Anda di halaman 1dari 13

RENCANA TINDAK LANJUT

DARUL ARQAM DASAR

PK IMM AR-RAZY

SAFFANATU RASHIFAH

24

PK IMM AR-RAZY
HUBUNGAN KEBERAGAMAN KONSUMSI DAN HARGA PANGAN

TERHADAP STATUS GIZI PADA MASYARAKAT

Pangan merupakan segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati, baik yang diolah
maupun tidak diolah yang diperlukan sebagai makanan dan minuman bagi manusia. Olahan
pangan didapatkan dari berbagai sumber hayati yaitu dari produk pertanian, perkebunan,
kehutanan, perikanan, peternakan dan perairan.1 Di zaman Revolusi Industri ini, banyak
perubahan yang sangat besar pada pengolahan pangan. Beragam cara dan metode pengolahan
pangan dilakukan supaya menghasilkan olahan makanan yang layak dikonsumsi dan digemari
oleh masyarakat.

Pangan memiliki berbagai macam fungsi, antara lain :

a) Fungsi Primer (primary function)


Fungsi pangan ini yang ditinjau dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang
dianjurkan. Berdasarkan AKG fungsi pangan adalah untuk memenuhi kebutuhan
zat gizi tubuh, sesuai dengan jenis kelamin, umur, kegiatan fisik, dan berat tubuh.
b) Fungsi Sekunder (secondary function)
Fungsi sekunder dari pangan adalah memiliki penampakan dan cita rasa yang baik
dan memberikan kepuasan sensori bagi konsumen : misalnya untuk memberikan
kenikmatan, kelezatan, dan tekstur dalam makanan.
c) Fungsi Tersier (tertiary function)
Fungsi tersier dari pangan adalah memiliki fungsi fisiologis bagi tubuh.
Contohnya yaitu untuk meningkatkan sistem imun tubuh, menurunkan tekanan
darah menurunkan kadar gula darah dan masih banyak lagi.

Pangan merupakan kebutuhan dasar pertama yang harus dipenuhi oleh semua makhluk
hidup. Setiap manusia memerlukan pangan untuk mendapatkan zat gizi karbohidrat, protein,

1
Widyanngsih. Tri Dewanti, Novita Wijayanti. 2017. Pangan Fungsional : Aspek Kesehatan, Evaluasi, dan Regulasi.
Penerbit UB Media-Universitas Brawijaya : Malang Hal. 1-2
lemak, vitamin, mineral, serat, air, dan komponen lain yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan
kesehatannya. Setiap pangan mengandung susunan zat-zat gizi yang berlainan satu dengan
lainnya, karenanya manusia memerlukan beranekaragam pangan untuk mendapatkan zat gizi
yang lengkap.

Namun berbeda dengan kebutuhan hidup yang lain, kebutuhan pangan hanya diperlukan
secukupnya saja. Hal itu dikarenakan apabila seseorang kekurangan maupun kelebihan pangan
dari kecukupan yang diperlukan apalagi untuk waktu yang lama, maka akan berakibat buruk bagi
kesehatan. Perlu diketahui masalah gizi masih banyak dialami oleh daerah-daerah miskin di
Indonesia adalah masalah gizi kurang dan stunting.

Seseorang dikatakan mengalami gizi kurang apabila orang tersebut kekurangan bahan-
bahan nutrisi seperti protein, karbohidrat, lemak dan vitamin yang dibutuhkan oleh tubuh. Gejala
yang dialami oleh seseorang yang mengalami gizi kurang diantara lain : penurunan berat badan,
mudah lelah, konsentrasi menurun gusi dan mulut sering luka atau nyeri.

Sedangkan stunting sendiri merupakan kondisi tinggi badan seseorang yang kurang dari
normal berdasarkan usia dan jenis kelamin.2 Adanya stunting menunjukkan status gizi yang
kurang (malnutrisi) dalam jangka waktu yang lama (kronis). Stunting merupakan akibat dari
malnutrisi kronis yang sudah berlangsung bertahun-tahun. Oleh karena itu seseorang yang
mengalami stunting sejak dini dapat juga mengalami gangguan akibat malnutrisi berkepanjangan
seperti gangguan mental, psikomotor, dan kecerdasan.

Disisi lain, ada sebagian kelompok yang sudah berpendapatan menengah ke atas.
Peningkatan pendapatan pada kelompok masyarakat tertentu, terutama di perkotaan
menyebabkan perubahan dalam gaya hidup, terutama pola makan. Pola makan berubah ke pola
makan baru yang rendah karbohidat, rendah serat kasar, dan tinggi lemak sehingga menjadikan
mutu makanan ke arah tidak seimbang dan hal itu dapat memicu terjadinya masalah gizi lebih.

Gizi lebih atau yang lebih dikenal sebagai kegemukan merupakan ketidakseimbangan
status gizi seseorang akibat pemenuhan kebutuhan yang melampaui batas dalam waktu cukup
lama dan dapat terlihat dari kelebihan berat badan sebagai akibat akumulasi lemak yang

2
Oktavia, S. & Widajanti, L. & Aruben, R. 2017. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Buruk Pada
Balita di Kota Semarang. Jurnal : Kesehatan Masyarakat, 5(3) 187-190. Hal 187
berlebihan dalam tubuh. Melihat perkembangan yang semakin maju dan meningkatnya kejadian
gizi lebih saat ini, Kementrian Kesehatan membuat Pedoman Gizi Seimbang (PGS) pada tahun
2013 dengan tujuan masyarakat dapat berperilaku sehat, dan aktivitas fisik untuk
mempertahankan berat badan normal. PGS terdiri dari empat pilar yaitu mengonsumsi makanan
beragam dan memperhatikan perilaku makan yang masuk apakah proporsi dan kandungannya
sudah benar, membiasakan perilaku hidup bersih, melakukan aktivitas fisik, dan memantau berat
badan agar tidak berlebih.3

Mekanisme permasalahan gizi lebih ini biasanya dikarenakan asupan energi yang
berbanding terbalik dengan pemakaian energi yang dikeluarkan. Gizi lebih dibagi menjadi
overweight atau akumulasi lemak yang berlebihan dalam tingkat ringan dan obesitas yang
memiliki arti penumpukan lemak yang sangat tinggi di dalam tubuh sehingga membuat berat
badan berada di luar batas ideal. Kondisi tersebut menyebabkan Indonesia mengalami masalah
gizi ganda (double burden), sehingga program-program perbaikan gizi harus dapat menyentuh
dan memperbaiki kedua masalah tersebut. Salah satu upaya dalam memperbaiki masalah gizi
tersebut adalah dengan memperhatikan pola konsumsi pangan dalam masyarakat.

Pola konsumsi pangan masyarakat umumnya dipengaruhi oleh faktor sosial budaya,
demografi, dan faktor gaya hidup. Pola konsumsi pangan masyarakat juga dapat dipegaruhi oleh
perilaku makan setiap individu.4 Perilaku makan itu sendiri memiliki definisi cara seseorang
berfikir, berpengetahuan dan berpandangan tentang makanan yang diimplementasikan dalam
bentuk tindakan makan dan memilih makanan dan akan berubah menjadi kebiasaan makan
apabila keadaan tersebut terus menerus berlangsung.

.Diketahui bahwa masyarakat Indonesia mengonsumsi tidak kurang dari 100 jenis
tumbuhan dan biji-bijan sebagai sumber karbohidrat. Tidak kurang dari 100 jenis kacang-
kacangan, 450 jenis buah-buahan serta 250 jenis sayur-sayuran dan jamur. Begitu juga dengan
sumber daya hayati laut, hewan serta mikroba, sudah lama dimanfaatkan untuk menunjang
kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat Indonesia.5

3
Fadhilah, F.H. & Widjanarko, B. 2018. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Makan pada Anak Gizi
Lebih di Sekolah Menengah Pertama. Jurnal : Kesehatan Masyarakat, 6(1) , Hal 735
4
Jayanti, Linda. & Madanijah, S. 2014. Pola Konsumsi Pangan, Kebiasaan Makan, dan Densitas Gizi pada
Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar Jawa Barat. Ilmu Gizi Masyarakat, 37 (1), Hal 33
5
KMNLH, 2007. Status Lingkungan Hidup Indonesia 2006. Jakarta
Meskipun Indonesia disebut sebagai negara agraris, akan tetapi kenyataannya masih
banyak kekurangan pangan. Berkurangnya lahan pertanian yang dikonversi menjadi pemukiman
dan lahan industri, telah menjadi ancaman dan tantangan bagi bangsa Indonesia untuk menjadi
bangsa yang mandiri dalam bidang pangan. Permasalahan pangan inilah yang kemudian menjadi
isu politik yang cenderung dikaitkan dengan cita-cita terselenggaranya kecukupan pangan bagi
semua masyarakat. Oleh karena itu untuk memenuhi tuntutan kebutuhan pangan tesebut perlu
diupayakan ketersediaan bahan yang memadai, baik dari segi jumlah maupun jenisnya.

Seperti yang kita ketahui bahwa konsumsi pangan merupakan faktor utama dalam
memenuhi kebutuhan zat gizi di dalam tubuh. Peningkatan kesadaran masyarakat akan
pentingnya kesehatan dan maraknya berbagai penyakit telah mendorong masyarakat untuk
berperilaku sehat termasuk dalam hal konsumsi pangan. Pada saat ini konsumsi pangan tidak
hanya sekedar memenuhi kebutuhan nutrisi dasar tetapi juga menyehatkan yang disebabkan
kandungan-kandungan senyawa dalam pangan tersebut.

Melalui konsumsi pangan tersebut yang dapat menciptakan individu-individu yang


memiliki gizi baik. Gizi baik merupakan gizi yang seimbang. Gizi seimbang adalah makanan
yang dikonsumsi oleh individu sehari-hari yang beraneka ragam dan memenuhi 5 kelompok zat
gizi dalam jumlah yang cukup, tidak berlebihan dan juga tidak kekurangan.

Konsumsi pangan secara garis besar adalah kuantitas pangan yang dikonsumsi oleh
seorang individu atau sekelompok orang dengan tujuan tertentu dengan jenis tunggal atau
beragam.. Keragaman dapat ditentukan dari item pangan yang dikonsumsi atau penjumlahan
kelompok pangan yang dikonsumsi. Keragaman konsumsi pangan dalam hal ini diukur
menggunakan DDS (Dietray Diversity Score).

DDS (Dietary Diversit Score) atau skor keanekaragaman pangan merupakan salah satu
cara pengukuran kualitas konsumsi pangan. Metode DDS merupakan metode sederhana yang
mudah dilakukan namun sangat efektif untuk mengukur perbedaan keragaman konsumsi pangan
pada tingkat individu, rumah tangga maupun masyarakat. Penjabaran dari system DDS ii aitu
dengan kategori rendah apabila konsumsi kurang dari 3 jenis kelompok pangan/hari. Kemudian
kategori sedang apabila konsumsi 4-5 jenis kelompok pangan/hari. Dan kategori tinggi apabila
konsumsi lebih dari 6 jenis kelompok pangan/hari.6

Untuk mengetahui status gizi berdasarkan pola konsumsi masyarakat kita dapat
melakukan survei konsumsi makanan. Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan
status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Dari
pengumpulan data konsumsi makanan ini kita dapat mengetahui gambaran tentang konsumsi
berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga, dan individu. Survei ini dapat mengidentifikasikan
kelebihan dan kekurangan zat gizi. Banyak peneliti-peneliti yang telah melakukan survei
konsumsi makanan tersebut. Responden dari survei ini juga bermacam-macam baik dari
kalangan balita, anak sekolah, remaja, orang dewasa hingga lansia sekalipun. Hal itu bertujuan
untuk mengetahui status gizi pada kalangan masyarakat yang ditinjau dari pola konsumsi pangan
masyarakat.

Survei konsumsi makanan juga memiliki konsep tersendiri dalam pelaksanaaannya yaitu
ditinjau berdasarkan konsep densitas asupan zat gizi dan densitas energi konsumsi. 7 Densitas
asupan zat gizi dan densitas energi konsumsi memiliki hubungan yang berbanding terbalik.
Densitas asupan zat gizi merupakan asupan zat-zat gizi yang terkandung di dalam suatu pangan
yang dikonsumsi dan dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi pada suatu individu,
rumah tangga atau masyarakat. Sedangkan densitas energi konsumsi dihitung menggunakan total
energi makanan dan minuman sehari yang dikonsumsi dibagi dengan berat pangan sehari. Dari
densitas energi konsumsi itu kita dapat mengetahui kebutuhan energi yang kita konsumsi apakah
selaras dengan aktivitas yang dilakukan.

Selain itu, konsep densitas asupan zat gizi umumnya dikembangkan untuk menganalisis
pola konsumsi pangan di suatu daerah tertentu serta pengaruhnya terhadap kejadian masalah gizi
yang terdapat pada daerah tersebut. Konsep densitas asupan zat gizi digunakan juga untuk
mengidentifikasi kuantitas serta kualitas asupan zat-zat gizi dari pangan yang umum dikonsumsi
oleh masyarakat. Dan konsep densitas asupan zat gizi merupakan keseimbangan komposisi zat
6
Swamilaksita, P.D. & Sa’pang, M. 2017. Keragaman Konsumsi Pangan dan Dentitas Gizi Pada Remaja Obesitas dan
Non Obesitas. Jurnal : Nutrire Diaita, 9 (2), Hal 45
7
Lestari, I. P. & Ronitawati, P.& Melani, V. 2020. Perbedaan Densitas Energi Konsumsi dan Densitas Asupan Zat Gizi
Berdasarkan Status Gizi pada Guru di Jakarta Barat. Darussalam Nutrition Jurnal, 4(2), Hal 78
gizi yang diperoleh dari pangan yang dikonsumsi yang memberikan manfaat bagi tubuh misalnya
pertumbuhan untuk masa anak-anak atau manfaat kesehatan dan penurunan risiko penyakit untuk
usia dewasa.

Pada penelitian tersebut kelompok pangan yang tinggi kualitas zat gizinya adalah sayuran
buah, sayuran daun, serta buah-buahan. Minyak, biji-bijian, dan makanan manis/asin seperti
gorengan maupun snack/jajanan memiliki densitas energi yang tinggi, tetapi rendah kandungan
zat gizi per kalorinya. Umumnya jenis pangan tersebut mengandung densitas zat gizi mikro yang
rendah dibandingkan dengan pangan yang mengandung gula alami. Densitas energi pangan
berkisar antara 0 sampai dengan 9 kkal/g dipengaruhi oleh komposisi zat gizi makro dan kadar
air.8

Beragamnya pangan yang dikonsumsi sagat penting untuk diukur agar dapat menilai
kualitas konsumsi pangan. Mengukur perbedaan keragaman konsumsi pangan menjadi mudah
dilakukan dengan metode DDS. Jika dalam mengukur nilai atau skor densitas energi pangan
dihitung menggunakan metoe DDS. Maka adapun metode yang digunakan untuk menentukan
densitas zat gizi dalam pangan yaitu menggunakan metode NRF (Nutrient Rich Food). Yang
didalamnya berisi rekomendasi untuk mengoptimalkan 9 jenis zat gizi esensial. Diantaranya
yaitu : protein, serat, vitamin A, vitamin C, vitamin E, kalsium (Ca), zat besi (Fe), magnesium
(Mg), dan potassium (K). Sedangkan ada 3 jenis zat gizi yang perlu dibatasi menurut NRF yaitu
gula tambahan, asam lemak jenuh, serta natrium.

Dari hasil penelitian yang dilakukan selaras dengan penelitian terdahulu bahwa skor NRF
tertinggi adalah pangan dengan densitas energi yang rendah, yaitu sayur daun, sayuran buah serta
buah-buahan. Pada penelitian tersebut kelompok pangan yang tinggi kualitas zat gizinya adalah
sayuran buah, sayuran daun, serta buah-buahan. Sedangkan minyak, biji-bijian, dan makanan
manis atau asin seperti gorengan maupun snack atau jajanan memiliki densitas energi yang
tinggi, tetapi rendah kandungan zat gizi per kalorinya.

8
Davidson, S.M.& Dwiriani, C.M. 2018. Densitas Gizi dan Mordibitas serta Hubungannya dengan Status Gizi Anak
Usia Prasekolah Pedesaan. Jurnal : MKMI, 14(3), Hal 254
Hasil penelitian juga memberi informasi bahwa proses pengolahan dengan menggoreng
akan meningkatkan nilai densitas energi dan menurunkan nilai densitas zat gizinya. 9 Kelompok
sayuran buah, sayuran daun, dan buah-buahan merupakan kelompok pangan yang dikonsumsi
biasanya diolah tanpa melalui proses penggorengan sehingga tidak memberi kenaikan nilai pada
zat gizi yang dibatasi konsumsinya. Bahan pangan tersebut pada umumnya dimakan langsung
atau melalui proses pengolahan dengan merebus/kukus. Kualitas konsumsi yang baik juga
dikaitkan dengan tingginya konsumsi buah dan sayur yang memiliki densitas energi rendah serta
mencukupi kebutuhan makronutrien secara tepat.

Lain hal dengan kelompok pangan dengan kualitas densitas gizi pangan yang rendah
dengan densitas energi tinggi contohnya adalah snack atau jajanan. Didalam snack terkandug
44% asupan natrium 52% total fat dan 53% gula tambahan. Ketiga zat gizi ini merupakan zat
gizi yang perlu dibatasi menurut NRF. Konsumsi energi, gula dan lemak jenuh yang berlebih,
tetapi rendah konsumsi buah dan sayur dapat megarah kepada kualitas konsumsi pangan yang
rendah.

Laporan hasil Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2013 di Indonesia menunjukkan
jenis makanan yang paling banyak dikonsumsi oleh penduduk terutama diatas usia 10 tahun
adalah penyedap 77,8 %, makanan manis 61,4%, berlemak 47,8 % dan makanan asin 20,3%. 10
Data tersebut menunjukkan adanya kecenderungan untuk mengonsumsi makanan yang padat
energi. Hal itu dikarenakan rasa yang manis, gurih dan makanan tinggi lemak yang menjadi lebih
banyak disukai oleh masyarakat dibandingkan dengan makanan kaya zat gizi seperti sayur dan
buah sehingga konsumsi dari makanan tersebut menyebabkan individu mengalami gizi lebih.

Makanan dengan nilai densitas energi tinggi merupakan makanan sumber karbohidrat
yang ditambahkan gula dan lemak sehingga cenderung lezat, murah, dan banyak disukai oleh
masyarakat. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ledikwe et al densitas energi makanan
yang tinggi mempunyai hubungan dengan kejadian obesitas baik pada laki-laki atau perempuan
dewasa.

9
Davidson, S.M.& Dwiriani, C.M. 2018. Densitas Gizi dan Mordibitas serta Hubungannya dengan Status Gizi Anak
Usia Prasekolah Pedesaan. Jurnal : MKMI, 14(3), Hal 256
10
Lestari, I. P. & Ronitawati, P.& Melani, V. 2020. Perbedaan Densitas Energi Konsumsi dan Densitas Asupan Zat
Gizi Berdasarkan Status Gizi pada Guru di Jakarta Barat. Darussalam Nutrition Jurnal, 4(2), Hal 75
Ada hubungan antara densitas energi dan berat badan pada dewasa, apabila mengonsumsi
makanan dengan densitas energi yang rendah maka secara efektif dapat mengontrol berat
badannya. Lain hal apabila seseorang mengonsumsi makanan dengan densitas energi tinggi maka
kemungkinan besar seseorang dapat mengalami gizi lebih. Hal itu dibuktikan terhadap responden
dengan status gizi normal lebih banyak mengonsumsi makanan dengan nilai densitas energi
sedang dan nilai median 1,70 kkal/g sedangkan pada responden dengan status gizi lebih, lebih
banyak mengonsumsi makanan dengan nilai densitas energi tinggi dan nilai median 2,00 kkal/gr.

Savage at al yang melakukan penelitian pada kelompok wanita dewasa yang


mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang lebih banyak yaitu 1002 g/hari tetapi makanan yang
dikonsumsi mengandung densitas energi yang rendah. Sebaliknya kelompok wanita dewasa
dengan konsumsi makanan dalam jumlah yang lebih sedikit 750 g/hari namun kandungan
densitas energinya tinggi. Dan mendapatkan hasil bahwa wanita dengan densitas energi rendah
(1,3 kkal/g) lebih banyak mengonsumsi makanan seperti sereal, buah-buahan dan sayuran.
Sementara pada wanita dengan densitas energi tinggi (2,1 kkal/g) mengonsumsi makanan manis,
tinggi lemak daging dan roti.11

Dari penelitian tersebut dapat dijelaskan bahwa pada responden yaitu wanita dewasa
dengan status gizi normal lebih banyak mengonsumsi makanan dengan nilai densitas energi
sedang dengan total kalori sebesar 1,3 kkal/g. Sedangkan pada responden dengan status gizi
lebih, lebih banyak mengonsumsi makanan dengan nilai densitas energi tinggi dengan total
kalori sebesar 2,1 kkal/gr.

Menurut Drenowski Edward, Macdonald dan Zeisel berbagai makanan dengan kategori
kaya energi dan rendah zat gizi banyak dikonsumsi oleh remaja atau energy-dense, nutrient poor
foods antara lain yaitu es krim, permen, biskuit, chiki, softdrink, serta minuman kemasan lain
yang 33% sumber manisnya berasal dari gula sintetis. Dan penelitian yang dilakukan oleh
Vartanian, Schwartz, dan Brownell mengenai pengaruh konsumsi softdrink terhadap gizi dan
kesehatan diperoleh hasil bahwa antara asupan energi dan gula memiliki hubungan yang
signifikan dengan berat badan. Kelompok makanan yang kaya akan gizi seperti susu, sayuran,
buah-buahan, serealia, dan umbi-umbian berguna untuk menurunkan berat badan dengan gizi

11
Lestari, I. P. & Ronitawati, P.& Melani, V. 2020. Perbedaan Densitas Energi Konsumsi dan Densitas Asupan Zat
Gizi Berdasarkan Status Gizi pada Guru di Jakarta Barat. Darussalam Nutrition Jurnal, 4(2), Hal 78
lebih. Sebaliknya makanan yang tinggi energi akan berdampak pada pengingkatan berat badan
dan makanan yang tinggi nantrium akan meningkatkan tekanan darah dan mengganggu kinerja
kardiovaskular.12

Jadi dapat disimpulkan bahwa keragaman pangan yang dikonsumsi sangat berpengaruh
terhadap status gizi seseorang. Konsumsi makanan yang mengandung saur dan buah serta rendah
energi, gula dan lemak jenuh dapat menunjukan kualitas konsumsi pangan yang tinggi sehingga
menyebabkan seseorang masuk dalam kategori gizi baik atau normal. Lain hal dengan konsumsi
makanan yang mengandung energi, gula dan lemak jenuh yang berlebih, tetapi rendah konsumsi
buah dan sayur dapat menunjukkan kualitas konsumsi pangan yang rendah. Yang dapat
menyebabkan seseorang masuk dalam kategori gizi lebih.

Selanjutnya densitas zat gizi pangan juga digunakan untuk mengidentifikasi jenis-jenis
makanan yang mengandung cukup gizi dengan biaya yang relatif terjangkau sehingga dapat
meminimalisasi pengeluaran pangan. Terdapat beberapa argumen mengenai biaya makan yang
juga memengaruhi kualitas konsumsi dan juga berkontribusi terhadap kesenjangan sosial di
bidang kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa makanan padat energi yang mengandung
lemak, minyak, dan gula tambah-an menyediakan banyak kalori namun dengan biaya yang
murah, sedangkan makanan yang rendah densitas energi seperti sayur dan buah mahal biayanya.

Menurut Darmon et al semakin tinggi densitas energi makanan maka semakin rendah
biaya makanannya.13 Pada masyarakat kalangan menengah kebawah dan tidak bekerja, biaya dan
rasa merupakan kunci utama dari pemilihan makanan. Masalah harga pangan tetap menjadi hal
yang menghambat perubahan pola makan pada keluarga dengan pendapatan menengah ke
bawah. Hal tersebut dapat menjadi alasan mengapa pengonsumsian makanan yang sehat seperti
buah dan sayur masih sangat rendah. Hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa kemiskinan
dan obesitas berhubungan berkaitan dengan biaya yang rendah dan palatabilitas yang tinggi pada
makanan padat energi.

Menurut penelitian yang dilakukan dengan responden remaja usia 13 tahun menunjukan
bahwa obesitas lebih banyak terjadi pada remaja yag memiliki uang saku kisaran besar ( Rp.
12
Swamilaksita, P.D. & Sa’pang, M. 2017. Keragaman Konsumsi Pangan dan Dentitas Gizi Pada Remaja Obesitas
dan Non Obesitas. Jurnal : Nutrire Diaita, 9 (2), Hal 49
13
Ekaningrum, A.Y. & Sukandar, D. 2017. Keterkaitan Densitas Gizi, Harga Pangan, Dan Status Gizi Pada Anak
Sekolah Dasar Negeri Pekayon 16 Pagi. Jurnal : Gizi Pangan, 12 (2), Hal 144
25.000 – Rp. 50.000).14 Faktor yang mempengaruhi status gizi seseorang salah satunya adalah
tingkat konsumsi zat gizi, ketersediaan pangan, dan tingkat pendapatan. Bagi anak sekolah,
tingkat pendapatan dapat diartikan dengan besar uang saku karena menentukan daya beli
makanan.

Semakin tinggi jumlah uang saku yang didapatkan, semakin tinggi daya beli makanan
jajanan sehingga mendorong konsumsi lebih. Jumlah uang saku yang lebih besar membuat anak
sekolah sering mengonsumsi makanan jajanan yang mereka sukai tanpa menghiraukan
kandungan gizinya. Mereka memiliki kebebasan utuk memilih sendiri makanan dan cenderung
membeli makanan yang menarik bagi mereka tanpa memperhatikan gizi seimbang. Pemilihan
makanan itu lah menjadi salah satu hal yang dapat mempengaruhi status gizi terutama pada
remaja.

Faktor kemiskinan sering disebut sebagai akar dari kekurangan gizi, yang mana faktor ini
erat kaitannya terhadap daya beli pangan di rumah tangga sehingga berdampak terhadap
pemenuhan zat gizi. Kondisi ekonomi keluarga secara tidak langsung dapat mempengaruhi status
gizi anggota keluarga. Diketahui bahwa lebih dari separuh responden baik dalam kategori normal
maupun obesitas memiliki keluarga besar. Kemampuan keluarga dalam penyediaan makanan
dalam jumlah yang cukup dan berkualitas dipengaruhi pendapatan dan daya beli yang dimiliki.

Apabila suatu keluarga memiliki pendapatan yang berkecukupan maka kemungkinan


besar kebutuhan pengonsumsian makanan juga tercukupi sehingga tidak ada masalah gizi yang
perlu dikhawatirkan dalam keluarga tersebut. Namun sebaliknya apabila suatu keluarga memiliki
pendapatan yang kurang dan tidak tercukupi maka kebutuhan pengonsumsian makanan juga
kurang terlebih apabila jumlah didalam keluarga itu terdiri dari banyak anggota keluarga,
kemungkinan permasalahan gizi kurang atau bahkan stunting dapat terjadi dalam keluarga
tersebut.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Darmon et al. Yang mengungkapkan bahwa
semakin tinggi skor densitas zat gizi pangan maka akan semakin tinggi biaya per kalori yang
dibutuhkan.15 Umumnya, pangan yang kaya akan zat gizi lebih mahal per kkal dibandingkan
14
Swamilaksita, P.D. & Sa’pang, M. 2017. Keragaman Konsumsi Pangan dan Dentitas Gizi Pada Remaja Obesitas
dan Non Obesitas. Jurnal : Nutrire Diaita, 9 (2), Hal 46
15
Ekaningrum, A.Y. & Sukandar, D. 2017. Keterkaitan Densitas Gizi, Harga Pangan, Dan Status Gizi Pada Anak
Sekolah Dasar Negeri Pekayon 16 Pagi. Jurnal : Gizi Pangan, 12 (2), Hal 144
dengan pangan yang rendah nilai zat gizinya. Macam-macam sayuran, sup dan jus yang sudah
diolah menyediakan zat gizi yang terjangkau dan sering menjadi pilihan makanan bagi
masyarakat dengan golongan menengah ke bawah.

Penelitian yang dilakukan oleh Drewnowski di Amerika Serikat menunjukkan bahwa


telur, kacang-kacangan, daging dan produk susu olahan merupakan sumber protein dengan biaya
yang sangat rendah. Sedangkan buah dan sayur merupakan sumber vitamin C yang biayanya
sangat rendah. Jika dibandingkan antara kedua sumber zat gizi pangan tersebut maka susu,
kentang, jus jeruk, sereal, dan buncis lebih murah rasio antara zat gizi dan harganya
dibandingkan dengan sayuran dan buah.16 Hal tersebut menunjukan bahwa harga pangan yang
dikonsumsi juga mengendalikan status gizi pada seseorang. Makanan yang memiliki densitas
asupan gizi tinggi biasanya memiliki harga yang lebih mahal daripada makanan yang memiliki
densitas energi yang tinggi. Oleh sebab itu, kebayakan masyarakat lebih memilih mengonsumsi
makanan yang memiliki harga yang lebih terjangkau tanpa memperhatikan kandungan-
kandungan zat gizi di dalam makanan tersebut.

Pangan merupakan komponen utama yang menjadi pokok dasar dalam kebutuhan hidup
manusia. Berbagai jenis pangan memang berpotensi memberikan beragam fungsi kesehatan.
Masyarakat sekarang juga dapat lebih memahami dan menyadari hubungan erat antara kesehatan
dan pola konsumsi pangan. Frekuensi makan pada masyarakat memang sebaiknya diimbangi
dengan konsumsi pangan yang lebih beragam dan mengandung cukup zat gizi sehingga kuantitas
dan kualitas pangan masyarakat dapat lebih baik. Sehingga hal tersebut dapat membantu
masyarakat dalam meningkatkan serta menjaga kesehatan terutama mengenai permasalahan-
permasalahan gizi pada suatu masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

16
Ekaningrum, A.Y. & Sukandar, D. 2017. Keterkaitan Densitas Gizi, Harga Pangan, Dan Status Gizi Pada Anak
Sekolah Dasar Negeri Pekayon 16 Pagi. Jurnal : Gizi Pangan, 12 (2) Hal 145
Jayanti, Linda. & Madanijah, S. 2014. Pola Konsumsi Pangan, Kebiasaan Makan, dan Densitas
Gizi pada Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar Jawa Barat. Ilmu Gizi Masyarakat, 37 (1), 33-42

Ekaningrum, A.Y. & Sukandar, D. 2017. Keterkaitan Densitas Gizi, Harga Pangan, Dan Status
Gizi Pada Anak Sekolah Dasar Negeri Pekayon 16 Pagi. Jurnal : Gizi Pangan, 12 (2) 139-146

Swamilaksita, P.D. & Sa’pang, M. 2017. Keragaman Konsumsi Pangan dan Dentitas Gizi Pada
Remaja Obesitas dan Non Obesitas. Jurnal : Nutrire Diaita, 9 (2) 45-49

Oktavia, S. & Widajanti, L. & Aruben, R. 2017. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Status Gizi Buruk Pada Balita di Kota Semarang. Jurnal : Kesehatan Masyarakat, 5(3) 187-190

Fadhilah, F.H. & Widjanarko, B. 2018. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku
Makan pada Anak Gizi Lebih di Sekolah Menengah Pertama. Jurnal : Kesehatan Masyarakat,
6(1) 735-741

Davidson, S.M.& Dwiriani, C.M. 2018. Densitas Gizi dan Mordibitas serta Hubungannya
dengan Status Gizi Anak Usia Prasekolah Pedesaan. Jurnal : MKMI, 14(3) 254-256

Lestari, I. P. & Ronitawati, P.& Melani, V. 2020. Perbedaan Densitas Energi Konsumsi dan
Densitas Asupan Zat Gizi Berdasarkan Status Gizi pada Guru di Jakarta Barat. Darussalam
Nutrition Jurnal, 4(2) 75-78

Widyanngsih. Tri Dewanti, Novita Wijayanti. 2017. Pangan Fungsional : Aspek Kesehatan,
Evaluasi, dan Regulasi. Penerbit UB Media-Universitas Brawijaya : Malang

KMNLH, 2007. Status Lingkungan Hidup Indonesia 2006. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai