Anda di halaman 1dari 41

FUNGSI FILSAFAT HUKUM DALAM

PEMBENTUKAN HUKUM DI INDONESIA

Abstrak

Filsafat Hukum berusaha untuk memeriksa gagasan-gagasan tentang hukum yang sudah ada
maupun yang akan diadakan (pembentukan hukum), melihat koherensi, korespondensi dan fungsi
hukum yang diciptakan. Kaitannya Filsafat Hukum terhadap pembentukan hukum di Indonesia,
bahwa Filsafat Hukum sangat berperan dalam pembentukan hukum ke arah yang demokratis,
mengarah kepada kebutuhan masyarakat yang hakiki. Pengubahan itu atas dasar pembaharuan yang
didasari pada asas kemanfaatan dan keadilan. Fungsi hukum nasional adalah untuk pengayoman,
maka perubahan atau pembentukan hukum Indonesia harus melalui proses Filsafat Hukum yang di
dalamnya mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan
tingkat kemajuan pembangunan di segala bidang, yang juga mampu memenuhi kebutuhan
masyarakat luas yang majemuk, yang mana hukum yang dibentuk merupakan rules for the game of
life. Hukum dibentuk untuk mengatur perilaku anggota masyarakat. Yang terpenting, hukum
dibentuk sebagai pemenuhan rasa keadilan bagi masyarakat luas, tanpa membedakan ras, golongan,
suku, partai, agama, atau pembedaan lain dalam kerangka bhinneka tunggal ika.

Kata kunci: filsafat hukum, pembentukan hukum, pembaharuan, kemanfaatan, keadilan.

1. A. Pendahuluan

Negara Republik Indonesia merupakan negara kesatuan yang berbentuk republik, kedaulatan berada
di tangan rakyat dan berdasarkan hukum (rechsstaat), bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka
(machtsstaat). Negara kesatuan adalah negara yang tidak tersusun dari beberapa negara, seperti
halnya dalam negara federasi, melainkan negara itu sifatnya tunggal. Hanya ada satu negara, tidak
ada negara di dalam negara. Di dalam negara kesatuan itu juga hanya ada satu pemerintahan, yaitu
pemerintahan pusat yang mempunyai kekuasaan atau wewenang tertinggi dalam segala lapangan
pemerintahan. Pemerintahan pusat inilah yang pada tingkat terakhir dan tertinggi dapat
memutuskan segala sesuatu di dalam negara tersebut.[1]

Kedaulatan berada di tangan rakyat, berarti pemegang kekuasaan tertinggi adalah rakyat. J. J.
Rosseau mengatakan, bahwa oleh karena penguasa mendapatkan kekuasaannya dari rakyat, maka
yang mempunyai kekuasaan tertinggi itu adalah rakyat. Dengan kata lain, yang berdaulat adalah
rakyat. Penguasa hanya merupakan pelaksana dari sesuatu hal yang telah diputuskan atau
dikehendaki oleh rakyat. [2] Kekuasaan penguasa itu bersifat pinjaman, karena pada waktu
individu-individu itu mengadakan perjanjian masyarakat, mereka tidak menyerahkan hak-hak atau
kekuasaannya kepada penguasa, tetapi mereka menyerahkan kehendaknya atau kemauannya kepada
masyarakat, yang merupakan kesatuan tersendiri, yang timbul karena perjanjian masyarakat
tersebut.

Oleh karena itu masyarakat tersebut sebagai suatu kesatuan mempunyai kemauan umum yang oleh
Rousseau disebut volonte generale. Kemauan umum dari masyarakat inilah yang merupakan
kekuasaan tertinggi, yang menentukan putusan terakhir dan tertinggi, dan dinamakan kedaulatan.
Dengan demikian ternyatalah bahwa yang memiliki kedaulatan itu rakyat.[3]

Sebagai negara hukum, baik penguasa maupun rakyat atau warganegara, bahkan negara itu sendiri
semuanya tunduk kepada hukum. Semua sikap, tingkah laku, dan perbuatannya harus sesuai atau
menurut hukum. Sumber hukumnya adalah rasa hukum yang terdapat di dalam masyarakat itu
sendiri.

Pasca amandemen Undang-Undang Dasar 1945, rakyat yang diwakili oleh anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dipilih oleh rakyat dalam
suatu pemilihan umum legislatif. Sedangkan Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh
rakyat dalam suatu pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden, sebagaimana amanat Pasal 6A ayat
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi: “Presiden dan
Wakil Presiden dipilih dalam suatu pasangan secara langsung oleh rakyat.”.
Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
Bab III Pasal 7 ayat (1), menyebutkan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Sebelumnya sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan ditentukan oleh
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan
Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, yang menggantikan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR
mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-
undangan Republik Indonesia, menyebutkan tata urutan peraturan perundang-undangan Republik
Indonesia, sebagai berikut:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
3. Undang-undang.
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu).
5. Peraturan Pemerintah.
6. Keputusan Presiden.
7. Peraturan Daerah.

Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan menentukan bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh:

- Majelis Permusyawaratan Rakyat,


- Dewan Perwakilan Rakyat,
- Dewan Perwakilan Daerah,
- Mahkamah Agung,
- Mahkamah Konstitusi,
- Badan Pemeriksa Keuangan,
- Komisi Yudisial,
- Bank Indonesia,
- Menteri,

- Badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau
Pemerintah atas perintah Undang-Undang,

- Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,


- Gubernur,
- Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota,
- Bupati/Walikota,
- Kepala Desa atau yang setingkat.

Kaitannya dengan pembentukan hukum di Indonesia, harus disadari bahwa hukum dibentuk karena
pertimbangan keadilan (gerechtigheit) disamping sebagai kepastian hukum (rechtssicherheit) dan
kemanfaatan (zweckmassigheit).[4]

Para filsuf memberikan pengertian keadilan berbeda-beda sesuai dengan pandangan dan
tujuannya:[5]
1. Aristoteles memberikan pengetian bahwa keadilan adalah kebajikan yang berkaitan dengan
hubungan antar manusia: keadilan legalis, distributif dan komutatif.
2. Thomas Aquinas, keadilan terbagi 2 (dua) yaitu keadilan umum (justitia generalis) dan
keadilan khusus (justitia specialis).
3. W. Firedmann, keadilan yang diformulasikan Aristoteles merupakan kontribusi
pengembangan filsafat hukum, beliau membedakan keadilan menjadi 3 (tiga): keadilan
hukum, keadilan alam, dan keadilan abstrak dan kepatutan.
4. Notohamidjojo membagi keadilan menjadi 3 (tiga), yaitu keadilan kreatif (iustitia creative),
keadilan protektif (iustitia protetiva), dan keadilan social (iustitia social).
5. Rosce Pound, keadilan dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu, keadilan yang bersifat yudisial
dan keadilan administratif.
6. John Rawl, keadilan adalah keadaan keseimbangan antara kepentingan pribadi dan
kepentingan bersama.
7. Paul Scholten, keadilan tidak boleh bertentangan dengan hati nurani, hukum tanpa keadilan
bagaikan badan tanpa jiwa.

Pada dasarnya manusia menghendaki keadilan, manusia memiliki tanggung-jawab besar terhadap
hidupnya, karena hati nurani manusia berfungsi sebagai index, ludex, dan vindex. Proses reformasi
menunjukkan bahwa hukum harus ditegakkan demi terwujudnya supremasi hukum dalam rangka
menegakkan kebenaran dan keadilan sesuai dengan tujuan hukum yaitu ketertiban, keamanan,
ketentraman, kedamaian, kesejahteraan, dan keadilan. Pemikiran filosofis keadilan yang berkaitan
dengan filsafat hukum berkaitan erat dengan pemikiran John Rawls mengungkapkan 3 (tiga) factor
utama yaitu:

1. Perimbangan tentang keadilan (gerechtigheit).


2. Kepastian hukum (rechtessischrheit).
3. Kemanfaatan hukum (zweckmassigheit).[6]

Keadilan berkaitan erat dengan pendistribusian hak dan kewajiban, hak yang bersifat mendasar
sebagai anugerah Ilahi sesuai dengan hak asasinya yaitu hak yang dimiliki seseorang sejak lahir dan
tidak dapat diganggu gugat.

Dalam penulisan ini, penulis akan membatasi pembahasannya mengenai pembentukan hukum di
Indonesia dalam arti hukum tertulis. Bagaimanakah peran dan sumbangsih yang dapat diberikan
filsafat hukum. Dalam wujud apakah filsafat hukum memberikan kontribusinya. Kemudian apakah
mungkin filsafat hukum dijadikan salah satu terapi untuk membantu memecahkan berbagai krisis
yang terjadi dalam masyarakat pasca reformasi. Untuk membahas dan mencermati permasalahan
tersebut, dalam tulisan ini akan diuraikan tentang tinjauan ontologism, epistemologis, dan
aksiologis ilmu hukum, ruang lingkup obyek pengkajian filsafat hukum.

Adapun rumusan masalahnya, sebagai berikut:

1. Apakah filsafat hukum itu?


2. Bagaimana peranan filsafat hukum dalam pembentukan hukum di Indonesia?

1. B. Pembahasan

Ada dua kecenderungan dalam ilmu hukum yang terjadi, yaitu: pertama, ilmu hukum terbagi-bagi
ke dalam berbagai bidang yang seolah-olah masing-masing berdiri sendiri; kedua, ilmu hukum
menumpang pada bidang ilmu lain sehingga seolah-olah bukan merupakan suatu ilmu yang berdiri
sendiri. Kecenderungan pertama terlihat dengan terbentuknya ilmu hukum ke dalam ilmu yang
bersifat normatif, ilmu yang bersifat empiris dan ilmu yang bersifat filosofis. Terkadang pada
penganut ketiga bidang ilmu hukum itu masing-masing saling menafikan. Kecenderungan kedua
terlihat dengan semakin kentalnya sikap yang menganalogikan ilmu hukum dengan sosiologi
hukum dan antropologi hukum.
Kecenderungan ilmu hukum tersebut sudah tentu mengurangi kemampuan ilmu hukum dalam
perkembangannya dan dalam menghadapi masalah-masalahnya. Adanya ilmu hukum yang bersifat
integratif merupakan suatu kebutuhan. Hal ini karena adanya kelemahan yang dijumpai dalam ilmu
hukum yang murni secara teoretis semata-mata (normatif) maupun ilmu hukum yang terapan
semata-mata (empiris). Integralitas ilmu adalah kebalikan dari spesialisasi dalam ilmu. Spesialisasi
ilmu dalam perkembangan ilmu merupakan bukti dari kemajuan karena ilmu menjadi berkembang
semakin kaya. Tetapi spesialisasi ilmu dalam ilmu hukum menjadi steril dan dangkal. Mungkin
ilmu hukum dapat berkembang tetapi tidak dapat menangkap hakekat yang lebih menyeluruh dari
kenyataan yang dihadapi. Seolah-olah seperti orang buta yang menangkap ekor gajah disangka
itulah gambaran gajah atau seperti halnya melihat bagian sisi saja dari mata uang dan melupakan
sisi lainnya.

Ilmu hukum mempunyai obyek kajian hukum. Oleh karena itu kebenaran hukum yang hendak
diungkapkan oleh ilmuwan hukum berdasarkan pada sifat-sifat yang melekat pada hakekat hukum.
Untuk membicarakan hakekat hukum secara tuntas, maka perlu diketahui tiga tinjauan yang
mendasarinya yaitu tinjauan ontologis, tinjauan epistemologis, dan tinjauan aksiologis.

Tinjauan ontologis membicarakan tentang keberadaan sesuatu (being) atau eksistensi (existence)
sebagai obyek yang hendak dikaji. Dalam hal ini ada aliran yang mengatakan bahwa segala sesuatu
bersifat materi (alls being is material), sementara pendapat lain menyebutkan bahwa semua yang
ada bersifat sebagai roh atau spirit (alls being is spirit). Pandangan tersebut menentukan bagaimana
atau dengan kacamata apa seseorang (subyek) melihat suatu obyek tertentu.

Tinjauan epistemologis membicarakan tentang syarat-syarat dan kaidah-kaidah apa yang harus
dipenuhi oleh suatu obyek tertentu. Hal ini berkaitan dengan cara, metode atau pendekatan apa
yang akan digunakan untuk melihat obyek itu.

Tinjuan aksiologis melihat bagaimana aksi atau pelaksanaan dari sesuatu. Dengan kata lain,
bagaimana pengaruh dan kemanfaatan (utility) suatu obyek bagi kepentingan hidup manusia.
Tinjauan aksiologis tidak dapat dilepaskan dari permasalahan nilai (value) yang dianut dan
mendasari suatu obyek tertentu.

1. 1. Filsafat dan Filsafat Hukum

Secara etimologis, filsafat berasal dari kata philosophia, philo (cinta) dan sophia (kebijaksanaan).
Jadi filsafat adalah mencintai kebijaksanaan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah 1) pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi
mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya, 2) teori yang mendasari alam
pikiran atau suatu kegiatan atau juga berarti ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan
epistemologi.

Filsuf Plato (427-347 sM) mendefinisikan filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berminat
mencapai kebenaran yang asli. Kemudian filsuf Aristoteles murid Plato (382-322 sM) mengartikan
filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran, dan berisikan di dalamnya ilmu:
metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.

Filsafat atau disebut juga ilmu filsafat, mempunyai beberapa cabang ilmu utama. Cabang ilmu
utama dari filsafat adalah ontologi, epistemologi, tentang nilai (aksiologi), dan moral (etika).
Ontologi (metafisika) membahas tentang hakekat mendasar atas keberadaan sesuatu. Epistemologi
membahas pengetahuan yang diperoleh manusia, misalnya mengenai asalnya (sumber) darimana
sajakah pengetahuan itu diperoleh manusia, apakah ukuran kebenaran pengetahuan yang telah
diperoleh manusia itu dan bagaimanakah susunan pengetahuan yang sudah diperoleh manusia. Ilmu
tentang nilai atau aksiologi adalah bagian dari filsafat yang khusus membahas mengenai hakekat
nilai berkaitan dengan sesuatu. Sedangkan filsafat moral membahas nilai berkaitan dengan tingkah
laku manusia dimana nilai di sini mencakup baik dan buruk serta benar dan salah.[7]

Purnadi Purbacaraka Soerjono Soekanto menyebutkan sembilan arti hukum, yaitu:


1. Ilmu pengetahuan yaitu pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan
pemikiran.
2. Disiplin, yaitu system ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi.
3. Norma, yaitu pedoman atau patokan sikap tindak atau perilaku yang pantas atau diharapkan.
4. Tata hukum, yaitu struktur dan proses perangkat norma-norma hukum yang berlaku pada
suatu waktu dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis.
5. Petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan
penegakan hukum (law enforcement officer).
6. Keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi.
7. Proses pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal balik antara unsure-unsur pokok dari
system kenegaraan.
8. Sikap tindak ajeg atau perilaku yang teratur, yakni perilaku yang diulang-ulang dengan cara
yang sama, yang bertujuan mencapai kedamaian.
9. Jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap
baik dan buruk.[8]

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat hukum adalah cabang filsafat, yaitu filsafat
tingkah laku atau etika, yang mempelajari hakikat hukum. Dengan kata lain, filsafat hukum adalah
ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis. Jadi obyek filsafat hukum adalah hukum, dan obyek
tersebut dikaji secara mendalam sampai kepada inti atau dasarnya, yang disebut hakikat.[9]

Lili Rasyidi menyebutkan pertanyaan yang menjadi masalah filsafat hukum, antara lain:

1. Hubungan hukum dan kekuasaan.


2. Hubungan hukum dengan nilai-nilai social budaya.
3. Apa sebab Negara berhak menghukum seseorang.
4. Apa sebab orang menaati hukum.
5. Masalah pertanggungjawaban.
6. Masalah hak milik.
7. Masalah kontrak.
8. Masalah peranan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat.[10]
1. 2. Hukum dan Pembentukan Hukum

Menurut Apeldoorn sebagaimana dikutip Immanuel Kant, para ahli hukum masih mencari tentang
apa definisi hukum. Definisi tentang hukum yang dikemukakan para ahli hukum sangat beragam,
bergantung dari sufut mana mereka melihatnya. Ahli hukum Belanda J. van Kan mendefinisikan
hukum sebagai keseluruhan ketentuan-ketentuan kehidupan yang bersifat memaksa, yang
melindungi kepentingan-kepentingan orang dalam masyarakat. Pendapat tersebtu mirip dengan
definisi dari Rudolf van Jhering yang mengatakan bahwa hukum adalah keseluruhan norma-norma
yang memaksa yang berlaku dalam suatu Negara. Hans Kelsen menyataan hukum terdiri dari
norma-norma bagaimana orang harus berperilaku. Pendapat ini didukung oleh ahli hukum
Indonesia Wirjono Projodikoro yang menyatakan bahwa hukum adalah rangkaian peraturan
mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat, kebahagiaan dan tata tertib
masyarakat itu. Selanjutnya O. Notohamidjojo berpendapat bahwa hukum adalah keseluruhan
peraturan yang tertulis dan tidak tertulis yang biasanya bersifat memaksa untuk kelakukan manusia
dalam masyarakat Negara serta antar Negara, yang berorientasi pada dua asas yaitu keadilan dan
daya guna, demi tata tertib dan damai dalam masyarakat.[11]

Dari sekian banyak definisi yang ada, menurut Paul Scholten ada beberapa cirri-ciri hukum,
sebagaimana dikutip oleh A. Gunawan Setiardja yaitu:

1. Hukum adalah aturan perbuatan manusia. Dengan demikian menurut ahli hukum, tatanan
hukum adalah hukum positif yang dibuat oleh pemerintah dan pemerintah adalah sumber
hukum.
2. Hukum bukan hanya dalam keputusan, melainkan juga dalam realisasinya. Menurut Prof.
Padmo Wahyono, S.H., hukum yang berlaku dalam suatu Negara mencerminkan perpaduan
sikap dan pendapat pimpinan pemerintah dan masyarakat mengenai hukum tersebut.
3. Hukum ini mewajibkan. Apabila hukum positif telah ditetapkan maka setiap warga negara
wajib untuk menaati hukum sesuai dengan undang-undang.
4. Institusionali hukum. Hukum positif merupakan hukum institusional dan melindungi
masyarakat.
5. Dasar hukum. Setiap hukum mempunyai dasar, yaitu mewajibkan dan mengharuskan.
Pelaksanaannya dengan ideologi bangsa.[12]

Hukum yang mempunyai arti yuridis yang sungguh-sungguh adalah hukum yang ditentukan oleh
pemerintah suatu negara, yaitu undang-undang. Hal ini jelas dalam kenyataan bahwa peraturan-
peraturan yang berlaku dalam lembaga non-negara, membutuhkan peneguhan dari negara supaya
berlaku sungguh-sungguh secara yuridis. Sebagaimana halnya hukum adat hanya dipandang
sebagai hukum yang sah, bila terdapat pengakuan oleh negara kepada warga negara yang akan
menggunakan hukum adatnya tersebut.[13]

Pembentukan hukum di Indonesia telah diatur jenis, hierarkinya oleh Undang-Undang Republik
Indonesia Nomer 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Dalam pembentukan hukum setidak-tidaknya ada tiga teori yaitu:[14]

1. Materiele theorie.
2. Formile theorie.
3. Filosofische theori.

Materiele theorie, dikemukakan oleh Leo Pold Pospisil, orang Amerika yang menjadi warga
Negara Belanda. Leo Pold mempunyai tiga kerangka berpikir, yakni:

1. Hukum di suatu Negara pada hakekatnya hanya dapat dibedakan menjadi dua:
1. Authoretorian law, hukum yang berasal dari author (penguasa).
1. Common law, hukum yang hidup di masyarakat.
2. Kedua kelompok hukum tersebut mempunyai keunggulan dan kelemahan yang berbanding
terbalik. Artinya, keunggulan dalam authoretorian law akan menjadi kelemahan bagi
common law.

Keunggulan authoretorian law dalam dua hal:

1. Kepastian hukumnya tinggi.


2. Daya paksanya tinggi.

Kelemahan authoretorian law:

1. Bersifat statis.
2. Obyektivitas keadilan sulit diwujudkan karena dibuat oleh author (penguasa) bukan oleh
rakyat.

Keunggulan common law:

1. Bersifat dinamis.
2. Obyektivitas keadilan mudah diwujudkan.

Kelemahan common law:

1. Kepastian hukum rendah.


2. Daya paksa (enforcement) rendah.
3. Hukum yang baik adalah hukum yang materinya (isi) semaksimal mungkin diambil dari
common law tapi diberi wadah dalam bentuk authoretorian law (hukum tertulis).

Formile theorie, dikemukakan oleh orang Inggris bernama Rick Dickerson dalam bukunya “Legal
Drafting Theory”. Hukum yang baik bentuknya harus memenuhi tiga syarat:

1. Tuntas mengatur permasalahan.


2. Tidak ada ketentuan tentang delegasi perundang-undangan (delegatie van wetgeving).
3. Jangan sampai ada ketentuan (pasal) yang bersifat elastic.

Filosofische theorie, dikemukakan oleh Jeremi Bentham dalam bukunya “Legal Theory”. Hukum
yang baik harus memenuhi unsur-unsur:

1. Berlaku secara filosofis. Produk hukum harus berlaku sesuai filsafat Pancasila. Artinya, jika
produk hukum tersebut disaring dengan Pancasila dapat lolos.
2. Berlaku secara sosiologis. Berarti produk hukum yang dibentuk harus sesuai dengan
kesadaran hukum masyarakat dimana hukum itu akan diberlakukan. Kalau tidak sesuai
maka produk hukum yang dibentuk akan mubadzir.
3. Berlaku secara yuridis. Bahwa hukum itu tajam bermata dua, yaitu kebenaran dan keadilan.
Berlaku secara yuridis artinya dapat mewujudkan kebenaran dan keadilan. Yang benar
belum tentu dirasa adil, dan sebaliknya yang dirasa adil belum tentu benar. Benar adalah
kecocokan antara perbuatan dan peraturan. Adil adalah keseimbangan antara hak dan
kewajiban.

Ketiga sifat berlaku tersebut harus dimiliki oleh suatu produk hukum yang dibentuk.

1. 3. Fungsi Filsafat Hukum Dalam Pembentukan Hukum Di Indonesia

Negara di dunia yang menganut paham teokrasi menganggap sumber dari segala sumber hukum
adalah ajaran-ajaran Tuhan yang berwujud wahyu, yang terhimpun dalam kitab-kitab suci atau yang
serupa dengan itu. Kemudian untuk Negara yang menganut paham negara kekuasaan yang
dianggap sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah kekuasaan. Lain halnya dengan negara
yang menganut paham kedaulatan rakyat yang dianggap sebagai sumber dari sumber hukum adalah
kedaulatan rakyat.

Bagi Negara Republik Indonesia yang menjadi sumber dari sumber hukum adalah Pancasila yang
dijumpai dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun
1945.

Pancasila sebagai dasar falsafah, pandangan hidup, dasar negara, dan sumber tertib hukum
Indonesia yang menjiwai serta menjadi mercusuar hukum Indonesia. Pancasila inilah yang menjadi
landasan pembenar bagi pembangunan ilmu hukum Indonesia berdasarkan epistemologi rasio-
empiris-intuisi-wahyu. Masuknya intuisi-religi sebagai metode dalam ilmu hukum Indonesia
diharapkan mampu menjadikan lengkap ilmu hukum dan memberi semangat serta jiwa
pembangunan hukum Indonesia.[15]

Keterkaitan hukum dan manusia tidak dapat dipisahkan. Oleh karenanya pembangunan hukum
Indonesia harus melalui pemahaman hakekat manusia. Prof. Notonagoro menunjukkan hakekat
manusia secara integral. Hakekat dasar manusia dalam Negara Republik Indonesia yang ber-
Pancasila sebagai makhluk yang monopluralis (majemuk-tunggal). Manusia sebagai makhluk
monopluralis oleh Notonagoro diartikan sebagai makhluk yang sekaligus memiliki tiga hakekat
kodrat sebagai berikut:

1. Susunan kodrat monodualis: yaitu manusia sebagai makhluk yang tersusun dari raga dan
jiwa.
2. Sifat kodrat monodualis: yaitu manusia sebagai makhluk individu dan makhluk social.
3. Kedudukan kodrat monodualis: yaitu manusia sebagai makhluk yang berdiri sendiri dan
makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.[16]

Melalui pemahanan bahwa manusia bersifat monopluralis ini memberikan landasan bahwa
paradigm hukum Indonesia adalah Pancasila. Diuraikan oleh Notonagoro bahwa landasan ontology
manusia yang monopluralis adalah landasan bagi Pancasila menjadi sebuah system filsafat.
Selanjutnya Pancasila menjadi sebuah system filsafat menjiwai segenap hukum (rules) di dalam
system hukum Indonesia.[17]
Menurut Moch. Koesnoe, di dalam Pembukaan dan Undang-Undang Dasar 1945 terkandung nilai-
nilai dasar tata hukum nasional kita yang merupakan rechtsidee hukum dan sebentuk idealita apa
yang dinamakan hukum di negara kita itu. Secara ringkas nilai dasar tersebut meliputi:

1. Nilai dasar pertama: hukum berwatak melindungi (mengayomi) dan bukan sekedar
memerintah begitu saja.
2. Nilai dasar kedua: hukum itu mewujudkan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
Keadilan social bukan semata-mata sebagai tujuan. Akan tetapi sekaligus pegangan yang
konkret dalam membuat peraturan hukum.
3. Nilai dasar ketiga: hukum itu adalah dari rakyat dan mengandung sifat kerakyatan.
4. Nilai dasar keempat: hukum adalah pernyataan kesusilaan dan moralitas yang tinggi, baik
dalam peraturan maupun dalam pelaksanaannya sebagaimana diajarkan di dalam ajaran
agama dan adat rakyat kita.[18]

Pembentukan hukum di Indonesia diatur oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menentukan bahwa Pancasila
merupakan sumber segala sumber hukum negara. Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
menentukan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan
hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan.

Dalam Bab II Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menentukan bahwa dalam membentuk Peraturan
Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan yang baik, yang meliputi:

1. Kejelasan tujuan;
2. Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
3. Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
4. Dapat dilaksanakan;
5. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
6. Kejelasan rumusan; dan
7. Keterbukaan.

Penjelasan Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang


Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjelaskan sebagai berikut:

Huruf a:

Yang dimaksud dengan “asas kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.

Huruf b:

Yang dimaksud dengan “asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat” adalah bahwa
setiap jenis Peraturan Perundang-undanga harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat
Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan dapat
dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak
berwenang.

Huruf c:

Yang dimaksudkan dengan “asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan” adalah
bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan
materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.

Huruf d:
Yang dimaksud dengan “asas dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut
di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.

Huruf e:

Yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah bahwa setiap Peraturan
Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam
mengatur kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Huruf f:

Yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-
undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan,
sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga
tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

Huruf g:

Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan
masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Bab II Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menentukan bahwa materi muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan asas:

1. Pengayoman;
2. Kemanusiaan;
3. Kebangsaan;
4. Kekeluargaan;
5. Kenusantaraan;
6. Bhinneka tunggal ika;
7. Keadilan;
8. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
9. Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
10. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Penjelasan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjelaskan sebagai berikut:

Huruf a:

Yang dimaksud dengan “asas pengayoman” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan untuk menciptakan ketentraman
masyarakat.

Huruf b:

Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta
harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.

Huruf c:
Yang dimaksud dengan “asas kebangsaan” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan
tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Huruf d:

Yang dimaksud dengan “asas kekeluargaan” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap
pengambilan keputusan.

Huruf e:

Yang dimaksud dengan “asas kenusantaraan” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi
muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari system hukum
nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.

Huruf f:

Yang dimaksud dengan “asas bhinneka tunggal ika” adalah bahwa materi muatan peraturan
perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan,
kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Huruf g:

Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-
undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.

Huruf h:

Yang dimaksud dengan “asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” adalah bahwa
setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat
membedakan berdasarka latar belakang, atara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status
social.

Huruf i:

Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa setiap materi muatan
peraturan perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui
jaminan kepastian hukum.

Huruf j:

Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan” adalah bahwa setiap
materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara.

Bab II Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menentukan bahwa selain mencerminkan asas
sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (1), peraturan perundang-undangan tertentu dapat berisi
asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

Penjelasan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjelaskan sebagai berikut:

Yang dimaksud dengan “asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan
yang bersangkutan”, antara lain:
1. Dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas
pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;
2. Dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan,
kebebasan berkontrak, dan itikad baik.

1. C. Penutup
1. 1. Kesimpulan

Dari uraian tersebut di atas, kiranya dapat disimpulkan sebagai jawaban dari rumusan masalah,
sebagai berikut:

1. Filsafat Hukum adalah cabang filsafat yaitu filsafat tingkah laku atau etika, yang
mempelajari hakekat hukum. Dengan kata lain, Filsafat Hukum adalah ilmu yang
mempelajari hukum secara filosofis. Jadi obyek Filsafat Hukum adalah hukum, dan obyek
tersebut dikaji secara mendalam sampai kepada inti atau dasarnya, yang disebut hakekat.

Pancasila sebagai dasar falsafah, pandangan hidup, dasar Negara, dan sumber tertib hukum
Indonesia menjiwai serta menjadi mercusuar hukum Indonesia. Pancasila menjadi sebuah system
filsafat menjiwai segenap hukum (rules) di dalam system hukum Indonesia.

1. Filsafat Hukum berusaha untuk memeriksa gagasan-gagasan tentang hukum yang sudah ada
maupun yang akan diadakan (pembentukan hukum), melihat koherensi, korespondensi dan
fungsi hukum yang diciptakan.

Kaitannya Filsafat Hukum terhadap pembentukan hukum di Indonesia adalah Filsafat Hukum
sangat berperan dalam pembentukan hukum ke arah yang lebih demokratis, lebih mengarah pada
kebutuhan masyarakat yang hakiki. Filsafat Hukum mengubah tata-urutan (hierarki) Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, dimulai dari berlakunya tata-urutan Peraturan
Perundang-undangan yang didasari Tap XX/MPRS/1966, kemudian tata-urutan Peraturan
Perundang-undangan yang didasari Tap III/MPR/2000, selanjutnya tata-urutan Peraturan
Perundang-undangan yang didasari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sampai terakhir tata-urutan Peraturan
Perundang-undangan yang didasari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan tanggal 12 Agustus 2011.

Pengubahan itu atas dasar pembaharuan yang didasari pada asas kemanfaatan dan keadilan. Jadi
pembaharuan hukum lewat Filsafat Hukum.

Fungsi hukum nasional adalah untuk pengayoman, maka perubahan atau pembentukan hukum
Indonesia harus melalui proses Filsafat Hukum yang di dalamnya mampu mengarahkan dan
menampung kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan tingkat kemajuan pembangunan di segala
bidang, yang juga mampu memenuhi kebutuhan masyarakat luas yang majemuk, yang mana hukum
yang dibentuk adalah merupakan rules for the game of life. Hukum dibentuk untuk mengatur
perilaku anggota masyarakat. Yang terpenting hukum dibentuk sebagai pemenuhan rasa keadilan
bagi masyarakat luas, tanpa membedakan ras, golongan, suku, partai, agama, atau pembedaan lain
dalam kerangka bhinneka tunggal ika.

1. 2. Saran-saran
2. Hendaknya pemegang kekuasaan di Negara Republik Indonesia agar selalu belajar dan
mengkaji lebih mendalam mengenai filsafat hukum serta pemahaman terhadap grundnorm
atau sumber dari segala sumber hukum di Indonesia yakni Pancasila.
3. Hendaknya sering dilakukan diskusi oleh pakar Filsafat Hukum terhadap perundang-
undangan yang masih belum memenuhi rasa keadilan social, agar hukum tidak hanya
mengedepankan aspek legalitas tanpa melihat living law yang hidup dalam masyarakat,
serta mengingat sekian lama bangsa Indonesia didoktrin oleh Belanda agar bermara pada
legalitas belaka yang seringkali tidak bermuara pada keadilan yang seutuhnya.
Secara empiris kondisi hukum Indonesia harus berbeda dengan kondisi abaf 18 ketika hukum
colonial disusun. Pertama, hukum colonial hanya sarana bagi penghisapan kekayaan Nusantara,
sedangkan hukum Indonesia adalah sarana bagi tertib dan sejahteranya rakyat Indonesia. Kedua,
hukum colonial didasarkan pada budaya colonial, sedangan hukum Indonesia didasarkan pada
kearifan dan kebijaksanaan Nusantara (local wisdom). Hal ini menunjukkan bahwa secara empiris
hukum colonial berikut lembaga-lembaganya tidak dapat dipaksakan keberlakuannya di Indonesia.
Mungkin karena telah begitu mengakarnya hukum colonial di Nusantara maka menjadi sulit untuk
menyusun system hukum yang tepat bagi Indonesia. Setidak-tidaknya kita selalu ingat dan
berpegang pada prinsip bahwa keberlakuan lembaga hukum colonial “hanya” didasarkan pada
aturan peralihan UUD 1945.[19]

1. Hendaknya civitas akademika fakultas hukum terus belajar mengenai Filsafat Hukum
karena nantinya akan sangat berguna bagi perbaikan system hukum dan pembentukan
hukum di Indonesia.
FUNGSI FILSAFAT HUKUM DALAM PEMBAHARUAN (PEMBENTUKAN) HUKUM DI
INDONESIA

A . P E N D A H U L U A N.
Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan, karena hukum berfungsi sebagai pelindung
kepentingan manusia. Memahami hukum berarti memahami manusia, ini merupakan bukan semata-
mata gambaran secara umum tentang hukum yang ada selama ini, pandangan yang mengarah
kepada “the man behin the gun” membuktikan bahwa actor dibelakang memegang peran yang lebih
dominant dari sekedar persoalan struktur. Hukum dan manusia memiliki kedekatan yang khas
dan tidak dapat dipisahkan, artinya tanpa manusia hukum tidak dapat disebut sebagai hukum.
Dalam hukum manusia adalah sebagai actor kreatif, manusia membangun hukum, menjadi taat
hukum namun tidak terbelenggu oleh hukum. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara
normal, damai tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah
dilanggar itu harus ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal
terjadi peristiwa konkrit. Perlu cara untuk memahami gambaran yang jelas tentang apa hukum itu.
Banyak literatur yang mencoba memecahkan persoalan ini, demikian halnya dengan teori dan
filsafat hukum. Dilihat dari perkembangan aliran pemikiran (hukum) satu aliran pemikiran akan
bergantung pada aliran pemikiran lainnya sebagai sandaran kritik untuk membengun kerangka
teoritik berikutnya. Munculnya aliran pemikiran baru tidak otomatis bahwa aliran atau pemikran
lama ditinggalkan. Sulitnya untuk meramu seluruh ide yang berkembang dalam hukum karena dua
alasan yaitu :
➢ Hukum adalah objek kajian yang masih harus dikonstruksi (dibangun) sebagaimana kaum
konstrukvitis menjelaskan, diciptakan menurut istilah positivistic atau menggunakan bahasa kaum
hermeniam ‘ditafsirkan’ sehingga dengan demikian cara pandang seseorang tentang hukum akan
ditentukan oleh bagimana orang tersebut mengonstruksi, menciptakan atau menafsirkan mengenai
apa yang disebut hukum itu.
➢ Satu pemikiran (aliran tertentu) akan memiliki latar belakang atau sudut pandang yang berbeda
dengan aliran (pemikiran) lain, ini merupakan ragam kelemahan dan keunggulan masing-masing.
Kondisi ini pada dasarnya memberikan keleluasaan karena hukum akan menjadi wilayah terbuka
yang mungkin saja hailnya lebih positif.
Secara teoritis maupun praktis hukum sebagai sebuah disiplin hendaknya memiliki model analisis
dan mampu menyelesaikan ragam persoalan. Sebagai wilayah yang terbuka hukum menjadi domain
bagi telaah disiplin lain, sebagaimana deskripsi Satjipto Rahardjo bahwa ilmu hukum berkembang
dari yang terkotak-kotak menuju holistic (Teching Orders finding Disorder). Kata ‘hukum’
digunakan banyak orang dalam cara yang sangat umum sehingga mencakup seluruh pengalaman
hukum, betapapun bervariasinya atau dalam konteksnya yang sederhana. Namun dalam sudut
pandang yang paling umum sekalipun, hukum mancakup banyak aktivitas dan ragam aspek
kehidupan manusia.

Jika kita berbicara filsafat, kita seakan berada pada ranah yang sangat abstrak, dan filsafat
hukum merupakan cabang dari filsafat, filsafat hukum mempunyai fungsi yang strategis dalam
pembentukan hukum di Indonesia. Sekedar menyinggung konsep dalam Islam, bahwa Islam
menilai Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan, karena hukum berfungsi sebagai pelindung
kepentingan manusia. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai tetapi dapat
terjadi juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus
ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa
konkrit.hukum tidak hanya berlaku di dunia saja, akan tetapi juga di akhirat, karena putusan
kebenaran, atau ketetapan sangsi, disamping berhubungan dengan manusia secara langsung, juga
berhubungan dengan Allah SWT , maka manusia disamping ia mengadopsi hukum hukum yang
langsung Tuhan yang berbentuk kitab suci, manusia dituntut untuk selalu mencari formula
kebenaran yang berserakan dalam kehidupan masyarakat, manusia akan melihat dari kenyataan
empiris sebagai bekal mengkaji secara mendalam, memberikan makna filosofis dengan mengetahui
hakikat kebenaran yang hakiki. Kaitannya dengan pembentukan hukum di Indonesia, setidaknya
kita sadar bahwa hukum di bentuk karena pertimbangan keadilan (gerechtigkeit) disamping sebagai
kepastian hukum (rechtssicherheit) dan kemanfaatan (zweckmassigkeit) . Keadilan ini berkaitan
dengan pendistribusian hak dan kewajiban, diantara sekian hak yang dimiliki manugerah alamiah
langsung dari Allah, SWT, yaitu hak asasi manusia atau hak kodrat manusia, semua manusia tanpa
pembedaan ras, suku, bangsa, agama, berhak mendapatkan keadilan, maka di Indonesia yang
notabene adalah negara yang sangat heterogen tampaknya dalam membentuk formulasi hukum
positif agak berbeda dengan negara-negara yang kulturnya homogen, sangatlah penting kiranya
sebelum membentuk suatu hukum yang akan mengatur perjalanan masyarakat, haruslah digali
tentang filsafat hukum secara lebih komprehensif yang akan mewujudkan keadilan yang nyata bagi
seluruh golongan, suku, ras, agama. Seperti apa yang dikemukakan oleh Muchsin bahwa “ Antara
hukum dan keadilan saling terkait seperti dua sisi mata uang, hukum tampa keadilan dapat
diibaratkan layaknya badan tanpa jiwa, sedangkan keadilan tanpa hukum akan dilaksanakan sesuai
dengan keinginan atau intuisi seseorang yang didalam mengambil keputusan mempunyai ruang
lingkup diskresi yang luas serta tidak ada keterkaitan pada prangkat aturan. lalu bagaimana
sebenarnya membentuk hukum yang mencerminkan keadilan yang didambakan, untuk itulah sangat
menarik jika mencoba mendudukkan filsafat hukum sebagai Starting Point dalam pembentukan
hukum.
Berpijak dari beberapa uraian diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1). Apakah hakekat Filsafat Hukum ?. 2). Bagaimana Fungsi Filsafat Hukum dalam pembentukan
Hukum di Indonesia ?

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Filsafat dan Filsafat Hukum.

Filsafat hukum adalah induk dari semua disiplin yuridik, karena filsafat hukum membahas
masalah-masalah yang paling fundamental yang timbul dalam hukum, juga saking fundamentalnya
sehingga bagi manusia tidak terpecahkan karena masalahnya melampaui kemampuan berpikir
manusia. Bila kita kaji kepustakaan mengenai filsafat hukum, kita temukan beberapa definisi,
perumusan, ataupun uraian yang diutarakan oleh para penulisnya diantaranya oleh Purnadi
Purbacaraka dan Soejono Soekanto merumuskan bahwa “ Filsafat hukum itu sebagai perenungan
dan perumusan nilai; kecuali itu, filsafat hukum juga mencakup penyerasian nilai-nilai, misalnya
penyerasian antara ketertiban dengan ketentraman, antara kebendaan dengan keakhlakan, dan
antara kelanggengan atau konservatisme dengan pembaharuan “. Selanjutnya Seojono Koesoemo
Sisworo memberikan definisi sebagai berikut “ Filsafat hukum adalah (hasil) pemikiran yang
metodis sistematis dan radikal mengenal hakekat dan hal-hal fundamental dan marginal dari hukum
dalam segala aspeknya, yang peninjauanya berpusat pada empat masalah pokok yaitu : 1). Hakekat-
pengertian hukum. 2). Cita dan tujuan hukum, 3). Berlakunya hukum dan, 4). Pelaksanaan
/pengalaman hukum. Selanjutnya Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi mengemukakan bahwa “
sifat khas dari filsafat ialah bahwa ilmu itu membahas masalah-masalah yamg sifatnya umum ”.
Seseorang yang berfilsafat diumpamakan seorang yang berpijak dibumi sedang tengadah ke
bintang-bintang, dia ingin mengetahui hakikat keberadaan dirinya, ia berfikir dengan sifat
menyeluruh (tidak puas jika mengenal sesuatu hanya dari segi pandang yang semata-mata terlihat
oleh indrawi saja). Ia juga berfikir dengan sifat (tidak lagi percaya begitu saja bahwa sesuatu itu
benar). Ia juga berfikir dengan sifat spekulatif (dalam analisis maupun pembuktiannya dapat
memisahkan spekulasi mana yang dapat diandalkan dan mana yang tidak), dan tugas utama filsafat
adalah menetapkan dasar-dasar yang dapat diandalkan. .
Kemudian lebih mengerucut lagi adalah Filsafat hukum, yaitu ilmu yang mempelajari hukum
secara filosofi, yang dikaji secara luas, mendalam sampai kepada inti atau dasarnya yang disebut
dengan hakikat. Dan tujuan mempelajari filsafat hukum untuk memperluas cakrawala pandang
sehingga dapat memahami dan mengkaji dengan kritis atas hukum dan diharapkan akan
menumbuhkan sifat kritis sehingga mampu menilai dan menerapkan kaidah-kaidah hukum. Filsafat
hukum ini berpengaruh terhadap pembentukan kaidah hukum sebagai hukum in abstracto .
Jika kita berbicara filsafat, kita seakan berada pada ranah yang sangat abstrak, dan filsafat
hukum merupakan cabang dari filsafat, filsafat hukum mempunyai fungsi yang strategis dalam
pembentukan hukum di Indonesia. Pengertian Filsafat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
adalah ;
➢ Pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan
hukumnya,
➢ Teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan atau juga berarti ilmu yang berintikan
logika, estetika, metafisika dan epistemologi.

Dalam hal ini Lili Rasjidi mengemukakan bahwa “ Filsafat itu tiada lain merupakan hasil
pemikiran manusia tentang tempat sesuatu dialam semesta dan hubungan sesuatu tadi dengan isi
alam semesta yang lain. Kata sesuatu dapat berarti alam semesta beserta segala isinya. Selanjutnya
Soejono Koesoemo Sisworo, mengemukakan bahwa “ Filsafat ialah (hasil) gerak pemikiran
(bezinning) yang metodis sistimatis dan radikal mengenai “ sangkan –paraning dumadi” (= asa dan
tujuan hidup ) dan kedudukan manusia – baik sebagai pribadi maupun sebagai zoon politicon dalam
kelompok – dalam jagad Raya/Universum. Secara Umum Pengertian Filsafat adalah Ilmu
pengetahuan yang ingin mencapai hakikat kebenaran yang asli dengan ciri-ciri pemikirannya yang;

➢ rasional, metodis, sistematis, koheren, integral,


➢ tentang makro dan mikro kosmos.
➢ baik yang bersifat inderawi maupun non inderawi.

Hakikat kebenaran yang dicari dari berfilsafat adalah kebenaran akan hakikat hidup dan
kehidupan, bukan hanya dalam teori tetapi juga praktek . Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa
Filsafat hukum merupakan cabang filsafat, yakni filsafat tingkah laku atau etika, yang mempelajari
hakikat hukum. Dengan perkataan lain filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara
filosofis, jadi objek filsafat hukum adalah hukum, dan objek tersebut dikaji secara mendalam
sampai pada inti atau dasarnya, yang disebut dengan hakikat . Purnadi Purbacaraka & Soerjono
Soekanto menyebutkan sembilan arti hukum, yaitu :
1). Ilmu pengetahuan, yaitu pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan
pemikiran
2). Disiplin, yaitu suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi.
3). Norma, yaitu pedoman atau patokan sikap tindak atau perilaku yang pantas diharapkan.
4). Tata Hukum, yaitu struktur dan proses perangkat norma-norma hukum yang berlaku pada suatu
waktu dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis.
5). Petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan
penegakan hukum (law enforcement officer).
6). Keputusan Penguasa, yakni hasil proses diskresi.
7). Proses Pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok dari
sistem kenegaraan.
8). Sikap tindak ajeg atau perilaku yang teratur, yakni perilaku yang diulang-ulang dengan cara
yang sama, yang bertujuan mencapai kedamaian.
9). Jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap
baik dan buruk.
Filsafat hukum mempelajari hukum secara spekulatif dan kritis artinya filsafat hukum
berusaha untuk memeriksa nilai dari pernyataan-pernyataan yang dapat dikatagorikan sebagai
hukum ; 1) Secara spekulatif, filsafat hukum terjadi dengan pengajuan pertanyaan-pertanyaan
mengenai hakekat hukum. 2) Secara kritis, filsafat hukum berusaha untuk memeriksa gagasan-
gagasan tentang hukum yang sudah ada, melihat koherensi, korespondensi dan fungsinya . Lebih
jauh Prof. Dr. H. Muchsin, SH. dalam bukunya Ikhtisar Filsafat Hukum menjelaskan dengan cara
membagi definisi filsafat dengan hukum secara tersendiri, filsafat diartikan sebagai upaya berpikir
secara sungguh-sungguh untuk memahami segala sesuatu dan makna terdalam dari sesuatu itu14
kemudian hukum disimpulkan sebagai aturan, baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur
tingkah laku manusia dalam masyarakat, berupa perintah dan larangan yang keberadaanya
ditegakkan dengan sanksi yang tegas dan nyata dari pihak yang berwenang di sebuah negara .
2. Hukum di Indonesia.

Salah satu tuntutan aspirasi masyarakat yang berkembang dalam era reformasi sekarang ini
adalah reformasi hukum menuju terwujudnya supremasi sistem hukum di bawah sistem konstitusi
yang berfungsi sebagai acuan dasar yang efektif dalam proses penyelenggaraan negara dan
kehidupan nasional sehari-hari. Dalam upaya mewujudkan sistem hukum yang efektif itu, penataan
kembali kelembagaan hukum, didukung oleh kualitas sumberdaya manusia dan kultur dan
kesadaran hukum masyarakat yang terus meningkat, seiring dengan pembaruan materi hukum yang
terstruktur secara harmonis, dan terus menerus diperbarui sesuai dengan tuntutan perkembangan
kebutuhan.
Dalam upaya pembaruan hukum tersebut, penataan kembali susunan hirarkis peraturan
perundang-undangan kiranya memang sudah sangat tepat, Di samping itu, era Orde Baru yang
semula berusaha memurnikan kembali falsafah Pancasila dan pelaksanaan UUD 1945 dengan
menata kembali sumber tertib hukum dan tata-urut peraturan perundang-undangan, dalam
prakteknya selama 32 tahun belum berhasil membangun susunan perundang-undangan yang dapat
dijadikan acuan bagi upaya memantapkan sistem perundang-undangan di masa depan. Lebih-lebih
dalam prakteknya, masih banyak produk peraturan yang tumpang tindih dan tidak mengikuti sistem
yang baku, Sebagai contoh, produk hukum yang dikeluarkan Bank Indonesia yang dimaksuduntuk
memberikan aturan terhadap dunia perbankan menggunakan istilah Surat Edaran yang tidak dikenal
dalam sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku. Beberapa kementerian mengeluarkan
peraturan di bidangnya dengan menggunakan sebutan Keputusan Menteri, dan beberapa lainnya
menggunakan istilah Peraturan Menteri. Keputusan Presiden yang bersifat mengatur dengan
Keputusan Presiden yang bersifat penetapan administratif biasa tidak dibedakan, kecuali dalam
kode nomernya saja, sehingga tidak jelas kedudukan masing-masing sebagai salah satu bentuk
peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur. Sementara itu, setelah lebih dari 50 tahun
Indonesia merdeka, sangat dirasakan adanya kebutuhan untuk mengadakan perubahan terhadap
pasal-pasal dalam UUD 1945 yang banyak pihak menilai ada pasal yang tidak relevan lagi dengan
perkembangan zaman. Ditambah lagi dengan munculnya kebutuhan untuk mewadahi
perkembangan otonomi daerah di masa depan yang dapat mendorong tumbuh dan berkembangnya
dinamika hukum adat di desa-desa yang cenderung diabaikan atau malah sebaliknya
dikesampingkan dalam setiap upaya pembangunan hukum selama lebihdari 50 tahun terakhir.

Didalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 telah disebutkan bahwa Pancasila
adalah merupakan sumber dari segala sumber hukum negara Indonesia, hal ini dirasa sesuai
mengingat falsafah Pancasila adalah merupakan ruh perjuangan dari para pejuang bangsa, yang
merupakan alat pemersatu, dari yang sebelumnya terkotak-kotak oleh daerah, ras, suku, agama,
golongan, dan lain sebagainya, mengingat masyarakat Indonesia sangat heterogen, maka dengan
kembali pada Pancasila, cita-cita luhur para pejuang untuk menciptakan masyarakat yang adil dan
makmur sejahtera dimungkinkan dapat tercapai.
Dilihat dari materinya Pancasila digali dari pandangan hidup bangsa Indonesia yang
merupakan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Dasar negara Pancasila terbuat dari
materi atau bahan dalam negeri yang merupakan asli murni dan menjadi kebanggaan bangsa, tidak
merupakan produk impor dari luar negeri, meskipun mungkin
saja mendapat pengaruh dari luar negeri. Pancasila merupakan Grundnorm atau sumber dari segala
sumber hukum di Indonesia, rumusan Pancasila ini dijumpai dalam Alinea keempat Pembukaan
UUD1945, maka dapat dikatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 adalah filsafat hukum Indonesia,
maka Batang Tubuh berikut dengan Penjelasan UUD 1945 adalah teori hukumnya, dikatakan
demikian karena dalam Batang Tubuh UUD 1945 itu akan ditemukan landasan hukum positif
Indonesia. Teori Hukum tersebut meletakkan dasar-dasar falsafati hukum positif kita . 21 Dengan
demikian penulis sepakat jika filsafat hukum Indonesia, adalah di mulai dari pemaham kembali
(reinterpretasi) terhadap pembukaan UUD 1945.

3. Pembaharuan (Pembentukan) Hukum Di Indonesia.


Pembangunan merupakan upaya sadar yang dilakukan untuk merubah suatu kondisi dari
suatu tingkat yang dianggap kurang baik ke kondisi baru pada tingkat kulaitas yang dianggap baik
atau paling baik. Pembangunan yang dilaksanakan tentu saja pembangunan yang memiliki pijakan
hukum yang jelas, bisa dipertanggungjawabkan, terarah serta proporsional antara aspek fisik
(pertumbuhan) dan non-fisik. Apabila diteliti semua masyarakat yang sedang membangun selalu
dicirikan dengan perubahan, bagaimanapun kita mendefenisikan pembangunan itu dan apapun
ukuran yang kita pergunakan bagi masyarakat dalam pembangunan. Peranan hukum dalam
pembangunan adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan suasana damai dan
teratur. Istilah “pembaharuan hukum” sebenarnya mengandung makna yang luas mencakup sistem
hukum. Menurut Friedman, sistem hukum terdiri atas struktur hukum (structure), substansi/materi
hukum (substance), dan budaya hukum (legal culture). Sehingga, bicara pembaharuan hukum maka
pembaharuan yang dimaksudkan adalah pembaharuan sistem hukum secara keseluruhan. Karena
luasnya cakupan sistem hukum, maka dalam tulisan ini, hanya dibatasi pada salah satu elemen
hukum yakni substansi/materi hukum. Namun demikian, dalam uraian berikutnya istilah
“pembaharuan hukum” tetap dipertahankan yang sebenarnya mengandung makna yang lebih
khusus atau sepadan dengan istilah “pembentukan hukum”. Dalam prosesnya, pembangunan
ternyata ikut membawa konsekwensi terjadinya perubahan-perubahan atau pembaharuan pada
aspek-aspek sosial lain termasuk didalamnya pranata hukum. Artinya, perubahan yang dilakukan
(dalam bentuk pembangunan) dalam perjalanannya menuntut adanya perubahan-perubahan dalam
bentuk hukum. Perubahan hukum ini memiliki arti yang positif dalam rangka menciptakan hukum
baru yang sesuai dengan kondisi pembangunan dan nilai-nilai hukum masyarakat.
Pada satu pihak, pembaharuan hukum merupakan upaya untuk merombak struktur hukum
lama (struktur hukum pemerintahan penjajah) yang umumnya dianggap bersifat eksploitatif dan
diskriminatif. Sedangkan pada pihak lain, pembaharuan hukum dilaksanakan dalam kerangka atau
upaya memenuhi tuntutan pembangunan masyarakat.
Bidang hukum diakui memiliki peran yang sangat strategis dalam memacu percepatan
pambangunan suatu negara. Usaha ini tidak semata-mata dalam rangka memenuhi tuntutan
pembangunan jangka pendek tetapi juga meliputi pembangunan menengah dan jangka panjang.
Meskipun disadari, setiap saat hukum bisa berubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang
menghendakinya. Di negara- negara berkembang, pembaharuan hukum merupakan prioritas utama.
Oleh karena itu, di negara-negara berkembang ini pembaharuan hukum senantiasa mengesankan
adanya peranan ganda. Pertama, merupakan upaya untuk melepaskan diri dari lingkaran struktur
hukum colonial. Upaya tersebut terdiri atas pengahapusan, penggantian, dan penyesuaian
ketentuan hukum warisan colonial guna memenuhi tuntutan masyarakat nasional. Kedua,
pembaharuan hukum berperan dalam mendorong proses pembangunan, terutama pembangunan
ekonomi yang memang diperlukan dalam rangka mengejar ketertinggalan dan negara-negara maju,
dan yang lebih penting adalah demi peningkatan kesejahteraan masyarakat warga negara Saat ini di
Indonesia masih terdapat banyak peraturan hukum yang sudah tidak up to date namun tetap
dipertahankan.
Dalam rangka menyonsong era mendatang jelas peraturan-peraturan hukum tersebut
memerlukan revisi dan jika perlu dirubah total dengan materi yang mencerminkan gejala dan
fenomena masyarakat saat ini. Masalahnya adalah apakah proses perubahan atau pembaharuan
hukum yang berlangsung di Indonesia telah dilakukan sesuai dengan kaedah-kaedah normative dan
atau sesuai dengan nilai-nilai hukum dalam masyarakat? Sebagaimana disarankan oleh para ahli
hukum. Pertanyaan ini perlu diajukan mengingat fungsi hukum tidak semata-mata sebagai alat
kontrol sosial (social control), tetapi juga memiliki fungsi sebagai sarana rekayasa atau
pembaharuan sosial.
Peran Filsafat Hukum Dalam Pembaharuan (Pembentukan) Hukum Di Indonesia.
Negara di dunia yang menganut paham negara teokrasi menganggap sumber dari segala sumber
hukum adahal ajaran-ajaran Tuhan yang berwujud wahyu, yang terhimpun dalam kitab-kitab suci
atau yang serupa denga itu, kemudian untuk negara yang menganut paham negara kekuasaan
(rechstaat) yang dianggap sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah kekuasaan, lain halnya
dengan negara yang menganut paham kedaulatan rakyat, yang dianggap sebagai sumber dari segala
sumber hukum adalak kedaulatan rakyat, dan Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat dari
Pancasila, akan tetapi Seojono Koesoemo Sisworo mengunkapkan pembangunan Hukum
diindonesia yaitu “ Pembangunan Nasional ( Berencana ) tanpa kawalan hukum dan tampa
dukungan filsafat cq Filsafat hukum, niscaya hanya akan merupakan sungai yang berhulu pada
sumber dan bermuara pada lautan, pandangan hidup PARAMATISME suatu lanjutan dan
perwujudan dari POSITIVISME, yang tidak metafisis, yang sebagian dari inti-ajarannya berbunyi ;
“ apa yang benar dan yang baik, hanyalah apa yang dapat / mampu melayani kehidupan “ (waar en
goed is, wat het leven dient ) : Sekaligus mengandung persumsi—menurut ajaran Marxisme—
sebagai sarana “ noodzake euvel/kwaad “ ( necessary eyil ) dengan hak hidup sementara waktu dan
pada waktunya yakni sesudah semuah alat-alat produksi beralih dan berada pada masyarakat / tidak
lagi ditangan perorangan, maka “ State and law alike will wither away “ (negara dan hukum sama-
sama hilang-melayu). Rumusan Pancasila yang dijumpai dalam Alinea keempat Pembukaan UUD
1945 adalah sumber dari segala sumber hukum di Indonesia yang merupakan produk filsafat hukum
negara Indonesia, Pancasila ini muncul diilhami dari banyaknya suku, ras, kemudian latar belakang,
serta perbedaan ideologi dalam masyarakat yang majemuk, untuk itu muncullah filsafat hukum
untuk menyatukan masyarakat Indonesia dalam satu bangsa, satu kesatuan, satu bahasa, dan prinsip
kekeluargaan, walau tindak lanjut hukum-hukum yang tercipta sering terjadi hibrida (percampuran),
terutama dari hukum Islam, hukum adat, dan hukum barat (civil law / khususnya negara Belanda),
hukum Islam (baca; Al-Qur’an) sering dijadikan dasar filsafat hukum sebagai rujukan mengingat
mayoritas penduduk Indonesia adalah umat muslim, contoh konkrit dari hukum Islam yang masuk
dalam konstitusi Indonesia melalui produk filsafat hukum adalah Undang-undang No. 1 tahun 1974
tentang Perkawinan, apalagi didalamnya terdapat pasal tentang bolehnya poligami bagi laki-laki
yaitu dalam Pasal 3 ayat 1, Pasal 4 ayat 1,2, dan Pasal 5 ayat 1 dan 2, walau banyak pihak yang
protes pada pasal kebolehan poligami tersebut, namun di sisi lain tidak sedikit pula yang
mempertahankan pasal serta isi dari Undang-undang Perkawinan tersebut. DPR adalah lembaga
yang berjuang mengesahkan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang
diundangkan pada tanggal 2 Januari tahun 1974, dan sampai sekarang masih berlaku tanpa adanya
perubahan, ini bukti nyata dari perkembangan filsafat hukum yang muncul dari kebutuhan
masyarakat perihal penuangan hukum secara konstitusi kenegaraan, yang mayoritas masyarakat
Indonesia adalah agama Islam, yang menganggap ayat-ayat ahkam dalam kitab suci Al-Qur’an
adalah mutlak untuk diikuti dalam hukum. Hukum adat juga sedikit banyak masuk dalam konstitusi
negara Indonesia, contoh adanya Undang-undang Agraria, kemudian munculnya Undang-undang
Otonomi daerah, yang pada intinya memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia yang sangat
heterogen. Maka dengan filsafat hukum yang dikembangkan melalui ide dasar Pancasila akan dapat
mengakomodir berbagai kepentingan, berbagai suku, serta menyatukan perbedaan ideologi dalam
masyarakat yang sangat beraneka ragam, dengan demikian masyarakat Indonesia akan tetap dalam
koridor satu nusa, satu bangsa, satu kesatuan, satu bahasa, yang menjunjung nilai-nilai luhur
Pancasila.
C. PENUTUP
Secara spekulatif dan secara kritis filsafat hukum berusaha untuk memeriksa gagasan-
gagasan tentang hukum yang sudah ada, melihat koherensi, korespondensi dan fungsi hukum yang
diciptakan, Indonesia memang menganut paham kedaulatan rakyat dari Pancasila, kaitannya filsafat
hukum terhadap pembentukan hukum di Indonesia adalah filsafat hukum sangat berperan dalam
perubahan hukum kearah lebih demokratis, lebih mengarah pada kebutuhan masyarakat yang
hakiki, filsafat hukum mengubah tata urutan Peraturan Perundang-undangan yang pernah berlaku di
Indonesia, dimulai dari berlakunya tata urutan Peraturan Perundang-undangan yang didasari TAP
XX/MPRS tahun 1966, kemudian tata urutan Peraturan Perundang-undangan yang didasari TAP
III/MPR/2000, sampai terakhir adalah tata urutan Peraturan Perundang-undangan yang didasari
Pasal 7 UU Nomor 10 Th 2004 yang hingga kini berlaku di Indonesia, pengubahan itu atas dasar
pembaharuan yang didasari pada asas kemanfaatan dan asas keadilan, jadi pembaharuan hukum
lewat filsafat hukum di Indonesia ada pada teori hukumnya, hal ini telah sesuai dengan bunyi
kalimat kuncidalam Penjelasan UUD 1945. Undang-undang dasar menciptakan pokok-
pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan dalam pasal-pasalnya, maka perubahan
hukum di Indonesia adalah didasarkan dari ide-ide pasal-pasal dalam Batang Tubuh berikut dengan
Penjelasan UUD 1945 (sebagai teori hukumnya).
Kita harus tahu pula bahwa fungsi hukum nasional adalah untuk pengayoman, maka
perubahan atau pembangunan hukum Indonesia harus melalui proses filsafat hukum yang
didalamnya mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan
tingkat-tingkat kemajuan pembangunan disegala bidang, juga mampu memenuhi kebutuhan
masyarakat luas yang cenderung majemuk, yang mana hukum yang diciptakan adalah merupakan
rules for the game of life, hukum diciptakan untuk mengatur prilaku anggota masyarakat agar tetap
berada pada koridor nilai-nilai sosial budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Dan
yang terpenting hukum diciptakan sebagai pemenuhan rasa keadilan bagi masyarakat luas, tanpa
membedakan ras, golongan, suku, partai, agama, atau pembedaan lain.
Daftar pustaka

Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum. PT.Citra Aditya Bakti, Bandung 1990.
Lili Rasjidi dan Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum. Mandar Maju, Bandung 2010.
Muchsin, Ikhtisar Filsafat Hukum, Cet ke2, Badan Penerbit Iblam Jakarta, 2006.
Soejono Koesoemo Sisworo, Fungsi dan Peran Filsafat Hukum dalam Pembangunan di Indonesia.
Soejono Koesoemo Sisworo, Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Hukum UNDIP, 1989.

Muchsin, Nilai-nilai Keadilan.


Filsafat Hukum dan Banyaknya SH alias
Sarjana Haram
Ilustrasi lambang hukum (Shutterstock)

Pernah, waktu saya masih duduk di semester dua (2) datang ke ruangan seorang guru besar. Kepada
beliau waktu itu saya mengajukan pertanyaan, “Pak, kenapa mata kuliah Filsafat Hukum tidak
diajarkan di semester-semester awal? Katakanlah di semester 1 atau 2?” Beliau menyampaikan
kepada saya mengapa saya menanyakan hal itu sekaligus apa argumentasi saya “mengusulkan” hal
tersebut?

Tulisan ini bukan tulisan ilmiah sama sekali, bukan juga berdasarkan kajian yang begitu mendalam
dari segi keilmuan. Tulisan ini memang tidak dimaksudkan untuk itu. Hanya sekadar mau
menyampaikan usulan bahwa untuk memulai kuliah di Fakultas Hukum, sejak awal harus sudah
disadari apa, siapa atau bagaimana dunia hukum itu yang sebenarnya.

Sampai sekarang, di mana-mana, di fakultas hukum di Indonesia, selalu disebar dengan sengaja
pernyataan kalau fakultas hukum di negara-negara maju adalah fakultasnya orang-orang cerdas.
Mereka yang masuk ke fakultas hukum tidak boleh sembarangan. Di negara-negara maju, mereka
yang mau masuk fakultas hukum, kabarnya harus memiliki gelar akademis ilmu yang lain terlebih
dahulu. Mengapa demikian? Karena fakultas hukum memang fakultas yang punya "harga tinggi" di
sana. Tidak sembarang orang bisa masuk seenaknya di fakultas calon-calon pengemban profesi
hukum ini.

Beda lagi ceritanya kalau di Indonesia. Ada joke bahwa singkatan dari FH itu adalah Fakultas
Hafalan. Memang inilah pandangan umum kebanyakan orang Indonesia sampai saat ini. Anaknya
yang tidak pintar (untuk mengganti kata “bodoh”) di bidang eksakta, disarankan (beda tipis sama
dipaksakan) masuk ke fakultas hukum. Orang tua seperti ini punya anggapan, kalau anaknya akan
lebih mudah mengikuti pelajaran karena tugasnya hanya menghafal. Belum lagi mereka yang
karena terlalu berambisi ingin masuk salah satu universitas tapi ke fakultas ekonomi atau teknik,
membuat ilmu hukum jadi pilihan yang kedua. Maksudnya kalau tidak diterima di FE atau FT,
mereka ada kemungkinan diterima di FH. Setelah satu tahun, mereka pindah jurusan ke FE atau FT,
karena di sistem pendidikan tinggi Indonesia, hal itu sangat dimungkinkan. Tidak masalah rugi satu
tahun, asal bisa kuliah di universitas itu. Aneh.

Fenomena berbeda tapi sama-sama ingin menunjukkan betapa buruknya citra studi hukum di
Indonesia adalah betapa banyak orang tua, entah yang lulus dari fakultas hukum atau tidak, baik
dalam negeri atau luar negeri, memilih menyekolahkan anak mereka ke luar negeri untuk studi
strata 1 ilmu hukum. Ada yang ke Singapura (negera tetangga), ke Belanda, Amerika, ke Jepang,
bahkan ke Inggris. Ada seorang pengacara yang bahkan meminta anaknya semua untuk sekolah
hukum di Inggris, kalau tidak, tidak dapat warisan. Tentu sebagai hak masing-masing ini sah-sah
saja. Tapi dari fenomena ini kita bisa tahu, bahkan kita sendiri sebenarnya tidak percaya dengan
sistem pendidikan tinggi hukum di negera ini. Jangan-jangan yang masih menyekolahkan anaknya
di sekolah hukum di Indonesia hanya karena belum punya banyak duit untuk memberangkatkan
anaknya ke sekolah hukum di luar negeri.

Pertanyaannya adalah kenapa bisa terjadi seperti itu? Ada lingkaran setan dalam problematika
pendidikan tinggi hukum itu sendiri (menurut saya). Untuk membahasakan lingkaran setan itu,
sederhananya begini: sistem pendidikan tinggi hukum tidak diatur benar-benar oleh pemerintah
apalagi menyangkut filosofinya. Regulasi untuk pendidikan tinggi hukum semata-mata di sama-
ratakan dengan pendidikan untuk ilmu/jurusan lain. Padahal pemerintah sendiri sadar, bahwa
tantangan dan tujuan masing-masing jurusan ilmu untuk menghasilkan sarjana tentu beda-beda.
Selanjutnya, karena sistem dari pemerintah tidak jelas seperti itu, maka seluruh pendidikan tinggi
mau tidak mau tunduk pada regulasi buatan pemerintah itu, misalnya dalam hal penerimaan dan
standar-standar penerimaan mahasiswa ke fakultas hukum. Tidak aneh ada ungkapan “garbage in-
garbage out”. Ini sudah dua unsur, pemerintah dan perguruan tingginya sendiri.
Lebih menarik yang selanjutnya, mahasiswa fakultas hukumnya dikaitkan dengan pola ajar di
perguruan tinggi hukum itu. Kalau berkenaan dengan pola ajar, saya batasi tentang tema tulisan ini,
yaitu mata kuliah filsafat hukum yang seharusnya di ajarkan di awal-awal perkuliahan mahasiswa
hukum, artinya diajarkan di semester-semester awal, yaitu semester 1 atau paling lama di semester
2. Apa alasannya? Pertama, filsafat hukum yang saya pelajari ketika saya sudah semester 7
sekarang ini, pada dasarnya ingin mencoba memahami (bukan sekadar mengetahui) hukum sampai
ke akar-akarnya. Mempertanyakan hukum dan menggalinya sedalam mungkin. Namanya filsafat,
tentu sarat dengan mempertanyakan. Bahkan sampai mempertanyakan mengapa hukum harus
dipelajari? Apa benar hukum itu ada? Lalu, sebenarnya hukum itu apa? Oleh karena ini, mata
kuliah filsafat hukum akan membuka cakrawala ata keseluruhan hukum itu sendiri (kalau diajarkan
dengan benar oleh dosen). Kalau demikian mengapa tidak dilakukan (membuka cakrawala
mahasiswa hukum itu) di awal-awal masa kuliah?

Kedua, kalau anggapannya filsafat hukum itu diajarkan di awal-awal semester, mahasiswa
diharapkan sudah terbuka pikirannya dan sadar bahwa belajar hukum itu tidak mudah seperti
kebanyakan orang pikirkan. Perlu daya kritis imajinatif dan kreatif dalam memahami hukum. Nalar
yang logis untuk membangun argumentasi yang sejalan dengan logika sehat. Hukum tidak semudah
menghafal pasal di peraturan, tapi harus dapat menangkap makna yang terkandung dalam pasal itu
baru kemudian dijalankan. Filsafat hukum (seharusnya) mengajarkan hal itu. Oleh karenanya,
argumentasi yang mengatakan bahwa matakuliah Pengantar Ilmu Hukum (PIH), ilmu negara, etika,
atau logika bisa dipakai untuk mencapai yang demikian, tidak bisa diterima sama sekali. Mata
kuliah-mata kuliah itu masih terlalu sederhana, belum lagi (atas cerita-cerita dari banyak teman di
universitas "lain") dosen tidak mengajarkannya dengan serius, hanya sesukannya saja. Malas ke
kampus, kelas ditiadakan, padahal untuk mahasiswa awal.

Ketiga, karena kenyataannya filsafat hukum selalu ditempatkan sebagai mata kuliah untuk
mahasiswa tingkat akhir (sebagian orang termasuk para dosen menyetujui pendapat ini karena
mereka merasa orang-orang yang baru lulus SMA belum bisa menerima mata kuliah seberat filsafat
hukum), maka banyak sekali mahasiswa hukum yang menyadari tentang sulitnya belajar hukum
setelah mereka sudah ada di semester tingkat akhir. Mereka baru sadar (setidaknya sedikit sadar)
kalau belajar hukum itu harus punya kemampuan yang lebih; logika yang lurus, nalar imajinatif dan
kreatif. Bukan orang yang abal-abal. Penyesalan pun datang terlambat. Mau keluar dari fakultas
hukum, tapi sudah tingkat akhir. Mau bertahan, tapi sudah tahu tidak akan jadi apa-apa walaupun
punya gelas Sarjana Hukum (SH) di belakang nama. Jadilah, mahasiswa-mahasiswa putus asa yang
tidak ada gunanya di Fakultas Hukum, alias mahasiswa-mahasiswa sampah.

Lengkaplah lingkaran setan dalam pendidikan tinggi hukum di Indonesia ini, yaitu berasal dari
pemerintah, dari perguruan tingginya, dari sistem ajarnya dan lebih-lebih dari mahasiswa
hukumnya. Semua berkolaborasi untuk menghancurkan dunia hukum di negara yang kata UUD
1945 sebagai negara hukum ini. Mengerikan sekali.

Maka jangan kaget kalau sampai sekarang “permainan” jahat masih masif terjadi di dunia hukum
Indonesia. Kebanyakan sarjana hukum berlomba-lomba tampil di layar televisi, asal bicara saja,
yang penting kelihatan kondang dan sebagai pengacara laku. Batu akik di semua jari, ambil mic lalu
dengan bangga asal ngomong saja. Mahasiswa hukum saja masih ada yang bertingkah laku anarkis
dalam demonstrasi, karena mereka memang tidak memahami hukum antara hak dan kewajiban
sesama masyarakat. Padahal hukum menjunjung itu. Belum lagi, ketidak-adilan yang terus terjadi
dari banyak putusan pengadilan. Karena sekarang hakim-hakim itu berpikir, memutus bukan untuk
memberikan rasa adil, tapi agar putusannya dibahas oleh banyak orang dan dia menjadi terkenal.
Putusan praperadilan misalnya.

Itulah mengapa, kalau boleh, dengan segala keterbatasan, saya mengusulkan diajarkannya mata
kuliah filsafat hukum di semester-semester awal di seluruh Sekolah Hukum di Indonesia. Ini
sebagai awal untuk menghancurkan lingkaran setan tadi untuk membuat lingkaran baru yang baik
untuk perkembangan pendidikan tinggi hukum pada khususnya dan pembangunan sistem hukum
Indonesia pada umumnya. Hal mana, memang belajar sebagai mahasiswa hukum itu memang tidak
mudah. Perlu sesuatu yang lebih yang dituntut calon-calon Sarjana Hukum. Ingat, orang-orang ini
akan menentukan kehidupan banyak orang, sebab hukum selalu bersinggungan dengan kepentingan
orang banyak. Kalau sarjana hukumnya abal-abal, hukumnya pasti asal-asalan. Ketidakadilan
menampakkan wujudnya.
Saya sangat yakin, dengan diajarkannya filsafat hukum di semester-semester awal akan
menyadarkan mahasiswa yang sampai sekarang belum sadar untuk menyadari hukum itu sejak
semula. Tidak kuat, pindah jurusan saja cepat-cepat. Jangan sampai terus-terusan membiarkan
penyesalan datang terlambat. Kasihan mahasiswanya, karena masa depannya jadi tidak jelas. Dan
kasih sekolah hukumnya, karena oleh mahasiswa itu, sekolah hukum juga jadi jelek mutunya.
Semakin awal sadar, semakin baik.

Kesulitan belajar filsafat hukum tidak boleh jadi alasan untuk tidak diajarkan kepada yang baru
lulus SMA. Justru kesulitan filsafat hukum itu juga yang seharusnya menyadarkan mahasiswa yang
sudah memilih masuk ke fakultas hukum, bahwa belajar hukum itu harus sungguh-sungguh karena
tidak mudah. Kata Felix Frankfurter, hanya yang well read person dan cultivated person saja yang
dapat menjadi Sarjana Hukum yang sejati.

Beberapa hari lalu, saya diajak berdebat oleh seorang teman sesama mahasiswa hukum semester 7.
Dia dari salah satu fakultas hukum. Tapi dari awal dia mengatakan bahwa dia tidak membaca apa
pun, tidak punya data apa pun, tapi dia terus memberikan asumsi yang menjatuhkan pihak-pihak
tertentu dan menganggap dirinya benar terus. Kata “pokoknya” selalu digunakan. Perdebatan
menjadi tidak berimbang, karena data yang saya sajikan dianggap mentah semua oleh asumsinya.

Saya mengatakan, “lebih baik persiapkan data-data dulu, besok kita berdebat lagi.” Lanjut, “Gue
ingatin aja bro, kalau tindakan (asal ngomong saja) tadi terus elo pelihara, nanti SH elo bukan
Sarjana Hukum, tapi Sarjana Haram atau Sarjana Hambar.” Dia cukup marah saat saya katakan
seperti itu. “Kok bisa elo diterima di fakultas hukum, ya?” lanjut saya. Dia lalu bermuram durja dan
beberapa menit kemudian pamit pulang. Dalam hati saya, “kasihan dia!”
Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia ( sebuah Resume buku dari Prof. Darji
Darmodiharjo, SH, dan DR. Sidharta, SH, M.Hum)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Pengertian filsafat
Rasa kengintahuan yang dalam manusia akan segala hal adalah cikal-bakal
munculnya pengetahuan. Baik pengetahuan ilmiah yang diperoleh melalui
sebuah metode dan sistem tertentu, maupun pengetahuan filsafat yang
merupakan pengetahuan yang didapat melalui perenungan yang dalam dan
kengintahuan sampai pada hakikatnya. Menurut Harry Haresma, filsafat itu
datang sebelum dan sesudah ilmu. Jadi pengertian filsafat menurut Harry
Haresma adalah ilmu pengetahuan yang metodologis, sistematis dan saling
berhubungan dengan seluruh kenyataan dan kemudian menjadi petunjuk
arah kegiatan manusia dalam segala bidang kehidupannya. Sebagai contoh
adalah pertanyaan yang pernah disampaikan oleh Thales, Anaximander dan
Anaximendes tahun 600 SM, sampai saat ini tetap menjadi kajian aktual
dalam ilmu pengetahuan.
Dalam bahasa lain (Inggris) filsafat disebut juga “philosophy dan philosphia”
(latin) yang berasal dari kata philos atau filo yang berarti cinta dan sophia
yang artinya kebijaksanaan, yang bila diartikan cinta akan kebijaksanaan.
Namun sesungguhnya kata filsafat itu sendiri berasal dari bahasa Arab
“falsafah” . Tiga sifat pokok yang terdapat dalam filsafat adalah 1)
menyeluruh, 2) mendasar dan 3) spekulatif. Ketiga sifat pokok filsafat ini
berarti filsafat tidak berpikir sempit tetapi melihat dari setiap sisi yang ada,
berisikan pertanyaan-pertanyaan diluar dari jangkauan ilmu biasa dan
dalam melangkah tidak sembarangan, namun harus memiliki dasar-dasar
yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

B. Pembidangan filsafat dan letak filsafat hukum

Bidang filsafat sangat luas dan cenderung bertambah D. Runes dalam buku
”The Dictionary of Phylosophy (1963) membagi filsafat dalam tiga cabang
utama yaitu : 1) Ontologi, yaitu ilmu filsafat yang menyelidiki tentang
keberadaan sesuatu, 2) Epistemologi, yaitu ilmu yang menyelidiki akan asal-
usul, susunan dan validitas pengetahuan dan 3) Aksiologi, yaitu ilmu yang
menyelidiki hakikat, nilai, kriteria dan kedudukan metafisi suatu nilai.
Pembagian lebih rinci diberikan oleh Louis S. Kattsoff (1987:71-84) yang
membagi filsafat dalam tiga belas bidang, yaitu :
1. logika, yaitu cabang filsafat yang membicarakan tentang tata cara
penarikan kesimpulan yang benar;
2. metodologi, yaitu cabang filsafat yang membicarakan teknik-teknik
penelitian;
3. metafisika, yaitu cabang filsafat yang membicarakan hakikat segala
sesuatu yang ada dan yang mungkin ada;
4. ontologi, yaitu cabang filsafat yang membicarakan tentang asas-asar
rasional dari kenyataan;
5. kosmologi, yaitu cabang filsafat yang membicarakan tentang
bagaimanakah keadaannya sehingga ada asas-asas rasional dari
kenyataan
6. epistemologi, yaitu cabang filsafat yang membicarakan tentang asal
mula, susunan, metode-metode dan sahnya pengetahuan;
7. biologi, yaitu cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat hidup;
8. psikologi, yaitu cabang filsafat yang membicarakan tentang tentang jiwa;
9. antropologi, yaitu cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat
manusia;
10. sosiologi kemanusiaan, yaitu cabang filsafat yang membicarakan
tentang hakikat masyarakat dan negara;
11. etika, yaitu cabang filsafat yang membicarakan tentang apa yang baik
dan buruk dari perilaku manusia;
12. estetika, yaitu cabang filsafat yang membicarakan tentang keindahan;
dan
13. filsafat agama, yaitu cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat
keagamaan.
Dari pembagian-pembagian filsafat tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa
filsafat hukum adalah cabang filsafat yang disebut etika atau filsafat tingkah
laku.

C. Pengertian filsafat hukum


Filsafat hukum adalah cabang dari filsafat yaitu filsafat etika atau tingkah
laku yang mempelajari hakikat hukum. Filsafat hukum memiliki objek yaitu
hukum yang dibahas dan dikaji secara mendalam sampai pada inti atau
hakikatnya. Pertanyaan yang mungkin tidak dapat dijawab oleh cabang
ilmu hukum lainnya merupakan tugas dari filsafat hukum untuk
menemukannya. Bila ingin menarik pengertian filsafat hukum, maka harus
terlebih dahulu mempelajari akan hukum itu sendiri. Seperti pertanyaan,
apakah hukum itu juga merupakan tugas dari filsafat hukum, karena
sampai saat ini belum ditemukan definisi dari hukum itu secara universal,
karena pendapat para ahli hukum berbeda-beda sesuai dengan sudut
pandang mereka sendiri. Ahli hukum J. Van Kan (1983:13) memberikan
pendapat defisi hukum adalah sebagai keseluruhan ketentuan kehidupan
yang bersifat memaksa, melindungi kepentingan-kepentingan orang dalam
masyarakat. Dan Hans Kelsen mengatakan definisi hukum adalah norma-
norma yang mengatur bagaimana seseorang harus berperilaku. Sedangkan
Soerjono Soekanto (1984:2-4) berpendapat sembilan arti hukum adalah :
1) sebagai ilmu pengetahuan, 2) sebagai disiplin, 3) sebagai norma, 4)
sebagai tata hukum, 5) sebagai petugas, 6) sebagai keputusan penguasa,
7) sebagai proses pemerintahan, 8) sebagai sikap, atau perikelakuan yang
teratur, dan 9) sebagai jalinan nilai-nilai.

D. Manfaat mempelajari filsafat


Manfaat mempelajari filsafat hukum tidak terlepas dari tiga sifat dasar
filsafat itu sendiri. Pertama adalah siapapun yang mempelajari filsafat
hukum diajak berpikir luas dan terbuka dengan lebih menghargai
pemikiran dan pendapat orang lain dan tidak bersikap arogan dengan
menganggap disiplin ilmu lainnya lebih rendah (sifat mendasar). Kedua
adalah berpikir inovatif untuk kemudian dikembangkan kearah yang dicita-
citakan bersama, dan ketika adalah berpikir kritis dan radikal serta
memahami hukum tidak dalam arti hukum positif saja, namun dapat
menganalisa suatu masalah hukum.

F. Ilmu-ilmu lain yang berobjek hukum


Filsafat hukum tidak dapat lepas dari kerikatan dengan bidang-bidang ilmu
lain yang berobjek hukum. Purnadi Purbacaraka dan Soejono Soekanto
(1989:9) membagi bidang-bidang ilmu yang berobjek hukum sebagai
berikut :
Politik hukum mencakup kegiatan-kegiatan memilih nilai-nilai dan
menerapkan nilai-nilai dan acapkali berbicara tentang hukum yang akan
datang atau yang dicita-citakan (ius contitendeum) dan berusaha
menjadikannya sebagai hukum positif (ius contstitutum) dimasa yang akan
datang. Ilmu tentang norma adalah ilmu yang antara lain mengatur
tentang perumusan norma hukum, esensilia norma hukum tugas dan
kegunaan norma hukum. Ilmu tentang pengertian hukum adalah ilmu yang
antara lain membahas apa yang dimaksud dengan masyarakat hukum,
subjek dan objek hukum, hak dan kewajiban serta peristiwa hukum. Dan
ilmu tentang kenyataan hukum adalah adalah ilmu yang mempelajari
sosiologi hukum, sejarah hukum, psikologi hukum, perbandingan hukum
dan antropologi hukum.
Menurut Arief Sidharta (2000:116-137) struktur hukum terdiri dari tiga
kelompok disiplin , yaitu : 1) filsafat hukum, 2) teori ilmu hukum dan 3)
ilmu-ilmu hukum. Dari ketiga displin limu hukum itu, filsafat hukum
merupakan ilmu yang paling abstrak dan ilmu-ilmu hukum adalah ilmu
yang paling konkrit.
Dari pengertian-pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa struktur dan
sistematika ilmu yang berobjek hukum masih dan akan terus berkembang.
BAB II
SEJARAH FILSAFAT TIMUR DAN BARAT

A. Sejarah filsafat Timur


Sejarah filsafat timur terdiri dari filsafat India, Cina dan filsafat Islam.Hal ini disebabkan
filsafat-filsafat tersebut merupakan filsafat tertua yang ada dibagian timur dunia.
1) Filsafat India
Gerak pemikiran filsafat India dimulai sejak zaman weda yang menjadikan alam semesta
sebagi objek utama. Seagian besar filsafat ini bersifat mistis dan instuitif, yang menurut
Radhakrisnan dan Moore terdapat tujuh ciri utama, yaitu : 1) bermotifkan spiritual, 2)
bersikap instropektif dan pendekatan instropeksi terhadap realitas, 3) ada hubungan antara
hidup dan filsafat 4) bersiap idealis, 5) berdasarkan intuisi dalam menyingkap kebenaran, 6)
penerimaan terhadap otoritas, dan 7) adanya tendensi untuk mendekati berbagai asapek
pengalaman dan realitas dengan pendekatan sintetis.
Sejarah filsafat India dibedakan dalam lima periode, yaitu : 1) zaman weda (200-600 SM), 2)
zaman skeptisme (600 SM-300M), 3) zaman puranis (300-1200), 4) zaman muslim (1200-
1757) dan zaman modern (setelah 1757).

2. Filsafat Cina
Filsafat cina lebih merupakan pandangan hidup daripada ilmu, sama seperti filsafat India.
Filsuf yang terkenal pada masa itu diantaranya Konfusius dan Lao Tse. Ajaran Konfusius yang
terkenal adalah Tao yangberarti sebagai jalan atau kebenaran yang digunakan untuk
meningkatkan taraf jiwa manusia.
Dan menurut Konfusius negara yang baik adalah negara yang melayani rakyat, bukan
sebaliknya. Lao Tse mengajarkan Taoisme yang sedikit berbeda dengan ajaran Konfusius.
Menurut Lao Tse Tao adalah prinsip kenyataan objektif, substasi abadi tunggal, mutlak dan
tidak ternamai.
Menurut sejarahnya filsafat Cina dibagi dalam empat periode yaitu : 1) zaman Klasik, 2)
zaman Neotaoisme dan Buddhisme,3) zaman Neo Konfusiusme dan 4) zaman modern. Dan
menurut Hamersma (1990:31-35) ada tiga sejarah yang dipentingkan dalam filsafat Cina,
yaitu : harmoni, toleransi dan perikemanusiaan. Harmoni antara sesama manusia, manusia
dengan alam, serta harmoni manusia dengan surga.

3. Filsafat Islam
Para filsuf Islam banyak dipengaruhi oleh para filsuf Yunani seperti Aristoteles. Filsafat Islam
berpengaruh besar di daerah jajaran pasukan muslim dan negara-negara yang mayoritas
penduduknya beragama Islam. Secara umum filsafat Islam dibagi dalam dua wilayah yakni
kawasan Masyiriqi (Timur) dan kawasan Magribhi (Barat). Filsuf yang terkenal dari kawasan
Masyiriqi Al-Kindi yang merupakan filsuf yang menguasai berbagai disiplin ilmu. Al-Kindi
berpendapat bahwa filsafat dalah pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu dalam batas
kemampuan manusia.
Dikawasan Magribhi terdapat seorang filsuf Ibnu Hajah yang banyak dipengaruhi oleh
Phytagoras. Ibnu Hajah mengambil criteria yang dibuat oleh Phytagoras dengan membagi
manusia dalam dua golongan, yaitu kaum awam (al-jumhur) dan kaum khawas (an-
mudzdzar) atau kaum pilihan yang mempunyai pengetahuan dan menjalani agama dengan
dasar pengetahuan sendiri yang kuat.

B. Sejarah filsafat Barat


Sejarah filsafat Barat dibedakan dalam beberapa periode sejarah yang bermula dari zaman
Yunani kuno sampai pada abad ke-20. Filsafat barat muncul setelah filsafat timur. Namun
filsafat barat lebih berkembang yang tidak hanya berhenti pada filsafat hanya sebagai
pandangan hidup, namun juga sebagai ilmu pengetahuan modern. Revolusi ilmu muncul di
Eropa pada abad ke-16 dan 17 yang memilah antara filsafat dengan ilmu-ilmu lainnya.
Zaman kuno diawali oleh tokoh Thales yang berpendapat bahwa asal-muasal alam adalah
air, sedangkan Anaximenes mengatakan bahwa alam ini berasal dari udara. Persoalan
tentang keberadaan alam semesta (kosmosentris) ini adalah pertanyaan yang dipersoalkan
pada zaman ini.
Pada masa abad pertengahan suasana mulai bergeser dari kosmosentris ke teosentris. Hal
ini berkaitan erat dengan berkembang pesatnya agama Kristen di Eropa, yang bermula
pada masa Patristik sampai pada puncaknya di masa Skolastik. Pengaruh agama yang
sangat kuat pada abad pertengahan membawa dampak negative pada kebebasan berpikir,
sehingga masa ini juga dikenal masa kegelapan. Pada masa ini juga muncul Revolusi
Copernicus yang menyadarkan orang banyak sehingga timbul Renesanse yang berarti
kelahiran kembali dari kegelapan. Renesanse ini juga yang mengawali zaman modern
dimana manusia menjadi subjek (antroposentris).
Pada abad ke -19 dan ke-20, manusia tata sebagai subjek dari realitas namun perhatian
utama tidak lagi berpusat pada rasio, empiri, dan ide-ide manusia, melainkan lebih kepada
unsur-unsur irasional, yakni kebebasan atau kehendak sebagai penggerak tindakan
manusia (Hammersma:1992:141). Filsafat zaman sekarang disebut juga logosentrisme
Sejarah filsafat barat dibedakan dalam periode :
1. zaman kuno yang terdiri dari zaman prasokrates, zaman keemasan Yunani, zaman
Helenisme dan zaman patristic.
2. zaman abad pertengahan
3. zaman modern, yang dibagi dalam zaman Renesanse, zaman Barok, zamanFajar Budi,
dan zaman Romantik.
4. zaman sekarang, yang dibagi dalam filsafat abad ke-19 dan terdiri dari positivisme,
marxisme, dan pragtisme, kemudian filsafat abad ke-20 yang tediri dari neokantianisme,
fenomenologi, eksistensialisme dan struktualisme.

C. Perbedaan filsafat timur dan barat


Empat bidang besar yang membedakan antara filsafat timur dan barat yaitu : 1) bidang
pemerintahan, 2) sikap terhadap alam, ideal dan cita_cita hidup serta, 3) status persona
(Priyono,1993:4-14). Filsafat timur menekankan pada intuisi sedangkan filsafat barat
kepada rasio. Dalam hal pandangan terhadap alam, filsafat timur berpendapat bahwa
manusia adalah bagian dari alam dan berasal dari zat yang satu dan menekankan unsur
harmoni dengan alam. Sedangkan menurut filsafat barat, mengatakan bahwa alam
ditaklukkan dengan teknologi untuk kepentingan manusia. Ideal atau cita-cita hidup bagi
filsafat timur adalah bagaimana manusia diajarkan untuk hidup bersahaja, namun bagi
filsafat barat adalah bagaimana manusia dapat bertindak untuk mencapai hasil yang
setinggi mungkin. Dalam status persona, filsafat timur menganggap manusia adalah bagian
dari masyarakat dan hak kolektif lebih diutamakan, sebaliknya bagi filsafat barat hak
individu lebih dikedepankan.

BAB III
SEJARAH FILSAFAT HUKUM

A. Zaman kuno
Awal kebangkitan filsafat dimulai pada saat filsuf alam lahir (600SM), karena pada masa itu
terdapat pemikiran bahwa manusia harus menaati apa yang telah digariskan oleh para dewa.
Pada zaman itu Protagoras menyatakan bahwa undang-undang dibentuk oleh rakyat dan pada
saat itulah dikenal istilah demokrasi. Teori tentang keadilan ditemukan oleh Aristoteles yang
berpendapat bahwa manusia adalah makhluk social (zoon politicon). Dia juga mengatakan
bahwa hukum harus ditaati dan hukum alam itu merupakan hukum yang berlaku dimana-
mana (lex universal), tidak pernah berubah, tidak pernah lenyap dan berlaku dengan
sendirinya (lex naturalis). Hukum alam adalah satu kesatuan yang teratur (kosmos) berkat
suatu prinsip jiwa dunia (logos).

B. Zaman abad pertengahan


Tokoh filsafat hukum pada masa ini adalah Thomas Aquinas yang pemikirannya tidak
terpengaruh oleh filsuf Yunani,namun lebih dipengaruhi oleh Plato, seperti hubungan antara
ide-ide dengan benda-benda duniawi.
Pada masa ini muncul hukum abadi yang berasal dari Tuhan (lex aeterna) yang kemudian
dirasakan manusia seperti keadilan.

C. Zaman modern
Cara untuk menyatukan rasio-rasio manusia ditempuh melalui cara perjanjian (konsensus),
sehingga dikenal teori perjanjian. Masalah yang muncul akan hubungan antara jiwa dan tubuh
berdampak pada pemisahan antara Des Sein dan Des Sollen yang dianut oleh aliran
posotivisme. Di Inggris muncul aliran empirisme sebagai akibat pandangan yang mengataka
bahwa rasio itu sebagi sesuatu yang kosong. Aliran ini juga berkembang di Perancis. Seperti
pendapat Montesqiue yang mengatakan ada hubungan yang erat antara hukum alam dan
kondis konkrit suatu bangsa. Undang-undang yang baik adalah undang-undang yang paling
cocok dengan bangsa yang bersangkutan. Pendapat ini kemudian dikenal dengan mazhab
sejarah. Ajaran yang paling terkenal dari aliran ini adalah pembagian kekuasaan antara
legislatif, eksekutif dan yudikatif (trias politica). Selain itu juga adan tokoh Jean Rosseau yang
mengenalkan teori kontrak social. Ia juga mengatakan bahwa hukum yang tidak adil adalah
apabila hukum positif itu bertentangan dengan kepentingan umum. Aliran lain yang ada yaitu
aliran idealisme yang didukung oleh Immanuel Kant.

D. Zaman sekarang
Aliran empirisme diteruskan oleh tokoh seperti Hegel dan Karl Marx. Dengan munculnya
mazhab sejarah di Jerman oleh Von Savigny yang mengatakan bahwa hukum itu tidak dibuat
tetapi tumbuh dengan sendirinya bersama perkembangan masyarakat. Ini berarti bahwa
hukum itu tidak berlaku universal karena masing-masing bangsa memiliki hukum yang
berbeda-beda dan hukum itu merupakan cerminan jiwa dari bangsa. Aliran Positivisme yang
bertentangan dengan mazhab sejarah juga muncul. Aliran ini berpegang pada aliran
rasionalisme seperti yang disampaikan oleh Immanuel Kant. Selain itu terdapat aliran
utilitarianisme oleh Benjamin Bentham yang tergolong dalam kelompok empirisme. Aliran
empirisme Amerika berkembang menjadi aliran pragmatis yang menolak kebenaran melalui
rasio semata. Aliran ini juga disebut aliran realism hukum, dimana sumber hukum utama
bukan undang-undang melainkan kenyataan-kenyataan sosial dalam masyarakat, yang
kemudian menjadi sumber hukum bagi hakim dalam memutuskan suatu perkara dipengadilan.

BAB IV
ALIRAN-ALIRAN DALAM FILSAFAT HUKUM

Munculnya berbagai aliran dalam filsafat hukum merupakan pergulatan pemikiran yang tidak
pernah berhenti dalam ilmu hukum. Aliran-aliran filsafat hukum ini masukan yang berguna
bagi pengembangan hukum dikemudian hari. Aliran-aliran filsafat hukum tersebut adalah
sebagai berikut :
A. Aliran hukum alam
Aliran ini disebut juga aliran hukum kodrat yang muncul karena kegagalan umat manusia
mencari keadilan yang absolut, dan aliran terdiri dari aliran irasional yang mengatakan bahwa
ukum itu berlaku universal dan abadi yang berasal dari Tuhan, dan rasional yang mengatakab
bahwa sumber hukum universal dan abadi berasal dari manusia. Tokoh utama aliran ini antara
lain Thomas Aquinas, Grotius dan Immanuel Kant.

B. Aliran positivisme hukum


Menurut aliran ini hukum adalah perintah penguasa (law is a command of the lawgivers, John
Austin). Bagian dari aliran ini adalah legisme yang mengatakan bahwa hukum itu identik
dengan undang-undang yang dipelopori oleh John Austin dan Hans Kelsen. Teori hukum murni
dipelopori oleh Hans Kelsen berpendapat hukum harus dipisahkan dari hukum yang
seharusnya , antara das sein dan das solen. Menurutnya yang terpenting adalah “apa
hukumnya bukan bagaimana hukum itu”. Selain itu teori dari Hans Kelsen adalah teori jenjang
(stufen theory) yang berarti bahwa semakin tinggi (grund norm) norma itu, maka akan
semakin abstrak sifatnya dan sebaliknya semakin rendah kedudukan norma, maka akan
semakin konkrit norma tersebut. Sistem hukum Indonesia juga dipengaruhi oleh teori ini, yang
terlihat jelas dalam Ketetapan MPR No. XX/MPRS/1966 tentang sumber tertib hukum dam Tata
urut perundang-undangan di Indonesia.

C. Aliran utilitarianisme
Nama lain aliran ini adalah aliran utilisme yang mengutamakan asas manfaat dari hukum. Jadi
hukum yang baik adalah hukum yang memberikan kebahagiaan bagi setiap orang. Tokoh
aliran ini antara lain Jeremy Bentham. Jeremy Bentham mengatakan hukum akan memberikan
kebahagiaan dan kesusahan, dan tugas hukum adalah untuk memelihara kebaikan dan
mencegah kejahatan. Apabila tiap orang telah mencapai kebahagiaannya maka dengan
sendirinya kebahagiaan masyarakat akan terwujud.

D. Mazhab sejarah
Aliran ini muncul akibat dari rasionalisme abad ke-18 (hukum alam), semangat revolusi
Prancis dan pendapat yang melarang hakim melakukan penafsiran hukum. Tokoh mazhab
sejarah antara lain Von Savigny yang mengatakan bahwa hukum muncul karena jiwa bangsa
itu sendiri (law is an expression of common consciousness or spirit of people). Ia juga
menentang aliran hukum alam yang mengatakan hukum itu berlaku universal, karena setiap
bangsa memiliki hukum yang berasal dari jiwa (volkgesit) dari bangsa itu sendiri.

E. Sociological jurisprudence
Aliran ini menggunakan pendekatan hukum kepada masyarakat. Tokoh aliran ini adalah
Roscoe Pound yang terkenal dengan isitilah hukum sebagai alat merekayasa masyarakat (law
is a tool of social engineering). Untuk memenuhi kebutuhan perannya sebagai alat, Roscoe
Pound mengolongkan kepentingan-kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum yaitu :
kepentingan umum (public interest), kepentingan masyarakat (social interest) dan
kepentingan pribadi (private interest).

F. Realisme hukum
Para penganut aliran realisme berpendapat bahwa hukum adalah hasil dari kekuatan sosial
dan sebagai alat control sosial. Ciri – ciri dari realisme hukum menurut Karl N. Liewellyn
adalah :
1. Realisme adalah gerakan dari pemikiran dan kerja tentang hukum.
2. Realisme adalah konsepsi hukum yang terus berubah dan alat untuk tujuan - tujuan sosial.
3. Terdapat pemisahan sementara antara hukum yang ada (Das Sein) dan hukum yang
seharusnya ada (Das Sollen).
4. Realisme tidak percaya pada ketentuan - ketentuan dan konsepsi hukum sepanjang
ketentuan - ketentuan dan konsepsi itu menggambarkan apa yang dilakukan oleh pengadilan
dan orang-orang.
5. Realisme menekankan evolusi dalam tiap bagian hukum dengan mengingatkan akibatnya.
Menurut aliran ini, tidak ada hukum yang mengatur satu perkara sampai ada putusan hakim
terhadap perkara itu.
Menurut H. L. A Hart Norma - norma hukum di bagi dua yaitu norma primer dan norma
sekunder. Norma primer adalah norma yang mengatur kelakuan subject hukum ( apa yang
dilarang dan apa yang tidak ) dan norma sekunder adalah norma yang mengatur agar norma
primer dapat berlaku dan menampakkan sifat yuridisnya.

H. Freirechtslehre (Hukum Bebas)


Aliran ini adalah penentang aliran positivisme. Dalam aliran hukum bebas ini undang-undang
bukan sebagai hal utama dalam penemuan hukum, tetapi sebagai alat bantu untuk
mendapatkan solusi yang tepat menurut hukum, dan hakim juga bertugas menciptakan
hukum.

BAB V
MASALAH-MASALAH FILSAFAT HUKUM

A. Keadilan
Tujan utama diciptakannya hukum adalah untuk mendapatkan keadilan, kepastian hukum dan
juga untuk kemanfaatan. Ada juga pendapat yang mengataka bahwa tujuan utama dari
hukum adalah keadilan, seperti yang dikatakan oleh Bismar Siregar (1989:4) :bila untuk
menegakkan keadilan saya korbankan kepastian hukum, akan saya korbankan hukum itu.
Pengertian keadilan menurut Ulpianus adalah kehendak yang ajeg dan tetap untuk
memberikan kepada masing-masing bagiannya, dan menurut Aristoteles keadilan adalah
kebahagiaan yang berkaitan dengan hubungan antar manusia. Thomas Aquinas membagi
keadilan menjadi keadilan umum (justitia generalis) dan keadilan khusus. Keadilan umum
adalah keadilan yang berdasarkan undang-undang yang harus ditunaikan untuk kepentingan
umum. Dan keadilan khusus adalah keadilan yang berdasarkan kesamaan atau
proporsionalitas, yang juga terbagi menjadi : keadilan distributif , yaitu keadilan yang secara
proporsionalitas diterapkan dalam lapangan public secara umu, keadilan komutatif, yaitu
keadilan yang mempersamakn antara prestasi dan kontraprestasi, serta keadilan indikatif,
yaitu keadilan dalam hal ganti rugi yang disesuaikan dengan jumlah kerugian seseorang.

B. Hak asasi manusia


Hak asasi manusia adalah hak dasar seseorang yang dibawa sejak lahir, sebagi anugerah
Tuhan dan menjadi hak dan kewajiban bagi orang lain.
Masalah hak asasi manusia bermula diInggris pada tahun 1215 dengan lahirnya magna charta
yang berisikan pernyataan bahwa hak kaum bangsawan harus dihormati oleh raja Inggris.
Kemudian dilanjutkan pada tahun 1776 pada saat terjadi revolusi Amerika yang menuntut
untuk merdeka bagi setiap orang (penjajah Inggris) yang menghasilkan virginia bill of rights,
dan menegaskan bahwa manusia berhak untuk menikmati hidup, dan kekebasan dalam
mencapai kebahagiaan serta terjadinya revolusi Prancis yang meletus pada tahun 1778.
Peristiwa-peristiwa ini membawa pengaruh yang besar bagi pengakuan akan hak asasi
manusia didunia. Hak asasi dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu : 1) hak asasi pribadi
(personal rights) seperti hak untuk menyatakan pendapat, memeluk agama, bergerak dan
lain-lain, 2) hak asasi ekonomi yaitu hak untuk memiliki sesuatu dan mengalihkannya serta
memanfaatkannya, 3) hal asasi sosial dan kebuadayaan (social and cultural rights), seperti
hak memilih pendidikan, dan mengembangkan kebudayaan, 4) hak asasi untuk mendapatkan
perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan (the rights oflegal quality), dan 5)
hakassi untuk mendapatkan tata cara peradilan dan perlindungan (procedural rights).

C. Hak milik
Hak milik menurut Black (1990;1324) dikelompokkan sebagai berikut :
1. Hak sempurna (perfect) dan tidak sempurna (imperfect)
2. Hak personam dan hak in rem
3 Hak primer (primary) dan hak secondary (secondary)
4. Hak preventif (preventive) dan hak reparative (reparative)
5. Hak absolute (absolute) dan hak terbatas (qualified)
Pembagian hak-hak seperti ini tidak dikenal dalam system hukum Indonesia, tetapi terdapat
dinegara-negara yang menganut sistem hukum common law (anglo saxon).
D. Hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat
Konsep hukum sebagai alat yang berfungsi sebagai alat untuk merekayasa masyarakat (law is
a tool of social engineering) adalah pemikiran Roscoe Pound yang merupakan pendukung
aliran social jurisprudence, dan dalam mengidentifikasi masalah hingga pemecahannya konsep
hukum ini terbadi dalam empat bagian (Satjipto Rahardjo, 1986:170-171), yaitu : 1)
menganalisa masalah yang dihadapi sebaik-baiknya, 2) memahami hipotesis-hipotesis yang
ada dalam masyarakat, 3) membuat hipotesis-hipotesis dan memilih mana yang paling layak
untuk bisa dilaksanakan, dan 4) mengikuti jalannya perkembangan hukum dan mengukur
efek-efeknya. Konsep hukum ini juga merupakan salah satu cara bagi hakim dalam
menafsirkan hukum dengan menggali kenyataan-kenyataan sosial dalam masyarakat, yang
berguna dalam pengambilan keputusan akan sebuah perkara.
BAB VI
PANCASILA SEBAGAI SUMBER DARI SEGALA SUMBER HUKUM

Dimana ada masyarakat, maka disana ada hukum (ubi societas, ibi ius) yang dikatakan oleh
Marcus Tullius Cicero (106-43SM) mengandung arti bahwa pengertian hukum tidak dapat
dipisahkan dari masyarakat dan masyarakat dalam arti luas (Negara). Menurut Mochtar
Kusumaatmaja, hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan dan kekuasaan tanpa hukum
adalah kelaliman. Hukum memerlukan kekuasaan sebagai pelaksana, dan kekuasaan itu
sendiri ada batas-batasnya.

A. Sumber hukum
Sumber hukum dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu : 1) sumber formal hukum, 2) sumber
material hukum. Sumber formal hukum adalah sumber hukum yang dilihat dari bentuk dan
tata cara penyusunannya, dan sumber material hukum adalah yang menentukan isi suatu
norma hukum. Pendapat tentang sumber-sumber hukum berbeda-beda berdasarkan sudut
pandang masing-masing. Sehubungan dengan hal itu, disamping sumber hukum yang
berwujud undang-undang, masih diperlukan sumber hukum lain dan bahkan dibutuhkan
sumber dari segala sumber hukum untuk dijadikan alat penilai atau batu ujian terhadap
hukum yang berlaku.

B. Sumber dari segala sumber hukum


Sumber dari segala sumber hukum adalah sumber hukum tertingggi yang berbeda-beda pada
tiap Negara. Dinegara yang menganut system teokrasi sumber tertib hukum tertinggi adalah
ajaran-ajaran Tuhan yang berwujud wahtyu dan tertuang dalam kitab suci. Pada Negara yang
menganut system hukum rechtstaat sumber hukum tertinggi adalah kekuasaan dari para
penguasa. Hans Kelsen mengatakan bahwa norma hukum yang lebih rendah berlaku atas
dasarnorma yang lebih tinggi kedudukannya, dan seterusnya yang pada akhirnya akan
berhenti pada suatu norma yang disebut grundnorm. Di Indonesia sumber dari sumber hukum
tertinggi adalah kedaulatan rakyat, dan pancasila adalah sumber tertib hukum tertinggi bagi
hukum, karena Pancasila dibentuk oleh lembaga Negara yang mewakili seluruh kehendak
rakyat Indonesia. Disamping hukum tertulis berupa undang – undang, masih terdapat hukum
lain yang tidak tertulis yang harus diakui, yaitu Hukum Adat yang mencerminkan kepribadian
bangsa. Untuk menemukan hukum yang adil bagi seluruh rakyat Indonesia maka hukum –
hukum tidak tertulis harus diperhatikan. Menurut ketetapan MPRS No. XX/ MPRS/ 1966, wujud
dari sumber dari segala sumber hukum adalah :
1. Proklamasi kemerdekaan 1945
2. Dekrit Presiden 5 Juli 1959
3. UUD 1945
4. Supersemar

C. Tata Urutan Peraturan Perundang – undangan


Berdasarkan MPRS No. XX/ MPRS/ 1966 disebutkan bahwa tata urutan peraturan perundang –
undangan adalah sebagai berikut :
1. UUD 1945
2. Ketetapan MPR
3. UU / Peraturan pemerintah pengganti UU
4. Peraturan Pemerintah
5. Keputusan Presiden
6. Peraturan – peraturan pelaksana lainnya seperti
- Peraturan Menteri
- Instruksi Menteri
Teori Stufen Theory dari Hans Kelsen mengatakan bahwa norma yang lebih rendah
berdasarkan pada norma yang lebih tinggi, hingga pada norma dasar tertinggi yaitu
Grundnorm yang harus diterima sebagai kebenaran tanpa perlu pembuktian lebih lanjut.

D. Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum


Pancasila adalah dasar Negara Indonesia yang digali dari pandangan hidup bangsa Indonesia
yang merupakan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Karena Pancasila adalah
sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, maka semua aturan hukum yang ada di
Indonesia harus mencerminkan kesadaran dan keadilan sesuai dengan kepribadian dan
falsafah hidup bangsa Indonesia.
BAB VII
NILAI – NILAI PANCASILA DAN PENERAPANNYA

A. Pengertian Nilai
Nilai adalah sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermamfaat bagi kehidupan manusia baik
lahir maupun batin. Menurut Louis Kattsoff (1987 : 328 - 329) nilai dibedakan dalam dua
macam yaitu : 1) nilai intrinsik, yaitu nilai dari sesuatu yang sejak semula sudah bernilai, dan
2) nilai instrumental adalah nilai dari sesuatu karena dapat dipakai untuk mencapai suatu
tujuan. Notonagoro membagi nilai dalam 3 macam yaitu : 1) nilai material, 2) nilai vital dan 3)
nilai kerohanian. Nilai material apabila suatu benda berguna bagi jasmani manusia, vital jika
berguna bagi manusia untuk melakukan aktifitas dan nilai kerohanian bila sesuatu itu berguna
bagi rohani manusia.

B. Nilai-nilai Pancasila
Pancasila memiliki nilai objektif dan subjektif. Nilai objektif yang berarti sesuai dengan
objeknya, umum dan universal dan nilai subjektif yang berarti keberadaan nilai itu bergantung
pada bangsa Indonesia itu sendiri. Nilai Pancasila diuraikan dalam Pembukaan UUD 1945 yang
masing-masing memiliki pokok pikiran sendiri-sendiri.

C. Penerapan nilai-nilai Pancasila


Hakikat Pancasila sebagai ideologi adalah nilai-nilai yang terangkum dalam suatu sistem yang
lengkap dan utuh, yang memuat nilai fundamental dan mengandung pokok-pokok nilai dasar
Ketuhananan, Keadilan, Persatuan Bangsa, Kerakyatan dan Keadilan Sosial. Sebagai sistem
filsafat, Pancasila menempatkan diri sebagai subjek yang member penilaian terhadap sesuatu
yang berhubungan dengan kehidupan bangsa, bermasyarakat dan bernegara.

D. Penerapan nilai-nilai Pancasila dalam pembangunan bidang hukum


Pancasila memiliki nilai-nilai abstrak dalam ideologi yang perlu dirumuskan dalam bentuk
konkrit yaitu norma hukum dan norma pembangunan. Sebagai norma dapat dilhat dari
ketetapan MPR No.11/MPR/1978 yang kemudian diatur dalam ketetapan MPR No.
XVIII/MPR/1978 yang berisikan norma moral yang diperlukan sebagai kode etk warga Negara.
Norma yang terkandung dalam UUD 1945 disebut sebagai norma hukum dan sistem hukum
kita. Dalam GBHN secara substantif terkandung norma pembangunan bagi kehidupan
berbangsa, bermasyarakat dan bernegara. Norma hukum yang diwujudkan dalam tindakan
konkrit disebut dengan perilaku hukum. Menurut Lawrence M. Friedman (2977:115-116)
perilaku hukum menyangkut soal pilihan dan berkaitan dengan motif seseorang. Apa yang
menjadi motif dan yang mendorong perilaku seseorang dibagi dalam empat kategori yaitu : 1)
kepentingan pribadi, 2) kepekaan terhadap sanksi, 3) tanggapan atas pengaruh sosial dan 4)
kepatuhan.

BAB VIII
ETIKA PROFESI HUKUM

A. Nilai, Moral dan Etika


Secara etimologis dapat dijelaskan bahwa nilai adalah sifat atau kualitas dari sesuatu yang
bermanfaat bagi kehidupan manusia. Istilah moral berasal dari bahasa Yunani mos yang
berarti watak kebiasaan, dan etika berasal dari bahasa Yunani, ethos atau ta etika yang
berarti sama dengan mos. Menurut Franz Magnis-Suseno (1995:14) antara etika dan moral
tidak identik walaupun secara etimologis bermakna sama. Ajaran moral adalah ajaran-
ajaran, wejangan, khotbah, dan kumpulan peraturan dan ketentuan baik lisan maupun
tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak untuk menjadi manusia
yang baik. Dan etika adalah filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-
ajaran dan pandangan-pandangan moral.

B. Kebebasan, tanggung jawab dan suara hati


Etika dan moral senantiasa berhubungan dengan kebebasan dan tanggung jawab. Etika
membebani kita dengan kewajiban moral, yang berbeda dengan kewajiban norma hukum,
karena kewajiban moral tidak mempunyai kekuatan mengikat untuk dipaksakan dalam
pelaksanaannya. Itulah sebabnya norma moral itu kembali kepada seseorang untuk
melaksanakannya atau tidak. Kebebasan dapat dibagi dua, yaitu : 1) kebebasan yang diterima
dari orang lain yang disebut kebebasan sosial, dan kebebasan eksistensial yang berarti
kemampuan kita untuk menentukan tindakan kita sendiri (Magnis-Suseno, 1991:23-32).
Kebebasan sosial dibatasi oleh orang lain berupa pembatasan jasmani (fisik) dan rohani
(psikis), dan kebebasan eksitensial berakar dalam kebebasan rohani manusia dalam
penguasaan akan batin, pikiran dan kehendaknya. Kebebasan eksistensial bertanggung jawab
menyatukan diri dalam pola moralitas yang otonom. Manusia bermoral otonom melakukan
kewajibannya bukan karena takut atau merasa tertekan, melainkan karena kesadaran akan
kewajiban dan tanggung jawabnya (Magnis-Suseno,1995:46). Seseorang akan dapat
membuat keputusan yang baik bila didukung oleh kebebasan dan tanggung jawab, dan juga
suara hati.

C. Fungsi etika
Pandangan Magnis-Suseno (1995:15) tentang fungsi etika yaitu untuk membantu kita mencari
orientasi secara kritis dalam berhadapan dengan moralitas yang membingungkan. Fungsi etika
tidak sama dengan agama, akan tetapi agama memerlukan etika dalam memberikan orientasi
bukan sekedar indoktrinasi. Perbedaan etika dengan agama adalah etika dengan
pertimbangan nalarnya terbuka bagi setiap orang, sedangkan agama hanya terbuka bagi
mereka yang menganut agama itu.

D. Teori-teori etika
Etika berhubungan dengan tindakan baik dan benar. Penilaian baik dan benar ini dibagi dalam
dua aliran yaitu: aliran deontologist (kewajiban) dan aliran teologis (etika, tujuan dan
manfaat). Menurut Immanuel Kant, baik buruknya suatu tindakan tidak dilhat dari akibatnya,
tetapi dari tindakan itu sendiri. Ini berarti bahwa tindakan itu baik apabila sesuai dengan
norma. Aliran teologis berpendapat baik buruknya tindakan itu dinilai dari hasilnya. Apabila
hasil dari tindakan itu memperoleh lebaih banyak manfaatnya maka tindakan itu dinilai baik.
Teori ini dibagi dalam dua bagian yaitu : egoisme yang bertujuan untuk mengejar kepentingan
pribadi dan memajukan dirinya sendiri, dan utilitarianisme, yang menilai baik buruknya suatu
tindakan berdasrkan tujuan dan akibat dari tindakan itu. Kedua teori ini sama-sama berguna
dalam hal pengambilan keputusan, dengan masing-masing kelebihan dan kekurangannya.

E. Sistematika etika
Menurut Magnis-Suseno etika sebagai etika deskriptif dibagi menadi etika umum dan khusus.
Dalam etika umum dibahas pengertian dan fungsi etika, masalah kebebasan, tanggung jawab
dan peranan suara hati. Etika khusus memuat kewajiban manusia terhadap diri sendiri,
sebagai bagian dari masyarakat dan sebagai umat manusia pada umumnya.

F. Etika profesi
Profesi adalah konsep yang lebih spesifik dibandingkan dengan pekerjaan, dengan kata lain
profesi adalah pekerjaan, sedangkan pekerjaan belum tentu profesi. Menurut Thomas Aquinas
(1225-1275) wujud kerja mempunyai tujuan :
1. Dengan bekerja untuk memenuhi apa yang menjadi kebutuhan hidupnya sehari-hari
2. Dengan adanya lapangan pekerjaan, maka pengangguran berkurang yang berdampak pada
kurangnya tindak kejahatan
3. Dengan surplus hasil kerjanya, manusia dapat berbuat amal bagi sesamanya
4. Dengan kerja orang dapat mengontrol atau mengendalikan gaya hidupnya.
Tingkat kebutuhan manusia menurut teori hirarki dari Abraham Maslow ada 5 yaitu : 1)
Kebutuhan Pfisiologi, 2) rasa aman, 3) afiliasi atau acceptansi, 4) penghargaan dan 5)
perwujudan diri.
Semakin tinggi kepuasan yang ingin dicapai maka usaha untuk itupun semakin keras. Syarat –
syarat pekerjaan untuk dapat dikatakan menjadi sebuah profesi adalah bercirikan
pengetahuan, diabdikan untuk masyarakat, keberhasilan bukan didasarkan kepada
keuntungan financial, mempunyai organisasi dan kode etik, serta adanya standar kualifikasi
profesi.

G. Etika Profesi Hukum


Sebagian orang menganggap hukum identik dengan keadilan seperti ucapan “Justice Delay,
Justice Deny”, “a low which is not just does not seen to be a low”. Namun dapat ditegaskan
kembali bahwa hukum tidak semata – mata mengejar keadilan, sebab keadilan tertinggi
adalah ketidakadilan yang tertinggi “summun just summa injuria” yang berarti apabila hukum
hanya mengejar keadilan maka dikhawatirkan hukum menjadi tidak pasti dan tidak
bermamfaat lagi.
Pelanggaran atas etika profesi diatur dalam norma hukum yang berbentuk norma primer yang
tidak disertai sangsi. Namun sangsi dapat diberikan oleh organisasi profesi sendiri seperti
pemecatan dari keanggotaan, dan apabila telah memasuki wilayah norma hukum maka harus
diserahkan kepada Negara.
H. Etika Profesi hukum di Indonesia
Sistim peradilan terpadu (integrated criminal justice system) terdiri dari profesi Polisi,
Jaksa, Hakim dan Petugas Lembaga Permasyarakatan. Masing – masing profesi ini
mempunyai tugas yang berbeda – beda namun harus terdapat persamaan persepsi,
sehingga peradilan dapat berjalan dengan harmonis. Profesi hukum lainnya seperti
pengacara/ advocat juga terlibat dalam sistem tersebut, yang berarti bahwa profesi hukum
bukan hanya yang terdapat dalam sistem terpadu saja. Dalam sistem peradilan pidana,
polisi bertugas sebagai penyidik, jaksa melakukan penuntutan atas apa yang disampaikan
oleh polisi kemudian hakim memutuskan perkara tersebut dengan vonis. Peranan
pengacara/advokat adalah mendampingi kliennya dalam mengikuti proses hukum untuk
melindungi hak-hak kliennya dari kemungkinan penyalah gunaan mulai dari pemeriksaan
sampai dengan dipersidangan.

I. Kode etik profesi


Kode etik profesi dikembangkan pada abad ke-5SM, yang bermula dari kode etik
kedokteran yang dikenal dengan “sumpah hippokrates” yang kemudian dikembangkan dan
diadopsi oleh profesi luhur (officium nobile). Kode etik berfungsi untuk mengatur batasan-
batasan tentang apa dan bagaimana seseorang yang merupakan anggota profesi tertentu
dalam menjalankan profesinya. Sebaiknya kode etik disusun oleh para penyandang profesi
yang bersangkutan dengan dibantu oleh ahli-ahli etika, dan pengawasannya dapat
dilakukan oleh pemerintah dan semacam majelis pertimbangan kehormatan profesi
Pengertian Filsafat Hukum

Pada awalnya para filsuf. Tak ada perhatian yang dominan terhadap persoalan dirinya sebagai
makhluk “Anima Intelektiva”. Era filsuf di zaman pra-Socrates lebih banyak tertuju pada alam
semesta. Tampak pada penyelidikan yang dilakukan oleh Thales, dengan asal-usul alam semesta ini
bersumber dari air. Dan beberapa hasil penyelidkan alam semesta lainnya seperti Anaximander
yang berbeda dengan Thales, bahwa justeru segala isi alam semesta ini bersumber dari udara.

Observasi dan kesimpulan yang diberikan oleh para Filsuf tersebut adalah penyelidikan pada
wilayah “Fisika”, bukan Metafisika. Dalam wilayah metafisika, penyelidikan dilakukan melalui
“Diri Manusia Itu Sendiri (Human Being).” Sehingga memunculkan pembahasan etika dan moral.

Dari sinilah, sehingga “hukum” itu erat kaitannya dengan filsafat. Oleh karena apa yang
dibicarakan oleh filsafat sebagai etika dan moral dapat diserah-terimakan dalan genggaman
“hukum”. Hukum menjadi induk kedua pokok persoalan tersebut. Demikian, maka dalam aliran
hukum alam (eternal law) yang ramai diperdebatkan adalah keterkaitan hukum dan moral.

Filsafat hukum merupakan bagian dari filsafat, maka hal yang penting untuk dipelajari sebelum
memahami, apa itu fisafat hukum ? terlebih dahulu apa yang dimaksud filsafat secara umum.

Menurut asal katanya filsafat berasal dari kata yunani “Filosofia”. Filosofia merupakan kata
majemuk terdiri dari dua kata, “Filo” dan “Sophia”. Filo berarti cinta dan Sophia berarti
kebijaksanaan. Dengan demikian Filosofia berarti Cinta Akan Kebijaksanaan..

Terdapat banyak pengertian filsafat, setidaknya dapat menjadi pegangan awal. Pengertian filsafat
dari beberapa filsuf yang dirangkum oleh Hasbullah Bakry dalam “Sistematika Filsafat”, sebagai
berikut:

1. Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli (Plato).
2. Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya
ilmu matematika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (Aristoteles).
3. Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud bagaimana hakikat sebenarnya (Al-
Farabi).
4. Filsafat adalah kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam dan manusia menjadi
pokok penyelidikan (Descartes).
5. Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan
yang tercakup di dalamnya empat persoalan: a) apakah yang dapat kita ketahui ? dijawab
oleh metafisika; b)apakah yang seharusnya kita kerjakan ? dijawab oleh etika; c)sampai
dimana harapan kita ? dijawab oleh agama; d) apakah yang dinamakan manusia ? di jawab
oleh antropologi (Immanuel kant).

Menurut hemat penulis untuk mengetahui koneksitas “Ilmu Hukum” dan “Filsafat”, sederhana saja
dengan mencari pengertian hukum itu berdasarkan terminologi dalam arti bahasa Arab. Dalam
bahasa Arab, hukum berasal dari asal kata haqama_hikmaa_hikmaatun. Berarti hakim, hikmat,
bijaksana. Sehingga kata “kewicaksanaan” dalam filosophia (Sophia) identik dengan arti hukum itu
secara terminologi. Substansi terdalam hukum juga adalah dalam pencapaian kebijaksanaan.
Bukankah sasaran hukum adalah keadilan, dan keadilan merupakan tujuan utama dari sikap yang
bijaksana (Sophia).

Penamaan filsafat hukum dari berbagai negara terdapat perbedaan. Di Belanda digunakan istilah
Wijbegeerte Van Het Recht. Di Jerman digunakan istilah Rechtsphilosophie. Prancis menggunakan
istilah Cours De Philosophie Du Droit. Di Inggris menggunakan istilah Philosophy Of Law.
Bahakan ada yang menggunakan kata Jurisprudence seperti Paton, Charles Conway dan Dias.

Sama halnya dengan pengertian filsafat hukum oleh L.B Curzon (1985: 7) juga memakai istilah
Jurisprudence dalam menghinpun beberapa pendapat penulis, diantaranya:
1. Jurisprudence adalah pengetahuan tentang sesuatu yang berkaitan dengan perihal ketuhanan
maupun tentang kemanusiaan, pengetahuan tentang keadilan dan sebaliknya (Ulpian).
2. Jurisprudence adalah ilmu pengetahuan formal tentang hukum positif (Holland).
3. Jurisprudence adalah gabunga keilmuwan tentang prinsip-prinsip yang sebenarnya dari
hukum (Allen).
4. Jurisprudence adalah penelitian para ahli hukum tentang ajaran, tujuan dan daya kerja
hukum yang berawal dari pengetahuan saat ini dalam disiplin lain dari pada hukum (Stone)
5. Jurisprudence adalah suatu nama yang diterapkan terhadap cara penelitian tertentu atas
hukum, suatu penelitian tentang tujuan hukum, suatu penelitian tentang tujuan hukum
umum yang abstrak, umum dan teoritis yang mencoba meletakkan secara tepat prinsip-
prinsip yang sebenarnya serta sistem hukumnya (Fitzgerald).
6. Jurisprudence adalah semata-mata hukum pada umumnya. Setiap tindakan untuk
mengembalikan suatu keadaan pada suatu peraturan adalah suatu upaya jurisprudence,
walaupun menurut namanya dibatasi sampai peraturan-peraturan terluas serta konsepsi-
konsepsi yang paling fundamental (Holmes).
7. Teori jurisprudence berkenaan dengan teori pemikiran tentang hukum pada dasar-dasar
yang paling memungkinkan (Dias).
8. Jurisprudence adalah suatu diskusi teoritis secara umum tentang hukum dan prinsip-
prinsipnya, sebagaimana dipertentangkan terhadap studi atas peraturan-peraturan hukum
yang nyata (Jolowicz).
9. Mencakup penelitian untuk mencari konsepsi-konsepsi mutakhir dalam istilah atas nama
semua pengetahuan hukum dapat sungguh-sungguh dipahami (Hall).
10. Jurisprudence adalah pengetahuan tentang hukum dalam berbagi bentuk dan manifestasinya
(Wortley).
11. Sebagai suatu studi tentang asumsi dasar dari para Juris (Cross).
12. Pokok masalah dari jurisprudence adalah sangat luas, meliputi kefilsafatan, kesejarahan,
sebagaimana halnya teori komponen hukum secara analitis (Bodenheimer)

Pegangan dasar untuk memahami arti filsafat hukum, tetap dikembalikan kepada asal-usul filsafat
hukum yakni filsafat hukum merupakan cabang Filsafat Moral dan Etika. Disamping itu, objek
pembahasan filsafat yakni pencarian hakikat atau inti terdalam daripada hukum, karena dalam
cabang ilmu hukum tidak diketemukan jawabannya.

Salah satu penulis yang mengemukakan bahwa hukum ini tidak ada pendefenisiannya dan amat
sulit didefeniskan adalah Karl N. Lieweellyn (1962: 3),”kesulitan dalam memberikan konsep
tentang “hukum” adalah karena terlampau banyaknya perihal yang terkait, sementara satu sama lain
diantara perihal yang terkait ini sangat berbeda.” Jika mengalami jalan buntu yang seperti ini, tak
pelak Filsafat hukum akan bekerja, dan bekerjanya itu adalah sebuah proses yang terus mencermati
hukum dalam memberi jawaban hakikat “hukum
Pengertian Teori Hukum, Filsafat Hukum dan
Yurisprudence
Teori hukum

adalah disiplin hukum yang secara kritikal dalam perspektif


interdisipliner menganalisis berbagai aspek dari hukum
secara tersendiri dan dalam keseluruhannya, baik dalam
konsepsi teoritikalnya maupun dalam pengolahan
praktikalnya dengan tujuan untuk memperoleh
pemahaman yang lebih baik dan penjelasan yang lebih
jernih tentang bahan-bahan hukum tersaji.
Pokok kajian teori hukum :
1.Analisis hukum yaitu upaya pemahaman tentang struktur
sistem hukum, sifat dan kaidah hukum, pengertian dan
fungsi asas-asas hukum, unsure-unsur khas dari konsep
yuridik (subyek hukum, kewajiban hukum, hak, hubungan
hukum, badan hukum, tanggunggugat, dsb)
Ajaran metode yaitu metode dari ilmu hukum (dogmatik
hukum), metode penerapan hukum (pembentukan hukum
dan penemuan hukum), teori perundang-undangan, teori
argumentasi yuridik (teori penalaran hukum).
2.Ajaran ilmu (epistemologi) dari hukum dengan
mempersoalkan karakter keilmuan ilmu hukum
Kritik ideology yaitu kritik terhadap kaidah hukum positif,
menganalisis kaidah hukum positif, menganalisis kaidah
hukum untuk menampilkan kepentingan dan ideologi yang
melatarbelakangi aturan hukum positif (undang-undang).

Filsafat hukum adalah filsafat yang objeknya khusus hukum


Pokok kajian filsafat hukum :
*Ontologi hukum yaitu ilmu tentang segala sesuatu
(Merefleksi hakikat hukum dan konsep-konsep
fundamental dalam hukum, seperti konsep demokrasi,
hubungan hukum dan kekuasaan, hubungan hukum dan
moral).
*Aksiologi hukum yaitu ilmu tentang nilai (Merefleksi isi dan
nilai-nilai yang termuat dalam hukum seperti kelayakan,
persamaan, keadilan, kebebasan, kebenaran, dsb)
*Ideologi hukum yaitu ilmu tentang tujuan hukum yang
mengangkut cita manusia (Merefleksi wawasan manusia
dan masyarakat yang melandasi dan melegitimasi kaidah
hukum, pranata hukum, sistem hukum dan bagian-bagian
dari sistem hukum).
Teleologi hukum yaitu ilmu tentang tujuan hukum yang
menyangkut cita hukum itu sendiri (Merefleksi makna dan
tujuan hukum)
*Epistemologi yaitu ilmu tentang pengetahuan hukum
(Merefleksi sejauhmana pengetahuan tentang hakikat
hukum dan masalah-masalah fundamental dalam filsafat
hukum mungkin dijalankan akal budi manusia)
*Logika hukum yaitu ilmu tentang berpikir benar atau
kebenaran berpikir (Merefleksi atran-aturan berpikir yuridik
dan argumentasi yuridik, bangunan logical serta struktur
sistem hukum)
*Ajaran hukum umum
SUDUT HUKUM | Pengertian Filsafat HUKUM

Filsafat HUKUM merupakan salah satu cabang dalam filsafat. Dalam kamus besar bahasa
indonesia disebutkan bahwa filsafat memiliki beberapa pengertian, antara lain dapat disebut
sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai segala yang ada, baik itu sebab
dan asal serta HUKUMnya. Selain itu filsafat juga dapat memiliki pengertian sebagai teori yang
mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan atau juga berarti ilmu yang berintikan logika,
metafisika, estetika dan epistemologi.

Plato mengartikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang
asli. Sementara itu, Aristoteles mendefinisikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang meliputi
kebenaran dimana didalamnya berisi ilmu metafisika, estetika, etika,retorika, logika , ekonomi dan
politik.

Filsafat dalam bahasa inggris disebut dengan istilah â??Philosophyâ?• sedangkan dalam bahasa
latin disebut dengan â??Philosophiaâ?•. Istilah â??Philosophiaâ?• dalam bahasa latin tersebut
berasal dari kata philos yang berarti â??cintaâ?• dan sophia yang berarti â??kebijaksanaanâ?•.
Sehingga filsafat dalam bahasa Inggris dan bahasa latin juga memiliki makna â??cinta
kebijaksanaanâ?•. Dalam bahasa Arab, filsafat disebut dengan istilah â??falsafahâ?• yang berarti
berpikir secara menyeluruh, mendasar dan spekulatif.

Selanjutnya terdapat beberapa pengertian filsafat HUKUM yang diberikan oleh para ahli antara
lain:

Filsafat HUKUM menurut Gustaff Radbruch adalah : Cabang filsafat yang mempelajariÂ
HUKUM yang benar•

Filsafat HUKUM menurut Langmeyer adalah : Pembahasan secara filosofis tentang HUKUM.

Filsafat HUKUM menurut Anthoni DAmato adalah : Penelitian mendasar dan pengertian HUKUM
secara abstrak

Filsafat HUKUM menurut Anthoni Dâ??Amato diistilahkan dengan Jurisprudence•. Demikian


pula dengan Bruce D. Fischer yang mengartikan Jurisprudensi• sebagai studi tentang filsafat
HUKUM.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat HUKUM merupakan cabang dari filsafat estetika
atau tingkah laku. Filsafat HUKUM mempelajari hakikat HUKUM, dimana HUKUM dijadikan
sebagai obyek kajian yang dibahas secara mendalam sampai pada hakikat HUKUM itu sendiri atau
yang menjadi inti dari HUKUM.

Pembahasan dalam Filsafat HUKUM

Obyek kajian dalam filsafat HUKUM adalah HUKUM itu sendiri. Oleh karena itu, pembahasan
dalam filsafat HUKUM adalah berkisar antara hubungan HUKUM, tujuan HUKUM, sebab-sebab
orang menaati HUKUM termasuk masalah hak asasi manusia, etika profesi dan masih banyak lagi
pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan hakikat HUKUM yang menjadi pembahasannya.
Tidak semua dari pertanyaan hakikat HUKUM tersebut menjadi pokok pembahasan karena filsafat
HUKUM juga memprioritaskan pembahasan pada permasalahan yang dianggap penting saja.

Beberapa pokok pembahasan dalam filsafat HUKUMmenurut Apeldoom, antara lain: Apakah
pengertian HUKUM yang berlaku, apakah dasar kekuatan mengikat dari HUKUM dan apakah yang
dimaksud dengan HUKUM kodrat. Meski demikian, Prioritas pembahasan dalam filsafat HUKUM
juga dinamis dan mengalami perkembangan. Hal ini dapat kita lihat dengan adanya pendapat lain
oleh Lili Rasyidi yang menyebutkan bahwa pokok pembahasan yang prioritas dalam filsafat
HUKUMÂ adalah hubungan HUKUM dan kekuasaan, hubungan HUKUM dengan nilai sosial
budaya, sebab orang menaati HUKUM, sebab negara berhak mengHUKUM seseorang, masalah
HUKUM sebagai sarana pembaharuan dalam masyarakat, masalah kontrak, masalah hak milik,
masalah pertanggungjawaban dan sebab negara berhak mengHUKUM seseorang.

Manfaat mempelajari Filsafat HUKUM

Filsafat-HUKUMJika dikaitkan dengan profesi yang rata-rata digeluti oleh mereka yang memiliki
latar belakang pendidikan HUKUM, maka dapat dikatakan bahwa filsafat HUKUM tidak memiliki
kaitan secara langsung dengan profesi HUKUM pada umumnya. Namun perlu diketahui bahwa
filsafat HUKUM dapat membimbing dan menjadi pelengkap bagi ilmu HUKUM yang dimiliki oleh
seseorang dalam menggeluti profesinya.

Hal ini disebabkan karena filsafat HUKUM memiliki tiga hal yang sangat bermanfaat, antara
lain:

Karakteristik yang bersifat menyeluruh sehingga seseorang yang memiliki ilmu HUKUM tidak
berrsikap arogan dan apriori terhadap disiplin ilmu lainnya karena telah belajar untuk berpikir
holistik dan terbuka.

1. Bersifat mendasar yang bermanfaat untuk melatih seseorang berpikir kritis dan radikal
dalam menganalisa suatu masalah HUKUM yang dihadapi.
2. Bersifat spekulatif yang bermanfaat untuk melatih seseorang berpikir kreatif dan inovatif.
Spekulatif yang dimaksud tersebut adalah spekulatif dalam makna menyusun tindakan yang
terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Anda mungkin juga menyukai