NIM : 215061101111024
Jurusan : Teknik Kimia
Kelas :B
1. Sejarah tradisi peringatan Maulid Nabi Muhammad dalam islam dan peringatan
Maulid Nabi Muhammad di Nusantara
Maulid atau Milad dalam bahasa Arab artinya lahir. Artinya, Maulid Nabi
dimaksudkan untuk merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang selalu
digelar setiap 12 Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriyah. Pada hakikatnya, tradisi
Maulid Nabi tidak hanya sekadar pengingat sejarah bagi kaum muslim. Tetapi, juga
sebagai pengingat umat muslim dengan sosok Nabi Muhammad SAW yang menjadi
inspirasi bagi seluruh umat. Maulid Nabi diketahui pertama kali diperingati pada
zaman Khalifah Mu'iz li Dinilah. Sayangnya, perayaan itu sempat dilarang pada masa
kepemimpinan Al-Afhdal bin Amir al-Juyusy. Lalu, perayaan tersebut kembali
dilakukan ketika Salahuddin Al-Ayyubi berkuasa. Namun, sumber lain mengatakan
bahwa peringatan Maulid Nabi pertama kali diadakan pada masa pemerintahan
Khalifah Mudhaffar Abu Said. Saat itu, khalifah tengah mencari cara untuk
membangkitkan heroisme umat Muslim yang sedang berperang melawan Jengis
Khan. Bahkan, perayaan Maulid Nabi diadakan selama 7 hari 7 malam untuk
memperlihatkan kebesaran umat Islam dan daerah-daerah yang dipimpinnya, seperti
Afrika Utara, Mesir, dan Suriah.
Perayaan Maulid Nabi di Indonesia sudah dilakukan oleh Walisongo pada tahun 1404
M. Kala itu, Walisongo menjadikan Maulid Nabi sebagai sarana dakwah Islam.
Artinya, dengan adanya kegiatan seperti perayaan Maulid Nabi yang dibungkus dalam
sebuah acara yang melibatkan banyak orang, akan menarik masyarakat untuk lebih
mengenal dan kemudian memeluk agama Islam. Itulah sebabnya, sebagian kalangan
menyebutkan bahwa, perayaan Maulid Nabi disebut dengan “Perayaan Syahadatain”,
yang oleh lidah jawa diucapkan “Sekaten”. Perayaan Maulid pun terus lestari hingga
sekarangpun masih dirayakan. Pada zaman kerajaan Mataram (tahun 1582 M),
Maulid Nabi dibungkus dalam perayaan yang oleh masyarakat sekitar disebut dengan
istilah Grebeg Maulud. Prosesinya cukup unik, yakni para pembesar mengikuti Sultan
keluar dari keraton menuju Masjid Agung untuk mengikuti perayaan Maulid Nabi.
Acara ini kemudian dilengkapi dengan sarana upacara, seperti nasi gunungan dan
lainnya. Berbeda dengan masyarakat Jawa, dalam merayakan Maulid Nabi di jawa
dilakukan dengan cara membaca Manakib Nabi dalam kitab Al-Barzanji, Maulid
Simtud Dhurar, Diba’, Burdah dan lainnya. Selesai membaca Manakip, lazimnya
masyarakat menyantap makanan secara bersama-sama. Lain halnya lagi di Sulawesi
Selatan, perayaan Maulid Nabi terasa berbeda dengan yang dijalankan oleh sebagian
besar masyarakat Jawa, yakni warga mengarak replika perahu pinisi yang dihiasi
beraneka ragam kain sarung dan dipertontonkan di sepanjang desa dan diringi
dengan musik serta lantunan shlawat nabi. Acara demikian ini dikenal dengan nama
Maudu Lampoa.