Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN

Fraktur Femur
Nindya Fajriyati Utami, 1506689881
Mahasiswi Profesi, Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia

I. Anatomi Fisiologi Sistem Muskuloskeletal (Tulang Femur)


Sistem muskuloskeletal merupakan sistem tubuh terbesar kedua yang ada pada
tubuh. Pada sistem ini berbagai macam cedera (injuri) ataupun penyakit dapat terjadi.
Kedua hal tersebut dapat memberikan dampak pada tulang, jaringan lunak ataupun
keduanya. Salah satu permasalahan yang dapat terjadi pada sistem muskuloskeletal
adalah fraktur. Fraktur adalah diskontinuitas total atau sebagian dari struktur tulang.
Sebagian besar fraktur terjadi akibat adanya cedera traumatis. Meskipun demikian,
fraktur juga dapat terjadi sebagai dampak sekunder dari proses penyakit, seperti
fraktur patologis akibat kanker ataupun karena adanya pengeroposan tulang
(osteoporosis) (Lewis & Dirksen, 2014).
Tulang femur merupakan tulang terpanjang, terberat, dan terkuat dalam tubuh.
Tulang femur merupakan bagian dari tulang yang membentuk sistem ekstremitas
bawah. Ekstremitas bawah berperan sebagai lokomotor dan penyokong (support).
Bagian proksimal tulang femur yaitu bagian kepala menyambung dengan bagian
acetabulum tulang panggul dan membentuk sendi panggul. Sedangkan bagian distal
menyambung dengan tulang tibia dan membentuk sendi lutut (Tortora & Derrickson,
2014)
Tulang femur termasuk jenis tulang panjang yang tersusun dari tulang padat
dan tulang spons (Tortora & Derrickson, 2014). Terdapat jaringan ikat red bone
marrow pada tulang femur yang berfungsi memproduksi sel darah termasuk sel darah
merah, sel darah putih, dan trombosit. Selain itu terdapat pula yellow bone marrow
yang berfungsi sebagai tempat penyimpangan trigliserida sebagai cadangan energi.
Sama seperti tulang lain, jaringan tulang femur memiliki empat jenis sel tulang yaitu
osteprogenitor, osteoblas, osteosit, dan osteoklas (Tortora & Derrickson, 2014):

a. Osteprogenitor sebagai sel induk tulang yang berkembang menjadi osteoblas. Sel
osteoprogenitor ditemukan di sepanjang bagian dalam periosteum, di endosteum,
dan di saluran dalam tulang yang mengandung pembuluh darah.
b. Osteoblas yaitu sel tulang yang mensintesis kolagen dan komponen lain yang
berguna untuk pembentukan tulang pada proses kalsifikasi. Sel osteoblas berada
dalam matriks ekstraseluler dan terjebak didalam bersama hasil sekresinya
sehingga membentuk osteosit.
c. Osteosit adalah sel tulang yang menjalankan fungsi metabolisme.
d. Osteoklas yaitu sel tulang yang dihasilkan dari perpaduan monosit dan terdapat di
endosteum. Sel ini berfungsi dalam resorpsi (pemecahan matriks ekstraseluler
tulang) sebagai proses pemeliharaan dan perbaikan tulang.

II. Definisi
Fraktur femur yaitu adalah gangguan kontinuitas tulang femur baik secara lengkap
maupun tidak lengkap (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010). Sama seperti jenis fraktur
lain, fraktur femur dapat dibedakan menjadi beberapa klasifikasi bergantung dari lokasi, garis
patah, dan tipe fraktur.
a. Berdasarkan tipe (Grossman & Porth, 2014)
● Fraktur terbuka yaitu jika terdapat fragmen tulang yang menembus ke kulit
● Fraktur tertutup jika tidak terdapat bagian tulang yang menembus
b. Berdasarkan garis patah (Smeltzer et al., 2010)
● Comminuted: Fraktur pada tulang sehingga menyebabkan fragmen terpisah dalam
berbagai serpihan
● Transverse: Fraktur dengan arah melintang pada tulang
● Oblique: Fraktur dengan garis patah membentuk sudut terhadap poros tulang
● Spiral: Fraktur dengan garis patah membentuk spiral
● Segmental: Fraktur dengan garis patah lebih dari satu

Fraktur femur juga dapat dibedakan berdasarkan bagian femur yang mengalami
fraktur. Fraktur femur yang paling sering yaitu fraktur pada bagian leher femur, fraktur
bagian intertrochanteric, fraktur subterochanteric, dan fraktur shaft femur (Solomon,
Warwick, & Nayagam, 2010). Selain itu terdapat fraktur femur juga dapat terjadi pada area
supracondylar, dan condylar (Smeltzer et al., 2010).

III. Etiologi
Fraktur femur dapat disebakan karena jatuh, kecelakaan lalu lintas, dan kasus
kekerasan. Fraktur jenis spiral biasanya disebabkan karena jatuh dengan posisi duduk.
Sedangkan fraktur jenis transversal dan oblique dapat disebabkan karena kecelakaan lalu
lintas dan kasus kekerasan (Solomon et al., 2010). Fraktur juga dapat diklasifikasikan sebagai
fraktur patologis. Fraktur patologis dapat disebabkan oleh penyakit tulang seperti
osteoporosis, kanker tulang yang telah bermetastasis, malnutrisi, konsumsi minuman bersoda
hingga konsumsi obat-obatan HIV dan endometriosis yang efek sampingnya dapat
menurunkan densitas tulang William & Hopper, 2014).

IV. Manifestasi Klinis


Fraktur femur ditandai dengan adanya bengkak, perdarahan, dan deformitas kaki.
Selain itu pasien yang mengalami fraktur femur juga mengeluh nyeri saat kaki digerakkan
(Solomon et al., 2010).
V. Patofisiologi
Fraktur pada tulang femur menyebabkan pergeseran fragmen tulang. Selain itu terjadi
juga spasme otot yang juga menarik fragmen tulang dari garis posisi anatomis tulang.
Pergerseran fragmen tulang tersebut menyebabkan deformitas dan mengganggu fungsi
tulang sebagai alat gerak. Adanya cedera otot atau tendon juga menyebabkan kelemahan pada
area fraktur. Terjadinya perdarahan dapat disebabkan karena cedera jaringan lunak atau
cedera pada tulang yang mengalami fraktur. Pada tulang besar yang juga memproduksi sel
darah, perdarahan dapat menyebabkan tubuh kekurangan cairan dan berakibat syok
hipovolemik. Selain itu terjadi pula proses peradangan yang menyebabkan vasodilatasi,
edema, nyeri, dan infiltrasi sel darah putih.

VI. Komplikasi
1. Komplikasi Awal
a. Syok
Femur merupakan tulang besar yang dilalui pembuluh darah besar. Selain itu, pada
tulang femur juga terdapat red bone marrow yang berfungsi memproduksi sel
darah, sehingga jika terjadi fraktur pada tulang femur, pasien rentan kehilangan
darah yang banyak. Perkiraan perdarahan akibat fraktur femur yaitu 1000 – 1500
ml. Hal tersebut menyebabkan pasien rentan mengalami syok hipovolemik
(Solomon et al., 2010).
b. Fat Embolism dan ARDS
Yellow bone marrow pada tulang panjang termasuk tulang femur menyimpan sel-sel
lemak. Saat terjadi fraktur, sel lemak tersebut dapat masuk ke aliran darah dan
akhirnya menyumbat pembuluh darah. Jika sumbatan tersebut terjadi di paru, maka
akan terjadi acute respiratory distress syndrome (ARDS). Gejala yang timbul pada
pasien dengan distres pernapasan yaitu napas pendek, lemas, peningkatan suhu dan
nadi, serta abnormal pada hasil nilai gas darah (Solomon et al., 2010).
c. Tromboembolism
Komplikasi ini disebabkan karena penggunaan traksi yang lama (Solomon et al.,
2010). Oleh sebab itu penting dilakukan rentang pergerakan sendi untuk mencegah
terbentuknya trombus.
d. Sindrom kompartemen
Sindrom kompartemen yaitu peningkatan tekanan di kompartemen otot yang
menyebabkan tertekannya pembuluh darah, saraf, dan otot. Hal ini disebabkan oleh
perdarahan atau tekanan dari luar seperti gips dan pembebatan yang terlalu kuat.
Sindrom kompartemen menyebabkan tergangggunya sirkulasi yang semakin lama
membuat saraf dan sel otot menjadi mati.
e. Infeksi
Infeksi dapat terjadi pada fraktur terbuka atau pemasangan fiksasi internal. Oleh
sebab itu pasien diberika antibiotik sebagai terapi profilaksis (Solomon et al., 2010).
2. Komplikasi Lanjutan
a. Delayed union dan non-union
Delayed union merupakan kegagalan fraktur menyambung sesuai dengan waktu
yang biasa dibutuhkan. Waktu dari penyambungan fraktur dapat berbeda-beda
sesaui lokasi dan jenis fraktur. Sedangkan non-union yaitu kegagalan tulang
menyambung setelah 6 bulan (Solomon et al., 2010). Kedua hal ini disebabkan
karena kurangnya peredaran darah pada area fraktur. Revisi prosedur biasanya
dilakukan jika terjadi delayed union atau non-union.
b. Malunion
Malunion yaitu penyambungan tulang fraktur yang tidak sesuai atau mengalami
deformitas. Angulasi deformitas kurang dari 15 derajat dapat dianggap baik dan
tidak memerlukan koreksi (Solomon et al., 2010).
c. Kekakuan sendi
Kekakuan sendi dapat terjadi akibat fraktur femur akibat adanya luka pada sendi
atau karena adhesi jaringan lunak selama pengobatan. Hal tersebut dapat dicegah
dengan dilakukan fisioterapi awal dan evaluasi ulang (Solomon et al., 2010).
d. Refraktur dan kegagalan implan
Penatalaksanaan fiksasi internal biasanya menyebabkan pembentukan callus
menjadi lambat dan tipis. Selain itu pada delayed union atau non-union, integritas
tulang femur menjadi lemah dan bergantung pada implan, sehingga semakin lama
akan menyebabkan kegagalan implan (Solomon et al., 2010).

VII. Pengkajian
1. Anamnesa
a. Penyebab terjadinya fraktur
b. Keluhan yang dirasakan
c. Pemeriksaan nyeri
i. Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor
presipitasi nyeri.
ii. Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien.
Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
iii. Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
iv. Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.
v. Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari.
d. Penanganan yang telah dilakukan
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik awal pada fraktur yaitu melihat adanya tanda sebagai berikut:
a. Pain yaitu adanya rasa sakit
b. Paloor yaitu pucat atau adanya perubahan warna
c. Paralysis yaitu kelumpuhan atau ketidakmampuan untuk bergerak
d. Paresthesia yaitu kesemutan
e. Pulselessness yaitu tidak adanya denyut nadi di area sekitar fraktur
3. Pemeriksaan Penunjang
1. Fraktur femur dapat dilihat melalui hasil X-ray. Pemeriksaan tersebut dapat pula
menggambarkan jenis fraktur femur, serta bagian femur yang mengalami fraktur
2. Pemeriksaan hitung darah lengkap diperlukan untuk melihat nilai Hb, eritrosit,
dan sel darah lain. Nilai Hb mungkin menurun akibat adanya perdarahan,
sedangkan jumlah sel darah putih meningkat sebagai respons inflamasi setelah
trauma
3. Profil koagulasi, yaitu perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi
multiple, atau cedera hati.

VIII. Diagnosa Keperawatan (Herdman & Kamitsuru, 2014)


1. Gangguan integritas jaringan 5. Ketidakefektivan perfusi jaringan
2. Nyeri akut perifer
3. Resiko defisit volume cairan 6. Gangguan mobilitas fisik
4. Resiko syok 7. Ansietas

IX. Penatalaksanaan
Penatalaksanaa fraktur femur sama seperti fraktur lain, namun bergantung dengan
jenis dan lokasi fraktur. Tujuan utama penatalaksanaan fraktur yaitu untuk meluruskan
kembali tulang yang fraktur, menjaga posisi tulang tetap normal, memulihkan fungsi tulang
yang patah, dan mencegah komplikasi (White, Duncan, & Baumle, 2013). Berikut merupakan
penatalaksaan fraktur:
 Perdarahan
Pada kegawatdaruratan, dilakukan penghentian perdarahan dengan balut tekan, dan
menstabilkan tulang yang patah. Selain itu dilakukan pula penggantian cairan dan darah, serta
penatalaksanaan untuk mengurangi nyeri pasien.
 Rekognisi/pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya. Hal yang
dilakukan adalah mengkaji riwayat kecelakaan, parah tidaknya luka, deskripsi kejadian oleh
pasien, menentukan kemungkinan tulang yang patah, serta adanya krepitasi.
 Reduksi/manipulasi/reposisi
Reduksi atau manipulasi adalah upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimum.
 Retensi/immobilisasi
Retensi atau immobilisasi merupakan upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang
sehingga kembali seperti semula secara optimum. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang
harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi
eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator
eksterna. Sedangkan untuk fiksasi interna dapat digunakan implan logam yang berperan
sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur. Fiksasi eksterna ataupun interna
biasanya dikenal dengan pemasangan OREF (Open Reduction and External Fixation) dan
ORIF (Open Reduction and Internal Fixation). Pada fraktur femur dapat dilakukan fiksasi
internal dengan dengan fleksibel nailing (a), trochanteric entry-point rigid nails (b), plates
dan screws (c), atau dapat juga dilakuakn fiksasi eksternal dengan traksi dan bidai (Solomon
et al., 2010).

Gambar 3: Fiksasi Internal pada Fraktur Femur


Sumber gambar: Solomon et al., 2010

 Rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan tindakan untuk menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi.
Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan
meningkatkan peredaran darah.

X. Rencana Asuhan Keperawatan


Diagnosis Keperawatan Kriteria Hasil Intervensi

Nyeri Nyeri akut b.d gerakan ● Klien menyatakan nyeri berkurang/ ● Pertahankan imobilisasi pada bagian yang sakit dengan
fragmen tulang dan cedera hilang melakukan tirah baring, penggunaan gips, pembebat atau
jaringan lunak ● Klien menunjukkan perilaku yang traksi.
tenang; mampu berpartisipasi dalam ● Evaluasi keluhan nyeri/ ketidaknyamanan, perhatikan
berbagai aktivitas/tidur/ istirahat dengan lokasi dan karakteristik, termasuk intensitas nyeri.
tepat Perhatikan tanda-tnda vital dan respon nonverbal klien
● Menunjukkan penggunaan keterampilan ● Berikan dukungan emosional kepada klien dengan
relaksasi & aktivitas terapeutik sesuai menggunakan teknik manajemen stres, seperti relaksasi
indikasi untuk situasi yang bersifat progresif, tarik napas dalam, guided imagery, sentuhan
individual terapeutik.
● Identifikasi aktivitas yang sesuai dengan usia klien dan
kemampuan fisik
● Kolaborasi dengan tenaga medis untuk pemberian
analgesik
● Identifikasi adanya komplikasi : infeksi, sindrom
kompartemen
Ansietas b.d tindakan ● Ansietas berkurang, dibuktikan dengan ● Identifikasi tanda ansietas baik secara nonverbal maupun
perioperatif menunjukkan kontrol agresi, kontrol verbal
ansietas, koping. ● Jelaskan prosedur operasi, tujuan, dan hasil setelah
● Merencanakan strategi koping untuk operasi dilakukan (Rasional: mendapat penjelasan
situasi-situasi yang membuat stres mengenai operasi membantu pasien memahami tindakan
● Manifestasi perilaku kecemasan tidak dan mengurangi kecemasan)
ada ● Kaji adanya gangguan pemenuhan kebutuhan dasar akibat
ansietas
● Instruksikan teknik relaksasi yang sesuai: tarik nafas
dalam
● Kolaborasi dengan tenaga medis untuk pemberian obat
anti ansietas

Gangguan mobilitas fisik ● Klien dapat mengatur posisi. ● Kaji tingkat imobilitas dengan mengidentifikasi
b.d gangguan neuromuskular ● Meningkatnya kekuatan dan fungsi bagian cedera/pengobatan dan persepsi klien terkait
tubuh yang mengalami gangguan imobilitasnya.
● Tidak terdapat gangguan pada bagian ● Instruksikan klien untuk melakukan ROM baik secara
tubuh yang tidak mengalami gangguan aktif, pasif, atau asistif
● Tidak terjadi komplikasi imobilisasi ● Dampingi dan dukung klien untuk melakukan kegiatan
sehati-hari, seperti mandi dan melakukan kebersihan
mulut
● Monitor tekanan darah setelah melakukan aktivitas
● Auskultasi bunyi usus
● Monitor pola BAB klien
● Kaji pola BAK klien
Referensi
Grossman, S., & Porth, C. M. (2014). Porth’s pathophysiology: concept of altered health
states (9th ed.). China: Lippincott Williams & Wilkins.
Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2014). NANDA International Nursing 2015-2017 (10th
Ed.). Oxford, UK: Wiley Blackwell.

Lewis, S. M., Dirksen, S. R. (2014). Medical-surgical nursing: assessment and management


of clinical problems. St.Louis, Missouri: Elsevier.
Smeltzer, S. C., Bare, B., Hinkle, J. L., & Cheever, K. H. (2010). Brunner & Suddarth’s
Textbook of Medical-Surgical Nursing (12th Ed.). Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins.
Solomon, L., Warwick, D. J., & Nayagam, S. (2010). Apley’s System of Orthopaedics and
Fractures, Ninth Edition. Malaysian Orthopaedic, 4(3), 992.
https://doi.org/10.1007/s13398-014-0173-7.2
Tortora, G. J., & Derrickson, B. (2014). Principles of anatomy and physiology (14th ed.).
USA: Wiley.
White, L., Duncan, G., & Baumle, W. (2013). Medical-surgical nursing: an integrated
approach (3rd ed.). New York: Delmar, Cengage Learning.
Williams, L. S., & Hopper, P. D. (2014). Understanding Medical Surgical Nursing (3rd
edition). Philadelphia: F.A David Company

Anda mungkin juga menyukai