Defenisi
2. Etiologi
Glomrulonefritis pasca infeksi disebabkan oleh mikroba yang bervariasi, mulai dari
virus, bakteri, jamur hinggah parasite. Contoh bakteri yang dapat menyebabkan infeksi
antara lain Stafilokokus, Pneumokokus, bakteri-bakteri gram negativ, Chalamydia, dan
Mycoplasma. Dari golongan virus, herpes simplex virus herpes, Cytomegalovirus,
Epistein-barr virus merupakan etiologi tersering. Toksoplasma dan plasmodium malariae
merupakan parasit yang dapat menyebabkan glomerulonefritis, berdasarkan reaksi
hemolisis yang ditimbulkan, streptokokus terbagi menjadi tiga golongan, yaitu hemolisis
alfa, beta, dan gamma. Hemolisis alfa merupakan reaksi hemolisis tidak sempurna
streptokokus terhadap eritrosit yang ditunjukan dari adanya pigmen kehijauan.
Sterptokokus hemolilis beta merupakan kelompok streptokokus yang dapat melisiskan
eritrosit dengan sempurna. Sedangkan streptokokus hemolilis gamma merupakan
kelompok sterptokokus yang tidak memiliskan eritrosit (Yusria, 2016).
3. Patofisiologi
Patofisiologi pada pasien GNA menurut (Ramon Adyesa Tobe, 2019) yang
muncul pada anak dengan glomeruloenfritis akut adalah: Hampir pada semua tipe
glomerulonefritis terjadi gangguan di lapisan epitel atau lapisan podosit membran
glomerulus. Gangguan ini mengakibatkan hilangnya muatan negatif. Glomerulonefritis
pasca streptokokal akut terjadi karena kompleks antigen-antibodi terperangkap dan
menumpuk di dalam membran kapiler glomerulus sesudah infeksi oleh strepkococus
beta-hemoliticus grup A. Antigen tersebut, yang bisa endogen atau eksogen,
menstimulasi pembentukan antibody. Kompleks antigen-antibodi yang beredar di dalam
darah akan tersangkut di dalam kapiler glomerulus. Cedera glomerulus terjadi ketika
kompleks tersebut memulai pengaktifan komplemen dan pelepasan substansi imunologi
yang menimbulkan lisis sel serta meningkatkan pemeabilitas membran.
5. Komplikasi
Menurut Dedi (2015) komplikasi pada pasien anak glomerulonefritis akut adalah:
1) Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari, terjadi sebagai akibat
berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufisiensi ginjal akut dengan
uremia, hiperkalemia, dan hiperfosfatemia. Walau oliguria atau anuria yang lama jarang
terdapat pada anak, namun bila hal ini terjadi maka dialisis peritoneum kadang-kadang di
perlukan.
2) Hipertensi ensefalopati, didapatkan gejala berupa gangguan penglihatan, pusing,
muntah dan kejang-kejang. Ini di sebabkan spasme pembuluh darah lokal dengan anoksia
dan edema otak.
3) Gangguan sirkulasi berupa dispne, ortopne, terdapatnya ronki basah, pembesaran
jantung dan meningginya tekanan darah yang bukan saja di sebabkan spasme pembuluh
darah, melainkan juga di sebabkan oleh bertambahnya volume plasma. Jantung dapat
memberas dan terjadi gagal jantung akibat hipertensi yang menetap dan kelainan di
miokardium.
4) Anemia yang timbul karena adanya hipervolemia di samping sintesis eritropoetik yang
menurun
6. Penatalaksanaan
Menurut Husien (2012) pengobatan pada pasien anak dengan glomerulonefritis
akut sebagai berikut:
1) Istirahat, Istirahat di tempat tidur terutama bila dijumpai komplikasi yang biasanya
timbul dalam minggu pertama perjalanan penyakit GNAPS. Sesudah fase akut, tidak
dianjurkan lagi istirahat di tempat tidur, tetapi tidak diizinkan 11 kegiatan seperti sebelum
sakit. Lamanya perawatan tergantung pada keadaan penyakit. Dahulu dianjurkan
prolonged bed rest
2) Sampai berbulan-bulan dengan alasan proteinuria dan hematuria mikroskopik belum
hilang. Kini lebih progresif, penderita dipulangkan sesudah 10-14 hari perawatan dengan
syarat tidak ada komplikasi. Bila masih dijumpai kelainan laboratorium urine, maka
dilakukan pengamatan lanjut pada waktu berobat jalan. Istirahat yang terlalu lama di
tempat tidur menyebabkan anak tidak dapat bermain dan jauh dari temantemannya,
sehingga dapat memberikan beban psikologik.
3) Diet, Jumlah garam yang diberikan perlu di perhatikan. Bila edema berat, di berikan
makanan tanpa garam, sedangkan bila edema ringan, pemberian garam dibatasi sebanyak
0,5-1 g/hari. Protein dibatasi bila kadar ureum meninggi, yaitu sebanyak 0,5-1
g/kgbb/hari. Asupan cairan harus diperhitungkan dengan baik, terutama pada penderita
oliguria atau anuria, yaitu jumlah cairan yang masuk harus seimbang dengan
pengeluaran, berarti asupan cairan = jumlah urin + insensible water loss (20-25 ml/kgbb/
hari) + jumlah keperluan cairan pada setiap kenaikan suhu dari normal (10 ml/kgbb/hari).
8. Penatalaksanaan
pasien GNAPS Eradikasi kuman dan pengobatan terhadap pasien anak gagal ginjal akut
menurut Rachmadi (2012).
1) Antibiotik, pengobatan antibiotik untuk infeksi kuman streptokokus yang menyerang
tenggorokan atau kulit sebelumnya, tidak mempengaruhi perjalanan atau beratnya
penyakit. Meskipun demikian, pengobatan antibiotik dapat mencegah penyebaran kuman
di masyarakat sehingga akan mengurangi kejadian GNAPS dan mencegah wabah.
Pemberian penisilin pada fase akut dianjurkan hanya untuk 10 hari, sedangkan pemberian
profilaksis yang lama tidak di anjurkan. Secara teoritis seorang anak dapat terinfeksi lagi
dengan kuman nefritogen lain, tetapi kemungkinan ini sangat kecil sekali. Jika alergi
terhadap golongan penisilin, diganti dengan eritromisin 30 mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis
selama 10 hari. Beberapa klinisi memberikan antibiotik hanya bila terbukti ada infeksi
yang masih aktif, namun sebagian ahli lainnya tetap menyarankan pemberian antibiotik
untuk menghindarkan terjadinya penularan dan wabah yang meluas. Pemberian terapi
penisilin 10 hari sekarang sudah bukan merupakan terapi baku emas lagi, sebab resistensi
yang makin meningkat, dan sebaiknya digantikan oleh antibiotik golongan sefalosporin
yang lebih sensitif dengan lama terapi yang lebih singkat.
2) Suportif, tidak ada pengobatan spesifik untuk GNAPS, pengobatan hanya merupakan
simptomatik. Pada kasus ringan, dapat dilakukan tirah baring, mengatasi sembab kalau
perlu dengan diuretik, atau mengatasi hipertensi yang timbul dengan vasodilator atau
obat-obat anti hipertensi yang sesuai. Pada gagal ginjal akut harus dilakukan restriksi
cairan, pengaturan nutrisi dengan pemberian diet yang mengandung kalori yang adekuat,
rendah protein, rendah natrium, serta restriksi kalium dan fosfat. Kontrol tekanan darah
dengan hidralazin, calcium channel blocker, beta blocker, atau diuretik. Pada keadaan
sembab paru atau gagal jantung kongestif akibat overload cairan perlu dilakukan restriksi
cairan, diuretik, kalau perlu dilakukan dialisis akut atau terapi pengganti ginjal.
Pembatasan aktivitas di lakukan selama fase awal, 14 terutama bila ada hipertensi. Tirah
baring dapat menurunkan derajat dan durasi hematuria gross, tetapi tidak mempengaruhi
perjalanan penyakit atau prognosis jangka panjang.
3) Edukasi penderita, penderita dan keluarganya perlu di jelaskan mengenai perjalanan
dan prognosis penyakitnya. Keluarga perlu memahami bahwa meskipun kesembuhan
yang sempurna di harapkan (95%), masih ada kemungkinan kecil terjadinya kelainan
yang menetap dan bahkan memburuk (5%). Perlu dielaskan rencana pemantauan
selanjutnya, pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan urin untuk protein dan
hematuria di lakukan dengan interval 4-6 minggu untuk 6 bulan pertama, kemudian tiap
3-6 bulan sampai hematuria dan proteinuria menghilang dan tekanan darah normal untuk
selama 1 tahun. Kadar Cɜ yang telah kembali normal setelah 8-10 minggu
menggambarkan prognosis yang baik
No Standar Keperawatan Standar Luaran Keperawatan Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia (SDKI) Indonesia (SLKI) Indonesia (SIKI)
1.
2.
3.
DAFTAR PUSTAKA
Afrizal, A. R., Amala, F. N., Saroh, S. A., Kedokteran, F., Surakarta, U. M., Ilmu, B., Anak, K.,
& Sayidiman, R. (n.d.). PENEGAKAN DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
GLOMERULONEFRITIS AKUT PASCA STREPTOCOCCUS ( GNAPS ) Diagnosis And
Management Of Acute Glomerulonephritis Post Streptococcus oleh Perbandingan pasien laki-
laki dan imunofluoresen Pasien juga mengeluhkan sering BAK sejak. 654–662.
Elfianto, E., & Novialdi, N. (2018). Diagnosis dan Penatalaksanaan Laringomalasia. Jurnal
Kesehatan Andalas, 7, 119. https://doi.org/10.25077/jka.v7i0.839
Ginjal, M., Gambaran, D. A. N., Ginjal, H., & Trihepsatiti, Y. (2018). YATIK TRIHEPSATITI.
Made Suadnyani Pasek. (2013). Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus pada Anak. Sari
Pediatri, 5(2), 58–63. http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/5-2-4.pdf
Putri, I. N., Kedokteran, F., & Lampung, U. (2017). Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus
dengan Krisis Hipertensi pada Anak Acute Glomerulonephritis Post Streptococcal Infection with
Hypertensive Crisis in Young Children. Repository Unila, 7(April), 57–62