Pendahuluan
Ketahanan negara merupakan hal penting yang harus diusahakan bagi setiap
negara. Salah satu cara menjaga ketahanan negara adalah dengan melakukan bela
negara. Bela negara bukanlah hal yang menjadi tanggung jawab Tentara Nasional
Indonesia semata. Bela negara tidaklah dimonopoli oleh Tentara Nasional Indonesia
semata. Bela negara merupakan tanggung jawab seluruh komponen masyarakat
Indonesia. Karena itu anggapan yang mengaitkan bela negara dengan aktivitas militer
semata sebaiknya kita singkirkan semenjak sekarang.
Landasan bela negara dapat kita lihat dalam Undang Undang Dasar Republik
Indonesia 1945 pasal 27 ayat 3 yang menyebutkan bahwa setiap warga negara
Indonesia berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Pasal 30 ayat 1
menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha
pertahanan dan keamanan negara. Kegiatan bela negara yang landasannya adalah
Undang Undang Dasar Republik Indonesia 1945 menunjukkan bahwa bela negara
merupakan suatu kegiatan yang sangat penting, mendasar, dan esensial dalam
menjalankan suatu kegiatan berbangsa dan bernegara. Karena pentingnya upaya bela
negara ini, dalam Undang Undang Dasar Republik Indonesia 1945 tersebut disebutkan
bahwa “tiap-tiap warga negara”, hal ini menjadi jawaban dari pertanyaan, “siapa yang
wajib melakukan kegiatan bela negara?”, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Dalam Undang Undang Dasar Republik Indonesia 1945 dijelaskan bahwa bela
negara merupakan kewajiban tiap-tiap warga negara. Artinya seluruh komponen warga
negara berperan di sana. Tidak hanya pemerintah, atau TNI, atau kementrian
pertahanan. Karena wajib bagi semua, maka mahasiswa tidak terkecuali, termasuk
dalam teks “tiap-tiap warga negara” ini. Mahasiswa juga berkewajiban dan berhak
dalam melakukan kegiatan bela negara. Namun tentu kegiatan bela negara yang
dilakukan mahasiswa berbeda dari kegiatan bela negara yang dilakukan komponen
warga negara lainnya. Karena tiap-tiap komponen warga negara punya kekhususannya
masing-masing, punya hal-hal yang digelutinya masing-masing. Kekayaan berupa
keanekaragaman bidang yang digeluti oleh tiap kelompok warga negara ini juga
menjadi suatu keunggulan yang dapat ditonjolkan dalam proses bela negara. Pada
kesempatan ini kita akan membahas upaya bela negara di kalangan mahasiswa.
Pembahasan
Bela negara yang paling tepat yang dilakukan oleh mahasiswa adalah bela negara
secara intelektual. Setidaknya ada dua alasan mengapa bela negara di kalangan
mahasiswa dilakukan melalui perjuangan intelektual (meski tidak mudah, ini adalah
jalan terbaik dan satu-satunya yang sesuai dengan mahasiswa). Pertama, karena hanya
mereka yang dapat melakukannya. Tidak banyak warga Indonesia yang mampu
melanjutkan pendidikannya hingga ke jenjang perguruan tinggi. Mereka yang
melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi seyogyanya menyadari bahwa mereka
telah disiapkan (dan juga harus bersiap) untuk menjadi seorang intelektual. Intelektual
dalam artian mereka menguasai bidang ilmu yang digelutinya, yang dengan penguasaan
ilmu tersebut mereka dapat menggunakannya untuk melakukan kegiatan bela negara.
Kedua, karena tantangan yang mengancam ketahanan negara dalam aspek intelektual
sangatlah banyak, bahkan menjadi asas dari ancaman ketahanan negara yang sifatnya
fisik. Sebut saja terorisme. Terorisme muncul dari pemikiran ekstrim dari golongan
tertentu. Tentu pemikiran ekstrim ini harus dilawan, yaitu dilawan dengan
menunjukkan alur pikir yang benar dan menunjukkan alur pikir yang salah, yang
menjadi akar terorisme. Contoh lainnya, saat ini kita sedang dilanda pandemi COVID-19.
Para mahasiswa dan golongan terpelajar di bidang biologi dan kedokteran dapat
mengerahkan daya intelektualnya untuk membuat vaksin, mensosialisasikan protokol
kesehatan, dan lain sebagainya, demi mempercepat penyelesaian pandemi di negeri ini.
“...
Pada tahun 2010, Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggaraan "Workshop on the
Regional Implementation of the United Nations Global Counter-Terrorism Strategy in
Southeast Asia", bekerja sama dengan UN CTITF. Hasil pertemuan telah dilaporkan pada
pertemuan tingkat menteri International Counter-Terrorism Focal Points Conference on
Addressing Conditions Conducive to the Spread of Terrorism and Promoting Regional
Cooperation di Jenewa pada tahun 2013.
Indonesia juga berkontribusi aktif dalam penguatan kapasitas bagi para aparat penegak
hukum yang menangani isu terorisme dan kejahatan lintas negara. Dalam kaitan ini,
Indonesia bekerja sama dengan Australia telah mendirikan Jakarta Centre for Law
Enforcement Cooperation (JCLEC). Sejak terbentuknya di tahun 2004, JCLEC telah
menyelenggarakan 768 program pelatihan yang melibatkan 18.398 peserta dan 4.385
pelatih dari 70 negara.
“...
Indonesia Dalam Pusaran Covid-19: Monopoli Pengetahuan Dan Akses pada Inovasi
Kesehatan Serta Pemanfaatan Bersama yang Berkeadilan
Jakarta, 11 Juli 2020 – Hampir semua negara di dunia telah terdampak pandemi COVID-
19, tidak terkecuali negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Inggris
serta negara berkembang seperti Indonesia. Bagi negara berkembang seperti Indonesia,
menghadapi pandemi COVID-19 merupakan sebuah tantangan besar terlebih karena
keterbatasan dan ketergantungan terhadap impor peralatan medis guna penanganan
pandemi.
Selama ini penerapan ketentuan perlindungan hak kekayaan intelektual, baik terkait
dengan paten maupun terhadap persoalan know-how, atas obat dan inovasi kesehatan
di berbagai ketentuan baik WTO, WIPO, WHO, dll, telah menjadikan kesehatan menjadi
komoditas bisnis, dan pada akhirnya menghilangkan akses masyarakat terhadap
kesehatan yang murah, berkualitas, dan berkeadilan.
Upaya pencarian vaksin dari virus Covid-19 termasuk memproduksi secara mandiri alat
tes untuk identifikasi virus telah dilakukan, baik pada level nasional maupun global.
Sudah banyak desakan dari kelompok masyarakat sipil di dunia untuk segera
menghentikan penanganan pandemic ini dengan cara business as usual, termasuk
menjadikan kebutuhan medical tools and treatment termasuk vaksin menjadi barang
publik (public goods) yang kemudian dapat didistribusikan dan dapat diakses secara
berkeadilan.
Untuk itu, tulisan ini akan mengurai soal isu monopoli pengetahuan dan akses pada
inovasi kesehatan serta pemanfaatan bersama yang berkeadilan dalam merespon
Covid19, yang bersumber dari Webinar Seri Diskusi Keadilan Ekonomi IGJ pada 19 Mei
2020[1].
Isu Ketimpangan Terhadap Akses Obat Dan Alat Kesehatan Dalam Penanganan
Covid19[2]
Penanganan pandemi COVID-19 tidak dapat terlepas dari kebutuhan peralatan medis
seperti Alat Pelindung Diri (APD), test kit, ventilator, obat-obatan, vaksin, dan lain-lain.
Akibatnya berbagai macam peralatan medis menjadi rebutan bagi banyak negara yang
menyebabkan harganya menjadi mahal. Terlebih ketika ada beberapa negara yang bisa
membayar dengan harga lebih tinggi sehingga barang yang sudah dijadwalkan
ekspornya pun dapat dibatalkan demi dijual ke negara lainnya.
Hal ini juga terjadi pada obat-obatan. Meskipun WHO menyatakan belum ada obat yang
terbukti ampuh, namun obat-obatan seperti remdisivir dan lopinavir juga menjadi
rebutan. Di tengah kondisi ini, beberapa perusahaan farmasi seperti Gilead yang
memproduksi remdisivir dan Sanofi yang meneliti vaksin justru menyatakan akan
mengutamakan pasar negara besar seperti Amerika Serikat.
Inisiatif global lainnya adalah peluncuran the Access to Covid19 Tools (ACT) yang
diorganisir oleh beberapa negara seperti Uni Eropa, Kanada, Perancis, Jerman, Itali,
Jepang, Saudi Arabia, Norwegia, Spanyol, dan Inggris. Program ACT ini adalah upaya
untuk mempercepat pengembangan diagnostik, vaksin, dan perawatan yang dibutuhkan
dunia guna mengakhir pandemic global covid19. Ini adalah kolaborasi kerja antara
WHO, Negara, dan sektor bisnis. Respon terhadap inisiatif global ini telah menghasilkan
janji negara-negara untuk mengumpulkan sumber daya dalam rangka memulai kegiatan
pengembangan, yang hingga Mei 2020 telah mencapai angka 7,4 Miliar Euro.
Negara-negara yang berjanji untuk menyetor modal seperti Komisi Eropa menjanjikan
1,4 miliar euro, sementara kontributor terkemuka lainnya termasuk Prancis (510 juta
euro), Jerman (525 juta), Jepang (762 juta), Spanyol (125 juta), Kanada (551 juta),
Norwegia (188 juta), Inggris (441 juta) dan Italia (71,5 juta)[3].
Untuk mengatasi ketimpangan akses obat dan alat kesehatan, pada akhirnya WHO
melalui pertemuan The World Health Assembly (WHA) ke-73 mengadopsi sebuah
resolusi terkait Covid-19 yang menyerukan akses dan distribusi yang adil dari semua
teknologi dan produk kesehatan penting untuk memerangi virus. Resolusi ini juga
kembali mempertegas komitmen dari seluruh negara mengenai pentingnya memenuhi
kebutuhan negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah untuk mengisi
kesenjangan untuk mengatasi pandemic. Termasuk mengakui peran imunisasi luas
terhadap COVID-19 sebagai barang publik global untuk kesehatan dalam mencegah,
menahan, dan menghentikan penularan guna mengakhiri pandemi, vaksin yang aman,
berkualitas, manjur, efektif, mudah diakses, dan terjangkau tersedia[4].
Pentingnya memastikan obat, treatment, dan produk kesehatan sebagai barang publik
global dalam menangani pandemic covid19 dikarenakan keengganan beberapa negara
kaya untuk mau membuka akses terhadap hal-hal tersebut yang selama ini dilindungi
oleh rezim aturan perlindungan hak kekayaan intelektual. Inovasi ditengah pandemic
masih juga dijadikan komoditas bisnis yang menguntungkan sebagian kecil kelompok.
Hal ini ditunjukan dari keengganan negara seperti AS dan Eropa yang masih
menerapkan standar ganda dengan enggan memberikan penegasan secara eksplisit
untuk merujuk pada penerapan fleksibilitasi TRIPS untuk kesehatan publik terkait
dengan akses obat dan inovasi produk kesehatan lainnya.
Amerika Serikat, walaupun tidak menolak resolusi yang dihasilkan dalam WHA ke-73,
tetapi ia menjadi negara yang sangat kuat untuk tidak mau terikat kepada beberapa
paragraph tertentu di dalam resolusi. Hal itu seperti paragraf 4, 8.2 dan 9.8 operatif
yang merujuk pada Perjanjian TRIPS dan Deklarasi Doha 2001 tentang fleksibilitas
TRIPS dan Kesehatan Publik.
Tumpang tindih aturan ini harus cepat diatasi oleh pemerintah karena dalam
penanganan pandemi diperlukan instrumen hukum yang kuat untuk kepentingan
umum. Tumpang tindih aturan akan menghambat beberapa aturan lain seperti
mengenai lisensi wajib yang sebenarnya sudah diakomodir oleh UU Paten, namun
masih memerlukan instrumen hukum yang lebih spesifik mengenai kedaruratan publik.
Terlebih pengertian kedaruratan publik yang luas dalam Pasal 109 UU Paten yang
sejalan dengan Pasal 31 TRIPS.
Pemerintah dalam membuat kebijakan terkait anggaran yang berfokus pada tiga
prioritas, yaitu : Pertama,bidang Kesehatan sebesar Rp75 triliun, social safety net
sebesar Rp110 triliun, dan dukungan dunia usaha (Perpajakan DTP (Pajak DTP dan Bea
Masuk DTP) sebesar Rp70,1 triliun.[6]
Dalam hal ini pemerintah juga tengah mendorong produksi alat kesehatan seperti APD
dan bahan baku obat di dalam negeri.[7] Pemerintah melalui Kementerian dan Lembaga
yang dimotori oleh Bappenas juga menyiapkan road map soal jaminan kesehatan dan
reformasi Sistem Kesehatan Nasional.
“...
Di masa awal Orde Baru, pemerintah menerbitkan Keppres No.28 Tahun 1967 tentang
Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi. Dalam pelaksanaannya, tim tidak bisa
melakukan pemberantasan korupsi secara maksimal, bahkan bisa dikatakan hampir
tidak berfungsi. Peraturan ini malahan memicu berbagai bentuk protes dan
demonstrasi mulai tahun 1969 dan puncaknya di tahun 1970 yang kemudian ditandai
dengan dibentuknya Komisi IV yang bertugas menganalisa permasalahan dalam
birokrasi dan mengeluarkan rekomendasi untuk mengatasinya.
Masih di tahun yang sama, mantan wakil presiden pertama RI Bung Hatta memunculkan
wacana bahwa korupsi telah membudaya di Indonesia. Padahal, lanjut Hatta, korupsi
telah menjadi perilaku dari sebuah rezim baru yang dipimpin Soeharto, padahal usia
rezim ini masih begitu muda. Hatta seperti merasakan cita-cita pendiri Republik ini
telah dikhianati dalam masa yang masih sangat muda. Ahli sejarah JJ Rizal
mengungkapkan, “Hatta saat itu merasa cita-cita negara telah dikhianati dan lebih parah
lagi karena korupsi itu justru seperti diberi fasilitas. Padahal menurut dia, tak ada
kompromi apapun dengan korupsi.”
Banjir Peraturan Pemberantasan Korupsi
Orde baru bisa dibilang paling banyak mengeluarkan peraturan karena masa Orde Baru
yang cukup panjang. Namun sayangnya tidak banyak peraturan yang dibuat itu berlaku
efektif dan membuat korupsi sedikit berkurang dari bumi Indonesia. Menyambung
pidatonya di Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus 1970, pemerintahan Soeharto
mengeluarkan UU No.3 tahun 1971 tentang PemberantasanTindak Pidana Korupsi.
Aturan ini menerapkan pidana penjara maksimum seumur hidup serta denda
maksimum Rp 30 juta bagi semua delik yang dikategorikan korupsi.
Organ-organ negara seperti parlemen yang memiliki fungsi pengawasan dibuat lemah.
Anggaran DPR ditentukan oleh pemerintah sehingga fungsi pengawasan tak ada lagi.
Lembaga yudikatif pun dibuat serupa oleh rezim Orde Baru, sehingga taka da kekuatan
yang tersisa untuk bisa mengadili kasus-kasus korupsi secara independen. Kekuatan
masyarakat sipil dimandulkan, penguasa Orde Baru secara perlahan membatasi ruang
gerak masyarakat dan melakukan intervensi demi mempertahankan kekuasaannya.
Berikut ini beberapa peraturan yang terbit di masa Orde Baru berkaitan dengan
pemberantasan korupsi :
GBHN Tahun 1973 tentang Pembinaan Aparatur yang Berwibawa dan Bersih
dalam Pengelolaan Negara;
GBHN Tahun 1978 tentang Kebijakan dan Langkah-Langkah dalam rangka
Penertiban Aparatur Negara dari Masalah Korupsi, Penyalahgunaan Wewenang,
Kebocoran dan Pemborosan Kekayaan dan Kuangan Negara, Pungutan-Pungutan
Liar serta Berbagai Bentuk Penyelewengan Lainnya yang Menghambat
Pelaksanaan Pembangunan;
Undang-Undang No.3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi;
Keppres No. 52 Tahun 1971 tentang Pelaporan Pajak Para Pejabat dan PNS;
Inpres Nomor 9 Tahun 1977 tentang Operasi Penertiban;
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap.
Berganti rezim, berganti pula harapan rakyat Indonesia untuk bisa mengenyahkan
koruptor dari Indonesia. Orde Baru kandas, muncul pemerintahan baru yang lahir dari
gerakan reformasi pada tahun 1998. Di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid
Muncul Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Pengelolaan Negara yang Bersih dan
Bebas KKN. Pemerintahan Gus Dur kemudian membentuk badan-badan negara untuk
mendukung upaya pemberantasan korupsi, antara lain: Tim Gabungan Penanggulangan
Tindak Pidana Korupsi, Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Pemeriksa Kekayaan
Pejabat Negara dan beberapa lainnya.
Pada masa itu, ada beberapa catatan langkah radikal yang dilakukan oleh pemerintahan
Gus Dur. Salah satunya, mengangkat Baharudin Lopa sebagai Menteri Kehakiman yang
kemudian menjadi Jaksa Agung. Kejaksaan Agung RI sempat melakukan langkah-
langkah kongkret penegakan hukum korupsi. Banyak koruptor kelas kakap yang
diperiksa dan dijadikan tersangka pada saat itu.
Di masa kepemimpinan Megawati Soekarno Putri, berbagai kasus korupsi menguap dan
berakhir dengan cerita yang tidak memuaskan masyarakat. Masyarakat mulai
meragukan komitmen pemberantasan korupsi pemerintahan saat itu karena banyaknya
BUMN yang ditenggarai banyak korupsi namun tak bisa dituntaskan. Korupsi di BULOG
salah satunya.
Di tengah kepercayaan masyarakat yang sangat rendah terhadap lembaga negara yang
seharusnya mengurusi korupsi, pemerintahan Megawati kemudia membentuk Komisi
Pemberantasan TIndak Pidana Korupsi (KPTPK). Pembentukan lembaga ini merupakan
terobosan hukum atas mandeknya upaya pemberantasan korupsi di negara ini. Ini yang
kemudian menjadi cikal bakal Komisi Pemberantasan Korupsi.
Di era Presiden SBY, visi pemberantasan korupsi tercermin dari langkah awal yang
dilakukannya dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 dan
kemudian dilanjutkan dengan penyiapan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan
Korupsi (RAN) yang disusun oleh Bappenas. RAN Pemberantasan Korupsi itu berlaku
pada tahun 2004-2009. Dengan menggunakan paradigma sistem hukum, pemerintah
Susilo Bambang Yudhoyono diuntungkan sistem hukum yang mapan, keberadaan KPK
melalui Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor) yang terpisah dari pengadilan umum, dukungan internasional (structure), dan
instrument hukum yang saling mendukung antara hukum nasional dan hukum
internasional.
“....
Reformasi semestinya membawa angin segar bagi kondisi politik, hukum, serta sosial
masyarakat Indonesia. Selama 32 tahun berkuasa, Orde Baru hampir masuk ke seluruh
sendi – sendi kemasyarakatan, lalu mengatur setiap incinya untuk memastikan bahwa
tidak ada satu pihak pun yang berseberangan dengan agenda pemerintah saat itu,
terlebih lagi pada isu KBB (Kebebasan Beragama, Beribadah, dan Berkeyakinan) serta
Kebebasan Berekspresi, Berkumpul, dan menyampaikan Pendapat. Selama kekuasaan
Orde Baru, muncul kasus – kasus ketidakrukunan atau intoleransi yang membuat
kebijakan kerukunan beragama dianggap menjadi kebijakan yang kontroversial[1]
sebab mengakomodir tindakan sewenang – wenang suatu kelompok kepada kelompok
yang lain berlandaskan agama, keyakinan, gender, bahkan pilihan politik. Kebijakan
pemerintah selama itu telah menjadi kontrol tindakan sosial terhadap penganut agama
yang berbeda.
Namun, nampaknya, kita tidak turut pula belajar dari kesalahan – kesalahan masa lalu.
Pascareformasi, masih ditemukannya praktik – praktik intoleran yang menyasar
kelompok rentan (minoritas agama, gender, dsj) tanpa alasan yang logis. Sektor
penegakan hukum pun tidak jauh berbeda, yang cenderung diam dan seolah
“membiarkan” praktik intoleran tersebut terjadi. Hal ini jelas ironis, mengingat
reformasi dengan segala cita – citanya ternyata belum diiringi dengan semangat
perbaikan di sektor penegakan hukum dan HAM. Presiden Joko Widodo pada tahun
2017 berulangkali menegaskan bahwa “tidak ada tempat bagi intoleransi di
Indonesia”[2] dan “kebebasan beragama merupakan hak setiap warga negara yang
dijamin konstitusi,[3]” namun, ucapan tersebut selayaknya lips service yang hanya
menunjukkan ketegasan normatif. Pada kenyataannya, perintah Presiden tidak mampu
diimplementasikan dengan baik oleh aparat penegak hukum.
Dampak dari lemahnya penegakan hukum mengakibatkan kondisi ini nyaris sama
dengan zaman orde baru yang membiarkan tindakan sewenang – wenang suatu
kelompok. Hal itu dapat dilihat dari peristiwa persekusi, pelarangan beribadah, bahkan
perundungan terhadap ekspresi perseorangan maupun kelompok. Terdapat beberapa
hal yang mendasari praktik intoleransi terjadi, seperti gender, politik, dan agama.
Namun, yang paling mendominasi ialah agama dan politik. Motif agama sangat masif
digunakan individu atau ormas tertentu dalam melakukan tindakan persekusi seperti
pelarangan ibadah minoritas tertentu seperti Syiah, Ahmadiyah, dan aliran lainnya yang
berujung dengan intimidasi, penyegelan tempat ibadah hingga pelarangan
aktivitas/kegiatan keagamaan, dan melakukan perundungan kepada mereka yang
dianggap melecehkan. Pelarangan dan perburuan yang dilakukan ormas tertentu terkait
penyampaian di media sosial dan kegiatan minoritas tertentu banyak terjadi.
Belakangan, dapat kita temukan perundungan yang dilakukan oleh kelompok tertentu
yang menyerang komika.[4] Belum lagi, perihal kasus Meiliana, warga Medan yang
divonis perkara dugaan penodaan agama.
Temuan
Hal yang perlu diketahui oleh publik ialah, toleransi tidak melulu perihal agama.
Toleransi merupakan bentuk rasa hormat dan penghargaan terhadap ragam budaya
dunia yang kaya, bentuk ekspresi kita dan cara menjadi manusia. Toleransi mengakui
hak asasi manusia universal dan kebebasan mendasar orang lain. Hanya toleransi yang
dapat menjamin kelangsungan hidup yang heterogen di setiap wilayah di dunia.
Toleransi tidak hanya sebagai kewajiban moral, tetapi juga sebagai persyaratan politik
dan hukum bagi individu, kelompok, dan negara.
KontraS hendak menuturkan situasi toleransi berangkat dari dua isu, yaitu, pertama,
kebebasan berekspresi, berkumpul, dan menyampaikan pendapat, kedua, kebebasan
beribadah, beragama, dan berkeyakinan. Kedua isu tersebut merupakan ukuran
sederhana yang dapat melihat situasi toleransi di Indonesia sebab keduanya merupakan
hak fundamental warga negara. Toleransi merupakan atribut pada individu, ia
menyangkut hak asasi manusia. Dalam kaitannya dengan hak asasi manusia, melalui
kertas posisi ini, KontraS akan menunjukkan ketidakhadiran negara (penegakan hukum
yang tegas—red) atas praktik-praktik intoleransi yang terjadi di Indonesia.
Kebebasan berekspresi dan berkumpul menjadi salah satu topik problematik yang
membayangi situasi demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia. Isu ini merupakan
isu fundamental yang rentan mendapatkan tantangan untuk ditegakkan. Dalam arti,
pemerintah harus memiliki trik khusus untuk menjamin berjalannya kualitas demokrasi
dengan perlindungan hak-hak fundamental yang memberikan corak atas karakter
demokrasi itu sendiri, salah satunya melalui perlindungan kebebasan berkumpul.
Seringkali, pembungkaman atau pelarangan terhadap kebebasan berekspresi dan
berkumpul berimplikasi pada praktik persekusi oleh kelompok tertentu yang
sebetulnya disebabkan karena tidak tegasnya aparat negara menindak tindakan
tersebut
Selama satu tahun terakhir[5], Polri masih menjadi institusi yang dominan terlibat
dalam pembatasan kebebasan berekspresi, berupa pembubaran kegiatan tertentu. TNI
juga ditemukan masih terlibat dalam persoalan ini. TNI seharusnya menjaga jarak
dalam permasalahan sipil sesuai dengan nafas reformasi insitusi TNI. Di luar itu, data
KontraS sejalan dengan yang dikemukakan Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa ketika
indeks demokrasi meningkat, justru variabel di dalamnya, yaitu kebebasan berekspresi
dan berkumpul menurun[6]. Restriksi atas kebebasan berkumpul, berpikir dan
berpendapat menunjukkan keprihatinan, alat negara masih digunakan untuk tindakan –
tindakan tersebut.
Serangkaian tindakan represif dan kejam yang dilakukan oleh aktor negara maupun
non-negara merupakan bukti bahwa warisan totalitarian dari rejim Orde Baru masih
bercokol dan hidup. Pembubaran dan pelarangan merupakan tindakan dominan yang
kerap terjadi dalam peristiwa pembatasan kebebasan berekspresi. Pada pelanggaran
kebebasan berkumpul, berekspresi, dan menyampaikan pendapat, setidaknya KontraS
menemukan pola yang berulang; (1) pola pembatasan hak berkumpul menggunakan
restriksi aparat penegak hukum yang tidak terukur, (2) pola pembatasan hak
berkumpul diarahkan secara khusus kepada kelompok-kelompok sipil yang sebenarnya
tengah menggunakan hak konstitusinya untuk menyeimbangkan diskursus negara, (3)
ketiadaan mekanisme akuntabilitas negara yang efektif mampu memberikan keadilan
kepada korban, ketika masyarakat sipil mencoba menguji ruang-ruang akuntabilitas
internal dan eksternal terhadap praktik pembubaran paksa dari kebebasan berkumpul
di beberapa kasus.
Selama periode 2017 – 2018, KontraS mencatat setidaknya terjadi 151 peristiwa (76
kasus pada 2017, 75 kasus pada 2018) yang berkaitan dengan pelanggaran kebebasan
beribadah dan berkeyakinan. Peningkatan pelaku sipil ini selama satu tahun ini diduga
karena adanya isu penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama pada 2017.
Ketidaktegasan negara menjadi salah satu penyebab meningkatnya pelanggaran
kebebasan beragama, beribadah, dan berkeyakinan yang dilakukan oleh warga sipil.
(lihat grafik di atas)
Upaya negara hadir dan bertanggung jawab pada agenda penegakan hukum dan HAM di
Indonesia perlu dipertanyakan kembali. Sebab, kejadian-kejadian yang terjadi
belakangan hanyalah keberulangan. Dengan kata lain, tidak ada perbaikan pada sektor
tersebut. Ketiadaan mekanisme koreksi yang berakibat pada terjadinya persekusi pada
kelompok rentan. Sudah semestinya, praktik – praktik intoleransi tidak mendapat
ruang. Namun, semangat tersebut tidak cukup jika berhenti pada ucapan belaka.
Ketegasan itu harus sampai pada aparat penegak hukum yang tidak hanya terbatas
terhadap para pelaku – pelaku lapanganya saja, tindakan tegas dalam konteks
penegakan hukum juga harus dilakukan terhadap aktor – aktor yang melakukan ajakan,
anjuran dan/atau perintah untuk melakukan tindakan persekusi, tidak terkecuali
anjuran tersebut disampaikan atau diperintahakan oleh aktor – aktor negara sekalipun;
Dari fakta-fakta di atas, KontraS ingin menegaskan bahwa hingga kini ruang penegakan
hukum masih bisa diutak-atik dan lebih parah lagi tidak dijalankan secara konsekuen.
Pembiaran yang dilakukan oleh negara, semakin melanggengkan kejahatan persekusi
atas nama agama. Kasus Ahmadiyah, Syiah, Transito, dan nasib yang menimba dokter
juga remaja yang baru terjadi adalah bukti ketidakmampuan negara dalam merespon
persekusi, dulu maupun sekarang.
1. SKB Tiga Menteri [Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung RI]
nomor 3 tahun 2008 terkait Jamaah Ahmadiyah Indonesia.
2. UU nomor 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama
3. UU nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan: sudah
mengakomodir Penghayat Kepercayaan dalam pencatatan kependudukan, hanya
saja perlu ditinjau pelaksanaannya di lapangan.
4. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 8 dan
nomor 9 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil
Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan
Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.
Kehadiran Negara melalui otoritas penegak hukum seperti Polri dan badan-badan
eksekutif (pemerintah) terkait, juga lembaga-lembaga korektif harus dilakukan tidak
hanya terjadi secara “musiman” karena moment Politik Pilkada dan karena polarisasi
yang terjadi akibat Pilkada tersebut. Kehadiran Negara tersebut harus bersifat
permanen tanpa memandang motif dan konteks politik yang berlangsung dengan
merujuk pada kewajiban negara dalam memberikan perlindungan, pemenuhan dan
penegakan HAM, mengingat tindakan persekusi bukan hanya terjadi karena efek
Pilkada Jakarta (saja), tetapi tindakan-tindakan tersebut telah terjadi sebelumnya, dan
terjadi secara berulang. Sebab, intoleransi yang paling berbahaya ketika dieksploitasi
untuk memenuhi ambisi politis dan teritorial dari individu atau kelompok individu.
Hate-mongers sering memulai dengan mengidentifikasi ambang toleransi publik.
Mereka kemudian mengembangkan argumen yang salah, berbohong dengan statistik
dan memanipulasi opini publik dengan informasi yang salah dan prasangka.
Kesimpulan
Atas nama stabilitas keamanan, hak atas kebebasan berkumpul dari masyarakat sipil
akan menjadi sah dan legal untuk dilanggar ataupun dikorbankan. Berlangsungnya
praktik – praktik intoleransi hari ini masih menunjukkan stabilitas keamanan masih
disejajarkan secara antagonistik dengan hak asasi manusia, aparat kerap
mengutamakan kepentingan penjagaan stabilitas keamanan tersebut. Dengan logika itu,
negara yang gagal untuk menanggulangi situasi untuk mempersiapkan perbedaan –
perbedaan yang terjadi di tengah masyarakat. Alhasil, paradigma tersebut seringkali
hadir dan terlihat dalam usaha intervensi berupa pembatalan, pembubaran, bahkan
penyerangan kegiatan, baik berkumpul maupun beribadah. Dengan dalih adanya
keresahan yang dirasakan oleh masyarakat, aparat keamanan seringkali menyatakan
‘terpaksa’ melakukan pembubaran kegiatan agar stabilitas masyarakat kembali terjaga.
Pada posisi tersebut, negara lebih memilih untuk tunduk pada tekanan atau intervensi
kelompok kontra yang melakukan ancaman-ancaman, ketimbang mengedepankan hak
asasi manusia.
Pertama, bahwa hal paling fundamental dalam melawan intoleransi adalah penegakan
hukum. Negara memiliki tanggung jawab untuk menegakkan hukum dan hak asasi
manusia untuk melarang dan menghukum kejahatan kebencian dan diskriminasi
terhadap minoritas, baik dilakukan oleh pejabat negara, organisasi swasta atau
individu.
Kedua, Negara juga harus memastikan akses yang sama ke criminal justice system,
sehingga orang tidak mengambil tindakan sewenang – wenang.
Ketiga, Toleransi di Indonesia tidak akan dapat berjalan dengan baik tanpa adanya
jaminan dari negara sebagaimana dapat dilihat dari temuan KontraS di atas. Selama
ketegasan atas praktik intoleran hanya bersifat normatif, kebijakan diskriminatif yang
“didiamkan” tidak akan membawa Indonesia menjadi negara yang menghargai
kemajemukan. Toleransi sudah seharusnya menjadi tonggak dalam penegakan hak asasi
manusia, terutama dari sektor negara, yang dapat menghargai ragam budaya dan
eskpresi tiap manusia.”
Penutup
Perjuangan bela negara melalui jalan intelektual memang terkesan elit dan tidak
berdampak langsung. Meski begitu, hanya bela negara melalui jalan intelektual
permasalahan yang sebenarnya dapat digali, didiskusikan, dan diberikan jalan keluar
terbaiknya. Dan mahasiswa adalah bibit terbaik untuk perjuangan ini. Hidup mahasiswa
Indonesia!