Anda di halaman 1dari 2

Moral dan Peradaban

Feri Febriana

HMI Komisariat Fatahillah

Politik tanpa prinsip, kekayaan tanpa kerja keras, perniagaan tanpa moralitas, kesenangan tanpa
nurani, pendidikan tanpa karakter, sains tanpa humanitas, dan peribadatan tanpa pengorbanan.
Merupakan tujuh dosa sosial yang beberapa dekade lalu ditengarai Mohandas K. Gandhi sebagai
suatu ancaman bagi kehidupan publik. Hingga pada saatnya dominasi ketujuh dosa sosial ini menjadi
asap pekat di kehidupan kota yang mestinya menjadi basis keberadaban. Saat ini publik cenderung
tidak lagi memahami atau tidak mengindahkan etika yang berlaku. Praktik praktik yang dapat
mencederai moralitas masif dilakukan sebagian besar oknum masyarakat di seluruh kalangan,
dengan intensitas tinggi dan lingkup yang luas sehingga hal ini menjadi setetes racun bagi air segar
yang harusnya menjadi penghilang dahaga para musafir. Menjerumuskan kita hidup dalam apa yang
disebut Machiavelli sebagai ‘’kota korup’’(cutta corrottisma).

Keresahan kita terhadap situasi ini, mengisyaratkan bahwa Tuhan sedang memberikan tantangan
kepada Hamba-Nya agar mampu atau tidakkah kita untuk memulihkan keadaan dan menjaga agar
apa yang disebut Al-Farabi sebagai ‘’kota jahiliyah’’ (almudun al-jahiliyah) tidak lagi berkembang.
Menggali jauh kedalam, krisis moralitas dan etos adalah akar masalah dari terpaan persoalan yang
sedang terus kita alami. Sebagaimana seharusnya manusia, kita mesti berpikir upaya apa yang ideal
untuk dilakukan.

Dalam kehidupan sosial bermasyarakat, diperlukan tata cara yang baik dalam bertindak dan aturan
berprilaku yang mumpuni. Etika manusia menurut satu dari dua pengertian yang disampaikan
Aristoteles adalah cara manusia berprilaku, mengetahui baik dan buruknya sesuatu (manner and
custom), dasarnya adalah norma bukan apa yangdila kukan oleh kebanyakan orang. Inilah yang
menjadi perbedaan antara manusia dengan hewan, dimilikinya manusia atas akal dan budi, untuk itu
mulailah dari kita pribadi, karena dengan satu individu yang dapat memperbaiki dirinya akan lebih
mudah dan berdaya guna. Hal terkecil inilah yang jika mampu dilakukan oleh kebanyakan orang
perlahan dapat menjadi obat yang efektif bagi perkembangan praktik amoral yang sedang terus
mengerak. Maka, kita memerlukan apa yang dinamakan konsep pengembangan diri yang nantinya
akan melahirkan istilah kompetensi etis.

Kompetensi adalah kecakapan yang memadai untuk melakukan sesuatu, kuasa untuk menentukan,
dan karakter manusia yang berhubungan dengan efektifitas performa yang dapat dilihat dari gaya
bertindak, berprilaku dan berpikir. Disebutkan Spenser & Spenser dalam buku Kompetensi etis karya
Hutapea dan Nuriana terdapat tiga komponen utama pembentuk kompetensi, diantaranya
pengetahuan, keterampilan dan prilaku. Diperkuat dengan uraian selanjutnya menurut Michael
Zwell dalam Manajemen Kerja karya Wibowo, ketiga komponen utama diatas dipengaruhi oleh tiga
aspek, yaitu konsep diri, motif, dan sifat bawaan seseorang. Berdasarkan hal tersebut, maka sebagai
langkah penyelesaian konflik degradasi moral, terdapat resep sederhana yang dapat ditawarkan
kepada masyarakat, khususnya bagi pribadi masing masing penikmat setia pembaca Diksipedia.
Upaya rekonstruksi moral dimulai dengan ajaran ringan tentang The Leader in Me (suatu pendekatan
dari buku Living The 7 Habits karangan Stephen R. Covey), dengan tujuh unsur diantaranya, Be
Proactive; dimulai dengan kita yang dapat bertanggung jawab terhadap apa yang akan kita lakukan
secara sadar dan berani mengambil inisiatif baik dalam mengambil keputusan atau hal lainnya. Begin
with the End in Mind; memiliki perencanaan yang terukur, yakin dan berdasar dalam tiap langkah.
Kita dapat dengan teguh memposisikan diri tanpa dipengaruhi hal hal lainnya yang tidak selaras
dengan tujuan kita. Put First Things First; mampu mengutamakan apa yang paling penting,
meyakinkan diri bahwa kita adalah seseorang yang displin dan teratur. Think Win-Win; melihat
sesuatu dari dua sisi, berimbang dan mampu mengatur diri agar bijak dalam menghendaki suatu hal.
Seek First to Understand, Then to be Understand; mampu mendengar dengan seksama, memahami
dan menghayati sebelum berbicara atau melakukan tindakan. Meski pada kenyataannya apa yang
menjadi pemikiran kita adalah suatu yang benar. Synergize; menjalin ikatan kerja sama antar satu
dengan lainnya, berkolaborasi untuk mencapai hal hal yang akan dituju, adanya kesepakatan dan
jalan keluar yang mampu dihasilkan. Sharpen The Saw; melakukan sesuatu dengan berimbang, ada
hak dan ada kewajiban, ada keluarga dan teman, dan adapula ilmu serta pengamalan.

Ketujuh unsur itulah yang menjadi salah satu cara untuk mampu memberikan stimulus dalam
pengembangan diri seseorang yang mengarah pada terbentuknya kompetensi etis. Bisa kami
asumsikan bahwa pemaparan di atas merupakan bagian dari langkah proses “radikalisasi moral”,
dalam arti ini adalah bentuk upaya merevitalisasi prilaku manusia sesuai pemahaman dasar nilai nilai
moralitas. Mengingat apa yang disampaikan cendekiawan-politisi Amerika Serikat John Gardner yang
dikutip dalam Islam Doktrin dan Peradaban, “No nation can achieve greatness unless it believes in
something, and unless that something has moral dimensions to sustain a great civilization” (Tidak
ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika
tidak sesuatu yang dipercayainya itu memiliki dimensi dimensi moral guna menopang peradaban
besar). Semua pihak, baik lembaga maupun perseorangan pasti memiliki hasrat untuk menatap
dunia tanpa kerusakan, menghirup udara tanpa kemunafikan, dan tidur tanpa dibayangi rusaknya
moral pimpinan.

Moral adalah jantung dari keberadaan sekaligus keberlangsungan peradaban.

Anda mungkin juga menyukai