Anda di halaman 1dari 33

PERENCANAAN BANGUNAN PENGAMAN PANTAI JENIS

REVETMENT DARI TUMPUKAN BLOK BETON 3B


(BERKAIT,BERONGGA,BERTANGGA) DI PANTAI
PIGSTONE BEACH PANGKUNG TIBAH

Oleh:
GUSDE ADIPUTRA UTAMA
17.61.121.042

JURUSAN TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK DAN PERENCANAAN
UNIVERSITAS WARMADEWA
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa
yang telah melimpahkan segala rahmat-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan Tugas Akhir dengan judul “Perencanaan Bangunan Pengaman
Pantai (Revetment) Dengan Blok Beton 3B (Berkait,Berongga,Bertangga) Di
Pantai Pigstone Beach Pangkung Tibah” tepat pada waktunya guna memenuhi
syarat untuk mencapai gelar Sarjana Teknik pada Jurusan Teknik Sipil, Fakultas
Teknik dan Perencanaan di Universitas Warmadewa serta menerapkan ilmu yang
telah didapat dalam perkuliahan.
Penulis menyadari kelemahan serta keterbatasan yang ada sehingga dalam
menyelesaikan Tugas Akhir ini memperoleh bantuan dari berbagai pihak. Dalam
kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Prof. dr. Dewa Putu Widjana, DAP&E., Sp. ParK selaku Rektor
Universitas Warmadewa;
2. Prof. Dr. Ir. I Wayan Runa, M.T. selaku Dekan Fakultas Teknik
Dan Perencanaan Universitas Warmadewa;
3. Ir. Cok Agung Yujana, M.T selaku ketua jurusan Teknik Sipil
Fakultas Teknik Dan perencanaan Universitas Warmadewa
sekaligus dosen pengampu mata kuliah Tugas Akhir/Skripsi;
4. Ir. I Wayan Gede Erick Triswandana, S.T,. M.T selaku sekretaris
jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Dan Perencanaan Universitas
Warmadewa;
5. Dr. Ir. I Gusti Agung Putu Eryani, MT. selaku dosen pembimbing;
6. Pihak-pihak yang telah banyak membantu dalam memperoleh data
yang perlukan;
7. Orang tua dan keluarga saya yang telah memberikan bantuan
dukungan material dan moral;
8. Teman-teman yang telah banyak membantu, baik secara langsung
maupun tidak langsung yang tidak dapat saya sebut satu persatu
sehingga Tugas Akhir ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa Tugas Akhir ini masih banyak kekurangan dikarenakan
terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki penulis, oleh karena itu
penulis mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang
membangun dari berbagai pihak. Semoga Tugas Akhir ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca.
Om, Santih, Santih, Santih Om.

Denpasar, 2021
Penulis,

Gusde Adiputra Utama


NIM. 1761121042
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Pulau Bali Merupakan daerah pariwisata yang terkenal dengan keindahan
pantainya. Pantai di Bali menjadi daya tarik yang sangat diminati oleh
wisatawan domestik dan mancanegara. Selain menjadi tempat wisata, pantai di
Bali juga di gunakan sebagai tempat berlangsungnya upacara keagamaan oleh
umat Hindu di Bali. Namun, sekitar 215,85 km wilayah pesisir di Bali mengalami
erosi. Erosi menyebabkan mundurnya garis pantai dan rusaknya fasilitas yang ada.
Penyebab utama erosi yang terjadi adalah gelombang tinggi, penambangan
sedimen pantai, pembangunan infrastrktur menjorok pantai, serta pembangunan
struktur pantai yang tidak sesuai kaedah teknis (Balai Wilayah Sungai Bali-
Penida, 2015) .Penyelamatan Lingkungan umum yang mempunyai arti penting
dan fungsi strategis bagi system nilai yang ada di masyarakat, terlebih lebih lagi
yang berkaitan dengan upaya peningkatan kesejahtraan merupakan kewajiban
pemerintah daerah.
Tabanan merupakan salah satu kabupaten di Bali yang memiliki panjang
pantai 30,177 km, dimana Pantai Pigstone Beach Pangkung Tibah Memiliki
Panjang Pantai 2,18 km dan panjang garis pantai terabrasi 0,34 km (Balai Wilayah
Sungai Bali-Penida, 2015). Bagi masyarakat Bali yang sebagian besar beragama
Hindu, keberadaan pantai merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan dari
tatanan kehidupan, sosial budaya serta ekonomi yang mendukung kesejahteraan
masyarakat secara umum. Disamping itu pantai juga merupakan sarana bagi
aktivitas ritual dalam upacara keagamaan, pada pantai Pangkung Tibah terdapat
pura dan setra (kuburan) yang menjadi fasilitas keagamaan masyarakat, untuk itu
di perlukan suatu bangunan pengaman pantai yang mampu melindungi area
tersebut dari erosi akibat gelombang, Untuk mengatasi masalah erosi di Pantai
Pigstone beach Pangkung Tibah serta melindungi pura dan setra (kuburan) dari
limpasan gelombang (overtopping), maka perlu direncanakan bangunan
pengaman pantai yaitu revetment.
Bangunan Pantai Revetment merupakan bangunan yang memisahkan
daratan dan perairan pantai yang berfungsi sebagai pelindung pantai terhadap
erosi dan limpasan gelombang (overtopping) ke darat. Daerah yang dilindungi
adalah daratan tepat di belakang bangunan (Triatmodjo, 1999). Perencanaan
bangunan Pantai Revetment menjadi solusi yang dapat menanggulangi masalah
erosi akibat tergerusnya pantai oleh gelombang di Pantai Pigstone Beach
Pangkung tibah . Revetment yang direncanakan terbuat dari bahan Blok Beton
3B dikarenakan pantai Pigstone Beach pangkung Tibah berhadapan langsung
dengan Samudra Hindia dan dari estetika Blok beton 3B
(Berkait,Berongga,Bertangga) tepat di gunakan karena berbentuk menyerupai
tangga dimana pantai Pigstone Beach Pangkung Tibah ini di gunakan untuk
tempat upacara keagamaan. Revetment dari bahan Blok Beton 3B
(Berkait,Berongga,Bertangga) adalah merupakan bangunan konstruksi yang
berfungsi untuk mencegah longsor serta melindungi pergeseran garis pantai akibat
erosi yang disebabkan oleh arus dan gelombang air laut, blok beton 3B ini dapat
diterapkan di daerah yang mempunyai kondisi gelombang yang Moderat (dengan
ketinggian gelombang 2m). Keunggulan revetment dengan blok beton tipe 3B
dibanding dengan revetment lainnya adalah mempunyai stabilitas yang lebih
tinggi, Hasil pengujian di laboratorium, armor blok beton tipe 3B
(Berkait,Berongga,Bertangga) mempunyai koefisien Stabilitas (K) sebesar 53. Di
pilihnya Blok Beton 3B (Berkait,Berongga,Bertangga) ini juga dikarenakan batu
alam besar yang mulai sulit untuk di dapatkan di samping itu akses jalan masuk
pantai ini kurang memungkinkan untuk dumptruck untuk membawa batu batu
besar, sedangkan Blok Beton 3B (Berkait,Berongga,Bertangga) ini bisa di cetak
langsung di lapangan sesuai berat yang diperlukan.
Gambar I.1 Situasi Pantai Pigstone Beach Pangkung Tibah
sumber :Dokumentasi Pribadi

Gambar I.2 Blok Beton 3B (Berkait,Berongga,Bertangga)


sumber :E-produk Litbang PUPR

I.2 Tujuan Perencanaan


Adapun tujuan dari perencanaan bangunan pengaman pantai Revetment ini
adalah sebagai berikut :
1. Merencanakan konstruksi revetment dari bahan Blok Beton 3B
(Berkait,Berongga,Bertangga) di Pantai Pigstone beach Pangkung
Tibah.
2. Menghitung Rencana Anggaran Biaya (RAB) perencanaan
revetment dari bahan Blok Beton 3B (Berkait,Berongga,Bertangga)
di Pantai Pigstone beach Pangkung Tibah berdasarkan hasil gambar
rencana.

I.3 Manfaat Perencanaan


Perencanaan ini di harapkan dapat bermafaat sebagai berikut:

1. Bagi Mahasiswa
Menambah wawasan dalam bidang perencanaan revetment dan dapat
mengaplikasikan ilmu yang didapat pada perkuliahan.
2. Bagi Fakultas
Sebagai tambahan ilmu dan referensi dalam pembelajaran khususnya
pada perencanaan revetment.
3. Bagi Pemerintah
Mengatasi masalahan erosi di Pantai Pigstone beach Pangkung
Tibah dan dapat memberikan gambaran mengenai perencanaan
revetment di Pantai Pigstone beach pangkung Tibah, dapat juga di
gunakan sebagai acuan dalam perencanaan bangunan pengaman
pantai Pigstone beach Pangkung Tibah.

I.4 Data Perencanaan


Data yang di butuhkan dan di gunakan dalam perencanaan ini antara lain :
1. Data angin tahun 2010 – 2020 dari Balai Besar Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika Wilayah III Denpasar.
2. Data topografi dan batimetri di Pantai Pigstone Beach Pangkung
Tibah dari Pupr Provinsi Bali.
3. Data pasang surut tahun 2010 - 2020 dari tides.big.go.id
Bidang Jaring Kontrol Gaya Berat dan Pasang Surut
Jl.Raya Jakarta-Bogor KM.46 Cibinong 16911
4. Data analisa harga satuan pekerjaan dari Dinas Pekerjaan Umum
Provinsi Bali Tahun 20.. dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
Perumahan Rakyat Tahun 20..
5. Data kondisi lingkungan di Pantai Pigstone beach Pangkung Tibah.

I.5 Batasan Perencanaan


Dalam perencanaan ini ada beberapa permasalahan yang dibatasi adalah
sebagai berikut :
1. Tidak menghitung kekuatan geotextile dan hanya menggunakan
standar dari pabrik.
2. Perencanaan revetment adalah jenis non overtopping dengan kala
ulang gelombang 25 tahun dan umur rencana bangunan 10 tahun.
BAB II
LANDASAN TEORI

II.1 Pantai Dan Erosi Pantai


Pesisir (coast) adalah daerah darat di tepi laut yang masih dapat pengaruh
laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air laut. Pantai (shore) adalah
daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut
terendah. Daerah daratan adalah daerah yang terletak di atas dan di bawah
permukaan laut dimulai dari batas garis pasang tertingi. Daerah lautan adalah
daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan dimulai dari sisi laut pada
garis surut terendah, termasuk dasar laut dan bagian bawah di bawahnya. Garis
pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan air laut, dimana posisinya
tidak tetap dan berpindah dan sesuai dengan pasang surut air laut dan erosi pantai
yang terjadi. Sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya
sesuai dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 m dari titik pasang
tertinggi ke arah daratan (Triatmodjo, 1999)

Gambar II.3Batasan Pantai


sumber :Triadmojo 1999
Erosi pantai merupakan salah satu masalah serius perubahan garis pantai. Selain
proses alami seperti angin, arus dan gelombang, aktivitas manusia menjadi
penyebab terjadinya erosi pantai seperti pembukaan lahan baru dengan menebang
hutan mangrove untuk kepentingan permukiman, dan pembangunan infrastruktur.
Juga pemanfaatan ekosistem terumbu karang sebagai sumber pangan (ikan-
ikan karang), sumber bahan bangunan (galian karang), komoditas
perdagangan(ikan hias), dan obyek wisata (keindahan dan keanekaragaman
hayati) sehingga mengganggu terhadap fungsi perlindungan pantai. Selain itu
kerusak terumbukarang bisa terjadi sebagai akibat bencana alam, seperti gempa
dan tsunami, yang akhir-akhir ini sering melanda Negara Indonesia dan selalu
menimbulkan kerusakan pada wilayah pesisir (Eryani, 2016).
Metode penanggulangan erosi salah satunya adalah penggunaan struktur
pelindung pantai, dimana struktur tersebut berfungsi sebagai peredam energi
gelombang pada lokasi tertentu. Namun banyak tulisan sebelumnya bahwa
struktur pelindung pantai dengan material batu alam yang cenderung tidak ramah
lingkungan dan tidak ekonomis lagi apabila dilaksanakan pada daerah-daerah
pantai yang mengalami kesulitan dalam memperoleh material tersebut (Eryani,
2016).
terumbukarang bisa terjadi sebagai akibat bencana alam, seperti gempa dan
tsunami, yang akhir-akhir ini sering melanda Negara Indonesia dan selalu
menimbulkan kerusakan pada wilayah pesisir (Eryani, 2016)

II.2 Bangunan Pengaman Pantai Revetmen


Revetment atau dinding pelindung pantai adalah bangunan yang
memisahkan daratan dan perairan pantai, yang terutama berfungsi sebagai
pelindung pantai terhadap erosi dan limpasan gelombang (overtopping) ke darat.
Daerah yang dilindungi adalah daratan tepat di belakang bangunan. Bangunan ini
ditempatkan sejajar atau hampir sejajar dengan garis pantai dan bisa terbuat dari
pasangan batu, beton, tumpukan pipa (buis) beton, geobag, turap, kayu, atau
tumpukan batu.
Gambar II.4 Revetment Dinding Pelindung Pantai
sumber :Triadmojo 1999
Dalam perencanaan revetment perlu ditinjau fungsi dan bentuk bangunan, lokasi,
panjang, tinggi, stabilitas bangunan dan tanah fondasi, elevasi muka air baik di
depan maupun di belakang bangunan, ketersediaan bahan bangunan dan
sebagainya (Triatmodjo, 1999).

II.3 Geotextile
Geotextile adalah suatu material geosintetik yang berbentuk seperti karpet
atau kain. Geotextile adalah material yang bersifat permeable (tidak kedap air)
dan memiliki fungsi yang bervariasi diantaranya yaitu sebagai lapisan penyaring
(filter), lapisan pemisah (separator), lapisan perkuatan (reinforcement) dan
lapisan pelindung (protector) (Suhendra, 2013).
Geotextile secara garis besar dibedakan menjadi dua jenis yaitu geotextile
woven dan geotextile non woven. Perbedaan kedua jenis material ini adalah pada
cara pembuatannya. Geotextile woven dibuat dengan cara dianyam sedangkan
geotextile non woven proses pembuatannya tidak dengan cara dianyam sehingga
tekstur dari geotextile woven terlihat lebih teratur dibandingkan dengan geotextile
non woven (Suhendra, 2013). (Balitbang, 2016)
Gambar II.5Jenis Geotextile
sumber :Suhendra, 2013

II.4 Blok Beton 3B


Blok Beton 3B merupakan bangunan konstruksi yang ringan dibandingkan
dengan bangunan pantai lainnya. Blok beton ini berfungsi untuk mencegah
longsor serta melindungi pergeseran garis pantai akibat erosi yang disebabkan
oleh arus dan gelombang air laut. Blok beton ini dapat diterapkan di daerah yang
mempunyai kondisi gelombang yang moderat (ketinggian gelombang 2 m)
(Balitbang, 2016).
Blok beton 3B (Berkait,Berongga,Bertangga) merupakan bahan pengganti
material batu besar dengan berat tertentu (yang sulit didapatkan) untuk membuat
dinding pantai. Blok beton ini memiliki spesifikasi teknik sebagai berikut :
1. Bahan dari beton K 222.
2. Berat blok beton per unit = 230 kg.
3. Koefisien stabilitas lapis lindung ( K ) = 34,63.
4. Mampu menahan gelombang setinggi 2 meter.
5. Menggunakan tulangan praktis = 115 kg/m.

Keunggulan dari Blok Beton 3B ini sebagai Berikut:


1. Efektif dalam pengamanan pantai.
2. Memiliki stabilitas cukup tinggi ( KD > 50) dan rayapan rendah.
3. Sistem Interlocking yang kuat.
4. Aksesibilitas yang baik.
5. Estetika yang menarik.
6. pemasangannya mudah serta efisien baik dipasang secara manual
maupun dengan alat berat.
7. Bahan-bahan untuk membuatnya mudah didapatkan (Balitbang,
2016).

Gambar II.6 Blok Beton 3B (Berkait,Berongga,Bertangga)


sumber :E-produk Litbang PUPR

II.5 Data Angin


Data angin yang digunakan untuk peramalan gelombang adalah data di
permukaan laut pada lokasi pembangkitan. Data tersebut dapat diperoleh dari
pengukuran langsung di atas permukaan laut atau pengukuran di darat di dekat
lokasi peramalan yang kemudian dikonversi menjadi data angin di laut. Kecepatan
angin di ukur dengan anemometer, dan biasanya dinyatakan dalam knot. Satu knot
adalah panjang satu menit garis bujur melalui katulistiwa yang ditempuh dalam
satu jam, atau 1 knot = 1,852 km/jam = 0,514 m/d (Triatmodjo, 1999).
Untuk keperluan peramalan gelombang biasanya dipergunakan kecepatan
angin pada ketinggian 10 m. Apabila kecepatan tidak diukur pada ketinggian
tersebut maka kecepatan angin perlu dikoreksi dengan rumus (Triatmodjo, 1999).

( )
1/7
10
U(10) = U(y) y
dengan :
U(10) : Kecepatan angin pada ketinggian 10 meter
y : Elevasi terhadap permukaan air
Data kecepatan angin, bila tidak diukur dari permukaan laut, tetapi dari
daratan, misalnya bandar udara atau di lokasi dekat pantai harus dikoreksi dengan
persamaan di bawah ini (Danial, 2008) dan grafiknya disajikan pada Gambar 2.4.
Hubungan antara angin di atas laut dan angin di atas daratan terdekat dengan
menggunakan rumus:
R L = Uw / U L
Dengan :
RL : Koefisien koreksi antara kecepatan angin di laut dan darat
Uw : Kecepatan angin di laut
UL : Koefisien angin di darat

Gambar II.7 Hubungan Antara Kecepatan Angin di Laut dan Darat


sumber :Triadmojo,1999
Rumus-rumus dan grafik-grafik pembangkitan gelombang mengandung
variabel UA, yaitu faktor tegangan angin (Wind-stress factor) yang dapat dihitung
dari kecepatan angin. Setelah dilakukan berbagai konversi kecepatan angin seperti
yang dijelaskan di atas, kecepatan angin dikonversikan pada faktor tegangan angin
dengan menggunakan rumus berikut (Triatmodjo, 1999).
UA = 0,71 Uw1,23
dengan :
UA : Koreksi tegangan angin
Uw : Kecepatan angin dalam m/dt

II.6 Fetch
Fetch adalah panjang daerah dimana angin berhembus dengan kecepatan
dan arah yang konstan. Di dalam peninjauan pembangkitan gelombang di laut,
fetch dibatasi oleh daratan yang mengelilingi laut. Di daerah pembentukan
gelombang, gelombang tidak hanya dibangkitkan dalam arah yang sama dengan
arah angin, tetapi juga dalam berbagai sudut terhadap arah angin. Fetch rerata
efektif diberikan oleh persamaan berikut (Triatmodjo, 1999).

F eff =
∑ X i cos α
∑ cos α
dengan :
Feff : Fetch rerata efektif (m)
Xi : Panjang segmen fetch yang diukur dari titik observasi gelombang ke
ujung akhir fetch
α : Deviasi pada kedua sisi dari arah angin, dengan menggunakan
penambahan 6o sampai sudut sebesar 42o pada kedua sisi dari arah
angin
Gambar II.8 Fetch
sumber :Triadmojo,1999

II.7 Gelombang
Gelombang dapat menimbulkan energi untuk membentuk pantai,
menimbulkan arus dan transpor sedimen dalam arah tegak lurus dan menyusur
pantai, serta menyebabkan gaya-gaya yang bekerja pada bangunan pantai.
Gelombang laut dapat dibedakan menjadi beberapa macam yang tergantung pada
gaya pembangkitnya. Gelombang tersebut adalah gelombang angin yang
dibangkitkan oleh tiupan angin di permukaan laut, gelombang pasang surut
dibangkitkan oleh gaya tarik benda-benda langit terutama matahari dan bulan
terhadap bumi, gelombang tsunami terjadi karena letusan gunung berapi atau
gempa di laut, gelombang yang di bangkitkan oleh kapal yang bergerak, dan
sebagainya (Triatmodjo, 1999).

II.7.1 Gelombang Signifikan


Bisa Di Lihat Bedasarkan kecepatan angin, lama hembus angin dan fetch
seperti yang dibicarakan di depan, dilakukan peramalan gelombang dengan
menggunakan grafik berikut.
Gambar II.9 Grafik Peramalan Gelombang
sumber :Triadmojo,1999
Dalam menentukan tinggi gelombang signifikan (Hs) dan periode
gelombang signifikan (Ts) di laut dalam dapat menggunakan grafik peramalan
(Danial, 2008) :

( )( )
2 1
UA g Feff 2
Hs = 0,0016 2
g UA

( )( )
1
UA g Feff 3
Ts = 0,2857
g U A2

Dimana :
Hs : Tinggi gelombang signifikan (m)
Ts : Periode gelombang signifikan (dt)
UA : Kecepatan angin terkoreksi (m/dt)
Feff : Fetch efektif (m)
g : Percepatan gravitasi bumi

II.7.2 Pemilihan Tinggi Gelombang Rencana


Kondisi gelombang dapat di pilih untuk perhitungan stabilitas bangunan
pantai perlu memperhatian apakah bangunan tersebut mengalami serangan
gelombang pecah, tidak pecah atau telah pecah dan bentuk serta prioritas
bangunan pantai. Apabila karakteristik gelombang telah ditentukan, langkah
berikutnya adalah menentukan tinggi gelombang pada lokasi bangunan
dipengaruhi atau dibatasi kedalaman air.
Tinggi gelombang tergantung pada jenis kontruksi yang akan dibangun.
Adapun beberapa pedoman untuk menentukan tinggi gelombang rencana untuk
beberapa keperluan (Yuwono, 1992) :
1. Kontruksi kaku (Fixed Rigid Structure)
Misalnya : menara bor lepas pantai. Tinggi gelombang rencana
yang dipakai adalah H maksimum.

2. Kontruksi fleksibel (Flexible Structure)


Misalnya : rubble mound breakwater, revetment. Tinggi
gelombang rencana yang dipakai adalah H signifikan.

3. Kontruksi semi kaku (Semi Rigid Structure)


Misalnya : Dinding pantai (seawall). Tinggi gelombang rencana
yang dipakai adalah H10.

II.7.3 Kala Ulang Gelombang Rencana


Kala gelombang biasanya di tentukan dengan didasarkan pada jenis
kontruksi yang akan dibangun dan nilai daerah yang dilindungi. Makin tinggi nilai
daerah yang diamankan, makin besar pula kala ulang gelombang rencana yang
dipilih. Sebagai pedoman kala ulang gelombang rencana dapat dilihat pada Tabel
II.1 di bawah ini.
Table II.1 Pedoman Pemilihan Jenis Gelombang

No Jenis Bangunan Jenis Gelombang

1 Konstruksi Fleksibel (Fleksible Structure) Hs


2 Konstruksi Semi Kaku (Semi Rigid Structure) H 0,1 . H0,01

3 Konstruksi Kaku (Fixed Rigid Structure) H 0,1 . Hmax


sumber :Yuwono,1992
Untuk dapat menentukan kala ulang pada gelombang rencana
dipergunakan analisa harga-harga ekstrim tinggi gelombang, biasanya diambil
satu gelombang tertinggi setiap tahunnya. Salah satu cara untuk menentukan
analisa data tersebut dapat digunakan Metode Gumbel sebagai berikut:
∑ HS
H =
∑N

√ ∑ (Hs− 2
H)
σH =
N-1
σH
Ht= H + ( Y t- Y n )
σn

T = 0,33 ×
√ Ht
0,0056
Dimana:
H : Tinggi gelombang rerata
σH : Standar devisiasi
Ht : Tinggi gelombang maksimum
T : Periode gelombang maksimum
Yt : Reduced variated sebagai fungsi periode ulang T
Yn : Reduced variated sebagai fungsi dari banyaknya data N
σn : Reduced variated devisiasi sebagai fungsi dari banyaknya data N
Table II.2 Masa Ulang dan YT

Masa Ulang Yt
2 0.3665
5 1.4999
10 2.2502
25 3.1986
50 3.9019
100 4.6001
sumber :Yuwono,1992
Table II.3 Nilai Yn

sumber : Yuwono,1992
Table II.4 Nilai on

sumber : Yuwono,1992
II.7.4 Peramalan Gelombang
Kedalaman relative didasari, yaitu perbandingan kedalaman air (d) dan
panjang gelombang L, (d/L), gelombang dapat diklasifikasikan menjadi tiga
macam yaitu (Triatmodjo, 1999):
1. Gelombang laut dangkal jika d/L ≤ 1/20
2. Gelombang laut transisi jika 1/20 < d/L < 1/2
3. Gelombang laut dalam jika d/L > ½

Klasifikasi ini digunakan untuk menyederhanakan rumus-rumus


gelombang. Sehingga untuk menentukan panjang dan cepat rambat gelombang di
laut memakai persamaan :
1. Apabila kedalaman relatif d/L < 1/20, sehingga menjadi :
C = √ gd
L = √ gd T
2. Apabila kedalaman relatif 1/20 < d/L < 1/2, sehingga menjadi:
gT 2πd
C= tanh
2π L
2
gT 2πd
L= tanh
2π L
3. Apabila kedalaman relatif d/L ≥ 1/2, sehingga menjadi :
gT
Co = = 1,56T

2
gT
Lo = = 1,56T 2

Dimana :

Lo : Panjang gelombang di laut dalam (m).


T : Periode gelombang (dt).
Co : Cepat rambat gelombang (m/dt).
g : Percepatan gravitasi bumi.

II.7.5 Refraksi Gelombang


Gelombang refraksi adalah pembelokan arah gelombang yang
menyesuaikan kontur kedalaman yang disebabkan oleh perubahan kecepatan
rambat gelombang. Refraksi dapat menentukan tinggi gelombang di suatu tempat
berdasarkan karakteristik gelombang datang. Refraksi gelombang terjadi karena
adanya pengaruh perubahan kedalaman di laut (Triatmodjo, 1999).

Kr = √ cos α 0
cos α

Ks =
√ n o Lo
n L
Dimana pada hukum Snellius berlaku apabila ditinjau gelombang di laut
dalam dan di suatu titik yang ditinjau yaitu:

Sin α =
( CoC ) Sin α0
Dimana:

Kr : Koefisien refraksi
Ks : Koefisien shoaling
L : Panjang gelombang
Lo : Panjang gelombang di laut dalam
α0 : Sudut antara garis puncak gelombang dengan kontur dasar dimana
gelombang melintas
α : Sudut yang sama yang diukur saat garis puncak gelombang melintasi
kontur dasar berikutnya
C : Kecepatan rambat gelombang
Co : Kecepatan rambat gelombang di laut dalam

Tinggi gelombang di laut terjadi akibat pengaruh refraksi gelombang


diberikan oleh rumus berikut:
H0 = Ks∙Kr∙ Ht

Dimana :
H0 : Tinggi gelombang di kedalaman tertentu
Ks : Koefisien shoaling (pendangkalan)
Kr : Koefisien refraksi
Ht : Tinggi gelombang maksimum

II.7.6 Gelombang Pecah


Gelombang yang menjalar dari laut dalam menuju pantai mengalami
perubahan bentuk karena adanya pengaruh perubahan kedalaman laut. Pengaruh
kedalaman laut mulai terasa pada kedalaman lebih kecil dari setengah kali panjang
gelombang. Profil gelombang di laut dalam adalah sinusoidal, semakin menuju ke
perairan yang lebih dangkal puncak gelombang semakin tajam dan lembah
gelombang semakin datar. Selain itu kecepatan dan panjang gelombang berkurang
secara berangsur-angsur sementara tinggi gelombang bertambah (Triatmodjo,
1999).
Apabila gelombang bergerak menuju laut dangkal, kemiringan batas
tersebut tergantung pada kedalaman relatif d/L dan kemiringan dasar laut m.
Gelombang dari laut dalam yang bergerak menuju pantai akan bertambah
kemiringannya sampai akhirnya tidak stabil dan pecah pada kedalaman tertentu,
yang disebut dengan kedalaman gelombang pecah db. Tinggi gelombang laut
dalam ekuivalen diberi notasi H0’ dan tinggi gelombang pecah diberi notasi H b.
Munk (1949, dalam CERC, 1984) memberikan rumus untuk menentukan tinggi
dan kedalaman gelombang pecah berikut ini (Triatmodjo, 1999).
Parameter Hb/H 0' disebut dengan indeks tinggi gelombang pecah. Gambar
2.7 menunjukkan hubungan antara Hb/H0' dan H 0' /gT2 untuk berbagai kemiringan
2
dasar laut. Gambar 2.7 menunjukkan hubungan antara db/Hb dan Hb/g T untuk
berbagai kemiringan dasar laut. Grafik tersebut dapat dituliskan dalam rumus
berikut :
Hb
2
gT
1
db
=
Hb b − a ∙
Hb
g T2 ( )
Dimana a dan b merupakan fungsi kemiringan pantai m dan diberikan oleh
persamaan berikut (Triatmodjo, 1999) :
a = 43,75 (1−e -19 m)
1,56
b= -19,5 m
(1+ e )
Dimana:
Hb : Tinggi gelombang pecah
H0
' : Tinggi gelombang laut dalam ekivalen

Lo : Panjang gelombang di laut dalam


db : Kedalaman air pada saat gelombang pecah
m : Kemiringan dasar laut
g : Percepatan gravitasi bumi
T : Periode gelombang
Gambar II.10 Grafik Penentuan Gelombang Pecah (Hb)
sumber : Triadmojo,1999

Gambar II.11 Penentuan kedalaman gelombang pecah (db)


sumber : Triadmojo,1999
Gelombang yang merambat dari laut dalam menuju pantai mengalami
perubahan bentuk dan puncak gelombang semakin tajam sampai akhirnya pecah
pada suatu kedalaman tertentu. Proses gelombang pecah, yaitu sejak gelombang
mulai tidak stabil sampai pecah sepenuhnya terbentang pada suatu jarak xp. Galvin
(1969, dalam CERC, 1984) memberikan hubungan antara jarak yang ditempuh
selama proses gelombang pecah (xp) dan tinggi gelombang saat mulai pecah (Hb),
yaitu sebagai berikut :
xp = τp Hb
Dimana :
xp : Jarak yang ditempuh selama gelombang pecah
Hb : Tinggi gelombang pecah
τp : (4,0 −¿ 9,25m)

Gambar II.12 Proses gelombang pecah


sumber 1 Triadmojo,1999
II.7.7 Run Up Gelombang
Jika pada waktu gelombang menghantam suatu bangunan, gelombang
tersebut akan naik (run up) pada permukaan bangunan. Elevasi (tinggi) bangunan
yang direncanakan tergantung pada run up dan limpasan yang diijinkan. Run Up
bergantung pada bentuk dan kekasaran bangunan, kedalaman air pada kaki
bangunan, kemiringan dasar laut di depan bangunan dan karakteristik gelombang.
Karena banyaknya variabel yang berpengaruh maka besarnya run up sangat sulit
ditentukan secara analitis (Triatmodjo, 1999).
Gambar II.13 Run up gelombang
sumber : Triadmojo,1999
Banyak penelitian tentang run up gelombang telah dilakukan di
laboratorium. Hasil penelitian tersebut berupa grafik-grafik yang dapat
menentukan tingginya suatu run up. Rumus yang dapat digunakan untuk
menentukan run up adalah sebagai berikut:
tgθ
=
Ir
√ H
Lo
Dimana:
Ir : Bilangan Irribaren
 : Sudut kemiringan sisi bangunan
H : Tinggi gelombang di lokasi bangunan
Lo : Panjang gelombang di laut dalam
Gambar II.14 Tinggi relatif Run-up gelombang berbagai jenis lapis lindung
sumber 2 Triadmojo,1999

II.8 Fluktuasi muka air laut


Elevasi muka air laut merupakan parameter yang sangat penting di dalam
perencanaan bangunan pantai. Muka air laut berfluktuasi dengan periode yang
lebih besar dari periode gelombang angin. Fluktuasi muka air laut dapat
disebabkan oleh wave set-up (kenaikan muka air karena gelombang), wind set-up
(kenaikan muka air karena angin), tsunami, storm surge (gelombang badai),
pemanasan global dan pasang surut. Diantara beberapa proses tersebut fluktuasi
muka air karena badai dan tsunami tidak dapat ditentukan (diprediksi) kapan
terjadinya. Sedangkan pasang surut mudah diprediksi dan diukur baik besar
maupun waktu terjadinya (Triatmodjo, 1999).

II.8.1 Pasang Surut


Pasang surut adalah fluktuasi muka air laut karena adanya gaya tarik
benda-benda langit, terutama matahari dan bulan terhadap massa air laut di bumi.
Elevasi muka air tertinggi (pasang) dan muka air terendah (surut) sangat penting
untuk perencanaan bangunan pantai (Triatmodjo, 1999).
Untuk mendapatkan data pasang surut dilakukan pengukuran minimal 15
hari. Dari data tersebut dibuat grafik sehingga didapat : muka air tinggi tertinggi
(Highest High Water Level atau HHWL), muka air rendah terendah (Lowest Low
Water Level atau LLWL) dan muka air laut rerata (Mean Sea Level atau MSL).

II.8.2 Kenaikan Muka Air Karena Gelombang (Wave Set-Up)


Gelombang yang datang dari laut menuju pantai menyebabkan fluktuasi
muka air di daerah pantai terhadap muka air diam. Pada waktu gelombang pecah
akan terjadi penurunan elevasi muka air rerata terhadap elevasi muka air diam di
sekitar gelombang pecah. Kemudian dari titik dimana gelombang pecah
permukaan air rerata miring ke atas ke arah pantai, turunnya muka air disebut
wave set-down, sedangkan naiknya muka air disebut wave set-up (Triatmodjo,
1999).

Gambar II.15 Wave Set-Up dan Set-Down


sumber : Triadmojo,1999
Wave set-up dapat dihitung dengan menggunakan teori Longuer-Higgins
dan Stewart (1963, dalam CERC,1984). Besarnya wave set-down di daerah
gelombang pecah diberikan oleh (Triatmodjo, 1999).
0,536 Hb2/3
Sb =
g 1/2 T
Dimana :
Sb : Set-down di daerah gelombang
T : Periode gelombang (dt)
H0' : Tinggi gelombang laut dalam ekivalen (m)
db : Kedalaman gelombang pecah (m)
g : Percepatan gravitasi
Wave set-up di pantai diberikan oleh bentuk persamaan berikut:
Sw = ∆S −¿ Sb
Longuet-Higgins dan Stewart melakukan analisa data hasil percobaan
yang dilakukan oleh Savilla (1961, dalam SPM, 1984) dan hasilnya adalah ∆ S =
0,15 db. Dengan menganggap bahwa db = 1,28 Hb maka:
∆S = 0,15 d b
Substitusi Persamaan didapat:

Sw = 0,19 1−2,82
[ √ ]
Hb
gT
2
Hb

II.8.3 Kenaikan Muka Air Karena Angin


Angin dengan kecepatan besar (badai) yang terjadi di atas permukaan laut
bisa membangkitkan fluktuasi muka air laut yang besar di sepanjang pantai jika
badai tersebut cukup kuat dan daerah pantai dangkal dan luas. Penentuan elevasi
muka air rencana selama terjadinya badai adalah sangat kompleks yang
melibatkan interaksi antara angin dan air, perbedaan tekanan atmosfer selalu
berkaitan dengan perubahan arah dan kecepatan angin dan angin tersebut yang
menyebabkan fluktuasi muka air laut. Kenaikan elevasi muka air karena badai
dapat dihitung dengan persamaan berikut (Triatmodjo, 1999):
Fi
∆h =
2
2
V
∆h = F c
2 gd
Dimana:
∆h : Kenaikan elevasi muka air karena angin (m)
F : Panjang fetch (m)
i : Kemiringan muka air
c : Konstanta = 3,5 × 10-6
V : Kecepatan angin (m/d)
d : Kedalaman air (m)
g : Percepatan gravitasi bumi

Gambar II.16 Kenaikan muka air laut karena angin


sumber 3Triadmojo,1999
Di dalam memperhitungkan wind set-up di daerah pantai dianggap bahwa
laut dibatasi oleh sisi (pantai) yang impermeabel dan hitungan dilakukan untuk
kondisi tegak lurus pantai. Apabila arah angin dan fetch membentuk sudut
terhadap garis pantai, maka yang diperhitungkan adalah komponen tegak lurus
pantai (Triatmodjo, 1999).

II.8.4 Pemanasan Global


Rumah kaca menyebabkan bumi panas sehingga dapat dihuni kehidupan.
Disebut efek rumah kaca karena kemiripannya dengan apa yang terjadi dalam
sebuah rumah kaca ketika matahari bersinar. Sinar matahari yang masuk melalui
atap dan dinding kaca menghangatkan ruangan didalamnya sehingga suhu
menjadi lebih tinggi daripada di luar (Triatmodjo, 1999)
Gambar II.17 Perkiraan kenaikan permukaan air laut dikarenakan pemanasan global
sumber : Triadmojo,1999

II.9 Elevasi Muka Air Laut Rencana


Elevasi muka air laut rencana merupakan parameter sangat penting di dalam
perencanaan bangunan pantai. Elevasi tersebut merupakan penjumlahan dari
beberapa parameter yang telah dijelaskan di depan yaitu pasang surut, run-up,
wave setup, wind setup, dan kenaikan muka air karena pemanasan global
(Triatmodjo, 1999).
DWL = Pasang surut + Sw + ∆h + Pemanasan global
Dimana :
DWL : Elevasi muka air laut rencana
Sw : Kenaikan muka air akibat gelombang
∆h : Kenaikan muka air akibat angin
Gambar II.18 Elevasi Muka Air Laut Rencana
sumber : Triadmojo,1999

Anda mungkin juga menyukai