Anda di halaman 1dari 2

Sejarah Perayaan Idul Fitri

Perayaan Idul Fitri bagi umat Muslim nampaknya seperti hal wajib yang tidak boleh
terlewatkan. Bermaaf-maafan, berbagi hadiah, hingga bersilaturahim ke sanak saudara dan
kolega merupakan bagian dari perayaan tersebut. Namun tahukah kita bahwa sesungguhnya
perayaan Idul Fitri yang kita kenal saat ini memiliki sejarah panjang yang menyertainya?
Imam Ibnu Katsir pernah menjabarkan bagaimana perayaan Idul Fitri terjadi di masa
Rasulullah SAW. Dalam sebuah riwayat hadis shahih, Rasulullah pernah merayakan hari
pertama raya Idul Fitri dalam kondisi letih. Beliau bahkan sampai bersandar pada Bilal bin
Rabah dan menyampaikan khutbahnya.
Menyambut hari kemenangan dengan hal-hal positif memang sangat dianjurkan. Hal
itu terbukti bagaimana antusiasnya Rasulullah SAW dalam menyambut Idul Fitri, namun
tentu saja beliau tidak menanggalkan syariat agama atau berlebih-lebihan atas sesuatu.
Jauh sebelum Islam datang, masyarakat jahiliyah Arab telah memiliki dua hari raya,
yaitu hari raya Nairuz dan Mahrajan yang dirayakan dengan sambutan pesta pora yang tidak
bermanfaat. Minum-minuman memabukkan, menari, adu ketangkasan termasuk salah satu
ritual dalam perayaan kedua hari raya tersebut. Berdasarkan buku Ensiklopedi Islam, kedua
hari raya tersebut sejatinya berasal dari zaman Persia Kuno. Di kemudian hari, Rasulullah
SAW mengganti kedua perayaan masyarakat Arab itu dengan hari raya yang lebih baik,
yakni hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.
Dalam sejarah Islam, perayaan Idul Fitri pertama kali diselenggarakan pada 624
Masehi atau tahun ke-2 Hijriyah. Waktu perayaan tersebut bertepatan dengan selesainya
Perang Badar yang dimenangkan oleh kaum Muslimin. Perang yang terjadi pada Ramadhan
itu dengan jumlah pasukan di sisi umat Muslim yang jauh lebih sedikit dibanding kaum
kafir, nyatanya diganjar Allah dengan perayaan yang luar biasa indah dan barokah: Idul Fitri.
Sebagaimana kita ketahui, di kedua hari raya umat Muslim seperti Idul Fitri dan Idul
Adha, setiap Muslim justru ditekankan untuk berbuat kebaikan dan kemaslahatan. Menjelang
perayaan Idul Fitri saja, umat Islam diwajibkan menunaikan zakat untuk dibagikan kepada
para mustahik (orang-orang penerima zakat).
Segala kebaikan yang tercurah dari jiwa-jiwa umat Muslim selama Ramadhan,
sejatinya sangat terasa pada hari raya Idul Fitri bagi semua elemen. Sehingga bisa dikatakan,
perayaan Idul Fitri dapat melingkupi kebahagiaan bagi seluruh umat Muslim dari berbagai
kalangan.
Menurut Prof HM Baharun, hakikat perayaan Idul Fitri sendiri sejatinya adalah
perayaan kemenangan iman dan ilmu atas nafsu di medan jihad Ramadhan. Umat Islam yang
berhasil menjinakkan nafsu selama Ramadhan kembali fitrah dan layak untuk merayakannya
dengan cara yang baik dan benar.
Pada Dinasti Abbasiyah, perayaan Idul Fitri dilakukan dengan rangkaian kegiatan
yang meriah. Biasanya pada zaman tersbeut, perayaan dilakukan selama tiga hari yang
diakhiri dengan menyantap beraneka ragam makanan halal yang disajikan.
Dalam buku Empire of the Islamic World karya Robin Santos Doak dijelaskan, umat
Muslim yang berada di jalan-jalan Kota Baghdad dihibur dengan penampilan para musisi
dan penyair yang menunjukkan kebolehan mereka. Tentu saja, hiburan tersebut bernilai
positif dan tidak melanggar syariat.
Sedangkan Ege Yayinlari dalam Discover Islamic Art in the Mediterranean
menyebutkan, para sultan Dinasti Mamluk (1250-1517 Masehi) di Mesir membagikan
pakaian, hadiah, dan uang kepada masyarakat saat perayaan Idul Fitri. Di India, para sultan
Dinasti Mughal melakukan arak-arakan bersama pengawal kerajaan dalam merayakan Idul
Fitri.
Sedangkan semasa periode Kesultanan Ottoman di Turki, ada tradisi membunyikan
meriam setiap malam 1 Syawal dalam menyambut Idul Fitri. Meriam ditembakkan ke udara
untuk menandai berakhirnya hari raya Idul Fitri.
Di Indonesia, tradisi halal-bihalal identik dengan perayaan Idul Fitri bagi warga
Muslim Indonesia. Dalam buku Al Masalik wal Mamalik karya Ibnu Khordabdih dijelaskan,
mayoritas watak masyarakat yang hidup sepanjang garis khatulistiwa merupakan orang-
orang yang terbuka dan egaliter. Sikap tersebut pun identik dengan masyarakat Indoensia.
Sikap terbuka dalam tradisi halal-bihalal yang dilakukan umat Muslim tak jarang juga
dilakukan oleh umat non-Muslim. Tak sedikit dari umat non-Muslim yang ikut ‘nimbrung’
bersilaturahim dan melakukan halal-bihalal saat Idul Fitri tiba.
Di sisi lain, budaya lokal dalam melaksanakan tradisi Idul Fitri juga banyak yang
dijadikan tradisi umat Muslim Indonesia secara nasional. Tengoklah bagaimana masyarakat
Jawa diperkenalkan istilah Lebaran Ketupat oleh Sunan Kalijaga.
Lebaran ketupat merupakan tradisi yang ikut menyemarakkan perayaan Idul Fitri
masyarakat Jawa ketika itu. Sunan Kalijaga mengajarkan masyarakat Jawa untuk membuat
makanan dengan bahan utama beras yang dibungkus dengan anyaman daun kelapa.
Anyaman daun ketika itu identik dengan ciri khas budaya dan seni masyarakat Jawa.
Sehingga bukan hal sulit bagi masyarakat Jawa ketika itu mengikuti apa yang
diajarkan Sunan Kalijaga. Secara filosofis pun, Lebaran Ketupat juga memiliki makna yang
mendalam. Kata ketupat yang berasal dari kata kupat dalam bahasa Jawa berarti mengakui
kesalahan. Sehingga dalam Lebaran Ketupat pun dikenal dengan istilah sungkeman,
memohon maaf dari orang yang lebih muda kepada yang lebih tua sebagai bentuk
penghormatan.

Kontributor Artikel: Prisa (9B)


(Dikutip dengan perubahan dari:
https://www.unpak.ac.id/khazanah-ramadhan/
sejarah-perayaan-idul-fitri-dari-
zaman-nabi-muhammad-hingga-kini)

Anda mungkin juga menyukai