Anda di halaman 1dari 122

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Bicara mengenai kepuasan finansial, sangat erat kaitannya dengan kemiskinan.
Menurut Hagenaars dan Vos (1988), kemiskinan dapat didefinisikan sebagai :
1) Keadaan dimana seorang individu memiliki jumlah harta kekayaan
dibawah batas minimum kekayaan. Maksud dari definisi ini adalah
kemiskinan merupakan suatu keadaan dimana seorang individu
mempunyai harta yang sangat sedikit yang bahkan untuk keperluan primer
seperti makan saja tidak dapat dipenuhi. Kemiskinan jenis ini disebut juga
kemiskinan absolut. Batas minimum kekayaan ini merujuk kepada
kemampuan untuk memenuhi kebutuhan paling dasar manusia;
2) Keadaan dimana seorang individu memiliki jumlah harta kekayaan yang
lebih sedikit dibandingkan dengan orang lain. Maksud dari definisi ini
adalah jika seseorang memiliki harta yang lebih sedikit relatif dengan
orang-orang di sekitarnya, maka ia dapat dikatakan sebagai orang miskin
karena standard hidupnya lebih rendah dibandingkan dengan standard
hidup orang-orang yang ada di sekitarnya. Kemiskinan jenis ini disebut
juga sebagai kemiskinan relatif.
3) Keadaan dimana seorang individu memiliki jumlah harta kekayaan yang
menurutnya tidak cukup. Kemiskinan jenis ini merupakan kemiskinan
absolut dan relatif. Absolut jika kekayaan yang menurutnya tidak cukup
itu berarti tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Relatif jika
kekayaan yang menurutnya tidak cukup itu berarti memiliki tingkat
kehidupan yang sama dengan orang-orang sekitarnya.
Kemiskinan merupakan suatu permasalahan yang dihadapi oleh seluruh negara di
dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Badan Pusat Statistik (BPS)
menunjukkan jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2017 mencapai
27,77 juta jiwa atau 10,64%. Menurut data yang disajikan oleh BPS, angka
tersebut bertambah sebesar 0,01 juta dibandingkan dengan September 2016. Akan

1
tetapi jika dilihat dari persentase kemiskinan, tingkat kemiskinan pada Maret 2017
(10,64%) justru mengalami penurunan jika dibandingkan dengan September 2016
(10,70%). Penurunan persentase ini disebabkan oleh penambahan jumlah
penduduk di Indonesia, bukan karena penurunan jumlah orang miskin itu sendiri
(Tempo, 2017). Kenaikan jumlah penduduk miskin di Indonesia dari September
2016 sampai Maret 2017 menandakan bahwa saat ini semakin banyak penduduk
miskin di Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah
Indonesia untuk mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia. Menteri
Perencanaan Pembangunan Nasional, Bambang Brodjonegoro mengatakan bahwa
pemerintah telah menyiapkan tiga strategi untuk memberantas kemiskinan
(Kompas, 2017). Adapun strategi-strategi pemerintah dalam memberantas
kemiskinan ini adalah :
1) Perlindungan sosial yang komprehensif;
2) Penyediaan akses terhadap pelayanan dasar;
3) Pekerjaan yang layak.
Strategi pemerintah pertama dan kedua dilaksanakan dengan penerapan
program jaminan sosial nasional dalam bidang kesehatan, pendidikan,
kesejahteraan, serta ketenagakerjaan (Kompas, 2017). Untuk strategi pemerintah
yang ketiga, yaitu pekerjaan yang layak, dilaksanakan dengan pembangunan
infrastruktur yang sedang gencar-gencarnya dilakukan oleh kabinet kerja Presiden
Joko Widodo. Menurut Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki
Hadimuljono, pembangunan infrastruktur di Indonesia telah berhasil menyediakan
lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Hal ini dikarenakan diterapkannya program
pembangunan infrastruktur berbasis masyarakat. Program ini dijalankan dengan
memberdayakan dan memanfaatkan partisipasi masyarakat. Pembangunan
infrastruktur ini juga memiliki manfaat lain bagi warga selain menyediakan
lapangan pekerjaan. Manfaat lainnya adalah pembangunan infrastruktur dapat
menunjang kegiatan ekonomi masyarakat (Tribunnews, 2017).
Meskipun pemerintah telah melakukan upaya-upaya untuk memberantas
kemiskinan, namun tetap saja daya beli masyarakat menurun pada tahun 2017.
Menurut Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fadli Zon, masyarakat

2
mengalami kesulitan ekonomi yang semakin besar. Hal ini menyebabkan turunnya
daya beli mereka (Kompas, 2017). Penurunan daya beli ini mengindikasikan
bahwa keadaan ekonomi masyarakat tidak membaik akan tetapi semakin buruk.
Survey yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia (IPI) pada September
2017 menunjukkan bahwa 43% responden merasa semakin sulit untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari (Kompas, 2017). Hal ini bisa berarti dua hal. Pertama,
semakin sulitnya rakyat yang diwakili oleh responden dalam memenuhi
kebutuhan sehari-harinya berarti ada kenaikan harga atau inflasi yang cukup
tinggi di Indonesia. Kedua, hal ini berarti ada penurunan pada daya beli
masyarakat. Penurunan pada daya beli dalam konteks ini merujuk kepada
kemampuan seorang individu dalam membeli barang, atau bisa juga dikatakan
kekuatan finansial seorang individu. Dengan bahasa yang lebih sederhana, hasil
survey Indikator Politik Indonesia ini menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan
pada tingkat kekayaan masyarakat Indonesia.
Penurunan daya beli ini dapat dikatakan merupakan sebuah anomali
karena seharusnya langkah-langkah pemerintah dalam membangun ekonomi ini
akan mengakibatkan kenaikan pada daya beli masyarakat. Pernyataan ini
diperkuat dengan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mengatakan
bahwa data-data yang menjadi indikator kemiskinan mengalami perbaikan dan
tingkat inflasi juga dalam keadaan rendah seharusnya mengindikasikan adanya
kenaikan daya beli, namun yang terjadi malah penurunan daya beli (Metrotvnews,
2017). Dari pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani, dapat disimpulkan bahwa
masyarakat merasa semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari bukan
disebabkan oleh tingkat inflasi yang tinggi di Indonesia, melainkan memang
terjadi penurunan tingkat kekayaan masyarakat. Pertanyaannya adalah apa yang
menyebabkan terjadinya hal ini?
Kemisikinan sangat erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan keuangan
seseorang. Mereka yang tidak memiliki pengetahuan keuangan atau memiliki
tingkat pengetahuan keuangan yang relatif rendah cenderung mengambil
keputusan-keputusan keuangan yang buruk seperti membelanjakan penghasilan
tanpa mempertimbangkan tabungan. Keputusan keuangan yang buruk ini akan

3
berdampak pada saat individu sudah memasuki masa pensiun. Individu yang
sudah tidak bekerja dan tidak memiliki tabungan tidak akan mampu lagi untuk
memenuhi kebutuhannya. Akhirnya individu ini akan jatuh kedalam kemiskinan
dalam artian tidak ada lagi uang untuk memenuhi kebutuhannya. Penelitian yang
dilakukan oleh Taft et.al. (2013) menunjukkan bahwa individu yang mempunyai
tingkat financial literacy yang tinggi memiliki tingkat kesejahteraan finansial
yang tinggi dan akan memiliki tingkat kekuatiran finansial yang rendah. Ini
artinya individu yang memiliki financial literacy yang tinggi dapat terhindar dari
kemiskinan. Kesejahteraan finansial yang tinggi secara logis berarti jauh dari
kemiskinan. Tidak pernah ditemukan seorang homeless yang berkata bahwa ia
memiliki kesejahteraan finansial yang tinggi. Individu yang berada diatas garis
kemiskinan yang biasanya memiliki kesejahteraan finansial yang tinggi.
Kekuatiran finansial juga menandakan tingkat kekayaan seseorang. Maksudnya
adalah individu yang berada dalam kemiskinan, baik itu kemiskinan absolut
maupun kemisikinan relatif akan cenderung memiliki kecemasan finansial yang
lebih tinggi. Hal ini masuk akal karena tidak pernah ditemukan ada homeless yang
tidak memiliki kekuatiran finansial. Pernyataan ini didasari oleh pernyataan Taft
et.al. (2013) yang menyatakan bahwa kekuatiran finansial muncul ketika
seseorang kesulitan dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Financial literacy ini masih menjadi
permasalahan yang cukup serius yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia. Direktur
Permata Bank Bianto Surodjo mengatakan bahwa 80% masyarakat Indonesia
masih belum melek finansial (Metrotvnews, 2017). Survey yang dilakukan oleh
OJK pada tahun 2016 menunjukkan bahwa masyarakat Indonsia yang melek
finansial hanya sebesar 21,84%. Ini berarti masih ada 78,16% masyarakat
Indonesia yang masih belum melek finansial. Jumlah ini menandakan lebih dari
setengah penduduk di Indonesia tidak memiliki pengetahuan finansial (OJK,
2016).
Isu lainnya yang juga memiliki kaitan yang erat dengan kepuasan finansial
adalah ketimpangan ekonomi. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional
Bambang Brodjonegoro mengatakan bahwa ada empat faktor yang

4
mengakibatkan ketimpangan ekonomi. Keempat faktor tersebut adalah sulitnya
akses masyarakat terhadap pelayanan akan kebutuhan dasar seperti pendidikan
dan makanan yang berkualitas, kualitas pekerjaan, ketimpangan penghasilan, serta
kurangnya jaminan sosial (Tempo, 2017). Jika dilihat dari pernyataan Bambang
Brodjonegoro, dapat disimpulkan bahwa ketimpangan ekonomi merupakan suatu
keadaan dimana seorang individu memiliki kekuatan finansial yang lebih rendah
dibanding individu lain. Dengan kata lain, ketimpangan ekonomi merupakan
suatu gap antara kondisi ekonomi seorang individu dengan individu lainnya.
Sulitnya akses masyarakat terhadap pendidikan dan makanan yang berkualitas
akan menyebabkan kualitas sumber daya manusia menjadi rendah. Mereka yang
mengalami kesulitan mendapatkan akses ini tidak akan dapat pekerjaan yang
layak. Hal ini menyebabkan terjadinya ketimpangan pendapatan dan akhirnya
terjadilah gap antara orang kaya dan orang miskin. Ketimpangan ekonomi ini bisa
juga dikategorikan sebagai kemiskinan relatif, mengingat definisi dari kemiskinan
relatif yang telah dijelaskan sebelumnya. Ketimpangan ekonomi suatu negara
dapat diukur dengan koefisien gini. Data yang dipublikasikan oleh BPS
menunjukkan koefisien gini Indonesia pada semester satu tahun 2017 sebesar
0,41% (BPS, 2017).
Kepuasan finansial dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana
seseorang tidak lagi memiliki kekuatiran finansial. Dengan kata lain, kepuasan
finansial merupakan suatu keadaan dimana seluruh kebutuhan seseorang dapat
dipenuhi. Mereka yang berada dalam garis kemiskinan tidak akan mampu
memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya, bahkan kebutuhan yang paling dasar
sekalipun. Hal ini akan membuat seseorang menjadi tidak puas secara finansial.
Manusia memiliki kecenderungan untuk
membandingkan diri mereka dengan orang lain. Hal ini disebabkan oleh natur
manusia yang tidak pernah puas. Manusia selalu ingin mendapatkan lebih. Ketika
mereka melihat apa yang dimiliki orang lain, mereka akan memiliki keinginan
untuk juga memiliki hal yang sama. Pernyataan ini diperkuat oleh Festinger
(1954) yang mengatakan bahwa manusia membandingkan diri mereka sebagai
cara untuk menilai diri mereka sendiri. Artinya manusia memiliki suatu keinginan

5
untuk menjadi lebih baik dari orang-orang disekitarnya. Ketika seorang individu
melihat kerabatnya memiliki suatu gaya hidup yang lebih mewah secara finansial
maka akan timbul dalam dirinya keinginan untuk memiliki gaya hidup yang lebih
kurang sama. Jika keinginan ini tidak dapat ia penuhi maka ia akan mengalami
penurunan pada kebahagiaan atau kepuasan hidupnya.
Kebahagiaan diperoleh seseorang jika dia menerima keadaan yang
sebenarnya dengan jiwa lapang. Diantaranya dia merasa puas dengan apa yang
diperolehnya. Kepuasan itu akan diperoleh jika dia dapat terhindar dari perasaan
stress. Tingkat stress seseorang tergantung dari bagaimana dia dapat mentoleransi
semua tekanan yang timbul pada dirinya. Salah satu stress yang dapat timbul
disebabkan oleh permasalahan pada bidang keuangan dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya (financial stress). Batas toleransi seseorang akan suatu ketidakpastian
dalam hidupnya akan menentukan keadaan mental seseorang apakah dia stress
atau tidak.
Sebagai contoh jika seorang individu memiliki jumlah tagihan tertentu
katakanlah lima juta rupiah dengan penghasilan katakanlah tiga juta rupiah.
Seseorang yang memiliki batas toleransi akan ketidakpastian (dalam hal ini
ketidakpastian apakah ia mampu melunasi tagihan kartu kreditnya atau tidak)
yang tinggi tidak akan merasa stress karena ia masih optimis bahwa jumlah
tagihan yang dihadapi ini masih dalam ranah kemampuannya untuk mendapatkan
penghasilan tambahan untuk melunasi tagihannya tersebut. Jadi disini dapat
dilihat bahwa batas toleransi akan ketidakpastian seseorang timbul dari keyakinan
seseorang akan kemampuannya untuk dapat menyelesaikan masalah yang
dihadapinya. Seseorang yang memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi akan
memiliki rasa percaya diri akan kemampuannya untuk menyelesaikan masalahnya
tersebut karena ia memiliki ilmu yang cukup yang berkaitan dengan masalah yang
dihadapinya. Jadi disini mulai terlihat polanya, mereka yang memiliki tingkat
pengetahuan yang cukup tinggi akan memiliki rasa percaya diri akan
kemampuannya untuk menyelesaikan masalahnya sehingga ia menjadi lebih
mentolerir ketidakpastian yang dihadapi dalam hidupnya. Mereka yang memiliki

6
toleransi akan ketidakpastian yang tinggi tidak akan mudah merasa stress
sehingga ia akan mendapatkan kepuasan yang lebih baik.

Financial satisfaction seseorang akan selalu berubah-ubah mengingat


seseorang akan merasa puas jika kebutuhannya terpenuhi. Kekuatan finansial
seseorang tidak akan sama seumur hidupnya. Kekuatan finansial atau kemampuan
finansial seseorang untuk memenuhi kebutuhannya akan berubah seiring
berubahnya pendapatan dan ketika mereka memasuki masa pensiun. Maka hal
yang menjadi penting disini bukan hanya bagaimana cara mendapatkan kepuasan
finansial saja, akan tetapi juga bagaimana cara mempertahankan kepuasan
finansial itu sendiri. Untuk dapat mempertahankan kepuasan finansial seseorang,
diperlukan financial literacy yang baik. Dengan tingkat financial literacy yang
baik, maka seseorang akan dapat mengelola keuangannya sedemikian rupa
sehingga ia dapat terus meningkatkan atau setidaknya mampu terus
mempertahankan gaya hidupnya sampai akhir hidupnya.
Financial satisfaction merupakan variabel yang sangat penting untuk
mengukur kesejahteraan subyektif seseorang. Tingkat kesejahteraan individu
inilah yang menjadi indikator kemakmuran suatu negara (Woodyard dan Robb,
2016). Jadi financial satisfaction ini harus menjadi perhatian pemerintah agar
dapat terciptanya negara yang makmur.
Financial satisfaction ini sendiri dipengaruhi oleh beberapa
variabel. Joo dan Grable (2004) mengatakan bahwa variabel-variabel seperti
financial behavior, solvency, financial stress, financial knowledge, financial risk
tolerance, serta faktor-faktor sosio demografis seperti umur, tingkat pendapatan,
dan jenis kelamin memiliki pengaruh terhadap financial satisfaction. Woodyard
dan Robb (2016) menyatakan bahwa variabel-variabel seperti financial
sophistication, financial attitude, dan financial strain memiliki pengaruh terhadap
financial satisfaction.
Joo dan Grable (2004) mengatakan bahwa financial stress dipengaruhi
oleh financial behavior, financial risk tolerance, dan financial knowledge. Mereka
yang memiliki perilaku keuangan yang baik akan memiliki tingkat financial stress

7
yang lebih rendah. Perilaku keuangan yang baik dihasilkan oleh financial
knowledge yang baik.

Model penelitian ini didasari oleh penelitian yang dilakukan oleh Joo dan
Grable (2004). Perbedaan dari penelitian ini dengan penelitian Joo dan Grable
(2004) terletak pada metode penelitiannya. Penelitian ini dilakukan pada
responden yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi, yaitu dosen yang
memiliki tingkat pendidikan yang tinggi (minimal S1), sedangkan penelitian Joo
dan Grable (2004) meneliti para pekerja tanpa ada spesifikasi pekerjaan yang
spesifik (maksimal S1). Penelitian ini meneliti lima ratus data sampel, sedangkan
penelitian Joo dan Grable (2004) hanya meneliti 220 data sampel. Penelitian Joo
dan Grable (2004) menggunakan SPSS dalam pengelolahan datanya, sedangkan
penelitian ini menggunakan Smart PLS dalam pengolahan datanya. Perbedaan
selanjutnya terletak pada model penelitian. Joo dan Grable (2004) meneliti kaitan
antara financial risk tolerance terhadap financial stress, sedangkan penelitian ini
tidak. Variabel penelitian Joo dan Grable (2004) meliputi Demographic
Characteristic, Financial Knowledge, Financial Stressor, Financial Attitude,
Financial Behavior, Financial Risk Tolerance, Solvency, Financial Stress, serta
Financial Satisfaction. Variabel penelitian ini meliputi Financial Literacy,
Financial Risk Tolerance, Financial Stress serta Financial Satisfaction.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara financial
literacy, financial risk tolerance, dan financial stress terhadap financial
satisfaction pada kelompok masyarakat yang memiliki pendidikan tinggi (sarjana)
dengan menggunakan sampel dosen di seluruh indonesia. Berdasarkan penjelasan
latar belakang serta penelitian-penelitian sebelumnya, maka judul dari penelitian
ini adalah PENGARUH FINANCIAL LITERACY TERHADAP FINANCIAL
SATISFACTION DENGAN FINANCIAL RISK TOLERANCE DAN
FINANCIAL STRESS SEBAGAI VARIABEL PENENGAH PADA
BEBERAPA DOSEN KOPERTIS DI INDONESIA.

8
B. MASALAH RISET
Berdasarkan latar belakang yang disebutkan sebelumnya maka identifikasi
masalah yang ada adalah
1) Bagaimana pengaruh financial attitude terhadap financial satisfaction.
2) Bagaimana pengaruh financial behavior terhadap financial satisfaction.
3) Bagaimana pengaruh financial stress terhadap financial satisfaction.
4) Bagaimana pengaruh financial sophistication terhadap financial
satisfaction.
5) Bagaimana pengaruh personal characteristic terhadap financial
satisfaction.
6) Bagaimana pengaruh financial risk tolerance terhadap financial
satisfaction.
7) Bagaimana pengaruh solvency terhadap financial satisfaction.
8) Bagaimana pengaruh income terhadap financial satisfaction.
9) Bagaimana pengaruh financial strain terhadap financial satisfaction.
10) Bagaimana pengaruh financial literacy terhadap financial satisfaction.

C. PEMBATASAN MASALAH
Batasan fokus dalam penelitian ini adalah pengaruh financial literacy terhadap
financial satisfaction pada kondisi yang mengalami stres. Adapun variabel-
variabel yang menjadi fokus utama dalam penelitian ini adalah financial literacy,
financial risk tolerance, financial stress, dan financial satisfaction.

D. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan identifikasi masalah dan batasan masalah, maka masalah penelitan
dapat dirumuskan sebagai berikut :
1) Bagaimana pengaruh financial literacy terhadap financial risk tolerance.
2) Bagaimana pengaruh financial literacy terhadap financial stress.

9
3) Bagaimana pengaruh financial literacy terhadap financial satisfaction.
4) Bagaimana pengaruh financial risk tolerance terhadap financial
satisfaction.
5) Bagaimana pengaruh financial stress terhadap financial satisfaction.
6) Bagaimana pengaruh financial literacy terhadap financial satisfaction
melalui financial risk tolerance.
7) Bagaimana pengaruh financial literacy terhadap financial satisfaction
melalui financial stress.

E. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN


1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah dan perumusan masalah yang telah
disebutkan sebelumnya, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh dan sifat pengaruh yang berkaitan dengan hubungan antara variabel-
variabel sebagai berikut :
a. Financial literacy memiliki pengaruh terhadap financial risk tolerance.
b. Financial literacy memiliki pengaruh terhadap financial stress.
c. Financial literacy memiliki pengaruh terhadap financial satisfaction.
d. Financial risk tolerance memiliki pengaruh terhadap financial
satisfaction.
e. Financial stress memiliki pengaruh terhadap financial satisfaction.
f. Financial literacy memiliki pengaruh terhadap financial satisfaction
melalui financial risk tolerance.
g. Financial literacy memiliki pengaruh terhadap financial satisfaction
melalui financial stress.

2. Manfaat Penelitian
a. Bagi pemerintah
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai faktor-
faktor yang mempengaruhi financial satisfaction. Informasi ini diharapkan
mampu membantu pemerintah untuk merancang program-program yang dapat

10
meningkatkan kepuasan finansial sehingga tercapainya kesejahteraan
masyarakat.

b. Bagi peneliti selanjutnya


Penelitian ini diharapkan mampu menjadi acuan bagi para peneliti di masa
yang akan datang dalam penelitian mereka akan financial satisfaction.

11
BAB II
LANDASAN TEORI

A. TEORI
1. Grand Theory

Grand Theory dari penelitian ini adalah teori TPB yang dikembangkan dari teori
TRA. Teori TPB ini dikembangkan pada tahun 1985 oleh Ajzeen. Alasan
munculnya teori TPB adalah keterbatasan teori TRA.
a. Teori TRA (Theory of Reasoned Action)

Mengingat bahwa Theory of Planned Behavior merupakan teori yang muncul


karena keterbatasan dari model Theory of Reasoned Action, maka perlu dibahas
secara singkat mengenai apa itu Theory of Reasoned Action dan apa yang kurang
dalam teori tersebut sehingga dimunculkan Theory of Planned Behavior.
Theory of Reasoned Action merupakan teori yang dikemukakan oleh
Ajzeen dan Fishbein yang ditujukan untuk menjelaskan hubungan antara
kepercayaan, sikap, norma, tujuan, serta perilaku individu. Bedasarkan teori ini,
perilaku seseorang ditentukan dari tujuan seseorang. Tujuan (intention) ini
menurut teori TRA ditentukan oleh sikap dan norma subyektif dari seseorang
terhadap suatu perilaku. Menurut Fishbein (1980), norma subyektif merupakan
persepsi seseorang bahwa sebagian besar orang yang penting baginya berpendapat
bahwa ia seharusnya atau tidak seharusnya melakukan perilaku yang
bersangkutan. Jadi secara garis besar, teori TRA memiliki model seperti ini :

12
Gambar 2.1. Model TRA
Sumber: Fishbein (1980)
Penjelasan Gambar 2.1. Perilaku muncul dari sebuah niat yang
dipengaruhi oleh sikap dan norma subyektif seseorang. Sikap ini
terbentuk dari kepercayaan seseorang. Norma subyektif lahir dari nilai
normatif yang dipegang seseorang.

b. Theory of Planned Behavior

Theory of Reasoned Action inilah yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh
Ajzeen menjadi Theory of Planned Behavior dengan menambahkan elemen
perceived behavioral control. Ajzeen (1991) menyatakan bahwa Theory of
Planned Behavior ini mengasumsikan bahwa perilaku seseorang didorong oleh
tujuan perilaku. Teori ini merupakan kepanjangan atau pengembangan dari
Theory of Reasoned Action (TRA) yang muncul karena keterbatasan dari model
Theory of Reasoned Action dalam menjelaskan tentang perilaku dimana orang
memiliki kendali yang tidak lengkap akan keinginan mereka
Faktor utama dalam Theory of Planned Behavior adalah
tujuan individu dalam melakukan suatu perilaku tertentu. Tujuan (intention) ini
dibentuk untuk menangkap faktor-faktor motivasional yang mempengaruhi
sebuah perilaku (Ajzeen, 1991). Tujuan sendiri dapat didefinisikan sebagai
keinginan aktif untuk mencapai hasil di masa depan (Malle dan Knobe, 1997).
Model teori TPB dapat diringkas pada Gambar 2.2.

13
Gambar 2.2. Model TPB

Sumber: Ajzeen (1991)

Penjelasan Gambar 2.2. Tujuan (intention) lahir dari sikap, norma subyektif, dan
perceived behavioral control. Tujuan inilah yang mempengaruhi perilaku
individu. Perilaku individu juga dipengaruhi oleh perceived behavioral control.

Perceived behavioral control ini memiliki peran yang sangat penting


dalam Theory of Planned Behavior (Ajzeen, 1991). Perceived behavioral control
ini meruju kepada persepsi orang akan kemudahan atau kesulitan dalam
melakukan perilaku yang diminati (Ajzeen, 1991). Menurut Theory of Planned
Behavior, perceived behavioral control dan tujuan perilaku dapat digunakan
untuk memprediksikan pencapaian perilaku.

2. Middle Theory
a. Teori Perilaku

Perilaku menurut Lazzeri (2014) memiliki empat arti yang berbeda,


diantaranya yaitu :

14
1) Perilaku sebagai manifestasi dari aksi dan reaksi dari makhluk hidup.
Artinya perilaku merupakan sesuatu yang dikeluarkan, atau dilakukan
oleh makhluk hidup pada tempat dan saat-saat tertentu;
2) Perilaku sebagai suatu kelas atau pola. Artinya perilaku adalah suatu
kejadian, yaitu turunan dari kelas atau pola, atau setidaknya entitas
yang bersama dengan entitas – entitas lain yang memiliki satu atau
lebih sifat yang sama, yang membentuk pola atau kelas dari waktu ke
waktu. Dengan Bahasa yang lebih sederhana, perilaku merupakan
sesuatu yang pada prinsipnya dapat direalisasikan pada waktu dan
tempat yang berbeda, atau setidaknya terdiri dari hal-hal yang terjadi
pada waktu dan tempat yang berbeda;
3) Perilaku berkelompok sama seperti perilaku individu, merupakan suatu
kejadian atau sebagai kelas atau pola;
4) Perilaku sebagai perubahan perubahan atau pergerakan dari sebuah
obyek. Arti ini hanya berlaku jika membicarakan mengenai perilaku
benda mati, seperti misalnya sebuah anak panah yang terbang dapat
dikatan sebagai perilaku dari anak panah tersebut.

Perilaku dibentuk dan dipelihara oleh konsekuensi-konsekuensi


penguatnya dan bukan ditimbulkan oleh respon yang dikondisikan maupun tidak
dikondisikan terhadap rangsangan, serta dapat dijelaskan tanpa mengacu pada
kejadian mental atau neurologis (Skinner, 1938: 457). Konsekuensi-konsekuensi
penguat ini bisa dianalogikan seperti makanan atau sesuatu yang diberikan kepada
seseorang atas “respon” dari suatu perilaku yang ditunjukan oleh seseorang
tersebut. Konsekuensi-konsekuensi ini tidak terbatas hanya kepada hadiah saja,
akan tetapi juga bisa dalam bentuk hukuman seperti misalnya pukulan atau
hukuman penjara. Pernyataan ini didasari oleh percobaan yang dilakukan oleh
Skinner (1953: 63). Dalam percobaan ini, skinner mencoba mengamati perilaku
seekor burung jika diberikan makanan yang ia sebut sebagai konsekuensi. Burung
dalam percobaan Skinner memberikan suatu reaksi pada saat disuguhkan
makanan. Ketika burung itu melakukan suatu perilaku yang sesuai seperti

15
mengangkat kepalanya sampai batas tertentu maka burung itu mendapat makanan.
Dari percobaan ini bisa dilihat bahwa makhluk hidup (dalam hal ini burung) akan
menunjukan suatu perilaku (dalam hal ini mengangkat kepala) ketika disuguhkan
makanan. Ini menjelaskan pernyataan bahwa perilaku itu dibentuk dan dipelihara
oleh konsekuensi penguatnya. Juga dalam kehidupan sehari-hari, manusia
menunjukkan hal yang lebih kurang serupa dengan hasil dari percobaan diatas.
Manusia melakukan sesuatu yang akan membuat kepuasan pribadi dan mereka
akan menghindari perilaku yang akan membawa mereka kepada hukuman
(Bandura, 1974). Pendapat Bandura (1974)
memperkuat klaim yang mengatakan bahwa perilaku dibentuk dan dipelihara oleh
konsekuensi-konsekuensi penguatnya. Bandura (1974) mengatakan bahwa teori
yang menyatakan bahwa perilaku manusia merupakan hasil dari penghargaan dan
hukuman eksternal menggambarkan citra manusia yang terpotong yang
dikarenakan orang mengatur perbuatan-perbuatannya berdasarkan konsekuensi-
konsekuensi yang dibuat sendiri. Bandura (1974) juga menambahkan bahwa
contoh dan prinsip memberikan standar perilaku yang menjadi dasar bagi reaksi-
reaksi penguat diri. Pengembangan dari reaksi-reaksi inilah yang memberi
manusia kemampuan untuk mengarahkan diri mereka sendiri. Inilah yang
menjelaskan pernyataan Bandura (1974) yang menyatakan bahwa manusia
melakukan sesuatu yang akan membawa kepuasan diri dan menghindari yang
membawa mereka kepada hukuman.
Skinner (1953: 65) menyatakan bahwa peristiwa yang mencolok yang
bertepatan dengan perilkau manusia bisa diartikan sebagai sebuah penyebab.
Maksudnya adalah setiap segala sesuatu pasti ada penyebabnya. Demikian juga
dengan perilaku manusia. Selalu ada suatu penyebab yang menyebabkan
timbulnya perilaku seseorang yang dalam pernyataan skinner itu adalah peristiwa
yang mencolok yang bertepatan dengan perilaku manusia.
Bandura (1974) mengatakan bahwa manusia melakukan sesuatu yang akan
membawa mereka kepada kepuasan. Ini berarti manusia akan menunjukkan suatu
perilaku yang akan membawa mereka kepada kepuasan. Dalam ilmu psikologi,
terdapat satu teori yang membahas tentang kepuasan, yaitu life satisfaction.

16
Diener et.al. (2003) mengatakan bahwa life satisfaction merupakan suatu
komponen dalam kualitas kehidupan yang mencakup kesejahteraan subyektif.
Pavot et.al. (1991) mengatakan bahwa life satisfaction merupakan komponen dari
kesejahteraan subyektif yang dapat dipelajari dengan menilai aspek-aspek seperti
kesehatan, kekayaan, pekerjaan, hubungan dengan orang lain, serta kehidupan
pernikahan. Secara sederhana, aspek-aspek seperti kesehatan, kekayaan,
pekerjaan, hubungan dengan orang lain, serta kehidupan pernikahan merupakan
domain dari life satisfaction.
Life satisfaction merupakan penilaian seseorang tentang tingkat
kehidupan pribadinya (Pavot et.al., 1991). Faktor-faktor yang mempengaruhi life
satisfaction adalah kecerdasan emosional, harga diri, optimisme, perfeksionisme,
depresi, kebahagiaan, serta authenticity. Faktor-faktor seperti kecerdasan
emosional, harga diri, optimisme, kebahagiaan, serta authenticity ini memiliki
pengaruh positif terhadap life satisfaction. Faktor-faktor seperti perfeksionisme,
dan depresi memiliki pengaruh negatif terhadap life satisfaction (Saricam, 2015).

B. VARIABEL PENELITIAN
1. Financial Literacy
a. Teori Financial Literacy

Financial literacy dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk menggunakan


pengetahuan dan keahlian finansial untuk mengelola sumber daya keuangan
seseorang untuk keamanan finansial seumur hidup (Hastings et.al., 2012).
Financial literacy merupakan kepemilikan akan pengetahuan dalam empat area
finansial: manajemen investasi, perencanaan pensiun, pengelolaan keuangan
secara umum, dan manajemen kredit. (Bianco dan Bosco, 2011).
Financial Literacy juga dapat didefinisikan sebagai pengukuran
bagaimana seseorang dapat mengerti dan menggunakan informasi yang
berhubungan dengan keuangan pribadi (Huston, 2010). Financial Literacy dapat
juga didefinisikan sebagai kemampuan untuk membuat penilaian yang tepat serta

17
mengambil keputusan yang efektif mengenai penggunaan dan pengelolaan uang
(Worthington, 2013).
Dari definisi-definisi tentang financial literacy menurut para ahli, dapat
disimpulkan bahwa financial literacy merupakan suatu kemampuan yang dimiliki
seseorang untuk mengelola keuangan mereka dengan memanfaatkan pengetahuan
mereka dalam pengelolaan investasi, perencanaan pensiun, pengelolaan keuangan
secara umum, dan manajemen kredit, sehingga mereka dapat mengambil
keputusan yang efektif untuk mencapai keamanan keuangan seumur hidup
mereka. Sederhananya, financial literacy merupakan penguasaan penuh akan ilmu
keuangan.
Menurut Lusardi dan Mitchell (2013), seseorang yang mempunyai
pengetahuan finansial yang luas akan menghabiskan lebih sedikit dari
pendapatannya pada saat pendapatannya tinggi. Sebagian lain dari pendapatannya
ditabung untuk mendukung konsumsi pada saat pendapatan tidak mencukupi
(misalnya setelah pensiun). Dari sini bisa dikatakan bahwa financial literacy
merupakan suatu hal yang sangat penting bagi semua orang. Mereka yang
memiliki pengetahuan finansial yang luas cenderung akan lebih memiliki kondisi
keuangan yang baik dibandingkan dengan mereka yang tidak. Untuk
mengerti lebih jelas mengenai pentingnya financial literacy, Hasting et. Al.
(2012) menjelaskan financial literacy dalam bentuk Persamaan 1. Persamaan
tersebut menjelaskan bahwa sebuah rumah tangga memutuskan antara konsumsi
dan tabungan pada saat waktu 0, dengan budget = y, suku bunga riil = r, dan harga
saat ini dan masa depan = p, serta barang yang dikonsumsi = x

Max E [U ( c 0 , c 1 ) ]
s . t . c 0+ s 0 ≤ y
c 1≤ ( 1+r ) s 0 Persamaan 1.1.
N
ct=∑ xit . pit
i =1

Keterangan : Max E [U(…..)] = Maximum Expected Utility

18
U = Fungsi Utilitas
c0 = Konsumsi pada waktu 0
c1 = Konsumsi pada waktu 1
s = Tabungan
t = Waktu
s0 = Tabungan pada waktu 0
y = Budget
r = Suku bunga riil
x = Barang yang dikonsumsi
p = Harga

untuk memecahkan model ini, dibutuhkan keahlian matematis tentang financial


literacy pada tingkatan tertentu (dalam artian pengertian akan suku bunga, risiko
pasar, return riil dan nominal, harga, serta inflasi). Outcome kompetitif di pasar
produk yang menentukan x dan p dalam persamaan diatas bergantung pada
asumsi bahwa individu dapat dan memang melakukan perbandingan antar produk
maupun harga yang dibayarkan. Ini merupakan tugas yang secara relatif mudah
untuk produk-produk seperti sereal, namun ini merupakan pesanan yang
berpotensi tinggi untuk produk dengan harga yang tidak pasti. Kekurangan
financial literacy akan menjadi masalah jika individu tidak mampu
mengoptimalkan kesejahteraannya, terutama bila risiko kegagalannya sangat
besar. (Hastings et.al., 2012).
Dari teori financial literacy, dapat disimpulkan bahwa kurangnya financial
literacy akan membuat orang salah mengambil keputusan keuangan misalnya
memutuskan berapa bagian dari pendapatan seseorang harus disisihkan dengan
tepat untuk konsumsi, tabungan, dan investasi. Hal ini akan berdampak pada
tercapainya kesejahteraan individu secara optimal. Jika terjadi kesalahan dalam
mengambil keputusan akan beresiko menyebabkan kemiskinan, mengingat
definisi dari financial literacy yang dibahas sebelumnya.
b. Dimensi Financial Literacy

Financial literacy seringkali disamakan dengan financial education atau financial


knowledge. Tetapi sebenarnya kedua variabel ini memiliki konsep yang berbeda
(Potrich et.al., 2015). Financial literacy memiliki dua dimensi, yaitu pengertian,
yang melambangkan pengetahuan atau pendidikan finansial seseorang, dan

19
penggunaan atau pengaplikasian dari pengetahuan tersebut dalam pengelolaan
keuangan pribadi (Huston, 2010). Dari sini bisa dilihat bahwa financial education
atau financial knowledge merupakan dimensi dari financial literacy. Dengan
bahasa yang lebih sederhana, financial literacy mencakup financial education dan
atau financial knowledge.
Financial literacy juga mencakup beberapa konsep, diantaranya
adalah financial awareness, financial skills, dan financial capability. OECD
membahas financial literacy dalam tiga dimensi, yaitu financial knowledge,
financial behavior, dan financial attitude (Potrich et.al., 2015). Ini berarti selain
dari financial knowledge atau financial education, financial skills, financial
capability, financial literacy juga mencakup financial behavior dan financial
attitude. Menurut OECD (2013), financial behavior menjadi elemen
kunci dari financial literacy dan menjadi faktor yang paling penting. Menurut
Atkinson dan Messy (2012) hasil positif dari menjadi melek finansial didorong
oleh perilaku seperti merencanakan pengeluaran dan membangun keamanan
finansial, dan sebaliknya, perilaku tertentu seperti penggunaan kartu kredit yang
berlebihan akan mengurangi kesejahteraan finansial.
Potrich et.al., (2015) menambahkan bahwa faktor
sosio-demografis juga menjadi faktor yang mempengaruhi financial literacy.
Pernyataan mereka didukung oleh hasil penelitian yang mereka lakukan yang
menemukan bahwa laki-laki memiliki tingkat financial literacy yang lebih tinggi
dari wanita. Hasil penelitian mereka juga menyatakan bahwa tingkat pendidikan,
serta tingkat pendapatan individu merupakan faktor yang mempengaruhi financial
literacy.
Kesimpulannya dimensi-dimensi dari financial literacy mencakup
financial education, financial knowledge, financial awareness, financial skill,
financial capability, financial attitude, financial behavior, serta faktor demografis.
c. Indikator Financial Literacy

Pengukuran financial literacy dilakukan dengan menggunakan pertanyaan-


pertanyaan yang menjadi indikator financial literacy. Indikator yang dapat dipakai
untuk mengukur financial literacy menurut Altaf (2014) adalah: 1) Pengetahuan

20
akan definisi dan teori finansial. 2) kemampuan untuk mengelola keuangan.
Fernandes et.al. (2014) mengukur financial literacy dengan menggunakan
indikator: 1) informasi numerik. 2) sikap terhadap uang. 3) kepercayaan diri akan
informasi keuangan. 4) perencanaan keuangan jangka pendek.
Lusardi, dan Mitchell (2011) mengukur financial literacy dengan
menggunakan indikator: 1) pengertian akan konsep ekonomi yang berkaitan
dengan tabungan. 2) pengetahuan akan diversifikasi risiko
2. Financial Risk Tolerance
a. Teori Financial Risk Tolerance

Financial risk tolerance dapat didefinisikan sebagai tingkat ketidakpastian secara


maksimum yang mampu diterima oleh seseorang ketika membuat keputusan
finansial, sampai kepada seluruh aspek sosial dan ekonomi (Grable, 2004).
Financial risk tolerance merupakan tingkat resiko yang dipercaya oleh seorang
individu bahwa ia dapat menerimanya (Callan dan Johnson, 2002). Definisi lain
mengenai risk tolerance adalah sejauh mana seseorang memilih untuk mengambil
resiko mengalami hasil yang kurang memuaskan untuk suatu kemungkinan
mendapatkan hasil yang lebih memuaskan (Roszkowski et al., 2005). Risk
tolerance adalah gabungan dari empat faktor-faktor risk tolerance, yaitu
kecenderungan resiko, sikap akan resiko, kapasitas resiko, dan pengetahuan akan
resiko (Cordell, 2001).
Dari keempat definisi diatas, dapat dikatakan bahwa risk tolerance
merupakan suatu tingkatan dimana seseorang akan mentolerir sebuah
ketidakpastian akan sesuatu dengan harapan akan mendapatkan keuntungan yang
lebih besar. Bisa juga dikatakan bahwa risk tolerance itu merupakan tingkatan
dimana seseorang bersedia untuk mempertaruhkan sesuatu demi tujuan yang lebih
menguntungkan dibanding dengan tingkat kemungkinan terburuk yang akan
terjadi atau yang biasa disebut dengan resiko. Dengan kata lain, risk tolerance
merupakan sebuah perilaku untuk mengambil resiko demi mendapatkan hasil
yang lebih menguntungkan.
Teori yang paling lazim digunakan dalam membahas mengenai financial
risk tolerance adalah Expected Utility Theory (EUT). Expected Utility Theory

21
membentuk fondasi utama yang digunakan oleh para peneliti untuk menjelaskan
bagaimana risk tolerance mempengaruhi atau berkaitan dengan perilaku
mengambil resiko (Grable, 2016).
Konsep dari Expected Utility Theory (EUT) dikembangkan oleh Von
Neumann dan Morgenstern pada tahun 1947. Mereka berargumen bahwa
konsumen memilih pilihan yang memiliki hasil yang paling menguntungkan.
Fungsi utilitas seorang konsumen biasanya diasumsikan menyerupai fungsi fungsi
utilitas keengganan risiko relatif konstan (Grable, 2016).
Weber dan Milliman (1997) mengatakan bahwa dalam kerangka
pemikiran expected utility theory, preferensi resiko dioperasionalisasikan sebagai
sikap dari resiko yang merupakan label deskriptif dari bentuk fungsi utilitas dari
pilihan-pilihan seseorang. Risk Tolerance adalah pilihan akan pendapatan dari
suatu sumber yang belum jelas. Individu dikatakan risk tolerant jika dia
mempunyai harapan besar akan memperoleh pendapatan dari sumber yang belum
jelas tersebut. Asumsi expected utility theory menurut Grable
(2016) bahwa individu bersifat rasional dan preferensi resikonya konstan. Dengan
demikian, individu harus membuat pilihan yang pada situasi yang resikonya sama.
Kahneman dan Tversky (1979) mengatakan bahwa metode hypothetical choices
yang digunakan dalam pengukuran model Expected Utility Theory mengandalkan
asumsi bahwa orang seringkali mengetahui bagaimana mereka akan bersikap pada
situasi actual pertanyaan yang disuguhkan kepada mereka. Asumsi selanjutnya
mengasumsikan bahwa subyek-subyek tidak memiliki alasan khusus untuk
memalsukan atau menutup preferensi mereka yang sebenarnya.
Expected Utility Theory dikembangkan lebih lanjut menjadi Modern
Portfolio Theory (MPT) oleh Markowitz dengan tujuan memfasilitasi analisa dari
portofolio investasi. Secara umum, Modern Portfolio Theory memprediksikan
bahwa investor hanya akan mengambil risiko tambahan jika tingkat return yang
berkaitan dengan resiko tersebut juga tinggi (Grable, 2016).
Teori alternatif lain dari expected utility theory adalah prospect theory.
Prospect theory dikembangkan oleh Kahneman dan Tversky. Pengembangan ini
disebabkan karena indikator-indikator yang digunakan untuk mengukur Expected

22
Utility Theory hasilnya banyak yang tidak valid. Ketidak validan tersebut
disebabkan pertanyaan yang dibuat tidak menggambarkan kondisi yang
sebenarnya dari responden, sehingga terjadi isolation effect. Sehingga responden
memberikan jawaban yang tidak konsisten ketika pilihan yang sama disajikan
dalam bentuk yang berbeda (Kahneman dan Tversky, 1979)
Prospect Theory membedakan dua fase dalam proses pemilihan, yaitu fase
awal penyuntingan dan fase selanjutnya yaitu fase evaluasi. Fase penyuntingan,
terdiri dari analisa awal dari prospek yang disajikan, yang seringkali memberikan
gambaran sederhana dari prospek tersebut. Pada fase kedua, prospek yang sudah
disunting akan dievauasi dan prospek dengan nilai tertinggi akan dipilih
(Kahneman dan Tversky, 1979).
Teori prospek ini memiliki persamaan matematika yang dikemukakan oleh
Kahneman dan Tversky (1979) pada Persamaan 2.1.

V ( x , p ; y , q )=π ( p ) v ( x ) + π ( q ) v ( y ) Persamaan 2.1

Keterangan : V( x , p ; y , q ) = nilai dari prospek


π ( p) = probabilitas sukses
v = variabel yang mengukur nilai defiasi dari
titik referensi seperti keuntungan dan
kerugian
x = potensi keuntungan
y = potensi kerugian
π ( q) = 1-p

Kahneman dan Tversky (1979) menjelaskan bahwa persamaan matematis dari


prospect theory (Persamaan 2.1) berkaitan dengan prospek yang sederhana yang
dinotasikan dalam bentuk (x,p;y,q). Pada fase penyuntingan, prospek tersebut
dipisahkan menjadi dua komponen yaitu :
1) Riskless component, seperti keuntungan atau kerugian yang pasti akan
diperoleh.
2) Risky component, seperti keuntungan atau kerugian tambahan yang
dipertaruhkan. Maksudnya ini adalah keuntungan dan kerugian

23
tambahan yang belum tentu diperoleh, dan kemungkinan besar dapat
hilang.

Dalam prospect theory, yang digunakan untuk mengukur keuntungan dan


kerugian adalah nilai, bukan utilitas seperti yang ada di teori EUT (Grable, 2016).
Hasil dari prospect theory adalah tingkat risk tolerance seseorang akan
bergantung pada bagaimana suatu situasi yang terbentuk. Maksudnya adalah
seorang individu akan semakin risk tolerant jika prospek memiliki nilai yang
besar, atau jika prospek memiliki kemungkinan keuntungan atau tingkat
keuntungan yang lebih besar relatif terhadap kemungkinan kerugian atau tingkat
kerugian yang ada.
b. Dimensi Risk Tolerance

Faktor-faktor yang mempengaruhi risk tolerance menurut Grable (2016) adalah :


1) Faktor biopsychosocial
Faktor ini meliputi kepercayaan, jenis kelamin, agresifitas,
kepribadian, umur.
2) Faktor lingkungan
Faktor ini meliputi situasi keluarga, perilaku kerabat, dukungan dan
kontrol, status socioeconomic.
3) Faktor pemicu
Faktor ini meliputi pengalaman, pengetahuan, keahlian, respon
emosional.
Rahmawati et al. (2015) mengatakan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi risk tolerance adalah :
1) Jenis kelamin
a. Hasil penelitian dari Rahmawati, et al. (2015) menyatakan bahwa
laki-laki memiliki tingkat risk tolerance yang lebih tinggi
dibanding wanita. Hasil penelitian dari Kannadhasan (2015) juga
menunjukkan hal yang serupa.
2) Tingkat pendidikan

24
a. Rahmawati et al. (2015) menemukan bahwa mereka yang memiliki
tingkat pendidikan yang tinggi akan memiliki tingkat risk
tolerance yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang memiliki
pendidikan yang lebih rendah.

3) Tingkat kekayaan
a. Hasil penelitian dari Rahmawati et al. (2015) menyatakan bahwa
investor yang memiliki tingkat kekayaan yang tinggi cenderung
memiliki risk appetite yang lebih besar dari mereka yang memiliki
tingkat kekayaan yang lebih rendah. Maksudnya adalah investor
yang memiliki tingkat kekayaan yang lebih tinggi memiliki tingkat
risk tolerance yang lebih tinggi.
c. Indikator

Indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat financial risk tolerance
menurut Joo dan Grable (2004) seseorang adalah risk tolerance index yang berupa
pernyataan-pernyataan 1) Menurut saya, dalam berinvestasi return (hasil) lebih
penting dibandingkan keamanan investasi. 2) lebih baik menginvestasikan uang di
pasar modal dari pada menaruhnya di bank. 3) Ketika mendengar kata resiko, saya
mengasosiasikannya dengan kesempatan untuk meraih keuntungan. 4) Menurut
saya, berinvestasi pada surat berharga semua berdasarkan nasib.
Gilliam, et.al. (2010) mengatakan bahwa indikator untuk mengukur
financial risk tolerance adalah pertaruhan dengan probabilitas versus pertaruhan,
pilihan risiko secara umum, pilihan antara kerugian yang pasti dengan keuntungan
yang pasti, risiko dalam hal pengalaman dan pengetahuan, risiko sebagai tingkat
kenyamanan, risiko spekulatif, prospect theory, serta risiko investasi. Tran dan
Paradi (2011) mengatakan bahwa ada lima indikator untuk mengukur financial
risk tolerance, yaitu: 1) kecenderungan. 2) sikap. 3) kapasitas. 4) pengetahuan. 5)
persepsi waktu.
3. Financial Stress
a. Teori Financial Stress

25
Financial Stress dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi emosional yang dialami
oleh seseorang yang mengalami masalah finansial (Pauline, 2015). Dengan kata
lain, financial stress merupakan suatu aspek emosi yang dimiliki seseorang yang
berkaitan dengan finansial dalam hal ini masalah finansial. Definisi lain dari
Financial Stress adalah ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kewajiban-
kewajiban finansialnya dan termasuk juga didalamnya efek-efek emosional dan
psikologi (Northern, et.al., 2010). Financial stress juga dapat didefinisikan
sebagai persepsi dari kegelisahan yang diasosiasikan dengan kondisi keuangan
pribadi saat ini (Britt, et.al., 2017).
Dari beberapa definisi dari financial stress, dapat disimpulkan bahwa
financial stress merupakan suatu keadaan dimana seseorang tidak mampu
memenuhi kewajiban-kewajiban finansialnya dan keadaan ini mempengaruhi
kondisi emosional dan psikologi orang yang bersangkutan. Kewajiban finansial
disini bisa berupa sesuatu yang sangat basic seperti kebutuhan akan makanan dan
tempat tinggal, sampai kepada tagihan kartu kredit.
Financial stress merupakan suatu bagian dari stress secara umum. Teori
yang bisa digunakan untuk membahas financial stress adalah teori systemic stress
dan teori psychological stress. Dalam percobaan yang dilakukan oleh Hans Seyle,
hewan-hewan yang diberikan stimulus-stimulus seperti panas, dingin, maupun
racun secara intens dan cukup lama akan menunjukkan efek yang umum yang
disebut oleh Seyle merupakan pola respon dari systemic stress (Krohne, 2001).
Pola respon dari systemic stress biasanya disebut dengan General
Adaptation Syndrome (GAS). GAS memiliki tiga tahapan yaitu : 1) reaksi alarm
yang terdiri dari fase initial shock dan fase subsequent countershock. Fase shock
ini menunjukkan rangsangan otonom, peningkatan adrenalin, dan ulserasi gastro-
intestinal, sedangkan pada fase countershock menandai operasi awal proses
defensive dan ditandai dengan meningkatnya aktifitas adrenokorteks. 2) Stage of
resistance. Pada tingkatan ini, individu sudah mulai beradaptasi dengan stressor
atau stimulus yang diberikan. 3) Stage of exhaustion. Tingkatan ini tercapai ketika
stimulasi atau stressor yang diberikan atau dihadapi oleh individu itu terus
menerus muncul. Pada tingkatan ini, individu sudah tidak mampu lagi beradaptasi

26
dengan stressor yang dihadapi dan reaksi-reaksi dari tingkatan pertama akan
muncul kembali serta kerusakan permanen jaringan-jaringan akan muncul, dan
jika stimulus-stimulus itu tetap diberikan, maka dapat menyebabkan kematian
pada individu tersebut (Krohne, 2011).
Teori lainnya yang membahas mengenai stress adalah teori psychological
stress atau biasa disebut juga dengan Lazarus Theory. Psychological stress meruju
kepada hubungan dengan lingkungan yang dianggap penting bagi seseorang atas
kesejahteraan mereka. Ada dua konsep utama dari teori psychological stress ini
yaitu appraisal yang merupakan penilaian individu atas pentingnya suatu kejadian
yang menyangkut kesejahteraan mereka, dan yang kedua adalah coping yang
merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk memenuhi atau
mengelola suatu tuntutan tertentu. Pada teori ini stress dilihat sebagai suatu
hubungan antara individu dengan lingkungannya (Krohne, 2011).
Konsep appraisal ini merupakan suatu faktor kunci untuk memahami
transaksi-transaksi yang berhubungan dengan stress. Konsep ini digunakan untuk
menjelaskan perbedaan individu dari segi kualitas, intensitas, dan durasi emosi
yang muncul di lingkungan yang secara obyektif sama untuk individu yang
berbeda. Secara lumrah diasumsikan bahwa suatu keadaan dibentuk,
dipertahankan, dan diubah oleh suatu pola penilaian yang spesifik yang mana pola
penilaian ini ditentukan oleh beberapa faktor seperti tujuan, nilai, serta harapan
(Krohne, 2011).
Appraisal ini sendiri dibagi lagi menjadi dua, yaitu primary appraisal dan
secondary appraisal. Dalam primary appraisal terdapat tiga komponen, yaitu : 1)
goal relevance yang menjelaskan sampai sejauh mana suatu pengalaman mengacu
pada isu-isu yang menjadi perhatian individu yang bersangkutan. 2) goal
congruence menjelaskan sejauh mana suatu kejadian berjalan sesuai dengan
tujuan pribadi. 3) type of ego-involvement menunjuk aspek dari komitmen pribadi
seperti harga diri, nilai moral, serta ego. Dalam secondary appraisal terdapat juga
tiga komponen yaitu : 1) blame or credit yang merupakan hasil dari penilaian
individu yang bertanggung jawab atas suatu kejadian. 2) coping potential yang
merupakan evaluasi seseorang terhadap sebuah prospek untuk menghasilkan suatu

27
perilaku atau operasi kognitif tertentu yang akan secara positif mempengaruhi
pengalaman yang relevan secara pribadi. 3) future expectation meruju kepada
penilaian dari pengembangan lebih lanjut dari sebuah pengalaman sesuai dengan
kesesuaian atau ketidaksesuaian tujuan (Krohne, 2011).
Konsep coping berkaitan dengan konsep penilaian kognitif dan juga
transaksi orang-lingkungan yang berkaitan dengan stress (Krohne, 2011). Coping
didefinisikan sebagai sebuah usaha perilaku dan kognitif yang dibuat untuk
menguasai, mentoleransi, atau mengurangi tuntutan internal dan eksternal serta
konflik diantara mereka (Folkman dan Lazarus (1980) dalam Krohne, 2011).
b. Asumsi

Teori systemic milik Seyle mengandalkan asumsi bahwa respon hormonal dari
GAS mengikuti dampak emosional dari pengaruh yang bersangkutan daripada
pengaruh itu sendiri. Terdapat empat asumsi dalam komponen coping pada teori
psychological stress milik lazarus yaitu :
1) Tindakan dari coping tidak diklasifikasikan berdasarkan akibat yang
mereka timbulkan, akan tetapi sesuai dengan karakteristik dari proses
coping tersebut (Krohne, 2011).
2) Proses coping ini mencakup perilaku serta reaksi kognitif dari individu
(Krohne, 2011).
3) Coping terdiri dari berbagai tindakan yang disusun secara berurutan,
membentuk sebuah serangkaian penanggulangan (Krohne, 2011).
4) Tindakan coping dapat dibedakan dengan fokus pada elemen yang berbeda
dari pengalaman yang menegangkan (Krohne, 2011).
c. Dimensi

Heckman et.al. (2014) menyatakan bahwa ada beberapa variabel yang menjadi
faktor yang mempengaruhi financial stress yaitu financial stressors, self-efficacy,
dan optimisme. financial stressors dapat diukur dengan indikator seperti
kemampuan untuk menyimpan uang untuk kebutuhan mendadak dan kemampuan
untuk membayar biaya-biaya listrik, air, telepon. Ini berarti financial stressors
merupakan kebutuhan atau tuntutan finansial yang harus dipenuhi oleh seseorang.

28
Pernyataan ini diperkuat oleh Joo dan Grable (2004) yang menggunakan indikator
untuk mengukur financial stressors seperti kejadian yang menyebabkan stress
secara finansial. Peristiwa yang menyebabkan stress secara finansial pasti
merupakan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi secara finansial. Mengingat
bahwa definisi dari financial stress secara garis besar adalah kondisi psikologi
yang dialami seseorang karena tidak mampu membayar tuntutan finansial, maka
tidak bisa dikatakan bahwa financial stressor merupakan ketidakmampuan untuk
memenuhi kewajiban finansial karena itu sudah masuk ranah atau definisi dari
financial stress. Kewajiban finansial ini yang menyebabkan terjadinya financial
stress, karena tidak mungkin bisa muncul financial stress jika tidak ada kewajiban
finansial yang perlu dipenuhi. Atas pertimbangan itu, maka dapat dikatakan
bahwa financial stressors merupakan kewajiban atau tuntutan yang perlu dipenuhi
oleh seseorang.
Hasil penelitian dari Heckman et.al. (2014) menyatakan bahwa mereka
yang memiliki tingkat self-efficacy yang tinggi akan lebih jarang terkena financial
stress. Self-efficacy menurut Bandura (1977) merujuk kepada perasaan mampu
menghadapi suatu masalah atau situasi dengan baik. Dengan kata lain, self-
efficacy berarti suatu kepercayaan atas kemampuan diri menghadapi suatu
masalah atau situasi. Heckman et.al (2014) mengatakan self-efficacy merupakan
suatu konsep penting yang mempengaruhi perilaku dan persepsi seseorang.
Mengingat pernyataan bahwa self-efficacy mempengaruhi perilaku dan persepsi
seseorang, serta definisi dari financial stress yang mengatakan bahwa financial
stress merupakan kondisi emosional seseorang yang mengalami masalah
finansial, maka secara logis bisa dikatakan jika seseorang memiliki tingkat self-
efficacy yang tinggi akan mengalami financial stress yang lebih rendah.
Hasil penelitian dari Heckman et.al. (2014) juga mengatakan bahwa
mereka yang memiliki tingkat optimisme yang tinggi tidak akan atau lebih jarang
mengalami financial stress. Perlu diperhatikan bahwa optimisme disini meruju
kepada optimisme akan keadaan finansial mereka di masa depan.
d. Indikator

29
Indikator yang digunakan oleh Heckman et.al. (2014) untuk mengukur financial
stress merupakan pernyataan-pernyataan 1) saya merasa tertekan dengan kondisi
keuangan saya secara umum. 2) merasa tertekan dengan tagihan kartu kredit saya.
Dilihat dari pernyataan yang digunakan Heckman et.al. (2014) untuk mengukur
financial stress dapat dikategorikan sebagai indikator kondisi keuangan. Indikator
yang digunakan oleh Warren et.al. (2010) berupa pernyataan-pernyataan : 1) Saya
memiliki uang yang cukup untuk membeli makanan dan minuman. 2) Saya
memiliki masalah dengan cicilan bulanan. 3) Saya memiliki masalah dengan
biaya kesehatan. 4) Saya menerima subsidi dari pemerintah. Dilihat dari bentuk
pernyataannya, pernyataan yang digunakan oleh Warren et.al. (2010) untuk
mengukur financial stress dapat dikategorikan sebagai indikator kemampuan
finansial.
4. Financial Satisfaction
a. Teori Financial Satisfaction

Zimmerman (1995) dalam Joo dan Grable (2004) mendefinisikan Financial


Satisfaction sebagai kepuasan atas kondisi finansial seseorang saat ini, dan terus
menerus menjadi tujuan dari sebuah keluarga. Ali et.al. (2015) mendefinisikan
financial satisfaction sebagai sub-struktur dari kesejahteraan umum yang
menggambarkan keadaan sehat, bahagia, dan terbebas dari kekuatiran finansial.
Dari kedua definisi tentang financial satisfaction, dapat disimpulkan bahwa
financial satisfaction merupakan kondisi dimana seseorang merasa puas dengan
kondisi finansialnya yang berarti juga mereka tidak memiliki kekuatiran finansial
serta merupakan tujuan akhir dari kehidupan finansial seseorang.
Life satisfaction merupakan sebuah konsep yang membahas mengenai
kepuasan manusia secara keseluruhan yang dalam artian mencakup seluruh aspek
atau domain kehidupan manusia. Financial satisfaction merupakan salah satu dari
tujuh domain atau aspek atau bagian yang penting dalam life satisfaction. Ada dua
pendekatan teoritis dalam life satisfaction yaitu pendekatan bottom-up dan
pendekatan top-down (Loewe et.al., 2014).
Pendekatan bottom-up merupakan pendekatan yang mengasumsikan
bahwa kepuasan seseorang akan hidupnya secara keseluruhan bergantung pada

30
kepuasannya dalam beberapa area atau aspek kehidupannya yang bisa
dikategorikan sebagai domain kehidupan (Loewe et.al., 2014). Financial
satisfaction merupakan bagian dari domain kehidupan tersebut. Untuk membahas
financial satisfaction dapat digunakan pendekatan bottom-up. Pendekatan bottom-
up ini memiliki beberapa teori yaitu teori multiple disperancy milik Michalos
(1985), teori hirarki kebutuhan milik Maslow (1970), serta self-concordance
model yang dikemukakan oleh Sheldon dan Elliot (1999).
Michalos (1985) mengatakan bahwa dalam teori multiple disperancy
terdapat enam hipotesis utama yaitu :
1) Kepuasan merupakan fungsi dari perbedaan yang dirasakan antara apa
yang dimiliki dan keinginan seseorang, yang dimiliki orang lain, yang
terbaik yang pernah dimiliki seseorang di masa lalu, yang diharapkan
dimiliki tiga tahun lalu, dan yang diharapkan akan dimiliki lima tahun
kedepan, kelayakan, dan kebutuhan.
2) Semua perbedaan yang dirasakan, kecuali perbedaan antara apa yang
dimiliki dengan apa yang diinginkan seseorang adalah fungsi dari
perbedaan yang tidak dapat diukur secara obyektif, yang juga memiliki
efek langsung pada kepuasan dan tindakan.
3) Perbedaan yang dirasakan antara apa yang dimiliki dan apa yang
diinginkan seseorang merupakan variabel penengah dari seluruh
perbedaan lain yang dirasakan dan kepuasan.
4) Pengejaran dan pemeliharaan dari kepuasan memotivasi tindakan
manusia secara langsung sesuai dengan tingkat harapan yang
diharapkan dari kepuasan tersebut.
5) Semua perbedaan, kepuasan, serta tindakan dipengaruhi oleh umur,
jenis kelamin, pendidikan, etnis, pendapatan, harga diri, dan dukungan
sosial.
6) Perbedaan yang secara obyektif dapat diukur merupakan fungsi dari
tindakan manusia dan kondisioner.

Teori kebutuhan merupakan teori yang digagas pada tahun 1960-an oleh
Maslow. Teori ini digambarkan dalam bentuk piramida yang menggambarkan

31
lima tingkatan dari pencapaian manusia (Shahrawat dan Shahrawat, 2017).
Kelima tingkatan pencapaian manusia ini adalah :
1) Kebutuhan fisiologis mencakup kebutuhan dasar yang penting bagi
keberlangsungan hidup, seperti kebutuhan akan air, udara, makanan,
dan tidur;
2) Kebutuhan akan keamanan mencakup kebutuhan akan keamanan,
stabilitas, perlindungan, dan kebebasan dari rasa takut dan kegelisahan;
3) Kebutuhan sosial mencakup kebutuhan akan rasa kepemilikan, cinta,
dan kasih sayang yang biasanya dipenuhi melalui keterlibatan dalam
hubungan personal dan juga melalui kelompok sosial, dan agama;
4) Kebutuhan akan penghargaan yang terdiri dari dua tipe, yaitu
penghargaan dari orang lain dan harga diri. Untuk penghargaan dari
orang lain mencakup turunan dari penghargaan eksternal yang
berdasarkan pada reputasi, kekaguman, status, ketenaran, kemewahan,
keberhasilan sosial, serta seluruh karakteristik dari pendapat orang lain
tentang kita. Di sisi lain, harga diri merupakan hasil dari perasaan puas
dan kelayakan yang didasari oleh kepercayaan diri seseorang ;
5) Kebutuhan akan aktualisasi diri. Kebutuhan ini merupakan tingkatan
yang paling tinggi dalam hirarki Maslow. Inti dari kebutuhan ini
adalah seseorang mampu menjadi apa pun yang bisa ia capai;

Ketika seseorang telah mencapai atau memenuhi kebutuhan yang satu,


maka mereka tidak akan merasa puas begitu saja, akan tetapi mereka akan
mencoba untuk memenuhi kebutuhan yang selanjutnya (Shahrawat dan
Shahrawat, 2017). Dari uraian tentang teori kebutuhan maka dapat disimpulkan
bahwa seseorang akan mencapai kepuasan dalam hidupnya jika seluruh
kebutuhannya telah terpenuhi, dari kebutuhan paling dasar sampai dengan
kebutuhan paling tinggi. Berdasarkan pemikiran ini maka bisa dikatakan bahwa
seseorang akan mencapai kepuasan secara finansial ketika mereka memiliki
kekuatan finansial yang cukup untuk mencapai tingkat aktualisasi diri, dalam
artian ia tidak perlu lagi memikirkan bagaimana cara memenuhi kebutuhannya,
misalnya makanan, mengingat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia

32
perlu uang, dan juga mengingat bahwa financial satisfaction berbicara tentang
terbebas dari kekuatiran finansial. Ini berarti ketika seseorang mencapai kepuasan
secara finansial maka secara otomatis ia juga akan mencapai atau memenuhi
hampir atau bahkan seluruh kebutuhannya.
Kebutuhan manusia menurut Maslow bersifat hirarki. Hirarki ini disajikan
pada Gambar 2.1.

Gambar 2.3. Piramida Hirarki Kebutuhan Maslow


Sumber : Shahrwat dan Shahrawat (2017)
Teori ketiga yang membahas tentang kepuasan adalah teori Self-
concordance model. Teori ini membahas seluruh urutan temporal mulai dari
pengadopsian tujuan sampai dengan pencapaian tujuan, dan juga menggambarkan
efek-efek dari pencapaian dari pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan. Self-
concordance model dimulai ketika orang memilih dan berkomitmen pada suatu
tujuan (Sheldon dan Elliot, 1999). Gambar 2.2. merupakan model dari self-
concordance.

33
Gambar 2.4. Self-concordance Model
Sumber : Sheldon dan Elliot (1999)
Penjelasan Gambar 2.4. Goal self-concordance merujuk kepada pengadopsian
tujuan. Pengadopsian tujuan ini akan menyebabkan individu melakukan upaya-
upaya untuk mencapai tujuan. Upaya-upaya yang dilakukan individu ini akan
membawanya kepada pencapaian tujuan. Pencapaian tujuan akan menghasilkan
kepuasan. Kepuasan ini akan membawa suatu perubahan dalam kesejahteraan
individu. Bagian dari goal self concordance X goal attainment sampai kepada
changes in well being menjelaskan bahwa pengadopsian tujuan dan pencapaian
tujuan akan menghasilkan kepuasan bagi individu.

b. Asumsi

Teori self-concordance model memiliki asumsi bahwa seluruh individu memiliki


dan mengejar tujuan, walau masing-masing individu berbeda dalam tingkat
dimana mereka secara eksplisit menyadari tujuan tersebut dalam kehidupan
sehari-hari mereka (Sheldon dan Elliot, 1999).
Seperti yang telah dikatakan bahwa self-concordance
model dimulai ketika orang memilih dan berkomitmen pada suatu tujuan, asumsi
dari pemilihan suatu tujuan ini adalah beberapa individu mungkin telah memilih
tujuan yang tidak merepresentasikan nilai dan kepentingan pribadi mereka dengan
baik (Sheldon dan Elliot, 1999).
c. Dimensi

Terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi financial satisfaction,


diantaranya adalah financial behavior, financial knowledge, pendapatan rumah
tangga, dan karakteristik demografik. Faktor pendapatan rumah tangga merupakan
faktor yang paling berpengaruh pada financial satisfaction, sedangkan faktor yang
paling sedikit pengaruh nya adalah financial behavior (Coskuner, 2016). Faktor-
faktor lainnya yang mempengaruhi financial satisfaction adalah financial risk
tolerance, solvency, serta financial stress (Joo dan Grable, 2004). Pengaruh dari
financial literacy, financial risk tolerance, dan financial stress, terhadap financial
satisfaction adalah topik dari penelitian ini.

34
Coskuner (2016) mengatakan bahwa kenaikan pada pendapatan rumah
tangga sebesar satu unit akan menyebabkan kenaikan pada financial satisfaction
sebesar 57.3%. Kenaikan pada financial knowledge sebesar satu unit akan
menyebabkan kenaikan pada financial satisfaction sebesar 35.1%. Kenaikan pada
financial behavior sebesar satu unit hanya akan menyebabkan kenaikan pada
financial satisfaction sebesar 7.4%.

d. Indikator

Indikator yang digunakan untuk mengukur financial satisfaction menurut


Coskuner (2016) adalah tingkat kepuasan seseorang akan kondisi finansialnya.
Sass et al. (2015) mengukur financial satisfaction dengan menggunakan indikator
kekuatiran sehari-hari dan kekuatiran jangka panjang. Falahati et.al. (2012)
mengukur financial satisfaction dengan menggunakan indikator yang digunakan
oleh Fiege. Indikator tersebut adalah : 1) jumlah tabungan. 2) kemampuan
pengelolaan finansial. 3) situasi finansial saat ini. 4) tingkat kemampuan finansial.

C. KAITAN ANTAR VARIABEL


1. Financial Literacy Dengan Financial Risk Tolerance

Financial literacy merupakan kemampuan untuk menggunakan pengetahuan dan


keahlian finansial untuk mengelola sumber daya keuangan seseorang untuk
keamanan finansial seumur hidup (Hastings et.al., 2012). Financial risk tolerance
dapat didefinisikan sebagai tingkat ketidakpastian secara maksimum yang mampu
diterima oleh seseorang ketika membuat keputusan finansial, sampai kepada
seluruh aspek sosial dan ekonomi (Grable, 2004).
Jika dilihat dari definisi financial literacy dan financial risk tolerance,
maka bisa dilihat kaitan antar keduanya. Jika seseorang memiliki pengetahuan
finansial yang memadai maka mereka akan merasa percaya diri dengan
kemampuan mereka dalam mengelola uang, sehingga mereka akan berpikir untuk
dapat berinvestasi pada saham atau surat berharga lainnya yang memiliki tingkat

35
risiko yang tinggi dan mendapatkan tingkat keuntungan yang tinggi juga.
Berdasarkan penjelasan ini maka mereka yang memiliki tingkat financial literacy
yang tinggi, akan memiliki tingkat financial risk tolerance yang tinggi pula.
Nguyen et.al. (2016) mengatakan bahwa investor yang memiliki tingkat
financial literacy yang rendah yang biasanya memiliki tingkat financial risk
tolerance yang rendah juga akan menginvestasikan uang mereka pada instrumen
keuangan yang memiliki resiko rendah. Hal ini berarti investor yang memiliki
tingkat financial literacy yang rendah akan memiliki financial risk tolerance yang
rendah juga. Dengan kata lain, financial literacy memiliki hubungan yang positif
dengan financial risk tolerance.
Chatterjee et.al. (2017) mengatakan bahwa financial literacy memiliki
hubungan yang positif dengan financial risk tolerance. Irandoust (2017)
mengatakan bahwa kemungkinan seseorang untuk menjadi risk-seeker akan
meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat financial literacy nya. Hal ini
menandakan bahwa financial literacy memiliki hubungan yang positif dengan
financial risk tolerance. Secara logis, seorang risk-seeker mempunyai tingkat risk
tolerance yang tinggi. Jika kemungkinan seseorang menjadi risk-seeker
meningkat sesuai dengan peningkatan tingkat financial literacy nya, maka bisa
dikatakan bahwa semakin tinggi tingkat financial literacy seseorang, maka
semakin tinggi pula keinginannya untuk mengambil risiko yang besar. Dengan
kata lain, semakin tinggi financial literacy seseorang, maka akan semakin tinggi
financial risk tolerance nya.
2. Financial Literacy Dengan Financial Stress

Financial literacy merupakan kemampuan untuk menggunakan pengetahuan dan


keahlian finansial untuk mengelola sumber daya keuangan seseorang untuk
keamanan finansial seumur hidup (Hastings et.al., 2012). Financial stress
merupakan ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kewajiban-kewajiban
finansialnya dan termasuk juga didalamnya efek-efek emosional dan psikologi.
(Northern et.al., 2010).
Steen dan MacKenzie (2013) mengatakan bahwa tingkat financial literacy
yang rendah akan membuat seseorang salah mengambil keputusan yang akan

36
menyebabkan terjadinya financial stress. Norman (2010) mengatakan bahwa
financial stress terjadi karena kesalahan pengambilan keputusan yang disebabkan
oleh kurangnya financial literacy. Jadi dengan kata lain, semakin rendahnya
financial literacy, maka akan semakin tinggi financial stress seseorang.
Steen dan MacKenzie (2013) juga mengatakan bahwa negara seperti
Australia mengembangkan program untuk meningkatkan tingkat financial literacy
dengan harapan akan mengurangi atau bahkan melenyapkan tingkat financial
stress. Hal ini memperkuat pernyataan sebelumnya bahwa financial literacy
memiliki kaitan dengan financial stress dimana semakin tingginya financial
literacy, maka semakin rendah financial stress.
Berdasarkan pernyataan tentang hubungan antara financial literacy dengan
financial stress, bisa dilihat kaitan antara financial literacy dengan financial
stress. Seseorang yang tidak memiliki keahlian untuk menggunakan pengetahuan
finansial atau bahkan tidak memiliki pengetahuan finansial akan cenderung
mengambil keputusan finansial yang salah karena mereka tidak mengetahui yang
mana keputusan finansial yang benar, sehingga mereka akan cenderung menebak-
nebak ketika mengambil suatu keputusan finansial. Ketika mereka keliru dalam
mengambil keputusan finansial maka risiko mereka untuk mengalami financial
stress akan semakin tinggi. Contohnya seseorang menginvestasikan uangnya ke
saham atau surat berharga lainnya yang salah atau memberikan kerugian yang
besar. Dengan menginvestasikan uang pada suatu investasi yang memberikan
kerugian besar maka secara otomatis seseorang itu akan kehilangan uang mereka
karena kerugian yang diderita oleh orang yang bersangkutan. Pertanyaannya
adalah bagaimana mungkin seseorang yang tidak memiliki financial literacy bisa
berpikiran untuk menginvestasikan uangnya pada instrumen-instrumen keuangan
sedangkan bisa saja ia tidak memiliki pengetahuan akan tujuan dari investasi?
Jawabannya adalah mengingat financial literacy mencakup kemampuan untuk
menggunakan pengetahuan finansial maka kemungkinan besar seseorang yang
tidak memiliki atau memiliki tingkat financial literacy yang rendah mempunyai
pengetahuan atau setidaknya pernah belajar mengenai investasi, hanya saja
mereka tidak memiliki kemampuan untuk menggunakan pengetahuannya itu

37
untuk melakukan atau memilih investasi yang tepat. Bisa saja mereka berpikir
bahwa mereka memahami atau menguasai konsep investasi dan instrumen
investasi yang baik padahal kenyataannya mereka tidak dan akhirnya membuat
mereka berinvestasi kepada instrumen yang salah yang akhirnya membuat mereka
berada pada keadaan dimana mereka tidak mampu memenuhi kewajiban-
kewajiban mereka.
Ilustrasi lain untuk menjelaskan argumen bahwa financial literacy
memiliki kaitan dengan financial stress adalah seseorang yang memiliki tingkat
financial literacy yang rendah atau bahkan tidak memiliki financial literacy sama
sekali akan cenderung menghabiskan uang mereka sedemikian rupa sehingga
mereka tidak memiliki atau memiliki tabungan yang sedikit untuk masa depan
mereka. Mereka yang memiliki financial literacy yang tinggi akan mampu
mengelola keuangan mereka sedemikian rupa sehingga mereka akan selalu
memiliki uang yang cukup. Kondisi keuangan yang cukup akan dapat memenuhi
kebutuhan keuangan pada masa tua dan kebutuhan tak terduga sehingga, akan
membawa mereka dalam kondisi keuangan yang stabil dan aman. Berdasarkan
penjelasan-penjelasan ini, dapat disimpulkan bahwa mereka yang memiliki
tingkat financial literacy yang tinggi akan memiliki tingkat financial stress yang
rendah.
3. Financial Literacy Dengan Financial Satisfaction

Financial literacy merupakan kemampuan untuk menggunakan pengetahuan dan


keahlian finansial untuk mengelola sumber daya keuangan seseorang untuk
keamanan finansial seumur hidup (Hastings et.al., 2012). Financial satisfaction
merupakan sub-struktur dari kesejahteraan umum yang menggambarkan keadaan
sehat, bahagia, dan terbebas dari kekuatiran finansial (Ali et.al., 2015).
Dari definisi financial literacy dan financial satisfaction, dapat dilihat
kaitan antar variabelnya. Mereka yang memiliki kemampuan untuk mengelola
sumber daya keuangan akan memiliki kondisi keuangan yang bisa dikatakan
mapan. Dengan pengelolaan keuangan yang baik maka mereka akan berada di
kondisi terbebas dari kekuatiran finansial, karena mereka sudah merencanakan
keuangan mereka sedemikian rupa, sehingga jika seseorang mempunyai tingkat

38
financial literacy yang tinggi akan memiliki tingkat financial satisfaction yang
tinggi juga. Individu yang memiliki tingkat financial literacy yang baik juga akan
mampu mengelola berapapun uang yang dimilikinya dengan optimal sehingga ia
mampu memenuhi seluruh kebutuhannya.
Penelitian yang dilakukan oleh Ali et.al. (2015) menyatakan bahwa
financial literacy memiliki hubungan yang positif dengan financial planning dan
financial planning memiliki hubungan positif dengan financial satisfaction. Hal
ini menunjukkan bahwa financial literacy memiliki hubungan positif dengan
financial satisfaction. Semakin tinggi tingkat financial literacy seorang individu
maka semakin baik pula financial planning nya, sehingga ia akan dapat membuat
keputusan-keputusan finansial yang tepat. Dengan demikian, kepuasan
finansialnya akan meningkat juga.
Kirbis et.al., (2017) mengatakan bahwa wanita memiliki tingkatan
financial literacy yang lebih rendah yang menyebabkan tingkat financial
satisfaction mereka lebih rendah dari pria. Ini artinya, secara tidak langsung
rendahnya tingkat financial literacy, akan semakin rendah tingkat financial
satisfaction nya.
Joo dan Grable (2004) menemukan bahwa semakin tinggi tingkat
pengetahuan keuangan dan semakin baik perilaku keuangan seseorang maka akan
semakin tinggi tingkat kepuasan keuangan nya. Mengingat bahwa pengetahuan
keuangan dan perilaku keuangan merupakan dimensi dari financial literacy maka
jika kedua variabel tersebut sama-sama memiliki hubungan yang positif terhadap
financial satisfaction, maka secara otomatis financial literacy juga akan memiliki
hubungan yang positif juga dengan financial satisfaction, mengingat semakin
tingginya pengetahuan dan semakin baiknya perilaku finansial seseorang akan
menyebabkan semakin tingginya tingkat financial literacy seseorang.
Taft, et.al. (2013) menemukan bahwa individu yang memiliki tingkat
Financial Literacy yang tinggi akan memiliki tingkat Financial Wellness yang
tinggi juga. Individu yang memiliki tingkat Financial Literacy yang tinggi juga
memiliki tingkat Financial Concern yang rendah. Mengingat bahwa Financial
Satisfaction merupakan keadaan dimana individu tidak lagi memiliki kekuatiran

39
secara finansial (Financial Concern), hasil penelitina Taft, et.al. (2013) ini secara
tidak langsung mengatakan bahwa individu yang memiliki tingkat Financial
Literacy yang tinggi akan memiliki tingkat Financial Satisfaction yang tinggi
juga.
4. Financial Risk Tolerance Dengan Financial Satisfaction

Risk tolerance merupakan sejauh mana seseorang memilih untuk mengambil


resiko mendapatkan hasil yang kurang memuaskan untuk suatu kemungkinan
mendapatkan hasil yang lebih memuaskan (Roszkowski et al., 2005). Financial
satisfaction merupakan sub-struktur dari kesejahteraan umum yang
menggambarkan keadaan sehat, bahagia, dan terbebas dari kekuatiran finansial
(Ali et.al., 2015).
Jika dilihat dari definisi financial risk tolerance dan financial satisfaction,
maka bisa dikatakan bahwa financial risk tolerance memiliki kaitan dengan
financial satisfaction. Melihat bahwa risk tolerance merupakan bagaimana
seseorang mengambil resiko mendapatkan hasil yang kurang memuaskan atau
bisa saja kerugian untuk kemungkinan hasil yang besar, maka mereka yang
bersedia untuk mengambil resiko ini akan mengharapkan hasil yang jauh lebih
besar, dan ketika seseorang memiliki suatu ekspektasi akan hasil yang jauh lebih
besar maka ketika pada akhirnya hasil yang diperolehnya itu tidak sesuai dengan
apa yang diharapkan, maka mereka akan merasa tidak puas. Hasil yang jauh lebih
besar disini merupakan sesuatu yang subyektif. Maksudnya adalah mungkin saja
misalnya seseorang mengambil resiko untuk mengalami kerugian yang besar demi
mendapatkan keuntungan yang lebih besar dalam katakanlah berinvestasi pada
forex. Ekspektasinya ia akan mendapatkan keuntungan katakanlah lima kali lipat
dari modal yang diinvestasikan versus risiko kerugian dua kali lipat dari modal
yang diinvestasikan, akan tetapi kenyataannya ia hanya mendapat keuntungan tiga
kali lipat dari modal yang diinvestasikan versus risiko kerugian dua kali lipat
modal yang diinvestasikan, dengan demikian maka hasil yang diterima pada
kenyataannya lebih besar dibandingkan dengan risiko kerugian yang akan
diterimanya akan tetapi lebih kecil dari ekspektasinya, sehingga ia merasa tidak
puas secara finansial.

40
Joo dan Grable (2004) mengatakan bahwa terdapat hubungan negatif
antara financial risk tolerance dengan financial satisfaction. Mereka yang
memiliki tingkat risk tolerance yang tinggi akan memiliki ekspektasi keuangan
yang tinggi juga, sehingga mereka akan cenderung membandingkan kondisi
keuangan mereka saat ini dengan ekspektasi atau standart kehidupan mereka
secara finansial, dan ketika mereka melihat ada ketimpangan dari standart
kehidupan mereka secara finansial dengan kondisi keuangan mereka secara nyata
mereka akan menjadi tidak puas secara finansial.
Seay et.al. (2015) mengatakan bahwa
individu yang memiliki mortgage mempunyai tingkat financial satisfaction yang
lebih rendah dibandingkan dengan individu yang tidak memiliki mortgage.
Mengingat bahwa mortgage merupakan instrumen hutang, maka bisa dikatakan
seseorang yang memiliki mortgage mempunyai suatu risiko untuk tidak mampu
membayar mortgage tersebut. Jika individu tidak mampu membayar mortgage ini,
maka rumahnya akan disita oleh pihak bank. Maka seseorang yang memegang
mortgage akan memiliki risiko untuk kehilangan tempat tinggal. Ini berarti
individu yang berani mengambil mortgage memiliki tingkat financial risk
tolerance yang tinggi. Jika tidak demikian maka sangat tidak masuk akal seorang
individu rela mengambil mortgage. Berdasarkan logika ini, maka bisa dikatakan
bahwa financial risko tolerance memiliki hubungan yang negatif dengan financial
satisfaction.
5. Financial Stress Dengan Financial Satisfaction

Financial stress merupakan ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi


kewajiban-kewajiban finansialnya dan termasuk juga didalamnya pengaruh
emosional dan psikologi. (Northern et.al., 2010). Financial satisfaction
merupakan sub-struktur dari kesejahteraan umum yang menggambarkan keadaan
sehat, bahagia, dan terbebas dari kekuatiran finansial (Ali et.al., 2015).
Dilihat dari definisi financial stress dan financial satisfaction, maka bisa
dikatakan bahwa financial stress memiliki kaitan dengan financial satisfaction.
Secara logis ketika seseorang berada dalam kondisi terbebas dari kekuatiran
finansial, maka mereka tidak memiliki beban secara finansial. Maksudnya bukan

41
mereka tidak memiliki tanggungan, akan tetapi beban secara finansial ini merujuk
kepada ketidakmampuan untuk memenuhi kewajiban finansial. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa jika seseorang memiliki tingkat financial stress yang
tinggi, maka tingkat financial satisfaction nya akan rendah, dan sebaliknya.
Joo dan Grable (2004) mengatakan financial stress dan financial
satisfaction memiliki hubungan yang negatif. Mereka yang memiliki tingkat
financial stress yang tinggi akan merasa kurang puas dengan kondisi keuangan
mereka yang dengan kata lain mereka akan memiliki tingkat financial satisfaction
yang lebih rendah juga.
Robb dan Woodyard (2016) menemukan bahwa financial strain memiliki
pengaruh negatif terhadap financial satisfaction. Tingkat financial strain yang
tinggi akan membuat tingkat financial satisfaction menjadi rendah. Financial
strain menurut Robb dan Woodyard (2016) merujuk kepada financial stress.
Komponen dan inti dari financial strain sama dengan komponen dan inti dari
financial stress.
6. Financial Literacy Dengan Financial Satisfaction Melalui Financial Risk
Tolerance

Financial literacy merupakan kemampuan untuk menggunakan pengetahuan dan


keahlian finansial untuk mengelola sumber daya keuangan seseorang untuk
keamanan finansial seumur hidup (Hastings et.al., 2012). Risk tolerance
merupakan sejauh mana seseorang memilih untuk mengambil resiko mendapatkan
hasil yang kurang memuaskan untuk suatu kemungkinan mendapatkan hasil yang
lebih memuaskan (Roszkowski et al., 2005). Financial satisfaction merupakan
sub-struktur dari kesejahteraan umum yang menggambarkan keadaan sehat,
bahagia, dan terbebas dari kekuatiran finansial (Ali et.al., 2015).
Jika dilihat dari definisi masing-masing variabel, maka dapat terlihat
kaitan dari variabel tersebut. Untuk seseorang dapat memilih untuk mengambil
resiko demi mendapatkan hasil yang besar, maka ia harus memiliki pengetahuan
dan keahlian finansial yang memadai. Pengetahuan dan keahlian finansial yang
memadai ini akan meningkatkan rasa percaya diri seorang individu sehingga ia
melihat suatu investasi dengan tingkat risiko tertentu adalah tidak signifikan

42
terhadap tingkat keuntungan yang dapat diperolehnya. Signifikan disini
maksudnya adalah tingkat risiko ini menjadi tidak berarti relatif terhadap tingkat
keuntungan potensialnya. Dikatakan keuntungan potensial adalah karena dalam
investasi keuntungan yang diperoleh merupakan hal yang tidak seratus persen
akan didapat. Maksudnya ada kemungkinan untuk tidak mendapatkan keuntungan
tersebut sama sekali atau ada kemungkinan untuk mendapatkan keuntungan yang
lebih rendah dari keuntungan yang diharapkan tersebut.
Jadi dengan kata lain, semakin tinggi tingkat financial literacy seseorang,
akan semakin tinggi tingkat financial risk tolerance nya. Dengan tingginya tingkat
financial risk tolerance maka harapan seseorang akan menjadi tinggi. Individu
yang mengambil suatu risiko tentu mengharapkan keuntungan yang
menguntungkan. Ketika keuntungan yang diperoleh tidak sesuai dengan apa yang
diharapkan seorang individu, maka individu akan menjadi tidak puas secara
finansial. Dari sini mulai terlihat polanya. Individu yang memiliki tingkat
financial literacy yang tinggi akan lebih toleran terhadap risiko. Semakin tinggi
tingkat financial risk tolerance individu maka akan semakin rendah tingkat
financial satisfaction nya. Pernyataan ini didasari oleh penelitian-penelitian
sebelumnya yang meneliti tentang kaitan financial literacy terhadap financial risk
tolerance, dan kaitan financial risk tolerance terhadap financial satisfaction yang
telah dijelaskan sebelumnya.
Pernyataan ini juga didukung oleh penelitian Joo dan Grable (2004) yang
menemukan bahwa semakin tingginya tingkat financial literacy seseorang akan
semakin tinggi juga tingkat financial risk tolerance nya. Tingkat financial risk
tolerance yang semakin tinggi akan menurunkan tingkat financial satisfaction
nya.
7. Financial Literacy Dengan Financial Satisfaction Melalui Financial Stress

Financial literacy merupakan kemampuan untuk menggunakan pengetahuan dan


keahlian finansial untuk mengelola sumber daya keuangan seseorang untuk
keamanan finansial seumur hidup (Hastings et.al., 2012). Financial stress
merupakan ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kewajiban-kewajiban
finansialnya dan termasuk juga didalamnya pengaruh emosional dan psikologi.

43
(Northern et.al., 2010). Financial satisfaction merupakan sub-struktur dari
kesejahteraan umum yang menggambarkan keadaan sehat, bahagia, dan terbebas
dari kekuatiran finansial (Ali et.al., 2015).
Jika dilihat dari definisi masing-masing variabel, dapat dilihat kaitan dari
ketiga variabel tersebut. Seseorang berada dalam kondisi financial stress apabila
ia tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajiban finansialnya dan hal ini
mempengaruhi kondisi emosional dan psikologinya. Jika seseorang memiliki
tingkat financial literacy yang tinggi, ia akan mampu mengelola keuangannya
dengan baik. Ia akan mengerti bagaimana ia harus menginvestasikan uangnya
dengan baik dan berapa bagian dari penghasilannya yang harus ditabung. Dengan
demikian, individu tersebut akan memiliki kondisi ekonomi yang baik. Kondisi
ekonomi yang baik akan memampukan individu untuk memenuhi kewajiban-
kewajiban finansialnya. Hal ini akan membawa individu kepada kesejahteraan.
Mengingat bahwa financial satisfaction merupakan bagian dari kesejahteraan,
maka individu yang mencapai kesejahteraan akan memiliki tingkat financial
satisfaction yang tinggi. Pernyataan ini didasari oleh penelitian-penelitian
sebelumnya yang meneliti tentang kaitan financial literacy dengan financial
stress, dan financial stress dengan financial satisfaction yang telah dijelaskan
sebelumnya.
Pernyataan ini juga didukung oleh penelitian Joo dan Grable (2004) yang
menemukan bahwa individu dengan tingkat financial literacy yang tinggi akan
menunjukkan perilaku finansial yang baik yang akhirnya menghindari mereka
dari financial stress. Individu yang terhindar dari financial stress melaporkan
tingkat financial satisfaction yang tinggi.

D. PENELITIAN YANG RELEVAN

Joo dan Grable (2004) meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi


financial satisfaction. Variabel independen yang diteliti adalah financial
knowledge, demographic characteristic, dan financial stressors. Variabel
mediasinya adalah financial risk tolerance, financial behavior, solvency, serta
financial stress. Variabel dependennya adalah financial satisfaction. Subyek yang

44
diteliti adalah karyawan yang bekerja di Texas Barat. Sampel yang digunakan
adalah 220 karyawan kantor yang bekerja di Texas Barat. Metode analisa yang
digunakan adalah path analysis dengan program SPSS. Hasil yang diperoleh
adalah financial knowledge, solvency, dan financial behavior memiliki hubungan
yang positif terhadap financial satisfaction, sedangkan financial risk tolerance
dan financial stress memiliki hubungan yang negatif terhadap financial
satisfaction. Nguyen et.al. (2016) meneliti tentang bagaimana
pengaruh hubungan dengan konsultan keuangan seseorang terhadap keputusan
investasinya. Variabel independen yang diteliti adalah relationship length.
Variable mediasi yang diteliti adalah trust, financial literacy, dan financial risk
tolerance. Variabel dependen yang diteliti adalah asset allocation. Subyek yang
diteliti adalah para klien dari konsultan keuangan yang bekerja di sembilan
organisasi Financial Service Council di Australia. Sampel yang digunakan adalah
548 klien. Metode analisa yang digunakan adalah Barlett’s Test of Sphericity dan
Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. Hasil yang diperoleh adalah
klien yang memiliki hubungan yang baik dengan konsultan keuangannya akan
memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap konsultannya. Tingkat
kepercayaan yng tinggi ini akan meningkatkan tingkat financial literacy
seseorang. Investor yang memiliki tingkat financial literacy yang rendah biasanya
memiliki tingkat financial risk tolerance yang rendah juga, dan mereka akan
mengalokasikan uang mereka pada instrumen keuangan yang memiliki risiko
yang rendah. Steen dan MacKenzie
(2013) meneliti tentang pengaruh financial literacy terhadap financial stress.
Variabel yang diteliti adalah financial literacy dan financial stress. Subyek yang
diteliti adalah keluarga yang hidup di Australia. Sampel yang digunakan adalah
2.190 keluarga yang terdapat dalam database HOME Advice Program Australia.
Metode analisa yang digunakan adalah intervention trial. Hasil yang diperoleh
adalah Pelatihan keuangan akan meminimalisir kemungkinan terjadinya financial
stress. Norman (2010) meneliti tentang pentingnya
pendidikan finansial dalam mengambil keputusan pengeluaran yang tepat.
Variabel independen yang diteliti adalah financial literacy. Variabel dependen

45
yang diteliti adalah spending decision. Subyek yang diteliti adalah warga negara
Tanzania. Sampel yang digunakan adalah 500 orang warga negara Tanzania. Hasil
yang diperoleh adalah rendahnya tingkat financial literacy akan membuat
individu tidak dapat membuat keputusan pengeluaran yang tepat.
Ali et.al. (2015) meneliti tentang
pengaruh financial literacy terhadap financial satisfaction. Variabel independen
yang diteliti adalah sikap terhadap uang (attitude to money). Variabel mediasi
yang diteliti adalah financial literacy, basic money management, dan financial
planning. Variabel dependen yang diteliti adalah financial satisfaction. Subyek
yang diteliti adalah para pekerja di Malaysia. Sampel yang digunakan adalah para
pekerja yang merasa kuatir dengan urusan pengelolaan keuangan. Metode analisis
yang digunakan adalah software SmartPLS. Hasil yang diperoleh adalah:
1) Attitude to money memiliki hubungan yang positif terhadap basic money
management, financial planning, dan financial literacy;
2) Financial literacy memiliki hubungan yang positif terhadap basic money
management dan financial planning;
3) Basic money management memiliki hubungan yang positif terhadap
financial planning;
4) Basic money management tidak memiliki hubungan terhadap financial
satisfaction;
5) Financial planning memiliki hubungan yang positif terhadap financial
satisfaction.

Kirbis et.al. (2017) meneliti tentang hubungan antara financial literacy


dengan financial satisfaction. Variabel independen yang diteliti adalah financial
literacy. Variabel dependen yang diteliti adalah financial satisfaction. Subyek
yang diteliti adalah warga negara Kroasia. Sampel yang diteliti adalah 900
warga Kroasia dengan rentang umur 18 – 65 tahun. Metode analisis yang
digunakan untuk variabel independen adalah t-test. Metode analisis yang
digunakan untuk mengukur korelasi antar variabel adalah koefisien korelasi
Pearson. Hasil yang diperoleh adalah wanita memiliki tingkatan financial literacy
yang lebih rendah yang menyebabkan tingkat financial satisfaction mereka lebih

46
rendah dari pria. Chatterjee et.al. (2017) meneliti tentang
hubungan financial literacy dan financial risk tolerance terhadap keputusan
finansial rumah tangga. Variabel independen yang diteliti adalah financial
literacy. Variabel mediasi yang diteliti adalah financial risk tolerance. Variabel
dependen yang diteliti adalah keputusan finansial rumah tangga. Subyek yang
diteliti adalah para keluarga di Amerika Serikat. Sampel yang diteliti adalah
15.233 kepala keluarga yang masih bekerja di Amerika Serikat. Metode analisis
yang digunakan adalah probit model. Hasil yang diperoleh adalah financial
literacy memiliki hubungan yang positif dengan financial risk tolerance dan
financial literacy dan financial risk tolerance memiliki hubungan positif terhadap
keputusan finansial rumah tangga. Irandoust (2017)
meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi financial risk tolerance.
Variabel independen yang diteliti adalah demographic characteristic (jenis
kelamin, status pernikahan, dan pendidikan), income, financial literacy, serta
financial stability. Variabel dependen yang diteliti adalah financial risk tolerance.
Subyek yang diteliti adalah penduduk kota Malmo, Swedia. Sampel yang diteliti
adalah 180 individu yang tinggal di kota Malmo, Swedia. Metode analisis data
yang digunakan adalah ordinary least square (OLS). Hasil yang diperoleh adalah:
1) Individu yang telah menikah akan cenderung memiliki tingkat
financial risk tolerance yang rendah;
2) Tingkat financial risk tolerance akan menurun seiring bertambahnya
usia seseorang;
3) Individu yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi cenderung
memiliki tingkat financial risk tolerance yang tinggi juga;
4) Semakin tinggi tingkat pendapatan seorang individu akan semakin
tinggi tingkat financial risk tolerance nya;
5) Perempuan memiliki tingkat financial risk tolerance yang lebih rendah
dibandingkan dengan pria;
6) Individu yang memiliki tingkat financial stability yang tinggi akan
memiliki tingkat financial risk tolerance yang tinggi juga;

47
7) Individu yang memiliki tingkat financial literacy yang tinggi akan
memiliki tingkat financial risk tolerance yang tinggi juga.

Seay et.al. (2015) meneliti tentang kepemilikan mortgage dengan


financial satisfaction. Variabel independen yang diteliti adalah financial
characteristic, financial constraints, financial knowledge, retirement needs, serta
debt beliefs. Variabel dependen yang diteliti adalah financial satisfaction. Subyek
yang diteliti adalah warga negara Amerika Serikat. Sampel yang diteliti adalah
3.124 individu di Amerika Serikat. Metode analisis yang digunakan adalah
hierarchical regression. Hasil yang diperoleh adalah :
1) Individu yang memiliki mortgage mempunyai tingkat financial
literacy yang lebih rendah dibandingkan dengan individu yang tidak
memiliki mortgage;
2) Tingkat income memiliki hubungan positif dengan financial
satisfaction;
3) Financial assets memiliki hubungan yang positif dengan financial
satisfaction;
4) Terdapat hubungan yang negatif antara financial constraints dengan
financial satisfaction;
5) Terdapat hubungan yang positif antara financial knowledge dengan
financial satisfaction;
6) Kenaikan tingkat hutang sebesar satu unit mengakibatkan penurunan
financial satisfaction sebesar 0,20 unit.

Xiao et.al. (2013) meneliti tentang consumer financial capability dan


financial satisfaction. Variabel independen yang diteliti adalah financial literacy
dan financial behavior. Variabel mediasi yang diteliti adalah financial capability.
Variabel dependen yang diteliti adalah financial satisfaction. Subyek yang diteliti
adalah warga negara Amerika Serikat. Sampel yang diteliti adalah 28.146 warga
setiap negara bagian Amerika Serikat dan 800 personel militer Amerika Serikat.
Metode analisis data yang digunakan adalah multiple OLS regression. Hasil yang
diperoleh adalah :

48
1) Financial literacy memiliki pengaruh positif terhadap financial
satisfaction;
2) Desirable financial behavior meningkatkan financial satisfaction
sedangkan risky financial behavior menurunkan financial satisfaction;
3) Financial capability memiliki pengaruh positif terhadap financial
satisfaction.

Robb dan Woodyard (2016) meneliti tentang faktor-faktor yang


mempengaruhi financial satisfaction. Variabel independen yang diteliti adalah
financial strain, financial behavior, dan financial sophistication. Variabel
dependen yang diteliti adalah financial satisfaction. Subyek yang diteliti adalah
masyarakat Amerika Serikat. Sampel yang diteliti adalah 19.557 responden di
Amerika Serikat. Hasil yang diperoleh adalah:
1) Perilaku keuangan yang positif akan menyebabkan tingkat financial
satisfaction yang tinggi;
2) Semakin tingginya tingkat financial strain akan menyebabkan semakin
rendahnya financial satisfaction;
3) Individu yang berada pada kelompok low objective-high objective
memiliki tingkat financial satisfaction yang lebih tinggi.

Taft, et.al. (2013) meneliti tentang hubungan antara financial literacy


dengan financial wellness dan financial concerns. Variabel independen yang
diteliti adalah financial literacy. Variabel dependen yang diteliti adalah financial
wellness dan financial concerns. Subyek yang diteliti adalah profesor dari
Universitas Tow yang terletak di kota Yazd, Iran. Sampel yang diteliti adalah 300
profesor Universitas Tow, Iran. Hasil yang diperoleh adalah individu yang
memiliki tingkat financial literacy yang tinggi akan memiliki tingkat financial
wellness yang tinggi dan tingkat financial concern yang rendah.

Tabel 2.1. Penelitian Relevan


N PENELITI VARIABEL HASIL PENELITIAN
O PENELITIAN

1 Joo dan Grable Variabel Independen : Financial knowledge, solvency, dan

49
(2004) Financial Knowledge, financial behavior memiliki
Demographic hubungan yang positif terhadap
Characteristic, Financial financial satisfaction, sedangkan
Stressors financial risk tolerance dan financial
stress memiliki hubungan negatif
Variabel Mediasi :
terhadap financial satisfaction
Financial Risk
Tolerance, Financial
Behavior, Solvency,
Financial Stress
Variabel Dependen :
Financial Satisfaction

Lanjutan Tabel 2.1. Penelitian Relevan


2 Nguyen, et.al. Variabel Independen : Relationship length memiliki
(2016) hubungan positif terhadap tingkat
relationship length
kepercayaan;
Variabel Mediasi :
Tingkat kepercayaan memiliki
Trust, Financial hubungan positif terhadap tingkat
Literacy, Financial Risk financial literacy seseorang;
Tolerance
Financial literacy memiliki hubungan
Variabel Dependen : positif terhadap financial risk
Asset Allocation tolerance;
Financial literacy mempengaruhi
asset allocation melalui financial risk
tolerance.
3 Steen dan Variabel Independen : Pelatihan keuangan akan
MacKenzie meminimalisir kemungkinan
Financial Literacy
(2013) terjadinya financial stress
Variabel Dependen :
Financial Stress
4 Norman Variabel Independen : Rendahnya tingkat financial literacy
(2010) akan membuat individu tidak dapat
Financial Literacy
membuat keputusan pengeluaran

50
Variabel Dependen: yang tepat.
Spending Decision
5 Ali et.al. Variabel Independen : Attitude to money memiliki hubungan
(2015) yang positif dengan basic money
Attitude to Money
management, financial planning, dan
Variabel Mediasi : financial literacy;
Financial Literacy, Financial literacy memiliki hubungan
Financial Planning, yang positif dengan basic money
Basic Money management dan financial planning;
Management Basic money management memiliki
Variabel Dependen : hubungan yang positif terhadap
financial planning; Basic money
Financial Satisfaction
management tidak memiliki
hubungan terhadap financial
satisfaction;
Lanjutan Tabel 2.1. Penelitian Relevan
Financial planning memiliki
hubungan yang positif terhadap
financial satisfaction.

6 Kirbis et.al. Variabel Independen : wanita memiliki tingkatan financial


(2017) Financial Literacy literacy yang lebih rendah yang
Variabel Dependen : menyebabkan tingkat financial
Financial Satisfaction satisfaction mereka lebih rendah dari
pria.

7 Chatterjee Variabel Independen : financial literacy memiliki hubungan


et.al. (2017) Financial Literacy yang positif dengan financial risk
Variabel Mediasi : tolerance dan financial literacy.

Financial Risk Financial risk tolerance memiliki


Tolerance hubungan positif terhadap keputusan
Variabel Dependen : finansial rumah tangga.
Keputusan Finansial
Rumah Tangga

51
8 Irandoust Variabel Independen : Individu yang telah menikah akan
(2017) cenderung memiliki tingkat financial
Demographic
risk tolerance yang rendah;
Characteristic (jenis
kelamin, status Tingkat financial risk tolerance akan
pernikahan, dan menurun seiring bertambahnya usia
pendidikan), Income, seseorang;
Financial Literacy, Individu yang memiliki tingkat
Financial Stability, pendidikan yang tinggi cenderung
Variabel Dependen : memiliki tingkat financial risk
tolerance yang tinggi juga;
Financial Risk
Semakin tinggi tingkat pendapatan
Tolerance
seorang individu akan semakin tinggi
tingkat financial risk tolerance nya;
Perempuan memiliki tingkat financial

Lanjutan Tabel 2.1. Penelitian Relevan


risk tolerance yang lebih rendah
dibandingkan dengan pria;
Individu yang memiliki tingkat
financial stability yang tinggi akan
memiliki tingkat financial risk
tolerance yang tinggi juga;
Individu yang memiliki tingkat
financial literacy yang tinggi akan
memiliki tingkat financial risk
tolerance yang tinggi juga.

9 Seay et.al. Variabel independen : Individu yang memiliki mortgage


(2015) mempunyai tingkat financial literacy
Financial
yang lebih rendah dibandingkan
Characteristic,
dengan individu yang tidak memiliki
Financial Constraints,
mortgage; Tingkat income memiliki
Financial Knowledge,
hubungan positif dengan financial
Retirement Needs, Debt
satisfaction;
Beliefs
Financial assets memiliki hubungan

52
Variabel dependen : yang positif dengan financial
satisfaction; Terdapat hubungan yang
Financial Satisfaction
negatif antara financial constraints
dengan financial satisfaction;
Terdapat hubungan yang positif
antara financial knowledge dengan
financial satisfaction; Kenaikan
tingkat hutang sebesar satu unit
mengakibatkan penurunan financial
satisfaction sebesar 0,20 unit.

Lanjutan Tabel 2.1. Penelitian Relevan


10 Xiao et.al. Variabel Independen: Financial literacy memiliki pengaruh
(2013) Financial Behavior, positif terhadap financial
Financial Literacy satisfaction; Desirable financial

Variabel Mediasi: behavior meningkatkan financial

Financial Capability satisfaction , sedangkan risky

Variabel Dependen: financial behavior menurunkan


financial satisfaction; Financial
Financial Satisfaction
capability memiliki pengaruh positif
terhadap financial satisfaction.

11 Robb dan Variabel Independen: Perilaku keuangan yang positif akan


Woodyard menyebabkan tingkat financial
Financial Strain,
satisfaction yang tinggi;
(2016) Financial Behavior,
Semakin tingginya tingkat financial
Financial Sophistication strain akan menyebabkan semakin
Variabel Dependen: rendahnya financial satisfaction;
Individu yang berada pada kelompok

53
Financial Satisfaction low objective-high objective memiliki
tingkat financial satisfaction yang
lebih tinggi.

12 Taft, et.al. Variabel Independen: Individu yang memiliki tingkat


(2013) Financial Literacy financial literacy yang tinggi akan
Variabel Dependen: memiliki tingkat financial wellness

Financial Wellness; yang tinggi dan financial concern

Financial Concern yang rendah.

E. KERANGKA PEMIKIRAN

Jika dilihat dari definisi masing-masing variabel penelitian dan juga dilihat dari
dimensi-dimensinya, serta kaitan dari masing-masing variabel yang dibahas
sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa financial satisfaction dapat dipengaruhi
secara langsung oleh financial stress dan financial risk tolerance, dan dapat
dipengaruhi secara tidak langsung maupun langsung oleh financial literacy.
Maksudnya adalah jika kita melihat penjelasan dari kaitan antar financial literacy
dengan financial satisfaction, yang mengatakan bahwa financial literacy memiliki
hubungan secara langsung dengan financial satisfaction, dan juga melihat
bagaimana financial literacy mempengaruhi financial stress dan financial risk
tolerance, maka dapat digambar model dari penelitian ini :

54
Gambar 2.5. Kerangka Pemikiran

F. HIPOTESIS

Jika dilihat dari pembahasan mengenai kaitan antar variabel dan kerangka
pemikiran serta model penelitian yang dibahas sebelumnya, maka terdapat
beberapa hipotesis dari penelitian ini. Adapun hipotesis-hipotesisnya adalah :
H1 : Financial literacy memiliki pengaruh yang positif terhadap financial risk
tolerance.
H2 : Financial literacy memiliki pengaruh yang negatif terhadap financial
stress
H3 : Financial literacy memiliki pengaruh yang positif terhadap financial
satisfaction.
H4 : Financial risk tolerance memiliki pengaruh yang negatif terhadap
financial satisfaction.
H5 : Financial stress memiliki pengaruh yang negatif terhadap financial
satisfaction.
H6 : Financial literacy memiliki pengaruh yang negatif terhadap financial

55
satisfaction melalui financial risk tolerance.
H7 : Financial literacy memiliki pengaruh yang positif terhadap financial
satisfaction melalui financial stress.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. SUBYEK DAN OBYEK PENELITIAN


Subyek dari penelitian ini adalah para dosen yang bekerja di Indonesia dan masih
aktif mengajar. Obyek dalam penelitian ini adalah Financial Literacy, Financial
Risk Tolerance, Financial Stress, dan Financial Satisfaction. Financial Risk
Tolerance dan Financial Stress sebagai variabel moderating antara financial
literacy dengan Financial Satisfaction.

B. DESAIN PENELITIAN
Desain penelitian ini adalah penelitan deskriptif dan verifitatif. Deskriptif adalah
kondisi responden yang meliputi umur, gaji, jenis kelamin, jenjang jabatan, masa
kerja, nomor induk kepegawaian, wilayah kopertis, serta pendidikan akhir.

56
Verifikatif ini ingin mengetahui bagaimana hubungan dan sifat hubungan antar
variabel satu dengan yang lainnya. Variable eksogen yaitu financial literacy dan
variabel endogen yaitu financial stress, financial risk tolerance, dan financial
satisfaction. Dari variabel endogen, dua diantaranya berperan sebagai variabel
mediasi yaitu variabel financial stress dan financial risk tolerance. Keempat
variabel tersebut merupakan variabel laten yang diukur dengan menggunakan
indikator dengan skala likert 1-5. Uji statistic yang digunakan adalah uji outer dan
inner model. Uji outer adalah untuk menguji validitas dan reabilitas suatu
variabel. Uji inner model digunakan untuk menguji hubungan satu varibel dengan
variabel lainnya serta keseluruhan model (uji-t dan F). Sample yang digunakan
adalah dosen perguruan tinggi swasta maupun negeri di seluruh Indonesia.
Responden diminta untuk mengisi kuesioner yang dibangun dengan google docs.
Kuesioner disebarkan melalui social media whattsapp, facebook, facebook
messenger, dan email. Kuesioner disebarkan dengan metode sampling insidental
(aksidental) dari berbagai group dosen tersebut. Alamat email diakses dari buku-
buku jurnal dan proceeding berbagai sumber yang tersedia pada perpustakaan
jurnal Fakultas Ekonomi Universitas Tarumangara. Setelah responden
mendapatkan kuesioner, responden dapat mengumpulkan kembali secara online
dan secara otomatis langsung terdokumentasi di komputer peneliti. Keunggulan
metode ini, peneliti tidak perlu melakukan tabulasi, sehingga kesalahan dalam
proses tabulasi dapat dihindari. Hasil tabulasi data selanjutnya akan dilakukan uji
statistik dengan menggunakan software Smart PLS versi tiga. Uji statistik
dilakukan untuk menguji hipotesis penelitian. Uji yang dilakukan adalah uji outer
dan inner model.

C. OPERASIONALISASI VARIABEL
1. Financial Literacy
Financial literacy merupakan kemampuan untuk menggunakan pengetahuan dan
keahlian finansial untuk mengelola sumber daya keuangan seseorang untuk
keamanan finansial seumur hidup (Hastings, et.al. 2012). Financial literacy dalam
penelitian ini diukur dengan menggunakan kuisioner dengan skala likert 1-5.

57
Adapun indikator dalam mengukur variabel ini menurut Altaf (2014) adalah
pemahaman mengenai definisi dan teori keuangan, dengan pernyataan 1) Saya
mampu membedakan pilihan-pilihan instrument keuangan dengan baik. 2) Saya
mampu membahas isu-isu keuangan dengan baik. 3) Saya memahami tentang tata
cara mengelola keuangan saya. 4) Saya mampu membuat pilihan-pilihan
instrumen keuangan yang tepat. 5) Saya mampu mengenali investasi pada
instrumen keuangan dengan baik. Indikator lainnya yang digunakan dalam
penelitian ini menurut Fernandes, et.al. (2014) adalah kepercayaan diri atas
informasi keuangan yang mencakup pernyataan 1) Saya memiliki sumber yang
tepat untuk berkonsultasi ketika membuat keputusan keuangan.
2. Financial Risk Tolerance
Financial risk tolerance adalah tingkat ketidakpastian secara maksimum yang
mampu diterima oleh seseorang ketika membuat keputusan finansial, sampai
kepada seluruh aspek sosial dan ekonomi (Grable, 2004). Pengukuran variabel ini
menggunakan kuisioner dengan skala likert 1-5. Indikator yang digunakan untuk
mengukur variabel ini menurut Joo dan Grable (2004) adalah risk tolerance index
yang berisi pernyataan 1) Menurut saya, dalam berinvestasi return (hasil) lebih
penting dibandingkan keamanan investasi. 2) Saya merasa lebih baik
menginvestasikan uang di pasar modal dari pada menabung di bank. 3) Ketika
mendengar kata risiko, saya mengasosiasikannya sebagai kesempatan untuk
meraih keuntungan yang lebih besar. 4) Menurut saya, berinvestasi pada surat
berharga semua berdasarkan nasib.
3. Financial Stress
Financial stress merupakan ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi
kewajiban-kewajiban finansialnya dan termasuk juga didalamnya efek-efek
emosional dan psikologi (Northern, et.al., 2010). Pengukuran variabel ini
menggunakan kuisioner dengan skala likert 1-5. Indikator yang digunakan dalam
penelitian ini menurut Warren et.al. (2010) yang dapat dikategorikan sebagai
indikator kemampuan finansial adalah penyataan 1) Saya memiliki masalah
dengan cicilan bulanan. 2) Saya memiliki masalah dengan biaya kesehatan.
Indikator lainnya yang digunakan dalam penelitian ini menurut Lim et.al. (2014)

58
yang dapat dikategorikan sebagai indikator kondisi keuangan (pernyataan satu,
tiga, dan empat) dan indikator kemampuan finansial (pernyataan nomor dua)
adalah pernyataan 1) Saya merasa tertekan dengan kondisi keuangan saya secara
umum. 2) Saya merasa khawatir tidak mampu membayar pengeluaran bulanan
saya. 3) Saya merasa tertekan dengan tagihan kredit saya. 4) Saya merasa tertekan
dengan jumlah hutang yang saya miliki.
4. Financial Satisfaction
Financial satisfaction adalah kepuasan atas kondisi finansial seseorang saat ini,
dan terus menerus menjadi tujuan dari sebuah keluarga (Joo dan Grable, 2004).
Pengukuran variabel ini dilakukan dengan menggunakan kuisioner dengan skala
likert 1-5. Adapun indikator yang digunakan dalam penelitian ini menurut
Falahati et.al. (2012) adalah : 1) jumlah tabungan. 2) kemampuan pengelolaan
finansial. 3) situasi finansial saat ini. 4) tingkat kemampuan finansial dengan
pernyataan 1) Saya merasa puas dengan jumlah hutang saya saat ini. 2) Saya
merasa puas dengan kemampuan saya dalam memenuhi kewajiban hutang saya.
3) Saya merasa puas dengan pilihan investasi saya saat ini. 4) Saya merasa puas
dengan tingkat pengetahuan keuangan yang saya miliki. 5) Saya merasa puas
dengan kemampuan saya membahas masalah keuangan saya. 6) Saya merasa puas
dengan jumlah uang yang dapat saya tabung secara berkala. 7) Saya merasa puas
dengan jumlah uang yang mampu saya investasikan secara berkala. 8) Saya
merasa puas dengan perencanaan keuangan saya untuk masa depan. 9) Saya
merasa puas dengan kondisi keuangan saya.
Indikator dari setiap variabel penelitian dapat diringkas pada Tabel 3.1.
dan Tabel 3.2. Tabel 3.1. adalah indikator yang digunakan pada kuesioner dan
Tabel 3.2. adalah skala pengukurannya.
Tabel 3.1. Operasionalisasi Variabel
NO Variabel Indikator Nomor Skala
Indikator
1 Financial 1. Saya mampu membedakan 1. FL1 Interval
Literacy pilihan-pilihan instrument 2. FL2
(FL) keuangan dengan baik.
3. FL3

59
2. Saya mampu membahas 4. FL4
isu-isu keuangan dengan baik. 5. FL5
3. Saya memahami tentang 6. FL6
tata cara mengelola keuangan
saya.
4. Saya mampu membuat
pilihan-pilihan instrumen
keuangan yang tepat.
5. Saya mampu mengenali
investasi pada instrumen
keuangan dengan baik.
6. Saya memiliki sumber
yang tepat untuk berkonsultasi
ketika membuat keputusan
keuangan.

Lanjutan Tabel 3.1. Operasionalisasi Variabel


2 Financial 1. Menurut saya, dalam 1. FRT1
Risk berinvestasi return (hasil)
lebih penting dibandingkan 2. FRT2
Tolerance
keamanan investasi. 3. FRT3
(FRT)
2. Saya merasa lebih baik
menginvestasikan uang di 4. FRT4
pasar modal dari pada
menabung di bank.
3. Ketika mendengar kata
risiko, saya
mengasosiasikannya sebagai
kesempatan untuk meraih
keuntungan yang lebih besar.

60
4. Menurut saya, berinvestasi
pada surat berharga semua
berdasarkan nasib.

3 Financial 1. Saya memiliki masalah 1. FST1


Stress dengan cicilan bulanan.
2. FST2
(FST) 2. Saya memiliki masalah
dengan biaya kesehatan. 3. FST3
3. Saya merasa tertekan 4. FST4
dengan kondisi keuangan saya
secara umum. 5. FST5
4. Saya merasa khawatir tidak 6. FST6
mampu membayar
pengeluaran
5. Saya merasa tertekan
dengan tagihan kredit saya.

Lanjutan Tabel 3.1. Operasionalisasi Variabel


6. Saya merasa tertekan
dengan jumlah hutang yang
saya miliki.

4 Financial 1. Saya merasa puas dengan 1. FS1


Satisfactio jumlah hutang saya saat ini.
2. FS2
n (FS) 2. Saya merasa puas dengan
kemampuan saya dalam 3. FS3
memenuhi kewajiban hutang
saya. 4. FS4

3. Saya merasa puas dengan 5. FS5


pilihan investasi saya saat ini.

61
4. Saya merasa puas dengan 6. FS6
tingkat pengetahuan keuangan
yang saya miliki. 7. FS7

5. Saya merasa puas dengan 8. FS8


kemampuan saya membahas
masalah keuangan saya. 9. FS9

6. Saya merasa puas dengan


jumlah uang yang dapat saya
tabung secara berkala.
7. Saya merasa puas dengan
jumlah uang yang mampu
saya investasikan secara
berkala.
8. Saya merasa puas dengan
perencanaan keuangan saya
untuk masa depan.
9. Saya merasa puas dengan
kondisi keuangan saya.

Tabel 3.2. Skala likert Financial literacy, financial risk tolerance, financial
stress, financial satisfaction
Penilaian Nilai

Sangat tidak setuju 1

Tidak setuju 2

Ragu 3

Setuju 4

Sangat setuju 5

D. POPULASI DAN SAMPEL

62
Populasi dari penelitian ini merupakan dosen perguruan tinggi negeri dan swasta
termasuk yang sedang studi lanjut di tingkat S-2 dan S-3. Adapun sampel
penelitian ini adalah lima ratus dosen perguruan tinggi negeri maupun swasta
yang aktif di Indonesia. Sampel disebarkan dengan non-probability sampling,
yaitu incidental method. Ukuran sampel minimum ditentukan dengan
menggunakan rumus yang disajikan pada Persamaan 3.1. (Singh dan Masuku,
2014).
Persamaan 3.1. Rumus Penentuan Ukuran Sampel Minimum
4 pq
n=
L2
Keterangan :n : Jumlah minimum sampel penelitian
p : Nilai perkiraan prevelansi penelitian
q : Nilai dari 1-p
L : Nilai kesalahan yang diizinkan terjadi dalam penelitian
Dikarenakan proporsi dosen aktif yang berada di Indonesia tidak
diketahui, maka nilai p yang digunakan adalah 0,5 (Supranto, 2000). Nilai
kesalahan yang diizinkan adalah lima persen. Maka dari rumus perhitungan nilai
minimal sampel diperoleh hasil minimal sampel sebesar empat ratus responden.
Rincian perhitungan jumlah sampel minimum adalah sebagai berikut :
4(0,5)(1−0,5)
n= 2 = 400
0,05
Jadi, agar penelitian ini dapat memberikan hasil yang akurat, diperlukan jumlah
sampel minimum sebesar empat ratus responden. Penelitian ini menggunakan
ukuran sampel sebesar lima ratus responden untuk mendapatkan hasil yang lebih
akurat. Secara logis, jika hasil minimal sampel untuk mendapatkan hasil yang
akurat adalah sebesar empat ratus sampel, maka jika sampel yang diambil lebih
besar dari jumlah sampel minimum, maka hasil dari penelitian ini akan lebih baik
atau lebih akurat.

E. DATA DAN SAMPEL DATA

63
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer. Hox dan Boeije
(2005) mengatakan bahwa data primer merupakan data yang diambil untuk
menjawab permasalahan yang spesifik dari suatu penelitian, dan menggunakan
prosedur yang paling sesuai bagi permasalahan tersebut. Lebih jelasnya, data
primer adalah data yang diterima secara langsung oleh seorang peneliti dari
sumber datanya (Sugiyono, 2016: 225).
Metode sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode non-
probability sampling dengan teknik sampling insidental (aksidental). Sugiyono
(2016: 85) mengatakan bahwa teknik sampling insidental (aksidental) merupakan
teknik penentuan sampel dimana peneliti menjadikan siapa saja yang secara
kebetulan bertemu (ditemukan) dengan peneliti sebagai sampel. Metode insidental
(aksidental) ini dilakukan dengan cara menyebar kuisioner kepada responden
melalui email yang diakses dari buku-buku jurnal berbagai sumber yang dapat
diperoleh oleh peneliti, serta melalui media sosial dari group dosen yang dapat
diakses melalui whattsapp dan facebook messenger. Sampel dipilih dari media
sosial whattsapp, facebook, facebook messenger, dan email. Whattsapp, facebook,
dan facebook messenger diperoleh dari berbagai group dosen dan group internal
perguruan tinggi. Group whattsapp dan facebook terdiri dari (1) Relawan Jurnal
Indonesia, (2) Ikatan Dosen Republik Indonesia, (3) Forum Manajemen
Indonesia, (4) Ikatan Dosen Muda Indonesia, dan (5) Asosiasi Dosen Indonesia.

F. METODE ANALISIS
Metode analisis dalam penelitian ini menggunakan program Partial Least Squares
(PLS) yang merupakan metode analisis data yang meniadakan asumsi-asumsi
Ordinary Least Square (OLS) regresi yang mengatakan bahwa data harus
terdistribusi normal secara multivariate dan tidak ada masalah multikolonieritas
antar variabel (Ghozali dan Latan, 2014 : 5). Adapun langkah-langkah pengujian
dalam penelitian ini adalah :
1. Outer Model
Outer model atau model pengukuran menjelaskan bagaimana hubungan indikator
variabel dengan variabel latennya (Ghozali dan Latan, 2014 : 9).

64
a. Uji Validitas Convergent
Ghozali dan Latan (2014 : 74) mengatakan bahwa untuk melihat valid atau
tidaknya suatu indikator, dapat dilihat dari nilai loading factor nya. Suatu
indikator dinyatakan valid apabila nilai loading factor diatas 0,7 untuk peramalan,
sedangkan nilai loading factor 0,5 – 0,6 dianggap cukup dengan catatan untuk
membaca sampel. Jadi dapat dikatakan juga bahwa jika nilai loading factor suatu
indikator sebesar 0.5 dapat dinyakatan valid. Kriteria lainnya menurut Ghozali
dan Latan (2014 : 74) adalah nilai dari Average Variance Extracted (AVE) harus
lebih besar dari 0,5.
b. Uji Validitas Discriminant
Ghozali dan Latan (2014 : 74) mengatakan bahwa prinsip dari validitas
discriminant adalah indikator variabel konstruk yang berbeda tidak berkorelasi
dengan tinggi. Cara lain untuk menguji validitas discriminant menurut Ghozali
dan Latan (2014 : 74) adalah dengan membandingkan hasil akar kuadrat dari
Average Variance Extracted (AVE) setiap konstruk dengan nilai kolerasi antar
konstruk dalam model. Fornell dan Larcker (1981) dalam Ghozali dan Latan
(2014 : 74) mengatakan bahwa jika nilai akar kuadrat dari AVE setiap konstruk
lebih besar dari korelasi antar konstruk, maka validitas discriminant nya adalah
baik.

c. Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas berfungsi untuk membuktikan keakuratan instrument dalam
mengukur konstruk (Ghozali dan Latan, 2014 : 75). Pengukuran reliabilitas ini
dapat dilakukan dengan menggunakan Cronbach’s Alpha dan Composite
Reliability (Ghozali dan Latan, 2014 : 75). Kriteria untuk penilaian reliabilitas
konstruk adalah nilai cronbach’s alpha lebih besar dari 0.7, atau jika
menggunakan composite reliability, nilai composite reliability nya harus diatas
0.7 (Ghozali dan Latan, 2014 : 77).
2. Inner Model

65
Inner model atau yang disebut juga sebagai model struktural menggambarkan
hubungan antar variabel laten (Ghozali dan Latan, 2014 : 10). Pengujian inner
model ini dibagi menjadi empat, yaitu :
1) Koefisien determinasi;
2) Goodness fit test;
3) Pengujian hipotesis;
4) Pengujian efek mediasi.

a. Koefisien determinasi
Uji koefisien determinasi dapat dilihat dari nilai R-Square setiap variabel endogen
yang menunjukkan kekuatan prediksi dari model struktural (Ghozali dan Latan,
2014: 78). Jika nilai R-Square adalah 0.75, maka dapat dikatakan bahwa model
kuat, sedangkan 0.5 berarti model moderate, dan 0.25 menunjukkan bahwa model
lemah (Ghozali dan Latan, 2014: 78).
b. Goodness fit test
Uji Goodness fit test dilakukan dengan cara melihat nilai F pada NFI. Jika nilai F
pada NFI mendekati angka satu, maka model penelitian memiliki tingkat
ketepatan yang baik (Ghozali dan Latan, 2014: 79).
c. Pengujian hipotesis
Pengujian hipotesis dilakukan untuk melihat apakah hipotesis yang disajikan
dapat diterima atau tidak. Pengujian hipotesis ini dilakukan dengan menguji
tingkat signifikansi model penelitian. Tingkat signifikansi model dapat dilihat dari
nilai T nya. Syarat untuk suatu model dinyatakan signifikan adalah nilai T harus
diatas 1,96 (Ghozali dan Latan, 2014: 77).
d. Pengujian efek mediasi
Untuk menguji variabel dengan efek mediasi, dapat dilakukan dengan cara
menguji variabel X dengan mediasi terhadap variabel Y. Pada pengujian ini
pengaruh X dengan Y harus tidak signifikan, sementara mediasi dengan variabel
Y harus signifikan dengan nilai T > 1,96 (Ghozali dan Latan, 2014: 147).

66
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. DESKRIPSI STATISTIK
1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Jakarta dengan menyebar kuesioner secara online.
Kuesioner disebar ke seluruh Indonesia melalui media elektronik. Tidak ada
penyebaran kuesioner secara fisik dalam penelitian ini. Penyebaran kuesioner
dilakukan mulai tanggal 24 Oktober 2017 sampai dengan tanggal 15 November
2017.

67
2. Subyek dan Objek Penelitian
Subyek pada penelitian ini adalah seluruh dosen aktif di seluruh Indonesia, baik
Perguruan Tinggi Negeri maupun Swasta. Perguruan Tinggi Swasta meliputi
empat belas wilayah kopertis. Yaitu kopertis satu sampai dengan 14. Objek
penelitian adalah financial literacy, financial risk tolerance, financial stress, serta
financial satisfaction.
3. Karakteristik Responden
Sampel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah lima ratus
dosen aktif di seluruh Indonesia. Adapun karakteristik responden dalam penelitian
ini meliputi jenis kelamin, umur, jenjang jabatan, masa kerja, kelompok
penghasilan, nomor induk kepegawaian, wilayah kopertis, serta pendidikan
terakhir. Hasil dari kuesioner yang disebar menunjukkan bahwa terdapat 46
persen atau sebanyak 230 responden yang berjenis kelamin laki-laki dan 54
persen atau sebanyak 270 responden yang berjenis kelamin perempuan.
Persebaran responden berdasarkan jenis kelamin disajikan pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Kelompok Responden Menurut Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Jumlah Persentase

Laki-Laki 230 jiwa 46%

Perempuan 270 jiwa 54%

Hasil kuesioner yang disebar menunjukkan bahwa terdapat 20 persen atau


sebanyak 101 responden yang berada pada jenjang usia 20 sampai dengan 30
tahun, 33 persen atau sebanyak 164 responden yang berada pada jenjang usia 30
sampai 40 tahun, 28 persen atau sebanyak 142 responden yang berada pada
jenjang usia 40 sampai 50 tahun, serta sembilan belas persen atau sebanyak 93
responden yang berada pada jenjang usia diatas 50 tahun. Persebaran responden
berdasarkan usia disajikan pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Kelompok Responden Menurut Usia
Usia Jumlah Persentase

20-30 tahun 101 jiwa 20%

68
30-40 tahun 164 jiwa 33%

40-50 tahun 142 jiwa 28%

>50 tahun 93 jiwa 19%

Hasil kuesioner yang disebar menunjukkan bahwa terdapat 47 persen atau


sebesar 235 responden yang tidak memiliki jabatan atau yang merupakan asisten
ahli di perguruan tinggi, 32 persen atau sebesar 161 responden yang menjabat
sebagai lektor di perguruan tinggi, 18 persen atau sebesar 91 responden yang
menjabat sebagai lektor kepala di perguruan tinggi, serta tiga persen atau sebesar
tiga belas responden yang menjabat sebagai guru besar di perguruan tinggi.
Persebaran responden berdasarkan jabatan disajikan pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3. Kelompok Responden Menurut Jabatan
Jabatan Jumlah Persentase

Tidak ada/asisten ahli 235 jiwa 47%

Lektor 161 jiwa 32%

Lektor kepala 91 jiwa 18%

Guru besar 13 jiwa 3%

Hasil kuesioner yang disebar menunjukkan bahwa terdapat 34 persen atau


sebesar 169 responden yang memiliki masa kerja dibawah lima tahun, 21 persen
atau sebesar 103 responden yang memiliki masa kerja 5 sampai dengan 10 tahun,
23 persen atau sebesar 117 responden yang memiliki masa kerja 10 sampai
dengan 20 tahun, 22 persen atau sebesar 111 responden yang memiliki masa kerja
lebih dari dua puluh tahun. Persebaran responden berdasarkan masa kerja
disajikan pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4. Kelompok Responden Menurut Masa Kerja
Masa Kerja Jumlah Persentase

69
<5 tahun 169 jiwa 34%

5-10 tahun 103 jiwa 21%

10-20 tahun 117 jiwa 23%

>20 tahun 111 jiwa 22%

Hasil kuesioner yang disebar menunjukkan bahwa terdapat 43 persen atau


sebesar 213 responden yang berpenghasilan dibawah lima juta rupiah, 32 persen
atau sebesar 160 responden yang berpenghasilan 5 sampai dengan 10 juta rupiah,
lima belas persen atau sebesar 76 responden yang berpenghasilan 10 sampai
dengan 15 juta rupiah, serta sepuluh persen atau sebesar 51 responden
berpenghasilan diatas lima belas juta rupiah. Persebaran responden menurut
tingkat penghasilan disajikan pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5. Kelompok Responden Menurut Penghasilan
Penghasilan Jumlah Persentase

<5 juta 213 jiwa 43%

5-10 juta 160 jiwa 32%

10-15 juta 76 jiwa 15%

>15 juta 51 jiwa 10%

Hasil kuesioner yang disebar menunjukkan bahwa terdapat dua persen


atau sebesar delapan responden yang berpendidikan akhir S1, 73 persen atau
sebesar 364 responden berpendidikan akhir S2, 25 persen atau sebesar 128
responden berpendidikan akhir S3. Persebaran responden berdasarkan pendidikan
akhir disajikan pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6. Kelompok Responden Menurut Pendidikan Akhir

70
Pendidikan Akhir Jumlah Persentase

S1 8 jiwa 2%

S2 364 jiwa 73%

S3 128 jiwa 25%

Hasil kuesioner menunjukkan bahwa terdapat empat persen atau sebanyak


dua puluh responden berada pada wilayah kopertis satu, 6,4 persen atau sebanyak
32 responden berada pada wilayah kopertis dua, 21,8 persen atau sebanyak 109
responden berada pada wilayah kopertis tiga, 17,4 persen atau sebanyak 87
responden berada pada wilayah kopertis empat, 4,6 persen atau sebanyak 23
responden berada pada wilayah kopertis lima, 13,4 persen atau sebanyak 67
responden berada pada wilayah kopertis enam, 10,4 persen atau sebanyak 52
responden berada pada wilayah kopertis tujuh, 1,4 persen atau sebanyak tujuh
responden berada pada wilayah koperti delapan, 5,8 persen atau sebanyak 29
responden berada pada wilayah kopertis sembilan, 4,2 persen atau sebanyak 21
responden berada pada wilayah kopertis sepuluh, 1,2 persen atau sebanyak enam
responden berada pada wilayah kopertis sebelas, satu persen atau sebanyak lima
responden berada pada wilayah kopertis dua belas, satu persen atau sebanyak lima
responden berada pada wilayah kopertis tiga belas, 0,8 persen atau sebanyak
empat responden berada pada wilayah kopertis empat belas. Terdapat 6,6% (Lain-
lain) responden tidak menyebutkan asal kopertis atau perguruan tinggi induknya.
Persebaran responden berdasarkan wilayah kopertis disajikan pada Tabel 4.7.
Tabel 4.7. Kelompok Responden Menurut Wilayah Kopertis
Kopertis Jumlah Persentase

1 20 Jiwa 4%

2 32 Jiwa 6,4%

3 109 Jiwa 21,8%

4 87 Jiwa 17,4%

71
5 23 Jiwa 4,6%

6 67 Jiwa 13,4%

7 52 Jiwa 10,4%

8 7 Jiwa 1,4%

9 29 Jiwa 5,8%

10 21 Jiwa 4,2%

11 6 Jiwa 1,2%

12 5 Jiwa 1%

13 5 Jiwa 1%

14 4 Jiwa 0,8%

Lain-lain 33 Jiwa 6,6%

B. DESKRIPSI VARIABEL
1. Financial Literacy
Financial literacy diukur dengan menggunakan skala likert 1-5 dengan
menggunakan enam pernyataan yang dilampirkan dalam kuesioner online yang
disebar. Hasil pengukuran financial literacy dari penyebaran kuesioner secara
online kepada lima ratus responden disajikan pada Tabel 4.8.

Tabel 4.8. Kuesioner Financial Literacy


STS TS R S SS
Bobot
Indikator Pernyataan 1 2 3 4 5
FL1 Saya mampu 14 30 135 222 99
membedakan pilihan- (2,8%) (6%) (27%) (44,4%) (19,8%)
pilihan instrumen
keuangan dengan baik

72
FL2 Saya mampu membahas 20 45 165 192 78
isu-isu keuangan dengan (4%) (9%) (33%) (38,4%) (15,6%)
baik
FL3 Saya memahami tentang 4 19 83 268 126
cara mengelola (0,8%) (3,8%) (16,6%) (53,6%) (25,2%)
keuangan saya
FL4 Saya mampu membuat 10 34 137 227 92
pilihan-pilihan (2%) (6,8%) (27,4%) (45,4%) (18,4%)
instrumen keuangan
yang tepat
FL5 Saya mampu mengenali 19 31 136 231 83
investasi pada instrumen (3,8%) (6,2%) (27,2%) (46,2%) (16,6%)
keuangan dengan baik

FL6 Saya memiliki sumber 23 38 143 213 83


yang tepat untuk (4,6%) (7,6%) (28,6%) (42,6%) (16,6%)
berkonsultasi ketika
membuat keputusan
keuangan

Tabel 4.8. menunjukkan bahwa jawaban terbanyak pada indikator FL1 adalah
setuju dengan persentase sebesar 44,4 persen atau sebanyak 222 tanggapan.
Jawaban paling sedikit pada indikator FL1 adalah sangat tidak setuju dengan
persentase sebesar 2,8 persen atau sebanyak empat belas tanggapan. Jawaban
terbanyak pada indikator FL2 adalah setuju dengan persentase sebesar 38,4 persen
atau sebanyak 192 tanggapan. Jawaban paling sedikit adalah sangat tidak setuju
dengan persentase sebesar empat persen atau sebanyak dua puluh tanggapan.
Jawaban terbanyak pada indikator FL3 adalah setuju dengan persentase sebesar
53,6 persen atau sebanyak 268 tanggapan. Jawaban paling sedikit Jawaban
terbanyak pada indikator FL4 adalah setuju dengan persentase sebesar 45,4 persen
atau sebanyak 227 tanggapan. Jawaban terbanyak pada indikator FL5 adalah
setuju dengan persentase sebesar 46,2 persen atau sebanyak 231 tanggapan.
Jawaban terbanyak pada indikator FL6 adalah setuju dengan persentase sebesar
42,6 persen atau sebanyak 213 tanggapan.

73
2. Financial Risk Tolerance
Pengukuran financial risk tolerance dilakukan dengan menggunakan skala likert
1-5 dengan menggunakan empat pernyataan yang dilampirkan dalam kuesioner
yang disebar secara online. Hasil pengukuran variabel financial risk tolerance
yang diterima dari lima ratus responden disajikan pada Tabel 4.9.
Tabel 4.9. Kuesioner Financial Risk Tolerance
Indikator Pernyataan STS TS R S SS

Bobot

1 2 3 4 5

FRT1 Menurut saya, dalam 109 175 105 85 26


berinvestasi, Return (21%)
(hasil) lebih penting dari (21,8%) (35%) (17%) (5,2%)
pada keamanan
investasi.

Lanjutan Tabel 4.9. Kuesioner Financial Risk Tolerance


FRT2 57 146 147 110 40
Saya merasa lebih baik
menginvestasikan uang (11,4%) (29,2%) (29,4%) (22%) (8%)
di pasar modal dari pada
menabung di bank.
FRT3 Ketika saya mendengar 36 129 132 166 37
kata risiko, saya

74
mengasumsikannya (7,2%) (25,8%) (26,4%) (33,2%) (7,4%)
sebagai kesempatan
meraih keuntungan yang
besar
FRT4 Menurut saya, 107 181 114 79 19
berinvestasi pada surat
berharga semua (21,4%) (36,2%) (22,8%) (15,8%) (3,8%)
berdasarkan nasib

Tabel 4.9. Menunjukkan bahwa jawaban terbanyak pada indikator FRT1 adalah
tidak setuju dengan persentase sebesar 35 persen atau sebanyak 175 tanggapan.
Jawaban paling sedikit pada indikator FRT1 adalah sangat setuju dengan
persentase sebesar 5,2 persen atau sebanyak 26 tanggapan. Jawaban terbanyak
pada indikator FRT2 adalah ragu dengan persentase sebesar 29,4 persen atau
sebanyak 147 tanggapan. Jawaban paling sedikit pada indikator FRT2 adalah
sangat setuju dengan persentase sebesar delapan persen atau sebanyak empat
puluh tanggapan. Jawaban terbanyak pada indikator FRT3 adalah setuju dengan
persentase sebesar 33,2 persen atau sebanyak 166 responden. Jawaban paling
sedikit pada indikator FRT3 adalah sangat tidak setuju dengan persentase sebesar
7,2 persen atau sebanyak 36 responden. Jawaban terbanyak pada indikator FRT4
adalah tidak setuju dengan persentase sebesar 36,2 persen atau sebanyak 181
tanggapan.
3. Financial Stress
Pengukuran financial stress dilakukan dengan menggunakan skala likert 1-5
dengan enam pernyataan yang dilampirkan dalam kuesioner yang disebar secara
online. Hasil pengukuran variabel financial stress disajikan dalam Tabel 4.10.

Tabel 4.10. Kuesioner Financial Stress


Indikato Pernyataan STS TS R S SS
r
Bobot

STS TS R S SS

75
FST1 Saya memiliki masalah 221 152 72 42 13
dengan cicilan bulanan
(44,2%) (30,4%) (14,4%) (8,4%) (2,6%)

FST2 Saya memiliki masalah 191 182 74 40 13


dengan biaya kesehatan
(38,2%) (36,4%) (14,8%) (8%) (2,6%)

FST3 Saya merasa tertekan 181 179 76 52 12


dengan kondisi
keuangan saya secara (36,2%) (35,8%) (15,2%) (10,4%) (2,4%)
umum

FST4 Saya merasa khawatir 181 174 80 48 17


tidak mampu membayar
pengeluaran bulanan (36,2%) (34,8%) (16%) (9,6%) (3,4%)
saya
FST5 Saya merasa tertekan 254 147 58 28 13
tengan tagihan kredit
saya (50,8%) (29,4%) (11,6%) (5,6%) (2,6%)

FST6 Saya merasa tertekan 222 154 72 35 17


dengan jumlah hutang
yang saya miliki (44,4%) (30,8%) (14,4%) (7%) (3,4%)

Tabel 4.10. menunjukkan bahwa jawaban terbanyak pada indikator FST1 adalah
sangat tidak setuju dengan persentase sebesar 44,2 persen atau sebanyak 221
tanggapan. Jawaban paling sedikit pada indikator FST1 adalah sangat setuju
dengan persentase sebesar 2,6 persen atau sebanyak tiga belas tanggapan.
Jawaban terbanyak pada indikator FST2 adalah sangat tidak setuju dengan
persentase sebesar 38,2 persen atau sebanyak 191 tanggapan. Jawaban paling
sedikit pada indikator FST2 adalah sangat setuju dengan persentase sebesar 2,6
persen atau sebanyak tiga belas tanggapan. Jawaban terbanyak pada indikator
FST3 adalah sangat tidak setuju dengan persentase sebesar 36,2 persen atau
sebanyak 181 tanggapan. Jawaban paling sedikit pada indikator FST3 adalah
sangat setuju dengan persentase sebesar 2,4 persen atau sebanyak dua belas
tanggapan. Jawaban terbanyak pada indikator FST4 adalah sangat tidak setuju

76
dengan persentase sebesar 36,2 persen atau sebanyak 181 tanggapan. Jawaban
paling sedikit pada indikator FST4 adalah sangat setuju dengan persentase sebesar
3,4 persen atau sebanyak tujuh belas tanggapan. Jawaban terbanyak pada
indikator FST5 adalah sangat tidak setuju dengan persentase sebesar 50,8 persen
atau sebanyak 254 tanggapan. Jawaban paling sedikit pada indikator FST5 adalah
sangat setuju dengan persentase sebesar 2,6 persen atau sebanyak tiga belas
tanggapan. Jawaban terbanyak pada indikator FST6 adalah sangat tidak setuju
dengan persentase sebesar 44,4 persen atau sebanyak 222 tanggapan. Jawaban
paling sedikit pada indikator FST6 adalah sangat setuju dengan persentase sebesar
3,4 persen atau sebanyak tujuh belas tanggapan.
4. Financial Satisfaction
Variabel financial satisfaction diukur dengan menggunakan skala likert 1-5
dengan sembilan pernyataan yang dilampirkan dalam kuesioner yang disebar
secara online. Hasil pengukuran variabel financial satisfaction disajikan dalam
Tabel 4.11.
Tabel 4.11. Kuesioner Financial Satisfaction
Indikator Pernyataan STS TS R S SS

Bobot

1 2 3 4 5

FS1 Saya merasa puas 86 84 114 135 81


dengan jumlah hutang
saya saat ini (17,2%) (16,8%) (22,8%) (27%) (16,2%)

FS2 Saya merasa puas 35 23 81 221 140


dengan kemampuan
saya dalam memenuhi (7%) (4,6%) (16,2%) (44,2%) (28%)
kewajiban hutang saya
Lanjutan Tabel 4.11. Kuesioner Financial Satisfaction
FS3 Saya merasa puas 25 21 117 236 101
dengan pilihan investasi
saya saat ini (5%) (4,2%) (23,4%) (47,2%) (20,2%)

FS4 Saya merasa puas 23 47 124 226 80


dengan tingkat

77
pengetahuan keuangan (4,6%) (9,4%) (24,8%) (45,2%) (16%)
yang saya miliki

FS5 Saya merasa puas 19 51 115 228 87


dengan kemampuan
saya membahas masalah (3,8%) (10,2%) (23%) (45,6%) (17,4%)
keuangan saya
FS6 Saya merasa puas 22 55 116 213 94
dengan jumlah uang
yang dapat saya tabung (4,4%) (11%) (23,2%) (42,6%) (18,8%)
secara berkala
FS7 Saya merasa puas 30 55 122 209 84
dengan jumlah uang
yang mampu saya (6%) (11%) (24,4%) (41,8%) (16,8%)
investasikan secara
berkala
FS8 Saya merasa puas 20 42 116 229 93
dengan perencanaan
keuangan saya untuk (4%) (8,4%) (23,2%) (45,8%) (18,6%)
masa depan
FS9 Saya merasa puas 24 47 121 212 96
dengan kondisi
keuangan saya (4,8%) (9,4%) (24,2%) (42,4%) (19,2%)

Tabel 4.11. menunjukkan bahwa jawaban terbanyak pada indikator FS1 adalah
setuju dengan persentase sebesar 27 persen atau sebanyak 135 tanggapan.
Jawaban paling sedikit pada indikator FS1 adalah sangat setuju dengan persentase
sebesar 16,2% atau sebanyak 81 tanggapan. Jawaban terbanyak pada indikator
FS2 adalah setuju dengan persentase sebesar 44,2 persen atau sebanyak 221
tanggapan. Jawaban paling sedikit pada indikator FS2 adalah tidak setuju dengan
persentase sebesar 4,6 persen atau sebanyak 23 tanggapan. Jawaban terbanyak
pada indikator FS3 adalah setuju dengan persentase sebesar 47,2 persen atau
sebanyak 236 tanggapan. Jawaban paling sedikit pada indikator FS3 adalah tidak
setuju dengan persentase sebesar 4,2 persen atau sebanyak 21 tanggapan. Jawaban

78
terbanyak pada indikator FS4 adalah setuju dengan persentase sebesar 45,2 persen
atau sebanyak 226 tanggapan. Jawaban paling sedikit pada indikator FS4 adalah
sangat tidak setuju dengan persentase sebesar 4,6 persen atau sebanyak 23
tanggapan. Jawaban terbanyak pada indikator FS5 adalah setuju dengan
persentase sebesar 45,6 persen atau sebanyak 228 tanggapan. Jawaban paling
sedikit pada indikator FS5 adalah sangat tidak setuju dengan persentase sebesar
3,8 persen atau sebanyak sembilan belas tanggapan. Jawaban terbanyak pada
indikator FS6 adalah setuju dengan persentase sebesar 42,6 persen atau sebanyak
213 tanggapan. Jawaban paling sedikit pada indikator FS6 adalah sangat tidak
setuju dengan persentase sebesar 4,4 persen atau sebanyak 22 tanggapan. Jawaban
terbanyak pada indikator FS7 adalah setuju dengan persentase sebesar 41,8 persen
atau sebanyak 209 tanggapan. Jawaban paling sedikit pada indikator FS7 adalah
sangat tidak setuju dengan persentase sebesar enam persen atau sebanyak tiga
puluh tanggapan. Jawaban terbanyak pada indikator FS8 adalah setuju dengan
persentase sebesar 45,8 persen atau sebanyak 229 tanggapan. Jawaban paling
sedikit pada indikator FS8 adalah sangat tidak setuju dengan persentase sebesar
empat persen atau sebanyak dua puluh tanggapan. Jawaban terbanyak pada
indikator FS9 adalah setuju dengan persentase sebesar 42,4 persen atau sebanyak
212 tanggapan. Jawaban paling sedikit pada indikator FS9 adalah sangat tidak
setuju dengan persentase sebesar 4,8 persen atau sebanyak 24 tanggapan.

C. ANALISA STATISTIK
1. Model Penelitian
Gambar 4.1. menunjukkan model statistik dari penelitian ini.

79
Gambar 4.1. Model Statistik Penelitian
Gambar 4.1. ini menunjukkan keempat variabel penelitian dengan masing-masing
indikatornya. Variabel FL (financial literacy) diukur dengan indikator
pemahaman mengenai definisi dan teori keuangan yang mencakup pernyataan
FL1 sampai dengan FL5 dan indikator kepercayaan diri akan informasi keuangan
yang mencakup pernyataan FL6. Variabel FRT (financial risk tolerance) diukur
dengan indikator risk tolerance index yang mencakup pernyataan FRT1 sampai
dengan FRT4. Variabel FST (financial stress) diukur dengan indikator
kemampuan finansial yang meliputi pernyataan FST1, FST2 dan FST4. Indikator
kondisi keuangan yang meliputi pernyataan FST3, FST5 dan FST6. Variabel FS
(financial satisfaction) diukur dengan indikator situasi finansial saat ini yang
mencakup pernyataan FS1 dan FS9, indikator tingkat kemampuan finansial yang
mencakup pernyataan FS2 dan FS7, indikator kemampuan pengelolaan finansial
yang mencakup indikator FS3, FS4, FS5, serta FS8, indikator jumlah tabungan
yang mencakup pernyataan FS6.

80
2. Uji Outer Model
Pengujian outer model dilakukan dengan menguji validitas dan reliabilitas
masing-masing variabel konstruk penelitian.
a. Uji Validitas
Pengujian validitas dilakukan dengan menguji convergent validity dan
discriminant validity masing-masing variabel konstruk.
1) Convergent Validity
Diagram pengujian convergent validity disajikan pada Gambar 4.2.

Gambar 4.2. Uji Convergent Validity


Hasil pengukuran convergen validity pada masing-masing variabel konstruk
penelitian disajikan pada Tabel 4.12.
Tabel 4.12. Convergent Validity Result
Indikator FL FRT FS FST
FL1 0.852      
FL2 0.862      

81
FL3 0.796      
FL4 0.889      
FL5 0.912      
FL6 0.768      
FRT2   0.724    
FRT3   0.665    
FRT4   -0.589    
FS1     0.303  
FS2     0.468  
FS3     0.699  
FS4     0.847  
FS5     0.865  
FS6     0.82  
FS7     0.847  
FS8     0.865  
FS9     0.794  
FST1       0.785
FST2       0.784
FST3       0.865
FST4       0.855
FST5       0.817
FST6       0.812
FRT1   -0.009    

Kriteria untuk suatu indikator variabel konstruk penelitian dinyatakan valid adalah
jika nilai loading factor nya lebih besar dari 0,5 (Ghozali, 2014 : 74 ). Tabel 4.12.
menunjukkan nilai loading factor pada indikator FL1 sampai dengan FL6 adalah
lebih besar dari 0,5. Dengan demikian, seluruh indikator FL (financial literacy)
dinyatakan valid. Nilai loading factor pada indikator FRT1 adalah lebih kecil dari
0,5 (yaitu 0,009). Maka dari itu, indikator FRT1 dinyatakan tidak valid. Nilai
loading factor pada indikator FRT2 sampai FRT4 adalah lebih besar dari 0,5.
Maka dari itu, indikator FRT2 sampai FRT4 dinyatakan valid. Nilai loading
factor pada indikator FST1 sampai FST6 adalah diatas 0,5. Maka dari itu seluruh
indikator FST (financial stress) dinyatakan valid. Nilai loading factor pada
indikator FS1 dan FS2 adalah lebih kecil dari 0,5. Maka dari itu, indikator FS1
dan FS2 dinyatakan tidak valid. Nilai loading factor pada indikator FS3 sampai

82
dengan FS9 adalah lebih besar dari 0,5. Maka dari itu, indikator FS3 sampai
dengan FS9 dinyatakan valid.
Dikarenakan ada beberapa indikator yang tidak valid pada pengukuran
convergent validity, maka akan dilakukan lagi pengujian convergent validity. Pada
pengujian kembali convergent validity ini, indikator-indikator yang tidak valid
akan dibuang. Maka diagram pengujian kembali convergent validity adalah seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 4.3.

Gambar 4.3. Model Statistik Penelitian Kedua

Gambar 4.3. Model Statistik Penelitian Untuk Uji Convergent Validity kedua

Hasil pengujian convergent validity kedua akan disajikan dalam bentuk


diagram pada Gambar 4.4. dan dalam bentuk tabel pada Tabel 4.13.

83
Gambar 4.4. Model Statistik Penelitian Uji Convergent Validity Kedua

Tabel 4.13. Tabel Hasil Uji Convergent Validity Kedua

 Indikator FL FRT FS FST


FL1 0.852      
FL2 0.862      
FL3 0.795      
FL4 0.889      
FL5 0.913      
FL6 0.768      
FRT2   0.762    
FRT3   0.702    
FRT4   -0.548    
FS3     0.684  
FS4     0.851  
FS5     0.869  
FS6     0.828  
FS7     0.854  
FS8     0.876  
Lanjutan Tabel 4.13. Tabel Hasil Uji Convergent Validity Kedua

FS9     0.798  
FST1       0.785
FST2       0.783
FST3       0.866
FST4       0.855
FST5       0.817
FST6       0.812

84
Tabel 4.13. menunjukkan hasil loading factor pada indikator FL1 sampai FL6
adalah diatas 0,5. Maka dari itu, seluruh indikator FL (financial literacy)
dinyatakan valid. Hasil loading factor pada indikator FRT2 sampai FRT3 adalah
diatas 0,5. Maka dari itu, seluruh indikator FRT (financial risk tolerance)
dinyatakan valid. Hasil loading factor pada indikator FST1 sampai FST6 adalah
diatas 0,5. Maka dari itu, seluruh indikator FST (financial stress) dinyatakan
valid. Hasil loading factor pada indikator FS3 sampai dengan FS9 adalah diatas
0,5. Maka dari itu, seluruh indikator FS (financial satisfaction) dinyatakan valid.
2) Convergent Discriminant
Hasil pengujian convergent discriminant pada masing-masing variabel konstruk
penelitian akan disajikan pada Tabel 4.14.
Tabel 4.14. Tabel Hasil Uji Convergent Discriminant
Indikator FL FRT FS FST
FL1 0.852 0.225 0.468 -0.219
FL2 0.862 0.276 0.472 -0.13
FL3 0.795 0.11 0.489 -0.225
FL4 0.889 0.178 0.537 -0.194
FL5 0.913 0.264 0.515 -0.156
FL6 0.768 0.23 0.464 -0.097
FRT2 0.189 0.762 -0.005 0.083
FRT3 0.169 0.702 0.017 0.025
FRT4 -0.152 -0.548 -0.075 0.134
FS3 0.43 0.072 0.684 -0.235
FS4 0.551 0.044 0.851 -0.2
FS5 0.582 0.05 0.869 -0.223

Lanjutan Tabel 4.14. Tabel Hasil Uji Convergent Discriminant


FS6 0.365 -0.069 0.828 -0.276
FS7 0.475 0.079 0.854 -0.279
FS8 0.493 0.054 0.876 -0.295
FS9 0.409 -0.014 0.798 -0.356
FST1 -0.16 0.014 -0.253 0.785
FST2 -0.119 0.035 -0.275 0.783
FST3 -0.206 -0.021 -0.327 0.866

85
FST4 -0.192 -0.036 -0.254 0.855
FST5 -0.126 -0.02 -0.186 0.817
FST6 -0.165 0.003 -0.244 0.812

Kriteria untuk pengujian discriminant validity dinyatakan valid jika nilai cross
loading tiap indikator konstruk harus lebih dari 0,7. Indikator variabel konstruk
yang berbeda tidak berkorelasi dengan tinggi (Ghozali, 2014 : 74). Untuk lebih
jelasnya, perhatikan Tabel 4.14. Hasil yang ditunjukkan oleh Tabel 4.14.
menunjukkan bahwa indikator FL1 sampai dengan FL6 terhadap FL memiliki
nilai cross loading yang lebih tinggi dari nilai cross loading nya terhadap FRT,
FS, dan FST. Maka dari itu, indikator FL1 sampai FL6 dinyatakan valid. Nilai
cross loading pada indikator FRT2 sampai dengan FRT4 terhadap FRT lebih
tinggi dari nilai cross loading nya terhadap FL, FS, dan FST. Maka dari itu,
indikator FRT2 sampai dengan FRT4 dinyatakan valid. Nilai cross loading pada
indikator FST1 sampai dengan FST6 terhadap FST lebih tinggi dari nilai cross
loading nya terhadap FL, FRT, dan FS. Maka dari itu, indikator FST1 sampai
dengan FST6 dinyatakan valid. Nilai cross loading pada indikator FS3 sampai
dengan FS9 terhadap FS lebih tinggi dari nilai cross loading nya terhadap FL,
FRT, dan FST. Maka dari itu, indikator FS3 sampai dengan FS9 dinyatakan valid.
3) Uji Reliabilitas
Pengujian reliabilitas dilakukan dengan menghitung nilai Cronbach’s alpha atau
bisa juga dengan menghitung nilai composite reliability nya. Kriteria untuk suatu
variabel dinyatakan reliabel adalah jika nilai cronbach’s alpha adalah minimal 0,7
atau nilai composite reliability nya adalah minimal 0,7. Hasil dari pengujian
reliabilitas pada penelitian ini akan disajikan pada Tabel 4.15.

Tabel 4.15. Hasil Pengujian Reliabilitas

Variabel Cronbach's Alpha Composite Reliability


FL 0.921 0.939
FRT 0.174 0.341
FS 0.921 0.937
FST 0.903 0.925

86
Tabel 4.15. menunjukkan bahwa nilai cronbach’s alpha pada variabel FL
(financial literacy) adalah diatas 0,7. Nilai Cronbach’s alpha dan composite
reliability pada variabel FL juga adalah diatas 0,7. Maka dari itu, berdasarkan
kriteria cronbach’s alpha dan composite reliability variabel FL (financial literacy)
dinyatakan reliabel. Nilai cronbach’s alpha dan composite reliability pada
variabel FRT (financial risk tolerance) adalah dibawah 0,7. Maka dari itu,
variabel FRT dinyatakan tidak reliabel. Nilai cronbach’s alpha dan composite
reliability pada variabel FST (financial stress) adalah lebih tinggi dari 0,7. Maka
dari itu, Variabel FST dinyatakan reliabel. Nilai cronbach’s alpha dan composite
reliability pada variabel FS (financial satisfaction) adalah lebih tinggi dari 0,7.
Maka dari itu, Variabel FS dinyatakan reliabel.
3. Uji Inner Model
Pengujian inner model dilakukan dengan menguji koefisien determinasi atau uji
R, uji goodness of fit atau uji F dengan NFI, uji bootstrap, serta uji hipotesis atau
t-statistik.
a. Uji Koefisien Determinasi
Setelah menguji outer model, pengujian data dilanjutkan dengan menguji inner
model yang dimulai dengan uji koefisien determinasi. Untuk mengetahui hasil
dari koefisien determinasi, dapat dilihat dari nilai R square. Nilai R square pada
penelitian ini akan disajikan pada Tabel 4.16.

Tabel 4.16. Hasil R Square


R
Variabel  Square
FLFRT 0.064
FL,FST,FRT
FS 0.389
FLFST 0.04

87
Tabel 4.16. menunjukkan bahwa variabel financial risk tolerance dapat dijelakan
oleh financial literacy sebesar 6,4 persen, sedangkan 93,6 persen sisanya
dijelaskan oleh variabel lain yang tidak termasuk dalam model penelitian.
Variabel financial stress dapat dijelaskan oleh financial literacy sebesar empat
persen, sedangkan 96 persen sisanya dijelaskan oleh variabel lain. Variabel
financial satisfaction dapat dijelaskan oleh financial literacy, financial risk
tolerance, dan financial stress sebesar 38,9 persen, sedangkan 61,1 persen sisanya
dijelaskan oleh variabel-variabel diluar financial literacy, financial risk tolerance,
dan financial stress.
b. Uji Goodness of Fit
Uji goodness of fit memiliki kriteria untuk menilai apakah ketepatan model
dikatakan baik atau tidak. Kriteria untuk ketepatan model dianggap baik adalah
jika nilai pada NFI mendekati satu. Pengujian goodness of fit dilakukan dengan uji
F dengan menggunakan NFI. Hasil pengujian dengan NFI akan disajikan pada
Tabel 4.17.

Tabel 4.17. Hasil Uji F Dengan NFI


Saturated
  Model
NFI 0.831

Tabel 4.17. menunjukkan hasil NFI adalah mendekati satu, yaitu 0,831. Ini artinya
ketepatan model penelitian ini adalah baik.
c. Kontribusi Indikator Terhadap Variabel
Kontribusi setiap indikator terhadap variabel dapat diukur dengan menggunakan
metode bootstrapping pada program PLS. Metode bootstrapping ini juga menjadi
dasar untuk melakukan uji hipotesis melalui uji T. Adapun tujuan dari pengujian
bootstrap adalah meminimalisir masalah ketidak normalan penelitian. Diagram
hasil bootstrapping akan disajikan pada Gambar 4.5.

88
Gambar 4.5. Diagram Bootstrapping

Gambar 4.5. menunjukkan indikator FL1 memiliki nilai kontribusi terhadap


variabel FL sebesar 56,297. Nilai kontribusi indikator FL2 terhadap variabel FL
adalah sebesar 47,427. Nilai kontribusi indikator FL3 terhadap variabel FL adalah
29,793. Nilai kontribusi indikator FL4 terhadap variabel FL adalah sebesar
51,832. Nilai kontribusi indikator FL5 terhadap variabel FL adalah sebesar
87,438. Nilai kontribusi indikator FL6 terhadap variabel FL adalah sebesar
28,929. Kontribusi terbesar terhadap variabel FL adalah indikator FL5. Nilai
kontribusi terkecil terhadap variabel FL adalah FL3.
Gambar 4.5. menunjukkan nilai kontribusi indikator FRT2 terhadap
variabel FRT sebesar 3,276. Nilai kontribusi indikator FRT3 terhadap variabel
FRT sebesar 3,201. Nilai kontribusi indikator FRT4 terhadap variabel FRT
sebesar 1,964. Kontribusi terbesar pada variabel FRT adalah FRT2. Kontribusi
paling kecil pada variabel FRT adalah FRT4.

89
Gambar 4.5. menunjukkan nilai kontribusi indikator FST1 terhadap
variabel FST sebesar 28,289. Nilai kontribusi indikator FST2 terhadap variabel
FST sebesar 28,691. Nilai kontribusi indikator FST3 terhadap variabel FST
sebesar 57,855. Nilai kontribusi indikator FST4 terhadap variabel FST sebesar
45,406. Nilai kontribusi indikator FST5 terhadap variabel FST sebesar 33,326.
Nilai kontribusi indikator FST6 terhadap variabel FST sebesar 32,844. Indikator
yang memiliki kontribusi terbesar terhadap variabel FST adalah indikator FST3.
Indikator yang memiliki kontribusi paling sedikit terhadap variabel FST adalah
FST1.
Gambar 4.5. menunjukkan nilai kontribusi indikator FS3 terhadap variabel
FS sebesar 18,394. Nilai kontribusi indikator FS4 terhadap variabel FS sebesar
46,344. Nilai kontribusi indikator FS5 terhadap variabel FS sebesar 55,324. Nilai
kontribusi indikator FS6 terhadap FS sebesar 31,715. Nilai kontribusi FS7
terhadap variabel FS sebesar 44,524. Nilai kontribusi FS8 terhadap variabel FS
sebesar 56,148. Nilai kontribusi variabel FS9 terhadap variabel FS sebesar 34,563.
FS8 memiliki nilai kontribusi terbesar terhadap variabel FS sedangkan FS3
memiliki nilai kontribusi terkecil.
d. Uji Hipotesis
Pengujian hipotesis penelitian dilakukan dengan menguji nilai T statistik
penelitian atau tingkat signifikansi dari penelitian. Kriteria untuk diterimanya
sebuah hipotesis yang diajukan dalam penelitian atau signifikan atau tidaknya
hasil penelitian adalah nilai T statistik harus lebih besar sama dengan 1,96. Hasil
pengujian hipotesis pada penelitian ini akan dilampirkan pada Tabel 4.18.

Tabel 4.18. Hasil Uji Hipotesis

90
Original T Statistics (| P
  Sample (O) O/STDEV|) Values
FL -> FRT 0.253 2.485 0.007
FL -> FS 0.564 14.786 0
FL -> FST -0.201 4.41 0
FRT -> FS -0.103 1.985 0.024
FST -> FS -0.207 4.899 0
FL -> FRT -> FS -0.026 2.025 0.022
FL -> FST -> FS 0.042 3.232 0.001

Tabel 4.18. menunjukkan nilai original sample variabel FL terhadap FRT


sebesar positif 0,253. Ini artinya variabel FL (financial literacy) memiliki
pengaruh positif terhadap variabel FRT (financial risk tolerance). Pengaruh
variabel FL terhadap FRT adalah signifikan dengan nilai T statistics 2,485 dan
nilai P values sebesar 0,007. Hal ini berarti hipotesis pertama yang mengatakan
bahwa financial literacy memiliki pengaruh yang positif terhadap financial risk
tolerance diterima.
Tabel 4.18. menunjukkan nilai original sample variabel FL terhadap FST
sebesar negatif 0,201. Ini artinya variabel FL (financial literacy) memiliki
pengaruh negatif terhadap variabel FST (financial stress). Pengaruh variabel FL
terhadap FRT adalah signifikan dengan nilai T statistics 4,41 dan nilai P values
sebesar 0. Hal ini berarti hipotesis kedua yang mengatakan bahwa financial
literacy memiliki pengaruh yang negatif terhadap financial stress diterima.
Tabel 4.18. menunjukkan nilai original sample variabel FL terhadap FS
sebesar positif 0,564. Ini artinya variabel FL (financial literacy) memiliki
pengaruh positif terhadap variabel FS (financial satisfaction). Pengaruh variabel
FL terhadap FS adalah signifikan dengan nilai T statistics 14,786 dan P values
sebesar 0. Hal ini berarti hipotesis ketiga yang mengatakan bahwa financial
literacy memiliki pengaruh yang positif terhadap financial satisfaction diterima.
Tabel 4.18. menunjukkan nilai original sample variabel FRT terhadap FS
sebesar negatif 0,103. Ini artinya variabel FRT (financial risk tolerance) memiliki
pengaruh negatif terhadap variabel FS (financial satisfaction). Pengaruh variabel
FRT terhadap FS adalah signifikan dengan nilai T statistics 1,985 dan P values

91
sebesar 0,024. Hal ini berarti hipotesis keempat yang mengatakan bahwa financial
risk tolerance memiliki pengaruh yang negatif terhadap financial satisfaction
diterima.
Tabel 4.18. menunjukkan nilai original sample variabel FST terhadap
variabel FS sebesar negatif 0,207. Ini artinya variabel FST (financial stress)
memiliki pengaruh yang negatif terhadap variabel FS (financial satisfaction).
Pengaruh variabel FST terhadap FS adalah signifikan dengan nilai T statistics
4,899 dan P values sebesar 0. Hal ini berarti hipotesis kelima yang mengatakan
bahwa financial stress memiliki pengaruh yang negatif terhadap financial
satisfaction diterima.
Tabel 4.18. menunjukkan nilai original sample variabel FL terhadap FS
melalui FRT sebesar negatif 0,026. Ini artinya variabel FL (financial literacy)
memiliki pengaruh yang negatif terhadap variabel FS (financial satisfaction)
melalui variabel FRT (financial risk tolerance). Pengaruh variabel FL terhadap FS
melalui FRT adalah signifikan dengan nilai T statistics 2,025 dan P values sebesar
0,022. Hal ini berarti hipotesis keenam yang mengatakan bahwa financial literacy
memiliki pengaruh yang negatif terhadap financial satisfaction melalui financial
risk tolerance diterima.
Tabel 4.18. menunjukkan nilai original sample variabel FL terhadap FS
melalui FST sebesar positif 0,042. Hal ini berarti variabel FL (financial literacy)
memiliki pengaruh positif terhadap variabel FS (financial satisfaction) melalui
variabel FST (financial stress). Pengaruh variabel FL terhadap FS melalui FST
adalah signifikan dengan nilai T statistics 3,232 dan P values sebesar 0,001. Hal
ini berarti hipotesis ketujuh yang berkata bahwa financial literacy memiliki
pengaruh yang positif terhadap financial satisfaction melalui financial stress
diterima.

92
D. PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan terhadap lima ratus responden yang merupakan dosen-
dosen di seluruh Indonesia. Hasil yang diterima dari penelitian ini menunjukkan
variabel independen (financial literacy) memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap variabel penengah (financial risk tolerance dan financial stress).
Variabel financial literacy juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
variabel dependen (financial satisfaction). Seluruh variabel penengah memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen.
Dari penelitian ini dapat dilihat bahwa indikator yang paling dominan
dalam mengukur variabel financial literacy adalah indikator FL5 (pemahaman
mengenai definisi dan teori keuangan). Indikator yang paling tidak dominan atau
paling kecil pengaruhnya dalam mengukur variabel financial literacy adalah
indikator FL3 (pemahaman mengenai definisi dan teori keuangan). FL3 dan FL5
masuk kedalam indikator financial literacy yang sama, akan tetapi masing-masing
pernyataan memberikan kontribusi yang berbeda dalam mengukur financial
literacy. FL3 secara spesifik mengukur tentang pengetahuan akan pengelolaan
atau manajemen keuangan dasar, sedangkan FL5 secara spesifik mengukur
tentang pengetahuan akan investasi. Hal ini berarti individu yang memiliki
pengetahuan akan manajemen keuangan dasar yang baik belum tentu memiliki
tingkat financial literacy nya tinggi, sedangkan individu yang memiliki
pengetahuan akan investasi sudah pasti memiliki tingkat financial literacy yang
baik. Pengetahuan akan manajemen keuangan dasar disini merujuk kepada
pengetahuan untuk seberapa besar dari penghasilan yang harus ditabung, dan
seberapa besar yang harus dibelanjakan.
Indikator yang paling dominan dalam mengukur financial risk tolerance
yang ditunjukkan dalam penelitian ini adalah indikator FRT2 (risk tolerance
index), sedangkan indikator yang paling tidak dominan atau kecil pengaruhnya
dalam mengukur financial risk tolerance adalah indikator FRT4 (risk tolerance
index). Walaupun FRT2 dan FRT4 merupakan indikator yang sama (risk
tolerance index), akan tetapi kedua pernyataan tersebut memberikan kontribusi
berbeda dalam mengukur financial risk tolerance. FRT2 secara spesifik mengukur

93
preferensi individu dalam mengalokasikan atau menyimpan uangnya, sedangkan
FRT4 secara spesifik mengukur pandangan individu terhadap investasi. Hal ini
berarti semakin seseorang memilih untuk mengalokasikan uangnya untuk
berinvestasi di pasar modal dibandingkan menabungnya di bank maka semakin
tinggi tingkati risk tolerance nya, sedangkan pandangan individu terhadap
investasi tidak menunjukkan tingkatan risk tolerance nya.
Dalam mengukur financial stress, indikator yang paling dominan adalah
indikator FST3 (kondisi keuangan). Indikator yang paling tidak dominan atau
memiliki pengaruh paling kecil dalam mengukur financial stress adalah indikator
FST1 (kemampuan finansial). Indikator yang paling dominan dalam mengukur
financial satisfaction adalah indikator FS8 (kemampuan pengelolaan finansial),
sedangkan indikator yang paling tidak dominan atau memiliki pengaruh paling
kecil adalah FS3 (kemampuan pengelolaan finansial). Walaupun FS8 dan FS3
merupakan indikator yang sama dalam mengukur financial satisfaction, namun
kedua pernyataan tersebut memberikan kontribusi yang berbeda dalam mengukur
financial satisfaction. Pernyataan FS3 secara spesifik mengukur kepuasan
individu akan kemampuannya memilih instrumen investasi atau pengetahuan akan
instrumen investasi. Pernyataan FS8 secara spesifik mengukur kepuasan individu
akan kemampuannya dalam perencanaan keuangan jangka panjang. Hal ini berarti
individu yang puas dengan kemampuannya dalam memilih instrumen investasi
belum tentu memiliki kepuasan finansial yang tinggi, sedangkan individu yang
puas akan kemampuannya dalam perencanaan keuangan sudah pasti memiliki
kepuasan finansial yang tinggi.
Penelitian ini menunjukkan bahwa variabel Financial Risk Tolerance
memiliki nilai reliabilitas Cronbach’s Alpha dan Composite Reliability dibawah
0,7. Ini berarti variabel Financial Risk Tolerance tidak reliabel. Hal ini berarti
metode pengukuran Financial Risk Tolerance akan memberikan hasil yang
berbeda jika dilakukan pengukuran ulang pada responden yang sama namun
diwaktu yang berbeda. Hal ini terjadi karena efek isolation. Seperti yang
dijelaskan sebelumnya bahwa dalam Expected Utility Theory, pengukuran
Financial Risk Tolerance dilakukan dengan menyebar kuisioner kepada

94
responden. Karena kuisioner tidak memberikan nuansa atau situasi yang
sesungguhnya dalam mengukur Financial Risk Tolerance (maksudnya para
responden tidak berhadapan langsung dengan kondisi yang tertera dalam setiap
butir pernyataan dalam kuesioner yang bersangkutan), maka jawaban responden
pada saat mengisi kuesioner bukan merupakan pilihan atau preferensi mereka
yang sesungguhnya. Maka untuk mendapatkan hasil yang reliabel, pengukuran
financial risk tolerance harus dilakukan dengan mengamati secara langsung
perilaku atau preferensi para responden ketika mereka berhadapan dengan pilihan
investasi secara real time (seperti yang dijelaskan pada Prospect Theory).
Meskipun variabel Financial Risk Tolerance tidak reliabel, namun hasil penelitian
ini tidak terpengaruh, mengingat indikator-indikator pengukuran variabel tersebut
valid.
Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat pengaruh yang positif dari
financial literacy terhadap financial risk tolerance. Hasil ini dapat dijelaskan oleh
teori prospect. Akar dari teori prospect adalah argumen dasar dari teori expected
utility yang mendasari teori prospect itu sendiri. Argumen dasar dari teori
expected utility mengatakan bahwa seseorang akan memilih pilihan yang paling
menguntungkan. Dalam teori prospect, individu menilai baik atau buruknya suatu
pilihan (dalam hal ini investasi) berdasarkan nilai dari prospek atau investasi.
Prospek atau investasi yang memiliki nilai paling besar akan menjadi pilihan
investasi yang paling menguntungkan. Untuk dapat mengetahui atau menghitung
nilai dari prospek atau investasi, maka seorang individu perlu memiliki tingkat
pengetahuan keuangan atau financial literacy yang tinggi.
Kaitannya dengan hasil penelitian adalah ketika melihat ada potensi
kerugian dalam suatu investasi, mereka yang tidak memiliki tingkat financial
literacy yang cukup tidak akan mau berinvestasi pada investasi tersebut karena
mereka tidak dapat mengukur nilai dari investasi tersebut, sedangkan mereka yang
memiliki tingkat financial literacy yang cukup tinggi akan mampu melihat nilai
prospek atau investasi dibalik potensi kerugian yang dimiliki oleh investasi
tersebut, alhasil mereka akan lebih mampu mentolerir tingkat risiko. Hasil ini juga

95
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nguyen et.al. (2016), Chatterjee
et.al. (2017), dan Irandoust (2017).
Nguyen et.al. (2016) mengatakan bahwa individu yang memiliki tingkat
financial literacy yang rendah akan menyebabkan individu tersebut untuk
berinvestasi pada instrumen keuangan yang memiliki risiko rendah. Pernyataan ini
mengindikasikan bahwa tingkat financial literacy akan mendikte tingkat financial
risk tolerance seseorang. Pernyataan financial literacy yang rendah akan
menyebabkan individu berinvestasi pada instrumen keuangan yang memiliki
risiko rendah menunjukkan bahwa semakin rendahnya tingkat financial literacy
maka akan semakin rendah juga tingkat financial risk tolerance.
Chatterjee et.al. (2017) mengatakan bahwa individu yang memiliki tingkat
financial risk tolerance yang tinggi memiliki jumlah tabungan yang cukup dan
dana pensiun yang cukup juga. Untuk dapat merencanakan atau menyediakan
dana pensiun memerlukan tingkat financial literacy yang baik. Jadi dari
pernyataan ini dapat dilihat bahwa individu yang memiliki tingkat financial risk
tolerance yang tinggi adalah individu yang memiliki tingkat financial literacy
yang baik. Dengan bahasa yang lebih sederhana, mereka yang memiliki tingkat
financial literacy akan lebih risk tolerant.
Irandoust (2017) mengatakan bahwa individu yang memiliki tingkat
pendidikan yang tinggi seperti sarjana akan menjadi lebih risk tolerant. Mereka
yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi memiliki kemungkinan lebih besar
untuk mereka mendapatkan ilmu pengelolaan keuangan atau memiliki
kemampuan atau pengetahuan keuangan yang baik dibanding mereka yang
berpendidikan rendah. Jadi bisa dikatakan bahwa mereka yang berpendidikan
tinggi akan memiliki tingkat financial literacy yang tinggi.
Hasil penelitian ini juga menemukan bahwa terdapat pengaruh negatif
antara financial literacy dengan financial stress. Financial stress merupakan suatu
keadaan yang terjadi ketika kebutuhan hidup tidak dapat terpenuhi lantaran
kekuatan finansial yang tidak kuat atau kondisi finansial yang buruk. Keadaan ini
dapat terjadi jika seseorang tidak mempunyai kemampuan dalam mengelola
keuangannya. Penjelasan ini sesuai dengan teori systemic stress dan teori

96
psychological stress. Teori systemic stress dan teori psychological stress
mengatakan bahwa setiap makhluk hidup akan mengalami stres jika stimulus yang
diterima sudah melebihi batas yang mampu ditahan oleh individu.
Setiap kebutuhan yang perlu dipenuhi oleh individu merupakan stimulus.
Stimulus disini merupakan sesuatu yang berpotensi untuk menimbulkan stres bagi
individu. Ketika stimulus atau kebutuhan-kebutuhan ini muncul, maka individu
akan memasuki tahapan pertama dalam teori systemic stress yaitu reaksi alarm.
Pada tahapan ini, individu mulai mengidentifikasi stimuli yang dihadapi yang
disebut dalam teori psychological stress sebagai appraisal. Setelah individu
berhadapan dengan stimulus maka selanjutnya individu akan mulai beradaptasi
dengan stimulus tersebut atau masuk ke fase kedua (stage of resistance) atau
dalam teori psychological stress disebut fase coping. Ketika stimulus yang
diterima mulai melebihi kemampuan individu untuk beradaptasi maka individu
akan masuk ke fase ketiga dan mengalami stres.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini adalah ketika stimulus yang
merupakan tuntutan hidup yang harus dipenuhi secara finansial muncul, individu
harus berusaha sedemikian rupa untuk mampu memenuhi tuntutan tersebut
(beradaptasi). Untuk seorang individu dapat beradaptasi dengan stimulus tersebut,
individu harus memiliki kemampuan finansial yang memadai. Kemampuan
finansial ini diperoleh dengan tingkat financial literacy yang tinggi. Jadi polanya
mulai terlihat disini. Individu yang tidak memiliki tingkat financial literacy akan
berada pada situasi dimana ia akan merasa kesulitan memenuhi tuntutannya
(beradaptasi dengan stimuli). Akhirnya individu akan mengalami financial stress.
Hasil penelitian ini senada dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Steen dan McKenzie (2013) dan Norman (2010). Steen dan McKenzie (2013)
mengatakan bahwa individu yang memiliki tingkat financial literacy yang rendah
memiliki tingkat financial stress yang tinggi. Hal ini dikarenakan individu yang
memiliki tingkat financial literacy yang rendah tidak memiliki perilaku keuangan
yang baik. Mereka tidak mengerti cara untuk mengelola keuangan mereka secara
tepat. Akhirnya mereka akan mengambil keputusan-keputusan keuangan yang
buruk sehingga mereka berada pada kondisi keuangan yang buruk. Alhasil mereka

97
mengalami financial stress. Hal yang senada juga diungkapkan oleh Norman
(2010).
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang
positif antara financial literacy terhadap financial satisfaction. Hal ini terjadi
karena dengan tingkat financial literacy yang tinggi seseorang akan mampu
mengelola harta mereka sedemikian rupa sehingga mereka mampu mencapai
kondisi keuangan yang sangat baik. Kondisi keuangan yang baik ini mampu
memenuhi seluruh kebutuhan hidup individu. Sesuai dengan teori kebutuhan
Maslow, individu akan mencapai kepuasan jika kebutuhannya dapat terpenuhi
seluruhnya. Terpenuhinya seluruh kebutuhan hidup seseorang diperlukan
kesejahteraan atau kekuatan finansial yang baik. Kesejahteraan atau kekuatan
finansial yang baik ini hanya dapat diperoleh melalui perilaku keuangan yang
baik. Perilaku keuangan yang baik ini tidak dapat diperoleh tanpa tingkat
financial literacy yang baik.
Hasil penelitian ini sesuai dengan teori self concordance. Dalam teori self
concordance, individu akan mencapai kepuasan jika tujuan yang telah mereka
tetapkan dapat terpenuhi. Kekayaan merupakan salah satu tujuan terbesar dalam
hidup setiap individu. Hal ini yang menjadi alasan mengapa setiap individu
bekerja keras. Namun, untuk memperoleh kekayaan tersebut bekerja saja tidak
cukup, akan tetapi diperlukan juga manajemen keuangan pribadi yang baik. Maka
dari itu financial literacy menjadi elemen penting dalam memperoleh kekayaan
yang menjadi tujuan hidup seseorang.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ali
et.al. (2015), Taft, et.al. (2013), dan Joo dan Grable (2004). Ali et.al. (2015)
mengatakan bahwa tingkat financial literacy akan mempengaruhi bagaimana
seorang individu merencanakan atau mengelola keuangannya. Individu yang
memiliki tingkat financial literacy yang baik akan mampu mengelola
keuangannya dengan baik, sehingga ia akan memiliki kekuatan finansial yang
cukup baik untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga individu
tersebut dapat mencapai kepuasan finansial yang lebih baik. Hal yang senada juga
diucapkan oleh Joo dan Grable (2004) dalam penelitian mereka.

98
Taft, et.al. (2013) menemukan bahwa individu yang memiliki tingkat
financial literacy yang baik akan memiliki tingkat financial wellness yang tinggi.
Individu dengan tingkat financial literacy yang tinggi juga memiliki tingkat
financial concern yang rendah. Mengingat bahwa individu akan mencapai
kepuasan finansial jika ia tidak memiliki kekuatiran finansial yang rendah dan
kesejahteraan finansial yang tinggi, maka secara tidak langsung penelitian Taft,
et.al. (2013) ini mengatakan bahwa tingkat financial literacy yang baik akan
membawa individu kepada tingkat financial satisfaction yang tinggi.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya pengaruh negatif dari
financial risk tolerance terhadap financial satisfaction. Jika dikaitkan dengan teori
prospect, maka ketika seseorang dihadapkan dengan pilihan investasi, ia akan
menghitung nilai masing-masing investasi. Setelah ia menghitung nilai masing-
masing investasi maka ia akan memilih investasi atau prospek yang memiliki nilai
tertinggi, karena prospek atau investasi dengan nilai tertinggi merupakan pilihan
yang paling menguntungkan. Dengan demikian seorang individu tersebut akan
memiliki ekspektasi yang besar. Namun ketika hasil investasi itu tidak sesuai
dengan yang diharapkan maka individu akan menjadi kurang puas.
Hasil penelitian ini juga berkaitan dengan teori self concordance. Teori
self concordance dimulai dengan penetapan tujuan yang dilanjutkan dengan upaya
untuk mencapai tujuan tersebut. Ini berarti sesuai dengan teori self concordance,
kepuasan akan tercapai hanya jika tujuan yang telah ditetapkan dapat terpenuhi.
Ketika individu telah menetapkan tujuan, maka ia akan melakukan sesuatu untuk
mencapai tujuan tersebut. Tujuan seseorang dalam berinvestasi adalah
mendapatkan keuntungan yang tinggi.
Dalam investasi dikenal dengan istilah high risk high return, dimana
investasi yang memiliki tingkat risiko yang tinggi memiliki potensi keuntungan
yang tinggi juga. Mengingat bahwa orang yang memiliki tingkat risk tolerance
yang cukup tinggi merupakan orang yang memiliki tingkat financial literacy yang
tinggi juga, maka mereka yang memiliki financial risk tolerance yang cukup
tinggi akan mengerti bahwa investasi yang memiliki tingkat risiko yang tinggi
memiliki potensi keuntungan yang tinggi juga. Jadi seorang individu yang

99
memutuskan untuk berinvestasi pada suatu prospek memiliki tujuan untuk
mendapatkan keuntungan yang terbesar yang dapat diberikan oleh prospek
tersebut. Maka ketika prospek tersebut gagal memberikan keuntungan terbesar
sesuai yang diharapkan, maka seseorang menjadi tidak puas secara finansial. Hasil
penelitian ini juga selaras dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Joo dan
Grable (2004) dan Seay et.al. (2015).
Joo dan Grable (2004) mengatakan bahwa individu yang memiliki risk
tolerance yang tinggi akan berinvestasi pada instrumen keuangan yang memiliki
tingkat risiko yang tinggi dan berharap akan mendapatkan hasil yang besar juga.
Kepuasan finansial individu yang memiliki risk tolerance yang tinggi akan
menjadi rendah jika hasil investasi tidak sesuai dari apa yang diharapkan oleh
individu tersebut. Individu yang memiliki tingkat risk tolerance yang tinggi juga
akan cenderung membandingkan kondisi keuangan mereka dengan ekspektasi
mereka. Ketika terjadi ketimpangan antara ekspektasi individu tersebut dengan
kondisi keuangannya secara nyata, individu yang memiliki tingkat risk tolerance
yang tinggi akan menjadi tidak puas secara finansial.
Seay et.al. (2015) menemukan bahwa individu akan memiliki tingkat
financial satisfaction yang rendah ketika ia memiliki mortgage. Untuk seseorang
dapat memiliki mortgage maka ia harus memiliki tingkat risk tolerance yang
tinggi mengingat mortgage memiliki risiko gagal bayar yang cukup tinggi. Jadi
disini terlihat polanya, individu yang memiliki mortgage memiliki tingkat risk
tolerance yang cukup tinggi dan individu yang memiliki tingkat financial
satisfaction yang lebih rendah relatif terhadap individu yang tidak memiliki
mortgage.
Hasil penelitian ini juga mengatakan bahwa financial stress memiliki
pengaruh negatif terhadap financial satisfaction. Hal ini logis mengingat financial
satisfaction merupakan keadaan dimana individu terbebas dari segala macam
kekuatiran finansial, sedangkan financial stress merupakan keadaan yang
sebaliknya. Sesuai dengan teori kebutuhan Maslow, seseorang akan merasa puas
hanya jika ia mampu memenuhi seluruh kebutuhannya. Seseorang berada dalam

100
kondisi financial stress tidak akan mampu memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya
karena ia tidak memiliki kekuatan finansial yang memadai untuk itu.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Joo
dan Grable (2004) dan Robb dan Woodyard (2016). Joo dan Grable (2004)
menemukan bahwa mereka yang memiliki tingkat financial stress yang tinggi
memiliki tingkat financial satisfaction yang rendah. Robb dan Woodyard (2016)
mengatakan bahwa tingkat financial strain yang semakin tinggi akan membuat
individu semakin tidak puas terhadap kondisi finansialnya.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa financial literacy memiliki
pengaruh yang negatif terhadap financial satisfaction melalui financial risk
tolerance. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa individu yang
memiliki tingkat financial literacy yang tinggi memiliki tingkat financial risk
tolerance yang tinggi juga. Sebelumnya juga dijelaskan bahwa financial risk
tolerance memiliki pengaruh negatif terhadap financial satisfaction. Individu
yang memiliki tingkat risk tolerance yang tinggi akan cenderung memiliki
kepuasan finansial yang rendah. Meskipun financial literacy berpengaruh secara
positif terhadap financial satisfaction, namun pengaruhnya terhadap financial risk
tolerance yang menyebabkan pengaruh negatif financial literacy terhadap
financial satisfaction.
Walaupun terdapat pengaruh dari Financial Literacy terhadap Financial
Satisfaction melalui Financial Risk Tolerance, akan tetapi nilai original sampel
variabel Financial Literacy terhadap Financial Satisfaction lebih besar
dibandingkan dengan nilai original sampel variabel Financial Literacy terhadap
Financial Satisfaction dengan Financial Risk Tolerance sebagai variabel
penengah. Hal ini berarti Financial Literacy memiliki pengaruh langsung terhadap
Financial Satisfaction yang lebih kuat dibandingkan dengan pengaruh Financial
Literacy terhadap Financial Satisfaction melalui Financial Risk Tolerance.
Dengan kata lain, pengaruh Financial Literacy terhadap Financial Satisfaction
sebenarnya tidak memerlukan Financial Risk Tolerance sebagai penengah.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa financial literacy memiliki
pengaruh yang positif terhadap financial satisfaction melalui financial stress.

101
Individu dengan tingkat financial literacy yang tinggi akan memiliki perilaku
keuangan dan kemampuan mengelola keuangan yang baik. Kemampuan
mengelola keuangan yang baik ini akan membawanya kepada kondisi keuangan
yang baik, sehingga ia terhindar dari financial stress. Ketika seseorang terhindar
dari financial stress maka ia akan merasa puas secara finansial, mengingat
financial stress merupakan keadaan dimana seseorang tidak mampu memenuhi
kebutuhan hidupnya, dan terhindar dari financial stress berarti seseorang mampu
memenuhi kebutuhan hidupnya.
Walaupun Financial Literacy memiliki pengaruh terhadap Financial
Satisfaction melalui Financial Stress, namun nilai original sampel variabel
Financial Literacy terhadap Financial Satisfaction lebih besar dibandingkan
dengan nilai original sampel variabel Financial Literacy terhadap Financial
Satisfaction dengan Financial Stress sebagai variabel penengah. Hal ini berarti
Financial Literacy memiliki pengaruh langsung terhadap Financial Satisfaction
yang lebih kuat dibandingkan dengan pengaruh Financial Literacy terhadap
Financial Satisfaction melalui Financial Stress. Dengan kata lain, Financial
Literacy tidak memerlukan Financial Stress untuk dapat mempengaruhi Financial
Satisfaction.

102
BAB V
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan hipotesis penelitian, uji statistic, dan pembahasan, maka dapat
disimpulkan sebagai jawaban dari masalah penelitian sebagai berikut :
1. Financial literacy memiliki pengaruh positif terhadap financial risk
tolerance pada dosen di Indonesia;
2. Financial literacy memiliki pengaruh negatif terhadap financial stress
pada dosen di Indonesia;
3. Financial literacy memiliki pengaruh positif terhadap financial
satisfaction pada dosen di Indonesia;
4. Financial risk tolerance memiliki pengaruh negatif terhadap financial
satisfaction pada dosen di Indonesia;
5. Financial stress memiliki pengaruh negatif terhadap financial satisfaction
pada dosen di Indonesia;
6. Financial literacy memiliki pengaruh negatif terhadap financial
satisfaction melalui financial risk tolerance pada dosen di Indonesia;
7. Financial literacy memiliki pengaruh positif terhadap financial
satisfaction melalui financial stress pada dosen di Indonesia;

B. SARAN
Untuk peneliti selanjutnya disarankan untuk :
1. memperluas sampel penelitian.
2. Menambah variabel dependen yang mempengaruhi financial satisfaction,
diantaranya financial behavior, financial knowledge, financial capability,
solvency, locus of control.

103
3. Menggunakan pendekatan lain dalam mengukur variabel financial risk
tolerance agar hasil yang diperoleh reliabel.
Melihat hasil penelitian ini, maka saran yang dapat diberikan untuk
pemerintah dalam mengatasi masalah kesejahteraan atau kemiskinan,
ketimpangan, dan penurunan daya beli adalah memperbaiki kualitas pendidikan
finansial masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan menambahkan pelajaran
manajemen keuangan dasar dan manajemen investasi dasar pada kurikulum
sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas.
Saran yang dapat diberikan kepada dosen-dosen yang menjadi subyek
penelitian ini untuk meningkatkan kepuasan finansial adalah menambah tingkat
financial literacy. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memperoleh pendidikan
finansial melalui seminar, buku, dan jurnal. Saran ini berlaku bagi dosen-dosen
non-ekonomi. Mengingat dosen-dosen ekonomi pasti telah mendapatkan tingkat
pendidikan finansial yang sangat tinggi.

104
DAFTAR PUSTAKA

Ajzeen, I. (1991). Theory of Planned Behavior. Organizational Behavior and


Human Decision Processes, 50(2), 179-211.
Ali, A., Rahman, M. A., & Bakar, A. (2015). Financial Satisfaction and the
Influence of Financial Literacy in Malaysia. Social Indicators Research,
120(1), 137-156.
Altaf, N. (2014). Measuring The Level of Financial Literacy Among Management
Graduates. abhinav-National Monthly Refereed Journal of Research in
Commerce & Management, 3(6), 29-36.
Atkinson, A. and F. Messy (2012), “Measuring Financial Literacy: Results of the
OECD / International Network on Financial Education (INFE) Pilot
Study”, OECD Working Papers on Finance, Insurance and Private
Pensions, No. 15, OECD Publishing, Paris.
Bandura, A. (1974). Behavior Theory and The Models of Man. American
Psychologist, 29(12), 859-869.
Bandura, A. (1977). Self Efficacy: Toward a Unifying Theory of Behavioral
Change. Psychological Review, 84(2), 191-215.
Bianco, C. A., & Bosco, S. M. (2011). Financial Literacy: What Are Business
Schools Teaching? Journal of Global Business Management, 7(1), 1-8.
Britt, S. L., Ammerman, D. A., Barre, S. F., & Jones, S. (2017). Student Loans,
Financial Stress, and College Student Retention. Journal of Student
Financial Aid, 47(1), 25-37.
Britt, S. L., Ammerman, D. A., Barrett, S. F., & Jones, S. (2017). Student Loans,
Financial Stress, and College Student Retention. Journal of Student
Financial Aid, 47(1), 25-37.

105
Callan, V., & Johnson, M. (2002). Some Guidelines for Financial Planner in
Measuring and Advising Clients About Their Levels of Risk Tolerance.
Journal of Personal Finance, 1, 31-44.
Chatterjee, S., Fan, L., Jacobs, B., & Haas, R. (2017). Risk Tolerance and Goals-
Based Savings Behavior of Households: The Role of Financial Literacy.
Journal of Personal Finance, 28, 1-28.
Cordell, D. M. (2001). RiskPACK: How to Evaluate Risk Tolerance. Journal of
Financial Planning, 14, 36-40.
Coskuner, S. (2016). Understanding Factors Affecting Financial Satisfaction: The
Influence of Financial Behavior, Financial Knowledge and Demographics.
Imperial Journal of Interdisciplinary Research, 2(5), 377-385.
Diener, E., Oishi, S., & Lucas, R. E. (2003). PERSONALITY, CULTURE, AND
SUBJECTIVE WELL-BEING: Emotional and Cognitive Evaluations of
Life. Annual Rev. Psychology, 54, 403-425.
Falahati, L., Sabri, M. F., & Paim, L. H. (2012). Assessment of a Model of
Financial Satisfaction Predictors: Examining the Mediate Effect of
Financial Behavior and Financial Strain. World Applied Sciences Journal,
20(2), 190-197.
Fernandes, D., Jr., J. G., & Netemeyer, R. G. (2014). Financial Literacy, Financial
Education, and Downstream Financial Behaviors. Management Science,
60(8), 1891-1883.
Festinger, L. (1954). A Theory of Social Comparison Processes. Human
Relations, 7(2), 1954.
Fishbein, M. (1980). Theory of Reasoned Action: Some applications and
implications. Nebraska Symposium on Motivation, 65-116.
Ghozali, H. I., & Latan, H. (2014). Partial Least Squares: Konsep, Teknik dan
Aplikasi Menggunakan Program SMARTPLS 3.0 Untuk Penelitian
Empiris. Semarang: Universitas Diponegoro.
Gilliam, J., Chatterjee, S., & Grable, J. E. (2010). Measuring the Perception of
Financial Risk Tolerance: A Tale of Two Measures. Journal of Financial
Counseling and Planning, 21(2), 40-53.

106
Grable, J. E. (2016). Financial Risk Tolerance. Handbook of Consumer Finance
Research, 19-31.
Hagenaars, A., & Vos, K. d. (1988). The Definition And Measurement Of
Poverty. The Journal of Human Resources, 23(2), 211.
Hanna, S. D., Gutter, M. S., & Fan, J. X. (2001). A Measure of Risk Tolerance
Based on Economic Theory. Financial Counseling and Planning, 12(2),
53-60.
Hastings, J. S., Madrian, B. C., & Skimmyhorn, W. L. (2012). Financial Literacy,
Financial Education, and Economic Outcomes. NBER Working Paper, No.
18412, NBER Publishing, Cambridge.
Heckman, S., Lim, H., & Montalto, C. (2014). Factors Related to Financial Stress
Among College Students. Journal of Financial Therapy, 5(1), 19-39.
Hox, J. J., & Boejie, H. R. (2005). Data Collection, Primary vs Secondary.
Encyclopedia of Social Measurement, 1, 593-599.
Huston, S. J. (2010). Measuring Financial Literacy. The Journal of Consumer
Affairs, 44(2), 296-316.
Huston, S. J. (2010). Measuring Financial Literacy. The Journal of Consumer
Affairs, 44(2), 296-316.
Irandoust, M. (2017). Factors Associated With Financial Risk Tolerance Based on
Proportional Odds Model: Evidence From Sweden. Journal of Financial
Counseling and Planning, 28(1), 155-164.
Joo, S.-h., & Grable, J. E. (2004). an Exploratory Framework of the Determinants
of Financial Satisfaction. Journal of Family and Economic Issues, 25(1),
162-171.
Kahneman, D., & Tversky, A. (1979). Prospect Theory: An Analysis of Decision
Under Risk. Econometrica, 47(2), 263-291.
Kirbis, I. S., Vehovec, M., & Galic, Z. (2017). Relationship between Financial
Satisfaction and Financial Literacy: Exploring Gender Differences. Drus.
Istraz Zagreb God, 26(2), 165-185.
Krohne, H. (2001). Stress and Coping Theories. The International Encyclopedia
of the Social and Behavioral Sciences, 22, 15163–15170.

107
Lazzeri, F. (2014). On Defining Behavior: Some Notes. Behavior and Philosophy,
42, 65-82.
Loewe, N., Bagherzadeh, M., Araya-Castillo, L., Thieme, C., & Batista-Foguet.
(2014). Life Domain Satisfactions as Predictors of Overall Life
Satisfaction Among Workers: Evidence from Chile. Social Indicators
Research, 118, 71-86.
Lusardi, A., & Mitchell, O. S. (2011). Financial Literacy and Retirement Planning
in the United States. NBER Working Paper, No. 17108, NBER Publishing,
Cambridge.
Lusardi, A., & Mitchell, O. S. (2013). The Economic Importance of Financial
Literacy: Theory and Evidence. NBER Working Paper, No. 18952, NBER
Publishing, Cambridge.
Malle, B. F., & Knobe, J. (1997). The Folk Concept of Intentionality. Journal of
Experimental Social Psychology, 33, 101-121.
Michalos, A. C. (1985). Multiple Discrepancies Theory. Social Indicators
Research, 16(4), 347-413.
Nguyen, L. T., Gallery, G., & Newton, C. (2016). The Influence of Financial Risk
Tolerance on Investment Decision-Making in a Financial Advice Context.
Australasian Accounting, Business and Finance Journal, 10(3), 3-22.
Norman, A. S. (2010). Importance of Financial Education in Making Informed
Decision on Spending. Journal of Economics and International Finance,
2(10), 199-207.
Northern, J., O'Brien, W. H., & Goetz, P. W. (2010). The development,
evaluation, and validation of a financial stress scale for undergraduate
students. Journal of College Student Development, 51(1), 79-92.
Organisation for Economic Co-Operation and Development .OECD. (2013).
Financial literacy
and inclusion: Results of OECD/INFE survey across countries and by
gender. OECD Centre, Paris, France.

108
Pauline, O. I. (2015). Assessing the Coping Strategies for Reducing Financial
Stress among Unemployed Graduates in Enugu State, Nigeria. European
Journal of Business and Management, 7(21), 87-92.
Pavot, W., Diener, E., Colvin, C. R., & Sandvik, E. (1991). Further Validation of
the Satisfaction With Life Scale: Evidence for the Cross- Method
Convergence of Well-Being Measures. Journal of Personality Assessment,
149-161.
Portich, A. C., Vieira, K. M., & Kirch, G. (2015). Determinants of Financial
Literacy: Analysis of the Influence of Socioeconomic and Demographic
Variables. Revista Contabilidade & Financas, 26(69), 362-377.
Potrich, A. C., Viera, K. M., & Kirch, G. (2015). Determinants of Financial
Literacy: Analysis of the Influence of Socioeconomic and Demographic
Variables. Revista Contabilidade & Financas, 26(69), 362-377.
Rahmawati, Kumar, M. D., Kambuaya, M., Jamil, F., & Muneer, S. (2015).
Determinants of the Risk Tolerance of Individual Investors. International
Journal of Economics and Financial Issues, 5, 373-378.
Roszkowski, M., Davey, G., & Grable, J. E. (2005). Insights from Psychology and
Psychometrics on Measuring Risk Tolerance. The Journal of Financial
Planning, 18(4), 66-75.
Saricam. (2015). Life Satisfaction: Testing a Structural Equation Model Based on
Authenticity and Subjective Happiness. Polish Psychological Bulletin,
46(2), 278-284.
Sass, S. A., Belbase, A., Cooperrider, T., & Ramos-Mercado, J. D. (2015). What
do Subjective Assessments of Financial Well-Being Reflect? CRR
Working Paper, No. 3, CRR Publishing, Boston.
Seay, M., Asebedo, S., Thompson, C., Stueve, C., & Russi, R. (2015). Mortgage
Holding and Financial Satisfaction in Retirement. Journal of Financial
Counseling and Planning, 26(2), 200-216.
Sharawat, A., & Sharawat, R. (2017). Application of Maslow's Hierarchy of
Needs in a Historical Context: Case Studies of Four Prominent Figures.
Psychology, 8, 939-954.

109
Sheldon, K. M., & Elliot, A. J. (1999). Goal Striving, Need Satisfaction, and
Longitudinal Well Being: The Self-Concordance Model. Journal of
Personality and Social Psychology, 76(3), 482-497.
Skinner, B. F. (1938). The Behavior of Organisms: an Experimental Analysis.
New York: Appleton Century Crofts.
Steen, A., & McKenzie, D. (2013). Financial Stress, Financial Literacy,
Counselling, and the Risk of Homelessness. Australian Accounting,
Business and Finance Journal, 7(3), 31-48.
Sugiyono. (2016). Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (Vol. 23).
Bandung: Alfabeta.
Taft, M. K., Hosein, Z. Z., & Mohammad, S. (2013). The Relation between
Financial Literacy, Financial Wellbeing and Financial Concerns.
International Journal of Business and Management , 8(11), 63-75.
Trana, A. T., & Paradi, J. C. (2011). Two-Stage Financial Risk Tolerance
Assessment Using Data Envelopment Analysis . Journal of Banking and
Finance Manuscript Draft, 8, 2-29.
Warren, J. R., Thomas, J. L., Okuyemi, K. S., Lindgren, B., & Ahluwalia, J. S.
(2010). Development and Validation of a Multidimensional Measure of
Stress Among African American Light Smokers. Journal of the National
Medical Association, 102(10), 890-897.
Weber, E. U., & Milliman, R. A. (1997). Perceived Risk Attitudes: Relating Risk
Perceptions to Risky Choice. Management Science, 43(2), 123-144.
Woodyard, A. S., & Robb, C. A. (2016). Consideration of Financial Satisfaction:
What Consumers Know, Feel and Do from a Financial Perspective.
Journal of Financial Therapy, 7(2), 41-61.
Worthington, A. (2013). Financial Literacy and Financial Literacy Programmes in
Australia. Journal of Financial Services Marketing, 18(3), 227-240.
Xiao, J. J., Chen, C., & Chen, F. (2013). Consumer Financial Capability and
Financial Satisfaction. Social Indicators Research, 113(3), 415-432.
Sumber Online:
Bisnis.Tempo.co. Sabtu, 9 September, 2017. Ketimpangan Ekonomi di Indonesia,

110
Menppenas: Ada Empat Penyebab. Retrieved. 28 November 2017.
Bisnis.Tempo.co. Senin, 17 Juli, 2017. Maret 2017, Jumlah Penduduk Miskin
Indonesia Capai 27,77 Juta. Retrieved. 27 November 2017.
Ekonomi.kompas.com. Kamis, 20 Juli, 2017. Tiga Strategi Pemerintah Entaskan
Kemiskinan. Retrieved. 27 November 2017.
Ekonomi.metrotvnews.com. Rabu, 2 Augustus, 2017. 80% Orang Indonesia
Belum Melek Finansial. Retrieved. 27 November 2017.
Ekonomi.metrotvnews.com. Rabu, 8 November, 2017. Sri Mulyani Sebut Ada
Anomali di Penurunan Daya Beli. Retrieved. 27 November 2017.
National.kompas.com. Kamis, 5 october, 2017. Bantah Jokowi, Fadli Zon Sebut
Penurunan Daya Beli Masyarakat Bukan Hoax. Retrieved. 27 November
2017.
National.kompas.com. Rabu, 10 october, 2017. Survei Tunjukkan Hidup
Masyarakat Makin Sulit, Jokowi Jadikan Masukan. Retrieved. 27
November 2017.
Https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1116. Retrieved. 28 November
2017.
Http://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/siaran-pers/Documents/Pages/Siaran-
Pers-OJK-Indeks-Literasi-dan-Inklusi-Keuangan
Meningkat/17.01.23%20Tayangan%20%20Presscon
%20%20nett.compressed.pdf. Retrieved. 27 November 2017.
www.tribunnews.com. Selasa, 1 Augustus, 2017. Pembangunan Infrastruktur
Berkontribusi Mengurangi Angka Kemiskinan. Retrieved. 27 November
2017.

111
LAMPIRAN 1

LAMPIRAN
Lampiran 1. Kuesioner
PENGARUH FINANCIAL ATTITUDE DAN FINANCIAL
KNOWLEDGE TERHADAP INVESTMENT DECISION DENGAN
FINANCIAL BEHAVIOUR SEBAGAI MEDIASI PADA DOSEN DI
SELURUH INDONESIA.

Kepada Yth. Bapak/Ibu


Dosen PTS dan PTN
Diseluruh Indonesia.
Dengan hormat
Perkenalkan saya mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanagara yang
sedang menyelesaikan tugas akhir kuliah dengan responden dosen PTS dan PTN
di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, dengan hormat saya memohon bantuan
bapak/ibu untuk bersedia mengisi kuesioner ini. Kuesioner ini adalah bagian dari
penelitian saya untuk menyelesaikan tugas akhir perkuliahan. Seluruh jawaban
kuesioner yang bapak/ibu berikan akan saya jaga kerahasianya. Kami berharap
kuesioner ini dapat kembali disebarluaskan kepada rekan-rekan sesama dosen
yang dapat bapak/ibu hubungi. Terimakasih atas kebaikan dan waktu yang
bapak/ibu sediakan.
Jakarta, Oktober 2017

112
Enrico Hendro

Deskripsi Responden

1. Jenis Kelamin : a. Laki-Laki b. Perempuan

2. Usia : a. 20-30 tahun b. 31-40 tahun

c. 41-50 tahun d. > 50 tahun

3. Jenjang jabatan : a. Tidak ada atau Asisten ahli b.Lector


c. Lector Kepala d. Guru Besar
4. Masa kerja : a. <5 tahun b. 5-10 tahun
c. 10-20 tahun d. >20 tahun
5. Kelompok penghasilan : a. <5 juta b. 5 jt–10 jt
c. 11 juta – 15 juta d. > 15 juta
6. No. Kepegawaian : a. Yayasan b.NIDN
c. NIDK d. PNS
7. Pendidikan terakhir : a. S1 b. S2
c. S3
8. Wilayah Kopertis : ………………………….

Financial Literacy
Pada skala dari 1 sampai 5, di mana 1 berarti sangat tidak setuju dan 5 berarti
sangat setuju

No. Pernyataan STS TS R S SS


1 Saya mampu membedakan pilihan-pilihan
instrumen keuangan dengan baik
2 Saya mampu membahas isu-isu keuangan
dengan baik
3 Saya memahami tentang cara mengelola
keuangan saya

113
4 Saya mampu membuat pilihan-pilihan
instrumen keuangan yang tepat
5 Saya mampu mengenali investasi pada
instrumen keuangan dengan baik
6 Saya memiliki sumber yang tepat untuk
berkonsultasi ketika membuat keputusan
keuangan

Financial Risk Tolerance


Pada skala dari 1 sampai 5, di mana 1 berarti sangat tidak setuju dan 5 berarti
sangat setuju

No. Pernyataan STS TS R S SS


1 Menurut saya, dalam berinvestasi, Return
(hasil) lebih penting dari pada keamanan
investasi.
2
Saya merasa lebih baik menginvestasikan
uang di pasar modal dari pada menabung di
bank.
3 Ketika saya mendengar kata risiko, saya
mengasumsikannya sebagai kesempatan
meraih keuntungan yang besar.
4 Menurut saya, berinvestasi pada surat
berharga semua berdasarkan nasib

Financial Stress
Pada skala dari 1 sampai 5, di mana 1 berarti sangat tidak setuju dan 5 berarti
sangat setuju

No Pernyataan ST
TS R S SS
. S

1 Saya memiliki masalah dengan cicilan


bulanan

114
2 Saya memiliki masalah dengan biaya
kesehatan
3 Saya merasa tertekan dengan kondisi
keuangan saya secara umum
4 Saya merasa khawatir tidak mampu
membayar pengeluaran bulanan saya
5 Saya merasa tertekan tengan tagihan kredit
saya
6 Saya merasa tertekan dengan jumlah hutang
yang saya miliki

Financial Satisfaction
Pada skala dari 1 sampai 5, di mana 1 berarti sangat tidak setuju dan 5 berarti
sangat setuju

No Pernyataan
STS TS R S SS
.

1 Saya merasa puas dengan jumlah hutang


saya saat ini
2 Saya merasa puas dengan kemampuan saya
dalam memenuhi kewajiban hutang saya
3 Saya merasa puas dengan pilihan investasi
saya saat ini
4 Saya merasa puas dengan tingkat
pengetahuan keuangan yang saya miliki
5 Saya merasa puas dengan kemampuan saya
membahas masalah keuangan saya
6 Saya merasa puas dengan jumlah uang yang

115
dapat saya tabung secara berkala
7 Saya merasa puas dengan jumlah uang yang
mampu saya investasikan secara berkala
8 Saya merasa puas dengan perencanaan
keuangan saya untuk masa depan
9 Saya merasa puas dengan kondisi keuangan
saya

Lampiran 2

Statistik Deskripstif

Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Frekuensi Persentase
Laki-laki 230 46%
Perempuan 270 54%
Total 500 100%

Usia
Usia Frekuensi Persentase
20-30 101 20%
31-40 164 33%
41-50 142 28%
>50 93 19%
Total 500 100% Tingkat Pendidikan
Pendidikan Frekuensi Persentase
S1 8 2%
S2 364 73%
S3 128 25%

116
Total 500 100%

Jabatan
Jabatan Frekuensi Persentase
Lektor 161 32%
Lektor kepala 91 18%
Tidak ada / 235 47%
assisten ahli
Guru Besar 13 3%
Total 500 100%

Masa Kerja
Masa Kerja Frekuensi Persentase
<5 169 34%
5-10 103 21%
10-20 117 23%
>20 111 22%
Total 500 100%

No. Kepegawaian
No. Frekuensi Persentase
Kepegawaian
Yayasan 78 16%
NIDN 337 67%
NIDK 16 3%
PNS 69 14%
Total 500 100%

117
Penghasilan
Penghasilan Frekuensi Persentase
< 5 juta 213 43 %
5 juta - 10 juta 160 32 %
11 juta – 15 76 15 %
juta
> 15 juta 51 10 %
Total 500 100 %

Wilayah Kopertis
Kopertis Jumlah Persentase (%)
1 20 4%
2 32 6,4%
3 109 21,8%
4 87 17,4%
5 23 4,6%
6 67 13,4%
7 52 10,4%
8 7 1,4%
9 29 5,8%
10 21 4,2%
11 6 1,2%
12 5 1%
13 5 1%
14 4 0,8%
Lain-lain 33 6,6%

Total 500 100%

118
Lampiran 3
Pengujian PLS
Uji Convergent Validity
Indikator FL FRT FS FST
FL1 0.852      
FL2 0.862      
FL3 0.796      
FL4 0.889      
FL5 0.912      
FL6 0.768      
FRT2   0.724    
FRT3   0.665    
FRT4   -0.589    
FS1     0.303  
FS2     0.468  
FS3     0.699  
FS4     0.847  
FS5     0.865  
FS6     0.82  
FS7     0.847  
FS8     0.865  
FS9     0.794  
FST1       0.785
FST2       0.784
FST3       0.865
FST4       0.855
FST5       0.817
FST6       0.812
FRT1   -0.009    

119
Uji Convergent Validity 2

 Indikator FL FRT FS FST


FL1 0.852      
FL2 0.862      
FL3 0.795      
FL4 0.889      
FL5 0.913      
FL6 0.768      
FRT2   0.762    
FRT3   0.702    
FRT4   -0.548    
FS3     0.684  
FS4     0.851  
FS5     0.869  
FS6     0.828  
FS7     0.854  
FS8     0.876  
FS9     0.798  
FST1       0.785
FST2       0.783
FST3       0.866
FST4       0.855
FST5       0.817
FST6       0.812

Uji Convergent Discriminant

Indikator FL FRT FS FST


FL1 0.852 0.225 0.468 -0.219
FL2 0.862 0.276 0.472 -0.13
FL3 0.795 0.11 0.489 -0.225

120
FL4 0.889 0.178 0.537 -0.194
FL5 0.913 0.264 0.515 -0.156
FL6 0.768 0.23 0.464 -0.097
FRT2 0.189 0.762 -0.005 0.083
FRT3 0.169 0.702 0.017 0.025
FRT4 -0.152 -0.548 -0.075 0.134
FS3 0.43 0.072 0.684 -0.235
FS4 0.551 0.044 0.851 -0.2
FS5 0.582 0.05 0.869 -0.223
FS6 0.365 -0.069 0.828 -0.276
FS7 0.475 0.079 0.854 -0.279
FS8 0.493 0.054 0.876 -0.295
FS9 0.409 -0.014 0.798 -0.356
FST1 -0.16 0.014 -0.253 0.785
FST2 -0.119 0.035 -0.275 0.783
FST3 -0.206 -0.021 -0.327 0.866
FST4 -0.192 -0.036 -0.254 0.855
FST5 -0.126 -0.02 -0.186 0.817
FST6 -0.165 0.003 -0.244 0.812

Uji Reliabilitas

Variabel Cronbach's Alpha Composite Reliability


FL 0.921 0.939
FRT 0.174 0.341
FS 0.921 0.937
FST 0.903 0.925

Uji R Square

R
Variabel  Square
FLFRT 0.064
FL,FST,FRT
FS 0.389
FLFST 0.04

Uji F Dengan NFI

  Saturated

121
Model
NFI 0.831

Uji Hipotesis

Original T Statistics (| P
  Sample (O) O/STDEV|) Values
FL -> FRT 0.253 2.485 0.007
FL -> FS 0.564 14.786 0
FL -> FST -0.201 4.41 0
FRT -> FS -0.103 1.985 0.024
FST -> FS -0.207 4.899 0
FL -> FRT -> FS -0.026 2.025 0.022
FL -> FST -> FS 0.042 3.232 0.001

122

Anda mungkin juga menyukai