Anda di halaman 1dari 3

Perbandingan Isi Jurnal

1. Jurnal The Impacts Of Export Tax Policy On The Indonesian Crude Palm Oil Industry.
Membahas mengenai dampak kebijakan pajak ekspor crude palm oil (CPO)
terhadap industri CPO Indonesia

Dari penelitian tersebut, telah disadari bahwa kebijakan pajak ekspor telah
memberikan dampak yang signifikan terhadap industri CPO di Indonesia. Untuk periode
yang diteliti, 2002-2007, sementara pajak ekspor berfluktuasi dari 3 persen pada tahun
2002 menjadi 1,5 persen pada tahun 2004, dan kemudian 6,5 persen pada tahun 2007,
pajak efektif rata-rata dari seluruh periode mencapai 2,31 persen untuk seluruh
periode. Untuk cakrawala waktu di luar 2007, dampak dari tiga tarif pajak ekspor 7,5, 15,
dan 20 persen disimulasikan. Dalam hal ini, pajak ekspor tidak dibebankan pada harga
tetapi pada selisih antara harga CPO dunia saat ini dan harga minimum yang dikenakan
pajak lokal di Indonesia sehingga dapat memperhitungkan kesejahteraan konsumen dan
produsen.

Dampak dari tarif pajak ini dirangkum dalam Tabel 4. Dengan pajak ekspor
sebesar 7,5 persen, area yang jatuh tempo akan berkurang sebesar 0,521 persen. Kenaikan
pajak ekspor berdampak negatif pada area matang kelapa sawit di Indonesia. Ketika
pemerintah menaikkan pajak ekspor menjadi 15 persen, ada pengurangan dramatis di
daerah di bawah budidaya kelapa sawit. Luas lahan yang sudah matang berkurang 1,043
persen, menunjukkan bahwa 9.086 ha lahan hilang. Ini rendah dibandingkan dengan
kenaikan 20 persen dalam pajak ekspor efektif yang menghasilkan pengurangan 1,38
persen, dan ini menyiratkan bahwa pengenaan pajak ekspor telah secara signifikan
menekan perkembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia.

Selain berdampak negatif pada area yang matang, pajak ekspor juga menekan
produksi. Dampak pajak ekspor terlihat jelas pada kuantitas CPO yang diproduksi di
Indonesia. Dengan penerapan pajak ekspor sebesar 7,5 persen, produksi berkurang
sebesar 0,124 persen atau 16.000 ton per tahun. Jika pajak dinaikkan menjadi 20 persen
oleh pemerintah, produksi CPO Indonesia berkurang sebesar 0,341 persen sehingga
mengurangi 44.000 ton dalam tingkat produksi dalam setahun.
Dampak negatif dari kebijakan ini lebih besar dari sisi volume ekspor. Jika
pemerintah mengenakan pajak ekspor lebih banyak pada CPO, volume ekspor CPO
berkurang secara signifikan. Dari analisis simulasi, jika pemerintah mengenakan pajak
ekspor 7,5 persen pada CPO, volume ekspor menurun sebesar 3,263 persen yang dapat
dilaporkan sebagai pengurangan ekspor 77.000 ton, pajak ekspor 15 persen mengurangi
kuantitas sebesar 6,271 persen atau pengurangan 148.000 ton sementara pajak ekspor 20
persen akan menyebabkan 8,22 persen sehingga mengakibatkan 194.000 ton lebih sedikit
ekspor ke negara lain oleh produsen CPO Indonesia.

Di sisi lain, kebijakan pajak ekspor ini telah memberikan manfaat besar bagi
konsumen. Tabel 4 menunjukkan bahwa penerapan kebijakan ini telah menyebabkan
harga CPO domestik dan dengan perpanjangan harga minyak goreng menjadi lebih
rendah dari yang seharusnya. Misalnya, jika pemerintah mengenakan pajak ekspor
sebesar 7,5 persen, maka harga domestik CPO akan menjadi sekitar Rp 112/kg atau 2,739
persen lebih rendah dibandingkan dengan yang tanpa pajak ekspor. Peningkatan pajak
ekspor cpo lebih lanjut akan bermanfaat bagi konsumen domestik.

2. Jurnal The Impact of Nontariff Trade Policy of European Union Crude Palm Oil Import on
Indonesian and Malaysia Economy: An Analysis in GTAP Framework
Membahas mengenai dampak kebijakan perdagangan non-tarif impor Uni Eropa
terhadap perekonomian Indonesia dan Malaysia.
Posisi minyak sawit yang semakin penting dalam perdagangan dunia ditanggapi
negatif oleh Uni Eropa. Uni Eropa mengendalikan impor minyak sawit dengan
memberlakukan kebijakan tarif impor yang tinggi, bea masuk anti dumping dan
penolakan produk minyak sawit pada produk pangan hingga rencana pelarangan impor
biodiesel berbahan baku minyak sawit dari Indonesia pada 2021 dan ditunda hingga
2030. Uni Eropa sebagai importir utama minyak sawit dan sebagai produsen minyak
lobak menghadapi dilema trade-off antara pangan, bahan bakar, dan pakan, sehingga
terjadi tarik menarik antara sektor pangan dan sektor transportasi.
Uni Eropa berencana menghentikan impor minyak sawit ke wilayahnya, yang
mau tidak mau akan berdampak pada dua negara pengekspor minyak sawit di dunia yakni
Indonesia dan Malaysia. Bagi Indonesia, kelapa sawit merupakan penyumbang devisa
terbesar mencapai Rp 239 triliun pada tahun 2017 (Ditjenbun, 2018). Devisa tersebut
berasal dari ekspor minyak sawit dan produk hilirnya (minyak goreng, biodiesel dan
produk industri lainnya). Hingga April 2018 nilai ekspor minyak sawit Indonesia
mencapai 5,87 miliar dolar AS. Berdasarkan data GAPKI, pada 2018 ekspor sawit
Indonesia ke Uni Eropa sebanyak 4,7 juta ton, 60% di antaranya digunakan untuk bahan
bakar nabati. Jumlah ini mencapai 14% dari total ekspor minyak sawit Indonesia. Kelapa
sawit merupakan 10 komoditas utama ekspor nonmigas yang termasuk dalam komoditas
industri pengolahan. Tiga dari sepuluh negara tujuan ekspor minyak sawit Indonesia
adalah negara-negara dari Uni Eropa, yaitu Spanyol, Italia, dan Belanda.
Kebijakan larangan tersebut akan berlaku mulai tahun 2030 dan pengurangan
mulai tahun 2024. Malaysia sebagai produsen dan eksportir minyak sawit terbesar kedua
di dunia juga akan merasakan dampak dari kebijakan perdagangan Uni Eropa untuk
menghentikan impor minyak sawit.ini akan berdampak pada variabel makroekonomi di
masing-masing negara pengekspor, terutama untuk dua negara pengekspor minyak sawit
tertinggi.
Rencana Uni Eropa untuk menerapkan kebijakan larangan dan hambatan impor
produk minyak sawit asal Indonesia dan Malaysia akan membawa sejumlah dampak di
berbagai kawasan. Temuan penelitian ini dengan menggunakan CGE (Computable
General Equilibrium)
menunjukkan bahwa kebijakan perdagangan UE yang tercermin melalui simulasi
I dan II berdampak pada beberapa negara/kawasan terutama bagi Indonesia, Malaysia,
Asia Tenggara, dan Uni Eropa.
Secara umum, kebijakan perdagangan yang direncanakan oleh Uni Eropa tidak
hanya berdampak buruk bagi negara-negara pengekspor seperti Indonesia dan Malaysia,
tetapi juga bagi Uni Eropa itu sendiri. Hal ini terlihat dari temuan beberapa variabel
makroekonomi di Uni Eropa seperti neraca perdagangan, PDB riil dan variasi ekuivalen
(EV) baik pada simulasi I maupun simulasi II.

Anda mungkin juga menyukai