Anda di halaman 1dari 2

Nama : Laras Rasmawati

NIM : 043567192

Program Studi : 72/Ilmu Komunikasi

Jawaban Tugas 1 Sistem Hukum Indonesia

1. Mengapa dalam UU No. 10 Tahun 2004, Ketetapan MPR tidak dicantumkan sebagai salah satu
sumber hukum?

Alasan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-


undangan tidak mencantumkan MPR sebagai salah satu sumber hukum dikarenakan telah diuraikan
bahwa ketetapan MPR tidak masuk dalam jenis dan hierarki peraturan perundang- undangan. Hal ini
bisa dibuktikan dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2004 disebutkan jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan di mana di dalamnya tidak termasuk Ketetapan MPR. Namun
meskipun begitu, di dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 MPR tetap memiliki kekuatan hukum mengikat
berdasarkan Tap MPR Nomor I/MPR/2003 yang diakui berdasarkan Aturan Peralihan dan Aturan
Tambahan UUD 1945.

Dalam UU No.10 Tahun 2004 MPR tidak lagi memiliki kewenangan untuk menetapkan
ketentuan yang bersifat mengatur (regeling). Setidaknya terdapat 2 (dua) alasan yang melatar
belakanginya, Pertama, perubahan UUD 1945 membawa konsekunsi kewenangan MPR yang tidak
lagi dapat membuat ketentuan yang mengatur, kecuali yang bersifat kedalam organ MPR
sendiri. Kedua, MPR merupakan lembaga yang dapat dikatakan exist ketika menjalankan fungsi dan
kewenangan yang diberikan oleh UUD. Dan kewenangan untuk membentuk UU, tidak lagi tertuang
dalam UUD pasca amandemen.

2. Apa problematika hukum dengan dicantumkannya kembali Ketetapan MPR sebagai salah satu
sumber hukum dalam UU No. 12 Tahun 2011?

Problematika yang muncul karena dicantumkannya Kembali ketetapan MPR sebagai salah
satu sumber hukum dalam UU No.12 Tahun 2011 yaitu timbulnya pertentangan antara Ketentuan
Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 dengan Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011.
Ketentuan Pasal 4 Tap MPR Nomor I/MPR/2003 menyatakan bahwa beberapa Ketetapan MPR masih
tetap berlaku sampai dengan terbentuknya UU. Di sisi lain, Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011
menempatkan Ketetapan MPR di atas UU yang dari sisi hirarki hukum mengandung konsekuensi
bahwa produk hukum UU tidak boleh bertentangan dengan Ketetapan MPR, konsekuensinya produk
hukum UU tidak dapat menyatakan ketentuan yang lebih tinggi tidak berlaku. Ketentuan ini tentu
bertentangan dengan Pasal 4 Tap MPR Nomor I/MPR/2003 yang menyatakan bahwa terdapat
ketetapan MPR yang akan menjadi tidak berlaku jika sudah diatur dalam UU.

Pertentangan ini juga membawa konsekuensi kepada persoalan kemungkinan pengujian


Ketetapan MPR. Masuknya Ketetapan MPR sebagai jenis produk hukum di bawah UUD 1945
menimbulkan pertanyaan bagaimana jika terdapat ketentuan dalam Ketetapan MPR yang dinilai
bertentangan dengan UUD 1945, padahal MPR sudah tidak lagi memiliki wewenang untuk
membentuk Tap MPR yang mencabut atau mengubahnya. MK tentu diragukan kewenangannya
untuk menguji Ketetapan MPR karena Ketetapan MPR bukan Undang-Undang dan kedudukannya
berada di atas UU.

Pengujian terhadap MPR terhadap UUD maupun UU terhadap MPR sebagai konsekuensi
hierarki perundang-undangan yang diatur dalam 7 ayat (1) huruf b Undang-udang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tidak memiliki landasan mekanisme
atau ketentuan pengujian. Mahkamah Konstitusi tidak serta merta dapat menguji TAP MPR, kecuali
TAP MPR yang berdasarkan ketentuan Pasal 4 TAP MPR Nomor I/MPR/2003, yang dipersamakan
dengan produk Undang-undang.

Sumber Referensi :

- BMP ISIP4131
- Kedudukan-TAP-MPR-Dalam-Sistem-Perundang-Undangan-Indonesia.pdf (herdi.web.id)
- KEDUDUKAN-KETETAPAN-MPR.pdf (ub.ac.id)
- J.D.I.H. - Dewan Perwakilan Rakyat (dpr.go.id)
- HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA ; UU NO 10 TAHUN 2004 –
generalleand (wordpress.com)

Anda mungkin juga menyukai