Anda di halaman 1dari 8

Nama: Michella Puteri Godole

NIM: 10521840

Kelas: 1PA08

Dalam terang transformative learning, titik kritisnya terletak pada struktur


asumsi yang dimiliki PB dalam melihat, memahami, mempersepsi, dan memaknai
diri sebagai tenaga pengembang model program PLS. Struktur asumsi PB inilah
yang, menurut hemat penulis, menjadi “botol penyumbat” (bottlenecking) kurang
optimalnya PB dalam pelaksanaan pengembangan model program PLS sebagai
wujud karya ilmiah yang seharusnya dihasilkan Untuk itu strategi pengembangan
kompetensi diri PB dilakukan melalui model pembelajaran yang berorientasi pada
upaya pengembangan dan pemantapan struktur asumsi yang dimiliki PB.

Pembelajaran transformasional (transformative learning) merupakan model


pembelajaran (bisa dalam bentuk diklat. coaching, atau yang lain) yang tepat
untuk diterapkan. Bila dikaitkan dengan pilar pendidikan menurut Unesco, maka
dapat dipahami bahwa orientasi model pembelajaran ini adalah lebih pada

 Bagaimana PB menjadi seorang pengembang model program (learning to


be)
 Pengetahuan apa saja yang harus dipahami secara benar oleh seorang
pengembang model program (learning to know)
 Skill dan kemampuan apa saja yang harus dikuasai oleh seorang
pengembang model program (learning to do)
 Dengan siapa seyogyanya seorang pengembang model program
berinteraksi, berkomunikasi, berdiskusi (learning to life together)
 Apa saja yang harus dilakukan untuk mengembangkan kemampuan
profesionalnya dan bagaimana cara melakukannya (learning how to learn),
sesuai dengan gaya belajar (learning style) masing-masing pamong belajar.
BAB II

PEMBAHASAN

Pembelajaran transformasional (transformative learning) merupakan


pembelajaran yang dikembangkan dari perspective transformation yang
dikemukakan Jack Mezirow (1978). Sebagai teori pembelajaran, pembelajaran
transformasional berawal dari hasil studi Mezirow, yang melakukan penelitian
terhadap pengalaman belajar para wanita yang kembali lagi bersekolah setelah
lama meninggalkan bangku sekolah. Dewasa ini pembelajaran ini berkembang
menjadi bidang penelitian yang banyak menarik perhatian. Pada Adult Education
Research Conference di Oklahoma State University tahun 1997, banyak
dipresentasikan dan dibahas konsep, ide dan penelitian terkait pembelajaran
transformasional (Taylor, 1998). Seiring perkembangan pemikiran dan paradigm
dalam dunia pendidikan, pembelajaran transformasional mengalami proses
pematangan, bahkan menjadi salah satu teori mainstream dalam pendidikan,
khususnya pada pendidikan orang dewasa (adult education).

Secara konseptual, pembelajaran transformasional dipahami secara beragam,


yang secara umum dipahami sebagai pembelajaran yang diorientasikan untuk
melakukan perubahan (transformasi) pada diri peserta didik. Mezirow (1978)
mengatakan bahwa pembelajaran transformasional merupakan kegiatan
pembelajaran yang diorientasikan pada perubahan frame of reference seseorang,
di mana frame of reference dipahami sebagai struktur asumsi yang dipakai oleh
seseorang untuk memandang, memahami dan memaknai pengalaman hidupnya.
Pemahaman ini terkait erat dengan pandangan Mezirow (1996) tentang
pembelajaran, bahwa pembelajaran merupakan proses penggunaan perspekti awal
(prior perspective) untuk membangun perspektif baru yang dipakai sebagai
pedoman dalam melakukan tindakan dan memaknai pengalaman.

Edward W Taylor (1998) secara sederhana memahami pembelajaran


transformasional sebagai proses pembentukan makna (meaning making process)
terhahap pengalaman seseorang. Patria Cranton (2002) menjelaskan bahwa
pembelajaran transformasional adalah pembelajaran yang ditujukan untuk proses
penyadaran peserta didik terhadap kesalahan atau kelemahan perspektif beserta
asumsi dasar yang dimiliki, untuk kemudian beralih pada perspektif baru yang
dinilainya lebih tepat. Melalui pembelajaran ini, peserta didik dikondisikan untuk
secara terus-menerus meninjau kembali, melakukam refleksi, mempertanyakan
atau bahkan menggugat terhadap perpektif yang dimiliki. Setelah ditemukan
sejumlah titik lemah, peserta didik mencari perspektif baru yang dianggap lebih
tepat (appropriate) dalam memaknai realitas. Akhirnya secara sadar ia beralih
pada perspektif baru (new perspective) dan meninggalkan perspektif lama (prior
perspective).

Para psikolog dan peneliti telah mengemukakan banyak teori untuk


menjelaskan bagaimana individu belajar. Namun tidak ada satu definisi belajar
yang diterima secara universal. Mereka memiliki padangan yang berbeda-beda
tentang penyebab, proses, dan akibat dari belajar. Sementara itu, teori belajar telah
mengalami perubahan mendasar, berkembang dari behaviorisme, kognitivisme,
dan konstruktivisme. Perubahan inilah yang menjadi dasar para peneliti dalam
mengembangkan pembelajaran.

Menurut Gagne (1977: 3) “Learning is a change human disposition or


capability, which persist over a period of time, and which is not simply ascribable
to processes of growth”. Menurutnya belajar ialah perubahan dalam disposisi
manusia atau kapabilitas yang berlangsung selama satu masa waktu dan tidak
semata-mata disebabkan oleh proses pertumbuhan. Lebih lanjut Gagne
mengemukakan bahwa perubahan yang terjadi pada belajar adalah berupa
perubahan tingkah laku dengan inferensi sebelum individu ditempatkan dalam
situasi belajar, ataupun perubahan berupa peningkatan kapabilitas, dan juga
perubahan pada sikap, minat dan nilai. Perubahan yang dimaksudkan di atas harus
dapat bertahan lama dan akhirnya perubahan itu bukan disebabkan oleh
pertumbuhan fisik seperti tinggi badan atau perkembangan otot melalui latihan.

Driscoll seperti yang dikutip Reiser dan Dempsey (2012: 36); Smaldino,
Lowther dan Russel (2011: 11) mendefinisikan belajar sebagai konsekuensi dari
perubahan kemampuan yang berasal dari pengalaman dan interaksi pemelajar
dengan dunia. Sementara menurut Dale (2012: 39), belajar merupakan perubahan
perilaku atau perubahan dalam kapasitas perilaku dengan cara tertentu yang
bertahan lama, perubahan yang dimaksud dihasilkan dari praktek atau bentuk-
bentuk pengalaman lainnya. Definisi ini mengindikasikan tiga kriteria yang harus
dipenuhi oleh belajar yakni: (1) perubahan perilaku, artinya seseorang dikatakan
belajar ketika mereka mampu melakukan suatu hal dengan cara yang berbeda; (2)
perubahan perilaku itu bertahan lama seiring dengan waktu. Perubahan perilaku
yang sifatnya sementara (pengaruh alkohol atau obat-obatan) bukan merupakan
perubahan perilaku yang dimaksud, karena jika pengaruh obat-obatan atau alkohol
hilang, perilakunya akan kembali ke keadaan semula; (3) perubahan perilaku
terjadi melalui pengalaman seperti melakukan kegiatan praktek dari mengamati
orang lain, sementara perubahan perilaku yang disebabkan oleh perubahan sifat
fisik tidak termasuk dalam kriteria belajar.

Richey, Klein dan Tracey (2011: 61) mengemukakan bahwa


“Learning is the relatively permanent change in a person’s knowledge or behavior
due to experience. This definition has three components: (1) the duration of the
change is long-term rather than short-term; (2) the locus of the change is the
content and structure of knowledge in memory or the behavior of the learner; (3)
the cause of the change is the learner’s experience in the environment rather than
fatigue, motivation, drugs, physical condition, or psychological intervention”.
Belajar adalah perubahan yang relatif permanen dalam pengetahuan atau perilaku
seseorang karena pengalaman. Definisi ini memiliki tiga komponen yakni: (a)
durasi dari perubahan tersebut adalah jangka panjang; (b) lokus perubahan adalah
isi dan struktur pengetahuan dalam memori atau perilaku siswa; (c) penyebab
perubahan disebabkan oleh pengalaman dan lingkungan siswa. Snelbecker (1974:
11-15) menyimpulkan bahwa belajar adalah kemampuan suatu organisme untuk
tampil dengan cara yang berbeda dari cara sebelumnya. Menurutnya belajar harus
mampu menjelaskan perubahan perilaku sebagai hasil dari belajar dari yang
paling sederhana sampai yang paling kompleks dan perilaku tersebut tidak
dimodifikasi atau dikendalikan oleh organisme atau oleh agen eksternal lain.

Data yang didapat dari observasi diri dan intropeksi diri dianggap tidak
obyektif. Jika ingin menelaah kejiwaan manusia, amatilah perilaku yang muncul,
maka akan memperoleh data yang dapat dipertanggungjawabkan keilmiahannya.
Untuk itu behaviorisme sebenarnya adalah sebuah kelompok teori yang memiliki
kesamaan dalam mencermati dan menelaah perilaku manusia yang menyebar di
berbagai wilayah, selain Amerika teori ini berkembang di daratan Inggris,
Perancis, dan Rusia. Tokoh-tokoh yang terkenal dalam teori ini meliputi
E.L.Thorndike, I.P.Pavlov, B.F.Skinner, J.B.Watson, dll.

1) Thorndike

Menurut Thorndike (1911), salah seorang pendiri aliran tingkah laku, teori
behavioristik dikaitkan dengan belajar adalah proses interaksi antara stimulus
(yang berupa pikiran, perasaan, atau gerakan) dan respons (yang juga berupa
kiran, perasaan, dan gerakan). Jelasnya menurut Thorndike, perubahan tingkah
laku boleh berwujud sesuatu yang konkret (dapat diamati), atau yang non-konkret
(tidak bisa diamati). Dalam implementasinya, siswa sekolah dasar mengalami
peningkatan kemampuan membaca dengan adanya interaksi siswa dengan media
belajar, dalam hal ini berupa media cerita bergambar. Belajar dengan
menggunakan media pembelajaran akan terbentuk proses penguasaan karena
adanya interaksi dalam belajar (Fahyuni, 2011)

Meskipun Thorndike tidak menjelaskan bagaimana cara mengukur berbagai


tingkah laku yang non-konkret (pengukuran adalah satu hal yang menjadi obsesi
semua penganut aliran tingkah laku), tetapi teori Thorndike telah memberikan
inspirasi kepada pakar lain yang datang sesudahnya. Teori Thorndike disebut
sebagai aliran koneksionisme (connectionism). Prosedur eksperimennya ialah
membuat setiap binatang lepas dari kurungannya sampai ketempat makanan.
Dalam hal ini apabila binatang terkurung maka binatang itu sering melakukan
bermacam-macam kelakuan, seperti menggigit, menggosokkan badannya ke sisi-
sisi kotak, dan cepat atau lambat binatang itu tersandung pada palang sehingga
kotak terbuka dan binatang itu akan lepas ke tempat makanan.

2) Ivan Petrovich Pavlov

Classic Conditioning (pengkondisian atau persyaratan klasik) adalah proses


yang ditemukan Pavlov melalui percobaannya terhadap hewan anjing, di mana
perangsang asli dan netral dipasangkan dengan stimulus bersyarat nsecara
berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan. Dari contoh
tentang percobaan dengan hewan anjing bahwa dengan menerapkan strategi
Pavlov ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara dengan mengganti
stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan
respon yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia
dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.

3) John B. Watson

Berbeda dengan Thorndike, menurut Watson pelopor yang datang sesudah


Thorndike, stimulus dan respons tersebut harus berbentuk tingkah laku yang bisa
diamati (observable). Dengan kata lain, Watson mengabaikan berbagai perubahan
mental yang mungkin terjadi dalam belajar dan menganggapnya sebagai factor
yang tidak perlu diketahui. Bukan berarti semua perubahan mental yang terjadi
dalam benak siswa tidak penting. Semua itu penting. Akan tetapi, faktor-faktor
tersebut tidak bisa menjelaskan apakah proses belajar sudah terjadi atau belum.

Hanya dengan asumsi demikianlah, menurut Watson, dapat diramalkan


perubahan apa yang bakal terjadi pada siswa. Hanya dengan demikian pula
psikologi dan ilmu belajar dapat disejajarkan dengan ilmu lainnya seperti fisika
atau biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empiris.

4) Burrhus Frederic Skinner

Menurut Skinner, deskripsi antara stimulus dan respons untuk menjelaskan


parubahan tingkah laku (dalam hubungannya dengan lingkungan) menurut versi
Watson tersebut adalah deskripsi yang tidak lengkap. Respons yang diberika oleh
siswa tidaklah sesederhana itu, sebab pada dasarnya setiap stimulus yang iberikan
berinteraksi satu dengan lainnya, dan interaksi ini akhirnya mempengaruhi
respons yang dihasilkan. Sedangkan respons yang diberikan juga menghasilkan
berbagai konsekuensi, yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkah laku
siswa.
Oleh karena itu, untuk memahami tingkah laku siswa secara tuntas,
diperlukan pemahaman terhadap respons itu sendiri, dan berbagai konsekuensi
yang diakibatkan oleh respons tersebut (lihat bel-Gredler, 1986). Skinner juga
memperjelaskan tingkah laku hanya akan membuat segala sesuatunya menjadi
bertambah rumit, sebab alat itu akhirnya juga harus dijelaskan lagi. Misalnya,
apabila dikatakan bahwa seorang siswa berprestasi buruk sebab siswa ini
mengalami frustasi akan menuntut perlu dijelaskan apa itu frustasi. Penjelasan
tentang frustasi ini besar kemungkinan akan memerlukan penjelasan lain.
DAFTAR PUSTAKA

Desmita. 2011. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung:Remaja


Rosdakarya.

Fahyuni, Eni Fariyatul. Developing og Learning Tool at IPA Subyek by Guided


Inquiry Model to Improve Skills Science Process an Understanding

Concepts SMPN 2 Porong. Proceedings of International Research

Clinic & Scientific Publications of Educational Technology. 2016

Fahyuni, Eni Fariyatul. Efektifitas Media Cerita Bergambar dalam Meningkatkan


Kemampuan Membaca Siswa. Skripsi: Publikasikan. Universitas Islam Negeri
Sunan Ampel Surabaya. 2011

Fahyuni, Eni Fariyatul & Istikomah. 2016. Psikologi Belajar & Mengajar.
Sidoarjo:Nizamia Learning Center.

Haryanto, Budi. 2004. Psikologi Pendidikan dan pengenalan Teori-teori Belajar,


Sidoarjo:Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.

Jahja, Yudrik. 2013. Psikologi Perkembangan. Jakarta:Kencana Prenamadia


Group

Nahar, Novi Irwan. Penerapan Teori Belajar Behavioristik Dalam Proses


Pembelajaran. Desember 2016. Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial Vol.1.

Syah, Muhibbin. 2011. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung :


PT.Remaja Rosda Karya

Anda mungkin juga menyukai