Tugas Pengganti Uas Mata Kuliah Kewarganegaraan Marsinah
Tugas Pengganti Uas Mata Kuliah Kewarganegaraan Marsinah
Oleh :
Kelas B
KASUS PELANGGARAN HAM ( HAK ASASI MANUSIA ) DI INDONESIA
Pada 1990, Marsinah bekerja sebagai buruh di PT. Catur Putra Surya (PT. CPS),
sebuah pabrik alroji di daerah Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Di perusahaan ini, Marsinah dan
kawan-kawannya menuntut berdirinya serikat pekerja, serta mendesak perusahaan mematuhi
aturan gubernur yang telah menaikkan upah buruh. Dalam surat itu termuat himbauan pada
para pengusaha untuk menaikkan upah buruh sebesar 20% dari upah pokok. Pada minggu-
minggu tersebut, Pengurus PUK-SPSI PT. CPS mengadakan pertemuan di setiap bagian
untuk membicarakan kenaikan upah sesuai dengan himbauan dalam Surat Edaran Gubernur.
Selanjutnya pada tanggal 3 Mei 1993 seluruh buruh PT. CPS tidak masuk kerja,
kecuali staf dan para Kepala Bagian. Hari itu juga, Marsinah pergi ke kantor Depnaker
Surabaya untuk mencari data tentang daftar upah pokok minimum regional. Data inilah yang
ingin Marsinah perlihatkan kepada pihak pengusaha sebagai penguat tuntutan pekerja yang
hendak mogok.
Soeharto melakukan intervensi yang kuat untuk memonitor dan mengatur protes
buruh. Dia memiliki perangkat Surat Keputusan Bakorstanas No.02/Satnas/XII/1990 dan
Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 342/Men/1986. Jika ada perselisihan antara buruh
dengan pengusaha, maka yang berhak memediasi adalah militer. Tak heran, para pekerja yang
kritis dan mencolok harus kuat menghadapi intimidasi dan penangkapan.
4 Mei 1993 para buruh PT. CPS melakukan unjuk rasa dengan mengajukan 12
tuntutan. Seluruh buruh dari Ketiga shift serentak masuk pagi dan mereka bersama-sama
memaksa untuk diperbolehkan masuk ke dalam pabrik. Satpam yang menjaga pabrik
menghalang-halangi para buruh shift II dan shift III. Para satpam juga mengibas-ibaskan
tongkat pemukul serta merobek poster dan spanduk para pengunjuk rasa sambil meneriakan
tuduhan PKI kepada para pengunjuk rasa aparat dari koramil dan kepolisian sudah berjaga-
jaga diperusahaan sebelum aksi berlangsung. Selanjutnya, Marsinah meminta waktu untuk
berunding dengan pengurus PT. CPS. Perundingan berjalan dengan hangat. Dalam
perundingan tersebut, sebagaimana dituturkan kawan-kawannya. Marsinah tampak
bersemangat menyuarakan tuntutan. Dialah satu-satunya perwakilan dari buruh yang tidak
mau mengurangi tuntutan. Khususnya tentang tunjangan tetap yang belum dibayarkan
pengusaha dan upah minimum sebesar Rp. 2.250,- per hari sesuaid engan kepmen 50/1992
tentang Upah Minimum Regional.
Kematian Marsinah
Mayatnya ditemukan di gubuk petani dekat hutan Wilangan, Nganjuk tanggal 9 Mei 1993. Ia
yang tidak lagi bernyawa ditemukan tergeletak dalam posisi melintang. Sekujur tubuhnya
penuh luka memar bekas pukulan benda keras. Kedua pergelangannya lecet-lecet, mungkin
karena diseret dalam keadaan terikat. Tulang panggulnya hancur karena pukulan benda keras
berkali-kali. Di sela-sela pahanya ada bercak-bercak darah, diduga karena penganiayaan
dengan benda tumpul. Pada bagian yang sama menempel kain putih yang berlumuran darah.
Mayatnya ditemukan dalam keadaan lemas, mengenaskan.
Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk
melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung
jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan
beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya. Delapan petinggi
PT CPS ditangkap secara diam-diam. tanpa prosedur resmi termasuk Setiap orang yang
diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh
Marsinah.
Di pengadilan, Yudi Susanto (pemilik PT CPS) divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah
stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding
ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada
tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari
segala dakwaan (bebas murni) Jaksa / Penuntut umum. Putusan Mahkamah Agung RI
tersebut setidaknya telah nimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan
bahwa penyelidikan kasus ini adalah "direkayasa" .
Kasus Marsinah merupakan kasus pelaggaran HAM di masa orde baru.Marsinah yang
memperjuangkan hak dia sebagai buruh tidak didengar oleh petinggi perusahaan dan
negara.Ada beberapa hak yang dituntut oleh Marsinah diantaranya :
Upah karyawan baru disamakan dengan buruh yang sudah 1 tahun bekerja
Jika merujuk pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD NRI 1945), jelas bahwa tindakan pembunuhan merupakan upaya berlebihan
dalam menyikapi tuntutan marsinah dan kawan-kawan buruh. Jelas bahwa tindakan
oknum pembunuh melanggar hak konstitusional Marsinah, khususnya hak untuk
menuntut upah sepatutnya. Hak tersebut secara tersurat dan tersirat ditegaskan dalam
Pasal 28D ayat (2) UUD NRI tahun 1945, bahwa setiap orang berhak untuk bekerja
serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan
kerja.Memperoleh kenaikan upah agar layak dan adil merupakan hak konstitusional.
Imlikasinya, pelanggaran terhadap amanah konstitusi tersebut merupakan
pelanggaran HAM, mengingat fungsi konstitusi salah satunya mengatur dan
melindungi HAM. Terkhusus dalam kasus marsinah, dasar hukum secara eksplisit
para penuntut pun telah ada, yaitu Surat Edaran Gubernur Jawa Timur No. 50/Th.
1992 yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan
karyawannya.
Kasus Marsinah merupakan kasus pembunahan keji oleh oknum aparat negara yang
membuat Marsinah ditemukan sudah tidak bernyawa dengan sekujur tubuhnya penuh
luka memar bekas pukulan benda keras.Kasus ini diatur oleh Pasal 9 UU No 26
Tahun 2000 ( Unsure Kejahatan Kemanusiaan ), dan juga mengandung unsur
pelanggaran hak asasi manusia mengenai hak hidup sebagaimana yang tercantumkan
dalam ICCPR. Pasal 9 UU No 26 Tahun 2000, dalam pasal ini menyebutkan bahwa:
“Kejahatan terhadap kemanusiaan … adalah salah satu perbuatan yang dilakukan
sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa
serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil ,berupa :
a. Pembunuhan;
b. Pemusnahan;
c. Perbudakan;
f. Penyiksaan;
j. Kejahatan apartheid.
Laporan Komnas HAM Tahun 2007, Pembunuhan terhadap pegiat HAM adalah
pelanggaran HAM yang tergolong serius, oleh karena itu ketidaktuntasan kasus ini
akan menjadi bukti betapa lemahnya pemerintah di kalangan intelejen dan pro status
quo untuk mengungkap kasus-kasus pembunuhanpara pembela HAM seperti kasus
aktivis buruh Marsinah,wartawan Udin, aktivis Aceh Jaffar Siddik, hakim
Syaifuddin dan Theys H. Eluay dan kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya
Pasal 9 ayat 1 UU No.39 tahun 1999 yang isinya “ Setiap orang berhak untuk
hidup,mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf hidupnya”. Kasus Marsinah
yang meperjuangkan Kenaikan upah sesuai kebutuhan buruh, THR minta satu bulan
gaji sesuai dengan himbauan pemerintahan, Uang makan ditambah,dan uang
transport ditambah merupakan hak untuk meningkatkan tariff hidupnya.Tetapi
perusahaan tempat Ia bekerja tidak menggubris malah menganggap para pendemo
merupakan golongan PKI ( Partai Komunis Indonesia )
Pasal 45 UU No.39 tahun 1999 yang isinya “ Hak wanita dalam Undang –Undang ini
adalah hak asasi manusia”. Pada kasus Marsinah,Marsinah menuntut untuk
Tunjangan cuti haid, Tunjangan cuti hamil tepat waktu adalah hak bagi wanita yang
bekerja sebagai buruh.
Pasal 49 ayat 2 dan 3 UU No.39 tahun 1999 yang isinya “ Wanita berhak untuk
mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya
terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya
bekenaan dengan fungsi reproduksi wanita”(ayat 2 ).” Hak khusus yang melekat pada
diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya ,dijamin dan dilindungi oleh
negara”( ayat 3 ). Kasus Marsinah merupakan kasus pelanggaran HAM terhadap
wanita seperti hasil visum dari mayat Marsinah yaitu ditemukannya luka robek
disekitar kemaluan hingga ke rongga perut sepanjang 3 cm,selaput dara Marsinah
robek,Penyiksaan terhadap salah satu staff perusahaan PT.CPS oleh oknum TNI yang
menyebabkan keguguran kehamilan pada usia 3 bulan.
KESIMPULAN :