Anda di halaman 1dari 38

Makalah Glomerulonefritis

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Glomerulonefritis merupakan penyebab utama terjadinya gagal ginjal tahap akhir dan
tingginya angka morbiditas pada anak. Terminologi glomerulonefritis yang dipakai disini
adalah untuk menunjukkan bahwa kelainan yang pertama dan utama terjadi pada glomerulus,
bukan pada struktur ginjal yang lain.

Glomerulonefritis merupakan penyakit peradangan ginjal bilateral. Peradangan dimulai


dalam gromleurus dan bermanifestasi sebagai proteinuria dan atau hematuria. Meskipun lesi
utama pada gromelurus, tetapi seluruh nefron pada akhirnya akan mengalami kerusakan,
sehingga terjadi gagal ginjal. Penyakit yang mula-mula digambarkan oleh Richard Bright
pada tahun 1827 sekarang diketahui merupakan kumpulan banyak penyakit dengan berbagai
etiologi, meskipun respon imun agaknya menimbulkan beberapa bentuk glomerulonefritis.

Indonesia pada tahun 1995, melaporkan adanya 170 pasien yang dirawat di rumah sakit
pendidikan dalam 12 bulan. Pasien terbanyak dirawat di Surabaya (26,5%), kemudian disusul
berturut-turut di Jakarta (24,7%), Bandung (17,6%), dan Palembang (8,2%). Pasien laki-laki
dan perempuan berbanding 2 : 1 dan terbanyak pada anak usia antara 6-8 tahun (40,6%).

Gejala glomerulonefritis bisa berlangsung secara mendadak (akut) atau secara menahun
(kronis) seringkali tidak diketahui karena tidak menimbulkan gejala. Gejalanya dapat berupa
mual-mual, kurang darah (anemia), atau hipertensi. Gejala umum berupa sembab kelopak
mata, kencing sedikit, dan berwarna merah, biasanya disertai hipertensi. Penyakit ini
umumnya (sekitar 80%) sembuh spontan, 10% menjadi kronis, dan 10% berakibat fatal.

B. Tujuan
Dapat memahami tentang pengertian, penyebab, tanda gelaja, proses perjalanan penyakit,
pemeriksaan penunjang serta penatalaksanaan dari glomerulonefritis.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
Glomerulonefritis merupakan peradangan dan kerusakan pada alat penyaring darah sekaligus
kapiler ginjal (Glamerulus), (Japaries, Willie, 1993).
Glomerulonefritis merupakan sindrom yang ditandai oleh peradangan dari glumerulus diikuti
pembentukan beberapa antigen (Engran, Barbara, 1999).

Glomerulonefritis dibagi menjadi 2 yaitu :


1. Glumerulonefritis Akut merupakan penyakit yang mengenai glomeruli kedua ginjal.
Glumerulonefritis akut biasanya terjadi sekitar 2-3 minggu setelah serangan infeksi
streptococus.
2. Glumerulonefritis Kronik merupakan kerusakan glomeruli yang mengalami pengerasan
(sklerotik). Ginjal mengecil, tubula mengalami atrofi, ada inflamasi interstisial yang kronik
dan arteriosklerosis.

B. Etiologi
Penyebab dari glomerulonefritis antara lain :
a. Infeksi kuman streptococus.
b. Reaksi immunologis.
c. Penyakit metabolik.
d. Virus dan bakteri.

C. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis glomerulonefritis akut meliputi tahap awal dan tahap akhir. Tahap awal
meliputi :
a. Hematuria.
b. Proteinuria.
c. Azotemia (abnormalitas level senyawa yang mengandung nitrogen seperti urea,
kreatinin, senyawa hasil metabolisme tubuh dan senyawa kaya nitrogen pada darah).
d. Berat jenis urin meningkat.
e. Laju endap darah meningkat.
f. Oliguria.

Sedangkan pada tahap akhir meliputi :


a. Bendungan sirkulasi.
b. Hipertensi.
c. Edema.
d. Gagal ginjal tahap akhir.

Menifestasi klinis pada glomerulonefritis kronis meliputi :


a. Edema.
b. Nocturia.
c. Berat badan menurun.
d. Pada urinalisis terlihat adanya albumin dan eritrosit.
e. Dysuria.
f. Urine berwarna merah kecoklat-coklatan.
g. Menurun output urine.

D. Patofisiologi
1. Glomerulonifritis Akut.
Pada glomerulonefritis akut terjadi peradangan pada bagian tubuh lain sehingga tubuh
berusaha memproduksi antibodi untuk melawan kuman penyebabnya. Apabila pengobatan
terhadap peradangan tubuh lain itu tidak adekuat, maka tubuh akan memproduksi antibodi
dan antibodi dalam tubuh akan meningkat jumlahnya dan lama kelamaan akan merusak
glomerulus ginjal dan menimbulkan peradangan. Akibat dari peradangan tersebut, maka
glomerulus ginjal tidak dapat lagi menjalankan fungsinya dengan baik, karena menurunnya
lagu filtrasi ginjal (GFR) dan aliran darah ke ginjal (REF) mengalami penurunan. Darah,
protein dan substansi lainnya yang masuk ke ginjal tidak dapat terfiltrasi dan ikut terbuang
dalam urine sehingga dapat menyebabkan terjadinya proteinuria dan hematuria. Pelepasan
sejumlah protein secara terus menerus ini akan mengakibatkan hipoprotein. Hal ini
menyebabkan tekanan osmotik sel akan menurun dan menjadi lebih kecil dari tekanan
hidrostatik sehingga cairan akan berpindah dari plasma keruangan interstisial dan
menyebabkan edema fasial yang bermula dari kelopak mata dan kondisi kronik edema ini
akan mengenai seluruh tubuh. Adanya peningkatan tekanan darah akibat mekanisme renin
angiotensin yang merupakan respon tubuh untuk mengurangi sirkulasi volume cairan dan
reabsorbsi air dan natrium ditubuh akan bertambah sehingga terjadi edema.

2. Glomerunofritis Kronik.
GNK memiliki karakteristik kerusakan glomerulus secara progesif lambat dan kehilangan
filtrasi renal secara perlahan-lahan. Ukuran ginjal sedikit berkurang sekitar seperlima dari
ukuran normal dan terdiri dari jaringan fibrosa yang luas. Korteks mengecil menjadi lapisan
yang tebalnya 1 sampai 2 mm atau kurang. Berkas jaringan parut merusak korteks,
menyebabkan permukaan ginjal kasar dan irregular. Sejumlah glomerulus dan tubulusnya
berubah menjadi jaringan parut dan bercabang-cabang arteri menebal. Akhirnya terjadi
kerusakan glomerulus yang parah, menghasilkan penyakit ginjal tahap akhir.

E. Pathway
Terlampir

F. Komplikasi
1. Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Trjadi sebagai akibat
berkurangnya filtrasi glomerulus
2. Ensefalopati hipertensi
3. Gagal ginjal kronik
4. Edema di otak

G. Pemeriksaan Penunjang.
Pemeriksaan penunjang yang penting pada pasien dengan dugaan glomerulonefritis
mencakup :
a. Penilaian fungsi ginjal dengan kreatinin serum dan bersihan kreatinin,
b. Tes dipstik urin dan pemeriksaan mikroskopik terutama untuk mencari seldarah merah
dan silinder,
c. Ekskresi protein 24 jam,
d. USG ginjal untuk mengetahui ukuran ginjal.
e. Tes-tes imunologis penting untuk menemukan apakah glomerulonefritis tersebut
bersifat sekunder atau tidak, dan tes ini harus mengikutsertakan antibodi sitoplasmik
antineurotrofil (antineurotrophil cytoplasmic antibodies [ANCA]), faktor antinuklear
(antinuclear factors [ANF]), komplemen C3 dan C4, antibodi anti-membran basal glomerulus
(anti-glomerular basal membran [anti-GMB]), dan titer antistreptolisin O (ASO)
f. Biopsi ginjal dibutuhkan untuk menegakan diagnosis yang akurat, namun biasanya
tidak dilakukan apabila ginjalnya berukuran kecil.
g. Urinalisis (UA) menunjukan hematnya gross, protein dismonfik dan bentuk tidak serasi
Sdm, leusit dan gips hialin.
h. Laju filtrasi glomerulus menurun, klerins kreatinin pada urin digunakan sebagai
pengukur dal LFG spesine urin 24 jam dikumpulkan. Sampel darah untuk kreatinin juga
ditampung dengan cara arus tengah (midstream).
i. Nitrogen Urea Darah (BUN) dan kreatinin serum meningkat bila fungsi ginjal mulai
menurun.
j. Albumin serum dan protein total mungkin normal atau sedikit menurun (karena
hemodilusi).
k. Contoh urin acak untuk eletrokoresisi protein mengidentifikasi jenis protein urin yang
dikeluarkan dalam urin.
l. Elektrolit serum menunjukan peningkatan natrium dan peningkatan atau normal kadar-
kadar kalium dan klorida.

H. Penatalaksanaan
TERAPI
a. Apabila kelainan disebabkan oleh glomerulus pasca streptococcus akut, maka
diperlukan terapi antibiotik profilaksis obat pilihan (penicilin). Terapi profilaksis harus
dilanjutkan sampai beberapa bulan walaupun tahap akut sudah berlalu.
b. Terapi diuretik juga diberikan apabila ada kelebihan beban cairan yang berat (edema
berat). Apabila kelebihan cairan tidak dapat dikendalikandengan diuretik dan diet, kemudian
terjadi hipertensi, obat antihipertensi harus diberikan.
c. Kerusakan glomerulus akibat proses otoimune dapat diobati dengan kortikosteroid
untuk immunospresi.
d. Inhibitor ACL (Enzim Pengubah Angiotensin) dapat mengurangi kerusakan pada
individu dengan hipertensi kronis.
DIET
Karena adanya retensi cairan, diet yang pasien lakukan harus rendah garam. Apabila BUN
dan kretinin meningkat, supan protein juga dibatasi pada 1-1,2 g/kg per hari. Diet pasien
harus mengandung cukup karbohidrat agar tubuh tidak menggunakan protein sebagai sumber
energi untuk mencegah mengecilnya otot (pelisutan otot) dan ketidakseimbangan nitrogen.
Pasien ini memerlukan 2.500-3.500 kalori per hari. Berat badan ditimbang setiap minggu
untuk memantau penurunan berat badan karena edema berkurang atau berat badan menurun
akibat ada pelisutan otot. Asupan kalium juga dibatasi apabila laju filtrasi glomerulus kurang
dari 19 ml/menit. Kontrol glukosa yang ketat pada penderita diabet terbukti memperlambat
atau mengurangi progres glomerulonefritis.
AKTIVITAS
Selama masih ada tanda-tanda klinis glomerulonefritis, pasien harus melakukan tirah baring/
bed rest sampai manifestasi klinis hilang
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Glomerulonefritis merupakan peradangan dan kerusakan pada alat penyaring darah sekaligus
kapiler ginjal (Glamerulus), (Japaries, Willie, 1993).
Glomerulonefritis merupakan sindrom yang ditandai oleh peradangan dari glumerulus diikuti
pembentukan beberapa antigen (Engran, Barbara, 1999).

Glomerulonefritis dibagi menjadi 2 yaitu :


Glumerulonefritis Akut merupakan penyakit yang mengenai glomeruli kedua ginjal.
Glumerulonefritis akut biasanya terjadi sekitar 2-3 minggu setelah serangan infeksi
streptococus.
Glumerulonefritis Kronik merupakan kerusakan glomeruli yang mengalami pengerasan
(sklerotik). Ginjal mengecil, tubula mengalami atrofi, ada inflamasi interstisial yang kronik
dan arteriosklerosis.

B. Saran
Dengan penulisan makalah ini, penulis berharap agar dapat menambah ilmu pengetahuan
kepada pembaca. Oleh karena itu, harapan penulis kepada pembaca semua agar sudi kiranya
memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun.
DAFTAR PUSTAKA

Baradero, Marry dkk. 2009. Asuhan Keperawatan Klien Ginjal. Jakarta : EGC
Chris O’calloghan. 2006. At a Glance Sistem Ginjal Edisi ke 2. Jakarta : Erlangga
Davey, Patrick. 2006. At a Glance Medicine. Jakarta : Erlangga
Elizabet, J.Corwin. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC

Glomerulonefritis Kronis

A. PENGERTIAN

Glomerulonefritis merupakan penyebab utama terjadinya gagal ginjal tahap akhir dan tingginya
angka morbiditas pada anak. Glomerulonefritis merupakan penyakit peradangan ginjal bilateral.
Penyakit ini sering mengenai anak-anak.

Glomerulonefritis kronis merupakan sindrom klinis yang ditandai dengan penyakit pada glomerulus
ginjal dan penurunan progresif fungsi ginjal untuk waktu yang lama atau dapat dikatakan suatu
kelainan dimana terjadi kerusakan glomeruli dan kemunduran fungsi ginjal selama bertahun-tahun.
Merupakan glomerulonefritis tingkat akhir (“end stage”) dengan kerusakan jaringan ginjal akibat
proses nefrotik dan hipertensi sehingga menimbulkan gangguan fungsi ginjal yang irreversible.

B. Epidemiologi
Glomerulonefritis sering ditemukan pada anak berumur antara 3-7 tahun dan lebih sering mengenai
anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Perbandingan antara anak laki-laki dan perempuan
adalah 2 : 1 dan jarang menyerang anak dibawah usia 3 tahun.

Hasil penelitian multisenter di Indonesia pada tahun 1988, melaporkan adanya 170 pasien yang
dirawat di rumah sakit pendidikan dalam 12 bulan. Pasien terbanyak dirawat di Surabaya (26,5%),
kemudian disusul berturut-turut di Jakarta (24,7%), Bandung (17,6%), dan Palembang (8,2%).

Pasien laki-laki dan perempuan berbanding 2 : 1 dan terbanyak pada anak usia antara 6-8 tahun
(40,6%). Gejala glomerulonefritis bisa berlangsung secara mendadak (akut) atau secara menahun
(kronis) seringkali tidak diketahui karena tidak menimbulkan gejala. Gejalanya dapat berupa mual-
mual, kurang darah (anemia), atau hipertensi. Gejala umum berupa sembab kelopak mata, kencing
sedikit, dan berwarna merah, biasanya disertai hipertensi. Penyakit ini umumnya (sekitar 80%)
sembuh spontan, 10% menjadi kronis, dan 10% berakibat fatal.

C. Etiologi

Penyebab penyakit ini yaitu :

a. Lanjutan GNA, seringkali tanpa riwayat infeksi (Streptococcus beta hemoliticus group A.)

b. Keracunan (timah hitam, tridion).


c. Penyakit sipilis
d. Diabetes mellitus
e. Trombosis vena renalis

f. Hipertensi kronik

g. Penyakit kolagen

h. Penyebab lain yang tidak diketahui yang ditemui pada stadium lanjut.

Penyakit ini ditemukan pada semua usia, tetapi sering terjadi pada usia awal sekolah dan jarang
pada anak yang lebih muda dari 2 tahun. Lebih banyak pria dari pada wanita (2 : 1).
Timbulnya GNK didahului oleh akut (infeksi ekstra renal, terutama di traktus respiratorius bagian
atas dan kulit oleh kuman streptokokkus beta hemolitikus gol A). Faktor lain yang dapat
menyebabkan adalah factor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan faktor alergi.
D. Patofisiologi

Penderita biasanya mengeluh tentang rasa dingin, demam, sakit kepala, sakit punggung, dan udema
(bengkak) pada bagian muka biasanya sekitar mata (kelopak), mual dan muntah-muntah. Pada
keadaan ini proses kerusakan ginjal terjadi menahun dan selama itu gejalanya tidak tampak. Akan
tetapi pada akhirnya orang-orang tersebut dapat menderita uremia (darah dalam air seni) dan gagal
ginjal.

Ginjal merupakan salah satu organ paling vital dimana fungsi ginjal sebagai tempat membersihkan
darah dari berbagai zat hasil metabolisme tubuh dan berbagai racun yang tidak diperlukan tubuh
serta dikeluarkan sebagai urine dengan jumlah setiap hari berkisar antara 1-2 liter. Selain fungsi
tersebut, ginjal berfungsi antara lain mempertahankan kadar cairan tubuh dan elektrolit (ion-ion),
mengatur produksi sel-darah merah. Begitu banyak fungsi ginjal sehingga bila ada kelainan yang
mengganggu ginjal, berbagai penyakit dapat ditimbulkan.

Glomerulonefritis merupakan berbagai kelainan yang menyerang sel-sel penyerang ginjal (sel
glomerulus). Glomerulonefritis menahun adalah penyakit paling sering menimbulkan gagal ginjal
dikemudian hari. Kelainan ini terjadi akibat gangguan utama pada ginjal (primer) atau sebagai
komplikasi penyakit lain (sekunder), misalnya komplikasi penyakit diabetes mellitus, keracunan obat,
penyakit infeksi dan lain-lain. Pada penyakit ini terjadi kebocoran protein atau kebocoran eritrosit.

Glomerulonefritis merupakan penyebab utama terjadinya gagal ginjal tahap akhir dan tingginya
angka morbiditas baik pada anak maupun pada dewasa. Sebagian besar glomerulonefritis bersifat
kronik dengan penyebab yang tidak jelas dan sebagian besar tampak bersifat
imunologis.Glomerulonefritis menunjukkan kelainan yang terjadi pada glomerulus,bukan pada
struktur jaringan ginjal yang lain seperti misalnya tubulus, jaringan interstitial maupun sistem
vaskulernya.

E. Manifestasi Klinik

Glomerulonefritis kronis ditandai dengan kerusakan glomerulus secara progresif lambat akibat
glomerulonefritis yang berlangsung lama. Gejala utama yang ditemukan adalah :

1. Kadang-kadang tidak memberikan keluhan sama sekali sampai terjadi gagal ginjal.
2. Hematuri
3. Edema, penurunan kadar albumin
4. Hipertensi, Kadang-kadang ada serangan ensefalopatihipertensi
5. Peningkatan suhu badan
6. Sakit kepala, lemah, gelisah
7. Mual, tidak ada nafsu makan, berat badan menurun
8. Ureum dan kreatinin meningkat
9. Oliguri dan anuria
10. Suhu subfebril
11. Kolestrol darah naik
12. Fungsi ginjal menurun
13. Ureum meningkat + kreatinin serum.
14. Anemia.
15. Gagal jantung kematian.
16. Selalu merasa haus dan miksi pada malam hari (nokturia)

F. Komplikasi

Komplikasi dari penyakit ini :

1. Oliguri sampai anuria sebagai akibat berkurangnya filtrasi glomerulus.

2. Esefalopati hipertensi yang merupakan gejala serebrum karena hipertensi. Terdapat gejala
berupa gangguan pada penglihatan, pusing, muntah, dan kejang-kejang. Hal ini disebabkan spasme
pembuluh darah local dengan anoksia dan edema otak.

3. Gangguan sirkulasi berupa dispneu, orthopneu, terdapat ronchi basah, pembesaran jantung dan
meningkatnya TD yang bukan saja disebabkan spasme pembuluh darah, tetapi juga disebabkan oleh
bertambahnya volume plasma. Jantung dapat membesar dan terjadi Gagal Jantung akibat HT yang
menetap dan kelainan di miocardium.

4. Anemia karena adanya hipervolemia disamping adanya sintesis eritropoetik yang menurun.

G. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium :
1. Urinalisis

2. Pemeriksaan darah lengkap

3. Biopsi ginjal untuk menunjukkan obstruksi kapiler glomerular dan memastikan diagnosis.

H. Penatalaksanaan

1. Medik :
Pengobatan ditujukan pada gejala klinik dan gangguan elektrolit.
Pengobatan aktivitas sehari-hari sesuai batas kemampuan pasien.
Pengawasan hipertenasi antihipertensi.
Pemberian antibiotik untuk infeksi.
Dialisis berulang untuk memperpanjang harapan hidup pasien.

2. Keperawatan :
Disesuaikan dengan keadaan pasien.
Pasien dianjurkan secara teratur untuk senantiasa kontrol pada ahlinya.
Program diet ketat tetapi cukup asupan gizinya.
Penjelasan kepada pasien tentang pambatasan aktivitas sesuai kemampuannya.
Anjuran kontrol ke dokter harus ditaati untuk mencegah berlanjut ke sindrom nefrotik atau GGK.
I. Pathways

GNA yg Thrombosis
berlanjut vena renalis
BAB II

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian

1. Keadaan umum :

2. Riwayat :

a. Identitas anak: nama, usia, alamat, telp, tingkat pendidikan, dll.


b. Riwayat kesehatan yang lalu: pernahkah sebelumnya anak sakit seperti ini?
c. Riwayat kelahiran, tumbuh kembang, penyakit anak yang sering dialami, imunisasi, hospitalisasi
sebelumnya, alergi dan pengobatan.
d. Pola kebiasaan sehari – hari : pola makan dan minum, pola kebersihan, pola istirahat tidur,
aktivitas atau bermain, dan pola eliminasi.
3. Riwayat penyakit saat ini:

a. Keluhan utama
b. Alasan masuk rumah sakit
c. Faktor pencetus
d. Lamanya sakit
4. Pengkajian sistem

a. Pengkajian umum : TTV, BB, TB, lingkar kepala, lingkar dada (adanya edema ).
b. Sistem kardiovaskuler : irama dan kualitas nadi, bunyi jantung, ada tidaknya cyanosis,
diaphoresis.
c. Sistem pernafasan : kaji pola bernafas, adakah wheezing atau ronki, retraksi dada, cuping
hidung.
d. Sistem persarafan : tingkat kesadaran, tingkah laku ( mood, kemampuan intelektual,proses pikir
), sesuaikah dgn tumbang? Kaji pula fungsi sensori, fungsi pergerakan dan fungsi pupil.
e. Sistem gastrointestinal : auskultasi bising usus, palpasi adanya hepatomegali / splenomegali,
adakah mual, muntah. Kaji kebiasaan buang air besar.
f. Sistem perkemihan : kaji frekuensi buang air kecil, warna dan jumlahnya.
5. Pengkajian keluarga

a. Anggota keluarga
b. Pola komunikasi
c. Pola interaksi
d. Pendidikan dan pekerjaan
e. Kebudayaan dan keyakinan
f. Fungsi keluarga dan hubungan

B. Diagnosa Keperawatan

NO DIAGNOSA YANG MUNCUL TTD

1 Gangguan perfusi jaringan b.d peurunan komponen seluler yang diperlukan


untuk pengiriman O2 atau nutrient ke sel.

2 Resiko gangguan integritas kulit factor resiko gangguan turgor kulit (edema)

3 Perubahan status nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kegagalan untuk
mengabsorbsi nutrient yang diperlukan untuk pembentukan SDM normal.

4 Gangguan citra diri b.d perubahan struktur tubuh (edema)


5 Kurang pengetahuan b.d kurang terpajan sumber informasi

C. Intervensi Keperawatan

Dx Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional


hasil

Gangguan Setelah dilakukan - awasi ttv klien - memberikan informasi


perfusi tindakan keperawatan tentang derajat/adekuatan
- tinggikan kepala tempat tidur
jaringan b.d selama (....x....) perfusi jaringan dan
sesuai toleransi
penurunan diharapkan tidak membantu menentukan
komponen terjadi gangguan - kolaborasi dalam pemberian kebutuhan intervensi.
seluler yang perfusi jaringan dengan oksigen tambahan sesuai
- untuk meningkatkan
diperlukan kh: indikasi.
ekspansi paru dan
untuk
- klien menunjukan memaksimalkan oksigenasi
pengiriman
perfusi yang adekuat untuk kebutuhan seluler.
O2 atau
misalnya ttv stabildan
nutrient ke - memaksimalkan transport
haluaran urine yang
sel. oksigen kejaringan.
adekuat.

Resiko Setelah dilakukan - inspeksi kulit thd perubahan - menandakan area sirkulasi
gangguan tindakan keperawatan warna, turgor, vaskular. buruk yang dapat
integritas selama (....x....) Perhatikan kemerahan, menimbulkan
kulit factor diharapkan tidak ekskoriasi. Observasi thd pembentukan dekubitus.
resiko terjadi gangguan ekimosis, purpura.
- mendeteksi adanya
gangguan integritas kulit dengan
- pantau masukkan cairan dan dehidrasi atau hidrasi
turgor kulit kh:
hidrasi kulit dan membran berlebihan yang
(edema)
- mempertahankan mukosa. mempengaruhi sirkulasi
kulit klien utuh dan integritas jaringan
- berikan matrass busa.
pada tingkat seluler.
- menunjukkan prilaku
untuk mencegah - menurunkan tekanan lama
kerusakan kulit. padas jaringan, yang dapat
membatasi perfusi selular
yang menyebab iskemia.

Perubahan Setelah dilakukan - awasi konsumsi makanan atau - mengidentifikasi


status nutrisi tindakan keperawatan cairan dan hitung masukkan kekurangan nutrisi atau
kurang dari selama (....x....) kalori per hari. kebutuhan terapi.
kebutuhan diharapkan nutrisi
- perhatikan adanya mual - gejala yang menyertai
tubuh b.d pasien terpenuhi
muntah. akumulasi toksin endogen
kegagalan dengan kh :
yang dapat mengubah atau
untuk - rujuk ke ahli gizi.
- menunjukkan berat menurunkan pemasukkan
mengabsorbsi
badan stabil mencapai - berikan diet tinggi karbohidrat dan memerlukan intervensi.
nutrient yang
tujuan laboratorium yang meliputi jumlah protein
diperlukan - berguna untuk program
normal dan tak ada kualitas tinggi dan asam amino
untuk diet individu untuk
tanda malnutrisi. essensial dengan pembatasan
pembentukan memenuhi kebutuhan
natriun atau kalium sesuai
SDM normal. budaya meningkatkan
indikasi.
kerjasama pasien.

- memberikan nutrient
cukup untuk memperbaiki
energy, mencegah
penggunaan otot,
meningkatkan regenerasi
jaringan, dan keseimbangan
elektrolit.

Gangguan Setelah dilakukan - kaji tingkat pengetahuan pasien - mengidentifikasi luas


citra diri b.d tindakan keperawatan tentang kondisi dan pengobatan, masalah dan perlunya
perubahan selama (....x....) dan ansietas hubungan dg situasi intervensi.
struktur diharapkan pasien saat ini.
- membantu pasien
tubuh dapat menerima
- dorong menyatakan konflik mengidentifikasi dan solusi
(edema) kondisinya, dengan kh :
kerja dan pribadi yang mungkin masalah.
- mengidentifikasi timbul, dengar dg aktif.
- kebutuhan pengobatan
perasaan dan metode
- bantu pasien untuk memberikan aspek lebih
koping untuk persepsi
memasukkan manajemen normal bila ini adalah
negatif pada diri
sendiri. penyakit dlam pola hidup. bagian rutin sehari-hari.

- menyatakan
penerimaan terhadap
situasi diri.

Kurang Setelah dilakukan - perhatikan tingkat - factor ini secara langsung


pengetahuan tindakan keperawatan ansietas/takut dan perubahan mempengaruhi
b.d kurang selama (....x....) proses pikir. kemampuan untuk
terpajan diharapkan pasien berpartisipasi dan
- dorong dan berikan
sumber dapat memahami menggunakan
kesempatan untuk bertanya.
informasi penyakitnya dengan kh pengetahuan.
:
- meningkatkan proses
- Menyatakan belajar, meningkatkan
pemahaman ttg kondisi pengambilan keputusan
dan hubungan tanda berdasarkan keputusan,
dan gejala dari proses dan menurunkan ansietas
penyakit sehubungan dengan
ketidaktahuan.
- secara benar
melakukan prosedur
yang diperlukan dan
menjelaskan alasan
tindakan.

D. Evaluasi

DX EVALUASI

1 Tidak terjadi gangguan perfusi jaringan

2 Tidak terjadi gangguan integritas kulit

3 Nutrisi pasien terpenuhi

4 Pasien dapat menerima kondisinya


5 Pasien dapat memahami penyakitnya

MAKALAH
GLOMERULONEFRITIS KRONIS

Dosen Pembimbing:
Ns. Khusnul Khotimah S. Kep

Oleh:
Firse. Nurhayati
Diky thoriqus sofyan
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
NURUL JADID PAITON
PROBOLINGGO
2014

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya
kami dapat menyelesaikan penulisan makalah tentang Asuhan Keperawatan pada dengan
kasus dengan Gagal Ginjal . Tak lupa pula kami mengucapkan terimaksih banyak kepada
pembimbing Ibu Vivin Nur Hafifah.
Kelompok kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada makalah ini .Untuk itu
kelompok menggharapkan kritik serta saran pembaca sekalian .Semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua.

Hormat kami,
Paiton senin, 10 Februari 2014

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................
DAFTAR ISI…………...........................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang……….………....................................................
B. Rumusan Masalah………………..…...........................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi........................................................................................
B. Etiologi........................................................................................
C. Manifestasi Klinis........................................................................
D. Klasifikasi....................................................................................
E. Patofisiologi................................................................................
F. Penatalaksanaan..........................................................................
G. Pencegahan..................................................................................
H. Komplikasi..................................................................................
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………..…
B. Saran………………………………...………………….……...
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………...…….........
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Glomerulonefritis merupakan penyebab utama terjadinya gagal ginjal tahap akhir dan
tingginya angka morbiditasbaik pada anak maupun pada dewasa ( Buku Ajar Nefrologi Anak,
edisi 2, hal.323, 2002). Terminologi glomerulonefritis yang dipakai disini adalah untuk
menunjukkan bahwa kelainan yang pertama dan utama terjadi pada glomerulus, bukan pada
struktur ginjal yang lain.
Glomerulonefritis merupakan penyakit peradangan ginjal bilateral. Peradangan dimulai
dalam gromleurus dan bermanifestasi sebagai proteinuria dan atau hematuria. Meskipun lesi
utama pada gromelurus, tetapi seluruh nefron pada akhirnya akan mengalami kerusakan,
sehingga terjadi gagal ginjal. Penyakit yang mula-mula digambarkan oleh Richard Bright
pada tahun 1827 sekarang diketahui merupakan kumpulan banyak penyakit dengan berbagai
etiologi, meskipun respon imun agaknya menimbulkan beberapa bentuk glomerulonefritis.
Gejala glomerulonefritis bisa berlangsung secara mendadak (akut) atau secara menahun
(kronis) seringkali tidak diketahui karena tidak menimbulkan gejala. Gejalanya dapat berupa
mual-mual, kurang darah (anemia), atau hipertensi. Gejala umum berupa sembab kelopak
mata, kencing sedikit, dan berwarna merah, biasanya disertai hipertensi. Penyakit ini
umumnya (sekitar 80%) sembuh spontan, 10% menjadi kronis, dan 10% berakibat fatal.
B. Identifikasi Masalah
Dalam makalah ini penulis akan membahas masalah Glomerulonefritis akut. Dimana
penyakit ini banyak di derita oleh anak yang berusia 3-7 tahun.
C. Tujuan
Untuk memberikan sumber ilmu pengetahuan bagi pembaca dan masyarakat umum
lainnya.Untuk mengetahui definisi, anatomi fisiologi, etiologi, patologis serta Asuhan
Keperawatan dari Glomerulonefritis itu sendiri.

BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI
Glomerulonefritis kronik adalah peradangan lama di sel-sel glomerolus. Kelainan ini dapat
terjadi akibat glomerolus akut yang tidak membaik atau timbul secara spontan ((Arif
muttaqin & kumala Sari, 2011)
Glomerulonefritis kronik merupakan penyakit parenkim ginja progresif dan difus yang
seringkali berakhir dengan gagal ginjal kronik. Glomerulonefritis berhubungan dengan
penyakit-penyakit sistemik seperti , poliartritis nodosa, granulomatosus Wagener.
Glomerulonefritis (glomerulopati) yang berhubungan dengan diabetes mellitus
(glomerulosklerosis) tidak jarang dijumpai dan dapat berakhir dengan penyakit ginjal
kronik. Glomerulonefritis yang berhubungan dengan amilodois sering dijumpai pada
pasien-pasien dengan penyakit menahun seperti tuberkulosis, lepra, osteomielitis arthritis
rheumatoid dan myeloma (Sukandar, 2006).
glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang etiologinya tidak jelas,
akan tetapi secara umum memberikan gambaran histopatologi tertentu pada glomerulus
(Markum, 1998). Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan
primer dan sekunder.
Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan
glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain
seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau
amiloidosis (Prodjosudjadi, 2006).

B. ETIOLOGI
Umumnya penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit ginjal
intrinsik difus dan menahun. Hampir semua nefropati bilateral dan progresif akan berakhir
dengan penyakit ginjal kronik. Umumnya penyakit di luar ginjal, seperti nefropati obstruktif
dapat menyebabakan kelainan ginjal intrinsik dan berakhir dengan penyakit ginjal kronik
(Sukandar, 2006).
Menurut data yang sampai saat ini dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR) pada
tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut: glomerulonefritis
(25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%) (Roesli, 2008).
1. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis kronik merupakan penyakit parenkim ginjal progresif dan difus yang
seringkali berakhir dengan gagal ginjal kronik. Glomerulonefritis berhubungan dengan
penyakit-penyakit sistemik seperti lupus eritomatosus sistemik, poliartritis nodosa,
granulomatosus Wagener. Glomerulonefritis (glomerulopati) yang berhubungan dengan
diabetes mellitus (glomerulosklerosis) tidak jarang dijumpai dan dapat berakhir dengan
penyakit ginjal kronik.
Glomerulonefritis yang berhubungan dengan amilodois sering dijumpai pada pasien-pasien
dengan penyakit menahun seperti tuberkulosis, lepra, osteomielitis arthritis rheumatoid dan
myeloma (Sukandar, 2006). Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit
ginjal yang etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran
histopatologi tertentu pada glomerulus (Markum, 1998). Berdasarkan sumber terjadinya
kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder.
Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan
glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti
diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis
(Prodjosudjadi, 2006). Gambaran klinis glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan
ditemukan secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan
darurat medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis (Sukandar,
2006).
2. Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo (2005) diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat
mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat
bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak
menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil
lebih sering ataupun berat badan yang menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama
tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar
glukosa darahnya (Waspadji, 1996).
3. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90
mmHg (Mansjoer, 2001). Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan
yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau
idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal (Sidabutar, 1998).
Penyakit ginjal hipertensif (arteriolar nephrosclerosis) merupakan salah satu penyebab
penyakit ginjal kronik. Insiden hipertensi esensial berat yang berakhir dengan gagal ginjal
kronik kurang dari 10% (Sukandar, 2006).
4. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material yang
semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan kista-kista yang
tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena kelainan
genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Ginjal polikistik
merupakan kelainan gsenetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu
dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh
karena sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Glomerulonefritis,
hipertensi esensial, dan pielonefritis merupakan enyebab paling sering dari PGK, yaitu sekitar
60%. Penyakit ginjal kronik yang berhubungan dengan penyakit ginjal polikistik dan
nefropati obstruktif hanya 15-20% (Sukandar, 2006).
Kira-kira 10-15% pasien-pasien penyakit ginjal kronik disebabkan penyakit ginjal kongenital
seperti sindrom Alport, penyakit Fabbry, sindrom nefrotik kongenital, penyakit ginjal
polikistik, dan amiloidosis (Sukandar, 2006). Pada orang dewasa penyakit ginjal kronik yang
berhubungan dengan infeksi saluran kemih dan ginjal (pielonefritis) tipe uncomplicated
jarang dijumpai, kecuali tuberkulosis, abses multipel. Nekrosis papilla renalis yang tidak
mendapat pengobatan yang adekuat (Sukandar, 2006).
5. Infeksi
Glomerulonefritis akut didahului oleh infeksi ekstra renal terutama di traktus respiratorius
bagian atas dan kulit oleh kuman streptococcus beta hemoliticus golongan A tipe
12,4,16,25,dan 29. Hubungan antara glomerulonefritis akut dan infeksi streptococcus
dikemukakan pertama kali oleh Lohlein pada tahun 1907 dengan alas an timbulnya
glomerulonefritis akut setelah infeksi skarlatina,diisolasinya kuman streptococcus beta
hemoliticus golongan A, dan meningkatnya titer anti- streptolisin pada serum penderita.
Antara infeksi bakteri dan timbulnya glomerulonefritis akut terdapat masa laten selama
kurang 10 hari. Kuman streptococcus beta hemoliticus tipe 12 dan 25 lebih bersifat nefritogen
daripada yang lain, tapi hal ini tidak diketahui sebabnya. Kemungkinan factor iklim, keadaan
gizi, keadaan umum dan factor alergi mempengaruhi terjadinya glomerulonefritis akut setelah
infeksi kuman streptococcus.
Glomerulonefritis akut pasca streptococcus adalah suatu sindrom nefrotik akut yang ditandai
dengan timbulnya hematuria, edema, hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal. Gejala-gejala
ini timbul setelah infeksi kuman streptococcus beta hemoliticus golongan A disaluran
pernafasan bagian atas atau pada kulit. Glomerulonefritis akut pasca streptococcus terutama
menyerang pada anak laki-laki dengan usia kurang dari 3 tahun.Sebagian besar pasien (95%)
akan sembuh, tetapi 5 % diantaranya dapat mengalami perjalanan penyakit yang memburuk
dengan cepat.Penyakit ini timbul setelah adanya infeksi oleh kuman streptococcus beta
hemoliticus golongan A disaluran pernafasan bagian atas atau pada kulit, sehingga
pencegahan dan pengobatan infeksi saluran pernafasan atas dan kulit dapat menurunkan
kejadian penyakit ini. Dengan perbaikan kesehatan masyarakat, maka kejadian penyakit ini
dapat dikurangi. Glomerulonefritis akut dapat juga disebabkan oleh sifilis,
keracunan seperti keracunan timah hitam tridion, penyakitb amiloid, trombosis vena renalis,
purpura anafilaktoid dan lupus eritematosus.
C. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinik penyakit ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks,
meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata,
kulit, selaput serosa, dan kelainan neuropsikiatri (Sukandar, 2006).
Penderita biasanya mengeluh tentang rasa dingin, demam, sakit kepala, sakit punggung, dan
udema (bengkak) pada bagian muka biasanya sekitar mata (kelopak), mual dan muntah-
muntah. Pada keadaan ini proses kerusakan ginjal terjadi menahun dan selama itu gejalanya
tidak tampak. Akan tetapi pada akhirnya orang-orang tersebut dapat menderita uremia (darah
dalam air seni) dan gagal ginjal. proteinuria, hematuria, sembab, hipertensi dan penurunan
fungsi ginjal, yang dapat terlihat secara tersendiri atau secara bersama seperti misalnya pada
sindrom nefrotik, gejala klinisnya terutama terdiri dari proteinuria massif dan
hipoalbuminemia, dengan atau tanpa sebab.
1. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal ginjal kronik
terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah masih belum jelas, diduga
mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia (NH3).
Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus.
Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet
protein dan antibiotika (Sukandar, 2006).
2. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien penyakit ginjal
kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan penyakit
ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala
nistagmus, miosis, dan pupil asimetris.Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan
hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien penyakit ginjal kronik.
Penimbunan atau deposit garam kalsium pada konjungtiva menyebabkan gejala red eye
syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada
beberapa pasien penyakit ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau
tertier (Sukandar, 2006).
3. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga berhubungan
dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang setelah tindakan
paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal
urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost (Sukandar, 2006).

4. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, depresi. Kelainan
mental berat seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis. Kelainan
mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis,
dan tergantung dari dasar kepribadiannya (personalitas). Pada kelainan neurologi, kejang
otot atau muscular twitchingsering ditemukan pada pasien yang sudah dalam keadaan
yang berat, kemudian terjun menjadi koma (Sukandar, 2006)
D. Klasifikasi
1. Glomerulonefritis membranoproliferasif
Suatu glomerulonefritis kronik yang tidak diketahui etiologinya dengan gejala yang tidak
spesifik, bervariasi dari hematuria asimtomatik sampai glomerulonefitis progresif. 20-30%
pasien menunjukkan hematuria mikroskopik dan proteinuria, 30 % berikutnya menunjukkan
gejala glomerulonefritis akut dengan hematuria nyata dan sembab, sedangkan sisanya 40-
45% menunjukkan gejala-gejala sindrom nefrotik. Tidak jarang ditemukan 25-45%
mempunyai riwayat infeksi saluran pernafasan bagian atas, sehingga penyakit tersebut dikira
glomerulonefritis akut pasca streptococcus atau nefropati IgA.
2. Glomerulonefritis membranosa
Glomerulonefritis membranosa sering terjadi pada keadaan tertentu atau setelah pengobatan
dengan obat tertentu. Glomerulopati membranosa paling sering dijumpai pada hepatitis B dan
lupus eritematosus sistemik. Glomerulopati membranosa jarang dijumpai pada anak,
didapatkan insiden 2-6% pada anak dengan sindrom nefrotik. Umur rata-rata pasien pada
berbagai penelitian berkisar antara 10-12 tahun, meskipun pernah dilaporkan awitan pada
anak dengan umur kurang dari 1 tahun. Tidak ada perbedaan jenis kelamin. Proteinuria
didapatkan pada semua pasien dan sindrom nefrotik merupakan 80% sampai lebih 95% anak
pada saat awitan, sedangkan hematuria terdapat pada 50-60%, dan hipertensi 30%.
3. Nefropati IgA (penyakit berger)
Nefropati IgA biasanya dijumpai pada pasien dengan glomerulonefritis akut, sindroma
nefrotik, hipertensi dan gagal ginjal kronik. Nefropati IgA juga sering dijumpai pada kasus
dengan gangguan hepar, saluran cerna atau kelainan sendi. Gejala nefropati IgA asimtomatis
dan terdiagnosis karena kebetulan ditemukan hematuria mikroskopik. Adanya episode
hematuria makroskopik biasanya didahului infeksi saluran nafas atas atau infeksi lain atau
non infeksi misalnya olahraga dan imunisasi.
4. Glomerulonefritis sekunder
Golerulonefritis sekunder yang banyak ditemukan dalam klinik yaitu glomerulonefritis pasca
streptococcus, dimana kuman penyebab tersering adalah streptococcus beta hemolitikus grup
A yang nefritogenik terutama menyerang anak pada masa awal usia sekolah.
Glomerulonefritis pasca streptococcus datang dengan keluhan hematuria nyata, kadang-
kadang disertai sembab mata atau sembab anasarka dan hipertensi.
E. PATOFISIOLOGI
Ginjal merupakan salah satu organ paling vital dimana fungsi ginjal sebagai tempat
membersihkan darah dari berbagai zat hasil metabolisme tubuh dan berbagai racun yang tidak
diperlukan tubuh serta dikeluarkan sebagai urine dengan jumlah setiap hari berkisar antara 1-
2 liter. Selain fungsi tersebut, ginjal berfungsi antara lain mempertahankan kadar cairan tubuh
dan elektrolit (ion-ion), mengatur produksi sel-darah merah. Begitu banyak fungsi ginjal
sehingga bila ada kelainan yang mengganggu ginjal, berbagai penyakit dapat ditimbulkan.
Glomerulonefritis merupakan berbagai kelainan yang menyerang sel-sel penyerang ginjal (sel
glomerulus). Glomerulonefritis menahun adalah penyakit paling sering menimbulkan gagal
ginjal dikemudian hari. Kelainan ini terjadi akibat gangguan utama pada ginjal (primer) atau
sebagai komplikasi penyakit lain (sekunder), misalnya komplikasi penyakit diabetes mellitus,
keracunan obat, penyakit infeksi dan lain-lain. Pada penyakit ini terjadi kebocoran protein
atau kebocoran eritrosit.
Glomerulonefritis merupakan penyebab utama terjadinya gagal ginjal tahap akhir dan
tingginya angka morbiditas baik pada anak maupun pada dewasa. Sebagian besar
glomerulonefritis bersifat kronik dengan penyebab yang tidak jelas dan sebagian besar
tampak bersifat imunologis. Glomerulonefritis menunjukkan kelainan yang terjadi pada
glomerulus,bukan pada struktur jaringan ginjal yang lain seperti misalnya tubulus, jaringan
interstitial maupun sistem vaskulernya.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada urin ditemukan albumin (+), silinder, eritrosit, leukosit hilang timbul, berat jenis urin
menetap pada 1008-1012. Pada darah ditemukan LED, ureum, kreatinin dan fosfor serum
yang meninggi serta kalsium serum yang menurun, sedangkan kalium meningkat. Anemia
tetap ada. Uji fungsi ginjal menunjukkan fungsi ginjal menurun.
Menurut (Sukandar, 2006) pendekatan diagnosis Penyakit Ginjal Kronik (PGK) mempunyai
sasaran berikut:
1. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)
2. Mengetahui etiologi PGK yang mungkin dapat dikoreksi
3. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors) 4. Menentukan
strategi terapi rasional
5. Menentukan prognosis
Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan yang
terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan pemeriksaan
penunjang diagnosis rutin dan khusus (Sukandar, 2006).
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang berhubungan dengan
retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi PGK, perjalanan penyakit termasuk semua
faktor yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan
objektif termasuk kelainan laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan
banyak organ dan tergantung dari derajat penurunan faal ginjal (Sukandar, 2006).
2. Pemeriksaan laboratorium
Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan derajat penurunan faal
ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan perjalanan penyakit termasuk semua
faktor pemburuk faal ginjal (Sukandar, 2006).

a. Pemeriksaan faal ginjal (LFG)


Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat serum sudah cukup memadai sebagai uji
saring untuk faal ginjal (LFG). Pemeriksaan klirens kreatinin dan radionuklida (gamma
camera imaging) hampir mendekati faal ginjal yang sebenarnya (Sukandar, 2006).
b. Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit
Progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit, endoktrin, dan pemeriksaan lain
berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk faal ginjal (LFG) (Sukandar, 2006).
c. Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan tujuannya, yaitu:
a. Diagnosis etiologi PGK
Beberapa pemeriksaan penunjang diagnosis, yaitu foto polos abdomen , ultrasonografi
(USG), nefrotomogram, pielografi retrograde, pielografi antegrade dan Micturating Cysto
Urography (MCU) (Sukandar, 2006).
b. Diagnosis pemburuk faal ginjal
Pemeriksaan radiologi dan radionuklida (renogram) dan pemeriksaan ultrasonografi
(USG).
G. PENCEGAHAN
Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai dilakukan pada
stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya pencegahan yang telah terbukti
bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal dan kardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi
(makin rendah tekanan darah makin kecil risiko penurunan fungsi ginjal), pengendalian gula
darah, lemak darah, anemia, penghentian merokok, peningkatan aktivitas fisik dan
pengendalian berat badan (National Kidney Foundation, 2009).
H. PENATALAKSANAAN
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif,
meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme
secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya
penurunan LFG sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang
masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat
menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah
menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak bermanfaat
(Suwitra, 2006). Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG
pada pasien penyakit ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid
(superimposed factors) yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini
antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus
urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obatan nefrotoksik, bahan radiokontras, atau
peningkatan aktivitas penyakit dasarnya (Suwitra, 2006). Perencanaan tatalaksana (action
plan) penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya,
2. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi toksin
azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan
negatif nitrogen (Sukandar, 2006). Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG ≤
60 ml/mnt, sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu
dianjurkan. Protein diberikan 0,6-0,8/kgbb/hari, yang 0,35-0,50 gr diantaranya merupakan
protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari,
dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi,
jumlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat,
kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tapi tapi dipecah menjadi urea dan substansi
nitrogen lain, yang terutama dieksresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein
yang mengandung ion hydrogen, posfat, sulfat, dan ion unorganik lain juga dieksresikan
melalui ginjal (Suwitra, 2006). Pemberian diet tinggi protein pada pasien penyakit ginjal
kronik akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan
mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia. Pembatasan protein akan
mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik (Suwitra, 2006).
Masalah penting lain adalah, asupann protein berlebihan (protein Overload) akan
mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan
intraglomerulus (intraglomerulus hyperfiltration), yang akan meningkatkan progresifitas
pemburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan
asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasan
fosfat perlu untuk mencegah terjadinya hyperfosfatemia (Suwitra, 2006).

a. Kebutuhan jumlah kalori


Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk PGK harus adekuat dengan tujuan utama,
yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan
memelihara status gizi (Sukandar, 2006).
b. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah diuresis
mencapai 2 L per hari.
c. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan
penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
3. Terapi simtomatik
a. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai pada PGK.
Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint) dari PGK. Keluhan
gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan
yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik
(Sukandar, 2006).
b. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
c. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler yang adekuat,
medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
d. Hipertensi
Pemberian obat antihipertensi, selain bermanfaat untuk memperkecil risiko kardiovaskular
juga sangat penting untuk memperlambat perburukan kerusakan nefron dengan mengurangi
hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glmerulus. Beberapa studi membuktikann bahwa,
pengendalian tekanan darah mempunyai peran sama pentingnya dengan pembatasan asupan
protein, dalam memperkecil hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Selain itu,
sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria, yang merupakan faktor
risiko terjadinya perburukan fungsi ginjal (Suwitra, 2006).
e. Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita. Pencegahan
dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit
kardiovaskular merupakan hal yang penting, karena 40-45% kematian pada penyakit ginjal
kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan
danterapi terhadap penyakit kardiovaskular adalah, pengendalian diabetes, pengendalian
hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia,
dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait
dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan
(Suwitra, 2006).
4. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik
stadium yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan
malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien PGK yang belum tahap
akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi
absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu
perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang
tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic
Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5
dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar, 2006).
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah dilaksanakan
di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen
darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup
yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun.
Kendala yang ada adalah biaya yang mahal (Rahardjo, 2006).
b. Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat
ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan
orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem
kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan
hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGTA (gagal
ginjal tahap akhir) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai
co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat
intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat
ginjal (Sukandar, 2006).

c. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal). Menurut
(Sukandar, 2006) pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
1. Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal,
sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah
2. Kualitas hidup normal kembali
3. Masa hidup (survival rate) lebih lama
4. Kompllikasi terutama berhubungan dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi
penolakan.
5. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi.
I. KOMPLIKASI
1. Oliguri sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari.
Terjadi sebagai akibat berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufisiensi ginjal
akut dengan uremia, hiperfosfatemia, hiperkalemia dan hidremia. Walaupun oliguria atau
anuria yang lama jarang terdapat pada anak, jika hal ini terjadi diperlukan peritoneum dialisis
(bila perlu).
2. Ensefalopati hipertensi, merupakan gejala serebrum karena hipertensi. Terdapat gejala
berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah dan kejang-kejang. Hal ini disebabkan karena
spasme pembuluh darah lokal dengan anoksia dan edema otak.
3. Gangguan sirkulasi berupa dipsneu, ortopneu, terdapat ronki basah, pembesaran jantung
dan meningginya tekanan darah yang bukan saja disebabkan spasme pembuluh darah tetapi
juga disebabkan oleh bertambahnya volume plasma. Jantung dapat membesardan terjadi
gagal jantung akibat hipertensi yang menetap dan kelainan di miokardium.
4. Anemia yang timbul karena adanya hipervolemia disamping sintesis eritropoietik yang
menurun
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Glomerulonefritis kronik adalah peradangan lama di sel-sel glomerolus. Kelainan ini dapat
terjadi akibat glomerolus akut yang tidak membaik atau timbul secara spontan ((Arif
muttaqin & kumala Sari, 2011)
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya
berakhir dengan keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang
irreversible, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa
dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
Kelainan ginjal berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan manifestasi klinis dan
kerusakan ginjal secara laboratorik atau kelainan pada pemeriksaan radiologi, dengan atau
tanpa penurunan fungsi ginjal (penurunan LFG) yang berlangsung > 3 bulan. 2. Penurunan
LFG < 60 ml/menit per 1,73 m2 luas permukaan tubuh selama > 3 bulan dengan atau tanpa
kerusakan ginjal (National Kidney Foundation, 2002).

DAFTAR PUSTAKA

Arfin, Behrama Kliegman, 2000. Nelson : Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : EEC
Brunner and Suddarth, 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Ed.8 Vol.2. Jakarta : EEC
http://dinkes.banyuasinkab.go.id/index.php/artikel-kesehatan/124-glomerulonefritis-kronis
nefrologi-anak-.html.
Buku patofisiologi karangan elizbet j. Corwin 2009.

Anda mungkin juga menyukai