Anda di halaman 1dari 120

POTRET

HUTAN
PAPUA

David Saweri
Feki Mobalen
Hiryet H. Hegemur
Oktavianus Waken
Richarth Charles Tawaru
Titus Paskalis
Wirya Supriyadi
i
POTRET
HUTAN
PAPUA David Saweri
Feki Mobalen
Hiryet H. Hegemur
Oktavianus Waken
Richarth Charles Tawaru
Titus Paskalis
Wirya Supriyadi
POTRET HUTAN PAPUA
Copyright ©️2021, WRI Indonesia
xx + 191 halaman

PENULIS:
David Saweri
Feki Mobalen
Hiryet H. Hegemur
Oktavianus Waken
Richarth Charles Tawaru
Titus Paskalis
Wirya Supriyadi

EDITOR:
Agoeng Wijaya
Sandy Indra Pratama
Tulus Wijanarko
Yosep Suprayogi

DESAIN DAN ILUSTRASI:


puntogram.com

PETA:
Kanda Raharja

EDITOR BAHASA:
Uu Suhardi

ISBN xxx-xxx-xxx-xx-x

ii — Potret Hutan Papua iii


TERIMA KASIH

Untuk Emma Ruth Albertina Wongkey Malaseme, Direktur


Forest Watch Papua, yang membuat buku ini ada dan telah tiada
saat buku ini diterbitkan.
Untuk Elizabeth, Sekretariat Keuskupan dan Perdamaian
Keuskupan Agung Merauke, yang semangatnya selalu tumbuh
untuk pemberdayaan perempuan di Merauke.
Untuk Nikolas Djemris Imunplatia, Direktur Gerakan Masyarakat
Papua Lestari (GEMAPALA), dan Om Umar yang mengajak kami
menerjang ombak sejauh 70 kilo meter, selama tiga jam demi
melihat indahnya hutan pala Pulau Tarak.
Untuk tim Fostive Visual yang menampilkan sisi dan momen
indah dari perjalanan pembuatan buku ini.

iv — Potret Hutan Papua v


DAFTAR ISI
Sorong
Hutan Hilang,
Penyakit
Berbilang
163
Raja Ampat
Pilu di Balik
Ingar-bingar Wisata Sarmi
Raja Ampat Benteng
3 Terakhir
Merbau
97
Nabire
Ayunan
Tokok Sagu
Terimpit
Kebun Sawit
63
Fakfak
Cerita dari
Hutan Pala Fakfak
33
Kata Pengantar
Dengarkan Suara Yahukimo
Masyarakat Adat Papua Terusir
ix di Kota Baru
127
Peta
Pengurangan Tutupan
Hutan
xii
Pendahuluan
Orang Papua dan
Hutannya
xxix
Epilog
Menjaga
Surga Kecil Papua
191
Daftar Pustaka
201 Merauke
Hutan Hilang,
Penyakit Berbilang
vi — Potret Hutan Papua 163
KATA PENGANTAR

Dengarkan Suara
Masyarakat Adat
Papua
HUTAN Papua adalah tempat kehidupan masyarakat adat Papua.
Dalam hutan itu ada banyak sumber kehidupan yang harus dijaga
dan dimanfaatkan untuk kehidupan masyarakat adat Papua dan
masyarakat dunia.
Hutan Papua juga tempat bermain, menimba ilmu, serta melatih
keterampilan dan ketangkasan kerja. Hal ini disyairkan oleh
Domine Izaak Samuel Kijne dalam lagu Hai Tanah Ku Papua ayat
5: Kukasih Hutan-Hutan Selimut TanahKu, Ku Suka Mengembara di
Bawah Naunganmu.
Hutan Papua telah lama menjadi incaran banyak orang dari
berbagai belahan dunia. Banyak pengusaha, pemegang hak
pengusahaan hutan, yang telah masuk dan memanfaatkan sumber
daya hutan Papua. Tapi mereka melakukannya dengan cara-
cara yang merusak dan menyengsarakan rakyat Papua. Konflik
masyarakat adat dan pengusaha terjadi di hampir seluruh tanah
Papua. Dan itu telah mengakibatkan kematian, trauma, dan
kesengsaraan berkepanjangan bagi masyarakat adat Papua.
Adakah masa depan bagi orang Papua dalam kebijakan kehutanan?
Pertanyaan itu bisa jadi yang menuntun sebagian masyarakat adat
Papua pada pertanyaan lain dalam relasi Negara Indonesia dan
rakyat Papua. Mengapa sejahtera di Papua harus dipaksakan sama
dengan sejahtera di wilayah lain Indonesia? Mengapa eksploitasi
hutan dilakukan atas nama pembangunan dan kesejahteraan diukur
dengan banyaknya hutan yang diganti dengan jalan dan kota?

viii — Potret Hutan Papua ix


Mungkin untuk pertanyaan pertama akan lebih banyak jawaban
“tidak ada”. Sebab, kebijakan negara di bidang kehutanan hanya
berpihak pada kepentingan para pengusaha dan bukan pada
orang Papua. Orang Papua akan terus sengsara dalam kebijakan
seperti itu.
Penyajian dalam buku ini mengisahkan realitas penderitaan
masyarakat adat Papua karena kebijakan negara yang cenderung
mengabdi pada kepentingan pemodal dan mengabaikan kehidupan
masyarakat adat Papua. Lalu apa yang harus kita lakukan? Buku
ini kiranya menjadi bagian dari suara masyarakat adat Papua yang
berkontribusi pada perbaikan kebijakan agar memberi ruang bagi
masa depan masyarakat adat Papua yang lebih baik.
Suara masyarakat adat Papua di Merauke, Sorong, Raja Ampat,
Fakfak, Yahukimo, Nabire, dan Sarmi yang diceritakan dalam buku
ini merupakan gambaran realitas dampak kebijakan pembangunan
kehutanan bagi masyarakat adat Papua. Suara ini harus terus
diperdengarkan kepada para pengambil kebijakan dan pengusaha
agar lebih ramah dan lebih berpihak pada pengelolaan hutan yang
berkelanjutan di tanah Papua. Suara masyarakat adat Papua ini
merupakan impian kehidupan yang patut disebarluaskan untuk
masa depan planet ini.
Pencari kebenaran pasti setuju dan mau bergabung untuk
bergerak bersama.

Kotaraja Dalam
Awal Oktober 2021

Leo Imbiri
Sekretaris Umum Dewan Adat Papua

x — Potret Hutan Papua xi


Peta 1990 1996 2000

Pengurangan
Tutupan
Hutan

Versi digital dapat dilihat di tautan ini


https://drive.google.com/file/d/15-
lApYbpZOwdmEeo-p4qWCBMiWHG_idj/
view

xii — Potret Hutan Papua xiii — Potret Hutan Papua xiv — Potret Hutan Papua xv xvi xvii xviii xix
2006 2011 2015 2020

xx — Potret Hutan Papua xxi — Potret Hutan Papua xxii — Potret Hutan Papua xxiii xxiv xxv xxvi xxvii
PENDAHULUAN

Orang Papua dan


Hutannya
Tulus Wijanarko

VIRUS Covid-19 seperti tak menyisakan satu tempat pun di kolong


bumi ini untuk lolos dari jangkauannya. Keganasannya disaksikan
dan dirasakan oleh hampir orang sejagat, juga di Papua. Saat
naskah ini ditulis, September 2021, belasan ribu orang Papua sudah
terinfeksi corona. Hingga pekan ketiga Agustus, sebanyak 19.184
warga Manokwari tercatat positif Covid-19. Ini angka tertinggi di
Provinsi Papua Barat. Sedangkan di provinsi tetangganya, Papua,
ledakan kasus positif juga tak terelakkan.
Kota Jayapura, Mimika, Sorong, Nabire, Merauke, Fakfak, dan
beberapa daerah lain adalah wilayah yang juga terkena serangan
virus. Saat itu, angka positif Covid-19 dan kematian berpeluang
melenting tinggi karena beberapa sebab. Salah satunya minimnya
warga yang sudah menerima vaksin. Hingga akhir Juli 2021, baru
kurang dari 20 persen dari total penduduk Papua yang telah
disuntik vaksin. Padahal targetnya 70 persen.
Bisa jadi ada beberapa problem teknis di balik rendahnya
tingkat vaksinasi itu, yang juga terjadi di banyak tempat. Namun,
nyatanya, ada perkara yang lebih serius, yakni munculnya
resistansi di kalangan orang Papua.
Ini sungguh tak bisa disepelekan. Sebab, mereka menolak
disuntik bukan karena soal tidak percaya adanya virus, misalnya.
Tak sedikit orang Papua yang masih memendam trauma atas

xxviii — Potret Hutan Papua xxix


represi negara kepada mereka—represi yang mewujud pada Benaknya tak pernah lepas atas kenangan tentang dusun hijau
kekerasan sipil hingga eksploitasi alam sewenang-wenang. di tanah berbukit itu. Kesedihan berubah jadi kecemasan karena
Salah satu yang menolak itu adalah Nelius, asal Jayapura. Mantan ancaman eksploitasi hutan masih terus berlangsung. Itu membuat
aktivis mahasiswa ini antivaksin karena curiga atas kehadiran aparat kekayaan rimba, termasuk sagu, bisa lenyap sama sekali. “Jadi,
dalam proses vaksinasi. “Jangan-jangan yang dibawa aparat itu bukan kalau sagu hilang, kami jangan jadi orang Yerisiam lagi,” ujar
vaksin, tapi obat berbahaya, karena selama ini mereka sudah berlaku Daniel. Raut mukanya mengencang.
keras terhadap orang-orang Papua,” katanya kepada Tirto.id, 2 Agustus
2021. Nelius mengaku banyak temannya yang bersikap serupa. nnn
Adriana Elisabeth, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
yang puluhan tahun mendalami isu Papua, tak menyangkal BAGI orang Papua, rimba adalah sumber kehidupan dan
kemungkinan tersebut. Dia mengatakan, ketika merebak sebuah berkah. Hutan menyediakan pala, sagu, babi, kasuari, tumbuhan
isu di Papua, hampir pasti akan terkait dengan isu politik. “Sama, pengobatan, dan kayu yang paling dicari di dunia, seperti merbau.
ketika ada vaksin, masyarakat curiga apakah itu betulan vaksin Dari lebatnya alas itu, orang Papua mendapatkan sumber makanan,
atau—yang paling ekstrem—alat untuk memusnahkan mereka,” ekonomi, tradisi, dan kekayaan budaya.
ujarnya kepada Tirto.id. “Hal semacam itu tidak dapat dipisahkan
Dalam pandangan etnografis, kehidupan orang Papua sangat
dari memori kolektif mereka yang selama ini direpresi.”
bersandar pada kegiatan memungut hasil hutan alias meramu.
Ingatan kolektif akan represi aktor negara itu termasuk soal Mereka menangkap satwa liar, melakukan penangkaran,
tergerusnya kekayaan hutan Papua akibat kebijakan Jakarta. Isu membudidayakan tanaman hutan, mengembangkan pengobatan
eksploitasi hutan menimbulkan luka begitu dalam. Dan—mungkin dari hasil alam, dan sebagainya. Jadi, hutan adalah sendi kehidupan
ini kebetulan—beberapa kota yang mencatat angka positif Covid-19 orang Papua asli.
cukup tinggi selama ini mengalami deforestasi di wilayahnya.
Keyakinan suku Momuna bisa mewakili pandangan orang Papua.
Misalnya Jayapura (kota dan kabupaten), Sorong (kota dan
Bagi mereka, hutan seperti seorang noo. Hutan adalah “Ko Punya
kabupaten), serta Merauke.
Mama”. Dan si Mama itulah yang kian lama kian sukar mereka jangkau
Salah satu orang yang hingga kini merasa pedih atas musnahnya akibat kebijakan pemerintah yang tak berpihak pada mereka.
hutan itu adalah Daniel Yarawobi, kepala suku Yerisiam Goa, di
Angka-angka berikut ini menunjukkan betapa berartinya rimba
Kampung Sima, Kecamatan Yaur, Kabupaten Nabire. Daniel hingga
bagi orang Papua. Dengan luas tutupan hutan 33.551.030 hektare
kini tak bisa melepaskan kenangannya kepada Ahira, sebuah dusun
(KLHK, 2015), Papua adalah wilayah dengan hutan terluas di negeri
sagu yang tumpas karena lahannya diokupasi perkebunan sawit.
ini. Angka itu setara dengan sepertiga luas hutan di Indonesia.
Dusun sagu adalah sepetak lahan berukuran kecil di dalam hutan
belantara yang didominasi sekumpulan tanaman sagu (sekitar 20 Saking luasnya, ada 161.114 rumah tangga di sekitar hutan di
tanaman) yang tumbuh secara alami dan letaknya berdekatan. Pulau Papua (BPS, 2014). Dari jumlah itu, 118 ribu di antaranya
Ahira dihabisi bersama sembilan dusun sagu lain di Nabire. memungut hasil hutan. Kemudian 21.206 rumah tangga
menggantungkan hidupnya dari penangkapan satwa liar. Jadi, 86
Saat Daniel ditemui dan diminta berkisah tentang hutan dan
persen masyarakat adat Papua di sekitar hutan menggantungkan
dusun sagunya ketika masih lestari, matanya berkaca-kaca.
hidupnya dari manfaat rimba.

xxx — Potret Hutan Papua xxxi


Namun di tanah ini pulalah ancaman deforestasi tertinggi di nnn
Indonesia.
Data Global Forest Watch yang dihasilkan dari analisis citra IRONI dan tragedi di tanah Papua itu banyak yang bersumber
satelit pada periode 2001-2020 menunjukkan kehancuran hutan bukan dari dalam lingkungan mereka sendiri, melainkan jauh
Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) mencapai 700 ribu dari sana, yakni di Jakarta. Persisnya dari regulasi-regulasi yang
hektare. Kerusakan terluas terjadi di Kabupaten Merauke, yang diputuskan di ruang-ruang kekuasaan pemerintahan. Penguasa
mencapai 112 ribu hektare. punya cara pandang sendiri bagaimana kekayaan alam Papua
Hutan telah dialihfungsikan menjadi kebun sawit, pertambangan, mesti diperlakukan. Dan dengan seluruh kewenangan kekuasaan
hutan tanaman industri, dan lain-lain. Belum lagi maraknya itu, disusunlah beragam aturan untuk menggarap harta alam
pembalakan liar. Hingga kini, di Provinsi Papua dan Papua Barat, Papua.
setidaknya luasan tutupan sawit mencapai 158.821 hektare. Statistik Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kementerian
Pada 2020, laju perambahan hutan di Papua mencapai 30 ribu Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2017) menyebutkan setidaknya
hektare. Artinya, dalam satu tahun Papua kehilangan hutannya 6,3 juta hektare wilayah Papua dan Papua Barat dibebani izin
setara dengan 28 ribu lapangan sepak bola, atau sebanyak 77 kali usaha pemanfaatan hasil hutan—baik hutan alam maupun hutan
lapangan sepak bola dalam satu hari, karena perambahan saja. tanaman industri. Itu belum ditambah dengan luasan tambang.
Hutan yang beralih wajah secara masif itu menyebabkan Untuk periode 30 tahun pertama, lahirnya kontrak karya PT
sejumlah kehilangan bagi orang Papua. Ketika rimba dicabut, Freeport Indonesia pada 1967 bagai bendera start dimulainya
mereka ikut kehilangan sumber makanan, seperti sagu, pala, babi, kegiatan eksploitasi sumber daya alam Papua. Mereka menambang
kasuari, ikan di sungai, serta tanaman obat-obatan. Kayu dengan emas selama 51 tahun, hingga kepemilikan perusahaan ini diambil
kualitas mumpuni, seperti merbau, tak henti ditebangi. Para alih pemerintah Indonesia pada 2018.
pemilik uang sukses memanfaatkan kayu ini untuk produk mebel Awal 1990-an adalah dimulainya eksploitasi hutan Papua
yang sangat diminati di pasar luar negeri. dengan sarana hak pengusahaan hutan (HPH). PT Wapoga Mutiara
Kerugian yang tak kalah mengenaskan adalah hilangnya Timber, dengan selembar izin HPH pada 1990, menjadi perusahaan
kekayaan nonmateri. Bersama susutnya hutan, identitas orang kayu pertama yang mengeksploitasi hutan. Perusahaan itu
asli Papua juga terancam hilang. Suku Momuna yang mendiami memiliki konsesi hutan seluas 169.170 hektare di Sarmi. Lokasinya
Kabupaten Yahukimo adalah contohnya. Ketika hutan dan tanah membentang di kawasan hutan produksi dari arah timur ke barat.
hak ulayat mereka dibeli (“Dirampas…,” kata Kepala Pemerintahan Lalu, tahun-tahun berikutnya, makin banyak perusahaan
Adat Dewan Masyarakat Adat Momuna, Marthen Keikyera), suku kayu yang datang. “Semua mengincar kayu merbau,” ujar Godlif
ini kehilangan budaya dan tradisi yang berporos pada “rumah Semon, seorang tokoh Sarmi. Setelah PT Wapoga, memang ada 40
tinggi”. Secara tradisi, rumah tinggi adalah sumbu siklus kehidupan perusahaan HPH lain menancapkan kuku di rimba Papua. Total,
mereka. Di sana ada ikhtiar penempaan spiritual kaum muda serta mereka menguasai 5,5 juta hektare lahan di pulau itu.
bagaimana tata kehidupan suami-istri diatur.
Tahun 2000-an adalah tonggak berikutnya, yakni sejak
Semua kekayaan itu terancam jadi tinggal cerita belaka. berlakunya otonomi khusus (otsus) di Papua dan Papua Barat.
Otsus Provinsi Papua diterapkan berlandaskan Undang-Undang

xxxii — Potret Hutan Papua xxxiii


Nomor 21 Tahun 2001, yang telah diubah menjadi Peraturan 20 meter kubik per tahun. Peraturan ini telah digantikan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008. Pada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 54/2016, dengan
2021, dilakukan perubahan kedua lewat Undang-Undang Nomor batasan yang sama. Regulasi soal IPK-MA akhirnya kandas.
2. Dengan otsus itu, Provinsi Papua diberi kewenangan khusus Regulasi itu diperbarui dengan dirilisnya Undang-Undang Nomor
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat 2 Tahun 2021, yang merupakan perubahan kedua aturan mengenai
menurut prakarsa sendiri, juga berdasarkan aspirasi serta hak-hak otsus Papua. Narasi resmi yang disampaikan pemerintah adalah
dasar masyarakatnya. pembaruan aturan itu menunjukkan komitmen pemerintah dalam
Undang-undang menyatakan, untuk menyelenggarakan meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua.
otsus, dibentuk Majelis Rakyat Papua (MRP), yang merupakan Peraturan tersebut tentu diharapkan tidak hanya menjadi
representasi kultural orang asli Papua. Lembaga ini memiliki macan kertas, tapi berdampak juga di lapangan. Kenapa? Sejak
kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang 2001, telah ada otsus, tapi hutan makin rusak dan merana. Selain
asli Papua berlandaskan penghormatan terhadap adat dan budaya, oleh aktivitas perkebunan dan lainnya, hal itu disebabkan oleh
pemberdayaan perempuan, serta pemantapan kerukunan hidup kegiatan pertambangan jauh di dalam.
beragama.
Dalam buku Statistik Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2017,
Namun justru di era ini pemerintah gencar memberikan izin tertera setidaknya 107.587 hektare lahan di Papua Barat diokupasi
pelepasan kawasan hutan untuk budi daya perkebunan. Hingga pertambangan dengan izin pinjam pakai. Hal serupa menimpa
2016, pelepasan itu mencapai lebih dari 1 juta hektare, yang 78.491 hektare lain di Papua.
diberikan kepada 56 perusahaan.
Masih ada beleid lain yang menyebabkan hutan tercerabut,
Otsus juga memercikkan euforia di lingkungan pemerintah yakni fasilitasi pembangunan industri ekstraktif berbasis lahan
lokal. Beragam regulasi diterbitkan untuk memanfaatkan rimba skala besar seperti Merauke Integrated Food and Energy Estate
milik sendiri. Provinsi Papua, misalnya, mengeluarkan kebijakan (MIFEE). Proyek ini dicanangkan Presiden Susilo Bambang
pemberian izin pemanfaatan kayu masyarakat adat (IPK-MA) Yudhoyono dengan tujuan ambisius, yakni menjadikan Papua
berupa Surat Keputusan Gubernur Papua Nomor 522.2/3386/ sebagai lumbung pangan dunia. Puluhan izin lokasi diterbitkan
SET/2002 tentang Pengaturan Pemungutan Hasil Hutan Kayu oleh guna menyokong ambisi tersebut. Pemerintah menyiapkan 1,6 juta
Masyarakat Adat. hektare untuk pengembangan perkebunan dan tanaman pangan
Alih-alih memberdayakan masyarakat adat, aturan itu justru melalui hak guna usaha. Kebutuhan lahan jutaan hektare itu tentu
memperkaya para cukong kayu yang mengincar merbau. tidak jatuh dari langit. Maka hutan dikorbankan.
Sedangkan kelompok masyarakat adat terjebak mekanisme kerja Rentetan kebijakan kehutanan tersebut menyebabkan orang
sama yang tak mereka pahami. Papua kehilangan kemandiriannya terhadap pangan. Mereka
Ternyata peraturan daerah itu mengabaikan keselarasan dengan kesulitan mendapatkan bahan kebutuhan pokok yang selama
keputusan menteri dan peraturan pelaksanaannya. Aturan yang ini bisa dipungut dari hutan. Kini beras dan mi instan telah
dimaksud adalah Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6886/Kpts- menggantikan binatang buruan dan sagu. Dan hal itu harus
II/2002, yang mengizinkan warga memungut hasil hutan kayu untuk ditebus dengan harga mahal. Hal itu terjadi merata di Papua, dari
kepentingan pribadi. Syaratnya, kayu yang bisa diambil maksimal Kampung Sima hingga Kampung Zanegi.

xxxiv — Potret Hutan Papua xxxv


Itu bukan berarti semua regulasi pemerintah merugikan melarang penerbitan izin di dalam wilayah masyarakat adat.
orang Papua. Ada juga aturan yang—setidaknya—diniatkan Toh, faktanya, aturan itu belum sungguh-sungguh menjamin
menghormati dan melindungi kawasan masyarakat adat. Hingga perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat Papua (Epistema,
2015, sekurangnya ada tujuh produk hukum berisi penetapan 2015). Aturan di atas kertas itu seperti deretan huruf tak bermakna
keberadaan masyarakat adat. Salah satunya Peraturan Daerah karena hutan Papua tetap dilahap sewenang-wenang.
Khusus Provinsi Papua Nomor 23 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat
Bagai tak ada pemahaman sepercik saja bahwa bagi orang Papua
Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat
hutan dan pohon adalah hal yang sakral dalam struktur kehidupan
Hukum Adat atas Tanah. Sedangkan aturan di tataran nasional ada
mereka. Feki Mobalen, tokoh adat, mengatakan hutan adalah
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, yang
identitas yang melekat pada diri setiap suku di Papua. Hutan adalah

MORATORIUM SAWIT: MANJUR Kelapa Sawit. Adapun kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala
Badan Pertanahan Nasional (BPN), diperintahkan melakukan evaluasi terhadap
ATAU TIDAK? penerapan HGU perkebunan kelapa sawit.

ADA upaya pemerintah mengembalikan kawasan hutan yang telah beralih rupa Apakah Inpres itu ada hasilnya? Sesuai laporan koalisi Moratorium Kelapa

menjadi perkebunan sawit, yakni melalui Instruksi Presiden (Inpes) No. 8 Tahun Sawit, pemerintah Papua Barat telah menelaah ulang perizinan 30 perkebunan

2018. Inpres yang diteken Presiden Joko Widodo pada 19 September 2018 kelapa sawit selama 2019-2021. Hasilnya, perizinan 14 perusahaan kelapa

ini bertajuk Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta sawit dicabut dengan total luas lahan hampir mencapai 270 ribu hektar. Koalisi

Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit. ini beranggotakan sejumlah LSM lingkungan hidup, Komisi Pemberantasa
Korupsi (KPK).
Inpres ini berisi sejumlah instruksi kepada beberapa Menteri untuk melakukan
evaluasi terhadap semua perizinan. Penerima instruksi, antara lain, Menteri Sebenarnya Inpres tersebut telah jatuh tempo pada 19 September 2021.

Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) yang harus menunda pelepasan atau Namun hingga naskah ini ditulis belum ada kejelasan apakah moratoriuam

tukar-menukar kawasan hutan perkebunan kelapa sawit. Penundaan berlaku diperpanjang atau tidak. Kalaupun diperpanjang, sejumlah kalangan menyebut

bagi permohonan baru, permohonan yang telah diajukan, juga permohonan moratorium bakal tak manjur karena berlakunya UU Cipta kerja (Omibus Law).

yang telah mendapat persetujuan prinsip. Manajer Kampanye Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi),

Presiden juga menginstruksikan Menteri LHK melakukan identifikasi Wahyu Perdana, menilai regulasi itu bisa membuka celah perizinan baru

perkebunan kelapa sawit yang terindikasi berada di kawasan hutan. Menteri perkebunan sawit. “Moratorium (kelapa sawit) tidak mungkin dilakukan selama

harus melaksanakan ketentuan alokasi 20% untuk perkebunan rakyat atas masih ada UU Cipataker,” kata dia. (Kompas.com, 24/6/2021).

pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit.  Selain itu, kata dia, ada persoalan penegakan hukum. Beberapa hal yang

Selain kepada Menteri KLH, instruksi juga ditujukan kepada Menteri Pertanian dahulunya merupakan tindakan illegal, tapi saat ini justru menjadi legal oleh

untuk melakukan evaluasi terhadap proses pemberian Izin Usaha Perkebunan UU Cipta Kerja. “Jadi, hadirnya Omnibus Law tidak memungkinkan moratorium
lanjut.”

xxxvi — Potret Hutan Papua xxxvii


tanda pengenal yang menjelaskan asal-usul dan karakter suku. “Jadi, Bintuni, Tambrauw, Kepulauan Yapen, Mappi, Waropen, Supiori,
kalau hutan itu tidak ada, hilang sudah identitas suku tersebut.” Yalimo, dan Merauke. Semuanya dicatat berdasarkan Pemantauan
Status Gizi Kementerian Kesehatan pada 2017.
nnn Kisah berikutnya datang dari Kabupaten Fakfak, yang
terancam kehilangan identitasnya sebagai gudang pala. Wilayah
DAN buku ini mengisahkan beberapa kerugian yang mesti bagian selatan Papua ini memang dikenal sebagai penghasil pala
ditanggung orang Papua akibat penggerusan identitas tersebut. terbesar di Nusantara. Maklum, sekitar 80 persen bumi Fakfak
Orang Papua tak hanya kehilangan pala, sagu, merbau, serta ditumbuhi pohon rempah-rempah tersebut. Dan penduduk yang
kekayaan alam yang bersifat material lainnya. Mereka juga mesti menggantungkan mata pencarian pada pala sebanyak 90 persen
menanggung derita yang sebelumnya langka terjadi, yakni gizi atau 2.300 keluarga.
buruk dan kemiskinan. Kerugian imaterial lain adalah terkikisnya Dengan luas 176.792.673 hektare, total produksi pala di
budaya yang bersandar pada kehidupan hutan. Kabupaten Fakfak mencapai 1.486.284 ton pada 2019. Menurut
Kisah-kisah yang ditampilkan dalam buku ini ditelusuri dari Badan Pusat Statistik pada 2020, pala Fakfak menyumbang sekitar
berbagai pelosok yang mewakili tujuh wilayah adat Papua. 8,64 persen terhadap produksi pala nasional.
Para penulis menelusuri wilayah-wilayah ini: Merauke, Sorong, Ketua Dewan Adat Suku Mbaham-Matta Sirzet Gwasgwas
Raja Ampat, Fakfak, Yahukimo, Nabire, dan Sarmi. Narasi juga mengatakan pala adalah gerbang yang membawa orang Fakfak
dihimpun dari berbagai kesaksian narasumber yang mengalami ke dunia luar. Pala bagaikan sendi utama kehidupan mereka.
akibat langsung lenyapnya hutan dan rimba. “Fakfak mengenal hal-hal seperti agama, perdagangan, ekonomi,
Kita bisa mulai dari wilayah paling barat Papua Barat, yakni Kota dan sosial karena pala,” katanya. “Orang dapat menangis bila satu
Sorong, persisnya di Kelurahan Kladufu, Distrik Sorong Timur. Ini pohon pala saja ditebang.”
adalah kawasan yang secara ekonomi sebenarnya lebih mentereng Tapi itu semua akan menjadi kisah dan dongeng karena tanaman
dibanding daerah lain. Tapi cobalah susuri perkampungan padat sawit mulai merampas lahan di Fakfak.
di sana. Di jalanan tak akan sulit menemukan anak-anak dengan Sawit juga memberikan kisah kelam di Kabupaten Nabire.
perut membuncit, kaki kerempeng, dan lingkar kepala besar. Ini Di kawasan ini, banyak dusun sagu tumpas karena lahannya
adalah tanda-tanda si anak menanggung gizi buruk. diokupasi perkebunan sawit. Ada dusun sagu Ahira, Manawari,
Apa yang terjadi pada mereka? “Keluarga kurang memberikan Waribijaka, Parigi, Yarawobi, Midi, Hargaje, Hamare, dan Amuku.
asupan gizi yang baik dari kehamilan sampai lahir karena Kini suku Yerisiam Goa yang tinggal di kawasan ini hanya punya
rendahnya pendapatan rumah tangga,” ujar Santi Imbiri, Kepala Dusun Manawari yang menyimpan harta sagu mereka.
Puskesmas Pembantu Victory di Kelurahan Kladufu. Rendahnya Selain untuk perkebunan dan pertambangan, hutan dibabat
pendapatan itu bukan tanpa kisah di baliknya. Ringkasnya, ketika demi memekarkan kota. Itu terjadi di Yahukimo, yang dulu
rimba ditebangi untuk perkebunan atau tambang, orang Papua merupakan bagian dari Kabupaten Jayawijaya, pada 2002. Pusat
kehilangan sumber ekonomi dan makanan. kota dari kabupaten baru ini berpindah ke Dekai pada 2006.
Gejala gizi buruk ini merata di Papua dan Papua Barat. Sejak saat itu sampai 2020, tutupan hutan seluas 11.508 hektare di
Kabupaten lain yang mengalami hal itu di antaranya Asmat, Teluk wilayah Yahukimo lenyap.

xxxviii — Potret Hutan Papua xxxix


Ini membuat suku Momuna yang mendiami wilayah Dekai sementara warga setempat nyaris hanya menjadi penonton. Pada
kehilangan topangan hidupnya. Bukan hanya sumber makanan dan 2018, Bapak Raja Salawati wafat dan belum ada kejelasan masa
ekonomi mereka yang tergerus, melainkan juga budaya dan tradisi depan orang Papua di kawasan Raja Ampat.
yang bersandar pada rimba. Sebuah cara hidup, juga cara merawat
nilai-nilai yang diyakini selama ribuan tahun, sudah terkikis. nnn
Di kawasan Mamberamo, tak ada alih fungsi lahan hutan. Tapi
yang terjadi adalah hadirnya perusahaan-perusahaan kayu yang TAHUN 2050, saat hutan merbau dicemaskan bakal musnah, masih
menebangi pohon merbau. Mereka berdalih sebagai pemegang sekitar 30 tahun lagi dari hari ini. Tapi tiga dekade adalah waktu
konsesi. Ribuan hektare lahan merbau di kawasan Sarmi mulai yang teramat pendek jika tak ada secuil pun kesadaran bahwa
lenyap menyisakan penderitaan bagi warga adat. hutan merupakan kekayaan yang sangat berharga di Tanah Papua,
Merbau (Intsia bijuga) adalah salah satu kayu paling berkualitas bahwa rimba adalah pusat gravitasi kehidupan orang Papua.
di dunia. Pokoknya sangat keras, awet, berwarna merah gelap. Mungkin ada semacam kesadaran itu, setidaknya di atas kertas,
Merbau, antara lain, digunakan sebagai bahan baku lantai kayu saat pemerintah merilis Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021
mewah. Harganya di pasar internasional per meter kubik decking tentang Otonomi Khusus Papua, yang merupakan perubahan
(pelapis lantai) sangat mahal. Tak aneh, merbau jadi obyek kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. Sinkronisasi
perburuan besar-besaran. Jika eksploitasi merbau di Papua tak peraturan pusat dengan daerah menjadi salah satu isu penting
dikendalikan, kayu akan musnah pada 2050. dalam perubahan ini.
Bukan hanya hutan yang digerus, melainkan juga keelokan Saat memulai pembahasan perubahan regulasi itu, Menteri
panorama Papua. Kawasan Raja Ampat merupakan mutiara yang Dalam Negeri Tito Karnavian menyoroti pentingnya sinergi
dipilih pemerintah pusat untuk diangkat ke etalase perhatian pemerintah pusat dan daerah demi memperbaiki kualitas
dunia. Caranya adalah dengan menetapkannya sebagai kawasan pelayanan publik. Perubahan undang-undang itu juga, kata dia,
konservasi dan destinasi wisata. merupakan wujud komitmen pemerintah, Dewan Perwakilan
Celakanya, pemilik adat di wilayah ini luput tak diajak bicara. Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah RI untuk meningkatkan
Setidaknya itu yang disampaikan Abdullah Arfan, salah satu dari kesejahteraan masyarakat Papua. Perubahan ini diharapkan
empat raja yang didaulat memimpin secara adat beberapa wilayah memberikan manfaat optimal, adil, dan akuntabel bagi percepatan
di Kabupaten Raja Ampat. “Sama sekali tak ada keterlibatan adat pembangunan Papua.
di dalamnya,” kata pria kelahiran 1942 yang juga disapa Bapak Raja Aturan tersebut juga membahas perpanjangan penerimaan
Salawati ini. dana otsus selama 20 tahun ke depan alias hingga 2041. “Apabila
Sebagai ikon wisata Papua, Raja Ampat sukses menerbitkan liur tidak dilakukan perubahan, dana otsus akan berakhir pada 2021.
para investor untuk datang mengeduk fulus di sana. Mereka masuk Padahal dana otsus masih sangat diperlukan untuk mempercepat
lewat pembangunan sarana, seperti penginapan, dari homestay pembangunan di Papua. Dengan perpanjangan ini, kita harapkan
hingga hotel mentereng. Dan semua itu membutuhkan lahan. 20 tahun mendatang terjadi percepatan pembangunan dengan
Maka hutan pun dibuka. sistematis dan terencana baik,” ujar Menteri Dalam Negeri.
Lalu kisah berulang. Sebagian besar fulus mengalir ke investor, Kalimat-kalimat indah itu semoga bukan sebuah pengulangan

xl — Potret Hutan Papua xli


alias klise. Sebab, aturan otsus itu awalnya dulu juga diawali pohon-pohon besar merupakan pemandangan biasa. Kasuari dan
dengan narasi tak kalah memikat, tapi fakta di dunia nyata tak cenderawasih yang menari-nari di dahan pohon juga pemandangan
seindah dokumen di atas meja. biasa.” Semua itu kini menjadi pemandangan langka.
Pemerintah dan semua pemangku kepentingan masih punya Pertanyaan yang perlu dijawab pemerintah pusat kini: Apakah
waktu untuk membuktikan janjinya. Orang asli Papua akan kebijakan Jakarta dan pelaksanaannya bisa mengembalikan
menjadi saksi atas semua tekad dan janji tersebut. Godlif Semon pohon besar, kasuari, cenderawasih, pala, sagu—hal-hal yang dulu
di Sarmi, Daniel Yarawobi (warga suku Yerisiam Goa), Mama biasa bagi orang Papua itu? Apakah orang Papua kelak bisa lagi
Idea di Pulau Antalisa, dan mereka yang tersingkirkan dari hutan menyatakan bahwa hutan adalah “Ko Punya Mama”?
mungkin belum kehilangan harapan bahwa masa depan yang lebih Waktu yang akan menjawab.
baik masih ada. Godlif pernah mengatakan, “Di masa kecil dulu,

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

10.169,12
13.290,87 15.110,47 16.230,13
20.553,31 20.075,51
21.767,45 24.812,01
21.576,08
25.639,54
Penyusutan tutupan saban tahun (hektare)

HUTAN
TAK BERHENTI Luas Hutan Papua
(hektare)
MENYUSUT
xxx 28.068,92
DALAM 20 tahun terakhir, hutan di
30.438,86
Provinsi Papua dan Papua Barat telah xxx
susut seluas 700 ribu hektare. Rimba
36.508, 63
yang menjadi sumber penghidupan
dan jantung budaya orang Papua itu
38.304,51 39.843,73
beralih fungsi menjadi kebun sawit,
tambang, hutan tanaman industri, 47.463,35
47.306,87
dan ajang pembalakan liar. 2001 2021

60.535,72
85.323,90
xlii — Potret Hutan Papua 97.215,01 xliii
SAGU, PALA, DAN MERBAU HUTAN BAGAIKAN IBU
HAMPIR seluruh flora di rimba Papua berharga bagi orang Papua. Tiga BAGI orang Papua, hutan bukanlah sekadar kerimbunan pepohonan di lahan
tanaman di antaranya menjadi sumber kebutuhan pokok dan perlindungan yang luas. Hutan adalah segalanya bagi mereka. Dari rimba, mereka mendapat
mereka, yakni sagu, pala, dan merbau. Deforestasi membuat tiga tanaman ini makanan, pengobatan, kepercayaan, serta jantung tradisi dan budaya.
menyusut drastis dari tanah Papua.

PALA adalah penggerak MERBAU adalah pohon SAGU adalah


ekonomi dan kehidupan anggota suku Fabaceae makanan pokok
(Leguminosae). Di dunia di wilayah timur
sosial utama di Fakfak. ada sembilan spesies
Fakfak mengenal aspek- merbau, terserak di Indonesia, seperti
aspek agama, perdagangan, Papua Nugini, Malaysia, di Papua dan
ekonomi, hingga sosial Indonesia, dan Filipina.  Maluku.
karena pala.
Papua menjadi rumah Sagu yang
untuk tiga spesies merbau, “digoreng” kering
99,69 persen yakni Intsia bijuga, I.
palembanica, dan I. atau dibakar
Pala perkebunan acuminata. bisa bertahan
rakyat. Sisanya dikelola berbulan-bulan.
perkebunan besar
negara.
<1.000 mdpl
Untuk hidangan
Habitatnya ada di hutan-
hutan sepanjang pesisir harian, disantap

Pala lokal (Myristica


atau dataran rendah. bersama papeda
atau pepaya.
Protein dari
argentea Warb atau M. hewan buruan
Rp 21 juta
argentea Warb.), pala hutan
Memiliki
(M. papuana), pala Banda
per kubik
kandungan
(M. fragrans), serta pala
peranakan yang merupakan
nutrisi, menjadi
sumber energi, Sagu, sumber
persilangan alami antara M.
argentea dan M. fragrans.
Harga di luar negeri. melancarkan karbohidrat
pencernaan, dan
Sebutan lain pala negeri atau
henggi. Awal 2000 menjaga suhu Hilangnya
Perburuan merbau
tubuh.
tutupan hutan
merebak.
Daun sagu un- memicu
Sebanyak tuk atap rumah, kelaparan, gizi
80 persen 16,7 juta gaba untuk din­
buruk, stunting,
wilayah Fakfak hektare ding, dan sagu
dan kekurangan
ditanami pala. olahan bisa dijual.
Potensi merbau di hutan
produksi Papua energi kronis
16.673 hektare pada ibu hamil
Luas lahan, total produksi
Ketahanan kayu merbau
sangat baik, terutama yang berujung
1.884 ton per tahun (8,6
digunakan untuk
komponen eksterior,
pada kematian,
persen produksi nasional). kosen, flooring, dan pintu.  dan lain-lain.

xliv — Potret Hutan Papua xlv


RAJA 68.460

AMPAT
22.285
Ikan kerapu
yang dihasilkan
(kilogram)
47.963
n
35.160 Wisatawan
asing 24.090
18.430
7.691 n
Wisatawan
10.759 domestik

2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019

Pulau Waigeo

Teluk Mayalibit

Pulau Doom

Pulau Batanta l Sorong

Kampung Samate

Pulau Selawati

Pulau Misool

xlvi — Potret Hutan Papua 1


Pilu di Balik
Ingar-bingar
Wisata
Raja Ampat
Feki Mobalen dan Hendrik Siregar

Raja Ampat merupakan destinasi wisata dunia. Semua orang


berlomba pergi ke sana. Ironisnya, di balik semua itu, warga di sana
hanya bisa menjadi penonton.

TATAPAN mata lelaki itu melayang, menerawang, seolah-olah


melompati pagar rumahnya yang asri di tengah Pulau Doom—
sebuah pulau yang berjarak sekitar 10 menit perjalanan perahu
dari Kota Sorong, Papua Barat.
“Sulit. Ini susah. Banyak sekali yang sudah salah,” katanya.
Mulutnya ia katup. Napasnya panjang dan dalam. Cerita yang ia
simpan sepertinya membebani pikiran.
Lelaki itu Raja Salawati bernama Abdullah Arfan. Ia adalah satu
dari empat raja yang didaulat memimpin beberapa wilayah di
Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat, secara adat.
Bapak Raja—begitu ia akrab disapa—lahir pada 1942 di Kampung
Samate, Pulau Kasim Raja, di kepulauan yang sudah menjadi
tujuan wisata dunia.

2 — Potret Hutan Papua 3


Ya, cerita yang Bapak Raja simpan hingga terkesan membebani warga Raja Ampat hanya menjadi penonton atas ingar-bingarnya
pikiran adalah soal Raja Ampat dan dilema perkembangan pariwisata,” ujar Bapak Raja saat ditemui di kediamannya di Pulau
pariwisatanya. Doom, Distrik Sorong Kepulauan, Kota Sorong.
“Kebanyakan hanya jadi penonton,” ujarnya dengan suara yang Menurut dia, pendapat bahwa Raja Ampat bisa menjadi Bali-nya
lemah. Indonesia timur adalah anggapan yang salah. Sebab, karakteristik Raja
Persoalan lain yang muncul menurut Bapak Raja adalah Ampat dan Bali jauh berbeda. Bali hanya sebuah pulau, sedangkan
konflik horizontal antarwarga ihwal kawasan yang kemudian Raja Ampat terdiri atas banyak sekali pulau. Kemudian Bali itu garapan
diperjualbelikan demi pariwisata. Puluhan konflik ini, menurut dia, warganya banyak di darat, sedangkan di Raja Ampat ada di laut.
dipicu masuknya investasi pariwisata yang nyaris tak terkontrol. Bapak Raja bercerita bagaimana awal penetapan kawasan Raja
Bapak Raja adalah keturunan Raja Salawati Utara, salah satu Ampat sebagai kawasan konservasi dan wisata. “Sama sekali tak
raja di Raja Ampat. Sebagai keturunan bangsawan, Bapak Raja ada keterlibatan adat di dalamnya,” ujarnya. Dia, kata Bapak Raja,
jus­tru menghadirkan rasa nyaman karena ramah, tidak angkuh, tiba-tiba saja dijemput dan diminta hadir untuk pencanangan
dan sangat bersahabat. Sikap ini sangat mungkin dipengaruhi Raja Ampat sebagai wilayah konservasi. Awalnya itu di enam titik.
silsilahnya sebagai keturunan Raja Salawati Utara ke-20, yang Waktu itu, acaranya berlangsung di Teluk Mayalibit.
memiliki garis keluarga dari Cirebon. Keterlibatan adat, menurut dia, bukan berarti pihak masyarakat
“Saya sebagai orang tua adat itu sudah cukup berurat (istilah adat ingin mengambil atau mencukil sedikit kue yang seharusnya
buat capek),” katanya. Konflik yang terjadi banyak diakibatkan menjadi bagian masyarakat, melainkan lebih pada bagaimana
oleh persoalan sewa lahan yang tak berkelayakan. Bicara dua pengaturan yang sudah ada secara turun-temurun dan asas
tahun lalu saja, dia mengaku sudah banyak perkara yang harus kerukunan bisa diterapkan agar masyarakat juga bisa lebih patuh
diselesaikan antar-anggota marga atau antarmarga di Raja Ampat. dan kesejahteraannya terjamin.
Semua berpangkal pada persoalan uang sewa. “Kalau sekarang ini, saya lihat, keuntungan dari pariwisata itu
“Bahkan ada yang sampai dipenjara. Ayah dan anak dipenjara hanya dinikmati segelintir orang,” ujarnya. Segelintir orang itu
lantaran sudah menjurus brutal dalam proses konfliknya,” kata dia. siapa? Bapak Raja tak mau menjelaskannya lebih lanjut. Ia kembali
Kejadian ini menimpa warga Kota Waisai, Kabupaten Kepulauan bernapas dalam-dalam. Sebatang rokok keretek tak terasa padam
Raja Ampat. di tangan. Ia lebih banyak diam.
Kondisi semacam ini—sejak adanya pariwisata—jelas membuat
tatanan sosial di Kepulauan Raja Ampat terusik. “Jangan sampai nnn

SECARA nasional, sektor pariwisata cukup berkontribusi signifikan


“Jangan sampai warga Raja Ampat terha­dap devisa negara. Tiap tahun, kontribusinya selalu mening­
hanya menjadi penonton atas kat. Pada 2018, sektor pariwisata menyumbang devisa negara
ingar-bingarnya pariwisata.” sebesar US$ 16,4 miliar.
Mengarusutamakan pembangunan pariwisata yang berkelan­
—Raja Salawati Abdullah Arfan
jutan, pelestarian alam dan budaya menjadi prioritas dalam

4 — Potret Hutan Papua 5


Perahu-perahu nelayan
Raja Ampat lebih sering
terparkir daripada
berlayar. Keterhimpitan
ruang pencarian ikan
yang terinvasi investasi
di kepulauan wisata
itu membuat nelayan
banyak yang kehilangan
kesempatan mencari
ikan. Padahal mencari
ikan merupakan mata
pencaharian pokok
warga Raja Ampat.
FOTO: SANDY INDRA PRATAMA

6 — Potret Hutan Papua 7


pengembangan wisata. Memanfaatkan alam dan budaya sebagai permukiman, hutan lindung, hutan produksi, dan pesisir pantai.
tempat wisata menjadi favorit, ketimbang mengembangkan Hal itu menjadikannya destinasi wisata yang paling diinginkan
tempat-tempat wisata buatan, yang tentu membutuhkan nilai pencinta wisata alam.
investasi jauh lebih mahal. Ada sekitar 610 pulau yang masuk wilayah Kabupaten Raja
Walaupun judulnya wisata alam, tentu infrastruktur serta Ampat. Empat di antaranya pulau besar, yakni Salawati, Misool,
akomodasi pendukung harus tetap disiapkan. Tempat penginapan, Batanta, dan Waigeo. Keempat pulau itu menjadi daerah
dari hotel, cottage, sampai homestay, merupakan faktor pendukung persinggahan utama wisata alam di Raja Ampat sebelum turis
penting pertumbuhan kunjungan wisatawan. menjelajah ke tempat lain.
Namun menjamurnya tempat penginapan akan memengaruhi Semula, daratan pulau-pulau Raja Ampat masih dipenuhi hutan.
kepemilikan lahan serta akses ke lokasi-lokasi tertentu, yang Setelah pemekaran kabupaten, karena
mungkin jadi tertutup bagi publik luas. Wisata alam akan banyak potensi wisata baharinya terendus sampai
mengambil lahan, baik lahan untuk lokasi wisatanya sendiri Ada sekitar ke mancanegara lantaran keindahan laut
maupun lokasi untuk penginapan. 610 pulau dan keanekaragaman jenis ikan, pemodal
yang masuk berdatangan untuk berinvestasi membangun
Atas nama semua kebutuhan itu, pintu investasi pun lantas
wilayah penginapan. Bahkan Pemerintah Kabupaten
dibuka. Tujuannya adalah mempercepat penyediaan sarana
Kabupaten Raja Ampat pun tak mau ketinggalan dengan
dan infrastruktur pendukung pariwisata—tak berbeda dengan
Raja Ampat. berlomba mendirikan resor.
investasi-investasi berbasis lahan lainnya, semacam perkebunan,
Empat di
tambang, atau energi. Kunjungan wisatawan dalam dan luar
antaranya
negeri ke Raja Ampat sangat tinggi. Dalam
Masyarakat yang tinggal di lokasi wisata pun mesti siap-siap pulau
dokumen Kabupaten Raja Ampat dalam
pindah. Sementara itu, bagi yang tinggal di sekitar lokasi tersebut, besar, yakni
Angka, tercatat terus terjadi peningkatan
ada kemungkinan akses terhadap ruang-ruang ekonominya Salawati,
jumlah turis sejak 2014 sampai 2019. Pada
tertutup atau menjadi kerdil. Misool,
2014, ada sebanyak 10.759 wisatawan
Tempat tujuan wisata alam dan budaya yang cukup terkenal di Batanta, dan
asing dan 7.691 wisatawan domestik yang
Papua antara lain Danau Paniai, Danau Sentani, Taman Nasional Waigeo.
berkunjung ke Kabupaten Raja Ampat,
Lorentz, Taman Nasional Teluk Cenderawasih, Taman Hutan
sedangkan pada 2019 ada 24.090 wisatawan
Raya Raja Ampat, Lembah Baliem, dan Pantai Bosnik. Lokasi-
asing dan 22.285 wisatawan domestik. Sayangnya, akibat pandemi
lokasi wisata alam dan budaya itu tidaklah terlalu jauh dari tempat
Covid-19, pada 2020, jumlah ini menurun ke angka 2.631 wisatawan
tinggal masyarakat.
asing dan 1.583 wisatawan domestik.
Dan dari namanya saja, tempat tujuan wisata itu tentu berada
Waisai, ibu kota Kabupaten Raja Ampat, yang berada di Pulau
di antara atau di kawasan hutan lindung, konservasi, atau taman
Waigeo, merupakan tempat tujuan utama sebelum turis melompat
nasional. Di antara tempat-tempat itu, yang mendunia adalah
ke pulau-pulau lain.
kawasan wisata cagar alam Raja Ampat.
Pembangunan sarana pendukung menjadi prioritas
Hampir sepertiga wilayah Kabupaten Raja Ampat adalah
untuk meningkatkan pelayanan kepada pengunjung. Hanya,
kawasan taman hutan raya (tahura). Selebihnya merupakan

8 — Potret Hutan Papua 9


pembangunan fasilitas wisata tersebut tentu akan menimbulkan Gaung megahnya pariwisata Raja Ampat ke seantero dunia hanya
masalah bagi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan tahura. ditertawai Musay dan kawan-kawan nelayannya—tawa dan senyum
Hampir seluruh wilayah Pulau Waigeo adalah kawasan tahura, yang berganti seketika dengan raut wajah sedih bercampur marah.
hutan produksi, dan konsesi tambang. Data ESDM tahun 2018 “Banyak dari kami, orang asli, tak menikmati apa pun atas
menunjukkan, dari lima izin usaha pertambangan di seluruh itu,” ujarnya diikuti anggukan banyak nelayan. Mereka kemudian
Kabupaten Raja Ampat, empat di antaranya berada di wilayah menunduk dalam, merenungkan nasib sial menjadi nelayan di
Waigeo. Raja Ampat.
Masyarakat yang tinggal di Pulau Waigeo tentu akan makin sulit
beraktivitas sosial dan ekonomi karena ruangnya makin sempit nnn
dikaveling kawasan wisata, tahura, dan tambang. Wilayah perairan
lautnya pun dikonsesi tiga sektor tersebut.
“DILARANG Masuk, Bukan Area Umum!”
“Ini Wilayah Privat!”
nnn
“Bagi yang Tidak Punya Kepentingan, Dilarang Masuk!”
Markah-markah itu tegas terlihat di sepanjang kawasan Waiwo,
MUSAY Yapen masih ingat betul teguran dari lelaki penjaga resor
Waisai, ibu kota Kabupaten Raja Ampat. Pagar-pagar dipancang
yang memintanya menjauhi area perairan dekat penginapan
tinggi. Papan-papan aturan bernada keras itu bisa diartikan
mewah yang terletak di Mansuar, Raja Ampat. Kala itu, medio
teguran bagi siapa pun yang mencoba melompati pagar agar
2016, malam melarut di laut kepulauan yang kini menjadi destinasi
segera menjauh.
wisata dunia.
Area-area penginapan itu disulap, dari asalnya area milik umum
“Saya dikejar speedboat karena berani mencari ikan di dekat
yang dikuasai secara adat oleh suku atau marga di Raja Ampat,
perairan resor. Namun, beruntung, karena jarak yang jauh, saya
menjadi kawasan eksklusif yang dikelola atau bahkan dimiliki para
bisa lari dari situ,” katanya. Malam itu, di tengah kegelapan, Musay
pengusaha, yang kebanyakan berasal dari luar kepulauan, bahkan
bisa lolos dari galaknya penjagaan pihak penginapan.
dari luar negeri.
Musay adalah anak asli Kepulauan Raja Ampat. Usianya 32
“Kami sekarang ini bagai menonton banyak orang berliburan
tahun. Tak hanya sekali ia harus berurusan dengan keadaan yang
saja,” kata Frits Mirino, nelayan berusia 34 tahun, kawan akrab
demikian. Padahal, sekali lagi, dia penduduk asli Raja Ampat.
Musay, saat ditemui di Kampung Timin Dores, Kota Waisai, dengan
Menjadi nelayan di Raja Ampat ternyata tak seperti yang banyak senyum mengembang.
orang bayangkan. Banyak ikan di kolam-kolam (begitu sebutan
Namun, lagi-lagi, sesaat kemudian wajahnya sendu serius,
spot ikan berkumpul) yang kaya akan pemandangan.
sementara tangannya melemparkan sirih yang ada di genggamannya,
“Sulit sekali hidup di Raja Ampat dan menjadi nelayan. Di “Ya, betul, kami hanya jadi penonton, sementara mereka bersenang-
tempat-tempat kami dulu mencari ikan, sekarang perairannya tak senang.”
lagi bebas, bisa jadi karena sudah menjadi wilayah konservasi atau
Frits, warga asli Raja Ampat, hanya bisa menjadi penonton
menjadi konsesi yang dimiliki para pengusaha resor,” ujar Musay
parade keriaan tanpa terciprati kesenangan itu.
sembari menunjukkan wajah pasrah.

10 — Potret Hutan Papua 11


Laut yang seharusnya
dibagi secara adil
dalam penguasaannya
menjadi permasalahan
bagi masyarakat Raja
Ampat, Papua Barat.
Sering kali masyarakat
hanya jadi penonton
atas penguasaan laut,
wilayah wisata hingga
kesempatan mencari
penghidupan di daerah
yang dinobatkan sebagai
tujuan wisata dunia.
FOTO: SANDY INDRA PRATAMA

12 — Potret Hutan Papua 13


Frits lantas bercerita soal masa-masa keemasan nelayan Raja
Ampat. Setidaknya menurut pengalamannya yang lahir dari
keluarga nelayan turun-temurun, era 1980-an hingga akhir 1990-an
MENIMBA IKAN
merupakan masa ketika semua nelayan di Raja Ampat hidup cukup DI TELUK MAYALIBIT
sejahtera. “Kami bisa tangkap lebih dari 50 kilogram beragam ikan
“SAYA dahulu pernah ikut menimba ikan di Kampung Warsambin. Sekarang
per hari. Itu buat dijual saja, belum lagi yang untuk kami makan,”
makin sulit dilakukan,” ujar Frits Mirino, yang tinggal di Kampung Timin.
katanya. Jika diuangkan, penghasilan per hari para nelayan saat itu
“Menimba ikan tidak dilakukan sepanjang tahun, hanya bulan-bulan tertentu
Rp 1 juta. Kini kondisinya sudah tidak seperti itu lagi.
saat ikan lema hendak pergi ke laut lepas,” katanya.
Menangkap ikan seperti yang Musay dan Frits lakukan juga
menjadi pekerjaan utama hampir seluruh masyarakat di Raja Iklan lema adalah ikan yang hidup secara bergerombol di laut lepas. Saat
Ampat, di samping bertani. Hampir 80 hendak bertelur, induk ikan ini kan menuju teluk. Induk ikan tinggal beberapa
persen penduduk di Kabupaten Raja Ampat hari di teluk untuk bertelur dengan jumlah ratusan hingga ribuan. Ikan-ikan
Jika tinggal di pesisir pantai, sehingga laut kecil yang menetas juga akan tinggal sebentar, lalu setelah dewasa menuju laut
diuangkan, menjadi lahan mata pencarian mereka. lepas.
penghasilan Pemerintah daerah Raja Ampat pun “Menimba ikan lema telah dilakukan bertahun-tahun oleh masyarakat di
per hari para menjadikan perikanan sebagai sektor utama Kampung Wasambin dan Kampung Lapintol, Teluk Mayalibit,” tutur Frits.
nelayan pendapatan asli daerah (PAD).
saat itu Sebagaimana penuturan Frits, hasil
“Bulan Agustus sampai November, ikan-ikan lema yang dewasa ditimba di

Rp 1 juta. tangkap ikan terus menurun, terutama jenis


malam hari. Menggunakan lapu gas—lampu petromaks—kami menggiring ikan-

Kini ikan karang semacam kerapu dan lobster.


ikan ke pinggir pantai. Di sanalah kami menimba ikan dengan tangguh, alat

kondisinya Berdasarkan data Raja Ampat dalam Angka


tangkap semacam jaring,” Frits melanjutkan cerita pengalamannya.

sudah tidak 2017, hasil tangkap ikan kerapu mengalami Cahaya dari lampu gas yang diletakkan di depan perahu dayung menghipnotis
seperti itu penurunan tiap tahun. Misalnya, pada 2013, ikan-ikan lema hingga mengikuti ke manapun arah lampu.
lagi. ikan kerapu yang dihasilkan mencapai Dengan hanya ditimba, ikan lema yang diperoleh masyarakat bisa mencapai
68.460 kilogram, tahun berikutnya menurun ratusan ton. Tidak ada ikan jenis lain yang ikut tertangkap sepanjang mereka
menjadi 47.963 kilogram, pada 2015 menjadi 35.160 kilogram, dan menimba ikan.
pada 2016 menjadi 18.430 kilogram.
Belakangan, jumlah ikan yang ditimba terus menurun. Konservasi ikan yang
Bahkan untuk lobster, menurut data yang sama, pada 2015
membatasi masyarakat selama bulan tangkap cukup signifikan mengurangi
dan 2016 tidak ada data hasil tangkap yang disajikan. Salah satu
hasil.
penyebabnya, seperti diceritakan Musay dan Bapak Raja Abdullah
Arfan, spot tangkap lobster telah dikuasai resor. Masyarakat dilarang Hutan bakau di depan Kampung Warsambin dan Kampung Lopintol adalah
menangkapnya dan harus bayar untuk memasuki kawasan. kawasan cagar alam, tempat berkembang biak kasia atau anak udang dan
kepiting bakau.
Soal nelayan yang mengeluhkan kehidupannya tak berubah
setelah maraknya pariwisata di Raja Ampat, Bapak Raja melihat
memang ada beberapa poin alasan.

14 — Potret Hutan Papua 15


Pertama, pemerintah tak pernah menjadi jembatan bagi ma­sya­
rakat dan investor. Masyarakat yang terbatas pengetahuannya ha­
JATUH, TERTIMPA PETAKA
rus langsung bernegosiasi dengan investor yang rata-rata penge­ CALEDONIAN
tahuannya, terutama di bidang bisnis itu, jauh di atas masyarakat.
INI masih cerita dari Musay, nelayan Raja Ampat.
Maka tercipta jurang pengetahuan yang kemudian bisa menjadi
jebakan bagi masyarakat. “Saya tahu semuanya punya niat-niat Musay kala itu berada di kantor Badan Layanan Umum Daerah Pariwisara

baik. Namun seharusnya ada pendampingan terhadap masyarakat Kabupaten Raja Ampat. Awal Februari 2017, sekitar pukul dua siang, dering

pemilik lahan saat berbicara dengan para investor,” katanya. telepon menyalak-nyalak.

Kedua, pemerintah tak bisa membuat aturan yang melindungi Di ujung telepon, seseorang memberitahukan adanya insiden sebuah kapal
masyarakat soal hubungan warga dengan laut (misalnya dilarang pesiar besar kandas menghantam karang di dekat pelabuhan Waisai, ibu kota
memancing di perairan dekat resor, bahkan tidak boleh melintas) Kabupaten Raja Ampat. Kapal itu bernama Calodonian Sky.
yang juga digunakan investor. “Sebab,
Musay dan rekan-rekannya bergegas menuju tempat kapal tersebut kandas.
Masyarakat biasanya investasi resor itu kemudian
Tanpa pikir panjang, Musay dan teman-temannya langsung meraih peralatan
yang terbatas merambah dan mengisolasi sebagian
selam. “Saya langsung menyelam masuk ke air. Kami menyelam berenam,”
pengetahuannya laut di hadapannya,” ujar Bapak Raja.
katanya.
harus langsung Seharusnya, kata dia, pemerintah
bernegosiasi daerah bisa membuat solusi akan hal
Saat menyelam, Musay dan kanawan-kawannya langsung memeriksa kondisi

dengan itu. Toh, pemanfaatan hasil laut yang


kapal. Ternyata kapal pesiar mewah itu telah menabrak gugusan karang di

investor yang dilakukan nelayan tidak akan berbuah


kedalaman tiga meter.

pengetahuan di eksploitasi yang besar-besaran. “Karangnya rusak parah.” ujarnya.


bidang bisnisnya Ketiga, dari pihak internal masya­ Proses evakuasi kapal Caledonian Sky oleh Musay dan kawan-kawan
jauh di atas rakat sendiri, terdapat banyak sekali berlangsung seharian penuh, sejak pukul 14.00 WIT sampai pukul 21.00 WIT.
masyarakat. pihak yang ingin mengambil untung Tujuh jam proses evakuasi dilakukan Musay bersama lima rekannya. “Satu
tanpa melihat dampak ke depan. tugboat dari Sorong membantu kami dalam proses penarikan,” kata Musay.
Misalnya melakukan perjanjian-perjanjian sepihak dengan para
Dalam pemeriksaan, ternyata ada 100 orang di dalam kapal. “Saya duga lagi
investor. “Oleh investor, kelemahan masyarakat semacam itu bisa
pesta dan mabuk,” ujar Musay.
jadi dimanfaatkan,” katanya.
Bapak Raja tak mau menyalahkan pemerintah pusat. Menurut Saat itu, sempat ada pemeriksaan terhadap kapten kapal. Kapten pun
dia, ada contoh dari apa yang dilakukan pemerintah pusat di Raja mengaku.
Ampat yang patut diterapkan juga oleh pemerintah daerah.
“Lihat pengelolaan Misool. Meski belum sempurna, dirasa cukup
rapi. Ada pembangunan fasilitas yang lengkap untuk pariwisata,
dari honai pinggiran pantai, homestay, hingga uang masuk yang
semuanya dikelola warga lokal,” katanya.

16 — Potret Hutan Papua 17


Para pemuda Raja
Ampat, Papua Barat,
harus menelan pil pahit
dengan kenyataan
bahwa tanah mereka
kini terkotak-kotak
invetasi wisata. Wilayah
Adat yang sebelumnya
memberikan
penghidupan yang
berkecukupan, perlahan
terkikis. Kini mereka
banyak bermigrasi ke
perkotaan terdekat
hanya untuk kemudian
menjadi buruh
serabutan.
FOTO: SANDY INDRA PRATAMA

18 — Potret Hutan Papua 19


Warga asli Raja
Ampat, Papua Barat
mengaku hanya menjadi
pentonton atraksi
wisata keindahan alam
yang ada di wilayah
adat mereka. Investasi
wisata yang hadir ke
halaman rumah warga
Raja Ampat tetap tidak
banyak memberikan
pilihan penghidupan
mereka.
FOTO: SANDY INDRA PRATAMA

20 — Potret Hutan Papua 21


Bapak Raja menyebutkan Raja Ampat tidak bisa diibaratkan SAMPAI hari ini, kawasan wisata Raja Ampat masih menjadi daya
seperti sebuah perahu. Sebab, Raja Ampat terdiri atas berbagai tarik wisatawan dunia. Keberadaannya adalah sumber kehidupan
suku. bagi pemilik tanah Papua, khususnya Raja Ampat.
Hal itu sudah diawali ratusan tahun lalu, zaman nenek moyang Namun benarkah begitu?
mereka. Raja Ampat adalah melting point bagi banyak bangsa. Di mana ada sumber alam untuk kehidupan rakyat, di situlah
“Negeri ini dari dulu sudah menjadi tujuan banyak bangsa dan jus­tru timbul ketimpangan dan ketidaksejahteraan. Polemik penge­
sebenarnya sudah bisa menata kehidupannya sendiri,” katanya. lolaan tempat wisata oleh pemerintah daerah menjadi sumber
Sebuah pengalaman yang dialami Bapak Raja soal sewa lahan ketimpangan itu. Ini pula yang terjadi di Raja Ampat.
adalah saat lahan milik leluhurnya di Pulau Jefman (“Jef” berarti Pada era kepemimpinan Marcus Wanma dan Inda Arfan
pulau dan “man” itu laki-laki) hendak disewa seorang investor dari (“Marinda”) di Kabupaten Raja Ampat (2010-2015), terdapat badan
Australia pada akhir 2017. usaha milik daerah (BUMD) untuk pengelolaan tambang, khususnya
Waktu itu, kata Bapak Raja, sang bule datang dengan membawa gas. Wilayah pengelolaannya adalah kawasan Pulau Dua.
uang untuk menyewa lahan leluhurnya seluas 2.000 meter persegi. Pada era pemerintahan selan­
Sang investor berkata bahwa ia berencana membuat homestay dan jutnya, yang dipimpin pasangan
industri speedboat. Di mana ada “Firman” (Abdul Faris Umlati
Namun, lagi-lagi soal kelayakan, dia minta bisa menyewa sumber alam dan Manuel Urbinas), BUMD
lahan seluas itu hanya dengan harga Rp 10 juta dan dia akan untuk kehidupan itu dibiarkan begitu saja. Tidak
mengontraknya selama lima tahun. Artinya, Bapak Raja harus rakyat, di situlah dibekukan, tapi juga tidak dihapus.
melepaskan pengelolaan selama lima tahun hanya untuk uang Rp jus­tru timbul Mereka malah menambah BUMD
50 juta. Sang investor berdalih harga yang sama dia dapatkan di Bali. ketimpangan dan lagi, yaitu BUMD pariwisata.
“Saya pikir bukan soal uang, tapi bagaimana penghargaannya
ketidaksejahteraan. BUMD pariwisata buatan peme­
terhadap tanah leluhur saya. Belum lagi berhitung soal area pesisir rintahan “Firman” itu digerakkan
yang akan dikuasai juga,” kata Bapak Raja. enam perusahaan yang ada di dalamnya. Keenamnya adalah
Akhir kata, transaksi itu digagalkan Bapak Raja. “Sebenarnya perusahaan yang bekerja untuk pariwisata. Anggaran yang
saya butuh,” ujarnya. dialokasikan tidak tanggung-tanggung, yaitu sekitar Rp 15 miliar.
Dana itu digunakan BUMD pariwisata untuk pengelolaan kawasan
Namun dia merasa tidak layak melepaskan lahan leluhur dengan
wisata Raja Ampat.
penghargaan yang begitu rendah. Sekali lagi ia tegaskan, warga
Papua tidak mata duitan. “Ini soal asas kelayakan,” katanya. Namun tidak ada informasi atau laporan kerja dari BUMD
pariwisata yang dapat diakses publik. Belum ada pula bukti nyata
“Hal itu bisa terjadi kepada saya sebagai raja di Raja Ampat,
pembangunan infrastruktur dari hasil kerjanya dalam pengelolaan
lantas apa yang bisa terjadi dengan masyarakat di bawah asuhan
wisata bersama masyarakat.
saya?” ia bertanya dalam marahnya.
Tidak mengherankan jika masyarakat kemudian memperta­
nyakan hal itu. Dugaan penyalahgunaan dana BUMD pariwisata
nnn
muncul karena adanya resor yang diduga milik Bupati Raja Ampat

22 — Potret Hutan Papua 23


Piaynemo yang terdiri
dari gugusan pulau
karang menjadi salah
satu destinasi wisata
favorit di Kepulauan
Raja Ampat.
FOTO: ZURAIDAH SAID

24 — Potret Hutan Papua 25


Abdul Faris Umlati, yakni AFU, dan hotel kontainer di dekat “PIN yang untuk pariwisata ini alur kerjanya ke mana? Dan
pelabuhan Waisai. pendapatannya ini diperuntukkan untuk siapa dan kelanjutannya
Padahal, jika BUMD pariwisata bekerja dengan baik sesuai seperti apa?” ujar salah satu anggota DPRD Kabupaten Raja Ampat
dengan tujuan pembentukannya, di kawasan wisata Raja Ampat yang tak ingin disebutkan namanya.
banyak terdapat spot yang dapat dibangun pemerintah untuk “Saya tidak mau tuduh-tuduh terlalu banyak lagi, tapi yang jelas
masyarakat lokal setempat. saya punya kesimpulan kecil bahwa PIN itu hasilnya dorang baku
Hal itu seperti yang diungkapkan Roi Arfan, anggota Dewan bagikan,” katanya.
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Raja Ampat. Antara tarif di lapangan dan tarif PIN yang ditentukan dalam
“Sementara kinerja Dinas Pariwisata sendiri kacau, bantuan Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 18 Tahun
untuk spot-spot masyarakat yang bisa kita lihat di APBD itu apa? Pemerintah 2014 berbeda. Berdasarkan Perbup 18/2014,
Bentuknya seperti apa? Dan siapa sasaran penerima bantuan itu?” daerah besaran tarif PIN bagi wisatawan dan peneliti
ujar Roi Arfan saat dimintai keterangan di kediamannya. pernah lokal Rp 425 ribu per tahun, sedangkan
Pemerintah daerah pernah memberikan bantuan untuk memberikan wisatawan dan peneliti internasional Rp 700
masyarakat di sekitar kawasan wisata, tepatnya di wilayah Mana bantuan ribu. Namun, dari berbagai sumber yang
Nie. Bantuan itu berupa kasur, kipas angin, penyejuk udara (AC), untuk diperoleh, tarif untuk lokal sebesar Rp 500
dan tangki air. masyarakat ribu dan internasional Rp 1 juta.
Namun bantuan itu langsung diberikan begitu saja, tanpa proses di sekitar Berdasarkan Perbup 18/2014, tujuan
duduk bersama dengan masyarakat untuk mengetahui bantuan kawasan penetapan tarif PIN adalah agar Badan
seperti apa yang sesungguhnya diperlukan dan diharapkan wisata Layanan Umum Daerah (BLUD) Kawasan
masyarakat. berupa Konservasi Perairan (KKP) Raja Ampat
Mungkin benar, apa yang telah diberikan pemerintah daerah
kasur, kipas mendapat dana yang dipergunakan untuk
adalah kebutuhan yang diperlukan masyarakat untuk mendukung
angin, pemeliharaan jasa lingkungan, perawatan
roda ekonomi wisata. Namun tentu terdapat skala prioritas
penyejuk aset pengelolaan jejaring kawasan konservasi
kebutuhan yang diperlukan.
udara (AC), laut di Raja Ampat, serta pengembangan
dan tangki pelayanan BLUD KKP Raja Ampat. Juga
Dalam pengelolaan pembangunan ekonomi masyarakat berbasis air. untuk dana kesejahteraan masyarakat, yang
pariwisata ini, harus ada perencanaan panjang yang matang dari
jumlahnya bisa berubah sesuai dengan
pemerintah daerah Raja Ampat tanpa melupakan keterlibatan
tinjauan keperluannya.
masyarakat setempat.
Menurut data wisatawan pada 2016 saja, terdapat 14.215
Sepanjang BUMD pariwisata dibentuk, belum terlihat pengelolaan
wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Raja Ampat,
sesungguhnya yang berdampak langsung terhadap masyarakat. Begitu
sementara wisatawan domestik mencapai 3.457 orang.
pula dengan Dinas Pariwisata. Tidak terlihat kebijakan atau program
Jika dikalikan dengan kewajiban membayar PIN (wisatawan asing
yang melibatkan dan memberikan dampak kepada masyarakat.
Rp 1 juta dan domestik Rp 500 ribu per orang), pendapatan dari
Pemerintah kabupaten mengeluarkan kebijakan untuk biaya masuk ke
penjualan PIN pada 2016 mencapai Rp 17,672 miliar. Sedangkan
kawasan Raja Ampat dengan kewajiban membeli “PIN Raja Ampat”.

26 — Potret Hutan Papua 27


PAD dari pariwisata Kabupaten Raja Ampat hanya mencapai Rp Bagi masyarakat sekitar, sangat berat membangun sendiri tanpa
15 miliar. bantuan pemerintah daerah setempat. Padahal ketersediaan
Ada selisih pendapatan yang cukup banyak dari PIN. Terutama dana di Dinas Pariwisata cukup besar, yang dapat digunakan buat
selisih angka yang ditentukan Perbup 18/2014. pembangunan atau penyediaan sarana wisata untuk spot-spot yang
diberikan kepada mereka.

nnn Yang menjadi persoalan lain adalah tidak adanya ruang bagi
masyarakat lokal untuk dapat mengakses sumber daya dari
pemerintah daerah, khususnya Dinas Pariwisata. Hanya segelintir
TIDAK jauh dari Pelabuhan Raja Ampat, berdiri hotel kontainer orang tertentu yang bisa memperolehnya.
yang megah. Hotel itu dilengkapi dengan segala jenis fasilitas
Kini Bapak Raja sudah tiada. Raja Abdullah Arfan wafat pada 29
mewah. Juga sarana yang cukup memadai, seperti kapal laut yang
April 2018. Kegundahannya soal Raja Ampat, tanah kelahiran yang
selalu tersedia dan jembatan yang menghubungkan hotel dengan
amat dia cintai, masih belum terjawab.
pelabuhan. Kapal turis yang ramai selalu mewarnai lingkungan
tersebut, dari hotel hingga jembatan. Nasib masyarakat Raja Ampat masih saja dirundung malang
akibat ekspansi pariwisata yang tak terkontrol dan tak berwawasan
Masyarakat Raja Ampat sering bertanya-tanya: sebenarnya
adat lokal. Masih terngiang keluhannya dalam nada yang sangat
pembangunan semua itu oleh siapa dan untuk siapa? Apakah ada
pelan. “Kami memang cuma jadi penonton,” katanya. Pelan sekali.
warga lokal yang tinggal dan menginap serta menikmati fasilitas
dan pelayanan di hotel? Atau adakah warga setempat yang turut
menjadi tenaga kerja di dalamnya?
Ada spot-spot untuk masyarakat lokal supaya mereka bisa
mandiri. Masyarakat diharapkan juga mampu mengelola spot dan
pulau-pulau dengan baik. Tujuannya supaya masyarakat lokal
tidak bergantung pada bantuan pemerintah kabupaten. Ketika
dihitung dengan kalkulasi kecil, ada 20 spot masyarakat yang perlu
bantuan.
Namun, ketika ditelusuri di Dinas Pariwisata Raja Ampat,
bantuan yang diberikan kepada penduduk lokal untuk mengelola
pariwisata lokal, terkait dengan pemberdayaan ekonomi
pariwisata masyarakat lokal, tidak sebanding dengan apa yang
harus diberikan sebagai bantuan kepada masyarakat lokal.
Ketika ada penduduk yang punya keinginan membuat homestay,
mereka harus memanfaatkan hasil hutan, bambu, tali rotan, dan
kayu-kayu di sekitar lingkungannya, yang mungkin tidak akan
bertahan lama. Mereka harus membiayainya sendiri.

28 — Potret Hutan Papua 29


FAKFAK
l Fakfak

Pulau
Antalisa

Sebelum Pulau Tarak


Oktober 2016
700
Harga pala
per 1.000 biji
(Rp ribu)

350 350
300
250
200

2016 2017
O ber
er

r
er

be

be
ob
ob

em

em

em

30 — Potret Hutan Papua 31


kt
kt

ov
pt

es
O

Se

D
N
Cerita dari
Hutan Pala Fakfak
Hiryet Haraharat Hegemur dan Kennial Laia

Pala yang tumbuh di tanah ulayat adalah sumber kehidupan


masyarakat Fakfak. Tapi hal itu terancam oleh program alih lahan,
yakni menggantikan pala dengan tanaman kelapa sawit, jagung,
dan usaha peternakan.

DENGAN penuh takzim, Umar Bauw menghampiri pohon pala di


depannya. Langkahnya tidak terburu-buru, tapi juga tak berlambat-
lambat. Sepasang mata yang biasanya redup seperti bulan itu kali
ini berbinar-binar seperti matahari pagi.
Ia lalu menyentuh pohon pala itu. Oh, bukan, ia membelainya.
“Sayang,” demikian ia menyapa tanaman itu.
Memang, bagi Umar, warga Kampung Tarak, Kabupaten Fakfak,
pohon pala bukan sekadar pohon rempah-rempah, tapi sudah
seperti kekasih.
Hari itu, pertengahan Maret 2018, Umar mengajak kami
menyeberang dari daratan utama, naik longboat-nya, mengunjungi
hutan pala di tanah ulayat miliknya dan masyarakat Kampung
Tarak yang berada di Pulau Tarak. Hutan pala itu berada di Distrik
Karas, masih di Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat, sekitar
30 menit dari Pulau Antalisa.
“Pohon pala adalah sumber kehidupan kami. Dia yang memberi
kami makan dan tempat berteduh,” kata Umar ketika berpindah
ke pohon pala lain. Nada suaranya tetap terdengar takzim.

32 — Potret Hutan Papua 33


Kakinya gesit mendaki jalan setapak yang naik-turun. Padahal konsesi di tanah ulayat kami, tapi kami tidak diberi tahu?” Umar
ia tak mengenakan alas kaki. Umar mengaku memang lebih suka menggeleng-gelengkan kepala. Wajar jika Umar dirundung cemas.
membiarkan kakinya telanjang agar bisa bersentuhan langsung Bahkan, sebelum PT PAG memperoleh perpanjangan izinnya
dengan bumi.  (15/1/IUPHHK-HA/PMDN/2016 tertanggal 19 September 2016),
Jejak lumpur sudah mencapai betisnya, tapi ia masih ingin izin baru untuk perusahaan lain telah menyelonong. Tiga anak
“menyapa” beberapa pohon lagi. “Waktu panen su dekat, penting perusahaan raksasa kertas dan pulp, Grup Raja Garuda Mas/APRIL
bagi saya untuk menemui mereka,” ujarnya. dari Riau, mengantongi izin konsesi seluas 351.504,33 hektare,
Musim panen pala pertama di Kabupaten Fakfak akan ber­lang­ yang membentang dari Distrik Bomberay hingga Distrik Karas.
sung selama Juni-Juli. Umar sangat menantikannya. Halaman- Ketiganya, PT Kesatuan Mas Abadi (KMA), PT Kreasi Permata Hijau
halaman depan rumah penduduk di kampungnya akan semarak (KPH), dan PT Fakfak Anugrah Abadi (FAA), adalah perusahaan
oleh proses pengolahan buah: memisahkan biji dari daging hutan tanaman industri (HTI). Lucunya, lokasi konsesi yang
buahnya yang tebal, memisahkan biji pala dari fuli (kulit yang diberikan bagi tiga anak perusahaan APRIL tersebut sama dengan
membungkus biji), sampai proses pengeringan. Aroma pala akan wilayah konsesi PT PAG.
memeluk seantero kampung. Hidup terasa lebih menggairahkan.  Soal PAG, Umar berkomentar, memang ada sosialisasi dari
Bupati Fakfak kepada Dewan Adat Mbaham-Matta serta komunitas
nnn masyarakat adat Karas pada 2017. Isi pertemuannya, PT PAG
kembali melakukan operasi logging selama lima tahun hingga
2021. Setelah itu, hutan Distrik Karas akan jatuh ke tangan APRIL.
NAMUN sebenarnya pada musim panen 2018 itu Umar lebih
Meski begitu, pihaknya dan masyarakat Kampung Tarak tidak
banyak khawatir. “Saya diliputi banyak pertanyaan. Sebab, ada
mengetahui pertemuan itu.
kejadian aneh yang menimpa tanah ulayat dan hutan pala kami.
Saya merasa resah sekali,” katanya. “Saya tidak paham. Kok, bisa informasinya, termasuk oleh
bapak kampung sendiri, tidak diketahui,” tutur Umar. “Tanah hak
Keanehan yang dimaksud adalah kembalinya PT Prabu Alaska
ulayat itu masih di sini, tapi kenapa yang menikmati orang lain?
Group (PAG), perusahaan hak pengusahaan hutan (HPH) yang
Orang-orang tertentu mengaku itu hak adatnya,” kata dia.
merupakan salah satu pemilik konsesi terbesar di Kabupaten
Fakfak, seluas 319.600 hektare. Sebelumnya, medio 2007, izin PT
PAG dibekukan oleh Kementerian Kehutanan. PT PAG kemudian
menggugat keputusan tersebut hingga tingkat kasasi. “Orang-orang berlomba masuk
Mirisnya, gugatan tersebut dikabulkan Mahkamah Agung. ke Fakfak untuk menghabisi
Perintahnya adalah pembatalan surat keputusan (SK) Menteri hutannya, dan bukan tidak
Kehutanan. Jadi PT PAG pun kembali melenggang ke jantung hutan mungkin akan berdampak
Distrik Karas. Sungguh nahas bagi warga di sana. Sebab, konsesi pada hutan atau kebun pala
PT PAG juga mencakup tanah ulayat masyarakat Kampung Tarak milik masyarakat.”
serta dua pulau tetangganya.
“Saya tidak habis pikir, bagaimana bisa perusahaan itu punya —Ketua Gerakan Masyarakat Papua Lestari (Gemapala)
N. Djemris Imunuplatia

34 — Potret Hutan Papua 35


Kanopi hutan pala di
Pulau Tarak, Kabupaten
Fakfak.
FOTO: ZURAIDAH SAID

36 — Potret Hutan Papua 37


Tidak hanya di hutan pala milik masyarakat, izin anak perusahaan Sore itu laut bergolak, disertai hujan. Pemandangan tampak
tersebut bahkan masuk ke hutan primer. Ketua Gerakan Masyarakat kelabu. Daratan utama, yang bisa digapai dengan longboat dalam
Papua Lestari (Gemapala) N. Djemris Imunuplatia mengatakan PT 15 menit, tampak seperti pulau misterius tak bernama. Tak jauh
FAA berada di dalam hutan primer, persis di hulu daerah aliran dari tempat kami berdiri, beberapa bapak mendorong perahu
sungai (DAS) tiga sungai besar, yakni Sungai Bomberay dan Sungai ke bibir pantai disemangati sekumpulan anak kecil. Mama Idea
Bodidi di Kabupaten Fakfak serta Sungai Gusawi, yang muaranya menggeleng-gelengkan kepala.
sampai ke Kabupaten Kaimana. “Saya ini orang Papua, tapi takut gelombang. Apalagi kalau lihat
“Saat izin HPH PT FAA selesai, saat kayu alamnya ditebang habis, begini, aduh,” Mama Idea mengomentari cuaca sore itu.
akan dikonversi menjadi HTI, sama seperti dua anak perusahaan Padahal Mama Idea, yang pada Maret 2018 itu berusia 50 tahun,
lainnya,” kata Djemris. “Orang-orang berlomba masuk ke Fakfak sudah sering berhadapan dengan gelombang tinggi saat naik longboat.
untuk menghabisi hutannya, dan bukan tidak mungkin akan Sebagai kepala kampung, bisa dibilang ia bertemu dengan gelombang
berdampak pada hutan atau kebun pala milik masyarakat.” tinggi jauh lebih sering ketimbang warga Antalisa lainnya, karena ia
Memikirkan kemungkinan itu semua, bagaimana mungkin harus sering menyeberang ke kota untuk menangani urusan warga.
Umar bisa enak makan dan tidur? Jika ia membayangkan satu Urusan lainnya apa lagi kalau bukan menjual biji pala.
pohon pala saja yang ditebang, lututnya langsung lemas. Apalagi Memasuki musim barat (Maret-Juni), Mama Idea berdoa supaya
jika perusahaan besar tersebut menebang semua pohon pala di gelombang tidak terlalu besar. Kalau gelombang membesar, tentu
seantero wilayah. Apa jadinya “Kota Pala” tanpa pala? Umar tidak hasil panen palanya hanya teronggok di sudut dapur. “Kalau tidak
berani membayangkannya. laku, bisa rugi. Tidak ada uang untuk ditabung. Pala harus dijual
Mari bergeser sedikit ke Pulau Antalisa, sekitar delapan kilometer ke Fakfak (kota),” kata Mama Idea.
dari Pulau Tarak, tempat kampung Umar berada. Warga Antalisa
juga memiliki hak ulayat di daratan utama di Distrik Karas. nnn
Di sini ada juga yang tengah cemas, meski sebabnya berbeda,
yakni Mama Idea. Seperti warga di Kampung Tarak, ia dan warga KOTA Fakfak berjarak sekitar 70 kilometer dari Pulau Antalisa.
Antalisa lainnya sedang menunggu-nunggu musim panen pala. Inilah “Kota Pala”. Julukan itu bukan tanpa alasan. Sekitar 17.792
Namun cuaca akhir-akhir ini sedang tidak menentu. hektare kabupaten ini ditumbuhi pala.
Warga Antalisa, yang berukuran lebih luas daripada Pulau Kabupaten Fakfak memiliki luas 14.320 kilometer persegi dan
Tarak, memiliki hutan pala yang luas di dalam pulau. Mama Idea terbagi atas 17 distrik (Badan Pusat Statistik Kabupaten Fakfak,
menunjukkan hal itu saat kami berkunjung ke rumahnya. Dia 2021). Dari seluruh wilayah, Distrik Fakfak, yang juga menjadi
mengajak kami ke halaman belakang, lalu tangannya menunjuk pusat ekonomi dan pemerintahan, merupakan wilayah terkecil,
bukit yang lebat oleh vegetasi hutan. sekitar 233 kilometer persegi. Sedangkan Distrik Fakfak Tengah
“Ke atas saja su tinggi. Dilihat dari sini, belum dapat palanya, menempati wilayah paling besar, dengan luas 2.491 kilometer
harus ke dalam lagi,” ujarnya. Kebun Mama Idea berada di balik persegi atau 17,4 persen wilayah Kabupaten Fakfak.
bukit. Perlu dua jam jalan kaki untuk sampai ke sana, sekali naik Suku Mbaham-Matta adalah suku besar yang menempati Kabupaten
dan sekali turun bukit. Fakfak secara turun-temurun. Selain penduduk asli Fakfak, ada pula

38 — Potret Hutan Papua 39


para pendatang. Sebagian besar kampung di Kabupaten Fakfak Gambar 1. Klasifikasi Taksonomi Tanaman Pala
berada di pesisir, sebanyak 53,6 persen. Sisanya, 26,4 persen berada
Genus: Myristica
di lereng atau punggung bukit dan 20 persen di lembah DAS dan
daratan (Badan Pusat Statistik Kabupaten Fakfak, 2018). Famili: Myristicaceae
Ordo: Magnoliales
Mata pencarian masyarakat Fakfak beragam. Ada pedagang,
petani, nelayan, serta pegawai negeri sipil. Tapi umumnya Subkelas: Magnolidae
Kelas: Magnoliopsida
penduduk asli Fakfak bertani pala. Hampir 90 persen penduduk
asli, sekitar 5.000 orang atau 2.300 keluarga, bertani pala di Divisi: agnoliophyta
Superdivisi: Spermatophyta
seluruh kabupaten tersebut.
Sub-kingdom:
Pala Fakfak—sebelumnya disebut pala Papua—merupakan pala Tracheobionta
lokal yang tumbuh secara alami di Fakfak dan didominasi spesies Kingdom: Plantae
Myristica argentea Warb. Spesies yang juga disebut pala negeri
atau henggi tomandin ini mendominasi ekosistem hutan pala, dari
Distrik Fakfak Kota hingga Teluk Patipi—membentang sepanjang
30 kilometer. Selain itu, ada pala hutan (M. papuana) dan pala Grafik 1. Luas Area dan Produksi Pala di Kabupaten Fakfak
Banda (M. fragrans) serta pala peranakan yang merupakan hasil
persilangan antara M. argentea dan M. fragrans. Tomage
Kayauni
Kabupaten Fakfak bukan satu-satunya daerah yang menghasilkan
Furwagi
pala. Tanaman ini tumbuh di beberapa tempat lain di Indonesia,
Mbahamdandara
termasuk di Pulau Banda, Maluku, tempat yang diperkirakan
Arguni
sebagai kampung halaman tanaman pala. Pala asal Banda disebut Bomberay
pala Banda (Myristica fragrans). Kramongmongga
Secara umum, pohon pala dapat tumbuh hingga ketinggian Teluk Patipi
10-20 meter. Buahnya bulat dengan daging tebal dan biji lonjong. Kokas
Bagian terpenting dari buah pala adalah biji dan fuli (mace) yang Wartutin
membungkus biji. Bila pala sudah matang, kulitnya berwarna Fakfak Barat
merah dan fulinya merah gelap. Pariwari
Fakfak Tengah
Dibanding pala Banda, buah pala Fakfak berukuran lebih besar
Fakfak
dan lonjong. Sedangkan bijinya bisa bulat atau lonjong dan fulinya
Fakfak Timur Tengah
tebal. Bagian yang paling banyak pada pala Fakfak adalah daging
Karas
buah, yang mencapai 90 persen.
Fakfak Timur
Dengan luas 17.792 hektare, total produksi pala di Kabupaten
0 500 1.000 1.500 2.000 2.500
Fakfak mencapai 1.462 ton pada 2019. Menurut data Badan Pusat
Statistik pada 2020, pala Fakfak menyumbang empat persen n Ton n Hektare

terhadap produksi nasional.  SUMBER: KABUPATEN FAKFAK DALAM ANGKA 2021, BADAN PUSAT STATISTIK

40 — Potret Hutan Papua 41


Di Kabupaten Fakfak, pala bisa ditemukan di halaman belakang tempat mengumpulkan rempah-rempah (pala) dan kayu masoi
rumah penduduk. Misalnya di rumah Sebes Hindom, petani pala (Cryptocarya sassoia). Catatan ini menunjukkan bahwa pala telah
berusia 55 tahun. Sebes mengatakan, untuk mengetahui apakah menjadi komoditas penting yang menggerakkan perdagangan dan
palanya siap dipanen, ia cukup melongok ke kebun di belakang ekonomi di Fakfak sejak dulu kala.
rumah. Di sana, dia akan menghitung jumlah buah pala yang sudah Riwayat itu dibenarkan Ketua Dewan Adat Suku Mbaham-Matta
jatuh. Jika angkanya mencapai 100 butir, palanya siap dipanen. Sirzet Gwasgwas. “Pala adalah awal mula perkenalan orang Fakfak
Berapa luas kebun pala Sebes? Bayangkan ini: pohon pala dengan dunia luar. Dari pala kami tahu agama, ekonomi, hingga
terjauh miliknya berjarak dua jam jalan kaki. cara berpakaian.”
Rumah Sebes terletak di Desa Danaweria, salah satu dusun Karena itu, menurut Sirzet, orang Fakfak dapat menangis bila
pala di Distrik Fakfak Tengah. Rumah itu memanjang ke belakang satu pohon pala saja ditebang. “Dalam contoh ekstrem, orang bisa
mengikuti kontur tanah. Bangunan permanen itu terasa lega. berkelahi bila pohon palanya ditebang sembarangan,” ujarnya.
Dengan senyum lebar, Sebes bercerita bahwa rumah tersebut Untuk menebang pohon pala, kata dia, seseorang harus
dibangun murni dari penghasilannya sebagai petani pala. “Dulu memiliki alasan yang jelas. “Dan menebangnya harus didahului
membangunnya mencicil, tidak apa-apa, yang penting sekarang dengan doa-doa dan/atau upacara meminta izin kepada leluhur.”
sudah punya rumah,” katanya.
Upacara penebangan pala itu dimulai dengan melilitkan kain
Sebes salah satu petani pala yang menggantungkan putih atau bermotif setinggi dada pada batang pohon yang akan
penghidupannya pada tanaman rempah itu. Kebun pala milik ditebang. Pemilik pala lalu menyajikan sesajen berupa pinang
keluarganya adalah warisan dari generasi ke generasi. Kalau atau aneka makanan di kaki pohon. Kemudian pohon pala itu
memakai istilah Sebes, “Sejak zaman nenek moyang.” “dimandikan” dengan air putih sambil diajak bicara.
Nenek moyang penduduk asli di Kabupaten Fakfak berkenalan Kira-kira inilah yang disampaikan, seperti dikutip dari salah
dengan pala untuk pertama kali pada 1200-an, ketika wilayah ini seorang petani pala: “Maaf, bukan kami melupakan. Jangan
berada di bawah kekuasaan Kesultanan Tidore. Menurut cerita, berkecil hati. Walau kami tebang, kami selalu ingat. Mohon jangan
tanaman rempah tersebut dibawa pendatang dari Tidore. Tanaman membikin bencana kepada kami.”
rempah itu kemudian menyebar hingga Kabupaten Kaimana dan
Sirzet tak menepis bahwa komoditas pertanian lain mungkin
daerah lain, termasuk Kabupaten Teluk Bintuni (Musaad dkk., 2017).
bisa lebih berhasil di Fakfak. “Tapi, untuk yang disebut pala Fakfak
Pada masa kejayaan Kesultanan Tidore itulah Papua menjadi ini, orang tidak bisa tinggalkan dia. Orang tidak akan buang dia
salah satu sumber pemasok komoditas pala. Papua juga dikenal
sebagai pemasok burung indah dan emas.
Pelabuhan Fakfak—kala itu bernama Jazirah Onim—dan Sran “Maaf, bukan kami melupakan. Jangan
(Kaimana) memiliki peran cukup besar dalam perdagangan berkecil hati. Walau kami tebang, kami
komoditas pala. Banda bergantung pada rute utama pala yang selalu ingat. Mohon jangan membikin
bergerak dari Papua menuju jaringan niaga dunia (Ellen, 2003: 64). bencana kepada kami.”
Sementara itu, bagi pelaut dan pedagang Arab, yang menyebut
—Ketua Gerakan Masyarakat Papua Lestari (Gemapala)
Fakfak sebagai Wakwak, semenanjung tersebut merupakan N. Djemris Imunuplatia

42 — Potret Hutan Papua 43


karena itu hasil pertama negeri kami,” ujarnya. “Jasa pala sungguh Produktivitasnya, misalnya, masih rendah. Hal ini kontras dengan
besar.” status Indonesia sebagai penghasil pala terbesar di dunia. Menurut
Bagi Umar, jasa pala itu teramat jelas. Ia mengaku membangun laporan International Federation of Essential Oils and Aroma
rumah dan membeli longboat dari hasil kebun—meskipun, seperti Trades (IFEAT) pada 2021, rata-rata produktivitas pala Indonesia
Sebes Hindom, dia membelinya dengan mencicil. “Dalam setahun, hanya berkisar di angka 200 kilogram per hektare, jauh di bawah
saya bisa menghasilkan Rp 30 juta,” ujar Umar. India (650 kg/ha) dan Grenada (579 kg/ha).
Lain lagi jasa pala bagi Mama Idea. Tidak pernah mengecap Marlinda (2008) menyatakan bahwa pengelolaan pala di
bangku sekolah, dengan berseloroh dia mengatakan tidak bisa Indonesia masih tradisional dan pengetahuan akan budi dayanya
menulis huruf “a kecil” dan “a besar”. Namun, berkat pala, ia masih rendah. Pengelolaan pala di Fakfak bukan kekecualian
bisa menyekolahkan semua anaknya dan telah memiliki tabungan karena seluruh hutan pala dikelola rakyat.
pendidikan tinggi buat mereka. “Ini (pala) buat tabungan hidup,
untuk anak sekolah, untuk anak kuliah,” kata Mama Idea. Tabel 1. Rerata Luas Kebun Pala dan Produksi Petani
“Di pulau ini banyak sarjana. Mereka ke Jawa, Makassar, Jakarta. Pala dari Pohon Produktif di Kabupaten Fakfak
Ada juga dosen di politeknik,” ujar Mama Idea. Dia berharap anak-
URAIAN LUAS (m2) JUMLAH POHON BUAH/BIJI PALA
anaknya bisa mengikuti jejak sarjana-sarjana terdahulu di pulau PRODUKTIF
tersebut. Maksimum 7.500 285 142.500
Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Fakfak Abdul Rahim Minimum 450 16 8.000
Patamasya mengatakan pala berkontribusi besar terhadap
Rata-rata 3.224 78 39.000
keberhasilan putra-putri daerah dalam pendidikan. Dia
mencontohkan Izaac Hindom dan Jacob Pattipi, dua putra daerah
yang berhasil berkat pala. Keduanya mantan Gubernur Irian Jaya Tabel 2. Angka Produksi Pala Tahunan di Kabupaten
(sekarang Papua), masing-masing pada periode 1982-1988 dan Fakfak
1993-1998. “Rata-rata masyarakat asli sini bisa menyekolahkan
NO. TAHUN PRODUKSI (kg) JUMLAH
anak-anak dari pala,” kata Rahim.
PALA KULIT PALA KETOK FULI
Namun menjadi komoditas primadona, tumpuan hidup, dan
simbol Kota Fakfak tak lantas menjadikan pala kalis dari masalah. 1 2010 837.480 101.260 188.175 1.126.915

2 2011 963.353 333.365 270.315 1.567.033

3 2012 808.445 271.065 199.375 1.278.885

“Rata-rata masyarakat asli sini 4 2013 980.969 188.005 250.885 1.419.859

bisa menyekolahkan anak-anak 5 2014 1.103.750 127.995 276.840 1.508.585


dari pala.” Produksi total 4.693.997 1.021.690 1.185.590 6.901.277

Produksi 978.799 204.338 237.118 1.380.255


—Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Fakfak Abdul Rahim rata-rata
Patamasya

44 — Potret Hutan Papua 45


Menurut Rahim, cara tanam tradisional itu berdampak pada “Ini menjadi salah satu alasan masyarakat enggan melakukan
produktivitas pohon pala. Misalnya, saat ini, sebagian besar penjarangan di kebun pala mereka,” ujar Rahim.
petani pala di Fakfak tidak melakukan perawatan rutin terhadap Kepercayaan ini akan menjadi masalah bila ada pohon pala yang
kebunnya. Masyarakat hanya akan pergi ke kebun ketika mendekati sudah tua dan tidak produktif. “Pohon itu akan dibiarkan begitu
musim panen. “Padahal kebun itu harus selalu dibersihkan, dan saja, untuk membusuk secara alami. Padahal bisa diganti dengan
dilakukan penjarangan. Karena hal itu tidak dilakukan, pohon pun yang baru.”
tumbuh berdekatan,” tutur Rahim.
Untuk menyiasati hal ini, pemerintah daerah melakukan
Rahim melanjutkan, jarak ideal antara satu pohon pala dan program rehabilitasi pohon pala melalui jalur adat. “Di satu sisi,
pohon pala lain adalah 7 x 7 atau 9 x 9 meter. Hal ini penting agar masyarakat memang punya kepercayaan atau adat seperti itu.
tajuk pohon tidak bersentuhan, sehingga tidak saling mengganggu Tapi kesejahteraan masyarakat juga penting. Maka kita cari cara
proses tumbuh. Sinar matahari pun dapat masuk dengan jarak untuk rehabilitasi itu,” kata Rahim. Walhasil,
tersebut. “Kalau itu dilakukan, seharusnya produksinya jadi
Masyarakat sebelum rehabilitasi dimulai, perwakilan
bagus,” kata Rahim.
memandang pemerintah daerah, masyarakat, dan tetua
Akibatnya, dari tahun ke tahun, produksi pala Fakfak terhitung pohon pala adat menggelar upacara adat untuk berdoa
stagnan. Bila pun mengalami peningkatan, jumlahnya tidak terlalu sebagai dan meminta izin kepada leluhur.
signifikan. Dengan luas area 17.792 hektare, Kabupaten Fakfak tanaman Kendala lain yang dihadapi komoditas
hanya menghasilkan sekitar 1.462 ton pala per tahun. “Angka sakral, pala Indonesia, termasuk pala Fakfak,
2.000 ton pernah dicapai pada 2017,” ujar Rahim. sebagai adalah kualitas panen yang rendah. Secara
Rata-rata petani pala di Kabupaten Fakfak mengusahakan dua- ibu yang umum, penanganan pascapanen pala
tiga kebun, dengan variasi jumlah pohon, yang bergantung pada memberikan di Indonesia masih tradisional, dengan
luas area yang dapat ditanami. Juga pada ketersediaan bibit. kehidupan, peralatan seadanya, dan tak jarang kurang
Untuk satu hektare kebun pala produktif milik petani, terdapat sehingga higienis. Publikasi Badan Standardisasi
52-92 pohon pala. Jumlah tersebut masih sedikit. Sebab, dengan tabu Nasional (BSN) bertema “Penelitian dan
jarak tanam ideal 7 x 7 meter, paling tidak terdapat 204 tanaman, ditebang. Pengembangan Standardisasi Mendukung
sedangkan bila jarak tanam 9 x 9 meter, terdapat 123 tanaman. Inovasi Produk dalam Meningkatkan Daya
Dalam satu kali panen, produksi pala di satu area kebun dengan Saing Nasional” (2017), menyebutkan mutu
luas 7.500 meter persegi—tertinggi di Kabupaten Fakfak—mencapai biji pala Indonesia rendah karena penyimpanan dan pengemasan
142.500 buah atau sekitar 190.000 buah per hektare. Sedangkan yang kurang baik. Penyimpanan dan pengemasan yang tidak hati-
rata-rata pala yang dapat dihasilkan petani per hektare mencapai hati ini dapat memicu peluang tumbuhnya jamur Aspergillus flavus
120.963 buah. yang mengandung mikrotoksin bernama aflatoxin.
Menurut Rahim, kurang maksimalnya produktivitas pala di Sepanjang 2016 dan 2017, ekspor biji pala dari Indonesia ditolak
Fakfak juga dipenga­ruhi kepercayaan di masyarakat. Di antaranya, negara-negara Uni Eropa karena tercemar aflatoxin dan ochratoxin
masyarakat memandang pohon pala sebagai tanaman sakral, disertai dengan masalah kelengkapan sertifikat kesehatan. Tercatat
sebagai ibu yang memberikan kehidupan, sehingga tabu ditebang. 31 kali penolakan (gagal ekspor) yang mengakibatkan kerugian US$
3,58 juta.

46 — Potret Hutan Papua 47


Merespons berbagai penolakan komoditas pala Indonesia sebelum maupun sesudah panen. Tujuannya supaya biji pala
di pasar internasional, tim dari BSN menganalisis biji pala dari yang dihasilkan memiliki kualitas baik. Salah satu tindakan yang
beberapa kantong penghasil pala, seperti Fakfak, Manado, dan dilakukan adalah penggiatan tradisi leluhur yang disebut kerakera.
Kepulauan Sangihe, pada 2017. Di Fakfak, peneliti mengambil Tradisi asli Fakfak ini merupakan perjanjian kolektif agar sumber
delapan sampel—empat sampel dari petani dan empat sampel dari daya alam, baik sumber daya laut maupun darat, tidak diganggu
pengepul—untuk diuji di laboratorium. Hasilnya, enam sampel atau diambil dalam periode waktu tertentu. Perjanjian ini berlaku
dikategorikan aman. bagi semua orang, termasuk yang tinggal di luar wilayah kerakera.
Sementara itu, dua sampel yang berasal dari pengepul “Tapi tidak semua kampanye ini berhasil. Masih ada masyarakat
mengandung aflatoxin B1 dan total aflatoxin yang melebihi ambang yang kurang memahaminya, sehingga kita terus mendorong
batas aman jika merujuk pada batas maksimum standar Uni Eropa. program ini,” kata Rahim.
Jelas sudah, bukan petani pala yang salah. Penyebabnya ada di Masih ada masalah yang jauh lebih pelik,
pengepul yang menyimpan pala terlalu lama, lebih dari lima bulan, yakni sistem perdagangan yang tidak ramah
melebihi waktu yang disarankan. Kebutuhan petani. Pada masa penjajahan Belanda,
Tantangan lain yang terkait dengan mutu panen pala adalah finansial rantai perdagangan pala hanya melibatkan
banyaknya buah yang dipetik sebelum musim panen. Banyak yang petani, negara, dan pedagang, sedangkan
penyebabnya. Kebutuhan finansial yang mendesak biasanya mendesak setelah Indonesia merdeka, pemainnya
menjadi motivasi petani untuk memetik buah pala sebelum biasanya makin banyak. Saat ini, pelaku perdagangan
waktunya. Biaya sekolah anak, renovasi rumah, naik haji, wisuda, menjadi pala juga melibatkan agen atau pengepul,
dan pernikahan adalah beberapa faktor yang mendorong perilaku motivasi pemberi kredit, dan penyedia benih.
tersebut. “Juga pencurian,” kata Mama Nema Hindom. petani untuk Dalam rantai tersebut, petani merupakan
Soalnya, pencurian pala biasanya dilakukan sebelum buahnya memetik pelaku usaha paling rentan. Sungguhpun
matang sempurna. “Yang ngambil juga tak jarang sanak saudara buah pala hampir 100 persen pala berasal dari
sendiri,” ujarnya. sebelum kontribusi petani, itu tidak lantas membuat
waktunya. posisi mereka kuat dan aman sehingga
Mama Nema Hindom, 54 tahun, adik Sebes Hindom, mengaku
kerap menghadapi pencurian semacam itu. Namun, karena bisa mengambil manfaat sebesar-besarnya.
pelakunya masih satu darah, soal ini tidak pernah dilaporkan, baik Petani justru bisa dirugikan pihak-pihak tertentu.
ke pihak adat maupun pihak berwajib. “Sudah tidak apa-apa. Yang Hal tersebut dapat ditunjukkan dari hasil penelitian tim BSN yang
mengambil juga saudara sendiri, buat apa dilaporkan,” kata Mama menemukan adanya kandungan aflatoxin B1 dan total aflatoxin dalam
Nema dengan nada enteng. jumlah yang tidak wajar pada pala Fakfak. Dampak kesalahan pada
Namun pemerintah daerah tidak menganggap enteng masalah pengepul ini mengular hingga pada reputasi petani dan palanya.
pencurian tersebut. Soalnya, pencurian itu membuat pemilik pala Selain itu, petani pala di Fakfak bergantung pada tengkulak
ikut terdorong segera memetik palanya karena takut keburu dicuri. yang membeli hasil panen mereka. Ini karena petani tak punya
Karena itu, menurut Rahim, pemerintah mendorong masyara­ akses langsung ke pedagang di kabupaten.
kat mulai sungguh-sungguh menjaga kebun palanya, baik Tengkulak atau pengepul kerap datang ke dusun-dusun pala
untuk membeli pala mentah. Pala mentah ini belum melalui proses

48 — Potret Hutan Papua 49


Grafik 2. Tren Penurunan pemisahan biji dari fuli untuk dikeringkan. Akibatnya, harganya
Harga Komoditas Pala di pun lebih murah.
Kabupaten Fakfak 2016-2017 Padahal, pada abad ke-17-18 Masehi, kala pala Papua sedang
jaya-jayanya, harganya konon melebihi emas. Pada zaman kolonial
Sebelum Oktober 2016 Belanda, harga pala juga masih terhitung masuk akal. Namun,
Rp 500.000-700.000 per 1.000 biji beberapa dekade terakhir, harganya cenderung fluktuatif, bahkan
Oktober 2016
menurun.
Rp 350.000 per 1.000 biji Tercatat, sejak 2016, harganya turun drastis dari Rp 700 ribu ke
Oktober 2017
Rp 350 ribu per 1.000 biji. Kondisi ini bertahan sampai Oktober
Rp 300.000 per 1.000 biji 2017. Lalu harganya menyentuh angka Rp 200 ribu pada Desember
2017. Ini harga terendah pada waktu itu.
November 2017
Rp 250.000 per 1.000 biji Kondisi ini dikeluhkan Domianus Tuturop, petani pala dari
Distrik Wartutin. Menurut dia, mekanisme penetapan harga
Desember 2017
Rp 200.000 per 1.000 biji komoditas pala saat ini belum adil dan merugikan petani. Pasalnya,
prosedur serta informasi penentuan harganya tidak jelas.
“Petani tidak pernah terlibat dalam penentuan harga pala di
Fakfak, apalagi mengendalikannya. Kalau menentukan harga
Grafik 3. Sebaran Petani Pala di Kabupaten Fakfak, dagangan, iya, sayur iya, tapi pala tidak, padahal sama-sama hasil
Provinsi Papua Barat keringat masyarakat,” tutur Domianus.
Domianus merasa posisi petani sangatlah lemah karena tidak
Fakfak Barat 210 punya akses ke informasi dan tidak dilibatkan di dalamnya.
Domianus curiga ada permainan mafia sehingga petani
Fakfak Timur 205 dipinggirkan. “Padahal pala ini sudah lama dibutuhkan. Proses
pembelian pala selalu berjalan. Mengapa tidak ada prosedur yang
Fakfak 110
jelas soal harga?” kata Domianus.
Kokas 105 Sekian puluh tahun Domianus berharap ada kejelasan informasi
dan mekanisme penentuan harga pala. Dia masih menyimpan
Karas 45 harapan bahwa harga pala di Fakfak bisa ditentukan bersama-
sama, oleh semua pihak, berdasarkan harga pala dunia.
Fakfak Tengah 190
Domianus mengatakan harga pala harus naik sekitar dua kali lipat.
Kramongmongga 195 Dia mencontohkan, pala mentah yang dilepas seharga Rp 350 ribu per
1.000 biji seharusnya dinaikkan menjadi Rp 600-700 ribu. Sedangkan
Teluk Patipi 240
biji pala kering (super) menjadi Rp 70-100 ribu per kilogram. “Itu baru
betul.”Untuk petani-petani pala yang tinggal di pulau, fluktuasi harga
DATA BADAN PUSAT STATISTIK 2018

50 — Potret Hutan Papua 51


Umar Bauw dan pohon
pala miliknya di Pulau
Tarak, Kabupaten
Fakfak.
FOTO: ZURAIDAH SAID

52 — Potret Hutan Papua 53


ini membuat resah. Di Pulau Antalisa, petani pala kerap kesulitan Daging buah pala juga menjadi rezeki bagi pendatang dari
memperoleh kabar harga termutakhir di pusat perdagangan Kota luar Fakfak. Di gerbang Pelabuhan Fakfak, ada Mama Supardi, 51
Fakfak. Belakangan, telepon seluler agak menolong untuk mengecek tahun, yang setiap sore menggelar dagangannya di sebuah meja
harga, seperti yang dilakukan Mama Idea. kecil. Perempuan asli Buton, Sulawesi Tenggara, itu menjual
Namun tidak semua lokasi di Pulau Antalisa rata sinyal. Di rumah manisan pala yang dibungkus dalam kantong plastik berwarna
Mama Idea, misalnya, sinyal telepon hanya mendingan di teras putih bening.
depan dan samping. Titik lain yang cukup bagus untuk menerima “Saya membeli daging buah pala dari petani, kemudian
sinyal adalah dapur, dekat tempat penyimpanan biji pala. Di luar mengolahnya menjadi manisan seperti ini,” kata Mama Supardi.
tempat-tempat itu, jangan harap bisa menelepon. Tulalit. Dia mengaku pernah mendapat untung bersih Rp 3 juta dalam satu
Mama Idea mengatakan warga kampung tidak merasa tenang bulan. Pendapatan itu digunakan untuk kebutuhan sehari-hari dan
sampai mereka tahu harga terbaru. “Tapi sebenarnya, kalau soal keperluan sekolah anak-anaknya.
harga, kita ikut saja.” Mama Supardi berharap pala tetap ada di Fakfak. Ia mengaku
Rahim mengakui, pengaturan harga pala di Fakfak masih tidak mungkin menjual komoditas lain. Kelapa sawit, misalnya.
dimonopoli pedagang. Celakanya, kondisi ini tidak dapat “Saya tak bisa jual manisan sawit, to?”
diintervensi pemerintah daerah. Pasalnya, pasar utama pala Menurut Rahim, potensi daging buah pala menjadi makanan
Fakfak berada di Surabaya, Jawa Timur. Rahim juga menduga olahan sangat besar. Dinas Perkebunan menghitung per tahun
ada permainan mafia yang mengatur rantai pasok pala dan ada sekitar 240 ribu ton daging buah pala terbuang sia-sia karena
menentukan harga. “Kita pernah mengirim orang ke sana (untuk masyarakat hanya mengambil biji dan fulinya. Padahal daging
menyelidiki), tapi sulit sekali,” kata Rahim. buahnya bisa diolah menjadi 42 jenis makanan. Selain dijadikan sirop
atau manisan, daging buahnya bisa disulap menjadi selai, dodol,
nnn permen, kecap, dan leder—manisan tipis menyerupai roti komuni.
“Ini hasil penelitian di Institut Pertanian Bogor,” kata Rahim.

TINI Hindom, 32 tahun, telah selesai mengepak kardus terakhir.


nnn
Dia meletakkannya di tumpukan paling atas di ruang tamu. Kardus-
kardus itu berisi sirop dan sari buah pala yang dikemas dalam
botol plastik. Warnanya jingga menggoda, menawarkan kesegaran. DERETAN masalah di atas sebenarnya belum seberapa bila
Produk-produk tersebut siap diangkut untuk didistribusikan ke dibandingkan dengan ancaman alih fungsi lahan. “Produktivitas
berbagai toko dan sentra oleh-oleh di kota. bisa ditingkatkan dan cara bertanam tradisional bisa diperbaiki,”
Tini Hindom adalah anggota Koperasi Wapur—diambil dari nama ujar Rahim optimistis. Karena itu, ia menjamin hutan pala akan
burung pemakan buah pala. Bersama dengan sembilan mama lain lestari. Fakfak juga tidak akan mengikuti jejak daerah lain di
yang tinggal di dusun pala Danaweria, sejak akhir 2013, ia meracik Indonesia, yang beramai-ramai mengembangkan kelapa sawit.
daging dan buah pala untuk dibuat menjadi sirop dan sari buah. Menurut Rahim, pendapatan masyarakat dari pala lebih baik
Mereknya Moscada. Dari hasil produksi sirop dan sari buah pala, dibanding kelapa sawit. Seumpama satu hektare kebun pala
setiap anggota koperasi menerima Rp 1 juta per bulan. dikelola dengan baik, dalam satu tahun bisa didapatkan Rp 100

54 — Potret Hutan Papua 55


Djemris menduga ada kebun pala milik masyarakat yang tidak
terhitung dalam luas keseluruhan pala di Kabupaten Fakfak saat
ini, seperti di Distrik Bomberay dan sebagian Distrik Karas. “Kalau
Karas, sebagian masuk survei, tapi saya tidak yakin mereka masuk
ke dusun Pak Umar, karena aksesnya cukup sulit ke sana,” kata
Djemris.
Yang menarik, ada pesanan khusus dari “atas” kepada tim
survei Universitas Papua. Tim tersebut diwanti-wanti agar tidak
memasukkan Distrik Bomberay sebagai bagian dari area survei.
Perintah dari “atas” itu beralasan bahwa di sana tidak ada pala
dan daerah itu sudah masuk FIFA untuk program agricultural city
(agropolitan).
“Sumber saya mengatakan tim diwanti-wanti bahwa yang jadi
target agropolitan dan FIFA tidak boleh (disurvei). Langsung
diklaim bahwa di sini tidak ada pala oleh Bappeda, yakni di Distrik
Biji pala yang telah
Bomberay, Tomage, dan Karas,” ujar Djemris. “Patut diduga, ada
dikuliti bagian fulinya
juta lebih. “Sementara kelapa sawit dan sedang dikeringkan pala yang tidak terhitung karena tidak seluruh wilayah Fakfak
dimiliki perusahaan. Walau dengan dengan cara dijemur. dihitung dalam survei.”
plasma, masyarakat tidak dapat FOTO: ZURAIDAH SAID
Secara spesifik Djemris menyoroti kebijakan KLHK tentang
apa-apa,” katanya.
izin yang dikeluarkan untuk anak perusahaan APRIL di Distrik
Namun pernyataan Rahim Karas. Selain PT FAA yang berlokasi di dalam hutan primer, PT
kontras dengan program dan kebi­jak­an yang diambil pemerintah KPH menyasar calon konsesi—yang saat ini ditempati PT PAA—yang
daerah. Pada 2012, Fakfak Integrated Farming and Agroforestry mencakup tanah hak ulayat milik masyarakat adat di Kampung
(FIFA) dicanangkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tarak dan kampung-kampung sekitarnya.
Fakfak melalui Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2012 periode
Djemris mengatakan, saat ini, konsesi PT KPH seluas 156.786
2011-2031.
hektare sedang “mati suri” alias tertunda proses perizinannya di
Program FIFA—konsepnya sama dengan MIFEE di Merauke— KLHK akibat kembalinya operasi PT PAA. Namun ancaman itu
terdiri atas program pengembangan dan investasi di bidang tetap nyata dan makin dekat, mengingat izin PT PAA akan berakhir
perkebunan (kelapa sawit, jagung, dan peternakan) di Distrik pada 2021. Yang mengerikan, konsesi PT KPH masuk ke tanah hak
Bomberay dan Tomage serta perikanan di Fakfak Timur. Juga ulayat atau hutan pala milik masyarakat adat. Ke depan, bukan
kantong-kantong izin HPH dan HTI baru seperti tiga anak tidak mungkin hutan pala ini dibabat habis dan digantikan bibit-
perusahaan Grup Raja Garuda Mas itu. Sebagian sudah ber-SK dan bibit akasia.
sebagian lagi masih dalam daftar tunggu persetujuan Kementerian
“Perusahaan HTI lebih mengancam hutan pala, karena
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
praktiknya membabat, lalu menggantinya dengan tanaman lain.
Itu sudah pasti,” kata Djemris.

56 — Potret Hutan Papua 57


Soal akasia, Umar memang tidak mengerti seluruhnya, tapi ia
punya pengalaman langsung dengan perkebunan kelapa sawit.
Pada awal 2000-an, Umar bekerja di perkebunan kelapa sawit di
Sumatera dan Kalimantan. Karena itu, ia tahu betul praktik-praktik
nonlestari serta kezaliman perusahaan perkebunan kelapa sawit
dan perusahaan kayu.
Jadi dia tak percaya kedatangan HPH, HTI, atau sawit yang
akan menggantikan palanya bakal meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Baginya sama saja, perusahaan-perusahaan itu hanya
mementingkan keuntungan sendiri. Sisanya hanya omong kosong.
“Janji-janji itu hanya enak di telinga, tapi lapar di perut,” kata Umar.
“Dan tak mungkin saya bilang sayang kepada sawit seperti
kepada pala.”

58 — Potret Hutan Papua 59


86 persen
masyarakat adat
Papua di sekitar hutan
menggantungkan
hidupnya pada manfaat
rimba.

Nabire l

60 — Potret Hutan Papua 61


Ayunan
Tokok Sagu
Terimpit
Kebun Sawit
Titus Paskalis dan Grahat Nagara

Pemodal asing datang ke Nabire berbekal izin dari menghabisi


dusun sagu di sana untuk diganti perkebunan sawit. Bukan sekadar
bahan makanan yang terancam lumat, tapi juga nilai-nilai dan
tradisi.

DANIEL Yarawobi, orang Yerisiam Goa, tak dapat menyem­


bunyikan kesedihannya saat mengingat Ahira—dusun sagu milik
suku yang telah musnah. Sepasang mata kepala suku itu terlihat
berkaca-kaca. Ia terkenang pada gambaran masa kecilnya tentang
dusun yang hijau di sebuah tanah berbukit. Kini dusun itu tak ada
lagi karena telah berubah menjadi perkebunan sawit. Saya ikut
merasakan sesak di dada melihat pria tua itu menahan pilu.
Siang itu, Rabu terakhir pada Mei 2018, kami memandangi
hamparan tanaman kelapa sawit yang dikelola perusahaan
asal Sri Lanka. Dalam formasi berbaris sejajar, ribuan sawit itu
membentang hingga ke lembah dan bukit terjauh. Sepanjang mata
memandang, tidak terlihat sebatang pun pohon sagu, vegetasi
khas Papua yang sejak dulu menghidupi suku Yerisiam Goa.

62 — Potret Hutan Papua 63


Daniel dan masyarakat Yerisiam Goa mendiami Kampung Luasan Tutupan Sawit (dalam hektare)
Sima, Kecamatan Yaur, Kabupaten Nabire, Papua. Perkampungan
ini berhadapan langsung dengan Teluk Cenderawasih, sekitar
empat kilometer di sisi barat laut Ahira. Perlu satu setengah jam
perjalanan bermobil dari pusat Kota Nabire untuk sampai ke sana.
Selain Yerisiam Goa, ada suku yang mendiami wilayah barat
Kabupaten Nabire itu, yakni Wate. Berbeda dengan suku Wate,
banyak warga Yerisiam Goa berdiam di sekitar pesisir barat Nabire,
asal peradaban suku Yerisiam. Papua Papua Barat Nasional
108.232  50.589 16.829.282
Suku Yerisiam dikenal dengan cara hidupnya yang berpindah-
pindah. Sebelum di Kampung Sima, mereka tinggal di Dusun BUKU STATISTIK TUTUPAN LAHAN SAWIT DI INDONESIA (AURIGA, 2018)
Hamuku, yang merupakan kampung tuanya. Di tanah inilah leluhur
mereka dilahirkan. Setelah berpindah-pindah, akhirnya masyarakat
Yerisiam menetap di Kampung Sima hingga kini. Kampung ini
terletak di sekitar Kali Sima dan Air Terjun Wagoha. Sima dalam
bahasa suku Yerisiam berarti “turun dan menjadi satu”. “Konflik Agraria Terkait Perkebunan Sawit”
Bagi Daniel dan sukunya, Ahira bukan dusun sagu biasa. Meski
keluarga besar Yerisiam Goa berpencar ke penjuru Papua, Ahira
tetap dipertahankan sebagai tanah keramat. Ini adalah tempat pria 1983 Kabupaten Keerom 2004 Kabupaten Nabire
Mama dan Susu Su Hilang: Suku Yerisiam Goa
dewasa anggota suku menempuh pendidikan spiritual tentang Perjuangan Masyarakat Adat dengan PT Nabire Baru
Daiget Keerom Melawan PTPN II
alam semesta. Daniel hanya tersenyum ketika ditanyai lebih rinci
perihal apa saja yang diajarkan di tempat itu.
Sekitar dua dekade lalu, awal 2000-an, pemodal asing datang
ke Nabire. Berbekal izin Jakarta, perusahaan dengan pemegang 2014 Kabupaten 2010 2010 Kabupaten
Keerom Kabupaten Merauke
saham asal Sri Lanka itu menghabisi dusun sagu di sejumlah Masyarakat Adat Merauke Sungai Masyarakat
titik Kecamatan Yaur. Selama ini, ada sembilan dusun sagu yang Daiget Melawan Proyek MIFEE Adat Malind Tercemar
PTPN II dan Suku Perusahaan Sawit
diakses masyarakat, yakni Manawari, Waribijaka, Parigi, Yarawobi, Malind
Midi, Hargaje, Hamare, Ahira, dan Amuku. Semua telah dipapas,
kecuali Manawari.
“Dusun sagu kami kini tinggal tersisa satu,” kata Daniel seraya
memalingkan wajahnya. 2017 Kabupaten Nabire 2019 Kabupaten Boven Digoel
Suku Yerisiam Goa dengan Penolakan Masyarakat Hukum Adat
PT Nabire Baru Awyu terhadap Izin dan Keberadaan
7 Perusahaan Perkebunan Kelapa
nnn Sawit

SUMBER: TANAHKITA, 2021

64 — Potret Hutan Papua 65


Menokok sagu
semakin terdesak oleh
perkebunan sawit
perusahaan.
FOTO: GRAHAT NAGARA

66 — Potret Hutan Papua 67


INVESTASI skala besar dan pembangunan wilayah meminta Ekspansi sawit tak terhentikan di Papua, termasuk melalui
ruangnya sendiri secara masif kepada orang Papua. Hal itu sering program pemerintah yang memfasilitasi pembangunan industri
dilakukan dengan paksaan dan ancaman. Sedangkan masyarakat ekstraktif berbasis lahan skala besar, seperti Merauke Integrated
adat di Papua sekuat mungkin mempertahankan hak atas tanahnya Food and Energy Estate (MIFEE). Berdasarkan program itu,
serta aksesnya ke sumber-sumber penghidupan. Perjuangan ini pemerintah menyiapkan 1,6 juta hektare untuk pengembangan
berujung konflik yang dilabeli sebagai gangguan bagi pelaku usaha perkebunan dan tanaman pangan melalui hak guna usaha
dalam koridor aturan dan kebijakan. (HGU). Statistik Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kementerian
Data yang dirilis TanahKita—wahana koalisi masyarakat sipil Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2017) menyebutkan setidaknya
yang mencatat data konflik—mengungkapkan, dari total 481 konflik 6,3 juta hektare wilayah Papua dan Papua Barat telah dibebani izin
agraria (periode 1988-2021) di seluruh negeri, 246 di antaranya usaha pemanfaatan hasil hutan—baik hutan alam maupun hutan
merupakan konflik yang terkait dengan tanaman industri. Sekali lagi, itu belum ditambah luasan tambang.
perkebunan. Portal ini juga merekam “Sebenarnya, kampung ini sudah pernah dipetakan,” ujar Daniel
Dari total
terjadinya sepuluh konflik agraria di Papua memotong lamunan. Terbayang, jika peta itu dihamparkan, bisa
481 konflik
dan Papua Barat pada kurun yang sama. dikatakan hampir tidak ada ruang bagi masyarakat untuk bertahan di
agraria
Tujuh di antaranya adalah konflik antara antara impitan usaha skala besar. Pilihannya, mereka menjadi buruh.
(periode
1988-2021) masyarakat adat dan usaha perkebunan. Wilayah masyarakat adat tidak pernah masuk peta-peta
di seluruh Dalam proses yang terus berjalan lebih pemerintah. Tidak ada usaha untuk mencegah agar izin yang
negeri, 246 dari satu dekade, masyarakat makin diterbitkan tidak bertumpang susun dengan tempat mukim
di antaranya terdesak karena kian besarnya permintaan masyarakat adat dan lahan penghidupannya.  Masyarakat adat
merupakan berbagi ruang oleh investasi. Hingga kini, di seolah-olah tak memiliki perlindungan.
konflik Provinsi Papua dan Papua Barat, setidaknya Memang, sebagai provinsi penyandang otonomi khusus, ada
yang terkait luasan tutupan sawit mencapai 158.821 beberapa regulasi di Papua yang mengatur perlunya pengakuan
dengan hektare. Angka ini memang jauh lebih kecil hak atas tanah bagi masyarakat adat. Advokasi yang dilakukan
perkebunan. dibanding luasan tutupan sawit nasional, masyarakat adat ataupun kelompok masyarakat sipil berhasil
16 juta hektare. Tapi itu baru dari satu jenis mendorong keluarnya berbagai keputusan yang menjadi dasar
investasi. Angka itu belum menghitung pengakuan masyarakat adat. Hingga 2015, setidaknya ada tujuh
luasan total izin lain yang juga sudah mengaveling tanah Papua. produk hukum soal itu.
Sawit di tanah Papua hadir sejak medio 1980, melalui PT Regulasi itu antara lain Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua
Perkebunan Nusantara II di sekitar bentangan Prafi. Dengan luas Nomor 23 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
lahan hingga 12 ribu hektare, PTPN II Kebun Prafi itu dikelola dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat atas Tanah.
pekebun yang hampir setengahnya transmigran. Beberapa tulisan Kemudian ada aturan di tingkat nasional, seperti Undang-Undang
mencatat dampak perkebunan tersebut terhadap kehidupan sosial- Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, yang juga melarang
ekonomi masyarakat Papua, termasuk—yang paling mendasar— penerbitan izin di dalam wilayah-wilayah masyarakat adat.
kondisi lingkungan hidup masyarakat serta terhambatnya akses
Toh, pengakuan hak atas tanah bagi masyarakat Papua belum
mereka ke sumber penghidupan di hutan (Kesaulija dkk., 2014).

68 — Potret Hutan Papua 69


Di kampung tua ini,
selain mengandalkan
berburu dan menokok,
masyarakat Sima adalah
juga nelayan.
FOTO: GRAHAT NAGARA

70 — Potret Hutan Papua 71


Kampung Sima
adalah kampung tua
masyarakat Yerisiam
yang kini masih
ditempati oleh puluhan
keluarga.
FOTO: GRAHAT NAGARA

72 — Potret Hutan Papua 73


banyak terwujud. Jadi aturan memang ada, tapi belum benar- Dalam perjalanan ke Kampung Sima, Daniel Yarawobi
benar menjamin perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat menunjukkan kebun-kebun itu. Ia mengacungkan tangannya ke
Papua (Epistema, 2015). beberapa sudut pembukaan lahan di sekitar Kampung Sima. Jauh
di ujung telunjuknya, terlihat beberapa lahan dibuka dan digarap
nnn masyarakat.  Tapi tampaknya cara itu tidak berhasil. Tanpa
diketahui warga, patok batas kebun sudah berada dekat dari
rumah mereka.
DI salah satu saung belakang rumah warga Kampung Sima,
Daniel mengayun-ayunkan alat tokok sagunya. Dia menunjukkan Ketika melihat kegiatan masyarakat menokok sagu, tidak jauh
bagaimana cara masyarakat mengolah sagu seraya berkisah dari kampung, kami melewati beberapa patok perkebunan itu. Di
tentang banyak hal. Daniel menceritakan patok itu tertera kependekan nama perusahaan yang kabarnya
mulai rasa kue sagu yang khas dan ikan akan menggarap perkebunan sawit di Kampung Sima: PT NB.
Sagu goreng hingga bagaimana sawit merangsek Patok itu ditanam hanya beberapa langkah dari rumah terluar di
memiliki mendekati batas-batas desa. Kampung Sima!
berbagai
manfaat. Cerita panjang berlanjut ditemani
beberapa gelas kopi dan potongan sagu. nnn
Selain
menyimpan Daniel menjelaskan beragam suku yang
kandungan mendiami Kampung Sima, yaitu suku Waoha, ASYIK sekali melihat beberapa warga Yerisiam menokok sagu
nutrisi, sagu Akaba, Sarakwi, dan Koroba. Terselip di di dusun sagu Manawari. Dua orang tampak mengayunkan palu
menjadi antara cerita itu kisah tentang kehidupan yang melengkung ke arah batang sagu di sela-sela kaki. Isi batang
sumber suku besar Yerisiam. Juga berbagai ritual sagu pun tercacah, tertumbuk, dan melembut hingga menyerupai
energi yang yang sudah tidak bisa dilakukan lagi. Sebab, bubur. Ini disebut ela. Sagu yang sudah lembut itu lalu dimasukkan
melancarkan ada bagian-bagian wilayah masyarakat adat ke karung beras, yang sepertinya bekas wadah beras bantuan
pencernaan yang hilang. untuk masyarakat miskin.
makanan. Dari untaian cerita tersebut, satu yang Kemudian dua orang lain memasukkan ela ke wadah yang dialiri
sering disesalkan adalah warga kerap tidak air sungai dan meremas-meremasnya hingga sari patinya tersaring
tahu adanya izin skala besar di tanah Papua. ke bagian bawah di cekungan bambu. Sedangkan airnya bablas ke
Martin, keponakan Daniel, mencontohkan kejadian di dusun sagu tanah bergabung kembali ke bumi. Lalu ampasnya ditaruh pada
Waribijaka. Dia masih ingat, dua atau tiga tahun lalu, tanaman sawit wadah yang terbuat dari batang pohon sagu.
sudah merangsek ke sana. Jajaran sawit kini sudah menggantikan Di wilayah timur Indonesia, seperti di Papua dan Maluku, sagu
sagu, pepohonan lain, buah-buahan hutan, serta hewan buruan. merupakan makanan pokok. Begitu pula di Nabire. Sagu bisa
Warga pun tak tinggal diam. Untuk membatasi tekanan digoreng tanpa minyak hingga kering atau bahkan dibakar. Dengan
perkebunan sawit itu, Daniel meminta masyarakat membuka cara itu, sagu bisa bertahan beberapa bulan. Orang yang pergi jauh
kebun di sekitar Kampung Sima. “Sa suruh masyarakat untuk ke hutan bisa membawanya sebagai bekal.
berkebun di mana saja tanah mereka punya,” ujar Daniel.

74 — Potret Hutan Papua 75


Tanah-tanah adat Papua,
termasuk di Yerisiam
harus berhadapan
dengan aturan
pertanahan nasional, di
dalamnya ada pemilikan
individu dan perizinan
usaha skala besar.
FOTO: ZURAIDAH SAID

76 — Potret Hutan Papua 77


Sagu juga bisa menjadi hidangan harian yang disantap dengan Raut wajah Daniel mengencang ketika ditanyai kemungkinan
papeda atau pepaya. Keduanya sama-sama menimbulkan kesan sagu bakal musnah dari hutan. “Kalau sagu hilang, kami jangan
khas Papua dalam tiap kecapan. Kesan serupa terasa pada sagu jadi orang Yerisiam lagi,” ujarnya serius.
yang diolah menjadi kue kering.  “Kalau dalam bentuk kue, ada Aktivitas mengolah hasil hutan memang salah satu karakteristik
campuran dalam pengolahannya,” ujar Daniel Yarawobi. Kalau masyarakat Indonesia. Pemungutan hasil hutan, penangkapan
dibungkus dengan daun, biasanya dicampur kelapa, ikan pari, satwa liar, penangkaran, dan budi daya tanaman rimba dilakukan
atau daging, lalu dibakar atau diasapi. masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Di Papua, penghidupan
Sagu memiliki berbagai manfaat. Selain menyimpan kandungan rumah tangga masyarakat sekitar hutan didominasi kegiatan
nutrisi, sagu menjadi sumber energi yang melancarkan pencernaan memungut hasil rimba.
makanan. Sagu dipercaya bisa menjaga suhu tubuh. Memang ada Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2014), dari 161.114
sumber pangan lain dari hutan, seperti singkong dan keladi, tapi rumah tangga sekitar hutan di Pulau Papua, 118.963 di antaranya
itu hanya sebagai menu tambahan. memungut hasil hutan. Kemudian 21.206 rumah tangga
Selain itu, sagu menjadi identitas budaya bersama berbagai menggantungkan hidup pada penangkapan satwa liar. Jadi
penanda lain. Sagu didomestikasi masyarakat dengan memilih sebanyak 86 persen masyarakat adat Papua di sekitar hutan
yang tepungnya paling banyak. Dapat dikatakan kisah sagu menggantungkan hidupnya pada manfaat rimba.
dengan masyarakat Papua sudah lama ada. Hingga saat ini, alat- Dapat dimengerti, segala aktivitas menghilangkan hutan akan
alat tradisional masih digunakan untuk menokok sagu. Menurut dianggap menghilangkan sumber pangan masyarakat adat Papua.
satu catatan, bahkan alat itu berasal dari peradaban puluhan ribu Apalagi jika itu terjadi terhadap dusun sagu yang selama ini
tahun (Bourke, 2019). menjadi penghidupan, seperti dialami suku Yerisiam Goa.
Ketika kami kembali ke salah satu saung warga, Daniel
menjelaskan bahwa satu kali menokok sagu bisa untuk makan satu
Aktivitas Rumah Tangga yang Menggantungkan Hidup bulan. Tapi, “Sekarang tidak banyak lagi tempat menokok sagu,
pada Hutan sehingga tidak banyak sagu yang bisa dimakan,” katanya.
Biasanya, setiap dusun sagu dimiliki marga masing-masing.
Pemungutan hasil hutan 118.963
Awalnya, dusun sagu hidup secara alami di antara belantara
hutan di pesisir pantai Sima. Dusun semacam ini dimanfaatkan
Penangkapan satwa liar masyarakat Yerisiam secara berkelanjutan.
21.206
Apabila satu marga ingin mendapatkan sagu dari dusun lain,
mereka harus meminta izin dari marga yang menguasainya. Jadi,
Penangkaran tumbuhan dan
satwa liar 3.058 tidak aneh kalau penolakan terhadap masuknya usaha perkebunan
skala besar itu mereka lakukan—karena usaha perkebunan tersebut
Budi daya tanaman kehutanan
akan menyebabkan hilangnya dusun sagu.
17.887
Dan itu sudah terjadi di Kampung Sima. Dusun sagu, ikan, buah,
ANALISIS RUMAH TANGGA USAHA BIDANG KEHUTANAN DAN RUMAH TANGGA SEKITAR HUTAN dan obat-obatan yang berasal dari hutan sebagian telah berganti
(HARIADI, DKK., 2015)

78 — Potret Hutan Papua 79


Kepala suku Yerisiam,
Daniel, menceritakan
kehidupan masyarakat
pasca sungai yang
mengering dan dusun
sagu yang terdesak.
FOTO: GRAHAT NAGARA

80 — Potret Hutan Papua 81


menjadi tanaman monokultur sawit. Hutan sebagai tempat men­ Untuk mendapatkan pangan, masyarakat Yerisiam sejatinya
dapatkan makanan, baik dari tanaman pangan maupun de­ngan tidak sepenuhnya bergantung pada hutan. Ada juga di antara
berburu, kini terus mengecil. Dengan makin terbatasnya dusun mereka yang menjadi nelayan atau memancing di kali sekitar
sagu, setiap marga di Kampung Sima harus berbagi dusun sagu. kampung. Kehidupan di pesisir dan lokasinya yang diapit sungai
Dari Kampung Sima, kami lalu menuju sebuah lokasi yang dulu membuat masyarakat punya pilihan lain untuk mendapatkan
merupakan dusun sagu. Sinar matahari dan hawa lembap ala hutan sumber pangannya.
tropis merasuk di sela-sela kanopi. Perjalanan darat melintasi Laut di dekat Kampung Sima kaya akan ikan. Pulau-pulau yang
beberapa anak sungai selama 40 menit itu kian memberikan berdekatan dengan pantai pesisir Kampung Sima, antara lain
gambaran manfaat hutan bagi masyarakat. Pulau Pepaya, menjadi tujuan masyarakat Yerisiam memancing.
Beberapa buah yang biasa dikonsumsi orang Yerisiam masih Berbagai jenis ikan ada di sana.
bisa ditemukan. “Itu masih mentah, tapi bisa dimakan,” ujar Daniel Namun Kampung Sima jelas tidak lagi
menjelaskan buah yang terlihat berjatuhan ke tanah berwarna Sungai- sama seperti dulu. Sungai-sungai kecil yang
kuning bulat. sungai tadinya kaya akan ikan perlahan mengering
Di balik hutan yang tersisa sedikit ini, terlihatlah hamparan kecil yang dan hilang. Itu terjadi seiring dengan
perkebunan sawit hingga ke cakrawala. “Dulu, inilah dusun sagu tadinya kaya hilangnya hutan. Sungai sebagai jalur
Waribijaka,” kata Daniel dengan suara bergetar saat kami sampai di akan ikan transportasi pun makin terbatas. Dalam
suatu tempat. Dengan suara lirih, dia menjelaskan hilangnya hutan perlahan perjalanan ke dusun sagu Waribijaka, perahu
belantara dan dusun sagu yang terjadi pada 2011, ketika ekskavator mengering terpaksa ditambatkan agak jauh karena air
mulai masuk. “Saat itu, beberapa orang hendak memancing di dan hilang. sungai telah lama surut. Masyarakat juga
Sungai Wami,” katanya. Lalu dengan cepat hutan terpapas. Tak Itu terjadi mulai kesulitan membuat perahu karena
banyak lagi yang tersisa. seiring kayu makin jarang. Untuk memperolehnya,
Martin ikut mengenang. Lokasi yang dulunya dusun sagu dengan mereka harus berjalan jauh dari kampung.
Waribijaka itu adalah tempat dia bermain semasa kecil. Saat itu, hilangnya “Dulu sa biasa memancing ikan di sana,”
ia ikut orang tuanya. “Biasanya, jarak segini kita su bisa ketemu hutan. kata Daniel menunjuk salah satu sungai yang
binatang yang bisa diburu,” ujarnya lagi. “Babi dan kasuari.” berada di antara dua dusun sagu. Kini sungai
itu dangkal dan berwarna cokelat. Menurut
Noldus Raifora, warga Sima lainnya, mengisahkan dulu mereka
Daniel, sudah ada orang dari balai konservasi memeriksa potensi
memasang jerat tidak jauh dari kampung. Jerat itu lalu ditinggalkan
kerusakan lingkungan di situ. “Tapi tidak tahu apa tindak
semalaman, dan esok paginya ada hewan yang tertangkap. “Sekarang
lanjutnya.”
berbeda, sangat susah dan harus jauh baru dapat,” katanya.
Jika membahas kerusakan hutan sebelum sawit masuk,
Perkebunan sawit terus merangsek, tapi masyarakat Yerisiam
sebenarnya rimba di sekitar Kampung Sima sudah lebih dulu
tidak menyerah pada keadaan. Daniel meminta warga Kampung
dibabat perusahaan kayu. Mereka memburu kayu-kayu keras yang
Sima menanam sagu di setiap pekarangan rumah. Ia berharap
berharga mahal. Sedangkan kayu atau tetumbuhan yang dianggap
setidaknya di masa mendatang anak-anak Sima masih bisa
tidak komersial ditimbun. Padahal beragam jenis tumbuhan
menikmati rasa sagu.

82 — Potret Hutan Papua 83


Dulu berburu binatang
masih memungkinkan,
tetapi dengan semakin
menyempitnya hutan
oleh kebun sawit,
pohon tak lagi mampu
menaungi kehidupan.
FOTO: GRAHAT NAGARA

84 — Potret Hutan Papua 85


tersebut merupakan bahan untuk membuat alat kebutuhan ritual “Memang, ada juga masyarakat yang dulunya mendukung
masyarakat Yerisiam. perusahaan,” ujar Daniel.
“Untuk (kayu) yang berwarna merah, itu khusus, tempatnya Dia menegaskan, hampir tidak ada fasilitasi pemerintah untuk
hanya bisa dilihat oleh ketua adat,” ujar Daniel. Sembari menyelesaikan beragam konflik itu. Masyarakat sudah beberapa kali
mendengarkan cerita Daniel, beberapa orang lain menunjukkan melakukan protes. Mereka berkirim surat kepada perusahaan serta
anak panah dan tombak. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Nabire, DPRD
Sekembali ke Kampung Sima, seraya ditemani kopi dan sagu, provinsi, dan Bupati Nabire. Pada 2011, surat dikirimkan kepada
Daniel meneruskan ceritanya. Malam itu, kami larut dalam Kepala Kepolisian Resor Nabire dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
kisah-kisah masyarakat adat Yerisiam, tentang ritual, kebiasaan- (Komnas HAM). Sampai sekarang, protes itu tidak ada hasilnya.
kebiasaan, waktu menokok sagu, serta hubungan kekerabatan Itu yang disesalkan. Sudah menerbitkan izin, tidak mengakui
antarmarga. hak masyarakat, kemudian tidak ikut membantu menyelesaikan
konflik yang mencuat. Beragam konflik itu akhirnya membebani
nnn kehidupan masyarakat. Mereka tak melihat ujung penyelesaiannya.
Hingga, untuk menghadang laju aktivitas perkebunan, masyarakat
pernah memalang jalan menuju dusun sagu.
DARI seluruh potret yang dikisahkan warga Sima itu, seolah-olah
Yerisiam Goa bukan satu-satunya suku yang kehilangan dusun
masyarakat dibiarkan berhadapan langsung dengan perusahaan.
sagu akibat pembukaan hutan. Sejak masuknya investasi usaha
Bahkan juga ketika muncul konflik, termasuk antarwarga.
skala besar seperti perkebunan dan pertambangan, juga program-

MIFEE DAN ORANG MARIND Proyek MIFEE, yang dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan
slogan “feeding Indonesia, feeding the world”, yang diarahkan menjadikan Papua
DI ZANEGI sebagai lumbung pangan dunia, pada praktiknya menyebabkan masyarakat
kehilangan sumber penghidupan secara sewenang-wenang. Ini ironis. Dengan
KISAH-KISAH makin terdesaknya lahan penghidupan masyarakat terjadi di
dukungan program itu, perusahaan perkebunan sawit dan tebu mencaplok
berbagai tempat di Papua. Dalam dokumen Inkuiri Nasional, terekam tekanan
ribuan hektare tanah orang Marind dan berbagai suku lain di Papua.
program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) terhadap orang
Malind atau Marind di Zanegi. Sama seperti yang dialami masyarakat Kampung Setidaknya puluhan izin lokasi diterbitkan atas nama program MIFEE, tidak
Sima, tekanan ini membuat masyarakat Zanegi kehilangan kemandiriannya hanya untuk perusahaan yang berdomisili di Indonesia, tapi juga untuk
terhadap pangan. Mereka harus membeli bahan pangan yang cukup mahal investasi asing dari Korea Selatan. Keberatan terhadap proyek dan investasi
untuk kehidupan sehari-hari. Mereka terpaksa melakukan hal itu akibat tersebut bukan perkara mudah. Dengan berbagai alasan, informasi tentang
tidak tersedianya lahan untuk berburu satwa liar lagi. Beras dan mi instan izin dan hak guna usaha yang menjadi dasar hukum bagi perusahaan tidak bisa
menggantikan binatang buruan dan sagu. diakses dengan mudah.

86 — Potret Hutan Papua 87


program pembangunan pemerintah berbasis lahan, tarik-menarik baik dari segi intensitas maupun luasannya.
kepentingan dan hak terjadi di antara para pihak. Terlepas dari angkanya, potret itu memberikan petunjuk
Dalam kurun lima tahun (2013-2018), suku Yerisiam berkonflik relasi antara konflik dan perebutan ruang yang menghadapkan
dengan perusahaan yang dibekingi aparat setidaknya 15 kali. Data masyarakat dengan usaha di bidang sumber daya alam.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan konflik agraria
didominasi usaha-usaha ekstraktif skala besar. Pada 2017, luasan
nnn
konflik agraria di sektor perkebunan mencapai 137.204 hektare,
KOMNAS HAM pada 2016 melakukan Inkuiri Nasional yang
sementara kehutanan mencapai 194.453 hektare. Komoditas sawit
bertujuan merekam beragam potret konflik pada masyarakat
menyumbang konflik terbesar dengan luasan mencapai 95.565
adat. Inkuiri juga mencatat pengalaman suku besar Yerisiam.
hektare (KPA, 2017).
Dalam dokumen itu, kisah mengenai Kampung Sima dituturkan
Perlu dicatat, angka KPA tersebut tidak bisa serta-merta menjadi
Hanibora, ketua adat suku besar Yerisiam sebelum Daniel.
gambaran luasan konflik secara riil. Terutama untuk wilayah
Kronologi hadirnya investasi skala besar perkebunan sawit
timur Indonesia, seperti Papua, informasi mengenai konflik sulit
hingga akhirnya menjadi konflik yang diderita masyarakat Yerisiam
sekali diperoleh. Potret konflik yang digambarkan seperti puncak
Goa direkam dengan jelas. “Kalau ada yang bilang ada perubahan,
gunung es, justru menunjukkan konflik yang terjadi lebih besar,

USAHA PERTAMBANGAN DAN


menguasai area lahan tambang itu. Masing-masing merasa paling berhak
menguasai bantaran sungai dengan kandungan emasnya. Persoalannya tidak
SUKU BESAR WATE DI KAMPUNG berhenti di sana. Sengketa PT K dan PT TAF, menurut kepala suku besar Wate,

NIFASI Alex Raiki, menyebabkan konflik di antara masyarakat. Masyarakat terpecah


ke dalam dua perusahaan yang melakukan eksploitasi di Sungai Musairo.
SEPERTI yang dialami suku Yerisiam, konflik terjadi pada suku Wate. Suku yang Dari tahun ke tahun, Alex berulang kali harus menjadi penengah di antara
saat ini banyak tinggal di Kota Nabire itu sebelumnya hidup di beberapa kampung masyarakat yang bersengketa. Potret besar konflik yang diakibatkan usaha
lama Mosana. Lalu mereka berpindah ke Kampung Nifasi. Di kampung itu, hingga pertambangan rentan terjadi di seluruh wilayah Papua. 
sekarang, berdiam beberapa marga suku Wate. Dulu, ketika mereka masuk
Tidak hanya di lokasi yang dialokasikan untuk tambang, aktivitas
pertama kali, tempat itu masih merupakan hutan belantara.
pertambangan juga dilakukan di hutan. Dalam buku Statistik Lingkungan Hidup
Usaha skala besar pertambangan hadir ketika emas ditemukan pertama kali dan Kehutanan 2017, disebutkan setidaknya 107.587 hektare kawasan hutan
di Nifasi, khususnya di sungai daerah sekitar Topo, bantaran Sungai Musairo. di Papua Barat telah diberi izin pinjam pakai, sedangkan di Papua 78.491
Awalnya, suku Wate menambang emas di Topo secara individual. hektare. Biasanya izin pinjam pakai ini menjadi dasar hukum bagi pengusahaan
tambang di dalam kawasan hutan. Di antara 107 ribu hektare lahan di Papua
Ketika informasi ini beredar luas, bantaran Sungai Musairo itu akhirnya
Barat tersebut, 815 hektare digunakan untuk kegiatan operasi produksi
dieksploitasi banyak perusahaan. Bahkan terjadi sengketa di antara beberapa
pertambangan.
perusahaan. Setidaknya dua perusahaan, yaitu PT K dan PT TAF, kemudian

88 — Potret Hutan Papua 89


saya mau tanya: perubahan yang mana? Jadi kesejahteraan yang Ada lima nama perusahaan yang muncul dalam cerita konflik di
perusahaan buat di Kampung Sima, istilah orang kampung, nol,” Kampung Sima, yakni PT Jati Dharma Indah ( JDI), PT Nabire Baru,
kata Noldus, warga Yerisiam, yang tadinya hanya diam. PT Sariwana Unggul Mandiri, PT Sariwana Adiperkasa, dan PT
Janji manis memberikan kesejahteraan selalu menjadi senjata Harvest Raya. JDI adalah perusahaan yang memegang izin usaha
andalan perusahaan ketika pertama kali datang ke masyarakat. pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam.
Noldus mencontohkan, ada perusahaan berjanji membangunkan Sambena Inggeruhi, juru bicara suku besar Yerisiam Goa,
gereja, rumah penduduk, dan lain-lain. Bahkan ada karyawan mengisahkan, PT JDI yang melakukan aktivitas eksploitasi hasil
bernama Jack yang datang dan menjepret foto beberapa rumah hutan kayu datang menggandeng PT Harvest Raya dari Korea.
yang bagus, termasuk gereja. “Kami tidak tahu foto itu untuk Mereka bertujuan membuka kebun sawit. Saat itu, PT Harvest
apa,” kata Noldus. Yang dia tahu, janji tersebut akhirnya disadari Raya ditolak  masyarakat karena, menurut mereka, sawit akan
masyarakat sebagai janji kosong. mengancam hutan, terutama dusun sagu.
Janji kosong itu dibayar mahal, tidak hanya dengan hilangnya “Saat mereka masuk, kami semua menolak. Hanya beberapa
sumber kekayaan alam di Kampung Sima sebagai sumber orang yang berada di balik perusahaan. Kami tolak karena kalau
penghidupan, tapi juga dengan terjadinya kekerasan demi mereka bongkar (sumber) makan, kehidupan kami terancam
kekerasan setelahnya. Tidak jarang kekerasan itu dilakukan aparat
yang berpihak pada perusahaan. Sedangkan masyarakat ada di
posisi mempertahankan tanahnya.
Rekaman cerita yang didengar tadi juga dicatat dalam laporan
Inkuiri Nasional Komnas HAM. Dalam dokumen bahkan dijelaskan
SAWAH DITANAM, SAGU
adanya dua orang warga adat yang ditangkap karena memasang MENGHILANG, DAN SUKU MOI
papan pengumuman di luar area perusahaan. Di papan itu FIAWAT
dituliskan, “Tanah ini adalah tanah kami, bukan tanah perusahaan”
(Komnas HAM, 2016). SAGU adalah makanan pokok bagi orang Papua, juga bagi masyarakat suku Moi
Fiawat yang mendiami wilayah Raja Ampat. Selama ini, suku Moi di Kampung
Waijan, Distrik Salawati Tengah, menggantungkan hidup pada sagu hutan dan
dusun sagu. Daun sagu biasanya digunakan untuk menutup atap rumah, lalu
gabanya untuk dinding rumah. Mereka juga mengolah sagu untuk dijual.
Kami tolak karena
kalau mereka bongkar Kebiasaan masyarakat mengolah sagu secara tradisional terganggu ketika

(sumber) makan, usaha skala besar mulai masuk dan mengambil alih dusun sagu. Hal itu

kehidupan kami dilakukan, salah satunya, untuk pengembangan lahan sawah yang dirancang

terancam sampai ke dinas pertanian. Pembukaan lahan yang sebelumnya merupakan dusun sagu

anak-cucu.” dimulai pada 2016. “Dinas datang dan menggusur dusun sagu tanpa berbicara
dengan kami,” kata Yanes Napasau. “Alat berat tiba-tiba datang. Kami sudah
melaporkannya kepada pihak berwenang, tapi tidak ada kejelasan tindak
—Juru bicara suku besar Yerisiam Goa
Sambena Inggeruhi lanjutnya,” kata dia (Komnas HAM, 2016).

90 — Potret Hutan Papua 91


sampai ke anak-cucu,” tuturnya. Saat kepada Daniel ditunjukkan keputusan hasil dari pengaduan
Belum selesai menghadapi PT JDI, masyarakat di Kampung Sima itu, ia tersenyum. Perlawanan Daniel, Sambena, Noldus, dan
juga harus berhadapan dengan PT Nabire Baru, yang bermaksud seluruh Kampung Sima tampaknya tidak terhenti di sana.
membangun perkebunan sawit. Masyarakat Yerisiam Goa kembali
menolak.
Penolakan-penolakan yang dilakukan berujung pada represi
terhadap warga Yerisiam Goa. Sepanjang 2011–2012, berbagai
intimidasi terjadi terhadap penduduk Kampung Sima. Protes Imanuel
Monei, misalnya, tentang kesepakatan pembangunan barak-barak di
perusahaan yang tadinya akan dikerjakan koperasi milik masyarakat,
justru dibalas dengan penembakan oleh oknum aparat.
Warga lain yang diintimidasi karena ikut memprotes perusahaan
adalah Haris Nanaur dan Yoran Peternawi. Mereka diambil secara
paksa dari dalam rumahnya, lalu dibawa ke kebun sawit dan
diinterogasi.
Intimidasi itu sering dikaitkan dengan isu separatisme. “Karena
adanya intimidasi yang terus dilakukan, kami pernah meminta
agar tidak ada aparat di dalam perusahaan. Sebab, ada stigma
separatis terutama terhadap keluarga Hanibora, yang dicap sebagai
pendukung Organisasi Papua Merdeka. Kemudian disebutkan
Kampung Wami tidak aman, sehingga perlu ditempatkan aparat,”
kata Sambena Inggeruhi.
Konflik terus meluas, lalu masyarakat memilih melawan dengan
cara-cara damai. Pada 2013, suku Yerisiam Goa mengadakan
pertemuan dan meminta PT Nabire Baru menghentikan cara-
cara represif. Selain mengajukan permintaan fasilitasi kepada
pemerintah, masyarakat menggunakan mekanisme pengaduan
dalam Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO). Melalui RSPO,
masyarakat berharap mekanisme sertifikasi dapat menekan pelaku
usaha untuk melindungi ruang hidup masyarakat adat.
“Protes-protes dilakukan bermartabat. Sebab, bila protes
dilakukan dengan cara anarkis, efeknya besar. Perusahaan akan
menjadikannya sebagai celah atau bahkan bertindak brutal dengan
aparat yang berada di situ,” ujar Sambena.

92 — Potret Hutan Papua 93


Rp 67 juta

Harga per meter kubik


kayu merbau

Rp 21 juta

Rp 500 ribu

Di tangan cukong Pasar Australia Pasar Norwegia


Sarmi l

94 — Potret Hutan Papua 95


Benteng Terakhir
Merbau
David Saweri dan Syahrul Fitra

Hutan merbau di Nusantara kini hanya tersisa di pulau Papua.


Tapi eksploitasi berlebihan dan pembalakan liar mengancam
eksistensinya. Jika terus dibiarkan, merbau akan punah pada 2050.

JARUM jam menunjuk angka 10 saat antrean truk mengular


sampai jauh. Ujung antrean ini ada di sebuah jembatan putus
antara Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua.
Satu, dua…, sepuluh…, lima belas…, dua puluh….
Semuanya ada 32 truk penuh kayu yang terpaksa menunggu
jembatan kelar disambung kembali pada Senin pagi, 9 April
2018, itu. Pengemudinya berserakan di tepi jalan. Beberapa di
antara mereka duduk berkelompok. Ada yang sambil mengudap
makanan ringan dan minuman botolan. Ada yang tidur-tiduran.
Sudah semalaman para sopir itu menunggu jembatan diperbaiki.
Jembatan putus itu bernama Jembatan Tujuh, persisnya berada
di Kampung Betaf, Distrik Pantai Timur, di jalan lintas Jayapura-
Sarmi. Dari Kota Jayapura, waktu tempuhnya sekitar tiga jam
dengan mobil; demikian pula dari Kota Sarmi.
Nama jembatan yang mengangkangi Kali Kuwaritor itu merujuk
pada tragedi beberapa tahun silam. Saat itu, terjadi banjir
bandang hingga menerjang jembatan. Sebuah mobil, berisi tujuh
orang sekeluarga, yang tengah melintasi jembatan itu hanyut

96 — Potret Hutan Papua 97


tak tertolong. Saat ini pun Jembatan Tujuh putus diempas banjir berlimpah juga di Distrik Pantai Timur. Tapi, itu tadi, setiap malam
bandang. Beruntung, tidak ada korban jiwa. kayu-kayu itu ditebang dan diangkut ke Jayapura.
“Tapi banjir bandang ini lebih parah,” kata seorang penduduk Sopir yang membawa kami menuju Sarmi mengatakan, dalam
lokal, yang ikut memperbaiki jembatan. Ia mengatakan banjir sekali rit, ia bisa berpapasan dengan 50 truk pengangkut balok
makin dahsyat dari waktu ke waktu, yang diduga karena adanya merbau di ruas jalan itu. ”Mereka jalannya malam hari. Makin
pembalakan liar di hulu daerah aliran Sungai Kuwaritor. malam kian ramai truk yang membawa kayu merbau itu,” kata Ji—
Lelaki itu punya buktinya. Tangannya menunjuk ke satu arah: panggilan kami kepadanya. Ia berjanji mengajak kami mengikuti
32 truk yang sedang menunggu waktu menyeberang itu. Pada bak pergerakan truk merbau itu dari Sarmi menuju Jayapura.
setiap truk itu, terlihat sarat muatan kayu olahan yang akan dibawa Melihat masifnya penebangan merbau di Pantai Timur Sarmi,
ke Jayapura. Nama kayunya merbau. agaknya tinggal menunggu waktu saja truk-truk itu merangsek ke
Merbau (Intsia bijuga) adalah salah satu kayu paling berkualitas Distrik Pantai Barat. Kuncinya adalah adanya jalan HPH.
di dunia. Pokoknya sangat keras, awet, berwarna merah gelap, dan
menjadi bahan baku lantai kayu mewah. Harganya sangat mahal di nnn
pasar internasional. Misalnya, per meter kubik decking atau pelapis
lantai merbau dibanderol sekitar Rp 21 juta. Itu di pasar Australia.
INDUSTRI HPH1 mulai masuk ke Sarmi pada 1990-an. Kala itu,
Harga kursi dari merbau lebih mahal lagi. Sumber kami Sarmi masih menjadi salah satu distrik di Kabupaten Jayapura.
menyebutkan pembeli dari Norwegia berani membayar produk ini Wilayah ini baru dimekarkan menjadi kabupaten pada 2002.
seharga Rp 67 juta per meter kubik. Tak aneh, merbau banyak diburu.
Sarmi merupakan singkatan dari Sobey, Armati, Rumbuai,
Akibat perburuan itu, merbau, yang pernah melimpah di Manirem, dan Isirawa. Kelimanya adalah suku besar di wilayah
hampir semua pulau besar di Nusantara, terancam lenyap. Untuk itu. Nama Sarmi diusulkan antropolog Belanda, Van Koehen
menyelamatkannya, pada 1994, IUCN, organisasi konservasi Houven. Tapi, percayalah, sesungguhnya ada jauh lebih banyak
internasional, menyematkan status rentan dan terancam punah suku di wilayah yang menghadap ke Samudra Pasifik ini. Dengan
pada merbau. Tapi peringatan itu sudah terlambat karena pohon pendekatan bahasa, diperkirakan ada 87 suku yang tersebar di
ini sudah hilang dari hutan-hutan di Sumatera, Kalimantan, hingga pantai barat dan pantai timur Sarmi.
Sulawesi.
Menurut Godlif Semon, tokoh Sarmi, wajah Sarmi pra-HPH sangat
Kini pohon yang tumbuh perlahan ini—0,95 sentimeter per berbeda dengan saat ini. Ia mengetahuinya karena sudah tinggal di
tahun dan perlu 50 tahun agar bisa ditebang—diyakini cuma tersisa Sarmi persis setelah Papua bergabung dengan Indonesia. Waktu
di Papua. Karena itu, Greenpeace dalam laporannya pada 2007 itu, ia pindah ke Sarmi dari Jayapura—saat kota itu masih bernama
menyatakan Papua adalah benteng terakhir merbau. Lembaga itu Holandia—mengikuti kakeknya yang diangkat sebagai camat di
juga memperingatkan, bila merbau di Papua terus dieksploitasi wilayah baru ini. “Tete2 saya camat pertama di sini,” kata Semon.
secara berlebihan, kayu ini akan lenyap dalam 35 tahun ke depan.
Di Papua, salah satu benteng pertahanan merbau itu berada di
halaman belakang Sarmi. Areanya membentang dari Distrik Pantai 1 H
 ak pengusahaan hutan, kini izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam
hutan alam (IUPHHK-HA)
Barat hingga Kabupaten Mamberamo. Dulu, merbau pernah
2 Sebutan untuk kakek bagi orang Sarmi

98 — Potret Hutan Papua 99


Truk mengangkut kayu
olahan dari dalam
hutan. Sebelum 2019,
mengolah kayu di dalam
hutan merupakan
tindakan ilegal.
FOTO: SYAHRUL FITRA

100 — Potret Hutan Papua 101


Semon bercerita, saat pertama ia datang ke Sarmi, pohon-pohon Pembabatan kayu babak berikutnya muncul ketika jalan
besar merupakan pemandangan biasa. “Kasuari dan cenderawasih pengangkut kayu itu berubah menjadi jalan lintas Sarmi-Jayapura.
yang menari-nari di dahan pohon juga pemandangan biasa.” Ini adalah satu-satunya akses darat di wilayah itu. Lewat jalan
Lalu Jakarta menunjuk sebidang hutan di Sarmi sebagai lokasi bekas HPH itulah para pemilik uang datang kepada warga Sarmi.
konsesi perusahaan kayu PT Wapoga Mutiara Timber. Inilah “Mereka mencari merbau yang tidak ditebang HPH karena lingkar
konsesi perusahaan kayu pertama di Pulau Papua. Perusahaan ini batangnya di bawah 50 senti,” ujar Orgenes Yawal, warga Kampung
menguasai 169.170 hektare hutan yang membentang di kawasan Keder.
hutan produksi dari arah timur ke barat Sarmi. Para cukong itu, kata Orgenes, melakukan pendekatan kepada
Tahun-tahun berikutnya, makin banyak perusahaan kayu yang masyarakat pemilik tanah ulayat, termasuk kepala sukunya.
datang. “Semua mengincar merbau,” ujar Semon. “Padahal sejatinya saya dan warga Keder
adalah nelayan dan petani cokelat (kakao)
Seiring dengan meluasnya operasi HPH, makin banyak jalan Akhirnya
dan kopra,” ujar Orgenes. Jadi, apa yang
dibuka untuk mengeluarkan merbau dari hutan. “Itulah yang habis juga
terjadi?
memang terjadi,” ujar John Burdames, tokoh masyarakat Bonggo. merbau
“Perusahaan-perusahaan itu, yang hanya boleh menebang merbau yang boleh Orgenes bercerita, ketika itu, pertengahan
dengan diameter di atas 50 sentimeter, mula-mula membangun ditebang 2006, musim angin barat tiba di Kampung
jalan pengangkut kayu dari Jayapura ke Sarmi saja. Lewat jalan HPH di kiri Keder. Bagi orang-orang Kampung Keder,
itulah perusahaan membawa kayu ke pengolahan,” katanya. dan kanan Distrik Fee’en, Sarmi, musim angin barat
Akhirnya habis juga merbau yang boleh ditebang HPH di kiri dan ruas jalan pertanda untuk kembali bertani dan
kanan ruas jalan Jayapura-Sarmi. Perusahaan HPH pun hengkang Jayapura- menggarap ladang yang ditinggalkan selama
satu per satu. “Mereka pergi dengan meninggalkan persoalan,” Sarmi. musim melaut. Musim angin barat, yang
kata Hendrik Y. Aboway, tokoh masyarakat Bonggo lainnya. Perusahaan disebut juga musim ombak, bukan waktu

Menurut Hendrik, bersamaan dengan kedatangan HPH,


HPH pun yang tepat untuk menangkap ikan. Pada saat

pemerintah menggelar program transmigrasi lokal. Orang asli Sarmi


hengkang seperti itu, Sarmi menampakkan wujudnya

dipindahkan ke tepi jalan HPH. Ini menjadi petaka bagi mereka.


satu per sebagai kota seribu ombak.
satu. Lahan-lahan pertanian menjadi jawaban
Di lokasi transmigrasi lokal, kata dia, warga kesulitan mencukupi
orang Kampung Keder selama menunggu
kebutuhan sehari-hari karena lokasi itu berada di tanah ulayat
tibanya musim angin timur, pada Maret
milik marga lain. Jadi, di lokasi itu, mereka hanya diizinkan tinggal.
tahun berikutnya. Namun musim angin barat waktu itu lebih
“Apabila ingin berburu dan berladang, saya harus masuk jauh ke
berat dari biasanya. “Kami, warga kampung, tak saja kehilangan
dalam hutan tempat tanah ulayat saya berada,” ujar Hendrik.
tangkapan ikan, tapi juga tak bisa memetik hasil kebun,” ujar
“Masih mending jika hutan di tanah ulayat marga masih ada Orgenes.
untuk berburu, karena tak sedikit tanah ulayat itu kemudian
Buah cokelat yang semula diharapkan bisa mengasapi dapur
menjadi lokasi kerja HPH,” dia menambahkan. Tapi kisah pilu
terserang hama. Mulanya, Orgenes mengira nasibnya masih lebih
orang asli Sarmi waktu itu tenggelam dalam suara gergaji mesin,
baik dibanding warga lain karena masih ada buah cokelat yang bisa
yang memanggil-manggil dolar.
dipanen di kebunnya. Walau tidak untung besar, ia memperkirakan

102 — Potret Hutan Papua 103


Masyarakat adat di
sekitar Sungai Waim,
Kabupaten Sarmi.
FOTO: SYAHRUL FITRA

104 — Potret Hutan Papua 105


hasil penjualan cokelat masih bisa menutupi kebutuhan hidup
hingga musim angin timur datang.
Tapi ternyata ia menggantang asap. “Harapan tinggallah
harapan,” kata Orgenes. Tengkulak cokelat dari Jayapura tak
kunjung tiba. Ketika kabar dari Jayapura akhirnya tiba, ternyata
bukan berita yang bagus. “Para tengkulak yang biasa beli cokelat
kami gulung tikar karena harga cokelat anjlok,” katanya.
Orang-orang Kampung Keder hanya bisa pasrah. Kebun cokelat
dibiarkan tak terurus. Belukar mulai berebut tempat dengan
tanaman cokelat, yang juga tengah diserang hama.
Menjelang akhir 2006, ketika warga Keder di puncak kedernya,
cukong merbau datang untuk membeli merbau yang ada di tanah
ulayat warga. Ada warga yang keberatan, ada yang menerima.
Orgenes mengetahui warga diizinkan menebang kayu di Salah seorang
ulayatnya sebanyak lima meter kubik. “Namun, saya tidak ingat, masyarakat adat di
tanpa memedulikan keharmonisan Kabupaten Sarmi sedang
apakah jumlah itu untuk bulanan, tahunan, atau dalam sehari,” beristirahat di dekat
ujarnya. dengan keputusan menteri serta kebun miliknya.
peraturan pelaksanaannya. IPK- FOTO: FOSTIVE VISUAL
Berdasarkan peraturan Kementerian Lingkungan Hidup dan
MA akhirnya kandas di perjalanan.
Kehutanan—saat itu Kementerian Kehutanan—warga memang
diperkenankan memungut hasil hutan kayu. Mengacu pada Niat memberdayakan masyara­
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6886/Kpts-II/2002, yang kat adat pada masa itu malah memperkaya para cukong kayu yang
menjadi pedoman pemungutan hasil hutan produksi, termasuk telah lama mengincar merbau Papua. Kelompok masyarakat adat
bagi individu, warga memiliki hak untuk memanfaatkan hasil yang bergabung di Kopermas terjebak mekanisme kerja sama yang
hutan kayu untuk kepentingan pribadi dengan batasan maksimal tak mereka pahami. Kegagalan pengelolaan IPK-MA ini berbuntut
20 meter kubik per tahun. Peraturan ini telah digantikan Peraturan penangkapan ratusan orang ketika Kementerian Kehutanan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 54/2016, melancarkan Operasi Hutan Lestari II. Kebijakan provinsi ini
dengan batasan yang sama. akhirnya dicabut melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 7
Tahun 2005.
Selain ada peraturan di tingkat pusat, Provinsi Papua, yang
saat itu berada dalam euforia otonomi khusus, mengeluarkan Orgenes mengingat peristiwa penangkapan itu. Namun,
kebijakan pemberian izin pemanfaatan kayu masyarakat adat (IPK- menurut dia, peristiwa itu tak menyurutkan permintaan kayu dari
MA). Izin ini lahir atas dasar Surat Keputusan Gubernur Papua para cukong. Tumpukan kayu merbau terus saja datang dan pergi
Nomor 522.2/3386/SET/2002 tentang Pengaturan Pemungutan di pinggir jalan menunggu diangkut ke Jayapura.
Hasil Hutan Kayu oleh Masyarakat Adat. Wadahnya Koperasi Orgenes menjelaskan, kayu itu umumnya ditebang operator
Peran Serta Masyarakat (Kopermas). Namun peraturan ini lahir cukong kayu. Untuk setiap kubik kayu yang diperoleh, masyarakat

106 — Potret Hutan Papua 107


Truk mengangkut kayu
bulat jenis merbau
melintasi jalan raya
Jayapura-Sarmi.
FOTO: SYAHRUL FITRA

108 — Potret Hutan Papua 109


pemilik lahan mendapat premi paling banyak Rp 600 ribu. cukong kayu akan terbebani dan kemudian berhenti mengambil
Bahkan ada yang hanya menerima Rp 100 ribu. “Tapi sebenarnya kayu. Berhasilkah upaya itu?
masyarakat yang melepas kayu kepada operator tak pernah tahu Kami menemukan, nilai setoran ke pos adat cuma uang receh
berapa kubik kayu yang dikeluarkan dari tanah ulayat mereka,” bagi cukong kayu. Sebab, para cukong bisa mengeruk puluhan juta
ujarnya. rupiah cuma dari satu meter kubik merbau di pasar internasional.
Tak jarang operator itu menebang kayu dengan diameter di Seorang sopir truk kayu yang ditemui di satuan permukiman (SP) 2
bawah 40 sentimeter. “Makanya saya heran, jangan-jangan ini bercerita, cukongnya selalu enteng menyediakan uang untuk pos-
pemusnahan,” kata Orgenes sambil menatap jauh dengan raut pos adat itu. Besarnya Rp 50 ribu per pos. “Kurang-lebih ada 20 pos
wajah kecewa. adat yang dilewati,” katanya. Walhasil, merbau terus saja dibalak.
Orgenes juga menjual kayu merbau di lahannya untuk mengasapi Kini para cukong mengincar merbau
dapur. Tapi ia memilih jalan berbeda. Ia menebang sendiri kayu Nilai setoran di sisi barat Sarmi karena di sisi timur
yang ada di tanah ulayatnya. Orgenes pun hanya menebang kayu ke pos adat hampir tandas. Jalan ke sumber merbau
yang menurut dia layak ditebang dan menjualnya kepada pembeli cuma uang di barat sudah mulai dibuka, mengarah
dengan tawaran tertinggi. receh bagi ke perbatasan Sarmi dan Mamberamo
Pertengahan 2017, kakao kembali menjadi komoditas prioritas cukong kayu. Hulu. Di sana ada konsesi HPH milik PT
di Sarmi. Pemerintah Provinsi Papua sangat ambisius menjadikan Sebab, para Bina Balantak Utama, yang menguasai
Sarmi sebagai sentra cokelat di Papua. Badan Percepatan cukong bisa 298.710 hektare hutan produksi di Sarmi,
Pembangunan Kawasan Papua ditugasi memberikan pelatihan bagi mengeruk membentang di sepanjang pantai barat.
180 petani kakao di 15 kampung di Sarmi (Kompas.com, 22/11/2016). puluhan Di wilayah konsesi ini, ada Kampung
Orgenes pun memutuskan berhenti menebang merbau yang tersisa. juta rupiah Samorkena, Kampung Aeroran, dan
Namun, menurut Orgenes, tak gampang mengembalikan warga cuma dari Kampung Bina.
Keder ke kebun cokelat. “Semua gara-gara candu kayu merbau,” satu meter Kami bertemu dengan Kepala Kampung
katanya. kubik merbau Samorkena, Julianus Weraso; Kepala
Godaan menjual kayu merbau juga dialami Jhon. Namun, seperti
di pasar Kampung Aeroran, Nataniel Akuakim;
Orgenes, Jhon sudah berhenti menjual kayunya setelah menyadari
internasional. dan Kepala Kampung Bina, Darius Merne,
dalam sebuah persamuhan di Kota Sarmi.
pohon itu akan habis. “Tapi candu kayu sulit dihentikan,” ujarnya
Ketiganya sependapat, jika jalan tembus
mengakui. Buktinya, anak-anak muda mengalami ketergantungan
dari Kabupaten Sarmi ke Kabupaten Mamberamo sudah melewati
pada uang hasil premi kayu. Tanpa kerja, uang datang. Tapi, “Uang
perkampungan mereka, merbau yang ditinggalkan HPH karena
itu habis untuk mabuk-mabukan,” katanya.
berdiameter di bawah 50 sentimeter mungkin juga akan dipangkas
Bersama generasi muda Bonggo, Jhon berupaya menghentikan
habis para cukong.
penebangan merbau. Caranya dengan menggerakkan anak-anak
Hal itu bukan karena warga perlu uang dari cukong untuk
muda membentuk pos-pos adat. Pos adat ini dibentuk di beberapa
membeli bahan kebutuhan sehari-hari. Julianus Weraso
lokasi dengan tujuan memungut sejumlah uang kepada sopir
mengatakan semua keperluan harian telah tersedia di alam. Sagu,
truk pengangkut kayu. Harapannya, dengan adanya pos-pos ini,
sayur-sayuran, ikan, hewan buruan, dan beragam hasil hutan,

110 — Potret Hutan Papua 111


Tumpukan kayu bulat
merbau di sebuah log
pond di Kabupaten
Sarmi.
FOTO: FOSTIVE VISUAL

112 — Potret Hutan Papua 113


kata dia, masih mudah diperoleh dari rimba—meski ia mengakui
kegiatan HPH menyebabkan mereka harus berburu kasuari dan
babi cukup jauh dari kampung. “Orang-orang Samorkena, Bina,
dan Aeroran hanya butuh uang ketika berobat, buat biaya sekolah
anak, dan untuk ongkos perjalanan ke Kota Sarmi,” kata Julianus.
Dia mengatakan pengambilan kayu di Samorkena oleh
perusahaan HPH mengajarkan kepada masyarakat pemilik
ulayat bahwa kayu dapat menghasilkan uang dengan mudah.
“Perusahaan terus memberi premi kepada masyarakat pemilik
tanah untuk setiap pohon yang ditebang,” ujarnya.
Bujukan uang itu kian menggentarkan karena berkelindan
dengan pengaruh gaya hidup dari luar, yakni hidup seolah-olah
bisa dibikin mudah. “Misalnya, ada yang mulai menggunakan
setrum atau racun untuk menangkap ikan,” kata Julianus. Padahal
Godlief Semon, kepala
dua alat itu mempercepat kerusakan dan kelangkaan ikan. Kampung Nanot,
Deki Yapo, pemuda asal Samorkena, punya contoh lain. “Dulu Kami melewati jalan lintas sepan­ Kabupaten Sarmi.

pangan yang dibawa pulang dari kota hanya garam. Sekarang beras, jang 300 kilometer itu dengan FOTO: FOSTIVE VISUAL

Indomie, dan micin (vetsin),” ujarnya. Beras itu menggantikan sagu kece­patan penuh.
sebagai sumber karbohidrat. Indomie atau mi instan menggantikan Setelah Sarmi tertinggal jauh di
lauk. Beras dan mi instan tinggal beli, asalkan ada uang. Sedangkan belakang, kami mulai sering melihat banyak jejak ban truk, balok
sagu harus ditokok dan babi harus diburu lebih dulu. kayu, dan banyak jejak kaki di tepi jalan. Ji meyakini truk-truk kayu
Ketika kami bertanya, jika dari Kota Sarmi ke Samorkena, itu berjarak hanya dua atau tiga jam di depan.
Aeroran, atau Bina sudah ada jalan umum, apakah warga kampung Dini hari, kami memasuki SP 2, permukiman transmigrasi
akan menjual merbau yang ditinggalkan HPH seperti yang terjadi di peninggalan Presiden Soeharto. Mobil kami melambat. Di
Pantai Timur, ketiga orang kepala kampung itu terlihat menimbang kejauhan, tampak truk dengan penutup terpal berjejer di tepi
sejenak. “Kalau memang tidak ada alternatif lain, mungkin akan jalan. Ada 12 truk berhenti di sisi kanan dan kiri jalan. Mesinnya
kami jual juga,” kata Darius Merne. Kedua rekannya, Julianus mati. Sopirnya berkumpul di warung yang masih buka.
Weraso dan Nataniel Akuakim, sependapat dengan Darius. Kami berhenti di depan warung itu. Sekelompok pria paruh
baya yang mengenakan kupluk asyik bercengkerama di sisi kanan
nnn warung. Di meja mereka tersaji beberapa gelas kopi yang tak lagi
penuh. Sesekali mereka terdiam, dengan posisi sarung tetap melilit
pada leher, mengamati truk yang terparkir di pinggir jalan. Di meja
SEPEKAN setelah peristiwa putusnya Jembatan Tujuh, Ji menepati
lain, seorang pemuda asyik sendiri mengelus-elus layar telepon
janjinya mengantar kami membuntuti truk pengangkut merbau.
pintarnya. Kami menghampirinya.
Dari Sarmi, kami berangkat tepat pukul 22.00 ke arah Jayapura.

114 — Potret Hutan Papua 115


KAYU ABADI
DARI TANAH
PAPUA
MERBAU (intsia) adalah pohon anggota suku
Fabaceae (Leguminosae). Menurut Bernard
Verdcourt, seorang ahli botani, di dunia ada
sembilan spesies merbau, yang terserak
di sejumlah negara, seperti Papua Nugini,
Malaysia, Indonesia, dan Filipina.

Papua menjadi rumah untuk tiga spesies


merbau—Intsia bijuga, I. palembanica, dan
I. acuminata. Spesies lainnya adalah I.
amboinensis, I. bakeri, I. plurijuga, I. puberula,
I. retusa, dan I. rhomboidea (Chen Hin Keong,
2006).

Di Papua, merbau umumnya ditemukan


di hutan-hutan sepanjang pesisir pantai
atau dataran rendah dengan ketinggian di
bawah 1.000 meter di atas permukaan laut.
Menurut M. Kayoi, seorang peneliti kayu
Indonesia, potensi kayu ini di hutan produksi
Papua masih cukup luas, sekitar 16,7 juta
hektare. Sekitar 5,6 juta hektare di antaranya
merbau berukuran di atas 50 sentimeter.

Perburuan merbau di Papua tak pernah


surut sejak awal 2000. Kayu merbau menjadi
favorit karena tingkat ketahanannya yang
sangat baik. Inilah salah satu kayu yang
berhak mendapat label abadi. Umumnya
kayu ini digunakan sebagai komponen
eksterior, kosen, flooring, dan pintu.

Pohon merbau di pantai


barat Kabupaten Sarmi,
Papua.
116 — Potret Hutan Papua 117
FOTO: SYAHRUL FITRA
Ia tengah asyik memainkan Mobile Legends (ML), permainan Kalau tertangkap petugas, mereka celaka besar. Salah seorang
yang tengah hit di kalangan pencinta online game. Matanya yang mantan sopir truk yang pernah ditangkap pada 2017 mengungkap
mulai sayu dan memerah serius menatap layar telepon pintarnya. bahwa bayaran untuk lepas dari polisi sangat mahal. Ia harus
Sesekali ia menggumam karena gagal mendominasi permainan membayar Rp 20 juta untuk bisa keluar beserta mobilnya yang ikut
akibat jaringan internet tak mendukung. “Malam ini agak sepi,” ditahan. Agak enak jika yang menangkap mereka tim SPORC atau
katanya kepada kami, dengan wajah lesu. Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat. Lepasnya lebih gampang
Bukan permainan ML yang sepi, melainkan kegiatan karena diurus pemilik kayu. Hanya, mobil ditahan hampir dua
pengangkutan kayu. Menurut dia, beberapa pekan ini sering ada bulan sebelum kembali dilepas.
razia. Walau demikian, pemuda yang juga sopir truk tersebut Jarum jam menunjukkan pukul 01.00 Waktu Indonesia Timur
mengaku masih cukup beruntung pekan itu. Ia telah lima kali (WIT). Gelas kopi sudah kering. Pemilik warung memberikan aba-
mengangkut kayu. Malam itu, kata dia, akan jadi penutup untuk aba akan segera tutup. Beberapa orang
pekan yang sedang berlangsung. Kayu yang dia angkut itu dari sudah siap dengan karpet yang diben­
Bayaran
Nengke, Distrik Pantai Timur Barat. Tujuannya salah satu industri tangkan di teras rumah pemilik warung.
untuk lepas
di Nimbokrang. Sebelumnya, ia pernah mengangkut kayu ke Abe “Sa tidur dulu,” kata sopir itu kepada kami.
dari polisi
Pantai, Kota Jayapura, dan lokasi lain. Tergantung pesanan, katanya. Ia mengatakan baru akan melanjutkan
sangat
perjalanan pukul 04.00 WIT.
Sekali pengangkutan dari Nengke, ia mendapat bayaran Rp 4,5 mahal. Harus
juta. Jika dari Sarmi bisa Rp 5 juta, atau kalau buang (bongkar muatan) membayar Kami melanjutkan perjalanan menuju
di Abe Pantai bisa Rp 6 juta. Tapi itu masih pendapatan kotor. Upah Rp 20 juta Nimbokrang di Kabupaten Jayapura. Tem­
bersihnya hanya Rp 800 ribu. “Di sini sewa truknya gede, kita dapat untuk bisa patnya masih jauh di depan. Inilah tempat
apa?” kata pemuda yang mengaku belum menikah itu. keluar beberapa industri kayu berada.
Ketika ia asyik bercerita, dari arah Jayapura tampak mobil putih beserta Mendekati Nimbokrang, tampak 20-
bergerak pelan dan berhenti di sisi salah satu truk kayu yang tengah mobilnya an truk berhenti di dekat warung kopi.
parkir. Warung seketika menjadi hening. Semua orang melihat ke yang ikut Seorang sopir yang kami temui mengatakan
arah mobil tersebut. Sopir yang tengah asyik ngobrol dengan kami ditahan. mereka tengah menghindari operasi polisi
pun seperti siap-siap angkat kaki dari tempat duduknya. dan polisi hutan. Kabarnya, para petugas
Mereka baru terlihat mengendurkan otot ketika mobil putih itu sedang menggelar razia di ruas Nimbokrang-Jayapura. Sopir itu
kembali bergerak. Tapi mereka kembali tampak waspada ketika mengatakan rombongan yang berhenti tersebut baru sebagian
mobil itu berhenti lagi. Sayangnya, malam sedang kehilangan bulan, dari armada pengangkut merbau. Dia menyebut angka seperti
sehingga kami tak dapat mengenali nomor pengenal kendaraan itu. yang pernah Ji katakan soal jumlah truk merbau yang lalu-lalang
saban malam. “Ya, 50 truk. Tapi bisa lebih,” katanya.
Selang lima menit, mobil putih itu berlalu dan hilang ditelan
gelap menuju arah Sarmi. “Kalau lihat mobil Fortuner, kami lebih Mari menghitung berapa luas hutan merbau yang dibabat
baik siap injak gas. Biasanya itu mobil petugas,” katanya. Menurut untuk mengisi 50 truk itu. Menurut keterangan pemerintah Sarmi
dia, aparat biasa menggunakan mobil rental untuk patroli kayu. dalam pertemuan yang dihadiri tim koordinasi dan supervisi
Umumnya model Fortuner. Komisi Pemberantasan Korupsi, Maret 2018, setiap truk umumnya
memuat lima meter kubik merbau. Jika dalam satu hari ada 50

118 — Potret Hutan Papua 119


truk, kayu yang diangkut per malam sekitar 250 meter kubik—atau
dalam setahun 91.250 meter kubik!
Untuk setiap satu meter kubik merbau, setidaknya dibutuhkan
sekitar tiga pohon berdiameter 40 sentimeter dengan ketinggian
sekitar 10 meter. Makin kecil diameternya, kian banyak jumlah
pohon yang diperlukan. Jadi diperkirakan tiap hari ada sekitar 750
pohon merbau yang ditumbangkan atau 273.750 pohon tiap tahun.
Menurut Max J. Tokede, potensi merbau dalam setiap hektare
area izin pemanfaatan kayu di Papua adalah 1-7,8 pohon. Jika
perkiraan ini juga berlaku untuk merbau berdiameter 40-an
sentimeter, dan diasumsikan per hektare ada lima merbau, untuk
mendapatkan 91.250 meter kubik merbau atau 273.750 pohon,
hutan Papua yang dirambah setiap tahun sekitar 54.750 hektare.
Itu hampir seluas Jakarta!
Lalu apa jadinya Sarmi—dan Papua—tanpa hutan merbau?

PT Mansinam mencatat
PT Mansinam Global Mandiri
pada Rencana Pada 2018, mereka
mengirimkan kayu tidak CV Sorong Timber
Pemenuhan Bahan mengirimkan 31
MESIN CUCI
disertai dokumen lengkap. Irian, bagian Grup Alco
Baku Industri (RPBBI) kontainer kayu
Industri mengatasnamakan Timber
sebanyak 225 meter merbau ke Ningbo
KAYU ILEGAL masyarakat adat. Dokumen
legalitas kayu dibuat asal-
kubik kayu selama dua
tahun terakhir (2016-
dan Huangpu,
pelabuhan utama di
CV Maridjo tidak
menampik jika industri
SUMBER: ARTIKEL INVESTIGASI MAJALAH asalan, termasuk petak di Sorong disebut
TEMPO "MESIN CUCI KAYU ILEGAL", 2017). Tapi data otoritas Provinsi Zhejiang dan
TERBIT 23 DESEMBER 2018. kayunya. menampung kayu dari
pelabuhan mencatat Provinsi Guangdong,
hutan adat yang tak
Mansinam mengirimkan Cina. Padahal, pada
punya izin.
100 kontainer kayu November 2018, tak
ke Shanghai, Cina, satu meter kubik pun
sepanjang tahun itu. pasokan bahan baku
kayu tercatat masuk ke
Mansinam.

120 — Potret Hutan Papua 121


John
Burdameswarga
Bonggo,
jalan lintas Jayapura-Sarmi. Inilah bedeng para penebang merbau yang tengah
masyarakat
yang tinggal di beroperasi di wilayah sekitar itu.
Kabupaten Sarmi.
FOTO: SYAHRUL FITRA Pemuda 22 tahun itu, sebut saja Hu—karena ia enggan namanya ditulis—
bertugas mengangkut kayu dari lokasi pengolahan ke lokasi penimbunan
Alat angkutnya, ya, motor yang tadi dia periksa. Caranya, merbau yang sudah
berbentuk balok disusun rapat dan seimbang di sisi kiri dan kanan motornya.
Setiap sisi membawa kayu berukuran dua kali orang dewasa.

Ia lalu mengendarai motor itu di atas rel yang terbuat dari papan kayu sembari
berupaya agar tak jatuh. “Saat ini, lokasi penebangannya makin jauh ke dalam,
lebih dari sepuluh kilometer melewati medan turunan, tanjakan, dan tikungan.
Ketika hujan, jalan makin berat dilalui,” katanya.

Jelas, kerja Hu itu tidak gampang. Lihat saja bekas


luka yang merekah di pundak pemuda ini, yang saat
“Upah untuk itu terlihat masih basah. “Tertimpa,” ujar Hu. “Luka
setahun adalah hal biasa di sini.” Lalu dia menunjukkan
di dalam bekas luka lain di bagian kaki.
hutan Rp 40 Pekerja di bedeng merbau lain yang kami temui di
juta.” Di luar Sarmi membenarkan adanya tantangan berat yang
negeri, harga harus dihadapi operator kayu di lapangan. Tapi
merbau bisa pemuda keturunan Wamena itu membutuhkan
mencapai Rp pekerjaan tersebut untuk membiayai kuliah
21 juta per saudaranya sejak kedua orang tua mereka
meter kubik. meninggal. “Upah untuk setahun di dalam hutan Rp
40 juta,” katanya.

Bagi cukong merbau, nilai segitu kecil. Di luar negeri, harga merbau bisa
DIA YANG LUKA, mencapai Rp 21 juta per meter kubik, bahkan masih bisa lebih tinggi. Cukong-

CUKONG YANG KAYA cukong itu membeli pohon dari pemilik ulayat dengan harga murah.

John Burdameswarga Bonggo, yang pernah ikut menjual kayu merbau kepada
PEMUDA keturunan Bugis itu asyik dengan sepeda motornya di bawah rumah para cukong, misalnya, mengaku untuk setiap meter kubik mendapat Rp 500
panggung setinggi empat meter. Asap rokok terus mengepul dari mulutnya. Ia ribu. Ia menaksir harga dari industri tidak akan lebih tinggi dari Rp 7 juta.
sedang memeriksa kesiapan tunggangannya untuk bekerja. Karena itu, ketika ia tahu harga kayu ini di Australia sekitar Rp 21 juta per
Jangan membayangkan pemuda itu sedang berada di tengah kampung. Rumah meter kubik, raut wajahnya berubah mendadak. Kernyit di dahinya makin
panggungnya berdiri di tengah sisa-sisa hutan, beberapa kilometer dari ruas banyak, makin dalam.

122 — Potret Hutan Papua 123


Harga tanah
masyarakat
adat Momuna
Rp 357 per
meter persegi.

Jika uang yang


diterima masyarakat
adat Momuna
sejumlah
Rp 20 miliar, lalu
dibagi luas tanah
8 km x 7 km.

Dekai l

124 — Potret Hutan Papua 125


Terusir
di Kota Baru
Wirya Supriyadi dan Zuraidah Said

Pemekaran Kabupaten Jayawijaya melahirkan sebuah kabupaten


baru, dan menyebabkan 11.508 hektare hutan di wilayah Yahukimo
lenyap. Kisah ganti rugi tak adil dan terancamnya tradisi mewarnai
kelahiran ibu kota untuk wilayah anyar ini.

MATA Berry Keikye menerawang jauh ke arah halaman depan


Gereja GIDI Anugerah, Distrik Dekai, Kabupaten Yahukimo, Papua.
Siang itu, awal Desember 2017, cuaca sangat panas. Matahari
bersinar dengan teriknya. Wilayah Kota Dekai, yang umumnya
berupa rawa dan sedang menggeliat membangun, menyisakan
pemandangan tumpukan sirtu (campuran pasir dan batu) di setiap
sudut kota. Tahun itu, Dekai menginjak usia 15 tahun.
“Sekarang, kalau Noo dong mau cari sayur, harus pergi jauh ke
seberang Kali Brazza,” kata Berry. Noo berarti “mama” atau “ibu“
dalam bahasa Momuna.
Cerita Berry lalu melambung ke masa kecilnya, ketika Dekai
masih berupa perkampungan dan menjadi bagian Kabupaten
Jayawijaya. Pria 26 tahun yang kini menjabat Kepala Sekretariat
dan Budaya Dewan Masyarakat Adat Momuna ini biasa bermain
di Kali Bonto, bengawan terbesar di sisi barat Dekai, yang
berimpitan dengan Sungai Brazza. Wilayah ini dulunya rindang
oleh pepohonan khas dataran rendah, seperti nibun, merbau,
kayu susu, dan berbagai macam rotan. Bahan rotan itu banyak
digunakan untuk pengikat jubi, panah khas Papua.

126 — Potret Hutan Papua 127


Saat itu, pee—dalam pelafalan lokal pii yang berarti pohon sagu— Dekai dapat dicapai menggunakan pesawat baling-baling dari
juga mudah diperoleh. Hewan buruan tinggal dikejar di hutan. Tapi, Bandar Udara Sentani, Kabupaten Jayapura. Penerbangan itu
dalam hampir dua dekade terakhir ini, semuanya tak lagi bersisa. memerlukan waktu sekitar 50 menit. Sedangkan dari Suator,
Kabupaten Yahukimo resmi dibentuk sebagai daerah hasil Kabupaten Asmat, orang dapat menggunakan speedboat melalui
pemekaran Kabupaten Jayawijaya. Undang-Undang Nomor 26 Sungai Brazza. Waktu yang dibutuhkan 4-5 jam ke arah hulu.
Tahun 2002 yang melahirkan Kabupaten Yahukimo menyebut Dekai adalah wilayah adat suku Momuna. Saat pemekaran
Sumohai sebagai ibu kota. Namun kenyataannya tak ada satu pun dilakukan, hutan banyak dibabat atas nama pembangunan kota
daerah di Kabupaten Yahukimo—area seluas 17.500 kilometer baru. Sejumlah tanah ulayat “dibeli” dari suku Momuna dengan
persegi—bernama Sumohai. Bahkan, dalam dokumen Yahukimo cara kontroversial. Sebab, tidak seluruh masyarakat suku Momuna
dalam Angka, juga tidak ditemukan nama kampung atau distrik yang mempunyai wilayah ulayat di Dekai itu terlibat dalam
(kecamatan) Sumohai. pengambilan keputusan.
Pendeta Barens Doyapouw menegaskan tidak ada tempat yang “Ini sudah tidak bermartabat dan sudah merupakan perampasan
bernama Sumohai. “Kalau Sumo boleh ada, tanah,” kata Kepala Pemerintahan Adat Dewan Masyarakat Adat
Hewan karena itu daerah rintisan pekabaran Injil Momuna, Marthen Keikyera.
buruan sebelum turun ke Dekai sini,” ujarnya. Jadi, Pernyataan Marthen tersebut bukanlah tanpa alasan. Menurut
tinggal saat pemerintah membangun infrastruktur dia, Bupati Yahukimo waktu itu (periode 2006-2016) tidak
dikejar di Kabupaten Yahukimo di Dekai, tak pernah menggelar musyawarah saat melakukan pembelian tanah ulayat
hutan. Tapi, ada nama Sumohai itu. suku Momuna. Padahal merekalah pemilik lahan itu. Suku Momuna
dalam hampir Wilayah Kecamatan Sumo terletak di juga merupakan yang paling terdampak oleh pembangunan Kota
dua dekade sebelah barat persis Kecamatan Dekai— Dekai.
terakhir ini, sekitar 15 kilometer dari kota. Jika memang Dalam proses itu, harga tanah pun ditentukan Pemerintah
semuanya tak Sumohai itu adalah wilayah Sumo yang Kabupaten Yahukimo dan nilainya sangat kecil. Jika dihitung-
lagi bersisa. dimaksudkan, tidak banyak informasi yang hitung, dari total uang pembayaran dibagi luas lahan, harganya
didapat jika ditelusuri menggunakan mesin hanya ratusan rupiah per meter persegi.
pencarian.
Ini sungguh kerugian besar bagi suku Momuna karena mereka
Pemekaran wilayah Yahukimo dari Kabupaten Jayawijaya ini menilai hutan dan tanah ulayat bukan hanya sebatas harta fisik.
terkesan tergesa-gesa. Bagian penting dari sebuah kabupaten Lahan dan hutan adalah bagian dari budaya, sumber penghidupan,
baru seperti ibu kota kabupaten saja bisa salah nama. Situs resmi nilai-nilai kepercayaan, dan identitas diri.
Pemerintah Provinsi Papua secara jelas menuliskan bahwa ibu
kota Kabupaten Yahukimo adalah Dekai. Begitu pula laporan
nnn
Badan Pusat Statistik, Kabupaten Yahukimo dalam Angka.
Mungkin pada 2002 nama Sumohai ini hanya digunakan untuk
memenuhi syarat terbentuknya kabupaten baru. Selanjutnya, Kota SELAMA tiga tahun pertama pemerintahan, Kabupaten Yahukimo
Dekai yang telah terbangun ditunjuk sebagai ibu kota kabupaten. dikendalikan dari Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya, yang
berjarak sekitar 80 kilometer ke arah barat laut. Pusat kota baru

128 — Potret Hutan Papua 129


Sebuah pohon sagu
yang masih tersisa dari
pembangunan Kota
berpindah ke Dekai pada 2006. Sejak saat itu sampai 2020, tutupan Dekai.
hutan seluas 11.508 hektare di wilayah Yahukimo lenyap. FOTO: WIRYA SUPRIYADI

Kabupaten Yahukimo mempunyai 51 distrik (kecamatan) dan 518


kampung (desa). Dekai merupakan salah satu distrik di Kabupaten
Yahukimo. Dekai mempunyai 12 kampung. Sembilan di antaranya
dihuni masyarakat adat Momuna, antara lain Massi, Kiripun,
Kokamu, Sokamu, Keikye, Muara dan Moruku. Sementara itu,
penduduk Kampung Dekai adalah campuran antara masyarakat
adat Papua dan suku Nusantara.
Ada empat klan utama yang menetap di Distrik Dekai. Dua di
antaranya Keikyera dan Irainkya. Terpisahnya Yahukimo dari
Kabupaten Jayawijaya pada 2002 telah mendorong masuknya orang
dari luar pulau, seperti Jawa, Sulawesi, Sumatera, Kalimantan,
Maluku, Nusa Tenggara, dan Bali, yang menetap di Kota Dekai.
Eksistensi masyarakat adat Momuna sangat penting bagi
Yahukimo. Sebab, penggalan “Mo” pada nama Yahukimo diambil
dari nama suku Momuna. Adapun “Yahuki” berasal dari tiga suku
lain yang juga berdiam di kabupaten ini: Yali, Hupla, dan Kimyal.
Yali merupakan salah satu suku besar yang ada di Yahukimo.
Mereka umumnya menempati bagian timur Lembah Baliem,
dataran tinggi Pulau Papua. Wilayah teritorinya terletak antara
Sungai Ubahak di sebelah timur dan Sibi, Yahulie, serta Podeng di
bagian barat.
Salah satu warga masyarakat adat Momuna adalah Yunani
Irainkya, Kepala Suku Kampung Dekai. Di rumahnya di Samaro,
yang merupakan rumah panggung berdinding dan beralaskan
bilah-bilah kayu, dia tinggal bersama keluarganya.
Malam itu, Yunani dan keluarganya kedatangan seorang tamu.
Hari belum terlalu larut dan langit cerah bertabur bintang. Rumah
Yunani yang sederhana hanya berupa sekotak ruangan dengan
tungku mungil di tengahnya. Dan tungku itulah satu-satunya
sumber cahaya di dalam rumah. Maklum, rumah mereka belum
dialiri listrik.
Yunani menemani tamu bercakap, sedangkan istri dan anak-

130 — Potret Hutan Papua 131


anaknya mengelilingi tungku membakar tiga buah wani (ubi jalar) pembangunan di sana, sudah pasti keluarga Yunani kehilangan
untuk disajikan kepada tamu. “Walaupun kampung kami sudah sumber penghidupannya.
berubah menjadi kota, listrik belum merata dirasakan semua
anggota masyarakat,” ujarnya. nnn
Bagi orang Momuna, hutan itu sudah seperti noo, yang memberi
makan sampai kenyang. “Dulu di sini hutan, jadi mudah mendapat
RATUSAN atau mungkin ribuan tahun masyarakat adat Momuna
kayu bakar. Sekarang sulit, harus pergi jauh dari rumah,” kata
telah tinggal bersama alam sekitarnya. Di kawasan ini, sejauh mata
Yunani. Kini masyarakat biasa mendapatkan kayu bakar di
memandang, tidak terlihat bukit atau gunung. Semuanya tampak
seberang Kali Brazza, tempat yang belum terambah permukiman
datar. Tanahnya pun berupa rawa atau dataran rendah, dengan
penduduk.
banyak aliran sungai.
Sebelum ada pembangunan Kota Dekai, Yunani Irainkya dan
Suku Momuna hidup erat sekali dengan
keluarganya tinggal di wilayah yang sekarang menjadi pusat kota. Karena hutan dan sungainya. Hutan mereka iba­
Namun saat ini mereka tinggal di pinggir kota. Dari titik nol Kota rumahnya rat supermarket yang menyediakan semua
Dekai, rumah Yunani terletak di 5-6 kilometer ke arah timur. belum kebutuhan sehari-hari, dari protein he­
Karena rumahnya belum tersentuh listrik, kehidupan cepat tersentuh wani dan nabati, hasil hutan kayu, hasil
“berhenti” di sana. Larut seperti datang terlalu cepat setiap malam. listrik, hutan nonkayu, hingga aksesori budaya.
Biasanya aktivitas di dalam rumah berhenti pada pukul 20.00. kehidupan Semuanya gratis.
Lalu esoknya sekitar pukul 05.00, kehidupan mulai bergulir lagi. cepat
Cara hidup mereka umumnya berburu,
Bukan tanpa alasan Yunani dan keluarganya bangun pagi. Mereka “berhenti”
berladang berpindah, atau meramu.
harus menempuh waktu dua jam jalan kaki untuk mencari makan di sana.
Mereka menanam, lalu meninggalkan
ke dalam hutan. Rutinitas ini dilakukan saban hari. Larut seperti
tanamannya untuk berkebun di tempat
Yunani mengatakan, untuk memasang jerat, kadang mereka datang terlalu
lain. Biasanya yang mereka tanam adalah
menempuh jarak lebih jauh—bisa sampai empat jam jalan kaki. cepat setiap
wani, pisang, dan sayur lilin. Mereka
Maklum, hutan yang dulunya tempat memasang jerat kini telah malam.
bercocok tanam di 4-5 lokasi dalam waktu
tiada. Dulu ada beberapa titik untuk memasang jerat dan berburu. tak bersamaan. Hewan buruan yang biasa diperoleh adalah babi
Sekarang area itu sudah menjadi kota. Salah satu titik perburuan hutan, tikus tanah, burung mambruk, dan burung kasuari. Kadang
bersalin rupa menjadi sebuah hotel. Suatu saat terlihat buldoser mereka juga memanah ikan.
terparkir di depan hotel, di daerah gusuran dekat dusun sagu.
Sony Omu, anak Kepala Suku Kampung Massi, mengatakan
Pembelian tanah ulayat mereka oleh pemerintah daerah hutan di Kampung Massi masih bagus karena tidak dibongkar
membuat Yunani dan keluarganya terdesak ke pinggir kota, seperti di Kota Dekai. “Babi dan burung bisa kami buru di hutan.
tempat masih adanya sisa tanah keluarga buat ditinggali dan Lalu sayuran seperti pakis, daun patatas, genemo, kangkung, dan
untuk bercocok tanam. Lahan itu pun rawan hilang. Sebab, secara daun singkong juga biasa kami ambil di hutan. Bahkan di sungai
hukum, tanah mereka terhitung “milik” pemerintah kabupaten juga masih ada ikan. Jadi kitong bisa tangkap buat makan,” ujarnya.
dan belum dimanfaatkan untuk pembangunan. Suatu saat, jika ada
Jika membutuhkan bulu-bulu burung kasuari dan kakatua untuk

132 — Potret Hutan Papua 133


Yunani Irainkya dan
keluarganya yang kini
tinggal di pinggir Kota
Dekai akibat tergusur
pembangunan kota.
FOTO: WIRYA SUPRIYADI

134 — Potret Hutan Papua 135


aksesori, mereka bisa mendapatkannya pula di hutan. Kalau tidak terdapat harta masa depan.
dengan cara berburu, mereka akan memasang jerat. Masyarakat Momuna memiliki kepercayaan dinamisme. Mereka
Pendapat yang sama diutarakan Biyemi Sonomi, pria paruh percaya akan kekuatan alam semesta. Mereka percaya kepada roh
baya Kepala Suku Kabita. Kata dia, hutan dan pohon sagu masih atau arwah nenek moyang dan tokoh mistis yang mendiami alam
banyak di Kabita. “Di sana masih banyak babi, burung, dan pohon. semesta.
Sayuran juga masih banyak. Kabita hanya dapat ditempuh dengan Les Henson dalam jurnal Momina Spirit Cosmology (1984)
berjalan kaki cukup lama karena hutan belum dibongkar untuk mencoba membagi sistem kosmologis kepercayaan masyarakat
(pembangunan) jalan,” katanya sembari terbatuk-batuk.  Momuna menjadi tiga, yaitu (1) keberadaan tokoh mistis (dewa
Dari titik nol Kota Dekai ke arah utara sejauh 12 kilometer akan yang berkedudukan di atas langit, yang
sampai ke Kampung Massi. Kedua lokasi itu dihubungkan oleh dikenal dengan sebutan Botooma Rino
sebuah jalan yang baru diaspal sebagian, sementara sisanya masih
Suku Booto, pencipta marga atau klan, dan
berupa hamparan sirtu. Tapi kendaraan roda dua dan roda empat
Momuna pahlawan menurut budaya); (2) arwah
bisa melaju di atasnya. Untuk mencapai Dusun Kabita, perlu empat
hidup erat penghuni semesta seperti pohon, air, dan
jam lagi jalan kaki dari Kampung Massi.
sekali dengan bumi; serta (3) arwah orang yang telah
hutan dan mati, baik leluhur maupun orang tua yang
sungainya. baru saja meninggal.
nnn Hutan
mereka ibarat Suku Momuna terdiri atas tujuh marga

ADA benang merah dari kisah yang disampaikan Berry Keikye, supermarket atau klan. Setiap marga memiliki ayah yang

Sony Omu, Biyemi Sonomi, dan Yunani Irainkya tersebut, yakni yang dianggap sebagai penemu atau pencipta

kehidupan masyarakat adat Momuna masih sangat bergantung menyediakan marga tersebut. Jadi setiap marga memiliki

pada hasil hutan. Tanah dan hutan wilayah adat Momuna memiliki semua totem berupa binatang yang berasosiasi

berbagai arti dan makna bagi mereka. kebutuhan dengan pencipta atau penemu klan. Setiap

Suku Momuna meyakini bahwa tanah dan hutan adalah “Ko


sehari-hari. marga mendiami suatu wilayah tempat
sang ayah pertama kali “melahirkan” anak-
Punya Mama”. Hutan merupakan tempat terbentuknya tradisi dan anak marga tersebut.
budaya. Mereka percaya, pada tanah dan hutan ada “kehidupan”
Sampai kini, setiap marga masih mendiami wilayah masing-
berupa kekuatan alam, arwah leluhur, manusia, hewan, tumbuhan,
masing sekaligus menjadi pemilik tanah ulayat. Kepemilikan ini
tradisi, dan budaya yang menjadi sumber kehidupan.
diwariskan secara turun-temurun. Karena satu marga dilahirkan
Warga Momuna juga memandang tanah dan hutan sebagai atau diciptakan satu ayah, wilayah ulayat pun dimiliki secara
tempat sejarah leluhur, tempat keramat, tempat tinggal, tempat komunal.  Itulah sebabnya, persoalan yang menyangkut tanah
makan, tempat obat-obatan, dan tempat belajar. Tanah dan hutan ulayat harus diputuskan lewat musyawarah di tingkat marga.
juga menjadi simbol budaya karena memiliki keterkaitan dengan Musyawarah marga juga digelar untuk memutuskan hal-hal pen­
pandangan kehidupan (nilai, norma, dan sistem), kesejahteraan, ting lain.
serta jati diri seseorang, keluarga, dan marga sebagai bagian
masyarakat adat. Dan yang penting pula, pada tanah dan hutan

136 — Potret Hutan Papua 137


Para perempuan suku
Momuna di kampung
Massi, Distrik Dekai,
Kabupaten Yahukimo.
FOTO: WIRYA SUPRIYADI

138 — Potret Hutan Papua 139


Simbol, Pencipta/Penemu, dan Lokasi Marga dari Suku Rumah Rooni Ko’ Booto dipercaya berada di bawah pohon Ko’
Momuna (Les Henson, 1984) Sameta. Wilayah yang diyakini menjadi tempat tumbuhnya pohon
Ko’ Sameta itu dianggap sebagai tanah keramat. Mereka yang
MARGA/KLAN SIMBOL/TOTEM PENCIPTA/ LOKASI MARGA
PENEMU MARGA bukan dari klan Woin tidak dapat melewati area itu tanpa ditemani
orang bermarga Woin. “Jika seseorang yang bukan marga Woin
Woin Babi  Rooni Ko’ Booto Sumo 
datang dan mengunjungi tanah keramat ini, peristiwa buruk atau
Kooboo Bambu  Banee Kosee Indama 
Booto sial akan terjadi, seperti gempa bumi dan banjir,” tulis Les Henson.

Boone Matahari/tikus Bateebeea  Ubiu 


Tingginya kepercayaan kepada alam semesta dan banyaknya
simbol pohon yang menggambarkan tempat tinggal atau asal-
Eerenka  Ular 
muasal kehidupan menunjukkan bahwa hutan dan pohon adalah
Eera  Sagu  Eerebee  Ubiu  hal yang sakral dalam struktur kehidupan
Anaboin  Penyu/ikan Biroonee  Rekai  suku Momuna. Filosofi ini bertahan sampai
Suku sekarang.
Keike  Pohon  Ree 
Momuna
meyakini
bahwa tanah
nnn
Les Henson menulis, cerita turun-temurun suku Momuna secara
eksplisit menjelaskan kaitan antara kepercayaan suku dan arwah dan hutan
yang menempati atau menjaga alam semesta.  Misalnya, tokoh adalah “Ko DI rumahnya yang beratapkan seng dan
Botooma Rino Booto dianggap sebagai dewa dengan posisi tertinggi Punya Mama”. berjarak sekitar 1,3 kilometer dari titik nol
dan hidup di atas awan. Botooma Rino Booto dianggap menjaga Hutan Kota Dekai, Marthen Keikyera menjelaskan
manusia yang tinggal di bumi (suku Momuna) dari kejadian merupakan proses lepasnya hak ulayat tanah
runtuhnya langit. Mereka percaya bahwa posisi Botooma Rino tempat masyarakat adat Momuna. Menurut dia,
Booto tepat di bawah langit, sebagai penyangga langit, sekaligus terbentuknya hal itu terjadi tanpa musyawarah dengan
pelindung pepohonan dan manusia di bawahnya. tradisi dan pemilik tanah ulayat. Ia mengaku ingat

Tokoh selanjutnya adalah Rooni Ko’ Booto, yang merupakan


budaya. betul soal itu. “Masyarakat hanya disuruh
kumpul oleh Ones Pahabol saat ada yang
ayah atau pencipta klan Woin. Rooni Ko’ Booto dipercaya membawa
memprotes soal pembayaran. Namun
orang-orang Woin dari bawah pohon Ko’ Sameta ke atas tanah.
dikatakan, ‘Kamu anak kecil tidak tahu apa-apa.’ Sudah langsung
Para lelaki marga ini muncul dari dalam akar pohon Ko’ Sameta
bayar,” tuturnya dengan wajah terlihat geram. Ones Pahabol
yang menjulur ke arah matahari terbit. Sedangkan para wanitanya
adalah Bupati Yahukimo periode 2006-2016. 
muncul ke permukaan dari dalam akar pohon Ko’ Sameta yang
menjulur ke arah matahari tenggelam. Ismail Keikyera, kerabat Marthen, memperlihatkan dokumen-
dokumen tanda pelepasan hak ulayat. Dalam dokumen tersebut
Rooni Ko’ Booto adalah manusia yang bisa berubah menjadi
terdapat kalimat “Pelepasan hak ulayat seluas 7 km x 8 km dengan
babi. Babi ini merupakan simbol atau totem marga Woin dan
total pembayaran Rp 20 miliar”.
tinggal di tengah masyarakat Woo Ko Meearoo atau dikenal dengan
“masyarakat pohon babi”. Pada 2005, Penjabat Bupati Roberth Wanimbo berniat membeli

140 — Potret Hutan Papua 141


Sebuah keluarga yang
masih tinggal di Rumah
Tinggi, rumah tradisional
suku Momuna.
FOTO: WIRYA SUPRIYADI

142 — Potret Hutan Papua 143


tanah masyarakat adat Momuna seluas 2 km x 3 km. Di atas Suarapapua.com. Bupati Abock mengatakan bandara Dekai akan
lahan itu akan dibangun kantor-kantor pemerintahan Kabupaten menjadi kejutan untuk masyarakat Yahukimo dan Pegunungan
Yahukimo. Namun, pada masa Bupati Ones Pahabol, luasannya Tengah karena menjadi jalur transportasi menuju kabupaten-
berubah menjadi 7 km x 8 km (56.000.000 meter persegi) dengan kabupaten lain di sana.
uang pelepasan hak ulayat sebesar Rp 20 miliar.  Bukan soal kejutan itu yang dirasakan Marthen. Sebab, dia
Menurut Marthen Keikyera, pemerintah langsung mengum­ tak melupakan bagaimana proses pembelian tanah ulayat itu
pul­
kan masyarakat dan memberikan uang tunai. Saat proses dilakukan, yang menurut dia mengarah ke aksi perampasan tanah
pembayaran Rp 1,2 miliar pada 2007 itu, dia sedang tidak berada di karena tak lewat musyawarah dengan pemilik hak, yakni marga-
Dekai. “Pembayaran tanah (dengan cara) tersebut tidaklah benar marga. Akibat karut-marutnya proses itu, kata dia, hingga kini
karena tidak ada proses musyawarah dari masyarakat tidak tahu batas tanah yang dibeli pemerintah.
pemilik tanah ulayat, yakni di marga-
Jika uang Sekarang mari berhitung berapa besar pemerintah menghargai
marga,” ujar Marthen.
yang diterima lahan yang dibeli. Jika uang yang diterima masyarakat adat
masyarakat Namun pembayaran terus dilakukan Momuna sejumlah Rp 20 miliar, lalu dibagi luas tanah 8 km x 7 km
adat Pemerintah Kabupaten Yahukimo secara (5.600 hektare atau 56.000.000 meter persegi), didapatkan harga
Momuna bertahap, pada 2008, 2009, 2010, 2011, tanah Rp 357 per meter persegi. Ini angka yang rendah sekali.
sejumlah 2012, dan 2015. Dan di era Bupati Abock Bahkan harga sebatang rokok keretek 234 pun (Rp 1.400) masih
Rp 20 miliar, Busup, dibayarkan sebesar Rp 1,2 miliar, tiga kali lipat lebih besar daripada harga tanah per meter persegi
lalu dibagi sehingga total pembayaran adalah Rp 20 yang dibayarkan Pemerintah Kota Dekai.
luas tanah miliar. Jumlah itu sangatlah tidak sebanding dengan hilangnya hutan
8 km x 7 km, Dalam berita yang dimuat Suarapapua. yang menjadi identitas suku. Kesakralan dan pentingnya nilai hutan
didapatkan com (24 Oktober 2018), disebutkan di Papua sangat memengaruhi nilai sosial-budaya masyarakat di
harga tanah pembayaran di era Bupati Abock itu seluruh wilayah Papua, tidak hanya di Yahukimo.
Rp 357 dilakukan untuk mengganti tanah ulayat Aktivis penggiat masyarakat adat, Feki Mombalen dari suku Moi
per meter yang di atasnya akan dibangun Bandar di Sorong, pernah menjelaskan pentingnya hutan bagi masyarakat
persegi. Udara Nop Goliat, Dekai. Pembayaran Papua. “Hutan yang ada di suatu tanah ulayat itu sudah seperti
tahap pertama dan kedua dilakukan di identitas yang melekat di diri suku tersebut, seperti tanda pengenal
era Bupati Ones Pahabol masing-masing yang menjelaskan asal-usul suku, tempat suku tinggal, dan
sebesar Rp 3 miliar dan Rp 150 juta. Abock mengatakan dulu karakter suku. Jadi, kalau hutan tidak ada, hilang sudah identitas
belum ada pendekatan dan tawar-menawar dengan pemilik hak suku tersebut,” katanya.
ulayat, dan itu baru dilakukan pemerintah daerah agar menjadi
dokumen resmi.
nnn
“Dari awal ‘berapa kali berapa’ itu tidak ada, sehingga kami
datangkan kejaksaan, pertanahan, Kapolres, dan Ketua DPRD
untuk menyaksikan sekaligus mengurus dokumen resmi sehingga “RUMAH tinggi itu bisa mencapai tujuh meter,” ujar Barens
pembangunan bandara bisa dilanjutkan,” kata dia, seperti dikutip Doyapouw. Demikian sang Pendeta mengawali ceritanya soal

144 — Potret Hutan Papua 145


Dahulu sebelum ada
pembangunan Kota
Dekai, memasang jerat
rumah adat bagi suku Momuna itu. Dia menjelaskan, rumah tinggi dan berburu hewan
berguna untuk melindungi keluarga yang tinggal di sana dari tidak perlu berjalan jauh
selama ber jam-jam.
gangguan hewan dan musuh. Barens adalah penginjil di Dekai FOTO: WIRYA SUPRIYADI
sejak 1986. Dia tahu persis pada saat itu Dekai berhutan sangat
lebat.
“Namun, sayang, sekarang sudah tidak ada lagi rumah tinggi
bagi yang berkeluarga, juga rumah bujang untuk para lelaki lajang,”
ucap Ely Markotu, warga Kampung Moruku. Kampung ini berjarak
sekitar enam kilometer dari titik nol Kota Dekai ke arah selatan.
Kampung Moruku dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua
atau roda empat dalam waktu 15-20 menit.
Dulu rumah tinggi dihuni satu keluarga dan terdiri atas dua bilik
utama. Satu bilik untuk semua laki-laki dalam keluarga, sementara
bilik lainnya untuk semua perempuan. Walaupun suami-istri
tinggal di dalam rumah tinggi, mereka tidak diperbolehkan tidur
bercampur. Bahkan sekadar bertatap muka juga tak diizinkan. Di
setiap bilik terdapat dapur di bagian ujung untuk memasak bagi
setiap kelompok (baik laki-laki maupun perempuan). 
Kehidupan setiap grup hanya bisa dila­ ku­
kan di dalam bilik
masing-masing. Bahkan, untuk naik-turun rumah, setiap kelompok
memiliki pintu dan tangga keluar sendiri. Jika suami-istri ingin
berhubungan badan, mereka akan melakukannya di dalam hutan
tak jauh dari rumah tinggi. 
Di dalam rumah tinggi, strata perempuan dan laki-laki sama
saja. Wanita diperbolehkan ikut berperang jika para lelaki
membutuhkan bantuan. Dan seperti para lelaki, wanita juga
mengambil sayuran dan berburu di hutan. Mereka kemudian
memasak hasil buruan dan sayuran di dalam bilik masing-masing.
Komunikasi hanya dilakukan lewat celah rumah di bagian tengah
yang memisahkan kedua bilik. Celah itu digunakan, misalnya,
jika mereka ingin sekadar bertukar makanan. Itu pun tidak boleh
menunjukkan wajah atau anggota tubuh. Hanya tangan yang
digunakan untuk menyodorkan makanan yang boleh terlihat.
Tradisi dan budaya semacam ini tak hanya milik suku Momuna,

146 — Potret Hutan Papua 147


Rumah Tinggi yang
merupakan rumah
tinggal tradisional suku
Momuna, saat ini sudah
banyak menghilang
karena pembangunan
kota baru.
FOTO: WIRYA SUPRIYADI

148 — Potret Hutan Papua 149


tapi juga suku lain. Kornelis Yowakejai, tokoh adat Marind, pariwisata. Jadi, kalau ada turis (lokal atau asing), mereka boleh
misalnya, bercerita pernah merasakan tinggal di rumah bujang menginap di sana,” ujar Sony Omu. “Turis bisa menginap di sini
saat muda dulu. Di rumah itu hanya tinggal anak-anak lelaki yang sebelum pergi ke Korowai atau daerah tujuan wisata lain.”
dianggap sudah akil balig. Mereka menetap di rumah bujang Inisiator replika rumah tinggi ini adalah Mike Hesegem. Ia
untuk dilatih kemampuan berperang, ditempa spiritualnya, juga melihat rumah tinggi bisa menjadi obyek wisata karena para
dilatih keahlian bertahan hidup. “Dari rumah itu, kami mendapat turis yang akan ke Korowai dan transit di Dekai dapat menikmati
kemampuan, misalkan, bisa mencium bau babi untuk di­buru,” pengalaman tinggal di rumah tinggi khas Momuna. Ia menginisiasi
ujarnya. Kornelis Yowakejai tinggal di Kampung Poo, Kabupaten pengembangan Kampung Massi sebagai kampung ekowisata.
Merauke.
Rumah tinggi sudah tak ada, jadi di mana masyarakat suku
Tradisi masyarakat yang tinggal di
Ketika hutan Momuna berdiam? Warga Dekai mendiami rumah seluas 5 m x 6
rumah tinggi ini sangat bergantung
musnah di m tanpa kakus buatan pemerintah pada 2004-2005.
pada hutan. Sebab, mereka makan,
Kampung Perubahan terjadi pada 2016. Terdapat rumah bantuan dari
berburu, dan berhubungan badan
Dekai, suku Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sebanyak
dengan pasangannya di dalam rimba.
Momuna 84 unit dengan model permanen seperti rumah tipe 21. Rumah
Ketika ada yang melahirkan, prosesnya
terpaksa dengan dua kamar dan beratapkan seng biru itu dilengkapi dua
pun dilakukan di dalam hutan. Ketika
meninggalkan kamar tidur. Rumah baru ini memiliki kamar mandi dan kakus,
hutan musnah di Kampung Dekai, suku
tradisi plus bonus tangki penampung air.
Momuna terpaksa meninggalkan tradisi
tersebut.
tersebut. Juga tradisi berburu, meramu,
Juga tradisi nnn
dan kebiasaan lain. Hutan mereka sudah
berburu,
berubah menjadi perkotaan.
meramu, dan
kebiasaan lain. “Sekarang orang mulai meninggalkan SALAH satu tantangan terbesar Kabupaten Yahukimo adalah
Hutan mereka kebiasaan. Misalnya, dulu makanan pokok kualitas pendidikan yang masih rendah. Penyebabnya, antara lain,
sudah berubah adalah pee dan wani, sekarang digantikan tenaga pendidik yang terbatas dalam kemampuan mendidiknya.
menjadi beras. Tidak tahu kenapa seperti itu,” Kala itu, tenaga pengajar kebanyakan berasal dari guru sukarela.
perkotaan. ujar Ely Markotu, pria yang kini menjadi Pada umumnya mereka tidak tamat sekolah dasar, sehingga
pegawai honorer di Bandara Nop Goliat. kualitas mengajarnya pun kurang bagus.
Orang Momuna menyebut sagu dengan kata pee (dibaca pii). Untuk mengatasi hal itu, menurut Pendeta Barens Doyapouw,
Tradisi lain yang musnah bersama lenyapnya hutan adalah pada 1990-an sebanyak 30 anak asli Momuna disekolahkan ke
cara bercocok tanam. Dulu, untuk bercocok tanam, para keluarga Wamena—karena di Dekai saat itu hanya terdapat sekolah dasar.
mempunyai area sendiri, sedangkan para bujang menggarap “Upaya menyekolahkan mereka cukup berat, terutama untuk
area terpisah secara bersama-sama. Tapi sekarang hal itu tidak anak-anak perempuan. Orang tua mereka ingin anak-anaknya
dilakukan lagi. tetap tinggal di Dekai,” ujar Barens.
Untuk melestarikan budaya rumah tinggi, di Kampung Massi Lalu terjadi pemekaran, dan di kampung-kampung dibangun
dibangun lima rumah tinggi. “Rumah ini dibangun untuk sekolah dasar. Para tenaga yang lebih terdidik kini mulai terlibat

150 — Potret Hutan Papua 151


dalam kegiatan belajar-mengajar. Di Kampung Massi, misalnya, ada
Simon Sonomi, warga Momuna asli, yang menjadi guru honorer.
NABIRE DAHULU SEBELUM DEKAI
Di Kampung Kwaserama juga sudah berdiri sebuah sekolah dasar. CERITA kehilangan hutan akibat pembangunan kota di tanah Papua tidak
Kepala sekolahnya adalah Demianus Keikye, orang asli Momuna. hanya terjadi di Dekai. Jauh sebelum itu, suku Wate di Nabire sudah merasakan
Demianus adalah orang pertama Momuna yang menjadi Kepala dampak hilangnya hutan. Penyebabnya adalah proses pembangunan Kota
Sekolah Dasar Kwaserama. Nabire. Hal Itu terjadi saat awal masuknya wilayah Papua (Irian Barat pada
Saat ini, sejumlah warga Momuna telah mengenyam pendidikan waktu itu) menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

lebih tinggi lagi, baik di Dekai, Sentani, maupun Jayapura. Di Alex Raiki, Kepala Suku Wate, yang tinggal di Kota Nabire, mengatakan
antaranya Tinus Keikye, yang kini kuliah di Fakultas Keguruan pembangunan Kota Nabire sudah dimulai jauh sebelum pembangunan Kota
dan Ilmu Pendidikan Universitas Dekai, yakni pada 1966. “Menurut kita pu tete-tete dulu, rumah-rumah di sini,
kota-kota itu, dulunya hutan tempat suku Wate berburu, cari makan, ambil
Kala itu, Cenderawasih. “Saya kini semester
kayu,” katanya. Hasil tanaman dan buruan itu lalu diturunkan ke Oyehe dan
tenaga tiga, mengambil jurusan biologi,” ucap
menjadi makanan untuk semua.
pengajar Tinus.  Ada juga Seroz Temay dan Yonas
Dokumen 66, yakni dokumen resmi yang berisi pernyataan masuknya wilayah
kebanyakan Pattiasina, yang sekarang kuliah di
Nabire ke wilayah NKRI, ditandatangani Christian Waray, pemimpin wilayah
berasal Makassar. Konon, bahkan ada pemuda
Nabire pada saat itu. Setelah Nabire resmi menjadi bagian dari Republik
dari guru Momuna yang melanjutkan pendidikan di
Indonesia, pemerintah Indonesia mulai membangunnya sebagai bentuk
sukarela. Pada Malang dan Jakarta. komitmen. “Sedikit-sedikit, lalu makin banyak wilayah yang dibangun, sampai
umumnya Namun, dari sederet kisah sukses, sebesar kota ini sekarang,” ujar Alex.
mereka masih terselip cerita pahit yang dialami Dampaknya, suku Wate pun kehilangan hutan di tanah ulayat sebagai tempat
tidak tamat Yunani Irainkya. Anaknya, Manu Irainkya, berburu dan mencari makan. Lalu mereka berburu di hutan yang berlokasi di
sekolah dasar, saat lulus sekolah dasar, menerima ijazah wilayah ulayat suku Yerisiam, dengan seizin pemiliknya.
sehingga yang bukan atas namanya. “Saya marah Karakter nomadik dari suku Wate—gemar berpindah dari satu tempat ke
kualitas dan meminta tanggung jawab sekolah tempat lain—kadang menimbulkan pengakuan ganda atas sebuah hak ulayat.
mengajarnya karena ijazah yang diterima bukan atas Suku Yerisiam beranggapan, karena pola nomadik, ditambah kehilangan
pun kurang nama anak saya, tapi nama orang lain,” sebagian hutannya, kadang suku Wate mengklaim wilayah yang ditempatinya.
bagus. ujar Yunani.  Sedangkan menurut suku Wate, walaupun berpola hidup nomadik, mereka
hanya berpindah dan mengklaim wilayah ulayat suku sendiri, bukan wilayah
Ia menjelaskan, urusan ijazah bisa
adat suku Yerisiam.
merembet ke mana-mana. Jika anaknya menggunakan ijazah
Clemens Monei, tokoh adat suku Wate di Kampung Nifasi, Kabupaten Nabire,
itu, namanya dan marganya jadi berubah. Padahal marga sangat
mengatakan dulu sangat mudah berburu hewan. Mereka tinggal jalan sebentar
penting bagi masyarakat Momuna. Akibatnya, Manu Irainkya
ke belakang rumah, maka sudah bertemu dengan babi, kasuari, atau rusa.
tidak disekolahkan lagi. Soal ijazah, ia meminta kepala sekolah
“Gampang untuk didapat,” katanya.
menyimpannya. Ini keputusan yang pahit.
Namun sekarang mereka harus berjalan kaki tiga atau empat jam baru bisa
Sebenarnya Yunani masih punya rencana untuk anaknya. Manu ketemu hutan. Saat mereka tiba di hutan, hewan buruan pun susah ditemukan.
akan dipindahkan ke Kampung Seradala agar bisa bersekolah di “Untuk mendapatkannya, kadang harus sampai bermalam di hutan,” ujar
sana dan mendapatkan ijazah. Masalahnya, Kampung Seradala Clemens. “Jadi tak cukup lagi satu hari untuk berburu babi dan kasuari.”

152 — Potret Hutan Papua 153


Anak-anak dari
Kampung Kokamu,
Kabupaten Yahukimo
yang sudah mulai
melupakan tradisi
masyarakat adat
Momuna akibat
pengaruh pembangunan
Kota Dekai.
FOTO: WIRYA SUPRIYADI

154 — Potret Hutan Papua 155


berada di Distrik Seradala, yang berjarak sekitar 80 kilometer dan
dipisahkan beberapa kali besar, seperti Kali Nami, Kali Te, dan Kali
Kabur. Ini akan menjadi keputusan berat.

nnn

APA yang dialami anak Yunani itu melengkapi kompleksitas


masalah yang dialami masyarakat suku Momuna. “Hilangnya”
identitas Manu di lembaran ijazah itu seperti simbol terkikisnya
identitas budaya suku Momuna karena hutan mereka banyak
dibabat demi pemekaran wilayah.
Semoga kehilangan itu tidak makin besar, dan hutan yang masih
tersisa dipertahankan, agar suku Momuna masih meyakini bahwa
tanah dan hutan adalah “Ko Punya Mama”.

156 — Potret Hutan Papua 157


WHO: masalah
gizi akut-kronis
MERAUKE
jika prevalensi
Papua balita pendek
mencapai 20
persen atau
lebih.

WHO: masalah
gizi akut-kronis
jika prevalensi
Papua balita kurus
mencapai 5
persen atau
lebih.

Kampung Zanegi l

Kampung Poo l

l Merauke

158 — Potret Hutan Papua 159


SORONG
l Sorong

l Kelurahan
Kladufu

WHO: masalah
gizi akut-kronis
jika prevalensi
Papua balita pendek
Barat mencapai 20
persen atau
lebih.

WHO: masalah
gizi akut-kronis
jika prevalensi
Papua balita kurus
Barat mencapai 5
persen atau
lebih.

160 — Potret Hutan Papua 161


Hutan Hilang,
Penyakit
Berbilang
Oktavianus Waken, Richarth Charles Tawaru, dan Wiko Saputra

Ketika hutan dirusak, orang asli Papua kehilangan sumber pangan


rumah tangga, ancaman kelaparan, gizi buruk dan kematian
menimpa silih berganti tanpa hentinya. Hutan adalah sumber
penghidupan mereka.

SEBUAH sore, di Kampung Poo, Kabupaten Merauke, 2018.


Sekelompok anak tampak bermain-main di sebuah halaman
rumah. Tapi Robertus Brojay tidak bisa bergabung dalam keriangan
itu. Bocah berusia 2 tahun 6 bulan tersebut hanya bisa terkulai
lemas. Tubuhnya sangat kurus, suhu badannya tinggi, pandangan
matanya sayu. Dia, yang biasa riang, hari itu terlihat pendiam.
Lalu dia berusaha bergerak dengan sisa tenaganya. Sepasang
kakinya yang gemetar melangkah pelan ke atas timbangan badan.
Jarum timbangan bergerak pelan sebelum terpaku pada angka
tertentu: 8 kilogram! Sungguh mengenaskan. Usia Robertus tengah
menuju 3 tahun, tapi berat badannya kurang dari 10 kilogram.
Robertus Brojay, yang lahir di Kampung Poo pada 6 Juni 2016,
memang mengalami masalah gizi buruk. Berat badannya jauh di
bawah indikator kesehatan. Berdasarkan standar yang ditetapkan
Organisasi Kesehatan dunia (WHO), anak seusia dia seharusnya
memiliki berat 11,5 kilogram.

162 — Potret Hutan Papua 163


Bukan hanya Robertus, petang itu lima saudaranya diketahui Kriteria ini merujuk pada WHO bahwa suatu wilayah dikatakan
mengalami masalah serupa. Berdasarkan perkiraan sederhana, mengalami masalah gizi akut-kronis bila prevalensi anak di bawah
masalah gizi itu diturunkan dari ibunya, yang secara fisik juga lima tahun (balita) pendek mencapai 20 persen atau lebih. Lalu
terlihat kerempeng. prevalensi balita kurus sebesar 5 persen atau lebih.
Robertus dan lima suadaranya tak sendiri. Bocah kurus Data Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan (2018)
dengan lingkar kepala besar lazim ditemui di tanah Papua. Di menunjukkan, di Provinsi Papua Barat, prevalensi balita pendek
Kelurahan Kladufu, Distrik Sorong Timur, Kota Sorong, Papua tercatat sebesar 27,8 persen, balita kurus 12 persen, dan balita
Barat, yang sebenarnya secara ekonomi kurang gizi 19,5 persen. Sedangkan di Provinsi Papua masing-
Pola hidup lebih mentereng dibanding daerah lain masing tercatat sebesar 32,9 persen, 10,2 persen, dan 17,5 persen.
dan faktor di Papua, juga banyak ditemukan anak
lingkungan bergizi buruk.
Status Gizi Balita di Provinsi Papua dan Papua Barat
diduga Pola hidup dan faktor lingkungan 2018
menjadi diduga menjadi penyebab berjangkitnya
penyebab gizi buruk pada anak. Asupan gizi KRITERIA PROVINSI

berjangkitnya yang tak seimbang dan lingkungan PAPUA (%) PAPUA BARAT (%)

gizi buruk bersanitasi buruk menyebabkan anak Balita pendek (stunting) 32,9 27,8
pada anak. rawan terjangkit bakteri. “Keluarga
Balita kurus 10,2 12
Asupan gizi kurang memberikan asupan gizi yang
yang tak baik dari kehamilan sampai lahir, karena Balita kurang gizi 17,5 19,5

seimbang dan rendahnya pendapatan rumah tangga,” SUMBER: DATA RISET KESEHATAN DASAR KEMENTERIAN KESEHATAN 2018

lingkungan ujar Santi Imbiri, Kepala Puskesmas


Pemerintah sebenarnya sudah mendeteksi masalah gizi
bersanitasi Pembantu Victory di Kelurahan Kladufu.
buruk anak-anak Papua. Namun penanganannya sangat lemah.
buruk Menyusuri jalan di sudut perkampungan
Intervensi program kebanyakan kuratif dan minim preventif.
menyebabkan padat di Kelurahan Kladufu, tak sulit
Reaksi pemerintah baru masif jika ditemukan kematian massal,
anak rawan menemukan anak-anak tengah bermain di
seperti kasus Asmat pada 2018. Namun, setelah itu, tidak ada
terjangkit lingkungan kotor tanpa alas kaki. Sebagian
intervensi menuju perbaikan yang lebih komprehensif.
bakteri. dari mereka doyan main di genangan air
yang berwarna hitam pekat. Rata-rata Kematian massal akibat gizi buruk di Kabupaten Asmat pada
perut mereka membuncit, kaki kerempeng, dan lingkar kepala besar. 2018, misalnya, hanyalah puncak gunung es dari masalah gizi
di tanah Cenderawasih. Menurut data, Kabupaten Asmat tidak
Masalah gizi buruk di Papua bukan lagi cerita baru. Sejak
berada di posisi tertinggi dalam soal angka balita kurus, pendek,
hutan mereka dirambah atas nama investasi dan pembangunan,
dan kurang gizi. Masih banyak kabupaten lain di Papua yang
gizi buruk pada anak di Papua berlangsung tanpa henti. Hasil
angkanya lebih tinggi, seperti Kabupaten Teluk Bintuni, Kabupaten
Pemantauan Status Gizi yang dilakukan Kementerian Kesehatan
Tambrauw, Kabupaten Kepulauan Yapen, Kabupaten Mappi,
pada 2017, Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua masuk kriteria
Kabupaten Waropen, Kabupaten Supiori, dan Kabupaten Yalimo.
mengalami masalah gizi akut-kronis.

164 — Potret Hutan Papua 165


Seorang mama
Kampung Poo,
Kabupaten Merauke,
sedang membeli mi
instant di tukang sayur
keliling.
166 — Potret Hutan Papua 167
FOTO: SANDY INDRA PRATAMA
Masih pada petang yang sama, kawan-kawan Robertus, seperti pelayanan medis saat melahirkan. Semua hal itu disebabkan oleh
Laterina Wormojay, Sergios Mahuse, Dominika Mahuse, Mariana keterbatasan infrastruktur kesehatan di Papua.
Mago, dan Rosa Kuerkujay, bergantian menginjak timbangan Ketika ibu hamil dan melahirkan mengalami risiko kesehatan,
badan. Hasilnya? Berat badan mereka jauh di bawah angka standar dampaknya menjalar pada si bayi. Ia bisa lahir dalam keadaan
yang ditetapkan WHO. Jadi, Robertus tak bermasalah sendirian. meninggal. Andaikan selamat, ia berisiko mengalami gizi buruk,
Teman-teman di kampungnya bernasib serupa. kurus, dan pendek (stunting).
Di seluruh Papua, mungkin ia punya ribuan kawan. Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan
oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu cukup lama. Akibatnya,
nnn si anak bertinggi badan lebih rendah dibanding rata-rata anak
sehat seusianya.

TANAH Cenderawasih diciptakan dengan kekayaan alam, terutama Anak-anak penderita stunting berisiko terpapar berbagai jenis
di hutan. Orang asli Papua sangat bergantung pada hutan. Hutan penyakit, baik yang menular maupun tidak. Dan ini menyebabkan
adalah sumber penghidupan mereka. Rimba bagaikan pasar tumbuh kembangnya menjadi terhambat. Ketika mereka masuk
swalayan yang menyediakan aneka ragam bahan makanan. Kapan usia dewasa, terjadi gangguan produktivitas. Mereka memiliki
saja, mereka bisa mengambil sagu sebagai sumber karbohidrat, tingkat produktivitas rendah.
babi dan rusa sebagai sumber protein, serta beraneka tanaman Di luar masalah teknis kesehatan, risiko gizi buruk dan stunting
sayuran dan obat-obatan. juga diperparah dengan kondisi lingkungan yang terus terancam.
Tapi itu dulu. Sekarang? Ketika pembangunan dilakukan dan Secara pendekatan etnografi, orang asli Papua merupakan suku
aktivitas perusakan hutan masif terjadi di tanah Papua, semua bangsa yang hidup secara meramu di hutan. Mereka sangat
cuma tinggal cerita. bergantung pada sumber bahan pangan yang ada di hutan.
Hilangnya tutupan hutan menyebabkan ancaman terhadap
Perambahan hutan menimbulkan dampak terhadap hilangnya
sumber asupan pangan mereka, sehingga terjadi kelaparan, gizi
sumber bahan makanan dan perekonomian orang asli Papua. Inilah
buruk, stunting, dan kekurangan energi kronis pada ibu hamil,
pemicu krisis pangan yang kemudian menyebabkan kelaparan dan
yang berujung kematian.
gizi buruk.
Perkara kesehatan memang merupakan salah satu persoalan
nnn
utama pembangunan Papua, selain masalah lingkungan,
pendidikan, dan kemiskinan. Kelompok yang paling rentan
terhadap masalah kesehatan tentu ibu dan anak. Kurang meratanya PERMASALAHAN gizi buruk dan penyakit misterius yang berujung
pelayanan dan infrastruktur kesehatan merupakan biang keladi kematian hampir setiap tahun terjadi di Papua. Skalanya pun terus
munculnya gizi buruk, kematian anak, dan kematian ibu di Papua. meluas, bisa tersebar ke berbagai tempat. Daerah yang pernah
Tingginya kematian ibu hamil dan melahirkan disebabkan mengalaminya antara lain Nabire, Paniai, Asmat, Yahukimo,
oleh perdarahan. Ini dipicu banyak hal, antara lain kekurangan Pegunungan Bintang, Lanny Jaya, dan Nduga.
energi kronis (KEK), kekurangan asupan zat besi, tidak pernah ada Pada 2008, misalnya, 172 anak dan orang dewasa meninggal di
pemeriksaan rutin kehamilan, dan keterlambatan mendapatkan Kabupaten Nabire dan Kabupaten Paniai, yang ditengarai karena

168 — Potret Hutan Papua 169


Dari hasil pengukuran
diketahui bahwa banyak
anak-anak di Kampung
Poo, Kabupaten
Merauke, memiliki
berat dan tinggi badan
kurang dari standar
yang ditetapkan Badan
Kesehatan Dunia
(WHO).
170 — Potret Hutan Papua 171
FOTO: ZURAIDAH SAID
penyakit gizi buruk dan kolera. Kejadian itu terus berulang. Dia bertemu dengan seorang anak berusia tiga tahun bernama
Hingga saat ini (2018), angka kematian anak dan orang dewasa Agustina, yang sedang sakit. Berat badan anak Vitalis Gebze ini
diperkirakan mencapai ribuan jiwa. hanya tiga kilogram, jauh dari berat ideal anak seusianya. Paras
Setiap muncul tragedi, pemerintah menyatakannya sebagai Agustina seperti orang dewasa dan cemberut, mungkin menahan
kejadian luar biasa (KLB). Beritanya pun menghiasi halaman sakit. Lingkar kepalanya besar dan sepasang matanya melotot,
depan media, baik nasional maupun lokal. Namun, sampai saat tapi sayu.
ini, belum ada upaya sistematis untuk menangani dan mencegah Rambut Agustina tidak tumbuh subur. Tubuhnya kurus hingga
hal itu. Pemerintah belum mempunyai informasi berbasis riset tulang-tulangnya menonjol. Perutnya
memadai untuk mengungkap penyebab bencana kematian yang membesar. Ciri-ciri ini menandakan
berulang itu. Pada 2008, Agustina mengalami masalah gizi buruk
Pada 2017, di Yahukimo, Pastor John Jonga menceritakan peristiwa
misalnya, atau busung lapar.
kematian puluhan warga di Distrik Samenage. Mereka meninggal
172 anak dan Menurut Vitalis, dokter di Rumah Sakit
dengan gejala rambut rontok, badan bengkak, kulit terkelupas, dan
orang dewasa Kota Merauke menyatakan Agustina tidak
sesak napas. Banyak yang mengatakan itu disebabkan oleh wabah
meninggal di sakit dan memulangkannya. “Tidak ada
virus, penyakit menular, gizi buruk, dan sebagainya.
Kabupaten surat keterangan medis apa pun,” ujar
Nabire dan Pastor John mengutip pernyataan Vitalis.
Pada 2018, harian Kompas mengutip Pastor John Jonga yang
Kabupaten
berkata bahwa perubahan fungsi hutan menjadi sawah dan Vitalis dan keluarga intinya menduga
Paniai, yang
perkebunan telah memperparah terjadinya gizi buruk. Itu, kata dia, ini bukan penyakit biasa, melainkan
ditengarai
menjadi salah satu penyebab bencana kematian di Papua. Ekspansi kejahatan suanggi. Itu adalah sebutan
karena
industri menyebabkan masyarakat kesulitan mendapatkan bahan untuk sejenis ilmu hitam yang dipercaya
penyakit
pangan lokal yang bergizi. “Jutaan hutan (pohon) sagu dibabat warga Papua. Vitalis berharap obat-
gizi buruk
untuk ditanami tanaman lain, di antaranya padi dan kelapa sawit. obatan di kampung dapat memulihkan
dan kolera.
Masyarakat kesulitan mendapatkan makanan pokok lokal, yaitu penderitaan Agustina.
Kejadian
sagu,” katanya.
itu terus Saat itu (2013), diketahui bahwa sudah
Pastor John menuturkan kondisi nahas suku Marind, suku berulang. ada empat anak balita di Kampung Zanegi
Mandobo, dan suku Awyu di Merauke dan Boven Digoel, Papua. Hingga saat ini yang meninggal dengan gejala serupa.
Mereka mengalami penderitaan dan mengeluh karena tanah hutan (2018) Pastor dan timnya juga menemukan
serta rawa dibongkar perusahaan perkebunan untuk ditanami kematian anak di Kampung Baad, yang
kelapa sawit, tebu, dan tanaman industri. merupakan daerah tetangga.
Pastor John pun mengisahkan perjalanannya ke Kampung Akhir Juni 2013, Pastor John menerima pesan singkat (SMS) dari
Zanegi, Distrik Animha, Kabupaten Merauke, pada akhir Mei 2013. Vitalis yang mengabarkan berita duka, “Kakak dengan Vitalis ni,
Saat itu, ia dalam tugas melakukan pemantauan dampak aktivitas saya sampaikan saya pu anak sakit tuh sudah meninggal.”
perusahaan hutan tanaman industri, yaitu PT Selaras Inti Semesta, Dalam waktu singkat ( Januari-Juni 2013), ada lima anak balita
anak perusahaan Medco Group. di Kampung Zanegi yang meninggal. Hingga dua tahun lalu, John

172 — Potret Hutan Papua 173


Pembukaan hutan untuk
kebun sawit di salah
satu perusahaan di
Kabupaten Merauke.
FOTO: SYAHRUL FITRA

174 — Potret Hutan Papua 175


Jonga masih diberondong kabar duka serupa dari kampung sekitar, Mengenai sumber penyakit, warga menduga wabah penyakit
hingga perkampungan pedalaman sekitar hulu Kali Kumb, Mbian, itu sengaja disebarkan orang luar (pu anim) melalui hubungan
dan Buraka. seksual. Mereka juga menduga penyebaran dilakukan lewat
Warga dan pemerintah kampung hanya bisa pasrah atas tragedi penggunaan barang-barang dari luar yang diberi semacam “virus”
dan kemalangan itu. Mereka menyalahkan diri atas ketelanjuran untuk mematikan suku tersebut. Kisah ini ditulis Raymond Corbey
perbuatan melanggar norma adat atau diam-diam menuduh dalam bukunya yang berjudul Headhunters from the Swamps: The
suanggi yang misterius, tidak terlihat, penuh cerita horor, dan Marind Anim of New Guinea as Seen by the Missionaries of the Sacred
mematikan sebagai penyebabnya. Heart, 1905-1925, yang terbit pada 2010.

Kegiatan Petugas medis di kampung dan di Ilwayab Okaba, tokoh masyarakat suku Marind dari kampung
pembangunan, kota juga tidak melakukan tindakan asli di daerah Tubang, mempunyai pandangan berbeda. Mereka
perambahan antisipasi yang berarti. “Mereka percaya kejadian mematikan ini disebarkan oleh seseorang atau
hutan, hanya bertindak reaktif dengan sesuatu yang fisiknya tidak kelihatan. Hal gaib itu mereka sebut
perusahaan, melakukan penyuluhan setelah kasus Tik Anem, yang menyebarkan penyakit mematikan melalui
polusi udara, kematian anak ini kami suarakan,” kekuatan tak kasatmata. Tujuannya untuk menjaga keseimbangan
pencemaran air, kata Pastor John. Masih belum ada kehidupan antara manusia dan binatang ataupun untuk niat jahat.
dan sebagainya upaya menyelidiki penyebab kejadian Leo Moyuend, Kepala Kampung Bibikem, Distrik Ilwayab,
telah dijalankan kemanusiaan ini dan upaya mencegah menafsirkan peristiwa kematian anak dan kematian ibu yang
secara perluasannya. disebabkan oleh Tik Anem itu sama seperti kebijakan pemerintah.
menyimpang dan Dalam sejarah, pernah juga terjadi Kata dia, kegiatan pembangunan, perambahan hutan, perusahaan,
menggunakan peristiwa kematian pada penduduk polusi udara, pencemaran air, dan sebagainya telah dijalankan
kekerasan. asli suku Marind. Sebagian besar secara menyimpang dan menggunakan kekerasan. Semua itu
Semua itu korbannya berdiam di kampung- mendatangkan malapetaka bagi suku Marind. Wujudnya bisa
mendatangkan kampung pesisir Merauke. Diper­ ki­ terlihat, bisa juga tak terlihat.
malapetaka bagi rakan separuh pendu­ duk asli suku
suku Marind. Marind meninggal dalam kurun 1910-
Wujudnya bisa 1918.
terlihat, bisa juga Diduga kematian massal ini
tak terlihat. disebabkan oleh wabah penyakit
yang dinamai granuloma veneries
atau sejenis penyakit kelamin. Penyakit ini ditularkan melalui
aktivitas seksual, sebagaimana ditemukan dokter Van der Meer
dan Sitanala. Hasil pengamatan dokter kepala Cnopius pada waktu
itu (1920-an) menemukan hal yang sama dan kemudian berhasil
mencegah penularannya dan menyembuhkan warga.

176 — Potret Hutan Papua 177


KARTON, AIBON, DAN GENERASI Natalis berasal dari keluarga miskin yang hidup di sekitar pesisir, yaitu Gang
Kakaktua, Jalan Victoria Km. 10, Kelurahan Kladufu. Orang tua Natalis, yang
YANG HILANG merupakan suku Kokoda-Sorong, menggantungkan hidup dari menambang
batu karang dan mengambil kayu bakau.
SELAIN terancam gizi buruk, bocah-bocah Papua rentan terpapar persoalan
sosial, seperti kemiskinan. Hal ini menambah risiko dalam proses tumbuh “Saya sudah mengambil kayu dan batu sejak di tempat ini masih banyak

kembang mereka. Kemiskinan itu adalah imbas dari terus berkurangnya hutan hutan. Lalu hutannya habis. Dengan teman-teman, kami mulai menambang

yang selama ini menjadi sumber mata pencarian dan pangan penduduk Papua. batu karang untuk menambah penghasilan,” kata Franky Erare, 43 tahun, ayah
Natalis, saat ditemui. Dari pekerjaan tersebut,
Salah satu dampak kemiskinan itu adalah makin banyaknya anak yang hidup
Franky mendapatkan Rp 100 ribu per hari. Uang itu
di jalanan perkotaan. Di antaranya di Kota Sorong. Dari hasil penelusuran, “Saya sudah digunakan untuk membiayai istri dan lima anaknya.
banyak anak berusia di bawah 18 tahun yang hidup menggelandang di jalanan. mengambil
Menurut catatan Dinas Sosial Kota Sorong (2018), jumlahnya mencapai 102 kayu dan Penghasilannya terus berkurang lantaran hutan

anak. batu sejak bakau sudah rusak dan batu karang mulai habis.

Banyak dari mereka menjadi tukang parkir. Di Kota Sorong, mereka dikenal
di tempat ini Uang Rp 100 ribu tidak mencukupi lagi untuk

dengan sebutan komunitas karton. Sebutan itu berasal dari perangkat utama
masih banyak membiayai kebutuhan rumah tangga. “Jadi saya

mereka saat menjadi juru parkir, yakni karton. Kertas bongkaran kotak kardus
hutan. Lalu membiarkan anak bekerja menjadi juru parkir

itu digunakan untuk menutupi jok sepeda motor yang sedang terparkir.
hutannya untuk menambah biaya hidup,” ujar Franky. Dia
habis. tahu hal itu berisiko tinggi sekali bagi masa depan
Salah seorang pelaku komunitas karton di Sorong itu bernama Natalis Erare. Dengan Natalis. “Tapi harus bagaimana lagi?”
Aktivitas sebagai juru parkir dilakoni Natalis setelah pulang sekolah sore hari. teman- Banyak anak seusia Natalis dari daerah yang
Dia bersekolah mulai pukul 12.00 sampai 16.00. Setelah mandi, ia menuju teman, sama menjadi pelaku komunitas karton di jalanan
tempat kerjanya dan berada di sana sampai pukul 23.00. Dalam satu hari, kami mulai Kota Sorong. Ini masalah sosial yang bisa menjadi
Natalis bisa mendapatkan uang Rp 10-20 ribu, yang dia gunakan untuk jajan. menambang bom waktu bagi generasi Papua mendatang. Jika
Hidup di jalanan membuat Natalis terpapar cara hidup tak terarah. Ia, misalnya, batu karang tak segera diselesaikan, hal ini bisa menciptakan
kecanduan mengisap lem Aibon, yang menjadi tren kehidupan komunitas untuk kemiskinan lintas generasi.
karton. Kebiasaan ini menyebabkan hidupnya rentan terhadap berbagai macam menambah
penyakit. penghasilan.” Dan ancaman itu tak hanya dihadapi Kota Sorong,
karena kemiskinan serupa ada di wilayah lain.
Tak hanya itu, mereka juga terancam putus sekolah. Menurut Napoleon Banyak anak Papua yang akan menurunkan
Fakdawer, Ketua Yayasan Citra Sehat Papua yang sering melakukan riset kemiskinan lintas generasi karena masalah pendidikan dan gizi buruk. Mereka
terhadap kondisi komunitas karton, anak-anak tersebut tidak memiliki akta bakal menjadi generasi yang hilang.
kelahiran. Mereka juga, kata dia, tak pernah didata Dinas Sosial Kota Sorong.

Napoleon khawatir melihat jumlah anak jalanan yang terus meningkat, dengan
kondisi kian parah. Kalau dibiarkan, mereka akan menjadi generasi yang hilang
karena terancam tidak berpendidikan.

178 — Potret Hutan Papua 179


TANAH PAPUA ITU MAMA “Mama di sini tak berdaya. Kalau kami tidak membantu mencari ikan, keluarga
Mama harus mendapatkan makanan dan penghasilan dari mana lagi?” ujar
Frederika.
SORE hari itu Frederika, seorang mama warga Kampung Poo, Kabupaten
Merauke, tengah berjalan pulang ke rumahnya. Terdengar lantunan musik pop Cerita melimpahnya bahan makanan pada saat hutan mereka masih lestari
khas Papua dari telepon seluler kuno yang digenggamnya. dipaparkan Martias Kwipalo, anggota Dewan Gereja Kampung Poo. Dia
mengatakan, ketika hutan masih lestari, sumber makanan berada dekat dari
Seseorang menyapa dia.
rumah. Rusa dan babi bisa dilihat dari rumah dan mudah menangkapnya. “Sagu
+ Mama tunggu sebentar! Mama dari mana? juga masih banyak dengan kualitas yang baik. Sayur-sayuran dan obat-obatan
- Menangkap ikan di sungai! dari hutan melimpah-ruah,” ujar Martias.

+ Dapat ikankah? Pada masa yang baik itu, kata Martias, ibu-ibu tak perlu ke sungai dan berjalan
jauh masuk ke hutan untuk mendapatkan makanan. “Ketika hamil pun, mereka
- Tidak!
lebih banyak mengerjakan bahan ramuan di rumah. Jika mereka ikut berburu
+ Kenapa tidak dapat, Mama? pun, jaraknya dekat dari rumah,” ujar Martias.

- Susah mencari ikan sekarang di sungai. Sekarang lahan dan hutan di Papua sudah banyak berganti menjadi kebun
sawit. “Saya tidak tahu lagi ke depannya bagaimana hidup kami di sini,” kata
+ Kenapa, Mama?
Martias. Ibu dan anak adalah kelompok paling rentan terkena imbas perubahan
- Sungai sudah tercemar, sekarang mau apa lagi? lahan di Papua.
Sudah lazim di Kampung Poo, juga di seluruh tanah Papua, seorang mama ikut
membantu keluarga mencari makanan di hutan dan sungai. Pola hidup meramu
Tabel: Indikator Kesehatan Ibu di Provinsi Papua Barat
menuntut keluarga untuk bergotong-royong. Pada waktu senggang, para mama
dan Provinsi Papua 2018-2019
di Kampung Poo pun berburu ikan di sungai.
INDIKATOR KESEHATAN SATUAN 2018 2019
Berburu ikan di sungai bagi warga Kampung Poo bukan budaya yang mendarah IBU
PAPUA PAPUA PAPUA PAPUA
daging. Namun, gara-gara hutan dirambah dan dijadikan lahan perkebunan BARAT BARAT
sawit, hewan buruan seperti rusa dan babi sudah sangat jarang ditemukan.
Angka kematian ibu Per 202 105 201 93
Tinggal sungai menjadi satu-satunya harapan mereka mendapatkan lauk-pauk. 100.000
kelahiran
Itu pun kini terus menyusut. hidup

Beban hidup yang berat bagi seorang mama menimbulkan risiko terhadap Cakupan pelayanan % 83,8 80,9
kesehatan ibu hamil (K1)
kesehatannya. Banyak mama hamil yang juga terlibat berburu dan memancing
ikan. Itu menimbulkan risiko tinggi yang bisa bermuara pada kematian. Cakupan pelayanan % 54,9 37,1
kesehatan ibu hamil (K4)
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan 2019, tingkat kematian ibu hamil
Cakupan persalinan % 55,4 46,6
dan melahirkan di Papua sangat tinggi. Angka kematian ibu di Provinsi Papua di fasilitas pelayanan
kesehatan
dan Papua Barat mencapai 294 orang per 100 ribu kelahiran. Ini lebih tinggi
daripada rata-rata nasional, yang mencapai 88 orang per 100 ribu kelahiran.

180 — Potret Hutan Papua 181


Cakupan kunjungan nifas
(KF3)
% 45,9 42,9 BENCANA DARI HUTAN YANG
Puskesmas melaksanakan % 45,91 44,76
HILANG
kelas ibu hamil
DATA Global Forest Watch yang dihasilkan dari analisis citra satelit selama
Puskesmas melaksanakan % 15,72 51,90
program perencanaan periode 2001-2020 menunjukkan kehancuran hutan Papua (Provinsi Papua
persalinan dan pencegahan
komplikasi (P4K) dan Papua Barat) mencapai 700 ribu hektare. Kerusakan terluas terdapat di
Kabupaten Merauke, yang sudah mencapai 112 ribu hektare.
Cakupan kunjungan % 62,60 53,10
neonatal pertama (KN1)
Hutan telah dialihfungsikan menjadi kebun sawit, tambang, dan hutan tanaman
SUMBER: KEMENTERIAN KESEHATAN 2018-2019 (DIOLAH) industri. Kerusakan juga diperparah oleh pembalakan liar. Pada 2020, laju
perambahan hutan mencapai 30 ribu hektare. Artinya, dalam satu tahun Papua
telah kehilangan hutannya setara dengan 28 ribu lapangan sepak bola atau
sebanding dengan 77 lapangan balbalan dalam sehari.

Hilangnya hutan dan bergantinya lahan menjadi perkebunan sawit itu menjadi
pemicu masalah. Hal itu dituturkan Cornelia Balagaize dan Magdalena Mahuze,
dua perempuan yang dituakan di Kampung Zanegi, Kabupaten Merauke.
Menurut keduanya, wabah penyakit dan kematian yang terjadi di lingkungan
mereka berhubungan dengan aktivitas perusahaan PT Selaras Inti Semesta
(SIS), “yang melakukan pembongkaran hutan, menggusur tempat keramat,
dusun sagu, dan tempat berburu, menimbun dan mengubah aliran air di rawa,
menggunakan pestisida, dan menimbulkan limbah beracun,” ujar Cornelia.

Mama Magdalena mengatakan PT SIS beroperasi di bagian atas. Jadi, saat


musim hujan datang, air mengalir dari lokasi perusahaan dan masuk ke rawa,
dusun sagu, dan Kali Sakau yang mengalir ke kampung. Padahal, “Masyarakat
makan dari dusun sagu, minum dan mandi dari air Kali Sakau dan rawa itu,”
katanya.

Sebelum ada perusahaan, masyarakat bisa bebas mandi, masak, dan minum
menggunakan air dari rawa, sungai, serta sumur alam bob. Kini semua itu
menjadi berisiko.

Kerusakan hutan dan pencemaran lingkungan masif terjadi di area perkebunan


sawit. Air hujan bercampur limbah racun pestisida dari penyemprotan bibit dan
tanaman mengalir masuk ke rawa, tanah, sungai, hingga ke kampung. Air juga
bercampur dengan limbah minyak buangan dari alat dan kendaraan perusahaan.
Air yang sudah terkontaminasi limbah itu lalu dikonsumsi masyarakat. Tak pelak,

182 — Potret Hutan Papua 183


Salah seorang anggota
marga Sohe, Kabupaten
Boven Digoel
memperlihatkan peta
hasil identifikasi wilayah
184 — Potret Hutan Papua adat mereka. 185
FOTO: SYAHRUL FITRA
hal ini berdampak pada kesehatan warga. Penyakit seperti muntaber, gatal- kopi, gula, rokok, dan minyak lampu penerangan, serta transportasi ke kota.
gatal, dan gangguan pernapasan kerap mendera. Sedangkan kebutuhan pangan seperti sagu, gula tebu, sayuran, ubi, dan pisang
didapat dari dusun dan kebun sendiri.
Pencemaran pun berdampak terhadap habitat ikan yang hidup di sungai. Saat
menelusuri jalan di Kampung Baad, Kabupaten Merauke, penulis bertemu Kala perusahaan masuk ke kampung warga Papua, sebagian besar orang
dengan seorang warga yang membawa ikan arwana. Dia bilang ikan yang dewasa di Zanegi bekerja sebagai buruh perusahaan. Mereka hanya mendapat
ditangkap sering dalam keadaan lemas (“mabuk”) karena diduga keracunan dari upah sekitar Rp 1 juta per bulan. Ini angka yang jauh lebih rendah dibanding
pembuangan limbah perusahaan. ketika hutan masih lestari.

Kabupaten Merauke saat ini dikepung perkebunan sawit. Data analisis citra Vitalis Gebze, warga Zanegi, salah satu buruh PT SIS yang bertahan dengan
satelit pada 2016 menunjukkan terdapat 34 ribu lahan hutan yang sudah status pekerja kontrak. Dia bertugas sebagai helper CSR, dengan gaji sekitar Rp
beralih fungsi menjadi kebun sawit. Itu adalah jumlah terluas di Papua, yang 1,75 juta per bulan.
total luasan kebun sawitnya mencapai 158 ribu
Sejak bekerja di perusahaan, Vitalis tak punya kesempatan lagi berburu ke
Aktivitas hektare.
hutan dan menokok sagu di dusun. Alhasil, keluarganya menggantungkan hidup
penggundulan Aktivitas penggundulan hutan alam dalam skala hanya pada upah yang tak seberapa itu. Apalagi harga-harga kebutuhan pokok
hutan alam luas membuat masyarakat kehilangan akses dan di kampungnya cukup mahal. Maklum, Zanegi cukup terpencil. “Gaji yang ada
dalam skala kesulitan memanfaatkan hasil pangan dalam hanya untuk memenuhi kebutuhan makan keluarga beberapa minggu,” kata
luas membuat hutan. Masyarakat memerlukan waktu lebih Vitalis. Untuk menambal kekurangan, dia terpaksa berutang.
masyarakat lama untuk mencapai bivak, buat mengambil
Vitalis, yang dulu nyaman makan sagu, kini jadi doyan makanan praktis, seperti
kehilangan hasil pangan dari hutan dan dusun sagu.
mi instan, ikan kaleng, dan dendeng—jenis-jenis makanan yang kualitas dan
akses dan Demikian pula dengan aktivitas berburu. Hutan
gizinya layak diragukan—juga pinang dan rokok. Kualitas kesehatan Vitalis dan
kesulitan hilang dan penggunaan mesin-mesin pembelah
keluarganya pun patut diduga tak seprima dulu lagi.
memanfaatkan pohon kayu yang bising membuat hewan-hewan
hasil pangan melarikan diri ke tempat jauh. Itu semua harga yang harus dibayar orang Papua. Hutan hilang, penyakit pun
dalam hutan. “Kami sulit mendapat daging hewan buruan.
berbilang.

Jalur dan tempat mencari makan mereka (hewan)


terganggu dan hilang. Mereka pergi ke tempat jauh. Kami biasanya berburu Laju Deforestasi, Status Gizi Balita, dan Kondisi Ibu
hanya satu malam, tapi sekarang berburu hingga beberapa hari dan tidak selalu Hamil di Provinsi Papua Barat
ada hasil,” kata Bonafasius Gebze, tokoh masyarakat Kampung Baad.
KABUPATEN/ TAHUN 2017 DEFORESTA-
KOTA SI 2001-2017
Suku Marind sudah lama hidup dari kegiatan berburu hewan liar di hutan dan (HA)
BALITA BALITA BALITA IBU
padang savana serta menangkap ikan di sungai dan rawa. Di Kampung Zanegi, KURANG STUNT- KURUS HAMIL
GIZI (%) ING (%) (%) RISIKO
sebelum perusahaan beroperasi, hasil buruan seorang pemburu daging babi KEK (%)

hutan dan rusa mencapai 400 kilogram per bulan dengan valuasi sekitar Rp 6 Fakfak 17,3 31,3 11,7 18,3 28,445
juta per bulan.
Kaimana 22,4 31,1 20,5 28,6 20,030
Uang itu lantas dibelanjakan untuk kebutuhan keluarga, seperti beras, pinang, Teluk 26,7 38,6 16,0 19,0 7,657
Wondama

186 — Potret Hutan Papua 187


KABUPATEN/ TAHUN 2017 DEFORESTA- KABUPATEN/ TAHUN 2017 DEFORESTA-
KOTA SI 2001-2017 KOTA SI 2001-2017
BALITA BALITA BALITA IBU (HA) BALITA BALITA BALITA IBU (HA)
KURANG STUNT- KURUS HAMIL KURANG STUNT- KURUS HAMIL
GIZI (%) ING (%) (%) RISIKO GIZI (%) ING (%) (%) RISIKO
KEK (%) KEK (%)

Teluk Bintuni 25,8 24,9 17,3 16,0 25,310 Paniai 22,2 42,3 15,9 12,5 1,676

Manokwari 29,6 36,8 14,8 30,0 12,829 Mimika 18,3 32,2 10,9 23,0 29,201

Sorong Selatan 35,1 36,8 24,6 30,0 20,319 Boven Digoel 19,5 31,8 15,9 3,7 54,591

Sorong 23,5 28,4 12,9 10,8 31,377 Mappi 19,6 31,4 20,8 55,6 49,558

Raja Ampat 32,6 36,9 22,7 4,8 10,114 Asmat 30,3 25,9 28,8 33,3 8,787

Tambrauw 36,5 37,3 31,6 7,2 10,242 Tolikara 20,1 41,0 10,9 12,8 4,739

Maybrat 13,5 20,5 25,5 7,8 4,425 Sarmi 24,5 25,9 14,1 10,6 14,375

Manokwari 23,3 39,5 16,8 18,7 4,173 Keerom 18,5 26,6 13,0 14,7 24,935
Selatan
Waropen 26,6 28,1 16,3 33,3 5,755
Pegunungan 32,2 43,5 17,7 na 2,563
Arfak Supiori 26,5 38,1 12,3 27,4 395

Kota Sorong 16,3 32,7 13,4 14,8 953 Lanny Jaya 11,7 28,6 7,6 27,7 1,085

PAPUA BARAT 24,0 33,3 16,4 15,9 178,435 Mamberamo 11,0 26,0 3,0 18,5 2,605
Tengah

Yalimo 12,1 33,2 9,3 31,3 3,726


Laju Deforestasi, Status Gizi Balita, dan Kondisi Ibu
Puncak 10,5 29,8 5,0 18,7 2,621
Hamil di Provinsi Papua
Dogiyai 25,8 43,9 21,4 8,3 2,108
KABUPATEN/ TAHUN 2017 DEFORESTA-
KOTA SI 2001-2017 Intan Jaya 26,0 45,5 8,7 33,3 2,710
BALITA BALITA BALITA IBU (HA)
KURANG STUNT- KURUS HAMIL Deiyai 20,8 37,7 22,3 10,7 1,151
GIZI (%) ING (%) (%) RISIKO
KEK (%)
Kota Jayapura 19,0 31,6 13,4 17,7 3,295
Merauke 7,8 17,6 6,8 12,2 100,904
PAPUA 19,6 32,8 13,6 21,7 415,007
Jayawijaya 19,4 39,0 12,6 31,0 729
SUMBER: KEMENTERIAN KESEHATAN (2017); GLOBAL FOREST WATCH (2020)
Jayapura 23,5 27,9 17,5 24,3 15,655

Nabire 17,9 31,4 16,1 16,1 30,328

Kepulauan 32,5 41,9 12,7 27,0 2,424


Yapen

Biak Numfor 24,0 34,2 13,7 14,3 3,785

188 — Potret Hutan Papua 189


EPILOG

Menjaga
Surga Kecil Papua
SURGA bukan kutukan, melainkan karunia yang perlu dijaga.
Surga harus dipelihara dan dilestarikan agar dapat dinikmati
anak-cucu sampai bumi berakhir. Tanah Papua adalah surga
kecil di bumi, seperti cerita manis dan juga miris yang dituturkan
masyarakat adat pemilik ulayat di sebagian besar wilayah Papua.
Tapi timbul pertanyaan. Mengapa kekayaan yang dimiliki itu
tidak memberikan mata air, tapi justru air mata, untuk generasi
ini? Air mata muncul karena (tak ada lagi) kisah panen pala, panen
HIV, alih fungsi hutan, konflik sosial, tata kelola yang buruk, dan
masih banyak lagi. Hal itu umumnya memang merupakan isu
klasik di negara berkembang.
Di Provinsi Papua dalam visi 2100, pembangunan akan
diutamakan berdasarkan wilayah adat dengan memproklamasikan
pemertahanan hutan alam sebanyak 70 persen. Ini artinya
hutan menjadi elemen utama dalam melakukan perencanaan,
implementasi, pengawasan, dan penegakan hukum. Sekitar 86
persen kampung Papua berada di kawasan hutan, sehingga perlu
dipikirkan insentif bagi masyarakat yang menjaga hutan.
Sedangkan di wilayah Provinsi Papua Barat muncul komitmen
untuk meningkatkan luas kawasan berfungsi lindung sebesar
70 persen dengan segala konsekuensinya. Maka akan berlaku
moratorium perizinan, pengembangan model best management
practices berbasis potensi lokal dan ecological fiscal transfer
(EFT). Hal ini menunjukkan keseriusan pemerintah daerah dalam

190 — Potret Hutan Papua 191


mengatasi masalah-masalah lingkungan dan masyarakat adat yang
selalu menjadi penghambat kesejahteraan orang asli Papua (OAP). Penulis menyampaikan terima kasih dapat menuangkan sepatah
Perubahan sistem nilai masyarakat adat, pola pendampingan dua patah kalimat pada bagian penutup buku ini. Semoga dapat
yang sesuai, pemetaan komoditas lokal, pemberdayaan, kesetaraan menjadi bahan refleksi bagi pembaca. Mohon maaf jika ada salah
gender, wilayah adat, dan prioritas indikator SDG’s perlu dijadikan kata.
isu prioritas dalam penyusunan dokumen pembangunan. Program-
program tepat sasaran yang termuat dalam Kebijakan Rencana
Salam Lestari,
dan Program (KRP) OPD merupakan opsi mengimplementasikan
Wika A. Rumbiak
visi pimpinan daerah dalam pembangunan berkelanjutan.
Kekuatan berikutnya adalah penerapan otonomi khusus (otsus),
peraturan daerah khusus (perdasus), dan sejumlah regulasi yang
pro-masyarakat adat. Selain itu, Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun
2017, yang memuat program-program percepatan pembangunan
Papua dan Papua Barat, akan membuat situasi lebih baik pada
masa mendatang—dengan syarat harus dilakukan sesuai dengan
regulasi.
Akhirnya, berikut ini catatan penutup kami, yaitu perlunya:
1. Penguatan BUMD dalam pengelolaan model-model best
management practices masyarakat adat, terutama mekanisme
sharing benefit yang transparan dan berkelanjutan;
2. Penyusunan dashboard indicator pembangunan berkelanjutan
konteks Papua;
3. Moratorium perizinan terutama untuk hutan alam dan ruang
kelola “tempat” keberlangsungan penghidupan masyarakat
adat;
4. Penentuan sektor unggulan sesuai dengan visi-misi pemimpin
daerah, alokasi pendanaan yang tepat dalam KRP dan
E-Government;
5. Pengembangan komoditas lokal, terutama tanaman endemik
bernilai ekonomis, penciptaan promosi dan pasar yang sehat;
6. Penguatan kelembagaan adat dan peningkatan peran serta
gender dalam pembangunan;
7. Penerapan otsus dan perdasus, terutama afirmasi OAP.

192 — Potret Hutan Papua 193


Dr. Wika A. Rumbiak, S.T., M.Sc.
Lahir di Yogyakarta pada 14 Februari 1980,
menyelesaikan pendidikan program doktor untuk ilmu
lingkungan di Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada
pada 2017.

Pengalaman kerja yang telah digeluti, mulai 2003


semenjak masih kuliah telah magang di WWF Indonesia
Program Papua pada Unit Sistem Informasi Geografi. Kemudian pada 2004-
2009 mendukung program tata ruang dan pemetaan di tanah Papua sebagai
GIS officer.

Pada 2013-2017 bekerja sebagai Regional Spatial Plan Coordinator dan


bertanggung jawab mendorong advokasi kebijakan penataan ruang yang
berkelanjutan. Pada 2018 sampai sekarang diberi kepercayaan oleh WWF
Indonesia sebagai Landscape Manager Wilayah Papua Barat.

194 — Potret Hutan Papua 195


Profil Penulis
David Saweri
David Saweri lahir dan besar di Distrik Sarmi, Papua. David
sempat mengenyam pendidikan strata 1 di Universitas Sains
dan Teknologi Jayapura (USTJ). Pria paruh baya asli Papua ini
sering dianggap “unik” oleh kebanyakan orang di wilayahnya
karena aktivitasnya yang dianggap berbeda. Sejak 2001,
David telah menanam mangrove sendirian di sepanjang bibir
pantai di Kampung Sarmo, Distrik Sarmi, tempat dia tinggal.
Jika tidak ada kegiatan, David kerap berkeliling dari satu kampung ke kampung
lain untuk membersihkan jalanan dari tumpukan sampah atau mengepel gereja
seorang diri. Karena sering ditanya asal lembaga tempat dia bekerja, akhirnya David
mendirikan KIPAS (Karya Insan Peduli Alam Sarmi).
Saat ini, David bersama anak-anak muda di Sarmi terus menggerakkan literasi dan
kepedulian terhadap lingkungan. David menyebut kegiatannya tersebut “Selingkuh”,
singkatan dari “Selamatkan Lingkungan Hidup”, yang—karena tujuannya baik—
sangat didukung keluarganya.

Feki Yance Wilson Mobalen


Pria kelahiran Samate pada 1993 ini akrab dipanggil Feki.
Sebagai bagian dari masyarakat adat Moi, salah satu suku
terbesar di Papua Barat, Feki aktif dalam kegiatan advokasi
hak-hak masyarakat adat serta penyelamatan lingkungan
hidup dan sumber daya alam. Sarjana pertanian lulusan
Universitas Muhammadiyah Sorong ini merasa bahwa untuk
memperjuangkan hak-hak masyarakat adat dia harus paham
bagaimana hukum bekerja dan apa yang seharusnya dilaksanakan. Karena itu, dia
mengambil pendidikan hukum di Universitas Kristen Papua, Sorong.
Feki aktif dalam berorganisasi dan terlibat dalam advokasi hak-hak masyarakat adat
sejak usia muda. Saat ini, dia menjabat Ketua Badan Pelaksana Harian Pengurus
Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sorong Raya. Selain bergiat di
AMAN Sorong Raya, Feki pernah menjabat Koordinator Advokasi dan Kampanye
Papua Forest Watch (PFW). Selain itu, ia aktif dalam kegiatan riset serta mengikuti
sejumlah pelatihan pemantauan hutan dan pelatihan antikorupsi.

196 — Potret Hutan Papua 197


Hiryet Haraharat Hegemur Richarth Charles Tawaru
Hiryet Haraharat Hegemur, atau Heri, lahir dan besar di Fakfak, Richarth Charles Tawaru, atau Charles, lahir dan besar di
Papua Barat. Saat menempuh pendidikan strata 1 di Kota Nabire, Papua. Charles menempuh pendidikan strata 1
Yogyakarta, Heri sempat bergabung dalam Gerakan Rakyat dalam bidang ekonomi di Universitas Karya Abadi Indonesia
Papua Bersatu pada 2011 serta menjabat sebagai sekretaris dan lulus pada 2004. Charles memiliki ketertarikan pada
dalam kepengurusan Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Papua isu-isu hak asasi manusia, pemberdayaan masyarakat,
(IPMA Papua) Yogyakarta pada 2013. masyarakat adat, dan konservasi laut di wilayah Papua
Barat. Sepanjang 2006-2008, ia aktif dalam beberapa proyek
Setelah lulus dan kembali ke Fakfak, Heri aktif bergabung dalam
pemberdayaan masyarakat pesisir dan kegiatan konservasi laut. Charles memiliki
Persatuan Petani Pala Fakfak dan menjabat sebagai ketua pada 2016. Persatuan
pengalaman kerja yang cukup lama di NGO atau lembaga non-pemerintah
Petani Pala Fakfak adalah organisasi yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan
internasional, seperti Conservation International dan Greenpeace.
petani pala di seluruh Fakfak, khususnya dalam hal menjaga kestabilan harga
komoditas pala, yang merupakan komoditas perkebunan utama Fakfak. Selain Charles sempat menjadi koordinator untuk program Marine Protected Area di
aktif dalam Persatuan Petani Pala Fakfak, Heri aktif ikut dalam kepengurusan dan Pulau Ayau dan Asia, Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat. Pada 2008, ia dipercaya
kegiatan Dewan Adat Mbaham-Matta. Saat ini, ia tergabung dalam kepengurusan sebagai fasilitator untuk resolusi konflik bagi masyarakat narotama di Teluk
Yayasan Tiara Kasih, yang fokus kegiatannya adalah pengorganisasian masyarakat Triton, Kabupaten Kaimana, Papua Barat. Pada 2016, ia kembali dipercaya sebagai
dan pengembangan media. fasilitator dalam penyelesaian konflik batas wilayah adat antara klan Momo, Esyah,
dan Irun di Miyah, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat. Selama sepuluh tahun sejak

Oktavianus Waken 2009, Charles menjabat Kepala Proyek Kampanye Hutan untuk Wilayah Regional
Papua di Greenpeace.
Oktavianus Waken atau yang lebih dikenal dengan Okto Waken
lahir di Merauke, Papua, pada 1981. Okto banyak terlibat
dalam kegiatan advokasi hak-hak masyarakat adat di Titus Paskalis
Merauke dan Boven Digoel. Ia kerap menjadi penyambung Titus Paskalis lahir di Katlarat, Pulau Kei, Maluku Tenggara,
aspirasi masyarakat adat yang mengalami konflik dengan pada 1974. Titus besar dan tinggal di Kota Nabire, Papua,
perusahaan perkebunan sawit yang merupakan bagian serta memiliki ketertarikan pada jurnalisme sejak masih
dari program Merauke Integrated Food and Energy Estate atau muda. Sebagai aktivis cum jurnalis di sebuah media
MIFEE. lokal, Jubi, Titus adalah salah satu pelantang keras isu-isu
ketidakadilan terhadap masyarakat Papua.
Saat ini, Okto bekerja sebagai aktivis masyarakat adat di Sekretariat Keadilan dan
Perdamaian Keuskupan Agung Merauke. Bersama beberapa rekannya, Okto juga Selama hidupnya, Titus tidak hanya menjadi saksi mata, tapi juga
turut serta mengedukasi masyarakat di Merauke dalam program pemberdayaan kemudian menyampaikan ke publik bagaimana perusahaan sumber daya alam
perempuan untuk meningkatkan kesehatan keluarga, seperti program mengelola skala besar masuk dan merongrong kehidupan masyarakat asli Papua. Karena
pangan untuk meningkatkan nilai tambah dan gizi keluarga. menyuarakan ketidakadilan bagi masyarakat asli Papua, ia juga mengalami berbagai
kekerasan.

198 — Potret Hutan Papua 199


Wirya Supriyadi
DAFTAR PUSTAKA
Wirya Supriyadi lahir di Kampung Bokondini, Distrik Bokondini,
Kabupaten Tolikara, Papua. Wirya telah berkecimpung dalam
isu pemberdayaan masyarakat adat Papua dan advokasi
sejak 2005 sampai sekarang. Ia juga aktif sebagai pegiat
lingkungan dan hak asasi manusia, khususnya di wilayah
Analisis Tematik ST2013 Subsektor Analisis Rumah Tangga Usaha
Papua.
Bidang Kehutanan dan Rumah Tangga Sekiatr Hutan (2015).
Wirya pertama kali tertarik pada dunia menulis saat dipercaya Badan Pusat Statistik Republik Indonesia.
oleh Anton Brabar—saat itu sebagai Ketua Ikatan Mahasiswa dan Masyarakat Papua Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manokwari,
(Immapa) Bali. Ia mengikuti pelatihan jurnalistik yang dilaksanakan Fakultas Hukum PT Wijaya Sentosa (2018). Laporan Akhir Kajian Pengelolaan
Universitas Udayana mewakili Immapa Bali. Kemudian, saat kembali ke Biak, ia Hutan Merbau Berdasarkan Struktur Tegakan di Areal IUPHHK
dipercaya sebagai Sekretaris Redaksi Suara Anak Negeri, tabloid lokal Papua yang PT Wijaya Sentosa. Balitbang LHK Manokwari: Manokwari,
diterbitkan di Biak. Wirya pernah menjadi wartawan di sebuah media lokal Papua Indonesia.
di Jayapura. Ia saat ini bekerja sebagai Koordinator Advokasi Wahana Lingkungan
Bourke, R.M., Subsistence Food Production in Melanesia dalam
Hidup Indonesia (Walhi) Papua.
Hirsch, E., Rollason, W. (2019). The Melanesian World. Taylor
& Francis.
Cheung, S.P., Chung, T., Stark, T., (2007). Merbau’s Last Stand:
How Industrial Logging Is Driving the Destruction of the Paradise
Forests of Asia Pacific. Greenpeace International: Netherlands.
Costa, F.M.L. (2016). Kabupaten Sarmi Digadang Jadi Sentra
Komoditas Cokelat di Papua. Koran Kompas. https://money.
kompas.com/read/2016/11/22/170000326/kabupaten.sarmi.
digadang.jadi.sentra.komoditas.cokelat.di.papua. Diakses 29
Maret 2019.
Gumilar,P. (2018).Komoditas Pala Dihantui Pencemaran
Mikrotoksin. Bisnis.com. https://ekonomi.bisnis.com/
re a d / 2 0 1 8 02 2 6/ 9 9/ 74 32 6 3/ ko m o d i t a s - p a l a - d i h a n t u i -
pencemaran-mikrotoksin. Diakses tanggal 25 September 2021.
Hasil Utama RISKESDAS (2018). Kementerian Kesehatan RI, Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. https://kesmas.
kemkes.go.id/assets/upload/dir_519d41d8cd98f00/files/Hasil-
riskesdas-2018_1274.pdf. Diakses tanggal 5 Oktober 2021.
Henson, L. (1988). Momina Spirit Cosmology. Irian Bulletin of Irian

200 — Potret Hutan Papua 201


Jaya. Volume XVI, 1988. buruk-di-asmat. Diakses tanggal 29 Maret 2019.
Kabupaten Fakfak dalam Angka 2021 (2021). Badan Pusat Statistik. Profil Kabupaten Sarmi (2016). https://papua.go.id/view-detail-
Kabupaten Raja Ampat dalam Angka 2020 (2020). Badan Pusat kabupaten-268/profil-kabupaten-sarmi.html. Diakses tanggal 25
Statistik. September 2021.
Kabupaten Raja Ampat dalam Angka 2021 (2021). Badan Pusat Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2019 (2020). Kementerian
Statistik. Kesehatan republic Indonesia.
Katadata (2020). Maluku Utara Pimpin Produksi Pala Nasional pada Statistik Daerah Kabupaten raja Ampat 2019 (2019). Badan Pusat
2020. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/06/02/ Statistik.
maluku-utara-pimpin-produksi-pala-nasional-pada-2020. Steni, B. (2018). Mengembalikan Kejayaaan Pala. Koran TEMPO.
Diakses 21 September 2021. https://kolom.tempo.co/read/1103745/mengembalikan-
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2017). Statistik kejayaaan-pala/full&view=ok. Diakses tanggal 25 September
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kementerian Lingkungan 2021.
Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. Suara Papua (2018). Pemkab Yahukimo Lunasi Uang tanah
Kesaulija, F.F., Sadsoeitoebeon, B.M.G., Peday, H.F.Z., Tokede, Bandara Dekai. https://suarapapua.com/2018/10/24/pemkab-
M.J., Komarudin, H., Andriani, A., Obidzinski, K. (2014). Oil yahukimo-lunasi-uang-tanah-bandara-dekai/. Diakses tanggal
palm estate development and its impact on forests and local 24 September 2021.
communities in West Papua: A case study on the Prafi Plain. The International Federation of Essential Oils and Aroma Trades
Center for International Foresty Research, Bogor. Indonesia. (2021). SOCIO–ECONOMIC REPORT ON NUTMEG. https://ifeat.
Malik, Arizona, Y., Muhajir, M. (2015). Analisis Trend Produk Hukum org/wp-content/uploads/2021/03/IFEAT-World-Magazine-A4-
Daerah mengenai Masyarakat Adat. Policy Brief Epistema Vol. 1 MAR-21-v9-Socio-Economic-Report-Only-WEB.pdf. Diakses
Tahun 2015. Epistema Institute, Jakarta, Indonesia. tanggal 21 September 2021.
Mesin Cuci Kayu Ilegal. Majalah TEMPO. Terbit 21 Desember 2013. Tim Inkuiri Nasional Komnas HAM (2016). Hak Masayrakat Hukum
Jakarta, Indonesia. Adat Atas Wilayahnya di Kawasan Hutan. Inkuiri Nasional Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia. Komnas HAM Republik Indonesia.
Musaad, I., Tubur, H.W., Wibowo, K., Santoso, B. (2017). Pala Fakfak:
Potensi, Agrobiofisik, Nilai Ekonomi, dan Pengembangannya. Tokede, M.J., Mambai, B.V., Pangkali, L.B., Mardiyadi, Z. (2013).
Bandung: Alfabeta Bandung, Indonesia. “Antara Opini dan Fakta” Kayu Merbau Jenis Niagawi Hutan
Tropika Papua Primadona Yang Dikhawatirkan Punah. WWF-
Pembangunan Gizi di Indonesia: Kajian Sektor Kesehatan
Indonesia: Jakarta, Indonesia.
(2019). Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Kedeputian
Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan, Tong P.S., Chen, H.K., Hewitt, J., dan Affre A. (2009). Review of
Kementerian PPN/Bappenas. Jakarta, Indonesia. trade in merbau from major range States. TRAFFIC Southeast
Asia, Petaling Jaya, Selangor, Malaysia.
Pengubahan Fungsi Hutan Perparah Gizi Buruk di Asmat
(2018). Harian KOMPAS. https://www.kompas.id/baca/
utama/2018/01/18/pengubahan-fungsi-hutan-perparah-gizi-

202 — Potret Hutan Papua 203

Anda mungkin juga menyukai