Anda di halaman 1dari 9

Cerita Bougainville: Pulau Emas

yang Pilih Merdeka dari Papua


Nugini
Konten ini diproduksi oleh kumparan

Perbesar
Sebuah kendaraan yang mengibarkan bendera Bougainville lewat saat referendum
kemerdekaan yang tidak mengikat di Arawa, di pulau Bougainville, Papua Nugini. Foto:
REUTERS/Melvin Levongo

Lagu "My Bougainville" menggema di sudut-sudut jalan. Tawa dan


air mata menyelimuti puja-puji syukur timur Papua Nugini itu.
ADVERTISEMENT

Bagi rakyat Pulau Bougainville, memberontak bukan hanya sekadar


menggertak. Ada perjuangan panjang untuk bisa berdaulat:
merdeka dan berdiri di atas kaki sendiri.
Lebih dari 20 ribu warga sipil tewas dalam pemberontakan selama
bertahun-tahun. Sejak 1998, kelompok promerdeka yang terus
berjuang meminta referendum akhirnya kini terwujud. Wilayah
seluas 10.000 km persegi itu mendapat hak untuk menentukan
nasib sendiri pada 2019.

Perbesar

Peta Bougainville. Foto: maps4news.com via Reuters


Reuters melaporkan, referendum Bougainville yang digelar sejak 23
November-7 Desember 2019 memberikan dua pilihan: otonomi
atau kemerdekaan. Hasilnya, 181.067 kertas suara atau 98 persen
rakyat memilih opsi kedua. Pilihan otonomi hanya meraih 3,3
persen atau 3.043 suara, sedangkan suara sisanya tidak sah.
"Bahagia bukan kata yang sanggup mendefinisikannya. Kau lihat air
mata saya, ini adalah saat yang telah kami tunggu," kata seorang
warga, Alexia Baria, kepada AFP.
ADVERTISEMENT

Kendati suara menunjukkan merdeka, referendum tak serta merta


membuat Bougainville menjadi negara baru, termasuk bisa
benar-benar merdeka. Pasalnya, hasil referendum tersebut tidaklah
mengikat.
Keputusan akhir tetap di tangan pemerintah pusat Papua Nugini.
Perdana Menteri Papua Nugini, James Marape, hanya mengatakan
hasil referendum itu akan "dipertimbangkan".

Perbesar

Penduduk Bougainville berkumpul di tempat pemungutan suara dalam pemilihan kemerdekaan


bersejarah di Buka, Sabtu (23/12). Foto: NESS KERTON / AFP
"Hasil referendum tidak mengikat dan akan dipertimbangkan oleh
para pemimpin, baik dari Pemerintah Nasional dan Pemerintah
Otonomi Bougainville. Parlemen Nasional akan voting untuk
menyetujui hasilnya, apakah otonomi khusus atau untuk
kemerdekaan," kata Marape seperti dikutip dari media lokal, Post
Courier.
"Berikan Papua Nugini waktu yang cukup untuk menyerap hasil
ini," tambah Menteri Papua Nugini, Pua Temu, yang menegaskan
ada proses politik panjang dan ratifikasi di parlemen Papua,
diberitakan Reuters.

Gagal memuat gambar

Tap untuk memuat ulang

Presiden regional Bougainville John Momis (kanan) bersiap untuk memberikan suara dalam
pemungutan suara bersejarah kemerdekaan di Buka, Sabtu (23/11). Foto: NESS KERTON / AFP

Pulau Kecil dengan Emas dan Tembaga Melimpah


ADVERTISEMENT

Perselisihan Bougainville dengan Papua Nugini sudah terlihat jika


ditarik dari segi geografis dan budaya. Sebab, Bougainville yang
masuk dalam bagian Kepulauan Solomon --bekas koloni Inggris--,
menjadi bagian Papua Nugini pada 1975.
Pada abad 19, Bougainville dijajah Jerman. Selama Perang Dunia II,
pulau ini dipakai sebagai pangkalan militer Jepang. Setelahnya,
Bougainville dikuasai Australia. Saat Papua Nugini merdeka pada
1975, Bougainville masuk ke dalam wilayah kedaulatannya.
Perbesar

Penduduk Bougainville berkumpul di tempat pemungutan suara dalam pemungutan suara


bersejarah di Buka, Sabtu (23/11). Foto: NESS KERTON / AFP

Papua Nugini tentu tak bisa begitu saja melepas 'anaknya'. Apalagi,
Bougainville adalah pulau yang amat kaya akan emas dan tembaga,
termasuk perkebunan cokelat. Dengan kata lain, Bougainville
menjadi wilayah yang sangat menguntungkan bagi Papua Nugini.
Selain itu, Papua Nugini khawatir opsi merdeka akan jadi preseden
bagi puluhan provinsi lainnya yang bisa menuntut otonomi, pula
kemerdekaan.
ADVERTISEMENT

Mengutip Asia-Pasifik: Konflik, Kerja Sama, dan Relasi dan


Antarkawasan karya Sukawarsini Djelantik, konflik Bougainville
berawal dari eksploitasi pertambangan emas dan tembaga di
Panguna, Bougainville Tengah, yang dikelola Bougainville Copper
Limited --anak usaha perusahaan Inggris, Rio Tinto pada 1969.
Bahkan, pertambangan itu menyumbang pendapatan utama
pemerintah pusat.
Perbesar

Tambang Panguna di Bougainville. Foto: Dok. Google Maps

Namun, pemerintah pusat dinilai tak memperhatikan dampaknya.


Masalah sosial-ekonomi kian bergejolak, ditambah pekerja
pendatang yang terampil kian 'menjajah dan menggeser' penduduk
asli di pertambangan.
Rakyat merasa merekalah yang berhak mengelola pertambangan
tersebut. Berbekal dari situ, gerakan separatis pun bermunculan,
menuntut Bougainville bercerai. Pertumpahan darah
bertahun-tahun terjadi.

Gagal memuat gambar

Tap untuk memuat ulang

Perempuan menaruh bunga di rambut mereka ketika orang-orang mengantri untuk memberikan
suara di tempat pemungutan suara di ibukota Buka dalam pemungutan suara. Foto: NESS
KERTON / AFP
Rakyat awalnya menuntut otonomi yang lebih besar. Mereka
meminta adanya desentralisasi agar masing-masing wilayah bisa
mengelola sumber daya alam mereka sendiri.
ADVERTISEMENT

Meski kini tak ada aktivitas pertambangan di Tambang Panguna,


bukan berarti kekayaan di sana memudar. Bloomberg menyebut,
walau sudah 30 tahun ditutup, cadangan tembaga dan emas di
Panguna nilainya mencapai USD 58 miliar atau setara Rp 814,7
triliun. Bahkan kandungan tembaga diperkirakan sebesar 5,3 juta
metrik ton dan emas 19,3 juta ons.

Perbesar

Sejumlah orang mengikuti pemilu dalam referendum kemerdekaan yang tidak mengikat di
Komunitas Kunua, Bougainville, Papua Nugini 29 November 2019. Foto: Jeremy
Miller/Bougainville Referendum Commission/Handout via REUTERS

Bougainville pernah deklarasi kemerdekaan pada 1990


Meski mendeklarasikan kemerdekaan, Bougainville tak pernah
mendapat pengakuan internasional. Masih merujuk penelitian
Djelantik, pada 1997, Papua Nugini akhirnya berhasil 'meredakan'
konflik dengan negosiasi. Namun, negosiasi yang alot itu kian
menumbuhkan perselisihan.
Pada 2001, Bougainville Revolution Army (BRA) memperjuangkan
agar wilayah mereka memiliki otonomi. BRA dan Papua Nugini
meneken kesepakatan damai pada 30 Agustus 2001 tentang
jaminan otonomi luas. Kesepakatan itulah yang membuka peluang
adanya referendum tahun 2019 ini. Melansir Bougainville: Beyond
Survival karya Regan Anthony J, referendum diberikan setelah
10-15 tahun otonomi pertama berdiri, yakni pada 2001.
ADVERTISEMENT

10 tahun membangun negara


Pun kemerdekaan Bouganville disetujui, masih butuh waktu lama
untuk pulau tersebut membangun negara. Wakil Presiden
Bougainville, Raymond Masono, memperkirakan waktu 10 tahun
Bougainville untuk mandiri.
"Kami membayangkan waktu yang panjang untuk transisi.
Bougainville belum siap untuk merdeka sekarang, karena kami
tidak memiliki institusi negara yang mapan. Kami butuh waktu 10
tahun," kata dia.
Kendati demikian, rakyat Bouganville optimistis bisa membangun
negara mereka sendiri.
"Kami memang tidak punya rumah sakit, sekolah, atau jalanan dan
infrastruktur terbaik, tapi semangat kami tinggi dan itu akan
membawa kami kemana pun kami mau," kata penyiar radio lokal,
Sohia kepada AFP.
https://kumparan.com/kumparannews/cerita-bougainville-pulau-emas-yang-pilih-merdeka-da
ri-papua-nugini-1sQOmZQTf89/full

Anda mungkin juga menyukai