PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak akan pernah lepas dari komunikasi. Dari
mulai kita bangun tidur sampai kemudian tertidur kembali, komunikasi selalu menjadi
kegiatan utama kita entah itu komunikasi verbal atau non verbal, entah itu
komunikasi antar pribadi atau komunikasi organisasi.
Hal seperti ini memang telah menjadi kodrat kita sebagai seorang manusia yang
memang tidak dapat hidup sendiri. Kita selalu membutuhkan orang lain disekitar kita,
walaupun hanya untuk sekedar melakukan obrolan basa-basi karena manusia
adalah makhluk sosial dan dari dalam interaksi itulah manusia lambat laun
menciptakan nilai-nilai bersama yang kemudian disebut sebagai kebudayaan.
Dalam nilai-nilai yang terbentuk tersebut terdapat beberapa kaidah yang bertujuan
mengatur tata cara kita berkomunikasi antar sesama tanpa menyakiti hati dan
menjunjung tinggi etika sebagai sebuah tanda penghargaan pada lawan bicara kita.
Namun terkadang pemakaian sesuatu yang kita anggap sebuah etika dapat
berakibat pada sesuatu yang tidak menyenangkan dan menimbulkan
kesalahpahaman antar sesama. Mengapa hal itu bisa terjadi? Padahal tujuan kita
menggunakan etika adalah untuk mencoba menghargai khalayak.
PEMBAHASAN
Pengertian Etika Berkomunikasi
Jenis-Jenis Etika
1. Etika Deskriftif
Etika yang menelaah secara kritis dan nasional tentang sikap dan
perilaku manusia, serta apa yang dikejar oleh setiap orang dalam hidupnya
sebagai suatu yang bernilai. Artinya etika deskriftiftersebut berbicara
mengenai fakta secara apa adanya, yakni mengenai nilai dan perilaku
manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan situasi dan realitas yang
membudaya. Dapat disimpulkan bahwa tentang kenyataan dalam
penghayatan nilai atau tanpa nilai dalam suatu masyarakat yang dikaitkan
dengan kondisi tertentu memungkinkan manusia dapat bertindak secara etika
Lubis, (1994: 6-7).
2. Etika Normatif
Etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal dan
seharusnya dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya dijalankan oleh
manusia dan tindakan apa yang bernilai dalam hidup ini. Jadi etika normative
merupakan norma-norma yang dapat menuntun agar manusia bertindak
secara baik dan menghindarkan hal-hal yang buruk, sesuai dengan kaidah
atau norma yang disepakati dan berlaku di masyarakat Lubis, (1994:6-7).
Menurut Maryani dan Ludigdo (1993:69), etika merupakan seperangkat
aturan, norma atau pedoaman yangmengatur perilaku manusia, baik yang
harus dilakukan maupun yang harus ditinggalkan yang dianut oleh
sekelompok atau seolongan masyarakat atau profesi.
Ciri-ciri dari orang yang memiliki etika publik speaking yang baik adalah orang
dengan kemampuan publik speaking yang baik yakni orang yang mampu
menyampaikan pesan kepada orang banyak namun tetap sesuai jalur atau koridor
atau norma-norma yang berlaku. Publik speaking bukanlah kemampuan yang bisa
kita pelajari tanpa adanya latihan yang cukup. untuk bisamengembangkan
kemampuan publik speaking kita dengan baik diperlukan jam terbang yang tinggi
berbicara didepan umum.
Komunikasi yang etis dinilai berdasarkan ukuran-ukuran yang ideal, seperti adanya kesetaraan
power dan pertukaran makna dari simbol-simbol pesan. Dua hal tersebut berimplikasi pada 1)
adanya kesempatan yang sama, 2) kemauan untuk saling mengubah diri, 3) saling menghargai
pemikiran orang lain, dan 4) menerima pemikiran yang berbeda tentang suatu obyek tertentu (Ruel
L Howe, 1966; Joseph DeVito, 1986; Charles U Larson, 1987; Kathleen K Reardon, 1987). Komunikasi
semacam inilah yang mestinya dikembangkan pada setiap dimensi ilmu komunikasi seperti
jurnalistik, hubungan masyarakat, dan periklanan.
Kenyataan yang berkembang selama ini, ketika mengkaji tentang periklanan, pendidikan ini lebih
banyak diarahkan untuk mengembangkan strategi pesan yang linear, yang cenderung menganggap
khalayak iklan itu bodoh atau gampang dibodohi. Ketika mengkaji hubungan masyarakat,
publikpublik organisasi itu dianggap lemah dan gampang dimanipulasi kegiatankegiatan hubungan
masyarakat. Demikian juga dalam banyak pendidikan komunikasi, kajian seringkali menempatkan
partisipan dalam suatu posisi yang berbeda, seperti tinggi-rendah. Dalam komunikasi yang demikian,
yang terjadi bukan pertukaran makna namun lebih pada dominasi satu pihak kepada pihak lain
supaya tercipta “penyeragaman” makna (sesuai dengan tujuan yang dirancang oleh pihak “sumber”
atau yang memiliki status yang lebih tinggi).
Kesepakatan atau agreement sebetulnya bukan tujuan utama dari sebuah komunikasi yang dialogis.
Yang diharapkan terjadi dari sebuah dialog adalah penerimaan masing-masing partisipan atas
keberbedaan dalam memaknai simbol. Kesepakatan yang dilahirkan dari sebuah dialog harusnya
muncul dari adanya penerimaan secara suka rela atas perbedaan pemaknaan atas simbol
komunikasi (Howe, 1966).