Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perdarahan saluran cerna bahagian atas adalah perdarahan yang terjadi di
saluran cerna yang dimulai dari mulut hingga ke 2/3 bagian dari duodenum. Ari F.
Syam (2005) dalam penelitiannya di RSCM Jakarta menyebutkan bahwa kebanyakan
penderita perdarahan saluran cerna bahagian atas disebabkan oleh varises esophagus
sekitar (33,5 %). Tingginya angka penderita varises esophagus dikarenakan adanya
hubungan antara varises esophagus dengan munculnya penyakit hepatitis B dan C di
Indonesia. Demikian pula pada penelitian yang dilakukan oleh Nasrul Zubir dan
Julius di kota Padang tahun 1992 tepatnya di RSU dr. M. Jamil, jenis kelainan yang
ditemukan pada pemeriksaan endoskopi yang terbanyak adalah varises esophagus =
196 penderita (23,17 %), gastritis refluks menempati urutan tertinggi diantara gastritis
lainnya (41,21 %). Jumlah tukak lambung dan tukak duodenum pada penelitian ini
hampir sebanding (1,04 : 1). (Jubril, N., et al., 1992) Berbeda dengan sebagian besar
negara di Eropa dan Amerika dalam buku Current Diagnosis & Treatment in
Gastroenterology yang sebahagian besar penyebab perdarahan saluran cerna bahagian
atas dikarenakan peptic ulcer dan sesuai dengan data penelitian yang dilakukan oleh
CURE ada sekitar 55 % pasien perdarahan saluran cerna bahagian atas yang
disebabkan oleh peptic ulcer. (Jutabha, R., et al. 2003) Angka kematian di berbagai
belahan dunia juga masih menunjukkan jumlah yang cukup tinggi terutama di
Indonesia yang wajib jadi perhatian khusus. Berdasarakan hasil penelitian di Jakarta
didapati bahwa jumlah kematian akibat perdarahan saluran cerna atas berkisar 26 %.
(Syam, A.F., et al., 2005) Di Perancis, sebuah laporan menyimpulkan bahwa jumlah
kematian dari perdarahan saluran cerna bahagian atas telah turun dari sekitar 11 %
menjadi 7 %; sebaliknya, dari sumber laporan yang sama dari Yunani mendapatkan
tidak Universitas Sumatera Utara 15 adanya penurunan jumlah kematian tersebut. Di
Spanyol sendiri mendapatkan bahwa perdarahan saluran cerna bahagian atas 6 kali
lebih sering terjadi dibandingkan dengan perdarahan saluran cerna bahagian bawah.
(Caestecker, J.d., 2011) Di Amerika Serikat, setiap tahun pasien yang masuk ke
Instalasi Gawat Darurat (IGD) dengan sebab perdarahan saluran cerna atas. Sejak
tahun 1945, angka kematian di Amerika Serikat oleh sebab perdarahan saluran cerna

1
atas mencapai 5 – 10 % dan tidak berubah hingga saat ini. (John, R.S., 2009) Insidensi
dari perdarahan saluran cerna bahagian atas di Indonesia tidak jauh berbeda daripada
di negara maju lainnya, yaitu penderita perdarahan saluran cerna bahagian atas lebih
banyak pada pria daripada wanita dan pada pasien dengan usia lebih dari 60 tahun
seperti yang dikemukakan dalam penelitian yang dilakukan oleh Ari F. Syam serta
penelitan yang dilakukan oleh Nasrul Zubir. Insidensi dari perdarahan saluran cerna
bahagian atas dua kali lebih sering pada pria daripada pada wanita, dalam seluruh
tingkatan usia; tetapi, jumlah angka kematian tetap sama pada kedua jenis kelamin.
Angka kematian meningkat pada usia yang lebih tua (>60 tahun) pada pria dan
wanita. (Caestecker, J.d., 2011) Untuk memeriksa perdarahan saluran cerna bahagian
atas dilakukanlah pemeriksaan endoskopi untuk menegakkan diagnosa tentang
penyebab yang dapat menimbulkan perdarahan saluran cerna bahagian atas.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah disebutkan di atas maka muncullah
suatu rumusan masalah yang perlu dibahas, yaitu: “Bagaimana penanganan awal,
diagnosa, dan intervensi pasien perdarahan saluran cerna ?”

C. Tujuan
a. Untuk mengetahui penanganan awal pasien perdarahan saluran cerna
b. Untuk mengetahui diagnosa pasien perdarahan saluran cerna
c. Untuk mengetahui intervensi pasien perdarahan saluran cerna

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pasien dengan perdarahan gastrointestinal akut adalah usaha kolaboratif.
Intervensi awal mencakup empat langkah :
a. Kaji keparahan perdarahan.
b. Gantikan cairan dan produk darah dalam jumlah yang mencukupi untuk mengatasi
syok.
Pasien dengan perdarahan gastrointestinal akut membutuhkan akses intravena segera
dengan intra kateter atau kanula dengan diameter yang besar. Untuk mencegah syok
hipovolemik, mulai lakukan penggantian cairan dengan larutan intravena seperti
ringer laktat dan normal saline. Tanda-tanda vital dikaji secara terus-menerus pada
saat cairan diganti. Kehilangan lebih dari 1.500 ml membutuhkan penggantian darah
selain cairan. Golongan darah pasien di cross check, dan diberikan tranfusi sel darah
merah untuk membangkitkan kembali kapasitas angkut oksigen darah. Produk darah
lainnya seperti trombosit, faktor pembekuan (koagulasi), kalsium bisa juga diberikan
sesuai dengan hasil pemeriksaan laboratorium dan kondisi yang mendasari pasien.
Kadang-kadang, obat-obat vasoaktif digunakan sampai tercapai keseimbangan cairan
untuk mempertahankan keseimbangan cairan untuk mempertahankan tekanan darah
dan perfusi pada organ-organ tubuh yang vital. Dopamine, epinefrin, dan norepinefrin
adalah obat-obat yang dapat digunakan untuk menstabilkan pasien sampai dilakukan
perawatan definitif.
c. Tegakkan diagnosis penyebab perdarahan.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, endoskopi fleksibel adalah pilihan
prosedur untuk menentukan penyebab perdarahan. Dapat dipasang NGT untuk
mengkaji tingkat perdarahan, tetapi ini merupakan intervensi yang kontoversi. Bisa
juga dilakukan pemeriksaan barium, meskipun seringkali tidak menentukan jika
terdapat bekuan dalam lambung, atau jika terdapat perdarahan superfisial. Angiografi
digunakan jika sumber perdarahan tidak dapat dikaji dengan endoskopi.
d. Rencanakan dan laksanakan perawatan definitif.
1)    Terapi Endoskopi 

3
Scleroterapy adalah pilihan tindakan jika letak perdarahan dapat
ditemukan dengan menggunakan endoskopi. Letak  perdarahan hampir selalu
disclerosiskan menggnukan agen pengsclerosis seperti natrium morhuat atau
natrium tetradesil sulfat. Agen ini melukai endotel menyebakan nekrosis dan
akhirnya menyebabkan sklerosis  pada pembuluh darah yang pecah. 
2)    Bilas Lambung
Bilas lambung mungkin diperintahkan selama periode perdarahan akut,
tetapi ini merupakan modalitas pengobatan kontroversial. Beberapa dokter
yakin bahwa tindakan ini dapat mengganggu pembekuan mekanisme
pembekuan normal tubuh diatas tempat perdarahan. Sebagian dokter yang lain
meyakini bahwa bilas lambung dapat membantu membersihkan darah dari
dalam lambung, membantu mendiagnosis penyebab perdarahan selama
endoskopi. Jika diinstruksikan bilas lambung, maka 1000-2000 ml air atau
normal salin steril dalam suhu kamar dimasukan dalam selang nasogasatrik.
Cairan tersebut  kemudian dikeluarkan menggunakan tangan dengan spuit atau
dipasang pada suction intermiten sampai sekresi lambung jernih. Irigasi
lambung dengan cairan normal saline agar menimbulkan vasokontriksi
pembuluh darah. Setelah diserap oleh lambung, obat kemudian diedarkan
melalui sistem vena porta ke hepar yaitu tempat terjadinya metabolisme,
sehingga mencegah reaksi sistemik. Untuk pengenceran, biasanya
menggunakan 2 ampul dalam 1000 ml larutan.
Beresiko mengalami apsirasi lambung karena pemasangan nasogastrik
dan peningkatan tekanan intragastrik karena darah atau cairan yang digunakan
untuk membilas. Monitor distensi lambung dan memberikan posisi pasien
dengan kepala ditinggikan penting untuk mencegah refluk isi lambung. Bila
pasien memiliki kontraindikasi dengan posisi tersebut, maka dapat diganti
dengan posisi dekubitus lateral kanan agar memudahkan mengalirnya isi
lambung melewati pilorus.
3)    Pemberian Pitresin
•    Dilakukan bila dengan bilas lambung atau skleroterapi tidak menolong,
maka diberikan vasopresin (Pitresin) intravena.
•    Obat ini menurunkan tekanan vena porta dan oleh karenanya menurunkan
aliran darah pada tempat perdarahan. Dosis 0,2-0,6 unit permenit.

4
•    Karena vasokontsriktor maka harus diinfuskan melalui aliran pusat.
•    Hati-hati dalam penggunaan obat ini karena dapat terjadi hipersensitif.
•    Obat ini dapat mempengaruhi output urine karena sifat antidiuretiknya.
4)    Mengurangi Asam Lambung
Karena asam lambung menyebabkan iritasi terhadap tempat
perdarahan pada traktus gastrointestinal bagian atas, adalah penting untuk
menurunkan keasaman asam lambung. Ini dapat digunakan dengan obat-obat
antihistamin (H2)-antagonistik. Contohnya : simetidin (tagamet), ranitidine
hipoklorida (zantac), dan famotidin (pepsid). Obat-obat ini menurunkan
pembentukan asam lambung dengan menghambat antihistamin.
Antasid juga biasanya diberikan. Kerja antasid sebagai buffer alkali
langsung diberikan untuk mengontrol pH lambung. Perawat bertanggung
jawab terhadap ketepatan aspirasi isi lambung untuk pemeriksaan pH dan
pemantauan efek-efek samping dari terapi. Sucralfate, garam alumunium dasar
dari sukrosa oktasulfat, yang beraksi secara lokal sebagai obat pelindung
mukosa juga dapat diperintahkan untuk profilaksis perdarahan stress.
5)    Memperbaiki Status Hipokoagulasi
Adalah bukan hal yang tidak lazim untuk mendapati pasien yang
mengalami perdarahan gastrointestinal berat yang mempunyai status
hipokuagulasi karena defisiensi berbagai faktor pembekuan. Salah satu
masalah yang paling penting dalam kategori ini adalah kegagalan hepar pada
pasien yang tidak mampu untuk menghasilkan faktor-faktor pembekuan darah.
Situasi klinis umum lainnya adalah pemberian makanan melalui intravena
jangka panjang pada pasien yang mendapat berbagai antibiotik dan pasien
yang mengalami defisiensi vitamin K. tanpa memperhatikan penyebabnya
seseorang harus memperbaiki keadaan ini untuk mengurangi jumlah
perdarahan. Jika diduga adanya faktor defisiensi utama lain, plasma segar
diberikan untuk memperbaiki abnormalitas.
6)    Balon Tamponade
Terdapat bermacam balon tamponade antara lain tube Sangstaken-
Blakemore, Minnesota, atau Linton-Nachlas. Alat ini untuk mengontrol
perdarahan gastrointestinal bagian atas karena varises esofagus.
Tube Sangstaken-Blakemore mengandung 3 lumen:

5
a)    Balon gastrik yang dapat diinflasikan dengan 100-200 ml udara.
b)    Balon esopagus yang dapat diinflasikan dengan 40 mm Hg (menggunakan
spigmomanometer).
c)    Lumen yang ke-3 untuk mengaspirasi isi lambung.
Tube Minnesota, mempunyai lumen tambahan dan mempunyai lubang
untuk menghisap sekresi paring. Sedangkan tube Linton-Nachlas terdiri hanya
satu balon gaster yang dapat diinflasikan dengan 500-600 ml udara. Terdapat
beberapa lubang/bagian yang terbuka baik pada bagian esofagus maupun
lambung untuk mengaspirasi sekresi dan darah. 
Tube/selang Sangstaken-Blakemore setelah dipasang di dalam
lambung dikembangkan dengan udara tidak lebih dari 50 ml. Kemudian selang
ditarik perlahan sampai balon lambung pas terkait pada kardia lambung.
Setelah dipastikan letaknya tepat (menggunakan pemeriksaan radiografi),
balon lambung dpat dikembangkan dengan 100-200 ml udara. Kemudian
selang dibagian luar ditraksi dan difiksasi.
Jika perdarahan berlanjut balon esopagus dapat dikembangkan dengan
tekanan 250 40 mmHg (menggunakan spigmomanometer) dan dipertahankan
dalam 24-48 jam. Jika lebih lama depat menyebabkan edema, esopagitis,
ulserasi atau perforasi esopagus.
Hal yang penting dilakukan saat menggunakan balon ini adalah
observasi konstan dan perawatan cermat, dengan mengidentifikasi ketiga
ostium selang, diberi label dengan tepat dan diperiksa kepatenannya sebelum
dipasang.
7)    Terapi-terapi Pembedahan
Pembedahan dilakukan pada pasien yang mengalami perdarahan
massive yang sangat membahayakan nyawa dan pada pasien yang mengalami
perdarahan yang terus menerus meskipun telah menjalani terapi medis
agregasif. Terapi pembedahan untuk penyakit ulkus peptikum atau ulcer yang
disebabkan oleh stress mencakup reseksi lambung (antrektomi), gastrektomi,
gastroenterostomi, atau kombinasi operasi untuk mengembalikan keutuhan
gastrointestinal. Vagotomi akan mengurangi sekresi asam lambung.
Antrektomi mengangkat sel-sel penghasil asam dalam lambung. Billroth I
adalah prosedur yang mencakup vagotomi dan antrektomi dengan anastomosis
lambung pada duodenum. Billroth II meliputi vagotomi, reseksi antrum, dan

6
anastomosis lambung pada jejunum. Perforasi lambung dapat diatasi hanya
menutup atau menggunakan patch untuk menutup lubang pada mukosa.
Operasi dekompresi hipertensi porta dapat dilakukan pada pasien yang
mengalami varises esophagus dan varises gaster. Dalam pembedahan ini,
disebut pirai kava porta, dimana dibuat hubungan antara vena porta dengan
vena kava inferior yang mengalihkan aliran darah ke dalam vena cava untuk
menurunkan tekanan.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan aliran intravena.
2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan (kehilangan secara aktif)
3. Resiko gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan hipovolemik karena perdarahan.
4.Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang penyakitnya.

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan Tujuan Intervensi keperawtan
1. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan aliran intravena. Pasien tidak akan
mengalami infeksi nosokomial  Pantau adanya distensi abdomen
 Baringkan pasien pada bagian kepala tempat tidur yang ditinggikan jika segalanya
memungkinkan
 Pertahankan fungsi dan patensi NGT dengan tepat
 Atasi segera mual
 Pertahankan kestabilan selang intravena.
 Ukur suhu tubuh setiap jam
 Pantau sistem intravena terhadap patensi, infiltrasi, dan tanda-tanda infeksi
 Ganti letak intravena setiap 48-72 jam dan jika perlu
 Ganti larutan intravena sedikitnya tiap 24 jam
 Letak insersi setiap shift
 Gunakan tehnik aseptik saat mengganti balutan dan selang. Pertahankan balutan
bersih dan steril
Diagnosa keperawatan Tujuan Intervensi keperawtan
2. Kekurangan voleme cairan berhubungan dengan perdarahan (kehilangan secara aktif)
Kebutuhan cairan terpenuhi
 Catat karakteristik muntah dan/ atau drainase.

7
 Awasi tanda vital; bandingkan dengan hasil normal klien/sebelumnya. Ukur TD
dengan posisi duduk, berbaring, berdiri bila mungkin .
 Catat respons fisiologis individual pasien terhadap perdarahan, misalnya perubahan
mental, kelemahan, gelisah, ansietas, pucat, berkeringat, takipnea, peningkatan suhu.
 Awasi masukan dan haluaran dan hubungkan dengan perubahan berat badan. Ukur
kehilangan darah/ cairan melalui muntah dan defekasi.
 Pertahankan tirah baring; mencegah muntah dan tegangan pada saat defekasi.
Jadwalkan aktivitas untuk memberikan periode istirahat tanpa gangguan. Hilangkan
rangsangan berbahaya.
 Tinggikan kepala tempat tidur selama pemberian antasida.
 Kolaborasi:
a. Berikan cairan/darah sesuai indikasi.
b. Berikan obat antibiotik sesuai indikasi
c. Awasi pemeriksaan laboratorium; misalnya Hb/ Ht
3. Resiko gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan hipovolemik karena perdarahan.
 Resiko gangguan perfusi jaringan tidak terjadi.
 Selidiki perubahan tingkat kesadaran, keluhan pusing/ sakit kepala.
 Auskultasi nadi apikal. Awasi kecepatan jantung/irama bila EKG kontinu ada.
 Kaji kulit terhadap dingin, pucat, berkeringat, pengisian kapiler lambat, dan nadi
perifer lemah.
 Catat laporan nyeri abdomen, khususnya tiba-tiba nyeri hebat atau nyeri menyebar ke
bahu.
 Observasi kulit untuk pucat, kemerahan. Pijat dengan minyak. Ubah posisi dengan
sering.
 Kolaborasi
a. Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi
b. Berikan cairan IV sesuai indikasi.
4. Kurangnya pengetahua berhubungan dengan kurangnya informasi tentang penyakitnya
Pengetahuan klien tentang perawatan di rumah bertambah setelah diberikan pendidikan
kesehatan
 Kaji sejauh mana ketidakmengertian klien dan keluarga tentang penyakit yang
diderita.
 Diskusikan dengan klien untuk melakukan pendidikan kesehatan.

8
 Berikan penjelasan tentang penyakit yang klien derita, cara pengobatan dan
perawatan di rumah serta pencegahan kekambuhan penyakit.
 Berikan kesempatan klien dan keluarga untuk berpartisipasi aktif dalam pendidikan
kesehatan.
 Berikan evaluasi terhadap keefektifan pendidikan kesehatan.

9
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Perdarahan saluran cerna pada anak dapat berasal dari saluran cerna atas atau
dari saluran cerna bawah yang menifestasi klinisnya berbeda. Hal yang utama
diperhatikan pada perdarahan saluran cerna pada anak adalah mengatasi agar tidak
terjadi shok hipovolemik karena perdarahan. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah
memastikan lokasi perdarahan. Anamnesa dan pemeriksaan fisik yang tepat akan
menghindari kita dari pemeriksaan penunjang yang berlebihan
B. SARAN
Adapun saran – saran yang dapat penulis berikan dalam usaha keperawatan
pada pasien gawat darurat dengan perdarahan saluran pencernaan ini adalah :

1.Untuk Pasien
Pasien diharapkan harus senantiasa tetap memelihara kesehatannya,menjaga pola
makan dengan baik dan harus mengerti factor apa saja yang mencetuskan terjadinya
perdarahan saluran percernaan. Klien juga diharapkan mampu melakukan pencegahan
dan tindakan pengobatan awal jika terjadi perdarahan saluran pencernaan.

2.Untuk perawat
Bagi teman sejawat, diharapkan benar-benar memahami konsep dasar penyakit
perdarahan saluran pencernaan, karena berdasarkan pengetahuan dan keterampilan
itulah maka perawat dapat menerapkan asuhan keperawatan yang komprehensif.

3.Untuk Pendidikan
Untuk institusi diharapkan lebih melengkapi literature yang berkaitan dengan masalah
ini, sehingga dalam penyusunan makalah ini lebih mempermudah penulis sehingga
makalah yang dihasilkan lebih bernilai.

10
DAFTAR PUSTAKA

Eliastam, M., Sternbach, G., & Bresler, M. (1998). Buku saku : Penuntun kedaruratan medis.
( edisi 5 ). Jakarta ; EGC.
Hudak dan Galo. (1996). Keperawatan kritis: Pendekatan holistik. (Vol. II, edisi 6). Jakarta:
EGC.
Suparman. (1987). Ilmu penyakit dalam. (Jilid I, edisi kedua). Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Azzam, Rohman. 2009. Perdarahan gastrointestinal hematemesis dan melena karena
pecahnya varises esophagus. http://askep.blogdetik.com/2009/01/14/perdarahan-
gastrointestinal-hematemisis-dan-melena-karena-pecahnya-varises-esopagus/. (diakses pada
tanggal 22 April 2011).
Paradifa, Renjana. 2010. Perdarahan saluran cerna.
http://renjana552.blogdetik.com/2010/01/31/perdarahan-saluran-cerna/. (diakses pada tanggal
22 April 2011).
Kalbe Farma. 2008. Perdarahan Saluran Pencernaan, Bisa Kena Siapa Saja.
http://www.ahlinyalambung.com/index.php?q=content/perdarahan-saluran-pencernaan-bisa-
kena-sapa-saja. (diakses pada tanggal 22 april 2011).
Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. (Edisi 8 Volume 2).
Jakarta : EGC
Doenges, Marylin E, et. al. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien (3rd ed.). Jakarta: EGC.
Price A. Sylvia dan Lorraine M. Wilson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. ( Edisi 4). Jakarta : EGC

11

Anda mungkin juga menyukai