Anda di halaman 1dari 15

Sindrom Nefritik Akut

Sindrom Nefritik Akut (SNA) merupakan suatu kumpulan gejala klinik berupa proteinuria,
hematuria, azotemia, red blood cast, oligouria, dan hipertensi (PHAROH) yang terjadi secara
akut.(1)
Istilah SNA sering digunakan bergantian dengan Glomerulonefritis Akut (GNA). GNA ini
adalah suatu istilah yang sifatnya lebih umum dan lebih menggambarkan proses histopatologi
berupa proliferasi dan inflamasi sel glomeruli akibat proses imunologik. Jadi, SNA merupakan
istilah yang bersifat klinik dan GNA merupakan istilah yang lebih bersifat histologik.(1)
Berbagai penyakit atau keadaan yang digolongkan ke dalam SNA antara lain: (1,6)

Glomerulonefritis kronik eksaserbasi akut

Penyakit ginjal dengan manifestasi hematuria:


o Glomerulonefritis fokal
o Nefritis heriditer (sindrom Alport)
o Nefropati Ig-A Ig-G (Maladie de Berger)
o Benign recurrent hematuria

Glomerulonefritis progresif cepat

Penyakit-penyakit sistemik:
o Purpura Henoch-Schoenlein (HSP)
o Lupus erythematosus sistemik (SLE)
o Endokarditis bakterial subakut (SBE) (1,6)

Glomerulonefritis sering ditemukan pada anak berumur antara 3-7 tahun dan lebih sering
mengenai anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Perbandingan antara anak laki-laki dan
perempuan adalah 2 : 1 dan jarang menyerang anak dibawah usia 3 tahun. (2)
Gejala glomerulonefritis bisa berlangsung secara mendadak (akut) atau secara menahun (kronis)
seringkali tidak diketahui karena tidak menimbulkan gejala. Gejalanya dapat berupa mual-mual,
kurang darah (anemia), atau hipertensi. Gejala umum berupa sembab kelopak mata, kencing
sedikit, dan berwarna merah, biasanya disertai hipertensi. Penyakit ini umumnya (sekitar 80%)
sembuh spontan, 10% menjadi kronis, dan 10% berakibat fatal.(2)

ETIOLOGI
1. Faktor Infeksi
a. Nefritis yang timbul setelah infeksi Streptococcus Beta Hemolyticus (Glomerulonefritis Akut
Pasca Streptokokus). Sindroma nefritik akut bisa timbul setelah suatu infeksi oleh streptokokus,
misalnya strep throat (radang tenggorokan). Kasus seperti ini disebut glomerulonefritis pasca
streptokokus. Glomeruli mengalami kerusakan akibat penimbunan antigen dari gumpalan
bakteri streptokokus yang mati dan antibodi yang menetralisirnya. Gumpalan ini membungkus
selaput glomeruli dan mempengaruhi fungsinya. Nefritis timbul dalam waktu 1-6 minggu (ratarata 2 minggu) setelah infeksi dan bakteri streptokokus telah mati, sehingga pemberian antibiotik
akan efektif. (6)
b. Nefritis yang berhubungan dengan infeksi sistemik lain : endokarditis bakterialis subakut dan
Shunt Nephritis. Penyebab post infeksi lainnya adalah virus dan parasit, penyakit ginjal dan
sistemik, endokarditis, pneumonia. Bakteri : diplokokus, streptokokus, staphylokokus. Virus:
Cytomegalovirus, coxsackievirus, Epstein-Barr virus, hepatitis B, rubella. Jamur dan parasit :
Toxoplasma gondii, filariasis, dll. (6)
2. Penyakit multisistemik, antara lain :
a. Lupus Eritematosus Sistemik
b. Purpura Henoch Schonlein (PHS) (1,6)
3. Penyakit Ginjal Primer, antara lain :
a. Nefropati IgA (1)
EPIDEMIOLOGI
Glomerulonefritis akut pasca streptokok yang klasik terutama menyerang anak dan orang dewasa
muda, dengan meningkatnya usia frekuensinya makin berkurang. Paling sering ditemukan pada
anak berumur antara 3-7 tahun dan lebih sering mengenai anak laki-laki dibandingkan anak
perempuan. Perbandingan antara anak laki-laki dan perempuan adalah 2 : 1 dan jarang
menyerang anak dibawah usia 3 tahun. (2, 3)
Lebih sering pada musim dingin dan puncaknya pada musim semi. Paling sering pada anak-anak
usia sekolah.(3)
PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESIS
Glomerulonefritis akut didahului oleh infeksi ekstra renal terutama di traktus respiratorius bagian
atas dan kulit oleh kuman streptococcus beta hemoliticus golongan A tipe 12,4,16,25,dan 29.
Hubungan antara glomerulonefritis akut dan infeksi streptococcus dikemukakan pertama kali
oleh Lohlein pada tahun 1907 dengan alasan timbulnya glomerulonefritis akut setelah infeksi

skarlatina, diisolasinya kuman streptococcus beta hemoliticus golongan A, dan meningkatnya


titer anti-streptolisin pada serum penderita. (3,7)
Antara infeksi bakteri dan timbulnya glomerulonefritis akut terdapat masa laten selama kurang
10 hari. Kuman streptococcus beta hemoliticus tipe 12 dan 25 lebih bersifat nefritogen daripada
yang lain, tapi hal ini tidak diketahui sebabnya. Kemungkinan factor iklim, keadaan gizi,
keadaan umum dan factor alergi mempengaruhi terjadinya glomerulonefritis akut setelah infeksi
kuman streptococcus. (7)
Patogenesis yang mendasari terjadinya GNAPS masih belum diketahui dengan pasti.
Berdasarkan pemeriksaan imunofluorosensi ginjal, jelas kiranya bahwa GNAPS adalah suatu
glomerulonefritis yang bermediakan imunologis. Pembentukan kompleks-imun in situ diduga
sebagai mekanisme patogenesis glomerulonefritis pascastreptokokus. (1)
Hipotesis lain yang sering disebut adalah neuraminidase yang dihasilkan oleh streptokokus,
merubah IgG menjadi autoantigenic. Akibatnya, terbentuk autoantibodi terhadap IgG yang telah
berubah tersebut. Selanjutnya terbentuk komplek imun dalam sirkulasi darah yang kemudian
mengendap di ginjal. (7)
Streptokinase yang merupakan sekret protein, diduga juga berperan pada terjadinya GNAPS.
Sreptokinase mempunyai kemampuan merubah plaminogen menjadi plasmin. Plasmin ini diduga
dapat mengaktifkan sistem komplemen sehingga terjadi cascade dari sistem komplemen. Pada
pemeriksaan imunofluoresen dapat ditemukan endapan dari C3 pada glomerulus, sedang protein
M yang terdapat pada permukaan molekul, dapat menahan terjadinya proses fagosistosis dan
meningkatkan virulensi kuman. Protein M terikat pada antigen yang terdapat pada basal
membran dan IgG antibodi yang terdapat dalam sirkulasi. (3)
Pada GNAPS, sistem imunitas humoral diduga berperan dengan ditemukannya endapan C3 dan
IgG pada subepitelial basal membran. Rendahnya komplemen C3 dan C5, serta normalnya
komplemen pada jalur klasik merupakan indikator bahwa aktifasi komplemen melalui jalur
alternatif. Komplemen C3 yang aktif akan menarik dan mengaktifkan monosit dan neutrofil, dan
menghasilkan infiltrat akibat adanya proses inflamasi dan selanjutnya terbentuk eksudat. Pada
proses inflamasi ini juga dihasilkan sitokin oleh sel glomerulus yang mengalami injuri dan
proliferasi dari sel mesangial. (1,7)
Dari hasil penyelidikan klinis imunologis dan percobaan pada binatang menunjukkan adanya
kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab glomerulonefritis akut. Beberapa ahli
mengajukan hipotesis sebagai berikut :
1. Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membrane basalis
glomerulus dan kemudian merusaknya.
2. Proses auto imun kuman streptococcus yang nefritogen dalam tubuh menimbulkan badan
auto-imun yang merusak glomerulus.

3. Streptococcus nefritogen dengan membrane basalis glomerulus mempunyai komponen


antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung merusak membrane basalis
ginjal. (7)
Kompleks imun atau anti Glomerular Basement Membrane (GBM) antibodi yang
mengendap/berlokasi pada glomeruli akan mengaktivasi komplemen jalur klasik atau alternatif
dari sistem koagulasi dan mengakibatkan peradangan glomeruli, menyebabkan terjadinya :
1. Hematuria, Proteinuria, dan Silinderuria (terutama silinder eritrosit)
2. Penurunan aliran darah ginjal sehingga menyebabkan Laju Filtrasi Ginjal (LFG) juga
menurun. Hal ini berakibat terjadinya oligouria dan terjadi retensi air dan garam akibat
kerusakan ginjal. Hal ini akan menyebabkan terjadinya edema, hipervolemia, kongesti
vaskular (hipertensi, edema paru dengan gejala sesak nafas, rhonkhi, kardiomegali),
azotemia, hiperkreatinemia, asidemia, hiperkalemia, hipokalsemia, dan hiperfosfatemia
semakin nyata, bila LFG sangat menurun.
3. Hipoperfusi yang menyebabkan aktivasi sistem renin-angiotensin. Angiotensin 2 yang
bersifat vasokonstriktor perifer akan meningkat jumlahnya dan menyebabkan perfusi
ginjal semakin menurun. Selain itu, LFG juga makin menurun disamping timbulnya
hipertensi.
Angiotensin 2 yang meningkat ini akan merangsang kortek adrenal untuk melepaskan aldosteron
yang menyebabkan retensi air dan garam ginjal dan akhirnya terjadi hipervolemia dan
hipertensi. (1)
GEJALA KLINIS
SNA sering terjadi pada anak laki-laki usia 2-14 tahun, gejala yang pertama kali muncul adalah
penimbunan cairan disertai pembengkakan jaringan (edema) di sekitar wajah dan kelopak mata
(infeksi post streptokokal). Pada awalnya edema timbul sebagai pembengkakan di wajah dan
kelopak mata, tetapi selanjutnya lebih dominan di tungkai dan bisa menjadi hebat. Berkurangnya
volume air kemih dan air kemih berwarna gelap karena mengandung darah, tekanan darah bisa
meningkat. Gejala tidak spesifik seperti letargi, demam, nyeri abdomen, dan malaise. Gejalanya :
(8)

Onset akut (kurang dari 7 hari)

Hematuria baik secara makroskopik maupun mikroskopik. Gross hematuria 30%


ditemukan pada anak-anak.

Oliguria

Edema (perifer atau periorbital), 85% ditemukan pada anak-anak; edema bisa ditemukan
sedang sampai berat.

Sakit kepala, jika disertai dengan hipertensi.

Dyspnea, jika terjadi gagal jantung atau edema pulmo; biasanya jarang.

Kadang disertai dengan gejala spesifik; mual dan muntah, purpura pada HenochSchoenlein, artralgia yang berbuhungan dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
(6,7,8)

Gejala lain yang mungkin muncul :

Pengelihatan kabur

Batuk berdahak

Penurunan kesadaran

Malaise

Sesak napas (6)

Pemeriksaan Urine terdapat sedimen eritrosit (+) sampai (++++), juga torak eritrosit (+) pada 6085% kasus. Pada pemeriksaan darah, didapatkan titer ASO meningkat dan kadar C3 menurun.
Pada pemeriksaan throat swab atau skin swab dapat ditemukan streptokokkus. Pemeriksaan
foto thorax PA tegak dan lateral dekubitus kanan dapat ditemukan kelainan berupa kardiomegali,
edema paru, kongesti paru, dan efusi pleura (nephritic lung). (8)
DIAGNOSIS
Kriteria Klinik:(8)

1.

1. Onsetnya akut. (kurang dari 7 hari)


2. Edema. Paling sering muncul di Palpebra pada saat bangun pagi, disusul tungkai,
abdomen, dan genitalia.
3. Hematuri. Hematuri makroskopik berupa urin coklat kemerah-merahan seperti teh tua /
air cucian daging biasanya muncul pada minggu pertama. Hematuri makroskopik muncul
pada 30 50 % kasus, sedangkan hematuri mikroskopik ditemui pada hampir semua
kasus
4. Hipertensi. Muncul pada 50-90% kasus, umumnya hipertensi ringan dan timbul dalam
minggu pertama. Adakalanya terjadi hipertensi ensefalopati (5-10% kasus). Dikatakan
hipertensi jika tekanan darah sistolik dan atau diastolik tiga kali berturut-turut di atas
persentil 95 menurut umur dan jenis kelamin. Praktisnya:

1. Hipertensi ringan jika tekanan darah diastolik 80 95 mmHg


2. Hipertensi sedang jika tekanan darah diastolik 95 115 mmHg
3. Hipertensi berat jika tekanan darah diastolik lebih dari 115 mmHg
5. Oligouri. Terdapat pada 5-10% kasus. Dikatakan oligouri bila produksi urin kurang dari
atau sama dengan 1 cc/kgBB/jam. Umumnya terjadi pada minggu pertama dan
menghilang bersama dengan diuresis pada akhir minggu pertama.
Laboratorium(8)

2.

1. Sedimen Urin
1. Eritrosit (+) sampai (++++)
2. Torak eritrosit (+) pada 60 85% kasus
2. Darah
1. Titer ASO meningkat pada 80 95% kasus.
2. Kadar C3 (B1C globulin) turun pada 80 90% kasus.
Pemeriksaan Penunjang(8)

3.

1. Laboratorium
1. Darah

LED dan hematokrit diperiksa pada saat masuk rumah sakit dan diulangi
tiap minggu

Eiwit spektrum (albumin, globulin) dan kolesterol diperiksa waktu masuk


rumah sakit dan diulangi bila perlu

Kadar ureum, kreatinin, klirens kreatinin diperiksa waktu masuk rumah


sakit.

2. Urin. Proteinuri diperiksa tiap hari

Kualitatif (-) sampai (++), jarang yang sampai (+++)

Kuantitatif kurang dari atau sama dengan 2 gram/m2/24 jam

Volume ditampung 24 jam setiap hari

3. Bakteriologi. Pada Throat swab atau skin swab dapat ditemukan streptokokkus
pada 10-15% kasus
4. Pencitraan. Foto thorax PA tegak dan lateral dekubitus kanan. Pemeriksaan foto
thorax PA tegak dan lateral dekubitus kanan dapat ditemukan kelainan berupa
kardiomegali, edema paru, kongesti paru, dan efusi pleura (nephritic lung). Foto
thorax diperiksa waktu masuk rumah sakit dan diulang 7 hari kemudian bila ada
kelainan.
Diagnosis GNAPS ditegakkan bila ada lebih dari atau dua dari empat gejala klinik kardinal
(edema, hematuri, hipertensi, oligouri) disertai meningkatnya kadar ASO dan turunnya kadar C3.
Juga dapat ditegakkan bila keempat gejala kardinal muncul bersamaan (full blown case).(8)
KOMPLIKASI
1.
Fase Akut :
Komplikasi utamanya adalah Gagal Ginjal Akut. Meskipun perkembangan ke arah sklerosis
jarang, pada 0.5%- 2% pasien dengan Glomerulonefritis Akut tahap perkembangan ke arah gagal
ginjal periodenya cepat.(6)
Komplikasi lain dapat berhubungan dengan kerusakan organ pada sistem saraf pusat dan
kardiopulmoner, bisa berkembang dengan pasien hipertensi berat, encephalopati, dan pulmonary
edema. Komplikasinya antara lain :
1. Retinopati hipertensi
2. Encephalopati hipertensif
3. Payah jantung karena hipertensi dan hipervolemia (volume overload)
4. Edema Paru
5. Glomerulonefritis progresif(7)
2. Jangka Panjang:
1. Abnormalitas urinalisis (microhematuria)
2. Gagal ginjal kronik
3. Sindrom nefrotik (6,7)

PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksaaannya adalah untuk mengurangi inflamasi pada ginjal dan mengontrol
tekanan darah. Pengobatannya termasuk penggunaan antibiotik ataupun terapi lainnya.(6)
1. Tirah baring
Terutama pada minggu pertama penyakit untuk mencegah komplikasi. Sesudah fase akut
istirahat tidak dibatasi lagi tetapi tidak boleh kegiatan berlebihan. Penderita dipulangkan bila
keadaan umumnya baik, biasanya setelah 10-14 hari perawatan.(8)
2. Diet
a. Protein: 1-2 gram/kg BB/ hari untuk kadar Ureum normal, dan 0,5-1 gram/kg BB/hari untuk
Ureum lebih dari atau sama dengan 40 mg%
b. Garam: 1-2 gram perhari untuk edema ringan, dan tanpa garam bila anasarka.
c. Kalori: 100 kalori/kgBB/hari.
d. Intake cairan diperhitungkan bila oligouri atau anuri, yaitu: Intake cairan = jumlah urin +
insensible loss (20-25cc/kgBB/hari + jumlah kebutuhan cairan setiap kenaikan suhu dari normal
[10cc/kgBB/hari])(8)
3. Medikamentosa
1. Antibiotik
Penisilin Prokain (PP) 50.000-100.000 SI/KgBB/hari atau ampisilin/amoxicillin dosis
100mg/kgBB/hari atau eritromisin oral 30-50 mg/KgBB/hari dibagi 3 dosis selama 10 hari untuk
eradikasi kuman. Pemberian antibiotik bila ada tonsilitis, piodermi atau tanda-tanda infeksi
lainnya.(8)
2. Anti Hipertensi
a. Hipertensi Ringan: Istirahat dan pembatasan cairan. Tekanan darah akan normal dalam 1
minggu setelah diuresis.
b. Hipertensi sedang dan berat diberikan kaptopril 0,5-3mg/kgBB/hari dan furosemide 12mg/kgBB/hari per oral.(8)
4. Tindakan Khusus
Edema Paru Akut: Bila disertai batuk, sesak napas, sianosis, dan pemeriksaan fisis paru
menunjukkan ronkhi basah. Tindakan yang dilakukan adalah:(8)
1. Stop Intake peroral.
2. IVFD dextrose 5%-10% sesuai kebutuhan per 24 jam
3. Pemberian oksigen 2-5 L/menit

4. Furosemide 2 mg/kgBB (IV) dan dinaikkan secara bertahap sampai maksimal 10


mg/kgBB/hari.
5. Bolus NB 2-4 mEq/kgBB/hari bila ada tanda asidosis metabolik
Hipertensi Ensefalopati: Hipertensi dengan tekanan darah sistolik 180 mmHg atau diastolik
120 mmHg, atau selain itu tetapi disertai gejala serebral berupa sakit kepala, muntah, gangguan
pengelihatan, kesadaran menurun, dan kejang. Tindakan yang dilakukan adalah:(8)
1. Stop Intake peroral.
2. IVFD dextrose 5%-10% sesuai kebutuhan per 24 jam
3. Nifedipin sublingual 0,25mg/kgBB diulangi 30-60 menit bila perlu. Atau klonidin
0,002mg/kgBB/kali (IV), dinaikkan dengan interval 2 sampai 3 jam, maksimal
0,05mg/kgBB/hari.
4. Furosemide 2 mg/kgBB (IV) dan dinaikkan secara bertahap sampai maksimal 10
mg/kgBB/hari.
5. Bila tekanan darah telah turun, yaitu diastol kurang dari 100mmHg, dilanjutkan dengan
kaptopril 0,5-3mg/kgBB/hari + furosemide 1-2mg/kgBB/hari.
6. Kejang diatasi dengan antikonvulsan. (8)

DAFTAR PUSTAKA
1. Konsensus IDAI Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus. 2012. Jakarta.
2. Maria, Marella. Penegakan Diagnosos Glomerulonefritis Akut pada Anak, [online],
http://www.fkumyecase.net/wiki/index.php?
page=Penegakan+Diagnosis+Glomerulonefritis+Akut+pada+Pasien+Anak (diakses pada
30 Juli 2012)
3. Glomerulonefritis Akut. 2005. [online], http://www.scribd.com/mobile/doc/48862772
(diakses pada 31 Juli 2012)
4. Sjaifullah Noer, Muhammad. Niniek Soemyarso. Glomerulonefritis Akut Paska
Streptokokkus. [online], http://www.pediatrik.com/isi03.php?
page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=07110-puzf261.htm
(diakses pada 31 Juli 2012)

5. http://www2.niddk.nih.gov/NIDDKLabs/Glomerular_Disease_Primer/KidneyDisease.ht
m (diakses pada 31 Juli 2012)
6. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000495.htm (diakses pada 31 Juli 2012)
7. http://dp-coass.blogspot.com/2010/05/sna-pada-anak.html (diakses pada 31 Juli 2012)
8. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin: Standar
Pelayanan Medik Anak. Makassar. 2009

Currently, diabetic nephropathy is the leading cause of chronic kidney disease in the United
States and other Western societies. It is also one of the most significant long-term complications
in terms of morbidity and mortality for individual patients with diabetes. Diabetes is responsible
for 30-40% of all end-stage renal disease (ESRD) cases in the United States. (See Prognosis.)
Generally, diabetic nephropathy is considered after a routine urinalysis and screening for
microalbuminuria in the setting of diabetes. Patients may have physical findings associated with
long-standing diabetes mellitus. (See Clinical Presentation.)
Good evidence suggests that early treatment delays or prevents the onset of diabetic
nephropathy or diabetic kidney disease. (See Treatment and Management.)
Regular outpatient follow-up is key in managing diabetic nephropathy successfully. (See Longterm Monitoring.)
Recently, attention has been called to atypical presentations of diabetic nephropathy with
dissociation of proteinuria from reduced kidney function. Also noted is that microalbuminuria is
not always predictive of diabetic nephropathy.[1] Nevertheless, a majority of the cases of diabetic
nephropathy presents with proteinuria, which progressively gets worse as the disease progresses,
and is almost uniformly associated with hypertension.

Pathophysiology
Three major histologic changes occur in the glomeruli of persons with diabetic nephropathy.
First, mesangial expansion is directly induced by hyperglycemia, perhaps via increased matrix
production or glycosylation of matrix proteins. Second, thickening of the glomerular basement
membrane (GBM) occurs. Third, glomerular sclerosis is caused by intraglomerular hypertension
(induced by dilatation of the afferent renal artery or from ischemic injury induced by hyaline
narrowing of the vessels supplying the glomeruli). These different histologic patterns appear to
have similar prognostic significance.
The key change in diabetic glomerulopathy is augmentation of extracellular matrix. The earliest
morphologic abnormality in diabetic nephropathy is the thickening of the GBM and expansion of
the mesangium due to accumulation of extracellular matrix. The image below is a simple schema
for the pathogenesis of diabetic nephropathy.

Simple schema for the pathogenesis of diabetic


nephropathy.

Light microscopy findings show an increase in the solid spaces of the tuft, most frequently
observed as coarse branching of solid (positive periodic-acid Schiff reaction) material (diffuse
diabetic glomerulopathy). Large acellular accumulations also may be observed within these
areas. These are circular on section and are known as the Kimmelstiel-Wilson lesions/nodules.
Immunofluorescence microscopy may reveal deposition of albumin, immunoglobulins, fibrin,
and other plasma proteins along the GBM in a linear pattern, most likely as a result of exudation
from the blood vessels, but this is not immunopathogenetic or diagnostic and does not imply an
immunologic pathophysiology. The renal vasculature typically displays evidence of
atherosclerosis, usually due to concomitant hyperlipidemia and hypertensive arteriosclerosis.
Electron microscopy provides a more detailed definition of the structures involved. In advanced
disease, the mesangial regions occupy a large proportion of the tuft, with prominent matrix
content. Further, the basement membrane in the capillary walls (ie, the peripheral basement
membrane) is thicker than normal.

The severity of diabetic glomerulopathy is estimated by the thickness of the peripheral basement
membrane and mesangium and matrix expressed as a fraction of appropriate spaces (eg, volume
fraction of mesangium/glomerulus, matrix/mesangium, or matrix/glomerulus).
The glomeruli and kidneys are typically normal or increased in size initially, thus distinguishing
diabetic nephropathy from most other forms of chronic renal insufficiency, wherein renal size is
reduced (except renal amyloidosis and polycystic kidney disease).
In addition to the renal hemodynamic alterations, patients with overt diabetic nephropathy
(dipstick-positive proteinuria and decreasing glomerular filtration rate [GFR]) generally develop
systemic hypertension. Hypertension is an adverse factor in all progressive renal diseases and
seems especially so in diabetic nephropathy. The deleterious effects of hypertension are likely
directed at the vasculature and microvasculature.
Evidence suggests that hypertension associated with obesity, metabolic syndrome, and diabetes
may play an important role in the pathogenesis of diabetic nephropathy. Central obesity,
metabolic syndrome, and diabetes lead to increased blood pressure.
Central obesity induces hypertension initially by increasing renal tubular reabsorption of sodium
and causing a hypertensive shift of renal-pressure natriuresis through multiple mechanisms,
including activation of the sympathetic nervous system and renin-angiotensin-aldosterone
system, as well as physical compression of the kidneys.[2] Hypertension, along with increases in
intraglomerular capillary pressure and the metabolic abnormalities (eg, dyslipidemia,
hyperglycemia) likely interact to accelerate renal injury.
Similar to obesity-associated glomerular hyperfiltration, renal vasodilation, increases in the
glomerular filtration rate and intraglomerular capillary pressure, and increased blood pressure
also are characteristics of diabetic nephropathy.[3] Increased systolic blood pressure further
exacerbates the disease progression to proteinuria and a decline in the glomerular filtration rate,
leading to end-stage kidney disease.

Etiology
The exact cause of diabetic nephropathy is unknown, but various postulated mechanisms are
hyperglycemia (causing hyperfiltration and renal injury), advanced glycosylation products, and
activation of cytokines. Many investigators now agree that diabetes is an autoimmune disorder,
with overlapping pathophysiologies contributing to both type 1 and type 2 diabetes; and recent
research highlights the pivotal role of innate immunity (toll-like receptors) and regulatory T-cells
(Treg).[4]
Glycemic control reflects the balance between dietary intake and gluconeogenesis and tissue
uptake or utilization through storage as glycogen or fat and oxidation. This balance is regulated

by insulin production from the cells in the pancreas. Insulin regulates serum glucose through its
actions on liver, skeletal muscle, and fat tissue. When there is insulin resistance, insulin cannot
suppress hepatic gluconeogenesis, which leads to hyperglycemia. Simultaneously, insulin
resistance in the adipose tissue and skeletal muscle leads to increased lipolysis, causing
hyperlipidemia in addition to hyperglycemia.
Evidence suggests that when there is insulin resistance, the pancreas is forced to increase its
insulin output, which stresses the cells, eventually resulting in -cell exhaustion. The high
blood glucose levels and high levels of saturated fatty acids create an inflammatory medium,
resulting in activation of the innate immune system, which results in activation of the nuclear
transcription factors-kappa B (NF-B), and release of inflammatory mediators, including,
interleukin (IL)1 and tumor necrosis factor (TNF), promoting systemic insulin resistance
and -cell damage as a result of autoimmune insulitis.
The consequent insulin resistance further leads to high glucose levels, along with high serum
levels of free fatty acids and IL-1, leading to glucotoxicity, lipotoxicity, and IL-1 toxicity,
resulting in apoptotic -cell death.
Hyperglycemia also increases the expression of transforming growth factor- (TGF-) in the
glomeruli and of matrix proteins, specifically stimulated by this cytokine. TGF- and vascular
endothelial growth factor (VEGF) may contribute to the cellular hypertrophy and enhanced
collagen synthesis and may induce the vascular changes observed in persons with diabetic
nephropathy.[5, 6] Hyperglycemia also may activate protein kinase C, which may contribute to
renal disease and other vascular complications of diabetes.[7]
Familial or perhaps even genetic factors also play a role. Certain ethnic groups, particularly
African Americans, persons of Hispanic origin, and American Indians, may be particularly
disposed to renal disease as a complication of diabetes.
It has been argued that the genetic predisposition to diabetes that is so frequent in Western
societies, and even more so in minorities, reflects the fact that in the past, insulin resistance
conferred a survival advantage (the so-called thrifty genotype hypothesis).
Some evidence has accrued for a polymorphism in the gene for angiotensin-converting enzyme
(ACE) in either predisposing to nephropathy or accelerating its course. However, definitive
genetic markers have yet to be identified. More recently, the role of epigenetic factors, especially
micro-RNAs, has appeared as another contributing mechanism.[

History
Diabetic nephropathy should be considered in patients who have diabetes mellitus (DM) and a
history of one or more of the following:

Passing of foamy urine

Otherwise unexplained proteinuria

Diabetic retinopathy

Fatigue and foot edema secondary to hypoalbuminemia (if nephrotic


syndrome is present)

Other associated disorders such as peripheral vascular occlusive disease,


hypertension, or coronary artery disease

Physical Examination
Generally, diabetic nephropathy is considered after a routine urinalysis and screening for
microalbuminuria in the setting of diabetes. Patients may have physical findings associated with
long-standing diabetes mellitus, such as the following:

Hypertension

Peripheral vascular occlusive disease (decreased peripheral pulses, carotid


bruits)

Evidence of diabetic neuropathy in the form of decreased fine sensations and


diminished tendon reflexes

Evidence of fourth heart sound during cardiac auscultation

Nonhealing skin ulcers/osteomyelitis

Almost all patients with nephropathy and type 1 DM demonstrate signs of diabetic microvascular
disease, such as retinopathy and neuropathy.[12] Clinical detection of the retinopathy is easy, and
in these patients the condition typically precedes the onset of overt nephropathy. The converse is
not true. Only a minority of patients with advanced retinopathy have histologic changes in the
glomeruli and increased protein excretion that is at least in the microalbuminuric range, and most
have little or no renal disease (as assessed by renal biopsy and protein excretion).
Patients with type 2 DM who have marked proteinuria and retinopathy typically have diabetic
nephropathy, while those persons who do not have retinopathy frequently exhibit nondiabetic
glomerular disease.
To see complete information on the conditions below, please go to the main article by clicking on
the title:

Diabetic Neuropathy

Diabetic Retinopathy

Diabetic Foot

Diabetic Foot Infections

Diabetic Lumbosacral Plexopathy

Diabetic Ulcers

Anda mungkin juga menyukai