Anda di halaman 1dari 60

BAB II

KERANGKA TEORETIK

A. Deskripsi Konseptual

1. Hasil Belajar Al-Qur’an Hadis

a. Hasil Belajar

Belajar merupakan pekerjaan yang lazim dilakukan oleh manusia pada

umumnya, ketika manusia ingin mengetahui dan melakukan sesuatu. Belajar

merupakan kegiatan dan unsur yang sangat fundamental dalam setiap

jenjang pendidikan. Kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok

dan penting dalam keseluruhan proses pendidikan. Pada dasarnya belajar

merupakan suatu proses yang dilakukan oleh manusia agar terjadi

perubahan. Dan perubahan perilaku tersebut harus secara keseluruhan

bukan hanya salah satu aspek potensi kemanusiaan. Menurut Gagne bahwa

belajar adalah “a change in human disposition or capability, which persists

over a period of time, and which is not simply ascribable to processes of

growth”.1 Belajar merupakan perubahan perilaku atau kapabilitas dalam diri

manusia, yang dapat bertahan dalam waktu yang lama dan perubahan itu

bukan proses pertumbuhan.

1
Robert Mills Gagne, The conditions of learning, Third Edition (New York: Holt, Rinehart and
Winston, 1977), h. 3.

19
20

Selanjutnya, dikemukakan oleh Slavin “changes caused by

development (such as growing taller) are not instances of learning”.2 Bahwa

perubahan yang disebabkan oleh perkembangan (seperti tumbuh lebih tinggi)

bukanlah contoh pembelajaran. Perubahan itu terjadi diakibatkan karena

adanya suatu pengalaman atau latihan. Bukan perubahan yang diakibatkan

oleh sikap refleks, spontan, atau perilaku yang bersifat naluriah.Sesuai hal

tersebut di atas, Domjan mengemukakan bahwa “learning is an enduring

change in the mechanisms of behavior involving specific stimuli and/or

responses that results from prior experience with those or similar stimuli and

responses”.3 Belajar adalah perubahan mekanisme perilaku yang bertahan

lama yang melibatkan rangsangan dan/atau tanggapan spesifik yang

dihasilkan dari pengalaman sebelumnya dengan rangsangan dan tanggapan

serupa.

Wallace mengemukakan bahwa “learning is a permanent change in

behaviour, attitude or understanding”. 4 Belajar merupakan perubahan

perilaku, sikap atau pemahaman secara permanen. Belajar adalah sebuah

proses yang memungkingkan seseorang memperoleh dn membentuk

2
Robert E. Slavin, Educational Psychology: Theory and Practice, Twelfth Edition (New York:
Pearson, 2018), h. 98.
3
Michael Domjan, The Principles of Learning and Behavior, Seventh Edition (Stamford:
Cengage Learning, 2015), h. 14
4
Susan Wallace, Teaching, Tutoring and Training in the Lifelong Learning Sector, Third
Edition (Glasgow: Learning Matters Ltd, 2007), h. 93.
21

kompetensi, keterampilan, dan sikap yang baru. 5 Dengan demikian, belajar

merupakan perubahan perilaku atau potensi secara menetap dalam diri

individu sebagai akibat dari proses belajar atau latihan.Hal senada

dikemukakan oleh Schunk bahwa “learning is an enduring change in

behavior, or in the capacity to behave in a given fashion, which results from

practice or other forms of experience”. 6 Belajar adalah perubahan perilaku

yang bertahan lama, atau dalam kapasitas untuk berperilaku dengan cara

tertentu, yang dihasilkan dari latihan atau bentuk pengalaman lainnya.

Belajar adalah proses yang aktif, belajar adalah proses merealisasi

terhadap semna situasi yang ada di sekitar individu. Belajar adalah proses

yang diarahkan kepada tujuan, proses berbuat melalui berbagai pengalaman.

Belajar adalah proses melihat, mengamati, memahami sesuatu. Apabila

berbicara tentang belajar, maka berbicara bagaimana mengubah tingkah laku

seseorang.7 Belajar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dan

berperan penting dalam pembentukan pribadi dan perilaku individu. Dengan

demikian, belajar merupakan sebuah proses perubahan di dalam individu

manusia dan perubahan tersebut ditunjukkan dalam bentuk peningkatan

5
Nyayu Khodijah, Psikologi Pendidikan,Cetakan Ketiga (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
(2016), h. 50.
6
Dale H. Schunk, Learning Theories: An Educational Perspective, Sixth Edition (Boston:
Pearson Education, Inc., 2012), h. 3.
7
Muhammad Fathurrohman, Belajar dan Pembejaran Modern Konsep Dasar, Inovasi dan
Teori Pembelajaran (Yogyakarta: Garudhawaca, 2017), h. 5.
22

kapabilitas seperti peningkatan pengetahuan, sikap, keterampilan, dan daya

pikir yang diperoleh melalui praktik dan latihan.

Hasil belajar merupakan suatu keberhasilan yang dicapai setelah

melalui berbagai pengalaman belajar. Seperti dikemukakan oleh Werquin

bahwa “learning outcomes are defined as the knowledge, skills and

competences that people have acquired as a result of learning and can

demonstrate if needed in a recognition process”. 8 Hasil belajar didefinisikan

sebagai suatu pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi yang diperoleh

seseorang sebagai hasil pembelajaran dan dapat ditunjukkan melalui proses

pengukuran. Hasil belajar adalah pernyataan yang menunjukkan apa esensi

pelajaran. Sebagai esensi pelajaran, ditulis dengan standar minimum atau

standar ambang batas yang dapat diterima. Pembelajaran yang dijelaskan

dalam hasil belajar adalah pembelajaran yang harus dicapai agar peserta

didik dapat lulus atau mencapai tujuan pembelajaran. Meskipun tidak secara

langsung menghubungkan penggunaan hasil belajar dan sistem penilaian.

Pada dasarnya, hasil belajar ditulis untuk membedakan antara yang lulus dan

gagal. Inilah titik yang benar-benar menekankan peran hasil pembelajaran

dalam penjaminan mutu.9

8
Patrick Werquin, Recognising Non-Formal and Informal Learning: Outcomes, Policies and
Practices (Paris: OECD Publishing, 2010), h. 26.
9
Jennifer Moon, The Module and Programme Development Handbook: A Practical Guide To
Linking Levels, Learning Outcomes and Assessment (London: Kogan Page, 2001), h. 71.
23

Sementara menurut Gagne menyatakan bahwa hasil belajar

kemampuan yang dapat teramati dalam diri seseorang dan disebut juga

dengan kapabilitas. Ada lima kategori kapabilitas manusia, yaitu:

keterampilan intelektual, strategi kognitif, informasi verbal, keterampilan

motorik, sikap.10 Hasil belajar ialah perubahan perilaku individu. Individu akan

memperoleh perilaku yang baru, menetap, fungsional, positif, dan disadari.

Perubahan perilaku sebagai hasil belajar ialah perilaku secara keseluruhan

yang mencakup aspek kognitif, afektif, konatif, dan motorik. 11 Oleh karena itu,

yang harus diperhatikan adalah perubahan perilaku siswa sebagai hasil

belajar secara keseluruhan. Dengan demikian, dapat disimpulkan

bahwa hasil belajar adalah perubahan perilaku siswa, baik berupa

pengetahuan, sikap, dan psikomotorik yang diperoleh setelah menerima

perlakuan yang diberikan oleh guru sehingga dapat mengkonstruksikan

pengetahuan itu dalam kehidupan sehari-hari.

b. Mata Pelajaran Al-Qur’an Hadis

Al-Qur’an secara istilah adalah “firman Allah SWT yang menjadi

mu’jizat abadi kepada Rasulullah yang tidak mungkin bisa ditandingi oleh

manusia, diturunkan ke dalam hati Rasulullah SAW, diturunkan ke generasi

berikutnya secara mutawatir, ketika dibaca bernilai ibadah dan berpahala

10
A. Wahab Jufri, Belajar dan Pembelajaran Sains: Modal Dasar Menjadi Guru Profesional,
Cetakan II (Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2017), h. 73.
11
Mohammad Surya, Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran, Cetakan 3 (Jakarta:
Mahaputra Adidaya, 2003), h. 25.
24

besar”.12 Al-Qur’an merupakan wahyu Allah dan sekaligus sebagai pedoman

atau panduan hidup bagi umat manusia. Banyak ilmu yang lahir dari Al-

Qur’an, baik itu yang berhubungan langsung dengannya seperti Ulumul

Qur’an, Ilmu Tafsir dan yang lainnya,atau tidak berhubungan langsung

namun terinspirasi dari Al-Qur’an seperti ilmu alam, ilmu ekonomi dan yang

lainnya. Al-Qur’an menekankan pada kebutuhan manusia untuk mendengar,

menyadari, merefleksikan, menghayati, dan memahami. Maka, mau tidak

mau Al-Qur’an harus mampu menjawab berbagai problematika yang terjadi

dalam masyarakat.13

Selanjutnya istilah Hadis telah digunakan secara luas dalam studi

keislaman untuk merujuk kepada teladan dan otoritas Nabi saw atau sumber

kedua hukum Islam setelah al-Qur’an. Meskipun begitu, pengertian kedua

istilah tersebut tidaklah serta merta sudah jelas dan dapat dipahami dengan

mudah. Para ulama dari masing-masing disiplin ilmu menggunakan istilah

tersebut didasarkan pada sudut pandang yang berbeda sehingga

mengkonskuensikan munculnya rumusan pengertian keduanya secara

berbeda pula.

Kata hadits merupakan isim (kata benda) yang secara bahasa berarti

kisah, cerita, pembicaraan, percakapan atau komunikasi baik verbal maupun

12
Manna Khalil al-Qattan, “Mabahist fi Ulum al-Qur’an” diterjemahkan oleh Muzdakkir AS.
Dalam Studi Ilmu-Ilmu Al Qur’an, (Jakarta:  Litera Antar Nusa, 1987), h. 10.
13
Tim Badan Litbang dan Diklat Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Tafsir al-Qur’an
Tematik: Al-Qur’an dan Pemberdayaan Kaum Du’afa, (Jakarta: Departemen Agama RI,
2008), h. xii.
25

lewat tulisan. Bentuk jamak dari hadits yang lebih populer di kalangan Ulama

Muhadditsin adalah ahadits,  dibandingkan bentuk lainnya yaitu hudtsan atau

hidtsan.14  Masyarakat Arab di zaman Jahiliyyah telah menggunakan kata

hadits ini dengan makna pembicaraan, hal itu bisa dilihat dari kebiasaan

mereka untuk menyatakan  hari-hari mereka yang terkenal dengan sebutan

ahadits.

Kemudian selanjutnya, kata Al-Qur’an dan Hadis digabung

penggunaanya menjadi Al-Qur’an Hadis yang termasuk salah satu mata

pelajaran Pendidikan Agama Islam di Madrasah. Al-Qur’an Hadis merupakan

sumber utama ajaran Islam, dalam arti keduanya merupakan sumber akidah

akhlak, syari’ah/fikih (ibadah, muamalah), sehingga kajiannya berada di

setiap unsur tersebut. Al-Qur’an Hadis, menekankan pada kemampuan baca

tulis yang baik dan benar, memahami makna secara tekstual dan

kontekstual, serta mengamalkan kandungannya dalam kehidupan sehari-hari.

Mata pelajaran Al-Qur’an Hadis di Madrasah Aliyah adalah salah satu

mata pelajaran Pendidikan Agama Islam yang merupakan peningkatan dari

Al-Qur’an Hadis yang telah dipelajari oleh peserta didik di MTs. Peningkatan

tersebut dilakukan dengan cara mempelajari, memperdalam serta

memperkaya kajian Al-Qur’an dan Hadis terutama menyangkut dasar-dasar

keilmuannya sebagai persiapan untuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih

14
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang,
1991), h. 20.
26

tinggi, serta memahami dan menerapkan tema-tema tentang manusia dan

tanggung jawabnya di muka bumi, demokrasi serta pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadis sebagai

persiapan untuk hidup bermasyarakat. Secara substansial, mata pelajaran Al-

Qur’an Hadis memiliki kontribusi dalam memberikan motivasi kepada peserta

didik untuk mempelajari dan mempraktikkan ajaran dan nilai-nilai yang

terkandung dalam Al-Qur’an Hadis sebagai sumber utama ajaran Islam dan

sekaligus menjadi pegangan dan pedoman hidup dalam kehidupan sehari-

hari. Mata pelajaran Al-Qur’an Hadis bertujuan untuk: (1) meningkatkan

kecintaan peserta didik terhadap Al-Qur’an dan Hadis, (2) membekali peserta

didik dengan dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis sebagai

pedoman dalam menyikapi dan menghadapi kehidupan, (3) meningkatkan

pemahaman dan pengamalan isi kandungan al-Qur’an dan hadis yang

dilandasi oleh dasar-dasar keilmuan tentang al-Qur’an dan Hadis. 15

Al-Qur’an Hadis merupakan unsur mata pelajaran PAI pada Madarsah

yang memberikan pendidikan kepada siswa untuk memahami Al-Qur’an

Hadis sebagai sumber ajaran agama islam dan mengamalkan isi kandungan

sebagai petunjuk hidup dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan uraian

tentang Al-Qur’an dan Hadis tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Al-

Qur’an Hadis yang dimaksudkan adalah bagian mata pelajaran Pendidikan

15
Lampiran Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 165 Tahun 2014 tentang
Kurikulum 2013 Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab pada
Madrasah, h. 49.
27

Agama Islam (PAI) pada Madrasah yang dimaksudkan untuk memberikan

motivasi, bimbingan, pemahaman, kemampuan dan penghayatan terhadap

isi yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadis sehingga dapat diwujudkan

dalam perilaku sehari-hari sebagai perwujudan iman dan taqwa kepada Allah

SWT.

Berdasarkan definisi tentang belajar, hasil belajar, dan Al-Qur’an dan

Hadis, maka dapat dirumuskan sebuah kesimpulan bahwa hasil belajar Al-

Qur’an Hadis adalah merupakan kemampuan atau perubahan perilaku yang

dimiliki oleh siswa secara keseluruhan setelah mengalami pembelajaran dan

menjadi patokan untuk menentukan tingkat keberhasilan siswa dalam

memahami materi pelajaran Al-Qur’an Hadis yang dapat diukur melalui

penilain. Berikut ini pada tabel 2.1 diketengahkan Kompetensi Inti (KI),

Kompetensi Dasar (KD), Indikator Mata Pelajaran Al-Qur’an Hadis yang

dijadikan dasar dalam pelaksanaan tes hasil belajar Al-Qur’an Hadis yang

dibatasi hanya pada ranah kognitif.

Tabel 2.1.

Kompetensi Inti (KI), Kompetensi Dasar (KD), dan Indikator Mata Pelajaran
Al-Qur’an Hadis Kelas XI Semester Ganjil Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1
Soppeng

KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR


INDIKATOR
INTI (KI) (KD)
KI.3. 3.1 Memahami ayat- 3.1.1 Menerjemahkan ayat-ayat Al-Qur’an
Memahami ayat Al-Qur`an tentang perilaku hormat dan patuh
dan tentang perilaku kepada orang tua dan guru pada Al-
menerapkan hormat dan patuh Qur’an Surah Al-Isra’ (17): 23-24; Al-
pengetahuan kepada orang tua Qur’an Surah Lukman (31): 13-17;
faktual, dan guru pada Al- hadis riwayat Muslim dari Abu
28

KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR


INDIKATOR
INTI (KI) (KD)
konseptual, Qur’an Surah Al- Hurairah
prosedural, Isra’ (17): 23-24; Al- 3.1.2 Menjelaskan isi kandungan ayat-ayat
dan Qur’an Surah Al-Qur’an tentang perilaku hormat dan
metakognitif Luqmwn (31): patuh kepada orang tua dan guru pada
berdasarkan 1317; hadis riwayat Al-Qur’an Surah Al-Isra’ (17): 23-24;
rasa ingin Muslim dari Abu Al-Qur’an Surah Lukman (31): 13-17;
tahunya Hurairah r.a. dan hadis riwayat Muslim dari Abu
tentang ilmu hadis riwayat Al- Hurairah
pengetahuan, Bukhari dan Muslim 3.1.3 Menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an
teknologi, seni, dari Abdullah bin tentang perilaku hormat dan patuh
budaya, dan Amru r.a. kepada orang tua dan guru pada Al-
humaniora Qur’an Surah Al-Isra’ (17): 23-24; Al-
dengan Qur’an Surah Lukman (31): 13-17;
wawasan hadis riwayat Muslim dari Abu
kemanusiaan, Hurairah
kebangsaan, 3.2 Memahami manfaat 3.2.1 Menjelaskan pengertian perilaku
kenegaraan, dan hikmah kontrol kontrol diri (mujahadah an-nafs),
dan diri (mujahadah an- prasangka baik (husnuzhzhan), dan
peradaban nafs), prasangka persaudaraan (ukhuwwah)
terkait baik 3.2.2 Menjelaskan manfaat kontrol diri
fenomena dan (husnuzhzhan), dan (mujahadah an-nafs), prasangka baik
kejadian, serta persaudaraan (husnuzhzhan), dan persaudaraan
menerapkan (ukhuwwah) yang (ukhuwwah)
pengetahuan terdapat Al-Qur’an
prosedural Surah Al-Anfal (8):
pada bidang 72; Al-Qur’an Al-
kajian yang Hujurat (49): 12, Al-
spesifik sesuai Qur’an Al-Hujurat
dengan bakat (49): 10, serta
dan minatnya hadis riwayat Al-
untuk Bukhari dari Abu
memecahkan Hurairah r.a.
masalah 3.3 Menganalisis 3.3.1 Menerjemahkan arti perkata ayat-ayat
larangan pergaulan Al-Qur’an Surah Al-Isra’ (17): 32, dan
bebas dan Al-Qur’an Surah An-Nur (24): 2, dan
perbuatan keji yang hadis riwayat Al-Bukhari dari Abu
terdapat pada Al- Hurairah tentang larangan pergaulan
Qur’an Surah Al- bebas dan perbuatan keji.
Isra’ (17): 32, dan 3.3.2 Menjelaskan kandungan ayat Al-
Al-Qur’an Surah Qur’an Surah Al-Isra’ (17): 32, dan Al-
An-Nur (24): 2, dan Qur’an Surah An-Nur (24): 2, dan
hadis riwayat Al- hadis riwayat Al-Bukhari dari Abu
Bukhari dari Abu Hurairah tentang larangan pergaulan
29

KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR


INDIKATOR
INTI (KI) (KD)
Hurairah r.a. bebas dan perbuatan keji.
3.3.3 Menunjukkan dampak negatif dari
pergaulan bebas dan perbuatan keji.
Sumber: Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Soppeng

2. Model Pembelajaran

Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang

digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas.

Arends mengemukakan bahwa model pembelajaran “an overall plan, or

pattern, for helping students to learn specific kinds of knowledge, attitudes, or

skills”.16 Model pembelajaran merupakan rencana atau pola secara

keseluruhan untuk membantu siswa mempelajari suatu pengetahuan, sikap,

atau keterampilan tertentu. Sedangkan menurut Joyce, Weil, dan Calhoun

mengemukakan bahwa:

A model of teaching is a description of a learning environment,


including our behavior as teachers when that model is used. These
models have many uses, ranging from planning lessons and
curriculums to designing instructional materials, including multimedia
programs.17

Model pembelajaran merupakan deskripsi suatu lingkungan belajar.

Model ini memiliki banyak kegunaan yang meliputi segala bidang

pembelajaran mulai dari perencanaan kurikulum dan materi pelajaran,

16
Richard I. Arends, Learning to Teach, Ninth Edition (New York: McGraw-Hill Companies,
2012), h. 27.
17
Bruce Joyce, Marsha Weil, and Emily Calhoun, Models of Teaching, Eighth Edition
(Boston: Pearson Education, Inc., 2009), h. 24.
30

perancangan instruksional termasuk rancangan program multimedia

pembelajaran. Model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang

melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman

belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu, dan memiliki fungsi

sebagai pedoman bagi guru dalam merencanakan dan melaksanakan

pembelajaran. “The models of teaching are kind of realities admitted to the

classroom, and the kinds of life views likely to be generated as teacher and

learner work together”.18 Model pembelajaran adalah jenis pengalaman yang

akan diterima di kelas dan jenis pedoman interaksi antara guru dan siwa

untuk mencapai tujuan pembelajaran.

Sesuai dengan hal tersebut, Siddiqui mengemukakan bahwa tujuan

terpenting dari model pembelajaran adalah “to improve the instructional

effectiveness through an interactive atmosphere”.19 Bahwa model

pembelajaran adalah untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran melalui

suasana interaktif. Model pembelajaran adalah “a plan or pattern that can be

used to shape curricula or courses of study, to design instructional materials

and to guide instruction in the classroom and other setting”.20 Model

pembelajaran merupakan rencana atau pola yang dapat digunakan untuk

18
B. C. Mahapatra, Models of Teaching in Education (New Delhi: Sarup & Sons, 2004), h.
26.
19
Mujibul Hasan Siddiqui, Excellence of Teaching: A Model Approach (New Delhi: LP.H.
Publishing Corporation, 2008), h. 7.
20
R. P. Pathak and Jagdeesh Chaudhary, Educational Technology (New Delhi: Dorling
Kindersley, 2012), h. 50.
31

membuat kurikulum atau sumber belajar, merancang materi pembelajaran

dan menjadi panduan pembelajaran di kelas.

Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa model pembelajaran

adalah instrumen fleksibel yang dimodifikasi agar sesuai dengan jenis materi

pelajaran dan tipe belajar siswa. Model pembelajaran bukan seperangkat

aturan tetap dan kaku untuk menyelesaikan pembelajaran. Sebuah model

membantu seorang guru dalam menciptakan lingkungan dengan memberikan

petunjuk dan gagasan baru yang berguna untuk menangani berbagai jenis

topik, tema, masalah pendidikan dan masalah di kelas. Berdasarkan uraian

tersebut, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran merupakan pola

umum atau prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman

belajar untuk membantu siswa mencapai kompetensi atau tujuan

pembelajaran yang diharapkan. Sebagai guru dapat memilih model

pembelajaran yang efektif dan efesien sesuai dengan karakteristik materi

untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.

a. Model Pembelajaran Treffinger

1) Pengertian Model Pembelajaran Treffinger

Model Pembelajaran Treffinger adalah suatu model pembelajaran

yang berbasis belajar kreatif. Model pembelajaran Treffinger sebenarnya

tidak jauh berbeda dengan model pembelajaran yang digagas oleh Alex

Osborn. Model Treffinger ini dikenal juga dengan model creative problem
32

solving (CPS).21 Treffinger mengemukakan bahwa “this model deals with the

appropriate and necessary balance between experience and practice in and

out of the content context.” 22 Di sini dijelaskan bahwa model pembelajaran

CPS membahas tentang keseimbangan dan kesesuaian antara pengalaman

dan praktik, baik di dalam maupun di luar konteks dan konten pembelajaran.

Dengan model CPS memungkinkan individu dan kelompok mengenali dan

bertindak berdasarkan peluang, merespons tantangan, dan mengatasi

masalah.23

Demetrikopoulos dan Pecore mengemukakan bahwa model CPS

pertama kali dikembangkan oleh Osborn (1963) dan kemudian ditangani oleh

Parnes (1981) sebagai proses yang berguna untuk memberi kesempatan

kepada pelajar yang berbakat secara intelektual untuk mengatasi masalah

dengan cara-cara kreatif melalui tindakan nyata. Kemudian, lebih lanjut

Treffinger, Isaksen, & Dorval, (1994) melakukan penyempurnaan terhadap

model CPS yang berkembang menjadi proses enam langkah, yakni mess

finding (menemukan masalah yang dirasakan sebagai pengganggu), data

finding (menemukan fakta), problem finding (menemukan masalah), idea

finding (menemukan ide), solution finding (menemukan solusi), dan

21
Miftahul Huda, Model-model Pengajaran dan Pembelajaran: Isu-isu Metodis dan
Paradigmatis, Cetakan V (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), h. 317.
22
Donald J. Treffinger, Practice Problems for Creative Problem Solving, Third Edition (Waco,
TX: Prufrock Press Inc., 2000), h. 2.
23
Scott G. Isaksen, K. Brian Dorval, and Donald J. Treffinger, Creative Approaches to
Problem Solving: A Framework for Innovation and Change, Third Edition (Los Angeles:
Sage Publications, 2011), h. 26.
33

acceptance finding (menemukan penerimaan). Proses ini yang

memungkinkan siswa untuk mengaktifkan kemampuan berpikir divergen

terlebih dahulu untuk menemukan, menganalisis, dan mengevaluasi kriteria,

kemudian menggunakan kemampuan berpikir konvergen untuk mencapai

konsensus dengan hanya memilih ide yang paling tepat untuk memecahkan

masalah.24 Pemecahan masalah merupakan suatu keterampilan yang

meliputi kemampuan untuk mencari informasi, menganalisis situasi, dan

mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif

sehingga dapat mengambil suatu tindakan keputusan untuk mencapai

sasaran. 

Model pembelajaran yang dikembangkan oleh Treffinger lebih

menekankan pada kemampuan siswa dalam belajar kreatif. Menurut Puccio,

Keller-Mathers, dan Trefinger bahwa pemecahan masalah secara kreatif

adalah aktivitas seumur hidup. 25 Maka dengan demikian, Munandar

mengemukakan bahwa model pembelajaran Treffinger untuk mendorong

belajar kreatif merupakan salah satu model yang menangani masalah

kreativitas secara langsung dan memberikan saran-saran praktis bagaimana

mencapai keterpaduan dengan melibatkan, baik keterampilan kognitif

maupun afektif. Model Treffinger menunjukan saling hubungan dan

24
Melissa K. Demetrikopoulos and John L. Pecore, Interplay of Creativity and Giftedness in
Science, Eds. (Rotterdam: Sense Publishers, 2016), h. 139.
25
Kristin Puccio, Susan Keller-Mathers, and Donald J. Treffinger, Adventures in Real
Problem Solving: Facilitating Creative Problem Solving with Primary Students (Waco, TX:
Prufrock Press Inc., 2000), h. 1.
34

ketergantungan antara keduanya dalam mendorong belajar kreatif. 26 Dengan

perkataan lain, bahwa selain proses yang bermakna juga digunakan proses

berpikir divergen (proses berpikir dari berbagai arah dan menghasilkan

banyak solusi alternatif) dan proses berpikir konvergen (proses berpikir yang

mencari jawaban tunggal).27 Sesuai dengan pengertian tersebut, Taura dan

Nagai mengemukakan bahwa:

The Treffinger’s creative learning model encompassed the cognitive


and affective aspects. The cognitive aspects in Treffinger’s creative
learning model are fluency, flexibility, originality, elaboration, and
cognition and memory. We replaced cognition and memory with
problem sensitivity.28

Pengertian ini menunjukkan bahwa model pembelajaran kreatif

Treffinger meliputi dua aspek, yaitu aspek kognitif dan afektif. Sementara

aspek kognitif yang dimaksudkan dalam model pembelajaran kreatif

Treffinger ini mencakup: fluency, flexibility, originality, elaboration,

sertacognition and memory atau problem sensitivity. Secara singkat, dapat

dijelaskan bahwa unsur kognitif dalam kreativitas adalah (1) fluency

(kelancaran) yaitu kemampuan membuat berbagai jawaban terhadap suatu

informasi dalam waktu yang terbatas untuk suatu solusi yang bermakna; (2)

26
Utami Munandar, Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat, Cet. 3 (Jakarta: Rineka
Cipta, 2016), h. 172.
27
Hafizh Nizham, Suhendra, and Bambang Avip P., “Improving Ability Mathematic Literacy,
Self-efficacy and Reducing Mathematical Anxiety with Learning Treffinger Model at Senior
High School Students”, International Journal of Science and Applied Science: Conference
Series, Vol. 2 No. 1 (2017), h. 132.
28
Toshiharu Taura and Yukari Nagai, Design Creativity 2010, Eds. (London: Springer
Science & Business Media, 2011), h. 106.
35

flexibility (fleksibilitas) adalah kemampuan untuk beradaptasi dari satu

pemikiran kepada pemikiran lainnya; (3) originality (orisinalitas) adalah

kemampuan untuk mencetuskan gagasan yang asli walaupun probabilitas

terjadinya sangat rendah (4) elaboration, (elaborasi) adalah realisasi atau

transformasi sebuah gagasan yang sangat umum dan sederhana atau

sebaliknya sangat detail dan terperinci; dan (5) problem sensitivity

(sensitivitas masalah) adalah kemampuan untuk menemukan masalah dan

menyadari kebutuhan untuk suatu perubahan atau perangkat dan metode

yang baru.29

Selanjutnya, Lukman, Pasha, dan Erdiana mengemukakan bahwa

model pembelajaran Treffinger adalah salah satu model pembelajaran

dengan pemikiran berbasis masalah dan pendekatan yang mengarahkan

peserta didik mampu memecahkan masalah secara kreatif dengan ide

potensial dan ide tersebut dijadikan sebagai solusi. 30 Pembelajaran berbasis

masalah, bukan hanya pembelajaran yang inovatif tapi juga model

pembelajaran kreatif yang dapat memberi kondisi belajar aktif bagi siswa.

Model ini diharapkan dapat melatih serta meningkatkan kemampuan berpikir

kritis siswa dalam memecahkan masalah yang timbul di lingkungan sekitar,

karena model pembelajaran ini lebih menekankan pada proses

29
Toshiharu Taura and Yukari Nagai, op.cit., h. 106.
30
Anggia Amanda Lukman, Gurniwan Kamil Pasha, and Wahyu Erdiana, "The Difference of
Learning Model Think-Talk-Write (TTW) and Treffinger in Improving Students Critical
Thinking Skills in Sociology Subject”, Proceeding The 5th International Conference
Oneducation & Social Sciences (ICESS), Semarang, 26-27 July 2017, h. 45.
36

pembelajaran. Di samping itu, proses pemecahan masalah kreatif merupakan

sebuah proses yang memungkinkan siswa dapat melihat kesulitan dan

masalah masa kini dan masa depan bukan sebagai penghalang untuk

mencapai kesuksesan, namun sebagai tantangan yang harus dipenuhi. 31

Dengan demikian, model pembelajaran Treffinger dapat membantu

siswa untuk berpikir kreatif dalam memecahkan masalah, membantu siswa

dalam menguasai konsep konsep materi yang diajarkan, serta memberikan

kepada siswa untuk menunjukkan potensi-potensi kemampuan yang

dimilikinya termasuk kemampuan kreatif dan pemecahan masalah. 32 Dasar

pembelajaran kreatif untuk pemecahan masalah adalah berpikir kreatif atau

menemukan banyak jawaban, berpikir kritis atau fokus pada satu pilihan. Di

samping itu, juga sebagai dasar pembelajaran kreatif harus merancang

sebuah model pembelajaran yang terorganisir sebagai suatu sistem dan

dasar dalam proses belajar dan model tersebut dapat digunakan untuk

memecahkan masalah dan menemukan solusi atau gagasan baru. 33

Berdasarkan dari penjelasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa model pembelajaran Treffinger adalah model yang memotivasi siswa

31
Joel E. McIntosh and April W. Meacham, Creative Problem Solving in the Classroom:
Effectively Using CPS in Any Classroom (Waco, TX: Prufrock Press Inc., 1991), h. 11.
32
Ashari, Lusy Rahmawati dan Eko Setyadi Kurniawan, “Pengaruh Model Pembelajaran
Treffinger Terhadap Kreativitas dan Hasil Belajar Suhu dan Kalor Siswa Kelas X SMA
Negeri 3 Purworejo Tahun Pelajaran 2014/2015”, Jurnal Radiasi, Vol.7 No.1.September
2015, h. 27.
33
Donald J. Treffinger, Scott G. Isaksen, and K. Brian Dorval, Creative Problem Solving: An
Introduction, Third Edition (Waco, TX: Prufrock Press Inc., 2000), h. 12.
37

dalam pembelajaran agar berpikir kreatif (yang juga sering disebut berpikir

divergen)34, yakni menghasilkan berbagai macam ide atau gagasan pada

suatu masalah dan kemudian berpikir kritis (yang juga sering disebut berpikir

konvergen)35, yakni memilih ide atau gagasan berdasarkan fakta, baik secara

konten maupun konteks sebagai suatu solusi pemecahan masalah yang

tepat untuk diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Model pembelajaran

Treffinger dapat membantu siswa untuk berpikir kreatif dalam memecahkan

masalah, membantu siswa dalam menguasai konsep-konsep materi yang

diajarkan, serta memberikan kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan

potensi-potensi kemampuan yang dimilikinya, termasuk kemampuan kreatif

dan pemecahan masalah. Dengan kreativitas yang dimiliki siswa, berarti

siswa mampu menggali potensi dalam berdaya cipta, menemukan gagasan

serta menemukan pemecahan atas masalah yang dihadapinya yang

melibatkan proses berpikir. Model pembelajaran ini dirancang agar siswa aktif

mencari sendiri pengetahuannya.

2) Langkah-langkah Model Pembelajaran Treffinger

Model Treffinger untuk pembelajaran kreatif merupakan kerangka

pengembangan tiga langkah untuk membantu siswa belajar agar lebih mahir

34
Ahmed Fathelrahman, Mohamed Izham Mohamed Ibrahim, Alian A. Alrasheedy, Albert
Wertheimer, Pharmacy Education in the Twenty First Century and Beyond: Global
Achievements and Challenges, Eds. (London: Academic Press, 2018), h. 35.
35
Donald J. Treffinger, Scott G. Isaksen, and K. Brian Dorval, op.cit., h. 3.
38

dan kreatif dalam pemecahan masalah.36 Model pembelajaran CPS oleh

Treffinger dikemukakan bahwa sedikitnya melibatkan tiga komponen utama,

yaitu understanding the challenge, generating ideas, dan preparing for action.

Dalam proses komponen ini, mencakup enam tahap secara spesifik, yakni

constructing opportunities, exploring data, framing problems, generating

ideas, developing solutions, dan building acceptance.37 Lebih jelasnya,

mengenai ketiga komponen dan enam tahap tersebut, Treffinger, Isaksen,

dan Stead-Dorval mendeskripsikan sebagai berikut:

a) Komponen understanding the challenge (memahami tantangan), meliputi

tahap: (1) constructing opportunities (menentukan tujuan, yaitu

mengidentifikasi dan memilih tujuan, tantangan, atau peluang, (2)

exploring data (menggali data), yaitu menjelajahi banyak aspek tugas dan

menentukan aspek mana yang harus menjadi fokus utama dalam upaya

pembelajaran CPS, dan (3) framing problems (merumuskan masalah),

yaitu menghasilkan atau memilih banyak statemen masalah atau

membangun suatu statemen masalah yang spesifik untuk digunakan.

b) Komponen generating ideas (membangkitkan gagasan), yaitu

menghasilkan berbagai macam gagasan baru dalam menanggapi suatu

36
Ronald A. Beghetto, “Creative Learning: A Fresh Look”, Journal of Cognitive Education and
Psychology, Volume 15, Number 1, 2016, h. 4.
37
Donald J. Treffinger, Creative Problem Solver's Guidebook, Third Edition (Waco, TX:
Prufrock Press Inc., 2000), h. 1.
39

masalah, kemudian mengidentifikasi gagasan yang paling tepat dari

berbagai macam gagasan.

c) Komponen preparing for action (mempersiapkan tindakan), meliputi

tahap: (1) developing solutions (mengembangkan solusi), yaitu meneliti

kemungkinan yang paling tepat dengan hati-hati dan menjadikan sebagai

solusi potensial dan (2) building acceptance (membangun penerimaan),

yaitu mengeksplorasi solusi potensial dan mencari sumber dukungan dan

cara untuk mengatasi hambatan dan meningkatkan peluang keberhasilan

implementasi; kemudian mengembangkan rencana khusus tindakan,

memantau tindakan, dan merevisi sesuai yang diperlukan. 38

Sementara itu, Huda menjelaskan komponen-komponen dan tahap-

tahap model pembelajaran CPS Treffinger ini, sebagai berikut:  

a) Understanding challege (memahami tantangan), meliputi: (1)

menentukan tujuan, yaitu: guru menginformasikan kompetensi yang

harus dicapai dalam pembelajarannya,  (2) menggali data, yaitu: guru

mendemonstrasi atau menyajikan fenomena alam yang dapat

mengundang keingintahuan siswa, dan (3) merumuskan masalah, yaitu:

guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengindentifikasi

permasalahan.

b) Generating ideas (membangkitkan gagasan), meliputi: memunculkan

gagasan, yaitu: guru memberi waktu dan kesempatan pada siswa untuk


38
Donald J. Treffinger, Scott G. Isaksen, and K. Brian Stead-Dorval. op.cit., hh. 19-20.
40

mengungkapkan gagasannya dan juga membimbing siswa untuk

menyepakati alternatif pemecahan masalah yang akan diuji.

c) Preparing for action (mempersiapkan tindakan), meliputi: (1)

mengembangkan solusi, yaitu: guru mendorong siswa untuk

mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk

mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah dan (2) membangun

penerimaan, yaitu: guru mengecek solusi yang telah diperoleh siswa dan

memberikan permasalahan baru yang lebih kompleks agar siswa dapat

menerapkan solusi yang telah ia peroleh. 39

Selain daripada istilah komponen dan tahap tersebut di atas, Treffinger

dan Reis mengemukakan bahwa model pembelajaran kreatif terdiri atas tiga

tingkatan, yakni: “learning basic thinking tools; learning and practicing

problem solving models; and dealing with real problems and challenges”.40

Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh French dan Rhoder bahwa

model Treffinger sebagai sebuah model pembelajaran kreatif yang mencakup

tiga tingkatan, yaitu: (1) learningbasic thinking tools, siswa menerima

pembelajaran dengan cara berpikir divergen atau kreatif dan konvergen atau

kritis; (2) learning and practicing problem solving models, siswa menerapkan

keterampilan individual ke dalam situasi yang lebih kompleks, pada tingkat

ini pembelajaran bersifat holistik; (3) dealing with real problems and
39
Miftahul Huda, op.cit., h. 319.
40
Donald J. Treffinger and Sally M. Reis, Creativity and Giftedness, eds. (Thousand Oaks,
California: Corwin Press, 2004), h. 90.
41

challenges, siswa diharapkan dapat mentransfer dan mengimplementasikan

ilmu yang dimilikinya dalam kehidupan nyata. 41

Pendapat lain, mengemukakan bahwa ketiga tahap model Treffinger

tersebut adalah (1) basic tools, siswa dapat berpikir divergen tanpa takut

salah, (2) practice with process, siswa diberi masalah kompleks yang

menciptakan konflik kognitif, dan (3) working with the real problem,

melibatkan pemikiran siswa dalam tantangan nyata dan mendorong

menemukan solusi sendiri untuk mengatasi masalah yang

diberikan.42Sementara Runco mengemukakan bahwa model pembelajaran

kreatif meliputi tiga level, yaitu: “levels one, two, dan three” dengan

penjelasan setiap level, sebagai berikut:

a) Level one. Level ini melibatkan belajar menggunakan teknik berpikir

kreatif dan kritis sebagai alat untuk menghasilkan dan menganalisis

gagasan. Alat berpikir kreatif adalah metode, strategi, atau teknik yang

dapat meningkatkan kemampuan seseorang untuk menghasilkan

gagasan yang banyak dan beragam; atau untuk menguraikan gagasan

dengan menambahkan rincian yang lebih lengkap. Alat berpikir kritis

adalah metode yang meningkatkan kemampuan seseorang untuk

41
Joyce N. French and Carol Rhoder, Teaching Thinking Skills: Theory and Practice, Vol.
511 (New York: Routledge, Taylor & Francis, 2011), h. 234.
42
Idrus Alhaddad, et.al., “Enhancing Students’ Communication Skills Through Treffinger
Teaching Model”, Journal on Mathematics Education, Volume 6, No. 1, January 2015, h.
33.
42

menganalisis, membandingkan, memperbaiki, mengembangkan gagasan

atau menentukan pilihan dan keputusan.

b) Level Two. Level ini meliputi proses atau sistem pembelajaran dan

latihan yang terstruktur untuk memecahkan masalah yang ditemukan

pada level satu.

c) Level Three. Tingkat ini merupakan hasil yang paling penting dan

diinginkan dari semua program instruksional atau pelatihan, yaitu

memungkinkan siswa mengatasi masalah dan tantangan dalam

kehidupan nyata secara efektif.43

Sesuai dengan hal tersebut, Munandar mengemukakan bahwa model

Treffinger untuk mendorong belajar kreatif meliputi susunan tiga tingkat yang

dimulai dengan ungsur-unsur dasar dan menanjak ke fungsi berpikir kreatif

yang lebih majemuk. Model Treffinger terdiri atas beberapa langkah, yaitu: 

a) Tingkat I (basic tools), meliputi keterampilan divergen dan teknik-teknik

kreatif. Keterampilan dan teknik-teknik ini mengembangkan kelancaran

dan kelenturan berpikir serta kesediaan mengungkapakan pemikiran

kreatif kepada orang lain.

b) Tingkat II (practice with process), memberi kesempatan kepada siswa

untuk menerapkan keterampilan yang dipelajari ada tingkat I dalam

situasi praktis. Untuk tujuan ini digunakan strategi seperti bermain peran,

43
Mark A. Runco, Problem Finding, Problem Solving, and Creativity, Ed. (Noorwod, New
Jersey: Ablex Publishing Corporation, 1994), hh. 231-232.
43

simulasi, dan studi kasus. Keahiran dalam berpikir kreatif menuntuut

siswa memiliki keterampilan untuk melakukan fungsi-fungsi seperti

analisis, evaluasi, imajinasi, dan fantasi.

c) Tingkat III (working with real problems), menerapkan keterampilan yang

dipelajari dua tingkat pertama terhadap tantangan dunia nyata. Siswa

menggunakan kemampuan mereka dengan cara yang bermakna untuk

kehidupannya. Siswa tidak hanya belajar berpikir kreatif, tetapi juga

bagaimana menggunakan informasi ini dalam kehidupan mereka. 44

Untuk setiap tingkat dalam model pembelajaran Treffinger terdapat

teknik-teknik tertentu yang digunakan sesuai dengan fungsi tingkat yang

bersangkutan. Seperti dikemukakan oleh Semiawan, Munandar, dan

Munandar bahwa:untuk tingkat I: fungsi-fungsi divergen, antara lain

digunakan teknik-teknik pemanasan, pemikiran dan perasaan terbuka,

sumbang saran dan penangguhan kritik, daftar penulisan gagasan,

penyusunan sifat, dan hubungan yang dipaksakan. Untuk tingkat II: proses

pemikiran dan perasaan yang majemuk, antara lain digunakan teknik-teknik

analisis morfologis, sinektik, bermain peran dan sosiodrama. Sedangkan

untuk tingkat III: keterlibatan dalam tantangan nyata, digunakan teknik atau

metoda pemecahan masalah secara kreatif.45

44
Utami Munandar, op.cit., hh. 172-174.
45
Conny Semiawan, A.S. Munandar, dan S.C.U. Munandar, Memupuk Bakat dan Kreativitas
Siswa Sekolah Menengah: Petunjuk bagi Guru dan Orang Tua (Jakarta: PT. Gramedia,
1984), h. 41.
44

Sesuai dengan paparan tersebut di atas, Nisa merumuskan langkah-

langkah model pembelajaran Treffinger sebagai berikut:

a) Tingkat I basic tool (1) pendidik memberikan suatu masalah (2) peserta

didik membaca dan memahami masalah (3) pendidik membimbing

peserta didik melakukan diskusi untuk menyampaikan gagasan atau

idenya sekaligus memberikana penilaian pada masingmasing kelompok

(4) peserta didik melakukan diskusi untuk menyampaikan gagasan atau

idenya dan menuliskannya.

b) Tingkat II practice with process(1) pendidik membimbing dan

mengarahkan peserta didik untuk berdiskusi dengan memberikan contoh

analog (2) peserta didik membuat contoh yang diminta oleh pendidik.

c) Tingkat III working with real problems (1) pendidik memberikan suatu

masalah dalam kehidupan sehari-hari (2) pendidik membimbing peserta

didik membuat pertanyaan serta penyelesaian secara mandiri (3) peserta

didik membuat pertanyaan serta penyelesaian secara mandiri (4)

pendidik membimbing peserta didik menyebutkan langkahlangkah dalam

menyelesaikan suatu masalah.46

Dengan demikian, maka langkah-langkah dari model pembelajaran

Treffinger adalah: (1) menjelaskan materi sambil memberikan masalah yang

dapat menstimulus siswa untuk berpikir divergen; (2) menyajikan materi

46
Titin Faridatun Nisa, “Pembelajaran Matematika dengan Setting Model Treffinger untuk
Mengembangkan Kreativitas Siswa”, Pedagogia: Jurnal Ilmu Pendidikan, Vol. 1, No. 1,
Desember 2011, hh. 44-45.
45

pelajaran dengan cara memperhadapkan siswa pada masalah yang

kompleks sehingga menimbulkan rasa keingintahuan pada siswa. Dengan

situasi seperti ini, maka memicu siswa untuk mengeluarkan potensi kreatifnya

dalam memecahkan masalah yang dihadapi; (3) melibatkan kemampuan

berpikir siswa dalam tantangan nyata yang berkaitan dengan kehidupan

sehari-hari. Agar kegiatan siswa lebih efektif, maka guru melakukan metode

dan teknik pembimbingan kegiatan siswa selama mengikuti pembelajaran

dengan tujuan agar siswa terdorong untuk aktif dan kreatif dalam

pembelajaran.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dirumuskan langkah-

langkah pembelajaran model Treffinger seperti pada Tabel 2.2 berikut ini:

Tabel 2.2.

Sintaks Model Pembelajan Treffinger

TAHAP LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN


PEMBE-
LAJARAN KEGIATAN GURU KEGIATAN SISWA
KEGIATAN AWAL
Guru menyampaikan atau Siswa mendengarkan
menjelaskan tujuan yang akan penjelasan guru
dicapai setelah pembelajaran
Guru menjelaskan secara garis Siswa mendengarkan
besar materi yang akan dipelajari penjelasan guru, lalu
hari itu dan membagi siswa dalam mengatur tempat duduk
beberapa kelompok sesuai dengan kelompoknya
KEGIATAN INTI
Tingkat I: (1) guru memberikan suatu Siswa membaca dan
Basic tool masalah terbuka dengan jawaban memahami masalah terbuka
lebih dari satu penyelesaian
(4) guru memberikan lembar tugas, Siswa menuliskan gagasan
46

TAHAP LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN


PEMBE-
LAJARAN KEGIATAN GURU KEGIATAN SISWA
untuk  menuliskan gagasan sesuai kreativitasnya
dengan cara mendaftar sesuai
kreativitas
(2) guru membimbing siswa siswa melakukan diskusi
melakukan diskusi untuk untuk menyampaikan
menyampaikan gagasan atau gagasan atau idenya yang
idenya sekaligus memberikan sudah ditulis
penilaian pada masing-masing
kelompok
Tingkat II: Guru memberikan kegiatan yang Siswa menganalisis contoh
Practice menantang dengan suatu contoh analogi yang diberikan
with analogi
process (1) guru membimbing dan Siswa berdiskusi
mengarahkan siswa untuk mengenalogi contoh analogi
berdiskusi tentang contoh analogi
(2) guru meminta siswa membuat Siswa membuat contoh atau
contoh atau cerita dalam contoh yang diminta
kehidupan sehari-hari
Tingkat III: (1) guru memberikan suatu Siswa membaca dan
Working masalah dalam kehidupan sehari- memahami masalah
with real hari
problems (2) guru membimbing siswa Siswa membuat pertanyaan
membuat pertanyaan serta serta penyelesaian secara
penyelesaian secara mandiri mandiri
(3) guru membimbing siswa siswa menyebutkan langkah-
menyebutkan langkah-langkah langkah dalam
dalam menyelesaikan suatu menyelesaikan suatu
masalah, masalah
memberikan suatu masalah dalam Siswa menyelesaikan
bentuk narasi dan dialog, masalah tersebut sesuai ide
kemudian diselesaikan siswa kreatifnya
sesuai dengan ide kreatifnya
(4) Guru memberikan timbal balik Siswa yang skornya tinggi
menerima reward, siswa
yang lain memberikan tepuk
tangan
KEGIATAN AKHIR
Guru membimbing siswa untuk Siswa mencatat kesimpulan
membuat kesimpulan materi yang
telah dipelajari
47

3) Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Treffinger

Sumbangan terbesar dari model pembelajaran Treffinger adalah

terhadap pengembangan kurikulum siswa berbakat yang menunjukkan

peningkatan dari keterampilan tidak terbatas pada keterampilan dasar. Model

ini menunjukkan bahwa belajar kreatif mempunyai tingkatan dari yang relatif

sederhana sampai dengan yang majemuk. Berpikir kreatif merupakan bagian

dari semua subjek yang diajarkan di sekolah. Oleh karena itu, model ini dapat

diterapkan pada semua segi dari kehidupan sekolah, mulai dari pemecahan

konflik sampai dengan pengembangan teori ilmiah. Siswa akan melihat

kemampuan mereka untuk menggunakan kreativitas dalam hidup dan diberi

kesempatan untuk menggunakan kreativitas dalam hidup dan diberi

kesempatan untuk mengembangkan kemampuan mereka dalam lingkungan

yang mendorong dan memungkinkan penggunaannya. 47

Model Treffinger sebagai model untuk mendorong belajar kratif, maka

model ini memberikan empat alasan mengapa belajar kreatif itu penting,

yaitu: (1) belajar kreatif membantu anak menjadi berhasil guna ketika guru

tidak bersama mereka. Belajar kreatif adalah aspek penting dalam upaya

membantu siswa agar lebih mampu menangani dan mengarahkan belajar

bagi mereka sendiri; (2) belajar kreatif menciptakan kemungkinan-

kemungkinan untuk memecahkan masalah-masalah yang tidak mampu

diprediksi yang timbul di masa depan; (3) belajar kreatif dapat menimbulkan
47
Utami Munandar, op.cit., h. 174.
48

akibat yang besar dalam kehidupan. Banyak pengalaman kreatif yang lebih

daripada sekedar kegemaran atau hiburan semata. Makin disadari bahwa

belajar kreatif dapat mempengaruhi, bahkan mengubah karir dan kehidupan

seseorang; dan (4) belajar kreatif dapat menimbulkan kepuasan dan

kesenangan yang besar.48

Dengan demikian, kelebihan-kelebihan model pembelajaran Treffinger

adalah sebagai berikut:

a) Memberi kesempatan kepada siswa untuk memahami konsep-konsep

dengan cara menyelesaikan suatu permasalahan.

b) Membuat siswa aktif dalam pembelajaran. 

c) Mengembangkan kemampuan berpikir siswa karena disajikan masalah

pada awal pembelajaran dan memberi keleluasaan kepada siswa untuk

mencari arah penyelesaiannya sendiri.  

d) Mengembangkan kemampuan siswa untuk mendifinisikan masalah,

mengumpulkan data, menganalisis data, membangun hipotesis, dam

percobaan untuk memecahkan suatu permasalahan.

e) Membuat siswa dapat menerapkan pengetahuan yang sudah dimilikinya

ke dalam situasi baru.49 

Di samping itu, dalam penerapan model pembelajaran Treffinger, guru

harus menghadapi beberapa tantangan dan kekurangan, antara lain:  

48
Conny Semiawan, A.S. Munandar, dan S.C.U. Munandar, op.cit., h. 37.
49
Miftahul Huda, op.cit., h. 320.
49

a) Perbedaan level pemahaman dan kecerdasan siswa dalam menghadapi

masalah. 

b) Ketidaksiapan siswa untuk menghadapi masalah baru yang dijumpai di

lapangan. 

c) Model ini mungkin tidak terapkan untuk siswa taman kanak-kanak atau

kelas-kelas awal sekolah dasar. 

d) Membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk mempersiapkan siswa

melakukan tahap-tahap dalam pembelajaran.50 

b. Model Explicit Instruction

1) Pengertian Model Explicit Instruction

Explicit instruction (pengajaran langsung) dikenal juga dengan istilah

direct instruction. “In a variation of direct instruction called explicit

instruction".51 Menurut Arends bahwa direct instruction “was designed

specifically to help students master academic and social skills and to acquire

clearly structured factual knowledge”.52 Model direct instruction dirancang

khusus untuk membantu siswa menguasai keterampilan akademis dan sosial

dan untuk memperoleh pengetahuan faktual yang terstruktur dengan baik.

Sedangkan “explicit instruction includes clear, teacher-directed methods that

50
Ibid., h. 320-321.
51
Jeffrey P. Bakken, Festus E. Obiakor, and Anthony F. Rotatori,Behavioral Disorders:
Practice Concerns and Students with EBD, First Edition, Eds. (Bingley: Emerald Group
Publishing, 2012), h. 159.
52
Dick Arends and Ann Kilcher, Teaching for Student Learning: Becoming an Accomplished
Teacher (New York: Routledge, 2010),h. 188.
50

can be implemented across content areas and grade levels”. Bahwa explicit

instruction mencakup metode pembelajaran yang jelas dan guru dapat

meterapkan pada semua jenis konten dan tingkat kelas.

Jenis pembelajaran ini memungkinkan guru menyajikan konten dalam

urutan logis sambil memberi kesempatan kepada siswa untuk menanggapi

dan menerima umpan balik dan penguatan yang korektif. “Explicit instruction

is very systematic and structured, textbook/worksheet oriented, and teacher-

centered”.53 Explicit instruction sangat sistematis dan terstruktur, berorientasi

buku teks/lembar kerja, dan berpusat pada guru. Sehubungan dengan

pengertian tersebut, dapat dipahami sebagian besar dalam model explicit

instruction, materi pembelajaran dipimpin oleh guru yang secara khusus

berfokus pada konten (misalnya konsep, prosedur, pemecahan masalah) dan

siswa menerima pelajaran. Hal ini sangat berbeda dengan pendekatan

instruksional yang berpusat pada siswa bahwa guru lebih merupakan

fasilitator dan siswa bertanggung jawab untuk membangun makna sendiri.

Guru yang menggunakan metode explicit instruction biasanya

menggunakan contoh-contoh yang jelas, akurat, dan beragam yang disajikan

dalam langkah-langkah yang detail sehingga siswa dapat dengan jelas

melihat apa yang harus dipelajari. 54 Sesuai dengan hal tersebut Schwarzer

53
Ervin F. Sparapani, Differentiated Instruction: Content Area Applications and Other
Considerations for Teaching in Grades 5-12 in the Twenty-first Century, Ed. (Lanham,
Maryland: University Press of America, 2013), h. 8.
54
Paul J. Riccomini and Bradley S. Witzel, Response to Intervention in Math (Thousand
Oaks, California: Corwin Press, 2009), h. 11.
51

dan Grinberg mengemukakan bahwaexplicit instruction “is most often used to

refer to models in which a teacher directly imparts content, skills, or strategies

through a structured teaching procedure”. 55 Model explicit instruction merujuk

pada model yang digunakan seorang guru secara langsung menanamkan

konten, keterampilan, atau strategi melalui prosedur pembelajaran yang

terstruktur.

Sementara Moran, Richard, dan Malott mengemukakan bahwa model

explicit instruction adalah “the technique involves a teacher-centered

classroom where the teacher delivers content to students in a bottom-up

(piece-by-piece) process, with the students actively engaged with the material

presented”.56Bahwa model/teknik explicit instruction ini melibatkan

pembelajaran yang berpusat pada guru, yaitu guru mengirimkan konten

kepada siswa dalam proses bottom-up (sepotong demi potong), dan siswa

secara aktif menerima materi yang disajikan.

Dalam upaya untuk memaksimalkan pertumbuhan akademis siswa,

menurut Archer dan Hughes salah satu model yang tersedia untuk guru

adalah explicit instruction. Explicit instruction merupakan metodologi

pembelajaran keterampilan akademik secara terstruktur, sistematis dan

efektif. Hal ini disebut eksplisit karena pendekatan pengajaran yang meliputi

55
D. Schwarzer and J. Grinberg, Successful Teaching: What Every Novice Teacher Needs to
Know, Eds. (Lanham, Maryland: Rowman & Littlefield, 2017), h. 69.
56
Daniel J. Moran and Richard W. Malott, Evidence-Based Educational Methods, Eds. (San
Diego, California: Elsevier Academic Press, 2004) h. 96.
52

desain instruksional dan tata cara pengiriman pesan secara langsung.

Explicit instruction ditandai dengan serangkaian dukungan atau

pendampingan, yakni siswa dipandu melalui proses pembelajaran dengan

pernyataan yang jelas tentang tujuan dan alasan untuk mempelajari

keterampilan baru, penjelasan yang jelas dan demonstrasi dari target

instruksional, dan didukung latihan dengan umpan balik sampai penguasaan

independen telah tercapai.57 Di samping itu, Li dan Zhao mengemukakan

bahwa model pembelajaran direct/explicit instruction melibatkan penyediaan

informasi dengan cara yang jelas, sistematis, dan terorganisasi dengan baik.

Selain itu, model pembelajaran direct/explicit instruction juga mensyaratkan

bahwa materi disajikan sedikit demi sedikit dengan penjelasan dan contoh

langkah demi langkah yang jelas di setiap langkah pembelajaran. 58

Oleh karena itu, perilaku yang berkaitan erat dengan explicit

instruction memang dirancang untuk membuat sebuah lingkungan pendidikan

yang beroirientasi akademik dan juga terstruktur serta siswa harus terlibat

aktif saat pelaksanaan pembelajaran berlangsung.Dengan demikian, Joyce,

Weil, dan Calhoun mengemukakan bahwa yang dimaksud direct instruction

(explicit instruction) adalah merujuk pada suatu model pembelajaran yang

terdiri atas penjelasan guru mengenai konsep atau keterampilan baru

57
Anita L. Archer and Charles A. Hughes, Explicit Instruction: Effective and Efficient
Teaching (New York: Guilford Press, 2010), h. 1.
58
Mang Li and Yong Zhao, Exploring Learning and Teaching in Higher Education, Eds.
(Heidelberg: Springer, 2015), h. 194.
53

terhadap siswa. Penjelasan ini dilanjutkan dengan meminta siswa menguji

pemahaman mereka dengan melakukan praktik di bawah kontrol guru

(controlled practice), dan mendorong siswa meneruskan praktik di bawah

bimbingan guru (controlled practice).59

Berdasarkan uraian pengertian tersebut di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa model explicit instruction (pembelajaran langsung)

merupakan suatu   model pembelajaran yang dirancang secara sistematis

untuk mengembangkan proses belajar siswa mengenai keterampilan dan

pengetahuan secara prosedural sehingga siswa dapat memahami

pengetahuan secara menyeluruh dan aktif dalam suatu pembelajaran dengan

mengikuti langkah-langkah pembelajaran setahap demi setahap sesuai

dengan arahan dan bimbingan guru.

2) Langkah-langkah Model Explicit Instruction

Model explicit instruction adalah penerapan pembelajaran yang

diarahkan oleh guru secara kontekstual dan tepat. Materi pelajaran dalam

penggunaan explicit instruction sangat terstruktur dengan mengikuti prosedur

yang mencakup: (1) set pra-instruksional, 'hook', atau 'why'; (2) prosedur

explicit instruction yang mengikuti struktur yang (i do – we do – you do); dan

(3) penutup yang mencakup data penilaian yang nyata (bukan perasaan atau

59
Bruce R. Joyce, Marsha Weil, and Emily Calhoun, Models of Teaching,Ninth Edition (New
Jersey: Pearson Education, Inc., 2015), h. 341.
54

kepercayaan).60 Pembelajaran yang dirancang khusus untuk

mengembangkan belajar siswa tentang pengetahuan prosedural dan

pengetahuan deklaratif yang dapat diajarkan  dengan pola setahap demi

setahap.

Sementara Lane, et.al. mengemukakan bahwa model explicit

instruction sebagai model yang sangat terorganisir dan diarahkan oleh guru,

maka model ini memiliki langkah secara berurutan untuk mengajarkan materi

pembelajaran, dan hal ini membutuhkan perencanaan yang matang dengan

melalui beberapa prosedur, yaitu: (1) introduction of an advance organizer,

(2) instruction and modeling of the target skill or concept, (3) opportunities for

guided practice, (4) opportunities for independent practice, (5) the use of a

postorganizer, dan (6) assessment of the skill or concept acquisition.61

Berdasarkan hal tersebut, dapat dipahami bahwa prosedur yang harus

diperhatikan adalah: (1) menginformasikan tujuan pembelajaran dan orientasi

pelajaran kepada siswa serta mengapersepsi kembali pengetahuan dan

keterampilan prasyarat, (2) guru menyampaikan materi, menyajikan

informasi, memberikan contoh-contoh, serta mendemonstrasikan konsep, (3)

melaksanakan bimbingan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk

menilai tingkat pemahaman siswa dan mengoreksi kesalahan konsep, (4)

60
D. Schwarzer and J. Grinberg, Successful Teaching: What Every Novice Teacher Needs to
Know, Eds. (Lanham, Maryland: Rowman & Littlefield, 2017), h. 67.
61
Kathleen Lynne Lane, et.al, Managing Challenging Behaviors in Schools: Research-Based
Strategies That Work (New York: Guilford Press, 2010, h. 52.
55

memberikan tugas-tugas mandiri kepada siswa untuk meningkatkan

pemahamannya kepada materi yang telah mereka pelajari, (5) memberikan

kesempatan untuk menggunakan informasi baru secara individu atau

kelompok setelah menerima materi, dan (6) menilai kinerja atau pemahaman

siswa dan memberikan umpan balik.

Selanjutnya Joyce, Weil, dan Calhoun menggambarkan tahap-tahap

model explicit instruction sebagai berikut:

a) Tahap I: Orientasi, yang meliputi: (1) guru menentukan materi pelajaran,

(2) guru meninjau pelajaran sebelumnya, (3) guru menentukan tujuan

pelajaran, dan (4) guru menentukan prosedur pengajaran. 

b) Tahap II: Presentasi, yang meliputi: (1) guru menjelaskan konsep atau

keterampilan baru, (2) guru menyajikan representasi visual atas tugas

yang diberikan, dan (3) guru memastikan pemahaman.

c) Tahap III: Praktik Yang Terstruktur, yang meliputi: (1) guru menuntun

kelompok siswa dengan contoh praktik dalam beberapa langkah, (2)

siswa merespons pertanyaan, dan (3) guru membérikan koreksi terhadap

kesalahan dan memperkuat praktik yang telah benar.

d) Tahap IV: Praktik di Bawah Bimbingan Guru, yang meliputi: (1) siswa

berpraktik secara semi-independen, (2) guru menggilir siswa untuk

melakukan praktik dan mengarnati praktik, dan (3) guru memberikan

tanggapan balik berupa pujian, bisikan, maupun petunjuk.


56

e) Tahap V: Praktik Mandiri, yang meliputi: (1) siswa melakukan praktik

secara mandiri di rumah atau di kelas, (2) guru menunda respons balik

dan memberikannya di akhir rangkaian praktik, dan (3) praktik mandiri

dilakukan beberapa kali dalam periode waktu yang lama. 62

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dirumuskan langkah-

langkah pembelajaran model explicit instruction seperti pada Tabel 2.3

berikut ini:

Tabel 2.3.

Sintaks Model Explicit Instruction

TAHAP PERAN GURU


I Menyampaikan Guru menjelaskan tujuan instruksional,
tujuan instruksional relevansi materi pelajaran dengan
dan mempersiapkan kehidupan sehari-hari siswa,
siswa mempersiapkan siswa untuk mengikuti
pembelajaran
II Mempresentasikan Guru mendemontrasikan keterampilan
pengetahuan dan dengan benar, atau mempresentasikan
keterampilan materi tahap demi tahap
III Memandu praktik dan Guru merencanakan dan memberi
latihan panduanpraktik dan latihan awal
IV Mengujipengetahuan Menguji siswa apakah telah berhasil
dan memberikan melaksanakan praktik dan latihan dengan
umpan balik baik, serta memberi umpan balik
V Memberikan Guru memberikan kesempatan kepada
kesempatan untuk siswa untuk melakukan paraktik dan latihan
praktik dan latihan lanjutan, khususnyaimplementasi kepada
lanjutan dan situasi lebih kompleks dan dalam kehidupan
impelemntasi sehari-hari.

62
Bruce R. Joyce, Marsha Weil, and Emily Calhoun, op.cit., h. 348.
57

3) Kelebihan dan Kelemahan Model Explicit Instruction

Adapun kelebihan-kelebihan model explicit instruction dapat

dikemukakan sebagai berikut:

a) Guru mengendalikan isi materi dan urutan informasi yang diterima oleh

siswa sehingga dapat mempertahankan fokus mengenai apa yang harus

dicapai oleh siswa.

b) Dapat diterapkan secara efektif dalam kelas yang besar maupun kecil.

c) Dapat digunakan untuk menekankan poin-poin penting atau kesulitan-

kesulitan yang mungkin dihadapi siswa sehingga hal-hal tersebut dapat

diungkapkan.

d) Dapat menjadi cara yang efektif untuk mengajarkan informasi dan

pengetahuan faktual yang sangat terstruktur.

e) Merupakan cara yang paling efektif untuk mengajarkan konsep dan

keterampilan yang eksplisit kepada siswa yang berprestasi rendah.

f) Dapat menjadi cara untuk menyampaikan informasi yang banyak dalam

waktu yang relatif singkat dan dapat diakses oleh seluruh siswa.

g) Memungkinkan guru untuk menyampaikan ketertarikan pribadi mengenai

mata pelajaran (melalui presentasi yang antusias) yang dapat

merangsang ketertarikan dan dan antusiasme siswa. 63

Sementara kelemahan-kelemahan model explicit instruction dapat

dikemukakan sebagai berikut:


63
Miftahul Huda, op.cit., hh. 187-188.
58

a) Terlalu bersandar pada kemampuan siswa untuk mengasimilasikan

informasi melalui kegiatan mendengarkan, mengamati, dan mencatat.

Karena tidak semua siswa memiliki keterampilan dalam hal-hal tersebut,

guru masih harus mengajarkannya kepada siswa;

b) Kesulitan untuk mengatasi perbedaan dalam hal kemampuan,

pengetahuan awal, tingkat pembelajaran dan pemahaman, gaya belajar,

atau ketertarikan siswa;

c) Kesulitan siswa untuk mengembangkan keterampilan sosial dan

interpersonal yang baik;

d) Kesuksesan strategi pembelajaran ini bergantung pada penilaian dan

antusiasme guru; dan

e) Adanya bukti penelitian bahwa tingkat struktur dan kendali guru yang

tinggi dalam kegiatan pembelajaran, yang menjadi karakteristik model

pembelajaran langsung, dapat berdampak negatif terhadap kemampuan

penyelesaian masalah, kemandirian, dan keingintahuan siswa. 64

3. Kemampuan Berpikir Kreatif

a. Pengertian Berpikir Kreatif

64
Ibid., hh. 188-189.
59

Kemampuan merupakan kecakapan atau potensi seorang individu

untuk menguasai keahlian dalam melakukan atau mengerjakan berbagai

aktivitas dalam suatu tugas atau suatu penilaian atas perilaku seseorang.

Myers mengemukakan bahwa “ability is the capacity to perform either a

required job behavior or a behavior which produces an observable product or

service”.65 Kemampuan adalah kapasitas untuk melakukan pekerjaan atau

perilaku yang diinginkan yang menghasilkan produk atau layanan yang dapat

diamati. Intinya bahwa kemampuan adalah bakat alami dan keterampilan

yang dikembangkan seseorang dari waktu ke waktu sebagai penentu utama

kinerja yang efektif. Sedangkan berpikir adalah suatu kegiatan mental yang

melibatkan kerja otak. Walaupun tidak bisa dipisahkan dari aktivitas kerja

otak, pikiran manusia lebih dari sekedar kerja organ tubuh yang disebut otak. 

Kegiatan berpikir juga melibatkan seluruh pribadi manusia dan juga

melibatkan perasaan dan kehendak manusia.  Jones-Smith mendefinisikan

berpikir sebagai “evaluating information or ideas rationally or logically” 66

(mengevaluasi informasi atau gagasan secara rasional atau logis).

Sedangkan menurut Khodijah berpikir adalah “penyusunan ulang atau

manipulasi kognitif, baik informasi dari lingkungan maupun simbol-simbol

yang disimpan dalam long-term memory”.67 Jadi, berpikir merupakan proses


65
Donald W. Myers, 2004 US Master Human Resource Guide (Chicago: CCH Incorporated,
2004), h. 247.
66
Elsie Jones-Smith, Theories of Counseling and Psychotherapy: An Integrative Approach
(Los Angeles: Sage Publications, 2012), h. 58.
67
Nyayu Khodijah, op.cit., h. 103.
60

kognitif dalam memanipulasi pengetahuan untuk menghasilkan suatu

perilaku. Kemudian, kreatif mengacu pada orang yang menghasilkan karya,

sementara kreativitas mengacu pada kemampuan untuk menghasilkan karya.

Seperti dikemukakan oleh Semiawan, Munandar, dan Munandar

bahwa kreativitas adalah diartikan sebagai kemampuan untuk mencipta suatu

produk baru. Ciptaan tidak perlu seluruhnya baru, mungkin saja gabungan,

kombinasi, sedangkan unsur-unsurnya sudah ada sebelumnya. Orang yang

menemukan unsur baru tersebut termasuk orang yang kreatif. 68 Jadi, kreatif

merupakan kemampuan untuk melahirkan suatu gagasan yang baru dalam

memecahkan sebuah masalah. Atau kreatif adalah kemampuan atau daya

untuk menciptakan suatu hal atau cara baru dari hal-hal yang sudah ada

sebelumnya. Sementara Tan mengemukakakan “creativity (or creative

thinking; or creativeness) is often defined as a parallel construct of

intelligence but differs from intelligence in that it is not restricted to cognitive

or intellectual functioning or behavior”.69 Bahwa kreativitas (atau berpikir

kreatif) didefinisikan sebagai konstruksi paralel kecerdasan tetapi berbeda

dari kecerdasan karena tidak terbatas pada kognitif atau fungsi intelektual

atau perilaku.

68
Conny Semiawan, A.S. Munandar, dan S.C.U. Munandar, op.cit., h. 8.

69
Ai-Girl Tan, Creativity: A Handbook for Teachers, Ed. (Singapore: World Scientific
Publishing, 2007), h. 311.
61

Aspek kreativitas menjangkau sampai di luar batas seni ekspresif

sehingga mencakup semua bidang kehidupan. Proses kreatif melibatkan

pemilihan unsur-unsur yang diketahui dari berbagai macam bidang dan

menyatukannya menjadi format-format baru, menggunakan informasi dalam

situasi-situasi baru. Berpikir kreatif lebih luas daripada berpikir kritis. Kalau

berpikir kritis dapat menjawab persoalan atau kondisi yang dihadapinya,

sedangkan berpikir kreatif mampu memperkaya cara berpikir dengan

alternatif yang beragam.70 Maka berpikir kreatif dapat dimaknai sebagai

berpikir yang dapat menghubungkan atau melihat sesuatu dari sudut

pandang baru. Berpikir kreatif (kreativitas) adalah membuat atau melakukan

sesuatu yang berguna dan baru atau lebih baik, baik dalam bidang seni,

sains, bisnis, maupun usaha berharga lainnya.

Proses berpikir kreatif memerlukan tiga jenis pemikiran: (1) divergent,

(2) convergent, dan (3) emergent thinking.71 Berpikir divergen (juga disebut

berpikir kreatif) ialah memberikan macam-macam kemungkinan jawaban

berdasarkan informasi yang diberikan dengan penekanan pada keragaman

jumlah dan kesesuaian.72 Definisi lain berpikir kreatif adalah “involves

divergent thinking, flexibility, originality, the consideration of remote

possibilities and the ability to consider a variety of solutions to the same

70
Ahmad Susanto, Teori Belajar dan Pembelajaran di Sekolah Dasar, Cetakan ke-4 (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2016), h. 109.
71
Melissa K. Demetrikopoulos and John L. Pecore, op.cit., h. 351.
72
Utami Munandar, op.cit., h. 167.
62

problem”.73 Bahwa berpikir kreatif mencakup berpikir divergen, fleksibilitas,

orisinalitas, dan pertimbangan jauh ke depan dan kemampuan untuk

mempertimbangkan berbagai solusi terhadap masalah yang sama.

Sementara pengertian lain, dikemukakan bahwa berpikir kreatif adalah

generasi atau saran dari perspektif yang unik atau alternatif, desain produksi

yang inovatif atau pendekatan baru terhadap tantangan masalah atau

artistik.74 Sementara menurut Amer berpikir kreatif adalah “relating/creating of

things or ideas which were previously unrelated”. 75 Berpikir kreatif adalah

menghubungkan/menciptakan sesuatu atau gagasan yang sebelumnya tidak

terkait. Berpikir kreatif adalah menciptakan ide, produk intelektual, dan

material yang belum pernah terjadi sebelumnya atau dapat juga tidak secara

keseluruhan unsur-unsurnya baru, tapi bersifat inovatif. Dengan demikian,

berpikir kreatif adalah berpikir secara konsisten dalam upaya menghasilkan

sesuatu yang kreatif berupa benda-benda, ide-ide atau gagasan-gagasan

baru dan menghubungkan yang sebelumnya tidak berhubungan.

b. Langkah-langkah Berpikir Kreatif

Sebelum mengemukakan langkah-langkah berpikir kreatif, terlebih

dahulu disajikan beberapa ciri kreativitas (berpikir kreatif), yaitu: memiliki

73
Kathryn Geldard, David Geldard, and Rebecca Yin Foo, Counselling Adolescents: The
Proactive Approach for Young People,Fourth Edition (London: Sage Publications, 2016), h.
8.
74
Debra McGregor, Developing Thinking; Developing Learning (New York: McGraw-Hill
Education, 2007), h. 172.
75
Ayman Amer, Analytical Thinking (Cairo: Pathways to Higher Education, 2005),h. 13.
63

dorongan ingin tahu yang besar, sering mengajukan pertanyaan yang baik,

sering banyak gagasan dan usul terhadap suatu masalah, bebas dalam

menyatakan pendapat, menonjol dalam salah satu bidang seni, memiliki

pendapat sendiri dan mampu mengutarakannya, tidak mudah terpengaruh

orang lain, daya imajinasi kuat, memiliki tingkat orisionalitas yang tinggi,

dapat bekerja sendiri, dan senang mencoba hal-hal yang baru. 76 Berdasarkan

ciri-ciri tersebut, maka dapat dilihat kemampuan berpikir kreatif yang

berhubungan dengan kognisi meliputi komponen: (1) fluency, berpikir lancar,

(2) flexibbility, berpikir luwes, (3) originality, berpikir orisinil, dan (4)

elaboration, berpikir elaboratif.77 

Berpikir kreatif pada umumnya dianggap sebagai mengumpulkan

informasi untuk menghasilkan pemahaman, konsep, atau gagasan baru. Ada

empat tahap yang umumnya digunakan dalam pengembangan berpikir kreatif

adalah: “preparation, incubation, illumination, and verification”.78 Keempat

tahap proses berpikir kreatif tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Persiapan: seseorang mempersiapkan diri untuk memecahkan masalah

dengan belajar bcrpikir, mencari jawaban, bertanya kepada orang, dan

sebagainya;

76
Conny Semiawan, A.S. Munandar, dan S.C.U. Munandar, op.cit., h. 29.
77
Ibid., h. 39.
78
Kenneth D. Moore, Effective Instructional Strategies: From Theory to Practice, Fourth
Edition (Los Angeles: Sage Publications, 2015), h. 380.
64

2) Inkubasi: kegiatan mencari dan menghimpun data/informasi tidak

dilanjutkan. Tahap inkubasi ialah tahap individu seakan-akan melepaskan

diri untuk sementara dari masalah tersebut, dalam arti bahwa ia tidak

memikirkan masalahnya secara sadar, tetapi “mengeramnya” dalam alam

pra-sadar;

3) Iluminasi: tahap timbulnya “insight” atau saat timbulnya inspirasi atau

gagasan baru, beserta proses-proses psikologis yang mengawali dan

mengikuti munculnya inspirasi/gagasan baru; dan

4) Verifikasi: tahap evaluasi ialah tahap di mana ide atau kreasi baru

tersebut harus diuji terhadap realitas. Di sini diperlukan pemikiran kritis

dan konvergen. Dengan perkataan lain, proses divergensi (pemikiran

kreatif) harus diikuti oleh proses konvergensi (pemikiran kritis). 79

Selanjutnya, kemampuan berpikir kreatif dapat diartikan sebagai

kemampuan yang dapat dikembangkan dalam proses pemecahan masalah,

terutama ketika siswa berusaha menghasilkan berbagai kemungkinan,

berbeda dari yang normal, untuk memecahkan suatu masalah. 80 Sementara

Hong dan Milgram mengemukakan bahwa “creative-thinking ability is the

cognitive ability to generate ideas that are unusual and of high quality”.81

Kemampuan berpikir kreatif adalah kemampuan kognitif untuk menghasilkan


79
Utami Munandar, op.cit., h. 39.
80
Murat Kahveci and MaryKay Orgill, Affective Dimensions in Chemistry Education,
eds. (New York: Springer, 2015), h. 220.
81
Eunsook Hong, and Roberta M. Milgram,Preventing Talent Loss(New York: Routledge,
2011), h. 35.
65

ide yang tidak biasa dan bermutu tinggi. Kemampuan kreatif secara umum

dipahami sebagai kreativitas. Adapun kreativitas penuh membutuhkan

suatu keseimbangan antara kemampuan analitis, kritis dan praktis.

Berdasarkan definisi tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

kemampuan berpikir kreatif adalah kemampuan untuk mengungkapkan

berbagai macam ide atau gagasan yang baru, mengamati sesuatu dari

berbagai sudut pandang yang berbeda, dan menciptakan kombinasi atau

temuan baru yang unik dan inovatif. Sementara untuk mengembangkan

kemampuan berpikir kreatif siswa diperlukan dengan membangkitkan ide-ide

baru, mendefinisikan kembali masalah, mengidentifikasi dan mengatasi

masalah, membangun kecakapan diri, membangkitkan minat dan kreativitas.

4. Kemampuan Baca Tulis Al-Qur’an

Kemampuan adalah “actual power to perform an act, physical or

mental, whether or not attained by training and education”.82 Bahwa

kemampuan adalah kekuatan yang sebenarnya untuk melakukan tindakan,

baik fisik maupun mental, dicapai atau tidak dengan pelatihan dan

pendidikan. Kemampuan berarti kapasitas seorang individu untuk melakukan

beragam tugas dalam suatu pekerjaan. Kemampuan keseluruhan seorang

individu pada dasarnya terdiri atas dua kelompok faktor: intelektual dan fisik.

82
John B. Carroll, Human Cognitive Abilities: A Survey of Factor-Analytic Studies (New York:
Cambridge University Press, 1993), h. 4.
66

Kemudian, istilah baca (membaca) mengacu pada “making out a

meaning; whether it is about the intentions of someone, or about predictions

relating to weather; or about understanding a written text”. 83 Yakni, membaca

mengacu pada membuat sebuah makna; apakah itu tentang maksud

seseorang, atau tentang prediksi yang berkaitan dengan cuaca; atau tentang

memahami teks tertulis. Membaca pada hakikatnya adalah suatu yang rumit

yang melibatkan banyak hal, tidak hanya sekadar melafalkan tulisan, tetap

juga melibatkan aktivitas visual, berpikir, psikolinguistik, dan metakognitif. 84

28 Membaca adalah suatu kegiatan dalam mengolah bacaan secara kritis

dan kreatif dari apa yang tertulis agar memperoleh pemahaman yang

menyeluruh tentang apa yang dibaca.

Kemampuan membaca (reading ability) adalah “is a very important

prerequisite to learning and hence to achievement, more so in the school

situation where reading, writing and learning seem to follow, one from the

other in same sequence”.85 Yakni merupakan prasyarat yang sangat penting

untuk belajar dan karenanya untuk berprestasi, apalagi dalam situasi sekolah

dimana membaca, menulis dan belajar nampaknya mengikuti, satu dari yang

lain dalam urutan yang sama. Kemampuan membaca adalah “a complex skill

83
Shantilata Sahu, Psychology Of Reading: Role Of Orthographic Features (New Delhi:
Concept Publishing Company, 2000), h. 15.
84
Farida Rahim, Pengajaran Membaca Di Sekolah Dasar, Cet. I (Jakarta: PT. Bumi Aksara,
2005), h. 2.
85
Suraj Balram Kakkar, Readings in Educational Psychology (New Delhi: Atlantic Publishers
& Dist, 1993) h. 151.
67

that builds on a number of decoding and comprehension processes” 86

(keterampilan kompleks yang dibangun pada sejumlah proses decoding dan

comprehension). Decoding (menguraikan) memungkinkan pembaca untuk

mengenali dan mengucapkan kata tersebut, dan dengan demikian dapat

mengakses maknanya.

Sementara istilah tulis (menulis) adalah suatu proses kreatif

memindahkan gagasan ke dalam lambang-lambang tulisan. 87 Menulis adalah

aktivitas aktif produktif, yaitu penuangan ide atau gagasan dengan

kemampuan yang kompleks melalui aktivitas yang aktif produktif dalam

bentuk simbol huruf dan angka sehingga dapat dipahami oleh orang lain.

Dengan demikian, kemampuan menulis yaitu kemampuan berbahasa yang

bersifat produktif; artinya, kemampuan menulis ini merupakan kemampuan

yang menghasilkan; dalam hal ini menghasilkan tulisan. 88

Sementara, pengertian Al-Qur’an ialah kalam yang menjadi mukjizat

yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan lafaz dan maknanya

dengan perantaraan malaikat Jibril AS yang tertulis di dalam mushhaf yang

disampaikan secara mutawatir, mulai dengan Al-Qur’an Surah Al-Fatihah (1)

diakhiri dengan Al-Qur’an Surat An-Nas (114). 89 Membaca Al-Qur’an adalah


86
Torleiv Høien and Per Sundberg, Dyslexia: From Theory to Intervention (Dordrecht:Kluwer
Academic Publishers, 2000), h. 21.
87
M. Atar Semi, Dasar-dasar Keterampilan Menulis (Bandung: Angkasa, 2007), h. 14.
88
St. Y. Slamet, Dasar-dasar Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah Dasar
(Surakarta: UNS Press, 2008), h. 72.
89
Anhar Ansyory, Pengantar Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Lembaga Pengembangan Studi
Islam Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, 2012), h. 11.
68

ibadah dan mempunyai banyak keutamaan. Al-Qur’an adalah kalamullah

yang berbeda dengan kitab-kitab lain buatan manusia. Oleh karena itu,

membaca Al-Qur’an harus mengikuti kaidah-kaidah membaca Al-Qur’an.

Dalam membaca Al-Qur’an berarti melafalkan apa yang tertulis, termasuk

melafalkan huruf hijaiyah, melafalkan Al-Qur’an berdasarkan kaidah tajwid,

dan semua yang berkaitan dengan membaca Al-Qur'an. Membaca Al-Quran

dalam artian luas, bukan hanya melisankan huruf, akan tetapi mengerti apa

yang dibaca, diresapi isinya serta diamalkan.

Berdasarkan pengertian tersebut di atas, maka secara keseluruhan

dapat disimpulkan bahwa kemampuan baca tulis Al-Qur'an adalah kecakapan

dalam melafalkan dan menuli huruf, kata, dan kalimat yang tertulis dalam Al-

Qur'an serta memahami makna yang terkandung di dalamnya. Kemampuan

baca tulis Al-Qur’an adalah kemampuan dan kecakapan melafalkan dan

menulis ayat-ayat Al-Qur’an dengan mengikuti kaidah-kaidah atau aturan-

aturan yang telah ditetapkan dalam kaidah ilmu tajwid.

B. Hasil Penelitian Yang Relevan


69

1. Penelitian yang dilakukan oleh Hastri Rosiyanti dan Esti Wijayanti 90 yang

meneliti implementasi model pembelajaran Treffinger terhadap hasil

belajar. Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa hasil belajar

matematika siswa dengan menggunakan model pembelajaran Treffinger

lebih tinggi dibandingkan tanpa menggunakan model pembelajaran

Treffinger serta sikap siswa pada proses pembelajaran matematika

dengan menggunakan model pembelajaran Treffinger lebih baik

dibandingkan tanpa menggunakan model pembelajaran Treffinger.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Hafizh Nizham, Suhendra,dan Bambang

Avip P,91 yang meneliti tentang kemampuan literasi dengan pembelajaran

Treffinger. Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwarespon siswa

terhadap pembelajaran model Treffinger lebih baik daripada

pembelajaran siswa dengan pembelajaran konvensional. Oleh karena itu,

model pembelajaran Treffinger bisa menjadi model pembelajaran

alternatif untuk meningkatkan kemampuan literasi matematika siswa dan

mampu mengurangi kecemasan matematis.

90
Hastri Rosiyanti dan Esti Wijayanti, “Implementasi Model Pembelajaran Treffinger
Terhadap Hasil Belajar”, Jurnal Pendidikan Matematika & Matematika,Volume 1 Nomer 2,
Desember 2015.
91
Hafizh Nizham, Suhendra, dan Bambang Avip P., “Improving Ability Mathematic Literacy,
Self-Efficacy and Reducing Mathematical Anxiety with Learning Treffinger Model at Senior
High School Students”, International Journal of Science and Applied Science, Vol. 2 No. 1
(2017) .
70

3. Penelitian yang dilakukan oleh Tia Agusti Annuuru, Riche Cynthia Johan,

dan Mohammad Ali92 tentang peningkatan kemampuan berpikir tingkat

tinggi dalam pelajaran ilmu pengetahuan alam peserta didik sekolah

dasar melalui model pembelajaran Treffinger. Dalam penelitian tersebut

disimpulkan bahwapenerapan model pembelajaran Treffinger efektif

dugunakan untuk meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi

peserta didik pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) Sekolah

Dasar. Secara khusus, simpulan dari penelitian ini adalah Kemampuan

berpikir tingkat tinggi aspek analisis (C4), evaluasi (C5) dan aspek

mencipta (C6) pada peserta didik yang memperoleh model pembelajaran

Treffinger lebih tinggi dibandingkan dengan peserta didik yang

memperoleh model pembelajaran Osborn. .

C. Kerangka Teoretik

1. Perbedaan hasil belajar Al-Qur’an Hadis antara kelompok siswa


yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran Treffinger
dengan kelompok siswa yang diajar dengan menggunakan model
explicit instruction setelah mengendalikan kemampuan baca tulis
Al-Qur’an

Pembelajaran Al-Qur’an Hadis bertujuan untuk membekali siswa agar

memiliki pengetahuan, sikap, dan keterampilan melalui kegiatan belajar yang

92
Tia Agusti Annuuru, Riche Cynthia Johan, Mohammad Ali,“Peningkatan Kemampuan
Berpikir Tingkat Tinggi dalam Pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam Peserta Didik Sekolah
Dasar Melalui Model Pembelajaran Treffinger”, Edutcehnologia, Tahun 3, Vol 3 No. 2,
Agustus 2017.
71

lebih menekankan pada aspek fisik dan mental, khusunya pemahaman

agama yang lebih mendalam. Oleh karena itu, model pembelajaran Treffinger

diupayakan dapat melatih siswa untuk memperoleh pengetahuan dengan

keterlibatan mereka dalam pengalaman belajar yang lebih kreatif.

Model pembelajaran Treffinger merupakan cara pandang seorang

guru dalam melakukan proses pembelajaran yang mengacu pada proses

memperoleh pengetahuan, sikap,dan keterampilan berdasarkan metode dan

teknik belajar kreatif. Proses pembelajaran melalui model Treffinger, siswa

dapat diarahkan untuk mengeksplorasi atau menemukan sendiri

pengetahuannya. Sementara guru hanya berupayadan berperan sebagai

motivator, fasilitator, serta mediator dalam membimbing dan mengarahkan

siswa ke dalam suasana pembelajaran yang komunikatif dan menyenangkan.

Dengan menerapkan pembelajaran yang mengacu pada proses belajar

kreatif dapat menjadikan pembelajaran lebih aktif, mandiri, serta melatih

siswa untuk berpikir kreatif, dan menemukan sendiri solusidalam

memecahkan masalah berdasarkan pengalamannya.

Model pembelajaran explicit instruction merupakan model

pembelajaran yang menempatkan guru sebagai orang yang berperan aktif

dan bertanggung jawab dalam pembelajaran, sementara siswa dalam model

ini hanya berperan sebagai orang mendengarkan dan mengamati

seluruhkegiatan guru, serta mengikuti perintah guru untuk menguasai materi

pelajaran yang disampaikan. Model pembelajaran ini adalah teacher-


72

centered, yaitu guru menyajikan materi pembelajaran dalam format yang

sangat terstruktur, memberikan informasi dengan cara menjelaskan konsep

dan prosedur kepada siswa. Setelah pembelajaran selesai, untuk melihat

hasilnya siswa diuji pemahamannya dengan arahan dan dorongan untuk

terus berlatih di bawah bimbingan guru. Pembelajaran dengan model explicit

instruction tidak memfasilitasi siswa untuk menemukan sendiri pengetahuan

berdasarkan pengalaman mereka, tetapi hanya menyimak informasi/materi

yang disajikan oleh guru kemudian siswa dituntut untuk memahaminya.

Berdasarkan kerangka teoretik yang telah dikemukakan di atas, maka

diduga bahwa hasil belajar Al-Qur’an Hadis siswa yang diajar dengan

menggunakan model pembelajaran Treffinger lebih tinggi daripada hasil

belajar Al-Qur’an Hadis siswa yang diajar dengan menggunakan model

explicit instruction setelah mengendalikan kemampuan baca tulis Al-Qur’an.

2. Pengaruh interaksi antara model pembelajaran yang digunakan dan


kemampuan berpikir kreatif terhadap hasil belajar Al-Qur’an Hadis
setelah mengendalikan kemampuan baca tulis Al-Qur’an

Sistem pembelajaran adalah satu kesatuan komponen yang satu

dengan yang lain saling berhubungan untuk mencapai tujuan tertentu.

Seorang guru secara instruksional sebagai penyedia sumber belajar

sehingga seorang guru harus mampu mengelola semua komponen-

komponen agar dapat mencapai suatu tujuan yang diinginkan. Untuk

mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan, ada beberapa faktor


73

yang harus dipertimbangkan dalam mengembangkan pembelajaran, yaitu

faktor kondisi belajar, metode dan media belajar, serta hasil belajar.

Faktor metode dan media adalah ketepatan dalam memilih

pendekatan, strategi, metode, dan media pembelajaran yang dapat dijadikan

pedoman yang jelas terhadap proses pembelajaran. Disamping itu, guru

dapat mendesain dan menetapkan aturan atau prinsip umum sehingga

pembelajaran dapat berjalan sesuai yang diharapkan. Pada prinsipnya,

pembelajaran adalah interaksi antara guru, siswa, lingkungan belajar serta

materi pembelajaran. Pembelajaran dapat ditandai dengan keteraturan dalam

interaksi guru dan siswa, atau interaksi siswa antara satu sama lain dan

dengan bahan ajar serta lingkungan. Model pembelajaran yang baik harus

mempertimbangkan sikap akademis siswa, baik partisipasi, ketekunan,

maupun keberhasilan siswa.

Faktor kondisi pembelajaran, khususnya kondisi internal siswa dalam

hal ini berpikir kreatif yang dapat menentukan hasil belajar siswa. Berpikir

kreatif adalah suatu cara berpikir untuk menemukan hubungan-hubungan

baru untuk memperoleh jawaban baru terhadap masalah. Dalam berpikir

kreatif (divergen), siswa dapat menghasilkan berbagai macam ide atau

gagasan pada suatu masalah dan kemudian berpikir kritis (konvergen), yakni

memilih ide atau gagasan berdasarkan fakta, baik secara konten maupun

konteks sebagai suatu solusi pemecahan masalah yang tepat untuk

diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Dalam konteks pembelajaran,


74

berpikir kreatif adalah cara siswa dalam merespon masalah yang diberikan

dengan mengaitkan kemampuan berpikir yang ada dalam dirinya untuk

mendapat suatu solusi dalam memecahkan masalah belajarnya. Informasi

yang diterima siswa dalam hal ini adalah pengalaman-pengalaman langsung

yang dialami sendiri oleh siswa, sehingga dengan kemampuan bepikir kreatif

tersebut, siswa dapat memecahkan permasalahan yang dihadapinya.

Berdasarkan kerangka teoretik yang telah dikemukakan di atas, diduga

bahwa terdapat pengaruh interaksi antara model pembelajaran Treffinger

yang digunakan dengan berpikir kreatif siswa terhadap hasil belajar Al-Qur’an

Hadis setelah mengendalikan kemampuan baca tulis Al-Qur’an.

3. Perbedaan hasil belajar Al-Qur’an Hadis antara kelompok siswa


yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran Treffinger
dan kelompok siswa yang diajar dengan menggunakan model
explicit instruction pada siswa yang memiliki kemampuan berpikir
kreatif tinggi setelah mengendalikan kemampuan baca tulis Al-
Qur’an

Untuk mencapai kompetensi dalam mata pelajaran Al-Quran Hadis,

dibutuhkan kegiatan pembelajaran yang dapat memfasilitasi pencapaian

kompetensi berupa pengetahuan, sikap, dan keterampilan dengan

mengembangkan belajar kreatif siswa. Pembejaran dengan model Treffinger

merupakan model yang mengacu pada proses belajar kreatif. Dengan

perkataan lain, bahwa siswa diarahkan untuk meperoleh pengetahuanya

dengan menemukan sendiri solusi dalam pemecahan suatu masalah. Model

pembelajaran Treffinger dilakukan dengan menghasilkan berbagai macam


75

jawaban atau alternatif terhadap suatu masalah, memilih dan menetapkan

jawaban dan alternatif yang dapat dijadikan sebagai solusi memecahkan

suatu permasalahan.

Berpikir kreatif sebagai kemampuan seseorang dalam merespon

informasi untuk mengembangkan ide-ide dengan menemukan berbagai

solusi alternatif untuk menyelesaikan satu permasalahan. Individu yang

memiliki kemampuan berpikir kreatifakan cepat menyesuaikan diri dalam

lingkungan pembelajaran Treffinger, dengan kreatifitas yang dimilikinya.

Siswa mampu mengeksplorasi untuk menemukan sendiri pengetahuan,

namun tetap atas bimbingan, arahan, dan petunjuk dari guru.

Di sisi lain, pembelajaran dengan model explicit instruction yang

cenderung teacher centered, akan sangat sulit bagi siswa yang memiliki

kemampuan berpikir kreatif tinggi. Siswa merasa dibatasi kreativitasnya

disebabkan guru kurang melibatkan siswa dalam proses pembelajaran,

sehingga pada akhirnya akan berpengaruh terhadap hasil belajaranya.

Berdasarkan kerangka teoretik yang telah dikemukakan di atas, diduga

bahwa untuk siswa dengan kemampuan berpikir kreatif tinggi, hasil belajar

Al-Qur’an Hadis siswa yang diajar dengan menggunakan model Treffinger

akan lebih tinggi daripada hasil belajar Al-Qur’an Hadis siswa yang diajar

dengan menggunakan model explicit instruction setelah mengendalikan baca

tulis Al-Qur’an.
76

4. Perbedaan hasil belajar Al-Qur’an Hadis antara kelompok siswa


yang diajar dengan menggunakan modelpembelajaran Treffinger
dengan kelompok siswa yang diajar dengan menggunakan model
explicit instruction pada siswa yang memiliki kemampuan berpikir
kreatif rendah setelah mengendalikan kemampuan baca tulis Al-
Qur’an

Model explicit instruction adalah bentuk pembelajaran yang

mengutamakan penyampaian informasi dengan cara menjelaskan konsep

dan prosedur kepada siswa. Model pembelajaran ini jika dilaksanakan

dengan prosedur yang benar akan sangat efektif dalam pembelajaran,

namun jika diimplementasikan dengan prosedur yang tidak benar, maka

suasananya akan sangat membosankan bagi siswa. Oleh karena itu, guru

perlu mempertimbangkan karakteristik siswa yang akan mengikuti

pembelajaran dengan model explicit instruction dalam merencanakan

pembelajarannya, di antaranya adalah kemampuan berpikir kreatif.

Karakteristik dalam model pembelajaran explicit instruction memiliki

beberapa karakteristik, yakni: penyampaian materi pembelajaran dilakukan

secara verbal; selanjutnya materi pembelajaran yang disampaikan adalah

materi pembelajaran yang sudah jadi, seperti data atau fakta, konsep tertentu

yang harus dihafal sehingga tidak menuntut siswa untuk berpikir keras; selain

itu tujuan utama pembelajaran adalah fokus pada penguasaan materi dengan

segera, artinya setelah pembelajaran berakhir siswa diharapkan dapat

memahaminya dengan benar, yakni dengan cara dapat mengungkapkan

kembali materi yang telah diuraikan. Karakteristik ini sangat identik atau
77

relevan bagi siswa dengan kemampuan berpikir kreatif rendah. Model

pembelajaran explicit instruction dapat memfasilitasi respon siswa sesuai

dengan karakteristik kemampuan berpikir kreatif rendah, yakni memiliki

kecenderungan merespon dan mengolah informasi sesuai yang disajikan

oleh guru.

Model pembelajaran Treffinger membutuhkan keterampilan mengolah

informasi dengan berbagai ide dan solusi dalam menyelesaikan

permasalahan yang dihadapi. Contoh, ketika siswa diberikan satu masalah,

mereka dituntut mampu menemukan solusi permasalahan yang dikemukakan

sebelumnya dengan berbagai kemungkinan jawaban dari masalah yang

diamati. Siswa dengan kemampuan berpikir kreatif rendah akan kesulitan

beradaptasi dengan pembelajaran seperti ini dibanding siswa dengan

kemampuan berpikir kreatif tinggi.

Berdasarkan kerangka teoretik yang telah dikemukakan di atas, dapat

diduga bahwa untuk siswa dengan kemampuan berpikir kreatif reandah, hasil

belajar Al-Qur’an Hadis siswa yang diajar dengan menggunakan model

pembelajaran Treffinger lebih rendah daripada hasil belajar Al-Qur’an Hadis

siswa yang diajar dengan menggunakan model explicit instruction setelah

mengendalikan baca tulis Al-Qur’an.


78

D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kajian teoretis dan kerangka teroretis yang diajukan di

atas, maka diajukan hipotesis penelitian sebagai berikut:

1. Hasil belajar Al-Qur’an Hadis antara kelompok siswa yang diajar dengan

menggunakan model pembelajaran Treffinger lebih tinggi daripada

kelompok siswa yang diajar dengan menggunakan model explicit

instruction setelah mengendalikan kemampuan baca tulis Al-Qur’an..

2. Terdapat pengaruh interaksi antara model pembelajaran yang digunakan

dan kemampuan berpikir kreatif terhadap hasil belajar Al-Qur’an Hadis

setelah mengendalikan kemampuan baca tulis Al-Qur’an.

3. Hasil belajar Al-Qur’an Hadis antara kelompok siswa yang diajar dengan

menggunakan model pembelajaran Treffinger lebih tinggi daripada

kelompok siswa yang diajar dengan menggunakan model explicit

instruction pada siswa yang memiliki kemampuan berpikir kreatif tinggi

setelah mengendalikan kemampuan baca tulis Al-Qur’an.

4. Hasil belajar Al-Qur’an Hadis antara kelompok siswa yang diajar dengan

menggunakan modelpembelajaran Treffinger lebih rendah daripada

kelompok siswa yang diajar dengan menggunakan model explicit

instruction pada siswa yang memiliki kemampuan berpikir kreatif rendah

setelah mengendalikan kemampuan baca tulis Al-Qur’an.

Anda mungkin juga menyukai