Anda di halaman 1dari 15

1.

Defenisi

Glomerulonefritis merupakan suatu istilah yang dipakai untuk menjelaskan


berbagai jenis penyakit ginjal yang mengalami proliferasi dan inflamasi glomerulus yang
disebabkan oleh suatu mekanisme imunologis. Sedangkan istilah akut (glomerulonefritis
akut) mencerminkan adanya korelasi klinik selain menunjukkan adanya gambaran
etiologi, patogenesis, perjalanan penyakit dan prognosis, Glomerulonefritis akut (GNA)
juga merupakan penyakit yang disebabkan kompleks imun pada ginjal yang
menyebabkan kerusakan dinding sel, meningkatnya permeabilitas membran, dan
menurunnya filtrasi pada glomerulus (Hinestroza, 2018).

2. Etiologi
Glomrulonefritis pasca infeksi disebabkan oleh mikroba yang bervariasi, mulai dari
virus, bakteri, jamur hinggah parasite. Contoh bakteri yang dapat menyebabkan infeksi
antara lain Stafilokokus, Pneumokokus, bakteri-bakteri gram negativ, Chalamydia, dan
Mycoplasma. Dari golongan virus, herpes simplex virus herpes, Cytomegalovirus,
Epistein-barr virus merupakan etiologi tersering. Toksoplasma dan plasmodium malariae
merupakan parasit yang dapat menyebabkan glomerulonefritis, berdasarkan reaksi
hemolisis yang ditimbulkan, streptokokus terbagi menjadi tiga golongan, yaitu hemolisis
alfa, beta, dan gamma. Hemolisis alfa merupakan reaksi hemolisis tidak sempurna
streptokokus terhadap eritrosit yang ditunjukan dari adanya pigmen kehijauan.
Sterptokokus hemolilis beta merupakan kelompok streptokokus yang dapat melisiskan
eritrosit dengan sempurna. Sedangkan streptokokus hemolilis gamma merupakan
kelompok sterptokokus yang tidak memiliskan eritrosit (Yusria, 2016).
3. Patofisiologi
Patofisiologi pada pasien GNA menurut (Ramon Adyesa Tobe, 2019) yang
muncul pada anak dengan glomeruloenfritis akut adalah: Hampir pada semua tipe
glomerulonefritis terjadi gangguan di lapisan epitel atau lapisan podosit membran
glomerulus. Gangguan ini mengakibatkan hilangnya muatan negatif. Glomerulonefritis
pasca streptokokal akut terjadi karena kompleks antigen-antibodi terperangkap dan
menumpuk di dalam membran kapiler glomerulus sesudah infeksi oleh strepkococus
beta-hemoliticus grup A. Antigen tersebut, yang bisa endogen atau eksogen,
menstimulasi pembentukan antibody. Kompleks antigen-antibodi yang beredar di dalam
darah akan tersangkut di dalam kapiler glomerulus. Cedera glomerulus terjadi ketika
kompleks tersebut memulai pengaktifan komplemen dan pelepasan substansi imunologi
yang menimbulkan lisis sel serta meningkatkan pemeabilitas membran.

Intensitas kerusakan glomerulus dan insufisiensi renal berhubungan dengan


ukuran, jumlah, lokasi (lokal atau difus), durasi panjang dan tipe kompleks antigen-
antibodi dalam dinding kapiler glomerulus mengaktifkan mediator biokimiawi inflamasi
yaitu: komplemen, leukosit, dan fibrin. Komplemen yang sudah diaktifkan akan menarik
sel-sel neutrofil serta monosit yang melepaskan enzim lisosom. Enzim lisosom ini
merusak dinding sel glomerulus dan menyebabkan poliferasi matriks ekstrasel yang akan
mempengaruhi aliran darah glomerulus.

Perdarahan glomerulus menyebabkan urine menjadi asam. Keadaan ini akan


mengubah hemoglobin menjadi methemoglobinemia dan mengakibatkan urine berwarna
cokelat tanpa ada bekuan darah. Respons inflamasi akan menurunkan laju filtrasi
glomerulus, dan keadaan ini menyebabkan retensi cairan serta penurunan haluran urine,
peningkatan volume cairan serta penurunan ekstrasel, dan hipertensi. Proteinuria yang
nyata menyertai sindrom nefrotif sesudah 10 hingga 20 tahun kemudian akan menjadi
insufisiensi renal, yang diikuti oleh sindrom nefrotik dan gagal ginjal terminal. Laju
filtrasi glomerulus menurun dan gagal ginjal terjadi dalam waktu beberapa minggu atau
beberapa bulan. Nefropati IgA serta sel-sel inflamasi mengendap didalam ruang bowman.
Akibatnya adalah sklerosis dan fibrosis glomerulus serta penurunan laju filtrasi
glomerulus. Neftrosis lipid menyebabkan disrupsi membran filtrasi kapiler dan hilangnya
muatan negatif pada membran ini. Keadaan ini mengakibatkan permeabilitas yang
disertai hilangnya protein (Putri et al., 2017).

Glomerulus yang rusak dan mengalami inflamasi akan kehilangan kemampuan


untuk memiliki permeabilitas yang selektif sehinga sel darah merah dan protein dapat
melewati filtrasi membran tersebut ketika laju filtrasi glomerulus menurun. Keracunan
karena ureum dapat terjadi. Fungsi ginjal dapat memburuk, khususnya pada pasien
dewasa dngan glomerulus pasca streptokokal akut, yang umumnya berbentuk glomerulus
sklerosis dan disertai hipertensi. Semakin berat gangguan tersebut, semakin besar
kemungkinan komplikasi. Hipovolemik menimbulkan hipotensi yang bisa terjadi karena
retensi natrium dan air (akibat penurunan laju filtrasi glomerulus) atau pelepasan renin
yang tidak tepat. Pasien mengalami edema paru dan gagal jantung (Ramon Adyesa Tobe,
2019).
4. Manifestasi klinis
Menurut Ramon (2019) ada beberapa tanda dan gejala yang dimunculkan oleh
penderita glomerulonefritis akut antara lain:
1) Hematuria (kencing seperti air cucian daging). Hematuria dapat terjadi karena
kerusakan pada rumbai kapiler glomerulus
2) Proteinuria (protein dalam urine) adalah suatu kondisi dimana urine mengandung
jumlah protein yang tidak normal
3) Oliguria dan anuria Selama fase akut terdapat vasokontruksi arteriol glomerulus yang
mengakibatkan tekanan filtrasi menjadi kurang dan karena hal ini kecepatan filtrasi
glomerulus juga berkurang. Filtrasi air, garam, ureum, dan zat-zat lainnya berkurang
dan sebagai akibatnya kadar ureum dan kreatinin dalam darah meningkat. Fungsi
tubulus relativ kurang terganggu, ion natrium dan air dirsorbsi kembali sehingga
dieresis berkurang maka timbul oliguria dan anuria.
4) Edema Edema yang bisanya dimulai pada kelopak mata dan bisa ke seluruh tubuh,
edema dapat terjadi karena adanya akumulasi cairan akibat penurunan fungsi ginjal,
dimana terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus yang mengakibatkan ekskresi air,
natrium, zat-zat nitrogen mungkin berkurang, hingga menjadi edema.
5) Hipertensi Bila terdapat kerusakan jaringan ginjal, maka tekanan darah akan tetap
tinggi selama beberapa minggu dan akan menjadi permanen. Bila keadaan
penyakitnya menjadi kronis. Hal ini disebabkan akibat terinduksinya sistem renin-
angiotensin.
6) Hipertermi/suhu tubuh meningkat, dikarenakan adanya inflamsi oleh strepkokus
7) Menurunya out put urine (pengeluaran urine) adalah keadaan dimana produksi urine
seseorang kurang dari 500 mililiter dalam 24 jam
8) Anak pucat dan lesu
9) Mual muntah
10) Fatique (keletihan atau kelelahan) adalah suatu kondisi yang memiliki tanda
berkurangnya kapasitas yang dimiliki seseorang untuk berkerja dan mengurangi
efisiensi prestasi dan biasanya hal ini disertai dengan perasaan letih dan lesu.
11) Demam
12) Sesak napas
13) Anoreksia (penurunan nafsu makan)

5. Komplikasi
Menurut Dedi (2015) komplikasi pada pasien anak glomerulonefritis akut adalah:
1) Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari, terjadi sebagai akibat
berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufisiensi ginjal akut dengan
uremia, hiperkalemia, dan hiperfosfatemia. Walau oliguria atau anuria yang lama jarang
terdapat pada anak, namun bila hal ini terjadi maka dialisis peritoneum kadang-kadang di
perlukan.
2) Hipertensi ensefalopati, didapatkan gejala berupa gangguan penglihatan, pusing,
muntah dan kejang-kejang. Ini di sebabkan spasme pembuluh darah lokal dengan anoksia
dan edema otak.
3) Gangguan sirkulasi berupa dispne, ortopne, terdapatnya ronki basah, pembesaran
jantung dan meningginya tekanan darah yang bukan saja di sebabkan spasme pembuluh
darah, melainkan juga di sebabkan oleh bertambahnya volume plasma. Jantung dapat
memberas dan terjadi gagal jantung akibat hipertensi yang menetap dan kelainan di
miokardium.
4) Anemia yang timbul karena adanya hipervolemia di samping sintesis eritropoetik yang
menurun
6. Penatalaksanaan
Menurut Husien (2012) pengobatan pada pasien anak dengan glomerulonefritis
akut sebagai berikut:
1) Istirahat, Istirahat di tempat tidur terutama bila dijumpai komplikasi yang biasanya
timbul dalam minggu pertama perjalanan penyakit GNAPS. Sesudah fase akut, tidak
dianjurkan lagi istirahat di tempat tidur, tetapi tidak diizinkan 11 kegiatan seperti sebelum
sakit. Lamanya perawatan tergantung pada keadaan penyakit. Dahulu dianjurkan
prolonged bed rest
2) Sampai berbulan-bulan dengan alasan proteinuria dan hematuria mikroskopik belum
hilang. Kini lebih progresif, penderita dipulangkan sesudah 10-14 hari perawatan dengan
syarat tidak ada komplikasi. Bila masih dijumpai kelainan laboratorium urine, maka
dilakukan pengamatan lanjut pada waktu berobat jalan. Istirahat yang terlalu lama di
tempat tidur menyebabkan anak tidak dapat bermain dan jauh dari temantemannya,
sehingga dapat memberikan beban psikologik.
3) Diet, Jumlah garam yang diberikan perlu di perhatikan. Bila edema berat, di berikan
makanan tanpa garam, sedangkan bila edema ringan, pemberian garam dibatasi sebanyak
0,5-1 g/hari. Protein dibatasi bila kadar ureum meninggi, yaitu sebanyak 0,5-1
g/kgbb/hari. Asupan cairan harus diperhitungkan dengan baik, terutama pada penderita
oliguria atau anuria, yaitu jumlah cairan yang masuk harus seimbang dengan
pengeluaran, berarti asupan cairan = jumlah urin + insensible water loss (20-25 ml/kgbb/
hari) + jumlah keperluan cairan pada setiap kenaikan suhu dari normal (10 ml/kgbb/hari).

4) Antibiotik, Pemberian antibiotik pada GNAPS sampai sekarang masih sering di


pertentangkan. Pihak satu hanya memberi antibiotik bila tenggorokan atau kulit positif
untuk streptokokus, sedangkan pihak lain memberikannya secara rutin dengan alasan
biakan negatif belum dapat menyingkirkan infeksi streptokokus. Biakan negatif dapat
terjadi oleh karena telah mendapat antibiotik sebelum masuk rumah sakit atau akibat
periode laten yang terlalu lama (> 3 minggu). Terapi medikamentosa golongan penisilin
diberikan untuk eradikasi kuman, yaitu Amoksisilin 50 mg/kgbb dibagi dalam 3 dosis
selama 10 hari. Jika terdapat alergi terhadap golongan penisilin, dapat diberi eritromisin
dosis 30 mg/kgbb/hari.
5) Simptomatik
(1) Bendungan sirkulasi Hal paling penting dalam menangani sirkulasi adalah
pembatasan cairan, dengan kata lain asupan harus sesuai dengan keluaran. 12
(2) Hipertensi Tidak semua hipertensi harus mendapat pengobatan. Pada hipertensi
ringan dengan istirahat cukup dan pembatasan cairan yang baik, tekanan darah bisa
kembali normal dalam waktu 1 minggu. Pada hipertensi sedang atau berat tanpa tanda-
tanda serebral dapat diberi kaptopril (0,3-2 mg/kgbb/hari) atau furosemide atau
kombinasi keduanya. Selain obat-obat tersebut diatas, pada keadaan asupan oral cukup
baik dapat juga diberi nifedipin secara sublingual dengan dosis 0,25-0,5 mg/kgbb/hari
yang dapat diulangi setiap 30-60 menit bila diperlukan. Pada hipertensi berat atau
hipertensi dengan gejala serebral (ensefalopati hipertensi) dapat diberi klonidin (0,002-
0,006 mg/kgbb) yang dapat diulangi hingga 3 kali atau diazoxide 5 mg/ kgbb/hari secara
intravena. Kedua obat tersebut dapat digabung dengan furosemide (1 – 3 mg/kgbb).
6) Gangguan ginjal akut hal penting yang harus diperhatikan adalah pembatasan cairan,
pemberian kalori yang cukup dalam bentuk karbohidrat. Bila terjadi asidosis harus diberi
natrium bikarbonat dan bila terdapat hiperkalemia diberi Ca glukonas atau Kayexalate
untuk mengikat kalium.
7. Pemeriksaan penunjang
Menurut Dedi (2015) pemeriksaan penunjung pada pasien anak dengan glomerulonefritis
akut adalah:
1. Pemeriksaan urine sangat penting untuk menegakkan diagnosis neftritis akut. Volume
urine sering berkurang dengan warna gelap atau kecokelatan seperti air cucian daging.
2. Tes darah, bun (blood urea nitrogen:nitrogen urea darah) dan kreatinin meningkat
kreatinin serum meningkat bila fungsi ginjal mulai menurun. Albumin serum dan protein
total mungkin normal atau agak turun (karena hemodilusi).
3. Laju endap darah mininggi, kadar Hb menurun sebagai akibat hipovolemia (retensi
garam dan air). Pada pemeriksaan urine didapatkan jumlah urine mengurangi, berat jenis
meninggi. Hematuria makroskopis ditemukan pada 50% penderita. Ditemukan pula
albumin (+), eritrosit (++), leukosit (+), silinder leukosit, dan hialin. 13
4. Biopsi ginjal dapat diindikasikan jika dilakukan kemungkinan temuan meningkatnya
jumlah sel.

8. Penatalaksanaan
pasien GNAPS Eradikasi kuman dan pengobatan terhadap pasien anak gagal ginjal akut
menurut Rachmadi (2012).
1) Antibiotik, pengobatan antibiotik untuk infeksi kuman streptokokus yang menyerang
tenggorokan atau kulit sebelumnya, tidak mempengaruhi perjalanan atau beratnya
penyakit. Meskipun demikian, pengobatan antibiotik dapat mencegah penyebaran kuman
di masyarakat sehingga akan mengurangi kejadian GNAPS dan mencegah wabah.
Pemberian penisilin pada fase akut dianjurkan hanya untuk 10 hari, sedangkan pemberian
profilaksis yang lama tidak di anjurkan. Secara teoritis seorang anak dapat terinfeksi lagi
dengan kuman nefritogen lain, tetapi kemungkinan ini sangat kecil sekali. Jika alergi
terhadap golongan penisilin, diganti dengan eritromisin 30 mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis
selama 10 hari. Beberapa klinisi memberikan antibiotik hanya bila terbukti ada infeksi
yang masih aktif, namun sebagian ahli lainnya tetap menyarankan pemberian antibiotik
untuk menghindarkan terjadinya penularan dan wabah yang meluas. Pemberian terapi
penisilin 10 hari sekarang sudah bukan merupakan terapi baku emas lagi, sebab resistensi
yang makin meningkat, dan sebaiknya digantikan oleh antibiotik golongan sefalosporin
yang lebih sensitif dengan lama terapi yang lebih singkat.
2) Suportif, tidak ada pengobatan spesifik untuk GNAPS, pengobatan hanya merupakan
simptomatik. Pada kasus ringan, dapat dilakukan tirah baring, mengatasi sembab kalau
perlu dengan diuretik, atau mengatasi hipertensi yang timbul dengan vasodilator atau
obat-obat anti hipertensi yang sesuai. Pada gagal ginjal akut harus dilakukan restriksi
cairan, pengaturan nutrisi dengan pemberian diet yang mengandung kalori yang adekuat,
rendah protein, rendah natrium, serta restriksi kalium dan fosfat. Kontrol tekanan darah
dengan hidralazin, calcium channel blocker, beta blocker, atau diuretik. Pada keadaan
sembab paru atau gagal jantung kongestif akibat overload cairan perlu dilakukan restriksi
cairan, diuretik, kalau perlu dilakukan dialisis akut atau terapi pengganti ginjal.
Pembatasan aktivitas di lakukan selama fase awal, 14 terutama bila ada hipertensi. Tirah
baring dapat menurunkan derajat dan durasi hematuria gross, tetapi tidak mempengaruhi
perjalanan penyakit atau prognosis jangka panjang.
3) Edukasi penderita, penderita dan keluarganya perlu di jelaskan mengenai perjalanan
dan prognosis penyakitnya. Keluarga perlu memahami bahwa meskipun kesembuhan
yang sempurna di harapkan (95%), masih ada kemungkinan kecil terjadinya kelainan
yang menetap dan bahkan memburuk (5%). Perlu dielaskan rencana pemantauan
selanjutnya, pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan urin untuk protein dan
hematuria di lakukan dengan interval 4-6 minggu untuk 6 bulan pertama, kemudian tiap
3-6 bulan sampai hematuria dan proteinuria menghilang dan tekanan darah normal untuk
selama 1 tahun. Kadar Cɜ yang telah kembali normal setelah 8-10 minggu
menggambarkan prognosis yang baik
No Standar Keperawatan Standar Luaran Keperawatan Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia (SDKI) Indonesia (SLKI) Indonesia (SIKI)
1.
2.
3.
DAFTAR PUSTAKA

Afrizal, A. R., Amala, F. N., Saroh, S. A., Kedokteran, F., Surakarta, U. M., Ilmu, B., Anak, K.,
& Sayidiman, R. (n.d.). PENEGAKAN DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
GLOMERULONEFRITIS AKUT PASCA STREPTOCOCCUS ( GNAPS ) Diagnosis And
Management Of Acute Glomerulonephritis Post Streptococcus oleh Perbandingan pasien laki-
laki dan imunofluoresen Pasien juga mengeluhkan sering BAK sejak. 654–662.

Asmadi.2017. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: EGC

Brunner and Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC

Elfianto, E., & Novialdi, N. (2018). Diagnosis dan Penatalaksanaan Laringomalasia. Jurnal
Kesehatan Andalas, 7, 119. https://doi.org/10.25077/jka.v7i0.839

Ginjal, M., Gambaran, D. A. N., Ginjal, H., & Trihepsatiti, Y. (2018). YATIK TRIHEPSATITI.

Lana Yusria, R. S. (2016). Diagnosis Dan Manajemen Glomerulonefritis Kronik. Jurnal


Kedokteran Muhammadiyah Surakarta, 259–272.

Lana Yusria, R. S. (2020). Diagnosis Dan Manajemen Glomerulonefritis Kronik. Jurnal


Kedokteran Muhammadiyah Surakarta, 259–272.
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/12011/Thalamus 27.pdf?sequence=1

Made Suadnyani Pasek. (2013). Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus pada Anak. Sari
Pediatri, 5(2), 58–63. http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/5-2-4.pdf

Ngastiyah. 2005. Asuhan Keperawatan Penyakit Dalam. Edisi I. Jakarta: EGC.

Putri, I. N., Kedokteran, F., & Lampung, U. (2017). Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus
dengan Krisis Hipertensi pada Anak Acute Glomerulonephritis Post Streptococcal Infection with
Hypertensive Crisis in Young Children. Repository Unila, 7(April), 57–62

PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (1st ed.).

PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (1st ed.).

PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (1st ed.).


Rachmadi, D. (2010). Diagnosis dan Penatalaksanaan Glomerulonefritis Akut. Simposium
Nasional II IDAI Cabang Lampung, April, 24–25.

Anda mungkin juga menyukai