatan.
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
Kekerasan merupakan salah satu konsekuensi serius dari gangguan jiwa yaitu 2,5 kali lebih
besar dibandingkan dengan populasi (Corrigan & Watson, 2005). Profesional dalam pelaya-
nan kesehatan jiwa menjadi korban kekerasan tiga kali lebih tinggi daripada dalam pelayanan
kesehatan umum (Bilgin & Buzlu, 2006). Terjadi risiko perilaku kekerasan dari pasien dalam
keperawatan jiwa yang lebih tinggi (Lawoko, Soares & Nolan, 2004). Perilaku kekerasan
merupakan kejadian umum di RS (Spector, et al., 2007). Tenaga kesehatan, se- bagian besar
perawat, beresiko menjadi korban kekerasan (Holmes, Rudge, Perron, & St- Pierre, 2012).
ODGJ menghadapi stigmatisasi yang menyebabkan mereka rentan terhadap perilaku
kekerasan orang. ODGJ lebih sering menjadi korban daripada pelaku kekerasan (Stuart,
2004), menjadi korban fisik dan seksual (Teplin, et al., 2005) dan menjadi kor- ban kejahatan
dan diskriminasi (Katsikidou, et al., 2012). Sepu-luh persen penderita adalah korban
kekerasan (Schomerus, et al., 2008).
Suatu penelitian di Australia mengungkapkan bahwa 88% mereka yang dirawat di RS jiwa
telah mengalami viktimisasi; 84% setelah mengalami serangan fisik dan 57% setelah
mengalami kekerasan seksual (McFarlane, Schrade, & Bookless, 2004). Penelitian lain
menunjukkan bahwa ODGJ mengalami ke- kerasan yang terjadi dalam lingkungan ke- luarga
dan bukan orang asing. Mereka sering dipukul atau diancam oleh anggota keluarga mereka
(Katsikidou, et al., 2012; Solomon, Cavanaugh, & Gelles, 2005). Telaah literatur intensif
mengungkapkan bahwa penelitian tentang stigmatisasi gangguan jiwa belum fokus pada
dampaknya terhadap perilaku ke- kerasan pada ODGJ. Penelitian ini mem- berikan analisis
mendalam untuk memahami hubungan antara stigmatisasi dengan perilaku kekerasan pada
ODGJ.
Metode
Penelitian ini memberikan pemahaman subs- tantif tentang pengalaman stigmatisasi dan
Penelitian ini dilakukan di rumah sakit X di Bogor. Partisipan penelitian adalah pasien
skizofrenia dan perawat laki-laki dan perem- puan yang bekerja di rumah sakit. Sebanyak 30
partisipan direkrut, lebih dari cukup untuk memastikan saturasi data (Charmaz, 2006). Para
partisipan hanya yang memiliki kemam- puan membaca dan menulis, berusia 18 tahun atau
lebih, mengalami gangguan jiwa dan stigma.
Pengumpulan data melalui wawancara semi- berstruktur yang direkam menggunakan digital
audio. Telaah dokumen juga digunakan seba- gai triangulasi data untuk meningkatkan pro-
babilitas kredibilitas interpretasi data (Lincoln & Guba, 1985). Dokumen tersebut berupa
hardcopy dan elektronik seperti laporan, log perawat, pre dan post konferensi, moto, visi dan
misi RS. Memo digunakan untuk mendo- kumentasikan pengalaman dalam laporan ker- tas
yang menjelaskan proses berpikir peneliti. Catatan lapangan dari observasi dan refleksi data,
merupakan bagian dari pendekatan ref- leksif proses analitis data (Charmaz, 2006).
Analisis data menggunakan metode Paille (1994) yang meliputi kodifikasi, kategorisasi,
menghubungkan kategori, integrasi, konsep- tualisasi, dan teorisasi. Sesuai Heath dan Cowley
(2004) terdapat tiga tahapan analisis yaitu koding awal, fase menengah, dan
pengembangan akhir. Berdasarkan tahapan ini, data analisis Paille (1994) juga dapat dibagi
menjadi tiga tahap: kodifikasi dan kategorisasi (koding awal), menghubungkan kategori dan
integrasi (tahap menengah), konseptualisasi dan teorisasi (pengembangan akhir). Tahap
kodifikasi adalah dimulai dengan mengatur kata-kata, persepsi dan pengalaman dalam bentuk
kode secara terorganisir (proses pembentukan kode). Tujuannya adalah mem- beri nama,
mengungkap, meringkas dan mem- beri label, baris demi baris, dari data trans- kripsi.
Kodifikasi ini membantu mengidenti- fikasi adanya tumpang tindih antara kode awal dan
pembentukan kategori. Tahap kategorisasi adalah untuk menggambarkan fenomena se- cara
umum atau peristiwa yang muncul dari data yang kemudian dibuat daftar kategori. Tahap ini
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
adalah untuk menentukan kategori dengan mengidentifikasi variasi dalam data dapat
dijelaskan dengan kategori lain. Tahap integrasi adalah menentukan fenomena- fenomena
yang telah diamati secara empiris. Dengan mengintegrasikan hubungan antara kategori,
peneliti mengidentifikasi kongruensi tertentu yang muncul antara data dan arah penelitian
yang diambil selama analisis. Tahap konseptualisasi adalah proses pengembangan dan
klarifikasi konsep-konsep yang muncul dan menjelaskan konsep tersebut dengan kata- kata
dan untuk memberikan definisi konsep- tual secara verbal. Proses ini memungkinkan peneliti
untuk memahami fenomena penelitian dan kompleksitasnya. Akhirnya, tahap teori- sasi
merupakan proses konstruksi untuk me- nguatkan teori atau pemahaman susbstantif. Tidak
semua penelitian grounded theory menghasilkan teori; akan tapi pemahaman yang mendalam
dan substantif merupakan hasil akhir dari sebuah penelitian dengan grounded theory Charmaz
(2006).
Untuk keabsahan (trustworthiness), kriteria pertama adalah kredibilitas (Chiovitti & Piran,
2003). Kredibilitas dalam penelitian ini adalah dengan mengumpulkan data dari berbagai
sumber diantaranya melalui wawancara, cata- tan lapangan, dan memo. Koding data dengan
kata-demi-kata, baris demi baris, dan meng- gunakan koding in vivo, yang mencerminkan
pengalaman partisipan terkait stigma dengan gangguan jiwa. Penelitian ini menggunakan kata-
kata partisipan yang sebenarnya untuk menjelaskan fenomena penelitian, dan diarti- kulasikan
dengan asumsi, posisi epistemologis dan teoritis yang memengaruhi proses peneli- tian.
Dilakukan evaluasi diri sebagai instrumen dan melihat efek peneliti yang dilakukan melalui
refleksi diri dan memoyang ditulis dalam jurnal.
Auditabilitas berkaitan dengan konsistensi temuan, bahwa peneliti lain dapat mengikuti
dengan jelas proses berpikir peneliti (Sandelowski, 1986). Dalam penelitian ini, auditabilitas
dilakukan dengan kriteria untuk merumuskan pemikiran, bagaimana dan mengapa para
partisipan dalam penelitian ini dipilih. Dalam penelitian ini, peneliti menggu- nakan kerangka
yang disajikan oleh Paille (1994) untuk mengidentifikasi langkah-lang- kah dalam analisis
data dan memastikan bah- wa pembaca dapat memahami bagaimana data itu didapatkan atau
dibentuk oleh partisipan dan peneliti.
Fittingness atau transferabilitas berarti hasil penelitian memiliki arti yang sama pada situasi
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
serupa (Chiovitti & Piran, 2003). Dalam penelitian ini, selama proses koding, semua data yang
dibuat kode telah diperiksa oleh seorang pakar lain untuk melakukan cek eksternal yang
terkait dengan hasil penelitian.
Hasil
Kekerasan ODGJ terhadap Diri Sendiri. Keinginan pasien bunuh diri yaitu sengaja menyakiti
diri sendiri. Seorang pasien meng- gambarkan bahwa stigma dan isolasi sosial menyebabkan
ide bunuh diri atau menyakiti diri sendiri. Rasa takut terhadap orang lain juga menjadi
pencetus ide bunuh diri.
“...kadang saya tidak bisa mengendalikan diri sampai saya berkeinginan bunuh diri. Saya
mencoba bunuh diri tiga kali dengan
minum racun tapi saya tidak mati ... Dengan penyakit jiwa, kepercayaan diri saya rendah.
Saya merasa bingung; dengan orang lain, saya takut. Saya takut melihat orang lain.“ (P1).
Kekerasan ODGJ terhadap Orang Lain dan Benda. Pasien menyadari bahwa dia telah
melakukan perilaku kekerasan terhadap anggota keluarga atau kerabat.
“…saya yang paling sulit dalam keluarga dan saya menjadi beban keluarga saya. Karena
kesulitan dalam hidup, saya harus berada di sini (RSJ). Otak saya punya banyak masalah. Jadi,
saya marah dan melakukan kekerasan di rumah dan selanjutnya saya dibawa ke RS ini.” (P1).
Pasien yang melakukan kekerasan sering disembunyikan oleh keluarga, sehingga mereka
terisolasi di masyarakat.
“L [teman] punya keluarga dengan penyakit jiwa; jika [pasien] melakukan kekerasan, ia
menghancurkan atap, rumah, dll. Jadi keluarga merahasiakan dan menyembunyikannya.
Mereka [pasien dan keluarga] jarang diundang oleh masyarakat. Jadi, mereka terisolasi.
Mereka terpinggirkan... stigmakan?” (P11).
Pasien juga melakukan kekerasan terhadap fasilitas umum, dan menghancurkan barang-
barang.
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
“Saya melemparkan asbak. Ceritanya, saya kasih pinjam 1,5 juta. Ia bayar dengan angsuran.
Seratus, lima puluh, uang saya dari BJB lebih banyak... Saya marah; Saya tidak bisa
mengendalikan diri. Saya jadi marah, seperti itu. Kemudian, saya dibawa ke sini (RSJ).”
(P13).
Kekerasan, Pengekangan, dan Seklusi. Pasung dan seklusi masih digunakan untuk menangani
penderita gangguan jiwa. Beberapa perawat menunjukkan bahwa ada pasien diikat, dirantai,
atau dimasukkan ke dalam
balok kayu.
“Ya, itu adalah penderitaan bagi ODGJ. Banyak sekali kita menerima pasien yang telah
dipasung, terikat, dirantai, dimasuk- kan ke dalam balok kayu; tapi, ada juga pasung, seperti
menempatkan penderita di ruangan kecil dan dikasih makanan sekali sehari. Beberapa pasien
tidak bisa ber- jalan, kurus dan kurang gizi. Mereka tidak dapat berbicara. Keluarga mereka
kaya; jika mereka ingin membawa pasien ke RS, saya yakin mereka mampu” (P13).
Perawat percaya bahwa pasung dan seklusi yang terjadi di masyarakat karena stigma dan
kurangnya pengetahuan masyarakat.
“Ya, [ada] banyak informasi pemasungan pasien. Kadang-kadang, disini, kami juga mengakui
beberapa pasien yang memiliki riwayat pasung di rumah karena mereka melakukan kekerasan,
mereka menggang- gu masyarakat. Mungkin [mereka] tidak tahu cara merawat orang dengan
penyakit jiwa. Hal ini masuk akal juga, kan? Mungkin lebih baik bagi mereka untuk
menyelamatkan orang-orang daripada merawat ODGJ.” (P9).
Perawat lain mengatakan bahwa beberapa pasien, menjadi stres setelah bekerja di luar negeri.
Mereka dikurung oleh keluarga saat mereka kembali.
“Mereka dikait di pilar besar. Ada yang diletakkan di kandang kambing atau ayam. Mereka
dikurung seperti kambing. [Pasien] buang air besar, makan disitu, seperti binatang. Ini bukan
cerita tapi saya melihatnya langsung; Saya itu saksi kondisi ini. Enam pasien telah dibawa ke
RS. Ya, beberapa dari daerah ini mengirimkan banyak pekerja di Jawa Barat. Jadi mereka
stres karena mereka bekerja di Arab Saudi. Mereka stres, dan kembali ke Indonesia dikurung
oleh keluarganya.” (P15).
Pasien lain menyebutkan bahwa ia mengalami kekerasan seperti diserang dan dipukuli oleh
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
orang lain, ‘Saya berkelahi dengan beberapa orang. Saya dipukuli oleh orang-orang di
masyarakat. Saya berkelahi dengan 100 orang. Karena mereka berpikir saya berbahaya bagi
anggota masyarakat. Ya, saya punya masalah penyakit jiwa (P1).
Pasien sadar bahwa pasung adalah bentuk penganiayaan atau kejahatan terhadap ODGJ,
melanggar hak-hak seseorang.
“ODGJ tidak jahat sama sekali. Pada dasarnya, mereka tidak jahat. Namun, orang-orang
melakukan kejahatan terha- dap mereka, seperti pasung. Mereka mengambil hak saya. Saya
dipasung karena apa? Saya dipasung bukan untuk pemulihan. Tapi, saya dipasung untuk
membuat saya "gila." Hal ini lebih menyakitkan benar.” (P14).
Kekerasan oleh Aparat Pemerintah. Salah satu pasien menceritakan pengalamannya ditahanan
di kantor polisi. Pasien lain diborgol oleh polisi karena perilaku kekerasannya.
“....ya, saya diborgol. Polisi memborgol saya. Ibu saya meminta bantuan polisi untuk
memborgol saya. Tapi belenggu borgol rusak. Lihat ini [bekas luka di tangannya].” (P15).
Kekerasan oleh Tenaga Kesehatan. Staf rumah sakit juga melakukan kekerasan fisik terhadap
pasien. Metode pengikatan, pengeka- ngan dan pengasingan digunakan oleh staf dan
perawat.
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
“Saya ngamuk. Saya dipukulin di K [bangsal). Kepalaku dipukul kursi lipat. Ya, tangan dan
kaki diikat karena melakukan kekerasan. Saya tidak melakukan kesalahan tapi diborgol.
Ketika saya datang lagi ke sini, saya juga diborgol oleh staf bangsal K.” (P2).
Pasien dengan perilaku kekerasan yang membahayakan akan diisolasi sebagai metode
pengendalian.
“Staf (RSJ) menganggap orang gila itu sumber bahaya… mereka nganggap orang gila itu
benar-benar gila, bukan manusia; harus dihapuskan, harus diba- kar, harus ditendang, dan
ditekan, dan harus ditempatkan di ruangan gelap seperti di U (bangsal). Ya, itu terjadi, saya
seperti babi diseret.” (P9).
Seringkali petugas keamanan dan perawat bekerjasama dalam melakukan isolasi dan
kekerasan.
“Semuanya dihancurkan, TV rusak. Teman saya di S (bangsal) telah meng- hancurkan TV.
Sekarang, dia ada di sini, di bangsal K. Pasien dengan kasar diseret oleh petugas keamanan.
"Ayo kamu." Saya juga ditarik dan dipaksa. "Ayo sana." Saya ditarik. Saya tidak suka
diperlakukan seperti itu.” (P2).
Ketakutan Pasien terkait dengan Tindakan dan Pengobatan. Pasien sering ketakutan akibat
kekerasan dari terapi dan pengobatan alternatif atau tradisional. Satu partisipan yang telah
dibawa ke dukun mengungkapkan:
“...di Ngawi, terjadi hal menakutkan, di daerah terpencil di Jawa, dan tempatnya sangat gelap.
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
Saya takut. Dia itu mantan pasien sakit jiwa. Dia mengatakan: "Ini penyakit gila. Ini
psikopat". Saya ingin melarikan diri. Saya takut benar melihat kapaknya. Saya sangat stres, itu
pengo- batan yang aneh.” (P3).
Ketakutan Keluarga. Hidup dengan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa
merupakan masalah bagi keluarga. Ketakutan akan perilaku kekerasan berulang menyebab-
kan keluarga merasa tidak nyaman jika penderita di rumah,
“Ya, karena malu juga, karena sebagian besar penderita mengganggu masyarakat. Umumnya,
pasien laki-laki mengganggu komunitas dan anggota keluarga merasa ga nyaman dengan
tetangga. Mereka takut jika pasien melakukan kekerasan lagi” (P11).
Ketakutan Anggota Masyarakat. ODGJ dengan riwayat perilaku kekerasan membuat takut
masyarakat. Pasien merasa dijauhi dan diisolasi oleh teman dan masyarakat.
“Teman-teman merasa takut. Mereka
takut pada saya. Mereka takut berdebat dengan saya karena saya orang sakit jiwa. Ya,
argumen saya tidak diterima; tidak dipahami oleh mereka. Misalnya, jika saya berbicara
benar, mereka harus nurutin saya ” (P5).
Pembahasan
Hubungan antara gangguan jiwa dengan perilaku kekerasan adalah penyebab utama
stigmatisasi bagi ODGJ. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa akibat stigmatisasi, pa- sien
melakukan kekerasan di keluarga dan komunitas. ODGJ melakukan kekerasan 2,5
kali lebih banyak dari populasi umum (Corrigan & Watson, 2005). Seringkali, kekerasan yang
dilakukan ODGJ diarahkan pada orang yang mereka kenal, terutama anggota keluarga
(Wehring & Carpenter, 2011).
Percobaan bunuh diri atau melukai diri sendiri sering dilakukan oleh ODGJ sebagai upaya
untuk menyelesaikan masalah mereka. Keke- rasan mandiri meliputi ide atau percobaan
bunuh diri, sengaja melukai diri, serta bunuh diri. Sebanyak 18–55% kelompok ODGJ
melakukan percobaan bunuh diri (Harkavy- Friedman, et al., 2003; Tarrier, et al., 2004).
Risiko menyakiti diri sendiri meningkat terutama pada ODGJ dengan skizofrenia.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ODGJ juga melakukan kekerasan terhadap perawat.
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
Hasil ini didukung oleh beberapa studi. Perawat adalah profesi yang paling rentan menjadi
target kekerasan (Holmes, et al., 2004; Inoue, et al., 2006), sebagian besar perawat mengalami
kekerasan selama karir mereka (Inoue, et al., 2006; Landy, 2005).
Penelitian ini mengungkapkan, selain berperi- laku kekerasan, ODGJ juga menjadi korban
kekerasan. Di Yunani, ODGJ lebih sering menjadi korban kejahatan (Katsikidou et al., 2012).
Di Taiwan, abuse terhadap pasien ODGJ lebih tinggi dari pada populasi (Hsu dkk., 2009).
Interaksi antara polisi dan ODGJ kadang-kadang terkait dengan perilaku keke- rasan (Cotton
& Coleman, 2010).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga takut menghadapi anggota keluarga ODGJ,
terutama karena risiko perilaku kekerasan. Hal ini sesuai dengan studi yang menyatakan ada
hubungan erat antara perilaku kekerasan yang dialami oleh ODGJ dengan ketakutan mereka.
Stigmatisasi gangguan kesehatan mental men- ciptakan rasa takut dan ODGJ mendapat label
berbahaya (Araujo & Borrell, 2012; Bathje & Pryor, 2011). Satu dari empat orang Kanada
takut berada di sekitar ODGJ (Canadian
Medical Association, 2008). Banyak yang menganggap bahwa ODGJ menimbulkan an-
caman bagi keselamatan umum (Jorm & Griffiths, 2008). Rasa takut yang dialami perawat
dapat memengaruhi hubungan pera- wat dengan pasien, yang menghambat pem- berian
asuhan keperawatan (Jacob, 2010).
Ketakutan masyarakat pada ODGJ dapat dipengaruhi oleh media massa yang berperan
membentuk opini masyarakat. Penggambaran ini sangat terkait dengan perasaan ketakutan
masyarakat pada ODGJ (Arboleda-Florez, 2003).
Kesimpulan
Penelitian ini menemukan bahwa perilaku kekerasan adalah konsekuensi dari stigmatisasi
terhadap ODGJ. Sebaliknya stigmatisasi ada- lah akibat dari perilaku kekerasan oleh ODGJ.
Stigmatisasi sangat mungkin masih dilakukan para perawat. Hasil penelitian memberikan
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
informasi tentang stigmatisasi dalam pelaya- nan keperawatan jiwa di Indonesia.
Sangat penting memasukkan materi stigma- tisasi gangguan jiwa dalam kurikulum pen-
didikan calon perawat. Mereka kemungkinan akan menghadapi risiko perilaku kekerasan dari
pasien jika bekerja di area keperawatan jiwa. Keperawatan jiwa merupakan area yang bersiko
mendapatkan ancaman dan kekerasan sehingga seringkali membenarkan beberapa jenis
intervensi, seperti pengikatan, isolasi,atau pengasingan yang merugikan hubungan pera- wat
dengan pasien.
Penelitian lanjut diperlukan untuk melihat bagaimana keluarga, masyarakat, dan aparat
pemerintah memandang stigma terkait perilaku kekerasan pada ODGJ. Program kampanye
anti-stigma akan mengurangi konsekuensi ne- gatif stigmatisasi ODGJ terhadap perilaku ke-
kerasan di Indonesia. Program ini perlu di- sesuaikan dengan kelompok khusus sehingga dapat
mengurangi akibat negatif dari stigma gangguan jiwa (SH, INR, PN).
Referensi
Araujo, B., & Borrell, L. (2012). Understanding the link between discrimination, mental
health outcomes, and life chances among Latinos. Hispanic Journal of Behavior Sciences, 28
(2), 245–266.
Bathje, G., & Pryor, J. (2011). The relationship of public and self-stigma to seeking mental
health services. Journal of Mental Health Counseling, 33 (2), 161–176.
Canadian Medical Association (2008). 8th Annual national report card on health care. Ottawa
ON: Canadian Medical Association.
Chivotti, R.F., & Piran. N. (2003). Rigour and grounded theory research. Journal of
Advanced Nursing, 44 (4), 427–435.
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
Corrigan, P.W., & Watson, A.C. (2005). Findings from the national comorbidity survey on the
frequency of violent behavior in individuals with psychiatric disorders. Psychiatry Research,
136, 153–162.
Cotton, D., & Coleman, T. (2010). Canadian police agencies and their interactions with
persons with a mental illness: A systems approach. Police Practice and Research, 11 (4), 301–
314.
Harkavy-Friedman, J.M., Kimhy, D., Nelson, E.A., Venarde, D.F., Malaspina, D., & Mann.
J.J.(2003). Suicide attempts in schizophrenia: The roleof command auditory hallucinations for
suicide. Journal of Clinical Psychiatry, 64, 871–874.
Harpham, T., Reichenheim, M., Oser, R., Thomas, E., Hamid, N., Jaswal, S., ... Aidoo, M.
(2003). Measuring health in cost effective manner. Health Policy and Planning, 18 (3), 344.
Heath, H., & Cowley, S. (2004). Developing a grounded theory approach: A comparison of
Glaser and Strauss. International Journal of Nursing Studies, 41 (2), 141–150.
Holmes, D., Rudge, T., Perron, A., & St-Pierre, I. (2012). Introduction (re) thinking violence
in health care settings: A critical approach. In Holmes, D., Rudge, T., Perron, A. (Eds). (Re)
Thinking violence in health care settings: A critical approach. Surrey: Ashgate Publishing,
Ltd.
Hsu, C.C., Sheu, C.J., Liu SI, Sun, Y.W., Wu, S.I.,
& Lin, Y. (2009). Crime victimization of persons with severe mental illness in Taiwan.
Aealand Journal of Psychiatry, 460–466.
Inoue, M., Tsukano, K., Muraoka, M., Kaneko, F., & Okamura, H. (2006). Psychological
impact of verbal abuse and violence by patients on nurses working in psychiatric departments.
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
Psychiatry and Clinical Neurosciences, 60(1), 29–36.
Jacob, J.D. (2010). Fear and power in forensic psychiatry: nurse-patient interactions in a
secure environment. Doctoral Dissertation School of Nursing University of Ottawa, Canada:
Jorm, A.F., & Griffiths, K.M. (2008). The public’s stigmatizing attitudes towards people with
mental disorders: how important are biomedical conceptualizations? Acta Psychiatrica
Scandinavica, 118 (4), 315–321.
Kapungwe, A., Cooper, S., Mwanza, J., Mwape, Sikwese, L.A., ... Flisher, A.J. (2010).
Mental illness - stigma anddiscrimination in Zambia. African Journal of Psychiatry, 13, 192–
203.
Katsikidou, M., Samakouri, M., Fotiadou, M., Arvaniti, A., Vorvolakos, T., Xenitidis, K .,
&Livaditis, M. (2012). Victimization of the severely mentally ill in Greece: The extent of the
problem. International Journal of Social Psychiatry, 59 (7), 706–715.
Kementerian Kesehatan RI. (2013). Riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Landy, H. (2005). Violence and aggression: How nurses perceive their own and their
colleagues risk. Emergency Nurse, 13, 12–15.
McFarlane, A.C., Schrader, G.D., & Bookless, C. (2004). The prevalence ofvictimization and
violent behaviour in the seriously mentally ill (Theses, University of Adelaide). Department of
Psychiatry, University of Adelaide, Adelaide, Australia.
Schomerus, G., Heider, D., Angermeyer, M.C., Bebbington, P.E., Azorin, J.M., Brugha, T.,
&Toumi, M. (2008). Urban residence, victimhood and the appraisal of personal safety in
people with schizophrenia: Results from the European Schizophrenia Cohort (EuroSC).
Psychological Medicine, 38 (4), 591–597.
Solomon, P.L., Cavanaugh, M.M., & Gelles, R.J. (2005). Family violence amongadults with
severe mental illnesses. Trauma, Violence and Abuse, 6 (1), 40–54.
Spector, P.E., Allen, T.D., Poelmans, S., Lapierre, L.M., Cooper, C.L., ... O’Driscoll, M.
(2007). Cross-national differences in relationships of work demands, job satisfaction and
turnover intentions with work–family conflict. Personnel Psychology, 60, 805–835.
Tarrier, N., Barrowclough, C., Andrews, B., & Gregg, L. (2004). Risk of non-fatal suicide
ideation and behaviour in recent onset schizophrenia. Social Psychiatry and Psychiatric
Epidemiology, 39, 927–937.
Teplin, L.A., McClelland, G.M., Abram, K.M., & Weiner, D.A. (2005). Crime victimization
in adults with severe mental illness. Archives of general psychiatry, 62, 911–921.
Wehring, H.J., & Carpenter, W.T (2011). Violence and schizophrenia.Schizophrenia Bulletin,
37 (5), 877–778.
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
Development. Sixth Edition. New York: Mc Graw Hill, Inc. Sri Esti W.D (2005) Konseling
dan Terapi dengan Anak dan Orangtua, Jakarta: Grasindo.
Mansur, (2005). Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
http://www.ayahbunda.co.id/Artikel/balita/psikologi/contoh.kasus.kekerasan.terhadap.anak.da
n.dampaknya/001/007/430/1/1 1 april 2015
http://metro.sindonews.com/read/980860/170/bocah-10-tahun-disetrika-ahok-ibu-tiri-lebih-
kejam-dari-ibu-kota-1427199973 24 maret 2015 di ambil 1 april 2015
http://metro.sindonews.com/read/936149/31/kasus-kekerasan-anak-di-depok-meningkat-
1418307744
http://yosephineyohana.blogspot.com/2013/09/penyebab-kekerasan-terhadap-anak-pi-gw.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Kekerasan_terhadap_anak
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
PENELITIAN
PENGARUH TERAPI TOKEN TERHADAP KEMAMPUAN
MENGONTROL PERILAKU KEKERASAN PADA PASIEN
GANGGUAN JIWA
Sunarsih*, Idawati Manurung*, Holidy*
*Dosen Jurusan Keperawatan Poltekkes Tanjungkarang
Email: sunarsihkarim@gmail.com, idawatimanurung@yahoo.com, holidyilyas@yahoo.co.id
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik
maupun psikologis bisa dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.
Token Ekonomi adalah suatu wujud modifikasi yang dirancang untuk meningkatkan perilaku yang
diinginkan dan pengurangan perilaku yang tidak diinginkan dengan pemakaian token (hadiah-hadiah).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai rata-rata kemampuan mengontrol diri pasien rawat inap di
LKS-ODK Kemiling Bandar Lampung sebelum dan setelah dilakukan terapi token. Jenis penelitian ini
adalah quasy experimental dengan rancangan pretest-posttest one group design. Jumlah sampel sebanyak
20 orang, dipilih dengan purposive sampling. Instrumen yang digunakan berupa lembar observasi. Hasil
yang didapat adalah rata-rata nilai kemampuan mengontrol perilaku kekerasan sebelum dilakukan terapi
token adalah 20,05, dan rata-rata nilai kemampuan mengontrol perilaku kekerasan setelah mendapat terapi
token adalah 36,20. Hasil uji dependen sample t-test didapat bahwa ada pengaruh kemampuan mengontrol
perilaku kekerasan sebelum dan setelah dilakukan terapi token (p value 0,00<0,05). Diharapkan petugas
kesehatan dapat lebih meningkatkan intervensi pada asuhan keperawatan untuk pasien-pasien gangguan
jiwa, khususnya perilaku kekerasan dengan menerapkan terapi aktivitas kelompok dan terapi token secara
terprogram dan terstruktur.
PEMBAHASAN
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Nasir, A. M. (2011). Dasar-Dasar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
Kemenkes RI. 2014. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. Jakarta: Balitbang
Kemenkes RI.
LKS-ODK. (2016). Laporan Kesehatan Jiwa Yayasan Aulia Rahma.Rekam Medik LKS-ODK
Ekspsikotik. Kemiling: Lampung.Tidak dipublikasikan.
Muhith, A. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: CV ANDI OFFSET.
Stuart, G. W. (2009). Buku Saku Keperawatan Jiwa . Jakarta: EGC.
Susana, S. A. (2012). Terapi Modalitas Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
BAB I PENDAHULUAN
manusia (Undang Undang Kesehatan Jiwa No.36, 2014). Hambatan yang dialami
oleh klien gangguan jiwa akan mempengaruhi kualitas hidupnya, sehingga menjadi
perhatian khusus karena dampak yang diakibatkan tidak hanya pada klientetapi
juga berdampak pada keluarga dan masyarakat. Hal tersebut di atas menunjukan
masalah gangguan jiwa di dunia memang sudah menjadi masalah yang sangat
Prevalensi gangguan jiwa menurut WHO tahun 2013 mencapai 450 juta jiwa
diseluruh dunia, dalam satu tahun sesuai jenis kelamin sebanyak 1,1 wanita, pada
pria sebanyak 0,9 sementara jumlah yang mengalami gangguan jiwa seumur hidup
sebanyak 1,7 wanita dan 1,2 pria. Menurut National Institute of Mental Health
1
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
Jiwa Berat yaitu Skizofrenia sebesar 0,46%, atau sekitar 1,1 juta orang atau
pada penduduk Indonesia 1,7 per mil atau 1-2 orang dari 1.000 warga di
orang.
Data statistik dari direktorat kesehatan jiwa, masalah kesehatan jiwa dengan
ini ditandai dengan hilangnya motivasi dan tanggung jawab. Selain itu
dalam penampilan.
pikiran, bicara dan perilaku yang tidak teratur yaitu berupa perilaku
melakukan tindakan kekerasan, dan 16% dari perilaku kekerasan pada klien
penderita gangguan jiwa di Indonesia mencapai 2,5 juta yang terdiri dari
Penelitian yang lain menunjukan bahwa data klien perilaku kekerasan pada
mulai dari unit akut, unit forensik dan pada bangsal dengan tipe yang
berbeda beda. Penelitian dilakukan dengan jumlah total 69.249 klien dengan
rata rata sampel 581,9 klien (Bowers, et al, 2011). Angka tersebut tergolong
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
Perilaku kekerasan adalah salah satu respon terhadap stressor yang dihadapi
oleh seseorang yang ditunjukkan dengan perilaku kekerasan baik pada diri
sendiri atau orang lain dan lingkungan baik secara verbal maupun non
bentuk perilaku amuk yang melukai fisik baik diri sendiri, orang lain dan
respons yang muncul didasari oleh keyakinan emosi yang tidak rasional
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
x/i, nadi meningkat >80 x/i, produksi keringat meningkat, pandangan mata
tajam, pandangan tertuju pada satu objek, muka merah) (Stuart, 2013).
secara verbal maupun non verbal (klien adalah mondar mandir, tidak
penekanan, didasari dengan waham atau isi pikiran paranoid) (Stuart, 2013).
Akibat perilaku kekerasan bisa melukai atau menciderai diri sendiri atau
perilakunya dan sebagai suatu kondisi yang dapat terjadi karena perasaan
pada fase akut gangguan jiwa (Stuart, 2013). Tindakan keperawatan yang
spesialis kepada keluarga yaitu dilatih cara merawat dan memotivasi klien
terdekat, misalnya pada bulan pertama: 2 kali per bulan, bulan kedua: 2 kali
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
perbulan, bulan ketiga: 2 kali per bulan dan selanjutnya 1 kali perbulan
(Keliat, 1996).
cara fisik yaitu tarik nafas dalam dan pukul kasur bantal, mengontrol
kedalam jadwal kegaiatan harian (Keliat & Akemat, 2010). Dan tindakan
kekerasan.
Dari beberapa penelitian yang dilakukan pada klien perilaku kekerasan salah
mempunyai koping yang positif terhadap stress dan beban yang dialaminya
psikologis (Wiyati, 2010). Manfaat dari terapi psikoedukasi bagi klien dan
karena merawat klien dan yang kedua bagi klien yaitu mendapatkan
penelitian (Keliat, dkk, 2009) menunjukkan bahwa klien dan keluarga yang
Demikian pula lama tinggal di rumah (lama kambuh dan dirawat kembali)
lebih panjang secara bermakna pada klien dan keluarga yang mendapat
mempunyai koping yang kuat agar tidak terjadi masalah pada hubungan
ansietas dan beban. Hasil akhir yang diharapkan yaitu keluarga mampu
dan keluarga itu belum maksimal, baik itu dirumah sakit maupun di
perilaku kekerasan.
Faktor penyebab klien kambuh dan perlu dirawat di rumah sakit jiwa yaitu
menurut (Humris dan Pleyte, 2004) yaitu penderita tidak minum obat dan
cemas dan stress sehingga penderita kambuh dan perlu dirawat di rumah
klien juga akan berdampak pada keluarga (Fantaine, 2009). Hal ini
Dalam sebuah penelitian yang ditulis dalam The Hongkong Medical Diary
tahun setelah klien masuk rumah sakit pertama kali dan masing-masing
memiliki potensi kekambuhan 21%, 33%, dan 40% pada tahun pertama,
kedua, dan ketiga yang kembali dirawat inap. Secara global angka
kekambuhan pada pasien gangguan jiwa ini mencapai 50% hingga 92%
kekambuhan pada klien yang diberikan terapi keluarga 5-10%. Seperti yang
kambuh 50% pada tahun pertama, 70% pada tahun kedua dan 100% pada
tahun kelima setelah pulang dari rumah sakit karena mendapatkan perlakuan
yang salah selama di rumah atau di masyarakat. Jadi peran keluarga sangat
penting dalam proses kesembuhan klien dirumah setelah pulang dari rumah
terus meningkat, pada tahun 2012 adalah 24.575, 2013 adalah 25.570 dan
urutan pertama untuk diagnosa medis baik untuk rawat jalan maupun rawat
inap pada tahun 2015 sebanyak 20188 orang dengan angka klien lama yang
dirawat kembali diruang rawat inap RSJ. Prof. HB. Saanin Padang.
padang pada tahun 2014 jumlah kunjungan rawat jalan pada pasien
orang) dan data kunjungan pada tahun 2015 sebanyak : 666 orang pasien (L
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
dan P), data ini merupakan data kunjungan terbanyak pada puskesmas
sakit jiwa Prof. HB. Saanin Padang, bahwa pada saat klien perilaku
yang terdekat.
dan keluarga itu tidak dilaksanakan dikarenakan beban kerja perawat jiwa
poliklinik yang lain seperti: BP umum, pelayanan lansia dan IGD, untuk
pelayanan keperawatan jiwa kepada klien dan keluarga hanya untuk kontrol
berobat dan pemberian obat rutin apabila obat yang dikomsumsi sudah
habis, setelah itu perawat tidak ada melakukan kunjungan kepada keluarga
dan anggota keluarga dengan gangguan jiwa yang berada diwilayah kerja
puskesmas dan juga di beberapa puskesmas untuk poliklinik jiwa itu sendiri
Penelitian akan dilakukan kepada klien yang pulang dari RS Jiwa HB.
pada klien gangguan jiwa, yang dibuktikan dengan sudah ada tenaga
dan keluarga tidak dilaksanakan dikarenakan beban kerja perawat jiwa tidak
umum dan IGD, untuk pelayanan keperawatan jiwa kepada klien dan
keluarga hanya untuk kontrol berobat dan pemberian obat rutin apabila obat
yang dikomsumsi sudah habis, setelah itu perawat tidak ada melakukan
yang berada diwilayah kerja puskesmas. Oleh sebab itu angka kekambuhan
Survey awal yang peneliti lakukan pada tanggal 16 April 2016 di wilayah
keras), sosial (menarik diri, bicara kasar, keras dan mengasingkan diri) dan
keluarga mengatakan belum bisa merawat klien saat dirumah karena belum
klien hanya dibiarkan saja, minum obat tergantung klien, banyak biaya
habis obat.
Sedangkan 6 orang klien dan keluarga mengatakan pada saat klien dirawat
dirumah, begitu juga dipuskesmas klien dan keluarga hanya kontrol berobat
keluarga.
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
Penelitian ini dilakukan pada klien yang pulang dari RS jiwa yaitu:
padang
padang
Padang.
kelompok kontrol.
1.4.3.1 Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu
1.4.3.2 Hasil penelitian ini dapat menjadi evidence based untuk mengembangkan
kekerasan.
1.4.3.2 Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai data dasar bagi
*E-mail: msubuo61@uottawa.ca
Abstrak
Salah satu efek stigmatisasi gangguan jiwa adalah perilaku kekerasan yang dilakukan oleh penderita
terhadap orang- orang di sekitarnya termasuk keluarga, perawat dan masyarakat. Sebaliknya, penderita
mengalami kekerasan dari keluarga, masyarakat dan profesional keperawatan. Penelitian ini bertujuan
memahami dampak stigmatisasi dalam hubungannya dengan perilaku kekerasan terhadap penderita;
serta untuk mengetahui perilaku kekerasan yang dilakukan oleh penderita terhadap orang lain. Penelitian
ini menggunakan Constructivist Grounded Theory. Metode pengumpulan data termasuk wawancara
semi-terstruktur, dokumen reviu, catatan lapangan, dan memo. Analisis data menggunakan metode
Paillé. Perilaku kekerasan adalah efek stigmatisasi termasuk kekerasan diri sendiri dan kekerasan
terhadap keluarga, masyarakat dan tenaga kesehatan. Kekerasan fisik juga dialami penderita dari orang
lain. Dampak stigmatisasi dimanifestasikan dengan perilaku kekerasan yang dilakukan oleh penderita,
keluarga, staf rumah sakit, masyarakat, dan aparat. Hasil temuan ini relevan untuk para perawat jiwa
yang memberikan asuhan keperawatan terhadap pasien perilaku kekerasan. Penelitian lanjut diperlukan
untuk melihat perspektif keluarga, masyarakat dan staf pemerintah terkait stigma dengan perilaku
kekerasan.
Abstract
stigmatization on violent behavior towards sufferers; and to investigate violent behavior committed by
sufferers against other people. This study used Constructivist Grounded Theory. Methods of data
collection are semi-structured interviews, document review, field notes, and memos. Data analysis used
Paillé. Violent behavior is the effect of stigmatization including self-harm and violence against families,
communities and health professionals. Physical abuse is experienced by sufferers from others. The
impact of stigmatization is manifested by violent behavior committed by patients, families, staff,
community and authorities. Findings are relevant to psychiatric nurses who provide care to the patients
with violent behavior. Further research is needed to see the perspective of families, communities and
government to understand stigma in relation to violent behavior.
Kekerasan merupakan salah satu konsekuensi dipukul atau diancam oleh anggota keluarga
serius dari gangguan jiwa yaitu 2,5 kali lebih mereka (Katsikidou, et al., 2012; Solomon,
besar dibandingkan dengan populasi (Corrigan Cavanaugh, & Gelles, 2005). Telaah literatur
& Watson, 2005). Profesional dalam pelaya- intensif mengungkapkan bahwa penelitian
nan kesehatan jiwa menjadi korban kekerasan tentang stigmatisasi gangguan jiwa belum
tiga kali lebih tinggi daripada dalam pelayanan fokus pada dampaknya terhadap perilaku ke-
kesehatan umum (Bilgin & Buzlu, 2006). kerasan pada ODGJ. Penelitian ini mem-
Terjadi risiko perilaku kekerasan dari pasien berikan analisis mendalam untuk memahami
dalam keperawatan jiwa yang lebih tinggi hubungan antara stigmatisasi dengan perilaku
(Lawoko, Soares & Nolan, 2004). Perilaku kekerasan pada ODGJ.
kekerasan merupakan kejadian umum di RS
(Spector, et al., 2007). Tenaga kesehatan, se-
Metode
bagian besar perawat, beresiko menjadi korban
kekerasan (Holmes, Rudge, Perron, & St- Penelitian ini memberikan pemahaman subs-
Pierre, 2012). ODGJ menghadapi stigmatisasi tantif tentang pengalaman stigmatisasi dan
pengembangan akhir. Berdasarkan tahapan ini, sasi merupakan proses konstruksi untuk me-
data analisis Paille (1994) juga dapat dibagi nguatkan teori atau pemahaman susbstantif.
menjadi tiga tahap: kodifikasi dan kategorisasi Tidak semua penelitian grounded theory
(koding awal), menghubungkan kategori dan menghasilkan teori; akan tapi pemahaman
integrasi (tahap menengah), konseptualisasi yang mendalam dan substantif merupakan
dan teorisasi (pengembangan akhir). Tahap hasil akhir dari sebuah penelitian dengan
kodifikasi adalah dimulai dengan mengatur grounded theory Charmaz (2006).
kata-kata, persepsi dan pengalaman dalam
bentuk kode secara terorganisir (proses
Untuk keabsahan (trustworthiness), kriteria
pembentukan kode). Tujuannya adalah mem-
pertama adalah kredibilitas (Chiovitti & Piran,
beri nama, mengungkap, meringkas dan mem-
2003). Kredibilitas dalam penelitian ini adalah
beri label, baris demi baris, dari data trans-
dengan mengumpulkan data dari berbagai
kripsi. Kodifikasi ini membantu mengidenti-
sumber diantaranya melalui wawancara, cata-
fikasi adanya tumpang tindih antara kode awal
tan lapangan, dan memo. Koding data dengan
dan pembentukan kategori. Tahap kategorisasi
adalah untuk menggambarkan fenomena se-
cara umum atau peristiwa yang muncul dari
data yang kemudian dibuat daftar kategori.
Tahap ini adalah untuk menentukan kategori
dengan mengidentifikasi variasi dalam data
dapat dijelaskan dengan kategori lain. Tahap
integrasi adalah menentukan fenomena-
fenomena yang telah diamati secara empiris.
Dengan mengintegrasikan hubungan antara
kategori, peneliti mengidentifikasi kongruensi
tertentu yang muncul antara data dan arah
penelitian yang diambil selama analisis. Tahap
konseptualisasi adalah proses pengembangan
dan klarifikasi konsep-konsep yang muncul
dan menjelaskan konsep tersebut dengan kata-
kata dan untuk memberikan definisi konsep-
tual secara verbal. Proses ini memungkinkan
peneliti untuk memahami fenomena penelitian
dan kompleksitasnya. Akhirnya, tahap teori-
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
kata-demi-kata, baris demi baris, dan meng-
gunakan koding in vivo, yang mencerminkan
Hasil
pengalaman partisipan terkait stigma dengan
Kekerasan ODGJ terhadap Diri Sendiri.
gangguan jiwa. Penelitian ini menggunakan
Keinginan pasien bunuh diri yaitu sengaja
kata-kata partisipan yang sebenarnya untuk
menyakiti diri sendiri. Seorang pasien meng-
menjelaskan fenomena penelitian, dan diarti-
gambarkan bahwa stigma dan isolasi sosial
kulasikan dengan asumsi, posisi
menyebabkan ide bunuh diri atau menyakiti
epistemologis dan teoritis yang memengaruhi
diri sendiri. Rasa takut terhadap orang lain
proses peneli- tian. Dilakukan evaluasi diri
juga menjadi pencetus ide bunuh diri.
sebagai instrumen dan melihat efek peneliti
yang dilakukan melalui refleksi diri dan “...kadang saya tidak bisa mengendalikan
memoyang ditulis dalam jurnal. diri sampai saya berkeinginan bunuh diri.
Saya mencoba bunuh diri tiga kali
dengan
Auditabilitas berkaitan dengan konsistensi
temuan, bahwa peneliti lain dapat mengikuti
dengan jelas proses berpikir peneliti
(Sandelowski, 1986). Dalam penelitian ini,
auditabilitas dilakukan dengan kriteria untuk
merumuskan pemikiran, bagaimana dan
mengapa para partisipan dalam penelitian ini
dipilih. Dalam penelitian ini, peneliti menggu-
nakan kerangka yang disajikan oleh Paille
(1994) untuk mengidentifikasi langkah-lang-
kah dalam analisis data dan memastikan bah-
wa pembaca dapat memahami bagaimana data
itu didapatkan atau dibentuk oleh partisipan
dan peneliti.
minum racun tapi saya tidak mati ... “Saya melemparkan asbak. Ceritanya,
Dengan penyakit jiwa, kepercayaan diri saya kasih pinjam 1,5 juta. Ia bayar
saya rendah. Saya merasa bingung; dengan angsuran. Seratus, lima puluh,
dengan orang lain, saya takut. Saya takut uang saya dari BJB lebih banyak... Saya
melihat orang lain.“ (P1). marah; Saya tidak bisa mengendalikan
diri. Saya jadi marah, seperti itu.
Kemudian, saya dibawa ke sini (RSJ).”
Kekerasan ODGJ terhadap Orang Lain
dan Benda. Pasien menyadari bahwa dia telah (P13).
melakukan perilaku kekerasan terhadap
anggota keluarga atau kerabat.
“…saya yang paling sulit dalam keluarga
Kekerasan, Pengekangan, dan Seklusi.
dan saya menjadi beban keluarga
Pasung dan seklusi masih digunakan untuk
saya. Karena kesulitan dalam hidup, saya
menangani penderita gangguan jiwa. Beberapa
harus berada di sini (RSJ). Otak saya
perawat menunjukkan bahwa ada pasien
punya banyak masalah. Jadi, saya marah
diikat, dirantai, atau dimasukkan ke dalam
dan melakukan kekerasan di rumah dan
selanjutnya saya dibawa ke RS ini.” (P1).
orang lain, ‘Saya berkelahi dengan beberapa tidak sehat, saya tidak lebih baik.” (P2).
Pasien sadar bahwa pasung adalah bentuk saya. Ibu saya meminta bantuan polisi
penganiayaan atau kejahatan terhadap ODGJ, untuk memborgol saya. Tapi belenggu
dap mereka, seperti pasung. Mereka rumah sakit juga melakukan kekerasan fisik
mengambil hak saya. Saya dipasung terhadap pasien. Metode pengikatan, pengeka-
karena apa? Saya dipasung bukan untuk ngan dan pengasingan digunakan oleh staf dan
[bangsal). Kepalaku dipukul kursi lipat. sangat mudah marah, beberapa pasien ini
Ya, tangan dan kaki diikat karena terikat; ada pula yang diborgol. Jika
melakukan kekerasan. Saya tidak pasien datang dengan kurang atau tidak
melakukan kesalahan tapi diborgol. marah, mereka tidak terikat. Jadi, jika
Ketika saya datang lagi ke sini, saya juga pasien berada dalam kondisi marah
diborgol oleh staf bangsal K.” (P2). ketika datang, mereka terikat. Tetapi jika
mereka tidak benar-benar marah, mereka
tidak diikat oleh orang lain. Mereka
Pasien dengan perilaku kekerasan yang
dibawa oleh keluarga atau polisi kesini.
membahayakan akan diisolasi sebagai metode
Ya, polisi. Seperti itu. Jika pasien baru,
pengendalian.
sebagian besar mereka datang dengan
“Staf (RSJ) menganggap orang gila itu terikat.” (P6).
sumber bahaya… mereka nganggap
orang gila itu benar-benar gila, bukan
manusia; harus dihapuskan, harus diba-
kar, harus ditendang, dan ditekan, dan
harus ditempatkan di ruangan gelap
seperti di U (bangsal). Ya, itu terjadi,
saya seperti babi diseret.” (P9).
Medical Association, 2008). Banyak yang bersiko mendapatkan ancaman dan kekerasan
menganggap bahwa ODGJ menimbulkan an- sehingga seringkali membenarkan beberapa
caman bagi keselamatan umum (Jorm & jenis intervensi, seperti pengikatan, isolasi,atau
Griffiths, 2008). Rasa takut yang dialami pengasingan yang merugikan hubungan pera-
perawat dapat memengaruhi hubungan pera- wat dengan pasien.
wat dengan pasien, yang menghambat pem-
berian asuhan keperawatan (Jacob, 2010).
Penelitian lanjut diperlukan untuk melihat
bagaimana keluarga, masyarakat, dan aparat
Ketakutan masyarakat pada ODGJ dapat pemerintah memandang stigma terkait perilaku
dipengaruhi oleh media massa yang berperan kekerasan pada ODGJ. Program kampanye
membentuk opini masyarakat. Penggambaran anti-stigma akan mengurangi konsekuensi ne-
ini sangat terkait dengan perasaan ketakutan gatif stigmatisasi ODGJ terhadap perilaku ke-
masyarakat pada ODGJ (Arboleda-Florez, kerasan di Indonesia. Program ini perlu di-
2003). sesuaikan dengan kelompok khusus sehingga
dapat mengurangi akibat negatif dari stigma
gangguan jiwa (SH, INR, PN).
Kesimpulan
stigma of mental illness. Canadian Journal of suicide. Journal of Clinical Psychiatry, 64,
Bathje, G., & Pryor, J. (2011). The relationship of Harpham, T., Reichenheim, M., Oser, R., Thomas,
public and self-stigma to seeking mental E., Hamid, N., Jaswal, S., ... Aidoo, M. (2003).
health services. Journal of Mental Health Measuring health in cost effective manner.
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun
psikologis bisa dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Token Ekonomi
adalah suatu wujud modifikasi yang dirancang untuk meningkatkan perilaku yang diinginkan dan pengurangan
perilaku yang tidak diinginkan dengan pemakaian token (hadiah-hadiah). Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui nilai rata-rata kemampuan mengontrol diri pasien rawat inap di LKS-ODK Kemiling Bandar
Lampung sebelum dan setelah dilakukan terapi token. Jenis penelitian ini adalah quasy experimental dengan
rancangan pretest-posttest one group design. Jumlah sampel sebanyak 20 orang, dipilih dengan purposive
sampling. Instrumen yang digunakan berupa lembar observasi. Hasil yang didapat adalah rata-rata nilai
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan sebelum dilakukan terapi token adalah 20,05, dan rata-rata nilai
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan setelah mendapat terapi token adalah 36,20. Hasil uji dependen
sample t-test didapat bahwa ada pengaruh kemampuan mengontrol perilaku kekerasan sebelum dan setelah
dilakukan terapi token (p value 0,00<0,05). Diharapkan petugas kesehatan dapat lebih meningkatkan intervensi
pada asuhan keperawatan untuk pasien-pasien gangguan jiwa, khususnya perilaku kekerasan dengan menerapkan
terapi aktivitas kelompok dan terapi token secara terprogram dan terstruktur.
Kata Kunci: Perilaku kekerasan, token ekonomi dari satu juta kasus bunuh diri setiap
tahunnya akibat gangguan jiwa
LATAR BELAKANG (WHO, 2015). Gangguan jiwa
ditemukan di semua negara, terjadi
Gangguan jiwa menurut pada semua tahap kehidupan,
American Psychiatric Assosiation termasuk orang dewasa dan
dalam Diagnostic and Statistic
Manual of Mental (DSM) IV- TR
(2000 dalam Townsend, 2009) adalah
sindroma perilaku yang secara klinik
bermakna atau sindroma psikologis
atau pola yang dihubungkan dengan
kejadian distres pada seseorang atau
ketidakmampuan atau peningkatan
secara signifikan resiko untuk
kematian, sakit, ketidakmampuan atau
hilang rasa bebas.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
Hemodialisis (cuci darah) merupakan suatu tindakan terapi pengganti ginjal yang telah rusak.
Pasien yang menjalani hemodialisis mengalami masalah psikologis salah satunya yaitu
ansietas. Ansietas terjadi dikarenakan kurangnya pengetahuan. Penelitian bertujuan untuk
mengetahui gambaran tingkat ansietas, pasien dan keluarga pasien hemodialisis di RS
Kendal. Metode penelitian menggunakan survey deskriptif kuantitatif.Alat ukur
menggunakan 14 pertanyaan terkait ansietas pada kuesioner DASS (Depression Anxiety
Stress Scale).Sampel penelitian berjumlah 60 pasien dan 60 keluarga pasien.Hasil penelitian
menunjukkan bahwa mayoritas pasien dan keluarga pasien mengalami ansietas pada tingkat
berat. Hasil penelitian ini direkomendasikan kepada peneliti selanjutnya agar dapat
memberikan intervensi yang efektif untuk mengatasi ansietas pasien dan keluarga pasien
hemodialisis.
ABSTRACT
Hemodialysis (dialysis) is an action therapy for kidney replacement that has been damaged. Patients
who undergo hemodialysis experience psychological problems, one of which is anxiety. Anxiety
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm.due
137–143 Keperawatan
occurs to lack of knowledge. The study aims to describe the level of anxiety, patients and families
of hemodialysis patients in Kendal Hospital. The research method used a quantitative descriptive
survey. Measuring instruments used 14 questions related to anxiety on the DASS questionnaire
(Depression Anxiety Stress Scale). The research samples were 60 patients and 60 patient families.
The results showed that the majority of patients and families of patients experienced anxiety at a
severe level. The results of this study were recommended to future researchers in order to be able to
provide effective interventions to overcome the anxiety of patients and families of hemodialysis
patients.
PENDAHULUAN
individu. Salah satu gangguan jiwa yang
Gangguan jiwa adalah suatu sindrom atau
menjadi penyebab penderita dibawa ke
pola psikologis atau perilaku yang penting
rumah sakit adalah perilaku kekerasan.
secara klinis yang terjadi pada seseorang
Peilaku kekerasan (PK) adalah suatu
dan dikaitkan dengan adanya distress atau
bentuk perilaku agresi atau kekerasan
disabilitas disertai peningkatan resiko
yang ditunjukkan secara verbal, fisik, atau
kematian yang menyakitkan, nyeri,
keduanyakepada suatu subyek, orang atau
disabilitas, atau kehilangan kebebasan
diri sendiri yang mengarah pada potensial
(American Psychiatric Association 2000
untuk destruktif atau secara aktif
dalam Varcarolis, 2006). Menurut
menyebabkan kesakitan, bahaya, dan
(Townsend, 2005) mengungkapkan
penderitaan (Bernstein & Saladino, 2007).
gangguan jiwa adalah respon maladaptive
terhadap stressor dari lingkungan internal
dan eksternal yang ditunjukkan dengan Menurut rekam medic RSJD Dr. Amino
pikiran, perasaan, tingkah laku yang tidak Gondohutomo Semarang tahun 2015 ,
sesuai dengan norma local dan budaya presentase penderita gangguan jiwa selama
setempat, dan mengganggu fungsi sosial, tahun 2014 yaitu klien rawat inap laki-laki
pekerja, dan fisik sebanyak 65,3% dan
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
34,7% perempuan. Sedangkan pada bulan ruang rawat inap laki laki RSJD Dr. Amino
Januari sampaiJuli 2016 sebanyak Gondohuttomo Semarang.
2294 orang,
diantaranya 1162 halusinasi (50,65%), Strategi pelaksanaan (SP) yang dilakukan oleh
menarik klien dengan perilaku kekerasan adalah diskusi
diri 462 orang (20,13%), harga diri rendah mengenai cara mengontrol perilaku kekerasan
374
secara fisik, obat, verbal, dan spiritual.
orang (5,66%), perilaku kekerasan 128
orang Mengontrol perilaku kekerasan secara fisik
(5,58%), defisit perawatan diri 21 orang dapat dilakukan dengan cara nafas dalm, dan
(0,91%),
pukul bantal atau kasur. Mengontrol secara
kerusakan komunikasi verbal 16 orang
(0,70%), verbal yaitu dengan cara menolak dengan baik,
percobaan bunuh diri 1 orang (0,40%). meminta dengan baik, dan mengungkapkan
dengan baik. Mengontrol perilaku kekerasan
Pasien gangguan jiwa skizofrenia paranoid secara spiritual dengan cara shalat dan berdoa.
dan gangguan psikotik dengan gejala curiga Serta mengontrol perilaku kekerasan dengan
berlebihan, galak, dan bersikap bermusuhan. minum obat secara teraturdengan prinsip lima
Gejala ini merupakan tanda dari pasien yang benar (benar klien, benar nama obat, benar
mengalami perilaku kekerasan (Medikal cara minum obat, benar waktu minum obat,
Record, 2009). Masalah yang sering muncul dan benar dosis obat). Dari
Marah berhenti jika Secara verbal : ketika dimarahin orang lain, ketika lelah sendiri
Secara tindakan : ketika merasa uas dengan tindakan yang dilakukan seperti
membacok, menghancurkan barang
Efektivitas SP Nafas
dalam
Pukul
bantal
Verbal dengan menolak dan meminta sesuatu secara
baik Spiritual : berdoa, dzikir, calming teknique,
Obat
Kuantitas
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
Keperawatan
Jarang
2018, hlm. 137–143 Kadang : 1x
: 2x sehari
sehari Tidak pernah : 0
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
Tabel 2.
Tema, Sub tema dan Kategori
Tema Sub tema Kategori
1. Tindakan : mengamuk
2. Verbal : marah-marah
Penyebab masuk RSJ
3. Tindakan : memukul
4. Tindakan : merusak barang
1. Orang lain : Tersinggung
2. Orang lain : Tidak diperhatikan
Penyebab mengamuk
3. Diri sendiri : Curiga
4. Orang lain : Dikhianati
1. Fisik : Berkelahi
2. Fisik : Membanting barang-barang
Yang dilakukan ketika marah
3. Verbal : Bicara kasar
4. Fisik : Membakar
Marah berhenti, jika melakukan 1. Tindakan : membacok
Pengetahuan pasien 2. Verbal : dimarahin
tentang perilaku 3. Verbal : ketika klien merasa lelah
kekerasan 4. Tindakan : menghancurkan barang
Diajarkan cara mengontrol 1. Sudah : SP1-SP 4
Perilaku Kekerasan 2. Sudah : SP1-SP 4
3. Sudah : SP1-SP 4
4. Sudah : SP1-SP 4
1. Spiritual : Berdoa dan ikhlas
Paling efektif mengontrol 2. Napas dalam dan berdoa / shalat
marah 3. Nafas dalam
4. Nafas dalam dan Pukul bantal
Perasaan setelah melakukan 1. Lega
cara mengontrol marah 2. Tenang
3. Tenang
4. Lega
Melakukan SP secara mandiri 1. Mandiri
atau diingatkan 2. Mandiri
3. Mandiri
4. Mandiri
Kuantitas 1. Kadang-kadang : 1x sehari
2. Kadang-kadang : 1x sehari
3. Kadang-kadang : 1x sehari
4. Kadang-kadang : 1x sehari
Masing-masing tema yang didapat dari hasil dibawa RSJ karena memukul orang
penelitian akan dijelaskan sebagai berikut :
Saran
Perawat dapat lebih melatih kemampuan
Napas Dalama dapat memberikan efek
pasien perilaku kekerasan mengotrol perilaku
menenangkan dan merelaksasi pikiran ,
kekerasan dengan mengajari Relaksasi Napas
sehingga klien dapat mengontrol emosiny,
Dalam dan cara spiritual seperti sholat,
bahkan 5 informan menyatakan lega setelah
mengaji dan berdzikir.
melakukan cara mengontrol emosi yang
dilakukannya sedangkan
Carpenito, Lynda Juall. 2000. Buku Sulistyowati, D & Prihantini. 2015. Pengaruh
Diagnosa Keperawatan. Editor Monica terapi psikoreligi terhadap penurunan
Ester. EGC : Jakarta. perilaku kekerasan pada pasien
skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah
Surakarta. Jurnal terpadu ilmu
Dossey, M. 2008. Holistic nursing: a
kesehatan, Vol 4, No. 1, Hal: 72-77.
handbook for practice. Janes & Bartlitt
Kementrian kesehatan politeknik
publisher, Canada: Missisauga.
kesehatan Surakarta jurusan
keperawatan.
Keliat, B.A. 1998. Proses Keperawatan
Jiwa.
Sumirta, Nengah I, Githa, Wayan I &
Jakarta: EGC
Sariasih, Nengah Ni. 2013. Relaksasi
Nafas Dalam Terhadap Marah Klien
Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Dengan Perilaku Kekerasan. Denpasar
Penelitian Kualitatif, Penerbit PT
Remaja Rosdakarya Offset, Bandung
Townsend, C.M. 2005. Essentials of
psychiatric mental health nursing.
Padma,Sri & Dwidiyanti, Meidiana. 2014. Philadelphia: F.A Davis Company.
Studi kasus: mindfulness dengan
pendekatan spiritual pada pasien
skizofrenia dengan resiko perilaku
kekerasan. Program studi ilmu
keperawatan, fakultas kedokteran
Universitas Diponegoro. Konas Jiwa
XI Riau: Hal 290-294.
Jurnal Keperawatan Jiwa, Volume 6 No 1 Hal 29- 35, Mei 2018
FIKKes Universitas Muhammadiyah Semarang bekerjasama dengan PPNI Jawa Tengah
Varcarolis, E.M. 2006. Psychiatric nursing clinical assament tools and diagnosis. Philadelphia: W.B
Sounders Co.
Zelianti. 2011. Pengaruh Tehnik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Tingkat Emosi Klien
Perilaku Kekerasan di RSJD Dr Amino Gondohutomo Semrang
Radinova.hulu@gmail.com
BAB I
PENDAHULUA
N
Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa berat yang bersifat berat dan
kronis yang menyerang 20 juta orang di seluruh dunia (WHO, 2019).
Skizofrenia merupakan penyakit kronis, parah, dan melumpuhkan,
gangguan otak yang di tandai dengan pikiran kacau, waham, delusi,
halusinasi, dan perilaku aneh atau katatonik (Pardede & Laia, 2020).
Privalensi ganguan jiwa di Indonesia berdasarkan Kemenkes 2019 di
urutan pertama Provinsi Bali 11,1% dan nomor dua disusul oleh Provinsi
DI Yogyakarta 10,4%, NTB 9,6%, Provinsi Sumatera Barat 9,1%, Provinsi
Sulawesi Selatan 8,8%, Provinsi Aceh 8,7%, Provinsi Jawa Tengah 8,7%,
Provinsi Sulawesi Tengah 8,2%, Provinsi Sumatera Selatan 8%, Provinsi
Kalimantan Barat 7,9%. Sedangkan Provinsi Sumatera Utara berada pada
posisi ke 21 dengan privalensi 6,3% (Kemenkes, 2019).
Skizofrenia adalah gangguan jiwa yang dapat berakhir dengan hilanngya
dengan nyawa seseorang. Dalam penanganan penyakit ini karena jiwa yang
tergangangu maka di butuhkan adalah terapi, rehabilitasi serta dengan
konseling. Upaya terbesar untuk penanganan penyakit gangguan jiwa
terletak pada keluarga dan masyarakat, dalam hal ini terapi terbaik adalah
bentuk dukungan keluarga dalam mencegah kambuhnya penyakit
skizofrenia (Pitayanti, & Hartono, 2020). Tanda dan gejala yang timbul
akibat skizofrenia berupa gejala positif dan negatif seperti perilaku
kekerasan. Resiko perilaku kekerasan merupakan salah satu respon
marah
yang diespresikan dengan melakukan ancaman, mencederai diri sendiri
maupun orang lain. Pada aspek fisik tekanan darah meningkat, denyut nadi
dan pernapasan meningkat, marah, mudah tersinggung, mengamuk dan bisa
mencederai diri sendiri. Perubahan pada fungsi kognitif, fisiologis, afektif,
hingga perilaku dan sosial hingga menyebabkan resiko perilaku kekerasan.
Berdasarkan data tahun 2017 dengan resiko perilaku kekerasan sekitar 0,8%
atau dari 10.000 orang menunjukkan resiko perilaku kekerasan sangatlah
tinggi (Pardede, Siregar & Hulu, 2020).).
Risiko perilaku kekerasan timbul akibat rasa tidak nyaman dan panik yang
terjadi akibat stressor dari dalam dan luar lingkungan. Perilaku kekerasan
yang timbul pada klien skizofrenia diawali dengan adanya perasaan tidak
berharga, takut dan ditolak oleh lingkungan sehingga individu akan
menyingkir dari hubungan interpersonal dengan orang lain (Azis, Sukamto
& Hidayat, 2018).
1.3. Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan secara holistik
dan komprehensif kepada Tn. A dengan gangguan resiko perilaku
kekerasan di Yayasan Pemenang Jiwa Sumatera.
2. Institusi Pendidikan
2.1.1 Pengertian
Subjektif
a. Mengungkapkan perasaan kesal atau marah.
b. Keinginan untuk melukai diri sendiri, orang lain dan
lingkungan.
c. Klien suka membentak dan menyerang orang lain.
Objektif
a. Mata melotot/pandangn tajam.
b. Tangan mengepal dan Rahang mengatup.
c. Wajah memerah.
d. Postur tubuh kaku.
e. Mengancam dan Mengumpat dengan kata-kata kotor.
f. Suara keras.
g. Bicara kasar, ketus.
h. Menyerang orang lain dan Melukai diri sendiri/orang lain.
i. Merusak lingkungan.
j. Amuk/agresif.
2.1.3 Etiologi
3. Faktor biologis
Neurotransmeiter yang sering dikaaitkan perilaku
agresif dimana faktor pendukunya adalah masa kadan-
kanak yang tidak menyengkan, sering mengalami
kegagalan, kehidupan yang penuh tindakan agresif
dan lingkungan yang tidak kondusif.
4. Perilaku
Reinfocemnt yang terima pada saat melakukan
kekerasan dan sering mengobservasi kekerasan di
rumah atau di luar rumah, semua aspek ini
menstimulasi individu mengadopsi perilaku
kekerasan.
2.1.4 Penatalaksanaan
2.2.1 Pengkajian
2.2.5 Evaluasi
Evaluasi berdasarkan Modul Keperawtan Jiwa (Nurhalima, 2016) :
ASUHAN KEPERAWATAN
Inisial : Tn. A
Umur : 56 Tahun
3.4 Fisik
Pada saat dilakukan pemeriksaan fisik pada pasien, pasien tidak memiliki
pemeriksaan fisik, didapat hasil
TD : 120/80 mmHg
N : 83x/Menit
S : 36,50C
RR : 20x/Menit
TB : 171 cm
BB : 68 Kg
3.5 Psikososial
3.5.1 Genogram
Pasein merupakan anak keempat dari 6 bersaudara, pasien memiliki 2 orang
abang, 1 orang kakak, dan 2 orang adik perempuan dimana semua sudah
berkeluarga, ayahnya telah meninggal dunia dan ibunya masih hidup.
Ket :
Meninggal Dunia
Tinggal Bersama
Keluarga
3.5.4 Spritual
b. Pembicaraan
Pasien berbicara lambat mengenggam.
e. Afek
Pasien merespon saat di panggil tetapi pandangan tajam.
Masalah Keperawatan : Risiko Perilaku Kekerasan.
g. Persepsi
Pasien megatakan sekali-kali mendengarka suara yang
memicu amarahnya dan ingin memukul orang di sekitarnya.
Halusinasi
h. Proses Pikir
Pasien mampu berbicara sesuai topik pembicaraan dan dapat
merespon umpan balik dan dapat mengulang hal penting yang
disampaikan perawat.
i. Isi Pikir
Pasien mengatakan ingin ke Israel karean didalam Alkitab
bangsa yang di berkati Tuhan adalah Israel.
j. Tingkat Kesadaran
Pasien tidak mengalami gangguan orientasi, pasien mengenali,
waktu, orang dan tempat.
k. Memori
Klien mampu mengingat kejadian-kejadian saat melakukan
pemukulan kepada ibu dan adiknya.
Masalah
No Identifikasi Data
Keperawatan
1. Ds : Risiko Perilaku
Kekerasan
Pasien mengatakan bahwa alasan ayahnya dulu
mengantarnya ke Yayasan Kolam Bethesda
karena sudah memukul ibu dan adiknya. Setelah
2 tahun di YKB di pindahkan oleh ayahnya lagi
ke Yayasan Pemenang Jiwa, higga saat ini belum
di jemput untuk pulang oleh keluarganya. Pasien
Juga mengatakan mungkin keluarganya masih
takut kepadanya.
Do :
Pandangan tajam/melotot serta postur tubuh
kaku.
2. Ds : Halusinasi
Pendengaran
Pasein mengatakan sekali-kali mendengarkan
suara-suara yang membuatnya dapat emosi untuk
memukul orang yang tidak dia senangi.
Do :
Pasien komat kamit.
3. Ds : Gangguan Pola
Pikir : Waham
Pasien mengatakan bahwa dia akan ke Israel,
Agama
karena bangsa Israel adalah bangsa Tuhan Yesus
dan pasien inggin menjadi orang yang pertama
menjabat tangan Yesus.
Do :
Pasien memandang keatas dan menghunjuk arah
depannya bahwa Israel itu seakan-akan berada di
sebelah pagar yayasan.
4. Ds : Harga Diri
Rendah
Pasien megatakan sadar dirinya mengalami
gangguan jiwa, namun pasien menggikarinya.
Pasien juga mengatakan bahwa tidak ada orang
dilingkugannya yang dapat menerima dia
sepulang dari yayasan.
Do :
Pasien cemas secara sosial dan tampak sedih
hingga gelisah.
Diagnosa
Tujuan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan
Risiko Pasien dapat Ketika di evaluasi 1. Membina
Perilaku membina pasien mampu hubungan saling
Kekerasan. hubungan membalas salam, percaya dengan
saling tersenyum, ada cara menjelaskan
percaya. kontak mata serta maksud dan
menyediakan tujuan interaksi,
waktu untuk jelaskan tentang
kunjungan kontrak yang
berikutnya. akan di buat, beri
rasa aman dan
sikap empati.
2. Diskusi bersama
pasien tentang
perilaku
kekerasan,
penyebab, tanda
dan gejala
perilaku yang
muncul dan
akibat dari
perilaku tersebut.
Pasien dapat Pasien mampu Sp1 :
mengendalik menyebutan dan Latihan Melakukan
an menrekomendasik cara mengontrol
mengendalik an cara amarah :
an perilaku mengontrol a. Anjurkan teknik
kekerasan perilaku relaksasi nafas
dengan cara kekerasan dengan dalam.
relaksi nafas cara relaksasi b. Pukul bantal.
dalam dan nafas dalam dan
pukul pukul bantal.
bantal/kasur.
Pasien dapat Pasien mampu Sp2 :
mengendalik mengendalikan a. Bantu pasien
an perilaku perilaku mengotrol
kekerasan kekerasan dengan perilaku
dengan minum obat kekerasan
minum obat Risperidon (RSP) dengan minum
secara dengan teratur. obar secara teratu
teratur. 2x1 hari.
Pasien Pasien paham dan Sp3 :
paham dan mampu Bantu pasien
mampu menyampaikan mengontrol risiko
mengendalik amarah dengan perilaku kekerasan
an risiko cara berbicara dengan
perilaku dengan baik. menganjurkan pasien
kekerasan berbicara yang baik
dengan cara bila sedang marah,
berbicara dengan tiga cara :
dengan baik. b. Meminta sesuatu
dengan baik
tanpa marah.
c. Menolak sesuatu
dengan baik.
Mengungkapkan
perasaan kesal.
Pasien Pasien paham dan Sp4 :
paham dan mamu Pasien risiko
mampu mengendalikan perilaku kekerasan :
mengendalik risiko perilaku Diskusikan bersama
an risiko kekerasan dengna pasien cara
perilaku cara beribadah mengendalikan
kekerasan sesuai agama perilaku kekerasan
dengan cara yang di anut dengan cara
mempraktika pasien. beribadah.
n cara
spritual.
3.16 Implementasi dan Evaluasi
3. Tindakan Keperawatan. P:
Sp4 : Risiko Perilaku Kekerasan. - Latihan tarik nafas dalam
- Mengevaluasi kemampuan dan pukul kasur bantal
pasien dalam tarik nafas 2x/hari.
dalam dan pukul bantal kasur, - Berobat.
minum obat secara teratur dan - Latihan melakukan
berbicara baik-baik. komunikasi secara verbal :
- Melatih pasien untuk asertif/bicara baik-baik.
melakukan kegiatan spritual - Latihan pasien untuk
yang sudah diatur. melaksakan kegiatan
RTL : beribada seperti berdoa.
Risiko perilaku kekerasan : Follow
up dan evaluasi Sp 1-4 Risiko
Perilaku Kekerasan.
BAB 4
PEMBAHASAN
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
Azis, N. R., Sukamto, E., & Hidayat, A. (2018). Pengerun Terapi De-Ekslasi
Terhadap Perubahan Perilaku Pasien dengan Resiko Perilaku
Kekerasan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Atma Husada Mahakam
Samarinda. http://repository.poltekkes-kaltim.ac.id/id/eprint/797
Hastuti, R. Y., Agustina, N., & Widiyatmoko, W. (2019). Pengaruh restrain
terhadap penurunan skore panss EC pada pasien skizofrenia dengan
perilaku kekerasan. Jurnal Keperawatan Jiwa, 7(2), 135-144.
https://jurnal.unimus.ac.id/index.php/JKJ/article/view/4907/pdf
Kio, A. L., Wardana, G. H., & Arimbawa, A. G. R. (2020). Hubungan Dukungan
Keluarga terhadap Tingkat Kekambuhan Klien dengan Resiko
Perilaku Kekerasan. Caring: Jurnal Keperawatan, 9(1), 69-72.
http://ejournal.poltekkesjogja.ac.id/index.php/caring/article/view/5
92
Kemenkes RI. (2019). Riset Kesehatan Dasar, RISKESDAS.Jakarta: Kemenkes
RI.https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/10/08/persebar
an-prevalensi-skizofreniapsikosis-di-indonesia#
Musmini, S. (2019). Karya Ilmiah Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Klien Risiko
Perilaku Kekerasan Terintergrasi Dengan Keluarga Di Wilayah
Kerja Puskesmas Sempaja Samarinda. http://repository.poltekkes-
kaltim.ac.id/419/1/Siti%20Musmini.pdf
Muhith, A. (2015). Pendidikan keperawatan jiwa: Teori dan aplikasi. Penerbit
Andi.
Nurhalimah, Ns. (2016). Modul Keperawatan Jiwa. Jakarta.
Abstrak
Dukungan Keluarga adalah proses yang terjadi sepanjang hidup dimana sumber
dan jenis dukungan sangat berpengaruh terhadap tahap lingkungan kehidupan
keluarga. Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui hubungan dukungan
keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan dengan kemampuan mengontrol
perilaku kekerasannya di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Kota
Medan Tahun 2019. Dimana dukungan keluarga mempunyai 4 jenis yaitu dukungan
penilaian, dukungan instrumental, dukungan informasional, dan dukungan emosional.
Desain penelitian yang digunakan adalah pendekatan cross sectional,dan
menggunakan jenis penelitian analitik kuantitatif dengan populasi dalam penelitian ini
adalah anggota keluarga pasien dan jumlah responden sebanyak 34 orang. Dukungan
penilaian diberikan dan pasien mampu mengontrol perilaku kekerasan sebanyak 22
orang (64,7%), dukungan instrumental diberikan dan pasien mampu mengontrol
perilaku kekerasan sebanyak 20 orang (58,8%), dukungan informasional diberikan
dan pasien mampu mengontrol perilaku kekerasan sebanyak 19 orang (55,9%), dan
dukungan emosional diberikan dan pasien mampu mengontrol perilaku kekerasan
sebanyak 13 orang (38,2%). Kesimpulan dalam penelitian ini adalah semua
memberikan dukungan keluarga (penilaian, instrumental, informasional) kecuali
dukungan keluarga emosional karena keluarga kurang memberikan kenyamanan
untuk pasien dan tidak memenuhi kebutuhan sehari-hari pasien dan juga masih ada
pasien yang tidak mampu mengontrol perilaku kekerasannya. Untuk itu disarankan
kepada responden agar lebih menambah dan meningkatkan perannya terhadap pasien
perilaku kekerasan dalam memberikan setiap dukungan kepada pasien perilaku
kekerasan seperti dukungan penilaian, instrumental, informasional dan dukungan
emosional.
Abstract
Family Support is a process that occurs throughout life where the source and type of support greatly
influences the stage of family life. The purpose of this study was to determine the relationship of
family support in treating patients with violent behavior with the ability to control their violent
behavior At Prof. Dr. Muhammad Ildrem Medan Mental Hospital In 2019.Where family support
has 4 types, namely assessment support, instrumental support, informational support, and emotional
support. The research design used was a cross sectional approach, and
1
using a type of quantitative analytical research with the population in this study were
members of the patient's family and the number of respondents was 34 people. Assessment
support was given and patients were able to control violent behavior by 22 people (84.6%),
instrumental support was given and patients were able to control violent behavior by 19
people (86.4%), informational support was given and patients were able to control violent
behavior by 19 people (90.0%), and emotional support was given and patients were able to
control violent behavior by 20 people (90.9%). The conclusion in this study is that all
provide family support but there are still patients who are unable to control their violent
behavior. And it is recommended that respondents increase their role in patients with violent
behavior in giving each patient support for violent behavior such as assessment support,
instrumental, informational and emotional support
METODE PENELITIAN
1 Dukungan Penilaian
Memberi 25 73,5 %
Tidak Memberi 9 26,5 %
Total 34 100%
2 Dukungan Intrumental
Memberi 23 67,6 %
Tidak Memberi 11 32,4 %
Total 34 100 %
3 Dukungan Informasional
Memberi 21 61,8 %
Tidak Memberi 13 38,2 %
Total 34 100 %
4 Dukungan Emosional
Memberi 16 47,1 %
Tidak Memberi 18 52,9 %
Total 34 100 %
Berdasarkan tabel 1 diatas dapat diketahui bahwa mayoritas responden memberi dukungan
penilaian yaitu sebanyak 25 orang (73,5%), mayoritas memberi dukungan instrumental yaitu
sebanyak 23 orang (67,6%), mayoritas memberi dukungan informasional yaitu sebanyak 21
orang (61,8%), dan mayoritas tidak memberi dukungan emosional yaitu sebanyak 18 orang
(52,9%).
Dari tabel 2 di atas dapat diketahui bahwa pasien yang mampu mengontrol perilaku
kekerasannya adalah sebanyak 25 orang (73,5%), dan 10 orang (26,5%) tidak mampu
mengontrol perilaku kekerasannya.
Analisa Bivariat
Analisis bivariat bertujuan untuk mengetahui hubungan variabel independen yaitu
dukungan penilaian, dukungan instrumental, dukungan informasional, dukungan emosional,
dengan variabel dependen yaitu kemampuan mengontrol. Pengujian analisis bivariat dilakukan
dengan menggunakan uji Chi Square. Analisis ini dikatakan bermakna (signifikan) bila hasil
analisis menunjukkan adanya hubungan bermakna secara statistik antara variabel, yaitu
dengan nilai p < 0,05.
Tabel 4 Hasil Analisis Uji Chi Square Dukungan Instrumental Keluarga Dalam Merawat
Pasien Perilaku Kekerasan dengan Kemampuan Mengontrol Perilaku Kekerasannya di
RSJ Prof. Dr. Muhammad Ildrem Kota Medan Tahun 2019
Tabel 5 Hasil Analisis Uji Chi Square Dukungan Informasional Keluarga Dalam Merawat
Pasien Perilaku Kekerasan dengan Kemampuan Mengontrol Perilaku Kekerasannya di
RSJ Prof. Dr. Muhammad Ildrem Kota Medan Tahun 2019
Kemampuan Mengontrol Perilaku Kekerasan
Dukungan
No
Informasional Mampu Tidak Mampu
P
n % n % Total % value
Tabel 6 Hasil Analisis Uji Chi Square Dukungan Emosional Keluarga Dalam Merawat
Pasien Perilaku Kekerasan dengan Kemampuan Mengontrol Perilaku Kekerasannya di
RSJ Prof. Dr. Muhammad Ildrem Kota Medan Tahun 2019
Kesimpulan
Saran
Terhadap Kekambuhan
Halusinasi Pada Pasien
Skizofrenia Di Poliklik Rumah
Sakit Jiwa Provinsi Sumatera
Utara Tahun 2017”. KTI.
Poltekkes Kemenkes Medan.
Rumus
Slovin,
http://www.statistiakian.com