PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
C. ETIOLOGI
Menurut Widoyono (2011), Virus Polio termasuk genus enterovirus. Di alam bebas
virus polio dapat bertahan hingga 48 jam pada musim kemarau dan 2 minggu pada
musim hujan. Di dalam usus manusia virus dapat bertahan hidup sampai 2 bulan.
Virus polio tahan terhadap sabun, detergen, alkohol, eter, kloroform, tetapi virus ini
akan mati dengan pemberian formaldehida 0,3%, klorin, pemanasan, dan sinar
ultraviolet.
Poliomyelietis dapat disebabkan oleh virus yaitu sebagai berikut:
a. Tipe I Brunhilde : Sering menimbulkan epidemi yang luas dan ganas
b. Tipe II Lansing : Kadang menyebabkan kasus yang sporadik
c. Tipe III Leon : Epidemi ringan
Virus tersebut dapat hidup berbulan-bulan di dalam air, mati dengan pengeringan atau
oksidan. Virus tersebut hanya menyerang sel-sel dan daerah susunan syaraf tertentu.
Tidak semua neuron yang terkena mengalami kerusakan yang sama dan bila ringan
sekali dapat terjadi penyembuhan fungsi neuron dalam 3-4 minggu sesudah timbul
gejala. Daerah yang biasanya terkena poliomyelitis yaitu:
1. Medula spinalis terutama kornu anterior
2. Batang otak pada nucleus vestibularis dan inti-inti saraf kranial serta
formasioretikularis yang mengandung pusat vital
3. Sereblum terutama inti-inti virmis
4. Otak tengah “midbrain” terutama masa kelabu substansia nigra dan kadang-
kadang nucleus rubra
5. Talamus dan hipotalamus
6. Palidum
7. Korteks serebri, hanya daerah motorik
Pathway
E. KLASIFIKASI
Dapat berupa poliomyelitis asimtomatis, poliomyelitis abortif, poliomyelitis non-
paralitik, dan poliomyelitis paralitik:
a. Poliomielitis asimtomatis
Setelah masa inkubasi 7-10 hari, karena daya tahan tubuh maka tidak
terdapat gejala klinis sama sekali. Pada suatu epidemi diperkirakan terdapat pada
90-95% penduduk dan menyebabkan imunitas pada virus tersebut.
b. Poliomyelitis abortif
Diduga secara klinik hanya pada daerah yang terserang epidemic terutama
yang diketahui kontak dengan pasien poliomyelitis yang jelas. Diperkirakan
terdapat 4-8% penduduk pada suatu epidemi. Timbul mendadak berlangsung
beberapa jam sampai beberapa hari.
c. Poliomyelitis non-paralitik
Gejala klinik sama dengan poliomyelitis abortif, hanya nyeri kepala, nausea, dan
muntah lebih hebat. Gejala ini timbul 1-2 hari, kadang-kadang diikuti
penyembuhan sementara untuk kemudian remisi demam atau masuk dalam
fase kedua dengan nyeri otot. Khas untuk penyakit ini ialah adanya nyeri dan
kaku otot belakang leher, tubuh dan tungkai dengan hypertonia, mungkin
disebabkan oleh lesi pada batang otak, ganglion spinal dan kolumna posterior.
Bila anak berusaha duduk dari sikap tidur, ia akan menekuk kedua lutut ke atas
sedangkan kedua lengan menunjang kebelakang ada tempat tidur (tanda tripod)
dan terlihat kekakuan otot spinal oleh spasme. Kuduk kaku terlihat secara
pasif dengan kerning dan brudzinsky yang positif. Head drop ialah bila tubuh
pasien ditegakan dengan menarik pada kedua ketiak akan menyebabkan kepala
terjatuh ke belakang. Reflek stendon tidak berubah dan bila terdapat perubahan
maka kemungkinan akan terdapat poliomyelitis paralitik. Diagnosis banding
dengan meningismus, meningitis serosa tonsillitis akut yang berhubungan dengan
adenitis servikalis.
d. Poliomyelitis paralitik
Gejala sama pada poliomyelitis non-paralitik disertai kelemahan satu atau
lebih kumpulan otot skelet atau kranial. Timbul paralitis akut. Pada bayi
ditemukan paralisis vesika urinearia dan atonia usus.
1. Bentuk Spinal. Tipe poliomyelitis paralisis yang paling sering akibat
invasi virus pada motor neuron di kornu anterior medulla spinalis
yang bertanggung jawab pada pergerakan otot-otot, termasuk otot-otot
interkostal, trunkus, dan tungkai. Kelumpuhan maksimal terjadi cukup
cepat (2-4 hari),
Diagnosis Banding:
● Pseudoradikuloneuritis yang non-neurogen
Tidak ada kaku kuduk, tidak ada pleiositosis. Disebabkan
oleh trauma/kontusia, demam reumatik akut,
oosteomyelitis.
● Polioneuritis
Gejala paraplegia dengan gangguan sensibilitas, dapat
dengan paralisis palatum mole dan gangguan otot bola
mata.
● Polioradikuloneuritis
● Miopatia (kelainan progresif dari otot-otot dengan
paralisis dan kelemahan disertai rasa nyeri)
2. Bentuk bulbar. Terjadi kira-kira 2% dari kasus polio paralitik. Polio
bulbar terjadi ketika poliovirus menginvasi dan merusak saraf-saraf
di daerah bulbal batang otak. Destruksi saraf-saraf ini melemahkan
otot-otot yang dipersarafi nervus kranialis, menimbulkan gejala
ensefalitis, dan menyebabkan susah bernafas, berbicara, dan menelan.
Gangguan motorik satu atau lebih saraf otak dengan atau tanpa gangguan
pusat vital yakni pernafasan dan sirkulasi. Akibat gangguan menelan,
sekresi mucus pada saluran napas meningkat yang dapat menyebabkan
kematian.
3. Bentuk bulbospinal.Kira-kira 19% dari semua kasus polio paralitik
yang memberikan gejala bulbar dan spinal; subtype ini dikenal dengan
respiratori atau polio bulbospinal. Poliovirus menyerang nervus
frenikus, yang mengontrol diafragma untuk mengembangkan paru-paru
dan mengontrol otot-otot yang dibutuhkan untuk menelan. Didapatkan
gejala campuran antara bentuk spinal dan bentuk bulbar.
4. Bentuk ensefalitik
Dapat disertai gejala delirium, kesadaran yang menurun, tremor dan
kadang-kadang kejang.
F. MANIFESTASI KLINIS
Penyakit poliomyelitis paling banyak pada anak-anak di bawah 5 tahun dan juga bisa
pada remaja. Kemungkinan gejala dicurigainya poliomyelitis pada anak adalah panas
disertai dengan sakit kepala, sakit pinggang, kesulitan menekuk leher dan punggung,
kekuatan otot yang diperjelas dengan tanda head drop, tanpa tripod saat duduk, tanda
tanda spinal, tanda brudzinski atau kering. Infeksi virus polio dapat diklasifikasikan
menjadi minor illnesses (gejala ringan, seperti: asimtomatis/silent infection dan
poliomyelitis abortif) dan major illnesses (gejala berat, baik paralitik, maupun non-
paralitik) (Huda,2016).
a. Minor Illnesses(Gejala Ringan)
1. Sangat ringan atau bahkan tanpa gejala
2. Nyeri tenggorokan dan perasaan tidak enak diperut, gangguan
gastrointestinal, demam ringan, perasaan lemas, dan nyeri kepala.
3. Terjadi selama 1-4 hari, kemudian menghilang dan jarang lebih dari
6hari. Selama waktu itu virus bereplikasi pada nasofaring dan
saluran cerna bagian bawah.
b. Major Illnesses(Gejala Berat)
1. Poliomielitis non-paralitik
Gejala klinis sama dengan poliomyelitis abortif, hanya nyeri kepala,
nausea dan muntah lebih berat. Gejala-gejala ini timbul 1-2 hari,
kadang-kadang diikuti penyembuhan sementara untuk kemudian remisi
demam atau masuk dalam fase kedua dengan nyeri otot. Khas untuk
penyakit ini adalah adanya nyeri atau kaku otot belakang leher,
tubuh dan tungkai dengan hipertonia mungkin disebabkan oleh
lesi pada batang otak, ganglion spinal dan kolumna posterior.
2. Poliomielitis paralitik
Gejala poliomielitis paralitik sama dengan yang terdapat pada
poliomyelitis non-paralitik disertai kelemahan satu atau lebih kumpulan
otot skelet atau kranial, dan timbul paralisis akut. Pada bayi ditemukan
paralisis vesika urinaria dan atonia usus. Secara klinis dapat
dibedakan menjadi beberapa bentuk sesuai dengan tingginya lesi pada
susunan saraf yang terkena.
a. Bentuk Spinal
Gejala kelemahan/paralysis/paresis otot leher, abdomen, tubuh,
diafragma, toraks dan terbanyak ekstremitas bawah. Tersering
otot besar, pada tungkai bawah otot kuadrisep femoris, pada lengan
otot deltoideus, dan sifat paralisis adalah asimetris. Refleks
tendon mengurang/menghilang serta tidak terdapat gangguan
sensibilitas
b. Bentuk bulbar Terjadi akibat kerusakan motorneuron pada
batang otak sehingga terjadi insufisiensi pernafasan, kesulitan
menelan, tersedak, kesulitan makan, kelumpuhan pita suara dan
kesulitan bicara. Saraf otak yang terkena adalah saraf V, IX, X, XI
dan kemudian VII.
c. Bentuk bulbospinal Didapatkan gejala campuran antara bentuk
spinal dan bentuk bulbar.
d. Bentuk ensefalitik Dapat disertai gejala delirium, kesadaran
yang menurun, tremor dan kadang-kadang kejang.
G. KOMPLIKASI
Menurut driyana, dkk (2013) Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien polio adalah
sebagai berikut :
1. Hiperkalsuria
2. Melena
3. Pelebaran lambung akut
4. Hipertensi ringan
5. Pneumonia
6. Ulkus dekubitus dan emboli paru
7. Psikosis
H. PENATALAKSANAAN
Pengobatan pada penderita polio tidak spesifik. Pengobatan ditujukkan untuk
meredakan gejala dan pengobatan spotif untuk meningkatkan stamina penderita.
(Widoyono,2011)
Penjegahan
Menurut Widoyono (2011) pengendalian penyakit poliomyelitis yang paling efektif
adalah pencegahan melalui vaksinisasi dan surveilans AFP.
1. Imunisasi aktif.
Vaksin polio dibagi menjadi dua yaitu inactivated polio virus (IPV) yang
diberikan secara suntikan dan attenuated polio virus (OPV) yang diberikan
tetesan dibawah lidah. Kelebihan dari IPV adalah berisi virus yang lemah,
sehingga tidak berhubungan dengan kejadian poliomielitis akibat pemberian
vaksin. Formulasi yang lebih baik adalah enhanced inactivated poliovirus
vaccine (eIPV). Vaksin ini diberikan pada usia 2 bulan, 4 bulan, dan 6 –12 bulan
dan sebelum masuk sekolah (usia 4 tahun). Pemberian OPV terutama sejak
tahun 1960an. Imunisasi dengan cara ini menyebabkan penurunan yang signifikan
pada kasus-kasus poliomielitis di dunia. Pemberian secara oral memberikan
kelebihan dengan adanya pertahana tubuh terhadap virus tersebut di
mukosa saluran nafas dan pencernaan. Kerugian OPV adalah dapat
menyebabkan vaccine-associated paralytic poliomyelitis (VAPP). Pemberian
vaksin ini diberikan pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan dan pemberian booster
setiap 4 tahun. Varian OPV baru berupa monovalent oral poliovirus type 1
vaccine (mOPV1) diperkenalkan pertama kali di India pada bulan April 2005.
Dari penelitian didapatkan bahwa varian baru ini 3 kali lebih efektif dan
jauh lebih sedikit angka efek samping dibandingkan pemberian OPV pertama,
sehingga menjadi rekomendasi internasional untuk menghilangkan poliovirus
(Dinkes, 2013).
2. SAFP ( Surveilance Acute Flaccid Paralysis)
SAFP adalah suatu pengamatan ketat pada semua kasus kelumpuhan yang
mirip dengan kelumpuhan dengan kelumpuhan pada kasus
poliomyelitis, yaitu akut ( < 2 minggu ), flaccid ( layu, tidak kaku) yang
terjadi pada anak kurang dari 15 tahun, dalam rangka menentukkan kasus
polio.
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan laboratorium
1. Viral isolation
Polio virus dapat di deteksi secara biakan jaringan, dari bahan yang
diperoleh pada tenggorokan satu minggu sebelum dan sesudah paralisis
dan tinja pada minggu ke 2-6 bahkan 12 minggu setelah gejala klinis.
2. Uji serologi
Uji serologi dilakukan dengan mengambil sampel darah dari
penderita, jika pada darah ditemukan zat antibodi polio maka
diagnosis orang tersebut terkena polio benar. Pemeriksaan pada fase akut
dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan antibodi
immunoglobulin M (IgM) apabila terkena polio akan didapatkan hasil
yang positif.
3. Cerebrospinal Fluid (CSF)
Cerebrospinal Fluid pada infeksi poliovirus terdapat peningkatan jumlah
sel darah putih yaitu 10-200 sel/mm3 terutama sel limfosit, dan
terjadi kenaikan kadar protein sebanyak 40-50 mg/100 ml (Paul, 2004).
b. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan ini hanya menunjang diagnosis poliomielitis lanjut. Pada
anak yang sedang tumbuh, di dapati tulang yang pendek, osteoporosis
dengan korteks yang tipis dan rongga medulla yang tipis dan rongga
medulla yang relatif lebar, selain itu terdapat penipisan epifise,
subluksasio dan dislokasi dari sendi.
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
2. SARAN
DAFTAR PUSTAKA