Anda di halaman 1dari 6

HUBUNGAN KERAGAMAN KONSUMSI DAN HARGA PANGAN

TERHADAP STATUS GIZI PADA MASYARAKAT

Pangan merupakan segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati, baik yang diolah
maupun tidak diolah yang diperlukan sebagai makanan dan minuman bagi manusia. Olahan
pangan didapatkan dari berbagai sumber hayati yaitu dari produk pertanian, perkebunan,
kehutanan, perikanan, peternakan dan perairan. Di zaman Revolusi Industri ini, banyak
perubahan yang sangat besar pada pengolahan pangan. Beragam cara dan metode pengolahan
pangan dilakukan supaya menghasilkan olahan makanan yang layak dikonsumsi dan digemari
oleh masyarakat.

Pangan memiliki berbagai macam fungsi, antara lain :

a) Fungsi Primer (primary function)


Fungsi pangan ini yang ditinjau dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang
dianjurkan. Berdasarkan AKG fungsi pangan adalah untuk memenuhi kebutuhan
zat gizi tubuh, sesuai dengan jenis kelamin, umur, kegiatan fisik, dan berat tubuh.
b) Fungsi Sekunder (secondary function)
Fungsi sekunder dari pangan adalah memiliki penampakan dan cita rasa yang baik
dan memberikan kepuasan sensori bagi konsumen : misalnya untuk memberikan
kenikmatan, kelezatan, dan tekstur dalam makanan.
c) Fungsi Tersier (tertiary function)
Fungsi tersier dari pangan adalah memiliki fungsi fisiologis bagi tubuh.
Contohnya yaitu untuk meningkatkan sistem imun tubuh, menurunkan tekanan
darah menurunkan kadar gula darah dan masih banyak lagi.

Pangan merupakan kebutuhan dasar pertama yang harus dipenuhi oleh semua makhluk
hidup. Setiap manusia memerlukan pangan untuk mendapatkan zat gizi karbohidrat, protein,
lemak, vitamin, mineral, serat, air, dan komponen lain yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan
kesehatannya. Setiap pangan mengandung susunan zat-zat gizi yang berlainan satu dengan
lainnya, karenanya manusia memerlukan beranekaragam pangan untuk mendapatkan zat gizi
yang lengkap.

Namun berbeda dengan kebutuhan hidup yang lain, kebutuhan pangan hanya diperlukan
secukupnya saja. Hal itu dikarenakan apabila seseorang kekurangan maupun kelebihan pangan
dari kecukupan yang diperlukan apalagi untuk waktu yang lama, maka akan berakibat buruk bagi
kesehatan. Perlu diketahui masalah gizi masih banyak dialami oleh daerah-daerah miskin di
Indonesia adalah masalah gizi kurang dan stunting.

Seseorang dikatakan mengalami gizi kurang apabila orang tersebut kekurangan bahan-
bahan nutrisi seperti protein, karbohidrat, lemak dan vitamin yang dibutuhkan oleh tubuh. Gejala
yang dialami oleh seseorang yang mengalami gizi kurang diantara lain : penurunan berat badan.,
mudah lelah, konsentrasi menurun gusi dan mulut sering luka atau nyeri.

Sedangkan stunting sendiri merupakan kondisi tinggi badan seseorang yang kurang dari
normal berdasarkan usia dan jenis kelamin. Tinggi badan merupakan salah satu jenis
pemeriksaan antropometri dan menunjukkan status gizi seseorang. Adanya stunting
menunjukkan status gizi yang kurang (malnutrisi) dalam jangka waktu yang lama (kronis).
Stunting merupakan akibat dari malnutrisi kronis yang sudah berlangsung bertahun-tahun. Oleh
karena itu seseorang yang mengalami stunting sejak dini dapat juga mengalami gangguan akibat
malnutrisi berkepanjangan seperti gangguan mental, psikomotor, dan kecerdasan.

Disisi lain, ada sebagian kelompok yang sudah berpendapatan menengah ke atas.
Peningkatan pendapatan pada kelompok masyarakat tertentu, terutama di perkotaan
menyebabkan perubahan dalam gaya hidup, terutama pola makan. Pola makan berubah ke pola
makan baru yang rendah karbohidat, rendah serat kasar, dan tinggi lemak sehingga menjadikan
mutu makanan ke arah tidak seimbang dan hal itu dapat memicu terjadinya masalah gizi lebih.

Gizi lebih atau yang lebih dikenal sebagai kegemukan merupakan ketidakseimbangan
status gizi seseorang akibat pemenuhan kebutuhan yang melampaui batas dalam waktu cukup
lama dan dapat terlihat dari kelebihan berat badan sebagai akibat akumulasi lemak yang
berlebihan dalam tubuh. Melihat perkembangan yang semakin maju dan meningkatnya kejadian
gizi lebih saat ini, Kementrian Kesehatan membuat Pedoman Gizi Seimbang (PGS) pada tahun
2013 dengan tujuan masyarakat dapat berperilaku sehat, dan aktivitas fisik untuk
mempertahankan berat badan normal. PGS terdiri dari empat pilar yaitu mengonsumsi makanan
beragam dan memperhatikan perilaku makan yang masuk apakah proporsi dan kandungannya
sudah benar, membiasakan perilaku hidup bersih, melakukan aktivitas fisik, dan memantau berat
badan agar tidak berlebih.

Mekanisme permasalahan gizi lebih ini biasanya dikarenakan asupan energi yang
berbanding terbalik dengan pemakaian energi yang dikeluarkan. Gizi lebih dibagi menjadi
overweight atau akumulasi lemak yang berlebihan dalam tingkat ringan dan obesitas yang
memiliki arti penumpukan lemak yang sangat tinggi di dalam tubuh sehingga membuat berat
badan berada di luar batas ideal. Kondisi tersebut menyebabkan Indonesia mengalami masalah
gizi ganda (double burden), sehingga program-program perbaikan gizi harus dapat menyentuh
dan memperbaiki kedua masalah tersebut. Salah satu upaya dalam memperbaiki masalah gizi
tersebut adalah dengan memperhatikan pola konsumsi pangan dalam masyarakat.

Pola konsumsi pangan masyarakat umumnya dipengaruhi oleh faktor sosial budaya,
demografi, dan faktor gaya hidup. Pola konsumsi pangan masyarakat juga dapat dipegaruhi oleh
perilaku makan setiap individu. Perilaku makan itu sendiri memiliki definisi cara seseorang
berfikir, berpengetahuan dan berpandangan tentang makanan yang diimplementasikan dalam
bentuk tindakan makan dan memilih makanan dan akan berubah menjadi kebiasaan makan
apabila keadaan tersebut terus menerus berlangsung.

.Diketahui bahwa masyarakat Indonesia mengonsumsi tidak kurang dari 100 jenis
tumbuhan dan biji-bijan sebagai sumber karbohidrat. Tidak kurang dari 100 jenis kacang-
kacangan, 450 jenis buah-buahan serta 250 jenis sayur-sayuran dan jamur. Begitu juga dengan
sumber daya hayati laut, hewan serta mikroba, sudah lama dimanfaatkan untuk menunjang
kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat Indonesia.

Meskipun Indonesia disebut sebagai negara agraris, akan tetapi kenyataannya masih
banyak kekurangan pangan. Berkurangnya lahan pertanian yang dikonversi menjadi pemukiman
dan lahan industri, telah menjadi ancaman dan tantangan bagi bangsa Indonesia untuk menjadi
bangsa yang mandiri dalam bidang pangan. Permasalahan pangan inilah yang kemudian menjadi
isu politik yang cenderung dikaitkan dengan cita-cita terselenggaranya kecukupan pangan bagi
semua rakyatnya. Oleh karena itu untuk memenuhi tuntutan kebutuhan pangan tesebut perlu
diupayakan ketersediaan bahan yang memadai, baik dari segi jumlah maupun jenisnya.

Seperti yang kita ketahui bahwa konsumsi pangan merupakan faktor utama dalam
memenuhi kebutuhan zat gizi di dalam tubuh. Peningkatan kesadaran masyarakat akan
pentingnya kesehatan dan maraknya berbagai penyakit telah mendorong masyarakat untuk
berperilaku sehat termasuk dalam hal konsumsi pangan. Pada saat ini paradigma konsumsi
pangan tidak hanya sekedar memenuhi kebutuhan nutrisi dasar tetapi juga menyehatkan yang
disebabkan kandungan-kandungan senyawa dalam pangan tersebut.

Melalui konsumsi pangan tersebut yang dapat menciptakan individu-individu yang


memiliki gizi baik. Gizi baik merupakan gizi yang seimbang. Gizi seimbang adalah makanan
yang dikonsumsi oleh individu sehari-hari yang beraneka ragam dan memenuhi 5 kelompok zat
gizi dalam jumlah yang cukup, tidak berlebihan dan juga tidak kekurangan.

Konsumsi pangan secara garis besar adalah kuantitas pangan yang dikonsumsi oleh
seorang individu atau sekelompok orang dengan tujuan tertentu dengan jenis tunggal atau
beragam. Beragamnya pangan yang dikonsumsi sagat penting untuk diukur agar dapat menilai
kualitas konsumsi pangan. Keragaman dapat ditentukan dari item pangan yang dikonsumsi atau
penjumlahan kelompok pangan yang dikonsumsi. Keragaman konsumsi pangan dalam hal ini
diukur menggunakan DDS (Dietray Diversity Score).

DDS (Dietary Diversit Score) atau skor keanekaragaman pangan merupakan salah satu
cara pengukuran kualitas konsumsi pangan. Metode DDS merupakan metode sederhana yang
mudah dilakukan namun sangat efektif untuk mengukur perbedaan keragaman konsumsi pangan
pada tingkat individu, rumah tangga maupun masyarakat. Penjabaran dari system DDS ii aitu
dengan kategori rendah apabila konsumsi kurang dari 3 jenis kelompok pangan/hari. Kemudian
kategori sedang apabila konsumsi 4-5 jenis kelompok pangan/hari. Dan kategori tinggi apabila
konsumsi lebih dari 6 jenis kelompok pangan/hari.

Untuk mengetahui status gizi berdasarkan pola konsumsi masyarakat kita dapat
melakukan survei konsumsi makanan. Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan
status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi.
Pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikan gambaran tentang konsumsi berbagai
zat gizi pada masyarakat, keluarga, dan individu. Survei ini dapat mengidentifikasikan kelebihan
dan kekurangan zat gizi. Banyak peneliti-peneliti yang telah melakukan survei konsumsi
makanan tersebut. Responden dari survei ini juga bermacam-macam baik dari kalangan balita,
anak sekolah, remaja, orang dewasa hingga lansia sekalipun. Hal itu bertujuan untuk mengetahui
status gizi pada kalangan masyarakat yang ditinjau dari pola konsumsi pangan masyarakat.

Survei konsumsi makanan juga memiliki konsep tersendiri dalam pelaksanaaannya yaitu
ditinjau berdasarkan konsep densitas asupan zat gizi dan densitas energi konsumsi. Densitas
asupan zat gizi dan densitas energi konsumsi memiliki hubungan yang berbanding terbalik.
Densitas asupan zat gizi merupakan asupan zat-zat gizi yang terkandung di dalam suatu pangan
yang dikonsumsi dan dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi pada suatu individu,
rumah tangga atau masyarakat. Sedangkan densitas energi konsumsi dihitung menggunakan total
energi makanan dan minuman sehari yang dikonsumsi dibagi dengan berat pangan sehari. Dari
densitas energi konsumsi itu kita dapat mengetahui kebutuhan energi yang kita konsumsi apakah
selaras dengan aktivitas yang dilakukan.

Selain itu, konsep densitas asupan zat gizi umumnya dikembangkan untuk menganalisis
pola konsumsi pangan di suatu daerah tertentu serta pengaruhnya terhadap kejadian masalah gizi
yang terdapat pada daerah tersebut. Konsep densitas asupan zat gizi digunakan juga untuk
mengidentifikasi kuantitas serta kualitas asupan zat-zat gizi dari pangan yang umum dikonsumsi
oleh masyarakat. Dan konsep densitas asupan zat gizi merupakan keseimbangan komposisi zat
gizi yang diperoleh dari pangan yang dikonsumsi yang memberikan manfaat bagi tubuh misalnya
pertumbuhan untuk masa anak-anak atau manfaat kesehatan dan penurunan risiko penyakit untuk
usia dewasa.

Pada penelitian tersebut kelompok pangan yang tinggi kualitas zat gizinya adalah sayuran
buah, sayuran daun, serta buah-buahan. Minyak, biji-bijian, dan makanan manis/asin seperti
gorengan maupun snack/jajanan memiliki densitas energi yang tinggi, tetapi rendah kandungan
zat gizi per kalorinya. Umumnya jenis pangan tersebut mengandung densitas zat gizi mikro yang
rendah dibandingkan dengan pangan yang mengandung gula alami. Densitas energi pangan
berkisar antara 0 sampai dengan 9 kkal/g dipengaruhi oleh komposisi zat gizi makro dan kadar
air.

Anda mungkin juga menyukai