Anda di halaman 1dari 4

Resensi Buku Habibie & Ainun

Judul buku : Habibie & Ainun


Penulis : Bacharuddin Jusuf Habibie
Penerbit : PT. THC Mandiri
Diterbitkan : Jln. Kemang Selatan No.98 Jakarta 12560 - Indonesia
Tahun Terbit : November 2010
Kategori : Biografi
Jumlah Halaman : 323 hlm.
Jumlah bab : 37 bab
Teks : Bahasa Indonesia

Rudy (nama kecil B.J. Habibie) adalah seorang jenius ahli konstruksi
pesawat terbang yang mempunyai mimpi besar yakni berbakti pada bangsa
Indonesia dengan membuat sebuah pesawat terbang yang dapat menyatukan
Indonesia. Dan Ainun seorang dokter cantik dan bersahaja alumni Universitas
Indonesia. Mereka berdua bertemu kembali setelah 7 tahun terpisah. Saat
pertemuan kembali tanggal 7 maret 1962 di bandung itu, B.J Habibie menemukan
sosok “gula pasir” yang dulu disebutnya “gula jawa”. “Gula pasir” yang kemudian
menjadi sahabat sehidup semati, menjadi cinta pertama dan terakhir, menjadi
seseorang yang kemudian manunggal jiwa, roh, bathin, dan hati nuraninya,
seseorang yang menjadi teman hidup selama 48 tahun 10 hari mengarungi bahtera
rumah tangga, seseorang yang kemudian selalu menjadi inspirasi dan kenangan
yang abadi dalam jiwa Pak Habibie.
“Tanpa kami sadari waktu begitu cepat berlalu dan kami berdua sambil berpegangan
tangan tiba kembali di rumah Rangga Malela. Masih banyak tamu dan beberapa
pemuda duduk di depan rumah memperhatikan kedatangan kami. Sejak itu saya
secara bathin tidak pernah berpisah dengan Ainun dan demikian pula Ainun dengan
saya”. (Habibie & Ainun –Bab 1)

Buku ini menceritakan berbagai kisah cinta B.J. Habibie dengan Ainun. Mulai
dari pertemuan yang menjadi awal dari segalanya, keseharian mereka dalam
mengarungi bahtera rumah tangga, hingga takdir yang memisahkan. Selain itu,
pembaca juga akan menemukan doa - doa dan puisi cinta yang ditulis sendiri oleh
Habibie sebagai ungkapan rindu dan rasa cinta tulusnya kepada sang istri. Tak
heran jika pada pengantar buku, penulis menulis, “Bagi saya, hikmah menulis buku
ini telah menjadi terapi untuk mengobati kerinduan, rasa tiba-tiba kehilangan oleh
seseorang yang selama 48 tahun 10 hari berada dalam kehidupan saya, dalam
berbagai derita dan bahagia, karena antara saya dan Ainun adalah dua raga tetapi
hanya satu jiwa”.
Ainun Habibie adalah sosok seorang wanita yang tangguh, baik, pintar,
cantik dan bersahaja. Setiap gerak dan langkahnya adalah inspirasi bagi Habibie.
Tak heran jika setiap bab dalam buku ini Habibie selalu memuji sang permaisuri
hatinya. Pada bab 3 buku ini Habibie mengkhususkan untuk menceritakan tentang
peran Ainun dalam rumah tangga sebagai ibu, dan perannya terhadap negara
sebagai istri seorang CEO-bidang teknologi MBB perusahaan industri pesawat
terbang terpandang di dunia, menteri, presiden, dan berbagai jabatan penting yang
pernah diemban Pak Habibie. Dia tidak melupakan kodratnya sebagai perempuan
dan tidak melupakan kewajibannya kepada Allah swt. “Saya bersyukur Allah swt.
menjadikan Ainun sebagai istri, ibu dari anak saya Ilham dan Thareq, pendamping
saya dalam melaksanakan tugas berjiwa sosial dan merakyat, berdedikasi,
berdisiplin dan pekerja keras tanpa mengenal lelah dan menyerah. Demikian sifat
Ainun yang sangat religius selalu bersama saya puasa tiap hari senin dan kamis dan
tiap hari membaca satu jus kitab suci al-Quran”. (Habibie & Ainun –Bab 3).
Ibu Ainun adalah ilham untuknya. Itulah mengapa anak pertama mereka
diberi nama Ilham. Ibu Ainun dapat memahami semua persoalan yang menimpa
sang suami dan memberikan solusi. Itulah mengapa Pak Habibie selalu
berkonsultasi dengan Ibu Ainun atas berbagai keputusan yang akan diambil.
Ketika anak kedua mereka lahir, maka kebutuhan semakin besar. Ainun
memutuskan untuk menjadi dokter anak, hingga beliau memutuskan untuk berhenti
dan kembali menjadi ibu rumah tangga karena anaknya sakit keras. Ainun merasa
bersalah karena tidak bisa merawat dan menjaga anaknya dengan baik karena sibuk
merawat dan menjaga anak orang lain. Namun begitu, Ibu Ainun tetap dituntut untuk
dapat mengikuti perkembangan karier sang suami. Jabatan yang diemban Pak
Habibie tidak membuat Ainun berubah, malah semakn dekat dan tak dapat
dipisahkan. Bagi Habibie, Ainun adalah jembatan menuju impian-impiannya.
Sejak Ainun menghembuskan nafas terakhir di rumah sakit Ludwig
Maximilian University, Muenchen, Jerman, 22 mei 2010, Habibie merasa Ainun
masih berada disisinya. Tiba-tiba ia merasa berada pada sebuah dimensi yang
berbeda ruang dan waktu. Wajah sang istri seperti melekat disetiap sudut matanya
dimanapun dia berada. Oleh karena itu, buku ini menjadi obat kerinduan atas
kekosongan jiwanya dari hari ke hari, bulan ke bulan mengikuti perjalanan sang
waktu.

Setelah saya membaca buku ini, saya mendapatkan beberapa kelebihan dan
kekurangan dari buku ini.

A. Kelebihan Buku
1. Tidak hanya persoalan cinta.
Ekspektasi saya tentang buku ini hanya berfokus pada kisah cinta Pak Habibie
kepada Ibu Ainun. Tetapi tidak hanya itu, karena penulis juga berkisah tentang
perjalanan serta kesuksesan hidupnya, dari bukan apa–apa hingga menjadi orang
yang dibutuhkan oleh semua orang. Mau tak mau rasa nasionalisme saya pun
tergugah. Tulisan beliau mengenai kemampuan putra putri bangsa, tentang
‘Mempersiapkan Kader Pembangunan’ (bab 10) yang sangat menginspirasi. Dan tak
dapat dipungkiri itu semua tak terlepas dari peran 2 wanita dalam hidupnya, Alm. Ibu
tercinta dan Alm. Ainun yang menjadi ibu dari kedua anaknya.

2. Buku ini sangat mencerminkan sosok seorang Prof. Dr.-Ing. Bacharuddin Jusuf
Habibie.
Setelah bertahun-tahun tak melihat karya dari Pak Habibie, buku ini menjadi
penawar rindu yang sangat ampuh. Tidak salah jika dari dulu saya mengidolakan
beliau. Selain itu, saya semakin bertambah kagum dengan pemikiran-pemikiran
beliau dalam menciptakan berbagai macam rencana-rencana untuk hidupnya,
lembaga-lembaga yang dipimpinnya, dan untuk Indonesia. Membaca buku ini,
seolah-olah Pak Habibie sedang berbicara dan bercerita.

B. Kelemahan Buku
1. Dimana ada kelebihan pasti disitulah terdapat kekurangan. Dalam buku ini masih
terdapat banyak kata-kata yang kurang, salah, atau kata yang ditulis berulang-ulang.
Sebut saja kata ‘dimensi’ yang ditulis ‘demenasi’, ‘persegi’ ditulis ‘pesegi’, ‘presiden’
ditulis ‘presdien’, serta tidak konsistennya pemilihan kata antara ‘saya’ dan ‘aku’ di
dalam satu kalimat, contohnya “…..dan Ainun selalu mengilhami saya dengan
senyuman yang kurindukan”. Sayang sekali jika hal-hal kecil seperti ini dapat
mengganggu kesempurnaan ceritanya.
2. Karena buku ini sangat menggambarkan sang penulis, kalimat-kalimat dalam
paragraf terasa membingungkan. Gaya bicara Pak Habibie yang sangat kental
dengan Bahasa Jerman yang merupakan bahasa yang tidak asing lagi bagi lidah
Pak Habibie sejak kecil, yang kemudian diwujudkannya dalam sebuah tulisan yang
terasa agak membingungkan. Terkadang, pemikiran beliau tentang hal A berkaitan
atau berlilitan dengan hal B, mungkin hal tersebut saling bertubrukan satu sama lain.

3. Menurut saya, buku ini akan indah jika ditambah dengan banyak foto kenangan
Pak Habibie dan Ibu Ainun. Seperti buku “Kecil Tapi Otak Semua” karya A. Makmur
Makka yang menceritakan tentang kisah hidup B.J. Habibie dan Ibu Ainun Habibie.
Justru di buku itu foto-foto mengenai perjalanan hidup Pak Habibie dan Ibu Ainun
lebih banyak, sehingga pembaca juga bisa memahami tidak hanya melalui tulisan
yang disuguhkan tetapi juga melalui foto-fotonya. Karena gambar dapat
menggantikan berjuta kata untuk mendiskripsikan sesuatu.

Terlepas dari itu semua, buku yang terdiri dari 37 bab ini sangat disarankan
untuk dibaca oleh semua orang yang ingin mengetahui tentang sejarah Indonesia
terutama pada masa pemerintahan orde lama untuk memperkuat rasa nasionalisme,
serta untuk pasangan suami istri, atau yang akan mengarungi bahtera rumah
tangga, atau yang ingin belajar menjadi pasangan yang penuh cinta suci, sejati,
sempurna dan abadi. Karena setiap bab dalam buku ini mengandung hikmah
tentang kehidupan dari sang profesor. Layaknya sebuah novel, Habibie mampu
menyajikan sebuah alur cerita yang unik dan menawan. Seperti perjuangan Habibie
saat mengungkapkan cintanya kepada Ainun, serta dibalik pendirian Ikatan
Cendikiawan Muslim se-Indonesia, dibalik pemunculan dan peluncuran terbang
perdana pesawat buatan anak bangsa N250 Gatotkoco, lengsernya Presiden ke-2
RI sebagai awal munculnya orde baru, hingga suasana duka kepergian sang istri
tercinta. Semoga buku ini dapat menjadi pembelajaran serta inspirasi bagi kita
semua. Serta mampu memenuhi kerinduan bangsa Indonesia yang ingin
mengetahui fakta sejarah dari kehidupan sang jenius Prof. Dr-Ing. Bacharuddin
Jusuf Habibie dan Dr. Hasri Ainun Habibie, hingga mampu dicatat dalam sejarah
bangsa.

Anda mungkin juga menyukai