PENDAHULUAN
I. Konsep Penyakit GLOMERULONEFRITIS
1.1. Definisi
(www.google.com)
Glomerulonefritis kronis adalah suatu kondisi peradangan yang lama dari sel-sel
glomerulus. Kelainan ini dapat terjadi akibat glomerulonefritis akut yang tidak
membaik atau timbul secara spontan. Glomerulonefritis kronik sering timbul beberapa
tahun setelah cedera dan peradangan glomerulus subklinis yang disertai oleh
hematuria (darah dalam urine) dan proteinuria (protein dalam urine) ringan. (Arif
Muttaqin, 2011: 62)
1.4. Patofisiologi
Hampir pada semua tipe glomerulonefritis terjadi gangguan di lapisan epitel atau
lapisan podosit membran glomerulus. Gangguan ini mengakibatkan hilangnya muatan
negatif. Glomerulonefritis pasca streptokokal akut terjadi karena kompleks antigen-
antibodi terperangkap dan menumpuk di dalam membran kapiler glomerulos sesudah
infeksi oleh streptococcus beta-hemolyticus grup A. (Kowalak, Wells, Mayer, 2011:
570)
Menurut (Arif Muttaqin, 2011:52) secara patofisiologi, pada glomerulonefritis akut
akan terjadi dua perubahan, yaitu:
1.4.1. Perubahan Struktural
1.4.1.1. Poliferasi seluler: hal ini menyebabkan peningkatan jumlah sel di
glomerulus karena proliferasi endotel, mensangial, dan epitel sel.
Proliferasi tersebut dapat bersifat endokapiler (yaitu batas-batas dari
kapiler glomerular) atau ekstrakapiler (yaitu dalam ruang Bowman
yang melibatkan sel-sel epitel). Dalam proliferasi ekstrakapiler,
proliferasi sel epitel parietal mengarah pada pembentukan tententu
dari glomerulonefritis progresif cepat.
1.4.1.2. Proliferasi leukosit: hal ini ditunjukkkan dengan adanya neutrofil dan
monosit dalam lumen kapiler glomerulus dan sering menyertai
proliferasi seluler.
1.4.1.3. Penebalan membran basal glomerulus: perkembangan ini muncul
sebagai penebalan dinding kapiler baik di sisi endotel atau epitel
membran dasar.
1.4.1.4. Hialinisasi atau sklerosis: kondisi ini menunjukkan cedera ireversibel
1.4.2. Perubahan Fungsional
Perubahan fungsional meliputi proteinuria, hematuria, penurunan GFR (yaitu
oligoanuria), serta sedimen urine aktif dengan sel darah merah. Penurunan
GFR dan retensi air akan memberikan manifestasi terjadinya ekspansi volume
intravaskular,edema, dan hipertensi sistemik. (Arif Muttaqin, 2011:54)
1.6. Komplikasi
Menurut(Kowalak, Wells, Mayer, 2011: 572)kompilasi dari glomerulonefritis, yaitu:
1.6.1. Edema paru
1.6.2. Gagal jantung
1.6.3. Sepsis
1.6.4. Gagal ginjal
1.6.5. Hipertensi berat
1.6.6. Hipertrofi jantung
GLOMERULONEFRITIS AKUT
Aktivasi komplemen
2.2.1 Aktual/risiko kelebihan volume b.d penurunan volume urine, retensi cairan dan
natrium, peningkatan aldosteron sekunder dari penurunan GFR.
2.2.2. Risiko tinggi kejang b.d kerusakan hantaran saraf sekunder dari abnormalitas
elektrolit dan uremia.
2.2.3. Nyeri b.d respons inflamsi, kontraksi otot sekunder, adanya inflamsi glomerulus.
2.3.4. Risiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d ketidak adekuatan
intake nutrisi sekunder dari nyeri, ketidaknyaman lambung dan intestinal.
2.3.5. Gangguan Activity Daily Living (ADL) b.d edema ekstrimitas, kelemahan fisik
secara umum.
2.3. Perencanan
2.3.1. Aktual/risiko kelebihan volume b.d penurunan volume urine, retensi cairan dan
natrium, peningkatan aldosteron sekunder dari penurunan GFR.
Tujuan: dalam waktu 1x24 jam tidak terjadi kelebihan volume cairan sistemik
Kriteria hasil: pasien tidak sesak nafas, edema ekstrimitas berkurang, pitting
edema (-), produksi urine >600 ml/hr
2.3.1.1. Intervensi: Kaji adanya edema ekstrimitas
Rasional: curiga gagal kongestif/kelebihan volume cairan
2.3.1.2. Intervensi: Kaji tekanan darah
2.3.3. Nyeri b.d respons inflamsi, kontraksi otot sekunder, adanya inflamsi
glomerulus.
2.3.4.2. Intervensi: Mulai dengan makanan kecil dan tingkatkan sesuai denan
toleransi. Catat tanda kepenuhan gaster, regurgitis, dan diare
Rasional: kandungan makanan dapat mengakibatkan ketidaktoleran-
sian GI, memerlukan perubahan pada kecepatan atau tipe formula
2.3.4.3. Intervensi: Fasilitasi pasien memperoleh diet sesuai indikasi dan
anjurkan menghindari asupan dari agen iritan
Rasional: masukan minuman mengandung kafein dihindari karena
kafein adalah stimulan sistem saraf pusat yang meningkatkan
aktivitas lambung dan sekresi pepsin. Penggunaan alkohol juga
dihindari, demikian juga merokok karena nikotin akan mengurangi
sekresi bikarbonat pankreas dan karenanya menghambat netralisasi
asam lambung dalam duodenum. Nikotin juga meningkatkan
stimulasiparasimpatis yang meningkatkan aktivitas otot dalam usus
dan dapat menimbulkan mual dan muntah
2.3.4.4. Intervensi: Berikan diet secara rutin
Rasional: pemberian rutin tiga kali sehari dengan ditunjang pemberian
reseptor penghambat H2 memiliki arti meningkatkan efisiensi dan
efektifitas dalam persiapan material makanan dan makanan masih
dalam keadaan hangat, serta memudahkan perawat dan ahli gizi dalam
memantau kemampuan makan dari pasien
2.3.4.5. Intervensi: Beri makan dalam keadaan hangat dan porsi kecil serta
diet TKTPRG (tinggi kalori tinggi protein rendah gula)
Rasional: untuk meningkatkan selera dan mencegah mual,
mempercepat perbaikan kondisi, serta mengurangi beban kerja
jantung
2.3.4.6. Intervensi: Berikan nutrisi secara parental
Rasional: nutrisi secara intravena dapat membantu memnuhi
kebutuhan nutrisi yang diperlukan oleh pasien untuk mempertahankan
kebutuhan nutrisi harian
2.3.5. Gangguan Activity Daily Living (ADL) b.d edema ekstrimitas, kelemahan
fisik secara umum.
Tujuan: dalam waktu 3x24 jam aktivitas sehari-hari klien terpenuhi dan
meningkatnya kemampuan beraktifitas
Kriteria hasil: klien menunjukkan kemampuan beraktifitas tanpa gejala-gejala
yang berat, terutama mobilisasi di tempat tidur
2.3.5.1. Intervensi: Tingkatkan istirahat, batasi aktivitas, dan berikan aktivitas
senggang yang tidak berat
Rasional: dengan mengurangi aktivitas, maka akan menurunkan
konsumsi oksigen jaringan dan memberikan kesempatan jaringan yang
mengalami gangguan dapat diperbaiki kondisi yang lebih optimal
2.3.5.2. Intervensi: Anjurkan menghindari peningkatan tekanan abdomen
misalnya mengejan saat defekasi
Rasional: dengan mengejan dapat mengakibatkan bradikardi,
menurunkan curah jantung, dan takikardia, serta peningkatan tekanan
darah
2.3.5.3. Intervensi: Jelaskan pola peningkatan bertahap dari tingkat aktivitas,
contoh bangun dari kursi, bila tak ada nyeri, ambulasi, dan istirahat
selama 1 jam setelah makan
Rasional: aktivitas yang maju memberikan kontrol jantung,
meningkatkan regangan dan mencegah aktivitas berlebihan
2.3.5.4. Intervensi: Pertahankan rentang gerak pasif selama sakit kritis
Rasional: meningkatkan kotraksi otot sehingga membantu venous
return
2.3.5.5. Intervensi: Evaluasi tanda vital saat kemajuan aktivitas terjadi
Rasional: untuk mengetahui fungsi jantung, bila dikaitkan dengan
aktivitas
2.3.5.6. Intervensi: Berikan waktu istirahat di antara waktu aktivitas
Rasional: untuk mendapatkan cukup waktu resolusi bagi tubuh dan
tidak terlalu memaksa kerja jantung
2.3.6.9. Intervensi: Berikan diet sesuai pesanan (pembatasan air dan natrium)
C.Pearce, Evelyn. 2008. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Penerbit Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
Kowalak, Wells, Mayer. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Penerbit buku kedokteran. Jakarta: EGC
Muttaqin, Arif. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Penerbit Salemba
medika. Jakarta.
Preseptor klinik,
( ................................................)